46
REFERAT KEPANITERAAN ILMU GERIATRI OSTEOPOROSIS Penyusun : Muhammad Faisal Al Mustafa 406148123 KEPANITERAAN ILMU GERIATRI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TARUMANAGARA PANTI WERDHA HANA, CIPUTAT 27 JULI – 29 AGUSTUS 2015

Referat Geriatri Osteoporosis b 333

  • Upload
    diki

  • View
    40

  • Download
    5

Embed Size (px)

DESCRIPTION

memahami pemeriksaan tulang

Citation preview

Page 1: Referat Geriatri Osteoporosis b 333

REFERAT

KEPANITERAAN ILMU GERIATRI

OSTEOPOROSIS

Penyusun :

Muhammad Faisal Al Mustafa

406148123

KEPANITERAAN ILMU GERIATRI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TARUMANAGARA

PANTI WERDHA HANA, CIPUTAT

27 JULI – 29 AGUSTUS 2015

Page 2: Referat Geriatri Osteoporosis b 333

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Osteoporosis merupakan penyakit metabolisme tulang yang ditandai pengurangan

massa tulang, kemunduran mikroarsitektur tulang dan fragilitas tulang yang meningkat,

sehingga resiko fraktur menjadi lebih besar (Kaniawati, 2003; Hammett, 2004; Sennang,

2006).

Para ahli tulang Indonesia sepakat bahwa dengan meningkatnya harapan hidup

rakyat Indonesia penyakit kerapuhan tulang akan sering dijumpai. Sejak tahun 1990

sampai 2025 akan terjadi kenaikan jumlah penduduk Indonesia sampai 41,4% dan

osteoporosis selalu menyertai usia lanjut baik perempuan maupun laki-laki, meskipun

diupayakan pengobatan untuk mengobati osteoporosis yang sudah terlambat dan upaya

pencegahan dengan mempertahankan massa tulang sepanjang hidup jauh lebih

dianjurkan (Djokomoeljanto, 2003).

Kerapuhan tulang yang disebut sebagai penyakit osteoporosis adalah pengurangan

massa dan kekuatan tulang dengan kerusakan mikroarsitektur dan fragilitas tulang,

sehingga menyebabkan tulang rapuh dan mudah patah. Osteopenia menunjukkan bahwa

telah terjadi penurunan volume tulang (Djokomoeljanto, 2003; Hammett, 2004;

Setyohadi, 2006).

Insiden osteoporosis lebih tinggi pada wanita dibandingkan laki-laki dan

merupakan problema pada wanita pascamenopause. Osteoporosis di klinik menjadi

penting karena problema fraktur tulang, baik fraktur yang disertai trauma yang jelas

maupun fraktur yang terjadi tanpa disertai trauma yang jelas.

Page 3: Referat Geriatri Osteoporosis b 333

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Definisi

Osteoporosis adalah gangguan sistem skeletal didefinisikan

sebagai tingkat kekuatan tulang di bawah normal akibat berkurangnya kepadatan tulang

secara progresif  yang menyebabkan tulang menjadi rapuh dan mudah patah. WHO

mendefinisikan osteoporosis sebagai penurunan kepadatan tulang sebesar 2,5 standar

deviasi (SD) di bawah rata-rata untuk orang dewasa muda yang sehat dari gender yang

sama dan juga dilihat dari T-skor -2,5 (Fauci et al, 2008).

II. 2 Etiologi dan Faktor Resiko

Osteoporosis dibagi menjadi dua yaitu osteoposrosis primer dan osteoporosis

sekunder. Osteoporosis primer disebabkan oleh reduksi estrogen yang terjadi dalam

tubuh wanita setelah menopause atau terkait usia dalam perubahan laju pembentukan

tulang yang terjadi baik wanita maupun pria akibat penuaan. Sedangkan osteoporosis

sekunder disebabkan oleh kondisi dan peawatan tertentu seperti induksi akibat obat.

Obat yang dapat menginduksi osteoporosis yaitu:

1. Glukokortikoid

Kortikosteroid sangat banyak digunakan untuk mengatasi berbagai penyakit,

terutama penyakit otoimun. Obat ini mempunyai banyak efek samping, salah satunya

adalah menyebabkan kehilangan massa tulang yang ireversibel, bila digunakan dalam

dosis yang tinggi dan jangka panjang. Efek kortikosteroid pada tulang trabekular jauh

lebih besar daripada efeknya pada tulang kortikal, dan kehilangan massa tulang yang

tercepat sampai terjadi fraktur pada umumnya terjadi pada vertebra, iga dan ujung

tulang panjang. Kehilangan massa tulang tercepat terjadi pada tahun pertama

penggunaan steroid yang dapat mencapai 20% dalam 1 tahun. Insidens fraktur akibat

osteoporosis pada pengguna steroid tidak diketahui secara pasti. Selain itu, penggunaan

Page 4: Referat Geriatri Osteoporosis b 333

steroid dosis rendah termasuk inhalasi juga dapat menyebabkan osteoporosis. Dari

berbagai penelitian, diketahui bahwa penggunaan prednison lebih dari 7,5 mg/hari akan

menyebabkan osteoporosis pada banyak penderita.

Efek glukokortikoid pada tulang meliputi :

a. Histomorfometri

Secara histomorfometri, glukokortikoid akan mengakibatkan penurunan tebal

dinding tulang trabekular, penurunan mineralisasi, peningkatan berbagai parameter

resorpsi tulang, depresi pengerahan osteoblas dan penekanan fungsi osteoblas.

b. Efek pada osteoblas dan formasi tulang

Penggunaan glukokortikoid dosis tinggi dan terus menerus akan mengganggu

sintesis osteoblas dan kolagen. Replikasi sel akan mulai dihambat setelah 48 jam

paparan dengan glukokortikoid. Selain itu juga terjadi penghambatan sintesis

osteokalsin oleh osteoblas.

c. Efek pada resorpsi tulang

In vitro, glukokortikoid menghambat diferensiasi osteoblas dan resorpsi tulang

pada kultur organ. Efek peningkatan resorpsi tulang pada pemberian glukokortikoid in

vivo, berhubungan dengan hiperparatiroidisme sekunder akibat penghambatan absorpsi

kalsium di usus oleh glukokortikoid.

d. Efek pada hormon seks

Glukokortikoid menghambat sekresi gonadotropin oleh hipofisis, estrogen oleh

ovarium dan testosteron oleh testes. Hal ini akan memperberat kehilangan massa tulang

pada pemberian steroid.

e. Absorpsi kalsium di usus dan ekskresi kalsium di ginjal

Penggunaan glukokortikoid dosis farmakologik akan mengganggu transport aktif

transelular kalsium. Mekanisme yang pasti tidak diketahui dan tidak berhubungan

Page 5: Referat Geriatri Osteoporosis b 333

dengan vitamin D. Gan asupan natrium yang tinggi dan akan menurun dengan

pembatasan asupan natrium dan pemberian diuretik tiazid.

f. Efek pada metabolisme hormon paratiroid dan vitamin D

Kadar PTH dan 1,25 dihidroksivitamin D (1,25 (OH)2D) dalam serum meningkat

pada pengguna glukokortikoid, walaupun kadar kalsium serum tinggi. Hal ini diduga

berhubungan dengan perubahan reseptor kalsium sel yang mengubah transport kalsium.

Glukokortikoid meningkatkan sensitivitas osteoblas terhadap PTH, meningkatkan

reseorpsi tulang dan menghambat formasi tulang. Glukokortikoid akan menghambat

produksi IL-1 dan IL-6 limfosit-T. Pada penderita artritis reumatoid, pemberian

glukokortikoid akan menurunkan aktifitas peradangan sehingga penurunan massa

tulang juga dihambat. Walaupun demikian, para ahli masih berbeda pendapat, apakah

hal ini merupakan efek glukokortikoid pada tulang atau ada faktor-faktor lainnya.

g. Osteonekrosis

Osteonekrosis (nekrosis aseptik, nekrosis avaskular), merupakan efek lain

glukokortikoid pada tulang. Bagian tulang yang sering terserang adalah kaput femoris,

kaput humeri dan distal femur. Mekanismenya belum jelas, diduga akibat emboli lemak

dan peningkatan tekanan intraoseus.

2. Antikonvulsan

Obat antikonvulsan dapat memicu kehilangan densitas tulang dan fraktur.

3. Tiroksin berlebih

Tiroksin adalah hormon yang dilepaskan oleh kelenjar tiroid. Hormon ini

berperan dalam metabolisme tubuh. Apabila hormon ini meningkat jumlahnya di dalam

tubuh, maka proses metabolism akan semakin aktif, akibatnya metabolism kalsium juga

akan semakin cepat sehingga kalsium akan lebih banyak diekresikan melalui urin dan

Page 6: Referat Geriatri Osteoporosis b 333

tinja. Banyaknya ekskresi kalsium akan menyebabkan tulang kehilangan banyak

kalsium sehingga tulang mudah keropos dan menimbulkan osteoporosis.

4. Siklosporin

Pasien yang menjalani transplantasi memungkinkan memliki resiko yang tinggi

kehilangan kepadatan tulang dengan cepat dan patah tulang, tidak hanya glukokortikoid

tetapi juga dari perawatan dengan imunosupresan seperti siklosporin dan takrolimus.

Selain itu, pasien sering mengalami abnormalitas metabolik seperti gagal ginjal dan hati

yang cenderung mempengaruhi pengurangan massa tulang.

5. Obat sitotoksik

Obat sitotoksik digunakan dalam berbagai variasi stage dari perawatan kanker

payudara dan juga memperlihatkan efek merusak pada massa tulang dan resiko patah

tulang.

6. Aromatase inhibitor

Obat ini berpotensi memblok enzim aromatase yang mengonversi androgen dan

precursor adrenal lainnya menjadi estrogen sehingga menyebabkan penurunan tingkat

peredaran estrogen postmenopause secara dramatis. (Fauci et al, 2008).

Faktor resiko yang menyebabkan osteoporosis yaitu:

Defisiensi estrogen

Osteoporosis postmenopausal terjadi karena kekurangan estrogen (hormon utama

pada wanita), yang membantu mengatur pengangkutan kalsium ke dalam tulang pada

wanita. Biasanya gejala timbul pada wanita yang berusia di antara 51-75 tahun, tetapi

bisa mulai muncul lebih cepat ataupun lebih lambat. Tidak semua wanita memiliki

risiko yang sama untuk menderita osteoporosis postmenopausal, wanita kulit putih dan

daerah timur lebih mudah menderita penyakit ini daripada wanita kulit hitam.

Page 7: Referat Geriatri Osteoporosis b 333

Defisiensi estrogen mungkin menyebabkan kehilangan massa tulang dengan dua

mekanisme yang berbeda tetapi saling terkait yaitu, pertama aktivasi sisi remodeling

tulang baru dan yang kedua, ketidakseimbangan antara pembentukan tulang dan

resorpsi tulang. Perubahan dalam frekuensi aktivasi menyebabkan kehilangan massa

tulang sementara waktu sampai keadaan stabil antara resorpsi dan pembentukan

tercapai. Ketidakseimbangan remodeling menghasilkan kerusakan permanen pada

massa tulang. Selain itu keberadaan sisi remodeling yang lebih banyak pada skeleton

meningkatkan kemungkinan trabekula berpenetrasi sehingga menghilangkan template

pada saat tulang baru dibentuk dan mempercepat kehilangan jaringan tulang. Sel

sumsum (makrofag, monosit, precursor osteoklas, sel mast) sama halnya dengan sel

tulang (osteoblas, osteosit, osteoklas) mengekspresikan ERs α dan β. Hilangnya

estrogen meningkatkan produksi RANKL dan mungkin mengurangi produksi

osteoprogerin, meningkatkan rekrutmen osteoklas. Estrogen juga berperan penting

menentukan lama hidup sel tulang dengan mengontrol laju apoptosis. Dalam situasi

kekurangan estrogen, waktu hidup osteoblas berkurang, sebaliknya umur dan aktivitas

osteoklas meningkat. Patah tulang terjadi di awal pada sisi dimana tulang trabekular

paling berkontribusi pada kekuatan tulang. Konsekuensi akibat defisiensi estrogen yaitu

patah tulang vertebral. Defisiensi estrogen dapat terjadi pada wanita menopause.

Usia

Seiring dengan pertambahan usia, fungsi organ tubuh justru menurun. Pada usia

75-85 tahun, wanita memiliki risiko 2 kali lipat dibandingkan pria dalam mengalami

kehilangan tulang trabekular karena proses penuaan, penyerapan kalsium menurun dan

fungsi hormon paratiroid meningkat.

Penggunaan kalsium rendah

Page 8: Referat Geriatri Osteoporosis b 333

Puncak massa tulang mungkin kurang oleh terganggunya asupan kalsium selama

masa pertumbuhan diantara nutrisi lainnya, selanjutnya mengarah pada peningkatan

resiko osteoporosis. Selama fase dewasa, kekurangan kalsium berkontribusi pada

hipertiroid relatif sekunder dan peningkatan laju remodeling tulang untuk

mempertahankan tingkat serum kalsium normal. Efek jangka panjang yaitu kerusakan

skeleton karena meningkatkan laju remodeling dan ketidakseimbangan yang

berlangsung antara resopsi dan benbentukan pada sisi remodeling yang meningkatkan

kecepatan hilangnya jaringan tulang.

Minuman berkafein dan Alkohol yang berlebihan

Minuman berkafein seperti kopi dan alkohol juga dapat menimbulkan tulang

keropos, rapuh dan rusak. Hal ini dipertegas oleh Dr.Robert Heany dan Dr. Karen

Rafferty dari creighton University Osteoporosis Research Centre di Nebraska yang

menemukan hubungan antara minuman berkafein dengan keroposnya tulang. Hasilnya

adalah bahwa air seni peminum kafein lebih banyak mengandung kalsium, dan kalsium

itu berasal dari proses pembentukan tulang. Selain itu kafein dan alkohol bersifat toksin

yang menghambat proses pembentukan massa tulang (osteoblas).

Riwayat patah tulang saat dewasa

Seseorang yang sudah mengalami patah tulang sebelumnya akan lebih mudah

tekena osteoporosis akibat tulang yang patah memungkinkan tingkat kekuatan tulang

akan melemah.

Gaya hidup yang kurang baik

Konsumsi daging merah dan minuman bersoda, karena keduanya mengandung

fosfor yang merangsang pembentukan horman parathyroid, penyebab pelepasan

kalsium dari dalam darah

Berat badan rendah

Page 9: Referat Geriatri Osteoporosis b 333

Perawakan kurus dan mungil memiliki bobot tubuh cenderung ringan misal

kurang dari 57 kg, padahal tulang akan giat membentuk sel asal ditekan oleh bobot

yang berat. Karena posisi tulang menyangga bobot maka tulang akan terangsang untuk

membentuk massa pada area tersebut, terutama pada derah pinggul dan panggul. Jika

bobot tubuh ringan maka massa tulang cenderung kurang terbentuk sempurna.

Keturunan osteoporosis

Jika ada anggota keluarga yang menderita osteoporosis, maka berhati-hatilah.

Osteoporosis menyerang penderita dengan karakteristik tulang tertentu. Seperti

kesamaan perawakan dan bentuk tulang tubuh. Itu artinya dalam garis keluarga pasti

punya struktur genetik tulang yang sama.

Merokok

Ternyata rokok dapat meningkatkan risiko penyakit osteoporosis. Perokok sangat

rentan terkena osteoporosis, karena zat nikotin di dalamnya mempercepat penyerapan

tulang. Selain penyerapan tulang, nikotin juga membuat kadar dan aktivitas hormon

estrogen dalam tubuh berkurang sehingga susunan-susunan sel tulang tidak kuat dalam

menghadapi proses pelapukan. Disamping itu, rokok juga membuat penghisapnya bisa

mengalami hipertensi, penyakit jantung, dan tersumbatnya aliran darah ke seluruh

tubuh. Kalau darah sudah tersumbat, maka proses pembentukan tulang sulit terjadi.

Jadi, nikotin jelas menyebabkan osteoporosis baik secara langsung tidak langsung.

Saat masih berusia muda, efek nikotin pada tulang memang tidak akan terasa

karena proses pembentuk tulang masih terus terjadi. Namun, saat melewati umur 35,

efek rokok pada tulang akan mulai terasa, karena proses pembentukan pada umur

tersebut sudah berhenti.

Kurangnya aktivitas fisik

Page 10: Referat Geriatri Osteoporosis b 333

Wanita yang malas bergerak atau olahraga akan terhambat proses osteoblasnya

(proses pembentukan massa tulang). Selain itu kepadatan massa tulang akan berkurang.

Semakin banyak gerak dan olahraga maka otot akan memacu tulang untuk membentuk

massa.

Ras atau suku

Ras juga membuat perbedaan dimana ras kulit putih atau keturunan asia memiliki

risiko terbesar. Hal ini disebabkan secara umum konsumsi kalsium wanita asia rendah.

Salah satu alasannya adalah sekitar 90% intoleransi laktosa dan menghindari produk

dari hewan. Pria dan wanita kulit hitam dan hispanik memiliki risiko yang signifikan

meskipun rendah.

Penyakit kronis

Variasi genetik dan penyakit dapatan diasosiasikan dengan peningkatan resiko

osteoporosis. Mekanisme yang berkontribusi pada kehilangan massa tulang unik untuk

setiap penyakit dan biasanya hasil dari beberapa faktor seperti nutrisi,kurangnya

aktivitas, dan faktor yang member efek pada laju remodeling tulang. Contoh penyakit

yang berasosiasi pada peningkatan resiko osteoporosis antara lain kelainan hematologi

(leukemia, hemofili, limpoma), hiperparatiroidisme, malnutrisi, insufisiensi adrenal,

dan lain-lain. (Fauci et al, 2008).

II.3 Klasifikasi Osteoporosis

1. Osteoporosis Primer

a. Osteoporosis primer tipe 1 adalah osteoporosis pasca menopause. Pada masa

menopause, fungsi ovarium menurun sehingga produksi hormon estrogen dan

progesteron juga menurun. Estrogen berperan dalam proses mineralisasi

tulang dan menghambat resorbsi tulang serta pembentukan osteoklas melalui

produksi sitokin. Ketika kadar hormon estrogen darah menurun, proses

Page 11: Referat Geriatri Osteoporosis b 333

pengeroposan tulang dan pembentukan mengalami ketidakseimbangan.

Pengeroposan tulang menjadilebihdominan (Wirakusumah, 2007).

b. Osteoporosis primer tipe II adalah osteoporosis senilis yang biasanya terjadi

lebih dari usia 50 tahun. Osteopososis terjadi akibat dari kekurangan kalsium

berhubungan dengan makin bertambahnya usia (Hortono, 2000).

c. Tipe III adalah osteoporosis idiopatik merupakan osteoporosis yang

penyebabnya tidak diketahui.Osteoporosis ini sering menyerang wanita dan

pria yang masih dalam usia muda yang relative jauh lebih muda (Hortono,

2000).

2. Osteoporosis sekunder

Osteoporosis sekunder terjadi kerana adanya penyakit tertentu yang dapat

mempengaruhi kepadatan massa tulang dan gaya hidup yang tidak sehat. Faktor

pencetus dominan osteoporosis sekunder adalah sepeti di bawa ( Wirakusumah, 2007)

:

a. Penyakit endokrin : tiroid, hiperparatiriod, hipogonadisme

b. Penyakit saluran cerna yang memyebabkan absorsi gizi kalsium.fosfor. vitamin D)

terganggu.

c. Penyakit keganasan ( kanker)

d. Konsumsi obat –obatan seprti kortikosteriod

e. Gaya hidup yang tidak sehat seperti merokok, kurang olahraga.

II.4. Patogenesis

-Pembentukan ulang tulang adalah suatu proses yang terus menerus. Pada

osteoporosis, massa tulang berkurang, yang menunjukkan bahwa laju resorpsi tulang

Page 12: Referat Geriatri Osteoporosis b 333

pasti melebihi laju pembentukan tulang. Pembentukan tulang lebih banyak terjadi

pada korteks

A. Proses Remodelling Tulang dan Homeostasis Kalsium

Kerangka tubuh manusia merupakan struktur tulang yang terdiri dari substansi

organik (30%) dan substansi mineral yang paling banyak terdiri dari kristal

hidroksiapatit (95%) serta sejumlah mineral lainnya (5%) seperti Mg, Na, K, F, Cl, Sr

dan Pb. Substansi organik terdiri dari sel tulang (2%) seperti osteoblas, osteosit dan

osteoklas dan matriks tulang (98%) terdiri dari kolagen tipe I (95%) dan protein

nonkolagen (5%) seperti osteokalsin, osteonektin, proteoglikan tulang, protein

morfogenik tulang, proteolipid tulang dan fosfoprotein tulang.

-Tanpa matriks tulang yang berfungsi sebagai perancah, proses mineralisasi

tulang tidak mungkin dapat berlangsung. Matriks tulang merupakan makromolekul

yang sangat bersifat anionik dan berperan penting dalam proses kalsifikasi dan fiksasi

kristal hidroksi apatit pada serabut kolagen. Matriks tulang tersusun sepanjang garis

dan beban mekanik sesuai dengan hukum Wolf, yaitu setiap perubahan fungsi tulang

akan diikuti oleh perubahan tertentu yang menetap pada arsitektur internal dan

penyesuaian eksternal sesuai dengan hukum matematika. Dengan kata lain, hukum

Wolf dapat diartikan sebagai “bentuk akan selalu mengikuti fungsi”.

B. Patogenesis Osteoporosis primer

Setelah menopause maka resorpsi tulang akan meningkat, terutama pada

dekade awal setelah menopause, sehingga insidens fraktur, terutama fraktur vertebra

dan radius distal meningkat. Estrogen juga berperan menurunkan produksi berbagai

sitokin oleh bone marrow stromal cells dan sel-sel mononuklear, seperti IL-1, IL-6

dan TNF-α yang berperan meningkatkan kerja osteoklas, dengan demikian penurunan

kadar estrogen akibat menopause akan meningkatkan produksi berbagai sitokin

tersebut sehingga aktivitas osteoklas meningkat.

Page 13: Referat Geriatri Osteoporosis b 333

Untuk mengatasi keseimbangan negatif kalsium akibat menopause, maka

kadar PTH akan meningkat pada wanita menopause, sehingga osteoporosis akan

semakin berat. Pada menopause, kadangkala didapatkan peningkatan kadar kalsium

serum, dan hal ini disebabkan oleh menurunnya volume plasma, meningkatnya kadar

albumin dan bikarbonat, sehingga meningkatkan kadar kalsium yang terikat albumin

dan juga kadar kalsium dalam bentuk garam kompleks. Peningkatan bikarbonat pada

menopause terjadi akibat penurunan rangsang respirasi, sehingga terjadi relatif

asidosis respiratorik.

C. Patogenesis Osteoporosis Sekunder

Selama hidupnya seorang wanita akan kehilangan tulang spinalnya sebesar

42% dan kehilangan tulang femurnya sebesar 58%. Pada dekade ke-8 dan 9

kehidupannya, terjadi ketidakseimbangan remodeling tulang, dimana resorpsi tulang

meningkat, sedangkan formasi tulang tidak berubah atau menurun. Hal ini akan

menyebabkan kehilangan massa tulang, perubahan mikroarsitektur tulang dan

peningkatan resiko fraktur.

Defisiensi kalsium dan vitamin D juga sering didapatkan pada orang tua. Hal

ini disebabkan oleh asupan kalsium dan vitamin D yang kurang, anoreksia,

malabsorpsi dan paparan sinar matahari yang rendah. Defisiensi vitamin K juga akan

menyebabkan osteoporosis karena akan meningkatkan karboksilasi protein tulang

misalnya osteokalsin. Penurunan kadar estradiol dibawah 40 pMol/L pada laki-laki

akan menyebabkan osteoporosis, karena laki-laki tidak pernah mengalami menopause

(penurunan kadar estrogen yang mendadak), maka kehilangan massa tulang yang

besar seperti pada wanita tidak pernah terjadi. Dengan bertambahnya usia, kadar

testosteron pada laki-laki akan menurun sedangkan kadar Sex Hormone Binding

Globulin (SHBG) akan meningkat. Peningkatan SHBG akan meningkatkan

pengikatan estrogen dan testosteron membentuk kompleks yang inaktif.

Faktor lain yang juga ikut berperan terhadap kehilangan massa tulang pada

orang tua adalah faktor genetik dan lingkungan (merokok, alkohol, obat-obatan,

imobilisasi lama). Resiko fraktur yang juga harus diperhatikan adalah resiko terjatuh

yang lebih tinggi pada orang tua dibandingkan orang yang lebih muda. Hal ini

Page 14: Referat Geriatri Osteoporosis b 333

berhubungan dengan penurunan kekuatan otot, gangguan keseimbangan dan stabilitas

postural, gangguan penglihatan, lantai yang licin atau tidak rata,

II.5. Gambaran Klinis

Osteoporosis dapat berjalan lambat selama beberapa dekade, hal ini

disebabkan karena osteoporosis tidak menyebabkan gejala fraktur tulang. Beberapa

fraktur osteoporosis dapat terdeteksi hingga beberapa tahun kemudian. Tanda klinis

utama dari osteoporosis adalah fraktur pada vertebra, pergelangan tangan, pinggul,

humerus, dan tibia. Gejala yang paling lazim dari fraktur korpus vertebra adalah nyeri

pada punggung dan deformitas pada tulang belakang. Nyeri biasanya terjadi akibat

kolaps vertebra terutama pada daerah dorsal atau lumbal. Secara khas awalnya akut

dan sering menyebar kesekitar pinggang hingga kedalam perut. Nyeri dapat

meningkat walaupun dengan sedikit gerakan misalnya berbalik ditempat tidur.

Istirahat ditempat tidaur dapat meringankan nyeri untuk sementara, tetapi akan

berulang dengan jangka waktu yang bervariasi. Serangan nyeri akut juga dapat

disertai oleh distensi perut dan ileus

Seorang dokter harus waspada terhadap kemungkinan osteoporosis bila

didapatkan :

Patah tulang akibat trauma yang ringan.

Tubuh makin pendek, kifosis dorsal bertambah, nyeri tulang.

Gangguan otot (kaku dan lemah)

Secara kebetulan ditemukan gambaran radiologik yang khas.

II.6. Diagnosis

Page 15: Referat Geriatri Osteoporosis b 333

Diagnosis osteoporosis umumnya secara klinis sulit dinilai, karena tidak ada rasa

nyeri pada tulang saat osteoporosis terjadi walau osteoporosis lanjut. Khususnya pada

wanita-wanita menopause dan pasca menopause, rasa nyeri di daerah tulang dan sendi

dihubungkan dengan adanya nyeri akibat defisiensi estrogen. Masalah rasa nyeri

jaringan lunak (wallaca tahun1981) yang menyatakan rasa nyeri timbul setelah bekerja,

memakai baju, pekerjaan rumah tangga, taman dll. Jadi secara anamnesa mendiagnosis

osteoporosis hanya dari tanda sekunder yang menunjang terjadinya osteoporosis seperti

Tinggi badan yang makin menurun.

Obat-obatan yang diminum.

Penyakit-penyakit yang diderita selama masa reproduksi, klimakterium.

Jumlah kehamilan dan menyusui.

Bagaimana keadaan haid selama masa reproduksi.

Apakah sering beraktivitas di luar rumah , sering mendapat paparan matahari

cukup.

Apakah sering minum susu, Asupan kalsium lainnya.

Apakah sering merokok, minum alkohol

II.7. Pemeriksaan Fisik

Tinggi badan dan berat badan harus diukur pada setiap penderita osteoporosis.

Demikian juga gaya berjalan penderita osteoporosis, deformitas tulang, nyeri spinal.

Penderita dengan osteoporosis sering menunjukkan kifosis dorsal atau gibbus dan

penurunan tinggi badan.

II.8. Pemeriksaan Radiologi

Page 16: Referat Geriatri Osteoporosis b 333

Gambaran radiologik yang khas pada osteoporosis adalah penipisan korteks dan

daerah trabekuler yang lebih lusen. Hal ini akan tampak pada tulang-tulang vertebra

yang memberikan gambaran picture-frame vertebra.

II.9. Pemeriksaan Densitas Massa tulang (Densitometri)

Densitas massa tulang berhubungan dengan kekuatan tulang dan resiko fraktur .

untuk menilai hasil pemeriksaan Densitometri tulang, digunakan kriteria kelompok

kerja WHO, yaitu:

1. Normal bila densitas massa tulang di atas -1 SD rata-rata nilai densitas massa

tulang orang dewasa muda (T-score)

2. Osteopenia bila densitas massa tulang diantara -1 SD dan -2,5 SD dari T-score.

3. Osteoporosis bila densitas massa tulang -2,5 SD T-score atau kurang.

4. Osteoporosis berat yaitu osteoporosis yang disertai adanya fraktur.

II.10. Penatalaksanaan

1. Terapi Non-Farmakologi

Terapi non farmakologi untuk osteoporosis dapat dilakukan dengan

pengaturan diet. Keseimbangan diet dengan asupan adekuat dari kalsium dan vitamin

D. Perubahan gaya hidup seperti mengurangi minuman yang berkafein dan minum

alkohol berlebihan karena dapat mempercepat resorpsi tulang. Sebisa mungkin hindari

rokok dan jangan merokok.

Olahraga Tai-Chi ternyata berguna untuk memperbaiki keseimbangan tubuh

penderita osteoporosis. Untuk lansia, penting untuk mencegah terjadinya jatuh di

rumah/lingkungan rumah karena hampir semua penderita patah tulang di rumah.

Usahakan agar faktor-faktor yang dapat mengakibatkan jatuh dihilangkan seperti

lantai licin, karpet longgar, keadaan tangga, pengobatan sedatif (membuat ngantuk).

Page 17: Referat Geriatri Osteoporosis b 333

Pada osteoporosis, latihan jasmani dilakukan untuk mencegah dan mengobati

penyakit osteoporosis. Latihan jasmani menggunakan beban berguna untuk

melenturkan dan menguatkan tulang. Latihan jasmani sebaiknya dilakukan sejak

muda dan terus dilanjutkan sampai tua (Fauci et al, 2008).

2. Terapi Farmakologi

Terapi farmakologi untuk osteoporosis dibagi menjadi dua yaitu terapi dengan

antiresorpsi dan dengan terapi anabolik.

A. TERAPI ANTIRESORPI

1. Kalsium

Kalsium harus dikonsumsi dalam jumlah adekuat untuk mencegah

hiperparatiroidisme dan destruksi tulang. Kalsium harus dikombinasikan dengan

vitamin D dan obat-obat osteoporosis ketika diperlukan. Kalsium yang diberikan

biasanya dalam bentuk garamnya seperti kalsium karbonat dan kalsium sitrat.

Kalsium karbonat merupakan garam pilihan yang mengandung elemen kalsium paling

besar (40%) dan lebih murah. Kalsium karbonat harus diberikan dengan makanan

agar dapat diabsorpsi dari peningkatan sekresi asam. Kalsium sitrat absorpsinya tidak

tergantung asam sehingga dapat diberikan tanpa makanan. Efek samping dari kalsium

yaitu konstipasi (Dipiro et al, 2009).

Tabel 1. Estimasi asupan adekuat kalsium sesuai umur.

Tingkatan umurEstimasi adekuat asupan kalsium

harian, mg/hari

Anak-anak muda (1-3 th) 500

Anak-anak lebih tua (4-8 th) 800

Adolesen dan dewasa muda (9-18 1300

Page 18: Referat Geriatri Osteoporosis b 333

th)

Pria dan wanita (19-50 th) 1000

Pria dan wanita ( 51 th ke atas) 1200

Tabel 2. Preparasi kalsium

Preparasi kalsium Kandungan kalsium

Calcium citrate 60 mg/300mg

Calcium lactate 80 mg/600 mg

Calcium gluconate 40 mg/500 mg

Calcium carbonate 400 mg/g

Calcium carbonate+ 5 g

vitamin D2 (OsCal 250)

250 mg/tablet

Calcium carbonate (Tums 500) 500 mg/tablet

(Fauci et al, 2008)

Kalsium diindikasikan pada pasien yang mengalami defisiensi kalsium.

Kalsium dikontraindikasikan pada pasien hiperkalsemia dan vibrasi ventricular.

Sediaan yang beredar seperti kalsium glukolonat (generik) tablet 600 mg, kalsium

laktat (generik) tablet 300 mg. (Dipiro et al, 2009).

2. Vitamin D

Vitamin D disintesis dalam kulit di bawah pengaruh cahaya panas dan

ultraviolet. Namun, segmen besar dari populasi tidak memperoleh cukup vitamin D

untuk mempertahankan apa yang sekarang dianggap sebagai pasokan yang cukup

[serum 25 (OH) D konsisten> 75 mol / L (30 ng / mL)]. Karena suplemen vitamin D

pada dosis yang akan mencapai kadar serum aman dan murah, Institute of Medicine

Page 19: Referat Geriatri Osteoporosis b 333

merekomendasikan asupan harian 200 IU untuk orang dewasa <50 tahun, 400 IU

untuk orang-orang dari 50-70 tahun, dan 600 IU untuk orang-orang > 70 tahun. Tablet

multivitamin biasanya mengandung 400 IU, dan suplemen kalsium juga banyak

mengandung vitamin D. Beberapa data menunjukkan bahwa dosis tinggi (1.000 IU)

mungkin diperlukan pada orang tua dan sakit kronis (Fauci et al, 2008).

Efek samping dari pemberian vitamin D yaitu dalam jangka pendek seperti

mual-mual, muntah, sakit kepala. Sedangkan dalam jangka panjang dapat

menyebabkan anoreksia, polidipsi, pruritus, hipertermia. Vitamin D apabila diberikan

bersamaan dengan pemberian kalsium dari makanan akan mendapatkan respon klinis

yang baik. Peringatan pada pasien gagal ginjal yang tidak dapat mensintesis kalsitriol

dengan jumlah cukup pada wanita hamil, penggunaannya harus memperhatikan rasio

manfaat dan resiko (Dipiro et al, 2009).

3. Bifosfonat

Mekanisme kerja obat ini adalah dengan berikatan dengan hidroksipatit dalam

tulang dan menurunkan resorpsi dengan mengganggu fungsi osteoklas dan

mengurangi jumlah osteoklas dengan cara menginduksi apoptosis (Fauci et al, 2008).

Contoh dari obat golongan bisphosphonat yaitu alendronat, risedronat, dan

ibandronat. Menurut FDA ketiga obat ini terbukti dapat mencegah dan mengobati

osteoporosis postmenopause. Alendronat dan risedronat digunakan untuk

osteoporosis yang diinduksi kortikosteroid. Obat golongan ini dikontraindikasikan

pada pasien yang memiliki hipersensitivitas terhadap bophosphonat, osteomalasia,

dan hipokalsemia. Efek samping yang timbul seperti mual-mual, muntah, iritasi, nyeri

abdomen dan ulserasi (Dipiro et al, 2009).

Bifosfonat tidak dapat diberikan bersama dengan antacid dan kalsium karena

obat-obat ini dapat menurunkan absorpsi biposphonat. Selain itu, biphosponat harus

Page 20: Referat Geriatri Osteoporosis b 333

diberikan 30 menit sebelum pemberian kalsium. Obat ini harus diberikan secara hati-

hati untuk mengoptimalkan manfaat klinis dan meminimalkan resiko efek samping

terhadap gastrointestinal (Dipiro et al, 2009).

Dosis bifosfonat pada orang dewasa:

o Alendronat : untuk pencegahan diberikan 5 mg/hari,35 mg/minggu; untuk

perawatan 10 mg/hari, 70 mg tablet, 70 mg tablet dengan vitamin D 2800 atau

5600 Unit

o Risendronat : 5 mg/hari, 35 mg/minggu, 150 mg/bulan

o Ibandronat : 2,5 mg/hari, 150 mg sekali sebulan, 5 mg IV per tahun

Terapi kombinasi baik dengan terapi estrogen maupun ralofixen menghasilkan

peningkatan BMD yang lebih besar dibandingkan apabila digunakan sendiri-sendiri

(Dipiro et al, 2009).

4. SERM

Semua SERM (Selective Estrogen Receptor Modulator) berikatan dengan ER

tetapi setiap agen menhasilkan konformasi reseptor-obat yang unik. Akibatnya co-

aktivator spesifik atau co-reseptor protein diikat pada reseptor menghasilkan efek

yang berbeda pada transkripsi gen yang tergantung pada kehadiran faktor transkripsi

lainnya dalam sel. Contoh obat ini adalah raloxifen (Fauci et al, 2008).

Raloxifen merupakan estrogen agonis pada tulang tetapi antagonis pada susu

dan uterus diindikasikan untuk mencegah dan merawat osteoporosis postmenopause.

Obat ini menurunkan fraktur tulang belakang dan meningkatkan BMD tulang pinggul,

tetapi efeknya lebih rendah daripada bifosfonat. Apabila pemberian obat dihentikan,

kehilangan massa tulang akan kembali terjadi sesuai dengan usia atau faktor laju

penyakit. Raloxifen ditoleransi baik. Dosis yang diberikan yaitu 60 mg/hari. Hot flush

Page 21: Referat Geriatri Osteoporosis b 333

sering terjadi pada wanita yang selesai menopause atau terapi estrogennya dihentikan

(Fauci et al, 2008).

5. Kalsitonin

Mekanisme kerja obat ini adalah bersama-sama dengan hormon paratiroid

mengatur homeostasis kalsium dan metabolism kalsium tulang. Kalsitonin dilepaskan

dari kelenjar tiroid terjadi peningkatan kadar kalsium serum. Kalsitonin menekan

aktivitas osteoklas dengan langsung beraksi pada reseptor kalsitonin osteoklas.

Kalsitonin salmon digunakan secara klini karena lebih poten dibandingkan kalsitonin

mamalia (Fauci et al, 2008).

Obat ini diindikasikan untuk pengobatan osteoporosis pada wanita setidaknya

5 tahun setelah menopause, penyakit paget, dan nyeri tulang. Efek sampingnya mual,

muntah, reaksi radang local. Obat ini beredar ada dalam bentuk nasal spray dan

injeksi (Dipiro et al, 2009).

Kalsitonin merupakan pengobatan lini ketiga karena efikasinya kurang

dibandingkan terapi antiresorpsi lainnya. Hanya fraktur tulang belakang yang

didokumentasikan mengalami penurunan dengan pemakaian kalsitonin intranasal.

Kalsitonin tidak secara konsisten memberikan efek pada BMD pinggul dan tidak

menurunkan resiko fraktur tulang pinggul. Dosis intranasal yang diberikan yaitu 200

unit setiap hari dan subkutan 100 unit setiap hari tetapi jarang diberikan karena efek

samping dan biaya yang mahal (Dipiro et al, 2009).

6. Terapi estrogen

Mekanisme estrogen yaitu mungkin dengan menghambat osteoklas secara

langsung. Meskipun demikian, estrogen umumnya memberi efek pada resorpsi tulang

yang dimediasi tidak langsung melalui faktor parakrin yang dihasilkan oleh osteoblas.

Aksinya meliputi (1) peningkatan IGF-I dan TGF-β, dan (2) menekan IL-1 (α dan β),

Page 22: Referat Geriatri Osteoporosis b 333

IL-6, TNF-α dan sintesis osteokalsin. Aksi estrogen tidak langsung umumnya

menurunkan resorpsi tulang (Fauci et al, 2008).

FDA menyepakati estrogen sebagai terapi pencegahan osteoporosis tetapi

hanya digunakan dalam jangka pendek pada wanita yang memerlukan terapi estrogen

untuk memanajemen gejala menopause seperti hot flush. Resiko penggunaan jangka

panjang lebih besar dibandikan manfaat yang diberikan (Fauci et al, 2008).

Dosis rekomendasi untuk estrogen oral yaitu 0,3 mg per hari dalam bentuk

estrogen ester, 0,625 mg/hari estrogen konjugat, dan 5 µg/hari untuk etinilestradiol.

Untuk estrogen transdermal dosis yang umumnya digunakan yaitu 50µg estradiol

setiap hari, tetapi dosis rendah mungkin disesuaikan untuk beberapa individu. Efek

peningkatan BMD dari terapi estrogen dan terapi kombinasi estrogen-progestin lebih

kecil daripada efek yang dihasilkan bifosfonat tetapi lebih dibandingkan raloxifen

(Dipiro et al, 2009).

B. TERAPI ANABOLIK

Terapi Hormon Paratiroid.

Mekanisme dari hormon paratiroid (PTH) secara eksogen pemberiannya

nampak memiliki aksi langsung pada aktivitas osteoblas. PTH mengaktifkan

remodeling tulang tetapi masih nampak mendukung pebentukan tulang diatas

resorpsi tulang. PTH menstimulasi IGF-I dan produksi kolagen dan nampak

meningkatkan jumlah osteoblas dengan menstiulasi replikasi, meningkatkan

rekrutmen osteoblas, dan menghambat apoptosis. Tidak seperti perawatan lainnya,

PTH benar-benar menghasilkan peningkatan pada jaringan tulang dan nampak

restorasi mikroarsitektur tulang (Fauci et al, 2008).

Page 23: Referat Geriatri Osteoporosis b 333

PTH analog seperti teriparatide merupakan obat yang disetujui untuk

pengobatan osteoporosis pada pria maupun wanita. Perawatan dengan PTH

diberikan sebagai injeksi tunggal harian diberikan maksimal 2 tahun. Teriparatid

menhasilkan peningkatan dalam massa tulang dan mediasi perbaikan arsitektur

tulang. Efeknya akan kurang apabila pasien sebelumnya diberikan bifosfonat. Jika

teriparatid diputuskan sebagai pilihan pengobatan, paling baik jika diberikan

monoterapi dan diikuti dengan suatu agen antiresorpsi seperti bifosfanat. Terapi

teriparatid diindikasikan untuk pasien wanita post menopause, pria yang memiliki

resiko tinggi patah tulang, pasien dengan osteoporosis fraktur, dan massa jenis

tulang rendah ( skor T <-3,5). Obat ini dikontraindikasikan pada pasien yang

memiliki peningkatan resiko terhadap osteosarcoma. Teriparatid tidak boleh

diberikan kombinasi dengan alendronat karena dapat menghambat efek teriparatid

(Dipiro et al, 2009).

Mekanisme kerja alendronate:

Alendronate bekerja menghambat resorpsi tulang dengan cara berikatan

dengan sisi aktif resorpsi tulang sehingga menghambat resorpsi aktif oleh

osteoklas tanpa menghambat fungsi osteoblas. Penghambatan resorpsi tulang

menurunkan konsentrasi pelepasan substansi dari tulang dan reduksi signifikan

dalam plasma kalsium dan fosfat (Dollery, 1999)

Efek samping alendronate

- Menyebabkan erosi dan ulserasi esophagus yang banyak.

- Overdosis alendronat dapat dikurangi dengan pemberian susu atau antasida

yang mengandung kalsium sehingga mencegah penyerapan melalui usus.

- Konstipasi

Page 24: Referat Geriatri Osteoporosis b 333

- Diare

- Ulser esophagus

- Flatulen (Sering kentut)

- Disfagia (Sulit menelan)

- Penurunan konsentrasi fosfat dan kalsium pada serum (Dollery, 1999)

Interaksi alendronate dengan obat lainnya dan makanan

Penggunaan alendronat bersamaan dengan NSAIDs dan aspirin

meningkatkan kejadian efek samping gastro intestinal bagian atas. Absorpsi

alendronat dihambat pada pemberian bersamaan antasida dan suplemen kalsium

(Dollery, 1999)

Saran yang diberikan untuk aturan pakai obat obat-obat tersebut

Alendronat tidak boleh diberikan bersamaan dengan suplemen kalsium dan

vitamin D karena dapat mengurangi absorpsi alendronat, tetapi karena di dalam

resep diberikan kalsium dan vitamin D, maka anjurkan pasien untuk meminum

alendronat 30 menit sebelum suplemen kalsium dan vitamin D (Dollery, 1999).

Saran apa yang berkaitan dengan pemberian alendronat

Dosis 10mg/hari. Alendronat diminum dalam keadaan perut kosong

(belum makan). Sebelum diminum, tablet alendronat harus dicuci dahulu dengan

segelas air. Tetap tegak selama setengah hingga satu jam setelah menelan tablet

dan jangan berbaring sebelum makan pertama. Alendronat sebaiknya tidakk

diberikan sebelum tidur. Peresepan bersama aspirin dan NSAIDs harus secara

hati – hati (Dollery, 1999)

Teriparatide

Page 25: Referat Geriatri Osteoporosis b 333

Teriparatide adalah obat pilihan kedua pada pencegahan kerapuhan patah

tulang pada wanita penderita osteoporosis yang berumur 65 tahun atau lebih tua.

Teripatide dianjurkan jika penggunaan bifosfonat gagal atau tidak toleran

terhadap terapi bifosfonat (Sweetman, 2009).

Teriparatide digunakan dalam pengobatan osteoporosis pascamenopause,

terutama pada mereka dengan risiko patah tulang tinggi, dan pada laki-laki

dengan osteoporosis primer atau hipogonadisme yang berada pada peningkatan

risiko patah tulang. Dosis umum adalah 20 mikrogram subkutan setiap hari ke

paha atau dinding perut. Setiap perangkat 3-mL pena prefilled memberikan dosis

20-mcg setiap hari sampai 28 hari. Pasien diingatkan perangkat pena harus

disimpan dalam lemari es (Dipiro, 2006). Pengobatan dibatasi maksimum 18

bulan di Inggris, meskipun telah digunakan sampai 2 tahun di Amerika Serikat

(Sweetman, 2009).

Yang harus diperhatikan dalam penggunaan Teriparatide adalah untuk

pasien yang memiliki riwayat hipersensitivitas karena teriparatide adalah peptida

dan kemungkinan reaksi hipersensitivitas sistemik harus diingat (Sweetman,

2009). Pasien yang sebelumnya mendapatkan terapi alendronate akan menurukan

aktivitas dari teriparatide. Teriparatide juga kontraindikasi pada terhadap pasien

yang memiliki penyakit-penyakit tertentu seperti pada pasien dengan gangguan

ginjal berat dan harus digunakan dengan hati-hati dengan mereka yang memiliki

gangguan ginjal sedang. Hiperkalsemia dapat berkembang dengan teriparatide

oleh karena itu dikontraindikasikan pada pasien dengan riwayat menderita

hiperkalsemia (Sweetman, 2009). Walau hiperkalsemia transient jarang terjadi

pada pasien yang tidak memiliki riwayat menderita hiperkalsemia, namun

pemeriksaan konsentrasi kalsium dalam serum tetap dianjurkan 1 bulan setelah

Page 26: Referat Geriatri Osteoporosis b 333

dimulainya terapi (Dipiro, 2006). Dilaporkan terjadinya osteosarcoma pada tikus

yang diberikan teriparatide sehingga pasien yang mungkin memiliki peningkatan

risiko osteosarcoma, termasuk mereka dengan riwayat metastasis tulang atau

sebelumnya mendapatkan radioterapi untuk kerangka, seharusnya tidak menerima

terapi teriparatide. teriparatide juga kontraindikasi pada pasien dengan penyakit

tulang metabolik termasuk penyakit Paget dan hiperparatiroidisme (Sweetman,

2009).

Teriparatide tersedia dalam bentuk infus intravena dan dalam bentuk pen

untuk pemberian secara subkutan (Dipiro, 2006). Pasien harus diberikan

konseling bahwa pemberian secara subkutan memiliki efek samping yang dapat

mengganggu pasien seperti yang paling umum adalah gangguan pencernaan,

nyeri pada tungkai dekat injeksi, sakit kepala, dan pusing. Pusing, vertigo, dan

sinkop dapat berhubungan dengan hipotensi ortostatik transien yang terjadi pada

beberapa pasien, terutama ketika memulai pengobatan sehingga dosis awal harus

diberikan dengan pasien baik berbaring atau duduk dalam hal mengantisipasi

terjadi hipotensi ortostatik dan pasien harus diberikan konseling untuk tidak boleh

mengemudi atau mengoperasikan mesin berpotensi berbahaya saat melakukan

injeksi teriparatide secara subkutan (Dipiro, 2006). Asthenia, arthralgia, dan

rhinitis dapat terjadi. Angina pektoris, depresi, dispnea, kram kaki, radang paru-

paru, gangguan kemih, dan linu panggul juga telah dilaporkan (Sweetman, 2009).

Teriparatide dapat digunakan untuk terapai selama 18 bulan atau

maksimal selama 2 tahun. Penggunaannya dibatasi pada waktu tersebut karena

teriparatide dimetabolisme aktif di hati dan diekskresikan diginjal sehingga

penggunaan dalam jangka panjang dikhawatirkan merusak hati dan fungsi ginjal

(Sweetman, 2009).

Page 27: Referat Geriatri Osteoporosis b 333
Page 28: Referat Geriatri Osteoporosis b 333

BAB III

KESIMPULAN

1. Osteoporosis adalah suatu kondisi berkurangnya masa tulang secara nyata yang

berakibat pada rendahnya kepadatan tulang.

2. Dua penyebab osteoporosis adalah pembentukan massa puncak tulang selama masa

pertumbuhan dan meningkatnya pengurangan massa tulang setelah menopause.

3. Faktor resiko terjadinya osteoporosis, yaitu usia, genetik, lingkungan dan faktur

panggul.

4. Osteoporosis terbagi menjadi primer dan sekunder. Osteoporosis primer adalah

osteoporosis pasca menopause dan sekunder biasanya terjadi pada usia lebih dari 50

tahun.

5. Tanda klinis utama dari osteoporosis adalah fraktur pada vertebra, pergelangan

tangan, pinggul, humerus, dan tibia.

6. Terapi osteoporosis memepertimbangkan 2 hal, yaitu menghambat hilangnya massa

tulang dan peningkatan massa tulang.

7. Pencegahan osteoporosis adalah mengkonsumsi kalsium yang cukup, olahraga beban

dan mengkonsumsi obat contohnya estrogen.

Page 29: Referat Geriatri Osteoporosis b 333

DAFTAR PUSTAKA

1. Broto, R. 2004. Manifestasi Klinis dan Penatalaksanaan Osteoporosis. Dexa Media No. 2 Vol 17: 47 – 57

2. Dalimartha, S, 2002. Resep Tumbuhan Obat Untuk Penderita Osteoporosis. Penebar Swadaya. Jakarta.

3. Djokomoeljanto R, 2003. Postmenopausal osteoporosis. Patofisiologi dan dasar pengobatan. Simposium Osteoporosis Postmenopausal. Semarang: p.1-12

4. Hammett, Stabler CA, 2004. Osteoporosis from pathophysiology to treatment. In: Washington American Assosiation for Clinical Chemistry Press.p. 1-86

5. Hortono, M, 2000. Mencegah dan Mengatasi Osteoporosis. Puspa Swara. Jakarta.

6. Kaniawati, M., Moeliandari, F, 2003, Penanda Biokimia untuk Osteoporosis.Forum Diagnosticum Prodia Diagnostics Educational Services. No 1: hal. 1–18

7. Lane NE. 2003. Osteoporosis. Jakarta. Raja Grafindo Persada.

8. Sennang AN, Mutmainnah, Pakasi RDN, Hardjoeno, 2006. Analisis KadarOsteokalsin Serum Osteopenia dan Osteoporosis. Dalam Indonesian Journal of clinical pathology and medical laboratory, Vol.12, No.2: hal 49-52

9. Setiyohadi B, 2006. Pemeriksaan Densitometri Tulang. Dalam Buku Ajar Penyakit Dalam. Edisi IV. Editor: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Hal. 1172-75

10. Sinnathamby, Hemanath. 2010. Gambaran Tingkat Pengetahuan Dan Sikap Terhadap Osteoporosis Dan Asupan Kalsium Pada Wanita Premenopause Di Kecamatan Medan Selayang Ii. Skripsi. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

11. Sudoyo, Setiyohardi, Alwi, Simadibrata, Setiati. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam . Jilid II. Edisi IV. Jakarta: FKUI.

12. Wirakusmah, E.S., 2007. Mnecegah Osteoporosis Lengkar Dengan 39 Jus dan 38 Resep. Available at url : http://books.google.co.id/books?id=voPEmYEwjXwC&pg=PA1&dq=osteoporosis#PPP1M1.[Diskses 10 Juni 2011]

13. Dipiro, Joseph T. et al. 2006. Pharmacotherapy Handbook, 6th Edition. New York: McGraw-Hill. Hal: 29

14. Dipiro, Joseph T., Cecily V. Dipiro, Terry L. Schwinghammer, dan Barbara G. Wells. 2009. Pharmacotherapy Handbook 7th Edition. United State : The McGraw-Hill Companies.

15. Dollery, Collin. 1999. Therapeutic Drug Second Edition. Toronto : Harcourt Brace and Company Llimited.

Page 30: Referat Geriatri Osteoporosis b 333

16. Fauci, Braunwald, Kasper, Hauser Longo, Jameson, dan Loscalzo. 2008. Harrison’s Principle of Internal Medicine Seventeenth Edition. United State : McGraw-Hill Companies Inc.

17. Lelo, Aznan. 2009. Manfaat Ains Terhadap Nyeri Gangguan Muskuloskeletal Pada Usia Lanjut. Sumatera Utara : Fakultass kedoketran, Universitas Sumatera Utara.

18. Sweetman, Sean C. 2009. Martindale: The Complete Drug Reference, Thirty-sixth Edition. London: Pharmaceutical Press. Hal: 1105