Upload
owoongkwon
View
81
Download
5
Embed Size (px)
Citation preview
FISIOLOGI SISTEM SARAF OTONOM
Sistem saraf otonom (ANS) mengontrol aktivasi involunter badan diluar kesadaran. ANS
merupakan sistem control yang paling primitif dan paling esensial. ANS dibagi menjadi dua
subsistem, yaitu sistem saraf simpatis dan sistem saraf parasimpatis. Subsistem ketiga yaitu
sistem saraf enterik ditambahkan. Aktivasi sistem saraf simpatis memunculkan yang secara
tradisional disebut respon fight-or-flight, khususnya meliputi redistribusi aliran darah dari viscera
ke otot skeletal, peningkatan fungsi jantung, kerinatan, dan dilatasi pupil. Sistem parasimpatis
mengontrol aktivitas badan yang berhubungan erat dengan mengatur keperluan badan seperti
fungsi pencernaan dan urogenital, rest-and-digest.1,3
Gambar 1. Sistem Saraf Simpatis1
Serat preganglionic simpatis dan parasimpatis melepaskan neurotransmitter yang sama,
asetilkolin (ACh), namun ujung postganglinoik dari 2 sistem melepaskan neurotransmiter yang
berbeda. Serat postganglionic parasimpatis melepaskan asetilkolin. Semua serat preganglionic
otonom disebut serat kolinergik. Sebaliknya, hampir semua serat postganglionic simpatis disebut
serat adrenergik karena melepaskan noradrenalin, yang umumnya dikenal sebagai norepinefrin.1
Gambar 2. Neurotransmiter Sistem Saraf Otonom.1
FISIOLOGI ADRENOSEPTOR
Istilah adrenergik awalnya menggambarkan efek dari epinefrin (adrenalin), walaupun
neurotransmiter yang bertanggung jawab pada hampir sebagian besar dari aktifitas adrenergik
sitem saraf simpatis adalah norepinefrin (noradrenalin). Dengan pengecualian untuk kelenjar
keringat ekrin dan beberapa pembuluh darha, norepinefrin dilepaskan oleh serat-serat simpatis
postganglion dan jaringan end organ. Sebaliknya, asetilkolin dilepaskan oleh serat-serat simpatis
preganglion dan seluruh serat parasimpatis.2,3
Norepinefrin disintesis di sitoplasma ujung saraf simpatis postganglionik dan disimpan
dalam vesikel-vesikel. Setleah pelepasan melalui proses eksositosis, kerja norepinefrin diakhiri
dengan reuptake ke ujung saraf postganglionic (dihambat oleh antidepresan trisiklik), dan juga
difusi dari reseptor-reseptor atau metabolism monoamine oksidase (dihambat oleh monoamine
oksidase inhibitor) dan catechol-O-methyltransferase. Perpanjangan aktivitas adrenergic memicu
desensitisasi dan hiporesponsivness terhadap stimulasi yang lanjut. 2,3
Reseptor-reseptor adrenergik dibagi menjadi dua kategori, yaitu α dan β. Masing-masing
dibagi lagi menjadi paling tidak dua subtype, yaitu α1 dan α2 serta β1, β2, dan β3. 2,3
Reseptor -α1
Reseptor α1 adalah adrenoseptor postsinaptik yang berlokasi di otot polos di seluruh tubuh
(di mata, paru-paru, pembuluh darah, uterus, usus, dan sistem urogenital). Aktivasi dari reseptor-
reseptor tersebut meningkatkan konsentrasi ion kalsium intrasel yang menimbulkan kontraksi
dari otot-otot polos. Agonis α1 dihubungkan dengan midriasis (dilatasi pupil sampai terjadinya
kontraksi dari otot-otot radial mata), bronkokonstriksi, vasokonstriksi, kontraksi uterus dan
kontraksi spingter di gastrointestinal dan urogenital. Stimulasi α1 juga menghambat sekresi
insulin dan lipolisis. Miokardium terdapat reseptor-reseptor α1 yang memiliki efek inotropik
positif, yang dapat menyebabkan aritmia yang disebabkan katekolamin. Selain itu, efek
kardiovaskuler yang paling penting dari stimulasi α1 adalah vasokonstriksi, yang meningkatkan
resistensi pembuluh darah perifer, afterload ventrikel kiri dan tekanan darah arteri. 2
Reseptor- α2
Kebalikan dari reseptor-α1, reseptor α2 berlokasi di saraf terminal presinaptik. Aktivasi
dari adrenoseptor tersebut menghambat aktivitas adenylate cyclase, sehingga mengurangi
masuknya ion kalsium kedalam saraf terminal, yang membatasi eksositosis vesikel-vesikel
penyimpanan yang berisi norepinefrin. Kemudian, reseptor α2 menciptakan umpan balik negatif
yang menghambat pelepasan norepinefrin yang lebih lanjut dari neuron. Sebagai tambahan, otot
polos vaskuler mengandung reseptor-reseptor α2 postsinaptik yang menyebabkan vasokonstriksi.
Yang lebih penting, stimulasi dari reseptor-reseptor α2 postsinaptik di sistem saraf pusat
mengakibatkan sedasi dan mengurangi aliran balik simpatis, yang menyebabkan vasodilatasi di
perifer dan penurunan tekanan darah. 2
Reseptor- β1
Reseptor adrenergik- β dibagi menjadi reseptor β1, β2, dan β3. Katekolamin, norepinefrin,
dan epinefrin adalah equipoten pada reseptor- β1, namun epinefrin lebih poten secara signifikan
dibandingkan norepinefrin pada reseptor- β2. 2
Reseptor β1 yang paling utama berada di membran postsinaptik di jantung. Stimulasi dari
reseptor-reseptor tersebut mengaktivasi adenylate cyclase, yang mengubah adenosin trifosfat
menjadi siklik adenosin monofosfat dan mengawali kaskade fosforilase kinase. Awal dari
kaskade tersebut memiliki efek kronotropik positif (meningkatkan denyut jantung), efek
dromotropik (meningkatkan konduksi) dan efek inotropik (meningkatkan kontraktilitas). 2
Reseptor- β2
Reseptor β2 terutama sebagai adrenoseptor postsinaptik yang berlokasi di otot-otot polos
dan sel-sel kelenjar. Mekanisme kerjanya mirip dengan reseptor-reseptor β1, yaitu aktivasi
adenylate cyclase. Selain hal itu, stimulasi β2 menyebabkan relaksasi otot polos yang
mengakibatkan bronkodilatasi, vasodilatasi dan relaksasi uterus (tokolisis), kandung kemih dan
usus. Glikogenolisis, lipolisis, glukoneogenesis dan pelepasan insulin distimulasi oleh aktivitas
reseptor β2. Agonis β2 juga mengaktivasi pompa Na-K, yang menyebabkan kalium masuk ke
intrasel dan dapat menyebabkan hipokalemia dan disritmia. 2
Reseptor- β3
Reseptor β3 ditemukan pada gallbladder dan jaringan adipose otak. Fungsi reseptor ini
pada gallbladder fisiologi tidak diketahui, namun diperkirakan berfungsi dalam lipolisis dan
termogenesis pada brown fat. 2
Gambar 3. Reseptor Adrenergik1
Gambar 4. Fungsi Adrenoseptor1
AGONIS ADRENERGIK
Agonis adrenergik berinteraksi dengan berbagai spesifisitas (selektifitas) di α dan β
adrenoseptor. Ketumpangtindihan aktivitas tersebut berkomplikasi pada prediksi dari efek klinis.
Contohnya, epinefrin menstimulasi α1, α2, β1 dan β2 adrenoseptor. Efek pada tekanan darah
arterial tergantung pada keseimbangan antara vasokonstriksi α1, vasodilatasi α2, dan β1 serta
pengaruh-pengaruh dari β1 inotropik. Bahkan, keseimbangan ini berubah pada dosis yang
berbeda.1,2
Agonis adrenergik dapat dikategorikan sebagai direk dan indirek. Agonis direk berikatan
dengan reseptor, sedang agonis indirek meningkatkan aktivitas neurotransmiter endogen.
Mekanisme kerja dari indirek termasuk peningkatan pelepasan atau penurunan pengambilan dari
norepinefrin. Perbedaan antara mekanisme kerja direk dan indirek adalah penting bagi pasien-
pasien yang mempunyai simpanan abnormal norepinefrin endogen ditubuhnya, yang timbul
bersamaan dengan penggunaan obat antihipertensi atau penghambat monoamine oksidase.
Hipotensi intra operatif pada pasien-pasien ini harus diterapi dengan agonis direk karena respon
mereka terhadap agonis indirek akan terganggu.1,2
Beberapa buku membedakan agonis adrenergik dari struktur kimianya. Agonis
adrenergik yang memiliki struktur 3,4 dihydroxybenzene disebut katekolamin. Obat ini memiliki
tipe short acting karena dimetabolisme oleh monoamine oksidase dan katekol-0-metiltransferase.
Pasien-pasien yang mengkonsumsi penghambat monoamine oksidase atau antidepresan trisiklik
dapat menunjukkan respon yang berlebihan terhadap katekolamin. Katekolamin yang terbentuk
secara alami adalah epinefrin, norepinefrin dan dopamin (DA). Merubah rantai struktur (R1, R2,
R3) katekolamin alamiah dapat memacu perkembangan dari katekolamin sintetik (contoh,
isoproterenol dan dobutamin) yang lebih spesifik. 1,2
Agonis reseptor-α1
Fenilefrin
Fenilefrin dan methoxamine merupaka agonis-α1 selektif. Obat-obat tersebut digunakan
secara umum pada saat cardiac output adekuat dan memerlukan vasokontriksi perifer, seperti
hipotensi yang terjadi setelah anestesia spinal, atau pada pasien dengan coronary artery diasease
atau stenosis arotic, untuk meningkatkan perfusi koroner tanpa efek samping chronotropic. 1,2
Fenilefrin adalah nonkatekolamin dengan aktivitas agonis α1 direk (dosis tinggi dapat
menstimulasi reseptor-reseptor α2 dan β). Efek primernya adalah vasokonstriksi perifer dengan
kenaikan resistensi pembuluh darah sistemik dan tekanan darah secara konkomitan. Refleks
bradikardi dapat mengurangi cardiac output. Aliran darah koroner meningkat karena efek
vasokonstriksi langsung dari fenilefrin terhadap arteri-arteri koroner yang sebelumnya
mengalami vasodilatasi karena pelepasan faktor-faktor metabolik. 1,2
Fenilefrin diberikan intravena, memiliki onset yang cepat dan durasi kerja yang relatif pendek, 5
sampai 10 menit. Fenilefrin dapat diberikan dalam bolus denga dosis 40-100 µg (0,5 - 1 µg/kg)
secara cepat mengembalikan pengurangan tekanan darah yang disebabkan oleh vasodilatasi
perifer atau infus dengan rate 10 - 20 µg/menit (0,25 – 1 µg/kg/menit) akan memelihara tekanan
darah arteri pada aliran darah ginjal. Dosis lebih besar hingga 1 mg digunakan pada kasus
supraventrikular takikardia. Fenilefrin digunakan juga sebagai midratik dan dekongestan nasal.
Dapat diberikan secara topikal, tunggal atau dicampur dengan gel anestetik lokal untuk intubasi
nasotrakeal. Dapat juga ditambahkan pada anestesi lokal untuk memperpanjang blok
subaraknoid. Takifilaksis timbul pada pemberian infus fenilefrin dengan titrasi. Fenilefrin harus
dilarutkan dari 1 % larutan (10 mg/1 ml amp), biasanya hingga mencapai 100 µg/ml larutan.
Methoxamine memiliki durasi kerja lebih lama, 30-60 menit. 1,2
Agonis reseptor-α2
Efek primer agonis-α2 adalah simpatolitik. Agonis-α2 mengurangi pelepasan norepinefrin
perifer. Klonidin, obat prototipe golongan agonis- α2, merupakan agonis-α2 selektif parisal
(dengan rasio kurang lebih α2 banding α1 200:1), yang saat ini sering digunakan untuk terapi
antihipertensi dan efek-efek kronotropik negatif. Baru-baru ini, klonidin dan agonis α2 lain telah
dianggap sebagai agen yang memiliki efek sedatif. Studi penelitian telah meneliti efek anestesi
dari klonidin secara oral (3-5 µg/kg), IM (2 µg/kg), IV (1-3 µg/kg), transdermal (0,1-0,3 mg
dilepas perhari), intratekal (75-100 µg) dan epidural (1-2 µg/kg). 1,2
Secara umum, klonidin dibutuhkan untuk mengurangi efek anestesi dan analgesi dan
untuk menghasilkan efek sedasi dan anxiolisis. Selama anestesi umum, klonidin dilaporkan dapat
membantu stabilitas sirkulasi intraoperatif dengan mengurangi tingkat katekolamin. Selama
anestesi regional, termasuk blok saraf perifer, klonidin memperpanjang durasi dari blok. Efek
langsung pada spinal cord bisa dimediasi oleh reseptor α2 postsinaptik di dalam dorsal horn.
Keuntungan lain termasuk pengurangan kejadian menggigil postoperatif, menghambat rigiditas
otot yang dipacu oleh opioid, pelemahan dari gejala-gejala withdrawal opioid dan pengobatan
terhadap beberapa sindrom nyeri kronis. Efek samping termasuk bradikardi, hipotensi, sedasi,
depresi respirasi dan mulut kering. 1,2
Dexmedetomidin merupakan derivat dari lipofilik α-metilol dengan afinitas yang tinggi
untuk reseptor-reseptor α2 dibanding klonidin. Dibandingkan klonidin, dexmedetomidin
lebihselektif terhadpa reseptor-α2 (dengan rasio α2: α1, 200:1 untuk klonidin dan 1600:1 untuk
dexmedetomidin). Dexmedetomidin memiliki waktu paruh lebih pendek (2-3 jam) dibandingkan
klonidin (12-24 jam). Dexmedetomidin memiliki efek sedatif, analgesia dan efek simpatolitik
yang memperjelas respon-respon kardiovaskuler (hipertensi, takikardi) yang tampak selama
masa perioperatif. Bila digunakan saat intraoperatif, dapat mengurangi kebutuhan obat-obat intra
vena dan volatile, bila digunakan setelah operasi, dapat mengurangi kebutuhan obat-obat
analgesik dan sedatif. Dexmedetomidin juga berguna untuk sedasi pasien post operasi di post
anestetic dan di ICU karena efek anxiolitik dan analgesiknya, tanpa depresi ventilasi yang
signifikan. Pemberian yang cepat dapat meningkatkan tekanan darah, tapi hipotensi dan
bradikardi tetap dapat timbul selama terapi berjalan. Dosis rekomendasi dexmedetomidine
adalah dosis loading 1 µg/kg pada 10 menit pertama diikuti infus dengan kecepatan 0,2-0,7
µg/kg/jam. 1,2
Efedrin
Efek kardiovaskuler dari efedrin serupa dengan epinefrin, meningkatkan tekanan darah,
denyut jantung, kontraktilitas dan cardiac output. Selain itu, efedrin juga merupakan
bronkodilator. Ada perbedaan-perbedaan penting diantara keduanya, yaitu efedrin memiliki
durasi kerja yang panjang karena ia merupakan nonkatekolamin, yang kurang poten, memiliki
kerja direk dan indirek dan menstimulasi sistem saraf pusat (meningkatkan MAC). Properti
agonis indirek dari efedrin dapat mencapai stimulasi sentral, pelepasan norepinefrin perifer
postsinaptik atau menghambat pengambilan norepinefrin. 1,2
Efedrin biasa digunakan sebagai vasopresor selama anestesia berlangsung. Sebagai
contoh, penatalaksanaannya harus selalu diperhatikan ketika penyebab hipotensinya diketahui
dan terulang kembali. Tidak seperti agonis α1 yang bekerja secara langsung, efedrin tidak
menurunkan aliran darah uterin. Sehingga vasopresor ini lebih sering dipilih untuk kasus-kasus
obstetri. Efedrin juga telah dilaporkan sebagai obat-obat antiemetik, terutama yang berhubungan
dengan hipotensi yang disebabkan oleh anestesi spinal. Pengobatan klonidin menguatkan efek
dari efedrin. 1,2
Pada orang dewasa, efedrin diberikan secara bolus sebesar 2,5 – 10 mg, pada anak secara
bolus sebesar 0,1 mg/kg. Dosis selanjutnya ditingkatkan untuk menghasilkan takifilaksis, yang
bisa menyebabkan terjadinya pengurangan simpanan norepinefrin. Efedrin tersedia dalam 1ml
ampul yang terdiri dari 25 sampai 50 mg obat. 1,2
Epinefrin
Epinefrin mengaktivasi semua adrenergik reseptor. Efek terapeutik epinefrin meliuti,
positif inotropi, kronotropi, dan meningkatkan konduksi jantung (β1), relaksasi otot polos pada
epmbuluh darah dan bronkus (β2), vasokontriksi (α1). Efek metabolik dan endokrin dari epinefrin
termasuk peningkatan kadar gula, laktat, dan asam lemak. 1,2
Epinefrin diberikan secara IV. Dosis bolus umumnya untuk mendukung tekanan adalh 2–
8 µg, 0,02-1 mg/kg diberikan pada kasus kardiovaskular collapse, asistol, ventrikular fibrilasi,
elektromekanikal disosiasi, atau syok anafilaktik. Dosis lebih besar direkomendasikan pada
kasus kritis untuk mempertahankan perfusi serbral dan miokardium melalui vasokonstriksi
perifer. 1,2
Norepinefrin
Stimulasi dari α1 langsung tanpa aktivitas β2 mencetuskan vasokonstriksi yang intensif
dari pembuluh darah arteri dan vena. Peningkatan kontraktilitas myocardial dari efek β1 dapat
menyebabkan peningkatan tekanan darah arteri, tapi peningkatan afterload dan refleks
bradicardia mencegah kenaikan dari cardiac output. Penurunan aliran darah ginjal dan
peningkatan kebutuhan oksigen myocardial membatasi penggunaan dari norepinefrin pada
pengobatan shock yang berulang, dimana kebutuhan vasokonstriksi dilakukan untuk memelihara
tekanan perfusi jaringan. Norepinefrin telah digunakan bersamaan dengan α bloker (contoh,
fentolamin) untuk mendapatkan keuntungan dari aktivitas β tanpa penggunaan vasokonstriksi
yang disebabkan oleh stimulasi α tersebut. Ekstravasasi dari norepinefrin dalam pemberian intra
vena dapat menyebabkan nekrosis jaringan.2
Norepinefrin diberikan secara bolus (0,1 µg/kg) atau infus kontinue (4 mg obat dalam
500 ml D5W [8 µg/ml]) dengan kecepatan 2 – 20 µg/mnt. Sediaan ampul mengandung 4 mg
norepinefrin dalam 4 ml larutan. 2
Dopamin
Efek klinis dari DA, agonis direk dan indirek yang non selektif, bervariasi tergantung dari
dosisnya. Dosis kecil (≤ 2 µg/kg/mnt) memiliki efek adrenergik yang minimal tapi mengaktivasi
reseptor-reseptor dopaminergik. Stimulasi dari reseptor-reseptor dopaminergik ini (terutama
reseptor-reseptor DA1) mengakibatkan vasodilatasi dari pembuluh darah ginjal dan
menghasilkan diuresis. Pada dosis sedang (2 – 10 µg/kg/mnt) stimulasi β1 meningkatkan
kontraktilitas myocardial, denyut jantung dan curah jantung. Kebutuhan oksigen myocardial
meningkat melebihi pemasukan oksigen. Efek α1 menjadi lebih jelas pada dosis tinggi (10-20
µg/kg/mnt), yang menyebabkan peningkatan resistensi pembuluh darah perifer dan turunnya
aliran darah ginjal. Efek tidak langsung dari DA adalah terjadinya pelepasan dari Norepinefrin,
yang bertambah pada dosis diatas 20 µg/kg/mnt. 2
DA umumnya digunakan pada terapi shock untuk memperbaiki curah jantung,
mempertahankan tekanan darah dan memelihara fungsi ginjal. DA biasanya dikombinasikan
dengan vasodilator (contoh, nitrogliserin atau nitropruside), yang mengurangi afterload dan
lebih jauh lagi untuk memperbaiki curah jantung. Efek kronotropik dan disritmogenik dari DA
membatasi penggunaannya pada beberapa pasien. 2
DA tersedia dalam bentuk infus kontinue (400 mg dalam 1000 ml D5W; 400 µg/ml)
dengan kecepatan 1 – 20 µg/kg/mnt. DA banyak tersedia dalam ampul 5 ml yang berisi 200 –
400 mg dari DA. 2
Isoproterenol (receptor-β agonis nonselektif)
Isoproterenol banyak dicari karena ia merupakan β agonis yang murni. Efek β1
meningkatkan denyut jantung, kontraktilitas dan curah jantung. Stimulasi β2 mengurangi
resistensi pembuluh darah perifer dan tekanan darah sistolik. Kebutuhan oksigen myocardial
meningkat ketika pasokan oksigen berkurang, membuat isoproterenol atau agonis β murni lain
menjadi pilihan yang buruk pada beberapa situasi.1,2
Dobutamin (receptor-β agonis nonselektif)
Dobutamin merupakan agonis β1 yang relatif selektif. Efek primer kardiovaskulernya
adalah peningkatan curah jantung sebagai akibat dari peningkatan kontraktilitas myocardial.
Penurunan tajam dari resistensi pembuluh darah perifer disebabkan oleh aktivasi β2 yang
biasanya mencegah naiknya tekanan darah arteri. Tekanan pengisian ventrikel kiri menurun,
ketika aliran darah koroner meningkat. Denyut jantung meningkat bila dibandingkan dengan
agonis β lain. Efek menguntungkan dari keseimbangan oksigen myocardial ini membuat
dobutamin menjadi pilihan tepat untuk pasien-pasien dengan kombinasi gagal jantung kongestif
dan penyakit arteri koroner, terutama jika resistensi pembuluh darah perifer dan curah jantung
telah meningkat. 1,2
Dobutamin tersedia dalam bentuk infus (1 gr dalam 250 ml [4 mg/ml]) dengan kecepatan
2 – 20 µg/kg/mnt. Sediaan terdiri dari 20 ml vial berisi 250 mg. 2
Dopexamin
Dopexamin secara struktural merupakan analog dari DA yang memiliki keuntungan
potensial dibandingkan dopamin karena efek adrenergik β dan adrenergik α nya kurang. Karena
kurangnya efek adrenergik β dan efek spesifik dari perfusi ginjal, hal ini lebih menguntungkan
dibandingkan dobutamin. 2
Dopexamin tersedia dalam konsentrasi 50 mg/ml dan harus diencerkan dalam D5W.
Infus harus dimulai dengan kecepatan 0,5 µg/kg/mnt, meningkat menjadi 1 µg/kg/mnt pada
interval 10 – 15 mnt hingga kecepatan maksimum menjadi 6 µg/kg/mnt. 2
Fenoldopam
Fenoldopam merupakan agonis reseptor DA1 yang selektif yang memiliki banyak
kelebihan DA tapi dengan sedikit atau tidak ada aktivitas dari α atau β adrenoseptor atau agonis
reseptor DA2. Fenoldopam menunjukkan efek hipotensi yang diperlihatkan dengan penurunan
resistensi pembuluh darah vaskuler, bersamaan dengan peningkatan aliran darah ginjal, diuresis
dan natriuresis. Obat ini diindikasikan pada pasien-pasien dengan operasi jantung dan perbaikan
aneurisma aorta, karena sifat antihipertensi dan proteksi ginjalnya. Obat ini juga diindikasikan
untuk pasien-pasien dengan hipertensi berat, khususnya dengan gangguan ginjal. 2
Fenoldopam tersedia dalam ampul 1ml, 2ml dan 5ml, 10 mg/ml. Dimulai dengan infus
kontinue 0,1 µg/kg/mnt, meningkat secara bertahap menjadi 0,1 µg/kg/mnt pada interval 15-20
menit sampai target tekanan darah tercapai. Dosis rendah diasosiasikan dengan berkurangnya
refleks takikardi. 2
ANTAGONIS ADRENERGIK
Antagonis adrenergik mengikat tapi tidak mengaktifkan adrenoseptor. Mereka bekerja
dengan mencegah aktivitas agonis adrenergik. Seperti agonis, antagonis berbeda pada spektrum
dari interaksi reseptornya. 2
α Bloker - Fentolamin
Fentolamin memproduksi blokade kompetitif dari reseptor-reseptor α yang bersifat
reversible. Antagonis α1 dan relaksasi langsung otot polos bertanggung jawab terhadap
vasodilatasi perifer dan penurunan tekanan darah arteri. Turunnya tekanan darah memprovokasi
terjadinya refleks takikardia. Takikardia ini diperkuat oleh antagonis reseptor α2 di jantung
karena blokade α2 memacu pelepasan norepinefrin dengan mengeliminasi umpan balik yang
negatif. Efek kardiovaskuler ini biasanya timbul dalam waktu 2 – 15 menit. Pada antagonis
adrenergik, timbulnya respon terhadap blokade reseptor itu tergantung pada derajat munculnya
tonus simpatis. Refleks takikardi dan hipotensi postural membatasi penggunaan fentolamin untuk
pengobatan hipertensi yang disebabkan oleh stimulasi α yang berlebihan (contoh,
feokromositoma, penarikan klonidin). 2
Fentolamin diberikan intra vena secara bolus intermiten (1-5 mg untuk dewasa) atau infus
kontinue (10 mg dalam 100 ml D5W [100 µg/ml]). Untuk mencegah nekrosis jaringan yang
mengikuti ekstravasase dari cairan intra vena yang berisi agonis α, seperti norepinefrin, 5-10 mg
fentolamin dalam 10 ml NaCl dapat diberikan. Fentolamin dikemas dalam bubuk lyophilized (5
mg).
Antagonis Campuran - Labetalol
Labetalol memblok reseptor-reseptor α1, β1 dan β2. Rasio dari blokade α dan blokade β
telah diukur sebesar 1 : 7 setelah pemberian intra vena. Blokade campuran ini mengurangi
resistensi pembuluh darah perifer dan tekanan darah arteri. Denyut jantung dan curah jantung
biasanya menurun tajam atau tidak berubah. Kemudian, labetalol menurunkan tekanan darah
tanpa refleks takikardi, karena kombinasi dari efek α dan β. Efek puncak biasanya muncul dalam
5 menit setelah dosis intra vena. Gagal ventrikel kiri, hipertensi paradoksi dan bronkospasme
telah dilaporkan. 2
Dosis awal labetalol yang direkomendasikan adalah 0,1 – 0,25 mg/kg diberikan secara
intra vena setiap 2 menit. Dua kali jumlah ini dapat diberikan dalam interval 10 menit sampai
respon tekanan darah yang diinginkan tercapai. Labetalol juga dapat diberikan dalam infus
kontinue perlahan (200 mg dalam 250 ml D5W) dengan kecepatan 2 mg/mnt. Walau
bagaimanapun, meski obat ini memiliki waktu paruh eliminasi yang panjang (> 5 jam),
perpanjangan infus tidak dianjurkan. Labetalol (5 mg/ml) tersedia dalam bentuk 20 ml dan 40 ml
dengan kemasan yang multidosis, 4 ml dan 8 ml single dosis dalam prefilled syringes. 2
β Bloker
Reseptor β bloker memiliki derajat selektivitas yang bervariasi untuk reseptor β1. Banyak
obat yang memiliki selektif β1 kurang berpengaruh terhadap bronkopulmoner dan vaskularisasi
reseptor β2. Teorinya, selektif β1 bloker kurang memiliki efek inhibitor terhadap reseptor β2,
sehingga lebih cocok digunakan pada pasien-pasien dengan PPOK atau penyakit pembuluh darah
perifer. Pasien dengan penyakit pembuluh darah perifer secara potensial dapat menurunkan
aliran darah jika reseptor β2 diblok, yang mengakibatkan dilatasi arteriol-arteriol. 2
β bloker juga diklasifikasikan berdasarkan jumlah dari ISA (Intrinsic Sympathomimetic
Activity / Aktivitas Intrinsik dari Simpatomimetik) yang mereka miliki. Banyak dari β bloker
yang memiliki aktivitas agonis, meskipun mereka tidak menghasilkan efek yang serupa dengan
agonis, seperti epinefrin, β bloker dengan ISA tidak sebaik β bloker tanpa ISA dalam mengobati
pasien-pasien dengan penyakit kardiovaskuler. 2
β bloker lebih jauh lagi dapat diklasifikasi oleh obat-obat yang dieliminasi oleh
metabolisme hati (seperti atenolol atau metoprolol), oleh obat yang disekresi di ginjal (seperti
atenolol) atau oleh obat yang dihidrolisa di darah (seperti esmolol). 2
Esmolol
Esmolol merupakan antagonis β1 selektif bersifat ultra short acting yang mengurangi
denyut jantung dan terutama tekanan darah. Obat ini telah berhasil digunakan untuk mencegah
takikardi dan hipertensi dalam responnya terhadap stimulus perioperatif, seperti intubasi,
rangsangan karena operasi dan keadaan darurat. Seperti contoh, esmolol (1mg/kg) menyebabkan
peningkatan tekanan darah dan denyut jantung yang biasanya menyertai terapi elektrokonvulsif,
tanpa durasi kejang. Esmolol seefektif propanolol dalam mengontrol kecepatan ventrikel pada
pasien-pasien dengan atrial fibrilasi atau flutter. Meskipun esmolol dipertimbangkan sebagai
kardioselektif, pada dosis tinggi dapat menghambat reseptor β2 di bronkial dan vaskularisasi otot
polos. Obat ini memiliki durasi kerja yang pendek pada keadaan redistribusi cepat (waktu paruh
eliminasi 9 menit). Efek samping dapat dihilangkan dalam beberapa menit dengan menghentikan
infus. Seperti seluruh antagonis β1, esmolol tidak boleh diberikan pada pasien-pasien dengan
sinus bradikardi, blokade jantung lebih besar dari derajat I, shock kardiogenik atau gagal jantung. 2
Esmolol diberikan secara bolus (0,2 – 0,5 mg/kg) untuk terapi jangka pendek, seperti
lemahnya respon kardiovaskuler terhadap laringoskopi dan intubasi. Pengobatan jangka panjang
umumnya diawali dengan dosis loading sebesar 0,5 mg/kg diberikan lebih dari 1 menit, diikuti
dengan infus kontinue sebesar 50 µg/kg/mnt untuk memelihara efek terapeutik. Jika terapi ini
gagal dalam menghasilkan respon yang diinginkan dalam waktu 5 menit, dosis loading dapat
diulang dan infus ditambah secara bertahap sebesar 50 µg/kg/mnt setiap 5 menit hingga
maksimal 200 µg/kg/mnt. 2
Esmolol tersedia dalam vial multidosis untuk pemberian bolus berisi 10 ml obat (10
mg/ml). Ampul untuk infus kontinue (2,5 g dalam 10 ml) juga tersedia tetapi harus diencerkan
terlebih dahulu hingga konsentrasinya menjadi 10 mg/ml. 2
Propanolol
Propanolol merupakan blokade non selektif dari reseptor-reseptor β1 dan β2. Tekanan
darah arteri menjadi rendah oleh beberapa mekanisme, termasuk penurunan kontraktilitas
myocard, penurunan denyut jantung dan menghilangnya pelepasan renin. Curah jantung dan
kebutuhan oksigen myocardial menjadi berkurang. Propanolol terutama digunakan selama
iskemia myocardial yang berhubungan dengan peningkatan tekanan darah dan denyut jantung.
Impedansi dari ejeksi ventrikel sangat berguna bagi pasien-pasien dengan kardiomyopati
obstruksi dan aneurisma aorta. Propanolol memperlambat konduksi atrioventrikuler dan
menstabilisasikan membran myocardial, meskipun efek berikutnya tidak signifikan pada dosis
klinis. Propanolol sangat efektif dalam memperlambat respon ventrikel menjadi takikardi
supraventrikel dan sewaktu-waktu bisa mengontrol takikardi ventrikel rekuren atau fibrilasi yang
disebabkan oleh iskemik myocardial. Propanolol memblok efek β adrenergik dari tirotoksikosis
dan feokromositoma. 2
Efek samping mencakup bronkospasme (antagonis β2), gagal jantung kongestif,
bradikardi dan AV blok (antagonis β10. Propanolol dapat memperburuk depresi myocardial
karena anestesi volatile (contoh, enflurane) atau karakteristik inotropik negatif dari stimulasi
jantung indirek (contoh, isoflurane). Pemberian konkomitan propanolol dan verapamil (bloker
kalsium channel) secara sinergis dapat mendepresi denyut jantung, kontraktilitas dan konduksi
AV node. Diskontinuitas dari terapi propanolol untuk 24 – 48 jam dapat mencetuskan terjadinya
sindrom withdrawal yang ditunjukkan dengan hipertensi, takikardi dan angina pectoris. Efek ini
timbul disebabkan karena peningkatan jumlah reseptor β adrenergik (up-regulation). Propanolol
berikatan kuat dengan protein melalui metabolisme hepar. Waktu paruh eliminasinya lebih lama
bila dibandingkan dengan esmolol. 2
Dosis individu dari propanolol tergantung dari tonus simpatis. Umumnya, propanolol
dititrasi hingga mencapai efek yang diinginkan, dimulai dengan 0,5 mg dan bertambah secara
bertahap 0,5 mg setiap 3-5 menit. Dosis total mencapai 0,15 mg/kg. Propanolol tersedia dalam
ampul 1 ml berisi 1 mg obat. 2
DAFTAR PUSTAKA
1. Miller R. D, et al. Miller’s Anesthesia Eighth edition. Elsevier Saunders. 2015.
2. Butterworth J. F, Mackey D. C, Wasnick J. D.Morgan & Mikhail’s Clinical Anesthesiology.
McGrawHill Education. 2013.
3. Sherwood L. Human Physiology : From Cells to Systems. Seventh edition. Brooks/Cole.
2010.