referat epilepsi

  • Upload
    mutimin

  • View
    277

  • Download
    2

Embed Size (px)

DESCRIPTION

epilepsi

Citation preview

  • 5/20/2018 referat epilepsi

    1/21

    Universitas Muhammadiyah Jakarta | 1

    KATA PENGANTAR

    Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang senantiasa melimpahkan

    berkat dan kasih-Nya dalam kehidupan ini. Dengan penyertaan dan kasih

    setia-Nya Refreshing ini dapat selesai dikerjakan sebagai tugas kepaniteraan

    bagian Neurologi, Fakultas Kedokteran dan Kesehatan UMJ di RSIJ

    Cempaka Putih, Jakarta.

    Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Adre

    Mayza , Sp. S sebagai pembimbing refreshing ini yang selalu memberikan

    dorongan dan bimbingan hingga refreshing ini dapat terselesaikan dengan

    baik.Penulis berharap semoga dengan penulisan refreshing ini, pengetahuan

    penulis dalam bidang Neurologi dapat semakin bertambah sebagai bekal

    dalam menjalankan profesi untuk menjadi dokter yang berkompeten. Penulis

    juga berharap refreshing ini dapat bermanfaat bagi siapapun yang

    membacanya.

    Penulis sangat menyadari bahwa refreshing ini masih jauh dari

    kesempurnaan. Dengan demikian penulis sangat mengharapkan saran dan

    kritik yang membangun untuk perbaikan dalam penulisan berikutnya.

    Jakarta, Maret 2014

    Penulis

  • 5/20/2018 referat epilepsi

    2/21

    Universitas Muhammadiyah Jakarta | 2

    BAB I

    PENDAHULUAN

    Epilepsi dapat terjadi pada siapa saja di seluruh dunia tanpa ada

    batasan ras dan sosio-ekonomi. Angka kejadian epilepsi masih tinggi terutama

    di negara berkembang dibanding dengan negara industri. Hal ini belum

    diketahui penyebanya, diduga terdapat beberapa faktor ikut berperan, misalnya

    perawatan ibu hamil, keadaan waktu melahirkan, trauma lahir, kekurangan

    gizi dan penyakit infeksi.1

    Dari banyak penelitian menunjukkan bahwa angka kejadian epilepsi

    cukup tinggi, diperkirakan prevalensinya berkisar antara 0,5-4%. Rata-rata

    prevalensi epilepsi sekitar 8,2 per 1.000 penduduk. Sedangkan angka insidensi

    epilepsi di negara berkembang mencapai 50-70 kasus per 100.000 penduduk.

    Indonesia dengan jumlah penduduk sekitar 220 juta maka diperkirakan jumlah

    pasien epilepsi berkisar antara 1,1-8,8 juta. Berdasarkan grafik, usia pasien

    epilepsi menunjukkan pola bimodal. Prevalensi epilepsi pada bayi dan anak-anak cukup tinggi, menurun pada usia dewasa muda dan pertengahan,

    kemudian meningkat lagi pada usia lanjut.2Sedangkan menurut jenis kelamin,

    epilepsi mengenai laki-laki 1,1-1,5 kali lebih banyak dari perempuan.3

    Gambar 1. Gambaran Epidemiologi Epilepsi Menurut Usia

  • 5/20/2018 referat epilepsi

    3/21

    Universitas Muhammadiyah Jakarta | 3

    Selain itu di kalangan masyarakat awam sendiri masih terdapat

    pandangan yang salah mengenai penyakit epilepsi, antara lain dianggap

    sebagai penyakit kutukan, guna-guna, kerasukan, gangguan jiwa dan penyakit

    menular melalui air liur. Hal ini tentu saja akan berpengaruh negatif terhadap

    pelayanan untuk tatalaksana penyakit epilepsi. Beberapa masalah lain yang

    telah diidentifikasi sebagai penghambat tatalaksana penyakit epilepsi adalah

    keterbatasan tenaga medis, sarana layanan kesehatan, dana dan kemampuan

    masyarakat. Keterbatasan tersebut akan menurunkan optimalisasi

    penatalaksanaan penyakit epilepsi.2

    Tidak jarang penyakit epilepsi ini menimbulkan kematian. Angka

    kematian pertahun adalah 2 per 100.000. Hal ini dapat berhubungan langsung

    dengan kejang, misalnya ketika terjadi serangkaian kejang yang tidak

    terkontrol, dan di antara serangan pasien tidak sadar, atau jika terjadi cedera

    akibat kecelakaan atau trauma. Fenomena kematian mendadak yang terjadi

    pada penderita epilepsi (Sudden Unexplained Death In Epilepsy) diasumsikan

    berhubungan dengan aktivitas kejang dan kemungkinan besar karena disfungsi

    kardiorespirasi.3

  • 5/20/2018 referat epilepsi

    4/21

    Universitas Muhammadiyah Jakarta | 4

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 Definisi

    Epilepsi didefinisikan sebagai suatu keadaan yang ditandai oleh

    bangkitan (seizure) berulang sebagai akibat dari adanya gangguan fungsi otak

    secara intermiten, yang disebabkan oleh lepas muatan listrik abnormal dan

    berlebihan di neuron-neuron secara paroksismal, dan disebabkan oleh berbagai

    etiologi.2

    Bangkitan epilepsi (epileptic seizure) adalah manifestasi klinis dari

    bangkitan serupa (streotipik), berlangsung secara mendadak dan sementara

    dengan atau tanpa perubahan kesadaran, disebabkan oleh hiperaktivitas listrik

    sekelompok sel saraf di otak, bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak aku

    (unprovoked).2

    Sindrom epilepsi adalah sekumpulan gejala dan tanda klinik epilepsi

    yang terjadi secara bersama-sama yang berhubungan dengan etiologi, umur,

    awitan (onset), jenis bangkitan, factor pencetus, dan kronisitas.2

    2.2 Klasifikasi

    Dalam mendiagnosis penyakit epilepsi perlu adanya suatu klasifikasi

    mengingat tatalaksana tiap bangkitan berbeda. Klasifikasi yang digunakan

    adalah klasifikasi yang telah ditetapkan oleh International League Againts

    Epilepsy(ILAE) tahun 1981 yang terdiri dari dua jenis, yaitu klasifikasi untuk

    jenis bangkitan epilepsi dan klasifikasi untuk sindrom epilepsi.2

    Berikut ini adalah klasifikasi untuk jenis bangkitan epilepsi.

    Tabel 1. ILAE Classification of Epileptic Seizures

    I. Partial (focal) seizures

    Bangkitan parsial

    Bangkitan parsial sederhana

    Motorik

    Sensorik Otonom

  • 5/20/2018 referat epilepsi

    5/21

    Universitas Muhammadiyah Jakarta | 5

    Psikis

    Bangkitan parsial kompleks

    Bangkitan parsial sederhana yang diikuti dengan

    gangguan kesadaran

    Bangkitan parsial sederhana yang disertai gangguan

    kesadaran saat awal bangkitan Bangkitan parsial yang menjadi umum sekunder

    Parsial sederhana yang menjadi umum tonik klonik

    Parsial kompleks menjadi umum tonik klonik

    Parsial sederhana menjadi parsial kompleks kemudian

    menjadi umum tonik

    II. Generalized seizures of nonfocal origin (convulsive or nonconvulsive)

    Lena (absence)

    Mioklonik

    Klonik

    Tonik

    Tonik-klonik

    Atonik

    III. Unclassified epileptic seizures

    Adapted from Commission on Classification and Terminology of the

    International League Against Epilepsy. Proposal for revised clinical and

    electroencephalographic classification of epileptic seizures. Epilepsia1981;22:489501.4

    Ternyata dalam mendiagnosis pasien epilepsi, mengklasifikasikan jenis

    epilepsi pada seorang pasien justru lebih penting daripada mendeskripsikan

    kejangnya (kejang parsial atau kejang general), karena informasi klinis pada

    pasien ternyata juga memiliki makna klinis yang relevan pada penyakit

    epilepsinya. Seperti pada anamnesis, terdapatnya riwayat trauma kepala, atau

    riwayat keluarga yang pernah mengalami kejang), kelainan pada pemeriksaan

    neurologis, serta hasil electroencephalography (EEG) dan laboratorium.4

    ILAE akhirnya mengklasifikasikan kembali epilepsi menurut

    penyebabnya (idiopatik, simptomatik, ataukah kriptogenik). Tiap penyebab

    kemudian dikelompokkan kembali menurut usia pasien serta kemungkinan

    anatomi otak yang terkena. Klasifikasi sindrom epilepsi ini kurang berhasil,

    bahkan menjadi kontroversial daripada klasifikasi serangan. Hal ini

    dikarenakan pembagian sindrom epilepsi tersebut masih empiris.

  • 5/20/2018 referat epilepsi

    6/21

    Universitas Muhammadiyah Jakarta | 6

    Pengelompokkan hanya berdasarkan data klinis dan hasil EEG yang

    mencakup informasi anatomi, patologik atau etilogi spesifik lainnya. Namun

    klasifikasi ini berguna untuk beberapa sindrom yang mudah dikenali seperti

    infantile spasms dan benign partial childhood with central-midtemporal

    spikes, dimana keduanya memiliki tatalaksana serta prognosis yang berbeda.4

    Selain itu terdapat beberapa sindrom epilepsi yang tergolong idiopatik

    namun memiliki kesamaan gejala klinis dengan golongan kriptogenik. Pada

    akhirnya penggolongan sindrom epilepsi ini tetap penting, dalam usaha

    tatalaksana pasien epilesi secara tepat dan maksimal.

    TABEL. 2 Modified Classification of Epileptic Syndromes

    I. Idiopathic epilepsy syndromes (focal or generalized)

    A. Benign neonatal convulsions

    1. Familial

    2. Nonfamilial

    B. Benign childhood epilepsy

    1. With central midtemporal spikes

    2. With occipital spikes

    C. Childhood/juvenile absence epilepsy

    D. Juvenile myoclonic epilepsy (including generalized tonic-clonic seizures on

    awakening)

    E. Idiopathic epilepsy, otherwise unspecified

    II. Symptomatic epilepsy syndromes (focal or generalized)

    A. West syndrome (infantile spasms)

    B. Lennox-Gastaut syndrome

    C. Early myoclonic encephalopathy

    D. Epilepsia partialis continua

    1. Rasmussen syndrome (encephalitic form)

    2. Restricted form

    E. Acquired epileptic aphasia (Landau-Kleffner syndrome)F. Temporal lobe epilepsy

    G. Frontal lobe epilepsy

    H. Post-traumatic epilepsy

    I. Other symptomatic epilepsy, focal or generalized, not specified

    III. Other epilepsy syndromes of uncertain or mixed classification

    A. Neonatal seizures

    B. Febrile seizure

    C. Reflex epilepsy

    D. Other unspecified

  • 5/20/2018 referat epilepsi

    7/21

    Universitas Muhammadiyah Jakarta | 7

    2.3 Etiologi

    Penyebab penyakit epilepsi dibagi menjadi tiga golongan, yaitu

    idiopatik, kriptogenik dan simptomatik. Sebagian besar penyebab timbulnya

    epilepsi adalah idiopatik yang tidak diketahui penyebabnya, umumnya

    mempunyai predisposisi genetik. Sedangkan penyebab epilepsi kriptogenik

    dianggap suatu simtomatik yang penyebabnya belum diketahui, termasuk di

    sini adalah sindrom west, sindrom Lennox-Gastaut dan epilepsi mioklonik.

    Gambaran klinis sesuai dengan ensefalopati difus. Etiologi epilepsi yang

    terakhir yaitu simtomatik disebabkan oleh kelainan/lesi susunan saraf pusat,

    misalnya cedera kepala, infeksi susunan saraf pusat (SSP), kelainan

    kongenital, lesi desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik (alkohol,

    obat), metabolik, dan kelainan neurodegeneratif.2

    Pada epilepsi yang terjadi sejak masa anak-anak maka saat dewasa

    mencari etiologi tak begitu penting, dengan pengertian proses penyebab tak

    aktif lagi. Bila epilepsi baru terjadi saat dewasa, terutama diatas usia 30 tahun

    maka mencari etiologi menjadi penting, karena mungkin petanda suatu proses

    patologis yang masih progresif dan mungkin memerlukan tindakan bedah

    saraf. Anamnesis yang baik, pemeriksaan fisik dan penunjang akan

    mengarahkan kepada etiologi dari epilepsi.4

    2.4 Epidemiologi

    Data dari seluruh dunia, didapatkan hampir 40 juta manusia menderita

    epilepsi.2 Menurut WHO prevalensi epilepsi ini lebih tinggi pada wanita

    daripada pria. Angka prevalensi untuk pria 0.32:1000 dan wanita 0.46: 1000.

    Data di Indonesia pada tahun 2000 didapatkan hasil dari rawat inap yaitu

    3.949 kasus epilepsi, dimana dari 34.514 pasien dengan penyakit susunan

    saraf (11.44%), sedangkan dari rawat jalan didapatkan 65.696 dari 351.290

    (18.70%) dari jumlah kunjungan dengan penyakit susunan saraf.5

    2.5 Patogenesis Epilepsi

    Kemajuan yang pesat dalam pengobatan epilepsi menjadi tanda bahwa

    pengetahuan tentang kejadian dan kendali terhadap kejang-kejang epileptik

    telah sangat maju. Meskipun demikian pengetahuan tentang patogenesis pada

    epilepsi berkembang pesat jauh sesudah obat-obat anti epilepsi ditemukan.

  • 5/20/2018 referat epilepsi

    8/21

    Universitas Muhammadiyah Jakarta | 8

    Mc.Namara (1994) dan peneliti lainnya mengajukan konsep-konsep

    baru mengenai patofisiologi yang terjadi pada proses epileptik, yaitu adanya

    gangguan di tingkat seluler/neuronal dalam keseimbangan antara faktor-faktor

    eksitasi dan inhibisi neuronal, baik yang bersifat seluler tunggal maupun

    dalam bentuk network. Dengan demikian konsep pengobatan dalam tahap

    eksperimental ini, melangkah kepada tingkat intervensi farmakologik dalam

    meredam hipereksitabilitas dan hipersinkronisasi neuronal atau meningkatkan

    inhibisi merupakan sasaran pengendalian proses epileptik (Rho dan Sankar

    1999).

    Dalam hal ini, pada patogenesis epilepsi, peran neurotransmitter

    GABA, glutamat dan kainat serta reseptor-reseptornya dapat diungkapkan.Selain itu mungkin patofisiologi serangan epileptik dapat melibatkan juga

    gangguan pada saluran ion (channelopathy) atau proses remodelling dari

    jaringan-jaringan (network) neuron-neuron tersebut, sebagai bagian dari

    proses biologi molekuler yang mendasari serangan epileptik tersebut.

    Dari hasil penelitian klinis dan juga dari binatang percobaan dapat

    disimpulkan bahwa proses epileptogenesis pada manusia bersifat kompleks

    dan multifaktorial serta dapat berlangsung dalam kurun waktu beberapa hari

    sampai beberapa tahun. Proses dapat dimulai oleh suatu Precipitative

    event. Melihat bahwa epilepsi merupakan suatu spektrum penyakit yang

    tidak homogen, tapi terdiri dari berbagai jenis, maka faktor-faktor presipitatif

    yang berperan pada masing-masing jenis mungkin berbeda. Faktor-faktor

    pencetus dapat bermacam-macam; trauma waktu kecil, antenatal hipoksia,

    radang terutama infeksi virus.

    Lado dan Mosche (2002) mengatakan bahwa peningkatan frekuensi

    kejang demam pada usia 1 sampai usia 5 tahun merupakan faktor risiko yang

    penting pada genesis epilepsi lobus temporalis.

    2.6 Mekanisme Dasar Epilepsi

    Epilepsi adalah penyakit paroksismal yang disebabkan karena cetusan

    listrik neuronal yang abnormal yang ditimbulkan oleh cetusan yang sinkron

    dari segolongan neuron (synchoronous discharge of neuronal network).

  • 5/20/2018 referat epilepsi

    9/21

    Universitas Muhammadiyah Jakarta | 9

    Dengan demikian epilepsi dapat disebabkan oleh letupan listrik karena

    gangguan membran dari neuron atau ketidakseimbangan antara pengaruh

    eksitatorik dan inhibitorik (Browne dan Holmes 1997). Peningkatan faktor

    eksitatorik dan menurunnya faktor inhibitorik ini akan mengakibatkan

    ketidakseimbangan aktivitas potensial listrik di tingkat neuronal.

    Berdasarkan penelitian klinis timbulnya kejang epileptik pada model

    percobaan binatang adalah didahului oleh depolarisasi membran sewaktu

    periode interiktal, yaitu membran sel neuron yang berdekatan dengan badan

    sel mengalami kenaikan potensial listrik sebesar 10-15 mV dengan masa

    depolarisasi yang relatif memanjang (100-200 msec) yang disertai dengan

    aktivitas gelombang-gelombang paku lambat. Pada keadaan depolarisasi yang

    panjang ini menimbulkan beberapa potensial aksi yang timbul pada akson,

    beriringan menjauhi badan sel. Depolarisasi yang cukup kuat ini disebut

    sebagai paroxysmal depolarization shift (PDS). Keadaan ini sesuai dengan

    patofisiologi epilepsi kronik pada manusia, dimana sering ditemukan

    gelombang-gelombang paku pada EEG pada periode interiktal.1

    Sesuai dengan mekanisme dasar epilepsi, PDS timbul akibat gangguan

    fungsi membran sel pada segolongan neuron atau karena input eksitatorik

    yang meningkat tajam atau sebaliknya, fungsi inhibitorik yang menurun tajam.

    Selama periode interiktal pada fokus tertentu diamati pada studi epilepsi

    eksperimental pada neokorteks kucing, melalui aplikasi penicillin secara fokal,

    terjadi proses depolarisasi yang berkepanjangan yang disertai letupan-letupan

    potensial aksi pada fase tonik, diikuti osilasi membran potensial dan letupan-

    letupan potensial aksi yang diselingi dengan silent periode yang khas untuk

    fase klonik. Silent periode ini menandakan hyperpolarisasi temporer yang

    memblok PDS.1

    Perubahan patofisiologi yang mendasari proses interiktal menjadi

    proses iktal dengan manifestasi kejang epilepsi tidak diketahui dengan pasti.

    Gangguan stabilitas membran sel neuron dan pengaruh dari neurotransmitter

    eksiatatorik atau inhibitorik. Perubahan ini tidak terjadi hanya pada satu

    neuron saja tapi melibatkan neuron yang lebih jauh jaraknya melalui

    mekanisme sinaps hingga timbullah aktivitas epilepsi pada segolongan neuron

  • 5/20/2018 referat epilepsi

    10/21

    Universitas Muhammadiyah Jakarta | 10

    (neuronal network) atau kemudian menyebar ke seluruh permukaan kortek

    melalui serabut talamokortikal.1

    Sebagaimana proses epilepsi dari saat interiktal menjadi proses iktal

    yang masih belum jelas semikian juga pada proses berhentinya suatu aktivitas

    epilepsi. Kejang akan berhenti sendiri sesuai dengan aktivitas yang meningkat

    dari proses inibisi serta bokade depolarisasi yang ditandai dengan supresi

    aktivitas EEG postiktal.1

    2.7 Patogenesis kejang umum

    Pada epilepsi bangkitan kejang umum, kenaikan depalorisasi membran

    berasal dari neuron neuron yang berada di daerah garis tengah otak. Secara

    bersamaan dan dalam waktu yang singkat keadaan depolarisasi yang panjang

    ini akan menimbulkan beberapa potensial aksi yang timbul pada akson,

    beriringan menjauhi badan sel dan menyebar ke seluruh bagian korteks

    lainnya.4

    Patogenesis kejang umum.4

    Kejang umum ini terbagi menjadi :

    - Kejang umum tonik klonik

    Pada jenis bangkitan ini terjadi gangguan kesadaran dan terjadi

    kekakuan pada dada dan tungkai (fase tonik), pada fase ini sering disertai

    dengan adanya suara yang keras akibat dorongan kuat dari udara yang

    melewati pita suara (epilepsi cry). Fase tonik ini akan diikuti gerakan berulang

    pada seluruh otot (fase klonik). Pada fase postiktal, kebanyakan pasien akanmerasa lelah, letargi dan bingung bahkan sampai tertidur. Pada beberapa

  • 5/20/2018 referat epilepsi

    11/21

    Universitas Muhammadiyah Jakarta | 11

    pasien sering terdapat gejala sindrom epilepsi yang muncul sebelum terjadinya

    bangkitan. Gejala gejala tersebut dapat berupa rasa cemas, mudah tersinggung,

    penurunan konsentrasi, sakit kepala, atau perasaan yang tidak nyaman.3

    Penurunan kesadaran yang terjadi pada fase post iktal ini diperkirakan

    karena peningkatan metabolisme otak pada fase iktal. Metabolisme yang

    meningkat ini membutuhkan oksigen yang tinggi dan tidak mampu dipenuhi

    oleh sistem respirasi sehingga terjadi penimbunan laktat dan asam piruvat

    pada bangkitan yang lama dan menimbulkan keadaan hipoksik pada otak.4

    1. Bangkitan Lena

    Pada bangkitan lena (petit mal seizure) terjadi kehilangan kesadaran

    dalam waktu yang singkat dan terjadi penghentian gerakan dan seluruh

    aktivitas. Bangkitan lena ini terjadi secara tiba-tiba tanpa adanya periode

    postiktal. Pada bangkitan lena ini sering juga dijumpai kejang mioklonik pada

    mata dan otot muka, beberapa tonus otot yang hilang serta automatisme. Jika

    fase awal dan akhir dari bangkitan ini tidak dapat dibedakan atau pada saat

    fase kejang terdapat kejang tonik serta gejala otonom, maka digunakan

    terminology kejang atipikal. Kejang atipikal ini biasanya terjadi pada anak

    dengan retradasi mental seperti sindrom Lennox-Gastaut.3

    2. Bangkitan umum klonik

    Bangkitan umum klonik ini ditandai dengan adanya gerakan berulang

    pada otot, dapat bilateral ataupun unilateral. Gerakan otot ini juga dapat terjadi

    sinkron ataupun asinkron. Kejang mioklonik ini dapat bervariasi mulai dari

    gerakan kecil pada otot muka, lengan atau tungkai sampai gerakan masif

    bilateral pada kepala, extremitas dan dada.3

    3. Bangkitan umum atonik

    Pada bangkitan atonik ini ditandai dengan hilangnya tonus otot yang

    terjadi secara tiba-tiba Karena hilangnya seluruh tonus otot, para penderita

    akan jatuh sehingga sering terjadi cedera.3

    2.8 Patogenesis kejang parsial

    Pada kejang parsial ini cetusan listrik yang abnormal berasal dari area tertentu

    pada korteks.4

  • 5/20/2018 referat epilepsi

    12/21

    Universitas Muhammadiyah Jakarta | 12

    Patogenesis kejang parsial.4

    Secara experimental telah dipastikan bahwa timbulnnya fokus epilepsi

    disebabkan oleh proses kindling yaitu akibat dari stimulus yang subkonvusif

    pada beberapa struktur otak dan menyebabkan struktur tersebut menjadi

    bersifat elektroensefalografi seizure yang berarti sel neuron yang tadinya

    normal menjadi bersifat epilepsi dan jika terus menerus dilakukan

    perangsangan berulang akan menimbulkan kejang.

    Pada bangkitan parsial yang menjadi kejang umum sekunder, kejang

    fokal ditimbulkan dari cetusan listrik berasal dari dari satu area dari korteks

    lalu menyebar ke seluruh korteks serebri yang menghasilkan kejang tonik

    klonik.

    Fenomena yang terjadi pada kejang parsial kompleks tergantung dari

    lokasi lesi epileptogenic, gejala yang sangat jelas terlihat terjadi apabila lesi

    yang mengalami gangguan adalah gyrus presentral. Gangguan yang mungkin

    terjadi jika lesi epileptogenik berada di daerah gyrus presentral dapat berupa

    kejang motorik fokal, yang terjadi pada wajah dan tungkai kontralateral dari

    lesi serta kejang sensori fokal berupa perasaan tidak menyenangkan, nyeri

    ringan samapai rasa panas pada wajah dan extremitas kontralateral dari lesi.

    Pada lesi epileptogenik yang terjadi pada lobus frontal dapat menimbulkan

    kejang pada mata, kepala dan leher kontralateral serta gerakan fleksi dan

    ekstensi pada bahu. Lesi epiletogenik yang terjadi di daerah temporal dapat

  • 5/20/2018 referat epilepsi

    13/21

    Universitas Muhammadiyah Jakarta | 13

    menimbulkan gangguan pada fungsi lobus temporal seperti memori, daya

    pembau dan mengecap.4

    2.9 Diagnosis

    Diagnosis epilepsi ditegakkan atas dasar adanya gejala dan tanda klinik dalam

    bentuk bangkitan epilepsi berulang (minimum 2 kali) yang ditunjang oleh

    gambaran epileptiform pada EEG. Secara lengkap urutan pemeriksaan untuk

    menuju ke diagnosis adalah sebagai berikut: 2

    1. Anamnesis (auto dan alo-anamnesis)

    a.

    Pola/bentuk bangkitan

    b. Lama bangkitan

    c. Gejala sebelum, selama, dan pasca bangkitan

    d. Frekuensi bangkitan

    e. Faktor pencetus

    f. Ada/tidak adanya penyakit lain yang diderita sekarang

    g.

    Usia pada saat terjadinya bangkitan pertama

    h. Riwayat pada saat dalam kandungan, persalinan/kelahiran dan

    perkembangan bayi/anak

    i.

    Riwayat terapi epilepsi sebelumnya

    j. Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga

    2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologik

    Hal-hal yang perlu diperiksa antara lain adanya tanda-tanda dari

    gangguan yang berhubungan dengan epilepsi, misalnya trauma kepala,

    infeksi telinga atau sinus, gangguan kongenital, gangguan neurologik

    fokal atau difus, kecanduan alcohol atau obat terlarang, dan kanker.

  • 5/20/2018 referat epilepsi

    14/21

    Universitas Muhammadiyah Jakarta | 14

    3. Pemeriksaan penunjang dilakukan sesuai dengan bukti-bukti klinik

    dan/atau indikasi, serta bila keadaan memungkinkan untuk

    pemeriksaan penunjang.

    a. Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG)

    Rekaman EEG sebaiknya dilakukan pada saat bangun, tidur,

    dengan stimulasi fotik, hiperventilasi, stimulasi tertentu sesuai

    pencetus bangkitan (pada epilepsi reflex). Bila EEG pertama

    menunjukkan hasil normal sedangkan persangkaan epilepsi sangat

    tinggi, maka dapat dilakukan EEG ulangan dalam 24-48 jam

    setelah bangkitan atau dilakukan dengan persyaratan khusus.

    Indikasi pemeriksaan EEG:

    - Membantu menegakkan diagnosis epilepsi

    - Menentukan prognosis pada kasus tertentu

    - Pertimbangan dalam penghentian obat anti epilepsi

    - Membantu dalam menentukan letak fokus

    - Bila ada perubahan bentuk bangkitan (berbeda dengan

    bangkitan sebelumnya)

    b.

    Pemeriksaan pencitraan otak

    Indikasi:

    - Semua kasus bangkitan pertama yang diduga ada kelainan

    struktural

    - Adanya perubahan bentuk bangkitan

    - Terdapat defisit neurologik fokal

    -

    Epilepsi dengan bangkitan parsial- Bangkitan pertama di atas usia 25 tahun

    - Untuk persiapan tindakan pembedahan

    Magnetic Resonance Imaging (MRI) merupakan prosedur

    pencitraan pilihan untuk epilepsi dengan sensitivitas tinggi dan

    lebih spesifik dibanding dengan Computed Tomography Scan(CT-

    scan). MRI dapat mendeteksi sklerosis hipokampus, disgenesis

    kortikal, tumor dan hemangioma kavernosa. Pemeriksaan MRI

  • 5/20/2018 referat epilepsi

    15/21

    Universitas Muhammadiyah Jakarta | 15

    diindikasikan untuk epilepsi yang sangat mungkin memerlukan

    terapi pembedahan.

    c. Pemeriksaan laboratorium

    -

    Pemeriksaan darah, meliputi hemoglobin, leukosit, hematokrit,

    trombosit, apus darah tepi, elektrolit (natrium, kalium, kalsium,

    magnesium), kadar gula, fungsi hati (SGOT, SGPT, gamma

    GT, alkali fosfatase), ureum, kreatinin, dan lain-lain atas

    indikasi.

    - Pemeriksaan cairan serebrospinal, bila dicurigai adanya infeksi

    SSP.

    -

    Pemeriksaan lain dilakukan atas indikasi misalnya ada kelainan

    metabolik bawaan.

    2.10 Diagnosis Banding

    Diagnosis banding pada kasus epilepsi ini dibedakan berdasarkan umur

    penderita.

    1. Pada neonatus dan bayi

    a.

    Jittering

    b.

    Apneic spell

    2. Pada anak

    a. breth holding spells

    b. sinkope

    c. Migren

    d.

    Bangkitan psikogenik/konversi

    e. Prolonged QT syndrome

    f.

    Night terror

    g.

    Tic

    h. Hypersianotic attack

    3.

    Pada dewasa

    a. Sinkope

    b. Serangan iskemik sepintas

    c. Vertigo

    d.

    Transient global amnesia

  • 5/20/2018 referat epilepsi

    16/21

    Universitas Muhammadiyah Jakarta | 16

    e. Narkolepsi

    f. Bangkitan panic, psikogenik

    g. Sindrom Menier

    h.

    Tics

    2.11 Tatalaksana

    Tujuan utama terapi epilepsi adalah tercapainya kualitas hidup optimal untuk

    pasien, sesuai dengan perjalanan penyakit epilepsi dan disabilitas fisik maupun

    mental yang dimilikinya. Prinsip terapi farmakologi:2

    1. OAE mulai diberikan bila:

    a.

    Diagnosis epilepsi telah ditentukanb. Setelah pasien atau keluarganya menerima penjelasan tujuan

    pengobatan

    c. Pasien dan keluarganya telah diberitahu tentang kemungkinan

    efek samping yang timbul

    1. Terapi dimulai dengan monoterapi, menggunakan OAE pilihan

    sesuai dengan jenis bangkitan dan sindrom epilepsi.

    2. Pemberian obat dimulai dengan dosis rendah dan dinaikkan

    bertahap sampai dosis efektif tercapai atau timbul efek samping,

    kadar obat plasma ditentukan bila bangkitan tidak terkontrol

    dengan dosis efektif.

    3. Bila dengan penggunaan dosis maksimum obat pertama tidak dapat

    mengontrol bangkitan, maka perlu ditambahkan OAE kedua. Bila

    OAE telah mencapai kadar terapi, maka OAE pertama diturunkan

    bertahap perlahan-lahan

    4. Penambahan obat ketiga baru dilakukan setelah terbukti bangkitan

    tidak dapat diatasi dengan penggunaan dosis maksimal kedua OAE

    pertama.

  • 5/20/2018 referat epilepsi

    17/21

    Universitas Muhammadiyah Jakarta | 17

    Pemilihan OAE didasarkan atas jenis bangkitan epilepsi, efek samping OAE,

    interaksi antarobat epilepsi.2

    Pemilihan OAE berdasarkan jenis bangkitan2

    Jenis

    Bangkitan

    OAE Lini

    Pertama

    OAE Lini

    Kedua

    OAE Lain yang

    dapat

    dipertimbangkan

    OAE yang

    sebaiknya

    dihindari

    Bangkitan

    umum tonik

    klonik

    Sodium

    Valproate

    Lamotrigine

    Topiramate

    Carbamazepine

    Clobazam

    Levetiracetam

    Oxcarbazepine

    Clonazepam

    Phenobarbital

    Phenytoin

    Acetazolamide

    Bangkitan

    lena

    Sodium

    Valproate

    Lamotrigine

    Clobazam

    Topiramate

    Carbamazepine

    Gabapentin

    Oxcarbazepine

    Bangkitan

    mioklonik

    Sodium

    Valproate

    Topiramate

    Clobazam

    Topiramate

    Levetiracetam

    Lamotrigine

    Piracetam

    Carbamazepine

    Gabapentin

    Oxcarbazepine

    Bangkitan

    tonik

    Sodium

    Valproate

    Lamotrigine

    Clobazam

    Levetiracetam

    Topiramate

    Phenobarbital

    Phenytoin

    Carbamazepine

    Oxcarbazepine

    Bangkitan

    atonik

    Sodium

    Valproate

    Lamotrigine

    Clobazam

    Levetiracetam

    Topiramate

    Phenobarbital

    Acetazolamide

    Carbamazepine

    Oxcarbazepine

    Phenytoin

    Bangkitan

    fokal

    dengan/tanpa

    umum

    sekunder

    Carbamazepine

    Oxcarbazepine

    Sodium

    Valproate

    Clobazam

    Gabapentin

    Levetiracetam

    Clonazepam

    Phenobarbital

    Acetazolamide

  • 5/20/2018 referat epilepsi

    18/21

    Universitas Muhammadiyah Jakarta | 18

    Topiramate

    Lamotrigine

    Phenytoin

    Tiagabine

    Dosis obat anti epilepsi untuk orang dewasa2

    Obat Dosis

    Awal

    (mg/hari)

    Dosis

    Rumatan

    (mg/hari)

    Jumlah

    Dosis

    Per

    Hari

    Waktu

    Paruh

    Plasma

    (Jam)

    Waktu

    Tercapainy

    Steady

    State

    (Hari)

    Carbamazepine 400-600 400-1600 2-3x 15-35 2-7

    Phenytoin 200-300 200-400 1-2x 10-80 3-15

    Asam valproat 500-1000 500-2500 2-3x 12-18 2-4

    Phenobarbital 50-100 50-200 1 50-170

    Clonazepam 1 4 1 atau 2 20-60 2-10

    Clobazam 10 10-30 2-3x 10-30 2-6

    Oxcarbazepine 600-900 600-3000 2-3x 8-15

    Levatiracetam 1000-

    2000

    1000-

    3000

    2x 6-8 2

    Topiramate 100 100-400 2x 20-30 2-5

    Gabapentin 900-1800 900-3600 2-3x 5-7 2

    Lamotrigine 50-100 20-200 1-2x 15-35 2-6

    Efek samping obat anti epilepsi klasik:2

    Obat Efek Samping

    Terkait Dosis Idiosinkrasi

    Carbamazepine Diplopia, dizziness, nyeri

    kepala, mual, mengantuk,

    netropenia, hiponatremia

    Ruam morbiliform,

    agranulositosis, anemia

    aplastik, hepatotoksik, SSJ,

    teratogenik

  • 5/20/2018 referat epilepsi

    19/21

    Universitas Muhammadiyah Jakarta | 19

    Phenytoin Nistagmus, ataksia, mual,

    muntah, hipertropi gusi,

    depresi, mengantuk,

    paradoxical increase in

    seizure, anemiamegaloblastik

    Jerawat, coarse facies,

    hirsutism, lupus like

    syndrome, ruam, SSJ,

    Dupuytrens contracture,

    hepatotoksik, teratogenik

    Asam valproat Tremor, berat badan naik,

    dyspepsia, mual, muntah,

    kebotakan, teratogenik

    Pankreatitis akut,

    hepatotoksik,

    trombositopenia,

    ensefalopati, udem perifer

    Phenobarbital Kelelahan, restlegless,

    depresi, insomnia (anak),

    distracatibility (anak),hiperkinesia (anak),

    irritability (anak)

    Ruam makulopapular,

    eksfoliasi, NET,

    hepatotoksik, arthriticchanges, Dupuytrens

    contracture, teratogenik

    Clonazepam Kelelahan, sedasi,

    mengantuk, dizziness,

    agresi (anak), hiperkinesia

    (anak)

    Ruam, trombositopenia

    Untuk menghentikan pemberian OAE pada penderita yang sudah lama

    mengkonsumsi OAE ada beberapa syarat yang harus dipenuhi.2

    1.Syarat umum untuk menghentikan pemberian OAE adalah sebagai berikut:

    a. Penghentian OAE dapat didiskusikan dengan pasien atau keluarganya

    setelah bebas bangkitan selama minimal 2 tahun

    b. Gambaran EEG normal

    c.

    Harus dilakukan secara bertahap, umumnya 25% dosis semula, setiapbulan dalam jangka waktu 3-6 bulan.

    d. Penghentian dimulai dari satu OAE yang bukan utama.

    2.

    Kekambuhan setelah penghentian OAE lebih besar kemungkinannya pada

    keadaan sebagai berikut:

    a. Semakin tua usia

    b.

    Epilepsi simtomatik

    c. Gambaran EEG abnormal

    d. Semakin lama adanya bangkitan sebelum dapat dikendalikan

  • 5/20/2018 referat epilepsi

    20/21

    Universitas Muhammadiyah Jakarta | 20

    e. Tergantung bentuk sindrom epilepsi yang diderita

    f. Penggunaan lebih dari satu OAE

    g.

    Masih mendapatkan satu atau lebih bangkitan setelah memulai terapi

    h. Mendapat terapi 10 tahun atau lebih

    3.Kemungkinan untuk kambuh lebih kecil pada pasien yang telah bebas dari

    bangkitan selama 3-5 tahun, atau lebih dari 5 tahun. Bila bangkitan timbul

    kembali maka gunakan dosis efektif terakhir (sebelum pengurangan dosis

    OAE), kemudian dievaluasi kembali.

  • 5/20/2018 referat epilepsi

    21/21

    Universitas Muhammadiyah Jakarta | 21

    DAFTAR PUSTAKA

    1. Lumbantobing SM. Epilepsi (ayan). Edisi ke-5. Jakarta: Balai Penerbit

    Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006; p.1-3.

    2. Harsono, Kustiowati E, Gunadharma S, editors. Pedoman tatalaksana

    epilepsi. Edisi ke-3. Jakarta: Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia,

    2008; p.1-48.

    3. Ginsberg L. Lecture notes neurologi. Edisi ke-8. Jakarta: Penerbit Erlangga,

    2005; p.79-88.

    4. Bazil CW, Morrell MJ, Pedley TA. Epilepsy. In : Rowland LP, editor.

    Merritts neurology. 11th ed. New York : Lippincott Williams&Wilkins, 2005.

    5. Misbach J. Patofisiologi epilepsi. Dalam: Simposium updates in epilepsy.

    14 Desember 2002. Jakarta.

    6. https://tspace.library.utoronto.ca/bitstream/1807/6933/1/jp06020.pdf