Upload
adelin-litan
View
153
Download
5
Embed Size (px)
DESCRIPTION
ff
Citation preview
PRESENTASI REFERAT
MENINGITIS SEROSA
Pembimbing:
Dr. Hot, SpA
Disusun Oleh :
Rina Caroline Widjaja
030.07.219
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN
ANAK
RSUD BUDI ASIH
PERIODE 9 April 2012 – 16 Juni 2012
1
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
TRISAKTI
JAKARTA
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
berkat dan anugerahnya referat kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan Anak yang
berjudul “Meningitis Serosa” dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
Referat ini disusun untuk melengkapi tugas dalam kepaniteraan klinik
Ilmu Kesehatan Anak periode 9 April 2012 - 16 Juni 2012 di RSUD Budhi
Asih – Jakarta Timur.
Pertama penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada dokter
pembimbing dr. Hot, Sp.A, serta kepada semua staff pengajar bagian Ilmu
Kesehatan Anak RSUD Budi Asih yang telah bersedia memberikan kesempatan
dan waktu hingga terselesaikan referat ini.
Tidak lupa penulis juga mengucapkan terimakasih kepada keluarga,
rekan-rekan co-ass dan berbagai pihak yang telah banyak membantu dalam
menyelesaikan referat ini.
Penulis menyadari referat ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu
penulis sangat mengharapkan kritik dan sarannya.
Akhir kata, penulis berharap referat ini dapat bermanfaat bagi yang
membacanya.
Jakarta, Mei 2012
2
Rina Caroline Widjaja
030.07.219
LEMBAR PENGESAHAN
Presentasi referat yang berjudul “Meningitis Seorsa”
Telah diperiksa dan disetujui oleh :
Jakarta, Mei 2012
Pembimbing
(dr. Hot, Sp.A)
3
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR 2
LEMBAR PENGESAHAN 3
DAFTAR ISI 4
BAB I PENDAHULUAN 5
BAB II PEMBAHASAN 6
I. Definisi 6
II. Etiologi 7
IV. Epidemiologi 7
V. Patolofisiologi 8
VI. Patologi 9
VII. Manifestasi Klinis 13
VIII Diagnosis 17
IX. Pemeriksaan Penunjang 19
X. Penatalaksanaan 22
XI. Pencegahan 24
XII. Komplikasi 24
XIII. Prognosis 26
BAB III KESIMPULAN 27
DAFTAR PUSTAKA 28
4
BAB I
PENDAHULUAN
Meningitis ada;ah infeksi cairan otak disertai radang yang mengenai piamater (lapisan
dalam selaput otak) dan arakhnoid serta dalam derajat yang lebih ringan mengenai jaringan
otak dan medula spinalis yang superfisial.
Meningitis dibagi menjadi dua golongan berdasarkan perubahan yang terjadi pada
cairan otak yaitu meningitis serosa dan meningitis purulenta. Meningitis serosa ditandai
dengan jumlah sel dan protein yang meninggi disertai cairan serebrospinal yang jernih.
Penyebab paling sering dijumpai adalah kuman Tuberkulosis dan virus. Meningitis purulenta
atau meningitis bakteri adalah meningitis yang bersifat akut dan menghasilkan eksudat
berupa pus serta bukan disebabkan oleh bakteri spesifik maupun virus. Meningitis
meningococcus merupakan meningitis purulenta yang paling sering terjadi.
Meningitis Serosa tuberkulosa (aseptik) adalah radang selaput otak arakhnoid,
piamater, dan cairan serebrospinal yang sering disebabkan oleh kuman spesifik seperti
Mycobacterium tuberculosa dan virus. Istilah meningitis aseptik mengacu pada kasus dimana
pasien dengan gejala meningitis tapi pertumbuhan bakteri pada kultur tidak ditemukan.
Sampai saat ini tuberkulosa merupakan masalah besar di Indonesia maupun negara
berkembang lainnya, dan dapat menimbulkan beberapa penyulit. Meningitis tuberkulosa
merupakan salah satu komplikasi tuberkulosa primer. Terjadi akibat penyebaran infeksi
secara hematogen ke meningen. Penyakit ini masih banyak ditemukan di Indonesia dan
insidensinya sebanding dengan insidens tuberkulosis itu sendiri. Dalam referat ini akan
dibahas lebih lanjut mengenai Meningitis Serosa Tuberkulosa dan meningitis virus.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
MENINGITIS SEROSA
I. DEFINISI
Meningitis Serosa adalah radang selaput otak arakhnoid dan piamater yang sering
disebabkan oleh kuman spesifik seperti Mycobacterium tuberculosa dan virus.
Virus yang menyerang susunan saraf pusat dapat berupa meningitis aseptik (non
purulenta) dan ensefalitis. Meningitis aseptik mempunya gambaran yang khas, adanya
demam disertai tanda rangsang meningeal, gangguan kesadaran tidak begitu dalam,
peningkatan jumlah sel dengan dominasi sel limfosit dan tidak didapatkan bakteri pada
pewarnaan gram dan biakan.
Virus penyebab meningitis aseptik dapat juga mengenai otak yang biasa disebut
meningoensefalitis, ensefalitis akut, ensefalomielitis. Batas antara meningitis akut dan
ensefalitis kadang tidak jelas, beberapa penulis memakai tingkat kesadaran untuk
membedakannya. Beberapa mikroorganisme yang dapat menyebabkan ensefalitis yang
terbanyak adanya : Herpes simplex, abrovirus, Eastern and Western Equine St Louis
encephalitis. Penyebab yang jarang adalah Enterovirus, parotitis, adenovirus, Lassa virus,
rabies, dan CMV.
Meningitis Tuberkulosa adalah infeksi mycobacterium tuberculosis yang
mengenai arachnoid, piameter dan cairan cerebrospinal di dalam sistem ventrikel. Penyakit
ini merupakan meningitis yang sifatnya subakut atau kronis dengan angka kematian dan
kecacatan yang cukup tinggi. Meningitis tuberkulosa merupakan radang selaput otak
akibat komplikasi primer, secara histologik meningitis tuberkulosa merupakan meningo–
enfefalitis (tuberkulosa) di mana terjadi invasi ke selaput dan jaringan susunan sarat pusat
6
II. ETIOLOGI
Penyebab terseringnya adalah Mycobacterium tuberculosa dan virus. Meningitis yang
disebabkan oleh virus mempunyai prognosis yang lebih baik, cenderung jinak dan sembuh
sendiri. Penyebab meningitis virus yang paling sering ditemukan yaitu Mumpsvirus,
Echovirus, dan Coxsackie virus, sedangkan Herpes simplex, Herpes zooster, dan enterovirus
jarang menjadi penyebab meningitis aseptik (virus).
III. EPIDEMIOLOGI
Insidens meningitis tuberkulosa sangat bervariasi dan bergantung kepada tingkat
sosio-ekonomi dan kesehatan masyarakat, umur, status gizi serta faktor genetik yang
menentukan respons imun seseorang. Sejak tahun 1930-1953, Koch dan Carson menemukan
23% kasus meningitis tuberkulosa dari 248 ksus meningitis bakterial. Menurut Auerbach,
insidens tuberkulosa sebanyak 42,2% dari 97% anak yang meninggal karena tuberkulosis.
Penyakit ini kebanyakan terdapat pada penduduk dengan keadaan sosio ekonomi
rendah, penghasilan tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari, perumahan tidak memenuhi
syarat kesehatan minimal, hidup dan tinggal atau tidur berdesakan, kekurangan gizi, higiene
yang buruk, faktor suku atau ras, kurang atau tidak mendapat fasilitas imunisasi dsb.
Meningitis tuberkulosa dapat terjadi pada setiap umur terutama pada anak-anak antara 6
bulan sampai 5 tahun. Jarang terdapat di bawah umur 6 bulan kecuali apabila angka kejadian
tuberkulosa sangat tinggi. Paling sering terjadi di bawah umur 2 tahun, yaitu antara 9 sampai
15 bulan.
7
IV. PATOFISIOLOGI
Kuman dapat tumbuh dan berkembang biak tergantung pada kondisi ruang
lingkupnya, kuman yang sudah masuk dalam tubuh dapat berbiak subur atau tidak, proses
multiplikasi ini tidak berlalu tanpa pergulatan antara kuman dan unsur-unsur sel dan zat
biokimiawi tubuh yang dikerahkan untuk mempertahankan keutuhan tubuh. Aksi kuman dan
reaksi tubuh setempat menghasilkan runtuhan kuman dan unsur-unsur tubuh yang merupakan
racun bagi tubuh.
Setelah kuman berhasil menerobos permukaan tubuh dalam dan luar, ia dapat tiba
disusunan saraf pusat melalui lintasan-lintasan berikut. Pada kuman yang bersarang di
mastoid dapat menjalar ke otak perkontinuitatum. Sutura memberikan kesempatan untuk
invasi semacam itu. Invasi hematogenik melalui arteria intraserebral merupakan penyebaran
ke otak secara langsung.
Penyebaran hematogen tak langsung dapat juga dijumpai, misalnya arteri meningeal
yang terkena radang dahulu. Dari arteri ini kuman dapat tiba di likuor dan invasi kedalam
otak melalui penerobosan dari piamater. Akhirnya, saraf – saraf tepi dapat digunakan juga
sebagai jembatan bagi kuman untuk tiba disusunan saraf pusat.
Faktor predisposisi infeksi susunan saraf pusat. Daya pertahanan susunan saraf pusat
untuk menangkis infeksi mencakup kesehatan umum yang sempurna, struktur sawar darah
otak yang utuh dan efektif, aliran darah ke otak yang adekuat, sistem imunologik, hormonal
dan seluler yang berfungsi sempurna.
Meningitis tuberkulosa selalu terjadi sekunder dari proses tuberculosis primer di luar
otak. Focus primer biasanya di paru-paru, tetapi bisa juga pada kelenjar getah bening, sinus
nasalaes, traktus gatro-intestinalis, ginjal dan sebagainya. Dengan demikian meningitis
tuberkulosa terjadi sebagai komplikasi penyebaran tuberculosis paru-paru.
Terjadinya meningitis bukan karena peraadangan langsung pada selaput otak oleh
penyebaran hematogen, tetapi melalui pembentukan tuberkel-tuberkel kecil (beberapa
millimeter sampai 1 sentimeter), berwarna putih. Terdapat pada permukaan otak, selaput
otak, sum-sum tulang belakang, tulang. Tuberkel tadi kemudian melunak, pecah dan masuk
kedalam ruang subaraknoid, dam ventrikulus, sehingga terjadi peradangan yang difus. Secara
mikroskopik tuberkel-tuberkel ini tidak dapat di bedakan dengan tuberkel-tuberkel dibagian
lain dari kulit di mana terdapat pengujian sentral dan di kelilingi oleh sel-sel raksasa, limfosit,
sel-sel plasma dan di bungkus oleh jaringan ikat sebagai penutup atau kapsul. Penyebaran
dapat pula terjadi secara per kontinuitatum dari peradangan organ atau jaringan di dekat
selaput otak seperti proses dinasofaring, pneumonia, bronkopneumonia, endokarditis, otitis
8
media, mastoiditis, trombosis sinus, kavernosus, atau spondilitis, penyebaran kuman dalam
ruang subaraknoid, menyebabkan reaksi radang pada pia dan araknoid., CSS, ruang
subaraknoid dan ventrikulus.
Akibat reaksi radang ini adalah terbentuknya eksudat kental, serofibrinosa dan gelatinosa
oleh kuman-kuman dan toksin yang mengandung sel-sel mononuclear, limfosit, sel plasma,
makrofag, sel raksasa dan fibroblast. Eksudat ini tidak terbatas di dalam ruang subaraknoid
saja, tetapi teruatama terkumpul di dasar tengkorak. Eksudat juga meyebar melalui
pembuluh-pembuluh darah pia dan menyerang jaringan otak di bawahnya, sehingga proses
sebenarnya adalah moningo-ensefalitis. Eksudat juga dapat menyumbat akuaduktus Sylvii,
foramen Magendi, foramen Luschka dengan akibat terjadinya hidrosefalus, edema papil dan
peningkatan tekanan intrakanial. Kelainan juga terjadi pada pembulu-pembulu darah yang
berjalan dalam ruang subaraknoid berupa kongesti, peradangan dan penyumbatan, sehingga
selain ateritis dan flebitis juga mengakibatkan infrak otak terutama pada bagian korteks,
medulla oblongata dan nganglia basalis yang kemudian mengakibatkan perlunakan otak
dengan segala akibatnya.
Lapisan-lapisan selaput otak
V. PATOLOGI
Gambaran patologi pada meningitis tuberkulosa ada 4 tipe, yaitu :
1. Disseminated miliary tubercles, seperti pada tuberkulosis milier.
2. Focal caseous plaques, contohnya tuberkuloma yang sering menyebabkan
meningitis yang difus.
3. Acute inflammatory caseous meningitis:
9
Terlokalisasi, disertai perkijuan dari tuberkel, biasanya di korteks
Difus, dengan eksudat gelatinosa di ruang subarakhnoid
4. Meningitis proliferatif:
Terlokalisasi, pada selaput otak
Difus dengan gambaran tak jelas
Gambaran patologi ini tidak terpisah-pisah dan mungkin terjadi bersamaan pada setiap
pasien. Gambaran patologi tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu umur,
berat, dan lamanya sakit, respon imun pasien, lama dan respon pengobatan yang
diberikan, virulensi dan jumlah basil juga merupakan faktor yang mempengaruhi.
Selaput Otak, Ependim, Pleksus Koroideus, Pembuluh Darah, dan Otak
Eksudat meningeal yang kekentalannya bervariasi dapat disebarkan sekitar vena
serebral, sinus venosus, lengkungan otak, dan serebelum serta dalam sulkus, fisura sylvian,
sisterna basalis dan medulla spinalis. Ventrikulitis dengan bakteria dan sel radang dalam
cairan ventrikel mungkin ada, seperti efusi subdural dan terkadang empiema. Infiltrat radang
perivaskuler dapat juga ada, dan membrane ependimal dapat terganggu. Perubahan vaskuler
dan parenkim serebral ditandai dengan infiltrate polimorfonuklear yang meluas sampai
daerah subintima arteri-arteri dan vena-vena kecil, vasospasme, vaskulitis, thrombosis vena
koteks kecil, penyumbatan sinus venosus besar, arteritis nekrotikans menyebabkan
perdarahan subarachnoid, dan jarang nekrosis nekrosis korteks serebri bila tidak ada
thrombosis yang dapat dikenali pada autopsi. Infark serebral merupakan sekuele
penyumbatan vaskuler yang lazim karena radang, vasospasme dan thrombosis. Ukuran infark
berkisar dari mikroskopik sampai keterlibatan seluruh hemisphere.
Radang saraf dan radiks spinal menimbulkan tanda-tanda meningeal, dan radang saraf
cranial menghasilkan neuropati saraf kranial, optikus, okulomotorius, fasialis dan auditorius.
Kenaikan tekanan intrakranial juga menghasilkan kelumpuhan saraf okulomotorius karena
adanya kompresi saraf lobus temporalis saat herniasi tentorial. Kelumpuhan saraf abdusens
dapat merupakan tanda kenaikan tekanan intrakranial, bukan setempat.
Kenaikan tekanan intrakranial adalah karena kematian sel (edema otak sitotoksik),
kenaikan permeabilitas kapiler vaskuler akibat sitokin (edema serebral vasogenik), dan
mungkin kenaikan tekanan hidrostatik (edema otak interstitial) pasca penyerapan kembali
LCS yang tersumbat pada vilus arakhnoideus atau obstruksi atau obstruksi aliran cairan ke
dalam atau keluar dari ventrikel. Tekanan intrakranial sering melebihi 300 mmH2O; perfusi
otak dapat selanjutnya terganggu jika tekanan perfusi otak kurang daripada 50 cm H2O (rata-
10
rata tekanan arterial dikurangi tekanan intrakranial) karena aliran darah otak menggurang.
Sekresi hormone antidiuretik yang tidak tepat dapat menghasilkan retensi air berlebihan,
sehingga menambah risiko kenaikan tekanan intrakranial. Hipotonisitas sela ekstraseluler
otak dapat menyebabkan edema sitotoksik menyertai pembengkakan sel dan lisis. Sindrom
herniasi terjadi pada 5% bayi dan anak dengan meningitis, dan akan memberi kesan kenaikan
tekanan intrakranial yang mencolok, abses otak, atau empiema subdural. Herniasi tentorial,
falks atau serebeler biasanya tidak terjadi karena kenaikan tekanan kranial dijalarkan ke
seluruh sela subarachnoid dan ada sedikit perpindahan structural. Lagipula, jika fontanela
masih terbuka, kenaikan tekanan intrakranial mudah dihilangkan.
Hidrosefalus adalah komplikasi meningitis akut yang tidak lazim terjadi pada masa
neonates. Paling sering hidrosefalus ini mempengaruhi bentuk hidorsefalus komunikans
karena penebalan vili arakhnoid sekeliling sisterna pada dasar otak. Dengan demikian
mengganggu resorpsi LCS normal. Jarang terjadi, hidrosefalus obstruktif pasca-fibrosis dan
glikosis aqueduktus sylvii atau foramen magendie dan luschka.
Kenaikan kadar protein LCS sebagian karena kenaikan permeabilitas vaskuler sawar
darah otak dan kehilangan cairan yang kaya albumin dari kapiler dan vena yang melewati
sela subdural. Transudasi terus-menerus yang dapat berakibat efusi subdural, ditemukan pada
fase lanjut meningitis bakteri akut. Hipoglikorakhia (kadar glukosa LCS berkurang) adalah
karena penurunan pengangkutan glukosa oleh jaringan otak. Yang terakhir ini dapat
menyebabkan asidosis laktat lokal.
Cedera pada korteks serebri dapat karena pengaruh penyumbatan vaskuler setempat
atau difus (infark, nekrosis), hipoksia, invasi bakteri (serebritis), ensefalopati toksik (asidosis
laktat), kenaikan tekanan intrakranial, ventrikulitis dan transudasi (efusi subdural). Hasilnya
manifestasi gangguan kesadaran, kejang-kejang, hidrosefalus, defisit saraf kranial, defisit
motorik dan sensoris, dan kemudian retardasi psikomotor yang dapat dijelaskan oleh satu
faktor patologi atau lebih yang dibahas sebelumnya.
Derajat dan luasnya kelainan otak sangat bervariasi. Kelainan jaringan otak yang
penting adalah:
A. BorderZone Reaction
Jaringan otak di bawah eksudat mengalami edema, infiltrasi perivaskuler dan reaksi
mikroglial dalam derajat yang bervariasi. Edema dapat menyebabkan penurunan
kesadaran, kejang, dan peningkatan tekanan intrakranial yang menimbulkan gejala-
11
gejala sakit kepala, muntah, edema papil dan pada bayi berupa penonjolan ubun-
ubun besar.
B. Iskemia dan Infark
Kerusakan pembuluh darah menimbulkan iskemia dan infark, yang kadang-kadang
disertai perdarahan. Sebagian besar infark tampak superfisial di daerah a. Serebri
media, tetap sering sampai ganglia basalis dan hipotalamus, bahkan pernah
ditemukan dalam batang otak. Infark akan menyebabkan terbentuknya jaringan
parut, dan bila terbentuk di hipotalamus atau di dekat sisterna basalis akan
menyebabkan gangguan endokrin berupa obesitas, diabetes insipidus maupun
retardasi pertumbuhan.
C. Hidrosefalus
Hampir selalu ditemukan pada pasien yang bisa bertahan sampai lebih 4-6
minggu, dan paling sering ditemukan pada anak usia di bawah 10 tahun.
Hidrosefalus baik yang komunikan maupun yang obstruktif sering ditemukan pada
anak dan disebabkan oleh peradangan di selaput otak & vili araknoidalis. Yang
terbanyak adalah hidrosefalus tipe komunikan, yang disebabkan adanya eksudat di
sisterna basalis pada stadium awal atau oleh perlengketan araknoid pada stadium
akhir.
Hidrosefalus tipe obstruksi jarang ditemukan, disebabkan penyempitan atau
penutupan aquaduktus, atau hambatan pada foramen di ventrikel IV. Penyempitan
aquaduktus biasanya disebabkan oleh edema midbrain atau penekanan pada batang
otak oleh eksudat di sekitarnya atau oleh debris dan eksudat di ependim. Jarang
tuberkuloma subependim atau sumbatan diependim menimbulkan sumbatan dari
dalam.
D. Ensefalopati Tuberkulosis
Ini adalah sindrom yang jarang ditemukan , terutama menyerang anak. Kelainan
berupa kerusakan otak yang difus, edema difus di substansia alba, penipisan mielin,
kadang perdarahan tanpa infark dan hidrosefalus. Ditandai dengan kejang, stupor,
atau koma tanpa gejala-gejala meningitis. Diduga disebabkan reaksi alergi terhadap
protein yang dilepas oleh Mycobcterium tuberculosa yang lisis.
E. Tuberkuloma
Cenderung multipel dan pada anak-anak paling sering di fosa posterior, dengan
kelainan berupa granuloma yang padat. Mula-mula merupakan tuberkel kecil
dengan perkijuan atau nekrosis di bagian tengah dan dikelilingi jaringan otak yang
12
edema, lama-lama timbul kapsul gelatinosa warna abu-abu dan bila mencapai
permukaan otak akan mengadakan perlekatan dengan selaput otak sehingga dapat
menyerupai meningioma.
F. Abses Tuberkulosa di Otak
Sangat jarang ditemukan dan tidak ada perubahan granulomatosa. Diduga akibat
ketidakmampuan menimbulkan reaksi granulomatosa kegagalan mekanisme imun
tubuh.
VI. MANIFESTASI KLINIS
Secara klinis kadang-kadang belum timbul gejala meningitis yang jelas, walaupun
selaput otak sudah terkena. Manifestasi klinis yang timbul berkaitan dengan kelainan
patologis yang terjadi yaitu:
1. Eksudat tipis di dasar otak bisa menyebabkan paralisis saraf kranial dan
hidrosefalus
2. Vaskulitis dan oklusi pembuluh darah akan menimbulkan tanda neurologis fokal.
3. Reaksi alergi terhadap tuberkuloprotein menyebabkan perubahan cairan
serebrospinal.
4. Edema pada otak akan menyebabkan penurunan kesadaran, kejang, dan
peningkatan tekanan intrakranial.
5. Adanya tuberkuloma akan menimbulkan gejala proses desak ruang.
Pada fase awal belum timbul menifestasi neurologis, biasanya gejalanya
tidak khas dan timbul perlahan-lahan dan berlangsung kurang lebih 2 minggu sebelum
timbul tanda-tanda rangsang meningeal. Gejala berupa rasa lemah, kenaikan suhu
yang ringan, anoreksia, tidak mau bermain-main, tidurnya terganggu, mual, muntah,
sakit kepala, dan apatik. Pada bayi, iritabel dan ubun-ube=un besar menonjol
merupakan manifestasi yang sering ditemukan, sedang pada anak yang lebih besar,
mungkin tanpa demam dan timbul kejang yang intermiten. Kejang bersifat umum dan
didapatkan sekitar 10-15%. Kadang-kadang tanda kenaikan tekanan intrakranial
timbul, mendahului tanda rangsang meningeal. Stadium ini berlangsung selama 1-3
minggu dan bila tuberkelnya pecah langsung ke dalam ruang subaraknoid, maka fase
ini berlangsung singkat dan langsung ke stadium III.
Fase selanjutnya dusebut stadium meningitis, yang ditandai dengan
memberatnya penyakit. Pada fase ini terjadi rangsangan pada selaput otak, sehingga
13
sakit kepala dan muntah menjadi keluhan utamanya. Pasien muntah dan sakit kepala
yang terus menerus, menjadi mudah terangsang dan drowsiness dan disorientasi. Pada
anak usia dibawah 3 tahun iritabel dan muntah adalah gejala utamanya, sedang sakit
kepala jarang dikeluhkan, sebaliknya pada anak yang lebih besar, sakit kepala adalah
keluhan utamanya, dan kesadaran makin menurun. Pada fase ini eksudat yang
mengalami organisasi akan mengakibatkan kelumpuhan saraf kranial dan
hidrosefalus, gangguan fokal, saraf kranial dan kadang-kadang medulla spinallis.
Mungkin timbul kelemahan otot, kehilangan sendori dan bahkan pergerakan
involunter seperti hemibalismus atau hemikorea serta kejang yang dapat tumbul pada
setiap fase penyakit. Hemiparesis mungkin timbul pada stadium ini, biasanya
disebabkan iskemia atau infark. Quadriparesis dapat terjadi akibat infark bilateral atau
edema otak yang berat, sedang monoparesis jarang ditemukan dan biasanya
disebabkan lesi pada pembuluh darah.
Kaku kuduk yang timbulnya bertahap, tanda Kernig, dan Brudzinsky sering
ditemukan pada fase ini kecuali pada bayi. Kelumpuhan saraf kranial terjadi sekitar
20-30% dan mula-mula unilateral kemudian menjadibilateral. Paling sering mengenai
saraf VI, kemudian saraf kranial III dan IV yang memberi gerjala strabismus dan
diplopia. Sedang saraf kranial VI jarang terkena, demikian juga saraf kranial yang lain
meskipun keterlibatan saraf kranial II dapat menyebabkan atrofi dan kebutaan.
Gangguan pendengaran terjadi akibat keterlibatan saraf VIII.
Tanda peningkatakn tekanan intrakranial menjadi lebih jelas, yaitu
pembesaran kepala dan ubun-ubun besar pada bayi serta papil edema pada anak yang
lebih besar. Gejala-gejala hidrosefalus juga lebih jelas yaitu berupa sakit kepala,
diplopia, dan penglihatan kabur. Pada stadium selanjutnya sesuai dengan berlanjutnya
proses penyakit, maka gangguan fungsi otak menjadi semakin jelas yaitu kesadaran
makin menurun, iritabel, dan apatis, mengantuk, stupor, dan koma atau koma menjadi
lebih dalam, otot ekstensor menjadi kaku dan spasme sehingga seluruh tubuh menjadi
kaku dan timbul opistotonus, oleh karena dekotrikasi atau deserabrasi. Stadium ini
berlangsung 2-3 minggu. Pupil melebar dan tidak bereaksi sama sekali. Nadi dan
pernapasan menjadi tidak teratur, timbul hiperpireksia dan akhirnya pasien
menigggal. Tinbulnya gambaran klinis gangguan fungsi batang otak ini disebabkan
karena infark pada batang otak akibat lesi pembuluh darah atau strangulasi oleh
eksudat yang mengalami organisasi.
14
Lincoln membagi meningitis tuberkulosa menjadi 3 stadium:
I. Stadium I
Stadium prodromal berlangsung lebih kurang 2 minggu sampai 3 bulan. Permulaan
penyakit bersifat subakut, sering panas atau kenaikan suhu yang ringan atau hanya
dengan tanda-tanda infeksi umum, muntah-muntah, tak ada nafsu makan, murung, berat
badan turun, tak ada gairah, mudah tersinggung, cengeng, tidur terganggu dan gangguan
kesadaran berupa apatis. Gejala-gejala tadi lebih sering terlihat pada anak kecil. Anak
yang lebih besar mengetahui nyeri kepala, tak ada nafsu makan, obstipasi, muntah-
muntah, pola tidur terganggu. Pada orang dewasa terdapat panas yang hilang timbul,
nyeri kepala, konstipasi, tak ada nafsu makan, fotofobia, nyeri punggung, halusinasi,
delusi dan sangat gelisah.
Kenaikan suhu tubuh yang berkisar antara 38,2 – 38,90 C
Nyeri kepala
Mual dan muntah
Tidak ada nafsu makan
Penurunan berat badan
Apatis dan malaise
Kaku kuduk dengan brudzinsky dan kernig tes positif
Defisit neurologi fokal : hemiparesis dan kelumpuhan saraf otak
Gejala TTIK seperti edema papil, kejang – kejang, penurunan kesadaran sampai
koma, posisi dekortikasi atau deserebrasi
II. Stadium II
Gejala-gejala terlihat lebih berat, terdapat kejang umum atau fokal terutama pada
anak kecil dan bayi. Tanda-tanda rangsangan meningeal mulai nyata, seluruh tubuh dapat
menjadi kaku dan timbul opostitinus, terdapat tanda-tanda peningkatan tekanan
intrakranial, ubun-ubun menonjol dan muntah lebih hebat. Nyeri kepala yang bertambah
berat dan progresif menyebabkan si anak berteriak dan menangis dengan nada yang khas
yaitu meningeal cry. Kesadaran makin menurun. Terdapat gangguan nervi kranialis,
antara lain N.II, III, IV, VI, VII dan VIII. Dalam stadium ini dapat terjadi defisit
neurologis fokal seperti hemiparesis, hemiplegia karena infark otak dan rigiditas
15
deserebrasi. Pada funduskopi dapat ditemukan atrofi N.II dan koroid tuberkel yaitu
kelainan pada retina yang tampak seperti busa berwarna kuning dan ukurannya sekitar
setengah diameter papil.
III. Stadium III
Dalam stadium ini suhu tidak teratur dan semakin tinggi yang disebabkan oleh
terganggunya regulasi pada diensefalon. Pernafasan dan nadi juga tidak teratur dan
terdapat gangguan pernafasan dalam bentuk cheyne-stokes atau kussmaul. Gangguan
miksi berupa retensi atau inkontinensia urin. Didapatkan pula adanya gangguan
kesadaran makin menurun sampai koma yang dalam. Pada stadium ini penderita dapat
meninggal dunia dalam waktu 3 minggu bila tidak memperoleh pengobatan sebagaimana
mestinya.
Tiga stadium tersebut di atas biasanya tidak jelas batasnya antara satu dengan yang lainnya,
tetapi bila tidak diobati biasanya berlangsung 3 minggu sebelum pasien meninggal, menurut
Holt berlangsung 2,5 minggu, sedang Meyers menemukan sekitar 17-43 hari sebelum
meninggal. Dikatakan akut bila 3 stadium tersebut berlangsung 1 minggu.
Gambaran Gejal Klinis pada bayi :
Gejala klinis meningitis tuberculosa disebabkan 4 macam efek terhadap sistem saraf pusat
yaitu
1. Iritasi mekanik akibat eksudat meningen, menyebabkan gejala perangsangan
meningens, gangguan saraf otak dan hidrosefalus.
16
2. Perluasan infeksi ke dalam parenkim otak, menyebabkan gejala penurunan kesadaran,
kejang epileptik serta gejala defisit neurologi fokal.
3. Arteritis dan oklusi pembuluh darah menimbulkan gejala defisit neurologi fokal.
4. Respons alergi atau hipersensitifitas menyebabkan edema otak hebat dan tekanan
tinggi intrakranial tanpa disertai hidrosefalus.
Gambaran klasik meningitis tuberkulosa terdiri dari :
VII. DIAGNOSIS
Diagnosis meningitis tuberkulosa ditegakkan berdasarkan gambaran klinis, riwatay
ada kontak dengan pasien TBC yang kadang-kadang asimptomatik, uji tuberkulin positif,
dan kelainan cairan serebrospinal. Uji tuberkulin anergi terdapat pada 36% pasien. Foto
Rontgen thorax normal terdapat pada 43% pasien, penyebaran milier pada 23% dan
kalsifikasi dalam paru pada 10% kasus.
Pada anamnesis yang ditanyakan adalah ada tidaknya gejala prodromal berupa
nyeri kepala, anoreksia, mual/muntah, demam subfebris, disertai dengan perubahan
tingkah laku dan penurunan kesadaran, onset sub akut, riwayat penderita TB atau adanya
fokus infeksi sangat mendukung. Anamnesis diarahkan pada riwayat kontak dengan
pasien penderita tuberkulosa, keadaan sosio-ekonomi, imunisasi dan sebagainya.
Sementara itu gejala-gejala yang khas untuk meningitis tuberkulosa ditandai dengan
tekanan intrakranial meninggi, muntah yang hebat, nyeri kepala yang progresif dan pada
bayi terdapat fontanela yang menonjol.
Pemeriksaan fisis yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis meningitis serosa adalah
1. Pemeriksaan rangsang meningeal dengan pemeriksaan kaku kuduk. Biasanya
pada pasien meningitis terdapat kaku kuduk yang positif
17
2. Pemeriksaan nervi craniales yaitu N III, N IV, N VI, N VII, N VIII, biasanya
kelumpuhan saraf otak dapat sering dijumpai
PEMERIKSAAN RANGSANG MENINGEAL
Gejala rangsangan meningeal didapatkan pada kurang lebih 50% penderita
meningitis bakterialis. Jika rangsang meningen tidak ada, kemungkinan
meningitis belum dapat disingkirkan. Perasat ini negatif pada anak yang sangat
muda, debilitas, bayi malnutrisi.
a. Kaku kuduk positif.
b. Kernig, Brudzinsky I dan II positif, namun pemeriksaan ini kurang diandalkan
jika dibanding dengan pemeriksaan kaku kuduk.
Bila terdapat gejala-gejala tersebut diatas, perlu dilakukan pungsi lumbal untuk
mendapatkan cairan serebrospinal (CSS).
Pemeriksaan laboratorium rutin relatif tidak mempunyai arti hanya laju endap
darah yang kadang meninggi kira-kira pada 80% kasus. Pada kasus cairan serebrospinal
terdapat kelainan yang khas berwarna jernih, bila dibiarkan mengendap akan
membentuk batang-batang, kadang-kadang dapat ditemukan mikroorganisme
didalamnya. Dapat juga berwarna xantokrom bila penyakit berlangsung lama dan ada
hambatan di medula spinalis. Inimenandakan kadar proteinnya tinggi. Jumlah sel
berkisar antara 200-500.mm3. mula-mula sek polimorfonuklear dan limfosit dalam
proporsi sama atau kadang0kadang sel PMN lebih banyak, selanjutnya limfosit yang
lebih banyak. Kadang-kadang jumlah sel pada fase akut dapat mencapai kurang lebih
1000/mm3. Kadar protein meninggi, dan glukosa menurun. Diagnosis meningitis
18
tuberkulosa dapat ditegakkan secara cepat dengan pemeriksaan PCR, ELISA, dan
aglutinasi lateks. Kultur cairan serebrospinal hanya memberikan hasil positif kira-kira
setengahnya dan hasilnya lama.
Pemeriksaan EEG menunjukkan kelainan kira-kira pada 80% kasus berupa kelainan
difus atau fokal. CT-Scan kepala dapat mendeteksi adanya dilatasi ventrikel dan infark .
Hidrosefalus berat ditemukan pada 87% kasus dan infark pada 28%. Adanya
tuberkulosis dapat ditentukan dengan pemeriksaan CT-scan atau MRI dengan kontras.
VIII. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan cairan serebrospinal ( CSS )
Pemeriksaan CSS merupakan kunci diagnostik untuk meningitis tuberkulosis.
Pemeriksaan CSS akan memberikan gambaran jernih / opalesen, kekuningan
sampai dengan xantokrom, tekanan meninggi.
Tes Nonne dan Pandy positif kuat menunjukkan peningkatan kadar protein.
Hitung sel meningkat 100 – 500, terutama limfositik mononuklear.
Kadar glukosa menurun < 40mg% tetapi tidak sampai 0 mg%.
Pada pengecatan dengan Ziehl Neelsen dan biakan akan ditemukan kuman
mycobacterium tuberkulosis.
Bila beberapa cc CSS dibiarkan dalam tabung reaksi selama 24 jam akan
terbentuk endapan fibrin berupa sarang laba – laba.
Interpretasi Analisa Cairan Serebrospinal
Tes Meningitis Bakterial Meningitis Virus Meningitis TBCTekanan LPWarnaJumlah selJenis selProteinGlukosa
MeningkatKeruh> 1000/mlPredominan PMNSedikit meningkatNormal/menurun
Biasanya normalJernih< 100/mlPredominan MNNormal/meningkatBiasanya normal
BervariasiXanthochromiaBervariasiPredominan MNMeningkatRendah
19
Agent
Opening
Pressur
e
WBC
count per
mL
Glucose
(mg/dL)
Protein
(mg/dL)Microbiology
Bacterial
meningitis200-300
100-5000;
>80%
PMNs*
<40 >100
Specific pathogen
demonstrated in 60% of
Gram stains and 80% of
cultures
Viral meningitis 90-200
10-300;
lymphocyte
s
Normal ,
reduced
in LCM
and
mumps
Normal
but may
be
slightly
elevated
Viral isolation, PCR† assays
Tuberculous
meningitis180-300
100-500;
lymphocyte
s
Reduced,
<40
Elevated,
>100
Acid-fast bacillus stain,
culture, PCR
Cryptococcal
meningitis180-300
10-200;
lymphocyte
s
Reduced 50-200India ink, cryptococcal
antigen, culture
Aseptic
meningitis90-200
10-300;
lymphocyte
s
Normal
Normal
but may
be
slightly
elevated
Negative findings on
workup
Normal values 80-200
0-5;
lymphocyte
s
50-75 15-40Negative findings on
workup
Tabel 1. Gambaran Liquor Cerebrospinal pada meningitis berdasarkan agen
etiologiknya.
Pada bayi-bayi yang menderita sepsis pungsi lumbal harus dilakukan oleh karena 20%
pasien sepsis pada neonatus juga menderita meningitis. Pungsi lumbal juga dilakukan pada
anak-anak yang menderita bakteriemia dengan demam tidak turun-turun atau curiga adanya
20
rangsang meningeal. Oleh karena meningitis bakterialis bersifat progresif, hasil pemeriksaan
cairan serebrospinal yang normal pada pemeriksaan pertama pada pasien yang diduga
menderita meningitis jangan sampai menghilangkan kewaspadaan dokter akan kemungkinan
terjadinya meningitis. Observasi ketat pasien diperlukan sampai pasien kembali normal,
pungsi lumbal dapat diulangi setelah 8 jam apabila memang diperlukan.
Indikasi Lumbal Pungsi adalah sebagai berikut:
1. Setiap penderita dengan kejang atau twitching baik yang diketahui dari
anamnesis atau yang didapatkan bersamaan pada pemeriksaan.
2. Adanya paresis atau paralisis. Dalam hal ini termasuk strabismus karena
paresis N. VI.
3. Koma.
4. Kaku kuduk dengan penurunan kesadaran.
Kontraindikasi pungsi lumbal:
o Infeksi kulit di sekitar daerah tempat pungsi. Oleh karena kontaminasi dari
infeksi ini dapat menyebabkan meningitis.
o Dicurigai adanya tumor atau tekanan intrakranial meningkat. Oleh karena
pungsi lumbal dapat menyebabkan herniasi serebral atau sereberal.
o Kelainan pembekuan darah.
o Penyakit degeneratif pada join vertebra, karena akan menyulitkan memasukan
jarum pada ruang interspinal.
Pemeriksaan radiologi:
o X-foto dada: untuk mencari kausa meningitis
o CT Scan kepala: dilakukan bila didapatkan tanda-tanda kenaikan tekanan
intrakranial dan lateralisasi
Pemeriksan lain:
21
o Darah: LED, lekosit, hitung jenis, biakan
o Air kemih: biakan
o Uji tuberkulin
o Biakan cairan lambung
2. Pemeriksaan darah
Terdapat kenaikan laju endap darah ( LED )
Jumlah leukosit dapat meningkat sampai 20.000
3. Tes tuberkulin
Tes tuberkulin seringkali positif tetapi dapat negatif bila keadaan umum penderita
buruk.
4. Foto roentgen thoraks
Umumnya menunjukkan tanda infeksi tuberkulosis aktif (infiltrat terutama di apex
paru)
IX. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan meningitis serosa tuberkulosa:
1. Umum
Penderita meningitis tuberkulosa harus dirawat di Rumah Sakit, dibagian perawatan
intensif. Dengan menentukan diagnosis secepat dan setepat mungkin, pengobatan dapat
segera dimulai. Perawatan penderita meliputi berbagai aspek yang harus diperhatikan
dengan sungguh-sungguh, antara lain kebutuhan cairan dan elektrolit, kebutuhan gizi
pada umumnya, posisi penderita, perawatan kandung kemih dan defekasi, serta
perawatan umum lainnya diarahkan kepada hiperpireksia, gelisah atau kejang, serta
nyeri dan kerewelan lainnya.
2. Terapi kausal : kombinasi anti tuberkulosa
Pengobatan meningitis tuberkulosa harus tepat dan adekuat, termasuk kemoterapi yang
sesuai, koreksi gangguan cairan dan elektrolit, dan penurunan peningkatan tekanan
22
intrakranial. Pengobatan biasanya terdiri dari kombinasi INH, rifampisin, dan
pyrazinamide. Kalau berat dapat ditambahkan etambutol atau streptomisin. Pengobatan
minimal 9 bulanm dapat lebih lama.
obat-obat lini pertama : terapi obat lini pertama untuk meningitis tuberkulosa
terdiri atas dua macam obat, isoniazid (INH) dan rifampisin. Isoniazid diberikan
oral dengan dosis 10 -20 mg/KgBB/hari dengan dosis maksimal 300 mg/hari untuk
anak-anak dan 600 mg/hari untuk dewasa. Pemberian minimal selama 1 tahun.
Komplikasi pemberian INH berupa neuropati perifer dan dapat dicegah dengan
pemberian piridoksin 25-50 mg/hari. Pemberian piridoksin pada bayi dan anak
tidak begitu perlu, yang perlu pada adolesens. Apabila INH diberikan bersama-
sama dengan rifampisin, kejadian hepatotoksik meningkat terutama apabila dosis
melebihi 10 mg/kgBB/hari.
Rifampisin bersifat bakteriostatik diberikan dengan dosis 10-20 mg/kgBB/hari
secara oral sebelum makan selama minimal 9 bulan. Rifampisin menyebabkan
urinpasien berwarna merah. Efek samping berupa hepatitis, kelainan
gastrointestinal, dan trombositopenia. 3. Obat-obat lini kedua : terdapat tiga obat antituberkulosa lini kedua untuk meningitis
tuberkulosa yang digunakan sebagai tambahan ataupun pengganti INH dan
rifampisin. Ethambutol, pyrazinamid dan ethionamid sangat efektif penetrasinya
ke dalam cairan serebrospinal untuk menghilangkan inflamasi. PZA bersifat
bakteriostatik diberikan secara oral dengan dosis 20-40 mg/kgBB/hari atau 50-70
mg/kgBB 2 kali seminggu dibagi dalam 2-3 dosis diberiksan selama 2 bulan secara
oral. Etambutol bakteriostatik diberikan dengan dosis 15-15 mg/kgBB/hari atau 50
mg/kgBB dua kali seminggu secara oral selama minimal 9 bulan. Pada anak usia
muda dapat terjadi neuritis optika atau atrofi optik, sehingga diberikan pada anak di
atas 5 tahun.
4.Obat-obat lini ketiga : lima obat yang paling sering digunakan adalah
aminoglikosida pada terapi tuberkulosis adalah golongan aminoglikosida yaitu
streptomisin, capreomisin, kanamisin, viomisin dan amikatin. Kesemuanya adalah
antibiotik polipeptida dan kesemunya berpotensi menimbulkan nefrotoksik dan
ototoksik. Kelima obat tersebut penetrasinya sangat jelek kedalam otak atau cairan
serebrospinal. Dosisnya adalah 20mg/kgBB/hari (sudah tidak digunakan).
Regimen yang diberikan dalam 2 bulan pertama :
23
INH : 300 mg / hari
Rifampisin : 450 mg / hari
Etambuthol : 1000 mg / hari
Pirazinamid : 1500 mg / hari
Bila terdapat induced hepatitis, pemberian rifampisin dan pirazinamid dihentikan dan diganti
dengan streptomisin 1 gram.
Regimen yang diberikan 10 bulan berikutnya :
Rifampisin 600 mg / hari
INH 400 mg / hari
5. Pemberian kortikosteroid sebagai antiinflamasi, menurunkan tekanan intrakranial dan
mengobati edema otak. Pemberian kortikosteroid selama 2-3 minggu kemudian
diturunkan secara bertahap sampai lama pemberian 1 bulan. Ada yang memberikan
sampai 3 bulan. Kortikosteroid biasanya dipergunakan prednison dengan dosis 2-3
mg/kg BB/hari (dosis normal 20 mg/hari dibagi dalam 3 dosis) selama 2-4 minggu
kemudian diteruskan dengan dosis 1 mg/kg BB/hari selama 1-2 minggu. Pemberian
kortikosteroid seluruhnya adalah lebih kurang 3 bulan.
X. PENCEGAHAN
Vaksinasi BCG
Vaksinasi ini tidak mencegah infeksi Tuberculosis tetapi mengurangi resiko
tuberculosis berat seperti meningitis tuberkulosa dan tuberkulosa milier.
XI. KOMPLIKASI
Selama pengobatan, komplikasi meningitis karena pengaruh infeksi CSS atau sistemik
adalah lazim. Komplikasi neurologis termasuk kejang-kejang, kenaikan tekanan intracranial,
kelumpuhan saraf cranial, stroke, thrombosis sinus venosus dura, dan efusi subdural.
Komplikasi yang timbul pada meningitis tuberkulosis :
Oftalmoplegia
Pan arteritis hemiplegia
Hidrosefalus
24
Arachnoiditis
Kumpulan cairan dalam sela subdural terjadi pada 10-30% penderita meningitis dan
tidak bergejala pada 85-90% penderita. Efusi subdural bergejala dapat menyebabkan
pencembungan fontanela, pelebaran sutura, pembesaran lingkar kepala, muntah, kejang-
kejang, demam dan hasil transiluminasi cranial abnormal. Namun banyak dari manifestasi ini
juga ada pada penderita meningitis tanpa efusi subdural. CT-scan akan memperkuat diagnosis
efusi sibdural. Bila ada kenaikan tekanan intrakranial atau penurunan tingkat kesadaran, efusi
pleura bergejala harus diobati dengan aspirasi melalui pembukaan fontanela. Demam saja
tidak merupakan indikasi untuk aspirasi.
Sindrom sekresi hormon antidiuretik yang tidak tepat (syndrome of inappropriate
secretion of antidiuretic hormone [SI-ADH]) terjadi pada kebanyakan penderita meningitis,
menimbulkan hiponatremia dan penurunan osmolaritas serum pada 30-50%. Ini dapat
memperburuk edema serebral dan secara tidak langsung menyebabkan kejang-kejang
hiponatremia. Kemudian dalam perjalanan terapi, diabetes insipidus sentral dapat terjadi
sebagai akibat dari disfungsi hipotalamus atau pituitaria.
Sekuelae jangka panjang didapat pada 30% penderita dan bervariasi tergantung
etiologi, usia penderita, gejala klinis dan terapi. Pemantauan ketat berskala jangka panjang
sangat penting untuk mendeteksi sekuelae.
Sekuelae pada SSP meliputi tuli, buta kortikal, hemiparesis, quadriparesis, hipertonia
otot, ataxia, kejang kompleks, retardasi motorik, kesulitan belajar, hidrocephalus non-
komunikan, atropi serebral.
Gangguan pendengaran terjadi pada 20-30% anak. Gangguan pendengaran berat dapat
menganggu perkembangan bicara sehingga evaluasi audiologis rutin dan pemantauan
perkembangan dilakukan tiap kali kunjungan ke petugas kesehatan. Jika ditemukan sekuelae
motorik maka perlu dilakukan terapi fisik, okupasional, rehabilitasi untuk menghindari
kerusakan di kemudian hari dan mengoptimalkan fungsi motorik.
XII. PROGNOSIS
Meningitis tuberkulosa sudah jarang ditemukan dan sekarang sudah dapat
diobati. Tetapi, prognosisnya buruk jika pengobatannya terlambat. Oleh karena itu,
penyakit ini harus dicurigai pada pasien – pasien :
Dengan gambaran klinis meningitis yang timbul dalam waktu beberapa
minggu.
25
Dengan hitung sel limfosit kurang dari 300 sel disertai kadar glukosa
yang menurun
Dengan kelumpuhan saraf kranialis bagian bawah.
Dengan riwayat sebelumnya atau bukti klinis tuberkulosis paru atau
organ lainnya.
Angka kematian pada umumnya 50%. Prognosis buruk pada bayi dan orang tua. Bila
meningitis tuberkulosa tidak diobati, prognosisnya jelek sekali. Penderita dapat meninggal
dalam waktu 6-8 minggu.Prognosis ditentukan oleh kapan pengobatan dimulai dan pada
stadium berapa. Umur penderita juga mempengaruhi prognosis. Anak dibawah 3 tahun dan
dewasa diatas 40 tahun mempunyai prognosis yang jelek
BAB IV
KESIMPULAN
Meningitis Serosa Tuberkulosa adalah radang selaput otak arakhnoid dan piamater
yang sering disebabkan oleh kuman spesifik seperti Mycobacterium tuberculosa. Meningitis
Tuberkulosa adalah infeksi mycobacterium tuberculosis yang mengenai arachnoid, piameter
dan cairan cerebrospinal di dalam sistem ventrikel. Penyakit ini merupakan meningitis yang
26
sifatnya subakut atau kronis dengan angka kematian dan kecacatan yang cukup tinggi.
Diagnosis pasti meningitis dibuat berdasarkan gejala klinis dan hasil analisa cairan
serebrospinal dari pungsi lumbal. Umumnya memiliki prognosis yang buruk pada bayi dan
orang tua. Penderita dapat meninggal dalam waktu 6-8 minggu. Penderita harus mendapatkan
perawatan yang intensive dan mendapatkan pengobatan yang tepat.
DAFTAR PUSTAKA
1. Behrman dkk. Nelson ( e.d Bahasa Indonesia ). Ilmu kesehatan Anak e.d 15 , EGC;
Jakarta. 2000.
2. Rudolph, Abraham. M. Hofman, Julien. I. E. Rudolph, Colin. D. Buku Ajar Pediatri
e.d 20, EGC. 1996.
27
3. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Jakarta:
IDAI, edisi I. 2004.
4. Staf. Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Bagian
Kesehatan Anak FKUI, edisi VII. 1985.
5. Tim Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan IKA FKUI-RSCM. Update in Neonatal
Infection. Jakarta. Dept. IKA FKUI-RSCM, cetakan pertama. 2005.
6. Hugnes, james G. Pediatric In General Practice. Mc Grawhill book company.
Newyork. 2000.
7. Kumar, A. 2005. Bacterial meningitis. Department of Pediatrics and Human
Development Michigan State University . College of Medicine and En Sparrow
Hospital .www.emedicine.com/PED/topic198.htm.
8. Razonables R.R. 2005. Meningitis. Division of Infectious Diseases Department of
Medicine. Mayo Clinic College of
Medicine. www.emedicine.com/med/topic2613.htm
9. BostonHealthCommission,http://www.helid.desastres.netdocuments/Meningitis/
CDC_meningitis_providers.pdf
10. Pediatrica , Buku Saku Anak e.d I, Tosca Enterprise – UGM Jogjakarta , 2005.
11. Soetomenggolo, Taslim.S. Ismael, Sofyan. Buku Ajar Neurologi Anak. Jakarta :
IDAI. 2000.
12. Meningitis Serosa Tuberkulosa. Available from :
http://ifan050285.wordpress.com/2010/02/28/meningitis-tbc/
13. Meningitis Serosa. Available from :
http://medicaltextbooks.blogspot.com/2008/05/meningitis-serosa-pendahuluan-
penyakit.html
14. Meningitis Tuberkulosa. Available at http://library.usu.ac.id/download/fk/anak-
nofareni.pdf
15. Meningitis tuberkulosa. Available at
http://ns-nining.blogspot.com/2009/06/meningitis-tuberkulosa.html
16. Meningitis Tuberkulosis. Available from :
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/10_InfeksiIntrakranial.pdf/
10_InfeksiIntrakranial.html
17. Meningitis Tuberkulosa. Available from :
http://ns-nining.blogspot.com/2009/06/meningitis-tuberkulosa.html
28
18. Meningitis Serosa. Available from :
http://medicaltextbooks.blogspot.com/2008/05/meningitis-serosa-pendahuluan-
penyakit.html
19. Meningitis. Available from : www.pediatrik.com
29