Upload
anggarani-nia
View
245
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
pskiatri
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Gangguan afektif bipolar merupakan gangguan jiwa yang tersifat oleh
episode berulang (sekurang-kurangnya dua episode) dimana afek pasien dan
tingkat aktivitasnya jelas terganggu, pada waktu tertentu terdiri dari
peningkatan afek disertai penambahan energi dan aktivitas (mania atau
hipomania) dan pada waktu lain berupa penurunan afek disertai pengurangan
energi dan aktivitas (depresi). Yang khas dari gangguan ini adalah bahwa
biasanya ada penyembuhan sempurna antar episode (Maslim, 2001).
Terdapat dua tipe gangguan afektif bipolar, yaitu tipe I dan tipe II.
Pada gangguan afektif bipolar tipe I, pasien mengalami episode manik dan
depresif atau pasien mengalami episode manik saja. Sedangkan pada
gangguan afektif bipolar tipe II ditandai oleh adanya episode depresif berat
dan berganti-ganti dengan hipomania (Kaplan, 2010).
Gangguan afektif bipolar disebut-sebut bertanggung jawab untuk
hendaya yang terjadi pada seseorang oleh karena onsetnya yang cepat dan
kronisitasnya selama masa hidup seseorang. Estimasi agregat prevalensi
seumur hidup gangguan ini adalah sekitar 1,0% dari populasi umum untuk
gangguan afektif bipolar tipe I, sedangkan estimasi prevalensi pada tipe II
adalah sebesar 1,2% (Merikangas, 2011).
Studi komorbiditas nasional Amerika melaporkan prevalensi seumur
hidup gangguan afektif bipolar sebesar 4% dan gangguan ini lebih sering
ditemukan pada wanita dibandingkan dengan pria dengan rasio 3:2. Usia rata-
rata penderita saat onset adalah 25 tahun, dengan pria memiliki onset yang
lebih awal dibandingkan dengan wanita (Andreasen, 2006).
Pada populasi yang memiliki asuransi, 7,5% dari semua penuntut
manfaat asuransi layanan kesehatan jiwa yang mengajukan klaim, 3,0%nya
mengajukan klaim dengan diagnosis gangguan afektif bipolar. Seseorang
dengan gangguan afektif bipolar, mengeluarkan sekitar $568 di setiap
1
tahunnya yang mana biayanya dua kali lipat dibandingkan dengan penuntut
manfaat asuransi kesehatan jiwa lainnya. Hal ini membuat gangguan afektif
bipolar menjadi diagnosis gangguan jiwa termahal, dengan biaya pengobatan
dua kali lipat dibandingkan dengan pasien yang menderita depresi saja (Peele,
2003). Selain menimbulkan dampak pada ekonomi, gangguan ini juga
berdampak sosial pada komunitas di tempat pasien tinggal (American
Psychiatric Association, 2000).
Oleh karena alasan tersebut, maka diperlukan adanya intervensi dini
dan peningkatan manajemen pencegahan pada gangguan tersebut. Salah satu
cara yang dapat dilakukan adalah dengan mengetahui apa peran dari
epigenetik, genetik, dan biomolekuler pada gangguan ini, sehingga pada
akhirnya insidensi dan prevalensi gangguan ini dapat menurun serta mungkin
dapat ditemukannya cara terapi yang efektif dan efisien dibandingkan dengan
cara terapi tradisional untuk gangguan tersebut.
B. Rumusan Masalah
1. Apa peran epigenetik pada gangguan afektif bipolar?
2. Apa peran genetik pada gangguan afektif bipolar?
3. Apa peran biomolekuler pada gangguan afektif bipolar?
C. Tujuan
1. Mengetahui peran epigenetik pada gangguan afektif bipolar
2. Mengetahui peran genetik pada gangguan afektif bipolar
3. Mengetahui peran biomolekuler pada gangguan afektif bipolar
D. Manfaat
1. Manfaat Teoritis
Makalah ini diharapkan dapat memberi informasi dan pengetahuan ilmiah
dalam bidang genetik, epigenetik, dan biomolekuler pada gangguan
afektif bipolar.
2
2. Manfaat Praktis
Makalah ini diharapkan dapat memberikan informasi, pengetahuan secara
umum, dan manfaat kepada pembaca dan kepada penulis pada khususnya
agar lebih memahami gangguan afektif bipolar.
3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Epigenetik
Epigenetik adalah suatu mekanisme yang menentukan apakah suatu
gen akan diekspresikan menjadi RNA dan protein, atau akan dibungkam.
Epigenetik merujuk pada perubahan yang diwariskan dalam ekspresi gen
yang tidak melibatkan perubahan pada urutan DNA yang mendasari atau
dengan kata lain perubahan fenotipe tanpa perubahan genotipe. Jika genom
adalah "kata," maka epigenom adalah "cerita" yang dihasilkan dari mengatur
"kata" menjadi cerita yang koheren. Neurotransmisi, gen itu sendiri, obat-
obatan, dan lingkungan mengatur gen yang diekspresikan atau dibungkam
(Stahl, 2013).
1. Mekanisme molekuler epigenetik
Mekanisme epigenetik menghidupkan dan mematikan gen dengan
memodifikasi struktur kromatin dalam inti sel. Karakter sel secara
fundamental ditentukan oleh kromatin, sebuah substansi yang terdiri dari
nukleosom. Nukleosom merupakan rangkaian DNA yang melilit suatu
protein yang disebut histon. Epigenetik mengatur apakah gen akan
diekspresikan atau tidak diekspresikan, dicapai dengan memodifikasi
struktur kromatin. Modifikasi kimia yang dapat melakukan hal ini tidak
hanya metilasi, tetapi juga asetilasi, fosforilasi, dan proses lainnya yang
diatur oleh neurotransmisi, obat-obatan, dan lingkungan. Misalnya, ketika
DNA atau histon ter-metilasi, ia akan memadatkan kromatin dan menutup
akses faktor transkripsi molekul ke daerah promotor DNA, dengan
konsekuensi bahwa gen dibungkam dan tidak diekspresikan. Sehingga
tidak ada RNA atau protein yang diproduksi. Silenced DNA berarti bahwa
fitur molekul bukan bagian dari kepribadian sel itu (Stahl, 2013).
Histon yang termetilasi oleh enzim disebut histone metil-
transferase (HMT), dan dapat diubah kembali oleh enzim yang disebut
4
histone demethylase (HDM). Metilasi histon dapat membungkam gen,
sedangkan demetilasi dari histon dapat mengaktifkan gen. DNA juga dapat
termetilasi, dan ini juga membungkam gen. Demetilasi DNA akan
mengaktifkan gen. Metilasi DNA diatur oleh enzim DNA metil-transferase
(DNMT), dan demetilasi DNA oleh enzim DNA demethylase. Ada banyak
bentuk enzim metil-transferase, dan semuanya menambahkan substrat
dengan kelompok metil yang disumbangkan dari L-methylfolate melalui S-
adenosyl-methionin (SAMe). Ketika neurotransmisi, obat-obatan, atau
lingkungan mempengaruhi metilasi, hal inilah yang mengatur gen secara
epigenetik apakah gen akan diekspresikan atau dibungkam (Stahl, 2013).
Metilasi DNA akhirnya dapat juga menyebabkan deasetilasi histon,
dengan mengaktifkan enzim yang disebut histone deacetylases (HDAC).
Deasetilasi histon juga memiliki efek pembungkaman pada ekspresi gen.
Metilasi dan deasetilasi akan memadatkan kromatin, seakan gerbang
molekul telah ditutup. Hal ini untuk mencegah faktor transkripsi
mengakses daerah promotor yang mengaktifkan gen; dengan demikian,
gen dibungkam dan tidak ditranskripsi menjadi RNA atau diterjemahkan
menjadi protein. Di sisi lain, demetilasi dan asetilasi melakukan
dekompresi kromatin seakan gerbang molekul telah dibuka, dan dengan
demikian faktor transkripsi bisa sampai ke daerah promotor gen dan
mengaktifkan gen. Gen diaktifkan dengan demikian menjadi bagian dari
kepribadian molekul dari sel tertentu (Stahl, 2013).
5
Gambar 1. Gene activation and silencing
Pada mamalia, modifikasi DNA genomik terjadi terutama di posisi
kelima dari cincin pirimidin sitosin di dinukleotida CpG (Gambar 1). Gen
promotor mamalia sering dikaitkan dengan regio kaya-CpG (CpG islands),
dan tingkat metilasinya sangat dinamis selama tahap-tahap perkembangan
(Garinis et al.2002).
6
Gambar 2. Modifikasi epigenetik pada histon
Modifikasi epigenetik pada histon terjadi pada unit octamer dari
protein histon (Gambar 2). Ekor yang menonjol dari protein histon adalah
bagian untuk modifikasi posttranslational, seperti asetilasi, metilasi, dan
fosforilasi (Jenuwein dan Allis 2001). Aktivitas yang berlawanan dari
enzim HMT, HDM, HAT, dan HDAC ini memberikan sebuah
keseimbangan yang dinamis antara struktur kromatin dan transkripsi gen
yang terkait. Telah diketahui modifikasi histon juga terkait dengan pola
metilasi DNA pada lokus kromosom. Methyl-binding domain proteins
(MBD), seperti metil-CpG-binding protein 2 (MECP2), bisa untuk metilasi
DNA dan menarik kompleks protein besar yang mengandung HDAC dan
HMT, yang selanjutnya menekan aktivitas gen (Khare et al, 2011).
Baru-baru ini, diketahui bahwa regulasi epigenetik melibatkan
small interfering RNA (siRNA) / mikro RNA (miRNA). RNA kecil terdiri
dari 21-28 nukleotida, dan berasal dari pembelahan RNA untai ganda.
RNA dapat memainkan peran regulasi tingkat transkripsi dan
posttranscriptional. RNA-mediated gene silencing memainkan peran
penting dalam mempertahankan struktur kromosom, pertahanan genom,
dan regulasi gen, dan baru-baru ini menunjukkan peran penting dalam
perkembangan penyakit (Khare et al, 2011).
7
a. Epigenetik pada gangguan afektif bipolar
Pada umumnya, penyakit yang kompleks, seperti gangguan
afektif bipolar, disebabkan oleh dua kelompok faktor risiko, yaitu:
perubahan dalam rangkaian DNA dan lingkungan yang berbahaya.
Epigenetik telah diketahui memiliki banyak peran pada regulasi
beberapa proses genomik yang berhubungan dengan penyakit psikiatri
dan penyakit kompleks lainnya.
Model epigenetik dari gangguan afektif bipolar dan penyakit
kompleks lainnya bergantung pada tiga konsep dasar yaitu:
1) Regulasi epigenetik spatiotemporal fungsi gen yang sangat dinamis
Epigenetik suatu sel dipengaruhi oleh perkembangan
organisme, lingkungan internal dan/atau eksternal, dan faktor
stokastik. Dengan demikian, jenis sel dalam suatu jaringan memiliki
epigenotipe yang berbeda dengan jenis suatu sel di jaringan lain
(Khare et al, 2011).
2) Beberapa tanda epigenetik menampilkan stabilitas meiosis parsial
Selama meiosis, tanda epigenetik akan terhapus dalam sel
germinal dan akan terbentuk profil sel yang baru. Efek
transgenerational fenotipik muncul jika tanda epigenetik tidak
terhapus secara sempurna (Khare et al, 2011).
3) Faktor-faktor epigenetik penting dalam fungsi normal dari genom
Penyimpangan dalam status epigenetik sel dapat
menyebabkan kerugian yang serius pada genom, sel, jaringan, atau
individu (Khare et al, 2011).
Macam-macam mekanisme epigenetik pada gangguan afektif
bipolar adalah sebagai berikut:
a) Diskordansi Kembar Monozigot
Pada gangguan afektif bipolar, korkondansi (fenotip sama)
teramati sebanyak 62% dan 79% pada kembar monozigot pria dan
wanita. Sedangkan pada kembar dizigot, menunjukkan 12-15%
konkordansi. Perbedaan fenotip pada kembar monozigot sering
8
diinterpretasikan sebagai bukti dari interaksi lingkungan yang
menyebabkan penyakit pada salah satu dari dua anak kembar, tetapi
Taylor et al (2002) menunjukkan bahwa orang tua yang
membesarkan anak mereka dalam lingkungan yang normal tidak
menurunkan risiko terjadinya gangguan afektif bipolar. Dari sudut
pandang epigenetik, diskordansi kembar monozigot dapat dijelaskan
sebagai kaskade perubahan epigenetik yang dimulai dengan pre-
epimutasi, suatu masalah epigenetik yang timbul selama maturasi
germline. Pre-epimutasi tidak menyebabkan suatu kondisi kesakitan,
melainkan dapat menjadi faktor predisposisi seorang individu
menderita suatu penyakit. Pre-epimutasi dapat dipengaruhi oleh
pengaruh dari pre- dan post-natal, seperti diferensiasi jaringan,
lingkungan eksternal, hormon, kejadian stokastik, dll. Oleh karena
sifat dinamis tersebut, epimutasi penuh hanya dapat terjadi pada
salah satu anak kembar. Perbedaan epigenetik pada anak kembar
seperti yang telah diuraikan di atas dapat menyebabkan diskordansi
penuh atau parsial (variasi muncul pada onset usia, keparahan
penyakit, dan respon pengobatan). Perbedaan epigenetik molekuler
telah diidentifikasi pada “discordant” kembar monozigot pada
Sindrom Beckwith Wiedemann, dan pada kembar monozigot yang
menderita gangguan psikiatri (Khare et al, 2011).
Inaktivasi kromosom X yang tidak simetris pada wanita
merupakan proses epigenetik lain yang dapat menjelaskan
diskordansi kembar monozigot pada wanita (Rosa et al, 2008).
Beberapa tingkat regulasi epigenetik, seperti metilasi DNA, ekspresi
RNA Xist non-coding, dan modifikasi histon, terlibat dalam
inaktivasi kromosom X (Khare et al, 2011).
b) Dismorfisme seksual
Pengaruh seks, atau dimorfisme seksual, merujuk ke
perbedaan kerentanan terhadap penyakit pada jenis kelamin laki-laki
dan perempuan. Perbedaan tersebut dahulu diduga terkait dengan
9
perbedaan gen yang berada pada kromosom seks. Sebagai tambahan,
efek spesifik dari gender telah dikaitkan dengan hormon seks dan
peran penting mereka dalam berbagai proses regulasi dan kondisi
penyakit (Sit, 2004). Perbedaan seks terdapat pada gangguan afektif
bipolar, seperti yang terlihat pada lebih tingginya insidensi dari
rapid cycling, gangguan campuran, dan siklotimia pada wanita dan
prevalensi yang lebih tinggi dari onset dini gangguan afektif bipolar
pada pria (Braunig et al 2009). Beberapa penelitian mengungkapkan
bahwa gen autosomal juga mungkin menunjukkan pengaruh gender
(Kaminsky et al. 2006). Sebagai contoh, studi asosiasi gen G
protein-coupled receptor 78 (GPR78), yang terletak di kromosom 4,
ditemukan dua haplotipe yang muncul, terutama wanita dengan
gangguang bipolar (Underwood et al. 2006). Epigenetik dapat
memberikan penjelasan tentang efek seks pada gen autosom.
Yang menjadi perhatian adalah reseptor androgen dan
reseptor estrogen, yang merupakan bagian dari reseptor steroid (SR)
yang merupakan anggota dari reseptor hormon di inti sel (Fu et al
2004). SR merespon hormon steroid dengan merekrut kompleks
protein lalu dihubungkan dengan beberapa enzim yang dapat
memodifikasi histon, seperti HAT, HDAC, dan HMT, yang
menentukan bisa atau tidaknya RNA polimerase II dan faktor
transkripsi mengakses DNA (Fu et al. 2004). Beberapa studi telah
menunjukkan bahwa modifikasi histon, serta perubahan dalam
metilasi DNA dari gen-gen tertentu, dapat dimediasi melalui hormon
seks. Selain itu, efek dari hormon seks telah terbukti spesifik
terhadap gen dan jaringan tertentu, berdasarkan pada diferensiasi
spesifik jaringan tertentu terhadap respon dari reseptor hormon seks
diantara gender dan terget gennya (Azzi et al 2006). Misalnya, efek
spesifik pada jaringan yang disebabkan oleh seks hormon
ditunjukkan pada terapi estradiol pada tikus, yang mengakibatkan
peningkatan metilasi gen prolaktin dan penurunan mRNA hanya di
10
hipofisi dan liver. Dari penelitian tersebut, dapat diasumsikan bahwa
alel atau haplotype tertentu terlibat menjadi faktor risiko setelah
adanya perubahan epigenetik yang dimediasi oleh sistem endokrin.
c) Efek dari orang tua
Orang tua juga berpengaruh dalam kondisi biologis manusia,
mengacu pada pengaruh spesifik gender orang tua terhadap risiko
pengembangan penyakit pada keturunannya. Ada banyak penelitian
yang menunjukkan sering terjadinya transmisi maternal pada
gangguan afektif bipolar pada kasus familial (Lan et al. 2007).
Mekanisme lain yang mungkin menjelaskan pengaruh dari orang tua
yang bisa menurunkan gangguan afektif bipolar adalah pewarisan
mitokondria dan genomic imprinting.
Genomic imprinting mengacu pada beberapa ratus gen dari
ekspresi monoalel, terutama disebabkan perbedaan tanda epigenetik
pada alel ibu atau ayah. Biasanya, gen yang tercetak menunjukkan
sebuah jenis ekspresi "on/off"; contohnya, H19 diekspresikan ketika
diturunkan dari ibu, sedangkan IGF2 secara eksklusif diekspresikan
ketika diwarisi dari ayah. Gen yang tercetak biasanya terletak dalam
suatu kompleks dan mungkin dapat menunjukkan regulasi epigenetik
dalam jaringan secara spesifik. Regulasi gen yang tercetak dalam
suatu komples melibatkan satu atau beberapa elemen regulasi yang
memiliki perbedaan epigenetik pada alel ayah dan ibu, disebut
sebagai imprinting center IC) atau differentially methylated regions
(DMR). Modifikasi pada epigentik di IC dipertahankan sepanjang
perkembangan organisme dan hanya terhapus dan dimunculkan
kembali selama pembentukan germ cell (Sasaki dan Matsui 2008).
Perlu dicatat bahawa gen ayah dan gen ibu mungkin saling
mendominasi satu sama lain di setiap daerah otak yang berbeda.
Pada tikus, daerah otak yang menunjukkan dominasi pengaruh ayah
berada di hipotalamus dan daerah septum, yang memediasi perilaku
insting, seperti makan, kawin, dan agresi sosial. Pengaruh ibu terlihat
11
di bidang yang terkait dengan perkembangan kognitif (Barrett et al
2009). Selanjutnya, sindom imprinting sering menunjukkan
komorbiditas psikiatrik. Imprinting biasanya terletak di kromosom
15q11-13, yang terlibat dalam etiologi Prader-Willi dan Angelman
syndrome (PWS dan AS). Angelman syndrome, atau sindrom
"happy puppet", ditandai dengan penurunan regulasi epigenetik dari
gen ibu. Individu yang terkena menunjukkan adanya gangguan
ADHD pada masa bayi, dengan tingginya insiden autisme.
Sebaliknya, PWS disebabkan penurunan regulasi gen ayah, yang
memperlihatkan perilaku sangat tenang di masa bayi. Individu yang
terkena PWS memiliki insidensi yang tinggi untuk terjadinya
psikosis dengan depresi.
d) Efek Epigenetik lainnya
Perkembangan penelitan menunjukkan bahwa faktor
lingkungan, seperti pola makan, faktor kimia, dan faktor fisik, serta
faktor-faktor psikososial, dapat memodulasi profil epigenetik dari
genom, baik pada lokus yang spesifik maupun global. Pengaruh pola
makan diamati dari suatu penelitian yang dilakukan pada penyakit
skizofren (memiliki fenotip mirip dengan gangguan afektif bipolar)
menunjukkan bahwa anak dimana ibunya terkena bencana kelaparan
menunjukkan prevalensi yang lebih tinggi untuk skizofrenia. Selain
itu, anak tersebut juga menampilkan penyimpangan modifikasi
epigenetik pada promotor dari gen IGF 2. Pada hewan, penambahan
suplemen metyl-donor, seperti asam folat dan vitamin B12, selama
kehamilan ditemukan meningkatkan metilasi DNA keseluruhan
genom embrio. Efek ini terdokumentasikan dengan baik pada elemen
IAP yang muncul pada lokus gen Agouti dan, sebagai hasil,
perubahan warna bulu yang diamati. Selain diet, regulasi dari fungsi
genom dapat dipengaruhi oleh penggunaan narkoba. Misalnya,
methamphetamine mempengaruhi metilasi DNA dengan mengubah
ekspresi DNMT1. Penggunaan jangka panjang dari metamfetamin
12
diketahui menyebabkan perilaku yang berlebihan dari agresif,
defensif, dan perilaku seksual, kadang-kadang diamati pada pasien
BPD dan skizofrenia (Khare et al, 2011).
Pasien dengan gangguan afektif bipolar sering menunjukkan
kebiasaan sleep-wake dysrhythmic, seperti insomnia, variasi diurnal
pada mood, dan bangun tidur terlalu pagi. Studi dengan
menggunakan tikus menunjukkan keterlibatan sleep-wake rhythm;
seperti (1) mutasi pada gen Clock (Circadian Locomotor Output
Cycles Kaput Protein) pada tikus yang mengarah ke perilaku mania
seperti pada manusia, dan (2) tikus transgenik yang mengekspresikan
secara berlebihan Gsk3b (Glycogen kinase 3 beta) juga
menunjukkan hiperaktif dan perilaku seperti manik. Serangkaian gen
yang terlibat dalam ritme sirkadian juga menonjol sebagai kandidat
potensial orang yang akan mengalami gangguan afektif bipolar,
terutama untuk gangguan afektif bipolar anak. Sleep-wake rhytm
dipertahankan pada nukleus suprachiasmatic (SCN) di hipotalamus
dan diregulasi dengan mekanisme umpan balik transkripsi, yang
dapat berjalan tanpa adanya masukan dari lingkungan selama 24
jam. Heterodimer dari CLOCK dan Brain and Muscle ARNT-like
Protein-1 (BMAL1) berfungsi sebagai aktivator transkripsi dari
target gen CLOCK (PER 1 dan 2, CRY1 dan 2). GSK-3b
memfosforilasi target gen CLOCK dan mengarahkan mereka ke inti
sel, dimana mereka menghambat aktivitas fungsional
CLOCK/kompleks BMAL1, sehingga menyelesaikan umpan balik
transkripsi. Melatonin, merupakan sebuah hormon kunci yang
terlibat dalam pemeliharaan ritme sirkadian, disekresikan oleh
kelenjar pineal, yang diatur oleh SCN. Sekresi melatonin
dipengaruhi oleh siklus terang-gelap, dimana kegelapan merangsang
dan cahaya menekan produksinya. Cahaya memicu fosforilasi
H3Ser10 dalam neuron-neuron di SCN dan memicu asetilasi H3
menjadi K14. Modifikasi epigenetik ini digabungkan dengan
13
transkripsi aktif dari gen CLOCK. Menariknya, protein CLOCK
memproses aktivitas intrinsik HAT, pengasetilasian histon H3 dan
H4, dengan preferensi yang tinggi untuk H3K14. Demikian pula,
modifikasi histon yang berbeda juga berjalan selama ritme sirkadian
untuk represi transkripsi gen target CLOCK, misalnya di-metilasi
dan tri-metilasi H3K27 pada PER 1 dan PER 2 bagian promotor
(Khare et al, 2011).
Penstabil mood digunakan untuk mengobati gangguan afektif
bipolar – lithium dan asam valproat - dapat berkontribusi untuk
sleep-wake rhytm dengan memodifikasi epigenetik. Lithium,
menghambat aktivitas GSK-3, dan asam valproat sering digunakan
sebagai kombinasi dan memiliki efek neuroprotektif. Lithium juga
dikenal untuk memperpanjang umur C.elegans, yang menyebabkan
menekan ekspresi dari LSD-1 (Lysine-spesific demethylase-1), pen-
demetilasi histon, sehingga mempengaruhi status epigenetik (Khare
et al, 2011).
e) Pendekatan Eksperimental pada Studi Epigenetik dan Epigenomik
dari gangguan afektif bipolar
Komponen epigenetik digunakan untuk menyelidiki dua
komponen dari genom: modifikasi pada DNA atau pada protein
histon. Modifikasi pada protein histon diselidiki pertama kali dengan
memperkaya fraksi DNA dengan mengikatkannya pada sebuah
modifikasi histon yang spesifik. Modifikasi histon didapat melalui
penggunaan antibodi spesifik. Setelah fraksi yang diperkaya telah
diisolasi, fraksi tersebut dijadikan lokus khusus PCR atau dapat
diamati pada microarray. Modifikasi DNA terdiri dari residu sitosin
yang ter-metilasi dan ter-hidroksimetilasi (Khare et al, 2011).
f) Penelitian Methylome DNA pada gangguan afektif bipolar
Di korteks prefrontal individu dengan gangguan afektif
bipolar dan skizofren, terjadi peningkatan kadar ekspresi gen
DNMT1 dan donor metil SAM (S-adenosyl metionin), yang
14
menyebabkan peningkatan secara global metilasi DNA. Namun,
jumlah sitosin yang ter-metilasi di leukosit perifer dalam kasus BPD
dan kelompok kontrol menunjukkan tidak ada perbedaan (Khare et
al, 2011).
Kuratomi et al (2008) menyelidiki perbedaan metilasi DNA
di sel darah lymphoblast pada kembar monozigot. Dalam penelitian
ini, kembar yang terkena menunjukkan peningkatan metilasi di
promotor spermine synthase gene (SMS) dan penurunan metilasi di
peptidylprolyl isomerase E-like gene (PPIEL) (Khare et al, 2011).
g) Kompleksitas metodologis dan eksperimental pada penelitian faktor
epigenetik penyakit jiwa
Pada gangguan afektif bipolar dan gangguan kejiwaan lain,
jaringan yang terkena adalah otak, stabilitas post-mortem faktor
epigenetik harus diperhitungkan. Hal ini juga diketahui bahwa
metilasi DNA jauh lebih stabil dari modifikasi histon,
menjadikannya pilihan pada investigasi epigenetik di post-mortem
jaringan otak. Namun, metilasi DNA pada jaringan nonstem terbatas
pada situs CpG dan profil epigenetik pada daerah CpG (Khare et al,
2011).
Hubungan antara perubahan epigenetik dan penyakit tidak
memberikan kesimpulan yang pasti mengenai hubungan sebab-
akibat. Misregulasi epigenetik dapat menjadi penyebab penyakit atau
mungkin disebabkan oleh proses penyakit, peristiwa kompensasi
dalam sel dan jaringan, penyakit yang berhubungan dengan
perubahan gaya hidup, pengobatan, dan banyak faktor dan peristiwa
yang terdeteksi maupun yang tidak terdeteksi. Salah satu cara yang
mungkin untuk mendapatkan informasi tentang masalah ini adalah
dengan menguji jaringan yang tidak terlibat dalam proses penyakit,
misalnya dalam sel darah atau sel epitel buccal. Sisa-sisa epimutasi
di jaringan bukan otak akan menyarankan bahwa epigenetik telah
terjadi selama embriogenesis awal sebelum jaringan utama
15
diferensiasi, atau bahkan diwariskan, bukan muncul sebagai hasil
dari kemajuan penyakit. Misalnya, beberapa penelitian menunjukkan
adanya epimutasi pada lokus IGF2 dalam limfosit pasien kanker usus
besar (Khare et al, 2011).
h) Ringkasan
Gangguan afektif bipolar masih sulit untuk dijelaskan secara
pasti dengan mekanisme epigenetik.
B. Pengaruh Genetik terhadap Gangguan Afektif Bipolar
1. Gangguan afektif bipolar diwariskan secara genetik dalam keluarga
Gangguan afektif bipolar dapat terjadi dalam keluarga. Hal ini telah
diakui selama 500 tahun. Dalam prakteknya, jarang ditemui seorang
individu bipolar tanpa adanya riwayat keluarga dengan gangguan afektif.
Studi-studi untuk menerangkan risiko pewarisan genetik secara spesifik
dalam keluarga dimulai pada awal abad ke-20 dan diakumulasi terutama
pada pertengahan akhir abad. Tipe investigasi ini dinamakan studi
keluarga, studi kembar, dan studi adopsi, digunakan untuk mendapatkan
pola pewarisan gangguan afektif bipolar dan untuk mengetahui risiko
pewarisan dalam keluarga (Goodwin & Jamison, 2007; Nurnberger, 2012).
a. Studi keluarga mengenai gangguan afektif bipolar
Studi keluarga biasanya dimulai pada individu yang terkena (the
proband) dan kemudian mengidentifikasi tingkat relatif penyakit di
antara keluarga. Seperti yang telah dijelaskan oleh Nurnberger (2012),
studi ini menjelaskan pola penurunan gangguan afektif bipolar dengan
menanyakan tiga pertanyaan:
1) Apakah seseorang yang memiliki hubungan kekeluargaan dengan
penderita gangguan afektif bipolar mempunyai risiko yang lebih
tinggi untuk menderita gangguan tersebut dibandingkan dengan
seseorang yang tidak memiliki hubungan kekeluargaan dengan
penderita gangguan afektif bipolar?
16
2) Apakah gangguan lain berbagi risiko pewarisan dalam keluarga
dengan gangguan afektif bipolar; dan juga, apakah kondisi terkait
lainnya juga meningkat kejadiannya dalam keluarga?
3) Dapatkah cara pewarisan yang spesifik diidentifikasi?
Seperti yang telah ditinjau oleh Goodwin dan Jamison (2007),
pada studi keluarga mengenai gangguan afektif bipolar secara umum
ditemukan bahwa rata-rata keturunan pertama dalam suatu keluarga
memiliki risiko untuk terjadi gangguan afektif bipolar sebesar 12%,
yang pada dasarnya terjadi peningkatan 10 kali lipat dari populasi
umum. Keturunan pertama dalam suatu keluarga juga menunjukkan
peningkatan risiko 2 kali lipat untuk terjadinya episode depresi berat;
namun kenyataannya, karena prevalensinya yang tinggi, episode depresi
berat lebih sering terjadi dibandingkan gangguan afektif bipolar pada
keluarga dengan gangguan afektif bipolar. Suatu studi pada tahun 1980
mencoba untuk menggambarkan lebih baik risiko relatif keluarga
dengan subtipe spesifik gangguan afektif bipolar; dinamakan tipe I dan
II. Hasilnya diringkas dalam Tabel 1.1. Sebagaimana digambarkan,
tidak ada satupun “keturunan asli” (breed true) gangguan afektif bipolar
dari kedua tipe tersebut yang mengalami peningkatan satu sama lain
seperti pada episode depresi berat; namun, risiko relatif dari masing-
masing tipe gangguan mood meningkat berdasarkan subtipe proband.
Sayangnya, cara pewarisan spesifik dari gangguan afektif
bipolar masih belum jelas karena bervariasi di antara keluarga yang
berbeda, dari transmisi yang menyerupai pola dominan atau resesif
Mendel hingga pewarisan maternal. Kemungkinan, variabilitas ini
mencerminkan beberapa gen risiko.
17
Tabel 1.1 Persentase Gangguan afektif bipolar dan Episode Depresi Berat dari
Studi Keluarga
Proband BPI BPII MDD
Gangguan afektif
bipolar I
5.2 3.8 16.6
Gangguan afektif
bipolar II
2.1 6.5 21.6
Episode Depresi Berat 0.8 2.4 20.5
Populasi Sehat 0.1 0.9 7.3
Dikutip dari Goodwin & Jamison, 2007
b. Studi Kembar
Meskipun gangguan afektif bipolar terjadi dalam keluarga,
bukan berarti hal itu disebabkan oleh genetik, karena keluarga berbagi
gen dan lingkungan yang sama. Oleh karena itu, lingkungan dapat
menjadi penyebab utama kondisi ini. Studi yang membandingkan
kembar monozigot, yang memiliki kemiripan gen 100%, dengan
kembar dizigot, yang hanya berbagi 50% dari gen mereka seperti
saudara lainnya, memberikan suatu pendekatan terhadap penjelasan
mengenai kontribusi relatif dari genetik dan lingkungan. Secara
spesifik, jika gangguan afektif bipolar disebabkan oleh genetik,
diharapkan gangguan afektif bipolar akan lebih sering mengenai
kembar monozigot (identik) dibandingkan kembar dizigot (fraternal).
Perbedaan tingkat konkordinasi pada gangguan afektif bipolar (antara 2
tipe orang kembar, yaitu tingkat dimana orang kembar tersebut
terpengaruh) dapat kemudian digunakan untuk menghitung risiko relatif
genetik pada kondisi tersebut. Risiko relati ini disebut “Holzinger
Heritability Index” (H2) (Nurnberger, 2012), dan dihitung sebagai:
H2 = (konkordansi monozigot – konkordansi dizigot) /
18
(100 – konkordansi dizigot)
Meskipun studi kembar tentang gangguan afektif bipolar telah
dilakukan lebih dari satu abad dengan kriteria diagnosis yang bervariasi
luas, hasilnya selalu konsisten. Yaitu, tingkat konkordansi gangguan
afektif bipolar lebih tinggi pada kembar monozigot daripada kembar
dizigot pada gangguan afektif bipolar subtipe I dan II. Pada kembar
monozigot, jika salah seorangnya mengalami gangguan afektif bipolar,
yang lainnya memiliki risiko 70-80% untuk berkembang menjadi
gangguan afektif bipolar. Pada kembar dizigot, risikonya sebesar 15-
25%. Berdasarkan perbedaan tersebut, pewarisan gangguan afektif
bipolar adalah sebesar 80-85% (Bienvenu et. Al., 2011; Goodwin &
Jamison, 2007; Nurnberger, 2012). Risiko genetik ini lebih tinggi
daripada kondisi psikiatri maupun kondisi medis lainnya. Akan tetapi,
karena persentase pewarisan secara genetik tidak mencapai 100%,
risiko sisanya (15-20%) berasal dari lingkungan. Faktor lingkungan
belum ditetapkan sebagai penyebab terjadinya gangguan afektif bipolar,
namun dapat memuat stress neurobiologi yang signifikan seperti trauma
atau penyalahgunaan zat (Strakowski, 2014).
c. Studi Adopsi
Studi adopsi merupakan pendekatan alternatif untuk
menguraikan kontribusi relatif akan genetik dan faktor lingkungan
dalam perkembangan gangguan afektif bipolar. Hipotesis dari studi
adopsi yaitu jika risiko dari gangguan afektif bipolar terutama berasal
dari genetik daripada faktor lingkungan, maka tingkat gangguan afektif
bipolar pada anak-anak yang diadopsi akan mencerminkan bahwa
gangguan tersebut lebih condong berasal dari orangtua biologis
daripada orangtua asuh. Pada gangguan afektif bipolar, studi ini telah
melibatkan orang dengan gangguan afektif bipolar dan proband yang
sehat yang dibesarkan oleh orangtua asuh maupun orangtua biologis
dan kemudian memeriksa tingkat gangguan afektif bipolar pada
keluarga di masing-masing kombinasi. Beberapa studi telah dilakukan
19
karena kesulitan, tetapi hasilnya selalu konsisten – yaitu proband
gangguan afektif bipolar meningkat pada keluarga angkat sehingga
menunjukkan gangguan afektif bipolar yang lebih tinggi pada keluarga
biologis yang sebenarnya dibandingkan dengan keluarga angkat. Hasil
ini selanjutnya mendukung genetik sebagai risiko yang menyebabkan
berkembangnya gangguan afektif bipolar (Bienvenu et.al., 2011;
Goodwin & Jamison, 2007; Nurnberger, 2012).
2. Gangguan afektif bipolar secara genetika
Pada 2 dekade terakhir memperlihatkan banyak ditemukan metode-
metode baru untuk meneliti genom manusia, yang berkontribusi pada
peningkatan identifikasi gen yang terlibat dalam berkembangnya penyakit
pada manusia. Oleh karena tingginya angka kejadian pewarisan, gangguan
afektif bipolar menjadi fokus dari penelitian-penelitian ini (Strakowski,
2014).
a. Studi Linkage
Pada manusia, kromosom berwujud sepasang dalam 1 set
kromosom, sebagian komplemen gennya diturunkan dari masing-
masing orangtua. Kemudian setiap gen akan mengalami duplikasi dan
duplikasi tersebut dinamakan alel. Pada waktu pembentukan sperma
dan ovum, sepasang kromosom akan memisah dengan tujuan untuk
menyediakan satu alel dari masing-masing orangtua supaya saat
bergabung ketika fertilisasi, pewarisan komplemen gen dari masing-
masing orangtua menjadi lengkap. Dalam proses pembentukan gamet,
saat kromosom memisah (meiosis), gen bersilangan dari kromosom satu
ke kromosom lainnya, dengan demikian akan terbentuk kombinasi
campuran gen dari masing-masing induk. Rekombinasi gen ini tidak
terjadi secara acak; gen yang berjauhan lebih mungkin untuk
bersilangan (bergabung) daripada gen yang berdekatan. Rekombinasi
tersebut kemudian dianggap “berhubungan” sehingga salinan alel ini
biasanya diwariskan bersama. Variabilitas dalam rekombinasi
20
berdasarkan jarak antar gen inilah yang menjadi dasar dari studi linkage
(Strakowski, 2014).
Studi linkage menilai perbedaan penanda DNA (lokus) yang
terletak di sepanjang kromosom untuk mengidentifikasi apakah lokus
spesifik berhubungan dengan terjadinya gangguan afektif bipolar dalam
keluarga. Probabilitas suatu penanda terkait dengan gangguan afektif
bipolar dihitung sebagai logaritma dari peluang keterkaitan atau skor
LOD. Karena dihitung sebagai logaritma, sebagai contoh skor LOD 1.0
berarti keterkaitannya 10 kali lebih mungkin daripada yang tidak
terkait, skor LOD lebih dari 3 dianggap bermakna (Strakowski, 2014).
Studi linkage terdahulu telah berhasil mengidentifikasi penanda
genetik gangguan afek bipolar, namun penemuan ini sulit untuk ditiru.
Dan juga, penanda tersebut bukan gen, tetapi bagian kecil dari
kromosom yang terletak dekat gen yang kemungkinan berhubungan
dengan gangguan afektif bipolar. Studi linkage sedikit membantu dalam
meningkatkan pemahaman terhadap dasar genetik dari penyakit.
Meskipun demikian, studi linkage telah dapat mengidentifikasi penanda
yang berhubungan dengan gangguan afektif bipolar pada beberapa
kromosom, seperti kromosom 6, 8, 13, dan 22 lengan (q), dan
kromosom 16 lengan panjang (p) (Nurnberger, 2012). Data ini
memberikan bukti tambahan genetik sebagai dasar dari gangguan
afektif bipolar, tetapi belum dapat mengidentifikasi gen spesifik yang
relevan. Terdapatnya penanda signifikan dari beberapa kromosom juga
merupakan petunjuk awal bahwa gangguan afektif bipolar adalah
poligenetik, yaitu terjadi kombinasi risiko dari beberapa gen
(Strakowski, 2014).
b. Studi Asosiasi
Seperti yang telah diterangkan di atas, studi linkage menjelaskan
penanda potensial yang berhubungan dengan gangguan afektif bipolar,
bukan gen yang spesifik. Studi asosiasi dimulai dengan
mengidentifikasi gen potensial yang relevan berdasarkan neurobiologi
21
dari gangguan afektif bipolar atau studi linkage dimana suatu gen
diketahui mirip dengan penanda, dan kemudian mengevaluasi apakah
gen tersebut berhubungan dengan gangguan afektif bipolar. Studi ini
sering menggunakan seorang proband dan kedua orangtuanya, disebut
trio, dan kemudian meneliti beberapa trio untuk menentukan hubungan
antara gangguan afektif bipolar dengan gen spesifik (Strakowski, 2014).
Sebuah metode yang lebih komprehensif, dinamakan GWAS
(Genome-Wide Association Studies), yang diperkenalkan dalam
beberapa dekade terakhir, menjadi mungkin dilakukan dengan
kemajuan teknologi chip DNA dimana jutaan Polimorfisme Nukleotida
Tunggal (Single Nucleotide Polymorphism/SNP) dapat dievaluasi dalam
sampel yang besar sekaligus. SNP merupakan area kecil dari DNA yang
menunjukkan variabilitas pada manusia. GWAS membolehkan
pemeriksaan setiap gen dalam genom, dengan keterbatasan utamanya
adalah interpretasi statistik dari ribuan titik data. Akibatnya, supaya
efektif, sampel penelitian harus sangat besar, misalnya dalam puluhan
ribu. Metode ini telah digunakan dalam studi gangguan psikiatri secara
umum dan gangguan afektif bipolar khususnya. Seperti yang telah
dilaporkan oleh Nurnberger (2012), beberapa kandidat gen potensial
yang mendasari terjadinya gangguan afektif bipolar telah diidentifikasi
dengan metode ini, dan beberapa di antaranya telah bereplikasi satu kali
atau lebih. Namun, tidak ada satu pun dari hasil ini yang
mengidentifikasi penyebab spesifik gangguan afektif bipolar. Beberapa
penemuan yang menjanjikan juga dibahas disini dan dicantumkan pada
Tabel 1.2.
D-Amino Acid Oxidase Activator (DAOA): Fungsi DAOA
muncul dari 2 gen yang saling berinteraksi (disebut G30 dan G72) yang
mengoksidasi neurotransmitter serin. Serin akan mengaktifkan reseptor
glutamat N-methyl-D-aspartate (NMDA). Beberapa uji klinis mengenai
serin telah dilakukan dalam gangguan afektif bipolar, dengan hasil yang
22
tidak konsisten. Gen ini juga berhubungan dengan cabang halus dendrit,
sehingga mungkin dapat berperan dalam perkembangan otak.
Brain-Derived Neurotrophic Factor (BDNF): BDNF meneliti
tentang faktor pertumbuhan saraf yang berperan penting dalam
perkembangan otak dan neurogenesis. Gabungan alel BDNF yang
berbeda ditemukan pada beberapa kasus psikiatri dan penyakit saraf,
termasuk gangguan afektif bipolar.
Disrupted in Schizophrenia 1 (DISC1): DISC1 pertama kali
ditemukan pada sebuah keluarga di Skotlandia dengan translokasi
genetik dan beberapa kasus skizofren. Penelitian selanjutnya
menemukan bahwa varian alel DISC1 berkaitan dengan kondisi
psikiatri lainnya, termasuk gangguan afektif bipolar. DISC1
mengendalikan perkembangan mikrotubulus neuron, sehingga DISC1
ikut berkontribusi dalam perkembangan otak.
Serotonin Transporter (SHTT): Abnormalitas transmisi
serotonin umumnya sering dihubungkan dengan episode depresi berat,
dan gangguan afektif bipolar, pada sebagian kecil kasus.
Cathecol-O-Methyl Transferase (COMT): COMT memainkan
peranan penting dalam metabolisme dopamin dan norepinefrin,
keduanya menunjukkan abnormalitas pada gangguan afektif bipolar.
Varian alel COMT dikaitkan dengan sejumlah proses kognitif dan
diagnosis psikiatri yang berbeda, menunjukkan tidak terlalu spesifik
untuk gangguan afektif bipolar.
Monoamine Oxidase A (MAOA): MAOA memetabolisme
serotonin, dopamin, dan norepinefrin, dimana ketiga neurotrasmitter
tersebut berperan dalam terjadinya gangguan afektif bipolar.
Tryptophan Hydroxylase (TPH1 dan 2): Kedua enzim ini
mengatur metabolisme awal triptofan, dimana triptofan ini membatasi
kecepatan sintesis dari serotonin.
Ankyrin 3 (ANK3): Gen ini mengkode membran struktural
protein yang terlibat dalam pembentukan kanal Na+. Pengangkutan Na+
23
merupakan pusat pembentukan potensial aksi neuron yang pada
akhirnya akan menyebabkan terjadinya komunikasi antar neuron.
CACNA1C: Gen kanal Ca2+ ini berhubungan dengan fungsi dari
Ca2+. Abnormalitas metabolisme Ca2+ merupakan penemuan paling
sering pada gangguan afektif bipolar dan juga menggambarkan
mekanisme potensial aksi dari litium.
Tabel 1.2 Kandidat Gen dari Studi Asosiasi yang Berpotensi Terlibat dalam
terjadinya Gangguan afektif bipolar
Gen Fungsi
DAOA Trasmisi glutamat
BDNF Neurogenesis dan perkembangan otak
DISC1 Pembentukan mikrotubulus neuron
SHTT Transmisi serotonin
COMT Metabolisme monoamin
MAOA Metabolisme monoamin
TPH1&2 Sintesis serotonin
ANK3 Berdampak pada struktur kanal Na+
CACNA1C Fungsi kanal Ca2+
Dikutip dari Nurnberger, 2012
Dengan semakin berkembangnya teknologi, semakin besar
kemungkinan untuk mendapatkan pemahaman lebih baik mengenai gen
seperti yang telah dijelaskan di atas dan gen lain yang belum muncul
berpeluang untuk muncul. Sebagai contoh, rangkaian penelitian
menggunakan metode “next generation” (disebut juga next generation
sequencing) menjanjikan analisis seluruh gen secara lebih rinci.
Penelitian epigenetik mengakui bahwa sel-sel memodifikasi transkripsi
DNA agar berdampak pada waktu dan ekspresi dari genome yang
mendasari. Mekanisme yang paling umum diteliti saat ini adalah
metilasi DNA dan remodeling kromatin. Tidak ada satu pun dari
24
metode di atas yang memberikan pemahaman berarti mengenai dasar
genetik gangguan afektif bipolar, tapi berdasarkan pendekatan dasar
neurosains, kita sebaiknya memahami hasil metode terdahulu
(Strakowski, 2014).
c. Endofenotip Bipolar
Salah satu kerumitan terkait penelitian genetik pada gangguan
afektif bipolar adalah bahwa, pada dasarnya gangguan afektif bipolar
merupakan suatu kondisi perilaku yang kompleks dan dinamis.
Akibatnya, mengidentifikasi “kasus” bipolar menjadi sulit, sehingga
untuk mengatasinya digunakan identifikasi endofenotip sebagai
panduan dalam penelitian genetik. Endofenotip didefinisikan sebagai
karakteristik biologis yang stabil, berhubungan dengan penyakit, dapat
diukur secara langsung dan, idealnya, mencerminkan proses
neurobiologi yang dikenal. Saat ini, endofenotip sulit digunakan untuk
menjelaskan gangguan afektif bipolar. Namun, terdapat satu
endofenotip yang berguna yaitu respon lithium, karena efikasi
pengobatan lithium relatif spesifik pada gangguan afektif bipolar dan
terutama episode manik. Sebagai tambahan, terdapat bukti dimana
respon lithium diwariskan dan mungkin berhubungan dengan
kromosom 15q. Beberapa penelitian dilakukan menggunakan metode
asosiasi untuk mengembangkan temuan ini (Strakowski, 2014).
d. Ringkasan dan Hubungan Genetik pada Gangguan afektif bipolar
Studi keluarga, kembar, adopsi, dan genetik memberikan banyak
bukti bahwa gangguan afektif bipolar merupakan penyakit genetik.
Sayangnya, “gen spesifik bipolar” belum, dan mungkin tidak akan
dapat diisolasi. Sebaliknya, bukti yang terkumpul menunjukkan jika
gangguan afektif bipolar muncul oleh karena interaksi dari beberapa
gen yang berbeda yang kemudian berinteraksi dengan stresor
lingkungan sehingga menimbulkan penyakit. Selain itu, kombinasi gen
25
di setiap keluarga berinteraksi secara berbeda, sehingga penelitian
menjadi makin sulit dilakukan pada grup tersebut (Strakowski, 2014).
Bahkan tanpa adanya uji spesifik gen untuk gangguan afektif
bipolar, penelitian ini memberikan panduan bagi anggota keluarga dari
penderita dengan gangguan afektif bipolar. Seperti yang diilustrasikan
dalam Tabel 1.3, risiko seorang individu untuk mengalami gangguan
afektif bipolar meningkat jika terdapat kesamaan komponen genetik di
antara anggota keluarga. Namun, risiko untuk munculnya gangguan ini
yaitu pada rentang usia 15 dampai 35 tahun, sehingga risikonya akan
menurun pada usia dewasa pertengahan. Selain itu, terdapat variabilitas
yang cukup besar di antara keluarga, yang mencerminkan penjelasan
sebelumnya tentang sifat poligenetik gangguan afektif bipolar. Tetapi,
dengan semakin meningkatnya metode genetik ada kemungkinan
bahwa kombinasi genetik ini akan akan dimengerti, membawa pada
perkembangan yang bermakna dalam pengobatan, diagnosis dan
mencegah onset dan progresivitas penyakit (Strakowski, 2014).
Tabel 1 Risiko Relatif Keluarga untuk mengalami Gangguan afektif bipolar
Situasi Risiko
Populasi umum 1-2%
Keturunan kedua dari penderita
gangguan afektif bipolar
3-4%
Saudara kandung dari penderita
gangguan afektif bipolar
15-25%
Salah seorang orangtua dengan
gangguan afektif bipolar
15-25%
Kedua orangtua dengan gangguan
afektif bipolar
50%
Kembar identik dengan gangguan
afektif bipolar
70-80%
26
C. Pengaruh berbagai Mekanisme Molekuler terhadap Gangguan Afektif
Bipolar
1. Inflamasi
Pada dekade akhir ini, telah dihipotesiskan bahwa menargetkan
pada mekanisme monoaminergik tidak akan merubah riwayat alami dari
gangguan ini (Angst and Sellaro, 2000). Data ini dan beberapa data yang
serupa lainnya telah menyebabkan pergeseran paradigma patofisiologi
GAB dari suatu penyebab monoaminergik menjadi keterlibatan dari
mekanisme yang lebih kompleks, yang utamanya berhubungan dengan
perkembangan saraf dan kejadian neurodegeneratif (Berk and Dodd, 2005;
Berk et al., 2011). Pada konteks ini, peningkatan jumlah bukti
menunjukkan peran penting proses inflamasi kronik dan ringan pada
jaringan perifer dan otak (neuroinflamasi) (Hamdani et al., 2013). Setelah
dianggap sebagai organ yang secara imunologis istimewa karena sawar
darah-otaknya, hal ini semakin jelas bahwa meskipun akses mediator imun
dari perifer ke otak secara ketat diatur, Sistem Saraf Pusat (SSP) sendiri
dapat melakukan suatu respon inflamasi terhadap stimulus yang berbeda
(Rivest, 2009). Hiper- dan hipo-aktivasi kaskade inflamasi nampaknya
dapat mempengaruhi fungsi dan perkembangan jaringan saraf (Vezzani
and Viviani, 2014). Molekul yang terkait dengan jalur respon imun,
sitokin, faktor kimiawi yang dihasilkan selama proses inflamasi, dapat
menjadi biomarker yang baik untuk mempelajari hubungan potensial
antara jalur ini dan gangguan mood. Sitokin tersebut bersama dengan
reseptornya berperan penting dalam lalu lintas leukosit, dan merupakan
perhatian khusus dalam konteks respon imun unik yang diciptakan oleh
SSP. Lebih jauh lagi, molekul-molekul ini juga berperan dalam
mekanisme transmisi neural (Vezzani and Viviani, 2014).
Data-data dalam literatur mendukung komponen inflamasi pada
GAB. Hal ini menarik untuk dicatat bahwa peningkatan yang cukup pada
kadar plasma dari sitokin proinflamasi, seperti interleukin-6 (IL-6) dan
tumor necrosis factor-α (TNFα), sering ditemukan pada penderita GAB;
27
peningkatan interleukin-1β (IL-1 β), nuclear factor of kappa light
polypeptide gene enhancer in B-cells (NFκB) dan protein interleukin-1
receptor antagonist (IL-1RA) dan kadar mRNA pada korteks frontal
pasien GAB post-mortem juga telah dilaporkan (Maes et al., 1997; Rao et
al., 2010). Selain itu, peningkatan kadar protein fase akut, seperti
haptoglobin dan C-reactive protein (CRP) (Dickerson et al., 2013) dan
faktor komplemen, seperti konsentrasi tinggi plasma Complement
component 3 (C3) atau Complement component 4 (C4) juga dilaporkan
berhubungan dengan GAB (Wadee et al., 2002). Depresi biasa muncul
pada penyakit yang berhubungan dengan inflamasi, seperti penyakit arteri
coroner, lupus, dan artritis rheumatoid (Goldstein et al., 2009). Pemberian
infus sitokin proinflamasi mungkin merupakan model eksperimen manusia
terbaik dalam depresi, dan peningkatan kadar sitokin nampaknya
berhubungan dengan baik depresi maupun manik (Wadee et al., 2002).
Pada manik, IL-6 yang semula meningkat akan kembali normal seiring
dengan remisi klinis, sementara itu tidak terdapat perubahan pada TNFα
saat remisi (Kim et al., 2007). Pada depresi, produksi dasar TNFα
meningkat dengan signifikan, sedangkan kadarnya akan menurun selama
terapi namun hanya pada pasien-pasien yang berespon saja (Dean et al.,
2010). Diambil bersama-sama, data ini dapat mengindikasikan bahwa
perubahan kadar mediator pro- dan anti-inflamasi pada SSP berhubungan
dengan gejala mood pada manusia. Namun, penyebab dari fluktuasi ini
masih belum dimengerti sepenuhnya. Hal ini mungkin disebabkan oleh
berbagai variasi gen dan juga pengaruh lingkungan. Gen-gen ini
seharusnya berperan dalam fungsi inflamasi/imunologis namun mereka
juga berperan dalam beberapa efek fungsi fisiologis di otak.
Dengan adanya mekanisme molekuler yang kompleks, data pada
korelasi ini harus digunakan dengan hati-hati. Literatur yang ada
memberikan perhatian khusus bahwa tipe sampel dan analisis statistic
dapat mempengaruhi signifikansi dari asosiasi penelitian ini.
28
Inflamasi mungkin berperan dalam pembentukan arsitektur
jaringan di otak, dengan cara mendorong kematian sel atau dengan cara
membatasi efek negatif inflamasi dalam SSP.
Modulasi dengan beberapa mekanisme biologis dengan potential
dapat mengembalikan fungsi (fisiologi) normal otak, terutama pada
perkembangan saraf dan kekenyalannya (Schneider et al., 1998)(Awatsuji
et al., 1993; Sarder et al., 1993)(Luan et al., 2001)(Padovani-Claudio et al.,
2006; Tsai et al., 2002); dan sesuai dengan konsep yang muncul dari
sistem “kolinergik” sebagai kelas baru neurotransmitter (Rostene et al.,
2007).
29
Secara khusus, menarik untuk dicatat bahwa senyawa yang sama
dapat menimbulkan efek yang berbeda, baik neuroprotektif atau
neurotoksik/apoptotic, yang pada umumnya ditimbulkan melalui interaksi
reseptor yang berbeda, dan aktivasi konsekuen dari kaskade molekuler
yang berbeda (Kinouchi et al., 1991; Tartaglia et al., 1991)(Petitto et al.,
1997). Beberapa aspek menarik dari IL-1, IL-2, 1L-6, 1L-8, TNFα, dan
IFN ditunjukkan dalam tabel di bawah:
Gambar 3. Principal components of pathways under investigation
Gen dari kelompok yang terkait IL-6, IL-8, dan IFN mempunyai
variasi yang lebih banyak dalam hubungannya dengan GAB. Untuk SNP-
terkait-IL-6 memiliki hubungan yang signifikan dengan hasil dua kali lipat
dari angka yang diperkirakan, dan tiga kali lipat untuk SNP terkait IL-8
dan IFN. Data ini mengindikasikan bahwa perubahan dalam jalur ini lebih
30
banyak ditemukan pada subjek GAB dibandingakan dengan kontrol. Oleh
karena itu, perubahan ini mungkin terlibat dalam perkembangan penyakit.
Tidak ditemukan temuan yang signifikan pada jalur terkait gen lain
(IL-1, IL-2, TNFα) dalam analisis ini. Analisis kedua dilakukan untuk
memberikan detail yang lebih rinci untuk jalur molekuler yang secara
signifikan berhubungan dengan fenotipe dan untuk mendapatkan gen yang
dapat menjadi elemen kunci dalam jalur yang telah disebutkan di atas. Dari
analisis ini, peneliti menemukan 13 gen, yaitu PIK3R1, MITF, TNFSF11,
STAT3, FGG, IL6, MCL1, CASP1, STAT3, CRKL, IL1B, DAPK1, dan
CREBBP yang menunjukkan lebih banyak variasi yang berhubungan
dengan fenotipe.
Sejumlah gen yang biasanya terlibat dalam transkripsi dan
peristiwa pro-survival berkumpul dalam jalur yang melibatkan IL-6, IL-8,
dan IFN dan memiliki variasi yang berhubungan dengan GAB lebih
banyak.
Keterlibatan jalur yang terkait IL-6 dengan GAB diketahui
konsisten dengan data pada literatur (Kunz et al., 2011). Terlebih lagi, pola
tidur mungkin berhubungan dengan ketidakseimbangan IL-6 pada pasien
GAB (Ritter et al., 2013).
Monosit dari pasien GAB dilaporkan mengekskresikan IL-6 dalam
cara yang telah diubah (proinflamasi), yang mana dipulihkan kembali
setelah pemberian lithium in vitro (Knijff et al., 2007).
Berikut daftar gen dalam kaskade molekuler dari aktivasi IL-6
yang mungkin bertanggung jawab pada deregulasi genetik yang mungkin
meningkatkan risiki GAB.
Jalur yang berkaitan dengan interferon, biasanya berhubungan
dengan respon asli dan adaptif dalam perlawanan terhadap infeksi virus
dan bakteri intraseluler sebagaimana kontrol tumor, yang berperan dalam
perkembangan saraf. IFN disekresi oleh sel dendritic bersamaan dengan
sel myeloid dan makrofag. Sel dendritic merupakan pusat dari proses
pemangkasan oleh karena aktivitasnya bersama mikroglia (Paolicelli and
31
Gross, 2011), yaitu suatu proses dasar GAB (Paus et al., 2008). CASP1
(caspase 1 or apoptosis-related cysteine peptidase) adalah gen yang
terletak dalam kromosom 11q22.3. Gen ini mengkode protein yang
merupakan anggota famili cysteine-aspartic acid protease (caspase), yang
penting dalam pembentukan IL-1 beta (Vasilakos and Shivers, 1996) dan
gen tersebut milik sinyal kaskade molekuler yang memerankan peran
utama dalam fase eksekusi apoptosis sel. STAT 3, signal transducer and
activator of transcription 3 (faktor respon fase akut) terletak pada
kromosom 17q21.2, dan mengkode protein anggota famili protein STAT.
Protein ini diaktivasi melalui fosforilasi sebagai respon terhadap berbagai
sitokin dan faktor pertumbuhan seperti IFN, EGF, IL5, IL6, HGF, LIF, dan
BMP2. Sebagai respon dari aktivasi, protein tersebut bertranslokasi ke
dalam nucleus sel dimana mereka berperan sebagai activator transkripsi
(Beurel and Jope, 2008). Secara khusus, STAT3 memediasi ekspresi dari
berbagai macam gen sebagai respon dari stimulus sel dan merupakan kunci
faktor transkripsi yang terlibat dalam respon inflamasi, terutama gen yang
dimediasi oleh sitokin, sebagaimana dalam proliferasi sel, diferensiasi, dan
survival (Brierley and Fish, 2005). `STAT3 merupakan bagian dari jalur
JAK/STAT yang terlibat dalam elastisitas sinapsis dalam otak dan
berperan penting dalam induksi NMDA-receptor dependent long-term
depression (NMDAR-LTD) dalam hipokampus (Nicolas et al., 2012).
FGG merupakan komponen gamma wdari fibrinogen, suatu glikoprotein
yang ditemukan dalam darah, yang terdiri dari tiga pasang rantai
polipeptida yang tidak identik. FGG terletak pada 4q31.3. Dengan adanya
injuri vascular, fibrinogen diuraikan oleh thrombin untuk membentuk
fibrin yang mana merupakan komponen terpenting dalam pembentukan
bekuan darah. Sebagai tambahan, berbagai produk uraian fibrinogen dan
fibrin, mengatur adhesi sel dan penyebarannya, merangsang vasokonstriksi
dan aktivitas kemotaktik, dan merupakan mitogen untuk beberapa tipe sel
(Fish and Neerman-Arbez, 2012). Meskipun tidak ada bukti langsung dari
keterlibatannya dalam GAB, hal ini masih menarik untuk dicatat bahwa
32
FGG merupakan bagian dari kaskade komplemen, terlebih lagi, pasien
GAB diketahui memiliki konsentrasi plasma faktor C3, C4, dan C6 yang
lebih tinggi (Wadee et al., 2002).
Penurunan progresif dari fungsi kognitif yang ditemukan pada
GAB mendukung peran penting neuroinflamasi pada gangguan ini
(Lewandowski et al., 2011). Telah ditunjukkan bahwa proses inflamasi dan
interaksi imun neural terlibat dalam patofisiologi gangguan mood (Maes,
2011). Hal ini menjelaskan hubungan yang mungkin antara peningkatan
kadar sitokin pada GAB. Lebih menarik lagi, beberpa studi pre-klinik dan
klinik menunjukkan bahwa slah satu mekanisme aksi dari pengobatan
mood stabilizer dapat berhubungan dengan sistem imun (Goldstein et al.,
2009). Oleh karena itu, pasien yang diteapi menggunakan litium
menunjukkan jumlah leukosit penghasil sitokin yang lebih rendah
(Boufidou et al., 2004; Knijff et al., 2007; Rapaport and Manji, 2001).
Terlebih lagi, suatu penelitian random acak ganda yang menggunakan
COX-2 inhibitor celecoxib menunjukkan bahwa pasien dibawah pengaruh
terapi ini memiliki skor keparahan depresi yang lebih rendah setelah
minggu pertama terapi dibandingkan dengan placebo. Dengan adanya data
ini, mendukung pertimbangan penggunaan obat ini sebagai pengobatan
alternative pada GAB yang menjanjikan (Brietzke et al., 2011).
Abnormalitas imun, terutama kelebihan inflamasi, adalah hal yang biasa
ditemukan pada pasien GAB. Meskipun hubungan kausal langsungnya
masih belum jelas, terdapat peningkatan bukti bahwa inflamasi dapat
berkontribusi dalam pathogenesis GAB. Mekanisme molekuler spesifik
dari respon imun harus lebih diperjelas, kemudian diubah menjadi
percobaan pengobatan yang inovatif. Oleh karena itu perlu adanya studi
kandidat baru gen yang terletak di atas beberapa jalur molekuler yang
berhubungan dengan GAB dan perlu dikalukannya percobaan klinik
spesifik dengan obat antiinflamasi pada pasien GAB.
2. ‘Mood-Stabilizer’ Neuron
33
Beberapa bukti farmakologis mendukung peran dopamin pada
mania dan depresi. Antipsikotik dapat berfungsi sebagai antimanik dalam
memblok neurotransmisi dari dopamin. Psikostimulan yang meningkatkan
transmisi dopamin dapat menyebabkan mania. Antidepresan trisiklik
(TCA) dapat menyebabkan transisi tiba-tiba dari depresi ke mania.
Fenomena ini, yang disebut manic switch, merupakan efek samping yang
tidak umum terjadi pada penggunaan TCA, tetapi dianggap sebagai tanda
kerentanan genetik terhadap gangguan afektif bipolar. Serotonin
selektifreuptake inhibitor (SSRI) tidak menimbulkan mania (Peet, 1994).
TCA menghambat transporter noradrenalin dan transporter serotonin tapi
tidak menghambat transporter dopamin. Namun, dopamin diangkut oleh
transporter noradrenalin di korteks prefrontal; dengan demikian, TCA, tapi
tidak SSRI, menyebabkan peningkatan konsentrasi dopamin pada sinaptik
di korteks prefrontal (Valentini, 2004). Perubahan pada kondisi dari
metabolit dopamin, Asam homovanillic, di cairan serebrospinal direplikasi
dengan baik (Goodwin dan Jamison, 2007). Rekayasa genetika pada tikus
yang dibuat defisiensi dopamin menunjukkan adanya pengurangan
aktivitas lokomotor dan hypophagia yang signifikan (Zhou dan Palmiter,
1995). Degenerasi neuron dopamin di daerah tegmental ventral
menyebabkan depresi (Torrack dan Moris, 1998). Temuan ini
menunjukkan bahwa neurotransmisi dari dopaminergic mengubah situasi
mood. Sebaliknya, perubahan sistem serotonergik mungkin tidak
mempengaruhi situasi mood walaupun tetap harus diobservasi, karena
berkurangnya aktivitas serotonergik diukur dengan uji neuroendokrin
(Mahmood dan Silverstone, 2001) dan penurunan tingkat 5-hidroksi asam
(HIAA) dalam cairan serebrospinal dilaporkan baik dalam depresi dan
keadaan manik (Goodwin dan Jamison, 2007).
Mekanisme molekuler dari aksi klinis mood stabilisator telah
dipelajari secara ekstensif. Hipotesis yang paling diterima adalah efek
lithium merupakan deplesi inositol intraseluler oleh inhibisi inositol-
monophosphatase (IMPase) (Harwood, 2005). Karena studi oleh Nonaka
34
et al. (1998) dan Chen et al. (1999) yang mengungkapkan efek
neuroprotektif dari lithium dan valproate, hipotesis bahwa efek terapi dari
mood stabilisator adalah dengan mekanisme neuroprotektifnya telah
diterima secara luas. Kedua penstabil mood tersebut memiliki efek yang
sama pada neuron seperti pembesaran pada cone yang mengalami
pertumbuhan dan peningkatan neurogensis pada orang dewasa (Chen et
al., 2000), terutama GABAergic neurogenesis (Laeng et al., 2004). Efek
ini dapat dimediasi oleh deplesi dari inositol (William et al., 2002),
peningkatan regulasi dari bcl-2 di membran luar mitokondria (Chen et al.,
1999), penghambatan glikogen sintase kinase 3b (GSK-3b) (Klein dan
Melton, 199)dan peningkatan pada jalur brain-derived neurotrophic factor–
extracellular signal-regulated kinase (BDNF-ERK) (Hao et al., 2004),
perubahan mekanisme reseptor glutamat (Du et al., 2003), peningkatan
regulasi BAG-1, sebuah protein reseptor cochaperon glukokortikoid (Zhou
et al., 2005), inhibisi fungsi reseptor glukokortikoid (Basta-Kaim et al.,
2004), peningkatan regulasi glutathione S-transferase (Cui et al., 2007)
atau aktivasi dari Notch signaling (Higashi et al., 2008). Inhibisi dari
deasetilasi histone mungkin juga memainkan peran dalam efek
neuroprotektif valproate (Leng et al., 2008).
Diantara temuan yang telah dipublikasikan pada gangguan afektif
bipolar, SCH adalah penemuan yang nonspesifik yang juga terlihat di
subjek yang sehat. Subcortical Hiperintensity (SCH) adalah lesi yang
dideteksi oleh T2-weighted (T2W) magnetic resonance imaging (MRI).
T2W MRI sensitif terhadap lesi otak seperti infark serebri. Lesi tersebut
terdeteksi sebagai daerah hiperintensitas pada gambar T2W. SCH
mengacu pada lesi hiperintensitas yang berada di subkortikal white matter
atau subkortikal grey matter dan terdeteksi oleh T2W. Karena gangguan
afektif bipolar tidak memiliki karakteristik lesi yang letaknya spesifik,
peningkatan kejadian SCH mungkin mencerminkan kerentanan neuron
pada stress tingkat seluler. Hal juga mungkin mencerminkan kerentanan
dari oligodendrocytes, karena menurunnya pewarnaan pada myelin
35
(Regenold et al., 2007) dan penurunan ekspresi gen yeng terkait
oligodendrocyte (Tkachev et al., 2003) ditemukan pada otak postmortem
dari pasien dengan gangguan afektif bipolar. Peningkatan kadar kalsium
dalam sel darha dan efek neuroprotektif mood stabilisator juga mendukung
hipotesis bahwa pasien dengan gangguan afektif bipolar memiliki
kerentanan atau mengalami penurunan ketahanan neuron (Manji dan
Duman, 2001). Hal ini didukung oleh satu penelitian yang menggunakan
sel neuroepithelium di penciuman menunjukkan bahwa sel-sel yang
berasal dari pasien dengan gangguan afektif bipolar yang rentan terhadap
kematian sel (McCurdy et al., 2006).
Jika gangguan afektif bipolar berhubungan dengan kerentanan
neuron untuk stres seluler, penyakit ini mungkin dibarengi juga dengan
berkurangnya neuron di otak. Seperti terlihat pada Tabel 1, pengurangan
jumlah atau kepadatan neuron telah dilaporkan di beberapa area otak
seperti korteks anterior cingulate (Benes et al., 2001), prefrontal cortex
(Rajkowska et al., 2001), hippocampal corpus Ammonius CA2) (Benes
etal., 1998), nukleus thalamic ventromedial (Kromkap et al., 2003),
nukleus hipotalamus paraventricular (Manaye et al., 2005) dan subnukleus
ventrolateral dari dorsal raphe (Baumann et al., 2002). Namun, hasil dari
beberapa studi tidak konsisten. Berkurangnya jumlah neuron dilaporkan
terutama lebih banyak di interneuron daripada di neuron piramidal (Benes
et al., 2001). Berkurangnya ekspresi mRNA dari somatostatin dan asam
glutamat dekarboksilase 67 (GAD67) juga ditemukan di hippocampus
(Konradi et al., 2004) dan korteks prefrontal pada pasien dengan gangguan
afektif bipolar. Di antara temuan ini, hanya penurunan jumlah neuron di
nukleus periventrikel hipotalamus dalam gangguan afektif bipolar yang
dilaporkan menyertai gliosis.
Dasar molekul dari kerentanan atau gangguan ketahanan neuron
pada pasien dengan gangguan afektif bipolar mungkin disebabkan karena
gangguan signalling pada kalsium, perubahan signal neurotpohin,
disfungsi mitokondria dan disfungsi respon stress dari retikulum
36
endoplasma (ER). Masing-masing mekanisme tersebut saling berkaitan:
neurotrophins mengatur signal kalsium intraseluler, dan mitokondria dan
ER berkoordinasi memainkan peran penting dalam regulasi penyimpanan
kanal kalsium dan signal kalsium intraseluler.
a. Kanal Kalsium
Agonis kalsium influks diinduksi oleh trombin, serotonin dan
faktor aktivasi platelet dilaporkan meningkat pada sel yang berasal dari
pasien dengan gangguan afektif bipolar terlepas dari jenis agonis
digunakan
Gambar 4. Neuropathological findings in bipolar disorder
(Warsh et al., 2004). Warsh dan rekan mempelajari dasar molekul yang
melatarbelakangi perubahan sinyal kalsium pada gangguan afektif
bipolar menggunakan sel lymphoblastoid yang berasal dari pasien.
37
Respon terhadap thapsigargin, penghambat ER pompa Ca2, juga
meningkat dalam sel darah perifer pada pasien dengan gangguan afektif
bipolar (Kato et al., 2003); Namun temuan ini masih kontroversial
(Perova et al., 2008). Thapsigargin melepaskan Ca2 + dari ER dan
kemudian meningkatkan influks Ca2 + dari store-operated calcium
channel (SOCC) di membran plasma. Gangguan pada SOCC mungkin
mendasari perubahan dari sinyal kalsium pada gangguan afektif bipolar
(Warsh et al., 2004). Perlu dicatat bahwa studi ini dilakukan pada sel
noneksitabel. Faktor-faktor lain seperti reseptor N-metil-D'Aspartate,
AMPA permeabel-kalsium/reseptor kainate atau kanal kalsium
tergantung kalsium mungkin juga menyebabkan kalsium terjadinya
sinyal abnormal pada neuron. Terdapat banyak bukti yang
menunjukkan bahwa gen reseptor dan saluran tersebut mengalami
perubahan pada otak postmortem dari pasien dengan gangguan afektif
bipolar (Kato et al., 2007), dan salah satu bukti terkuat dari GWAS
yaitu CACNA1C yang mengkode Ltype kanal kalsium tergantung
voltase (Sklar et al., 2008).
b. Glycogen synthase kinase 3b
GSK-3b berperan dalam berbagai sinyal intraseluler, termasuk
neurotrophin dan jalur sinyal Wnt. GSK-3b diatur oleh sinyal kalsium
intraseluler. Karena mood stabilisator menghambat GSK-3b (Klein dan
Melton, 199), sehingga jalur ini diduga berperan dalam gangguan
afektif bipolar. Selain peran dalam kerentanan seluler, GSK-3b juga
diduga berperan dalam munculnya kelainan irama sirkardian pada
gangguan afektif bipolar (Prickaerts, 2006). Ekspresi yang berlebih dari
GSK-3b memperpendek periode sirkadian (Dokucu et al., 2005),
lithium meningkatkan periode sirkadian dengan menghambat efek
GSK-3b untuk menstabilkan nuclear reseptor REV-Erba, komponen
negatif dari jam sirkadian (Yin et al., 2006). Fibroblas yang berasal dari
pasien dengan gangguan afektif bipolar mengalami pengurangan
fosforilasi GSK-3b, yang menyebabkan overaktivasi dari GSK dan
38
mengurangi amplitudo dari ekspresi berkala untuk beberapa gen seperti
yang mengkode REV-Erba dan Dsite- binding protein (DBP) (Yang et
al., 2008). Peningkatan jumlah copy dari pengkode gen GSK-3b juga
dilaporkan pada pasien dengan gangguan afektif bipolar (Lachman et
al., 2007). Dengan demikian, pasien dengan gangguan afektif bipolar
mungkin telah terjadi perubahan ritme sirkadian di tingkat seluler
terkait dengan aktivitas GSK-3b yang berlebihan, dan pengaruh lithium
pada ritme sirkadian mungkin dimediasi oleh penghambatan GSK-3b
(Yin et al., 2006).
c. Jalur phosphoinositide
Seperti disebutkan di atas, mekanisme target yang potensial dari
litium adalah jalur phosphatidylinositol. Phosphatidylinositol bifosfat
dihidrolisis menjadi trifosfat inositol (IP3) dan diasilgliserol. IP3
melepaskan kalsium dari ER. penurunan jumlah inositol (Belmacker,
2002), berkurangnya inositol monophosphatase 2 (IMAP2) mRNA
(Nemanov et al., 1999) dan berkurangnya aktivitas IMPase (Shamir et
al., 1998) dilaporkan terjadi pada sel lymphoblastoid atau limfosit yang
berasal dari pasien dengan gangguan afektif bipolar. Faktor genetik
mungkin berkontribusi terhadap berubahnya sinyal dalam gangguan
afektif bipolar, karena perubahan jalur ini terlihat dalam kultur sel
lymphoblastoid, dan dilaporkan berhubungan dengan IMPA2 (Ohnishi
et al., 2007). Rasio membran yang terikat dengan aktivitas sitosol
protein kinase C (PKC) dan translokasi serotonin yang disebabkan PKC
dilaporkan meningkat pada pasien dengan gangguan afektif bipolar
episode manik yang tidak minum obat di tiga set sampel independen
dalam satu kelompok (Friedman et al., 1993). Namun, kelompok lain
menunjukkan bahwa aktivitas PKC menurun (Pandey et al., 2002) atau
tidak berubah (Young et al., 1999) pada pasien dengan gangguan afektif
bipolar yang tidak meminum obat.
d. Disfungsi Mitokondria
39
Temuan pada Magnetic resonance spectroscopy (MRS)
menunjukkann bahwa pasien dengan gangguan afektif bipolar telah
terjadi perubahan pada metabolisme energi di otak, seperti penurunan
phosphocreatine (Kato et al., 1994) dan pH intraseluler (Kato et al.,
1993), peningkatan laktat (Dager et al., 2004) dan penurunan creatine
(Port et al., 2008). Temuan MRS ini mirip pada penyakit mitokondria
seperti chronic external ophthalmoplegiar (CPEO), yang disebabkan
oleh adanya delesi pada DNA mitokondria (mtDNA) di otot. Sebuah
karya perintis oleh Suomalainen et al. (1992) menunjukkan akumulasi
delesi mtDNA di otak dalam kasus CPEO dengan depresi berat.
Temuan ini juga menunjukkan bahwa akumulasi delesi mtDNA di otak
dapat menyebabkan depresi. Baru-baru ini, sebuah kasus dilaporkan
adanya gangguan afektif bipolar yang terkait dengan CPEO (Siciliano,
2003), dan pasien dengan penyakit mitokondria ditemukan memiliki
komorbiditas
Gambar 5. Dysfunction of mitochondria
40
seumur hidup untuk terjadinya depresi (54% dari 36 pasien dengan
penyakit mitokondria) atau gangguan afektif bipolar (17%) (Fattal et
al., 2007). Atas dasar beberapa Temuan sebelumnya, kami
mengusulkan bahwa disfungsi mitokondria karena mutasi mtDNA
menyebabkan disregulasi kalsium di mitokondria dan berperan dalam
patofisiologi gangguan afektif bipolar (Gambar 5) (Kato dan Kato,
2000).
Dilaporkan juga bahwa terdapat akumulasi delesi mtDNA pada
beberapa pasien dengan gangguan afektif bipolar (Kato et al., 1997);
Namun, ini Temuan ini masih kontroversial (Fuke et al., 2008) mutasi
MtDNA 3243 juga terdeteksi di beberapa kasus (Munakata et al.,
2005). Penurunan regulasi menyeluruh dari gen inti mitokondria juga
diduga mendukung tejadinya disfungsi mitokondria pada gangguan
afektif bipolar. Temuan ini direplikasi oleh peneliti lain. Namun,
sampel pH dan pengaruh obat merupakan penentu utama dalam
berkurangnya ekspresi dari gen mitokondria (Iwanoto et al., 2003), oleh
keran itu sulit untuk menginterpretasikan hasilnya dalam kondisi ini.
Limfosit yang berasal dari pasien dengan gangguan afektif bipolar
menunjukkan penurunan regulasi paradoks pada gen yang berhubungan
dengan mitokondria terhadap kekurangan glukosa, sedangkan sel-sel
dari subyek kontrol menunjukkan peningkatan regulasi. Temuan ini
menunjukkan bahwa pasien dengan gangguan afektif bipolar mungkin
memiliki penurunan kemampuan adaptrasi molekuler terhadap stress
(Naydenov, 2007). Mutasi polimerase mtDNA (polymerase g; POLG)
adalah salah satu penyebab CPEO (Van Goethem, 2001). Mutan
polimerase g (Polg) tikus transgenik dengan akumulasi delesi mtDNA
di neuron yang spesifik menunjukkan adanya fenotipe yang mirip pada
gangguan afektif bipolar seperti berubahnya aktivitas ritme sirkadian
dan perubahan aktivitas berjalan pada roda erkait siklus estrus yang
signifikan, dengan durasi 4-5 hari pada wanita (Kasahara, 2006).
Perubahan aktivitas yang periodik diperbaiki dengan lithium.
41
Perubahan ritme sirkadian diperparah oleh TCA tapi diperbaiki dengan
lithium atau terapi electroconvulsive (Kasahara et al., 2008). Tikus ini
juga menunjukkan peningkatan rasio uptake kalsium dalam mitokondria
yang diisolasi dari otak (Kubota et al., 2006). Stress oksidatif karena
disfungsi mitokondria juga mungkin berperan, karena peningkatan
penanda stres oksidatif seperti zat reaktif asam thiobarbituric dilaporkan
meningkat pada pasien dengan gangguan afektif bipolar (Andreazza et
al., 2008).
e. Stres Retikulum Endoplasma
Dalam analisis komprehensif dari ekspresi gen pada sel
lymphoblastoid yang berasal dari dua pasang kembar monozigot yang
memiliki gangguan afektif bipolar, terjadi penuruan regulasi pada dua
gen yang terkait dengan respon stress ER (Kakiuchi et al., 2008). X-
box-binding protein 1 (XBP1) adalah dasar dari faktor transkripsi
leucine yang penting bagi pertumbuhan liver dan sel plasma (Reimold
et al., 2000). XBP1 mRNA mengalami konvensional splicing oleh IRE1
pada membran ER ketika banyak protein yang belum dilipat menumpuk
di ER, yang menyebabkan pergeseran kerangka mRNA. Bentuk spliced
mRNA mengkode faktor transkripsi aktif yang terdiri dari signal inti
lokal dan aktivasi dari domain transkripsi yang akhirnya mengaktifkan
transkripsi dari target gen seperti pada ER chaperon (Yoshida et al.,
2001). Sebaliknya, kode protein yang berasal dari bentuk unspliced
XBP1 akan membentuk kompleks dengan spliced XBP1. Karena
bentuk unspliced XBP1 tidak memiliki sinyal inti dan terjadi motif
degradasi, unspliced XBP1 memainkan peran sebagai regulator negatif
untuk spliced-XBP1 (Yoshida et al., 2006).
Meskipun, polimorfisme pada promotor XBP1 mengurangi
responnya terhadap ER stress yang dilaporkan terkait dengan gangguan
afektif bipolar, tetapi ternyata hasil penelitian selanjutnya tidak
mendukung hal tersebut (Chicon et al., 2004). Respon dari XBP1
42
terhadap stres ER berkurang di sel lymphoblastoid pada pasien
gangguan afektif bipolar, terlepas dari genotipe XBP1 (So et al., 2007),.
Sehingga dilakukan replikasi pada sampel independen dalam jumlah
besar. Untuk mencari konsekuensi dari melemahnya respon XBP1
terhadap stres ER, peran XBP1 pada neuron diamati. BDNF
menyebabkan stres ER lokal dengan meningkatkan sintesis protein
lokal, dan melakukan splicing XBP1 mRNA di neurit. Ekstensi neurite
yang diinduksi BDNF telah mengalami gangguan di neuron XBP1
(Hayashi et al., 2007) (Gambar 2). Baru-baru ini, analisis ekspresi gen
di dalam neuron primer yang diperoleh dari XBP1 pada tikus
menunjukkan bahwa XBP1 mungkin berperan dalam diferensiasi yang
diinduksi BDNF pada interneuron.
43
Gambar 6. Role of XBP1 in neuron
Mutan Caenorhabditis elegans, di mana XBP1 tidak dapat
dilakukan splicing, memiliki kelainan dalam transportasi dari AMPA
reseptor glutamat pada ER (Shim et al., 2004). Jika neuron pasien
dengan gangguan afektif bipolar memiliki respon XBP1 yang melemah,
akan menyebabkan terganggunya ekstensi neurit yang diinduksi BDNF
dan diferensiasi dari GABAergic interneuron, serta gangguan pada
reseptor AMPA. Dalam upaya untuk mencari gen target XBP1 di sel
neuroblastoma, ditemukan bahwa WFS1 (sindrom Wolfram 1), gen
penyebab penyakit Wolfram, adalah Target dari XBP1 (Kakiuchi et al.,
44
2006). Penyakit Wolfram adalah penyakit genetik yang langka yang
sering menyertai depresi (Swift et al., 1991). Tikus WFS1 menunjukkan
sifat fenotipe seperti depresi diantanya keterbelakangan dalam gerakan
yang dipicu secara emosional penurunan interaksi sosial (Kato et al.,
2008). Dengan demikian, jalur XBP1-WFS1 mungkin memiliki peranan
dalam gangguan mood. Untuk mencari penyebab kejanggalan antara
kembar monozigot, kemudian dilakukan pencarian secara komprehensif
adanya perbedaan metilasi DNA antara sepasang kembar gangguan
afektif bipolar dan menemukan bahwa PPIEL (peptidylprolyl cis– trans
isomerase E like) termetilasi secara bebeda pada sel lymphoblastoid
dari si kembar. Terjadi hipometilasi PPIEL secara signifikan pada
pasien dengan gangguan afektif bipolar II dalam studi kasus-kontrol,
dan hipometilasi dikaitkan dengan peningkatan ekspresi mRNA di sel
lymphoblastoid. PPIEL mengkode protein dari golongan cyclophilin
yang ditandai dengan PPI (peptidylprolyl isomerase) domain yang
berperan dalam protein folding. Dalam otak manusia, PPIEL mRNA
banyak terletak di substantia nigra dan hipofisis, yang mungkin
berperan dalam neuron dopaminergik (Kuratomi et al., 2008).
Pada gangguan afektif bipolar, interval antar episode gangguan
akan semakin singkat dengan semakin berkembangnya penyakit, dan
pasien menjadi lebih rentan terhadap stres. Ketika pasien timbul gejala
rapid cycling, pemakaian lithium tidak lagi efektif. Karakteristik dari
keadaan tersebut dapat dijelaskan oleh sensitiasi behavioural (Post dan
Weiss, 1996), tetapi juga dapat dijelaskan oleh teori progresif loss atau
disfungsi neuron yang bertanggung jawab sebagai mood stabilisator.
Hipotesis ini mungkin akan lebih relevan dengan pemahaman
neurobiologi yang terjadi pada gangguan afektif bipolar seperti
dijelaskan di atas. Dengan demikian, langkah berikutnya studi
neurobiologis dari gangguan afektif bipolar adalah untuk
mengidentifikasi sistem saraf yang bertanggung jawab untuk stabilisasi
mood, yaitu, 'mood-stabilizing neuron.'
45
Kandidat sistem saraf yang dapat menjadi 'mood-stabilizing
neuron' adalah neuron GABAergic. Seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya, pengurangan dari neuron GABAergic telah dilaporkan
terjadi pada otak pasien dengan gangguan afektif bipolar, dan disfungsi
dari respon terhadap stres ER mungkin dapat menyebabkan gangguan
diferensiasi pada neuron GABAergic.
Sebuah studi stimulasi magnetik transkranial menunjukkan
bahwa terjadi penurunan inhibisi kortikal pada gangguan afektif bipolar
(Levinson et al., 2007). Ditemukan pula terjadinya pengurangan jumlah
interneuron di hippocampal CA2. Penanda GABAergic, yaitu GAD67
mengalami penurunan dalam stratum oriens dari CA2 / 3, dan ini
dikaitkan dengan berkurangnya level faktor transkripsi yang penting
untuk diferensiasi dari interneuron GABAergic seperti LHX2 dan
PAX5 (Benes et al., 2007). Secara bersama-sama, temuan ini
menunjukkan bahwa gangguan diferensiasi interneuron GABAergic
mungkin terlibat dalam patofisiologi gangguan afektif bipolar.
Kandidat lainnya adalah sistem saraf yang bertanggung jawab
untuk regulasi ritme sirkadian. Irama behavioural yang terkait dengan
lingkungan terang-gelap diatur oleh jalur retino-hipotalamus. Perubahan
pada respon melatonin terhadap cahaya telah dilaporkan pada pasien
dengan bipolar gangguan (Lewy et al., 1981). Tikus Mutan Polg
menunjukkan perubahan pada ritme sirkadian, dan beberapa tikus
mutan lainnya menunjukkan fenotipe yang sama. Hilangnya neuron
gliosis dilaporkan terjadi di hipotalamus. Terapi ritme sosial dilakukan
untuk memperbaiki disregulasi ritme terbukti efektik untuk pencegahan
gangguan afektif bipolar (Frank et al., 2007).
Bukti-bukti penelitian menunjukkan bahwa neuron GABAergic
atau neuron yang bertanggung jawab untuk ritme sirkadian mungkin
dapat menjadi kandidat yang berpengaruh untuk gangguan afektif
bipolar. Gangguan afektif bipolar bukan penyakit genetik yang sifatnya
homogen, dan banyak faktor genetik lain yang dapat berkontribusi
46
terjadinya gangguan sistem saraf, seperti yang telah dibahas di atas.
Misalnya, gen yang berhubungan dengan regulasi irama sirkadian pada
tingkat sel dan gen yang terkait dengan kerentanan sistem saraf yang
bertanggung jawab untuk mengatyur ritme sirkadian dapat
mengakibatkan konsekuensi yang sama (Gambar 3). Langkah
selanjutnya untuk dapat memahami neurobiologi yang menyebabkan
gangguan afektif bipolar adalah dengan mengidentifikasi sistem saraf
yang bertanggung jawab terhadap gangguan ini. Sehingga akan dapat
mengatasi kompleksitas dan heterogenitas etiologi dari gangguan
afektif bipolar dan mengidentifikasi final common pathway dari
penyakit pada otak yang sangat kompleks ini.
Gambar 7. Pathophysiological mechanisms of bipolar disorder
Faktor genetik yang berkontribusi terhadap terjadinya gangguan
afektif bipolar, episode manik dan depresi biasanya disertai dengan
perubahan neurotransmisi dopaminergik. Peningkatan kejadian
hyperintensitas subkortikal, perubahan kadar kalsium pada trombosit
dan efek neuroprotektif dari mood stabilisator menunjukkan bahwa
kerentanan seluler terlibat dalam gangguan afektif bipolar. Kanal
47
kalsium, GSK- 3b, disfungsi mitokondria dan disfungsi stres ER diduga
berperan dalam kerentanan seluler tersebut. Progresif loss atau
disfungsi dari mood stabilisator neuron mungkin dapat menjadi final
common pathway dari gangguan afektif bipolar (Kato, 2008).
48
BAB III
SIMPULAN
A. Simpulan
1. Studi keluarga, kembar, adopsi, dan genetik memberikan bukti bahwa
gangguan afektif bipolar merupakan penyakit genetik. Namun gangguan
afektif bipolar tidak hanya muncul oleh karena murni diturunkan dari
gen, tetapi ditimbulkan dari interaksi dari beberapa gen yang berbeda
yang kemudian berinteraksi dengan stresor lingkungan.
2. Pada studi mekanisme molekuler, diketahui adanya peningkatan sitokin
inflamasi pada pasien gangguan afektif bipolar, sehingga pemberian
terapi antiinflamasi pada pasien gangguan afektif bipolar dapat menjadi
terapi alternatif yang menjanjikan untuk gangguan ini.
3. Pada studi neuroanatomi, pasien gangguan afektif bipolar mengalami
kerentanan neuron yang ditunjukkan dengan kerentanan oligodendrosit
dan penurunan ekspresi gen terkait oligodendrosit pada otak.
4. Mekanisme epigenetik berpengaruh terhadap gangguan afektif bipolar
dalam hal konkordansi kembar monozigot, dismorfisme seksual, dan efek
transmisi maternal dari orangtua. Namun hingga sekarang, mekanisme
epigenetik ini masih sulit untuk dijelaskan secara pasti.
49
DAFTAR PUSTAKA
American Psychiatric Association (2000). Diagnostic and statistical manual of
mental disorders: DSM-IV-TR., Edisi Revisi ke-4.
Andreasen NC, Black DW (2006). Introductory Textbook of Psychiatry. Edisi ke-
4. Washington, DC: American Psychiatric Publishing, Inc.
Andreazza, A.C. et al. (2008) Oxidative stress markers in bipolar disorder: a meta-
analysis. J. Affect. Disord., DOI: 10.1016/j.jad.2008. 04.013.
Azzi L, El-Alfy M, Labrie F (2006). Gender differences and effects of sex steroids
and dehydroepiandrosterone on androgen and oestrogen alpha receptors in
mouse sebaceous glands. Br J Dermatol 154: 21–27.
Barrett SL, Mulholland CC, Cooper SJ, Rushe TM (2009). Patterns of
neurocognitive impairment in first-episode bipolar disorder and
schizophrenia. Br J Psychiatry 195: 67–72.
Basta-Kaim, A. et al. (2004) Mood stabilizers inhibit glucocorticoid receptor
function in LMCAT cells. Eur. J. Pharmacol. 495, 103–110.
Baumann, B. et al. (2002) Circumscribed numerical deficit of dorsal raphe
neurons in mood disorders. Psychol. Med. 32, 93–103.
Belmaker, R.H. et al. (2002) Reduced inositol content in lymphocytederived cell
lines from bipolar patients. Bipolar Disord. 4, 67–69.
Benes, F.M. et al. (2001). The density of pyramidal and nonpyramidal neurons in
anterior cingulate cortex of schizophrenic and bipolar subjects. Biol.
Psychiatry 50, 395–406.
50
Benes, F.M. et al. (1998) A reduction of nonpyramidal cells in sector CA2 of
schizophrenics and manic depressives. Biol. Psychiatry 44, 88–97.
Braunig P, Sarkar R, Effenberger S, Schoofs N, Kruger S (2009). Gender
differences in psychotic bipolar mania. Gend Med 6: 356–361.
Chen, G. et al. (2000) Enhancement of hippocampal neurogenesis by lithium. J.
Neurochem. 75, 1729–1734.
Chen, G. et al. (1999) The mood-stabilizing agents lithium and valproate robustly
increase the levels of the neuroprotective protein bcl-2 in the CNS. J.
Neurochem. 72, 879–882.
Chen, G. et al. (1999). The mood-stabilizing agent valproate inhibits the activity
of glycogen synthase kinase-3. J. Neurochem. 72, 1327–1330.
Cichon, S. et al. (2004) Lack of support for a genetic association of the XBP1
promoter polymorphism with bipolar disorder in probands of European
origin. Nat. Genet. 36, 783–784.
Cui, J. et al. (2007). Role of glutathione in neuroprotective effects of mood
stabilizing drugs lithium and valproate. Neuroscience 144, 1447–1453.
Dager, S.R. et al. (2004) Brain metabolic alterations in medicationfree patients
with bipolar disorder. Arch. Gen. Psychiatry 61, 450–458.
Du, J. et al. (2003). Structurally dissimilar antimanic agents modulate synaptic
plasticity by regulating AMPA glutamate receptor subunit GluR1 synaptic
expression. Ann. N. Y. Acad. Sci. 1003, 378–380.
51
Dokucu, M.E.et al. (2005) Lithium-andvalproate-inducedalterationsin
circadianlocomotor behavior inDrosophila. Neuropsychopharmacology.
30, 2216–2224.
Fattal, O. et al. (2007) Psychiatric comorbidity in 36 adults with mitochondrial
cytopathies. CNS Spectr. 12, 429–438.
Frank, E. et al. (2007) Interpersonal and social rhythm therapy: an intervention
addressing rhythm dysregulation in bipolar disorder. Dialogues Clin.
Neurosci. 9, 325–332.
Fu M, Wang C, Zhang X, Pestell RG (2004). Acetylation of nuclear receptors in
cellular growth and apoptosis. Biochem Pharmacol 68: 1199–1208.
Garinis GA, Patrinos GP, Spanakis NE, Menounos PG (2002). DNA
hypermethylation: when tumour suppressor genes go silent. Hum Genet
111: 115–127.
Hao, Y. et al. (2004) Mood stabilizer valproate promotes ERK pathway-
dependent cortical neuronal growth and neurogenesis. J. Neurosci. 24,
6590-6599
Harwood, A.J. (2005) Lithium and bipolar mood disorder: the inositoldepletion
hypothesis revisited. Mol. Psychiatry 10, 117–126.
Hayashi, A. et al. (2007) The role of brain-derived neurotrophic factor (BDNF)-
induced XBP1 splicing during brain development. J. Biol. Chem. 282,
34525–34534.
52
Higashi, M. et al. (2008). Mood stabilizing drugs expand the neural stem cell pool
in the adult brain through activation of notch signaling. Stem Cells 26,
1758–1767.
Iwamoto, K. et al. (2005) Altered expression of mitochondria-related genes in
postmortem brains of patients with bipolar disorder or schizophrenia, as
revealed by large-scale DNA microarray analysis. Hum. Mol. Genet. 14,
241–253.
Jenuwein T, Allis CD (2001). Translating the histone code. Science 293: 1074–
1080.
Kakiuchi, C. et al. (2003) Impaired feedback regulation of XBP1 as a genetic risk
factor for bipolar disorder. Nat. Genet. 35, 171–175.
Kakiuchi, C. et al. (2006) XBP1 induces WFS1 through an endoplasmic reticulum
stress response element-like motif in SHSY5Y cells. J. Neurochem. 97,
545–555.
Kaminsky Z, Wang SC, Petronis A (2006). Complex disease, gender and
epigenetics. Ann Med 38: 530–544.
Kaplan HI, Sadock BJ, Grebb JA (2010). Sinopsis psikiatri: Ilmu pengetahuan
perilaku psikiatri klinis. Jilid 1. Tangerang: Bina Aksara Publisher.
Kasahara, T. et al. (2006) Mice with neuron-specific accumulation of
mitochondrial DNA mutations show mood disorder-like phenotypes. Mol.
Psychiatry 11, 577–593.
53
Kasahara, T. et al. (2008) A marked effect of electroconvulsive stimulation on
behavioral aberration of mice with neuron-specific mitochondrial DNA
defects. PLoS ONE 3, e1877.
Kato, T. et al. (2008) Behavioral and gene expression analyses of Wfs1 knockout
mice as a possible animal model of mood disorder. Neurosci. Res. 61, 143–
158.
Kato, T. et al. (2003) Mechanisms of altered Ca2+ signalling in transformed
lymphoblastoid cells from patients with bipolar disorder. Int. J.
Neuropsychopharmacol. 6, 379–389.
Kato, T. et al. (1994) Reduction of brain phosphocreatine in bipolar II disorder
detected by phosphorus-31 magnetic resonance spectroscopy. J. Affect.
Disord. 31, 125–133.
Kato, T. et al. (1993) Alterations in brain phosphorous metabolism in bipolar
disorder detected by in vivo 31P and 7Li magnetic resonance spectroscopy.
J. Affect. Disord. 27, 53–59.
Kato, T. and Kato, N. (2000) Mitochondrial dysfunction in bipolar disorder.
Bipolar Disord. 2, 180–190.
Kato, T. (2007) Mitochondrial dysfunction as the molecular basis of bipolar
disorder: therapeutic implications. CNS Drugs 21, 1–11.
Khare T., Pal M., Petronis A (2011). Understanding Bipolar Disorder: The
Epigenetic.
Klein, P.S. and Melton, D.A. (1996). A molecular mechanism for the effect of
lithium on development. Proc. Natl. Acad. Sci. U. S. A. 93, 8455–8459.
54
Konradi, C. et al. (2004) Molecular evidence for mitochondrial dysfunction in
bipolar disorder. Arch. Gen. Psychiatry 61, 300–308.
Kromkamp, M. et al. (2003) Decreased thalamic expression of the homeobox
gene DLX1 in psychosis. Arch. Gen. Psychiatry 60, 869–874.
Kubota, M. et al. (2006) Abnormal Ca2+ dynamics in transgenic mice with
neuron-specific mitochondrial DNA defects. J. Neurosci. 26, 12314–
12324
Kuratomi G, Iwamoto K, Bundo M, Kusumi I, Kato N, Iwata N, Ozaki N, Kato T
(2008). Aberrant DNA methylation associated with bipolar disorder
identified from discordant monozygotic twins. Mol Psychiatry 13: 429–
441.
Lachman, H.M. et al. (2007) Increase in GSK3b gene copy number variation in
bipolar disorder. Am. J. Med. Genet. B Neuropsychiatr. Genet. 144, 259–
265.
Laeng, P. et al. (2004). The mood stabilizer valproic acid stimulates GABA
neurogenesis from rat forebrain stem cells. J. Neurochem. 91, 238–251.
Lan TH, Beaty TH, DePaulo JR, McInnis MG (2007). Parent-of-origin effect in
the segregation analysis of bipolar affective disorder families. Psychiatr
Genet 17: 93–101.
Leng, Y. et al. (2008). Synergistic neuroprotective effects of lithium and valproic
acid or other histone deacetylase inhibitors in neurons: roles of glycogen
synthase kinase-3 inhibition. J. Neurosci. 28, 2576–2588.
55
Lewy, A.J. et al. (1981) Manic-depressive patients may be supersensitive to light.
Lancet 1, 383–384.
Mahmood, T. and Silverstone, T. (2001) Serotonin and bipolar disorder. J. Affect.
Disord. 66, 1–11.
Manaye, K.F. et al. (2005) Selective neuron loss in the paraventricular nucleus of
hypothalamus in patients suffering from major depression and bipolar
disorder. J. Neuropathol. Exp. Neurol. 64, 224–229.
Manji, H.K. and Duman, R.S. (2001) Impairments of neuroplasticity and cellular
resilience in severe mood disorders: implications for the development of
novel therapeutics. Psychopharmacol. Bull. 35, 5–49.
Maslim R (2001). Buku saku diagnosis gangguan jiwa: Rujukan ringkas dari
PPDGJ-III. Jakarta: FK UNIKA Atmajaya.
McCurdy, R.D. et al. (2006). Cell cycle alterations in biopsied olfactory
neuroepithelium in schizophrenia and bipolar I disorder using cell culture
and gene expression analyses. Schizophr. Res. 82, 163–173.
Merikangas KR, Jin R, He JP, Kessler RC, Lee S, Sampson NA, Viana MC, et al.
(2011). Prevalence and Correlates of Bipolar Spectrum Disorder in the
World Mental Health Survey Initiative. Arch gen psychiatry 68(3): 241-251.
Munakata, K. et al. (2005) Mitochondrial DNA 3243A>G mutation and increased
expression of LARS2 gene in the brains of patients with bipolar disorder
and schizophrenia. Biol. Psychiatry 57, 525–532.
Naydenov, A.V. et al. (2007) Differences in lymphocyte electron transport gene
expression levels between subjects with bipolar disorder and normal
56
controls in response to glucose deprivation stress. Arch. Gen. Psychiatry 64,
555–564.
Nemanov, L. et al. (1999) Effect of bipolar disorder on lymphocyte inositol
monophosphatase mRNA levels. Int. J. Neuropsychopharmacol. 2, 25–29.
Nonaka, S. et al. (1998) Chronic lithium treatment robustly protects neurons in the
central nervous system against excitotoxicity by inhibiting N-methyl-D-
aspartate receptor-mediated calcium influx. Proc. Natl. Acad. Sci. U. S. A.
95, 2642–2647.
Ohnishi, T. et al. (2007) A promoter haplotype of the inositol monophosphatase 2
gene (IMPA2) at 18p11.2 confers a possible risk for bipolar disorder by
enhancing transcription. Neuropsychopharmacology 32, 1727–1737.
Peele PB, Xu Y, Kupfer DJ (2003). Insurance expenditures on bipolar disorder:
Clinical and parity concerns. Am J Psychiatry 160:1286–1290.
Peet, M. (1994) Induction of mania with selective serotonin re-uptake inhibitors
and tricyclic antidepressants. Br. J. Psychiatry 164, 549–550.
Perova, T. et al. (2008) Hyperactive intracellular calcium dynamics in B
lymphoblasts from patients with bipolar I disorder. Int. J.
Neuropsychopharmacol. 11, 185–196.
Perspective in H.K. Manji and C.A. Zarate (eds.): Behavioral Neurobiology of
Bipolar Disorder and its Treatment, Current Topics in Behavioral
Neurosciences 5.
57
Prickaerts, J. et al. (2006) Transgenic mice overexpressing glycogen synthase
kinase 3b: a putative model of hyperactivity and mania. J. Neurosci. 26,
9022–9029.
Rajkowska, G. et al. (2001) Reductions in neuronal and glial density characterize
the dorsolateral prefrontal cortex in bipolar disorder. Biol. Psychiatry 49,
741–752.
Reimold, A.M. et al. (2000) An essential role in liver development for
transcription factor XBP-1. Genes Dev. 14, 152–157.
Reimold, A.M. et al. (2001) Plasma cell differentiation requires the transcription
factor XBP-1. Nature 412, 300–307.
Regenold, W.T. et al. (2007). Myelin staining of deep white matter in the
dorsolateral prefrontal cortex in schizophrenia, bipolar disorder, and
unipolar major depression. Psychiatry Res. 151, 179–188.
Rosa A, Picchioni MM, Kalidindi S, Loat CS, Knight J, Toulopoulou T, Vonk R,
van der Schot AC, Nolen W, Kahn RS, McGuffin P, Murray RM, Craig
IW (2008). Differential methylation of the X-chromosome is a possible
source of discordance for bipolar disorder female monozygotic twins. Am
J Med Genet B Neuropsychiatr Genet 147B: 459–462.
Sasaki H, Matsui Y (2008). Epigenetic events in mammalian germ-cell
development: reprogramming and beyond. Nat Rev Genet 9 :129–140.
Shamir, A. et al. (1998) Inositol monophosphatase in immortalized
lymphoblastoid cell lines indicates susceptibility to bipolar disorder and
response to lithium therapy. Mol. Psychiatry 3, 481–482.
58
Shim, J. et al. (2004) The unfolded protein response regulates glutamate receptor
export from the endoplasmic reticulum. Mol. Biol. Cell 15, 4818–4828.
Siciliano, G. et al. (2003) Autosomal dominant external ophthalmoplegia and
bipolar affective disorder associated with a mutation in the ANT1 gene.
Neuromuscul. Disord. 13, 162–165.
Sit D (2004). Women and bipolar disorder across the life span. J Am Med
Womens Assoc 59: 91–100.
So, J. et al. (2007) Impaired endoplasmic reticulum stress response in B-
lymphoblasts from patients with bipolar-I disorder. Biol. Psychiatry 62,
141–147.
Stahl, SM (2013). Stahl’s essential psychopharmacology: neuroscientific basis
and practical application. 4th ed. Cambridge University Press: New York.
pp: 24-26.
Suomalainen, A. et al. (1992) Multiple deletions of mitochondrial DNA in several
tissues of a patient with severe retarded depression and familial
progressive external ophthalmoplegia. J. Clin. Invest. 90, 61–66.
Swift, R.G. et al. (1991) Psychiatric disorders in 36 families with Wolfram
syndrome. Am. J. Psychiatry 148, 775–779.
Taylor L, Faraone SV, Tsuang MT (2002). Family, twin, and adoption studies of
bipolar disease. Curr Psychiatry Rep 4: 130–133.
Tkachev, D. et al. (2003) Oligodendrocyte dysfunction in schizophrenia and
bipolar disorder. Lancet 362, 798–805
59
Torack, R.M. and Morris, J.C. (1988). The association of ventral tegmental area
histopathology with adult dementia. Arch. Neurol. 45, 497–501.
Underwood SL, Christoforou A, Thomson PA, Wray NR, Tenesa A, Whittaker J,
Adams RA, Le Hellard S, Morris SW, Blackwood DH, Muir WJ, Porteous
DJ, Evans KL (2006). Association analysis of the chromosome 4p-located
G protein-coupled receptor 78 (GPR78) gene in bipolar affective disorder
and schizophrenia. Mol Psychiatry 11: 384–394.
Valentini, V. et al. (2004) Noradrenaline transporter blockers raise extracellular
dopamine in medial prefrontal but not parietal and occipital cortex:
differences with mianserin and clozapine. J. Neurochem. 88, 917–927.
Van Goethem, G. et al. (2001) Mutation of POLG is associated with progressive
external ophthalmoplegia characterized by mtDNA deletions. Nat. Genet.
28, 211–212.
Warsh, J.J. et al. (2004) Role of intracellular calcium signaling in the
pathophysiology and pharmacotherapy of bipolar disorder: current status.
Clin. Neurosci. Res. 4, 201–213.
Williams, R.S. et al. (2002) A common mechanism of action for three mood-
stabilizing drugs. Nature 417, 292–295.
Yang, S. et al. (2008) Assessment of circadian function in fibroblasts of patients
with bipolar disorder. Mol Psychiatry 10.1038/mp.2008.10
Yin, L. et al. (2006) Nuclear receptor Rev-erba is a critical lithiumsensitive
component of the circadian clock. Science 311, 1002–1005.
60
Yoon, I.S. et al. (2001) Altered IMPA2 gene expression and calcium homeostasis
in bipolar disorder. Mol. Psychiatry 6, 678–683.
Yoshida, H. et al. (2001) XBP1 mRNA is induced by ATF6 and spliced by IRE1
in response to ER stress to produce a highly active transcription factor.
Cell 107, 881–891.
Yoshida, H. et al. (2006) pXBP1(U) encoded in XBP1 pre-mRNA negatively
regulates unfolded protein response activator pXBP1(S) in mammalian ER
stress response. J. Cell Biol. 172, 565–575.
Zhou, Q.Y. and Palmiter, R.D. (1995) Dopamine-deficient mice are severely
hypoactive, adipsic, and aphagic. Cell 83, 1197–1209.
Zhou, R. et al. (2005). The anti-apoptotic, glucocorticoid receptor cochaperone
protein BAG-1 is a long-term target for the actions of mood stabilizers. J.
Neurosci. 25, 4493–4502.
61