Upload
putri-rafika-zahrah
View
20
Download
4
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Referat Dr Toton
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
Transfusi darah merupakan proses mentransfer darah dari satu orang ke dalam sistem
peredaran darah orang lain. Darah yang tersimpan di dalam kantong darah dimasukan ke
dalam tubuh melalui selang infus. Transfusi darah diperlukan saat tubuh kehilangan banyak
darah, misalnya pada kecelakaan, trauma atau operasi pembedahan yang besar, penyakit yang
menyebabkan terjadinya perdarahan misal maag khronis dan berdarah, juga penyakit yang
menyebabkan kerusakan sel darah dalam jumlah besar, misal anemia hemolitik atau
trombositopenia. Orang yang menderita hemofilia atau penyakit sel sabit mungkin
memerlukan transfusi darah sering.
Masalah utama transfusi darah yang saat ini masih ada adalah kecelakaan akibat
ketidakcocokan golongan darah. Meskipun angka kejadiannya boleh dikatakan sangat kecil
namun inkompabilitas transfusi darah ini beresiko menyebabkan penderita mengalami reaksi
yang sangat serius dan mengancam nyawa. Beberapa penderita mendonorkan darahnya
beberapa minggu sebelum dioperasi. Jika dalam operasi dibutuhkan darah maka dia dapat
menggunakan darahnya sendiri sehingga reaksi transfusi dapat dikurangi.
Darah transfusi di Indonesia relatif aman dan bebas dari segala macam penyakit
berbahaya. Setiap darah donor akan dilakukan pemeriksaan yang ketat sehingga jarang sekali
seseorang mendapatkan penyakit dari darah donor.
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi
Transfusi Darah adalah proses pemindahan darah dari seseorang yang sehat (donor) ke
orang sakit (resipien) yang diberikan secara intravena melalui pembuluh darah(1). Darah yang
dipindahkan dapat berupa darah lengkap dan komponen darah. Transfusi darah dapat
dikelompokkan menjadi 2 golongan utama berdasarkan sumbernya,yaitu transfusi allogenic
dan transfusi autologus. Transfusi allogenic adalah darah yang disimpan untuk transfusi
berasal dari tubuh orang lain. Sedangkan transfusi autologus adalah darah yang disimpan
berasal dari tubuh donor sendiri yang diambil 3 unit beberapa hari sebelumnya, dan setelah 3
hari ditransferkan kembali ke pasien(2).
Transfusi darah masif
Perdarahan masif ialah perdarahan lebih dari sepertiga volum darah dalam waktu lebih
dari 24 jam.Definisi dari transfusi darah masif masih belum jelas dan banyak versi, seperti (2):
1. Transfusi darah sebanyak lebih dari 1-2 kali volum darah dalam waktu lebih dari 24
jam.
2. Transfusi darah lebih besar dari 50% volum darah dalam waktu singkat (misalnya, 5
unit dalam 1 jam untuk berat 70 kg)
Transfusi Sangat Darurat
Bagi pasien dengan perdarahan hebat, waktu yang diperlukan untuk uji silang lengkap terlalu
lama atau tidak tersedia darah dengan golongan yang sama. Pilihan yang dapat diberikan
adalah PRC golongan O tanpa uji silang (donor universal). Jika PRC O tidak ada, untuk
resipien AB dapat diberikan golongan A atau B. Pasien bukan golongan O yang sudah
mendapat transfusi O sebanyak > 4 unit, jika perlu transfusi lagi dalam jangka 2 minggu,
masih harus tetap diberi golongan O, kecuali telah dibuktikan bahwa titer anti A dan anti-B
nya telah turun <1/200. Berbeda dengan di Barat, hampir seluruh populasi Indonesia Rhesus
(+) maka semua unit O dapat digunakan. (5)
2
B.Tujuan Transfusi Darah
Meningkatkan kemampuan darah dalam mengangkut oksigen
Memperbaiki volume darah tubuh
Memperbaiki kekebalan
Memperbaiki masalah pembekuan
C. Indikasi Transfusi Darah
1. Perdarahan akut sampai Hb < 8 gr% atau Ht <30%
Pada orang tua, kelainan paru, kelainan jantung Hb <10 g/dl(2)
2. Pada pembedahan mayor kehilangan darah >20% volume darah(2)
3. Pada bayi anak yang kehilangan darah >15%, dengan kadar Hb yang normal
Pada bayi anak, jika kehilangan darah hanya 10-15% dengan kadar Hb normal tidak
perlu transfusi darah, cukup dengan diberi cairan kristaloid atau koloid, sedang >15%
perlu transfusi karena terdapat gangguan pengangkutan Oksigen. (2)
4. Pada orang dewasa yang kehilangan darah sebanyak 20%, dengan kadar Hb normal
Kehilangan darah sampai 20% dapat menyebabkan gangguan faktor pembekuan(2)
Kebutuhan transfusi dapat ditetapkan pada saat prabedah berdasarkan nilai hematokrit
dan EBV. EBV pada neonatus prematur 95 ml/kgBB, fullterm 85 ml/kgBB, bayi 80 ml/kgBB
dan pada dewasa laki-laki 75 ml/kgBB, perempuan 65 ml/kgBB.
Untuk menentukan jumlah perdarahan yang diperlukan agar Hct menjadi 30% dapat
dihitung sebagai berikut:
1. EBV
2. Estimasi volume sel darah merah pada Hct prabedah
3. Estimasi volume sel darah merah pada Hct 30% prabedah (RBCV%)
4. Volume sel darah merah yang hilang (RBCV lost = RBCV preop – RBCV 30%)
5. Jumlah darah yang boleh hilang = RBCV lost x 3
Trasfusi dilakukan jika perdarahan melebihi nilai RBCV lost x 3
Selain cara diatas, terdapat pendapat mengenai penggantian cairan akibat pendarahan
sebagai berikut:
3
Berdasarkan berat ringannya perdarahan:
1. Perdarahan ringan, perdarahan sampai 10% EBV, 10-15% cukup diganti dengan
cairan elektrolit
2. Perdarahan sedang, perdarahan 10-20% EBV, 15-30% dapat diganti dengan cairan
kristaloid dan koloid
3. Perdarahan berat, perdarahan 20-50% EBV, >30%, harus diganti dengan transfusi
darah.
D. Darah dan Komponen Darah
Darah terdiri dari dua komponen(3):
1. Korpuskuler adalah unsur padat darah yaitu sel-sel darah Eritrosit, Lekosit, Trombosit.
2. Plasma Darah adalah cairan darah.
Fungsi Umum Darah (3):
1. Transportasi (sari makanan, oksigen, karbondioksida, sampah dan air)
2. Termoregulasi (pengatur suhu tubuh)
3. Imunologi (mengandung antibodi tubuh)
4. Homeostasis (mengatur keseimbangan zat, pH regulator)
Darah asal katanya dari bahasa Yunani haima artinya darah. Seseorang yang
membutuhkan sejumlah besar darah dalam waktu yang segera (misalnya karena perdarahan
hebat), bisa menerima darah lengkap untuk membantu memperbaiki volume cairan dan
sirkulasinya.Darah lengkap juga bisa diberikan jika komponen darah yang diperlukan tidak
dapat diberikan secara terpisah.
Komponen darah yang paling sering ditransfusikan adalah packed red blood cells
(PRC), yang bisa memperbaiki kapasitas pengangkut oksigen dalam darah.Komponen ini bisa
diberikan kepada seseorang yang mengalami perdarahan atau penderita anemia berat.Yang
jauh lebih mahal daripada PRC adalah frozen-thawed red blood cells, yang biasanya
dicadangkan untuk transfusi golongan darah yang jarang.Beberapa orang yang membutuhkan
darah mengalami alergi terhadap darah donor. Jika obat tidak dapat mencegah reaksi alergi
ini, maka harus diberikan sel darah merah yang sudah dicuci.
4
Jumlah trombosit yang terlalu sedikit (trombositopenia) bisa menyebabkan perdarahan
spontan dan hebat. Transfusi trombosit bisa memperbaiki kemampuan pembekuan darah.
Faktor pembekuan darah adalah protein plasma yang secara normal bekerja dengan trombosit
untuk membantu membekunya darah.Tanpa pembekuan, perdarahan karena suatu cedera
tidak akan berhenti.Faktor pembekuan darah yang pekat bisa diberikan kepada penderita
kelainan perdarahan bawaan, seperti hemofilia atau penyakit von Willebrand.
Plasma juga merupakan sumber dari faktro pembekuan darah.Plasma segar yang
dibekukan digunakan pada kelainan perdarahan, dimana tidak diketahui faktor pembekuan
mana yang hilang atau jika tidak dapat diberikan faktor pembekuan darah yang pekat.
Plasma segar yang dibekukan juga digunakan pada perdarahan yang disebabkan oleh
pembentukan protein faktor pembekuan yang tidak memadai, yang merupakan akibat dari
kegagalan hati.
Meskipun jarang, sel darah putih ditransfusikan untuk mengobati infeksi yang
mengancam nyawa penderita yang jumlah sel darah putihnya sangat berkurang atau penderita
yang sel darah putihnya tidak berfungsi secara normal.Pada keadaan ini biasanya digunakan
antibiotik.Antibodi (imunoglobulin), yang merupakan komponen darah untuk melawan
penyakit, juga kadang diberikan untuk membangun kekebalan pada orang-orang yang telah
terpapar oleh penyakit infeksi (misalnya cacar air atau hepatitis) atau pada orang yang kadar
antibodinya rendah.
E.Macam Transfusi Darah
Selama transfusi tubuh akan menerima “whole blood” atau komponen darah seperti:
Sel darah merah : sel yang membawa oksigen menuju dan dari jaringan atau organ
Platelet : sel yang dapat digunakan untuk mengontrol perdarahan
Plasma : bagian cairan darah yang membantu pembekuan darah
Macam-macam transfusi darah:
5
1. Darah Lengkap/ Whole Blood (WB)
Diberikan pada penderita yang mengalami perdarahan akut, syok hipovolemik, bedah
mayor dengan perdarahan >1500 ml. Darah lengkap ada 3 macam, yaitu:
a) Darah segar
Yaitu darah yang baru diambil dari donor sampai <48 jam sesudah pengambilan (2).
Keuntungan pemakaian darah segar ialah faktor pembekuannya masih lengkap
termasuk faktor labil (V dan VIII) dan fungsi eritrosit masih relatif baik. Kerugiannya
sulit diperoleh dalam waktu yang tepat karena untuk pemeriksaan golongan, reaksi
silang dan transportasi diperlukan waktu lebih dari 4 jam dan resiko penularan
penyakit relatif banyak.
b) Darah Baru
Yaitu darah yang disimpan < 6 hari sesudah diambil dari donor. Faktor pembekuan
disini sudah hampir habis, dan juga dapat terjadi peningkatan kadar kalium, amonia,
dan asam laktat.
c) Darah Simpan
Darah yang disimpan antara 6-35 hari. Keuntungannya mudah tersedia setiap saat,
bahaya penularan lues dan sitomegalovirus hilang. Sedang kerugiaannya ialah faktor
pembekuan terutama faktor V dan VIII sudah habis. Kemampuan transportasi oksigen
oleh eritrosit menurun yang disebabkan karena afinitas Hb terhadap oksigen yang
tinggi, sehingga oksigen sukar dilepas ke jaringan. Hal ini disebabkan oleh penurunan
kadar 2,3 DPG. Kadar kalium, amonia, dan asam laktat tinggi.
2. Packed Red Cell
PRC berasal dari darah lengkap yang disedimentasikan selama penyimpanan, atau
dengan sentrifugasi putaran tinggi. Sebagian besar (2/3) dari plasma dibuang.(1) Satu
unit PRC dari 500 ml darah lengkap volumenya 200-250 ml dengan kadar hematokrit 70-
80%, volume plasma 15-25 ml, dan volume antikoagulan 10-15 ml. Mempunyai daya
pembawa oksigen dua kali lebih besar dari satu unit darah lengkap. Waktu penyimpanan
sama dengan darah lengkap. (4,7)
6
Secara umum pemakaian PRC ini dipakai pada pasien anemia yang tidak disertai
penurunan volume darah, misalnya pasien dengan anemia hemolitik, anemia hipoplastik
kronik, leukemia akut, leukemia kronik, penyakit keganasan, talasemia, gagal ginjal
kronis, dan perdarahan-perdarahan kronis yang ada tanda “oksigen need” (rasa sesak,
mata berkunang, palpitasi, pusing, dan gelisah). PRC diberikan sampai tanda oksigen
need hilang. Biasanya pada Hb 8-10 gr/dl.(4,7)
Untuk menaikkan kadar Hb sebanyak 1 gr/dl diperlukan PRC 4 ml/kgBB atau 1 unit
dapat menaikkan kadar hematokrit 3-5 %. (4,7)
Keuntungan transfusi PRC dibanding darah lengkap : (7)
1. Kemungkinan overload sirkulasi menjadi minimal
2. Reaksi transfusi akibat komponen plasma menjadi minimal.
3. Reaksi transfusi akibat antibodi donor menjadi minimal.
4. Akibat samping akibat volume antikoagulan yang berlebihan menjadi minimal.
5. Meningkatnya daya guna pemakaian darah karena sisa plasma dapat dibuat
menjadi komponen-komponen yang lain.
Kerugian PRC adalah masih cukup banyak plasma, lekosit, dan trombosit yang
tertinggal sehingga masih bisa terjadi sensitisasi yang dapat memicu timbulnya
pembentukan antibodi terhadap darah donor. Untuk mengurangi efek samping komponen
non eritrosit maka dibuat PRC yang dicuci (washed PRC). Dibuat dari darah utuh yang
dicuci dengan normal saline sebanyak tiga kali untuk menghilangkan antibodi. Washed
PRC hanya dapat disimpan selama 4 jam pada suhu 4oC, karena itu harus segera
diberikan.
3. Leukosit/Granulosit konsentrat
Diberikan pada penderita yang jumlah leukositnya turun berat, infeksi yang tidak
membaik/ berat yang tidak sembuh dengan pemberian antibiotik, kualitas Leukosit
menurun. Komponen ini dibuat dari seorang donor dengan metode pemutaran melalui
hemonetic –30. Dengan alat ini darah dari donor dilakukan pemutaran terus-menerus,
memisahkan dan mengumpulkan buffy coat yang banyak mengandung granulosit
7
limfosit dan platelet kemudian dicampur dengan larutan sitrat sebagai antikoagulan yang
akhirnya dilarutkan dalam plasma. (7)
Indikasi :
1. Penderita neutropenia dengan febris yang tinggi yang gagal dengan antibiotik
2. Anemia aplastik dengan lekosit kurang dari 2000/ml
3. Penyakit-penyakit keganasan lainnya.
Kapan saat yang tepat untuk pemberian transfusi granulosit, masih belum pasti.
Umumnya para klinisi menganjurkan pemberian transfusi granulosit pada penderita
neutropenia dengan panas yang tinggi dan gagal diobati dengan antibiotik yang adekuat
lebih dari 48 jam. Efek pemberian transfusi granulosit tampak dari penurunan suhu
badan penderita terjadi pada 1-2 jam setelah transfusi.
4. Trombosit
Diberikan pada penderita yang mengalami gangguan jumlah atau fungsi trombosit.
Komponen ini didapat dari darah segar dengan metode pemutaran dengan waktu tertentu,
sehingga akhirnya didapat konsentrat platelet yang volumenya 25-40 ml/unit yang berisi
minimal 5,5×1010 platelet dan beberapa sel darah merah yang tercampur di dalamnya
bersama plasma untuk mempertahankan pH di atas 6 selama waktu penyimpanan.
Dengan satu unit konsentrat platelet biasanya akan menaikkan jumlah platelet sebesar
9.000-11.000 /m3 luas badan. Sehingga untuk keadaan trombositopenia yang berat
dibutuhkan sampai 8-10 unit.
5. Plasma biasa dan Plasma Segar Beku
Dari 250 ml darah utuh diperoleh 125 ml plasma. Plasma banyak digunakan untuk
mengatasi gangguan koagulasi yang tidak disebabkan oleh trombositopenia, mengganti
plasma yang hilang, defisiensi imunoglobulin dan overdosis obat antikoagulans
(warfarin,dsb).(12) Plasma tersedia dalam berbagai bentuk sediaan sebagai berikut :
Plasma segar (Fresh Plasma)
Dari darah utuh segar (<6 jam). Berisi semua faktor pembekuan (juga faktor labil) dan
trombosit. Harus diberikan dalam 6 jam. (2,7)
8
Plasma Segar Beku (Fresh Frozen Plasma)
Didapat dari pemisahan darah segar (darah donor kurang dari 6 jam) dengan metode
pemutaran, kemudian dibekukan dan disimpan pada temperatur –30oC. Karena dibuat
dari darah segar, maka hampir semua faktor-faktor pembekuan masih utuh selama
penyimpanan –30oC kecuali trombosit. Tapi bila disimpan pada temperatur 4oC, maka
semua faktor pembekuan yang labil itu akan rusak menjadi plasma biasa. (7). Kriteria
pemberian Fresh Frozen Plasma : (7)
a. Perdarahan menyeluruh yang tidak dapat dikendalikan dengan jahitan bedah
atau kauter.
b. Peningkatan PT atau PTT minimal 1,5 kali dari normal.
c. Hitung trombosit lebih besar dari 70.000/mm3 (untuk menjamin bahwa
trombositopenia bukan merupakan penyebab perdarahan).
ASA merekomendasikan pemberian FFP dengan mengikuti petunjuk berikut : (7)
a. Segera setelah terapi warfarin
b. Untuk koreksi defisiensi faktor koagulasi yang mana untuk faktor yang spesifik
tidak tersedia.
b. Untuk koreksi perdarahan mikrovaskuler sewaktu terjadi peningkatan >1,5
kali nilai normal PT atau PTT
d. Untuk koreksi perdarahan sekunder mikrovaskuler yang meningkat akibat
defisiensi faktor koagulasi pada pasien yang ditransfusi lebih dari satu unit
volume darah dan jika PT dan PTT tidak dapat diperoleh saat dibutuhkan.
e. FFP sebaiknya diberikan dalam dosis yang diperhitungkan mencapai suatu
konsentrasi plasma minimum 30% (biasanya tercapai dengan pemberian 10-15
ml/kg), kecuali setelah pemberian warfarin yang mana biasanya cukup antara
5-8 ml/kg.
f. FFP dikontraindikasikan untuk peningkatan volume plasma atau konsentrasi
albumin.
2. Plasma biasa (Plasma Simpan)
Mengandung faktor stabil fibrinogen, albumin, dan globulin. Didapat dari dari darah
lengkap yang telah mengalami penyimpanan. Dari 250 cc darah lengkap diperoleh 125
cc plasma. Dapat bertahan selama 2 bulan pada suhu 4oC. Indikasi : (6,7)
a. Untuk mengatasi keadaan shok (sebelum darah datang).
9
b. Memperbaiki volume sirkulasi darah.
c. Mengganti protein plasma yang hilang pada luka bakar yang luas.
d. Mengganti dan menambah jumlah faktor-faktor tertentu yang hilang misalnya
fibrinogen, albumin, dan globulin.
Plasma diberikan pada kehilangan plasma misalnya dengue hemoragik fever, atau
luka bakar yang luas. Dosis pemberian tergantung keadaan klinis. Umumnya diberikan
10-15 ml/kgBB/hari. Hati-hati pada orang tua, karena kemungkinan terjadinya payah
jantung atau overload sirkulasi. Indikasi ini sekarang tidak dianjurkan lagi karena lebih
aman menggunakan terapi larutan koloid atau albumin yang bebas resiko transmisi
penyakit. (6,7)
F.Penggolongan dan Pengumpulan Darah
Penggolongan Darah (3)
Berdasarkan sistem antigen telah dikenal lebih dari 20 golongan darah. Untuk
kepentingan klinik hanya dikenal dua sistem penggolongan darah yaitu sistem ABO dan
sistem Rh. Golongan darah yang dimiliki seseorang bergantung pada ada tidaknya protein
spesifik yang disebut antigen, pada sel darah merah.
Petugas kesehatan perlu mengetahui golongan darah yang dimiliki seseorang, karena
tidak semua golongan darah kompatibel satu sama lain. Hal ini untuk mencegah reaksi
penolakan dari tubuh saat dilakukan trasfusi. Sistem penggolongan darah ABO membagi
golongan darah menjadi golongan A,B,AB dan O. Jika seseorang bergolongan darah A, maka
ia dapat menerima golongan darah A dan O. Jika seseorang bergolongan darah B, maka ia
dapat menerima golongan darah B dan O. Jika seseorang bergolongan darah AB, maka ia
dapat menerima golongan darah A,B,AB,dan O. Jika seseorang bergolongan darah O, maka
ia hanya dapat menerima golongan darah O. Oleh sebab itu orang bergolongan darah O
sering disebut donor universal, sedangkan orang bergolongan darah B sering disebut resipien
universal.
Penggolongan darah juga dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya kandungan yang
disebut Rhesus pada permukaan sel darah merah seseorang. Jika kandungan tersebut
ditemukan pada permukaan sel darah merah seseorang, maka orang tersebut Rh(+), jika tidak
ada maka disebut Rh(-). Jika seseorang Rh(+), maka ia dapat menerima darah dengan Rh(+)
10
atau Rh(-). Sedangkan orang dengan Rh(-), hanya bisa menerima darah dengan Rh (-) saja.
Oleh karena itu darah Rh(-) sering disediakan untuk operasi-operasi darurat dimana tidak ada
waktu lagi untuk melakukan pengecekan golongan darah seseorang.
Pengumpulan Darah (1,3)
Darah yang tersedia di bank darah dikumpulkan dari para pendonor sukarela. Sebelum
donor darah dilakukan maka pendonor akan dilakukan pemeriksaan kesehatan untuk
mengetahui riwayat penyakit yang pernah diderita. Hanya pendonor yang dapat melewati
pemeriksaan ini yang dapat mendonorkan darahnya.
Darah donor yang telah diambil selanjutnya dilakukan pemeriksaan terhadap penyakit
berbahaya dan golongan darahnya. Jika ditemukan suatu masalah maka darah tersebut akan
dibuang. Biasanya donor tidak diperbolehkan menyumbangkan darahnya lebih dari 1x setiap
2 bulan. Darah yang telah lolos seleksi selanjutnya dipisahkan komponen darahnya lalu
disimpan atau dikirim untuk segera digunakan. Darah yang tersimpan di bank darah tidak
dapat disimpan dalam waktu lama, hal ini menyebabkan bank darah dalam hal ini PMI sangat
membutuhkan para pendonor sukarela guna mencukupi keperluan darah yang kian hari kian
meningkat.
Standard unit pengambilan darah hanya sekitar 0,48 Lt. Darah segar yang sudah
diambil disimpan dalam kantung plastik yang sudah mengandung bahan pengawet dan
komponen anti pembekuan. Sejumlah kecil contoh dari penyumbang diperiksa untuk mencari
adanya penyakit infeksi seperti HIV AIDS, hepatitis, ataupun sifilis. Darah yang didinginkan
dapat digunakan dalam waktu 35 hari. Pada keadaan tertentu misalnya pada pengawetan
golongan darah yang jarang, sel darah merah bisa dibekukan dan disimpan sampai selama 10
tahun.
Pada transfusi darah dengan golongan darah yang tidak cocok dapat membahayakan
bagi resipien, oleh karena itu sebagai tindakan pencegahan sebelum dimulainya transfusi
dilakukan pengetesan dengan mencampurkan setetes darah donor dengan darah resipien
untuk memastikan keduanya cocok, tehnik ini disebut cross-matching.
11
G. Cara Penyimpanan
Darah donor sebelum disimpan untuk diberikan pada resipien harus dibebaskan dari
pelbagaimacam penyakit yang mungkin dapat menulari resipien seperti hepatitis B atau C,
sifilis, malaria, HIV-1 atau HIV-2, virus human T-cell lymphotropic(HTLV-1 dan HTLV-2).
Darah simpan supaya awet dan tidak membeku perlu disimpan dalam lemari pendingin
dengan suhu sekitar 1o-6oC diberi pengawet.
Selama penyimpanan, eritrosit akan mengalami serangkaian perubahan-perubahan
biokimiawi dan struktural yang akan mempengaruhi viabilitas dan fungsinya setelah
transfusi. Perubahan seperti itu dikenal sebagai storage lesion. Kebutuhan energi eritrosit
disediakan oleh jalur metabolik glikolitik dan heksosemonofosfat. Produk akhirnya adalah
laktat yang akan menurunkan pH dan laju glikolisis dan menurunkan kadar ATP dan 2,3
DPG (6).
Adenosin trifosfat diperlukan untuk mempertahankan viabilitas eritrosit. Apabila kadar
ATP intraseluler menurun, terjadi kehilangan lipid membran, membran menjadi kaku, dan
bentuknya berubah dari cakram menjadi sferis. ATP juga penting untuk proses fosforilasi
glukosa dan mempertahankan pompa Na-K. Kekurangan ATP menyebabkan kalium keluar
sel dan natrium masuk sel sehingga fragilitas osmotik dan lisis sel meningkat.(6,7)
Interaksi antara molekul hemoglobin dan 2,3-DPG akan memfasilitasi pelepasan O2
sehingga kurva disosiasi O2 bergeser ke kanan.(11) Deplesi 2,3-DPG menyebabkan kurva
disosiasi bergeser ke kiri, sehingga meningkatkan afinitas hemoglobin terhadap terhadap
oksigen sehingga oksigenasi jaringan menjadi menurun. ((6,7)
Setelah transfusi, eritrosit donor yang rusak segera disingkirkan oleh tubuh resipien.
Eritrosit yang dapat melewati 24 jam pertama setelah transfusi akan mempunyai
kelangsungan hidup yang normal. Kriteria viabilitas yang adekuat dari darah yang disimpan
apabila kelangsungan hidup eritrosit sebanyak 70 % setelah 24 jam pasca transfusi. Dengan
antikoagulan yang ada saat ini tujuan tersebut dapat dicapai.
Selain perubahan pada eritrosit, maka selama penyimpanan darah juga akan terjadi
penurunan daya fagositik lekosit (nol setelah hari keempat), penurunan aktivitas trombosit
(nol setelah hari kedua), dan kehilangan faktor pembekuan (4 jam untuk fibrinogen dan
12
AHF). Darah tidak boleh beku, karena darah beku dapat menyebablan hemolisis dan
menimbulkan reaksi transfusi hebat.
H. Tehnik Transfusi Darah
Sebelum ditransfusikan, periksa sekali lagi sifat dan jenis darah serta kecocokan antara
darah donor dan penderita. Penderita dipersiapkan dengan pemasangan infus dengan jarum
besar #16-18. Jarum yang terlalu kecil (# 23-25) dapat menyebabkan hemolisis.(6,7)
Transfusi dilakukan dengan transfusi set yang memiliki saringan untuk menghalangi
bekuan fibrin dan partikel debris lainnya. Transfusi set baku memiliki saringan dan ukuran
pori-pori 170 mikron. Pada keadaan normal, sebuah transfusi set dapat digunakan untuk 2
sampai 4 unit darah. (8,9) Vena terbaik untuk kanulasi darah adalah vena pada bagian dorsal
tangan dan pada lengan atas. Dalam keadaan darurat dapat dilakukan venaseksi untuk
menjamin kelancaran dan kecepatan transfusi
Waktu mengambil darah dari lemari es, perhatikan plasmanya. Jika ada tanda-tanda
hemolisis (warna coklat hitam, keruh) jangan diberikan. Darah yang belum akan
ditransfusikan harus tetap di dalam lemari es.
Sebelum transfusi, diberikan terlebih dahulu 50-100 ml NaCl fisiologik. Jangan
menggunakan larutan lain karena dapat merugikan. Larutan dekstrose dan larutan garam
hipotonik dapat menyebabkan hemolisis. Ringer laktat atau larutan lain yang mengandung
kalsium akan menyebabkan koagulasi. Jangan menambahkan obat apapun ke dalam darah
yang ditransfusikan. Obat-obatan memiliki pH yang berbeda sehingga dapat menyebabkan
hemolisis, lagipula bila terjadi reaksi transfusi akan sulit untuk menentukan apakah hal itu
terjadi akibat obat atau akibat darah yang ditransfusikan.(4,7)
Jika sejumlah besar darah akan ditransfusikan dalam waktu yang singkat, maka
dibutuhkan darah hangat, karena darah yang dingin akan mengakibatkan aritmia ventrikel
bahkan kematian. Menghangatkan darah dengan air hangat hendaknya pada suhu 37-39oC.
Karena bila lebih 40oC, eritrosit akan rusak. Pada 100 ml pertama pemberian darah lengkap
hendaknya diteliti dengan hati-hati dan diberikan perlahan-lahan untuk kemungkinan deteksi
dini reaksi transfusi. (4)
13
Transfusi set mengalirkan darah 1 ml dalam 20 tetes. Laju tercepat yang bisa tercapai
adalah 60 ml permenit(7). Laju transfusi tergantung pada status kardiopulmoner resipien. Jika
status kardiopulmoner normal, maka dapat diberikan 10-15 ml/kgBB dalam waktu 2-4 jam.
Jika tidak ada hemovolemia maka batas aman transfusi adalah 1 ml/kgBB/jam (1 unit kurang
lebih 3 jam) atau 1000 ml dalam 24 jam.(7) Tetapi jika terdapat gagal jantung yang
mengancam maka tidak boleh ditransfusikan melebihi 2 ml/kgBB/jam. Karena darah adalah
medium kultur yang ideal untuk bakteri, sebaiknya transfusi satu unit darah tidak boleh
melewati 5 jam karena meningkatnya resiko proliferasi bakteri. (7)
Kasus-kasus dengan perdarahan yang hebat kadang-kadang dibutuhkan transfusi yang
cepat sampai 6-7 bag dalam setengah jam. Setelah sirkulasi tampak membaik dikurangi
hingga 1 bag tiap 15 menit. Tidak dianjurkan memberi obat antihistamin , antipiretika, atau
diuretika secara rutin sebelum transfusi untuk mencegah reaksi. Reaksi panas pada dasarnya
adalah tanda bahaya bahwa sedang terjadi reaksi transfusi. Diuretika hanya diperlukan pada
pasien anemia kronis yang perlu transfusi sampai 20 ml/kgBB dalam 24 jam. (7)
Cara-cara Meningkatkan Kecepatan Transfusi : (7)
1. Letakkan botol darah setinggi mungkin. Peningkatan 2 kali menyebabkan kecepatan
transfusi meningkat 2 kali pula.
2. Pergunakan jarum atau kanula sebesar mungkin.
3. Dengan memompakan darah meningkatkan tekanan udara dalam botol.
4. Dengan memompakan darah-darah yang berada di dalam kateter bawah.
I. Komplikasi Transfusi
1) Reaksi Hemolitik(2)
Kekerapan 1:6000 akibat destruksi eritrosit donor oleh antibodi resipien dan
sebaliknya.Jika jumlah transfusi <5% volum darah, reaksi tak begitu gawat. Pada pasien
sadar ditandai oleh demam, menggigil, nyeri dada,panggul dan mual. Pada pasien dalam
anestesi ditandai oleh demam, takikardi tak jelas asalnya, hipotensu, perdarahan
14
merembes di daerah operasi, syok, spasme bronkus dan selanjutnya Hb-uria, ikterus, dan
“renal shut down”.
2) Infeksi(2)
- Virus : hepatitis, HIV-AIDS, CMV
- Bakteri : stafilokok, yesteria, citrobakter
- Parasit : malaria
3) Lain-lain(2)
Demam, urtikaria, anafilaksis, edema paru non kardial, purpura, intoksikasi sitrat,
hiperkalemia, asidosis.
J. Penanggulangan Reaksi Transfusi(2)
a. Hentikan transfusi
b. Naikkan tekanan darah dengan koloid, kristaloid, jika perlu tambah vasokonstriktor,
inotropik.
c. Berikan oksigen 100%
d. Diuretika manitol 50 mg atau furosemid (lasix) 10-20 mg
e. Antihistamin
f. Steroid dosis tinggi
g. Jika perlu ‘exchange transfusion’
h. Periksa analisa gas dan pH darah
15
ANEMIA
II.1 DEFINISI
Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah eritrosit (red cell
mass) sehingga tidak dapat memnuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah yang
cukup ke jaringan perifer (penurunan oxygen carrying capacity). Secara praktis anemia
ditunjukkan oleh penurunan kadar hemoglobin, hematokrit atu hitung eritrosit (red cell
count). Tetapi yang paling lazim dipakai adalah kadar hemoglobin, kemudian
hematokrit.Harus diingat bahwa terdapat keadaan-keadaan tertentu dimana ketiga parameter
tersebut tidak sejalan dengan massa ertitrosit, seperti pada dehidrasi , perdarahan akut dan
kehamilan. Permasalahan yang timbul adalah berapa kadar hemoglobin, hematokrit atau
hitung eritrosit paling rendah yang dianggap anemia. Kadar hemoglobin dan eritrosit sangat
bervariasi tergantung pada usia,jenis kelamin, ketinggian tempat tinggal seta keadaan
fisiologis tertentu seperti misalnya kehamilan.(Aru. W.Sudoyo, 2009)
Anemia adalah berkurangnya hingga di bawah nilai normal jumlah SDM,kuantitas
hemoglobin, dan volume packed red blood cells (hematokrit) perl 100 ml darah. Dengan
demikian, anemia bukan suatu diagnosis melainkan suatu cerminan perubahan patofisiologik
yang mendasar yang diuraikan melalui anamnesis yang seksama, pemeriksaan fisik dan
konfirmasi laboratorium. (Sylvia A.Price, 2005).
II.2 KRITERIA ANEMIA
Parameter yang paling umum dipakai untuk menunjukkan penurunan massa eritrosit
adalah kadar hemoglobin, disusul oleh hematokrit dan hitung eritrosit.Pada umumnya ketiga
parameter tersebut saling bersesuaian. Yang menjadi masalah adalah berapakah kadar
hemoglobin yang dianggap abnormal. Harga normal hemoglobin sangat bervariasi secara
fisiologik tergantung pada umur, jenis kelamin, adanya kehamilan dan ketinggian tempat
tinggal. Di Negara Barat kadar hemoglobin paling rendah untuk laki-laki adalah 14 g/dl dan
12 gr/dl pada perempuan dewasa pada permukaan laut. Peneliti lain memberi angka berbeda
yaitu 12 gr/dl (hematokrit 38%) untuk perempuan dewasa, 11g/dl (hematokrit 36%) untuk
perempuan hamil, dan 13 g/dl untuk laki dewasa. WHO menetapkan cut off point anemia
untuk keperluarn penelitian lapangan yaitu
16
Kelompok Kriteria Anemia (Hb)
Laki-laki Dewasa < 13 g/dl
Wanita Dewasa tidak hamil < 12 g/dl
Wanita Hamil < 11 g/dl
Untuk keperluan klinik (rumah sakit atau praktek dokter) di Indonesia dan negara
berkembang lainnya, kriteria WHO sulit dilaksanakan karena tidak praktis. Apabila kriteria
WHO dipergunakan secara ketat maka sebagian besar pasien yang mengunjungi poliklinik
atau dirawat di Rumah Sakit akan memerlukan pemeriksaan work up anemia lebih lanjut.
Oleh karena itu bebrapa peneliti di Indonesia mengambil jalan tengah dengan memakai
kriteria hemoglobin kurang dari 10 g/dl sebagai awal dari work up anemia, atau di India
dipakai angka 10-11 g/dl.
II.3 ETIOLOGI DAN KLASIFIKASI ANEMIA
Pada dasarnya anemia disebabkan oleh karena: 1) Gangguan pembentukan eritrosit
oleh sumsum tulang; 2) Kehilangan darah keluar tubuh (perdarahan): 3) Proses penghancuran
eritrosit dalam tubuh sebelum waktunya(hemolisis),gambaran lebih rinci tetntang etiologi
anemia dapat dilihat ada tabel di bawah :
Tabel. Klasifikasi Anemia menurut Etiopatogenesis
A. Anemia karena gangguan pembentukan eritrosit dalam sumsum tulang
a. Kekurangan bahan esensial pembentuk eritrosit
a. Anemia defisiensi besi
b. Anemia defisiensi asam folat
c. Anemia defisiensi vitamin B12
b. Gangguan penggunaan (utilisasi) besi
a. Anemia akibat penyakit kronik
b. Anemia sideroblastik
c. Kerusakan sumsum tulang
a. Anemia aplastik
b. Anemia mieloptisik
c. Anemia pada keganasan hematologi
d. Anemia diseritropoietik
e. Anemia pada sindrom mielodisplastik
Anemia akibat kekurangan eritropoietin : anemia pada gagal ginjal kronik
17
B. Anemia akibat hemoragi
a. Anemia pasca perdarahan akut
b. Anemia akibat perdarahan kronik
C. Anemia hemolitik
1) Anemia Hemolitik intrakorpuskular
a. Gangguan membran eritrosit (membranopati)
b. Gangguan ensim eritrosit (enzimopati): anemia akibat defisiensi G6PD
c. Gangguan Hemoglobin (hemoglobinopati)
Thalassemia
Hemoglobinopati struktural : HbS,HbE,dll
2) Anemia Hemolitik ekstrakorpuskular
a. Anemia Hemolitik autoimun
b. Anemia Hemolitik mikroangiopatik
c. Lain-lain
D. Anemia dengan penyebab tidak diketahui atau dengan patogenesis yang kompleks
Klasifikasi lain untuk anemia dapat dibuat berdasarkan gambaran morfologik dengan
melihat indeks eritrosit atau hapusan darah tepi. Dalam klasifikasi ini anemia dibagi menjadi
tiga golongan :
1. Anemia hipokromik mikrositer, bila MCV<80fl dan MCH <27pg:
2. Anemia normokromik normositer, bila MCV 80-95 fl dan MCH 27-34 pg:
3. Anemia makrositer bila MVC > 95 fl.
Klasifikasi etiologi dan morfologi bila digabungkan akan sangat menolong dalam
mengetahui penyebab suatu anemia berdasarkan jenis morfologi anemia.seperti terlihat pada
tabel di bawah ini :
Klasifikasi Anemia berdasarkan morfologi d an etiologi
I. Anemia hipokromik mikrositer
a. Anemia Defisiensi Besi
b. Thalasemia Mayor
c. Anemia akibat Penyakit Kronik
d. Anemia Sideroblastik
II. Anemia normokromik normositer
18
a. Anemia pasca perdarahan akut
b. Anemia aplastik
c. Anemia hemolitik didapat
d. Anemia akibat penyakit kronik
e. Anemia pada gagal ginjal kronik
f. Anemia pada sindrom mielodisplastik
g. Anemia pada keganasan hematologik
III. Anemia makrositer
a) Bentuk megaloblastik
1. Anemia defisiensi asam folat
2. Anemia defisiensi B12, termasuk anemia permisiosa
b) Bentuk non-megaloblastik
1. Anemia pada penyakit hati kronik
2. Anemia pada hipotiroidisme
3. Anemia pada sindrom mielodisplastik.
II.4 PATOFISIOLOGI DAN GEJALA ANEMIA
Gejala umum anemia (sindrom anemia atau anemic syndrome) adalah gejala yang
timbul pada setiap kasus anemia, apapun penyeabnya, apabila kadar hemoglobin turun di
bawah harga tertentu. Gejala umum anemia ini timbul karena : anoksia jaringan, mekanisme
kompensasi tubuh terrhadap berkurangnya daya angkut oksigen,
Gejala umum anemia menjadi jelas (anemia simtomatik) apabila kadar hemoglobin
telah turun di bawah 7 gr/dl. Berat ringannya gejala umum anemia tergantung pada
a. Derajat penurunan hemoglobin,
b. Kecepatan penurunan hemoglobin
c. Usia
d. Adanya kelainan jantung atau paru sebelumnya.
Gejala anemia dapat digolongkan menjadi 3 jenis gejala, yaitu :
1) Gejala umum anemia
Gejala umum anemia disebut juga sebagai sindrom anemia, timbul karena iskemia
organ target serta akibat mekanisme kompensasi tubuh terhadap penurunan kadar
hemoglobin. Gejala ini muncul pada setiap kasus anemia setelah penurunan
hemoglobin sampai kadar tertentu (Hb<7bg/dl). Sindrom anemia terdiri dari rasa
lemah, lesu, cepat lelah, telinga mendenging (tinnitus), mata berkunang-kunang, kaki
19
terasa dingin, sesak nafas dan dispepsia. Pada pemerikaan, pasien tampak pucat yang
mudah dilihat pada konjungtiva, mukosa mulut,telapak tangan dan jaringan di bawah
kuku. Sindrom anemia bersifat tidak spesifik karena dapat ditimbulkan oleh penyakit
di luar anemia dan tidak sensitif karena timbul setelah penurunan yang berat (Hb<7
gr/dl).
2) Gejala Khas masing-masing anemia
Gelaja ini spesifik untuk masing-masing jenis anemia, sebagai contoh :
Anemia defisiensi Besi : disfagia,atrofi papil lidah, stomatitis angular, dan kuku
sendok (koilonychia).
Anemia megaloblastik : glositis, gangguan neurologik pada defisiensi vitamin B12.
Anemia hemolitik : ikterus, splenomegali dan hepatomegali
Anemia aplastik : perdarahan dan tanda-tanda infeksi
3) Gejala penyakit dasar : timbul akibat dasar yang menyebabkan anemia sangat
bervariasi tergantung dari penyebab anemia tersebut. Misalnya gejala akibat infeksi
cacing tambang: sakit perut, pembengkakan parotis dan warna kuning pada telapak
tangan. Pada kasus tertentu sering gejala penyakit dasar lebih dominan, seperti
misalnya paa anemia akibat penyakit kronik oleh karena artritis reumatoid.
Meskipun tidak spesifik, anamnesis dan pemeriksaan fisik sangat penting pada kasus
anemia untuk mengarahkan diagnosis anemia. Tetapi pada umumnya diagnosis
anemia memerlukan pameriksaan laboratorium.
II.5 PEMERIKSAN UNTUK DIAGNOSIS ANEMIA
Pemeriksaan Laboratorium
Pendekatan laboratorium merupakan penunjang diagnostik pokok dalam diagnosis
anemia. Pemeriksaan ini terdiri dari : 1) Pemeriksaan penyaring (screening test): 2)
Pemeriksaan darah seri anemia; 3)Pemeriksaan sumsum tulang; 4)Pemeriksaan khusus.
Pemeriksaan Penyaring
Pemeriksaan penyaring untuk kasus anemia terdiri dari pegukuran kadar hemoglobin,
indeks eritrosit, dan hapusan darah tepi. Dari sini dapat dipastikan adanya anemia serta jenis
morfologik anemia tersebut, yang sangat berguna untuk pengarahan diagnosis lebih lanjut.
Pemeriksaan Darah Seri Anemia
20
Pemeriksaan darah seri anemia meliputi hitung leukosit, trombosit, hitung retikulosit
dan laju endap darah. Sekarang sudah banyak dipakai automatic hematology analyzer yang
dapat memberikan presisi hasil yang lebih baik.
Pemeriksaan Sumsum Tulang
Pemeriksaan sumsum tulang memberikan informasi yang sangat berharga mengenai
keadaan sistem hemapoesis. Pemeriksaan ini dibutuhkan untuk diagnosis definitif pada
bebrapa jenis anemia. Pemeriksaan sumsum tulang mutlak diperlukan untuk diagnosis
anemia aplastik, anemia megaloblastik serta pada kelainan hematologik yang dapat
mensupresi sistem eritroid.
Pemeriksaan Khusus
Pemeriksaan ini hanya dikerjakan atas indikasi khusus, misalnya pada :
Anemia Defisiensi Besi: serum iron, TIBC (total iron biding capacity), saturasi
transferin, protoporfirin eritrosit,feritin serum, reseptor transferin dan pengecatan besi
pada sumsum tulang ( Perl’s stain).
Anemia Megaloblastik : folat serum, vitamin B12 serum, tes supresi deoksirudin, dan
tes Schiling.
Anemia Hemolitik : bilirubin serum, tes Coomb, elektroforesis hemoglobin dan lain –
lain.
Anemia Aplastik : biopsi Sumsum tulang
Juga diperlukan pemeriksaan non-hematologik tertentu seperti nisalnya pemeriksaan faal hati,
faal ginjal atau faal tiroid.
II.6 PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anemia hanyalah suatu sindrom, bukan suatu kesatuan penyakit, (disease entire),
yang dapat disebabkan oleh berbagai penyakit dasar (underlying disease). Hal ini penting
diperhatikan dalam diagnosis anemia. Kita tidak cukup hanya sampai pada diagnosis anemia,
tetapi sedapat mungkin kita harus dapat menentukan penyakit dasar yang menyebabkan
anemia tersebut.Maka tahap-tahap dalam diagnosis anemia adalah :
Menentukan adanya anemia
Menentukan jenis anemia
Menentukan etiologi atau penyakit dasar anemia
Menentukan ada atau tidaknya penyakit penyerta yang akan mempengaruhi hasil
pengobatan.
21
Pendekatan Diagnosis Anemia
Terdapat bermacam-macam cara pendekatan diagnosis anemia antara lain adalah
pendekatan tradisional,morfologik, fungsional dan probabilistik serta pendekatan klinis.
Pendekatan Tradisional, Morfologik, Fungsional, dan Probabilistik
Pendekatan tradisional adalah pembuatan diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik, hasil laboratorium, setelah dianalisis dan sintesis maka disimpulkan sebagai sebuah
diagnosis, baik diagnosis tentatif ataupun diagnosis definitif.
Pendekatan lain adalah pendekatan morfologi, fisiologi dan probabilistik. Dari aspek
morfologi maka anemia berdasarkan hapusan darah tepi atau indeks eritrosit diklasifikasikan
mejadi anemia hipokromik mikrositer, anemia normokromik normositer dan anemia
makrositer.Pendekatan fungsional bersandar pada fenomena apakah anemia disebabkan
karena penurunan produksi eritrosit di sumsum tulang, yang bisa dilihat dari penurunan
angka retikulosit, ataukah akibat kehilangan darah atau hemolisis, yang ditandai oleh
penigkatan angka retikulosit. Dari kedua pendekatan ini kita dapat menduga jenis anemia dan
kemungkinan penyebabnya. Hasil ini dapat diperkuat dengan pendekatan probabilistik
(prndekatan berdasarkan pola etiologi anemia), yang bersandar pada data epidemiologi yaitu
pola etiologi anemia di suatu daerah.
Pendekatan Probablistik atau Pendekatan Berdasarkan Pola Etiologi Anemia
Secara umum jenis anemia yang paling sering dijumpai di dunia adalah anemia defisiensi
besi, anemia akibat penyakit kronik dan thalasemia. Pola etiologi anemia pada orang dewasa
pada suatu daerah perlu diperhatikan dalam membuat diagnosis. Di daerah tropis anemia
defisiensi besi merupakan penyebab tersering disusul oleh anemia akibat penyakit kronik dan
thalassemia. Pada perempuan hamil, anemia karena defisiensi folat perlu juga mendapat
perhatian. Pada daerah tertentu anemia akibat malaria masih cukup sering dijumpai. Pada
anak-anak tampaknya thalassemia lebih memerlukan perhatian dibandingkan dengan anemia
akibat penyakit kronik. Sedangkan di Bali mungkin juga Indonesia, anemia aplastik
merupakan salah satu anemia yang serinf dijumpai. Jika kita menjumpai anemia di suatu
daerah, maka penyebab yang dominan di daerah tersebutlah yang menjadi perhatian kita
pertama-tama.Dengan penggabungan bersama gejala klinis dan hasil pemeriksaan
laboratorium sederhana, maka usaha diagnosis selanjutnya akan lebih terarah.
22
Pendekatan Klinis
Dalam pendekatan klinis yang menjadi perhatian adalah 1) kecepatan timbulnya penyakit
(awitan anemia), 2) Berat ringannya derajat anemia, 3) Gejala yang menonjol.
Pendekatan Berdasarkan awitan Penyakit
Anemia yang timbul cepat (dalam beberapa hari sampai minggu) biasanya disebabkan
oleh :1) Perdarahan akut, 2) Anemia hemolitik yang didapat seperti halnya pada AIHA terjadi
penurunan Hb >1 g/dl per minggu. Anemia Hemolitik intravaskular juga sering terjadi
dengan cepat, seperti misalnya akibat salah transfusi, atau episode hemolisis pada anemia
akibat defisiensi G6PD 3) Anemia yang timbul akibat leukemia akut, 4) krisis Aplastik pada
anemia hemolitik kronik.
Anemia yang timbul pelan – pelan biasanya disebabkan oleh : anemia defisiensi besi, anemia
defisiensi folat dan vitamin B12, anemia akibat penyakit kronik, anemia hemolitik kronik
yang bersifat kongenital.
Pendekatan berdasarkan Beratnya Anemia
Derajat anemia dapat dipakai sebagai petunjuk ke arah etiologi. Anemia berat biasanya
disebabkan oleh: anemia defisiensi besi, anemia aplastik, anemia pada leukimia akut, aneia
hemolitik didapat atau kongenital seperti misalnya pada thalasemia major, anemia pasca
perdarahan akut, anemia pada GGK stadium terminal.
Jenis anemia yang lebih sering bersifat ringan sampai sedang, jarang sampai derajat
berat ialah anemia akibat penyakit kronik, anemia pada penyakit sistemik, thalasemia
thrait.Jika pada keriga anemia tersebut di atas dijumpai anemia berat,maka harus dipikirkan
diagnosa lain. Atau adanya penyebab lain yang dapat memperberat derajat anemia tersebut.
Pendekatan Berdasarkan Sifat Gejala anemia
Sifat-sifat gejala anemia dapat dipakai untuk membantu diagnosis.Gejala anemia
dapat dipakai untuk membantu diagnosis. Gejala anemia lebih menonjol dibandingkan gejala
penyakit dasar dijumpai pada: anemia defisiensi besi, anemia aplastik, anemia hemolitik.
Sedangkan pada anemia akibat penyakit kronik dan anemia sekunder lainnya (anemia akibat
penyakit sistemik, penyakit hati, atau ginjal), gejala-gejala penyakit dasar sering lebih
menonjol.
23
Pendekatan Diagnosis Berdasarkan Tuntunan Hasil laboratorium
Pendekatan diagnosis dengan cara gabungan hasil penilaian klinis dan laboratorik
merupakan cara yang ideal tetapi memerlukan fasilitas dan ketrampilan klinis yang cukup. Di
bawah ini diajukan algoritma pendekatan diagnostik anemia berdasarkan hasil pemeriksaan
laboratorium.
Algoritme pendekatan diagnosis anemia
Algoritme Pendekatan diagnosis pasien dengan anemia hipokromik mikrositer
24
Anemia hipokromik mikrositer
Hapusan darah tepi dan indeks eritrosit (MCV,MCH,MCHC)
ANEMIA
Anemia normokromik
normositer
Anemia makrositer
25
ANEMIA HIPOKROMIK MIKROSITER
Besi serum
menurun normal
TIBC
FERITIN
TIBC
FERITIN
Feritin normal
Besi sumsum tulang negatif
Ring sideroblast dalam sumsum tulang
Elektroforesis
HbBesi sumsum tulang positif
Hb A2
HbF
Anemia akibat penyakit kronik
Thalasemia beta Anemia sideroblastik
Anemia defisiensi besi
Gambaran eritrosit pada anemia hipokromik mikrositer
26
Algoritme Diagnosis Anemia normokromik normositer
27
ANEMIA NORMOKROMIK NORMOSITER
Retikulosit
Riwayat Perdarahan
Akut
Tanda hemolisis positif
Normal/menurunMeningkat
Sumsum Tulang
Hipoplastik displastik Normalinfiltrasi
AIHA
Tes coomb
positifnegatif
Enzimopati,
Membranopati
Hemaglobinopati
Riwayat keluarga positif
Anemia pada sindrom mielodisplastik
Anemia pasca perdarahan akut
A.mikroangiopati obat/parasit
Anemia pada leukimia akut/mieloma
Tumor ganas hematologi (leukimia,mieloma)
Anemia aplastik
Anemia mieloptisik
Limfoma kanker
Faal hati
Faal ginjal
Faal tiroid
Penyakit kronik
Anemia pada GGK Penyakit Hati Kronik Hipotiroid peny.kronik
Gambaran eritrosit di bawah mikroskop pada anemia normokromik normositer
28
Algoritme pendekatan diagnostik anemia makrositer
29
ANEMIA MAKROSITER
Meningkat
Sumsum tulang
Megaloblastik
Retikulosit
Normal/Menurun
Non Megaloblastik
Riwayat Perdarahan akut
B12 serum rendah
Asam folat rendah
Anemia Pasca Perdarahan akut
Anemia Defisiensi besi
Anemia Defisiensi asam folat
Gambaran eritrosit pada anemia makrositer
II.7 PENDEKATAN TERAPI
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian terapi pada pasien anemia ialah :
1) Pengobatan hendaknya diberikan berdasarkan diagnosis definitif yang telah ditegakkan
terlebih dahulu
2) Pemeberian hematinik tanpa indikasi yang jelas tidak dianjurkan
3) Pengobatan anemia dapat berupa :
a. Terapi untuk keadaan darurat seperti misanya pada perdarahan akut akibT nemia
aplastik yang mengancam jiwa pasien, atau pada anemia pasca perdarahan akut yang
disertai gangguan hemodinamik
b. Terapi suportif
c. Terapi yang khas untuk masing-masing anemia
d. Terapi kausal untuk mengobati penyakit dasar yang menyebabkan anemi tersebut.
4) Dalam keadaan di mana diagnosis definitif tidak dapat ditegakkan, kita terpaksa
memberikan terapi percobaan (terapi ex juvantivus), disini harus dilakukan pemantauan
yang ketat terhadap respon terapi dan perubahan perjalanan penyakit pasien dan dilakukan
evaluasi terus menerus tentang kemungkinan perubahan diagnosis
5) Transfusi diberikan pada anemia pasca perdarahan akut dengan tanda-tanda gangguan
hemodinamik. Pada anemia kronik transfusi hanya diberikan jika anemia bersifat
simtomatik atau adanya ancaman payah jantung. Di sini diberikan packed red cell, jangan
whole blood. Pada anemia kronik sering dijumpai peningkatan volume darah, oleh karena
30
Faal Tiroid
Anemia Defisiensi Besi/asam folat dalam terapi
Sindrom mielodisplastik
Anemia pada penyakit hati
Anemia pada Hipotiroidisme
Displastik
Faal hati
itu transfusi diberikan dengan tetesan pelan. Dapat juga diberikan diuretik kerja cepat
seperti furosemid sebelum transfusi.
Adapun Anemia yang sering kita jumpai di masyarakat yaitu seperti
ANEMIA DEFISIENSI BESI
1.Definisi
Anemia yang disebabkan karena kurangnya zat besi (Fe).
2.Etiologi
Adanya keseimbangan negatif Fe yang disebabkan :
a. Berkurangnya asupan Fe
Diet tidak ade kuat
Gangguan absorpsi: aklorhidria, operasi lambung, penyakit celiac
b. Kehilangan Fe
Perdarahan traktus gastrointestinal
Perdarahan traktus urogenitalis
Hemoglobinuria
Hemosiderosis pulmonari idiopatik
Tlengiektasia hemoragik herediter
Gangguan hemostasis
c. Meningkatnya Kebutuhan Fe
Anak-anak
Kehamilan
Laktasi
d. Patofisiologi
Defisiensi Fe merupakan hasil akhir keseimbangan negatif Fe yang berlangsung lama.
Terdapat 3 stadium defisiensi Fe yaitu:
1) Defisiensi Fe pre laten/deplesi Fe
Berkurangnya cadangan Fe tanpa dsertai berkurangnya kadar Fe serum
2) Defisiensi Fe laten
31
Cadangan Fe habis, tetapi kadar hemoglobin masih di atas batas terendah kadar
normal.
3) Anemia defisiensi Fe
Kadar hemoglobin di bawah batas terendah kadar normal.
e. Riwayat Penyakit
Keluhan anemi, lemah badan, mata berkunag-kunang, timbul secara perlahan-lahan
dan menahun, berdebar, dyspnoe d’effort, keluhan gagal jantung.
f. Tanda dan Gejala Klinis
1) Anemia
2) Gangguan fungsi/struktur jaringan epitel : kulit kering,rambut kering tipis,
mudah dicabut, papil atrofi, glositis, stomatitis angular, fisura, disfagia
(sideropenik disfagia, kuku tipis, kusam,koilonycia/spoon nail, Web, striktur
pada mukosa antara hipofaring dan esofagus, atropi lambung, aklorhidria
3) Gangguan neuromuskuler : gangguan fungsi otot, gangguan tingkah laku,
gangguan mempertahankan suhu tubuh di udara dingin, neuralgia, gangguan
vasomotor, peningkatan tekanan intrakranial, papiledema, pseudotumor
serebri.
4) Gangguan imunitas seluluer dan peningkatan kepekaan terhadap infeksi
32
g. Laboratorium
1. Apus Darah Tepi :
Eritrosit : hipokrom mikrosier
Lekosit : jumlah biasanya normal, kadang-kadang granulositopenia ringan, pada
perdarahan banyak dapat ditemukan neutrofilik lekositosis, kadang-kadang
terdapat mielosit.
Trombosit : jumlah biasanya meningkat sapai 2 kali normal dan menurun setelah
pengobatan. Pada defisiensi Fe yang berat dan lama yang disertai defisiensi Folat
atau sekuestrasi di limpa dapat ditemukan trombositopenia ringan.
2. Apus sumsum tulang :
Hiperplasia eritropoesis dengan kelompok – kelompok normoblast basofil, Bentuk
pro-normoblast, normoblast kecil-kecil, dengan sitoplasma ireguler, sideroblast
negatif.
3. Nilai absolut menurun
4. Retikulosit menurun
5. Fe serum rendah
33
6. TIBC (Total Iron Binding Capacity) meningkat
7. Feritin menurun
8. Feses :telur cacing Ankilostoma duadenale/ Necator americanus.
9. Pemeriksaan lain: endoskopi, kolonoskopi, gastroduodenografi, colon in loop,
pemeriksaan ginekologi
h. Diagnosis
1. Adanya riwayat perdarahan kronis atau terbukti adanya sumber perdarahan
2. Laboratorium : anemia hipokrom mikrositer, Fe serum rendah,TIBC tinggi, nilai
absolut menurun, saturasi transferin menurun
3. Tidak terdapat Fe dalam sumsum tulang (sideroblast negatif)
4. Adanya respons yang baik terhadap pemberian Fe.
i. Terapi
1. Prinsip : Menentukan penyebab defisiensi Fe, eliminasi penyebab defisiensi
Fe,terapi Fe.
2. Terapi Fe
Oral
Dosis : 200mg Fe/hari, penyerapan lebih baik dalam keadaan lambung
kosong
Efek samping : iritasi gastro intestinal: heart burn, nausea, diare.
Bermacam-macam Preparat Fe
Preparat Dosis (mg) Kandungan Fe
(mg)
Dosis/hari
Fe sulfat 300 60 3 tab
Fe glukonat 300 73 5 tab
Fe fumarat 200 67 3 tab
300 100 2 tab
Kompleks Fe
polisakarida
150 150 2 tab
Parenteral
Indikasi:
o Tidak dapat mentoleransi Fe oral
34
o Kehilangan Fe (darah) yang cepat sehingga tidak dapat dikompensasi
dengan Fe oral.
o Gangguan traktus gastrointestinal yang dapat memburuk dengan
pemberian oral (colitis ulserativa)
o Tidak dapat mengabsorpsi Fe melalui traktus gastrointestinal
o Tidak dapat mempertahankan keseimbangan Fe pada hemodialisa
Preparat : kompleks Fe dekstran, mengandung 50 mg Fe/cc
j. Prognosis
Baik apabila sumber perdarahan dapat diatasi dan terapi Fe adekuat.
ANEMIA APLASTIK
a. Definisi
Anemia dengan karakteristik adanya pansitopenia disertai hipoplasia/aplasia sumsum
tulang tanpa adanya penyakit primer yang mensupresi atau menginfiltrasi jaringan
hematopoietik.
b. Etiologi
1. Didapat
Zat kimia dan Fisika
o Zat yang selalu menyebabkan aplasia pada dosis tertentu : radiasi,
bensen,arsen, sulfur, nitrogen mustard,antimetabolit, antimitotik :kolsisin,
daunorubisin, adriamisin
o Zat yang kadang-kadang mnyebabkan hipoplasia: kloramfenicol,kuinakrin,
metilfenilhidantoin, trimetadion, fenilbutazon,senyawa emas.
Infeksi virus : hepatitis, Epstein Barr, HIV,Dengue
Infeksi mikobakterium
Idiopatik
2. Familial : Sindroma Fanconi
c. Patofisiologi
Kegagalan Produksi eritrosit, lekosit, dan trombosit merupakan kelainan dasar pada
anemia aplastik yang dapat disebabkan oleh:
1. Defek kualitatif populasi stem cell
2. Defek lingkungan mikro sumsum tulang (microenvironment deficiency)
35
3. Gangguan produksi/efektivitas hematopoietik growth factor atau supresi imun
d. Riwayat penyakit
o Riwayat terpapar zat kimia, obat-obatan,radiasi, virus
o Gejala anemi : pusing,lemah badan, berkunang-kunang, berdebar,pucat, ssak nafas
/gagal jantung
o Gejala infeksi: demam,batuk, dan lain-lain, terjadi di semua organ
e. Tanda dan gejala klinik
o Anemi
o Tanda-tanda infeksi: demam dan sebagainya
o Perdarahan : ptekie, purpura, perdarhan gusi dan sebagainya
o Tidak ada pembesaran organ/infiltrasi
f. Diagnosis
o Pansitopenia Perifer
o Anemia normokrom normositer
o Sumsum tulang : aplasia atau hipoplasia dengan infiltrasi sel lemak
o Ham’s test perlu dilakukan karena PNH dapat memperlihatkan pansitopenia perfer
dengan sumsum tulang yang hipoplastik
Kriteria anemia aplastik berat (International Aplastic Anemia Study Group)
Darah tepi :
Netrofil < 500 mm3
Trombosit < 20.000/ mm3
36
Retikulosit < 1% (setelah koreksi)
Sumsum tulang :
Hiposelularitas berat (selularitas <25%)
Hiposelularitas sedang (selularitas <50%) dengan sel hematopoietik < 30 %
Anemia Aplastik Berat : 2 atau 3 kriteria darah tepi dan 1 kriteria sumsum tulang.
g. Diagnosis banding
Pansitopenia dengan sebab lain :
Penyakit yang menginfiltrasi sumsum tulang : leukimia, mieloma multipel,
metastase karsinoma, limfoma, mielofibrosis.
Penyakit yang mengenai limpa : splenomegali kongestif, limfoma, penyakit
infiltratif, infeksi : tuberkulosis,sifilis, kala azar.
Defisiensi B12 dan asam folat
SLE
Paroksismal nokturnal hemoglobinuria
h. Terapi
1. Menghindari kontak dengan toksin /obat penyebab
2. Umum: hindari kontak dengan penderita infeksi, isolasi, sabun antiseptik, sikat gigi
lunak,obat pelunak buang air besar, pencegahan menstruasi : obat anovulation.
3. Transfusi
4. Penanganan infeksi
5. Transplantasi sumsum tulang
6. Imunosupresif
7. Simulasi hematopoesis dan regenerasi sumsum tulang
i. Prognosis
Tergantung tingkat hipoplasia, makin berat prognosis makin jelek. Pada umumnya
penderita meninggal karena infeksi, perdarahan atau akibat komplkasi transfusi.
Anemia aplastik konstitusional biasanya fatal. Anemi Aplastik karena virus hepatitis
mempunyai mortalitas >60% dalam 2 bulan setelah diagnosis. Anemi aplastik karena obat
/toksin mempunyai prognosis lebih baik.
Perjalan penyakit bervariasi, 25% penderita bertahan hidup selama 4 bulan,25% selama
4-12 bulan, 35% selama lebih dari 1 tahun dan 10-20% penderita mengalami perbaikan
spontan (parsial/komplit).
37
Dengan transplantasi sumsum tulang, kelangsungan hidup 6 tahun mencapai 72%,
sedangkan dengan terapi imunosupresif mencapai 45%.
ANEMIA MEGALOBLASTIK
a. Definisi
Anemia yang disebabkan abnormalitas hematopoiesis dengan karakterisitik dismaturasi
nukleus dan sitoplasma sel mieloid dan eritroid sebagai akibat gangguan sintesis DNA.
b. Etiologi
1. Defisiensi asam folat
Asupan kurang:
Gangguan Nutrisi : alkoholisme, bayi prematur, orang tua,
hemodialisis, anoreksia nervosa.
Malabsorbsi : alkoholisme, celiac,dan tropical sprue, gastrektomi
parsial, rseksi usus halus, penyakit Crohn’s, skleroderma, obat
antikonvulsan (fenitoin, fenobarbital, karbamazepin), sulfasalazine,
kolestiramine, limfoma intestinal, hipotiroidisme.
Peningkatan Kebutuhan :kehamilan, anemia hemolitik, keganasan,
hipertiroidisme, dermatitis eksfoliativa, eritropoesis yang tidak efektif (anemia
pernisiosa, anemia sideroblastik, leukimia, anemia hemolitik,, mielofibrosis)
Gangguan metabolisme folat : alkoholisme, antagonis folat (metotreksat,
pirimetamin, trimetoprim), defisiensi enzim.
Penurunan cadangan folat di hati : alkoholisme, sirosis non alkoholik,
hepatoma.
2. Defisiensi vitamin b12 :
Asupan kurang : vegetarian
Malabsorbsi :
o Dewasa : anemia pernisiosa, gastrektomi total (parsial, gastritis
atropikan, tropical sprue, blind loop syndrome (operasi striktur,
divertikel, reseksi ileum), penyakit Crohn’s, parasit (Diphyllobothrium
latum), limfoma usus halus, skleroderma, obat-obat (asam
paraaminosalisilat, kolsisin, neomisin, etanol, KCl)
38
o Anak-anak: anemia pernisiosa, gangguan sekresi faktor intrinsik
lambung, gangguan fungsi faktor intrinsik lambung, gangguan reseptor
kobalamin di ileum.
Gangguan metabolisme seluluer : defisiensi enzim, abnormalitas protein
pembawa kobalamin (defisiensi transkobalamin II), paparan nitrit oksida yang
berlangsung lama.
c. Patofisiologi
Absorbsi B12 (kobalamin) di ileum memerlukan faktor intrinsik yaitu glikoprotein
yang disekresi lambung, faktor intrinsik akan mengikat 2 molekul kobalamin. Pada orang
dewasa, intrinsik faktor dapat berkurang karena adanya atropi lambung (gastritis
atropikan), gangguan imunologis (antibodi terhadap faktor intrinsik lambung) yang
mengakibatkan defisiensi kobalamin. Defisiensi kobalamin menyebabkan defisiensi
metlonin intraseluler, kemudian menghambat pembentukan folat tereduksi dalam sel,
Folat intrasel yang berkurang akan menurunkan prekursor timidilat yang selanjutnya
mengganggu sintesis DNA. Model ini disebut Methylfolate trap hypothesis harena
defisiensi kobalamin mengakibatkan penumpukan 5 metil tetrahidrofolat.
Defisiensi kobalamin yang berlangsung lama mengganggu perubahan proprionat
menjadi suksinil co A yang mengakibatkan gangguan sintesis myelin pada susunan saraf
pusat. Proses demielinisasi ini menyebabkan kelainan medula spinalis dan gangguan
neurologis.
Sebelum diabsorbsi, asam folat (pteroyglutamic acid) harus diubah menjadi bentuk
monoglutamat. Bentuk folat tereduksi yaitu tetrahidrofolat (FH4) merupakan koenzim
aktif. Defisiensi folat menyebabkan penurunan FH4 intrasel yang akan menggangu sintesis
timidilat dan selanjutnya mengganggu sintesis DNA.
d. Riwayat Penyakit
Biasanya penderita datang berobat karena keluhan neuropsikiatri, keluhan epigastrik,
diare dan bukan oleh keluhan aneminya. Penyakit biasanya berjalan secara perlahan-
lahan. Keluhan lain berupa rambut cepat memutih, lemah badan, penurunan berat badan,
Pada defisiensi B12 diagnosis ditegakkan rata-rata setelah 15 bulan dari onset
gejala,biasanya didapatkan triad : lemah badan, sore tongue, parestesi sampai gangguan
berjalan.
e. Tanda dan gejala klinik
Umumnya terjadi pada usia pertengahan dan usia tua.
39
o Pada defisiensi B12, terdapat 3 manifestasi utama : anemia megaloblastik, glositis,
dan neuropati.
Gangguan neurologis terutama mengenai substansia alba kolumna dorsalis dan
lateral medulla spinalis, korteks serebri dan degenerasi saraf perifer sehingga
disebut suacute combined degeneration / combined system disease.
Manifestasi Gangguan Neurologis pada Defisiensi Besi :
Kalsifikasi Gejala Pemeriksaan Fisik Lesi
Ringan Parestesi Normal/gangguan
rasa raba dan suhu
Saraf perifer,
kolumna dorsalis
Sedang Kelemahan
unsteady gait,
clums iness
Gangguan rasa
vibrasi dan posisi
Kolumna dorsalis
Berat Kelemahan berat
spastisitas
Hiperrefleksia
klonus, refleks
Babinski
Kolumna dorsalis
dan lateralis
Pada defisiensi B12 dapat diremukan (gangguan mental, depresi, gangguan
memori, gangguan kesadaran, delusi,halusinasi, paranoid,skizopren,. Gejala
40
neurologis lainnya adalah : opthalmoplegia, atoni kandung kemih, impotensi,
hipotensi ortostastik (neuropati otonom) dan neuritis retrobulbar.
o Pada defisiensi asam folat, manifestasi utama : anemia megaloblastik, glositis
f. Laboratorium
Anemia makrositer dengan peningkatan MCV
Neutropenia dengan neutrofil berukuran besar dan mengalami hipersegmentasi
dengan granula kasar (Glant Stab-cell)
Trombositopenia ringan (rata-rata 100-150x103/mm3)
Sumsum tulang dengan gambaran megaloblastik
Pada defisiensi B12 :
Serum kobalamin rendah (<100 pg/mL)
Schiling test : radiobeled B12 absorption test akan menunjukkan absorbsi
kobalamin yang rendah yang menjadi normal dengan pemberian faktor
intrinsik lambung.
Cairan Lambung : sekresi berkurang, rata-rata 15ml/jam (kira-kira 10%
normal), aklorhidira,pH >6
Masa hidup eritrosit berkurang,rata-rata 20-75 harri
LDH meningkat karena peningkatan destruksi eritrosit akibat eritropoesis
yang tidak efektif di sumsum tulang.
MCV: pada anemia ringan berkisar antara 100-110 fl, pada anemia berat
berkisar antara 110-130 fl.
Pada defisiensi asam folat :
Penurunan kadar folat serum (3-5 ng/mL)
Biopsi jejunum
g. Diagnosis
Gejala : anemia, ikterus ringan, glositis, stomatitis, purpura, neuropati
Apus darah tepi : eritrosit yang besar dengan bentuk lonjong, trombosit dan leukosit
agak menurun, didapatkan hipersegmentasi neutrofil, Glant stab-cell, retikulosit
menurun
Sumsum tulang, hiperseluluer dengan sel-sel eritroblast yang besar (megaloblast),
Giant stab-cell.
Pada anemia pernisiosa : Schilling test (+)
41
h. Diagnosis Banding
Leukemia akut
Anemia hemolitik (pada krisis hemolitik)
Anemia aplastik
Eritremik mielosis/eritroleukemia
Penyakit hati yang berat
Hipotiroidisme
Nefritis kronis
i. Terapi
1. Suportif : transfusi bila ada hipoksia, suspensi bila trombositopenia mengancam jiwa
2. Defisiensi B12 :
a. Sianokobalamin :
Dosis : 100 µg IM/ hari selama 6-7 hari, bila ada perbaikan klinis dan ada respon
retikulosit dalam 1 minggu, dosis diturunkan 100 µg Imselang sehari sebanyak 7
dosis, kemudian tiap 3-4 hari selama 2-3 minggu (dosis total 1,8-2 mg B12 dalam 5-
6 minggu). Pada saat ini kelainan hematologis harus mencapai normal. Setelah
kelainan hematologis normal, pada anemia pernisiosa diberikan sianocobalamin
100 µg IM/bulan seumur hidup.
b. Hidroksobalamin :
Diretensi dalam tubuh lebih baik daripada sianokobalamin, 28 hari setelah ineksi,
hidroksobalamin diretensi 3 kali lebih banyak daripada sianokobalamin.
Preparat : 100µg/mL, 1000 µg/mL
Dosis : 1000 µg IM setiap 5 minggu
Atau
1000 µg setiap hari IM selama 1-2 minggu lalu tiap 3 bulan
Respon terapi terhadap vitamin B12 dan folat :
Gejala klinis membaik sebelum didapatkan perubahan hematologis. Respon awal
adalah peningkatan retikulosit pada hari ke 2-3 dan maksimum pada hari ke 5-8,
dapat ditemukan normoblast pada apus darah tepi. Peningkatan hematokrit terjadi
setelah 5-7 hari terapi. Pada anemia tanpa komplikasi, hematokrit terjadi normal
dalam 4-8 minggu. Hipersegmenrasi lekosit berkurang secara bertahap secara
bertahap dan menghilang dalam 14 hari. Trombosit normal dalam waktu 1 minggu.
Pada sumsum tulang, eritropoiesis membaik dalam 24 jam terapi. Setelah 6-10jam
42
terapi megaloblast berkurang dan dalam 24-48 jam maturasi eritrosit menjadi
normoblastik.
3. Defisiensi asam folat :
Untuk mengisi cadangan folat dalam tubuh, diperlukan dosis 1 mg/hari selama 2-3
minggu, kemudian dosis pemeliharaan 0,25-0,5 mg/hari. Apabila diperlukan
pemakaian difenilhidantoin dalam waktu lama,diperlukan asam folat 0,5-2 mg/hari.
4. Terapi Penyakit Dasar
5. Menghentikan obat-obatan penyebab anemia megaloblastik
j. Prognosis
Baik,kecuali bila tidak ada komplikasi kardiovaskuler atau infeksi yang berat.
Sebelum adanya terapi efektif, anemia pernisiosa biasanya fatal dengan mortalitas 53%
dalam bulan pertama. Pada beberapa kasus, penyakit dapat mengalami remisi dan relaps
dengan jangka waktu dan berat penyakit bervariasi selama 1-3 tahun. Setelah terapi relaps
terjadi bervariasi antara 21-213 bulan. Remisi didapatkan pada 86% penderita, beberapa
penderita bertahan hidup selama 14-20 tahun.
ANEMIA AKIBAT PENYAKIT KRONIS
a. Definisi
Merupakan anemia derajat ringan sampai sedang yang terjadi akibat infeksi kronis,
peradangan trauma atau penyakit neoplastik yang telah berlangsung 1-2 bulan dan tidak
disertai penyakit hati,ginjal dan endokrin. Jenis anemia ini ditandai dengan kelainan
metabolisme besi, sehingga terjadi hipoferemia dan penumpukan besi di makrofag.
b. Etiologi
Anemia Penyakit kronik dapat dsebabkan oleh beberapa penyakit atau kondisi seperti
infeksi kronik (infeksi paru,endokarditis bakterial), inflamasi kronik (artritis reumatoid,
demam reumatik), penyakit hati alkoholik,gagal jantung kongestif dan idiopatik.
c. Patogenesis dan Patofisiologi
Secara garis besar patogenensis anemia penyakit kronis dititikberatkan pada 3
abnormalitas utama :1) Ketahanan hidup eritrosit yang memendek akibat terjadinya lisis
eritrosit,2) adanya respon sumsum tulang akibat respon eritropoetin yang terganggu atau
menurun, 3) Gangguan metabolisme berupa gangguan reutilisasi besi.
43
Terdapatnya peradangan dapat mengacaukan interpretasi pemeriksaan status besi. Proses
terjadinya radang merupakan respon fisiologis tubuh terhadap berbagai rangsangan
termasuk infeksi dan trauma. Pada fase awal proses inflamasi terjadi induksi fase akut
oleh makrofag yang teraktivasi berupa penglepasan sitokin radang seperti Tumor
Necrotizing Factor (TNF)-α, Interleukin (IL)-1, IL- 6 dan IL-8. Interleukin-1
menyebabkan absorbsi besi berkurang akibat pengelepasan besi ke dalamsirkulasi
terhambat, produksi protein fase akut (PFA),lekositosis dan demam. Hal itu dikaitkan
dengan IL-1 karena episode tersebut kadarnya meningkat dan berdampak menekan
eritropoesis. Bila eritropoesis tertekan, maka kebutuhan besi akan berkurang,sehingga
absorbsi besi di usus menjadi menurun. IL-1 bersifat mengaktifasi sel monosit dan
makrofag menyebabkan ambilan besi serum meningkat. TNF-α juga berasal dari
makrofag berefek sama yaitu menekan eritropoesis melalui penghambatan eritropoetin.
IL-6 menyebabkan hipoferemia dengan menghambat pembebasan cadangan besi jaringan
ke dalam darah.
Pada respon fase akut sistemik diperlihatkan bahwa akibat induksi IL-1, TNF-α dan
IL-6, maka hepatosit akan memproduksi secara berlebihan beberapa PFA utama seperti
C-reactive protein, serum amyloid A (SAA) dan fibrinogen. Selain itu terjadi pula
perangsangan hypothalamus yang berefek menimbulkan demam serta perangsangan
di sumbu hipothalmus-kortikosteroid di bawah pengaruh adrenocorticotropic hormone
(ACTH) yang berefek sebagai akibat umpan balik negatif terhadap induksi PFA oleh
hepatosit. Selain CRP, SAA, dan fibrinogen, protein fase akut lain yang berhubungan
penting dengan metabolisme besi antara lain: apoferritin, transferin, albumin dan
prealbumin.
Pada proses infllamasi sintesis apoferritin oleh hepatosit dan makrofag teraktivasi
meningkat. Kadar fibrinogen meningkat 2–3 kali normal, sedangkan transferin, albumin
dan prealbumin merupakan protein fase akut yang kadarnya justru menurun saat proses
inflamasi.
Anemia penyakit kronis sering bersamaan dengan anemia defisiensi besi dan
keduanya memberikan gambaran penurunan besi serum. Oleh karena itu penentuan
parameter besi yang lain diperlukan untuk membedakannya. Rendahnya besi di anemia
penyakit kronis disebabkan aktifitas mobilisasi besi sistem retikuloendotelial ke plasma
menurun, sedangkan penurunan saturasi transferin diakibatkan oleh degradasi transferin
yang meningkat. Kadar feritin pada keadaan ini juga meningkat melalui mekanisme yang
sama. Berbeda dengan anemia defisiensi, gangguan metabolisme besi disebabkan karena
44
kurangnya asupan besi atau tidak terpenuhinya kebutuhan besi sebagai akibat
meningkatnya kebutuhan besi atau perdarahan.
d. Gambaran klinik
Anemia pada penyakit kronis biasanya ringan sampai dengan sedang terjadi setelah 1-
2 bulan menderita sakit.Anemianya tidak bertambah progresif atau stabil dan berat
ringannya anemia yang diderita seseorang tergantung pada beratnya penyakit yang
dideritanya dan lamanya menderita penyakit tersebut. Gambaran klinis dari anemianya
sering tertutupi oleh gejala klinis dari penyakit yang mendasari (asimptomatik).Pada
pasien-pasien lansia oleh karena menderita penyakit vaskular degeneratif kemungkinan
juga dapat ditemukan gejala-gejala kelelahan lemah, klaudikasio intermiten, muka pucat
dan pada jantung keluhannya dapat berupa palpitasi,angina pektoris dan gangguan
serebral.
e. Laboratorium
Pada pemeriksaan status besi didapatkan penurunan besi serum, transferin, saturasi
transferin dan total protein pengikat besi, sedangkan kadar feritin dapat normal atau
meningkat. Kadar reseptor transferin di anemia penyakit kronis adalah normla. Berbeda
dengan defisiensi besi yang kadar total protein pengikat besi meningkat, sedangkan feritin
menurun, dan kadar reseptor transferin menigkat.
f. Diagnosis
1. Tanda dan gejala klinis yang dapat dijumpai seperti kelelahan,lemah ,berdebar-debar
dan lain-lain
2. Pemeriksaan laboratorium :
Derajat anemia,biasanya ringan sampai sedang
Gambaran morfologi darah tepi biasanya normositik normokromik atau
mikrositik ringan.
Nilai MCV biasanya normal atau menurun sedikit (≤ 80 fl)
Besi serum (serum iron) menurun (<60 mug/dL)
TIBC menurun (<250 mug/dL)
Jenuh transferin (saturasi transferin) menurun (<20 %)
Feritin serum normal atau meninggi (>100 ng/mL)
g. Penatalaksanaan
45
Penatalaksanaan pada penyakit kronis tidak ada yang spesifik, biasanya apabila
penyakit dasarnya telah diberikan pengobatan dengan baik maka anemianya juga akan
membaik.
Belakangan ini telah dicoba untuk memberikan beberapa pengobatan yang mungkin
dapat membantu anemia akibat penyakit kronis, antara lain :
1. Rekombinan eritropoetin (EPO), dapat diberikan pada pasien-pasien anemia penyakit
kronis yang penyakit dasarnya artritis reumatoid, Aquired Immuno Deficiency
Syndrome (AIDS) dan Inflamatory Bowel Disease.Dosisnya dapat dimulai 50-100
unit/ Kg,3xseminggu, pemberiannya secara intra vena (IV),atau subcutan (SC).
2. Transfusi darah berupa Packed Red Cell (PRC), dapat diberikan bila anemianya telah
memberikan keluhan atau gejala.Tetapi ini jarang diberikan karena anemianya jarang
sampai berat.
3. Prednisolon dosis rendah yang diberikan dalam jangka panjang.Diberikan pada pasien
anemia penyakit kronik dengan penyakit dasar artritis temporal, reumatik dan
polimialgia.Hemoglobin akan segera kembali normal demikian juga dengan gejala-
gejala polimialgia akan segera ilang dengan cepat.
4. Kobalt klorida bermanfaat untuk memperbaiki anemia penyakit kronis.cara kerjanya
yaitu menstimulasi pelepasan eritropoetin, tetapi karena efek toksiknya obat ini tidak
dianjurkan untuk diberikan.
46
BAB III
KESIMPULAN
Transfusi Darah adalah proses pemindahan darah dari seseorang yang sehat (donor) ke
orang sakit (resipien) yang diberikan secara intravena melalui pembuluh darah. Darah yang
dipindahkan dapat berupa darah lengkap dan komponen darah.
Tujuan transfusi darah adalah meningkatkan kemampuan darah dalam mengangkut
oksigen,memperbaiki volume darah tubuh,memperbaiki kekebalan,memperbaiki masalah
pembekuan.
Transfusi darah diperlukan saat tubuh kehilangan banyak darah, misalnya pada
kecelakaan, trauma atau operasi pembedahan yang besar, penyakit yang menyebabkan
terjadinya perdarahan, juga penyakit yang menyebabkan kerusakan sel darah dalam jumlah
besar, misal anemia hemolitik atau trombositopenia.
47
DAFTAR PUSTAKA
1. Nhlbi.nih.gov. “What is a blood transfusion”. July 1st,2009. Available:
http://www.nhlbi.nih.gov/health/health-topics/topics/bt/. Accessed on:September 20th,2011
2. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR.Transfusi Darah pada Pembedahan. Dalam
Anestesiologi. Edisi ke-2. Jakarta: FKUI;2007; pg.141- 5
3. Nlm.nih.gov. “Blood Transfusion and Donation”. Available:
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/bloodtransfusionanddonation.html. Accessed on:
September 20th,2011
4. Hewitt PE, Wagstaff W. Donor darah dan Uji Donor darah. Dalam : Contreras M,Ed.
Petunjuk Penting Transfusi (ABC of Transfusion), edisi ke-2; alih bahasa Oswari J.
Jakarta : EGC,1995;1-4
5. Pedoman Pelaksanaan Transfusi Darah.RSUD Dr. Sutomo FK.Universitas Airlangga.
Edisi III.Tahun 2001.Surabaya
6. Davies SC, brozovic M. Transfusi Sel darah Merah. Dalam Contreras M, Ed. Petunjuk
Penting transfusi (ABS of Transfusion) Edisi ke-2. Alih Bahasa Oswari. Jakarta: EGC, 9-
14
7. Contreras M, Mollison PI. Uji Sebelum Transfusi dan Kebijakan Pemesanan darah. Dalam
: Contreras M,Ed. Petunjuk Penting transfusi (ABC of Transfusion) Edisi ke-2, alih bahasa
Oswari J, Jakarta : EGC, 5-8
8. http://www.journal.unair.ac.id/filerPDF/IJCPML-12-1-03.pdf diakses pada tanggal 13
desember 2012
9. Mansjoer Arif dkk.,2001, Kapita Selekta Kedokteran Jilid I. Jakarta: Media Aesculaplus.
10. Panjaitan,Suryadi,2003, Beberapa Aspek Penyakit Kronis pada usia lanjut.Medan :
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
11. Price Sylvia A,dkk, 2005,Patofisiologi edisi 6.Jakarta : EGC
12. Sudoyo Aru W.,dkk.2009.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II edisi . Jakarta: FKUI
13. Sumantri,Rahmat,dkk. 2008. Pedoman Diagnosis dan Terapi Hematologi Onkologi
Medik. Bandung : FK Unpad
48