Upload
diki
View
40
Download
5
Embed Size (px)
DESCRIPTION
memahami pemeriksaan tulang
Citation preview
REFERAT
KEPANITERAAN ILMU GERIATRI
OSTEOPOROSIS
Penyusun :
Muhammad Faisal Al Mustafa
406148123
KEPANITERAAN ILMU GERIATRI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TARUMANAGARA
PANTI WERDHA HANA, CIPUTAT
27 JULI – 29 AGUSTUS 2015
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Osteoporosis merupakan penyakit metabolisme tulang yang ditandai pengurangan
massa tulang, kemunduran mikroarsitektur tulang dan fragilitas tulang yang meningkat,
sehingga resiko fraktur menjadi lebih besar (Kaniawati, 2003; Hammett, 2004; Sennang,
2006).
Para ahli tulang Indonesia sepakat bahwa dengan meningkatnya harapan hidup
rakyat Indonesia penyakit kerapuhan tulang akan sering dijumpai. Sejak tahun 1990
sampai 2025 akan terjadi kenaikan jumlah penduduk Indonesia sampai 41,4% dan
osteoporosis selalu menyertai usia lanjut baik perempuan maupun laki-laki, meskipun
diupayakan pengobatan untuk mengobati osteoporosis yang sudah terlambat dan upaya
pencegahan dengan mempertahankan massa tulang sepanjang hidup jauh lebih
dianjurkan (Djokomoeljanto, 2003).
Kerapuhan tulang yang disebut sebagai penyakit osteoporosis adalah pengurangan
massa dan kekuatan tulang dengan kerusakan mikroarsitektur dan fragilitas tulang,
sehingga menyebabkan tulang rapuh dan mudah patah. Osteopenia menunjukkan bahwa
telah terjadi penurunan volume tulang (Djokomoeljanto, 2003; Hammett, 2004;
Setyohadi, 2006).
Insiden osteoporosis lebih tinggi pada wanita dibandingkan laki-laki dan
merupakan problema pada wanita pascamenopause. Osteoporosis di klinik menjadi
penting karena problema fraktur tulang, baik fraktur yang disertai trauma yang jelas
maupun fraktur yang terjadi tanpa disertai trauma yang jelas.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Definisi
Osteoporosis adalah gangguan sistem skeletal didefinisikan
sebagai tingkat kekuatan tulang di bawah normal akibat berkurangnya kepadatan tulang
secara progresif yang menyebabkan tulang menjadi rapuh dan mudah patah. WHO
mendefinisikan osteoporosis sebagai penurunan kepadatan tulang sebesar 2,5 standar
deviasi (SD) di bawah rata-rata untuk orang dewasa muda yang sehat dari gender yang
sama dan juga dilihat dari T-skor -2,5 (Fauci et al, 2008).
II. 2 Etiologi dan Faktor Resiko
Osteoporosis dibagi menjadi dua yaitu osteoposrosis primer dan osteoporosis
sekunder. Osteoporosis primer disebabkan oleh reduksi estrogen yang terjadi dalam
tubuh wanita setelah menopause atau terkait usia dalam perubahan laju pembentukan
tulang yang terjadi baik wanita maupun pria akibat penuaan. Sedangkan osteoporosis
sekunder disebabkan oleh kondisi dan peawatan tertentu seperti induksi akibat obat.
Obat yang dapat menginduksi osteoporosis yaitu:
1. Glukokortikoid
Kortikosteroid sangat banyak digunakan untuk mengatasi berbagai penyakit,
terutama penyakit otoimun. Obat ini mempunyai banyak efek samping, salah satunya
adalah menyebabkan kehilangan massa tulang yang ireversibel, bila digunakan dalam
dosis yang tinggi dan jangka panjang. Efek kortikosteroid pada tulang trabekular jauh
lebih besar daripada efeknya pada tulang kortikal, dan kehilangan massa tulang yang
tercepat sampai terjadi fraktur pada umumnya terjadi pada vertebra, iga dan ujung
tulang panjang. Kehilangan massa tulang tercepat terjadi pada tahun pertama
penggunaan steroid yang dapat mencapai 20% dalam 1 tahun. Insidens fraktur akibat
osteoporosis pada pengguna steroid tidak diketahui secara pasti. Selain itu, penggunaan
steroid dosis rendah termasuk inhalasi juga dapat menyebabkan osteoporosis. Dari
berbagai penelitian, diketahui bahwa penggunaan prednison lebih dari 7,5 mg/hari akan
menyebabkan osteoporosis pada banyak penderita.
Efek glukokortikoid pada tulang meliputi :
a. Histomorfometri
Secara histomorfometri, glukokortikoid akan mengakibatkan penurunan tebal
dinding tulang trabekular, penurunan mineralisasi, peningkatan berbagai parameter
resorpsi tulang, depresi pengerahan osteoblas dan penekanan fungsi osteoblas.
b. Efek pada osteoblas dan formasi tulang
Penggunaan glukokortikoid dosis tinggi dan terus menerus akan mengganggu
sintesis osteoblas dan kolagen. Replikasi sel akan mulai dihambat setelah 48 jam
paparan dengan glukokortikoid. Selain itu juga terjadi penghambatan sintesis
osteokalsin oleh osteoblas.
c. Efek pada resorpsi tulang
In vitro, glukokortikoid menghambat diferensiasi osteoblas dan resorpsi tulang
pada kultur organ. Efek peningkatan resorpsi tulang pada pemberian glukokortikoid in
vivo, berhubungan dengan hiperparatiroidisme sekunder akibat penghambatan absorpsi
kalsium di usus oleh glukokortikoid.
d. Efek pada hormon seks
Glukokortikoid menghambat sekresi gonadotropin oleh hipofisis, estrogen oleh
ovarium dan testosteron oleh testes. Hal ini akan memperberat kehilangan massa tulang
pada pemberian steroid.
e. Absorpsi kalsium di usus dan ekskresi kalsium di ginjal
Penggunaan glukokortikoid dosis farmakologik akan mengganggu transport aktif
transelular kalsium. Mekanisme yang pasti tidak diketahui dan tidak berhubungan
dengan vitamin D. Gan asupan natrium yang tinggi dan akan menurun dengan
pembatasan asupan natrium dan pemberian diuretik tiazid.
f. Efek pada metabolisme hormon paratiroid dan vitamin D
Kadar PTH dan 1,25 dihidroksivitamin D (1,25 (OH)2D) dalam serum meningkat
pada pengguna glukokortikoid, walaupun kadar kalsium serum tinggi. Hal ini diduga
berhubungan dengan perubahan reseptor kalsium sel yang mengubah transport kalsium.
Glukokortikoid meningkatkan sensitivitas osteoblas terhadap PTH, meningkatkan
reseorpsi tulang dan menghambat formasi tulang. Glukokortikoid akan menghambat
produksi IL-1 dan IL-6 limfosit-T. Pada penderita artritis reumatoid, pemberian
glukokortikoid akan menurunkan aktifitas peradangan sehingga penurunan massa
tulang juga dihambat. Walaupun demikian, para ahli masih berbeda pendapat, apakah
hal ini merupakan efek glukokortikoid pada tulang atau ada faktor-faktor lainnya.
g. Osteonekrosis
Osteonekrosis (nekrosis aseptik, nekrosis avaskular), merupakan efek lain
glukokortikoid pada tulang. Bagian tulang yang sering terserang adalah kaput femoris,
kaput humeri dan distal femur. Mekanismenya belum jelas, diduga akibat emboli lemak
dan peningkatan tekanan intraoseus.
2. Antikonvulsan
Obat antikonvulsan dapat memicu kehilangan densitas tulang dan fraktur.
3. Tiroksin berlebih
Tiroksin adalah hormon yang dilepaskan oleh kelenjar tiroid. Hormon ini
berperan dalam metabolisme tubuh. Apabila hormon ini meningkat jumlahnya di dalam
tubuh, maka proses metabolism akan semakin aktif, akibatnya metabolism kalsium juga
akan semakin cepat sehingga kalsium akan lebih banyak diekresikan melalui urin dan
tinja. Banyaknya ekskresi kalsium akan menyebabkan tulang kehilangan banyak
kalsium sehingga tulang mudah keropos dan menimbulkan osteoporosis.
4. Siklosporin
Pasien yang menjalani transplantasi memungkinkan memliki resiko yang tinggi
kehilangan kepadatan tulang dengan cepat dan patah tulang, tidak hanya glukokortikoid
tetapi juga dari perawatan dengan imunosupresan seperti siklosporin dan takrolimus.
Selain itu, pasien sering mengalami abnormalitas metabolik seperti gagal ginjal dan hati
yang cenderung mempengaruhi pengurangan massa tulang.
5. Obat sitotoksik
Obat sitotoksik digunakan dalam berbagai variasi stage dari perawatan kanker
payudara dan juga memperlihatkan efek merusak pada massa tulang dan resiko patah
tulang.
6. Aromatase inhibitor
Obat ini berpotensi memblok enzim aromatase yang mengonversi androgen dan
precursor adrenal lainnya menjadi estrogen sehingga menyebabkan penurunan tingkat
peredaran estrogen postmenopause secara dramatis. (Fauci et al, 2008).
Faktor resiko yang menyebabkan osteoporosis yaitu:
Defisiensi estrogen
Osteoporosis postmenopausal terjadi karena kekurangan estrogen (hormon utama
pada wanita), yang membantu mengatur pengangkutan kalsium ke dalam tulang pada
wanita. Biasanya gejala timbul pada wanita yang berusia di antara 51-75 tahun, tetapi
bisa mulai muncul lebih cepat ataupun lebih lambat. Tidak semua wanita memiliki
risiko yang sama untuk menderita osteoporosis postmenopausal, wanita kulit putih dan
daerah timur lebih mudah menderita penyakit ini daripada wanita kulit hitam.
Defisiensi estrogen mungkin menyebabkan kehilangan massa tulang dengan dua
mekanisme yang berbeda tetapi saling terkait yaitu, pertama aktivasi sisi remodeling
tulang baru dan yang kedua, ketidakseimbangan antara pembentukan tulang dan
resorpsi tulang. Perubahan dalam frekuensi aktivasi menyebabkan kehilangan massa
tulang sementara waktu sampai keadaan stabil antara resorpsi dan pembentukan
tercapai. Ketidakseimbangan remodeling menghasilkan kerusakan permanen pada
massa tulang. Selain itu keberadaan sisi remodeling yang lebih banyak pada skeleton
meningkatkan kemungkinan trabekula berpenetrasi sehingga menghilangkan template
pada saat tulang baru dibentuk dan mempercepat kehilangan jaringan tulang. Sel
sumsum (makrofag, monosit, precursor osteoklas, sel mast) sama halnya dengan sel
tulang (osteoblas, osteosit, osteoklas) mengekspresikan ERs α dan β. Hilangnya
estrogen meningkatkan produksi RANKL dan mungkin mengurangi produksi
osteoprogerin, meningkatkan rekrutmen osteoklas. Estrogen juga berperan penting
menentukan lama hidup sel tulang dengan mengontrol laju apoptosis. Dalam situasi
kekurangan estrogen, waktu hidup osteoblas berkurang, sebaliknya umur dan aktivitas
osteoklas meningkat. Patah tulang terjadi di awal pada sisi dimana tulang trabekular
paling berkontribusi pada kekuatan tulang. Konsekuensi akibat defisiensi estrogen yaitu
patah tulang vertebral. Defisiensi estrogen dapat terjadi pada wanita menopause.
Usia
Seiring dengan pertambahan usia, fungsi organ tubuh justru menurun. Pada usia
75-85 tahun, wanita memiliki risiko 2 kali lipat dibandingkan pria dalam mengalami
kehilangan tulang trabekular karena proses penuaan, penyerapan kalsium menurun dan
fungsi hormon paratiroid meningkat.
Penggunaan kalsium rendah
Puncak massa tulang mungkin kurang oleh terganggunya asupan kalsium selama
masa pertumbuhan diantara nutrisi lainnya, selanjutnya mengarah pada peningkatan
resiko osteoporosis. Selama fase dewasa, kekurangan kalsium berkontribusi pada
hipertiroid relatif sekunder dan peningkatan laju remodeling tulang untuk
mempertahankan tingkat serum kalsium normal. Efek jangka panjang yaitu kerusakan
skeleton karena meningkatkan laju remodeling dan ketidakseimbangan yang
berlangsung antara resopsi dan benbentukan pada sisi remodeling yang meningkatkan
kecepatan hilangnya jaringan tulang.
Minuman berkafein dan Alkohol yang berlebihan
Minuman berkafein seperti kopi dan alkohol juga dapat menimbulkan tulang
keropos, rapuh dan rusak. Hal ini dipertegas oleh Dr.Robert Heany dan Dr. Karen
Rafferty dari creighton University Osteoporosis Research Centre di Nebraska yang
menemukan hubungan antara minuman berkafein dengan keroposnya tulang. Hasilnya
adalah bahwa air seni peminum kafein lebih banyak mengandung kalsium, dan kalsium
itu berasal dari proses pembentukan tulang. Selain itu kafein dan alkohol bersifat toksin
yang menghambat proses pembentukan massa tulang (osteoblas).
Riwayat patah tulang saat dewasa
Seseorang yang sudah mengalami patah tulang sebelumnya akan lebih mudah
tekena osteoporosis akibat tulang yang patah memungkinkan tingkat kekuatan tulang
akan melemah.
Gaya hidup yang kurang baik
Konsumsi daging merah dan minuman bersoda, karena keduanya mengandung
fosfor yang merangsang pembentukan horman parathyroid, penyebab pelepasan
kalsium dari dalam darah
Berat badan rendah
Perawakan kurus dan mungil memiliki bobot tubuh cenderung ringan misal
kurang dari 57 kg, padahal tulang akan giat membentuk sel asal ditekan oleh bobot
yang berat. Karena posisi tulang menyangga bobot maka tulang akan terangsang untuk
membentuk massa pada area tersebut, terutama pada derah pinggul dan panggul. Jika
bobot tubuh ringan maka massa tulang cenderung kurang terbentuk sempurna.
Keturunan osteoporosis
Jika ada anggota keluarga yang menderita osteoporosis, maka berhati-hatilah.
Osteoporosis menyerang penderita dengan karakteristik tulang tertentu. Seperti
kesamaan perawakan dan bentuk tulang tubuh. Itu artinya dalam garis keluarga pasti
punya struktur genetik tulang yang sama.
Merokok
Ternyata rokok dapat meningkatkan risiko penyakit osteoporosis. Perokok sangat
rentan terkena osteoporosis, karena zat nikotin di dalamnya mempercepat penyerapan
tulang. Selain penyerapan tulang, nikotin juga membuat kadar dan aktivitas hormon
estrogen dalam tubuh berkurang sehingga susunan-susunan sel tulang tidak kuat dalam
menghadapi proses pelapukan. Disamping itu, rokok juga membuat penghisapnya bisa
mengalami hipertensi, penyakit jantung, dan tersumbatnya aliran darah ke seluruh
tubuh. Kalau darah sudah tersumbat, maka proses pembentukan tulang sulit terjadi.
Jadi, nikotin jelas menyebabkan osteoporosis baik secara langsung tidak langsung.
Saat masih berusia muda, efek nikotin pada tulang memang tidak akan terasa
karena proses pembentuk tulang masih terus terjadi. Namun, saat melewati umur 35,
efek rokok pada tulang akan mulai terasa, karena proses pembentukan pada umur
tersebut sudah berhenti.
Kurangnya aktivitas fisik
Wanita yang malas bergerak atau olahraga akan terhambat proses osteoblasnya
(proses pembentukan massa tulang). Selain itu kepadatan massa tulang akan berkurang.
Semakin banyak gerak dan olahraga maka otot akan memacu tulang untuk membentuk
massa.
Ras atau suku
Ras juga membuat perbedaan dimana ras kulit putih atau keturunan asia memiliki
risiko terbesar. Hal ini disebabkan secara umum konsumsi kalsium wanita asia rendah.
Salah satu alasannya adalah sekitar 90% intoleransi laktosa dan menghindari produk
dari hewan. Pria dan wanita kulit hitam dan hispanik memiliki risiko yang signifikan
meskipun rendah.
Penyakit kronis
Variasi genetik dan penyakit dapatan diasosiasikan dengan peningkatan resiko
osteoporosis. Mekanisme yang berkontribusi pada kehilangan massa tulang unik untuk
setiap penyakit dan biasanya hasil dari beberapa faktor seperti nutrisi,kurangnya
aktivitas, dan faktor yang member efek pada laju remodeling tulang. Contoh penyakit
yang berasosiasi pada peningkatan resiko osteoporosis antara lain kelainan hematologi
(leukemia, hemofili, limpoma), hiperparatiroidisme, malnutrisi, insufisiensi adrenal,
dan lain-lain. (Fauci et al, 2008).
II.3 Klasifikasi Osteoporosis
1. Osteoporosis Primer
a. Osteoporosis primer tipe 1 adalah osteoporosis pasca menopause. Pada masa
menopause, fungsi ovarium menurun sehingga produksi hormon estrogen dan
progesteron juga menurun. Estrogen berperan dalam proses mineralisasi
tulang dan menghambat resorbsi tulang serta pembentukan osteoklas melalui
produksi sitokin. Ketika kadar hormon estrogen darah menurun, proses
pengeroposan tulang dan pembentukan mengalami ketidakseimbangan.
Pengeroposan tulang menjadilebihdominan (Wirakusumah, 2007).
b. Osteoporosis primer tipe II adalah osteoporosis senilis yang biasanya terjadi
lebih dari usia 50 tahun. Osteopososis terjadi akibat dari kekurangan kalsium
berhubungan dengan makin bertambahnya usia (Hortono, 2000).
c. Tipe III adalah osteoporosis idiopatik merupakan osteoporosis yang
penyebabnya tidak diketahui.Osteoporosis ini sering menyerang wanita dan
pria yang masih dalam usia muda yang relative jauh lebih muda (Hortono,
2000).
2. Osteoporosis sekunder
Osteoporosis sekunder terjadi kerana adanya penyakit tertentu yang dapat
mempengaruhi kepadatan massa tulang dan gaya hidup yang tidak sehat. Faktor
pencetus dominan osteoporosis sekunder adalah sepeti di bawa ( Wirakusumah, 2007)
:
a. Penyakit endokrin : tiroid, hiperparatiriod, hipogonadisme
b. Penyakit saluran cerna yang memyebabkan absorsi gizi kalsium.fosfor. vitamin D)
terganggu.
c. Penyakit keganasan ( kanker)
d. Konsumsi obat –obatan seprti kortikosteriod
e. Gaya hidup yang tidak sehat seperti merokok, kurang olahraga.
II.4. Patogenesis
-Pembentukan ulang tulang adalah suatu proses yang terus menerus. Pada
osteoporosis, massa tulang berkurang, yang menunjukkan bahwa laju resorpsi tulang
pasti melebihi laju pembentukan tulang. Pembentukan tulang lebih banyak terjadi
pada korteks
A. Proses Remodelling Tulang dan Homeostasis Kalsium
Kerangka tubuh manusia merupakan struktur tulang yang terdiri dari substansi
organik (30%) dan substansi mineral yang paling banyak terdiri dari kristal
hidroksiapatit (95%) serta sejumlah mineral lainnya (5%) seperti Mg, Na, K, F, Cl, Sr
dan Pb. Substansi organik terdiri dari sel tulang (2%) seperti osteoblas, osteosit dan
osteoklas dan matriks tulang (98%) terdiri dari kolagen tipe I (95%) dan protein
nonkolagen (5%) seperti osteokalsin, osteonektin, proteoglikan tulang, protein
morfogenik tulang, proteolipid tulang dan fosfoprotein tulang.
-Tanpa matriks tulang yang berfungsi sebagai perancah, proses mineralisasi
tulang tidak mungkin dapat berlangsung. Matriks tulang merupakan makromolekul
yang sangat bersifat anionik dan berperan penting dalam proses kalsifikasi dan fiksasi
kristal hidroksi apatit pada serabut kolagen. Matriks tulang tersusun sepanjang garis
dan beban mekanik sesuai dengan hukum Wolf, yaitu setiap perubahan fungsi tulang
akan diikuti oleh perubahan tertentu yang menetap pada arsitektur internal dan
penyesuaian eksternal sesuai dengan hukum matematika. Dengan kata lain, hukum
Wolf dapat diartikan sebagai “bentuk akan selalu mengikuti fungsi”.
B. Patogenesis Osteoporosis primer
Setelah menopause maka resorpsi tulang akan meningkat, terutama pada
dekade awal setelah menopause, sehingga insidens fraktur, terutama fraktur vertebra
dan radius distal meningkat. Estrogen juga berperan menurunkan produksi berbagai
sitokin oleh bone marrow stromal cells dan sel-sel mononuklear, seperti IL-1, IL-6
dan TNF-α yang berperan meningkatkan kerja osteoklas, dengan demikian penurunan
kadar estrogen akibat menopause akan meningkatkan produksi berbagai sitokin
tersebut sehingga aktivitas osteoklas meningkat.
Untuk mengatasi keseimbangan negatif kalsium akibat menopause, maka
kadar PTH akan meningkat pada wanita menopause, sehingga osteoporosis akan
semakin berat. Pada menopause, kadangkala didapatkan peningkatan kadar kalsium
serum, dan hal ini disebabkan oleh menurunnya volume plasma, meningkatnya kadar
albumin dan bikarbonat, sehingga meningkatkan kadar kalsium yang terikat albumin
dan juga kadar kalsium dalam bentuk garam kompleks. Peningkatan bikarbonat pada
menopause terjadi akibat penurunan rangsang respirasi, sehingga terjadi relatif
asidosis respiratorik.
C. Patogenesis Osteoporosis Sekunder
Selama hidupnya seorang wanita akan kehilangan tulang spinalnya sebesar
42% dan kehilangan tulang femurnya sebesar 58%. Pada dekade ke-8 dan 9
kehidupannya, terjadi ketidakseimbangan remodeling tulang, dimana resorpsi tulang
meningkat, sedangkan formasi tulang tidak berubah atau menurun. Hal ini akan
menyebabkan kehilangan massa tulang, perubahan mikroarsitektur tulang dan
peningkatan resiko fraktur.
Defisiensi kalsium dan vitamin D juga sering didapatkan pada orang tua. Hal
ini disebabkan oleh asupan kalsium dan vitamin D yang kurang, anoreksia,
malabsorpsi dan paparan sinar matahari yang rendah. Defisiensi vitamin K juga akan
menyebabkan osteoporosis karena akan meningkatkan karboksilasi protein tulang
misalnya osteokalsin. Penurunan kadar estradiol dibawah 40 pMol/L pada laki-laki
akan menyebabkan osteoporosis, karena laki-laki tidak pernah mengalami menopause
(penurunan kadar estrogen yang mendadak), maka kehilangan massa tulang yang
besar seperti pada wanita tidak pernah terjadi. Dengan bertambahnya usia, kadar
testosteron pada laki-laki akan menurun sedangkan kadar Sex Hormone Binding
Globulin (SHBG) akan meningkat. Peningkatan SHBG akan meningkatkan
pengikatan estrogen dan testosteron membentuk kompleks yang inaktif.
Faktor lain yang juga ikut berperan terhadap kehilangan massa tulang pada
orang tua adalah faktor genetik dan lingkungan (merokok, alkohol, obat-obatan,
imobilisasi lama). Resiko fraktur yang juga harus diperhatikan adalah resiko terjatuh
yang lebih tinggi pada orang tua dibandingkan orang yang lebih muda. Hal ini
berhubungan dengan penurunan kekuatan otot, gangguan keseimbangan dan stabilitas
postural, gangguan penglihatan, lantai yang licin atau tidak rata,
II.5. Gambaran Klinis
Osteoporosis dapat berjalan lambat selama beberapa dekade, hal ini
disebabkan karena osteoporosis tidak menyebabkan gejala fraktur tulang. Beberapa
fraktur osteoporosis dapat terdeteksi hingga beberapa tahun kemudian. Tanda klinis
utama dari osteoporosis adalah fraktur pada vertebra, pergelangan tangan, pinggul,
humerus, dan tibia. Gejala yang paling lazim dari fraktur korpus vertebra adalah nyeri
pada punggung dan deformitas pada tulang belakang. Nyeri biasanya terjadi akibat
kolaps vertebra terutama pada daerah dorsal atau lumbal. Secara khas awalnya akut
dan sering menyebar kesekitar pinggang hingga kedalam perut. Nyeri dapat
meningkat walaupun dengan sedikit gerakan misalnya berbalik ditempat tidur.
Istirahat ditempat tidaur dapat meringankan nyeri untuk sementara, tetapi akan
berulang dengan jangka waktu yang bervariasi. Serangan nyeri akut juga dapat
disertai oleh distensi perut dan ileus
Seorang dokter harus waspada terhadap kemungkinan osteoporosis bila
didapatkan :
Patah tulang akibat trauma yang ringan.
Tubuh makin pendek, kifosis dorsal bertambah, nyeri tulang.
Gangguan otot (kaku dan lemah)
Secara kebetulan ditemukan gambaran radiologik yang khas.
II.6. Diagnosis
Diagnosis osteoporosis umumnya secara klinis sulit dinilai, karena tidak ada rasa
nyeri pada tulang saat osteoporosis terjadi walau osteoporosis lanjut. Khususnya pada
wanita-wanita menopause dan pasca menopause, rasa nyeri di daerah tulang dan sendi
dihubungkan dengan adanya nyeri akibat defisiensi estrogen. Masalah rasa nyeri
jaringan lunak (wallaca tahun1981) yang menyatakan rasa nyeri timbul setelah bekerja,
memakai baju, pekerjaan rumah tangga, taman dll. Jadi secara anamnesa mendiagnosis
osteoporosis hanya dari tanda sekunder yang menunjang terjadinya osteoporosis seperti
Tinggi badan yang makin menurun.
Obat-obatan yang diminum.
Penyakit-penyakit yang diderita selama masa reproduksi, klimakterium.
Jumlah kehamilan dan menyusui.
Bagaimana keadaan haid selama masa reproduksi.
Apakah sering beraktivitas di luar rumah , sering mendapat paparan matahari
cukup.
Apakah sering minum susu, Asupan kalsium lainnya.
Apakah sering merokok, minum alkohol
II.7. Pemeriksaan Fisik
Tinggi badan dan berat badan harus diukur pada setiap penderita osteoporosis.
Demikian juga gaya berjalan penderita osteoporosis, deformitas tulang, nyeri spinal.
Penderita dengan osteoporosis sering menunjukkan kifosis dorsal atau gibbus dan
penurunan tinggi badan.
II.8. Pemeriksaan Radiologi
Gambaran radiologik yang khas pada osteoporosis adalah penipisan korteks dan
daerah trabekuler yang lebih lusen. Hal ini akan tampak pada tulang-tulang vertebra
yang memberikan gambaran picture-frame vertebra.
II.9. Pemeriksaan Densitas Massa tulang (Densitometri)
Densitas massa tulang berhubungan dengan kekuatan tulang dan resiko fraktur .
untuk menilai hasil pemeriksaan Densitometri tulang, digunakan kriteria kelompok
kerja WHO, yaitu:
1. Normal bila densitas massa tulang di atas -1 SD rata-rata nilai densitas massa
tulang orang dewasa muda (T-score)
2. Osteopenia bila densitas massa tulang diantara -1 SD dan -2,5 SD dari T-score.
3. Osteoporosis bila densitas massa tulang -2,5 SD T-score atau kurang.
4. Osteoporosis berat yaitu osteoporosis yang disertai adanya fraktur.
II.10. Penatalaksanaan
1. Terapi Non-Farmakologi
Terapi non farmakologi untuk osteoporosis dapat dilakukan dengan
pengaturan diet. Keseimbangan diet dengan asupan adekuat dari kalsium dan vitamin
D. Perubahan gaya hidup seperti mengurangi minuman yang berkafein dan minum
alkohol berlebihan karena dapat mempercepat resorpsi tulang. Sebisa mungkin hindari
rokok dan jangan merokok.
Olahraga Tai-Chi ternyata berguna untuk memperbaiki keseimbangan tubuh
penderita osteoporosis. Untuk lansia, penting untuk mencegah terjadinya jatuh di
rumah/lingkungan rumah karena hampir semua penderita patah tulang di rumah.
Usahakan agar faktor-faktor yang dapat mengakibatkan jatuh dihilangkan seperti
lantai licin, karpet longgar, keadaan tangga, pengobatan sedatif (membuat ngantuk).
Pada osteoporosis, latihan jasmani dilakukan untuk mencegah dan mengobati
penyakit osteoporosis. Latihan jasmani menggunakan beban berguna untuk
melenturkan dan menguatkan tulang. Latihan jasmani sebaiknya dilakukan sejak
muda dan terus dilanjutkan sampai tua (Fauci et al, 2008).
2. Terapi Farmakologi
Terapi farmakologi untuk osteoporosis dibagi menjadi dua yaitu terapi dengan
antiresorpsi dan dengan terapi anabolik.
A. TERAPI ANTIRESORPI
1. Kalsium
Kalsium harus dikonsumsi dalam jumlah adekuat untuk mencegah
hiperparatiroidisme dan destruksi tulang. Kalsium harus dikombinasikan dengan
vitamin D dan obat-obat osteoporosis ketika diperlukan. Kalsium yang diberikan
biasanya dalam bentuk garamnya seperti kalsium karbonat dan kalsium sitrat.
Kalsium karbonat merupakan garam pilihan yang mengandung elemen kalsium paling
besar (40%) dan lebih murah. Kalsium karbonat harus diberikan dengan makanan
agar dapat diabsorpsi dari peningkatan sekresi asam. Kalsium sitrat absorpsinya tidak
tergantung asam sehingga dapat diberikan tanpa makanan. Efek samping dari kalsium
yaitu konstipasi (Dipiro et al, 2009).
Tabel 1. Estimasi asupan adekuat kalsium sesuai umur.
Tingkatan umurEstimasi adekuat asupan kalsium
harian, mg/hari
Anak-anak muda (1-3 th) 500
Anak-anak lebih tua (4-8 th) 800
Adolesen dan dewasa muda (9-18 1300
th)
Pria dan wanita (19-50 th) 1000
Pria dan wanita ( 51 th ke atas) 1200
Tabel 2. Preparasi kalsium
Preparasi kalsium Kandungan kalsium
Calcium citrate 60 mg/300mg
Calcium lactate 80 mg/600 mg
Calcium gluconate 40 mg/500 mg
Calcium carbonate 400 mg/g
Calcium carbonate+ 5 g
vitamin D2 (OsCal 250)
250 mg/tablet
Calcium carbonate (Tums 500) 500 mg/tablet
(Fauci et al, 2008)
Kalsium diindikasikan pada pasien yang mengalami defisiensi kalsium.
Kalsium dikontraindikasikan pada pasien hiperkalsemia dan vibrasi ventricular.
Sediaan yang beredar seperti kalsium glukolonat (generik) tablet 600 mg, kalsium
laktat (generik) tablet 300 mg. (Dipiro et al, 2009).
2. Vitamin D
Vitamin D disintesis dalam kulit di bawah pengaruh cahaya panas dan
ultraviolet. Namun, segmen besar dari populasi tidak memperoleh cukup vitamin D
untuk mempertahankan apa yang sekarang dianggap sebagai pasokan yang cukup
[serum 25 (OH) D konsisten> 75 mol / L (30 ng / mL)]. Karena suplemen vitamin D
pada dosis yang akan mencapai kadar serum aman dan murah, Institute of Medicine
merekomendasikan asupan harian 200 IU untuk orang dewasa <50 tahun, 400 IU
untuk orang-orang dari 50-70 tahun, dan 600 IU untuk orang-orang > 70 tahun. Tablet
multivitamin biasanya mengandung 400 IU, dan suplemen kalsium juga banyak
mengandung vitamin D. Beberapa data menunjukkan bahwa dosis tinggi (1.000 IU)
mungkin diperlukan pada orang tua dan sakit kronis (Fauci et al, 2008).
Efek samping dari pemberian vitamin D yaitu dalam jangka pendek seperti
mual-mual, muntah, sakit kepala. Sedangkan dalam jangka panjang dapat
menyebabkan anoreksia, polidipsi, pruritus, hipertermia. Vitamin D apabila diberikan
bersamaan dengan pemberian kalsium dari makanan akan mendapatkan respon klinis
yang baik. Peringatan pada pasien gagal ginjal yang tidak dapat mensintesis kalsitriol
dengan jumlah cukup pada wanita hamil, penggunaannya harus memperhatikan rasio
manfaat dan resiko (Dipiro et al, 2009).
3. Bifosfonat
Mekanisme kerja obat ini adalah dengan berikatan dengan hidroksipatit dalam
tulang dan menurunkan resorpsi dengan mengganggu fungsi osteoklas dan
mengurangi jumlah osteoklas dengan cara menginduksi apoptosis (Fauci et al, 2008).
Contoh dari obat golongan bisphosphonat yaitu alendronat, risedronat, dan
ibandronat. Menurut FDA ketiga obat ini terbukti dapat mencegah dan mengobati
osteoporosis postmenopause. Alendronat dan risedronat digunakan untuk
osteoporosis yang diinduksi kortikosteroid. Obat golongan ini dikontraindikasikan
pada pasien yang memiliki hipersensitivitas terhadap bophosphonat, osteomalasia,
dan hipokalsemia. Efek samping yang timbul seperti mual-mual, muntah, iritasi, nyeri
abdomen dan ulserasi (Dipiro et al, 2009).
Bifosfonat tidak dapat diberikan bersama dengan antacid dan kalsium karena
obat-obat ini dapat menurunkan absorpsi biposphonat. Selain itu, biphosponat harus
diberikan 30 menit sebelum pemberian kalsium. Obat ini harus diberikan secara hati-
hati untuk mengoptimalkan manfaat klinis dan meminimalkan resiko efek samping
terhadap gastrointestinal (Dipiro et al, 2009).
Dosis bifosfonat pada orang dewasa:
o Alendronat : untuk pencegahan diberikan 5 mg/hari,35 mg/minggu; untuk
perawatan 10 mg/hari, 70 mg tablet, 70 mg tablet dengan vitamin D 2800 atau
5600 Unit
o Risendronat : 5 mg/hari, 35 mg/minggu, 150 mg/bulan
o Ibandronat : 2,5 mg/hari, 150 mg sekali sebulan, 5 mg IV per tahun
Terapi kombinasi baik dengan terapi estrogen maupun ralofixen menghasilkan
peningkatan BMD yang lebih besar dibandingkan apabila digunakan sendiri-sendiri
(Dipiro et al, 2009).
4. SERM
Semua SERM (Selective Estrogen Receptor Modulator) berikatan dengan ER
tetapi setiap agen menhasilkan konformasi reseptor-obat yang unik. Akibatnya co-
aktivator spesifik atau co-reseptor protein diikat pada reseptor menghasilkan efek
yang berbeda pada transkripsi gen yang tergantung pada kehadiran faktor transkripsi
lainnya dalam sel. Contoh obat ini adalah raloxifen (Fauci et al, 2008).
Raloxifen merupakan estrogen agonis pada tulang tetapi antagonis pada susu
dan uterus diindikasikan untuk mencegah dan merawat osteoporosis postmenopause.
Obat ini menurunkan fraktur tulang belakang dan meningkatkan BMD tulang pinggul,
tetapi efeknya lebih rendah daripada bifosfonat. Apabila pemberian obat dihentikan,
kehilangan massa tulang akan kembali terjadi sesuai dengan usia atau faktor laju
penyakit. Raloxifen ditoleransi baik. Dosis yang diberikan yaitu 60 mg/hari. Hot flush
sering terjadi pada wanita yang selesai menopause atau terapi estrogennya dihentikan
(Fauci et al, 2008).
5. Kalsitonin
Mekanisme kerja obat ini adalah bersama-sama dengan hormon paratiroid
mengatur homeostasis kalsium dan metabolism kalsium tulang. Kalsitonin dilepaskan
dari kelenjar tiroid terjadi peningkatan kadar kalsium serum. Kalsitonin menekan
aktivitas osteoklas dengan langsung beraksi pada reseptor kalsitonin osteoklas.
Kalsitonin salmon digunakan secara klini karena lebih poten dibandingkan kalsitonin
mamalia (Fauci et al, 2008).
Obat ini diindikasikan untuk pengobatan osteoporosis pada wanita setidaknya
5 tahun setelah menopause, penyakit paget, dan nyeri tulang. Efek sampingnya mual,
muntah, reaksi radang local. Obat ini beredar ada dalam bentuk nasal spray dan
injeksi (Dipiro et al, 2009).
Kalsitonin merupakan pengobatan lini ketiga karena efikasinya kurang
dibandingkan terapi antiresorpsi lainnya. Hanya fraktur tulang belakang yang
didokumentasikan mengalami penurunan dengan pemakaian kalsitonin intranasal.
Kalsitonin tidak secara konsisten memberikan efek pada BMD pinggul dan tidak
menurunkan resiko fraktur tulang pinggul. Dosis intranasal yang diberikan yaitu 200
unit setiap hari dan subkutan 100 unit setiap hari tetapi jarang diberikan karena efek
samping dan biaya yang mahal (Dipiro et al, 2009).
6. Terapi estrogen
Mekanisme estrogen yaitu mungkin dengan menghambat osteoklas secara
langsung. Meskipun demikian, estrogen umumnya memberi efek pada resorpsi tulang
yang dimediasi tidak langsung melalui faktor parakrin yang dihasilkan oleh osteoblas.
Aksinya meliputi (1) peningkatan IGF-I dan TGF-β, dan (2) menekan IL-1 (α dan β),
IL-6, TNF-α dan sintesis osteokalsin. Aksi estrogen tidak langsung umumnya
menurunkan resorpsi tulang (Fauci et al, 2008).
FDA menyepakati estrogen sebagai terapi pencegahan osteoporosis tetapi
hanya digunakan dalam jangka pendek pada wanita yang memerlukan terapi estrogen
untuk memanajemen gejala menopause seperti hot flush. Resiko penggunaan jangka
panjang lebih besar dibandikan manfaat yang diberikan (Fauci et al, 2008).
Dosis rekomendasi untuk estrogen oral yaitu 0,3 mg per hari dalam bentuk
estrogen ester, 0,625 mg/hari estrogen konjugat, dan 5 µg/hari untuk etinilestradiol.
Untuk estrogen transdermal dosis yang umumnya digunakan yaitu 50µg estradiol
setiap hari, tetapi dosis rendah mungkin disesuaikan untuk beberapa individu. Efek
peningkatan BMD dari terapi estrogen dan terapi kombinasi estrogen-progestin lebih
kecil daripada efek yang dihasilkan bifosfonat tetapi lebih dibandingkan raloxifen
(Dipiro et al, 2009).
B. TERAPI ANABOLIK
Terapi Hormon Paratiroid.
Mekanisme dari hormon paratiroid (PTH) secara eksogen pemberiannya
nampak memiliki aksi langsung pada aktivitas osteoblas. PTH mengaktifkan
remodeling tulang tetapi masih nampak mendukung pebentukan tulang diatas
resorpsi tulang. PTH menstimulasi IGF-I dan produksi kolagen dan nampak
meningkatkan jumlah osteoblas dengan menstiulasi replikasi, meningkatkan
rekrutmen osteoblas, dan menghambat apoptosis. Tidak seperti perawatan lainnya,
PTH benar-benar menghasilkan peningkatan pada jaringan tulang dan nampak
restorasi mikroarsitektur tulang (Fauci et al, 2008).
PTH analog seperti teriparatide merupakan obat yang disetujui untuk
pengobatan osteoporosis pada pria maupun wanita. Perawatan dengan PTH
diberikan sebagai injeksi tunggal harian diberikan maksimal 2 tahun. Teriparatid
menhasilkan peningkatan dalam massa tulang dan mediasi perbaikan arsitektur
tulang. Efeknya akan kurang apabila pasien sebelumnya diberikan bifosfonat. Jika
teriparatid diputuskan sebagai pilihan pengobatan, paling baik jika diberikan
monoterapi dan diikuti dengan suatu agen antiresorpsi seperti bifosfanat. Terapi
teriparatid diindikasikan untuk pasien wanita post menopause, pria yang memiliki
resiko tinggi patah tulang, pasien dengan osteoporosis fraktur, dan massa jenis
tulang rendah ( skor T <-3,5). Obat ini dikontraindikasikan pada pasien yang
memiliki peningkatan resiko terhadap osteosarcoma. Teriparatid tidak boleh
diberikan kombinasi dengan alendronat karena dapat menghambat efek teriparatid
(Dipiro et al, 2009).
Mekanisme kerja alendronate:
Alendronate bekerja menghambat resorpsi tulang dengan cara berikatan
dengan sisi aktif resorpsi tulang sehingga menghambat resorpsi aktif oleh
osteoklas tanpa menghambat fungsi osteoblas. Penghambatan resorpsi tulang
menurunkan konsentrasi pelepasan substansi dari tulang dan reduksi signifikan
dalam plasma kalsium dan fosfat (Dollery, 1999)
Efek samping alendronate
- Menyebabkan erosi dan ulserasi esophagus yang banyak.
- Overdosis alendronat dapat dikurangi dengan pemberian susu atau antasida
yang mengandung kalsium sehingga mencegah penyerapan melalui usus.
- Konstipasi
- Diare
- Ulser esophagus
- Flatulen (Sering kentut)
- Disfagia (Sulit menelan)
- Penurunan konsentrasi fosfat dan kalsium pada serum (Dollery, 1999)
Interaksi alendronate dengan obat lainnya dan makanan
Penggunaan alendronat bersamaan dengan NSAIDs dan aspirin
meningkatkan kejadian efek samping gastro intestinal bagian atas. Absorpsi
alendronat dihambat pada pemberian bersamaan antasida dan suplemen kalsium
(Dollery, 1999)
Saran yang diberikan untuk aturan pakai obat obat-obat tersebut
Alendronat tidak boleh diberikan bersamaan dengan suplemen kalsium dan
vitamin D karena dapat mengurangi absorpsi alendronat, tetapi karena di dalam
resep diberikan kalsium dan vitamin D, maka anjurkan pasien untuk meminum
alendronat 30 menit sebelum suplemen kalsium dan vitamin D (Dollery, 1999).
Saran apa yang berkaitan dengan pemberian alendronat
Dosis 10mg/hari. Alendronat diminum dalam keadaan perut kosong
(belum makan). Sebelum diminum, tablet alendronat harus dicuci dahulu dengan
segelas air. Tetap tegak selama setengah hingga satu jam setelah menelan tablet
dan jangan berbaring sebelum makan pertama. Alendronat sebaiknya tidakk
diberikan sebelum tidur. Peresepan bersama aspirin dan NSAIDs harus secara
hati – hati (Dollery, 1999)
Teriparatide
Teriparatide adalah obat pilihan kedua pada pencegahan kerapuhan patah
tulang pada wanita penderita osteoporosis yang berumur 65 tahun atau lebih tua.
Teripatide dianjurkan jika penggunaan bifosfonat gagal atau tidak toleran
terhadap terapi bifosfonat (Sweetman, 2009).
Teriparatide digunakan dalam pengobatan osteoporosis pascamenopause,
terutama pada mereka dengan risiko patah tulang tinggi, dan pada laki-laki
dengan osteoporosis primer atau hipogonadisme yang berada pada peningkatan
risiko patah tulang. Dosis umum adalah 20 mikrogram subkutan setiap hari ke
paha atau dinding perut. Setiap perangkat 3-mL pena prefilled memberikan dosis
20-mcg setiap hari sampai 28 hari. Pasien diingatkan perangkat pena harus
disimpan dalam lemari es (Dipiro, 2006). Pengobatan dibatasi maksimum 18
bulan di Inggris, meskipun telah digunakan sampai 2 tahun di Amerika Serikat
(Sweetman, 2009).
Yang harus diperhatikan dalam penggunaan Teriparatide adalah untuk
pasien yang memiliki riwayat hipersensitivitas karena teriparatide adalah peptida
dan kemungkinan reaksi hipersensitivitas sistemik harus diingat (Sweetman,
2009). Pasien yang sebelumnya mendapatkan terapi alendronate akan menurukan
aktivitas dari teriparatide. Teriparatide juga kontraindikasi pada terhadap pasien
yang memiliki penyakit-penyakit tertentu seperti pada pasien dengan gangguan
ginjal berat dan harus digunakan dengan hati-hati dengan mereka yang memiliki
gangguan ginjal sedang. Hiperkalsemia dapat berkembang dengan teriparatide
oleh karena itu dikontraindikasikan pada pasien dengan riwayat menderita
hiperkalsemia (Sweetman, 2009). Walau hiperkalsemia transient jarang terjadi
pada pasien yang tidak memiliki riwayat menderita hiperkalsemia, namun
pemeriksaan konsentrasi kalsium dalam serum tetap dianjurkan 1 bulan setelah
dimulainya terapi (Dipiro, 2006). Dilaporkan terjadinya osteosarcoma pada tikus
yang diberikan teriparatide sehingga pasien yang mungkin memiliki peningkatan
risiko osteosarcoma, termasuk mereka dengan riwayat metastasis tulang atau
sebelumnya mendapatkan radioterapi untuk kerangka, seharusnya tidak menerima
terapi teriparatide. teriparatide juga kontraindikasi pada pasien dengan penyakit
tulang metabolik termasuk penyakit Paget dan hiperparatiroidisme (Sweetman,
2009).
Teriparatide tersedia dalam bentuk infus intravena dan dalam bentuk pen
untuk pemberian secara subkutan (Dipiro, 2006). Pasien harus diberikan
konseling bahwa pemberian secara subkutan memiliki efek samping yang dapat
mengganggu pasien seperti yang paling umum adalah gangguan pencernaan,
nyeri pada tungkai dekat injeksi, sakit kepala, dan pusing. Pusing, vertigo, dan
sinkop dapat berhubungan dengan hipotensi ortostatik transien yang terjadi pada
beberapa pasien, terutama ketika memulai pengobatan sehingga dosis awal harus
diberikan dengan pasien baik berbaring atau duduk dalam hal mengantisipasi
terjadi hipotensi ortostatik dan pasien harus diberikan konseling untuk tidak boleh
mengemudi atau mengoperasikan mesin berpotensi berbahaya saat melakukan
injeksi teriparatide secara subkutan (Dipiro, 2006). Asthenia, arthralgia, dan
rhinitis dapat terjadi. Angina pektoris, depresi, dispnea, kram kaki, radang paru-
paru, gangguan kemih, dan linu panggul juga telah dilaporkan (Sweetman, 2009).
Teriparatide dapat digunakan untuk terapai selama 18 bulan atau
maksimal selama 2 tahun. Penggunaannya dibatasi pada waktu tersebut karena
teriparatide dimetabolisme aktif di hati dan diekskresikan diginjal sehingga
penggunaan dalam jangka panjang dikhawatirkan merusak hati dan fungsi ginjal
(Sweetman, 2009).
BAB III
KESIMPULAN
1. Osteoporosis adalah suatu kondisi berkurangnya masa tulang secara nyata yang
berakibat pada rendahnya kepadatan tulang.
2. Dua penyebab osteoporosis adalah pembentukan massa puncak tulang selama masa
pertumbuhan dan meningkatnya pengurangan massa tulang setelah menopause.
3. Faktor resiko terjadinya osteoporosis, yaitu usia, genetik, lingkungan dan faktur
panggul.
4. Osteoporosis terbagi menjadi primer dan sekunder. Osteoporosis primer adalah
osteoporosis pasca menopause dan sekunder biasanya terjadi pada usia lebih dari 50
tahun.
5. Tanda klinis utama dari osteoporosis adalah fraktur pada vertebra, pergelangan
tangan, pinggul, humerus, dan tibia.
6. Terapi osteoporosis memepertimbangkan 2 hal, yaitu menghambat hilangnya massa
tulang dan peningkatan massa tulang.
7. Pencegahan osteoporosis adalah mengkonsumsi kalsium yang cukup, olahraga beban
dan mengkonsumsi obat contohnya estrogen.
DAFTAR PUSTAKA
1. Broto, R. 2004. Manifestasi Klinis dan Penatalaksanaan Osteoporosis. Dexa Media No. 2 Vol 17: 47 – 57
2. Dalimartha, S, 2002. Resep Tumbuhan Obat Untuk Penderita Osteoporosis. Penebar Swadaya. Jakarta.
3. Djokomoeljanto R, 2003. Postmenopausal osteoporosis. Patofisiologi dan dasar pengobatan. Simposium Osteoporosis Postmenopausal. Semarang: p.1-12
4. Hammett, Stabler CA, 2004. Osteoporosis from pathophysiology to treatment. In: Washington American Assosiation for Clinical Chemistry Press.p. 1-86
5. Hortono, M, 2000. Mencegah dan Mengatasi Osteoporosis. Puspa Swara. Jakarta.
6. Kaniawati, M., Moeliandari, F, 2003, Penanda Biokimia untuk Osteoporosis.Forum Diagnosticum Prodia Diagnostics Educational Services. No 1: hal. 1–18
7. Lane NE. 2003. Osteoporosis. Jakarta. Raja Grafindo Persada.
8. Sennang AN, Mutmainnah, Pakasi RDN, Hardjoeno, 2006. Analisis KadarOsteokalsin Serum Osteopenia dan Osteoporosis. Dalam Indonesian Journal of clinical pathology and medical laboratory, Vol.12, No.2: hal 49-52
9. Setiyohadi B, 2006. Pemeriksaan Densitometri Tulang. Dalam Buku Ajar Penyakit Dalam. Edisi IV. Editor: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Hal. 1172-75
10. Sinnathamby, Hemanath. 2010. Gambaran Tingkat Pengetahuan Dan Sikap Terhadap Osteoporosis Dan Asupan Kalsium Pada Wanita Premenopause Di Kecamatan Medan Selayang Ii. Skripsi. Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
11. Sudoyo, Setiyohardi, Alwi, Simadibrata, Setiati. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam . Jilid II. Edisi IV. Jakarta: FKUI.
12. Wirakusmah, E.S., 2007. Mnecegah Osteoporosis Lengkar Dengan 39 Jus dan 38 Resep. Available at url : http://books.google.co.id/books?id=voPEmYEwjXwC&pg=PA1&dq=osteoporosis#PPP1M1.[Diskses 10 Juni 2011]
13. Dipiro, Joseph T. et al. 2006. Pharmacotherapy Handbook, 6th Edition. New York: McGraw-Hill. Hal: 29
14. Dipiro, Joseph T., Cecily V. Dipiro, Terry L. Schwinghammer, dan Barbara G. Wells. 2009. Pharmacotherapy Handbook 7th Edition. United State : The McGraw-Hill Companies.
15. Dollery, Collin. 1999. Therapeutic Drug Second Edition. Toronto : Harcourt Brace and Company Llimited.
16. Fauci, Braunwald, Kasper, Hauser Longo, Jameson, dan Loscalzo. 2008. Harrison’s Principle of Internal Medicine Seventeenth Edition. United State : McGraw-Hill Companies Inc.
17. Lelo, Aznan. 2009. Manfaat Ains Terhadap Nyeri Gangguan Muskuloskeletal Pada Usia Lanjut. Sumatera Utara : Fakultass kedoketran, Universitas Sumatera Utara.
18. Sweetman, Sean C. 2009. Martindale: The Complete Drug Reference, Thirty-sixth Edition. London: Pharmaceutical Press. Hal: 1105