Upload
siscahilda
View
40
Download
6
Embed Size (px)
DESCRIPTION
kjb
Citation preview
Referat Ilmu Penyakit Saraf
“Infeksi Meningitis”
Fransisca Hilda Carolina Pratiwi
11.2014.222
Pembimbing
Dr. Hexanto Muhartomo, Sp. S
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF
RUMAH SAKIT PANTI WILASA DR.CIPTO
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
18 April 2016 – 21 Mei 2016
1
BAB I
PENDAHULUAN
Meningitis merupakan inflamasi pada selaput otak yang mengenai lapisan piamater
dan ruang subarakhnoid maupun arakhnoid, dan termasuk cairan serebrospinal (CSS).
Peradangan yang terjadi pada meningen, yaitu membran atau selaput yang melapisi otak dan
medulla spinalis, dapat disebabkan organisme seperti virus, bakteri, ataupun jamur yang
menyebar masuk kedalam darah dan berpindah kedalam cairan otak.1
Meningitis dibagi menjadi dua golongan berdasarkan perubahan yang terjadi pada
cairan otak yaitu meningitis serosa dan meningitis purulenta. Meningitis serosa ditandai
dengan jumlah sel dan protein yang meninggi disertai cairan serebrospinal yang jernih.
Penyebab yang paling sering dijumpai adalah kuman Mycobacterium tuberculosa penyebab
lainnya seperti virus, Toxoplasma gondhii, dan Ricketsia. Meningitis purulenta atau
meningitis bakteri adalah meningitis yang bersifat akut dan menghasilkan eksudat berupa pus
serta bukan disebabkan oleh bakterispesifik maupun virus. Meningitis Neisseria meningitidis
(meningococcus) merupakan meningitis purulenta yang paling sering terjadi. Diplococcus
pneumonia (pneumococcus), Streptococcus haemolyticus group A, Staphylococcus aureus,
Haemophillus influenzae, Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, dan Pseudomonas
aeruginosa.1
Penularan kuman dapat terjadi secara kontak langsung dengan penderita dan droplet
infection yaitu terkena percikan ludah, dahak, ingus, cairan bersin dan cairan tenggorok
penderita. Saluran nafas merupakan port d’entree utama pada penularan penyakit ini.
Bakteri-bakteri ini disebarkan pada orang lain melalui pertukaran udara dari pernafasan dan
sekresi-sekresi tenggorokan yang masuk secara hematogen (melalui aliran darah) ke dalam
cairan serebrospinal dan memperbanyak diri didalamnya sehingga menimbulkan peradangan
pada selaput otak dan otak.
2
BAB II
PEMBAHASAN
Anatomi Lapisan Meningen
Otak dan medulla spinalis dilapisi oleh meningen. Selain melapisi otak dan medulla
spinalis, meningen juga berfungsi yang melindungi struktur saraf yang halus, membawa
pembuluh darah dan mensekresi cairan serebrospinal (CSS). Selaput meningen terdiri dari 3
lapisan, yaitu:2
1. Duramater
Duramater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan endosteal dan lapisan
meningeal. Duramater merupakan selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrosa
yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium. Karena tidak melekat pada selaput
arakhnoid dibawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial (ruang subdural), dimana
sering dijumpai terjadinya pendarahan.
2. Arakhnoid
Merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang, terletak antara piamater sebelah dalam
dan duramater sebelah luar yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari duramater oleh
ruang potensial, disebut spatium subdural, dan dari piamater oleh spatium subarakhnoid
yang terisi oleh CSS. Pendarahan subarakhnoid umumnya disebabkan akibat cedera
kepala.
3. Piamater
Piamater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Piamater adalah membran vaskuler
yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan masuk ke dalam sulci yang paling
dalam. Membran ini membungkus saraf otak dan menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-
arteri yang masuk ke dalam otak juga diliputi oleh piamater.
3
Gambar 1. Susunan Lapisan Meningen
LIQUOR CEREBROSPINALIS (LCS)
Fungsi
LCS memberikan dukungan mekanik pada otak dan bekerja seperti jaket pelindung
dari air. Cairan ini mengontrol eksitabilitas otak dengan mengatur komposisi ion, membawa
keluar metabolit-metabolit (otak tidak mempunyai pumbuluh limfe), dan memberikan
beberapa perlindungan terhadap perubahan-perubahan tekanan (volume venosus volume
cairan cerebrospinal).
Sirkulasi LCS
LCS dihasilkan oleh pleksus choroideus dan mengalir dari ventriculus lateralis ke
dalam ventriculus tertius, dan dari sini melalui aquaductus sylvii masuk ke ventriculus
quartus. Di sana cairan ini memasuki spatium liquor cerebrospinalis externum melalui
foramen lateralis dan medialis dari ventriculus quartus. Cairan meninggalkan system
ventricular melalui apertura garis tengah dan lateral dari ventrikel keempat dan memasuki
rongga subarachnoid. Dari sini cairan mungkin mengalir di atas konveksitas otak ke dalam
rongga subarachnoid spinal. Sejumlah kecil direabsorpsi (melalui difusi) ke dalam pembuluh-
pembuluh kecil di piamater atau dinding ventricular, dan sisanya berjalan melalui jonjot
arachnoid ke dalam vena (dari sinus atau vena-vena) di berbagai daerah – kebanyakan di atas
konveksitas superior. Tekanan cairan cerebrospinal minimum harus ada untuk
mempertahankan reabsorpsi. Karena itu, terdapat suatu sirkulasi cairan cerebrospinal yang
terus menerus di dalam dan sekitar otak dengan produksi dan reabsorpsi dalam keadaan yang
seimbang.
4
Gambar 2. Sirkulasi Liquor Cerebrospinalis
Klasifikasi Meningitis
A. Meningitis dibagi menjadi 2 golongan berdasarkan perubahan yang terjadi pada cairan
otak, yaitu:
Meningitis serosa
Meningitis serosa ditandai dengan jumlah sel dan protein yang meninggi
disertai cairan serebrospinal yang jernih. Penyebab yang paling sering dijumpai
adalah kuman Tuberculosis dan virus.1
Meningitis purulenta
Meningitis purulenta atau meningitis bakteri adalah meningitis yang bersifat
akut dan menghasilkan eksudat berupa pus serta bukan disebabkan oleh bakteri
spesifik maupun virus. Penyebabnya antara lain: Diplococcus pneumonia
(pneumokokus), Neisseria meningitis (meningokokus), Streptococus
haemolyticuss, Staphylococcus aureus, Haemophilus influenzae, Escherichia coli,
Klebsiella pneumoniae, Peudomonas aeruginosa.1
B. Meningitis berdasarkan mikroorganisme penyebab:
Meningitis Bakterial
Meningitis bakterial merupakan karakteristik inflamasi pada seluruh
meningen, dimana organisme masuk kedalam ruang arachnoid dan subarachnoid.
Meningitis bakterial merupakan kondisi emergensi neurologi dengan angka
5
kematian sekitar 25%. Meningitis bakterial jika cepat dideteksi dan mendapatkan
penanganan yang tepat akan mendapatkan hasil yang baik. Meningitis bakterial
sering disebut juga sebagai meningitis purulen atau meningitis septik. Bakteri yang
dapat mengakibatkan serangan meningitis adalah; Streptococcus pneuemonia
(pneumococcus), Neisseria meningitidis, Haemophilus influenza,
(meningococcus), Staphylococcus aureus dan Mycobacterium tuberculosis.1,3
Meningitis Virus
Meningitis virus biasanya disebut meningitis aseptik. Sering terjadi akibat
lanjutan dari bermacam-macam penyakit akibat virus, meliputi; measles, mumps,
herpes simplek, dan herpes zoster .Virus penyebab meningitis dapat dibagi dalam
dua kelompok, yaitu virus RNA (ribonuclear acid) dan virus DNA (deoxyribo
nucleidacid). Contoh virus RNA adalah enterovirus (polio), arbovirus (rubella),
flavivirus (dengue), mixovirus (influenza, parotitis, morbili). Sedangkan contoh
virus DNA antara lain virus herpes, dan retrovirus (AIDS). Meningitis virus
biasanya dapat sembuh sendiri dan kembali seperti semula (penyembuhan secara
komplit). Pada kasus infeksi virus akut, gambaran klinik seperti meningitis akut,
meningo-ensepalitis akut atau ensepalitis akut. Derajat ringan akut meningo-
ensepalitis mungkin terjadi pada banyak infeksi virus akut, biasanya terjadi pada
anak-anak, sedangkan pada pasien dewasa tidak teridentifikasi.1,3
Etiologi Meningitis
Penyebab tersering dari meningitis adalah mikroorganisme seperti bakteri, virus,
parasit dan jamur. Mikroorganisme ini menginfeksi darah dan likuor serebrospinal.
Meningitis juga dapat disebabkan oleh penyebab non-infeksi, seperti pada penyakit AIDS,
keganasan, diabetes mellitus, cedera fisik atau obat – obatan tertentu yang dapat melemahkan
sistem imun (imunosupresif).5
Meningitis dapat terjadi karena terinfeksi oleh virus, bakteri, jamur maupun parasit :
Virus :
Meningitis virus umumnya tidak terlalu berat dan dapat sembuh secara alami tanpa
pengobatan spesifik. Kasus meningitis virus di Amerika serikat terutama selama musim panas
disebabkan oleh enterovirus; walaupun hanya beberapa kasus saja yang berkembang menjadi
meningitis. Infeksi virus lain yang dapat menyebabkan meningitis, yakni :
Virus Mumps
6
Virus Herpes, termasuk Epstein-Barr virus, herpes simplexs, varicella-zoster,
Measles, and Influenza
Virus yang menyebar melalui nyamuk dan serangga lainnya (Arboviruses)
Kasus lain yang agak jarang yakni LCMV (lymphocytic choriomeningitis virus),
disebarkan melalui tikus.5
Bakteri :
Salah satu penyebab utama meningitis bakteri pada anak-anak dan orang dewasa muda
di Amerika Serikat adalah bakteri Neisseria meningitidis. Meningitis disebabkan oleh bakteri
ini dikenal sebagai penyakit meningokokus.
Bakteri penyebab meningitis juga bervariasi menurut kelompok umur.5 Selama usia bulan
pertama, bakteri yang menyebabkan meningitis pada bayi normal merefleksikan flora ibu
atau lingkungan bayi tersebut (yaitu, Streptococcus group B, basili enterik gram negatif, dan
Listeria monocytogenes). Meningitis pada kelompok ini kadang -kadang dapat karena
Haemophilus influenzae dan patogen lain ditemukan pada penderita yang lebih tua.
Meningitis bakteri pada anak usia 2 bulan – 12 tahun biasanya karena H. influenzae
tipe B, Streptococcus pneumoniae, atau Neisseria meningitidis. Penyakit yang disebabkan
oleh H.influenzae tipe B dapat terjadi segala umur namun seringkali terjadi sebelum usia 2
tahun.
Klebsiella, Enterobacter, Pseudomonas, Treponema pallidum, dan Mycobacterium
tuberculosis dapat juga mengakibatkan meningitis. Citrobacter diversus merupakan
penyebab abses otak yang penting.
Risk and/or Predisposing
FactorBacterial Pathogen
Age 0-4 weeks Streptococcus agalactiae (group B
streptococci)
E coli K1
Listeria monocytogenes
Age 4-12 weeks S agalactiae
E coli
H influenzae
S pneumoniae
N meningitides
Age 3 months to 18 years N meningitidis
7
S pneumoniae
H influenza
Age 18-50 years S pneumoniae
N meningitidis
H influenza
Age older than 50 years S pneumoniae
N meningitidis
L monocytogenes
Aerobic gram-negative bacilli
Immunocompromised state S pneumoniae
N meningitidis
L monocytogenes
Aerobic gram-negative bacilli
Intracranial manipulation,
including neurosurgery
Staphylococcus aureus
Coagulase-negative staphylococci
Aerobic gram-negative bacilli, including
P aeruginosa
Basilar skull fracture S pneumoniae
H influenzae
Group A streptococci
CSF shunts Coagulase-negative staphylococci
S aureus
Aerobic gram-negative bacilli
Propionibacterium acnes
Tabel 1. Bakteri penyebab tersering menurut umur dan faktor predisposisi
Epidemiologi
Pada meningitis bakterialis, pneumokokus, influenza (H. influenzae), dan bentuk
meningitis meningokokus memiliki distribusi di seluruh dunia, terjadi terutama selama
musim dingin dan awal musim semi dan, dalam kasus dua yang pertama, juga di musim
gugur, dan mendominasi sedikit pada pria. Masing-masing memiliki insiden yang relatif
konstan, meskipun epidemi meningitis meningokokus tampaknya terjadi di sekitar 10-tahun
8
siklus. Obat-resistan muncul dengan berbagai frekuensi, dan informasi tersebut, diperoleh
dari laporan pengawasan yang dikeluarkan oleh Pusat Pengendalian dan Pencegahan
Penyakit dan dari laporan badan kesehatan lokal dan pengawasan rumah sakit infeksi, sangat
penting praktis yang besar.5
H. influenzae meningitis, sebelumnya ditemui terutama pada bayi dan anak muda,
telah hampir dieliminasi dalam kelompok usia ini sebagai hasil dari program vaksinasi di
negara maju. Ini terus menjadi umum di negara-negara kurang berkembang dan sekarang
terjadi dengan frekuensi yang meningkat pada orang dewasa (di Amerika Serikat ada 15.000
kasus setiap tahun). Meningitis meningokokus terjadi paling sering pada anak dan remaja
tetapi juga ditemui di banyak kehidupan dewasa, dengan penurunan tajam dalam insiden
setelah usia 50. Meningitis pneumokokus menonjol dalam sangat muda dan pada orang
dewasa yang lebih tua. Mungkin perubahan yang terbesar dalam epidemiologi meningitis
bakteri, selain dari yang berkaitan dengan vaksinasi influenzae H., telah meningkatnya
insiden infeksi nosokomial, akuntansi untuk 40 persen kasus di rumah sakit kota besar
(Durand dan rekan); staphylococcus dan gram-negatif basil untuk sebagian besar dari ini.
Yang perlu diperhatikan adalah laporan Schuchat dkk, yang menemukan bahwa pada tahun
1995, sekitar 5 tahun setelah pengenalan vaksin konjugat H. influenzae, kejadian
keseluruhan meningitis bakteri di Amerika Serikat telah dibelah dua. Tingkat kejadian
tahunan (per 100.000) dari patogen yang bertanggung jawab sekarang kurang lebih sebagai
berikut: Strep. pneumoniae, 1,1; N. meningitidis, 0,6; kelompok B streptokokus (bayi baru
lahir), 0,3; L. monocytogenes, 0,2; dan H. influenzae, 0,2.5
Patofisiologi Meningitis
Meningitis pada umumnya sebagai akibat dari penyebaran penyakit di organ atau
jaringan tubuh yang lain. Virus / bakteri menyebar secara hematogen sampai ke selaput otak,
misalnya pada penyakit faringitis, tonsilitis, pneumonia, bronchopneumonia dan endokarditis.
Penyebaran bakteri/virus dapat pula secara perkontinuitatum dari peradangan organ atau
jaringan yang ada di dekat selaput otak, misalnya abses otak, otitis media, mastoiditis,
trombosis sinus kavernosus dan sinusitis. Penyebaran kuman bisa juga terjadi akibat trauma
kepala dengan fraktur terbuka atau komplikasi bedah otak. Invasi kuman-kuman ke dalam
ruang subaraknoid menyebabkan reaksi radang pada pia dan araknoid, CSS (Cairan
Serebrospinal) dan sistem ventrikulus. Mula-mula pembuluh darah meningeal yang kecil dan
sedang mengalami hiperemi; dalam waktu yang sangat singkat terjadi penyebaran sel-sel
leukosit polimorfonuklear ke dalam ruang subarakhnoid, kemudian terbentuk eksudat.3
9
Dalam beberapa hari terjadi pembentukan limfosit dan histiosit dan dalam minggu
kedua selselplasma. Eksudat yang terbentuk terdiri dari dua lapisan, bagian luar mengandung
leukosit polimorfonuklear dan fibrin sedangkan di lapisaan dalam terdapat makrofag. Proses
radang selain pada arteri juga terjadi pada vena-vena di korteks dan dapat menyebabkan
trombosis, infark otak, edema otak dan degenerasi neuron-neuron. Trombosis serta organisasi
eksudat perineural yang fibrino-purulen menyebabkan kelainan kraniales. Pada meningitis
yang disebabkan oleh virus, cairan serebrospinal tampak jernih dibandingkan Meningitis
yang disebabkan oleh bakteri.3
Pada meningitis TB terjadi akibat penyebaran infeksi secara hematogen ke meningen.
Dalam perjalanannya meningitis TB melalui 2 tahap. Mula-mula terbentuk lesi di otak atau
meningen akibat penyebaran basil secara hematogen selama infeksi primer. Penyebaran
secara hematogen dapat juga terjadi pada TB kronik, tetapi keadaan ini jarang ditemukan.
Selanjutnya meningitis terjadi akibat terlepasnya basil dan antigen TB dari fokus kaseosa
(lesi permulaan di otak) akibat trauma atau proses imunologik, langsung masuk ke ruang
subarakhnoid. Meningitis TB biasanya terjadi 3–6 bulan setelah infeksi primer.3
Kebanyakan bakteri masuk ke cairan serebro spinal dalam bentuk kolonisasi dari
nasofaring atau secara hematogen menyebar ke pleksus koroid, parenkim otak, atau selaput
meningen. Vena-vena yang mengalami penyumbatan dapat menyebabkan aliran retrograde
transmisi dari infeksi. Kerusakan lapisan dura dapat disebabkan oleh fraktur , paska bedah
saraf, injeksi steroid secara epidural, tindakan anestesi, adanya benda asing seperti implan
koklear, VP shunt, dll. Sering juga kolonisasi organisme pada kulit dapat menyebabkan
meningitis. Walaupun meningitis dikatakan sebagai peradangan selaput meningen, kerusakan
meningen dapat berasal dari infeksi yang dapat berakibat edema otak, penyumbatan vena dan
memblok aliran cairan serebrospinal yang dapat berakhir dengan hidrosefalus, peningkatan
intrakranial, dan herniasi.6
Diagnosis Meningitis
Anamnesis
Awitan gejala akut (<24 jam) disertai trias meningitis yaitu demam, nyeri kepala
hebat dan kaku kuduk. Gejala lain yaitu mual, muntah, fotofobia, kejang fokal atau umum,
gangguan kesadaran. Mungkin dapat ditemukan riwayat infeksi paru-paru, telinga, sinus,
ataupun katup jantung. Pada bayi atau neonatus, gejala bersifat nonspesifik seperti demam,
iribilitas, letargi, muntah, dan kejang.
10
Pemeriksaan Fisik dan Neurologis
a. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik mempunyai nilai yang sangat penting untuk memperkuat
temuan-temuan dalam anamnesis. Terdiri atas inspeksi, palpasi, perkusi, dan
auskultasi. Sikap sopan santun dan rasa hormat terhadap tubuh dan pribadi pasien
yang sedang dipriksa harus diperhatikan dengan baik oleh pemeriksa.5
Pemeriksaan fisis harus selalu dimulai dengan penilaian keadaan umum
pasien. Dengan penilaian keadaan umum ini dapat diperoleh kesan apakah pasien
dalam keadaan distress akut yang memerlukan pertolongan segera, atau pasien dalam
keadaan yang relative stabil sehingga pertolongan dapat diberikan setelah dilakukan
pemeriksaan fisik yang lebih lengkap.
Pemeriksaan harus mencakup :
1. Gejala vital. Periksan jalan nafas, kadaan respirasi dan sirkulasi. Pastikan bahwa
jalan nafas terbuka dan pasien dapat bernafas. Otak membutuhkan pasokan
oksigen yang kontinu, demikian glukosa. Tanpa oksigen sel-sel otak akan mati
dalam waktu 5 menit. Karena itu, harus ada sirkulasi darah untuk menyampaikan
oksigen dan glukosa ke otak. Jadi waktu untuk memulihkan pernafasan dan
sirkulasi darah adalah singkat.
2. Kulit. Perhatikan tanda trauma, simata penyakit hati, bekas suntikan, kulit basah
karena keringat (misalnya pada hipoglikemi, syok), kulit kering (misalnya pada
koma diabetic), perdarahan misalnya demam berdarah, DIC).
3. Kepala. Perhatikan tanda trauma, hematoma di kulit kepala, hematoma disekitar
mata, perdarahan di liang telingan dan hidung.
4. Thoraks, jantung, paru, abdomen, ekstremitas.
b. Pemeriksaan Neurologis7
a. PEMERIKSAAN NEUROLOGI
Pada tiap penderita koma atau kesadaran menurun harus dilakukan pemeriksaan
neurologis, perhatikan sikap penderita waktu berbaring apakah tenang dan santai yang
menandakan bahwa penurunan kesadaran tidak dalam. Adanya gerakan menguap dan
menelan menandakan bahwa turunnya kesadaran tidak dalam. Kelopak mata yang
terbuka dan rahan yang tergantung di dapatkan pada penurunan kesadaran yang
dalam. Perlu diketahui bahwa tidak ada batasan yang tegas antara tingkat kesadaran.
11
Secara umum data dikatakan bahwa semakin kuat rangsang yang dibutuhkan untuk
membangkitkan jawaban, semakin dalam penurunan tingkat kesadaran.6
1. GCS (GLASGOW COMA SCALE)
GCS digunakan untuk memperhatikan tanggapan (respons) penderita terhadap
rangsang dan member nilai pada respons tersebut. Tanggapan / respons penderita
yang perlu diperhatikan adalah :7
Membuka Mata Nilai
- Spontan 4
- Terhadap bicara 3
(Suruh pasien membuka mata)
- Dengan rangang nyeri 2
(Tekan pada saraf supraorbita atau ujung jari)
- Tidak ada reaksi 1
Respons Verbal (Berbicara) Nilai
- Baik dan tak ada disorientasi 5
(Dapat menjawab dengan kalimat yang baik dan tahu dimana
ia berada, tahu waktu, hari, bulan)
- Kacau (“confused”) 4
(Dapat bicara dalam kalimat, namun ada disorientasi
waktu dan tempat)
- Tidak tepat 3
(Dapat mengucapkan kata-kata namun tidak berupa
kalimat dan tidak tepat)
- Mengerang 2
(Tidak mengucapkan kata-kata, hanya mengerang)
- Tidak ada jawaban 1
Respons Motorik (Gerakan) Nilai
- Menuruti perintah 6
(misalnya, suruh : “angkat tangan”)
- Mengetahui lokasi nyeri 5
(Berikan rangsangan nyeri misalnya menekand dengan jari pada
supraorbita. Bila oleh rasa nyeri pasien mengangkat tangannya
sampai melewati dagu untuk maksud menapis rangsangan tersebut
12
berarti ia dapat mengetahui lokasi nyeri)
- Reaksi menghindar 4
- Reaksi fleksi (dekortifikasi) 3
(Berikan rangsangan nyeri misalnya menekan dengan objek keras,
seperti ballpoint, pada jari kuku. Bila sebagai jawaban siku
memfleksi, terdapat reaksi fleksi pada nyeri ; fleksi pada pergelangan
tangan mungkin ada mungkin tidak ada)
- Reaksi ekstensi (deserebrasi) 2
(Dengan rangsang nyeri tsb diatas terjadi ekstensi pada siku. Ini
selalu disertai fleksi spatik pada pergelangan tangan)
- Tidak ada reaksi 1
(Sebelum emmutuskan bahwa tidak ada reaksi, harus diyakinkan
bahwa rangsang nyeri memang cukup adekuat diberikan)
2. CRANIAL NERVE 1-12
Saraf-saraf kranial langsung berasal dari otak dan meninggalkan tengkorak
melalui lubang-lubang pada tulang yang dinamakan foramina, terdapat 12 pasang
saraf kranial yang dinyatakan dengan nama atau dengan angka romawi. Saraf-
saraf tersebut adalah olfaktorius (I), optikus (II), Okulomotorius (III), troklearis
(IV), trigeminus (V), abdusens (VI), fasialis (VII), vestibula koklearis (VIII),
glossofaringeus (IX), vagus (X), asesorius (XI), hipoglosus (XII). Saraf kranial I,
II, VII merupakan saraf sensorik murni, saraf kranial III, IV, XI dan XII
merupakan saraf motorik, tetapi juga mengandung serabut proprioseptif dari otot-
otot yang dipersarafinya. Saraf kranial V, VII, X merupakan saraf campuran, saraf
kranial III, VII dan X juga mengandung beberapa serabut saraf dari cabang
parasimpatis sistem saraf otonom.
1) Cranial Nerve I (Olfaktorius)
Saraf ini tidak diperiksa secara rutin, tetapi harus dikerjakan jika
terdapat riwayat tentang hilangnya rasa pengecapan dan penciuman, kalau
penderita mengalami cedera kepala sedang atau berat, dan atau dicurigai
adanya penyakit-penyakit yang mengenai bagian basal lobus frontalis.7
Untuk menguji saraf olfaktorius digunakan bahan yang tidak
merangsang seperti kopi, tembakau, parfum atau rempah-rempah. Letakkan
13
salah satu bahan-bahan tersebut di depan salah satu lubang hidung orang
tersebut sementara lubang hidung yang lain kita tutup dan pasien menutup
matanya. Kemudian pasien diminta untuk memberitahu saat mulai terhidunya
bahan tersebut dan kalau mungkin mengidentifikasikan bahan yang di hidu. 7
2) Cranial Nerve II (Optikus)
Pemeriksaan meliputi penglihatan sentral (Visual acuity), penglihatan
perifer (visual field), refleks pupil, pemeriksaan fundus okuli serta tes warna.
i. Pemeriksaan penglihatan sentral (visual acuity)
Penglihatan sentral diperiksa dengan kartu snellen, jari tangan, dan
gerakan tangan.
Kartu Snellen
Pada pemeriksaan kartu memerlukan jarak enam meter antara pasien
dengan tabel, jika tidak terdapat ruangan yang cukup luas,
pemeriksaan ini bisa dilakukan dengan cermin. Ketajaman
penglihatan normal bila baris yang bertanda 6 dapat dibaca dengan
tepat oleh setiap mata (visus 6/6).
Jari Tangan
Normal jari tangan bisa dilihat pada jarak 3 meter tetapi bisa melihat
pada jarak 2 meter, maka perkiraan visusnya adalah kurang lebih
2/60.
Gerakan Tangan
Normal gerakan tangan bisa dilihat pada jarak 2 meter tetapi bisa
melihat pada jarak 1 meter berarti visusnya kurang lebih 1/310. 7
ii. Pemeriksaan Penglihatan Perifer
Pemeriksaan penglihatan perifer dapat menghasilkan informasi tentang
saraf optikus dan lintasan penglihatan mulai dair mata hingga korteks
oksipitalis. Penglihatan perifer diperiksa dengan tes konfrontasi atau
dengan perimetri / kompimetri.
Konfrontasi
Jarak antara pemeriksa – pasien : 60 – 100 cm. Objek yang
digerakkan harus berada tepat di tengah-tengah jarak tersebut. Objek
14
yang digunakan (2 jari pemeriksa / ballpoint) di gerakan mulai dari
lapang pandang kahardan kiri (lateral dan medial), atas dan bawah
dimana mata lain dalam keadaan tertutup dan mata yang diperiksa
harus menatap lururs kedepan dan tidak boleh melirik kearah objek
tersebut. Syarat pemeriksaan lapang pandang pemeriksa harus
normal.
Perimetri / Kopimetri
Lebih teliti dari tes konfrontasi. Hasil pemeriksaan di proyeksikan
dalam bentuk gambar di sebuah kartu. 7
iii. Refleks Pupil
Saraf aferen berasal dari saraf optikal sedangkan saraf aferennya dari
saraf occulomotorius. Ada dua macam refleks pupil.
Respon Cahaya Langsung
Pakailah senter kecil, arahkan sinar dari samping (sehingga pasien
tidak memfokus pada cahaya dan tidak berakomodasi) ke arah salah
satu pupil untuk melihat reaksinya terhadap cahaya. Inspeksi kedua
pupil dan ulangi prosedur ini pada sisi lainnya. Pada keadaan normal
pupil yang disinari akan mengecil.
Respon Cahaya Konfensional
Jika pada pupil yang satu disinari maka secara serentak pupil lainnya
mengecil dengan ukuran yang sama. 7
iv. Pemeriksaan fundus occuli (fundus kopi)
Digunakan alat oftalmoskop. Putar lensa ke arah O dioptri maka fokus
dapat diarahkan kepada fundus, kekeruhan lensa (katarak) dapat
mengganggu pemeriksaan fundus. Bila retina sudah terfokus carilah
terlebih dahulu diskus optikus. Caranya adalah dengan mengikuti
perjalanan vena retinalis yang besar ke arah diskus. Semua vena-vena ini
keluar dari diskus optikus. 7
v. Tes warna
Untuk mengetahui adanya polineuropati pada n. optikus. 7
3) Cranial Nerve III (Okulomotorius)
Pemeriksaan meliputi: Ptosis, Gerakan bola mata dan Pupil
15
i. Ptosis
Pada keadaan normal bila seseorang melihat ke depan maka batas
kelopak mata atas akan memotong iris pada titik yang sama secara
bilateral. Ptosis dicurigai bila salah satu kelopak mata memotong iris
lebih rendah dari pada mata yang lain, atau bila pasien mendongakkan
kepal ke belakang / ke atas (untuk kompensasi) secara kronik atau
mengangkat alis mata secara kronik pula. 7
ii. Gerakan bola mata
Pasien diminta untuk melihat dan mengikuti gerakan jari atau ballpoint
ke arah medial, atas, dan bawah, sekligus ditanyakan adanya penglihatan
ganda (diplopia) dan dilihat ada tidaknya nistagmus. Sebelum
pemeriksaan gerakan bola mata (pada keadaan diam) sudah dilihat
adanya strabismus (juling) dan deviasi conjugate ke satu sisi. 7
iii. Pupil
Pemeriksaan pupil meliputi :
Bentuk dan ukuran pupil
Perbandingan pupil kanan dan kiri
Perbedaan pupil sebesar 1mm masih dianggap normal
Refleks pupil
o Refleks cahaya langsung (bersama N. II)
o Refleks cahaya tidak langsung (bersama N. II)
o Refleks pupil akomodatif atau konvergensi
Bila seseorang melihat benda didekat mata (melihat hidungnya
sendiri) kedua otot rektus medialis akan berkontraksi. Gerakan
kedua bola mata ini disebut konvergensi. Bersamaan dengan
gerakan bola mata tersebut maka kedua pupil akan mengecil (otot
siliaris berkontraksi) atau pasien disuruh memandang jauh dan
disuruh memfokuskan matanya pada suatu objek diletakkan pada
jarak 15 cm didepan mata pasien dalam keadaan normal
terdapat konstriksi pada kedua pupil yang disebut reflek
akomodasi. 7
4) Cranial Nerve IV (Troklearis)
16
Meliputi :
i. Gerak mata kelateral bawah
ii. Strabismus Konvergen
iii. Diplopia. 7
5) Cranial Nerve V (Trigeminus)
i. Sensibilitas
Ada tiga cabang sensorik, yaitu oftalmik, maksila, mandibula.
Pemeriksaan dilakukan pada ketiga cabang saraf tersebut dengan
membandingkan sisi yang satu dengan sisi yang lain. Mula-mula tes
dengan ujung yang tajam dari sebuah jarum yang baru. Pasien menutup
kedua matanya dan jarum ditusukkan dengan lembut pada kulit, pasien
ditanya apakah terasa tajam atau tumpul. Hilangnya sensasi nyeri akan
menyebabkan tusukan terasa tumpul. Daerah yang menunjukkan sensasi
yang tumpul harus digambar dan pemeriksaan harus di lakukan dari
daerah yang terasa tumpul menuju daerah yang terasa tajam. Juga
dilakukan dari daerah yang terasa tumpul menuju daerah yang terasa
tajam. Juga lakukan tes pada daerah di atas dahi menuju belakang
melewati puncak kepala. Jika cabang oftalmikus terkena sensasi akan
timbul kembali bila mencapai dermatom C2. Temperatur tidak diperiksa
secara rutin kecuali mencurigai siringobulbia, karena hilangnya sensasi
temperatur terjadi pada keadaan hilangnya sensasi nyeri, pasien tetap
menutup kedua matanya dan lakukan tes untuk raba halus dengan kapas
yang baru dengan cara yang sama. Pasien disuruh mengatakan “ya”
setiap kali dia merasakan sentuhan kapas pada kulitnya. 7
ii. Motorik
Pemeriksaan dimulai dengan menginspeksi adanya atrofi otot-otot
temporalis dan masseter. Kemudian pasien disuruh mengatupkan giginya
dan lakukan palpasi adanya kontraksi masseter diatas mandibula.
Kemudian pasien disuruh membuka mulutnya (otot-otot pterigoideus)
dan pertahankan tetap terbuka sedangkan pemeriksa berusaha
menutupnya. Lesi unilateral dari cabang motorik menyebabkan rahang
berdeviasi kearah sisi yang lemah (yang terkena). 7
iii. Refleks
17
Jaw Refleks (Refleks Rahang)
Untuk melihat adanya lesi UMN (certico bultar) penderita membuka
mulut secukupnya (jangan terlalu lebar) kemudian dagu diberi alas
jari tangan pemeriksa diketuk mendadak dengan palu refleks. Respon
normal akan negatif yaitu tidak ada penutupan mulut atau positif
lemah yaitu penutupan mulut ringan. Sebaliknya pada lesi UMN
akan terlihat penutupan mulut yang kuat dan cepat. 7
Refleks Kornea
Kornea mata disentuh dengan sepotong kapas yang ujung nya dibuat
runcing. Hal ini mengakibatkan dipejamkannya mata (m.Orbicularis
okuli). Pada pemeriksaan ini harus dijaga agar datang nya kapas ke
mata tidak diketahui oleh pasien, misalnya dengan menyuruh nya
melirik kearah yang berlawanan dengan arah datang nya kapas. Pada
gangguan nervus V sensorik, reflex ini negative atau berkurang.
Sensitifitas kornea diurus oleh nervus V sensorik cabang oftalmik. 7
6) Cranial Nerve VI (Abdusens)
Pemeriksaan meliputi gerakan mata ke lateral, strabismus konvergen dan
diplopia tanda-tanda tersebut maksimal bila memandang ke sisi yang terkena
dan bayangan yang timbul letaknya horizonatal dan sejajar satu sama lain. 7
7) Cranial Nerve VII (Fasialis)
i. Tes kekuatan otot
Mengangkat alis, bandingkan kanan dan kiri.
Menutup mata sekuatnya (perhatikan asimetri) kemudioan pemeriksa
mencoba membuka kedua mata tersebut bandingkan kekuatan kanan
dan kiri.
Memperlihatkan gigi (asimetri)
Mencucukan bibir dan menggembungkan pipi. 7
ii. Tes sensorik khusus (pengecapan) 2/3 depan lidah
Pemeriksaan dengan rasa manis, pahit, asam, asin yang disentuhkan pada
salah satu sisi lidah. 7
8) Cranial Nerve VIII (Vestibula Koklearis / Akustikus)
18
i. Pemeriksaan Pendengaran
Inspeksi meatus akustikus akternus dari pasien untuk mencari adanya
serumen atau obstruksi lainnya dan membrana timpani untuk
menentukan adanya inflamasi atau perforasi kemudian lakukan tes
pendengaran dengan menggunakan gesekan jari, detik arloji, dan
audiogram. Audiogram digunakan untuk membedakan tuli saraf dengan
tuli konduksi dipakai tes Schwabach, Rinne dan Weber. 7
Test Schwabach
Garpu tala di bunyikan kemudian ditempatkan dekat telinga
penderita. Setelah penderita tidak mendengarkan bunyi lagi, garpu
tala tersebut diletakkan didekat telinga pemeriksa. Bila masih
terdengar bunyi oleh pemeriksa, maka dikatakan tes Schwabach lebih
pendek (untuk konduksi udara). Kemudian garpu tala dibunyikan lagi
dan pangkal nya di tekankan pada tulang mastoid penderita. Suruh ia
mendengarkan bunyinya. Bila sudah tidak terdengar lagi, maka garpu
tala ditempatkan ditulang mastoid pemeriksa. Bila pemeriksa masih
mendengarnya, maka dikatakan bahwa Schwabach lebih pendek
(untuk konduksi tulang). 7
Test Rinne
Garpu tala dengan frekuensi 256 Hz mula-mula dilakukan pada
prosesus mastoideus, dibelakang telinga, dan bila bunyi tidak lagi
terdengar letakkan garpu tala tersebut sejajar dengan meatus
akustikus oksterna. Dalam keadaan normal masih terdengar pada
meatus akustikus eksternus. Pada tuli saraf anda masih terdengar
pada meatus akustikus eksternus. Keadaan ini disebut Rinne negatif.7
Test Weber
Garpu tala 256 Hz diletakkan pada bagian tengah dahi dalam
keadaan normal bunyi akan terdengar pada bagian tengah dahi pada
tuli saraf bunyi dihantarkan ke telinga yang normal pada tuli
konduktif bunyi tedengar lebih keras pada telinga yang abnormal. 7
ii. Pemeriksaan Vestibuler
Pemeriksaan fungsi vestibuler meliputi :
Untuk Menilai Nistagmus
o Hallpike Manouver
19
Pada tes ini pasien disuruh duduk ditempat tidur periksa.
Kemudian ia direbahkan sampai kepalanya tergantung di pinggir
dengan sudut sekitar 30O di bawah horizon. Selanjutnya kepala
ditolehkan ke kiri, kepala diluruskan kembali, lalu ditolehkan ke
kanan. Penderita disuruh agar tetap embuka matanya agar
pemeriksa dapat melihat sekitarnya munul nistagmus. Perhatikan
kapan nistagmus muncul, berapa lama berlangsung serta
jenisnya. Kemudian tanyakan pada pasien apa yang ia rasakan. 7
o Elektronistagmografi
Pada pemeriksaan dengan alat ini diberikan stimulus kalori
keliang telinga dan lamanya serta cepatnya nistagus timbul dapat
dicatat pada kertas, menggunakan teknik yang mirip dengan
elektrokardiografi. 7
Untuk menilai keseimbangan
o Stepping Test
Penderia disuruh berjalan ditempat dengan mata tertutup
sebanyak 50 langkah dengan kecepatan seperti jalan biasa.
Sebelumnya dikatakan kepada nya bahwa ia harus berusaha agar
tetap ditempat, dan tidak ebranjak dari tempanya selama tes ini.
Hasil tes dianggap abnormal bila kedudukan akhir penderita
berjarak lebih dari 1 meter dari tempat semulanya, atau badan
terputar lebih dari 30O. 7
o Past Pointing
Penderita disuruh merentangkan lengannya dan telunjuknya
menyentuh telunjuk pemeriksa. Kemudian ia disuruh menutup
mata mata, mengangkat lengannya tinggi-tinggi sampai vertikal)
dan kemudian kembali ke posisi semula. Pada gangguan
vestibular didapatkan salah tunjuk (deviasi), demikian juga
dengan gangguan cerebral. 7
9) Cranial Nerve IX (Glossofaringeus) & Cranial Nerve X (Vagus) 7
20
Pemeriksaan N. IX dan N X. karena secara klinis sulit dipisahkan maka
biasanya dibicarakan bersama-sama, anamnesis meliputi kesedak / keselek
(kelumpuhan palatom), kesulitan menelan dan disartria (khas bernoda hidung /
bindeng). Pasien disuruh membuka mulut dan inspeksi palatum dengan senter
perhatikan apakah terdapat pergeseran uvula, kemudian pasien disuruh
menyebut “ah” jika uvula terletak ke satu sisi maka ini menunjukkan adanya
kelumpuhan nervus X unilateral perhatikan bahwa uvula tertarik kearah sisi
yang sehat. 7
Sekarang lakukan tes refleks muntah dengan lembut (nervus IX adalah
komponen sensorik dan nervus X adalah komponen motorik). Sentuh bagian
belakang faring pada setiap sisi dengan spacula, jangan lupa menanyakan
kepada pasien apakah ia merasakan sentuhan spatula tersebut (N. IX) setiap
kali dilakukan. Dalam keadaaan normal, terjadi kontraksi palatum molle
secara refleks. Jika konraksinya tidak ada dan sensasinya utuh maka ini
menunjukkan kelumpuhan nervus X, kemudian pasien disuruh berbicara agar
dapat menilai adanya suara serak (lesi nervus laringeus rekuren unilateral),
kemudian disuruh batuk , tes juga rasa kecap secara rutin pada sepertinya
posterior lidah (N. IX).
10) Cranial Nerve XI (Asesorius)
Pemeriksaan saraf asesorius dengan cara meminta pasien mengangkat bahunya
dan kemudian rabalah massa otot trapezius dan usahakan untuk menekan
bahunya ke bawah, kemudian pasien disuruh memutar kepalanya dengan
melawan tahanan (tangan pemeriksa) dan juga raba massa otot sternokleido
mastoideus. 7
11) Cranial Nerve XII (Hipoglosus)
Pemeriksaan saraf Hipoglosus dengan cara; Inspeksi lidah dalam keadaan
diam didasar mulut, tentukan adanya atrofi dan fasikulasi (kontraksi otot yang
halus iregular dan tidak ritmik). Fasikulasi dapat unilateral atau bilateral.
Pasien diminta menjulurkan lidahnya yang berdeviasi ke arah sisi yang lemah
(terkena) jika terdapat lesi upper atau lower motorneuron unilateral.
Pasien diminta menekan lidah pada pipi. 7
21
Gambar 3. Saraf Kranial
KAKU KUDUK
Kaku kuduk merupakan gejala yang sering dijumpai pada kelianan rangsang selaput
otak. Terdapat 3 cara untuk melakukan pemeriksaan kaku kuduk :
1. Flexi Kepala. Untuk pemeriksaan kaku kuduk dapat dilakukan dengan tangan
pemeriksa ditempatkan dibawah kepala pasien yang sedang berbaring. Kemudia
kepala ditekuk (flexi) dan diusahakan agar dagu mencapai dada. Selama penekukan
ini diperhatikan adanya tahanan. Bila terdapat kaku kuduk, kta dapatkan tahanan dan
dagu tidak dapat mencapai dada. Kaku kuduk dapat bersifat ringan atau berat. Pada
kaku kuduk yang berat kepala tidak dapat ditekuk, malah sering kepala terkedik ke
belakang.8
2. Brudzinski I (Brudzinski’s neck sign)
Untuk memeriksa tanda ini dilakukan dengan tangan yang ditempatkan dibawah
kepala pasien yang sedang berbaring, kita tekukkan kepala sejauh mungkin sampai
dagu mencapai dada. Tangan yang satu lagi sebaiknya ditempatkan di dada pasien
untuk mencegah diangkatnya badan. Bila tanda brudzinski positif, maka tindakan ini
mengakibatkan flexi kedua tungkai. Sebelumnya perlu diperhatikan apakah tungkai
nya tidak lumpuh, tentulah tungkai tidak akan diflexikan.8
3. Brudzinski II (Brudzinski’s contralateral leg sign)
22
Pada pasien yang sedang berbaring, satu tungkai diflexikan pada persendian panggul,
sedangkan tungkai yang satu lagi berada dalam keadaan ekstensi (lurus). Bila tungkai
yang satu ini ikut pula terflexikan, maka disebut tanda brudzinski II positif.8
4. Tanda Kernig
Pada pemeriksaan ini, pasien yang sedang berbaring diflexikan pahanya pada
persendian panggul sampai membuat sudut 90O. Setelah itu tungkai bawah di
ekstensikan pada persendian lutut. Biasanya kita dapat melakukan ekstensi ini sampai
sudut 135O, antara tungkai bawah dan tungkai atas. Bila terdapat tahanan dan rasa
nyeri sebelum tercapai sudut ini, maka dikatakan bahwa tanda kernig positif. Pada
meningitis tandanya biasanya positif bilateral.8
5. Tanda Lasegue
Pemeriksaan dilakukan dengan cara pasien yang sedang berbaring diluruskan
(ekstensi) kedua tungkainya. Kemudian satu tungkai diangkat lurus, di bengkokan
(flexi) pada persendian panggulnya. Tungkai yang satunya lagi harus dalam keadaan
lurus (ekstensi). Pada keadaan normal kita dapat mencapai sudut 70O sebelum timbul
rasa sakit dan tahanan. Bila sudah timbul rasa sakit dan tahanan sebelum kita
mencapai 70O, maka tanda lasegue positif.8
Pemeriksaan Penunjang.
a. Pemeriksaan Pungsi Lumbal
Lumbal pungsi biasanya dilakukan untuk menganalisa jumlah sel dan protein cairan
cerebrospinal, dengan syarat tidak ditemukan adanya peningkatan tekananintrakranial.
a. Pada Meningitis Serosa terdapat tekanan yang bervariasi, cairan jernih, sel darah
putih meningkat, glukosa dan protein normal, kultur (-).
b. Pada Meningitis Purulenta terdapat tekanan meningkat, cairan keruh, jumlahsel
darah putih dan protein meningkat, glukosa menurun, kultur (+) beberapa jenis
bakteri.
Tabel 2. Perbedaan perubahan LCS pada meningitis
TesMeningitis
BakterialMeningitis Virus Meningitis TBC
Tekanan LP
Warna
Meningkat
Keruh
Biasanya normal
Jernih
Bervariasi
Xanthochromia
23
Jumlah sel
Jenis sel
Protein
Glukosa
> 1000/ml
Predominan PMN
Sedikit meningkat
Normal/menurun
< 100/ml
Predominan MN
Normal/meningkat
Biasanya normal
Bervariasi
Predominan MN
Meningkat
Rendah
Tabel 3. Typical CSF Finding in Meningitis9
b. Pemeriksaan darah
Dilakukan pemeriksaan kadar hemoglobin, jumlah leukosit, Laju Endap Darah (LED),
kadar glukosa, kadar ureum, elektrolit dan kultur.
a. Pada Meningitis Serosa didapatkan peningkatan leukosit dan glukosa.
b. Pada Meningitis Tuberkulosa didapatkan juga peningkatan LED.
c. Pada Meningitis Purulenta didapatkan peningkatan leukosit, protein,neutrofil.
c. Pemeriksaan Radiologis
Pada pemeriksaan foto polos kepala, dapat ditentukan apakah terdapat fraktur tulang
tengkorak dan infeksi sinus-sinus paranasales, sebagai penyebab atau faktor resiko
meningitis. Pemeriksan foto dada dilakukan untuk menentukan adanya pneumonia,
abses paru, proses spesifik, dan massa tumor. CT Scan dan MRI dapat dilakukan
dengan tujuan untuk mengetahui apakah terdapat edema otak, ventrikulitis,
hidrosefalus, dan massa tumor.
24
a. Pada Meningitis Serosa dilakukan foto dada, foto kepala, bila mungkin dilakukan
CT Scan.
b. Pada Meningitis Purulenta dilakukan foto kepala (periksa mastoid, sinusparanasal,
gigi geligi) dan foto dada.
d. Tes Tuberkulin
Tes tuberkulin dilakukan untuk menentukan adanya proses spesifik. Pemeriksaan
elektrolit perlu dilakukan pada meningitis bakterial karena dapat terjadi dehidrasi
dan hiponatremia terutama dalam 48-72 jam pertama.8
Meningitis bakterial 10
- Darah perifer lengkap dan kultur darah. Pemeriksaan gula darah dan elektrolit jika ada
indikasi.
- Pungsi lumbal sangat penting untuk menegakkan diagnosis dan menentukan etiologi :
Didapatkan cairan keruh atau opalesens dengan Nonne (-)/(+) dan Pandy (+)/(++).
Jumlah sel 100-10.000/m3 dengan hitung jenis predominan polimorfonuklear,
protein 200-500 mg/dl, glukosa <40 mg/dl. Pada stadium dini jumlah sel dapat
normal dengan predominan limfosit.
Apabila telah mendapat antibiotik sebelumnya, gambaran LCS dapat tidak
spesifik.
- Pada kasus berat, pungsi lumbal sebaiknya ditunda dan tetap diberikan pemberian
antibiotik empirik (penundaan 2-3 hari tidak mengubah nilai diagnostik kecuali
identifikasi kuman, itupun jika antibiotiknya senstitif)
- Jika memang kuat dugaan kearah meningitis, meskipun terdapat tanda-tanda
peningkatan tekanan intracranial, pungsi lumbal masih dapat dilakukan asalkan
berhati-hati. Pemakaian jarum spinal dapat meminimalkan komplikasi terjadinya
herniasi.
- Kontraindikasi mutlak pungsi lumbal hanya jika ditemukan tanda dan gejala
peningkatan tekanan intracranial oleh karena lesi desak ruang.
- Pemeriksaan CT-Scan dengan kontras atau MRI kepala (pada kasus berat atau curiga
ada komplikasi seperti empiema subdural, hidrosefalus dan abses otak)
- Pada pemeriksaan elektroensefalografi dapat ditemukan perlambatan umum.
Meningitis Tuberkulosis 10
25
- Pemeriksaan meliputi darah perifer lengkap, laju endap darah, dan gula darah.
Leukosit darah tepi sering meningkat (10.000-20.000 sel/mm3). Sering ditemukan
hiponatremia dan hipokloremia karena sekresi antidiuretik hormon yang tidak
adekuat.
- Pungsi lumbal :
Liquor serebrospinal (LCS) jernih, cloudy atau xantokrom
Jumalh sel meningkat antara 10-250 sel/mm3 dan jarang melebihi 500 sel/mm3.
Hitung jenis predominan sel limfosit walaupun pada stadium awal dapat dominan
polimorfonuklear.
Protein meningkat di atas 100 mg/dl sedangkan glukosa menurun dibawah 35
mg/dl, rasio glukosa LCS dan darah dibawah normal
Pemeriksaan BTA (basil tahan asam) dan kultur M.Tbc tetap dilakukan.
Jika hasil pemeriksaan LCS yang pertama meragukan, pungsi lumbal ulangan
dapat memperkuat diagnosis dengan interval 2 minggu.
- Pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR), enzyme-linked immunosorbent assay
(ELISA) dan Latex particle agglutination dapat mendeteksi kuman Mycobacterium di
cairan serebrospinal (bila memungkinkan).
- Pemeriksaan pencitraan CT-Scan atau MRI kepala dengan kontras dapat
menunjukkan lesi parenkim pada daerah basal otak, infark, tuberkuloma, maupun
hidrosefalus.
- Foto rontgen dada dapat menunjukkan gambaran penyakit Tuberkulosis.
- Uji Tuberkulin dapat mendukung diagnosis
- Elektroensefalografi (EEG) dikerjakan jika memungkinkan dapat menunjukkan
perlambatan gelombang irama dasar.
Meningitis Viral
- Pemeriksaan hematologi dan kimia harus dilakukan
- Pemeriksaan LCS merupakan pemeriksaan yang penting dalam pemeriksaan penyebab
meningitis. CT Scan harus dilakukan pada kasus yang berkaitan dengan tanda neurologis
abnormal untuk menyingkirkanlesi intrakranial atau hidrosefalus obstruktif sebelum
pungsi lumbal (LP). Kultur LCSD tetap kriteria standar pada pemeriksaan bakteri atau
piogendari meningitis aseptic. Lagi-lagi, pasien yang tertangani sebagian dari meningitis
bakteri dapat timbul dengan pewarnaan gram negative dan maka timbul aseptic. Hal
berikut ini merupakan karakteristik LCS yangdigunakan untuk mendukung diagnosis
meningitis viral:
26
Sel: Pleocytosis dengan hitung WBC pada kisaran 50 hingga >1000x 109/L darah
telah dilaporkan pada meningitis virus, Sel mononuclear predominan merupakan
aturannya, tetapi PMN dapat merupakan sel utama pada 12-24 jam pertama; hitung
sel biasanya kemudian didominasi oleh limfosit pada pola LCS klasik meningitisviral.
Hal ini menolong untuk membedakan meningitis bakterial dari viral, dimana
mempunyai lebih tinggi hitung sel dan predominan PMN pada sel pada perbedaan sel;
hal ini merupakan bukan merupakan aturan yang absolute bagaimanapun.
Protein: Kadar protein LCS biasanya sedikit meningkat, tetapi dapat bervariasi dari
normal hingga setinggi 200 mg/dL.
- Studi Pencitraan : Pencitraan untuk kecurigaan meningitis viral dan ensefalitis dapat
termasuk CT Scan kepala dengan dan tanpa kontras, atau MRI otak dengan
gadolinium. CT scan dengan contrast menolong dalam menyingkirkan patologi
intrakranial. Scan contrast harus didapatkan untuk mengevaluasi untuk penambahan
sepanjang mening dan untuk menyingkirkan cerebritis, abses intrakranial, empyema
subdural, atau lesi lain. Secara alternative, dan jika tersedia, MRI otak dengan gadolinium
dapat dilakukan. MRI dengan contrast merupakan standar kriteria pada
memvisualisasikan patologi intrakranial pada encephalitis viral. HSV-1 lebih sering
mempengaruhi basal frontal dan lobus temporal dengan gambaran sering lesi bilateral
yang difus.
- Tes Lain : Semua pasien yang kondisinya tidak membaik secara klinis dalam24-48 jam
harus dilakukan rencana kerja untuk mengetahui penyebab meningitis. Dalam kasus
ensefalitis yang dicurigai, MRI dengan penambahan kontras dan visualisasi yang adekuat
dari frontal basal dan area temporal adalah diperlukan. EEG dapat dilakukan jika
ensefalitis atau kejang subklinis dicurigai pada pasien yang terganggu,
Periodic lateralized epileptiform discharge (PLEDs) seringkali terlihat pada
ensefalitis herpetic.
27
- Prosedur : Pungsi Lumbal merupakan prosedur penting yang digunakan dalam
mendiagnosis meningitis viral. Prosedur potensial lain, tergantung pada indikasi individu
dan keparahan penyakit, termasuk monitoring tekanan intrakranial, biopsi otak, dan
drainase ventricular atau shunting.
Tabel. 3. Gambaran Cairan Serebrospinal pada meningitis berdasarkan agen etiologinya
Diagnosis
Meningitis Bakterial
Diagnosis meningitis bakterial tidak dapat dibuat hanya dengan melihat gejala dan
tanda saja. Manifestasi klinis seperti demam, sakit kepala, muntah, kaku kuduk dan adanya
tanda rangsang meningeal kemungkinan dapat pula terjadi pada meningismus, meningitis
TBC dan meningitis aseptic. Hamper semua penulis mengatakan bahwa diagnosis pasti
meningitis hanya dapat dibuat dengan pemeriksaan cairan serebrospinalis melalui pungsi
lumbal. Oleh Karena itu setiap pasien dengan kecurigaan meningitis harus dilakukan pungsi
lumbal.11
Umumnya cairan serebrospinal berwarna opalesen sampai keruh, tetapi pada stadium
dini dapat diperoleh cairan yang jernih. Reaksi Nonne dan Pandy umumnya didapatkan
positif kuat. Jumlah sel umumnya ribuan per milimeter kubik cairan yang sebagian besar
terdiri dari sel polimorphonuclear (PMN). Pada stadium dini didapatkan jumlah sel hanya
ratusan permilimeter kubik dengan hitung jenis lebih banyak limfosit daripada segmen. Oleh
karena itu pada keadaan sedemikian, pungsi lumbal perlu diulangi keesokan harinya untuk
menegakkan diagnosis yang pasti. Keadaan seperti ini juga ditemukan pada stadium
28
penyembuhan meningitis purulenta. Kadar protein dalam CSS meninggi. Kadar gula menurun
tetapi tidak serendah pada meningitis tuberkulosa. Kadar klorida kadang-kadang merendah.
Dari pemeriksaan sediaan langsung dibawah mikroskop mungkin dapat ditemukan
kuman penyebab, walaupun hal tersebut jarang terjadi. Diferensiasi kuman yang dapat
dipercaya hanya ditentukan secara pembiakan (kultur) dan percobaan binatang. Tidak
ditemukan kuman pada sediaan langsung bukanlah kontra-indikasi terhadap diagnosis. Pada
pemeriksaan darah tepi ditemukan leukositosis yang tinggi dengan pergeseran ke kiri (Shift to
the left). Umumnya terdapat anemia megaloblastik.
Meningitis Tuberkulosis
Diagnosis dapat ditentukan atas dasar gambaran klinis serta yang terpenting ialah
gambaran CSS. Diagnosis pasti hanya dapat dibuat bila ditemukan kuman tuberkulosis dalam
CSS. Uji tuberkulin yang positif, kelainan radiologis yang tampak pada foto roentgen thorak
dan terdapatnya sumber infeksi dalam keluarga hanya dapat menyokong diagnosis. Uji
tuberkulin pada Meningitis tuberkulosis sering negatif karena reaksi anergi (false-negative),
terutama dalam stadium terminalis.
Meningitis Viral
Diagnosis etiologis hanya dapat dibuat dengan isolasi virus. Dalam prakteknya,
pemeriksaan serologis tidak dikerjakan berhubung dengan banyaknya jenis virus yang dapat
menyebabkan penyakit ini.
Diagnosis biasanya dapat dibuat berdasarkan gejala klinis, kelainan CSS dan
perjalanan penyakit yang self-limited. Biakan CSS terhadap kemungkinan penyebab
mikroorganisme lain harus dikerjakan (fungus, leptospira, mikobakterium) agar kemungkinan
mikroorganisme penyebab lain dapat disingkirkan.
Selain biakan CSS, pemeriksaan lain seperti uji tuberkulin, foto Roentgen thorak,
mencari sumber tuberkulosis harus dikerjakan agar dapat menyingkirkan kemungkinan
meningitis tuberkulosa.
Gejala Klinis
Meningitis mempunyai karakteristik yakni onset yang mendadak dari demam, sakit
kepala dan kaku leher (stiff neck). Biasanya juga disertai beberapa gejala lain, seperti :
Mual
29
Muntah
Fotofobia (sensitif terhadap cahaya)
Perubahan atau penurunan kesadaran
Meningitis Bakterial
Tidak ada satupun gambaran klinis yang patognomonik untuk meningitis bakterial. Tanda
dan manifestasi klinis meningitis bakterial begitu luas sehingga sering didapatkan pada anak-
anak baik yang terkena meningitis ataupun tidak. Tanda dan gambaran klinis sangat
bervariasi tergantung umur pasien, lama sakit di rumah sebelum diagnosis dan respon tubuh
terhadap infeksi.
Meningitis pada bayi baru lahir dan prematur sangat sulit didiagnosis, gambaran klinis
sangat kabur dan tidak khas. Demam pada meningitis bayi baru lahir hanya terjadi pada ½
dari jumlah kasus. Biasanya pasien tampak lemas dan malas, tidak mau makan, muntah-
muntah, kesadaran menurun, ubun-ubun besar tegang dan membonjol, leher lemas, respirasi
tidak teratur, kadang-kadang disertai ikterus kalau sepsis. Secara umum apabila didapatkan
sepsis pada bayi baru lahir kita harus mencurigai adanya meningitis.
Bayi berumur 3 bulan – 2 tahun jarang memberi gambaran klasik meningitis.
Biasanya manifestasi yang timbul hanya berupa demam, muntah, gelisah, kejang berulang,
kadang-kadang didapatkan pula high pitch cry (pada bayi). Tanda fisik yang tampak jelas
adalah ubun-ubun tegang dan membonjol, sedangkan tanda Kernig dan Brudzinsky sulit di
evaluasi. Oleh karena insidens meningitis pada umur ini sangat tinggi, maka adanya infeksi
susuan saraf pusat perlu dicurigai pada anak dengan demam terus menerus yang tidak dapat
diterangkan penyebabnya.
Pada anak besar dan dewasa meningitis kadang-kadang memberikan gambaran klasik.
Gejala biasanya dimulai dengan demam, menggigil, muntah dan nyeri kepala. Kadang-
kadang gejala pertama adalah kejang, gelisah, gangguan tingkah laku. Penurunan kesadaran
seperti delirium, stupor, koma dapat juga terjadi. Tanda klinis yang biasa didapatkan adalah
kaku kuduk, tanda Brudzinski dan Kernig. Nyeri kepala timbul akibat inflamasi pembuluh
darah meningen, sering disertai fotofobia dan hiperestesi, kaku kuduk disertai rigiditas spinal
disebabkan karena iritasi meningen serta radiks spinalis.
30
Kelainan saraf otak disebabkan oleh inflamasi lokal pada perineurium, juga karena
terganggunya suplai vaskular ke saraf. Saraf – saraf kranial VI, VII, dan IV adalah yang
paling sering terkena. Tanda serebri fokal biasanya sekunder karena nekrosis kortikal atau
vaskulitis oklusif, paling sering karena trombosis vena kortikal. Vaskulitis serebral
menyebabkan kejang dan hemiparesis.11
Manifestasi Klinis yang dapat timbul adalah:9
1. Gejala infeksi akut.
a. Lethargy.
b. Irritabilitas.
c. Demam ringan.
d. Muntah.
e. Anoreksia.
f. Sakit kepala (pada anak yang lebih besar).
g. Petechia dan Herpes Labialis (untuk infeksi Pneumococcus).
2. Gejala tekanan intrakranial yang meninggi.
a. Muntah.
b. Nyeri kepala (pada anak yang lebih besar).
c. Moaning cry /Tangisan merintih (pada neonatus)
d. Penurunan kesadaran, dari apatis sampai koma.
e. Kejang, dapat terjadi secara umum, fokal atau twitching.
f. Bulging fontanel /ubun-ubun besar yang menonjol dan tegang.
g. Gejala kelainan serebral yang lain, mis. Hemiparesis, Paralisis, Strabismus.
h. Crack pot sign.
i. Pernafasan Cheyne Stokes.
j. Hipertensi dan Choked disc papila N. optikus (pada anak yang lebih besar).
3. Gejala ransangan meningeal.
a. Kaku kuduk positif.
b. Kernig, Brudzinsky I dan II positif. Pada anak besar sebelum gejala di atas
terjadi, sering terdapat keluhan sakit di daerah leher dan punggung.
Pada anak dengan usia kurang dari 1 tahun, gejala meningeal tidak dapat diandalkan
sebagai diagnosis. Bila terdapat gejala-gejala tersebut diatas, perlu dilakukan pungsi lumbal
untuk mendapatkan cairan serebrospinal (CSS).
31
Gambar 4. Manifestasi klinis pada anak dan dewasa
Meningitis Tuberkulosis
Secara klinis kadang-kadang belum terdapat gejala meningitis nyata walaupun selaput otak
sudah terkena. Hal demikian terdapat apda tuberlukosis miliaris sehingga pada penyebaran
miliar sebaiknya dilakukan pungsi lumbal walaupun gejala meningitis belum tampak.
1. Stadium prodromal
Gejala biasanya didahului oleh stadium prodromal berupa iritasi selaput otal. Meningitis
biasanya mulai perlahan-lahan tanpa panas atau hanya terdapat kenaikan suhu ringan, jarang
terjadi akut dengan panas tinggi. Sering di jumpai anak mudah terangsang (iritabel) atau anak
menjadi apatis dan tidurnya sering terganggu. Anak besar dapat mengeluh nyeri kepala.
Malaise, snoreksia, obstipasi, mual dan muntah juga sering ditemukan. Belum tampak
manifestasi kelainan neurologis.
2. Stadium transisi
Stadium prodromal disusul dengan stadium transisi dengan adanya kejang. Gejala diatas
menjadi lebih berat dan muncul gejala meningeal, kaku kuduk dimana seluruh tubuh mulai
menjadi kaku dan opistotonus. Refleks tendon menjadi lebih tinggi, ubun-ubun menonjol dan
umumnya juga terdapat kelumpuhan urat saraf mata sehingga timbul gejala strabismus dan
nistagmus. Sering tuberkel terdapat di koroid. Suhu tubuh menjadi lebih tinggi dan kesadaran
lebih menurun hingga timbul stupor. Kejang, defisit neurologis fokal, paresis nervus kranial
dan gerakan involunter (tremor, koreoatetosis, hemibalismus).
32
3. Stadium terminal
Stadium terminal berupa kelumpuhan kelumpuhan, koma menjadi lebih dalam, pupil melebar
dan tidak bereaksi sama sekali. Nadi dan pernafasan menjadi tidak teratur, kadang-kadang
menjadi pernafasan Cheyne-Stokes (cepat dan dalam). Hiperpireksia timbul dan anak
meninggal tanpa kesadarannya pulih kembali
Tiga stadium diatas biasanya tidak mempunyai batas yang jelas antara satu dengan yang
lainnya, namun jika tidak diobati umumnya berlangsung 3 minggu sebelum anak meninggal.
Meningitis Viral
Biasanya gejala dari meningitis viral tidak seberat meningitis dan dapat sembuh alami tanpa
pengobatan yang spesifik.
Umumnya permulaan penyakit berlangsung mendadak, walaupun kadang-kadang
didahului dengan panas selama beberapa hari. Gejala yang ditemukan pada anak besar ialah
panas dan nyeri kepala mendadak yang disertai dengan kaku kuduk. Gejala lain yang dapat
timbul ialah nyeri tenggorok, nausea, muntah, penurunan kesadaran, nyeri pada kuduk dan
punggung, fotophobia, parestesia, myalgia. Gejala pada bayi tidak khas. Bayi mudah
terangsang dan menjadi gelisah. Mual dan muntah sering dijumpai tetapi gejala kejang jarang
didapati. Bila penyebabnya Echovirus atau Coxsackie, maka dapat disertai ruam dengan
panas yang akan menghilang setelah 4-5 hari. Pada pemeriksaan ditemukan kaku kuduk,
tanda Kernig dan Brudzinski kadang-kadang positif.
Variasi lain dari infeksi viral dapat membantu diagnosis, seperti :
Gastroenteritis, rash, faringitis dan pleurodynia pada infeksi enterovirus
Manifestasi kulit, seperti erupsi zoster dari VZV, makulopapular rash dari campak
dan enterovirus, erupsi vesikular dari herpes simpleks dan herpangina dari infeksi
coxsackie virus A
Faringitis, limfadenopati dan splenomegali mengarah ke infeksi EBV
Immunodefisiensi dan pneumonia, mengarah ke infeksi adenovirus, CMV atau HIV
Parotitis dan orchitis ke arah virus Mumps
33
Pengobatan
Meningitis Virus
Selama tahap akut, analgesik dan lotion pengeringan dan menenangkan, seperti
calamine, membantu dengan nyeri yang tumpul. Blok saraf akar dapat memberikan bantuan
yang sangat sementara. Setelah lesi telah kering, aplikasi berulang salep capsaicin (berasal
dari cabai) dapat mengurangi rasa sakit dalam beberapa kasus dengan menginduksi anestesi
kulit. Bila diterapkan terlalu cepat setelah tahap akut, capsaicin harus digunakan hati-hati.
Acyclovir (800 mg oral lima kali sehari selama 7 hari) memperpendek durasi nyeri akut dan
kecepatan penyembuhan vesikel, asalkan pengobatan dimulai dalam waktu kurang lebih 48
jam (beberapa pihak berwenang mengatakan 72 jam) dari munculnya ruam. Famcyclovir
(500 mg tiga kali sehari selama 7 hari) atau valasiklovir lebih baik diserap (2 g secara oral
empat kali sehari) alternatif. Perlu dicatat bahwa beberapa penelitian menunjukkan bahwa
durasi neuralgia postherpetic dikurangi dengan pengobatan selama fase akut dengan
famcyclovir atau valacyclovir, namun kejadian komplikasi ini tidak nyata terpengaruh dan
efek yang sama memperpendek penyakit belum terbukti untuk asiklovir (lihat di bawah).
Semua pasien dengan zoster tetes mata harus menerima asiklovir oral, di samping itu,
acyclovir dioleskan ke mata, baik dalam solusi 0,1% setiap jam atau salep 0,5% empat atau
lima kali sehari, dianjurkan oleh beberapa dokter mata. Pasien yang immunocompromised
atau telah disebarluaskan zoster (lesi di lebih dari tiga dermatom) menerima asiklovir
intravena selama 10 hari. Saat ini sudah tersedia dari lembaga kesehatan negara immune
globulin VZV (VZIG) yang lebih pendek perjalanan penyakit kulit dan dapat melindungi
terhadap penyebaran pada pasien imunosupresi. Walaupun mungkin mengurangi insiden
neuralgia pasca herpetik (lihat Hugler dkk), ini bukan tujuan utamanya dan tidak muncul
untuk mencegah atau memperbaiki komplikasi SSP. 12
Meningitis Bakteri
Tabel 3. Antibiotik Meningitis Bakterialis
34
Meningitis Tuberkulosis 13
35
Komplikasi 1
a. Komplikasi mayor
Cerebral – Edema otak dengan risiko herniasi
Komplikasi pembuluh darah arteri: arteritis vasospasme, fokal kortikal, hiperfusi
gangguan serebrovaskular autoregulasi
Septik sinus/trombosis venous terutama sinus sagitalis superior, tromboflebitis
kortikal
Hidrosefalus
Serebritis
Subdural efusi (pada bayi dan anak )
Abses otak, subdural empiemi
b. Komplikasi ekstrakranial
Septic shock
DIC
Respiratory distress syndrome
Arteritis (septik atau reaktif)
Gangguan elektrolit hipernatremi, SIADH, central diabetes insipidus (jarang)
Komplikasi spinal mielitis, infark
Pencegahan meningitis
- Pencegahan Primer
Tujuan pencegahan primer adalah mencegah timbulnya faktor resiko meningitis bagi
individu yang belum mempunyai faktor resiko dengan melaksanakan pola hidup
sehat.36 Pencegahan dapat dilakukan dengan memberikan imunisasi meningitis pada
36
bayi agar dapat membentuk kekebalan tubuh. Vaksin yang dapat diberikan seperti
Haemophilus influenzae type b (Hib), Pneumococcal conjugate vaccine (PCV7),
Pneumococcal polysaccaharide vaccine (PPV), Meningococcal conjugate vaccine
(MCV4), dan MMR (Measles dan Rubella). 10 Imunisasi Hib Conjugate vaccine
(HbOC atau PRP-OMP) dimulai sejak usia 2 bulan dan dapat digunakan bersamaan
dengan jadwal imunisasi lain seperti DPT, Polio dan MMR.20 Vaksinasi Hib dapat
melindungi bayi dari kemungkinan terkena meningitis Hib hingga 97%. Pemberian
imunisasi vaksin Hib yang telah direkomendasikan oleh WHO, pada bayi 2-6 bulan
sebanyak 3 dosis dengan interval satu bulan, bayi 7-12 bulan di berikan 2 dosis
dengan interval waktu satu bulan, anak 1-5 tahun cukup diberikan satu dosis. Jenis
imunisasi ini tidak dianjurkan diberikan pada bayi di bawah 2 bulan karena dinilai
belum dapat membentuk antibodi.5,37 Meningitis Meningococcus dapat dicegah
dengan pemberian kemoprofilaksis (antibiotik) kepada orang yang kontak dekat atau
hidup serumah dengan penderita.9 Vaksin yang dianjurkan adalah jenis vaksin
tetravalen A, C, W135 dan Y.35 meningitis TBC dapat dicegah dengan meningkatkan
sistem kekebalan tubuh dengan cara memenuhi kebutuhan gizi dan pemberian
imunisasi BCG. Hunian sebaiknya memenuhi syarat kesehatan, seperti tidak over
crowded (luas lantai > 4,5 m2 /orang), ventilasi 10 – 20% dari luas lantai dan
pencahayaan yang cukup.32 Pencegahan juga dapat dilakukan dengan cara
mengurangi kontak langsung dengan penderita dan mengurangi tingkat kepadatan di
lingkungan perumahan dan di lingkungan seperti barak, sekolah, tenda dan kapal.
Meningitis juga dapat dicegah dengan cara meningkatkan personal hygiene seperti
mencuci tangan yang bersih sebelum makan dan setelah dari toilet.
- Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder bertujuan untuk menemukan penyakit sejak awal, saat masih
tanpa gejala (asimptomatik) dan saat pengobatan awal dapat menghentikan perjalanan
penyakit. Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan diagnosis dini dan
pengobatan segera. Deteksi dini juga dapat ditingkatan dengan mendidik petugas
kesehatan serta keluarga untuk mengenali gejala awal meningitis.
Dalam mendiagnosa penyakit dapat dilakukan dengan pemeriksaan fisik, pemeriksaan
cairan otak, pemeriksaan laboratorium yang meliputi test darah dan pemeriksaan X-
ray (rontgen) paru. Selain itu juga dapat dilakukan surveilans ketat terhadap anggota
keluarga penderita, rumah penitipan anak dan kontak dekat lainnya untuk menemukan
37
penderita secara dini.10 Penderita juga diberikan pengobatan dengan memberikan
antibiotik yang sesuai dengan jenis penyebab meningitis yaitu :
1. Meningitis Purulenta
1.1. Haemophilus influenzae b : ampisilin, kloramfenikol, setofaksim,
seftriakson.
1.2. Streptococcus pneumonia : kloramfenikol , sefuroksim, penisilin,
seftriakson
1.3. Neisseria meningitidies : penisilin, kloramfenikol, serufoksim dan
seftriakson.
2. Meningitis Tuberkulosa (Meningitis Serosa)
Kombinasi INH, rifampisin, dan pyrazinamide dan pada kasus yang berat
dapat ditambahkan etambutol atau streptomisin. Kortikosteroid berupa
prednison digunakan sebagai anti inflamasi yang dapat menurunkan tekanan
intrakranial dan mengobati edema otak.
- Pencegahan Tertier
Pencegahan tertier merupakan aktifitas klinik yang mencegah kerusakan lanjut atau
mengurangi komplikasi setelah penyakit berhenti. Pada tingkat pencegahan ini
bertujuan untuk menurunkan kelemahan dan kecacatan akibat meningitis, dan
membantu penderita untuk melakukan penyesuaian terhadap kondisikondisi yang
tidak diobati lagi, dan mengurangi kemungkinan untuk mengalami dampak neurologis
jangka panjang misalnya tuli atau ketidakmampuan untuk belajar.38 Fisioterapi dan
rehabilitasi juga diberikan untuk mencegah dan mengurangi cacat.
Prognosis 1
Prognosis pada meningitis bakteri adalah buruk pada usia yang lebih muda, infeksi
berat,disertai DIC. Mortalitas bergantung pada virulensi kuman penyebab, daya tahan tubuh
pasien, terlambat atau cepatnya mendapat pengobatan yang tepat dan pada cara pengobatan
dan perawatan yang diberikan.
Prognosis pada meningitis tuberkulosis pada pasien yang tidak diobati biasanya
meningitis dunia. Yang berumur 3 tahun mempunyai prognosis lebih buruk daripada yang
tua. Hanya 18% dari yang hidup mempunyai fungsi neurologis dan intelektual normal.
Prognosis pada meningitis virus, penyakit ini self limited dan penyembuhannya
sempurna. Dijumpai setelah 3-4 hari pada kasus ringan dan setelah 7-14 hari pada keadaan
yang berat.
38
Prognosis pada meningitis jamur, pada pasien yang tidak diobati biasanya fatal dalam
beberapa bulan tetapi kadang-kadang menetap sampai beberapa tahun dengan rekuren, remisi
dan eksaserbasi. Kadang-kadang jamur pada cairan serebrospinal ditemukan selama tiga
tahun atau lebih.
BAB III
KESIMPULAN
Meningitis merupakan suatu penyakit akibat inflamasi yang terjadi pada selaput otak
yaitu meninges. Meningitis dapat terjadi karena adanya faktor resiko tertentu seperti pada
usia yang kurang dari 5 tahun atau lebih dari 60 tahun, kekebalan tubuh yang menurun,
adanya penyakit sistemik atau penyakit lain sebelumnya seperti tuberkulosis atau adanya
riwayat kontak dengan penderita meningitis. Kejadian meningitis berhubungan dengan suatu
wilayah dan musim tertentu.
Meningitis terjadi karena berbagai penyebabm pada umumnya karena infeksi berbagai
macam mikroorganisme, dimana penyebab infeksi terbanyak adalah virus dan bakteri.
39
Meningitis akibat virus biasanya dapat sembuh sendirinya, sementara meningitis karena
bakteri dapat menyebabkan berbagai macam komplikasi, morbiditas yang lama akibat gejala
sisa neurologis atau bahkan menyebabkan kematian. Pembuatan diagnosis yang segera dan
manajemen terapi yang sesuai dapat menghentikan perjalanan penyakt dan mencegah
timbulnya komplikasi. Prognosis meningitis tergantung pada usia, tingkat keparahan
penyakit, agen penyebab infeksi dan respon pengobatan.
Pencegahan meningitis adalah suatu upaya untuk mencegah terjadinya meningitis
(primer), upaya untuk menghentikan perjalanan penyakit dengan pengenalan dan pengobatan
dini ( sekunder ), dan untuk mengurangi komplikasi dan gejala sisa ( tertier ), sehingga
diharapkan pasien dapat tetap menjalani aktivitas sehari-harinya secara mandiri. Jika upaya
pencegahan-pencegahan ini dilakukan secara maksimal dalam ruang lingkup yang luas,
kematian dan kecacatan akibat meningitis dapat diturunkan secara signifikan.
DAFTAR PUSTAKA
1. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/23705/4/Chapter%20II.pdf , diunduh
pada tanggal 18 Oktober 2015.
2. Harsono. Buku ajar neurologi klinis. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2008.h.161-3, 183-8.
3. http://www.pc.maricopa.edu/Biology/pfinkenstadt/BIO201/201LessonBuilder/
UnitFour/CNS/index.html, diunduh pada tanggal 22 Oktober 2015.
4. Anonymous. Meningitis. Centers for Disease Control and Prevention. Updated: August 6th,
2009 Available from : http://www.cdc.gov/meningitis/about/causes.html.
40
5. Setiyohadi B, Subekti I. Pemeriksaan Fisis Umum. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B,
Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Ilmu penyakit dalam. Edisi 5. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2009.h.29
6. http://health.jbdirectory.com/Bacterial_meningitis , diunduh pada tanggal 22 Oktober
2015.
7. Lumbantobing SM. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta : Balai
Penerbit FK UI, 2010.hlm. 8–84.
8. Dewanto G, Suwono WJ, Riyanto B, Turana Y. Panduan praktis diagnosis dan tata
laksana penyakit saraf. Cetakan Ke-1. Jakarta: EGC; 2009.h.43-8.
9. http://www.news-medical.net/health/Meningitis-Symptoms-(Indonesian).aspx ,
diunduh pada tanggal 25 Oktober 2015.
10. Pudjiadi AH,dkk. Ed. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jilid
1. Jakarta : Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2010. h. 189-96.
11. Saharso D, dkk. Infeksi Susunan Saraf Pusat. Dalam : Soetomenggolo TS, Ismael S,
penyunting. Buku Ajar Neurologi Anak. Jakarta: BP IDAI; 1999. h. 40-6, 339-71
12. Allan H. Ropper, Martin A. Samuels. Adams and Victor’s Principles of Neurology.
United States of America: McGraw-Hill Companies; 2009. p.667-78.
13. Dewanto G, Suwono WJ, Riyanto B, Turana Y. Panduan praktis diagnosis dan tata
laksana penyakit saraf. Cetakan Ke-1. Jakarta: EGC; 2009.h.43-8.
41