33
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anestesia berarti pembiusan, kata ini berasal dari bahasa Yunani an- "tidak, tanpa" dan aesthētos, "persepsi, kemampuan untuk merasa". Istilah anestesi digunakan pertama kali oleh Oliver Wendel Holmes Sr pada tahun 1846. Anestesi umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai dengan hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali (reversible). Komponen anestesi yang ideal (trias anestesi) terdiri dari : hipnotik, analgesia dan relaksasi otot. Praktek anestesi umum juga termasuk mengendalikan pernapasan dengan pemantauan fungsi- fungsi vital tubuh selama prosedur anestesi. Tahapannya mencakup premedikasi, induksi, maintenance, dan pemulihan. Ada tiga kategori utama anestesi, yaitu anestesi umum, anestesi regional dan anestesi lokal. Masing-masing memiliki bentuk dan kegunaan. Seorang ahli anestesi akan menentukan jenis anestesi yang menurutnya terbaik dengan mempertimbangkan keuntungan dan kerugian dari masing-masing tindakan tersebut.

Referat Anestesi

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Referat anastesi

Citation preview

Page 1: Referat Anestesi

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Anestesia berarti pembiusan, kata ini berasal dari bahasa Yunani an-

"tidak, tanpa" dan aesthētos, "persepsi, kemampuan untuk merasa". Istilah

anestesi digunakan pertama kali oleh Oliver Wendel Holmes Sr pada tahun

1846. Anestesi umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral

disertai dengan hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali (reversible).

Komponen anestesi yang ideal (trias anestesi) terdiri dari : hipnotik,

analgesia dan relaksasi otot. Praktek anestesi umum juga termasuk

mengendalikan pernapasan dengan pemantauan fungsi-fungsi vital tubuh

selama prosedur anestesi. Tahapannya mencakup premedikasi, induksi,

maintenance, dan pemulihan. Ada tiga kategori utama anestesi, yaitu anestesi

umum, anestesi regional dan anestesi lokal. Masing-masing memiliki bentuk

dan kegunaan. Seorang ahli anestesi akan menentukan jenis anestesi yang

menurutnya terbaik dengan mempertimbangkan keuntungan dan kerugian

dari masing-masing tindakan tersebut.

Anestesi umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral

disertai dengan hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali (reversible).

Praktek anestesi umum juga termasuk mengendalikan pernapasan

pemantauan fungsi-fungsi vital tubuh selama prosedur anestesi. Tahapannya

mencakup induksi, maintenance, dan pemulihan. Metode anestesi umum

dapat dilakukan dengan 3 cara: antara lain secaara parenteral melalui

intravena dan intramuskular, perrektal (biasanya untuk anak-anak) dan

inhalasi.

Anestesi umum intravena adalah obat anestesi yang diberikan melalui

jalur intravena, baik untuk tujuan hipnotik, analgetik ataupun pelumpuh otot.

Anestesi yang ideal akan bekerja secara cepat dan baik serta mengembalikan

kesadaran dengan cepat segera sesudah pemberian dihentikan. Selain itu batas

keamanan pemakaian harus cukup lebar dengan efek samping yang sangat

Page 2: Referat Anestesi

minimal. Tidak satupun obat anestesi dapat memberikan efek yang

diharapkan tanpa efek samping, bila diberikan secara tunggal. Kombinasi

beberapa obat mungkin akan saling berpotensi atau efek salah satu obat dapat

menutupi pengaruh obat yang lain.

B. Tujuan

Anestesi umum intravena ini penting untuk diketahui karena selain

dapat digunakan dalam pembedahan dikamar operasi, juga dapat

menenangkan pasien dalam keadaan gawat darurat. Oleh karena itu sebagai

dokter umum, sebaiknya mengetahui tentang anestesi umum intravena.

Page 3: Referat Anestesi

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Asal kata Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an-"tidak,

tanpa" dan aesthētos, "persepsi, kemampuan untuk merasa"), secara umum

berarti suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan

pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit

pada tubuh. Istilah anestesi digunakan pertama kali oleh Oliver Wendel

Holmes Sr pada tahun 1846. Obat yang digunakan dalam menimbulkan

anesthesia disebut sebagai anestetik, dan kelompok ini dibedakan dalam

anestetik umum dan anestetik lokal. Berdasarkan pada dalamnya pembiusan,

anestetik umum dapat memberikan efek analgesia yaitu hilangnya sensasi

nyeri atau efek anesthesia yaitu analgesia yang disertai hilangnya kesadaran,

sedangkan anestetik lokal hanya menimbulkan efek analgesia (Silistia, 1995).

Anestesi umum adalah menghilangkan rasa sakit seluruh tubuh secara

sentral disertai hilangnya kesadaran yang bersifat reversible. Perbedaan

anestesi umum dibanding dengan anestesi lokal diantaranya pada anestesi

lokal hilangnya rasa sakit setempat sedangkan pada anestesi umum seluruh

tubuh. Pada anestesi lokal yang terpengaruh syaraf perifer, sedang pada

anestesi umum yang terpengaruh syaraf pusat dan pada anestesi lokal tidak

terjadi kehilangan kesadaran (Soenardjo, 2010).

Menurut bentuk fisiknya, anestesi umum dibagi menjadi 2 macam yaitu

anestesi inhalasi dan anestesi intravena.

B. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Anestesi Umum

Faktor respirasi

Pada setiap inspirasi sejumlah zat anestesika akan masuk ke dalam

paru-paru (alveolus). Dalam alveolus akan dicapai suatu tekanan

parsial tertentu. Kemudian zat anestesika akan berdifusi melalui

membrane alveolus. Epitel alveolus bukan penghambat disfusi zat

Page 4: Referat Anestesi

anestesika, sehingga tekanan parsial dalam alveolus sama dengan

tekanan parsial dalam arteri pulmonarsi. Hal- hal yang mempengaruhi

hal tersebut adalah:

Konsentrasi zat anestesika yang dihirup/ diinhalasi; makin tinggi

konsentrasinya, makin cepat naik tekanan parsial zat anestesika

dalam alveolus.

Ventilasi alveolus; makin tinggi ventilasi alveolus, makin cepat

meningginya tekanan parsial alveolus dan keadaan sebaliknya pada

hipoventilasi.

Faktor sirkulasi

Terdiri dari sirkulasi arterial dan sirkulasi vena

Factor-faktor yang mempengaruhi:

1. Perubahan tekanan parsial zat anestesika yang jenuh dalam

alveolus dan darah vena. Dalam sirkulasi, sebagian zat anestesika

diserap jaringan dan sebagian kembali melalui vena.

2. Koefisien partisi darah/ gas yaitu rasio konsentrasi zat anestesika

dalam darah terhadap konsentrasi dalam gas setelah keduanya

dalam keadaan seimbang.

3. Aliran darah, yaitu aliran darah paru dan curah jantung. Makin

banyak aliran darah yang melalui paru makin banyak zat anestesika

yang diambil dari alveolus, konsentrasi alveolus turun sehingga

induksi lambat dan makin lama waktu yang dibutuhkan untuk

mencapai tingkat anesthesia yang adekuat.

Faktor jaringan

1. Perbedaan tekanan parsial obat anestesika antara darah arteri dan

jaringan.

2. Koefisien partisi jaringan/darah: kira-kira 1,0 untuk sebagian besar

zat anestesika, kecuali halotan.

3. Aliran darah terdapat dalam 4 kelompok jaringan:

a) Jaringan kaya pembuluh darah (JKPD) : otak, jantung,

hepar, ginjal. Organ-organ ini menerima 70-75% curah

Page 5: Referat Anestesi

jantung hingga tekanan parsial zat anestesika ini meninggi

dengan cepat dalam organ-organ ini. Otak menerima 14%

curah jantung.

b) Kelompok intermediate : otot skelet dan kulit.

c) Lemak : jaringan lemak

d) Jaringan sedikit pembuluh darah (JSPD) : relative tidak ada

aliran darah : ligament dan tendon.

Faktor zat anestesika

Bermacam-macam zat anestesika mempunyai potensi yang

berbeda-beda. Untuk menentukan derajata potensi ini dikenal adanya

MAC (minimal alveolar concentration atau konsentrasi alveolar

minimal) yaitu konsentrasi terendah zat anestesika dalam udara

alveolus yang mampu mencegah terjadinya tanggapan (respon)

terhadap rangsang rasa sakit. Makin rendah nilai MAC, makin tinggi

potensi zat anestesika tersebut.

C. Anestesi Intravena

Anestesi intravena ideal membutuhkan kriteria yang sulit dicapai oleh

hanya satu macam obat yaitu larut dalam air dan tidak iritasi terhadap

jaringan, mula kerja cepat, lama kerja pendek, cepat menghasilkan efek

hypnosis, mempunyai efek analgesia, disertai oleh amnesia pascaanestesia,

dampak yang tidak baik mudah dihilangkan oleh obat antagonisnya, cepat

dieliminasi dari tubuh, tidak atau sedikit mendepresi fungsi respirasi dan

kardiovaskuler, pengaruh farmakokinetik tidak tergantung pada disfungsi

organ, tanpa efek samping (mual muntah), menghasilkan pemulihan yang

cepat. Untuk mencapai tujuan di atas, kita dapat menggunakan kombinasi

beberapa obat atau cara anestesi lain. Kombinasi beberapa obat mungkin akan

saling berpotensi atau efek salah satu obat dapat menutupi pengaruh obat

yang lain (Silistia, 1996).

Page 6: Referat Anestesi

D. Stadium Anestesi

Kedalaman anestesi harus dimonitor terus menerus oleh pemberi

anestesi, agar tidak membahayakan penderita, tetapi cukup adekuat untuk

melakukan operasi.

1. Stadium I (Stadium analgesi atau stadium disorientasi)

Dimulai sejak diberikan anestesi sampai hilangnya kesadaran. Pada

stadium ini, operasi kecil dapat dilakukan.

2. Stadium II (stadium delirium atau stadium eksitasi)

Dimulai dari hilangnya kesadaran sampai nafas teratur. Pada

stadium ini penderita bisa meronta-ronta, pernafasan irregular, pupil

melebar, refleks cahaya positif gerakan bola mata tidak teratur, lakrimasi

(+), tonus otot meninggi, refleks fisiologi masih ada, dapat terjadi batuk

atau muntah, kadang-kadang kencing atau defekasi.

Stadium ini diakhiri dengan hilangnya reflek menelan dan kelopak

mata, dan selanjutnya nafas menjadi teratur. Stadium ini dapat

membahayakan penderita sehingga harus segera diakhiri. Keadaan ini

dapat dikurangi dengan memberikan premedikasi yang adekuat,

persiapan psikologis penderita dan induksi yang halus dan tepat.

3. Stadium III (Stadium operasi)

Dimulai dari nafas teratur sampai paralise otot nafas. Stadium ini

dibagi menjadi 4 plana :

Plana I : Dari nafas teratur sampai berhentinya gerakan bola mata.

Ditandai dengan nafas teratur, nafas torakal sama dengan

abdominal

Gerakan bola mata berhenti, pupil mengecil, refleks cahaya

(+), lakrimasi meningkat, reflek faring dan muntah

menghilang, tonus otot menurun.

Plana II : Dari berhentinya gerakan bola mata sampai permulaan

paralisis otot interkostal.

Ditandai dengan pernafasan teratur, volume tidal menurun

dan frekuensi nafas meningkat, mulai terjadi depresi nafas

Page 7: Referat Anestesi

torakal, bola mata berhenti, pupil melebar dan reflek cahaya

menurun, reflek korne menghilang dan tonus otot makin

menurun.

Plana III : Dari permulaan paralise otot interkostal sampai paralise

seluruh otot interkostal.

Ditandai dengan pernafasan abdominal lebih dominan dari

torakal karena terjadi paralisis otot interkostal, pupil makin

melebar dan reflek cahaya menjadi hilang, lakrimasi

negatif, reflek laring dan peritoneal menghilang, tonus otot

makin menurun.

Plana IV : Dari paralise semua otot intercostal sampai paralise

diafragma

Ditandai dengan paralise otot intercostal, pernafasan

lambat, ireguler dan tidak adekuat. Tonus otot makin

menurun sehingga terjadi flaccid, pupil melebar, reflek

cahaya negatif, reflek spinchter ani negatif.

4. Stadium IV

Dari paralisis diafragma sampai apneu dan kematian. Disebut juga

stadium overdosis atau stadium paralysis. Ditandai dengan hilangnya

semua reflek, pupil dilatasi, terjadi respiratory failure dan diikuti dengan

circulatory failure.

E. PENILAIAN DAN PERSIAPAN PRA ANESTESI

Kegagalan untuk mempersiapkan keadaan pasien sering terjadi dan

biasanya dapat dihindari dengan mudah untuk mencegah kecelakaan yang

berhubungan dengan anestesi. Persiapan ini menyangkut setiap aspek

terhadap kondisi pasien dan tidak hanya permasalahan patologis yang

membutuhkan operasi.

1. Anamnesis

Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anestesi sebelumnya

sangatlah penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang perlu

Page 8: Referat Anestesi

mendapat perhatian khusus, misalnya alergi, mual-muntah, nyeri otot,

gatal-gatal atau sesak nafas pasca bedah, sehingga dapat dirancang

anestesi berikutnya dengan lebih baik. Beberapa peneliti menganjurkan

obat yang kiranya menimbulkan masalah dimasa lampau sebaiknya

jangan digunakan ulang, misalnya halotan jangan digunakan ulang dalam

waktu tiga bulan, suksinilkolin yang menimbulkan apnoe berkepanjangan

juga jangan diulang. Kebiasaan merokok sebaiknya dihentikan 1-2 hari

sebelumnya.

2. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar sangat

penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan tindakan laringoskopi

intubasi. Leher pendek dan kaku juga akan menyulitkan laringoskopi

intubasi. Pemeriksaan rutin secara sistemik tentang keadaan umum tentu

tidak boleh dilewatkan seperti inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi

semua system organ tubuh pasien.

3. Pemeriksaan laboratorium

Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan

dugaan penyakit yang sedang dicurigai. Pemeriksaan yang dilakukan

meliputi pemeriksaan darah kecil (Hb, lekosit, masa perdarahan dan masa

pembekuan) dan urinalisis. Pada usia pasien diatas 50 tahun ada anjuran

pemeriksaan EKG dan foto thoraks.

4. Klasifikasi status fisik

Klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran fisik

seseorang adalah yang berasal dari The American Society of

Anesthesiologists (ASA). Klasifikasi fisik ini bukan alat prakiraan resiko

anestesia, karena dampaksamping anestesia tidak dapat dipisahkan dari

dampak samping pembedahan. (2)(3)

Kelas I : Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia.

Kelas II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang.

Kelas III : Pasien dengan penyakit sistemik sedang atau berat,

sehingga aktivitas rutin terbatas.

Page 9: Referat Anestesi

Kelas IV : Pasien dengan penyakit sistemik sedang atau berat tak

dapat melakukan aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan

ancaman kehidupannya setiap saat.

Kelas V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa

pembedahan hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam.

Kelas VI : Pasien yang mati batang otak dan akan diambil organnya

untuk transplantasi.

5. Masukan oral

Refleks laring mengalami penurunan selama anestesia. Regurgitasi isi

lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan napas merupakan risiko

utama pada pasien-pasien yang menjalani anestesia. Untuk

meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk

operasi elektif dengan anestesia harus dipantangkan dari masukan oral

(puasa) selama periode tertentu sebelum induksi anestesia.

Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan

pada bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam

sebeluminduksi anestesia. Minuman bening, air putih teh manis sampai 3

jam dan untuk keperluan minum obat air putih dalam jumlah terbatas

boleh 1 jam sebelum induksi anestesia.

6. Premedikasi

Sebelum pasien diberi obat anestesi, langkah selanjutnya adalah

dilakukan premedikasi yaitu pemberian obat sebelum induksi anestesi

diberi dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun

dari anestesi diantaranya:

1. Menimbulkan rasa nyaman bagi pasien

a. Menghilangkan rasa khawatir melalui:

i. Kunjungan pre anestesi

ii. Pengertian masalah yang dihadapi

iii. Keyakinan akan keberhasilan operasi

b. Memberikan ketenangan (sedative)

c. Membuat amnesia

Page 10: Referat Anestesi

d. Mengurangi rasa sakit (analgesic non/narkotik)

e. Mencegah mual dan muntah

2. Memudahkan atau memperlancar induksi

a. Pemberian hipnotik sedative atau narkotik

3. Mengurangi jumlah obat-obat anestesi

a. Pemberian hipnotik sedative atau narkotik

4. Menekan refleks-refleks yang tidak diinginkan (muntah/liur)

5. Mengurangi sekresi kelenjar saliva dan lambung

a. Pemberian antikolinergik atropine, primperan, rantin, H2

antagonis

6. Mengurangi rasa sakit

Waktu dan cara pemberian premedikasi:

Pemberian obat secara subkutan tidak akan efektif dalam 1 jam, secara

intramuscular minimum harus ditunggu 40 menit. Pada kasus yang

sangat darurat dengan waktu tindakan pembedahan yang tidak pasti

obat-obat dapat diberikan secara intravena, obat akan efektif dalam 3 -

5 menit. Obat akan sangat efektif sebelum induksi. Bila pembedahan

belum dimulai dalam waktu 1 jam dianjurkan pemberian premedikasi

intramuscular, subkutan tidak dianjurkan. Semua obat premedikasi bila

diberikan secara intravena dapat menyebabkan sedikit hipotensi

kecuali atropine dan hiosin. Hal ini dapat dikurangi dengan pemberian

secara perlahan-lahan dan diencerkan.

Obat-obat yang sering digunakan:

a) Analgesik narkotik

1) Morfin ( amp 1cc = 10 mg), dosis 0,1 mg/kgBB

2) Petidin ( amp 2cc = 100 mg), dosis 1-2 mg/kgBB

3) Fentanyl ( fl 10cc = 500 mg), dosis 1-3µg/kgBB

b) Analgesik non narkotik

1) Ketorolak

2) Asam mefenamat

Page 11: Referat Anestesi

3) Natrium diklofenak

4) Tramadol

c) Hipnotik

1) Ketamin (fl 10cc = 100 mg), dosis 1-2 mg/kgBB

2) Pentotal (amp 1cc = 1000 mg), dosis 4-6 mg/kgBB

d) Sedatif

1) Diazepam/valium/stesolid (amp 2cc = 10mg), dosis 0,1

mg/kgBB

2) Midazolam/dormicum (amp 5cc/3cc = 15 mg),dosis

0,1mg/kgBB

e) Antikolinergik

1) Sulfas atropine (anti kolinergik) (amp 1cc = 0,25 mg),dosis 0,001

mg/kgBB

f) Anti emetic

1) Simetidin dan Ranitidin

2) Ondancentron

7. Obat-Obat Induksi Anestesi Intravena

Obat anestesi intravena dapat digolongkan dalam 2 golongan: 1.) Obat

yang terutama digunakan untuk induksi anestesi, contohnya golongan

barbiturat, eugenol, dan steroid; 2.) obat yang digunakan baik sendiri

maupun kombinasi untuk mendapat keadaan seperti pada

neuroleptanalgesia (contohnya: droperidol), anestesi dissosiasi (contohnya:

ketamin), sedative (contohnya: diazepam). Dari bermacam-macam obat

anesthesia intravena, hanya beberapa saja yang sering digunakan, yakni

golongan: barbiturat, ketamin, dan diazepam.

PROPOFOL

Propofol adalah salah satu dari kelompok derivat fenol yang

banyak digunakan sebagai anastesia intravena. Pertama kali digunakan

dalam praktek anestesi pada tahun 1977 sebagai obat induksi. Propofol

Page 12: Referat Anestesi

dikemas dalam cairan emulsi berwarna putih susu bersifat isotonik dengan

kepekatan 1% (1ml=10 mg).(7)

Propofol dengan cepat dimetabolisme di hati melalui konjugasi ke

glukuronat dan sulfat untuk menghasilkan senyawa larut dalam air, yang

diekskresikan oleh ginjal. Kurang dari 1% propofol diekskresikan tidak

berubah dalam urin, dan hanya 2% diekskresikan dalam tinja. (1) (4)(7)

Farmakokinetik. Waktu paruh 24-72 jam. Dosis induksi cepat

menimbulkan sedasi (30-45 detik) dengan durasi berkisar antara 20-75

menit tergantung dosis dan redistribusi dari sistem saraf pusat.(4) Sebagian

besar propofol terikat dengan albumin (96-97%). Setelah pemberian bolus

intravena, konsentrasi dalam plasma berkurang dengan cepat dalam 10

menit pertama (waktu paruh 1-3 menit) kemudian diikuti bersihan lebih

lambat dalam 3-4 jam (waktu paruh 20-30 menit). Kedua fase ini

menunjukkan distribusi dari plasma dan ambilan oleh jaringan yang cepat. (5)(7)

Metabolisme terjadi di hepar melalui konjugasi oleh konjugasi oleh

glukoronida dan sulfat untuk membentuk metabolit inaktif yang larut air

yang kemudian diekskresi melalui urin(6). Eliminasi propofol sensitif

terhadap perubahan aliran darah hepar namun tidak dipengaruhi oleh

ikatan protein ataupun aktivitas enzim. Propofol diketahui menghambat

metabolisme obat oleh sitokrom p450 oleh karena itu dapat menyebabkan

perlambatan klirens dan durasi yang memanjang pada pemberian bersama

dengan fentanyl, alfentanil dan propanolol.(4)(5)(7)

Farmakodinamik. Sistem saraf pusat. Dosis induksi menyebabkan

pasien kehilangan kesadaran dengan cepat akibat ambilan obat lipofilik

yang cepat oleh SSP, dimana dalam dosis yang kecil dapat menimbulkan

efek sedasi, tanpa disetai efek analgetik. Pada pemberian dosis induksi

(2mg/kgBB) pemulihan kesadaran berlangsung cepat. Dapat menyebabkan

perubahan mood tapi tidak  sehebat thiopental. Propofol dapat

menyebabkan penurunan aliran darah ke otak dan konsumsi oksigen otak

Page 13: Referat Anestesi

sehingga dapat menurunkan tekanan intrakranial dan tekanan intraokular

sebanyak 35%.(2)(3)(5)      

Sistem kardiovaskuler. Induksi bolus 2-2,5 mg/kg dapat

menyebabkan depresi pada jantung dan pembuluh darah dimana tekanan

dapat turun. Hal ini disebabkan oleh efek dari propofol yang menurunkan

resistensi vaskular sistemik sebanyak 30%. Namun penurunan tekanan

darah biasanya tidak disertai peningkatan denyut nadi. Pernafasan spontan

(dibanding nafas kendali) serta pemberian drip melalui infus

(dibandingkan dengan pemberian melalui bolus) mengurangi depresi

jantung. Sedangkan usia berbanding lurus dengan efek depresi jantung. (4)(5)

(7)

Sistem pernafasan. Apnoe paling banyak didapatkan pada

pemberian propofol dibanding obat intravena lainnya. Umumnya

berlangsung selama 30 detik, namun dapat memanjang dengan pemberian

opioid sebagai premedikasi atau sebelum induksi dengan propofol. Dapat

menurunkan frekuensi pernafasan dan volume tidal. Efek ini biasanya

bersifat sementara namun dapat memanjang pada penggunaan dosis yang

melebihi dari rekomendasi atau saat digunakan bersamaan dengan

respiratory depressants. (4)(5)(7)

Dosis. Propofol digunakan untuk induksi dan pemeliharaan dalam

anastesia umum, pada pasien dewasa dan pasien anak – anak usia lebih

dari 3 tahun. (4) Dosis yang dianjurkan untuk induksi pada pasien lebih dari

3 tahun dan kurang dari 55 tahun adalah 2-2.5 mg/kgBB dan untuk pasien

lebih dari 55 tahun, pasien lemah atau dengan ASA III/IV: 1-1.5

mg/kgBB. Untuk pemeliharaan dosis yang dianjurkan pada pasien lebih

dari 3 tahun dan kurang dari 55 tahun adalah 0.1-0.2 mg/menit/kgBB dan

untuk pasien lebih dari 55 tahun, pasien lemah atau dengan ASA III/IV:

0.05-0.1 mg/menit/kgBB. (4) Dosis yang dianjurkan yang dapat

menimbulkan sedasi adalah 0.1-0.15 mg/kgBB sebagai dosis inisial

dengan dosis pemeliharaan yang dianjurkan pada pasien lebih dari 3 tahun

dan kurang dari 55 tahun adalah 0.025-0.075 mg/menit/kgBB dan untuk

Page 14: Referat Anestesi

pasien lebih dari 55 tahun, pasien lemah atau dengan ASA III/IV: 0.02-

0.06 mg/menit/kgBB. (4)

Propofol, bila digunakan untuk induksi anestesi dalam prosedur

singkat, hasil dalam pemulihan secara signifikan lebih cepat dan

pengembalian sebelumnya fungsi psikomotor dibandingkan dengan

thiopental atau methohexital, terlepas dari anestesi yang digunakan untuk

pemeliharaan anestesi. Kejadian mual dan muntah saat propofol digunakan

untuk induksi juga nyata kurang dari setelah penggunaan anestesi IV

lainnya, mungkin karena sifat antiemetik propofol.(3) Propofol mendukung

perkembangan bakteri, sehingga harus berada dalam lingkungan yang

steril dan hindari profofol dalam kondisi sudah terbuka lebih dari 6 jam

untuk mencegah kontaminasi dari bakteri. (4)(5)

Efek samping. Suntikan intravena sering menyebabkan nyeri, sehingga

beberapa detik sebelumnya dapat diberikan lidokain 1-2mg/kgBB

intravena(3). Biasanya terjadi saat penyuntikan dilakukan di dorsum

Palmaris. Insidens nyeri lebih sedikit didapatkan pada penyuntikan di vena

yang lebih besar di fossa antecubiti. (5). Bradikardi serta hipotensi kadang

didapatkan setelah penyuntikan propofol, namun dapat diatasi dengan

penyuntikkan obat antimuskarinik, misalnya: atropin. Efek samping

eksitatorik seperti myoclonus, opisthotonus serta konvulsi kadang

dihubungkan dengan pemberian propofol dan dapat terjadi pada masa

pemulihan. Resiko konvulsi dan onset yang melambat ditemujan pada

pemberian propofol pada pasien epilepsy.

KETAMIN

Ketamin adalah suatu “rapid acting non-barbiturate general

anesthetic”. Pertama kali diperkenalkan oleh Domino and Carsen pada

tahun 1965.(2)

Ketamin kurang digemari untuk induksi anesthesia karena sering

menimbulkan takikardi, hipertensi, hipersalivasi, nyeri kepala, pasca

anesthesia dapat menimbulkan mual muntah, pandangan kabur dan mimpi

buruk.(3) Blok terhadap reseptor opiat dalam otak dan medulla spinalis

Page 15: Referat Anestesi

yang memberikan efek analgesik, sedangkan interaksi terhadap reseptor

metilaspartat dapat menyebakan anastesi umum dan juga efek analgesik. .(1)

(4)

Farmakokinetik. Onset kerja ketamin pada pemberian intravena

lebih cepat dibandingkan pemberian intramuskular. Onset pada pemberian

intravena adalah 30 detik sedangkan dengan pemberian intramuskular

membutuhkan waktu 3-4 menit, tetapi durasi kerja juga didapatkan lebih

singkat pada pemberian intravena (5-10 menit) dibandingkan pemberian

intramuskular (12-25 menit). .(1)(4)

Metabolisme terjadi di hepar dengan bantuan sitokrom P450 di

reticulum endoplasma halus menjadi norketamine yang masih memiliki

efek hipnotis namun 30% lebih lemah dibanding ketamine, yang kemudian

mengalami konjugasi oleh glukoronida menjadi senyawa larut air untuk

selanjutnya diekskresikan melalui urin.(5)

Farmakodinamik Sistem saraf pusat. Ketamine memiliki efek

analgetik yang kuat akan tetapi efek hipnotiknya kurang (tidur ringan)

disertai anestesia disosiasi. Apabila diberikan intravena maka dalam waktu

30 detik pasien akan mengalami perubahan tingkat kesadaran yang disertai

tanda khas pada mata berupa kelopak mata terbuka spontan, dilatasi pupil

dan nistagmus. Selain itu kadang-kadang dijumpai gerakan yang tidak

disadari (cataleptic appearance), seperti gerakan mengunyah, menelan,

tremor dan kejang. Pada pasien yang diberikan ketamin juga mengalami

amnesia anterograde. Itu merupakan efek anestesi dissosiatif yang

merupakan tanda khas setelah pemberian Ketamin. Sering mengakibatkan

mimpi buruk dan halusinasi pada periode pemulihan sehingga pasien

mengalami agitasi. Selain itu, ketamin menyebabkan peningkatan aliran

darah ke otak, konsumsi oksigen otak, dan tekanan intrakranial. .(1)(4)

Pulih sadar kira-kira tercapai dalam 10-15 menit tetapi sulit

menentukan saatnya yang tepat seperti halnya sulit menentukan permulaan

kerjanya. Kontak penuh dengan lingkungan dapat bervariasi dari beberapa

menit setelah permulaan tanda-tanda sadar sampai 1 jam. Sering

Page 16: Referat Anestesi

mengakibatkan mimpi buruk, disorientasi tempat dan waktu, halusinasi

dan menyebabkan gaduh, gelisah, tidak terkendali. .(1)(4)

Sistem kardiovaskuler. Tekanan darah akan naik baik sistolik

maupun diastolik. Kenaikan rata-rata antara 20-25% dari tekanan darah

semula mencapai maksimum beberapa menit setelah suntikan dan akan

turun kembali dalam 15 menit kemudian. Denyut jantung juga meningkat.

Efek ini disebabkan adanya aktivitas saraf simpatis yang meningkat dan

depresi baroreseptor. Efek ini dapat dicegah dengan pemberian

premedikasi opioid, hiosine. Namun aritmia jarang terjadi. .(1)(4)

Sistem pernafasan. Depresi pernafasan kecil sekali dan hanya

sementara, kecuali dosis terlalu besar dan adanya obat-obat depressan

sebagai premedikasi. Ketamin menyebabkan dilatasi bronkus dan bersifat

antagonis terhadap efek konstriksi bronkus oleh histamin, sehingga baik

untuk penderita asma dan untuk mengurangi spasme bronkus pada

anesthesia umum yang masih ringan. .(1)(4)

Dosis. Dosis yang dianjurkan untuk induksi pada pasien dewasa

adalah 1-4mg/kgBB atau 1-2mg/kgBB dengan lama kerja 15-20 menit,

sedangkan melalui infus dengan kecepatan 0.5mg/kgBB/menit, sedangkan

untuk anak-anak terdapat banyak rekomendasi. Menurut Mace, et al

(2004) dosis induksi adalah 1-2 mg/kgBB sedangkan menurut Harriet

Lane, 0.25-0.5 mg/kgBB. Dengan dosis tambahan setengah dari dosis awal

sesuai kebutuhan.(5) Untuk sedasi dan analgesik dosis yang dianjurkan

adalah 0.2-0.8 mg/kgBB intravena dan untuk mencegah nyeri dosis yang

dianjurkan adalah 0.15-0.25 mg/kgBB intravena.(5) Ketamin dapat

diberikan bersama dengan diazepam atau midazolam dengan dosis

0.1mg/kgBB intravena dan untuk mengurangi salvias dapat diberikan

sulfas atropine 0.01mg/kgBB.(3)

Indikasi. Ketamin dipakai baik sebagai obat tunggal maupun

sebagai induksi pada anestesi umum : 1.) untuk prosedur dimana

pengendalian jalan nafas sulit, misalnya pada koreksi jaringan sikatriks

daerah leher; 2.) untuk prosedur diagnostic pada bedah saraf atau radiologi

Page 17: Referat Anestesi

(radiografi); 3.) tindakan ortopedi, misalnya reposisi; 4.) pada pasien

dengan resiko tinggi karena ketamin yang tidak mendepresi fungsi vital;

5.) untuk tindakan operasi kecil; 6.) di tempat dimana alat-alat anestesi

tidak ada; 7.) pasien asma. .(1)(4)

Kontra Indikasi. Ketamin tidak dianjurkan untuk digunakan pada:

1.) Pasien hipertensi dengan tekanan darah sistolik 160mmHg dan

diastolic 100mmHg; 2.) Pasien dengan riwayat CVD; 3.) pasien dengan

decompensatio cordis. Penggunaan ketamin juga harus hati-hati pada

pasien dengan riwayat kelainan jiwa & operasi-operasi pada daerah faring

karena reflex masih baik.

Efek samping. Di masa pemulihan pada 30% pasien didapatkan

mimpi buruk sampai halusinasi visual yang kadang berlanjut hingga 24

jam pasca pemberian. Namun efek samping ini dapat dihindari dengan

pemberian opioid atau benzodiazepine sebagai premedikasi. .(1)(4)

8. Pemeliharaan Anestesi (Maintainance)

Dapat dikerjakan secara intravena (anestesi intravena total) atau dengan

inhalasi atau dengan campuran intravena inhalasi. Rumatan anestesi

mengacu pada trias anestesi yaitu tidur rinan (hypnosis) sekedar tidak

sadar, analgesia cukup, diusahakan agar pasien selama dibedah tidak

menimbulkan nyeri dan relaksasi otot lurik yang cukup. Rumatan

intravena biasanya menggunakan opioid dosis tinggi, fentanil 10-50

µg/kgBB. Dosis tinggi opioid menyebabkan pasien tidur dengan analgesia

cukup, sehingga tinggal memberikan relaksasi pelumpuh otot. Rumatan

intravena dapat juga menggunakan opioid dosis biasa, tetapi pasien

ditidurkan dengan infuse propofol 4-12 mg/kgBB/jam. Bedah lama dengan

anestesi total intravena, pelumpuh otot dan ventilator. Untuk

mengembangkan paru digunakan inhalasi dengan udara + O2 atau N2O +

O2. Rumatan inhalasi biasanya menggunakan campuran N2O dan O2

dengan perbandingan 3:1 ditambah halotan 0,5-2 vol% atau enfluran 2-4%

atau isofluran 2-4 vol% atau sevofluran 2-4% bergantung apakah pasien

bernapas spontan, dibantu atau dikendalikan.

Page 18: Referat Anestesi

9. Pemulihan Anestesi

Pada akhir operasi atau setelah operasi selesai, maka anestesi

diakhiri dengan menghentikan pemberian obat anestesi. Pada penderita

yang mendapatkan anestesi intravena, kesadaran akan kembali berangsur-

angsur dengan turunnya kadar obat anestesi akibat metabolisme atau

ekskresi setelah obat dihentikan. Selanjutnya bagi penderita yang

dianestesi dengan pernafasan spontan tanpa menggunakan pipa

endotrakeal maka hanya tinggal menunggu sadarnya penderita. Sedangkan

untuk pasien yang menggunakan pipa endotrakheal, maka perlu dilakukan

pelepasan atau ekstubasi. Ekstubasi dapat dilakukan ketika penderita

masih teranestesi maupun setelah penderita sadar. Ekstubasi dalam

keadaan setengah sadar dapat membahayakan penderita karena dapat

menyebabkan spasme jalan nafas, batuk, muntah, gangguan

kardiovaskuler, naiknya tekanan intraokuli dan intrakranial (Soenarjo et al,

2010).

Page 19: Referat Anestesi

BAB III

KESIMPULAN

Anestesi adalah suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika

melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa

sakit pada tubuh. Anestesi umum adalah adalah menghilangkan rasa sakit seluruh

tubuh secara sentral disertai hilangnya kesadaran yang bersifat reversible.

Faktor-faktor yang mempengaruhi anestesi meliputi faktor respirasi, faktor

sirkulasi, faktor jaringan dan faktor zat anestetika.

Anestesi intravena ideal membutuhkan kriteria yang sulit dicapai oleh

hanya satu macam obat yaitu larut dalam air dan tidak iritasi terhadap jaringan,

mula kerja cepat, lama kerja pendek, cepat menghasilkan efek hypnosis,

mempunyai efek analgesia, disertai oleh amnesia pascaanestesia, dampak yang

tidak baik mudah dihilangkan oleh obat antagonisnya, cepat dieliminasi dari

tubuh, tidak atau sedikit mendepresi fungsi respirasi dan kardiovaskuler, pengaruh

farmakokinetik tidak tergantung pada disfungsi organ, tanpa efek samping (mual

muntah), menghasilkan pemulihan yang cepat.

Stadium anestesi menurut Guedel dibagi menjadi 4 stadium yaitu :

1. Stadium I (Stadium analgesia)

2. Stadium II (Stadium eksitasi atau stadium delirium)

3. Stadium III (Stadium anestesia atau stadium operasi)

4. Stadium IV (Stadium paralysis)

Penilaian dan persiapan pra anestesi meliputi :

1. Anamnesis

2. Pemeriksaan Fisik

3. Pemeriksaan Laboratorium

4. Klasifikasi Status Fisik

5. Masukan Oral

6. Premedikasi

7. Obat-obat Induksi Intravena

Page 20: Referat Anestesi

8. Pemeliharaan Anastesi (Maintanance)

9. Pemulihan Anastesi

Page 21: Referat Anestesi

DAFTAR PUSTAKA

Calvey, Norman; Williams, Norton. Principles and Practice of Pharmacology for

Anaesthetists. Fifth edition. Blackwell Publishing 2008; 110-126, 207-208

Dobson, M.B.,ed. Dharma A., 1994 Penuntun Praktis Anestesi. Jakarta

Dewoto HR, et al. Farmakologi dan Terapi Edisi 5, cetak ulang dengan tambahan,

tahun 2012. Analgesik opioid dan antagonisnya. Balai Penerbit FKUI

Jakarta 2012; 210-218

Fentanyl. Available at: http://www.webmd.com/pain-management/fentanyl.

Accessed on 2 juni 2014

Ganiswara, Silistia G., 1995. Farmakologi dan Terapi (Basic Therapy

Pharmacology). Alih Bahasa: Bagian Farmakologi FKUI. Jakarta,

Latief, Said A, Sp.An; Suryadi, Kartini A, Sp.An; Dachlan, M. Ruswan, Sp.An.

Petunjuk Praktis Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta 2010; 46-47, 81

Muhiman, Muhardi, dr. et al. Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi

Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Jakarta; 65-71

Propofol. Available at: http://reference.medscape.com/drug/diprivan-propofol-

343100#0. Accessed on 2 Juni 2014

Werth, M. 2010. Pokok-Pokok Anestesi. Jakarta: EGC