28
Lepra: Review dalam Aspek Epidemiologi, Kinis, dan Etiopatogenesis – Bagian 1 Joel Carlos Lastória Marilda Aparecida Milanez Morgado de Abreu Abstrak: Penyakit lepra disebabkan oleh Mycobacterium leprae dan telah dikenal sejak sebelum masehi. Penyakit ini masih menjadi permasalahan endemik di banyak tempat dan menjadi permasalahan kesehatan masyarakat di Brazil. Angka prevalensi pada tahun 2011 mencapai 1,54 kasus pada setiap 10.000 penduduk Brazil. Mekanisme dari penularan penyakit lepra adalah kontak antara individu yang rentan dan memiliki faktor predisposisi secara genetik dengan pasien multibasiler yang tak diobati. Penularan penyakit ini melalui inhalasi kuman basilus yang terdapat pada sekret saluran pernafasan atas. Mukosa hidung merupakan pintu keluar masuk M. leprae. Pemahaman lebih mendalam tentang karakteristik struktur dan biologi, serta sequence genome dari M. leprae, bersamaan dengan pemahaman terbaru tentang mekanisme respon imun pejamu terhadap kuman basilus yang bergantung pada kerentanan genetik, telah berkontribusi terhadap pemahaman akan patogenesis, variasi tanda- tanda klinis, dan progresi penyakit lepra. Artikel ini

Referat Lepra

Embed Size (px)

DESCRIPTION

jurnal morbus hansen

Citation preview

Page 1: Referat Lepra

Lepra: Review dalam Aspek Epidemiologi, Kinis, dan

Etiopatogenesis – Bagian 1Joel Carlos Lastória

Marilda Aparecida Milanez Morgado de Abreu

Abstrak: Penyakit lepra disebabkan oleh Mycobacterium leprae dan telah dikenal

sejak sebelum masehi. Penyakit ini masih menjadi permasalahan endemik di

banyak tempat dan menjadi permasalahan kesehatan masyarakat di Brazil. Angka

prevalensi pada tahun 2011 mencapai 1,54 kasus pada setiap 10.000 penduduk

Brazil. Mekanisme dari penularan penyakit lepra adalah kontak antara individu

yang rentan dan memiliki faktor predisposisi secara genetik dengan pasien

multibasiler yang tak diobati. Penularan penyakit ini melalui inhalasi kuman

basilus yang terdapat pada sekret saluran pernafasan atas. Mukosa hidung

merupakan pintu keluar masuk M. leprae. Pemahaman lebih mendalam tentang

karakteristik struktur dan biologi, serta sequence genome dari M. leprae,

bersamaan dengan pemahaman terbaru tentang mekanisme respon imun pejamu

terhadap kuman basilus yang bergantung pada kerentanan genetik, telah

berkontribusi terhadap pemahaman akan patogenesis, variasi tanda-tanda klinis,

dan progresi penyakit lepra. Artikel ini bertujuan untuk memperbaharui

pengetahuan spesialis kulit akan aspek epidemiologi, klinis, dan etiopatogenesis

lepra.

Kata kunci: Klasifikasi; Diagnosis klinis; Penularan penyakit, infeksius; Edukasi,

terus-menerus; Epidemiologi; Fenomena genetik; Faktor imunologi; Lepra;

Mycobacterium leprae; Tanda dan gejala

PENDAHULUAN

Lepra merupakan penyakit infeksi kronis yang diebabkan oleh

Mycobacterium leprae. Penyakit ini sangat menular, namun tingkat

morbiditasnya rendah karena jumlah populasi yang besar akan secara alami

menyebabkan individu resisten terhadap penyakit ini. Penyakit ini mengenai

Page 2: Referat Lepra

sebagian besar kulit dan saraf perifer. Diagnosis ditetapkan berdasarkan

pemeriksaan kulit dan saraf pasien. Diagnosis awal sangat penting.

Penatalaksanaan yang tepat akan mencegah gejala sisa dan disabilitas fisik yang

berpengaruh pada kehidupan sosial dan pekerjaan seseorang, serta mempengaruhi

stigma dan anggapan terkait penyakit ini.

SEJARAH

Penyakit ini telah dikenal sebagai lepra sejak sebelum masehi, dengan

laporan kasus lebih dari 3000 tahun lalu. Masih ada keraguan apakah lepra berasal

dari Afrika atau Asia. Istilah lepra merupakan penghargaan terhadap Gerhard

Armauer Hansen, seorang dokter asal Norwegia yang pada tahun 1873

menemukan bahwa bakteri basilus Mycobacterium leprae adalah penyebab

penyakit ini.1

Lepra dipercaya muncul pertama kali di Eropa pada tahun 300 SM yang

dibawa oleh pasukan tentara Alexander King dari India. Pada era pertengahan,

angka insidensi penyakit ini sangat tinggi di Eropa dan Asia Tenggara. Angka

kejadian tersebut menurun drastis sekitar tahun 1870 karena adanya peningkatan

status sosial dan ekonomi. Penyakit ini diasumsikan muncul pertama kali di

Amerika Latin saat periode kolonisasi oleh orang-orang Perancis di Amerika

Serikat dan oleh orang-orang Spanyol dan Portugis di Amerika Selatan.

Perdagangan budak Afrika adalah penyebab utama tersebarnya lepra di Amerika.

Kasus pertama dilaporkan terjadi di Brazil pada tahun 1600 di kota Rio de

Janeiro. Rumah sakit isolasi pertama dibangun di Rio de Janeiro. Setelah itu,

penyakit ini menyebar luas ke daerah Brazil lainnya. 1

Strategi utama yang digunakan untuk mencegah tersebarnya lepra pada

zaman dahulu adalah mengisolasi pasien penderita lepra. Strategi ini ditetapkan di

Brazil pada tahun 1923. Dengan ditemukannya sulfone pada tahun 1940-an dan

penggunaannya untuk penatalaksanaan lepra, pengisolasian pasien bukan lagi

menjadi suatu keharusan, namun kebijakan tersebut secara resmi dihapus pada

tahun 1962. Akan tetapi, sampai pertengahan tahun 1980-an banyak pasien masih

terisolasi karena beberapa alasan. Karena kasus resistensi terhadap monoterapi

Page 3: Referat Lepra

sulfone pada tahun 1970, WHO menyarankan penggunaan regimen multidrug.

Oleh karena itu, sejak awal 1980-an, penyakit ini telah diobati dengan regimen

multidrug dalam tatalaksana rawat jalan dan pasien dianggap sembuh setelah

pengobatan. Namun, terapi multidrug (MDT) secara resmi dan luas hanya

diterapkan di Brazil pada tahun 1993.2,3

Istilah hanseniasis diusulkan untuk mengurangi stigma yang terkait

dengan penyakit ini pada tahun 1967 oleh Profesor Abraão Rotberg. Istilah ini

secara resmi diadopsi di Brazil pada tahun 1970 dan menjadi wajib menurut

hukum federal nomer 9010 berlaku sejak 29 Maret 1995.4

EPIDEMIOLOGI

Kusta merupakan penyakit endemik di negara-negara tropis, khususnya di

negara-negara terbelakang atau berkembang. Prevalensinya menurun tajam sejak

adanya produksi MDT pada awal tahun 1980-an. Namun dari 105 negara

endemik, sejumlah besar kasus masih berkonsentrasi di Asia Tenggara, Amerika,

Afrika, Pasifik Barat, dan Mediterania Timur. Pada tahun 2011, terdapat 219.075

kasus baru yang terdeteksi di seluruh dunia. Pada kuartal pertama 2012, tercatat

181.941 kasus baru dengan angka prevalensi 0,34 kasus per 10.000 penduduk.5

Brazil belum mencapai tujuan eliminasi kusta sebagai masalah kesehatan

masyarakat (eliminasi didefinisikan dengan prevalensi yang lebih rendah dari 1

kasus per 10.000 penduduk), yakni peringkat kedua dalam hal jumlah kasus,

dengan India yang menempati urutan pertama.6 Brazil memiliki tingkat prevalensi

1,54 kasus per 10.000 penduduk, dengan 33.955 kasus baru pada tahun 2011, 61

% di antaranya adalah multibasiler (MB). Penyakit ini tidak menyebar merata di

berbagai daerah di Brazil, dengan tingkat prevalensi per 10.000 penduduk adalah

sebagai berikut: 3,75 di Brazil bagian barat dan tengah, 3,49 di Brazil bagian

utara, 2,35 di Brazil bagian timur laut, 0,61 di Brazil bagian tenggara, dan 0,44 di

Brazil bagian selatan.7 Indikator epidemiologi utama yang digunakan di Brazil

adalah tingkat deteksi kasus baru, tingkat kasus baru pada anak-anak berusia

kurang dari 15 tahun, dengan kasus cacat level-2.8

Page 4: Referat Lepra

Data epidemiologis dari beberapa negara termasuk India, harus ditafsirkan

dengan hati-hati karena tujuan eliminasi penyakit yang dicapai didasarkan atas

beberapa kriteria, seperti: perubahan dalam pengertian kasus, eksklusi kasus

berulang dari perhitungan prevalensi, eksklusi kasus pengobatan dropout dari

catatan aktif, pengobatan dosis tunggal dari pasien pauciba-cillary (PB), durasi

pengobatan yang lebih pendek, dan lain-lain. Hal ini menyebabkan penurunan

ketajaman jumlah kasus baru yang dilaporkan.9 Di Brazil, prevalensi kusta telah

menurun signifikan sejak tahun 2000, meskipun mungkin secara bertahap sebagai

akibat dari akses pasien yang lebih luas untuk perawatan primer .10

Penurunan kasus kusta pada anak di bawah usia 15 tahun merupakan

prioritas di Brazil, karena hal ini merupakan indikator pemantauan endemik

utama. Kasus dalam kelompok usia ini menunjukkan transmisi baru dengan fokus

infeksi aktif dan di daerah endemis tinggi yang menunjukkan kekurangan

operasional. Deteksi puncak kasus pada anak di bawah 15 tahun terjadi pada

tahun 2003, yaitu 4.181 kasus yang terdeteksi, sehingga koefisien deteksi 7,98 per

100.000 orang penduduk. Setelah itu sangat berkurang; pada tahun 2011,

sebanyak 2.420 kasus baru yang terdeteksi, sehingga koefisien deteksi 5,22 per

100.000 penduduk.11

Kurangnya pengetahuan penduduk tentang penyakit dan kesulitan pasien

untuk memiliki akses ke pengobatan khususnya di beberapa daerah berkontribusi

terhadap keterlambatan diagnosis kusta. Hal ini dapat mengakibatkan cacat fisik,

di mana cacat fisik merupakan indikator yang digunakan untuk mengukur kualitas

layanan. Meskipun ada pengurangan progresif kecacatan fisik dalam kasus kusta

(karena jumlah yang lebih besar saat diagnosis dini di negara ini), 2.165 kasus

memiliki cacat level-2 pada tahun 2011.6 Sebuah penjelasan yang mungkin untuk

ini prevalensi kusta tersembunyi; yaitu, reservoir kasus tidak terdeteksi

dipengaruhi oleh unsur-unsur epidemiologi dan operasional yang melindungi

sumber infeksi.6,12-14

Strategi yang digunakan untuk pengendalian penyakit oleh Koordinasi

Kusta dan Penyakit di bawah Sekretariat Surveilans Pengawasan Kesehatan

Kementerian Kesehatan terdiri atas deteksi dini dan pengobatan yang tepat untuk

Page 5: Referat Lepra

menghilangkan sumber infeksi dan mencegah gejala sisa. Pelayanan dan

kemitraan yang terpadu mendukung tindakan untuk mengendalikan penyakit ini.6

ETIOPATOGENESIS

Agen etiologi

Agen etiologi, M. leprae, diidentifikasi oleh dokter dari Norwegia yang

bernama Gerhard Armauer Hansen pada tahun 1873. Oleh karena itu, ia juga

disebut basil Hansen .

Taksonomi , morfologi , pewarnaan, dan karakteristik biologi M. leprae

Klasifikasi ilmiah M. leprae adalah sebagai berikut: kelas Schizomycetes,

ordo Actinomycetales, famili Mycobacteriaceae, dan genus Mycobacterium. M.

leprae adalah batang lurus atau sedikit melengkung, dengan ujung membulat,

berukuran panjang 1,5-8 mikron dengan diameter 0,2-0,5 mikron. Dalam apusan,

terlihat pengecatan merah jika diwarnai dengan fuchsin menggunakan Ziehl

Neelsen (ZN), dan karena kandungan lipid yang tinggi, tidak didapatkan

perubahan warna ketika dicuci dengan alkohol dan asam, hal ini memperlihatkan

karakteristik basil tahan asam alkohol. M. leprae berbeda dari mycobacteria lain

dalam hal penataan, karena diatur dalam rantai paralel, seperti rokok di bungkus,

terikat bersama-sama membentuk globi tersebut. Ketika metode pewarnaan Gram

digunakan, M. leprae merupakan gram yang tidak terlihat, muncul gambar seperti

pewarnaan pada bacilli negatif, disebut hantu, atau sebagai manik seperti gram

positif bacilli.15,16

M. leprae menginfeksi makrofag dan sel schwan. Kuman ini tidak pernah bisa

tumbuh dalam media buatan. Kuman ini bereproduksi selama 12-14 hari pada

telapak kaki tikus. Temperatur untuk bertahan hidup dan berproliferasi antara 27-

300C. Hal ini menjelaskan kenapa kuman ini bisa bertahan hidup pada permukaan

tubuh seperti kulit, saraf tepi, testis, saluran pernafasan atas, dan organ visera

bagian bawah. M. leprae dapat bertahan hidup selama 9 hari di lingkungan luar.

Page 6: Referat Lepra

Karakteristik ultrastruktural M. leprae

Wujud kuman ini seperti layaknya kuman pada genus mikobakterium. Pada

pengamatan menggunakan mikroskop elektron akan terlihat adanya sitoplasma,

membran plasma, dinding sel, dan kapsul. Isi sitoplasma seperti isi sitoplasma

bakteri gram positif. Membran plasma mempunyai lapisan lemak permeabel yang

berisi berbagai protein, yaitu antigen permukaan. Dinding sel yang melekat pada

membran plasma tersusun dari peptidoglikan, berisi arabinogalaktan yang

mendukung asam mikolik dan lipoarabinomanan, sama seperti mikobakteria yang

lain. Kapsula kuman ini mengandung PGL-1 yang merupakan antigen spesifik M.

leprae.

Genom M. leprae

Susunan genom M. lepra diurutkan oleh Cole, dkk pada 2001. Susunannya

sirkuler. Berat molekul 2.2x109 dalton dengan 3.268.203 base pairs, dengan

57.8% guanin dan sitosin. Genom M. leprae lebih kecil dari M. tuberculosis.

Banyak ditemukan mutasi genetik yang terjadi pada M. leprae akhir–akhir ini, hal

ini menyebabkan reduksi jalur metabolik, yang mungkin dapat member penjelasan

kenapa kuman ini butuh kondisi spesifik untuk tumbuh.

Pejamu M. leprae

Manusia, hewan, tanah, dan air dapat menjadi pejamu bagi M. leprae,

namun binatang seperti armadilos, simpanse dan jenis kera lain, tanah, air, dan

beberapa artropoda merupakan pejamu alami.

Mekanisme transmisi lepra

Transmisi penularan dapat terjadi melalui kontak dengan orang yang

terinfeksi M. leprae melalui sekret saluran nafas dan droplet. Selain itu, transmisi

penularan juga dapat terjadi melalui luka pada kulit, darah, ASI, dan gigitan

serangga.

Page 7: Referat Lepra

Diasumsikan bahwa orang yang terinfeksi kuman ini walaupun tidak

berkembang menjadi penyakit, dapat menjadi pejamu transisi bagi kuman melalui

basil yang terkandung pada sekret saluran nafas. Adanya DNA spesifik M. leprae

pada pemeriksaan swab atau biopsi nasal dan antigen basilus spesifik pada serum

orang sehat yang tinggal di sekitar daerah endemis dapat menjadikan orang

tersebut sebagai carrier kuman lepra.

Imunopatologi

Pada pemeriksaan dapat ditemukan berbagai macam gejala klinis maupun

hasil histopatologi, hal ini disebabkan karena kemampuan respon imun seluler

host terhadap M. leprae yang beragam.

Mekanisme pertahanan pertama yang terhadap infeksi M. leprae adalah

imunitas alami/innate, yaitu dengan mempertahankan keutuhan epitel, sekresi, dan

IgA. Selain itu, sel NK, limfosit T sitotoksik dan makrofag akan menghancurkan

basilus. Jika imunitas alami bekerja secara efektif dan virulensi M. leprae rendah

maka manifestasi klinis kusta tidak muncul. Setelah host terinfeksi, respon imun

host masih sebatas di fase awal. Setelah itu, sitokin inflamasi dan kemokin akan

merangsang proliferasi sel Th1 atau Th2, sehingga akan muncul respon imun

seluler atau humoral terhadap M. leprae. Fase inilah yang menentukkan

perkembangan kusta menjadi tipe tuberkuloid atau lepromatosa.

Pemeriksaan fenotipe limfosit T secara in situ pada lesi tuberkuloid

menunjukkan bahwa rasio CD4:CD8 yaitu 2:1, dan didapatkan rasio yang sama di

darah. Sedangkan rasio sel T memory : naïve di darah yaitu 1:1 dan di lesi

didapatkan rasio 14:1. Sel CD4+ di lesi tuberkuloid mengekspresikan fenotip sel

T memory (CD45R0+). Pada lesi lepromatosa didapatkan rasio CD4:CD8 yaitu

0,6:1.

Berdasarkan analisis klon sel T dapat disimpulkan bahwa CD4+ dan CD8+

menghasilkan sitokin yang berbeda. Sel CD4+ pada pasien kusta tuberkuloid

menghasilkan lebih banyak IFN- γ , IL-2, dan TNF α. Klon ini disebut sebagai sel

T CD4+, Th1 pattern, kerja sel ini meningkatkan imunitas seluler dan mengurangi

proliferasi dari M. leprae. Sedangkan klon sel CD8+ dari pasien kusta tipe

Page 8: Referat Lepra

lepromatosa memproduksi lebih banyak IL-4, IL-5, dan IL-10 dan sedikit IFN- γ.

Klon ini disebut sebagai sel T CD8+, Th2 pattern, dimana sel ini akan

menstimulasi limfosit B, meningkatkan respon humoral sehingga antibodi akan

terbentuk.

Mengingat pola sekresi sitokin sel T supressor, terutama IL-4, klon sel ini disebut

sel T CD8+, Th2 pattern, yang berkontribusi terhadap stimulasi limfosit B,

dengan peningkatan respon imun humoral dan produksi antibodi, membuat

individu rentan terhadap perkembangan penyakit. 70,71

Kadar TNF-α yang lebih tinggi dalam serum pasien tuberkuloid, menunjukkan

bahwa penghancuran M. leprae dan pembentukan granuloma berhubungan dengan

adanya sitokin ini. Meskipun terlibat dalam meknisme pertahanan melalui aktivasi

makrofag, jika diproduksi dalam jumlah banyak dan terkait dengan tingginya

tingkat IFN-γ, TNF-α berperan dalam kerusakan jaringan dan gejala eritema

nodosum leprosum ( ENL ) . 83

Dalam bentuk lepromatosa, terdapat peningkatan TGF-β, yang tidak terdapat

dalam bentuk tuberkuloid dan timbul dalam penurunan kadar pada kusta

borderline. Sitokin ini menekan aktivasi makrofag yang menghambat produksi

TNF-α dan IFN-γ yang bereran untuk mempertahankan infeksi 84,85. Selain itu, IL-

7 dan IL-12 adalah faktor pertumbuhan dan diferensiasi sel T, dan diproduksi

pada lesi tuberkuloid 86. Sebaliknya, IL-13 dapat berperan dalam imunosupresi lesi

lepromatous 87

Pada reaksi tipe 1, terdapat peningkatan secara mendadak dalam respon imun

seluler, dengan masuknya sel T CD4+ dan produksi IL-1, TNF-α , IL-2, dan IFN-

γ pada lesi, pola respon Th1.88

Pada ENL, timbul reaksi inflamasi yang dimediasi oleh kompleks imun, ditandai

dengan peningkatan IL-6 , IL-8 , dan IL-10 pada lesi, menunjukkan respon Th2,

serta peningkatan TGF-β dan TNF-α.88,89

KLASIFIKASI BENTUK KLINIS

Beberapa klasifikasi telah dikemukakan untuk kusta selama bertahun-tahun

sebagai pengetahuan baru tentang penyakit diperoleh. Klasifikasi Madrid,

Page 9: Referat Lepra

ditetapkan dalam Kongres Kusta Internasional yang diselenggarakan di Madrid

pada tahun 1953, mengikuti sistem yang berlawanan yang didefinisikan pada

tahun 1936 oleh Rabello Jr. 90,91

Sistem ini berdasarkan pada karakteristik klinis dan hasil apusan kulit, membagi

kusta menjadi dua kelompok yang imunologinya tidak stabil (intermediate dan

borderline) dan tipe dua kutub stabil (tuberkuloid dan lepromatosa).

Sistem klasifikasi Ridley & Jopling (1962,1966) menggunakan konsep spektrum

kusta berdasarkan pada bentuk klinis, imunologi , dan kriteria histopatologi 92,93.

Bentuk tuberkuloid (TT) adalah akhir dari spektrum dan bentuk lepromatosa (LL)

berada di ujung lainnya. Bentuk borderline dibagi menjadi borderline-tuberkuloid

(BT), borderline-lepromatous (BL), sesuai dengan kedekatan yang lebih besar ke

salah satu kutub, dan borderline-borderline (BB).

Pada tahun 1982, WHO, dengan tujuan operasional dan terapi, menetapkan

klasifikasi sederhana berdasarkan indeks bakteri (BI). Menurut klasifikasi ini,

kusta dibagi menjadi pausibasiler (PB) yang memiliki BI < 2+ dan multibasiler

(MB) yang memiliki BI ≥ 2+ 94. Pada tahun 1988, WHO merekomendasikan

penggunaan klasifikasi murni klinis karena ada daerah yang pada pemeriksaan

mikroskop pulasan kulit tidak tersedia, menetapkan sebagai kasus pasien PB

dengan sampai dengan lima lesi kulit dan/atau hanya satu batang saraf yang

terlibat, sedangkan kasus MB adalah mereka yang memiliki lebih dari lima lesi

kulit dan/atau lebih dari satu batang saraf yang terlibat.95 Namun, ketika

pemeriksaan mikroskop pulasan kulit tersedia, pasien dengan hasil positif

dianggap MB, terlepas dari jumlah lesi. Dengan demikian, tidak menentukan,

pasien TT dan BT termasuk ke dalam kelompok PB. Kelompok MB termasuk BB,

BL, LL dan beberapa pasien BT.

Kombinasi klasifikasi berdasarkan jumlah lesi dengan uji serologis aliran lateral

M. leprae (ML-Flowtest), yang menghubungkan BI dan konsentrasi anti-

trisakarida IgM PGL-1 di darah perifer pasien merupakan evolusi dari klasifikasi

operasional. Pasien seropositif diklasifikasikan sebagai MB dan pasien seronegatif

diklasifikasikan sebagai PB. 96,97

Page 10: Referat Lepra

MANIFESTASI KLINIS

Karakteristik bentuk klinis

Manifestasi klinis lebih bergantung pada respon imun seluler dari host M. leprae

daripada penetrasi basiler dan kemampuan multiplikasi. Manifestasi klinis diawali

dengan masa inkubasi yang panjang, antara 6 bulan-20 tahun (rata-rata 2-4 tahun).

Seropositif terhadap antigen M. leprae telah ditemukan 9 tahun sebelum diagnosis

klinis. 98,99 Proliferasi lambat, antigenisitas rendah dan keterbatasan metabolik M.

lepra merupakan penjelasan yang paling mungkin untuk periode inkubasi jangka

panjang pada kusta.100 Penurunan sensitivitas pada daerah lesi, perubahan suhu

secara berurutan, nyeri, dan sensitivitas taktil adalah manifestasi yang khas.

Kelompok indeterminate ditandai dengan sejumlah kecil spots hipokromik,

dengan sedikit penurunan sensitivitas, tanpa peningkatan ketebalan saraf (Gambar

1). Dalam bentuk TT, penyakit ini terbatas karena respon imun seluler yang baik

dari host M. leprae, dengan pasien yang menunjukkan lesi kulit tunggal atau kecil

jumlah lesi asimetris. Mereka dikarakterisasi oleh plak eritematosa, sering dengan

peningkatan batas eksternal yang tinggi dan pusat hipokromik, mewakili

perubahan sensitivitas secara signifikan (Gambar 2). Lesi tersebut mungkin

memiliki alopesia dan anhidrosis karena denervasi kulit anggota tubuh, dan

penebalan selubung saraf di dekatnya, dan hiperkeratosis dan/atau ulserasi di

daerah yang tertekan. Perubahan sensitif pada jalur saraf, dengan atau tanpa

penebalan yang jelas, mungkin satu-satunya manifestasi, dengan ditandai bentuk

saraf utama dari penyakit .93

Pada tipe LL, M. leprae berproliferasi dan menyebar melalui darah akibat

tidak adanya respon imun seluler terhadap bakteri ini. Antibodi tetap diproduksi

namun tidak mecegah proliferasi bakteri. Lesi di kulit cenderung multipel dan

simetris, seringkali berada di bagian tubuh yang lebih dingin. Lesi memiliki

karakteristik lesi hipokromatik, eritem atau coklat cerah tanpa batas yang tegas.

Pada lesi kadang tidak terjadi hipoestesi dan hanya tampak seperti kulit kering.

Banyak saraf perifer menyatu namun tidak ada penebalan, kecuali jika berada

dalam tipe borderline. Bersama dengan berkembangnya penyakit, lesi membentuk

plak dan nodul (leproma). Edema tungkai dan kaki serta hipoestesi adalah

Page 11: Referat Lepra

karakteristik umum yang lain. Pada tingkat yang lebih lanjut, wajah pasien

menunjukkan gambaran yang khas (fasies leolien), ditandai dengan infiltrasi difus

dan rontoknya bulu mata (madarosis). Mukosa membran, mata, tulang, sendi,

nodus limfa, pembuluh darah, saluran pernafasan atas, gigi, dan organ dalam juga

dapat terganggu.

Tipe borderline memiliki manifestasi klinis yang berbeda karena respon

imun imun seluler yang beragam terhadap M. leprae. Lesi pada tipe BT mirip

dengan TT dalam hal bentuk dan hilangnya sensitifitas. Namun lesi pada tipe BT

lebih banyak jumlahnya dan lebih kecil. Lesi pada tipe BB menunjukkan

karakteristik tipe TT dan LL dengan distribusi yang simetris dan gangguan sedang

pada syaraf. Tipe BB ditunjukkan dengan adanya plak eritem yang memudar di

tepi luar, bersih di tepi dalam, dan hipopigmentasi di bagian tengahnya. Lesi tipe

BL mirip dengan tipe LL, cenderung terjadi dalam jumlah besar, asimetris, dan

hipoestesi di beberapa tempat.

Gambar 1: Lepra menengah : lesi hipokromatik dengan batas tidak tegas di wajah

Gambar 2: Lepra tuberkuloid : plak eritem anular yang jalas di punggung tangan

Gambar 3: Lepra lepromatosa : lesi kering dan hipopigmentasi yang sedikit

terlihat di lengan

Gambar 4: Lepra lepromatosa : ichtiosiform pada kulit di tungkai dan leproma

Gambar 3: Lepra lepromatosa : infiltrasi di wajah dan madarosis

Fase Reaksi

Hasil reaksi lepra berasal dari perubahan keseimbangan imunitas antara host

dan M. Leprae. Reaksi yang timbul merupakan kejadian akut dan utamanya

mengenai kulit dan saraf, dimana hal tersebut menjadi penyebab utama dari

disabilititas neurologis dan morbiditas. Reaksi lepra bisa terjadi sebelum

pengobatan (manifestasi klinis lepra), selama pengobatan, atau setelah

Page 12: Referat Lepra

pengobatan. Reaksi lepra diklasifikasikan menjadi dua tipe, yaitu reaksi tipe 1 dan

reaksi tipe 2.

Reaksi tipe 1 merupakan hasil reaksi hipersensitivitas lambat dan terjadi

pada pasien tipe borderline. Reaksi tersebut berkaitan dengan respon imunitas

seluler dalam melawan antigen Mycobacterium dan bisa menyebabkan perbaikan

penyakit (reaksi reversal, reaksi pseudo-exaserasi atau ascending reaction), atau

perburukan penyakit (degradation reaction atau descending reaction). Karena

penurunan bacterial load, pasien tipe borderline selama masa pengobatan beralih

ke bentuk tipe tuberkuloid (TT). Pasien yang tidak mendapat pengobatan

menunjukkan peningkatan bacterial load dan gejala klinis mirip dengan tipe

lepromatosa (LL) karena deteriorasi imunitas seluler. Pasien tersebut

diklasifikasikan ke dalam tipe lepromatosa subpolar. Pada kedua kasus tersebut,

lesi ditunjukkan dengan adanya hiperestesia, eritema, dan edema dengan skuama

subsekuen dan terkadang ulseratif. Lesi biasanya timbul bersamaan dengan edema

ekstremitas dan neuritis, dengan manifestasi sistemik yang minimal pada reaksi

individu yang tuberkuloid (TT) dan dengan manifestasi sistemik pada pada

individu yang lepromatosa (LL).

Reaksi tipe 2 atau ENL (eritema nodusum leprosum) berkaitan dengan

imunitas seluler dan tidak berarti suatu peningkatan imunologis. Reaksi tipe 2

diyakini merupakan representasi dari reaksi tubuh tehadap substansi yang berasal

dari basilus yang rusak dengan deposisi kompleks imun ke dalam jaringan. Hal ini

adalah manifestasi dari perburukan tiba-tiba, terutama pasien tipe lepromatosa

(LL), lebih jarang terhadap pasien borderline lepromatous (BL). Nodul inflamasi

subkutaneus terdistribusi secara simetris atau lesi target eritem multiforme terjadi

di beberpa regio. Terdapat beberapa gejala umum seperti demam, malaise,

mialgia, edema, atralgia, dan limfadenomegali. Neuritis dan gejala interna seperti

kerusakan hepar dan ginjal juga terjadi. Pemeriksaan laboratorium juga

menunjukkan hasil yang abnormal. Dimungkinkan terjadi nekrosis karena

obliterasi lumen vaskular (necrotic ENL), vaskulitis dengan leukositoklasia

karena deposisi kompleks imun di dinding pembuluh darah dengan formasi

Page 13: Referat Lepra

trombus dan iskemia. Hal ini harus dibedakan dengan fenomena Lucio, yang

terjadi pada Lucio’s leprosy dan lepra lepromatosa klasik, di mana sejumlah besar

basilus menyerang endotel kapiler yang menyebabkan proliferasi endotel,

trombosis, dan oklusi vaskular.

Perubahan Neurologis

M. leprae dapat menginvasi saraf tepi dan dapat menyebabkan neuritis.

Beberapa lesi dapat berkembang secara perlahan dengan berbagai gejala kesakitan

dan dapat menyebabkan perubahan fungsi. Eksaserbasi dapat terjadi selama reaksi

berlangsung, namun eksaserbasi tersebut kadang tidak terdeteksi, yang dapat

menyebabkan perubahan fungsi tanpa merasakan sakit sama sekali.

Neuropati saraf tepi pada lepra dapat terjadi pada saraf sensoris, motoris

maupun otonom dan dapat berupa mononeuropati dan mononeuropati multipel.

Ujung saraf dapat menebal, iregular, dan sakit pada saat dipalpasi. Hipoestesi,

anestesi, paresis, paralisis, berkurangnya kekuatan otot, amiotrofi, retraksi tendon,

kaku sendi, disfungsi vasomotor, berkurangnya sekresi kelenjar sebasea dan

kelenjar keringat dapat terjadi pada penderita bersamaan dengan perkembangan /

perjalanan penyakit lepra.

Kerusakan saraf ini berkontribusi pada frekuensi terjadinya lesi, terutama

pada tangan, kaki, mata yaitu kulit kering, fisura, ulserasi, infeksi sekunder pada

tulang dan jaringan lunak, resorpsi tulang yang dapat menyebabkan deformitas.

Neuritis sering menyebabkan sekuel dan dapat mengarah pada penyakit yang

kronis bersamaan dengan saraf yang terkena, atau yang disebut neuropatic pain.

Saraf yang sering terpengaruh adalah nervus facialis dan nervus trigeminalis

(pada wajah); nervus ulnaris, nervus medianus, nervus radialis (pada lengan);

nervus fibularis komunis dan nervus tibialis posterior (pada tungkai bawah).

Lesi nervus fasialis:

Lesi pada nervus facialis dapat mengarah terutama pada berkurangnya

kekuatan otot mata, hidung dan berpengaruh pada keringnya bola mata. Lesi pada

cabang zygomaticus dapat menyebabkan paralisis otot orbicularis oculi dan

Page 14: Referat Lepra

lagoftalmos (dengan atau tanpa ektropion). Lesi pada cabang oftalmikus (dari

nervus trigeminalis) kebanyakan menyebabkan berkurangnya sensitifitas hidung

dan kornea. Perubahan ini merupakan faktor predisposisi untuk menjadi keratitis,

ulkus kornea, infeksi, dan kebutaan. Kerusakan serabut saraf otonom di hidung

dapat menyebabkan rhinitis atrofi dengan mukus nasal yang sedikit dan

berkurangnya suplai darah, karena itulah mukosa hidung tampak pucat dan

kartilago menjadi tipis yang kadang bahkan bisa terjadi kolaps.

Lesi pada saraf lengan:

Lesi nervus ulnaris dapat menyebabkan hipoestesi atau anestesi, dapat

terjadi terbentuk banyak keringat pada telapak tangan dan ketidaknormalan

sirkulasi pada telapak tangan dan pada jari ke-4 dan 5. Pada tangan dapat terjadi

pula paralisis dan hipotrofi otot intrinsik tangan sehingga membentuk deformitas

claw, yaitu hiperekstensi sendi metacarpophalang dan fleksi pada sendi

interphalang terutama pada jari ke-4 dan ke-5. Lesi ini dapat pula menyebabkan

atrofi pada muskulus hipotenar dan muskulus tenar dan juga atrofi pada

interoceous spaces. Kelingking menjadi abduksi sedangkan ibu jari tidak bisa

abduksi. Lesi nervus medianus menyebabkan paralisis dan atrofi pada beberapa

muskulus eminensi tenar dan hilangnya sensitifitas telapak tangan (ibu jari,

telunjuk, jari tengah dan juga jari manis). Jika muskulus yang terpengaruh adalah

pergelangan tangan, maka akan terjadi hilangnya fungsi oponensi ibu jari dan

hiperekstensi sendi metakarpophalang pada jari telunjuk dan jari tengah (claw).

Jika lesi terjadi pada bagian proksimal, otot ekstrinsik juga akan terganggu yaitu

hilangnya kontrol pada fleksi phalang distal di jari telunjuk dan jari tengah,

hilangnya fungsi fleksor superfisial, gangguan pronasi dan tendensi pada deviasi

ulnar pergelangan tangan. Kumpulan gejala ini menyebabkan penderita kesulitan

untuk mengambil atau memegang benda kecil dan meraba benda besar. Lesi

nervus radialis sangat jarang terjadi, terjadinya hanya setelah terlibatnya nervus

ulnaris dan nervus medianus (tripel paralisis). Tripel paralisis ini terdeteksi dari

posisi fleksi yaitu dropwrist yang disebabkan karena paralisis otot ekstensor

pergelangan tangan, jari, ibu jari, yang mana hal ini menyebabkan penderita

Page 15: Referat Lepra

kesulitan meraba objek karena keterbatasan posisi tangan untuk memegang yang

selanjutnya akan menjadi atrofi pada bagian dorsal lengan bawah. Sensitifitas

terganggu pada bagian dorsal dari ibu jari, sampai jari tengah, dan bagian radial

dari jari manis.

Lesi pada saraf tungkai:

Nervus fibularis communis dapat mengalami gangguan pada cabang

superfisial dan profunda. Lesi nervus fibularis profunda menimbulkan perubahan

sensitivitas pada proksimal dari regio metatarsal I dan paralisis ankle serta

dorsumfleksi kaki. Lesi nervus fibularis superfisial menimbulkan hilangnya

sensitivitas bagian lateral dan dorsal tungkai bawah dan perubahan gerak eversi

kaki (gerakan plantarfleksi normal), sisi lateral tungkai bawah, dan dorsal kaki.

Jika kedua cabang nervus fibularis communis terganggu, terjadi foot drop dan

atrofi tungkai bawah bagian lateral dan anterior. Lesi nervus tibialis posterior

menyebabkan anestesia plantar dan paralisis otot-otot intrinsik kaki, dengan

hiperekstensi sendi metatarsofalangeal dan fleksi sendi proksimal dan distal

interfalang (claw toes), juga terjadi atrofi sendi-sendi plantar.107,108

Gangguan sistemik

Lepra dapat mempengaruhi berbagai sistem organ. Hal ini lebih sering

terjadi pada pasien MB, namun pada lepromatosa sering tidak menimbulkan

gejala sistemik. Keterlibatan berbagai sistem organ ini mungkin disebabkan

bekteriemia oleh karena M. leprae, namun reaksi lepra lebih sering menimbulkan

gangguan sistem organ. Amiloidosis sekunder pada beberapa organ merupakan

peyebab lain kerusakan ginjal, dan hal ini berhubungan dengan lepra yang

berkepanjangan dengan reaksi yang rekuren. Penyakit konkomitan, efek samping

obat, dan lain-lain, merupakan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap gangguan

berbagai sistem organ.101,112

Sistem respirasi: M. leprae mempengaruhi traktus respiratori atas (hidung,

faring, laring, epiglotis, trakhea), khususnya pada reaksi tipe 2. Keterlibatan

mukosa oral jarang terjadi.113-115 Bronkus dan paru-paru kadang-kadang terganggu.

Page 16: Referat Lepra

Hubungan antara lepra dan tuberkulosis paru telah dilaporkan pada beberapa

studi. 112

Sistem kardiovaskular: aritmia, dispneu, tanda-tanda stasis, hipertrofi

ventrikular, dan perubahan segmen ST lebih sering terjadi pada pasien MB

daripada pasien PB. Disfungsi otonom disebabkan oleh infiltrasi bakteri pada

saraf simpatis dan parasimpatis jantung. Penyakit arteri koroner dan abnormalitas

arteriografi pembuluh darah perifer dilaporkan terjadi pada 11% dan 50% pasien.

Endotel yang terinfeksi menyebabkan terjadinya ulkus iskemik. 112

Ginjal dan saluran kemih: gangguan ginjal biasanya disebabkan oleh reaksi

tipe 2 atau amiloidosis sekunder karena M. leprae jarang menyerang parenkim

ginjal. Dapat terjadi glomerulonefritis, nefritis interstitial, sindroma nefrotik,

pyelonefritis, tubular nekrosis akut, yang menyebabkan gagal ginjal dan kematian.

Ureter, kandung kemih, dan uretra biasanya juga terganggu. 112

Sistem endokrin: terjadi gangguan sistem endokrin yang signifikan,

khususnya pada pasien pria, di mana terjadi gangguan testis dengan insidensi

sebesar 90% yang menyebabkan orkitis, di mana keterlibatan epididimis dapat

menyebabkan infertilitas, impotensi, dan ginekomastia. Lesi adrenal dilaporkan

terjadi pada sepertiga pasien, terutama pada korteks. Pada pasien dengan reaksi

lepra juga dapat terjadi respon stres yang tidak adekuat karena penggunaan

kortikosteroid yang rutin. Kelenjar tiroid, paratiroid, dan pineal jarang terganggu. 112, 116 Gangguan liver karena M. leprae dapat terjadi pada semua bentuk klinis

penyakit, namun lebih sering terjadi pada bentuk lepromatosa. Biasanya pasien

akan asimtomatis dan fungsi livernya normal. Jika terjadi abnormalitas pada tes

fungsi liver, harus dicari penyebab lain, terutama reaksi lepra. Amiloidosis

sekunder pada liver berhubungan dengan hepatomegali. 112

Sistem hamatologi dan limfatik: basilemia terjadi pada 90% pasien

lepromatosa. Sel retikuloendotelial basili-laden banyak terdapat di liver, limpa,

dan sumsum tulang. Infiltrasi sumsum tulang dapat menyebabkan pansitopenia.

Dapat terjadi limfadenopati permukaan pada kulit. Nodus limfatika iliakus,

femoralis, paraaorta, dan sistem porta juga dapat terganggu. 112

Page 17: Referat Lepra

Biasanya juga terjadi gangguan pada sistem gastrointestinal dan sistem

reproduksi wanita. Telah dilaporkan kejadian bayi berat lahir rendah, reaksi lepra

yang memburuk disebabkan oleh kemilan dan laktasi, dan rekurensi penyakit.

Selain itu, juga terjadi gangguan pada sistem saraf pusat; namun demikian,

manifestasi penyakit pada sistem saraf perifer merupakan manifestasi klasik lepra. 112

DIAGNOSIS DIFERENSIAL

Diagnosis diferensial pada lepra cukup kompleks karena manifestasi

klinisnya bervariasi. Penyakit ini harus dibedakan dengan lesi hipokromik dan lesi

akromik seperti pitiriasis alba, pitiriasis versikolor, nevus hipokromik,

hipopigmentasi post-inflamasi, dan vitiligo. Lesi tuberkuloid dan borderline

serupa dengan granuloma anular, eritema figuratif, sarkoidosis, pitiriasis rosea,

psoriasis, lupus eritematosus, dan drug eruption. Bentuk lepromatosa serupa

dengan skleroderma, mikosis funguides, pelagra, asteatosis, iktiosis, dan ekzema;

lesi multibasilar harus dibedakan dengan sifilis sekunder dan tersier, leishmaniasis

difusa, neurofibromatosis, xantoma, limfoma, dan tumor lain. Pada kasus yang

dimulai dengan ENL atau eritema multiforme harus dicari etiologi lain. Bentuk

neural primer serupa dengan penyakit yang menyebabkan mononeuropati atau

mononeuropati multipel, termasuk inflamasi, metabolik, infeksi, penyakit

kongenital atau herediter, tumor, dan trauma. Saat terjadi manifestasi sistemik

spesifik pada lepra multibasilar, harus disingkirkan kemungkinan penyakit yang

menyebabkan manifestasi tersebut, seperti lupus eritematosus sistemik, artritis

reumatoid, dermatopolimyositis, dan vaskulitis sistemik. Diferensial diagnosis lesi

saraf pada lengan dan tungkai adalah lesi yang disebabkan karena trauma, infeksi,

perdarahan, degenerasi, dan tumor, yang dapat menyebabkan amyotrofi dan

paralisis.