Upload
am555999
View
244
Download
10
Embed Size (px)
DESCRIPTION
all
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
Leukemia adalah kanker anak yang paling sering, mencapai kurang lebih 41% dari
keganasan yang terjadi pada anak umur kurang dari 15 tahun. Leukemia limfoblastik akut
(LLA) berjumlah kira-kira 77% dari semua kasus, dengan insidensi tertinggi pada umur 4
tahun. Leukemia mieloid akut (LMA) berjumlah kira-kira 11% dari leukemia, dengan
insidensi yang tetap dari lahir sampai umur 10 tahun, meningkat sedikit pada masa remaja.
Leukemia sisanya adalah bentuk kronis; leukemia limfositik kronis (LLK) jarang ditemukan
pada anak, berjumlah kira-kira 2-3%. Insidensi tahunan keseluruhan dari leukemia adalah
42,1 tiap juta anak kulit putih dan 24,3 tiap juta anak kulit hitam. Perbedaan itu terutama
disebabkan oleh rendahnya kejadian LLA pada kulit hitam. Gambaran klinis umum dari
leukemia adalah serupa karena semuanya melibatkan kerusakan hebat fungsi sumsum tulang.
Akan tetapi gambaran klinis dan laboratorium spesifik berbeda dan ada perbedaan dalam
respons terhadap terapi dan perbedaan dalam prognosis.1,2
Leukemia dapat didefinisikan sebagai kelompok penyakit keganasan dimana terdapat
abnormalitas genetik pada sel hematopoietik yang menimbulkan proliferasi sel klonal yang
tidak teratur. Keturunan sel-sel ini memiliki kelebihan dalam pertumbuhan melebihi elemen
seluler normal, disebabkan oleh peningkatan proliferasi dan penurunan tingkat apoptosis
spontan. Akibatnya adalah gangguan fungsi sumsum tulang, hingga akhirnya menyebabkan
kerusakan pada sumsum tulang.1,3,4
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hematopoiesis
Darah memiliki peran untuk menjaga tubuh tetap dalam keadaan homeostasis. Selain
meregulasi pH, temperatur, serta mengatur transport zat-zat dari dan ke jaringan, darah juga
melakukan perlindungan dengan cara melawan penyakit. Fungsi-fungsi ini dikerjakan secara
terbagi-bagi oleh komponen-komponen darah, yaitu plasma dan sel-sel darah. Plasma darah
adalah cairan yang berada di kompartemen ekstraselular di dalam pembuluh darah yang
berperan sebagai pelarut terhadap sel-sel darah dan substansi lainnya. Sedangkan sel darah
merupakan unit yang mempunyai tugas tertentu. Sel-sel darah terdiri dari eritrosit, leukosit,
dan trombosit yang dibentuk melalui mekanisme hematopoiesis.5,6
Gambar 1. Hematopoiesis
2
Sel darah pertama kali muncul pada minggu ketiga perkembangan mudigah di yolk sac,
tetapi sel-sel ini terbentuk dari suatu populasi sel tunas primitif yang terbatas menghasilkan
sel mieloid. Kemudian hingga fetus berusia 6-7 bulan, hati dan limpa merupakan organ
hemopoietik utama dan akan terus memproduksi sel-sel darah hingga sekitar dua minggu
setelah kelahiran. Saat lahir, sumsum di seluruh tulang secara hematopoietis menjadi aktif
dan hampir merupakan satu-satunya smber sel darah. Pada bayi aterm, hematopoiesis di hati
berkurang hingga minimal, menetap hanya di fokus-fokus kecil yang tersebar dan segera
inaktif segera setelah lahir. Hingga masa pubertas, sumsum di seluruh tulang tetap merah dan
aktif secaa hematopoiesis. Pada usia 18 tahun, hanya vertebra, iga, sternum, tengkorak,
panggul, dan region epifisis proksimal humerus dan femur yang mempertahankan sumsum
merah, sementara susum lainnya menjadi kuning, berlemak, dan inaktif. Oleh karena itu,
pada orang dewasa hanye sekitar separuh rongga sumsum tulang aktif dalam hematopoiesis.
Sumsum tulang merupakan suatu jaringan ikat dengan vaskularisasi yang tinggi
bertempat di ruang antara trabekula jaringan tulang spons. Terdapat dua jenis sumsum tulang
pada manusia, yaitu sumsum tulang merah dan sumsum tulang kuning. Pada neonatus,
seluruh sumsum tulangnya berwarna merah yang bermakna sumsum tulang bersifat
hematopoietik, sedangkan ketika dewasa, sebagian besar dari sumsum tulang merahnya akan
inaktif dan berubah menjadi sumsum tulang kuning (fatty marrow). Hal ini terjadi akibat
adanya pertukaran sumsum menjadi lemak-lemak secara progresif terutama di tulang-tulang
panjang.
Hemositoblas atau pluripotent stem cells merupakan bagian dari sumsum tulang yang
berasal dari jaringan mesenkim. Jumlah sel ini sangat sedikit, diperkirakan hanya sekitar 1
sel dari setiap 20 juta sel di sumsum tulang. Sel-sel ini memiliki kemampuan untuk
berkembang menjadi beberapa lineage yang berbeda melalui proses duplikasi, kemudian
berproliferasi serta berdiferensiasi hingga akhirnya menjadi sel-sel darah, makrofag, sel-sel
retikuler, sel mast dan sel adipose. Selanjutnya sel darah yang sudah terbentuk ini akan
memasuki sirkulasi general melalui kapiler sinusoid.
Sebelum sel-sel darah secara spesifik terbentuk, sel pluripoten yang berada di sumsum
tulang tersebut membentuk dua jenis stem cell, yaitu myeloid stem cell dan lymphoid stem
3
cell. Setiap satu stem cell diperkirakan mampu memproduksi sekitar 106 sel darah matur
setelah melalui 20 kali pembelahan sel. Myeloid stem cell memulai perkembangannya di
sumsum tulang dan kemudian membentuk eritrosit, platelet, monosit, neutrofil, eosinofil, dan
basofil. Begitu juga dengan lymphoid stem cell. Sel-sel ini memulai perkembangannya di
sumsum tulang namun proses ini dilanjutkan dan selesai di jaringan limfatik. Limfosit adalah
turunan dari sel-sel tersebut.
Selama proses hemopoesis, sebagian sel mieloid berdiferensiasi menjadi sel progenitor.
Sel progenitor tidak dapat berkembang membentuk sel namun membentuk elemen yang lebih
spesifik yaitu colony-forming unit (CFU). Terdapat beberap jenis CFU yang diberi nama
sesuai sel yang akan dibentuknya, yaitu CFU-E membentuk eritrosit, CFU-Meg membentuk
megakariosit, sumber platelet, dan CFU-GM membentuk granulosit dan monosit.
Berikutnya, lymphoid stem cell, sel progenitor dan sebagian sel mieloid yang belum
berdiferensiasi akan menjadi sel-sel prekursor yang dikenal sebagai blast. Sel-sel ini akan
berkembang menjadi sel darah yang sebenarnya. Pada tahap ini sel-sel prekursor sudah dapat
dibedakan berdasarkan tampilan mikroskopiknya, sedangkan sel-sel di tahap sebelumnya
yaitu stem cell dan sel progenitor hanya bisa dibedakan melalui marker yang terdapat di
membran plasmanya.
Beberapa hormon yang disebut hemopoietic growth factors bertugas dalam meregulasi
proses diferensiasi dan proliferasi dari sel-sel progenitor tertentu. Berikut adalah beberapa
contohnya :
1. Erythropoietin atau EPO meningkatkan jumlah prekursor sel darah merah atau eritrosit.
EPO diproduksi oleh sel-sel khusus yang terdapat di ginjal yaitu peritubular interstitial
cells.
2. Thrombopoietin atau TPO merupakan hormon yang diproduksi oleh hati yang
menstimulasi pembentukan platelet atau trombosit.
3. Sitokin adalah glikoprotein yang dibentuk oleh sel, seperti sel sumsum tulang, sel darah,
dan lainnya. Biasanya sitokin bekerja sebagai hormon lokal, namun disini sitokin bekerja
4
dalam menstimulasi proliferasi sel-sel progenitor di sumsum tulang. Dua kelompok
sitokin yang berperan adalah colony-stimulating factors dan interleukin.
Selain contoh diatas, masih banyak growth factor lainnya yang mempengaruhi proses
hemopoesis yang berbeda-beda fungsi dan lokasi kerjanya.6
Gambar 2. Sumsum Tulang
2.2 Sumsum Tulang, Darah, dan Jaringan Limfoid7,8
1. Sumsum Tulang
Sumsum tulang adalah bagian lembut dan dalam dari beberapa tulang, seperti tengkorak,
tulang belikat, tulang rusuk, tulang panggul, dan tulang di tulang belakang. Sumsum tulang
terdiri dari sejumlah kecil sel induk darah, sel-sel pembentuk darah lebih matang, sel-sel
lemak, dan jaringan pendukung yang membantu sel-sel tumbuh.
5
Sel induk darah melalui serangkaian perubahan untuk membuat sel-sel darah baru.
Selama proses ini, sel-sel berkembang menjadi 1 dari 3 jenis utama dari komponen sel darah:
Sel darah merah
Trombosit
Sel darah putih (yang termasuk limfosit, granulosit, dan monosit)
2. Sel Darah Merah
Sel darah merah membawa oksigen dari paru-paru ke seluruh jaringan lain dalam tubuh,
dan mengambil karbon dioksida kembali ke paru-paru.
3. Trombosit
Trombosit sebenarnya fragmen sel yang dibuat oleh sejenis sel sumsum tulang yang
disebut megakaryocyte. Trombosit penting dalam proses agregasi trombosit di pembuluh
darah yang disebabkan oleh luka atau memar.
4. Sel darah putih
Leukosit atau sel darah putih adalah unit-unit yang dapat bergerak dalam sistem
pertahanan tubuh. Imunitas mengacu pada kemampuan tubuh menahan atau mengeliminasi
sel abnormal atau benda asing yang berpotensi merusak. Leukosit dan turunannya menahan
invasi oleh patogen melalui proses fagositosis, mengidentifikasi dan menghancurkan sel-sel
kanker yang muncul di dalam tubuh dan berfungi sebagai “petugas pembersih” yang
membersihkan “sampah” tubuh dengan memfagosit debris yang berasal dari sel yang mati
atau cedera.
Tidak seperti eritrosit, yang strukturnya uniform, berfungsi identik, dan jumlahnya
konstan, leukosit bervariasi dalam struktur, fungsi, dan jumlah. Terdapat lima jenis leukosit
yang bersirkulasi yakni neutrofil, eosinofil, basofil, monosit, dan limfosit, yang masing-
masing dengan struktur dan fungsi yang khas. Kelima jenis leukosit tersebut dibagi ke dalam
dua kategori utama, bergantung pada gambaran nucleus dan ada tidaknya granula di
sitoplasma sewaktu dilihat di bawah mikroskop. Neutrofil, eosinofil, dan basofil 6
dikategorikan sebagai granulosit (“sel yang mengandung granula”) polimorfonukleus
(“banyak bentuk nukleus”). Nucleus sel-sel ini tersegmentasi menjadi beberapa lobus dengan
beragam bentuk, dan sitoplasma mereka mengandung banyak granula terbungkus membran.
Terdapat tiga jenis granulosit berdasarkan afinitas mereka terhadap zat warna: eosinofil
memiliki afinitas terhadap zat warna merah eosin, basofil cenderung menyerap zat warna
biru basa, dan neutrofil bersifat netral, tidak memperlihatkan kecenderungan zar warna.
Monosit dan limfosit dikenal sebagai agranulosit (“sel tanpa granula”) mononukleus (“satu
nukleus”). Keduanya memiliki sebuah nucleus besar tidak bersegmen dan sedikit granula.
Monosit lebih besar daripada limfosit dan memiliki nucleus berbentuk oval atau seperti
ginjal. Limfosit, leukosit terkecil, ditandai oleh nucleus bulat besar yang menempati sebagian
besar sel.
5. Limfosit
Limfosit adalah sel-sel utama yang membentuk jaringan limfoid, bagian utama dari
sistem kekebalan tubuh. Jaringan limfoid ditemukan dalam kelenjar getah bening, timus,
limpa, tonsil dan adenoid, dan tersebar di seluruh pencernaan dan sistem pernapasan dan
sumsum tulang.
Limfosit berkembang dari sel yang disebut limfoblas untuk menjadi dewasa, Infeksi sel
berjuang. 2 jenis utama limfosit adalah limfosit B (sel B) dan limfosit T (sel T).
Limfosit B
Limfosit B melindungi tubuh dari kuman menyerang dengan membuat protein yang
disebut antibodi. Antibodi melekat pada kuman (bakteri, virus, dan jamur), yang
membantu sistem kekebalan tubuh menghancurkan mereka.
Limfosit T
Ada beberapa jenis sel T, masing-masing dengan tugas khusus. Beberapa sel T dapat
menghancurkan kuman langsung, sementara yang lain memainkan peran dalam
meningkatkan baik atau memperlambat aktivitas sel-sel sistem kekebalan tubuh lainnya.
7
Leukemia limfositik akut berkembang dari bentuk-bentuk awal limfosit. Hal ini dapat
dimulai pada awal baik sel B atau sel T pada berbagai tahap kematangan.
6. Granulosit
Granulosit adalah sel-sel darah putih yang memiliki butiran di dalamnya, yang
merupakan tempat yang bisa dilihat di bawah mikroskop. Butiran ini mengandung enzim dan
zat-zat lain yang dapat menghancurkan kuman, seperti bakteri. 3 jenis granulosit - neutrofil,
basofil, dan eosinofil - dibedakan oleh ukuran dan warna butiran mereka.
7. Monosit
Sel-sel darah putih ini, yang berkaitan dengan granulosit, juga membantu melindungi
tubuh melawan bakteri. Setelah beredar dalam aliran darah selama sekitar satu hari, monosit
memasuki jaringan tubuh menjadi makrofag, yang dapat menghancurkan beberapa kuman
dengan sekitarnya dan mencerna mereka.
2.3 Perkembangan Leukemia
Setiap jenis sel pembentuk darah awal dari sumsum tulang dapat berubah menjadi sel
leukemia. Setelah perubahan ini terjadi, sel-sel leukemia tidak matang dengan normal. Sel-sel
leukemia dapat berkembang biak dengan cepat, dan mungkin tidak mati seperti seharusnya.
Sebaliknya mereka bertahan hidup dan membangun di sumsum tulang. Seiring waktu, sel-sel
ini masuk ke dalam aliran darah dan menyebar ke organ lain.
Walaupun kadar leukosit dalam sirkulasi dapat berubah-ubah, perubahan kadar ini
biasanya dikontrol dan disesuaikan dengan kebutuhan tubuh. Meskipun demikian, dapat
terjadi kelainan produksi leukosit yang tidak berada di bawah mekanisme pengatur yaitu
leukosit yang diproduksi terlalu sedikit atau terlalu banyak. Salah satu konsekuensi utama
dari leukemia, suatu kanker yang disebabkan oleh proliferasi tidak terkontrol sel darah putih,
adalah ketidakmampuan sistem imun mempertahankan tubuh dari invasi benda asing. Pada
leukemia, hitung sel darah putih dapat mencapai setinggi 500.000/mm3, dibandingkan dengan
hitung normal sebesar 7.000/mm3, tetapi karena sebagian besar adalah abnormal atau imatur,
sel-sel tersebut tidak mampu melakukan fungsi pertahanan mereka. Konsekuensi leukemia
8
lain yang sangat merugikan adalah terdesaknya jenis sel darah lain di sumsum tulang. Hal ini
menimbulkan anemia karena eritropoiesis berkurang dan perdarahan internal karena
defisiensi trombosit. Trombosit berperan penting dalam mencegah perdarahan dari
kerusakan-kerusakan kecil yang lazim terjadi di dinding pembuluh darah kecil. Akibatnya,
infeksi atau perdarahan hebat adalah penyebab tersering kematian pada pasien leukemia.6,7
2.4 Leukimia Limfoblastik Akut
2.4.1 Definisi
Leukemia limfoblastik akut (LLA) merupakan suatu keganasan klonal dari sel-sel
prekusor limfoid, akibat kerusakan gen DNA yang terdapat pada tulang belakang. LLA
adalah kanker yang pertama kali terbukti dapat disembuhkan dengan kemoterapi dan
radiasi. LLA terjadi sedikit lebih sering pada anak laki-laki dibandingkan anak
perempuan. Leukemia limfoid terjadi lebih sering pada penderita dengan
immunodefisiensi (hipogammaglobulinemia) kongenital, ataksia-telangiektasia, atau
dengan defek kromosom konstitusional (trisomi 21).1
LLA paling banyak ditemukan pada anak umur 2-6 tahun. Penyebab belum
diketahui mungkin terdapat pengaruh faktor genetik karena LLA lebih sering pada anak
dengan kelainan kromosom seperti sindrom Down, sndrom Fanconi, sindrom Bloom,
ataksia-telangektasia, dan juga pada anak kembar. Faktor yang lain adalah lingkungan,
yaitu kejadia LLA pada janin dan anak terpapar radiasi lebih banyak dari kontrol, serta
kasus LLA terkait dengan adanya virus Epstein-Barr.1,3,9
2.4.2 Epidemiologi
Insidensi LLA adalah 1/60.000 orang per tahun, dengan 75% pasien berusia
kurang dari 15 tahun. Insidensi puncaknya usia 3-5 tahun. LLA lebih banyak ditemukan
pada pria daripada perempuan. Saudara kandung dari pasien LLA mempunyai risiko
empat kali lebih besar untuk berkembang menjadi LLA, sedangkan kembar monozigot
dari pasien LLA mempunyai risiko 20% untuk berkembang menjadi LLA.
9
Sekitar 2.000 anak usia <15 tahun didiagnosa menderita leukemia limfoblastik
akut setiap tahunnya di USA. Puncak insidens kejadian tertinggi pada usia 2-6 tahun,
dimana lebih sering terjadi pada anak laki-laki dibandingkan perempuan. Penyakit ini
biasanya terjadi pada anak dengan keabnormalan kromosom, seperti sindrom Down,
sindrom Bloom, ataksia-telangiektasia, dan sindrom Fanconi. Pada anak kembar identik,
resiko terjadinya leukemia lebih tinggi pada kembaran kedua dibanding dengan populasi
umum apabila salah satunya menderita leukemia. Resikonya mencapai >70% bila
kembaran pertama didiagnosa leukemia saat tahun pertama kehidupan dikarenakan
kembaran tersebut saling berbagi dengan plasenta yang sama (monochorionic). Bila
kembaran pertama menderita LLA pada usia 5-7 tahun, resiko pada kembaran kedua
paling sedikit dua kali dibanding dengan populasi umum, tidak terpengaruh dari zigot.1,9
2.4.3 Patofisiologi
Pembelahan sel (mitosis) normalnya disesuaikan secara tepat sesuai kebutuhan sel
melalui pelepasan faktor pertumbuhan setempat. Mekanisme yang mendorong proliferasi
dilawan oleh faktor penghambat pertumbuhan yang normalnya menghentikan
pembelahan sel yang berlebihan. Onkogen dapat berasal dari mutasi gen yang berperan
dalam proliferasi. Produk dari onkogen adalah onkoprotein, yang tetap aktif bahkan tanpa
perangsangan fisiologis sehingga dapat memicu mitosis tanpa bergantung pada faktor
pertumbuhan yang fisiologis. Namun, mutasi juga dapat membentuk protein yang
menghambat proliferasi yang cacat.
Mutasi dapat dipicu oleh karsinogen kimiawi atau radiasi dengan mengganggu
perbaikan DNA yang membantu terjadinya mutasi. Sel terutama sensitif terhadap mutasi
pada saat mitosis, artinya jaringan yang berproliferasi lebih sering mengalami mutasi
daripada jaringan yang telah berdiferensiasi. Hal ini terutama terjadi pada proses
inflamasi dan lesi jaringan karea keadaan ini merangsang pembelahan sel. Mutasi yang
mendorong pembentukan tumor juga dapat diturunkan. Faktor terakhir, virus dapat
membawa onkogen ke dalam sel host sehingga mendorong degenerasi maligna pada
protein spesifik host melalui inaktivasi atau aktivasi. Promotor tumor juga dapat
10
meningkatkan replikasi sel yang bermutasi dan menimbulkan perkembangan tumor tanpa
menyebabkan mutasi secara langsung.
Adanya faktor prediposisi dan faktor presipitasi serta etiologi yang tidak diketahui
dapat menyebabkan terjadi mutasi pada DNA, yang akan mengaktifkan sel onkogen atau
deaktivasi gen tumor supresor, sehingga menyebabkan terjadinya transformasi keganasan
di stem sel limfoid, yang akibatnya terjadi proliferasi yang tidak terkontrol sel limfoblas
di sumsum tulang. Akumulasi sel blas terjadi akibat ekspansi klonal dan kegagalan
pematangan progeni menjadi sel matur fungsional. Akibat penumpukan sel blas di
sumsum tulang, sel bakal hemopoiesis mengalami tekanan. Hal ini akan menimbulkan
dua dampak klinis yang penting yaitu manifestasi utama leukemia akut terjadi akibat
kurangnya sel darah merah, sel darah putih, dan trombosit normal, serta tujuan
pengobatan adalah mengurangi populasi klona leukemia sedemikian sehingga terjadi
rekonstitusi progeni sel bakal normal yang masih tersedia.
Selanjutnya proliferasi sel leukemia ini juga dapat menginfiltrasi ke dalam organ
sehingga menimbulkan organomegali, serta meningkatkan katabolisme sel sehingga
terjadi keadaan hiperkatabolik.10
2.4.4 Patologi
Hampir pada keseluruhan kasus yang ada, penyebab dari LLA ini adalah tidak
diketahui, walaupun beberapa faktor genetik dan lingkungan berhubungan dengan
terjadinya leukemia pada anak. Beberapa faktor lingkungan yang dapat meningkatkan
resiko terjadinya LLA yaitu:
Paparan radiasi tinggi
Paparan bahan industri seperti benzene
Penyebab kanker masih belum diketahui sampai saat ini. Bahkan ketika seseorang
memiliki satu atau lebih faktor risiko, tidak ada cara untuk mengetahui apakah itu benar-
benar menyebabkan kanker.6,7,11
Selama beberapa tahun terakhir, para ilmuwan telah membuat kemajuan besar
dalam memahami bagaimana perubahan tertentu dalam DNA dapat menyebabkan sel-sel
11
sumsum tulang yang normal menjadi sel-sel leukemia. Sel manusia yang normal tumbuh
dan fungsi terutama berdasarkan informasi yang terdapat dalam kromosom setiap sel.
Kromosom seperti bundel molekul panjang DNA dalam setiap sel. DNA adalah bahan
kimia yang membentuk gen seseorrang sebagai petunjuk untuk bagaimana sel-sel
seseorang berfungsi. Beberapa gen berisi instruksi untuk mengontrol ketika sel-sel
tumbuh dan membelah. Gen tertentu yang membantu sel-sel tumbuh dan membelah
disebut onkogen. Lainnya yang memperlambat pertumbuhan dan pembelahan sel atau
menyebabkan mereka mati pada waktu yang tepat disebut gen supresor tumor.
Setiap kali sel bersiap untuk membagi menjadi 2 sel baru, harus membuat salinan
baru dari DNA dalam kromosomnya. Proses ini tidak sempurna, dan kesalahan dapat
terjadi yang dapat mempengaruhi gen dalam DNA. Kanker dapat disebabkan oleh mutasi
DNA (perubahan) yang mengaktifkan onkogen atau mematikan gen supresor tumor.
Translokasi adalah jenis yang paling umum dari perubahan DNA yang dapat
menyebabkan leukemia. DNA manusia dikemas dalam 23 pasang kromosom. Sebuah
translokasi berarti bahwa DNA dari satu kromosom terdiam dan menjadi melekat pada
kromosom yang berbeda. Titik pada kromosom di mana istirahat terjadi dapat
mempengaruhi gen - misalnya, dapat mengaktifkan onkogen atau mematikan gen yang
biasanya akan membantu sel matang.
Translokasi yang paling umum di semua pada orang dewasa yang dikenal sebagai
kromosom Philadelphia, yang merupakan swap DNA antara kromosom 9 dan 22,
disingkat t (9; 22). Hal ini terjadi pada sekitar 1 dari 4 orang dewasa pada kasus LLA.
Lainnya, translokasi kurang umum adalah kromosom 4 dan 11, t (4; 11), atau 8 dan 14, t
(8; 14).
Perubahan kromosom lain seperti penghapusan (hilangnya bagian kromosom) dan
inversi (penataan ulang DNA di dalam bagian dari kromosom) juga dapat mempengaruhi
perkembangan LLA, meskipun kurang umum. Dalam banyak kasus LLA, perubahan gen
yang menyebabkan leukemia tidak diketahui.
12
Tidak semua kasus LLA memiliki perubahan kromosom yang sama. Beberapa
perubahan yang lebih umum daripada yang lain, dan beberapa tampaknya memiliki lebih
dari efek pada prognosis seseorang dari yang lain.
Beberapa orang dengan jenis kanker tertentu telah mewarisi mutasi DNA dari
orangtua. Perubahan ini meningkatkan risiko untuk penyakit ini. Tapi semua sangat
jarang disebabkan oleh salah satu dari mutasi yang diwariskan.6,7
Leukemia limfoblastik akut (LLA) merupakan hasil dari proliferasi yang tidak
terkendali dari limfosit imatur. Penyebabnya belum diketahui, akan tetapi faktor genetik
sangat berperan. Leukemik blast pada kebanyakan kasus pada anak-anak dengan LLA
memiliki antigen pada permukaan sel yang disebut the common ALL antigen (CALLA).
Sel-sel blast tersebut didapat dari sel progenitor-B pada awal perkembangannya. Pada
sebagain kecil lainnya limfoblas berasal dari sel progenitor-T atau dari sel B yang
matang.2,7
Kasus LLA disubklasifikasikan menurut gambaran morfologi, imunologi, dan
genetik sel induk leukemia. Diagnosis pasti biasanya didasarkan atas pemeriksaan
aspirasi sumsum tulang. Gambaran sitologik sel induk amat bervariasi walaupun dalam
satu cuplikan tunggal, sehingga tidak ada klasifikasi morgfologik yang memuaskan.
Sistem Perancis-Amerika-Inggris (PAI) membedakan tiga subtipe morfologi yaitu L1, L2
dan L3. Pada limfoblas L1 umumnya kecil, dengan sedikit sitoplasma; pada sel L2 lebih
besar dan pleomorfik dengan sitoplasma lebih banyak, bentuk inti irregular, dan nukleoli
nyata; dan sel L3 mempunyai kromatin inti homogen dan berbintik halus, nukleoli jelas,
dan sitoplasma biru tua dengan vakuolisasi nyata. Karena perbedaan yang subjektif antara
L1 dan L2 dan korelasi dengan penanda imunologik dan genetik yang sedikit, hanya
subtipe L3 yang mempunyai arti klinis.1,7
13
Gambar 3. French-American-British (FAB) tipe L112
Gambar 4. French-American-British (FAB) tipe L212
14
Gambar 5. French-American-British (FAB) tipe L312
Klasifikasi LLA bergantung kepada kombinasi gambaran sitologik, imunologik
dan karotip. Dengan antibodi monoklonal yang mengenali antigen permukaan sel yang
terkait dengan galur sel dan antigen sitoplasma, maka imunotipe dapat ditentukan pada
kebanyakan kasus. Umumnya berasal dari sel progenitor-B, lebih kurang 15% berasal
dari sel progenitor-T dan 1% dari sel B yang relatif matang. Imunotipe ini mempunyai
implikasi prognostik maupun terapeutik.
Kelainan kromosom dapat diidentifikasi setidaknya 80-90% LLA anak. Kariotip
dari sel leukemia mempunyai arti penting diagnostik, prognostik, dan terapeutik, Mereka
menunjukkan tepat sisi bagi penelitian molekular untuk mendeteksi gen yang mungkin
terlibat pada transformasi leukemia. LLA anak dapat juga diklasifikasikan atas dasar
jumlah kromosom tiap sel leukemia (ploidy) dan atas penyusunan kembali
(rearrangement) kromosom struktral misalnya translokasi.
Penanda biologik lain yang potensial bermanfaat adalah aktivitas terminal
deoksinukleotidil transferase (TdT), yang umumnya dapat diperlihatkan pada LLA sel
progenitor-B dan sel-T. Karena enzim ini tidak terdapat pada limfoid normal, ia dapat
berguna untuk mengidentifikasi sel leukemia pada situasi diagnostik yang sulit.
Pewarnaan terminal deoksinukleotidil transferase (TdT), suatu DNA polymerase khusus
15
yang hanya diekspresikan oleh limfoblas pra-B dan pra-T, positif pada > 95% kasus.
Untuk membedakan antara LLA yang berasal dari prekusor sel T dan sel B, diperlukan
pewarnaan untuk penanda spesifik turunan sel prekusor tersebut:
Sel LLA B prekusor tertahan di tahap sebelum ekspre Ig di permukaan sel. Blas
leukemik hamper selalu mengekspresikan molekul sel pan B CD 19 dan CD 10. Pada
LLA sel pra-B dini, CD 19 adalah satu-satunya penanda spesifik sel B yang ada. LLA
pra-B dini dibedakan dari LLA pra-B lanjut eh tidak adanya rantai berat igM (rantai
M) di sitoplasma sel-sel pra-B dini.
Sel LLA T prekusor tertahan di tahap awal perkembangan sel T. Pada kebanyakan
kasus, sel-selnya adalah CD1+, CD2+, CD5+, dab CD7+. Tumor sel pra-T dini
biasanya negative untuk CD 3, CD 4, dan CD 8 permukaan, sedangkan tumor sel pra-
T lanjut, positif untuk tanda-tanda tersebut.1,6,7
2.4.5 Manifestasi Klinis
16
Gambar 6. Gejala Umum Leukemia13
Manifestasi klinis yang paling sering dijumpai pada LLA adalah pucat,
disebabkan oleh penurunan dari pada produksi eritrosit. Gangguan produksi pada sel
darah putih, terutama sel fagosit seperti neutrofil dan monosit dapat menyebabkan
demam dan atau infeksi. Penurunan jumlah megakariosit dapat menyebabkan
trombositopenia dan berhubungan dengan perdarahan seperti ptekiae atau purpura pada
kulit.
Kira-kira 66% anak dengan LLA mempunyai gejala dan tanda penyakitnya
kurang dari 4 minggu pada waktu diagnosis. Gejala pertama biasanya non-spesifik dan
meliputi anoreksia, iritabel, dan letargi. Kegagalan sumsum tulang yang progresif
sehingga timbul anemia, perdarahan (trombositopenia), dan demam. Gambaran ini
biasanya mendorong pemeriksaan ke arah diagnosis.
Pada pemeriksaan fisik, dapat ditemukan adanya pucat, lesu, purpura dan petekie
di kulit, atau perdarahan di membran mukosa yang mencerminkan adanya kegagalan
sumsum tulang. Proliferasi alamiah dari penyakit ini dapat bermanifestasi dengan adanya
limfadenopati, splenomegali, atau jarang terjadi hepatomegali. Limfadenopati biasanya
nyata dan splenomegali (biasanya kurang dari 6 cm dibawah arkus kota) dijumpai pada
lebih kurang 66%. Kira-kira 25% ada nyeri tulang yang nyata dan arthralgia yang
disebabkan oleh infiltrasi leukemia pada tulang perikondrial atau sendi atau oleh ekspansi
rongga sumsum tulang akibat leukemia. Pada pasien dengan nyeri pada tulang atau sendi,
dapat teraba tulang yang lunak atau adanya pembengkakan sendi dan efusi. Meskipun
demikian, dengan keterlibatan sumsum tulang, dapat terjadi nyeri tulang yang dalam
tanpa adanya tenderness. Lalu, pada pasien juga dapat menunjukkan gejala peningkatan
tekanan intrakranial yang menandakan adanya keterlibatan sel leukemia di dalam susunan
saraf pusat, namun hal ini jarang terjadi. Gejala yang dapat ditemukan yakni adanya papil
edema, perdarahan retina, dan palsi saraf kranial. Distres pernapasan juga dapat terjadi
berhubungan dengan adanya anemia namun dapat juga terjadi pada pasien dengan
obstruksi pernapasan akibat adanya massa mediastinal anterior yang besar seperti pada
17
thymus atau kelenjar getah bening. Masalah ini sering terlihat pada remaja laki-laki
dengan LLA sel T, dimana memiliki hitung leukosit yang lebih tinggi.12,13,14
LLA sel pre-B awal (CD 10+ atau CALLA+), adalah imunofenotip yang sering
terjadi, dengan onset antara usia 1-10 tahun. Nilai hitung leukosit rata-rata yang dapat
ditemukan adalah 33.000, walaupun 75% pasien memiliki hitung leukosit <20.000;
trombositopenia juga terjadi pada 75% pasien, serta dapat terjadi hepatosplenomegali
pada 30-40% pasien. Pada semua tipe leukemia, gejala susunan saraf pusat dapat terjadi
pada 5% pasien (dimana 10-20% ditemukan sel blas pada cairan LCS). Lalu, dapat juga
terdapat keterlibatan testicular (20%) dan ovarium (30%) namun tidak memerlukan
biopsi.1,4
Pemeriksaan foto rontgen dapat menunjukkan pelebaran mediastinum atau massa
pada mediastinum anterior, terutama pada LLA sel-T.
Pada umumnya gejala klinis menggambarkan kegagalan sumsum tulang atau
keterlibatan ekstrameduler oleh sel leukemia. Akumulasi sel-sel limfoblas ganas di
sumsum tulang mneyebabkan kurangnya sel-sel normal di darah perifer dan gejala klinis
dapat berhubungan dengan anemia, infeksi dan perdarahan. Gejala-gejala dan tanda-
tanda klinis yang dapat ditemukan:
Anemia: mudah lelah, letargi, pusing, sesak, nyeri dada
Anoreksia
Nyeri tulang dan sendi (karena infiltrasi sumsum tulang oleh sel-ssel leukemia)
Demam, banyak berkeringat (gejala hipermetabolisme)
Infeksi mulut, salarun napas atas dan bawah, selulitis, atau sepsis. Penyebab yang
paling sering adalah stafilikokus, streptokokus, dan bakteri gram negatif usus, serta
berbagai spesies jamur
Perdarahan kulit, perdarahan gusi, hematuria, perdarahan saluran cerna, perdarahan
otak
Hepatomegali
Splenomegali
18
Limfadenopati
Massa di mediastinum (sering pada LLA sel-T)
Leukemia sistem saraf pusat: nyeri kepala, muntah, perubahan dalam status mental,
kelumpuhan saraf otak terutama saraf VI dan VII, kelainan neurologik fokal
Keterlibatan organ lain: testis, retina, kuit, pleura, perikardium, tonsil9,12,13
2.4.6 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan laboratorium
sesuai dengan LLA. Gejala klinis dan pemeriksaan darah lengkap dapat dipakai untuk
menegakkan diagnosis leukemia. Namun, untuk memastikannya harus dilakukan
pemeriksaan aspirasi sumsum tulang, dan dilengkapi dengan pemeriksaan radiografi
dada, cairan serebrospinal, dan beberapa pemeriksaan penunjang yang lain. Cara ini dapat
mendiagnosis sekitar 90% kasus, sedangkan sisanya memerlukan pemeriksaan lebih
lanjut, yaitu sitokimia, imunologi, sitogenetika, dan biologi molekuler.
Pada pemeriksaan awal, umumnya terdapat anemia, meskipun hanya kira-kira
25% mempunyai Hb 6g%. kebanyakan penderita juga trombositopenia, tetapi kira-kira
25% mempunyai trombosit 100.000/mm3. Sekita 50% penderita dengan hitung sel darah
putih kurang dari 10.000/mm3. Sekitar 20% memiliki hitung sel darah putih yang lebih
besar dari 50.000/mm3. Diagnosis leukemia dikesankan oleh adanya sel blas pada
preparat apus darah tepi tetapi dipastikan dengan pemeriksaan sumsum tulang, yang
biasanya diganti sama sekali oleh limfoblas leukemia dan dilengkapi dengan pemeriksaan
radiografi dada, cairan serebrospinal, dan beberapa pemeriksaan penunjang yang lain.
Jika sumsum tulang tidak dapat diaspirasi, maka diperlukan biopsi sumsum tulang.1,12
19
Gambar 7. Aspirasi Sumsum Tulang dan Biopsi
Translokasi adalah jenis yang paling umum dari perubahan DNA yang dapat
menyebabkan leukemia. DNA manusia dikemas dalam 23 pasang kromosom. Sebuah
translokasi berarti bahwa DNA dari satu kromosom terdiam dan menjadi melekat pada
kromosom yang berbeda. Titik pada kromosom di mana istirahat terjadi dapat
mempengaruhi gen - misalnya, dapat mengaktifkan onkogen atau mematikan gen yang
biasanya akan membantu sel matang. Translokasi yang paling umum di semua pada
orang dewasa yang dikenal sebagai kromosom Philadelphia, yang merupakan swap DNA
antara kromosom 9 dan 22, disingkat t (9; 22). Informasi mengenai perubahan pada
kromosom penting untu prognosis seseorang sehingga diperlukan pemeriksaan pada
penderita LLA.
Sitogenetik
Pada pemeriksaan ini, sel-sel tumbuh sampai mereka mulai membagi dan kromosom
dapat dilihat di bawah mikroskop. Kemudian kromosom dilihat di bawah mikroskop
untuk mendeteksi perubahan. Karena butuh waktu untuk sel untuk mulai membagi,
pengujian sitogenetik sering memakan waktu sekitar 2 sampai 3 minggu. Hal ini
20
sering digunakan untuk melihat sel-sel di sumsum tulang, tetapi juga dapat digunakan
untuk melihat sel-sel dari darah. Tidak semua perubahan kromosom dapat dilihat di
bawah mikroskop. Tes laboratorium lainnya sering dapat membantu menemukan
perubahan ini.
Fluorescent in situ hybridization (FISH): Ini adalah cara lain untuk melihat
kromosom dan gen. Menggunakan pewarna fluorescent khusus yang hanya melekat
pada gen-gen tertentu atau bagian dari kromosom tertentu. FISH dapat menemukan
sebagian besar perubahan kromosom (seperti translokasi) yang terlihat di bawah
mikroskop dalam tes sitogenetika standar, serta beberapa perubahan terlalu kecil
untuk dilihat dengan pengujian sitogenetika biasa. FISH dapat digunakan pada darah
atau sumsum tulang sampel biasa. Tetapi karena FISH hanya tes untuk perubahan gen
tertentu (dan tidak melihat kromosom keseluruhan), yang terbaik adalah untuk
mencari perubahan yang penting berdasarkan jenis leukemia seseorang.
Polymerase chain reaction (PCR): Ini adalah tes DNA yang sangat sensitif yang juga
dapat menemukan perubahan gen tertentu terlalu kecil untuk dilihat dengan
mikroskop, bahkan jika sangat sedikit sel-sel leukemia yang hadir dalam sampel.
Seperti FISH, digunakan untuk menemukan perubahan gen tertentu dan tidak melihat
kromosom keseluruhan. Untuk LLA, sering digunakan untuk mencari gen yang
dibuat oleh kromosom Philadelphia. Jika sel-sel leukemia memiliki gen tertentu (atau
kromosom) perubahan, PCR dapat digunakan setelah pengobatan untuk mencoba
untuk menemukan sejumlah kecil sel-sel leukemia yang mungkin tidak terlihat
dengan mikroskop.
21
Gambar 8. Kromosom Philadelphia
LLA dapat menyebar ke daerah sekitar otak dan sumsum tulang belakang. Untuk
memeriksa penyebaran ini, dapat dilakukan pemeriksaan lumbal pungsi dengan
menghapus sampel cairan dari daerah tersebut (cairan serebrospinal atau CSF) untuk
pengujian.7,15
2.4.7 Diagnosis Banding
Leukemia limfoblastik akut (LLA) harus didiagnosis banding dengan leukemia
mieloblastik akut (LMA). Penyakit keganasan lain yang melibatkan sumsum tulang dan
menyebabkan kerusakan sumsum tulang adalah neuroblastoma, rhabdomyosarcoma,
Ewing sarcoma, dan retinoblastoma; dan penyebab utama dari kerusakan sumsum tulang
seperti anemia aplastik dan myelofibrosis. Transient erythroblastic anemia, immune
thrombocytopenia, dan neurotropenia kongenital atau didapat, terkadang memperlihatkan
manifestasi klinis yang sulit dibedakan dengan LLA.
Diagnosis banding berdasarkan anifestasi klinis yang didapat termasuk
didalamnya Eipstein-Barr virus (EBV) dan cytomegalovirus (CMV) mengkibatkan
limfadenopati, hepatosplenomegali, demam, dan anemia. Ptekiae dan purpura prominen
memberi kesan diagnosis immune thrombocytopenic purpura. Keadaan pucat yang
signifikan dapat disebabkan oleh transient erythroblastopenia pada anak-anak, anemia 22
hemolitik autoimun, atau anemia aplastik. Demam dan nyeri sendi dengan atau tanpa
hepatosplenomegali dan limfadenpati mengacu pada juvenile rheumatoid arthritis
(JRA).1,2,3
2.4.8 Penatalaksanaan
Tatalaksana anak dengan leukemia limfoblastik akut merupakan suatu tim dokter
yang terdiri dari onkologi anak, disertai dengan spesialis lain seperti hematologi,
endokrinologi, neurologi, radiologi, patologi, rehabilitasi medik, serta psikologi.
Dibutuhkan follow-up yang teratur dikarenakan efek samping dapat muncul akibat
pengobatan jangka panjang setelah pengobatan tersebut selesai yang disebut dengan efek
lambat.
Pengobatan leukemia meliputi kuratif dan suportif. Penanganan suportif meliputi
pengobatan penyakit lain yang menyertai leukemia dan pengobatan komplikasi antara
lain berupa pemberian transfusi darah/ trombosit, pemberian antibiotik, pemberian obat
untuk meningkatkan granulosit, obat anti jamur, pemberian nutrisi yang baik, dan
pendekatan aspek psikososial.
Terapi suportif pada penderita leukemia tidak kalah pentingnya dengan terapi
spesifik karena akan menentukan angka keberhasilan terapi. Kemoterapi intensif harus
ditunjang oleh terapi suportif yang intensif pula, kalau tidak maka penderita dapat
meninggal karena efek samping obat, suatu kematian iatrogenik. Terapi suportif
berfungsi untuk mengatasi akibat-akibat yang ditimbulkan oleh penyakit leukemia itu
sendiri dan juga untuk mengatasi efek samping obat. Terapi suportif yang dapat diberikan
adalah :
Terapi untuk mengatasi anemia : transfusi PRC untuk mempertahankan hemoglobin
sekitar 9-10 g/dl. Untuk calon transplantasi sumsum tulang, transfusi darah sebaiknya
dihindari.
23
Terapi untuk mengatasi infeksi, yakni dengan pemberian antibiotika adekuat,
transfusi konsentrat granulosit, perawatan khusus (isolasi), dan hemopoietic growth
factor (G-CSF atau GM-CSF).
Terapi untuk mengatasi perdarahan terdiri atas transfusi konsentrat trombosit untuk
mempertahankan trombosit minimal 10x106/ml, idealnya diatas 20x106/ml.
Terapi untuk mengatasi hal-hal lain yaitu :
o Pengelolaan leukositosis : dilakukan dengan hidrasi intravena dan leukapheresis.
Segera lakukan induksi remisi untuk menurunkan jumlah leukosit.
o Pengelolaan sindrom lisis tumor : dengan hidrasi yang cukup, pemberian
allopurinol dan alkalinisasi urin.
Keberhasilan terapi tergantung pada faktor umur anak saat ditetapkan diagnosis,
jumlah hitung leukosit, dan respons terhadap terapi. Terapi spesifik bertujuan untuk
menyembuhkan leukemianya berupa kemoterapi berupa terapi awal atau induksi remisi,
intensifikasi, profilaksis susunan saraf pusat dan rumatan. Klasifikasi risiko normal atau
risiko tinggi, menentukan protokol kemoterapi. Anak usia > 10 tahun atau anak dengan
nilai leukosit > 50.000/µL termasuk dalam klasifikasi risiko tinggi, sedangkan anak usia
1-10 tahun dengan nilai leukosit < 50.000/µL termasuk dalam klasifikasi risiko normal.
Terapi induksi merupakan pengobatan fase pertama. Hal ini ditujukan untuk
membunuh sel leukemia di dalam darah dan sumsum tulang yang akan menyebabkan
terjadinya remisi. Terapi induksi berlangsung 4-6 minggu, obat yang biasa digunakan
pada terapi induksi adalah prednisone atau deksametason secara per oral, vinkristin dan
daunorubicin secara intravena, asparaginase secara intramuskular, dan methotrexate
secara intratekal. Untuk LLA sel-T, cyclophosphamide secara intravena dapat diberikan
pada terapi induksi.
Terapi intesifikasi merupakan pengobatan fase kedua. Terapi ini dimulai ketika
telah terjadi remisi komplit, merupakan kemoterapi intensif tambahan. Tujuannya adalah
untuk membunuh sel-sel leukemia yang tersisa yang mungkin sudah tidak aktif tetapi
dapat tumbuh kembali dan menyebabkan relaps. Intensifikasi juga ditujukan untuk
profilaksis leukemia pada susunan saraf pusat. Hasil yang diharapkan adalah tercapainya
24
perpanjangan remisi dan meningkatkan kesembuhan. Pada pasien risiko sedang dan
tinggi, induksi diintensifkan guna memperbaiki kualitas remisi. Lebih dari 95% pasien
akan mendapatkan remisi pada fase ini. Terapi SSP yaitu secara langsung diberikan
melalui injeksi intratekal dengan obat methotrexate, sering dikombinasi dengan infus
berulang methotrexate dosis sedang (500 mg/m2) atau dosis tinggi pusat pengobatan (3-5
gr/m2). Di beberapa pasien risiko tinggi dengan umur > 5 tahun mungkin lebih efektif
dengan memberikan radiasi kranial (18-24 Gɣ) disamping pemakaian kemoterapi
sistemik dosis tinggi. Dengan terapi ini 98% pasien menunjukkan perbaikan dengan
indikator jumlah limfoblas sumsum tulang <5%, dan jumlah neutrofil dan trombosit
menjadi normal.
Terapi maintenance (lanjutan rumatan) merupakan pengobatan fase ketiga.
Tujuannya adalah untuk membunuh sel leukemia tersisa yang mungkin dapat tumbuh
kembali dan menyebabkan relaps. Terapi lanjutan rumatan dengan menggunakan obat
merkaptopurin tiap hari dan methotrexate sekali seminggu, secara oral dengan sitostatika
lain selama perawatan tahun pertama. Lamanya terapi rumatan ini pada kebanyakan studi
adalah 2-3 tahun dan tidak ada keuntungan jika perawatan sampai dengan 3 tahun. Dosis
sitostatika secara individual dipantau dengan melihat leukosit dan atau monitor
konsentrasi obat selama terapi rumatan.1,2,15
25
Gambar 9. Kemoterapi pada Anak12
Terapi standar pada pasien anak dengan LLA yakni berupa kemoterapi,
radioterapi, transplantasi sumsum tulang, dan terapi target:
Kemoterapi
Pengobatan kanker dengan menggunakan obat-obatan yang menghentikan
pertumbuhan dari sel-sel kanker, disisi lain dapat membunuh sel tersebut. Ketika
kemoterapi diberikan melalui oral atau injeksi intravena atau intramuscular, obat akan
masuk ke dalam aliran darah dan dapat mencapai sel kanker di seluruh tubuh
(kemoterapi sistemik). Bila kemoterapi diberikan langsung ke dalam cairan
serebrospinal (intratekal), pada organ, atau rongga tubuh seperti abdomen, maka obat
terutama akan berefek pada area tersebut (kemoterapi regional). Kemoterapi
kombinasi adalah pengobatan dengan menggunakan lebih dari 1 obat antikanker.
Cara pemberian kemoterapi tergantung dari tipe kanker yang akan diobati.
Kemoterapi intratekal atau kemoterapi dosis tinggi disuntikkan melalui vena untuk
mengobati LLA pada anak yang menyebar ke otak dan medulla spinalis. Namun hal
ini juga dapat bersifat profilaksis untuk penyebaran di SSP.
26
Radioterapi
Pengobatan kanker dengan menggunakan x-rays energi tinggi atau radiasi tipe lain
untuk membunuh sel kanker atau mencegah pertumbuhannya. Terdapat 2 tipe
radioterapi yakni radioterapi eksternal yang mempergunakan mesin di luar tubuh
untuk mengirimkan radiasi menuju ke sel kanker, serta radioterapi internal yang
menggunakan substansia radioaktif melalui kateter langsung ke dalam atau dekat
kanker. Radioterapi eksternal dapat digunakan untuk mengobati penyebaran sel
kanker ke otak dan medulla spinalis. Namun, dikarenakan radioterapi ke otak dapat
mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan otak pada anak, maka kebanyakan
anak dengan LLA tidak diobati dengan radioterapi.
Transplantasi sumsum tulang merupakan metode dengan memberikan kemoterapi
dosis tinggi dan kadang radioterapi, kemudian membuang pembentukan sel darah
yang dihancurkan dengan terapi kanker. Stem sel atau sel darah imatur dihapus dari
darah atau sumsum tulang donor. Setelah pasien menerima kemoterapi dosis tinggi
dan kadang radioterapi, stem sel donor diberikan kembali ke pasien melalui infus.
Stem sel tersebut akan berkembang di dalam sel darah pasien. Namun, transplantasi
stem sel ini jarang dipakai sebagai inisial terapi pada anak dan dewasa muda dengan
LLA. Terapi ini biasanya digunakan pada LLA yang relaps. Transplantasi sumsum
tulang mungkin memberikan kesempatan untuk sembuh, khususnya bagi anak-anak
dengan leukemia sel-T yang setelah relaps mempunyai prognosis lebih buruk dengan
terapi sitostatika konvensional.
Terapi yang ditargetkan
Terapi yang menggunakan obat-obatan atau substansi lain untuk mengidentifikasi dan
menyerang sel kanker spesifik tanpa merusak sel-sel normal. Tyrosine kinase
inhibitor merupakan obat terapi ditargetkan yang memblok enzim tirosin kinase, yang
menyebabkan stem sel berkembang menjadi sel darah putih yang berlebih (granulosit
atau blas) melampaui jumlah yang dibutuhkan tubuh.7,15
27
Obat kemoterapi menyerang sel-sel yang membelah dengan cepat, itulah
sebabnya mereka bekerja melawan sel-sel kanker. Namun sel-sel lain dalam tubuh,
seperti di sumsum tulang (di mana sel-sel darah baru yang dibuat), lapisan mulut dan
usus, dan folikel rambut, juga membagi dengan cepat. Sel-sel ini juga mungkin akan
terpengaruh oleh kemoterapi, yang dapat menyebabkan efek samping. Efek samping dari
kemoterapi tergantung pada jenis dan dosis obat yang diberikan dan lamanya waktu
mereka diambil. Efek samping yang umum mungkin termasuk:7
• Rambut rontok
• Luka pada mulut
• Kehilangan nafsu makan
• Mual dan muntah
• Diare
• Kelelahan
• Kekebasan, kesemutan, atau kelemahan pada tangan atau kaki (dari kerusakan saraf)
2.4.9 Pencegahan
Risiko berbagai jenis kanker dapat dikurangi dengan perubahan gaya hidup untuk
menghindari faktor-faktor risiko tertentu, tetapi tidak ada cara yang dikenal untuk
mencegah sebagian besar kasus leukemia pada saat ini. Kebanyakan orang yang
mendapatkan leukemia limfositik akut tidak memiliki faktor risiko yang diketahui,
sehingga tidak ada cara untuk mencegah leukemia ini dari pengembangan.
Untuk berbagai jenis kanker, diagnosis pada tahap awal mungkin membuat
pengobatan jauh lebih efektif. The American Cancer Society merekomendasikan tes
skrining untuk deteksi dini kanker tertentu pada orang tanpa gejala. Tapi saat ini tidak
ada tes khusus yang direkomendasikan untuk mendeteksi leukemia limfositik akut (LLA)
dini. Cara terbaik untuk menemukan leukemia dini adalah untuk melaporkan tanda-tanda
yang mungkin atau gejala leukemia ke dokter segera.
28
Beberapa orang diketahui memiliki risiko lebih tinggi LLA (atau leukemia
lainnya) karena kelainan bawaan seperti sindrom Down. Kebanyakan dokter
menyarankan bahwa orang-orang ini memiliki hati-hati, pemeriksaan kesehatan secara
teratur. Risiko leukemia, meskipun lebih besar dari pada populasi umum, masih sangat
rendah untuk sebagian besar sindrom ini.7
2.4.10 Prognosis
Telah banyak dicapai kemajuan besar dalam terapi LLA. Dengan kemoterapi
agresif (sering diberikan bersamaan dengan terapi profilaktik susunan saraf pusat), lebih
dari 90% anak LLA mencapai remisi sempurna, dan setidaknya dua pertiga pasien dapat
dianggap sembuh. Beberapa faktor secara konsisten menyebabkan prognosis yang buruk:
(1) usia dibawah 2 tahun; (2) kemunculan pada usia remaja atau dewasa muda; (3) hitug
blas darah perifer lebih dari 100.000, yang mencerminkan besarnya beban tumor; dan (4)
adanya penyimpangan sitogenik yang kurang baik, misalnya t(9;22) (kromosom
Philadelphia). Translokasi t(9;22) terdapat hanya pada 3% anak LLA, tetapi pada kasus
dewasa dapat mencapai 25%. Hal ini dapat menjelaskan buruknya prognosis pada kasus
dewasa. Sebaliknya, penanda prognosis yang baik adalah umur 2 sampai 10 tahun, hitung
sel darah putih yang rendah, fenotipe pra-B dini, dan hiperploidi atau t(12;21).
Transplantasi sumsum tulang alegeneik juga memberi harapan pada yang prognosisnya
buruk.6
29
Gambar 10. Prognosis LLA pada Anak17
30
BAB III
KESIMPULAN
Leukemia adalah kanker anak yang paling sering, mencapai kurang lebih 41% dari
keganasan yang terjadi pada anak umur kurang dari 15 tahun. Leukemia limfoblastik akut (LLA)
berjumlah kira-kira 77% dari semua kasus, dengan insidensi tertinggi pada umur 4 tahun.
Leukemia limfoblastik akut (LLA) merupakan suatu keganasan klonal dari sel-sel
prekusor limfoid, akibat kerusakan gen DNA yang terdapat pada tulang belakang. LLA adalah
kanker yang pertama kali terbukti dapat disembuhkan dengan kemoterapi dan radiasi. LLA
terjadi sedikit lebih sering pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan. Leukemia limfoid
terjadi lebih sering pada penderita dengan immunodefisiensi (hipogammaglobulinemia)
kongenital, ataksia-telangiektasia, atau dengan defek kromosom konstitusional (trisomi 21).
Etiologi dari LLA tidak diketahui pasti, tapi terdapat faktor predisposisi dan presipitasi
dari faktor genetik dan lingkungan. Untuk menegakkan diagnosis LLA, berdasarkan dari
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan darah tepi menunjukkan
adanya gagal sumsum tulang yaitu anemia, trombositopenia, dan umumnya leukosit <10.000/µL
dengan limfosit atipi yang ternyata merupakan petanda keganasan. Dalam hal demikian perlu
dilakukan pungsi sumsum tulang (BMP), akan terlihat bahwa 25% dari sel adalah sama jenis
yaitu limfoblas.
Tatalaksana dari LLA bersifat kuratif/ spesifik dengan tujuan menyembuhkan
leukemianya dan suportif meliputi pengobatan penyakit lain yang menyertai dan pengobatan
komplikasi.
31
DAFTAR PUSTAKA
1. Tubergen DG and Bleyer A. The leukemias. In: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB,
and Stanton BF, editors. Nelson textbook of pediatric. 18th ed. India: Elsevier. 2008. p. 1694-
6.
2. Maloney K, Foreman NK, Giller RH, Greffe BS, Graham DK, Quinones RR, Keating AK.
Neoplastic Disease. In: Hay WW, Levin MJ, Sondhemer JM, Deterding RR, editors. A
Lange medical book: current diagnosis and treatment pediatrics. 19th ed. USA: McGraw-Hill.
2009. p. 853-58.
3. West DC. Cancer in Children. In: Rudolph AM, Kamei RK, Overby KJ, editors. Rudulph’s
Fundamentals of Pediatrics. 3rd ed. USA: McGraw-Hill. 2002. p. 567-9
4. Widagdo. Masalah dan tatalaksana penyakit anak dengan demam. Jakarta: Sagung Seto.
2012. p. 302-3.
5. Ohls RK and Christensen. The hematopoietic system. In: Behrman RE, Kliegman RM,
Jenson HB, and Stanton BF, editors. Nelson textbook of pediatric. 18 th ed. India: Elsevier.
2008. p. 1599-1606.
6. Aster JC. Sel Darah Merah dan Penyakit Perdarahan. In: Kumar V, Abbas AK, Fausto N.
Robbins & Cotran Dasar Patologis Penyakit. 7th ed. Jakarta: EGC. 2009. p. 638-92
7. American Cancer Society. Leukemia-Acute Lymphocytic. Available at: www.cancer.org.
Accessed on April, 2015.
8. Sherwood L. Fisiologi manusia dari sel ke sistem. 2nd ed. Jakarta: EGC. 2001. p. 354-6.
9. Soebandiri. Hemopoesis. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, dan Setiati
S, editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 5th ed. Jakarta: Interna Publishing. 2009. p. 1105-
8.
10. Silbernagl S dan Lang F. teks & atlas berwarna patofisiologi. Jakarta: EGC. 2007. p. 14-5.
11. Leukaemia Foundation. Acute lymphoblastic leukemia (ALL). Available at:
http://www.leukaemia.org.au/blood-cancers/leukaemias/acute-lympoblastic-leukaemia.
Accessed on April, 2015.
32
12. Seiter K. Acute Lymphoblastic Leukemia. Updated: Dec, 2014. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/207631-overview. Accessed on April, 2015.
13. MedlinePlus. Acute Lymphoblastic Leukemia. Available at:
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000541.htm. Accessed on April, 2105.
14. National cancer institute. Childhood Acute Lymphoblastic Leukemia Treatment. Available
at: www.nationalcancerinstitute.com. Accessed on April, 2015.
15. Pui C, Relling MV, Pharm D, Downing J. Acute Lymphoblastic Leukemia. The New
England Journal of Medicine. 2004. 350; 15. p. 1535-48
16. Pui C, Evans WE. Treatment of Acute Lymphoblastic Leukemia. The New England Journal
of Medicine. 2006. 354; 2. p. 166-78
17. Rabin KR, Poplack DG. Management Strategies in Acute Lymphoblastic Leukemia.
Oncology. 2011. p. 328-33.
33