59
Referat DEXMEDETOMIDINE Disusun oleh: Nisa Auliya S.Ked 04054821618066 Kamila Auliya, S.Ked 04054821618065 Gregorius Abram Nucifera, S.Ked 04054821618091 Kepaniteraan Klinik Bagian/Departemen Rehabilitasi Medik Periode 25 April – 30 Mei 2016 Pembimbing: Dr. Yusni Puspita, SpAn. KAKV. KIC. M.Kes i

Referat Dexmedetomidine

Embed Size (px)

DESCRIPTION

journal reading

Citation preview

Referat

DEXMEDETOMIDINE

Disusun oleh:

Nisa Auliya S.Ked 04054821618066

Kamila Auliya, S.Ked 04054821618065

Gregorius Abram Nucifera, S.Ked 04054821618091

Kepaniteraan Klinik Bagian/Departemen Rehabilitasi Medik

Periode 25 April – 30 Mei 2016

Pembimbing: Dr. Yusni Puspita, SpAn. KAKV. KIC. M.Kes

BAGIAN/ DEPARTEMEN ANESTESI DAN TERAPI INTENSIF

RUMAH SAKIT Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA

2016

i

Halaman Pengesahan

Referat

DEXMEDETOMIDINE

Oleh :

Nisa Auliya, S.Ked

Kamila Auliya, S.Ked

Gregorius Abram Nucifera, S.Ked

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti

Kepaniteraan Klinik di Bagian/Departemen Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas

Kedokteran Universitas Sriwijaya RSUP Dr. Moh. Hoesin Palembang Periode 25

April – 30 Mei 2016

Palembang, 01 Mei 2016

Dr. Yusni Puspita, SpAn. KAKV. KIC. M.Kes

ii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah S.W.T. atas karunia-Nya sehingga penulis

dapat menyelesaikan referat yang berjudul ”DEXMEDETOMIDINE”

Referat ini merupakan salah satu syarat Kepaniteraan Klinik di

Bagian/Departemen Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas

Sriwijaya RSUP Dr. Moh. Hoesin Palembang.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Yusni Puspita, SpAn.

KAKV. KIC. M.Kes selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan

selama penulisan dan penyusunan referat ini.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan referat

ini. Oleh karena itu, kritik dan saran dari berbagai pihak sangat penulis harapkan.

Semoga referat ini dapat memberi manfaat bagi pembaca.

Palembang, 01 Mei 2016

Penulis

iii

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL.................................................................................................i

HALAMAN PENGESAHAN...................................................................................ii

KATA PENGANTAR..............................................................................................iii

DAFTAR ISI............................................................................................................iv

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perubahan pada gigi ketika hamil

2.1.1 Karies gigi................................................................................2

2.1.2 Penyakit periodontal dan ginggiva...........................................3

2.1.3 Infeksi.......................................................................................5

2.1.4 Erosi gigi..................................................................................5

2.1.5 Pencegahan...............................................................................5

2.2 Komplikasi terhadap janin

2.2.1 Penyakit gigi.............................................................................2

2.2.1.1 Penyakit periodontal....................................................6

2.2.1.2 Karies gigi....................................................................9

2.2.2 Pengobatan gigi........................................................................9

BAB III Kesimpulan..............................................................................................12

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................13

1

BAB I

PENDAHULUAN

Dexmedetomidine merupakan agonis alpha-2 adrenergik yang kuat, lebih

selektif dibanding clonidine, yang aksinya tersebar luas pada otak mamalia,

mencakup sedasi, memiliki efek hemat obat bius, analgesik, dan memiliki efek

simpatolitik. Sejumlah besar pekerjaan terbaru mendukung profil baiknya dalam

memajukan outcome dan fungsi otak jangka panjang pada pasien kritis.

Dexmedetomidine juga dapat menjadi adjuvan yang bermanfaat ketika

menggunakan anastesi regional.

Ketertarikan akan peranan agonis alpha-2-adrenoreseptor pada bidang

anestesia dan perawatan intensif semakin berkembang. Obat-obatan ini

menunjukkan efek yang cakupannya luas meliputi sedasi, efek hemat obat

anestesi, analgesia, dan memiliki efek simpatolitik. Di Eropa, clonidine adalah

obat yang paling populer pada kategori ini dan telah digunakan dalam bermacam

kebutuhan seperti sedasi di ICU, memfasilitasi regional anestesia, dan mengontrol

sindrom withdrawal opioid dan alkohol. Clonidine bersifat long acting dan

penggunaannya sering berhubungan dengan kejadian rebound hyptertension yang

seiring dengan putusnya penggunaan obat. Dexmedetomidine lebih manjur dan

merupakan agonis alpha-2 adrenergik yang lebih selektif dibanding clonidine,

dengan pola yang secara garis besar memiliki fungsi yang sama pada otak

mamalia. Sejumlah besar pekerjaan terbaru mendukung profil baiknya dalam

bidang anestesia dan perawatan intensif. Efek seluler yang dimediasi oleh

pengisyaratan jalur yang berbeda dari jalur α2-adrenoseptor telah dilaporkan, baik

secara in vitro dan in vivo. Ada pengertian yang berkembang menyatakan efek

protektif pada otak ini bisa sangat penting secara klinis, seperti dexmedetomidine

menurunkan lamanya masa delirium atau koma pada pasien dengan ventilasi

mekanik di ICU. Pada pasien-pasien ini, hal ini tidak menekan gerakan ventilasi

secara signifikan dan bisa menyebabkan tidur fisiologis yang lebih baik

dibandingkan sedatif lainnya. Selain itu, data awal menganjurkan bahwa

dexmedetomidine dapat mengurangi mortalitas pada sepsis melalui pemberian

2

imunosupresan. Dexmedetomidine akhir-akhir ini merupakan sesuatu yang

penting dalam bidang anastesia bagi keperluan operasi, endoskopi, dan prosedur

imaging. Meskipun agonis α2-adrenoseptor mengurangi insidensi cardiac event

posoperatif pada pasien yang menjalani operasi bedah vaskular, hipotensi tak

terkontrol dan bradikardi dapat terjadi pada pasien dengan fungsi ventrikel kiri

yang terganggu atau pasien dengan heart block.

Pada referat ini, akan dibahas beberapa penelitian terkini tentang

dexmedetomidine yang memiliki efek pada bidang anestesi dan perawatan

intensif.

3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEXMEDETOMIDINE SEBAGAI OBAT ANESTESI UMUM

“Dexmedetomidine Melemahkan Respon Simpatoadrenal untuk Intubasi

Trakeal dan Mengurangi Kebutuhan Obat Anestesia Perioperasi”

Dexmedetomidine merupakan agonis α-2 adrenoreseptor yang memiliki

efek simpatolitik, sedatif, hemat obat anestesia dan bersifat menstabilkan

hemodinamik tanpa penurunan fungsi respiratori yang signifikan.

PENDAHULUAN

Clonidine, agonis α-2, telah dikenal pada anastesia klinik untuk efek

simpatolitik, sedatif, hemat obat anestesia dan bersifat menstabilkan

hemodinamik. Dexmedetomidine, secara farmakologis d-isomer aktif dari

medetomidine (4,[5]-[1-(2,3-dimethylphenyl)-ethyl]) imidazole merupakan agonis

α-2 adrenoreseptor selektif dan sangat spesifik. Rasio selektifitas ikatan α-2:α-1

dexmedetomidine adalah 1620:1 dibandingkan 220:1 pada clonidine. Percobaan

pada hewan menunjukkan bahwa terdapat efek anestesia yang menonjol. Sebuah

studi pada manusia menunjukkan clonidine memiliki efek analgesik, sedatif,

simpatolitik, dan juga efek pada kardiovaskular. Pada studi terbaru,

dexmedetomidine secara klnik menunjukkan efek pada keperluan anestesia,

respon hemodinamik yang ditimbulkan anastesi, dan operasi pada pasien. Telah

diteliti juga bahwa infusi intraoperatif dexmedetomidine yang dikombinasikan

dengan obat anestesia inhalasi menunjukkan kepuasan pada kondisi intraoperatif

tanpa efek buruk pada hemodinamik serta dapat menurunkan agitasi emergensi

pada anak-anak. Dexmedetomidine semakin banyak digunakan sebagai sedatif

untuk monitored anaesthesia care (MAC) karena sifat analgesiknya, “sedasi yang

kooperatif”, dan tidak menimbulkan penurunan fungsi respiratori.

2

Dexmedetomidine juga dieksplor sebagai obat noninvasif yang melalui rute

intranasal.

Studi ini dilakukan untuk menilai efikasi dan keamanan dari

dexmedetomidine dalam melemahkan respon simpatoadrenal untuk intubasi

trakeal dan untuk menganalisis pengurangan kebutuhan obat anestesia

intraoperatif.

METODE

Setelah mendapatkan izin dari institusi komite etik, sebuah studi acak dan

terkontrol dirumuskan. Populasi studi membandingkan 60 pasien dengan ASA I

dan II, berusia 18-65 tahun, dijadwalkan untuk menjalani operasi elektif dalam

durasi 3 jam atau lebih. Penulisan inform konsen dilakukan pada setiap pasien.

Wanita hamil dan menyusui, pasien dengan obesitas yang buruk, heart block, dan

pasien hipertensi pada ẞ bloker diekslusi dari studi. Pasien dengan diabetes dan

penyakit ginjal tidak dimasukkan ke dalam studi. Pasien secara acak dibagi

menjadi dua kelompok, setiap kelompok terdiri dari 30 pasien, dengan

menggunakan metode undi. Tidak satupun pasien yang berada pada terapi obat

signifikan secara preoperatif.

Pengelompokan pasien adalah sebagai berikut:

Kelompok C : kelompok kontrol: isoflurane-opioid-anestesi saline.

Kelompok D : kelompok dexmedetomidine : isoflurane-opioid-anastesi

dexmedetomidine.

Seluruh pasien dipremedikasi dengan injeksi glycopyrrolate 0,2 mg

intramuskular, 20 menit sebelum induksi anestesia. Ketika masuk ke ruang

operasi, frekuensi nadi pasien, tekanan darah, saturasi oksigen (SpO2), dan laju

respirasi dicatat selama 5 menit. Kanula intravena yang berukuran besar

dimasukkan untuk pemberian obat dan cairan. Seluruh pasien kelompok D

menerima injeksi dexmedetomidine dengan dosis 1μg/kg dalam periode 10 menit

sebelum induksi anastesia melalui pompa infusi. Selama infusi, frekuensi nadi,

tekanan darah sistolik, tekanan darah diastolik, laju respirasi, saturasi oksigen, dan

3

skor sedasi dicatat pada interval 5 menit dan pada 10 menit (akhir dari infusi).

Seluruh pasien di kelompok C mendapatkan saline melalui pompa infusi.

Semua pasien mendapatkan injeksi ondansetron 4 mg, injeksi fentanyl 1

μg/kg, dan injeksi midazolam 1 mg intravena (IV), sebelum induksi anestesia.

Lalu, injeksi thipentone yang cukup untuk melumpuhkan refleks bulu mata

diinjeksi setelah injeksi vecuronium 0,1 mg/kg untuk memudahkan laringoskopi

dan intubasi trakeal.

Paru-paru diventilasi dengan sungkup selama minimal 3 menit

menggunakan 100% oksigen. Laringoskopi dilakukan dengan menggunakan

laringoskop Macintosh dan trakea diintubasi menggunakan endotracheal tube

dengan ukuran yang sesuai. Anestesia dipertahankan dengan N2O dalam O2

(60:40), isoflurane, injeksi fentanyl, dan injeksi vecuronium. Isoflurane digunakan

dalam konsentrasi terendah untuk menjaga tekanan darah dan frekuensi nadi tetap

berada dalam 20% batas nilai preoperatif. Konsentrasi isoflurane inhalasi

disesuaikan pada setiap 0,2% jika dibutuhkan untuk menjaga parameter

hemodinamik untuk nilai yang dapat diterima. Fentanyl dalam kenaikan 0,4 μg/kg

diberikan ketika konsentrasi inspiratori isoflunare melebihi 1%. Pada kedua

kelompok, penambahan adjuvan disediakan pada injeksi natrium diklofenak atau

injeksi propofol intravena setelah injeksi fentanyl melebihi 2 μg/kg. Infusi

dexmedetomidine dilanjutkan setalah intubasi dengan dosis 0,2-0,7 μg/kg/jam

untuk menjaga parameter hemodinamik dalam batas yang masih dapat diterima.

Demikian pula, isoflurance diakhiri saat kulit mulai menutup dan N2O dihentukan

setelah penutupan kulit.

Pada akhir anestesia, blokade neuromuskular dihilangkan dengan injeksi

neostigmine 0,04 mg/kg dan injeksi glycopyrrolate 0,02 mg/kg intravena. Pasien

diekstubasi ketika respirasi sudah sufisien dan pasien mampu untuk melaksanakan

perintah sederhana.

4

Parameter yang dipelajari

1. Skor sedasi pada 5 menit dan 10 menit setelah pemberian dosis awal dari

dexmedetomidine pada grup D berdasarkan skor sedasi Ramsay.

2. Frekuensi nadi, tekanan darah sistolik dan diastolik SpO2 pada 5 menit dan

10 menit setelah pemberian dexmedetomidine, preinduksi, induksi, 0 menit, 1

menit, 5 menit setelah intubasi.

3. Dosis injeksi thiopenthone untuk induksi anestesia.

4. Total kebutuhan fentanyl selama prosedur operasi.

5. Rata-rata inspiratori konsentrasi isoflurane dihitung sebagai jumlah dari

produk inspiratori konsentrasi dibagi dengan total waktu anestesia.

6. Kebutuhan adjuvan intraoperatif seperti injeksi natrium diklofenak dan

propofol.

Analisis statistik

Analisis statistik dilakukan menggunakan SPSS (versi 10, 2010) untuk Windows

HASIL

Kedua grup sebanding dalam karakteristik pasien [Tabel 1].

Dexmedetomidine ditoleransi dengan baik dan tidak ada efek merugikan yang

diteliti. Sekitar 10 menit setelah mendapatkan dexmedetomidine, pasien

mengantuk tetapi masih sadar (skor sedasi 2)

Rata-rata dosis tidur dari injeksi thiopentone yang diperlukan pada

kelompok C adalah 6 mg/kg, sementara pada kelompok D adalah 4,4 mg/kg

[Tabel 2]. Penurunan kebutuhan dosis adalah 30% pada kelompok

dexmedetomidine ketika dibandingkan dengan kelompok kontrol (P=0,00)

Rata-rata konsentrasi inspiratori isoflurane yang diperlukan selama anestesi

adalah 0,8% pada kelompok C dan 0,54% pada kelompok D. Penurunan sebesar

32% terdapat pada kelompok D dibandingkan dengan kelompok D (P=0,00).

Selain itu, kebutuhan injeksi fentanyl adalah 1,8 μg/kg pada kelompok C

dan 1,1 μg/kg pada kelompok D. Kelompok C memerlukan fentanyl 33% lebih

banyak dibanding kelompok D (P=0,00) [Tabel 2].

5

Sebelum pemberian obat yang diteliti di ruang operasi, frekuensi nadi dan

tekanan darah kedua kelompok tidak berbeda.

Pada kelompok D pasien menerima infusi dexmedetomidine, turunnya

frekuensi nadi dan tekanan darah diteliti, tidak lebih dari 5% dari batas normal.

Pasien disedasi tapi masih sadar dengan skor sedasi 2.

Pada kedua kelompok, peningkatan frekuensi nadi dan tekanan darah

maksimal terjadi segera setelah intubasi trakea (0 menit) ketika dibandingkan

dengan nilai normal tekanan darah arteri. Peningkatan frekuensi nadi setelah

intubasi adalah 21% pada kelompok C dan 7% pada kelompok D (P=0,00).

Demikian pula, peningkatan tekanan darah sistolik yang signifikan didapatkan

pada kelompok C yaitu 40% sedangkan pada kelompok D hanya 8% (P=0,00),

sementara peningkatan tekanan darah diastolik adalah 25% dan 11% pada

kelompok C dan D, berturut-turut (P=0,00) [Gambar 1].

Untuk menghindari analgesik yang memiliki efek sedatif seperti injeksi

tramadol, digunakan injeksi natrium diklofenak. Dua puluh empat dari 30 pasien

pada kelompok C memerlukan injeksi natrium diklofenak 75 mg IV, sementara 7

dari 30 pasien pada kelompok D memerlukan injeksi natrium diklofenak 75 mg

IV. Tujuh belas dari 30 pasien pada kelompok C diberi tambahan injeksi propofol

dalam rata-rata 175 mg, sementara tidak satupun pasien kelompok D yang

memerlukan injeksi propofol.

Bradikardi dilihat pada dua pasien di kelompok D secara intraoperatif.

Frekuensi nadi turun menjadi 42 kali/menit, sehingga dianjurkan diberikan injeksi

atropine 0,6 mg IV. Tidak ada penurunan tekanan darah yang diamati pada kedua

kelompok pasien. Injeksi atropine diulangi saat periode postoperatif setelah

ekstubasi pada satu dari dua pasien.

Durasi dari rekoveri pada kedua kelompok hampir sama. Seluruh pasien

mampu menjalankan perintah ketika tiba di ruang recovery.

Pada ruang recovery, tiga pasien pada kelompok D dan dua pasien pada

kelompok C mengalami nausea. Transient headache didapatkan pada satu pasien

dari kelompok D pada ruang recovery. Tidak ada pasien yang mengingat secara

6

jelas kesadarannya atau komplain atas ketidaknyamanan ketika diinterview

setelah operasi.

DISKUSI

Studi ini dilakukan untuk menguji apakah pemberian dexmedetomidine

pada cara anestesi stabil yang biasa dilakukan meningkatkan stabilitas

hemodinamik pada pasien yang menjalani prosedur bedah mayor. Hal ini juga

akan mengurangi penguapan obat anestesi dan kebutuhan analgesik perioperatif.

Dexmedetomidine merupakan sebuah agonis α-2 yang sangat selektif dan

memiliki efek sedatif, analgesik, serta menghemat obat anestesi. Hal ini

menyebabkan penurunan dosis yang diperlukan pada tekanan darah arteri dan

frekuensi nadi, berhubungan juga dengan penurunan konsentrasi serum

norepinefrin.

Dexmedetomidine ditoleransi dengan sangat baik, dan tidak ada efek

samping serius atau reaksi merugikan yang terjadi pada studi ini.

Dosis dari thiopentone yang diperlukan untuk induksi menurun secara

signifikan (30%) pada pasien yang meneruma dexmedetomidine, yang juga

didapatkan oleh Aantaa dkk., menunjukkan efek anestesi dari obat tersebut.

Hal ini juga menunjukkan bahwa dexmedetomidine mampu menjadi

analgesia yang disebabkan oleh fentanyl dan mengurangi kebutuhan dosis pada

manusia selama operasi. Dosis fentanyl pada kelompok kontrol hampir mencapai

dua kali lipat dibanding kelompok dexmedetomidine. Kebutuhan fentanyl

berkurang 33% pada kelompok dexmedetomidine pada studi ini.

Dexmedetomidine telah dipelajari secara luas sebagai adjuvan anestesi dan

efek hemat obat anestesinya sudah sangat dikenal. Dalam penelitian yang

dilakukan oleh Aho dkk. dan Aanta dkk., menunjukkan pengurangan kebutuhan

dosis isoflurance lebih dari 90%. Pada penelitian ini, isoflurance sebagai agen

anestesi utama, kebutuhannya berkurang 32% pada kelompok D, sesuai dengan

penelitian sebelumnya.

Intubasi trakeal berhubungan dengan peningkatan tekanan darah arteri,

frekuensi nadi, dan konsentrasi katekolamin plasma. Peningkatan tekanan darah

7

arteri dan frekuensi nadi yang diperlihatkan pada kelompok kontrol pada

penelitian ini serupa dengan penelitian yang dilakukan sebelumnya. Pada

penelitian ini, pretreatment menggunakan dexmedetomidine 1 μg/kg dilemahkan,

tetapi tidak secara total ,respon kardiovaskular setelah intubasi trakeal setelah

induksi anestesia. Pada pasien yang menjalani operasi general atau ginekologikal,

sejumlah penelitian menunjukkan bahwa dexmedetomidine melumpuhkan respon

kardiovaskular pada intubasi dan penelitian ini sesuai dengan hal tersebut. Selain

bermanfaat pada fungsinya sebagai agonis α-2, dexmedetomidine juga dilaporkan

meingkatkan risiko hipotensi dan bradikardi. Efek ini dapat lebih sering terlihat

pada anak yang sehat pada pemberian bolus cepat. Pada penelitian ini, bradikardi

ditemukan pada dua pasien yang mendapatkan dexmedetomidine, tanpa adanya

penurunan tekanan darah, yang memiliki respon cepat pada atropine IV.

Pada penelitian ini, tiga pasien menjalani karaniotomi tumor supratentorial.

Stabilitas hemodinamik perioperatif sepenuhnya penting pada setiap pembedahan.

Peningkatan atau penurunan tekanan darah dapat menyebabkan perdarahan atau

edema atau merupakan predisposisi iskemik pada pasien. Respon hemodinamik

pada kegawatdaruratan dari anestesia dan ekstubasi dikurangi efektivitasnya

dengan dexmedetomidine dan efek sentral simpatolitik berlangsung baik pada

periode postoperatif, hal ini sangat bermanfaat pada pasien-pasien tersebut.

Tanskanen dkk., pada penelitian mereka menggunakan dexmedetomidine sebagai

obat anestesi adjuvan pada tumor intrakranial, menyimpulkan bahwa terdapat

peningkatan stabilitas hemodinamik perioperatif pada pasien yang menjalani

operasi tumor otak tanpa penekanan respiratory postoperatif. Selain itu,

dexmedetomidine juga diteliti sebagai suplemen untuk isoflurane pada operasi

vitreoretinal, tanpa menyebabkan fluktuasi hemodinamik yang tak semestinya,

dan menunjukkan penurunan respon eksitatori selama ekstubasi dengan

penurunan yang dapat diterima pada tekanan intraokular.

Keterbatasan pada penelitian ini dapat disebabkan karena penggunaan

kriteria yang subjektif untuk menentukan dosis thiopentone, isoflurane, dan

fentanyl pada setiap pasien. Estimasi kedalaman anestesia dengan perubahan yang

dimediasi oleh sistem saraf otonom sulit selama infusi dexmedetomidine ketika

8

dia meningkatkan stabilitas hemodinamik. Monitoring Intraoperative Bispectral

Index (BIS) mungkin dapat lebih objektif dalam menentukan kedalaman anestesi

dasn kebutuhan agen obat anestesi. Dan juga, pengukuran interval QT dan kadar

katekolamin plasma, rata-rata respon hemodinamik yang lebih objektif, tidak

dapat dilakukan karena kesulitan praktis. Pengukuran konsentrasi isofluran tidal

akhir dapat menjadi ideal untuk mengindikasikan kedalaman dan untuk

menghitung penurunan kebutuhan antara kedua kelompok dibandingkan dengan

inspired dial konsentrasi. Kebutuhan postoperatif dari analgesik tidak

dipertimbangkan karena hal itu bukan merupakan bagian dari penelitian.

Pengukuran waktu rekoveri setelah extubasi dapat memberi gagasan dari rekoveri

pada kedua kelompok.

Penelitian ini mendapatkan penguatan dari penelitian sebelumnya. Tidak

ada efek buruk pada kardiovaskular pada obat yang diteliti. Bradikardi,

merupakan konsekuensi pemberian agonis α-2, dapat dinetralkan dengan

pemberian atropine. Tidak terdapat kedalaman adekuat dari anestesia.

2.2 DEXMEDETOMIDINE SEBAGAI OBAT ANALGETIK

“Efek dari Tiga Dosis Berbeda Dexmedetomidine Intratekal (2,5 µg, 5 µg, 10

µg) pada Karakteristik Blockade Subaraknoid: Sebuah Penelitian RCT

Prospektif”

Analgetik pascaoperasi pada operasi abdomen bawah, dan extremitas bawah

yang semakin berkembang ditandai dengan cepatnya mobilisasi, berkurangnya

resiko DVT, dan kenyamanan pasien yang lebih baik selama perioperatif. Obat

tambahan intratekal dapat memperpanjang durasi anastesi spinal, dengan

demikian dapat mengurangi penggunaan obat-obat analgesik post op. Kerja obat

tambahan juga dapat mengurangi dosis anestesi lokal dan dengan demikian, efek

sampingnya. Obat-obat tambahan ini terdiri dari berbagai kelas dengan berbagai

mekanisme antinociceptive yang berbeda-beda. Dexmedetomidin adalah a2

agonis yang sangat selektif dengan efek analgesik, sedasi, anxiolitik dan

9

simpatolitik. Efektivitas dexmedetomidine intratekal (ITD) yang luas hingga

periode post op telah dibuktikan melalui beberapa penelitian. Salah satunya adalah

perbandingan perbedaan dosis ITD(2-10 ug) dengan obat-obat tambahan lain

seperti clonidine, fentanyl, midazolam, buprenophrine, etc., dengan hasil yang

bervariasi. Namun, penelitian yang membandingkan perbedaan antara dosis

dexmedetomidine itu sendiri masih sedikit, misalnya membandingkan obat ini

dalam dosis rendahnya (2ug vs 4ug) atau dosis tingginya (5ug vs 10ug, atau 10ug

vs 15 ug). Terlebih lagi, tidak satupun penelitian ini menekankan pada hubungan

dosis dengan respon obat dibandingkan dengan analgetik lainnya sebagai

pembanding (DA), yang dilihat berdasarkan perbedaan offset blokade motorik

hingga kebutuhan analgesik pada skala >4.0. Design penelitian ini adalah

prospektif RCT double blind, dengan tujuan mengetahui perbedaan reaksi

berdasarkan 33 dosis berbeda dexmedetomidin (2.5, 5 dan 10 ug) ITD sebagai

tambahan bupivacaine hiperbarik 0.5% dan subaraknoid block (SAB) pada pasien

yang menjalani operasi elektif abdomen bawah dan ekstremitas bawah. Tujuan

utama penelitian ini adalah mengetahui durasi analgesik obat ini, sementara tujuan

lainnya adalah durasi blokade motorik dan efek samping perioperatif. Hipotesis

penelitian ini adalah adanya efek DA yang diperpanjang dengan semakin

ditigkatkannya dosia pemberian ITD.

METODE

Kriteria eksklusi dan inklusi

Setelah menyelesaikan ethical clearance, 90 orang pasien dengan rentang

usia 18-60 tahun, dengan ASA I/II, yang akan menjalani operasi abdomen bawah

dan ekstremiras bawah dengan subarachnoid block (SAB), setuju untuk

bergabung dalam penelitian ini. Krireria eksklusi adalah pasien dengan: 1)

kontraindikasi terhadap SAB, 2) sensitif terhadap obat yang akan diujicoba, 3)

sedang menjalani terapi analgesik kronik, 4) punya gangguan kognitif, 5) tidak

bisa memahami NRS, 6) hamil, 7) dengan kondisi komorbid, misalnya: hipertensi,

CHF, infark miokard selama 6 bulan yang lalu, dan 8) blokade jantung. Prinsip

10

etik yang digunakan berdasarkan deklarasi Helsinki. Delapan pasien termasuk

kriteri eksklusi dan dieliminasi sebagai sampel.

Anestesi pre dan intra operatif

Pemeriksaan anestesi lengkap telah dilakukan dan diberikan tablet

alprazolam 0.25 mg sebagai premesikasi pada malam sebelumnya dan pagi

sebelum operasi. Pasien juga dibiasakan dengan NRS, dan diinstrukaikan untuk

puasa selama 8 jam sebelum operasi. Pasien dipantau dengan elektrokardiografi,

pulse oximetry, dan NIBP dan tanda vital dasar juga direkam. Cairan intravena

yaitu RL 15ml/kg, dimulai dengan infus 2ml/kg/jam dan disesuaikan selama

operasi.

Randomisasi

Pasien dibagi menjadi 3 grup sama banyak dengan menggunakan star trek

random number generator. Dexmedetomidine diberikan dalam dosis 100 ug/ml

dengan 40 unit insulin syringe (2.5 ug/unit) dan 1, 2 dan 4 unit kemudian

ditambahkan dengan syringe yang sama yang mengandung 0.5% hiperbarik 3 mL

pada grup BD 2.5, BD 5 dan BD 10. Total volume adalah 3.5 ml pada semua grup

dengan menambahkan 0.9% saline. Obat trial ini kemudian dikemas dalam

syringe yang tidak dilabeli. Dokter anestesi kemudian melakukan injeksi

intratekal terhadap pasien dan mengumpulkan data yang didapat. Injeksi IT

diberikan dalam posisi duduk pada L3 dan L4 di ruang intervertebral dengan

jarum Quincke 27 gauge. Pasien kemudian diposisikan supinasi secepatnya

setelah injeksi.

11

Monitoring intra dan post op.

Denyut jantung, NIBP dan SpO2 dipantau dengan datex-Ohmeda Cardiocap

secara terus menerus dan direkam saat menit pertama, kemudian setiap lima menit

pada 15 menit pertama, dan kemudian tiap 15 menit hingga operasi berakhir.

Hipotensi didefinisikan sebagai turunnya tekanna darah sistolik dibawah 90mmHg

dan ditatalaksana dengan IV RL dan injeksi mephenteramin 6 mg, dan diulang

sesuai kebutuhan. Bradikardia didefinisikan sebagai denyut jantung yang kurang

dari 55x/menit dan di tatalaksana dengan injeksi atropin 0,6 mg IV. Hasil monitor

SAB tampak pada tabel berikut (tabel 1). Blokade sensoris ditandai dengan

12

hilangnya sensasi tes nyeri tajam pada kulit dengan jarum 25 G hypodermic pada

linea mid-clavicularis yang diperiksa setiap menit hingga stabilitas sensori

tertinggi tercapai. Setelah itu, tes nyeri tajam pada kulit dilakukan setiap 15 menit

hingga mencapai waktu TSSR (2 segment sensory regression). Blokade motorik

dilihat berdasarkan skor Bromage. Tingkatan nyeri dinilai dengan menggunakan

skala NSR setiap jam pada 12 jam pertama dan 24 jam setelah post-op. Tramadol

1.5 mg/kg digunakan sebagai anelgesik bantuan ketika skala NRS mencapai lebih

dari 4. Semua bantuan analgesik dicatat selama proses ini. Waktu tersebut, sejak

pertama kali operasi dilakukan dihitung dalam satuan menit. Tingkat sedasi

diakses berdasarkan grading berikut: 1: sadar penuh, 2: tersedasi, namun masih

bisa merespon perintah verbal, 3: tersedasi tapi hanya responsif terhadap stimulasi

fisik, 4: tersedasi dan tidak merespon. Setelah operasi dilakukan, skor Bromage

dan sensitivitas sensorik terus dinilai setiap lima belas menit hingga skor Bromage

sendiri mencapai nol dan obat mencapai waktu TSSR. HR, NIBP, dan NRS juga

terus dinilai selama 24 jam. Semua gejala komplikasi peri-operatif, termasuk:

bradikardi, hipotensi, mual-muntah, menggigil, retensi urin juga terus dipantau.

ANALISIS STATISTIK

Total sampel dikalkulasi sebagaimana percobaan sebelumnya.

Menggunakan G3* power, nilai a dua arah (0,05) dan CI 95%, ditemukan bahwa

66 pasien (22 pasien per grup), dapat dideteksi perbedaan reaksinya terhadap

analgetik ini. Peneliti merekrut 90 pasien untuk percobaan ini. Analisis statistik

menggunakan SPSS 17 pada windows. Variabel terikat ditampilkan dalam nilai

rata-ratanya ± SD atau median (range) untuk data yang berdistribusi tidak normal.

Variabel kategorik ditampilkan dalam bentuk persentase dan frekuensi. Distribusi

normal pada variabel terikat dibagi 3 kelompok dan dibandingkan dengan

menggunakan ANOVA. Distribusi tidak normal pada variabel terikat diuji dengan

test Kruskall-Wallis, dan analisis lebih jauh dilakukan dengan menggunakan

Mann-Whitney. Data kategori nominal antara masing-masing kelompok

dibandingkan dengan menggunakan Chi Square atau Uji Fischer. Untuk

keseluruhan tes statistik, nilai P < 0,05 dan 0,001 berarti signifikan.

13

HASIL PENELITIAN

Total 90 sampel konsekutif yang memenuhi kriteria inklusi dibagi

berdasarkan demografi, dan karakteristik medis dibandingkan diantara kelompok-

kelompok tersebut.

Karakteristik blokade sensori

Onset dari blok sensoris sangat signifikan pada kelompok BD 10

dibandingkan dengan kelompok BD 5, (p = 0,035), dan BD 10 ddibandingkan

dengan BD 2,5 hasilnya adalah signifikan (p=0,010). Namun, tidak ada perbedaan

signifikan pada kelompok BD 2,5 dan BD 5 (p= 0,89). Tingkatan blokade sensoris

kemudian dibandingkan pada setiap grup (tabel 3). Ada perbedaan yang sangat

signifikan antara TSSR BD 10 dibandingkan dengan BD 5 (p=0,001) dan

kelompok BD 10 dibandingkan dengan BD 2,5 (p= 0,001). Dan perbedaan

signifikan antara BD 5 dan BD 2,5 (p=0,001).

Karakteristik Blok motorik

Pada onset blokade motorik terdapat nilai yang signifikan antara kelompok

BD 10 dan BD 2,5 (p= 0,02), namun tidak ada perbedaan signifikan antara

kelompok BD 10 dibandingkan dengan BD 5 (p=0,277) dan kelompok BD 5

dibandingkan dengan kelompok BD 2,5 (p=0,45). Kelompok BD 10 memiliki

perbedaan signifikan pada durasi blokade motorik yang lebih panjang dariapa

kelompok BD 5 dan BD 2,5 (p<0,001). Durasi dari blokade motorik pada grup

BD 5 jauh lebih panjang dibandingkan denga BD 2,5 (p < 0,001) (Tabel 3).

14

Karakteristik Analgesik

Durasi dari analgesik berbeda secara signifikan pada kelompok BD 10

dengan kelompok BD 5 dan BD 2,5 (p <0,001). Kelompok BD 5 juga memiliki

durasi analgetik yang panjang secara signifikan dengan kelompok BD 2,5

(p<0,001) (Tabel 3). Perbedaan yang sangat signifikan ditemukan pada durasi dari

perbedaan analgesi antara kelompok BD 10 dibandingkan BD 5 dan BD 2,5 (p<

0,001) dan kelompok BD 5 dibandingkan dengan BD 2,5 (p= 0,009). Kelompok

BD 10 membutuhkan analgesik tambahan yang lebih sedikit pada 24 jam post op

dibandingkan dengan kelompok BD 5 (p = 0,033) dan BD 2,5 (p<0,001) tidak ada

perbedaan signifikan pada kebutuhan analgesik tamabahan antara kelompok BD 5

dan BD 2,5 (p=0,349) (tabel 3).

Hemodinamik perioperatif

Gambar 2 dan 3 mendeskripsikan rata-rata denyut jantung dan tekanan

darah. Angka kejadian bradikardi, dan hipotensi pada kelompok-kelompok berikut

adalah : BD 10> BD 5> BD 2,5. Bagaimanapun ketika dibadingkan secara

statistik, tidak didapatkan perbedaan yang signifikan.

15

Karakteristik Efek samping

Tabel 4 menunjukkan angka kejadian komplikasi perioperatif. Mual

muntah, retensi urin, dan menggigil kemudian dibandingkan pada tiap kelompok.

Pada kelompok BD 10, memiliki angka kejadian sedasi yang lebih tinggi dengan

skor 2 yaitu tersedasi secara verbal, namun tidak ada pasien yang dapat bertahan

pada level sedasi yang lebih tinggi. Angka kejadian sedasi juga dapat

dibandingkan pada kelompok BD 5 dan 2,5 ug (p=0,112).

16

PEMBAHASAN

Penelitian ini membandingkan 3 dosis (2,5 ug, 5 ug, dan 10 ug) berbeda

dengan penelitian lainnya yang hanya membandingkan dua dosis dari ITD.

Menurut peneliti ini adalah percobaan pertama yang membandingkan 3 dosis dari

ITD. Percobaan ini menunjukkan bahwa TSSRT, durasi dari blok motorik dan

analgesi meningkat secara signifikan dengan peningkatan ITD melihat perbedaan

hemodinamik dan karakteristik efek samping. Bagaimanapun, peningkatan yang

lebih besar pada durasi analgetik dibaningkan denga peningkatan durasi blokade

motoris memiliki nilai yang sama untuk meningkatkan signifikansi dari durasi DA

(p <0,001) (gambar 4).

Meningkatkan dosis ITD dari 2.5 ke 10 ug berakiat meningkatnya durasi

blokade motorik, analgesik dan DA, yaitu peningkatan 41,28% (258,5 vs 365

menit), 67,28% (306, 17 vs 612 menit), dan 208,37% (47,67 vs 147 menit).

17

Pemanjangan dosis DA berhubungan dengan minimnya nyeri paska operasi

(penundaan penyembuhan luka, depresi fungsi imun, perawatan rumah sakit yang

lbeih lama, resiko dari neuro-sensitivasi dan dengan demikian, nyeri kronik),

sebagaimana blok motoris yang memanjang (mengurangi mobilisasi DVT dan

emboli paru dan lain-lain. Hal ini menunjukkan perbedaan durasi operasi yang

terjadi antar grup selama percobaan (p= 0,975). Yektas et al (3), masing-masing

membandingkan 2 ug vs 4 ug, 5ug vs 10 ug, dan 10 ug vs 15 ug pada ITD juga

menunjukkan peningkatan bergantung dosis pada blokade sensorik, motorik dan

analgesik.

ITD memperlihatkan efek antinosisepsinya melalui dua mekanisme yaitu

menghambat pelepasan neurotransmitter dengan cara menduduki reseptor a2A

dan memberikan efek hiperpolarisasi pada neuron postsinaptic. Perpanjangan efek

blokade motorik kemungkinan diakibatkan oleh efek inhibisi a2 agonist nya pada

saraf motorik di cornu dorsalis medula spinalis. Bagaimanapun juga, sensitivitas

dexmedetemidine dipengaruhi oleh berbagai tipe serabut saraf yang

dipengaruhinya. Misalnya, pada saraf tipe ED50 dibutuhkan dosis maksimum 2.5

ug sementara pada saraf sensorik tipe C dan saraf motorik A dan B membutuhkan

dosis maksimum melebihi 10 ug. Hal ini menunjukkan bahwa, range atau rentang

dosis yang digunakan untuk ITD adalah 2.5 ug hingga 10 ug pada penelitian ini.

Meskipun dosis yang lebih tinggi dari 15 mg ITD telah digunakan oleh Eid

et al ( 5 ) ; temuan peningkatan yang signifikan dari skor sedasi serta durasi

operasi di percobaan ini membuat penelitian akan dosis yang lebih besar beresiko

tinggi. Bahkan , Eid et al ( 5 ) telah menyarankan potensinya digunakan dalam

operasi kompleks panjang sebagai alternatif anestesi epidural atau umum ; yang

yang berada di luar spektrum inklusi . ITD telah terbukti efektif di nociceptive ,

visceral , serta neuropatik nyeri , neurologis dan keamanannya telah terbukti

hinggasatu dekade terakhir perkembangan anestesi. faktanya dexmedetomidine

telah ditunjukkan untuk memiliki Efek neuroprotektif dalam sejumlah studi

hewan. Nilai tengah onset blokade sensorik dapat dibandingkan antara kelompok-

kelompok BD2.5 dan BD5 (4 menit), namun itu secara signifikan lebih awal

dalam kelompok BD10 (3 menit).

18

Temuan ini sesuai dengan Halder et al, yang menggunakan definisi yang

sama dari onset blokade sensorik seperti pada penelitian ini dan menemukan

perbedaan signifikan sebelumnya dengan 10 ug dibandingkan dengan 5 mg.

Yektas et al, juga membandingkan 2 dan 4 mg dari ITD dan mendapatan hasil

peningkatan tergantung dosis yang signifikan dalam jumlah segmen sensorik yang

diblokir. Puncak tertinggi tingkat blok sensorik yang ditemukan dalam percobaan

ini adalah T4. Temuan ini didukung oleh pengamatan serupa yang dilaporkan oleh

Halder et al. Sifat dose-dependent ini memberikan keuntungan dalam

mengestimasi potensi efek samping kardiorespirasi diabnding yang terjadi pada

bius high spinal. Demikian pula penurunan tergantung dosis pada blokade

motorik. Pada penelitian ini diamati perningkatan dosis ITD namun, hasilnya

hanya signifikans untuk kelompok BD10 vs BD2.5 dan tidak untuk kelompok

BD10 vs BD5 atau BD5 vs BD2.5.

Sejumlah penelitian lain juga telah melaporkan tidak ada perbedaan yang

signifikan dalam blokade sensorik atau motorik dengan penambahan ITD atau

adjuvant lainnya untuk bupivacaine hiperbarik. Inkonsistensi dalam onset dan

durasi dengan dosis yang sama dari dexmedetomidine tampak pula pada sejumlah

variabel seperti profil demografis, definisi waktu onset (T8 vs T10), volume IT

injectate , volume pengencer digunakan dengan (0,1 mL vs 0,5 mL) sehingga

mempengaruhi konsentrasi dan densitas bupivakain, posisi (duduk vs lateral),

serta sensitivitas nyeri individu.

Salah satu tujuan utama dengan penambahan ITD pada anestesi spinal

bupivacaine adalah pengurangan dari kebutuhan analgetik postoperative (3-5,7)

dari penelitian ini juga didapatkan bahwa dose-dependant menurun secara

signifikan (p=0,001) pada 24 jam pemberian tramadol yang biberikan melalui

ITD. 83,3% dan 50% dari kelompok BD2,5 BD5 dan BD10 membutuhkan lebih

dari 2 obat analgesi pada 24 jam pertama postoperative, namun, hasil hanya

bermakna secara signifikan pada kelompok BD10 vs BD5 ( p=0,023) BD10 vs

BD2,5 (p = 0,003)

Umumnya efek samping yang terjadi yaitu ketidakstabilan hemodinamik

seperti bradikardia dan hipotensi berkaitan signinfikan dengan a 2 agonis.

19

Kebanyakan peneliti lainnya tidak menjelaskan peningkatan signifikan pada

angka kejadian dari efek samping hemodinamik yang berhubungan dengan

penggunaan dosis ITD yang berbeda (4,6,8,14) Pada penelitian ini ditemukan

dose-dependent tidak berhubungan secara signifikan terhadap peningkatan angka

kejadian bradikardia (3.30%, 13.30%, and 20%) dan hipotensi (13.30%, 23.30%,

and 30%) pada masing-masing kelompok BD 2,5 BD 5 BD10. Simpatolisis

maksimal dihasilkan oleh volume dan dosis bupivacaian yang lebih besar, pada

penelitian ini dicoba penambahan simpatolisis mkenggunakan dexmetedomidin.

Temuan ini didukung dengan temuan penelitian lainnya. Efek samping lain yang

terjadai seperti mualmuntah, menggigil dan retensi urin dikelompokan masing-

masing. Yektas dan Halder juga menemukan bahwa dosis independen memeiliki

efek samping yang sama.

Angka kejadian sedasi yang diamati pada 10 ug dibandingkan dengan 2,5 ug

dan 5 ug ITS meningkat secara signifikan ( p<0,001). Skor sedasi tertinggi 2

didapatkan sebanyak 0%, 13,3% dan 40% pada masing-masing kelompok BD2,5,

BD 5, dan BD 10. Bagaimanapun juga pasien mudah untuk berkomunikasi

=secara verbal dan spo2 > 95% pada udara kamar. Faktanya pada sedasi sedaasi

ringan dapaat berguna pada periode postoperative yang sedang berlangsung.

Tujuan pembatasan dari penelitian ini karena ketiadaan kelompok control.

Kelompok control yang dieksklusi karena tujuan utama dari penelitian ini untuk

menjelaskan perubahan pada variasi karakteristik SAB terhadapa peningkatan

dosis ITD. Penelitian ini juga, dapata menjelaskan efek dari penambahan ITD

pada karakteristik SAB. Pembatasan kedua dalam penelitian ini adalaha pada

durasi pendek dari follow up post operasi. Efek ITD pada postoperative adalah

nyeri kronik seperti nyeri post herniorraphy yang diketahui secara umum. Studi ke

depannya dengan periode yang lebih lama follow up yang baik dapat membuat

perbedaan terhadap angka nyeri kronik post op dengan dengan tambahan dan

perbedaan dosis ITD.

20

2.3 DEXMEDETOMIDINE SEBAGAI OBAT SEDASI

“Efek dari dosis dexmedetomidine yang berbeda-beda terhadap denyut

jantung dan tekanan darah pada pasien-pasien dengan perawatan intensif”

Sedatif yang ideal pada pasien-pasien yang berada pada ICU harus memiliki

persyaratan seperti: Kerja yang cepat, mudah mengontrol kedalaman sedasinya,

memiliki pengaruh yang minimal terhadap fungsi respiratorik, tidak ada metabolit

yang terakumulasi, tidak ada bukti interaksi yang jelas dengan obat-obatan lain

dan jalur-jalur metabolisme dalam tubuh, eliminasi obat dapat terjadi tanpa

bertumpu pada hati, ginjal atau pernafasan, murah, dan memiliki efek samping

minimal1. Pada masa sekarang, tidak ada obat-obatan yang dapat menunjukkan

seluruh efek-efek di atas, dan golongan obat benzodiazepine, opiod agonis,

propofol, dan α2-epinefrin agonis paling banyak digunakan di ICU. Meskipun

demikian, telah didemonstrasikan bahwa midazolam dosis tinggi dan injeksi cepat

dapat membuat depresi dari fungsi pernafasan dan menurunkan tekanan darah,

terutama pada manula, pasien dengan hipovolemia atau pasien dengan gagal

pernafasan2. Lebih lanjut, pemberian pofopol dosis tinggi dalam waktu lama dapat

menimbulkan profopol infusion syndrome, yang menimbulkan asidosis laktat,

hiperlipemia, inflitrasi dari lemak hati, rhabdomyolisis dan kematian3. Oleh

karena itu diperlukan agen sedasi yang lain untuk pasien-pasien di ICU.

Dexmedetomidine (DEX) merupakan α2-adrenoseptor agonis selektif yang

memiliki efek sedasi, analgetik, anti ansietas, dan inhibisi dari saraf simpatis.

Pasien yang diberikan DEX dapat dibangunkan dengan mudah tanpa

menimbulkan respiratory arrest. Karena itu, DEX dianggap sebagai agen sedasi

dan analgetik ideal digunakan pada pasien-pasien di ICU4,5. DEX merupakan

dekstro-isomer dari medetomidine yang mengeluarkan efek sedasi dan analgetik.

Sebagai tambahan DEX juga menghasilkan efek neuroprotektif6 dengan cara

mengagitasi reseptor α2 yang dimediasi oleh reseptor tirosin kinase. LEbih lanjut,

DEX memulai pelepasan beraneka growth factor yang dengan mengagitasi

astrosit untuk berpartisipasi pada proteksi sel saraf7. DEX mampu untuk

21

mengaktifkan enzim-enzim bertahan hidup dengan mengaktivasi dari

α2adrenoseptor yang menghasilkan efek kardioprotektif dengan cara mengontrol

jalur protein kinase, protein kinase B, dan sintesis nitrit oksida pada endotel secara

extraseluler8.

Sekarang ini, kecepatan infus dari DEX pada pasien dengan bantuan

ventilator berada pada rentang 0,2-0,7µg/Kg/jam. Penelitian sebelumnya

menunjukkan bahwa DEX aman digunakan pada pasien sehat pada dosis 10-15

dari dosis normal, tanpa menghasilkan efek yang kentara atau penurunan tekanan

darah dan nadi9-11. Meskipun demikian, sebuah penelitian sebelumnya

mengindikasikan terdapat penurunan tekanan darah dan nadi pada pasien kritis,

yang mengharuskan penghentian pemakaian obat12.

Telah dilakukan pengamatan dimana pasien-pasien tertentu mendapatkan

DEX dengan dosis awal yang direkomendasikan (1,0µg/Kg/10menit) ditambah

dosis pemeliharaan (0,2-0,7µg/Kg/jam) mengalami hipotensi dan bradikardi13.

Pada pasien-pasien tertentu, pemberian DEX harus dihentikan, bahkan pada

kasus-kasus berbahaya. Observasi-observasi ini konsisten dengan efek-efek

merugikan dari DEX secara umum, seperti hipotensi, nausea, bradikardi, dan

mulut kering14. Meskipun demikian, pasien-pasien kritis di ICU memiliki

patofisiologi berbeda dengan pasien-pasien bedah elektif, dimana mereka sering

kali mengalami kerusakan multi organ yang melibatkan jantung, hati, dan ginjal15.

Oleh karena itu, proses metabolic DEX pada pasien-pasien ICU juga berbeda.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dosis optimum dari

DEX untuk pasien-pasien ICU dengan mengobservasi dan membandingkan efek

sedasi dari dosis DEX yang berbeda, untuk mencoba menyediakan referensi

eksperimental mengebai dosis DEX yang aman dan efektif.

SAMPEL DAN METODE PENELITIAN

Data umum pasien. Penelitian ini menggunakan total 82 pasien yang

berada di ICU dari First People’s Hospital Affiliated to Shanghai Jiao Tong

University (Shanghai, China) dan membutuhkan sedasi antara januari-maret 2014.

Pasien diekslusi jika memiliki tekanan darah >200mmHg dan HR <60x/menit,

22

atau jika mereka mengalami syok sirkulatori. Total 24 pasien diekslusi. Sisa 58

pasien secara acak dikelompokkan menjadi 3 grup; Grup A, grup dengan dosis

tinggi (1,0µg/Kg/10menit; n=18); Grup B, grup dengan dosis sedang

(0,5µg/Kg/10menit; n=24); Grup C, grup dengan dosis rutin normal

(0,4µg/Kg/jam; n=16). Pasien-pasien ini diberikan DEX melalui intravena dengan

Infus pump selama 10menit dan setelah itu diberikan dosis yang sama yakni

0,4µg/Kg/jam) (gambar 1).

Gambar 1.Pengacakan pasien menjadi 3 kelompok

Figure 2. Comparison of sedative scores between the three groups. Group A,

1.0 µg/kg/10 min; group B, 0.5 µg/kg/10 min; and group C, 0.4 µg/kg/h.

23

Fig u re 3. Compa r ison of H R b et we en t he t h re e g roups. G roup A,

1.0 µg/kg/10 min; group B, 0.5 µg/kg/10 min; and group C, 0.4 µg/kg/h.

*P<0.05 vs. group C. HR, heart rate.

Penelitian ini memenuhi deklarasi Helsinki. Protokol pengumpulan data

disetujui oleh Dewan pemeriksa dari First People’s Hospital. Seluruh partisipan

diberikan informed consent memberikan akses ke data rekam medis mereka.

Pemberian Obat. DEX (2ml; Sichuan Guorui Pharmaceutical Co., Ltd.,

Sichuan, China) pertama kali diencerkan dalam 0,9% NaCl sehingga mendapat

volume larutan 4ml. Pasien-pasien dalam 3 kelompok di atas diberikan DEX

sesuai dosis melalui infusion pump selama 10 menit, dan kemudian diberikan

dosis yang sama yakni 0,4µg/Kg/jam untuk menjaga keadaan sedasi yang ideal.

Propofol (Fresenius Kabi Deutschland GmbH, Langenhagen, Germany) atau

midazolam (Jiangsu Enhua Herun Medicine Co., Ltd., Xuzhou, China)

ditambahkan untuk mendapat kedalaman sedasi yang diinginkan. Jika sedasi

adekuat tidak didapatkan menggunakan DEX, fentanyl (Yichang Renfu

Pharmaceutical Co., Ltd., Yichang, China) dosis tunggal diberikan 1-4µg/Kg. IV

infusion pump dihentikan saat HR <50x/menit atau terjadi penurunan HR >30%

dan tekanan darah sistolik <90 mmHg.

24

Tabel 1. Data umum responden penelitian

Parameter penilaian. Skor Ramsay, HR, tekanan darah sistol, tekanan

darah diastol, frekuensi nafas (RR), saturasi oksigen kapiler perifer (SpO2) dicatat

pada saat memasukkan obat melalui infusion pump (menit ke-0) dan saat menit

ke- 2,4,6,8,10,60,120,180, dan 240. Darah rutin, elektrolit, fungsi hati dan ginjal,

dan analisa gas darah diambil saat IV pump infusion. Skor Ramsay dinilai oleh

dokter menurut Skala Skor Ramsay. HR dan SBP diambil melalui monitor

elektrokardiogram MP50 (Philips Healthcare, DA Best, The Netherlands). Darah

rutin, elektrolit dan analisa gas darah diambil menggunakan Beckman Power

Processor Sample-Handling System (Beckman Coulter Inc., Brea CA, USA).

APACHE (Acute Physiology and Chronic Health Evaluation II) juga dihitung.

25

Analisa Statistik. Analisis data menggunakan SPSS versi 16.0 (SPSS Inc.,

Chicago, USA). Hasilnya ditampilkan sebagai nilai rata-rata + standar deviasi.

Test Shapiro-Wilk dikombinasikan dengan histogram untuk melihat data

berdistribusi normal atau tidak. Data berdistribusi normal dianalisis menggunakan

analisis varian, dan data tidak berdistribusi normal dibandingkan menggunakan

analisis nonparametrik Mann-Whitney U. Data kategorik dites menggunakan

analisis χ2. P<0,05 mengindikasikan bahwa data memiliki perbedaan bermakna

secara statistik.

Figure 4. SBP values in the three groups at various time-points after IV pump infusion of DEX.

*C comparison between group A and C, P<0.05. *BC com- parison between group A and group

BC, P<0.05. Group A, 1.0 µg/kg/10 min DEX; group B, 0.5 µg/kg/10 min DEX; and group C,

0.4 µg/kg/h DEX; SBP, systolic blood pressure; DEX, dexmedetomidine.

Figure 5. DBP values in the three groups at various time-points after IV pump infusion of DEX.

*BC comparison between group A and group BC, P<0.05.

*AC comparison between group B and group AC, P<0.05. *B comparison between group A

26

and B, P<0.05. Group A, 1.0 µg/kg/10 min DEX; group B,

0.5 µg/kg/10 min DEX; and group C, 0.4 µg/kg/h DEX; DBP, diastolic blood pressure; DEX,

dexmedetomidine.

Figure 6. BR values in the th ree groups at va r ious time-points after

IV pump infusion of DEX. Group A, 1.0 µg/kg/10 min DEX; group B,

0.5 µg/kg/10 min DEX; and group C, 0.4 µg/kg/h DEX; BR, breathing rate; DEX,

dexmedetomidine.

Figure 7. SpO2 values in the three groups at various time-points afterIV

pump infusion of DEX. Group A, 1.0 µg/kg/10 min DEX; group B,0.5

µg/kg/10 min DEX; and group C, 0.4 µg/kg/h DEX; SpO2, peripheral capillary

oxygen saturation; DEX, dexmedetomidine.

27

Figure 8. Concomitant use of medications in the three groups. Group A,

1.0 µg/kg/10 min DEX; group B, 0.5 µg/kg/10 min DEX; and group C,

0.4 µg/kg/h DEX; DEX, dexmedetomidine.

HASIL PENELITIAN

Perbandingan data umum. Karakteristik umum pasien pada ketiga

kelompok dapat dilihat pada tabel 1. Tidak terdapat perbedaan signifikan yang

dapat diamati pada skor APACHE II, jenis kelamin, umur dan diagnosis primer

diantara ketiga kelompok (P>0,05).

Tingkat keberhasilan sedasi. Pasien-pasien dalam ketiga kelompok

mendapatkan kedalaman sedasi yang ideal pada 1 jam setelah diberikan DEX,

dengan skor ramsay 3-4 (P>0,05). Kelompok A dan B mendapatkan kondisi

sedasi pada 6 menit, dimana lebih cepat dibanding kelompok C (P<0,05, gambar

2).

Perbedaan pada HR, SBP, dan DBP pada saat diberikan DEX. Terdapat

penurunan tendensi yang didapatkan pada aspek-aspek tersebut selama pemberian

dosis awal dari DEX dari ketiga kelompok (gambar 3-5). Penurunan dari HR

terutama terjadi pada kelompok A dan B dibanding dengan kelompok C pada

menit ke-8 dan menit ke-60 setelah diberikan DEX (P<0,05), serta tidak

ditemukan perbedaan bermakna pada HR antara kelompok A dan B (P>0,05

gambar 3). Pada delapan menit setelah pemberian DEX, bukti penurunan SBP

terlihat paling tinggi pada kelompok A dibandingkan dengan kelompok C

(P<0,05, gambar 4). Sebagai tambahan, setelah sepuluh menit pemberian DEX,

28

penurunan SBP terlihat lebih signifikan pada kelompok A dibanding kelompok B

dan C (P<0,05).

Meskipun demikian, tidak terdapat perbedaan bermakna secara statistik

yang ditemui pada penurunan SBP diantara ketiga kelompok tersebut saat

memasuki dosis pemeliharaan (P>0,05). Penurunan DBP secara signifikan terjadi

pada kelompok A dibanding kelompok B dan C pada menit ke-8 dan 60 setelah

pemberian DEX (P<0,05, gambar 5). DBP pada kelompok B mengalami

peningkatan dibanding dengan kelompok A dan C pada menit ke 120 (P<0,05)

dimana penurunan lebih siginifikan terjadi pada kelompok A pada menit ke-240

dibanding kelompok B (P<0,05).

Perbedaan pada BR dan SpO2 pada pemberian DEX. Tidak ditemukan

indikasi dari henti nafas pada pemberian DEX di tiga kelompok, juga tidak

ditemukan perbedaan signifikan pada BR dan SpO2 diantara mereka (P>0,05).

Sebagai tambahan nilai SpO2 >97% pada keseluruhan waktu penilaian pada ketiga

kelompok (gambar 6,7) yang mengindikasikan tidak adanya efek inhibisi

langsung terhadap pernafasan.

Penggunaan obat bersamaan. Tidak ditemukan perbedaan signifikan

antara ketiga grup saat ditambahkan dengan obat-obatan sedatif yang lain

(P>0,05). Agen-agen vasokaktif diberikan pada 4 pasien di kelompok A, 2 pada

kelompok B, dan satu pada kelompok C. Dan perbedaannya tidak secara

siginifikan (P>0,05, tabel I, gambar 8).

Penghentian obat. Pemberian DEX dihentikan pada pasien di kelompok A,

4 di kelompok B dan tidak ada pada kelompok C. Penghentian obat pada

kelompok A dikarenakan penurunan HR lebih dari 30% pada 2 pasien dan

penurunan SBP <90mmHg pada 2 lainnya. Penghentian pada kelompok B

dikarenakan dikarenakan penurunan HR lebih dari 30% pada satu pasien dan

penurunan SBP <90mmHg pada 3 lainnya. Nilai BP dan HR secara bertahap

kembali ke batas normal seiring dengan penghentian pemakaian obat tanpa

adanya konsekuensi berat diantara mereka.

29

Pembahasan

Pasien kritis di ICU sering kali membutuhkan beraneka terapi suportif,

termasuk ventilasi mekanik, memonitor tanda-tanda vital, penanganan pasien

kritis, dan iluminasi konstan agar menjaga pasien tetap dalam keadaan tidur dalam

jangka waktu lama17,18. Oleh karena itu, penanganan terapi sedatif sering

dibutuhkan oleh pasien ICU, seperti yang dibutuhkan pasien setelah melakukan

operasi dan pasien dengan cedera multiple berat. Midazolam, propofol, DEX

merupakan sedatif yang paling sering digunakan di ICU. DEX merupakan α2-

adrenoseptor agonis yang sangat sensitive yang mengeluarkan efek sedatif dan

anti-anxietas dengan mempengaruhi lokus ceruleus batang otak, yakni area

dengan α2 reseptor paling banyak pada sistem saraf pusat19-21. DEX mengeluarkan

efek analgesik dan menurunkan respon stress, namum DEX terus menerus

menghambat respirasi dengan mengaktivasi α2 reseptor pada membran presinaps

di tanduk dorsal tulang saraf tulang belakang dan membran postsinaps

interneuron22-23. DEX dapat menjadi salah satu opsi sebagai medikasi sedasi pada

pasien ICU karena kemampuannya untuk menurunkan insidensi delirium dan

presentasi kebutuhan ventilasi menggunakan mesin24,25.

Hasil dari penelitian ini menunjukkan pemberian DEX terus menerus

mampu untuk memicu keadaan sedasi ideal (Skor Ramsay 3-4) pada ketiga

kelompok. Target tingkat sedasi dapat dicapai dalam waktu enam menit setelah

pemberian DEX pada kelompok A (1,0µg/Kg/10menit) dan kelompok B

(0,5µg/Kg/10menit). Ini merupakan hal yang krusial untuk sedasi pada pasien

ICU, Sebagai perbandingan, antara pernafasan spontan atau menggunakan

pernafasan bantuan dapat muncul bila sedasi tidak dapat timbul secara cepat, yang

dapat mempengaruhi target volume tidal, atau dapat meningkatkan kerusakan

paru-paru yang sudah ada. Oleh karena itu tujuan utama dalam memakai DEX

adalah untuk membuat pasien dapat masuk ke dalam keadaan sedasi ideal24-26.

Sebagai tambahan, Pemberian DEX secara IV terus menerus mampu untuk

menjaga skor Ramsay berada pada 3-4, dimana pasien berada dapat menstimulasi

fase ‘dormant’, dimana dapat melemahkan cedera dari kondisi patologis berat

30

sambil membuat pasien dapat dibangunkan bila perlu untuk melakukan tindakan

yang menyakinkan dalam menilai kondisi dan fungsi neurologisnya.

Penelitian sebelumnya mendemonstrasikan DEX memiliki fungsi regulasi

dua arah terhadap sistem kardiovaskular27. DEX menginisiasi α2B-reseptor pada

membran postsinaps pada membran otot polos untuk menghasilkan takikardi dan

hipertensi melalui vasokonstriksi. Kemudian hipotensi diinduksi melalui

vasodilatasi dibawah efek simpatolitik sentral yang diproduksi oleh pemberian

DEX secara terus menerus. Oleh karena itu, DEX menghasilkan efek yang dapat

diprediksi terhadap hemodinamik28. Pada pasien saat ini, HR, SBP, DBP

cenderung berkurang seiring pemberian DEX, namun seluruh nilai rata-rata dari

ketiga hal tersebut tetap berada dalam nilai normal selama pengamatan pada

seluruh kelompok (HR >60x/menit, SBP >115mmHg, DBP >60mmHg).

Pemberian DEX dihentikan pada 8 pasien pada penelitian ini akibat keadaan

hemodinamik yang tidak stabil. Nilai BP dan HR pada pasien ini kembali secara

perlahan seiring penghentian DEX.

Analisis dari 8 pasien ini (4 dengan hipercapnia, 3 dengan anemia dan 1

dengan hipercapnia dan anemia) yang dihentikan pemberian DEX mengindikasi

bahwa hipercapnia dan anemia merupakan faktor resiko tinggi yang berkontribusi

kepada hemodinamik yang tidak stabil. Penyebab utama dari hasil ini antara lain;

1) pasien ekstraserbasi akut dari COPD yang merupakan kelompok pasien utama

dari penggunaan ventilasi mekanik akibat tidak sadar dengan hipercapnia.

Penelitian sebelumnya menemukan bahwa pasien COPD dapat menginduksi

pelepasan norepinefrin dari jantung menyebabkan hipertensi dan peningkatan HR.

Pada pasien COPD dengan hipercapnia dapat mengeksitasi saraf simpatis secara

persisten walau keadaan gas darah normal30,31. 2) Pada pasien anemia terjadi

dilatasi pembuluh darah perifer, penurunan BP, peningkatan respon dari sistem

simpatis, peningkatan HR, penurunan dari RBF, retensi air dan natrium. 3)

Subtipe α2A-reseptor berperan penting dalam farmakologi dari DEX. Reseptor ini

berada pada pre- dan postsinaps, berfungsi utama untuk menginhibisi

norepinefrin. DEX menginhibisi pelepasan norepinefrin dengan berikatan dengan

membran presinaps α2-reseptor yang juga menghambat impuls nyeri. Sebagai

31

tambahan DEX menginhibisi aktivitas simpatetik dengan cara berikatan dengan

α2-reseptor pada membran postsinaps. Saat konsentrasi dari DEX dalam darah

cukup, maka efek DEX akan menghilangkan efek simpatis dari COPD dan

anemia.

32

BAB III

KESIMPULAN

Dexmedetomidine, sebagai obat-obatan preanestesia dan infusi intraoperatif,

mengurangi kebutuhan obat anestesi intraoperatif. Dia memiliki efek opioid yang

signifikan dan penghemat keperluan obat anestesi. Obat ini secara signifikan

melemahkan respon simpatoadrenal pada intubasi trakea. Selain itu, pemberian

dexmedetomidine secara kontinu pada intraoperatif tidak mempengaruhi stabilitas

kardiovaskular.

Pemberian 10 ug IntrathecalDexmedetomidine bila dibandingkan dengan

dosis yang lebih rendah sebagai terapi adjuvant untuk bupivacaine hiperbarik

secara signifikan memperpanjang durasi blok sensorik , blok motorik , dan

analgesia . Peningkatan yang tidak proporsional dalam durasi analgetik dan

blokade motorik sangat signifikan secara klinis maupun statistik dalam

memperpanjang durasi DA. Penambahan 10 ug ITD berkaitan dengan

menurunnya kebutuhan penggunaan analgesik post op pada pasien yang

melakukan operasi abdomen bawah dan ekstremitas bawah tanpa peningkatan

efek samping yang signfikan.

efek sedasi ideal dapat dicapai dengan dosis perawatan DEX

(0,4µg/Kg/Jam), namun, efek-efek ini diinduksi secara perlahan. Untuk

mendapatkan efek yang lebih cepat, kami menyarankan dosis awal yakni

0,5µg/Kg/10 menit. Pada pasien dengan COPD dan anemia, dosis awal yang

tinggi perlu dihindari. Kombinasi dari obat-obatan dapat diberikan bila perlu.

33

DAFTAR PUSTAKA

Bajwa S.J.S., Bajwa S.K., Kaur J., et al. Dexmedetomidine and clonidine in

epidural. Indian Journal of Anaesthesia. (55):352-357; 2011.

Gupta M., Gupta P., Singh D.K. Effect of 3 Different Doses of Intrathecal

Dexmedetomidine (2.5μg, 5μg, and 10 μg) on Subarachnoid Block

Characteristics: A Prospective Randomized Double Blind Dose-Response

Trial. Pain Physician (19):E411-E420; 2016.

Keniya V.M., Ladi S., Naphade R. Dexmedetomidine attenuates sympathoadrenal

response to tracheal intubation and reduces perioperative anaesthetic

requirement. Indian Journal of Anaesthesia, (55):352-357; 2011.

Mantz J., Josserand J., and Hamada S. Dexmedetomidine: new insights. Eur J

Anaesthesiol, (28):3–6; 2011.

Zhang X., Wang R., Lu J., Wei Jin, et al. Effects of different doses of

dexmedetomidine on heart rate and blood pressure in intensive care unit

patients. Experimental and Therapeutic Medicine, (11): 360-366; 2016.

1