Lepra: Review dalam Aspek Epidemiologi, Kinis, dan
Etiopatogenesis – Bagian 1Joel Carlos Lastória
Marilda Aparecida Milanez Morgado de Abreu
Abstrak: Penyakit lepra disebabkan oleh Mycobacterium leprae dan telah dikenal
sejak sebelum masehi. Penyakit ini masih menjadi permasalahan endemik di
banyak tempat dan menjadi permasalahan kesehatan masyarakat di Brazil. Angka
prevalensi pada tahun 2011 mencapai 1,54 kasus pada setiap 10.000 penduduk
Brazil. Mekanisme dari penularan penyakit lepra adalah kontak antara individu
yang rentan dan memiliki faktor predisposisi secara genetik dengan pasien
multibasiler yang tak diobati. Penularan penyakit ini melalui inhalasi kuman
basilus yang terdapat pada sekret saluran pernafasan atas. Mukosa hidung
merupakan pintu keluar masuk M. leprae. Pemahaman lebih mendalam tentang
karakteristik struktur dan biologi, serta sequence genome dari M. leprae,
bersamaan dengan pemahaman terbaru tentang mekanisme respon imun pejamu
terhadap kuman basilus yang bergantung pada kerentanan genetik, telah
berkontribusi terhadap pemahaman akan patogenesis, variasi tanda-tanda klinis,
dan progresi penyakit lepra. Artikel ini bertujuan untuk memperbaharui
pengetahuan spesialis kulit akan aspek epidemiologi, klinis, dan etiopatogenesis
lepra.
Kata kunci: Klasifikasi; Diagnosis klinis; Penularan penyakit, infeksius; Edukasi,
terus-menerus; Epidemiologi; Fenomena genetik; Faktor imunologi; Lepra;
Mycobacterium leprae; Tanda dan gejala
PENDAHULUAN
Lepra merupakan penyakit infeksi kronis yang diebabkan oleh
Mycobacterium leprae. Penyakit ini sangat menular, namun tingkat
morbiditasnya rendah karena jumlah populasi yang besar akan secara alami
menyebabkan individu resisten terhadap penyakit ini. Penyakit ini mengenai
sebagian besar kulit dan saraf perifer. Diagnosis ditetapkan berdasarkan
pemeriksaan kulit dan saraf pasien. Diagnosis awal sangat penting.
Penatalaksanaan yang tepat akan mencegah gejala sisa dan disabilitas fisik yang
berpengaruh pada kehidupan sosial dan pekerjaan seseorang, serta mempengaruhi
stigma dan anggapan terkait penyakit ini.
SEJARAH
Penyakit ini telah dikenal sebagai lepra sejak sebelum masehi, dengan
laporan kasus lebih dari 3000 tahun lalu. Masih ada keraguan apakah lepra berasal
dari Afrika atau Asia. Istilah lepra merupakan penghargaan terhadap Gerhard
Armauer Hansen, seorang dokter asal Norwegia yang pada tahun 1873
menemukan bahwa bakteri basilus Mycobacterium leprae adalah penyebab
penyakit ini.1
Lepra dipercaya muncul pertama kali di Eropa pada tahun 300 SM yang
dibawa oleh pasukan tentara Alexander King dari India. Pada era pertengahan,
angka insidensi penyakit ini sangat tinggi di Eropa dan Asia Tenggara. Angka
kejadian tersebut menurun drastis sekitar tahun 1870 karena adanya peningkatan
status sosial dan ekonomi. Penyakit ini diasumsikan muncul pertama kali di
Amerika Latin saat periode kolonisasi oleh orang-orang Perancis di Amerika
Serikat dan oleh orang-orang Spanyol dan Portugis di Amerika Selatan.
Perdagangan budak Afrika adalah penyebab utama tersebarnya lepra di Amerika.
Kasus pertama dilaporkan terjadi di Brazil pada tahun 1600 di kota Rio de
Janeiro. Rumah sakit isolasi pertama dibangun di Rio de Janeiro. Setelah itu,
penyakit ini menyebar luas ke daerah Brazil lainnya. 1
Strategi utama yang digunakan untuk mencegah tersebarnya lepra pada
zaman dahulu adalah mengisolasi pasien penderita lepra. Strategi ini ditetapkan di
Brazil pada tahun 1923. Dengan ditemukannya sulfone pada tahun 1940-an dan
penggunaannya untuk penatalaksanaan lepra, pengisolasian pasien bukan lagi
menjadi suatu keharusan, namun kebijakan tersebut secara resmi dihapus pada
tahun 1962. Akan tetapi, sampai pertengahan tahun 1980-an banyak pasien masih
terisolasi karena beberapa alasan. Karena kasus resistensi terhadap monoterapi
sulfone pada tahun 1970, WHO menyarankan penggunaan regimen multidrug.
Oleh karena itu, sejak awal 1980-an, penyakit ini telah diobati dengan regimen
multidrug dalam tatalaksana rawat jalan dan pasien dianggap sembuh setelah
pengobatan. Namun, terapi multidrug (MDT) secara resmi dan luas hanya
diterapkan di Brazil pada tahun 1993.2,3
Istilah hanseniasis diusulkan untuk mengurangi stigma yang terkait
dengan penyakit ini pada tahun 1967 oleh Profesor Abraão Rotberg. Istilah ini
secara resmi diadopsi di Brazil pada tahun 1970 dan menjadi wajib menurut
hukum federal nomer 9010 berlaku sejak 29 Maret 1995.4
EPIDEMIOLOGI
Kusta merupakan penyakit endemik di negara-negara tropis, khususnya di
negara-negara terbelakang atau berkembang. Prevalensinya menurun tajam sejak
adanya produksi MDT pada awal tahun 1980-an. Namun dari 105 negara
endemik, sejumlah besar kasus masih berkonsentrasi di Asia Tenggara, Amerika,
Afrika, Pasifik Barat, dan Mediterania Timur. Pada tahun 2011, terdapat 219.075
kasus baru yang terdeteksi di seluruh dunia. Pada kuartal pertama 2012, tercatat
181.941 kasus baru dengan angka prevalensi 0,34 kasus per 10.000 penduduk.5
Brazil belum mencapai tujuan eliminasi kusta sebagai masalah kesehatan
masyarakat (eliminasi didefinisikan dengan prevalensi yang lebih rendah dari 1
kasus per 10.000 penduduk), yakni peringkat kedua dalam hal jumlah kasus,
dengan India yang menempati urutan pertama.6 Brazil memiliki tingkat prevalensi
1,54 kasus per 10.000 penduduk, dengan 33.955 kasus baru pada tahun 2011, 61
% di antaranya adalah multibasiler (MB). Penyakit ini tidak menyebar merata di
berbagai daerah di Brazil, dengan tingkat prevalensi per 10.000 penduduk adalah
sebagai berikut: 3,75 di Brazil bagian barat dan tengah, 3,49 di Brazil bagian
utara, 2,35 di Brazil bagian timur laut, 0,61 di Brazil bagian tenggara, dan 0,44 di
Brazil bagian selatan.7 Indikator epidemiologi utama yang digunakan di Brazil
adalah tingkat deteksi kasus baru, tingkat kasus baru pada anak-anak berusia
kurang dari 15 tahun, dengan kasus cacat level-2.8
Data epidemiologis dari beberapa negara termasuk India, harus ditafsirkan
dengan hati-hati karena tujuan eliminasi penyakit yang dicapai didasarkan atas
beberapa kriteria, seperti: perubahan dalam pengertian kasus, eksklusi kasus
berulang dari perhitungan prevalensi, eksklusi kasus pengobatan dropout dari
catatan aktif, pengobatan dosis tunggal dari pasien pauciba-cillary (PB), durasi
pengobatan yang lebih pendek, dan lain-lain. Hal ini menyebabkan penurunan
ketajaman jumlah kasus baru yang dilaporkan.9 Di Brazil, prevalensi kusta telah
menurun signifikan sejak tahun 2000, meskipun mungkin secara bertahap sebagai
akibat dari akses pasien yang lebih luas untuk perawatan primer .10
Penurunan kasus kusta pada anak di bawah usia 15 tahun merupakan
prioritas di Brazil, karena hal ini merupakan indikator pemantauan endemik
utama. Kasus dalam kelompok usia ini menunjukkan transmisi baru dengan fokus
infeksi aktif dan di daerah endemis tinggi yang menunjukkan kekurangan
operasional. Deteksi puncak kasus pada anak di bawah 15 tahun terjadi pada
tahun 2003, yaitu 4.181 kasus yang terdeteksi, sehingga koefisien deteksi 7,98 per
100.000 orang penduduk. Setelah itu sangat berkurang; pada tahun 2011,
sebanyak 2.420 kasus baru yang terdeteksi, sehingga koefisien deteksi 5,22 per
100.000 penduduk.11
Kurangnya pengetahuan penduduk tentang penyakit dan kesulitan pasien
untuk memiliki akses ke pengobatan khususnya di beberapa daerah berkontribusi
terhadap keterlambatan diagnosis kusta. Hal ini dapat mengakibatkan cacat fisik,
di mana cacat fisik merupakan indikator yang digunakan untuk mengukur kualitas
layanan. Meskipun ada pengurangan progresif kecacatan fisik dalam kasus kusta
(karena jumlah yang lebih besar saat diagnosis dini di negara ini), 2.165 kasus
memiliki cacat level-2 pada tahun 2011.6 Sebuah penjelasan yang mungkin untuk
ini prevalensi kusta tersembunyi; yaitu, reservoir kasus tidak terdeteksi
dipengaruhi oleh unsur-unsur epidemiologi dan operasional yang melindungi
sumber infeksi.6,12-14
Strategi yang digunakan untuk pengendalian penyakit oleh Koordinasi
Kusta dan Penyakit di bawah Sekretariat Surveilans Pengawasan Kesehatan
Kementerian Kesehatan terdiri atas deteksi dini dan pengobatan yang tepat untuk
menghilangkan sumber infeksi dan mencegah gejala sisa. Pelayanan dan
kemitraan yang terpadu mendukung tindakan untuk mengendalikan penyakit ini.6
ETIOPATOGENESIS
Agen etiologi
Agen etiologi, M. leprae, diidentifikasi oleh dokter dari Norwegia yang
bernama Gerhard Armauer Hansen pada tahun 1873. Oleh karena itu, ia juga
disebut basil Hansen .
Taksonomi , morfologi , pewarnaan, dan karakteristik biologi M. leprae
Klasifikasi ilmiah M. leprae adalah sebagai berikut: kelas Schizomycetes,
ordo Actinomycetales, famili Mycobacteriaceae, dan genus Mycobacterium. M.
leprae adalah batang lurus atau sedikit melengkung, dengan ujung membulat,
berukuran panjang 1,5-8 mikron dengan diameter 0,2-0,5 mikron. Dalam apusan,
terlihat pengecatan merah jika diwarnai dengan fuchsin menggunakan Ziehl
Neelsen (ZN), dan karena kandungan lipid yang tinggi, tidak didapatkan
perubahan warna ketika dicuci dengan alkohol dan asam, hal ini memperlihatkan
karakteristik basil tahan asam alkohol. M. leprae berbeda dari mycobacteria lain
dalam hal penataan, karena diatur dalam rantai paralel, seperti rokok di bungkus,
terikat bersama-sama membentuk globi tersebut. Ketika metode pewarnaan Gram
digunakan, M. leprae merupakan gram yang tidak terlihat, muncul gambar seperti
pewarnaan pada bacilli negatif, disebut hantu, atau sebagai manik seperti gram
positif bacilli.15,16
M. leprae menginfeksi makrofag dan sel schwan. Kuman ini tidak pernah bisa
tumbuh dalam media buatan. Kuman ini bereproduksi selama 12-14 hari pada
telapak kaki tikus. Temperatur untuk bertahan hidup dan berproliferasi antara 27-
300C. Hal ini menjelaskan kenapa kuman ini bisa bertahan hidup pada permukaan
tubuh seperti kulit, saraf tepi, testis, saluran pernafasan atas, dan organ visera
bagian bawah. M. leprae dapat bertahan hidup selama 9 hari di lingkungan luar.
Karakteristik ultrastruktural M. leprae
Wujud kuman ini seperti layaknya kuman pada genus mikobakterium. Pada
pengamatan menggunakan mikroskop elektron akan terlihat adanya sitoplasma,
membran plasma, dinding sel, dan kapsul. Isi sitoplasma seperti isi sitoplasma
bakteri gram positif. Membran plasma mempunyai lapisan lemak permeabel yang
berisi berbagai protein, yaitu antigen permukaan. Dinding sel yang melekat pada
membran plasma tersusun dari peptidoglikan, berisi arabinogalaktan yang
mendukung asam mikolik dan lipoarabinomanan, sama seperti mikobakteria yang
lain. Kapsula kuman ini mengandung PGL-1 yang merupakan antigen spesifik M.
leprae.
Genom M. leprae
Susunan genom M. lepra diurutkan oleh Cole, dkk pada 2001. Susunannya
sirkuler. Berat molekul 2.2x109 dalton dengan 3.268.203 base pairs, dengan
57.8% guanin dan sitosin. Genom M. leprae lebih kecil dari M. tuberculosis.
Banyak ditemukan mutasi genetik yang terjadi pada M. leprae akhir–akhir ini, hal
ini menyebabkan reduksi jalur metabolik, yang mungkin dapat member penjelasan
kenapa kuman ini butuh kondisi spesifik untuk tumbuh.
Pejamu M. leprae
Manusia, hewan, tanah, dan air dapat menjadi pejamu bagi M. leprae,
namun binatang seperti armadilos, simpanse dan jenis kera lain, tanah, air, dan
beberapa artropoda merupakan pejamu alami.
Mekanisme transmisi lepra
Transmisi penularan dapat terjadi melalui kontak dengan orang yang
terinfeksi M. leprae melalui sekret saluran nafas dan droplet. Selain itu, transmisi
penularan juga dapat terjadi melalui luka pada kulit, darah, ASI, dan gigitan
serangga.
Diasumsikan bahwa orang yang terinfeksi kuman ini walaupun tidak
berkembang menjadi penyakit, dapat menjadi pejamu transisi bagi kuman melalui
basil yang terkandung pada sekret saluran nafas. Adanya DNA spesifik M. leprae
pada pemeriksaan swab atau biopsi nasal dan antigen basilus spesifik pada serum
orang sehat yang tinggal di sekitar daerah endemis dapat menjadikan orang
tersebut sebagai carrier kuman lepra.
Imunopatologi
Pada pemeriksaan dapat ditemukan berbagai macam gejala klinis maupun
hasil histopatologi, hal ini disebabkan karena kemampuan respon imun seluler
host terhadap M. leprae yang beragam.
Mekanisme pertahanan pertama yang terhadap infeksi M. leprae adalah
imunitas alami/innate, yaitu dengan mempertahankan keutuhan epitel, sekresi, dan
IgA. Selain itu, sel NK, limfosit T sitotoksik dan makrofag akan menghancurkan
basilus. Jika imunitas alami bekerja secara efektif dan virulensi M. leprae rendah
maka manifestasi klinis kusta tidak muncul. Setelah host terinfeksi, respon imun
host masih sebatas di fase awal. Setelah itu, sitokin inflamasi dan kemokin akan
merangsang proliferasi sel Th1 atau Th2, sehingga akan muncul respon imun
seluler atau humoral terhadap M. leprae. Fase inilah yang menentukkan
perkembangan kusta menjadi tipe tuberkuloid atau lepromatosa.
Pemeriksaan fenotipe limfosit T secara in situ pada lesi tuberkuloid
menunjukkan bahwa rasio CD4:CD8 yaitu 2:1, dan didapatkan rasio yang sama di
darah. Sedangkan rasio sel T memory : naïve di darah yaitu 1:1 dan di lesi
didapatkan rasio 14:1. Sel CD4+ di lesi tuberkuloid mengekspresikan fenotip sel
T memory (CD45R0+). Pada lesi lepromatosa didapatkan rasio CD4:CD8 yaitu
0,6:1.
Berdasarkan analisis klon sel T dapat disimpulkan bahwa CD4+ dan CD8+
menghasilkan sitokin yang berbeda. Sel CD4+ pada pasien kusta tuberkuloid
menghasilkan lebih banyak IFN- γ , IL-2, dan TNF α. Klon ini disebut sebagai sel
T CD4+, Th1 pattern, kerja sel ini meningkatkan imunitas seluler dan mengurangi
proliferasi dari M. leprae. Sedangkan klon sel CD8+ dari pasien kusta tipe
lepromatosa memproduksi lebih banyak IL-4, IL-5, dan IL-10 dan sedikit IFN- γ.
Klon ini disebut sebagai sel T CD8+, Th2 pattern, dimana sel ini akan
menstimulasi limfosit B, meningkatkan respon humoral sehingga antibodi akan
terbentuk.
Mengingat pola sekresi sitokin sel T supressor, terutama IL-4, klon sel ini disebut
sel T CD8+, Th2 pattern, yang berkontribusi terhadap stimulasi limfosit B,
dengan peningkatan respon imun humoral dan produksi antibodi, membuat
individu rentan terhadap perkembangan penyakit. 70,71
Kadar TNF-α yang lebih tinggi dalam serum pasien tuberkuloid, menunjukkan
bahwa penghancuran M. leprae dan pembentukan granuloma berhubungan dengan
adanya sitokin ini. Meskipun terlibat dalam meknisme pertahanan melalui aktivasi
makrofag, jika diproduksi dalam jumlah banyak dan terkait dengan tingginya
tingkat IFN-γ, TNF-α berperan dalam kerusakan jaringan dan gejala eritema
nodosum leprosum ( ENL ) . 83
Dalam bentuk lepromatosa, terdapat peningkatan TGF-β, yang tidak terdapat
dalam bentuk tuberkuloid dan timbul dalam penurunan kadar pada kusta
borderline. Sitokin ini menekan aktivasi makrofag yang menghambat produksi
TNF-α dan IFN-γ yang bereran untuk mempertahankan infeksi 84,85. Selain itu, IL-
7 dan IL-12 adalah faktor pertumbuhan dan diferensiasi sel T, dan diproduksi
pada lesi tuberkuloid 86. Sebaliknya, IL-13 dapat berperan dalam imunosupresi lesi
lepromatous 87
Pada reaksi tipe 1, terdapat peningkatan secara mendadak dalam respon imun
seluler, dengan masuknya sel T CD4+ dan produksi IL-1, TNF-α , IL-2, dan IFN-
γ pada lesi, pola respon Th1.88
Pada ENL, timbul reaksi inflamasi yang dimediasi oleh kompleks imun, ditandai
dengan peningkatan IL-6 , IL-8 , dan IL-10 pada lesi, menunjukkan respon Th2,
serta peningkatan TGF-β dan TNF-α.88,89
KLASIFIKASI BENTUK KLINIS
Beberapa klasifikasi telah dikemukakan untuk kusta selama bertahun-tahun
sebagai pengetahuan baru tentang penyakit diperoleh. Klasifikasi Madrid,
ditetapkan dalam Kongres Kusta Internasional yang diselenggarakan di Madrid
pada tahun 1953, mengikuti sistem yang berlawanan yang didefinisikan pada
tahun 1936 oleh Rabello Jr. 90,91
Sistem ini berdasarkan pada karakteristik klinis dan hasil apusan kulit, membagi
kusta menjadi dua kelompok yang imunologinya tidak stabil (intermediate dan
borderline) dan tipe dua kutub stabil (tuberkuloid dan lepromatosa).
Sistem klasifikasi Ridley & Jopling (1962,1966) menggunakan konsep spektrum
kusta berdasarkan pada bentuk klinis, imunologi , dan kriteria histopatologi 92,93.
Bentuk tuberkuloid (TT) adalah akhir dari spektrum dan bentuk lepromatosa (LL)
berada di ujung lainnya. Bentuk borderline dibagi menjadi borderline-tuberkuloid
(BT), borderline-lepromatous (BL), sesuai dengan kedekatan yang lebih besar ke
salah satu kutub, dan borderline-borderline (BB).
Pada tahun 1982, WHO, dengan tujuan operasional dan terapi, menetapkan
klasifikasi sederhana berdasarkan indeks bakteri (BI). Menurut klasifikasi ini,
kusta dibagi menjadi pausibasiler (PB) yang memiliki BI < 2+ dan multibasiler
(MB) yang memiliki BI ≥ 2+ 94. Pada tahun 1988, WHO merekomendasikan
penggunaan klasifikasi murni klinis karena ada daerah yang pada pemeriksaan
mikroskop pulasan kulit tidak tersedia, menetapkan sebagai kasus pasien PB
dengan sampai dengan lima lesi kulit dan/atau hanya satu batang saraf yang
terlibat, sedangkan kasus MB adalah mereka yang memiliki lebih dari lima lesi
kulit dan/atau lebih dari satu batang saraf yang terlibat.95 Namun, ketika
pemeriksaan mikroskop pulasan kulit tersedia, pasien dengan hasil positif
dianggap MB, terlepas dari jumlah lesi. Dengan demikian, tidak menentukan,
pasien TT dan BT termasuk ke dalam kelompok PB. Kelompok MB termasuk BB,
BL, LL dan beberapa pasien BT.
Kombinasi klasifikasi berdasarkan jumlah lesi dengan uji serologis aliran lateral
M. leprae (ML-Flowtest), yang menghubungkan BI dan konsentrasi anti-
trisakarida IgM PGL-1 di darah perifer pasien merupakan evolusi dari klasifikasi
operasional. Pasien seropositif diklasifikasikan sebagai MB dan pasien seronegatif
diklasifikasikan sebagai PB. 96,97
MANIFESTASI KLINIS
Karakteristik bentuk klinis
Manifestasi klinis lebih bergantung pada respon imun seluler dari host M. leprae
daripada penetrasi basiler dan kemampuan multiplikasi. Manifestasi klinis diawali
dengan masa inkubasi yang panjang, antara 6 bulan-20 tahun (rata-rata 2-4 tahun).
Seropositif terhadap antigen M. leprae telah ditemukan 9 tahun sebelum diagnosis
klinis. 98,99 Proliferasi lambat, antigenisitas rendah dan keterbatasan metabolik M.
lepra merupakan penjelasan yang paling mungkin untuk periode inkubasi jangka
panjang pada kusta.100 Penurunan sensitivitas pada daerah lesi, perubahan suhu
secara berurutan, nyeri, dan sensitivitas taktil adalah manifestasi yang khas.
Kelompok indeterminate ditandai dengan sejumlah kecil spots hipokromik,
dengan sedikit penurunan sensitivitas, tanpa peningkatan ketebalan saraf (Gambar
1). Dalam bentuk TT, penyakit ini terbatas karena respon imun seluler yang baik
dari host M. leprae, dengan pasien yang menunjukkan lesi kulit tunggal atau kecil
jumlah lesi asimetris. Mereka dikarakterisasi oleh plak eritematosa, sering dengan
peningkatan batas eksternal yang tinggi dan pusat hipokromik, mewakili
perubahan sensitivitas secara signifikan (Gambar 2). Lesi tersebut mungkin
memiliki alopesia dan anhidrosis karena denervasi kulit anggota tubuh, dan
penebalan selubung saraf di dekatnya, dan hiperkeratosis dan/atau ulserasi di
daerah yang tertekan. Perubahan sensitif pada jalur saraf, dengan atau tanpa
penebalan yang jelas, mungkin satu-satunya manifestasi, dengan ditandai bentuk
saraf utama dari penyakit .93
Pada tipe LL, M. leprae berproliferasi dan menyebar melalui darah akibat
tidak adanya respon imun seluler terhadap bakteri ini. Antibodi tetap diproduksi
namun tidak mecegah proliferasi bakteri. Lesi di kulit cenderung multipel dan
simetris, seringkali berada di bagian tubuh yang lebih dingin. Lesi memiliki
karakteristik lesi hipokromatik, eritem atau coklat cerah tanpa batas yang tegas.
Pada lesi kadang tidak terjadi hipoestesi dan hanya tampak seperti kulit kering.
Banyak saraf perifer menyatu namun tidak ada penebalan, kecuali jika berada
dalam tipe borderline. Bersama dengan berkembangnya penyakit, lesi membentuk
plak dan nodul (leproma). Edema tungkai dan kaki serta hipoestesi adalah
karakteristik umum yang lain. Pada tingkat yang lebih lanjut, wajah pasien
menunjukkan gambaran yang khas (fasies leolien), ditandai dengan infiltrasi difus
dan rontoknya bulu mata (madarosis). Mukosa membran, mata, tulang, sendi,
nodus limfa, pembuluh darah, saluran pernafasan atas, gigi, dan organ dalam juga
dapat terganggu.
Tipe borderline memiliki manifestasi klinis yang berbeda karena respon
imun imun seluler yang beragam terhadap M. leprae. Lesi pada tipe BT mirip
dengan TT dalam hal bentuk dan hilangnya sensitifitas. Namun lesi pada tipe BT
lebih banyak jumlahnya dan lebih kecil. Lesi pada tipe BB menunjukkan
karakteristik tipe TT dan LL dengan distribusi yang simetris dan gangguan sedang
pada syaraf. Tipe BB ditunjukkan dengan adanya plak eritem yang memudar di
tepi luar, bersih di tepi dalam, dan hipopigmentasi di bagian tengahnya. Lesi tipe
BL mirip dengan tipe LL, cenderung terjadi dalam jumlah besar, asimetris, dan
hipoestesi di beberapa tempat.
Gambar 1: Lepra menengah : lesi hipokromatik dengan batas tidak tegas di wajah
Gambar 2: Lepra tuberkuloid : plak eritem anular yang jalas di punggung tangan
Gambar 3: Lepra lepromatosa : lesi kering dan hipopigmentasi yang sedikit
terlihat di lengan
Gambar 4: Lepra lepromatosa : ichtiosiform pada kulit di tungkai dan leproma
Gambar 3: Lepra lepromatosa : infiltrasi di wajah dan madarosis
Fase Reaksi
Hasil reaksi lepra berasal dari perubahan keseimbangan imunitas antara host
dan M. Leprae. Reaksi yang timbul merupakan kejadian akut dan utamanya
mengenai kulit dan saraf, dimana hal tersebut menjadi penyebab utama dari
disabilititas neurologis dan morbiditas. Reaksi lepra bisa terjadi sebelum
pengobatan (manifestasi klinis lepra), selama pengobatan, atau setelah
pengobatan. Reaksi lepra diklasifikasikan menjadi dua tipe, yaitu reaksi tipe 1 dan
reaksi tipe 2.
Reaksi tipe 1 merupakan hasil reaksi hipersensitivitas lambat dan terjadi
pada pasien tipe borderline. Reaksi tersebut berkaitan dengan respon imunitas
seluler dalam melawan antigen Mycobacterium dan bisa menyebabkan perbaikan
penyakit (reaksi reversal, reaksi pseudo-exaserasi atau ascending reaction), atau
perburukan penyakit (degradation reaction atau descending reaction). Karena
penurunan bacterial load, pasien tipe borderline selama masa pengobatan beralih
ke bentuk tipe tuberkuloid (TT). Pasien yang tidak mendapat pengobatan
menunjukkan peningkatan bacterial load dan gejala klinis mirip dengan tipe
lepromatosa (LL) karena deteriorasi imunitas seluler. Pasien tersebut
diklasifikasikan ke dalam tipe lepromatosa subpolar. Pada kedua kasus tersebut,
lesi ditunjukkan dengan adanya hiperestesia, eritema, dan edema dengan skuama
subsekuen dan terkadang ulseratif. Lesi biasanya timbul bersamaan dengan edema
ekstremitas dan neuritis, dengan manifestasi sistemik yang minimal pada reaksi
individu yang tuberkuloid (TT) dan dengan manifestasi sistemik pada pada
individu yang lepromatosa (LL).
Reaksi tipe 2 atau ENL (eritema nodusum leprosum) berkaitan dengan
imunitas seluler dan tidak berarti suatu peningkatan imunologis. Reaksi tipe 2
diyakini merupakan representasi dari reaksi tubuh tehadap substansi yang berasal
dari basilus yang rusak dengan deposisi kompleks imun ke dalam jaringan. Hal ini
adalah manifestasi dari perburukan tiba-tiba, terutama pasien tipe lepromatosa
(LL), lebih jarang terhadap pasien borderline lepromatous (BL). Nodul inflamasi
subkutaneus terdistribusi secara simetris atau lesi target eritem multiforme terjadi
di beberpa regio. Terdapat beberapa gejala umum seperti demam, malaise,
mialgia, edema, atralgia, dan limfadenomegali. Neuritis dan gejala interna seperti
kerusakan hepar dan ginjal juga terjadi. Pemeriksaan laboratorium juga
menunjukkan hasil yang abnormal. Dimungkinkan terjadi nekrosis karena
obliterasi lumen vaskular (necrotic ENL), vaskulitis dengan leukositoklasia
karena deposisi kompleks imun di dinding pembuluh darah dengan formasi
trombus dan iskemia. Hal ini harus dibedakan dengan fenomena Lucio, yang
terjadi pada Lucio’s leprosy dan lepra lepromatosa klasik, di mana sejumlah besar
basilus menyerang endotel kapiler yang menyebabkan proliferasi endotel,
trombosis, dan oklusi vaskular.
Perubahan Neurologis
M. leprae dapat menginvasi saraf tepi dan dapat menyebabkan neuritis.
Beberapa lesi dapat berkembang secara perlahan dengan berbagai gejala kesakitan
dan dapat menyebabkan perubahan fungsi. Eksaserbasi dapat terjadi selama reaksi
berlangsung, namun eksaserbasi tersebut kadang tidak terdeteksi, yang dapat
menyebabkan perubahan fungsi tanpa merasakan sakit sama sekali.
Neuropati saraf tepi pada lepra dapat terjadi pada saraf sensoris, motoris
maupun otonom dan dapat berupa mononeuropati dan mononeuropati multipel.
Ujung saraf dapat menebal, iregular, dan sakit pada saat dipalpasi. Hipoestesi,
anestesi, paresis, paralisis, berkurangnya kekuatan otot, amiotrofi, retraksi tendon,
kaku sendi, disfungsi vasomotor, berkurangnya sekresi kelenjar sebasea dan
kelenjar keringat dapat terjadi pada penderita bersamaan dengan perkembangan /
perjalanan penyakit lepra.
Kerusakan saraf ini berkontribusi pada frekuensi terjadinya lesi, terutama
pada tangan, kaki, mata yaitu kulit kering, fisura, ulserasi, infeksi sekunder pada
tulang dan jaringan lunak, resorpsi tulang yang dapat menyebabkan deformitas.
Neuritis sering menyebabkan sekuel dan dapat mengarah pada penyakit yang
kronis bersamaan dengan saraf yang terkena, atau yang disebut neuropatic pain.
Saraf yang sering terpengaruh adalah nervus facialis dan nervus trigeminalis
(pada wajah); nervus ulnaris, nervus medianus, nervus radialis (pada lengan);
nervus fibularis komunis dan nervus tibialis posterior (pada tungkai bawah).
Lesi nervus fasialis:
Lesi pada nervus facialis dapat mengarah terutama pada berkurangnya
kekuatan otot mata, hidung dan berpengaruh pada keringnya bola mata. Lesi pada
cabang zygomaticus dapat menyebabkan paralisis otot orbicularis oculi dan
lagoftalmos (dengan atau tanpa ektropion). Lesi pada cabang oftalmikus (dari
nervus trigeminalis) kebanyakan menyebabkan berkurangnya sensitifitas hidung
dan kornea. Perubahan ini merupakan faktor predisposisi untuk menjadi keratitis,
ulkus kornea, infeksi, dan kebutaan. Kerusakan serabut saraf otonom di hidung
dapat menyebabkan rhinitis atrofi dengan mukus nasal yang sedikit dan
berkurangnya suplai darah, karena itulah mukosa hidung tampak pucat dan
kartilago menjadi tipis yang kadang bahkan bisa terjadi kolaps.
Lesi pada saraf lengan:
Lesi nervus ulnaris dapat menyebabkan hipoestesi atau anestesi, dapat
terjadi terbentuk banyak keringat pada telapak tangan dan ketidaknormalan
sirkulasi pada telapak tangan dan pada jari ke-4 dan 5. Pada tangan dapat terjadi
pula paralisis dan hipotrofi otot intrinsik tangan sehingga membentuk deformitas
claw, yaitu hiperekstensi sendi metacarpophalang dan fleksi pada sendi
interphalang terutama pada jari ke-4 dan ke-5. Lesi ini dapat pula menyebabkan
atrofi pada muskulus hipotenar dan muskulus tenar dan juga atrofi pada
interoceous spaces. Kelingking menjadi abduksi sedangkan ibu jari tidak bisa
abduksi. Lesi nervus medianus menyebabkan paralisis dan atrofi pada beberapa
muskulus eminensi tenar dan hilangnya sensitifitas telapak tangan (ibu jari,
telunjuk, jari tengah dan juga jari manis). Jika muskulus yang terpengaruh adalah
pergelangan tangan, maka akan terjadi hilangnya fungsi oponensi ibu jari dan
hiperekstensi sendi metakarpophalang pada jari telunjuk dan jari tengah (claw).
Jika lesi terjadi pada bagian proksimal, otot ekstrinsik juga akan terganggu yaitu
hilangnya kontrol pada fleksi phalang distal di jari telunjuk dan jari tengah,
hilangnya fungsi fleksor superfisial, gangguan pronasi dan tendensi pada deviasi
ulnar pergelangan tangan. Kumpulan gejala ini menyebabkan penderita kesulitan
untuk mengambil atau memegang benda kecil dan meraba benda besar. Lesi
nervus radialis sangat jarang terjadi, terjadinya hanya setelah terlibatnya nervus
ulnaris dan nervus medianus (tripel paralisis). Tripel paralisis ini terdeteksi dari
posisi fleksi yaitu dropwrist yang disebabkan karena paralisis otot ekstensor
pergelangan tangan, jari, ibu jari, yang mana hal ini menyebabkan penderita
kesulitan meraba objek karena keterbatasan posisi tangan untuk memegang yang
selanjutnya akan menjadi atrofi pada bagian dorsal lengan bawah. Sensitifitas
terganggu pada bagian dorsal dari ibu jari, sampai jari tengah, dan bagian radial
dari jari manis.
Lesi pada saraf tungkai:
Nervus fibularis communis dapat mengalami gangguan pada cabang
superfisial dan profunda. Lesi nervus fibularis profunda menimbulkan perubahan
sensitivitas pada proksimal dari regio metatarsal I dan paralisis ankle serta
dorsumfleksi kaki. Lesi nervus fibularis superfisial menimbulkan hilangnya
sensitivitas bagian lateral dan dorsal tungkai bawah dan perubahan gerak eversi
kaki (gerakan plantarfleksi normal), sisi lateral tungkai bawah, dan dorsal kaki.
Jika kedua cabang nervus fibularis communis terganggu, terjadi foot drop dan
atrofi tungkai bawah bagian lateral dan anterior. Lesi nervus tibialis posterior
menyebabkan anestesia plantar dan paralisis otot-otot intrinsik kaki, dengan
hiperekstensi sendi metatarsofalangeal dan fleksi sendi proksimal dan distal
interfalang (claw toes), juga terjadi atrofi sendi-sendi plantar.107,108
Gangguan sistemik
Lepra dapat mempengaruhi berbagai sistem organ. Hal ini lebih sering
terjadi pada pasien MB, namun pada lepromatosa sering tidak menimbulkan
gejala sistemik. Keterlibatan berbagai sistem organ ini mungkin disebabkan
bekteriemia oleh karena M. leprae, namun reaksi lepra lebih sering menimbulkan
gangguan sistem organ. Amiloidosis sekunder pada beberapa organ merupakan
peyebab lain kerusakan ginjal, dan hal ini berhubungan dengan lepra yang
berkepanjangan dengan reaksi yang rekuren. Penyakit konkomitan, efek samping
obat, dan lain-lain, merupakan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap gangguan
berbagai sistem organ.101,112
Sistem respirasi: M. leprae mempengaruhi traktus respiratori atas (hidung,
faring, laring, epiglotis, trakhea), khususnya pada reaksi tipe 2. Keterlibatan
mukosa oral jarang terjadi.113-115 Bronkus dan paru-paru kadang-kadang terganggu.
Hubungan antara lepra dan tuberkulosis paru telah dilaporkan pada beberapa
studi. 112
Sistem kardiovaskular: aritmia, dispneu, tanda-tanda stasis, hipertrofi
ventrikular, dan perubahan segmen ST lebih sering terjadi pada pasien MB
daripada pasien PB. Disfungsi otonom disebabkan oleh infiltrasi bakteri pada
saraf simpatis dan parasimpatis jantung. Penyakit arteri koroner dan abnormalitas
arteriografi pembuluh darah perifer dilaporkan terjadi pada 11% dan 50% pasien.
Endotel yang terinfeksi menyebabkan terjadinya ulkus iskemik. 112
Ginjal dan saluran kemih: gangguan ginjal biasanya disebabkan oleh reaksi
tipe 2 atau amiloidosis sekunder karena M. leprae jarang menyerang parenkim
ginjal. Dapat terjadi glomerulonefritis, nefritis interstitial, sindroma nefrotik,
pyelonefritis, tubular nekrosis akut, yang menyebabkan gagal ginjal dan kematian.
Ureter, kandung kemih, dan uretra biasanya juga terganggu. 112
Sistem endokrin: terjadi gangguan sistem endokrin yang signifikan,
khususnya pada pasien pria, di mana terjadi gangguan testis dengan insidensi
sebesar 90% yang menyebabkan orkitis, di mana keterlibatan epididimis dapat
menyebabkan infertilitas, impotensi, dan ginekomastia. Lesi adrenal dilaporkan
terjadi pada sepertiga pasien, terutama pada korteks. Pada pasien dengan reaksi
lepra juga dapat terjadi respon stres yang tidak adekuat karena penggunaan
kortikosteroid yang rutin. Kelenjar tiroid, paratiroid, dan pineal jarang terganggu. 112, 116 Gangguan liver karena M. leprae dapat terjadi pada semua bentuk klinis
penyakit, namun lebih sering terjadi pada bentuk lepromatosa. Biasanya pasien
akan asimtomatis dan fungsi livernya normal. Jika terjadi abnormalitas pada tes
fungsi liver, harus dicari penyebab lain, terutama reaksi lepra. Amiloidosis
sekunder pada liver berhubungan dengan hepatomegali. 112
Sistem hamatologi dan limfatik: basilemia terjadi pada 90% pasien
lepromatosa. Sel retikuloendotelial basili-laden banyak terdapat di liver, limpa,
dan sumsum tulang. Infiltrasi sumsum tulang dapat menyebabkan pansitopenia.
Dapat terjadi limfadenopati permukaan pada kulit. Nodus limfatika iliakus,
femoralis, paraaorta, dan sistem porta juga dapat terganggu. 112
Biasanya juga terjadi gangguan pada sistem gastrointestinal dan sistem
reproduksi wanita. Telah dilaporkan kejadian bayi berat lahir rendah, reaksi lepra
yang memburuk disebabkan oleh kemilan dan laktasi, dan rekurensi penyakit.
Selain itu, juga terjadi gangguan pada sistem saraf pusat; namun demikian,
manifestasi penyakit pada sistem saraf perifer merupakan manifestasi klasik lepra. 112
DIAGNOSIS DIFERENSIAL
Diagnosis diferensial pada lepra cukup kompleks karena manifestasi
klinisnya bervariasi. Penyakit ini harus dibedakan dengan lesi hipokromik dan lesi
akromik seperti pitiriasis alba, pitiriasis versikolor, nevus hipokromik,
hipopigmentasi post-inflamasi, dan vitiligo. Lesi tuberkuloid dan borderline
serupa dengan granuloma anular, eritema figuratif, sarkoidosis, pitiriasis rosea,
psoriasis, lupus eritematosus, dan drug eruption. Bentuk lepromatosa serupa
dengan skleroderma, mikosis funguides, pelagra, asteatosis, iktiosis, dan ekzema;
lesi multibasilar harus dibedakan dengan sifilis sekunder dan tersier, leishmaniasis
difusa, neurofibromatosis, xantoma, limfoma, dan tumor lain. Pada kasus yang
dimulai dengan ENL atau eritema multiforme harus dicari etiologi lain. Bentuk
neural primer serupa dengan penyakit yang menyebabkan mononeuropati atau
mononeuropati multipel, termasuk inflamasi, metabolik, infeksi, penyakit
kongenital atau herediter, tumor, dan trauma. Saat terjadi manifestasi sistemik
spesifik pada lepra multibasilar, harus disingkirkan kemungkinan penyakit yang
menyebabkan manifestasi tersebut, seperti lupus eritematosus sistemik, artritis
reumatoid, dermatopolimyositis, dan vaskulitis sistemik. Diferensial diagnosis lesi
saraf pada lengan dan tungkai adalah lesi yang disebabkan karena trauma, infeksi,
perdarahan, degenerasi, dan tumor, yang dapat menyebabkan amyotrofi dan
paralisis.