Upload
rahman-wahyudin
View
517
Download
27
Embed Size (px)
Citation preview
Laporan Kasus
Gangguan Obsesif Kompulsif
Disusun oleh:
Rahman Wahyudin Sensi
70 2008 043
Dosen Pembimbing:
dr. Feby Shorea Lubis, M. Kes
BAGIAN ILMU KESEHATAN JIWA
RS. ERNALDI BAHAR / FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH PALEMBANG
2012
1
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur, penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
referat yang berjudul gangguan obsesif kompulsif, yang merupakan salah satu
syarat untuk menempuh kepaniteraan klinik senior bagian ilmu kesehatan jiwa
RS. Ernaldi Bahar.
Di dalam penyusunan referat ini penulis menyadari keterbatasan
pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki, tetapi penulis mengucapkan terima
kasih kepada dr. Feby Shorea Lubis, M.Kes berkat bantuan dan bimbingan dalam
penyusunan referat ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih atas bantuan dari
teman-teman di bagian ilmu kesehatan jiwa RS. Ernaldi Bahar, sehingga
penyusunan referat ini dapat diselesaikan walaupun masih jauh dari sempurna.
Palembang, September 2012
Penulis
2
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i
HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................... ii
KATA PENGANTAR ..................................................................................... iii
DAFTAR ISI .................................................................................................... iv
BAB 1 PENDAHULUAN................................................................................. 1
BAB 2 LANDASAN TEORI............................................................................. 3
A. Definisi............................................................................................... 3
B. Epidemiologi...................................................................................... 5
C. Etiologi............................................................................................... 6
D. Diagnosis............................................................................................ 7
E. Gambaran klinis.................................................................................. 11
F. Terapi.................................................................................................. 13
G. Perjalanan penyakit dan Diagnosis..................................................... 16
H. Pandangan Islam................................................................................. 17
I. Contoh Kasus....................................................................................... 18
BAB 3 SIMPULAN .................................................................................... 20
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 21
3
BAB I
PENDAHULUAN
Menurut Davison & Neale, gangguan obsesif kompulsif adalah gangguan
cemas, dimana pikiran seseorang dipenuhi oleh gagasan-gagasan yang menetap
dan tidak terkontrol, dan ia dipaksa untuk melakukan tindakan tertentu berulang-
ulang, sehingga menimbulkan stress dan mengganggu fungsinya dalam kehidupan
sehari-hari (Fausiah & Widury, 2007).
Obsesi adalah pikiran-pikiran, bayangan-bayangan atau dorongan-dorongan
intrusive dan kebanyakan tidak masuk akal yang dicoba ditolak atau dieliminasi
oleh individu. Sedangkan kompulsi adalah pikiran-pikiran atau tindakan-tindakan
yang digunakan untuk menekan obsesi dan membuat individu merasa lega.
Gangguan obsesif kompulsif dapat dianggap sebagai gangguan yang
menyebabkan ketidakberdayaan, karena obsesi dapat menghabiskan waktu dan
mengganggu rutinitas normal seseorang, fungsi pekerjaan, aktivitas sosial yang
biasanya, atau hubungan dengan teman atau anggota keluarga.(Durand & Barlow,
2005)
Menurut APA & Taylor, gangguan obsesif-kompulsif dialami 2 % sampai 3
% masyarakat umum pada suatu saat dalam kehidupan mereka (Nevid, dkk.
2005). Menurut Skoog, suatu studi di Swedia menemukan bahwa meskipun
kebanyakan pasien OCD menunjukkan perbaikan, banyak juga yang terus
berlanjut mempunyai simtom gangguan hidup ini sepanjang hidup mereka (Nevid,
et all.,2005). DSM IV membuat diagnosis gangguan obsesif kompulsif bila orang
terganggu oleh obsesi atau kompulsi yang berulang, atau keduanya sedemikian
rupa sehingga menyebabkan distress yang nyata, memakan waktu lebih dari satu
jam dalam sehari, atau secara signifikan mengganggu hal-hal rutin yang normal,
mengganggu fungsi kerja atau sosial.
Gangguan obsesif – kompulsif menduduki peringkat keempat dari gangguan
jiwa setelah fobia, gangguan penyalahgunaan zat dan gangguan depresi berat.
4
Referat ini disusun untuk menambah pengetahuan tentang apa yang
dimaksut dengan gangguan obsesif kompulsif, bagaimana mendiagnosisnya dan
terapi apa yang harus diberikan kepada pasien.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Menurut Davison & Neale, gangguan obsesif kompulsif adalah gangguan
cemas, dimana pikiran seseorang dipenuhi oleh gagasan-gagasan yang menetap
dan tidak terkontrol, dan ia dipaksa untuk melakukan tindakan tertentu berulang-
ulang, sehingga menimbulkan stress dan mengganggu fungsinya dalam kehidupan
sehari-hari (Fausiah & Widury, 2007).
Obsesi kompulsi adalah suatu kondisi heterogen yang melibatkan pikiran
distress yang tidak diinginkan dan ritual kompulsif mengenai satu atau beberapa
tema-tema umum seperti kontaminasi, agama, simetri.
Dalam DSM-IV TR obsesi didefinisikan sebagai berikut :
1. Pikiran, impuls, atau bayangan yang berulang-ulang dan menetap yang
dialami, pada suatu saat selama gangguan, dirasakan mengganggu dan tidak
sesuai, dan menyebabkan kecemasan dan penderitaan yang jelas.
2. Pikiran, impuls, atau bayangan tidak hanya kekhawatiran berlebihan tentang
masalah kehidupan yang nyata
3. Orang berusaha untuk mengabaikan atau menekan pikiran, impuls, atau
bayangan tersebut untuk menetralkannya dengan pikiran atau tindakan lain.
4. Orang menyadari bahwa pikiran, impuls, atau bayangan obsesional adalah
hasil dari pikirannya sendiri (tidak disebabkan dari luar seperti penyisipan
pikiran)
Pengertian obsesi menurut Kaplan, et all., adalah pikiran, ide atau sensasi
yang muncul secara berulang-ulang. Menurut Davison &Neale, hal-hal tersebut
6
muncul tanpa dapat dicegah, dan individu merasakannya sebagai hal yang tidak
rasional dan tidak dapat dikontrol (Fausiah &Widury, 2007).
Sedangkan kompulsi menurut Davison & Neale adalah perilaku atau
tindakan mental yang berulang, dimana individu merasa didorong untuk
menampilkannya agar mengurangi stres. (Fausiah & Widury, 2007).
Dalam DSM-IV TR mendefinisikan kompulsi sebagai berikut :
a. Perilaku berulang (misalnya, mencuci tangan, mengurutkan, memeriksa)
atau tindakan mental (misalnya berdoa, menghitung, mengulangi kata-kata
dalam hati) yang dirasakannya mendorong untuk melakukan sebagai respon
terhadap suatu obsesi, atau menurut dengan aturan yang harus dipenuhi
secara kaku.
b. Perilaku atau tindakan mental ditujukan untuk mencegah atau mengurangi
penderitaan atau mencegah suatu kejadian atau situasi yang menakutkan,
akan tetapi, perilaku atau tindakan mental tersebut tidak dihubungkan
dengan cara yang realistik dengan apa yang mereka maksudkan untuk
menetralkan atau mencegah, atau secara jelas berlebihan.
Sejalan dengan Főa, dkk; Steketee & Barlow (Durand & Barlow, 2006),
kompulsi dapat berbentuk perilaku (misalnya mencuci tangan, memeriksa
keadaan) atau mental (memikirkan tentang kata-kata tertentu dengan urutan
tertentu, menghitung, berdoa dan seterusnya).
Dari berbagai definisi diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa gangguan
obsesif kompulsif adalah gangguan cemas, dimana pikiran seseorang dipenuhi
oleh gagasan-gagasan yang menetap dan tidak terkontrol, dan ia dipaksa untuk
melakukan tindakan tertentu berulang-ulang, sehingga menimbulkan stress dan
mengganggu fungsinya dalam kehidupan sehari-hari (Fausiah & Widury, 2007).
7
B. Epidemiologi
Prevalensi gangguan obsesif kompulsif pada populasi umum diperkirakan
adalah 2 sampai 3 persen. Beberapa peneliti memperkirakan bahwa gangguan
obsesif-kompulsif ditemukan pada sebanyak 10 persen pasien rawat jalan di klinik
psikiatrik. Angka tersebut menyebabkan gangguan obsesif-kompulsif sebagai
diagnosis psikiatrik tersering keempat setelah fobia, gangguan yang berhubungan
dengan zat, dan gangguan depresif berat (Kaplan & Saddock, 1993).
Untuk orang dewasa, laki-laki dan perempuan sama mungkin terkena, tetapi
untuk remaja, laki-laki lebih sering terkena gangguan obsesif-kompulsif
dibandingkan perempuan. Usia onset rata-rata adalah kira-kira 20 tahun. Secara
keseluruhan, kira-kira dua pertiga dari pasien memiliki onset gejala sebelum usia
25 tahun, dan kurang dari 15 persen pasien memiliki onset gejala setelah usia 35
tahun. Orang yang hidup sendirian lebih banyak terkena gangguan obsesif-
kompulsif dibandingkan orang yang menikah. Gangguan obsesif-kompulsif
ditemukan lebih jarang diantara golongan kulit hitam dibandingkan kulit putih
(Kaplan & Saddock, 1993).
Pasien dengan gangguan obsesif-kompulsif umumnya dipengaruhi oleh
gangguan mental lain. Prevalensi seumur hidup untuk gangguan depresif berat
pada pasien dengan gangguan obsesif-kompulsif adalah kira-kira 67 persen dan
untuk fobia sosial adalah kira-kira 25 persen. Diagnosis psikiatrik komorbid
lainnya pada pasien dengan gangguan obsesif-kompulsif adalah gangguan
penggunaan alkohol, fobia spesifik, gangguan panik, dan gangguan makan
(Kaplan & Saddock, 1993).
C. Etiologi
1. Aspek Biologis
8
a. Neurotransmiter
Davison & Neale (Fausiah & Widury, 2007) menjelaskan bahwa salah
satu penjelasan yang mungkin tentang gangguan obsesif-kompulsif adalah
keterlibatan neurotransmitter di otak, khususnya kurangnya jumlah
serotonin.
Data menunjukkan bahwa obat serotonergik lebih efektif
dibandingkan obat lain yang mempengaruhi sistem neurotransmiter lain.
Tetapi apakah serotonin terlibat di dalam penyebab gangguan obsesif-
kompulsif belum jelas. (Kaplan & Saddock, 1993)
b. Genetik
Penelitian pada anak kembar untuk gangguan obsesif-kompulsif telah
secara konsisten menemukan adanya angka kesesuaian yang lebih tinggi
secara bermakna pada kembar monozigotik dibandingkan kembar
dizigotik. Penelitian keluarga pada pasien gangguan obsesif kompulsif
menemukan bahwa 35 persen sanak saudara derajat pertama pasien
gangguan obsesif-kompulsif juga menderita gangguan.
2. Psikologis
Menurut Salkovskis, dkk; Steketee dan Barlow, klien-klien OCD
menyetarakan pikiran dengan tindakan atau aktifitas tertentu yang
dipresentasikan oleh pikiran tersebut. Ini disebut “thought-action fusion”
(fusi pikiran dan tindakan). Fusi antara pikiran dan tindakan ini dapat
disebabkan oleh sikap-sikap tanggung jawab yang berlebih-lebihan yang
menyebabkan timbulnya rasa bersalah seperti yang berkembang selama
masa kanak-kanak, dimana pikiran jahat diasosiasikan dengan niat jahat
(Durand & Barlow, 2006).
3. Faktor psikososial
9
Menurut Sigmund Freud, gangguan obsesif-kompulsif bisa
disebabkan karena regresi dari fase anal dalam perkembangannya.
Mekanisme pertahanan psikologis mungkin memegang peranan pada
beberapa manifestasi pada gangguan obsesif-kompulsif. Represi perasaan
marah terhadap seseorang mungkin menjadi alasan timbulnya pikiran
berulang untuk menyakiti orang tersebut.
D. Diagnosis
Kriteria diagnostik untuk gangguan obsesif-kompulsif menurut DSM IV:
1. Salah satu obsesi atau kompulsi
Obsesi seperti yang didefinisikan sebagai berikut:
a. Pikiran, impuls, atau bayangan-bayangan yang rekuren dan persisten
yang dialami, pada suatu saat dimana selama gangguan, sebagai
intrusif dan tidak sesuai, dan menyebabkan kecemasan dan penderitaan
yang jelas.
b. Pikiran, impuls, atau bayangan-bayangan tidak semata-mata
kekhawatiran yang berlebihan tentang masalah kehidupan yang nyata.
c. Orang berusaha untuk mengabaikan atau menekan pikiran, impuls,
atau bayangan-bayangan tersebut untuk mentralkannya dengan pikiran
atau tindakan lain.
d. Orang menyadari bahwa pikiran, impuls, atau bayangan-bayangan
obsesional adalah keluar dari pikirannya sendiri( tidak disebabkan dari
luar seperti penyisipan pikiran).
Kompulsi seperti yang didefinisikan sebagai berikut:
a. Perilaku (misalnya, mencuci tangan, mengurutkan, memeriksa) atau
tindakan mental (misalnya berdoa, menghitung, mengulangi kata-kata
dalam hati) yang berulang yang dirasakannya mendorong untuk
melakukannya sebagai respon terhadap suatu obsesi, atau menurut
dengan aturan yang harus dipatuhi secara kaku.
10
b. Perilaku atau tindakan mental ditujukan untuk mencegah atau
menurunkan penderitaan atau mencegah suatu kejadian atau situasi
yang menakutkan, tetapi perilaku atau tindakan mental tersebut tidak
dihubungkan dengan cara yang realistik dengan apa mereka dianggap
untuk menetralkan atau mencegah, atau jelas berlebihan.
2. Pada suatu waktu selama perjalanan gangguan, orang telah menyadari
bahwa obsesi atau kompulsi adalah berlebihan atau tidak beralasan.
Catatan: ini tidak berlaku bagi anak-anak
3. Obsesi atau kompulsi menyebabkan penderitaan yang jelas, menghabiskan
waktu (menghabiskan lebih dari satu jam sehari), atau secara bermakna
mengganggu rutinitas normal orang, fungsi pekerjaan (atau akademik),
atau aktifitas atau hubungan sosial yang biasanya.
4. Jika terdapat gangguan aksis I lainnya, isi obsesi atau kompulsi tidak
terbatas padanya (misalnya preokupasi dengan makanan jika terdapat
gangguan makan, menarik rambut jika terdapat trikotilomania,
permasalahan pada penampilan jika terdapat gangguan dismorfik tubuh,
preokupasi dengan obat jika terdapat suatu gangguan penggunaan zat,
preokupasi dengan menderita suatu penyakit serius jika terdapat
hipokondriasis, preokupasi dengan dorongan atau fanatasi seksual jika
terdapat parafilia, atau perenungan bersalah jika terdapat gangguan
depresif berat).
5. Tidak disebabkan oleh efek langsung suatu zat (misalnya obat yang
disalahgunakan, medikasi) atau kondisi medis umum.
Sebutkan jika: Dengan tilikan buruk:jika selama sebagian besar waktu
selama episode terakhir, orang tidak menyadari bahwa obsesi dan
kompulsi adalah berlebihan atau tidak beralasan. ( Kaplan & Saddock,
1993).
11
Pedoman diagnosis menurut PPDGJ III:
a. Untuk menegakkan diagnosis pasti, gejala-gejala obsesif atau tindakan
kompulsif, atau kedua-duanya, harus ada hampir setiap hari selama
sedikitnya dua minggu berturut-turut.
b. Hal tersebut merupakan sumber penderitaan (distress) atau mengganggu
aktivitas penderita.
c. Gejala-gejala obsesif harus mencakup hal-hal berikut:
Harus disadari sebagai pikiran atau impuls diri sendiri.
Sedikitnya ada satu pikiran atau tindakan yang tidak berhasil dilawan,
meskipun ada lainnya yang tidak lagi dilawan oleh penderita.
Pikiran untuk melakukan tindakan tersebut di atas bukan merupakan
hal yang memberi kepuasan atau kesenangan (sekedar perasaan lega
dari ketegangan atau anxietas, tidak dianggap sebagai kesenangan
seperti dimaksud di atas.
Gagasan, bayangan pikiran, atau impuls tersebut harus merupakan
pengulangan yang tidak menyenangkan (unpleasantly repetitive)
d. Ada kaitan erat antara gejala obsesif, terutama pikiran obsesif, dengan
depresi. penderita gangguan obsesif kompulsif seringkali juga
menunjukkan gejala depresif, dan sebaliknya penderita gangguan depresi
berulang dapat menunjukkan pikiran-pikiran obsesif selama episode
depresifnya.
Dalam berbagai situasi dari kedua hal tersebut, meningkat atau
menurunnya gejala depresif umumnya dibarengi secara paralel dengan
perubahan gejala obsesif. Bila terjadi episode akut dari gangguan tersebut,
maka diagnosis diutamakan dari gejala-gejala yang timbul lebih dahulu.
Diagnosis gangguan obsesif kompulsif ditegakkan hanya bila tidak ada
gangguan depresif pada saat gejalobsesif kompulsif tersebut timbul. Bila
dari keduanya tidak adayang menonjol, maka baik menganggap depresi
sebagai diagnosis yang primer. Pada gangguan menahun, maka prioritas
12
diberikan pada gejala yang paling bertahan saat gejala yang lain
menghilang.
e. Gejala obsesif ”sekunder” yang terjadi pada gangguan skizofrenia,
sindrom Tourette, atau gangguan mental organk, harus dianggap sebagai
bagian dari kondisi tersebut (Maslim. R, 2003)
F42.0 Predominan Pikiran Obsesif atau Pengulangan
Pedoman Diagnostik
a. Keadaan ini dapat berupa gagasan, bayangan pikiran, atau impuls
( dorongan perbuatan), yang sifatnya mengganggu (ego alien)
b. Meskipun isi pikiran tersebut berbeda-beda, umumnya hampir selalu
menyebabkan penderitaan (distress). (Maslim. R, 2003)
F42.1 Predominan Tindakan Kompulsif ( obsesional ritual)
Pedoman Diagnostik
a. Umumnya tindakan kompulsif berkaitan dengan kebersihan (khususnya
mencuci tangan), memeriksa berulang untuk meyakinkan bahwa suatu
situasi yang dianggap berpotensi bahaya terjadi, atau masalah kerapian dan
keteraturan.
Hal tersebut dilatarbelakangi perasaan takut terhadap bahaya yang
mengancam dirinya atau bersumber dari dirinya, dan tindakan ritual
tersebut merupakan ikhtiar simbolik dan tidak efektif untuk menghindari
bahaya tersebut.
b. Tindakan ritual kompulsif tersebut menyita banyak waktu sampai
beberapa jam dalam sehari dan kadang-kadang berkaitan dengan
ketidakmampuan mengambil keputusan dan kelambanan. (Maslim. R,
2003)
F42.2 Campuran Pikiran dan Tindakan Obsesif
13
Pedoman Diagnostik
a. Kebanyakn dari penderita obsesif kompulsif memperlihatkan pikiran
obsesif serta tindakan kompulsif. Diagnosis ini digunakan bialmana kedua
hal tersebut sama-sama menonjol, yang umumnya memang demikian.
b. Apabila salah satu memang jelas lebih dominan,sebaiknya dinyatakan
dalam diagnosis F42.0 atau F42.1. hal ini berkaitan dengan respon yang
berbeda terhadap pengobatan. Tindakan kompulsif lebih respondif
terhadap terapi perilaku. (Maslim. R, 2003)
F42.8 Gangguan Obsesif Kompulsif Lainnya
F42.9 Gangguan Obsesif Kompulsif YTT. (Maslim. R, 2003)
E. Gambaran Klinis
Obsesif dan kompulsi memiliki ciri tertentu secara umum:
a. Suatu gagasan atau impuls yang memaksakan dirinya secara bertubi-tubi
dan terus-menerus ke dalam kesadaran seseorang.
b. Suatu perasaan ketakutan yang mencemaskan yang menyertai manifestasi
sentral dan seringkali menyebabkan orang melakukan tindakan kebalikan
melawan gagasan atau impuls awal.
c. Obsesi dan kompulsi adalah asing bagi ego (ego-alien), yaitu dialami
sebagai suatu yang asing bagi pengalaman seseorang tentang dirinya
sendiri sebagai makhluk psikologis.
d. Tidak peduli bagaimana jelas dan memaksanya obsesi atau kompulsi
tersebut, orang biasanya menyadarinya sebagai mustahil dan tidak masuk
akal.
e. Orang yang menderita akibat obsesi dan kompulsi biasanya merasakan
suatu dorongan yang kuat untuk menahannya.
Tetapi kira-kira separuh dari semua pasien memiliki pertahanan yang kecil
terhadap kompulsi. Kira-kira 80 persen dari semua pasien percaya bahwa
kompulsi adalah irasional. ( Kaplan & Saddock, 1993)
14
Gambaran obsesi dan kompulsi adalah heterogen pada dewasa, pada
anak-anak dan remaja. Gejala pasien individual mungkin bertumpang tindih
dan berubah dengan berjalannya waktu, tetapi gangguan obsesif-kompulsif
memiliki empat pola gejala yang utama. Pola yang paling sering ditemukan
adalah suatu obsesi tentang kontaminasi, diikuti oleh mencuci disertai
penghindaran obsesif terhadap objek yang kemungkinan terkontaminasi.
Objek yang ditakuti seringkali sukar untuk dihindari, sebagai contoh feses,
urin, debu atau kuman. Pasien mungkin secara terus-menerus menggosok kulit
tangannya dengan mencuci tangan secara berlebihan atau mungkin tidak
mampu pergi keluar rumah karena takut akan kuman. Walaupun kecemasan
adaloah respon emosional yang paling sering terhadap objek yang ditakuti,
rasa malu dan rasa jijik yang obsesif juga sering ditemukan. Pasien dengan
obsesi kontaminasi biasanya percaya bahwa kontaminasi ditularkan dari objek
ke objek atau orang ke orang oleh kontak ringan. ( Kaplan & Saddock, 1993).
Pola kedua yang sering adalah obsesi keragu-raguan, diikuti oleh
pengecekan yang kompulsi. Obsesi seringkali melibatkan suatu bahaya
kekerasan, seperti lupa mematikan kompor atau tidak mengunci pintu.
Pengecekan tersebut mungkin menyebabkan pasien pulang beberapa kali ke
rumah untuk memeiksa kompor. Pasien memiliki keragu-raguan terhadap diri
sendiri yang obsesional, saat mereka selalu merasa bersalah karena melupakan
atau melakukan sesuatu. ( Kaplan & Saddock, 1993)
Pola ketiga yang tersering adalah pola dengan semata-mata pikiran
obsesional yang mengganggu tanpa suatu kompulsi. Obsesi tersebut biasanya
berupa pikiran berulang akan suatu tindakan seksual atau agresi yang dicela
oleh pasien. 1 Pola keempat yang tersering adalah kebutuhan akan simetrisitas
atau ketepatan, yang dapat menyebabkan perlambatan kompulsi. Pasien secara
harfiah menghabiskan waktu berjam-jam untuk makan atau mencukur
wajahnya. Trikotilomania dan menggigit kuku mungkin merupakan kompulsi
yang beruhubungan dengan gangguan obsesif-kompulsif. ( Kaplan & Saddock,
1993).
15
F. Terapi
a. Farmakoterapi
Data yang tersedia menyatakan bahwa semua obat yang digunakan untuk
mengobati gangguan depresif atau gangguan mental lain, dapat digunakan
dalam rentang dosis yang biasanya. Efek awal biasanya terlihat setelah empat
sampai enam minggu pengobatan, walaupun biasanya diperlukan waktu
delapan sampai enam belas minggu untuk mendapatkan manfaat terapeutik
yang maksimum. Walaupun pengobatan dengan obat antidepresan adalah
masih kontroversial, sebagian pasien dengan gangguan obsesif-kompulsif
yang berespon terhadap pengobatan dengan antidepresan tampaknya
mengalami relaps jika terapi obat dihentikan. Pengobatan standar adalah
memulai dengan obat spesifik-serotonin, contohnya clomipramine (Anafranil)
atau inhibitor ambilan kembali spesifik serotonin (SSRI-serotonin specific
reuptake inhibitor), seperti Fluoxetine (Prozac). ( Kaplan & Saddock, 1993)
Clomipramine. Clomipramine biasanya dimulai dengan dosis 25
sampai 50 mg sebelum tidur dan dapat ditingkatkan dengan peningkatan 25
mg sehari setiap dua sampai tiga hari, sampai dosis maksimum 250 mg sehari
atau tampak efek samping yang membatasi dosis. Karena Clopramine adalah
suatu obat trisiklik, obat ini disertai dengan efek samping berupa sedasi,
hipotensi, disfungsi seksual dan efek samping antikolinergik, seperti mulut
kering. ( Kaplan & Saddock, 1993).
SSRI. Obat-obat Selective Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRI)
bekerja terutama pada terminal akson presinaptik dengan menghambat
ambilan kembali serotonin. Penghambatan ambilan kembali serotonin
diakibatkan oleh ikatan obat (misalnya: fluoxetine) pada transporter ambilan
kembali yang spesifik, sehinggga tidak ada lagi neurotransmitter serotonin
yang dapat berkaitan dengan transporter. Hal tersebut akan menyebabkan
serotonin bertahan lebih lama di celah sinaps. Pengguanaan Selective
Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRI) terutama ditujukan untuk memperbaiki
16
perilaku stereotipik , perilaku melukai diri sendiri, resisten terhadap perubahan
hal-hal rutin, dan ritual obsesif dengan ansietas yang tinggi. Salah satu alas an
utama pemilihan obat-obat penghambat reuptake serotonin yang selektif
adalah kemampuan terapi. Efek samping yang dapat terjadi akibat pemberian
fluexetine adalah nausea, disfunfsi seksual, nyeri kepala, dan mulut kering.
Toleransi SSRI yang relative baik disebabkan oleh karena sifat
selektivitasnya. Obat SSRI tidak banyak berinteraksi dengan reseptor
neurotransmitter lainnya. Penelitian awal dengan metode pengamatan kasus
serial terhadap 8 subjek. Tindakan terapi ditujukan untuk mengatasi gejala-
gejala disruptif, dan dimulai dengan fluexetine dosis 10 mg/hari dengan
pengamatan. Perbaikan paling nyata dijumpai pada gangguan obsesif dan gejal
cemas (Pinzon dkk.,2006).
Jika pengobatan dengan Clomipramine atau SSRI tidak berhasil, banyak
ahli terapi menambahkan lithium (Eskalith). Obat lain yang dapat digunakan
dalam pengobatan gangguan obsesif kompulsif adalah inhibitor monoamin
oksidase (MAOI, monoamine oxidase inhibitor), khususnya Phenelzine
(Nardil). ( Kaplan & Saddock, 1993)
b. Exposure and Response Prevention
Terapi ini (dikenal pula dengan sebutan flooding) diciptakan oleh
Victor Meyer (1966), dimana pasien menghadapkan dirinya sendiri pada
situasi yang menimbulkan tindakan kompulsif atau (seperti memegang
sepatu yang kotor) dan kemudian menahan diri agar tidak menampilkan
perilaku yang menjadi ritualnya membuatnya menghadapi stimulus yang
membangkitkan kecemasan, sehingga memungkinkan kecemasan menjadi
hilang. (Fausiah & Widury, 2007)
c. Terapi Keluarga (Family therapy)
17
Terapi keluarga (Majahudin, 1995), merupakan teknik pengobatan
yang sangat penting bila pada keluarga pasien OCD ini didapatkan
kekacauan hubungan dalam keluarga, kesukaran dalam perkawinan,
masalah spesifikasi dalam anggota keluarga atau peran anggota keluarga
yang kurang sesuai yang akan mengganggu keberhasilan fungsi masing-
masing individu dalam keluarga termasuk dalam waktu jangka panjang akan
berakibat buruk pada anak OCD.
Seluruh anggota keluarga dimasukkan ke dalam proses terapi,
menggunakan semua data anggota keluarga seperti tingkah laku individu
dalam keluarga. Menilai tingkah laku setiap anggota keluarga yang
mempengaruhi tingkah laku yang baik dan membina pengaruh tingkah laku
yang positif dari setiap individu.
d. Terapi perilaku (Behavior therapy)
Leonardo mengatakan (Majahudin, 1995) bahwa teknik terapi
perilaku yang khusus digunakan untuk pasien anak usia lebih tua dan remaja
dengan gangguan OCD adalah latihan relaksasi dan response prevention
technique.
Terapi perilaku pada penderita OCD, awalnya mengumpulkan
informasi yang lengkap mengenai riwayat timbulnya gejala OCD, isyarat
faktor internal dan fakto eksternal, serta faktor pencetus akan timbulnya
gejala OCD. Kemudian mengawasi tingkah laku pasien dala menghindari
situasi yang menimbulkan kecemasan, menghindari timbulnya gejala
kompulsif dan tingkat kecemasan pasien saat timbul gejala OCD harus
diperiksa secara teliti.
Teknik terapi perilaku yang dianjurkan pada anak dan remaja
(Majahudin, 1995) :
a. Latihan relaksasi
Pasien diminta untuk berpikir dan bersikap rileks dan kemudian pasien
diminta untuk memikirkan pikiran obsesi masuk dalam alam sadar. Ketika
18
pikiran obsesi muncul, maka terapi akan meminta pasien untuk
menghentikan pemikiran itu, misalnya dengan cara memukul maja, atau
menarik tali elastic yang diikatkan pada tangan. Hal ini dilakukan di rumah
atau di mana saja.
b. Response prevention technique
Mula-mula didapatkan dulu rangsangan (stimulus) atau pencetus yang
menyebabkan dorongan untuk melakukan tindakan kompulsif. Jika
rangsangan kompulsif muncul maka pasien secara aktif diberanikan untuk
melawan tingkah laku kompulsif, sering dengan mengalihkan perhatian
pasien sehingga tindakan kompulsif tidak mungkin dilakukan misalnya
dengan memukul meja.
c. Penurunan kecemasan
Tujuan dari terapi ini untuk menghilangkan kecemasan yang
menimbulkan gejala obsesif dan kompulsif.
Hal ini dilakukan dengan desensitisasi secara sistematik yakni
dengan menghadapkan anak atau remaja pada situasi yang menakutkan
(misalnya pisau, hal-hal yang kotor, pegangan pintu dan sebagainya) secara
pelan-pelan samapai ketakutan dan kecemasan hilang atau tidak ada lagi.
G. Perjalanan Penyakit dan Prognosis
Lebih dari setengah pasien dengan gangguan obsesif kompulsif
memiliki onset gejala yang tiba-tiba. Kira-kira 50 sampai 70 persen pasien
memiliki onset gejala setelah suatu peristiwa yang menyebabkan stres, seperti
kehamilan, masalah seksual, dan kematian seorang sanak saudara. Karena
banyak pasien tetap merahasiakan gejalanya, mereka seringkali terlambat 5
sampai 10 tahun sebelum pasien datang ke psikiater, walaupun keterlambatan
tersebut kemungkinan dipersingkat dengan meningkatkan kesadaran akan
gangguan tersebut diantara orang awam dan profesional. Perjalanan penyakit
biasanya lama tetapi bervariasi. Beberapa pasien mengalami penyakit yang
19
berfluktuasi, dan pasien lain mengalami penyakit yang konstan. (Kaplan,
Saddock.1993)
Perilaku kompulsi pada penderita kompulsif akan membuang waktu
dan tidak dapat melakukan aktivitas lainnya. Orang-orang dengan gangguan
obsesif kompulsif mungkin tertunda keluar rumah sampai satu jam atau lebih
karena harus melakukan ritual pengecekan mereka (Nevid, et all., 2005).
Mereka seharusnya dapat melakukan kegiatan yang lebih bermanfaat dari pada
mengikuti pikiran obsesinya dan tindakan kompulsif nya.
Kira-kira 20 sampai 30 persen pasien dengan gangguan obsesif
kompulsif memiliki gangguan depresif berat, dan bunuh diri adalah risiko bagi
semua pasien dengan gangguan obsesif kompulsif. Suatu prognosis buruk
dinyatakan oleh mengalah (bukannya menahan) pada kompulsi, onset pada
masa anak-anak, kompulsi yang aneh (bizzare), perlu perawatan di rumah
sakit, gangguan depresif berat yang menyertai, kepercayaan waham, adanya
gagasan yang terlalu dipegang (overvalued)-yaitu penerimaan obsesi dan
kompulsi, dan adanya gangguan kepribadian (terutama gangguan kepribadian
skizotipal). Prognosis yang baik ditandai oleh penyesuaian sosial dan
pekerjaan yang baik, adanya peristiwa pencetus, dan suatu sifat gejala yang
episodik. Isi obsesional tampaknya tidak berhubungan dengan prognosis.
(Kaplan, Saddock.1993)
H. Pandangan Islam
Allah s.w.t. berfirman dalam surat Ar- Rad ayat 13 yang artinya:
“Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan
mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi
tenteram”. (Q.S. ar-Ra’d (13): 28).
Keamanan dan ketentraman dalam jiwa seseorang akan tercipta karena
keimanannya yang tulus kepada Allah. Allah senantiasa menaungi dan
20
member pertolongan kepada orang-orang beriman. Dengan demikian, ia akan
merasakan Allah selalu bersamanya.
Orang yang beriman tidak akan merasa takut kepada sesuatu pun di
dunia ini. Ia mengetahui bahwa ia tidak akan tertimpa oleh suatu keburukan
kecuali jika itu sudah menjadi kehendak Allah. Oleh karena itu, mukmin
yang tulus imannya adalah manusia yang tidak dapat dikuasai oleh rasa takut
dan cemas. Allah Ta’ala berfirman yang artinya:
(Tidak demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri kepada
Allah, sedang ia berbuat kebajikan, Maka baginya pahala pada sisi
Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula)
mereka bersedih hati (QS.Al-Baqarah:112).
I. Kasus
Ny. X, 34 tahun, ibu dari 2 anak, datang menemui psikolog dengan
keluhan perilaku yang mengganggu. Berdasarkan pemeriksaan yang
dilakukan, ditemukan bahwa Ny. X disarankan ke psikolog oleh suaminya,
karena beberapa perilakunya cenderung berlebihan. Menurut Ny. X, ia
adalah pecinta kebersihan dan takut akan kuman yang ada dimana-mana.
Ny. X menceritakan, bahwa setiap hari ia mandi hingga 6 kali, dan mencuci
tangan lebih sering lagi. Setiap kali mandi, Ny. X menyabuni badannya
sebanyak 5 kali; jika tidak, ia merasa belum bersih. Demikian juga jika
sedang cuci tangan, ia berkali-kali membersihkan tangan dengan sabun.
Sebelum mandi Ny. X selalu berusaha membersihkan dan menyikat lantai
kamar mandi dan kloset terlebih dahulu. Akibatnya waktu Ny. X banyak
terbuang dalam kegiatan mandi dan mencuci tangan. Ny. X memperkirakan
kebiasaan itu berlangsung saat ia SMA, dan makin lama makin parah. Ny.
X merasa terganggu dengan kebiasaan ini, karena membuang waktunya
dan membuatnya tidak dapat melakukan aktifitas lainnya. Namun demikian
21
Ny. X tidak berdaya untuk menghentikannya, dan ingin mencari
pertolongan untuk dapat mengontrol perilakunya tersebut.
BAB III
KESIMPULAN
22
Gangguan obsesif kompulsif adalah gangguan cemas, dimana pikiran
seseorang dipenuhi oleh gagasan-gagasan yang menetap dan tidak terkontrol, dan
ia dipaksa untuk melakukan tindakan tertentu berulang-ulang, sehingga
menimbulkan stress dan mengganggu fungsinya dalam kehidupan sehari-hari.
Untuk menegakkan diagnosis pasti, gejala – gejala obsesif atau tindakan
kompulsif, atau kedua – duanya, harus ada hampir setiap hari selama sedikitnya 2
minggu berturut – turut.
Beberapa faktor berperan dalam terbentuknya gangguan obsesif-kompulsif
diantaranya adalah faktor biologi seperti neurotransmitter dan genetika, faktor
psikologi dan faktor psikososial. Ada beberapa terapi yang bisa dilakukan untuk
penatalaksanaan gangguan obsesif – kompulsif antara lain terapi farmakologi
(farmakoterapi), Exposure and Response Prevention, terapi keluarga dan terapi
prilaku.
DAFTAR PUSTAKA
23
Durand, V. Mark dan David H. Barlow. 2006. Intisari Psikologi Abnormal.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Fausiah, F & Widury, J. 2007. Psikologi Abnormal Klinis Dewasa. Jakarta: UI-
Press.
Kaplan, H.l dan Saddock B.J. 1993. Comprehensive Textbook of Psychiatry vol.2
6th edition. USA: Williams and Wilikins Baltimore
Marlina, S. Mahajudin. 1995. Gangguan Obsesif-Kompulsif. Tinjauan Gejala dan
Psikodinamika. Jurnal Anima, vol X, No.40, hal.44-71
Maslim, Rusdi. 2003. Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ-III.
Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atmajaya.
Nevid, S. Jeffrey, Spencer, A. R & Beverly G. 2005. Psikologi Abnormal jilid 1.
Jakarta: Erlangga.
Pinzon, R. 2006. Tatalaksana Farmakologis. Gangguan Spektrum Autistik:Telaah
Pustaka Kini. Dexa Media. Jurnal Kedokteran dan Farmasi, No.4, vol.19,
ISSN 0215-7551, hal. 169-172.
24