27
PERITONITIS I. Definisi Peritonitis adalah peradangan yang disebabkan oleh infeksi pada selaput organ perut (peritonieum). Peritonieum adalah selaput tipis dan jernih yang membungkus organ perut dan dinding perut sebelah dalam. Lokasi peritonitis bisa terlokalisir atau difuse, riwayat akut atau kronik dan patogenesis disebabkan oleh infeksi atau aseptik. Peritonitis merupakan suatu kegawat daruratan yang biasanya disertai dengan bakterecemia atau sepsis. Akut peritonitis sering menular dan sering dikaitkan dengan perforasi viskus (secondary peritonitis). Apabila tidak ditemukan sumber infeksi pada intraabdominal, peritonitis diketagori sebagai primary peritonitis. II. Anatomi dan Fisiologi Dinding perut membentuk rongga perut yang melindungi isi rongga perut. Perdarahan dinding perut berasal dari beberapa arah. Dari kranikaudal diperoleh pendarahan dari cabang aa.interkostales VI s/d XII dan a.epigastrika superior. Dari kaudal, a.iliaka sirkumfleksa superfisialis, a.pudenda eksterna, dan a.epigastrica inferior. Kekayaan vaskularisasi ini memungkinkan sayatan perut horizontal maupun vertikal tanpa menimbulkan gangguan pendarahan. Persarafan dinding perut dilayani secara segmental oleh n.torakalis VI s/d XII dan n.lumbalis. 1

Referat Peritonitis

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Referat Peritonitis

PERITONITIS

I. Definisi

Peritonitis adalah peradangan yang disebabkan oleh infeksi pada selaput organ perut

(peritonieum). Peritonieum adalah selaput tipis dan jernih yang membungkus organ perut dan

dinding perut sebelah dalam. Lokasi peritonitis bisa terlokalisir atau difuse, riwayat akut atau

kronik dan patogenesis disebabkan oleh infeksi atau aseptik. Peritonitis merupakan suatu

kegawat daruratan  yang biasanya disertai dengan bakterecemia atau sepsis. Akut peritonitis

sering menular dan sering dikaitkan dengan perforasi viskus (secondary peritonitis). Apabila

tidak ditemukan sumber infeksi pada intraabdominal, peritonitis diketagori sebagai primary

peritonitis.

II. Anatomi dan Fisiologi

     Dinding perut membentuk rongga perut yang melindungi isi rongga perut. Perdarahan dinding

perut berasal dari beberapa arah. Dari kranikaudal diperoleh pendarahan dari cabang

aa.interkostales VI s/d XII dan a.epigastrika superior. Dari kaudal, a.iliaka sirkumfleksa

superfisialis, a.pudenda eksterna, dan a.epigastrica inferior. Kekayaan vaskularisasi ini

memungkinkan sayatan perut horizontal maupun vertikal tanpa menimbulkan gangguan

pendarahan. Persarafan dinding perut dilayani secara segmental oleh n.torakalis VI s/d XII dan

n.lumbalis.

1

Page 2: Referat Peritonitis

Rongga perut (cavitas abdominalis) dibatasi oleh membran serosa yang tipis mengkilap yang

juga melipat untuk meliputi organ-organ di dalam rongga abdominal. Lapisan membran yang

membatasi dinding abdomen dinamakan peritoneum parietale, sedangkan bagian yang meliputi

organ dinamakan peritoneum viscerale. Di sekitar dan sekeliling organ ada lapisan ganda

peritoneum yang membatasi dan menyangga organ, menjaganya agar tetap berada di tempatnya,

serta membawa pembuluh darah, pembuluh limfe, dan saraf.

Peritoneum merupakan membran yang terdiri dari satu lapis sel mesothel yang dipisah dari

jaringan ikat vaskuler dibawahnya oleh membrane basalis. Ia membentuk kantong tertutup

dimana visera dapat bergerak bebas didalamnya. Peritoneum meliputi rongga abdomen sebagai

peritoneum parietalis dan melekuk ke organ sebagai peritoneum viseralis

      Luas permukaannya mendekati luas permukaan tubuh yang pada orang dewasa mencapai

1,7m2. Ia berfungsi sebagai membrane semipermeabel untuk difusi 2 arah untuk cairan dan

partikel. Luas permukaan untuk difusi seluas ± 1m2.

      Pada rongga peritoneum dewasa sehat terdapat ± 100cc cairan peritoneal yang

mengandung protein 3 g/dl. Sebagian besar berupa albumin. Jumlah sel normal adalah

33/mm3 yang terdiri dari 45% makrofag, 45% sel T, 8% sisanya terdiri dari NK, sel B, eosinofil,

dan sel mast serta sekretnya terutama prostasiklin dan PGE2. Bila terjadi peradangan jumlah

PMN dapat meningkat sampai > 3000/mm3.

      Dalam keadaan normal, 1/3 cairan dalam peritoneum di drainase melalui limfe diafragma

sedang sisanya melalui peritoneum parietalis.

2

Page 3: Referat Peritonitis

      Relaksasi diafragma menimbulkan tekanan negatif sehingga cairan dan partikel termasuk

bakteri akan tersedot ke stomata yaitu celah di mesothel difragma yang berhubungan dengan

lacuna limfe untuk bergerak le limfe substernal. Kontraksi diafragma menutup stomata dan

mendorong limfe ke mediastinum.

      Oleh karena itu, sangat penting menjamin berlangsungnya pernapasan spontan yang baik

agar clearance bakteri peritoneum dapat berlangsung.

      Dalam keadaan normal, peritoneum dapat mengadakan fibrinolisis dan mencegah

terjadinya perlekatan. Peritoneum menangani infeksi dengan 3 cara:

1. Absorbsi cepat bakteri melalui stomata diafragma

Pompa diafragma akan menarik cairan dan partikel termasuk bakteri kearah stomata.

Oleh karena itu bila terdapat infeksi di peritoneum bagian bawah, bakteri yang turut dalam aliran

dapat bersarang di bagian atas dan dapat menimbulkan sindroma Fitz-Hugh-Curtis, yaitu nyeri

perut atas yang disebabkan perihepatitis yang menyertai infeksi tuba falopii.

Peritonitis menyebabkan pergeseran cepat cairan intravaskuler dan intersisiel ke rongga

peritoneum, sehingga dapat terjadi hipovolemia. Empedu, asam lambung, dan enzim pancreas

memperbesar pergeseran cairan ini.

2. Penghancuran bakteri oleh sel imun

Bakteri atau produknya akan mengaktivasi sel mesothel, netrofil, makrofag, sel mast, dan

limfosit untuk menimbulkan reaksi inflamasi.

Selain melepas mediator inflamasi ia dapat mengadakan degranulasi zat vasoaktif yang

mengandung histamine dan prostaglandin. Histamine dan prostaglandin yang dilepas sel mast

dan makrofag menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas pembuluh peritoneum

sehingga menimbulkan eksudasi cairan kaya komplemen, immunoglobulin, faktor pembekuan,

dan fibrin.

Sudah diketahui bahwa untuk penyembuhan jaringan diperlukan respon mediator pro-

inflamasi di daerah sakit sampai terjadi kesembuhan dimana mulai timbul mediator anti-

inflamasi yang menghentikan proses pro-inflamasi. Keadaan ini menunjukkan adanya

keseimbangan fungsi antara respon pro- dan anti-inflamasi. Tetapi pada keadaan tertentu dapat

terjadi ketidakseimbangan dimana salah satu yaitu: pro-inflamasi atau anti-inflamasi atau bahkan

3

Page 4: Referat Peritonitis

keduanya sekaligus meningkat hebat diluar kebutuhan penderita. Dalam keadaan ini kedua

mediator yang bertentangan dapat menimbulkan kerusakan organ hebat sehingga terjadi

kegagalan organ.

3. Lokalisasi infeksi sebagai abses

Pada peningkatan permeabilitas venula terjadi eksudasi cairan kaya protein yang

mengandung fibrinogen. Sel rusak mengeluarkan tromboplastin yang mengubah protrombin

menjadi thrombin dan fibrinogen menjadi fibrin. Fibrin akan menangkap bakteri dan

memprosesnya hingga terbentuk abses. Hal ini dimaksud untuk menghentikan penyebaran

bakteri dalam peritoneum dan mencegah masuknya ke sistemik. Dalam keadaan normal fibrin

dapat dihancurkan antifibrinolitik, tetapi pada inflamasi mekanisme ini tak berfungsi.

III. Etiologi

Infeksi peritoneal dapat diklasifikasikan sebagai bentuk:

Peritonitis primer (Spontaneus)

Disebabkan oleh invasi hematogen dari organ peritoneal yang langsung dari rongga

peritoneum. Penyebab paling sering dari peritonitis primer adalah spontaneous bacterial

peritonitis (SBP) akibat penyakit hepar kronis. Kira-kira 10-30% pasien dengan sirosis

hepatis dengan ascites akan berkembang menjadi peritonitis bakterial.

Peritonitis sekunder

Penyebab peritonitis sekunder paling sering adalah perforasi appendicitis, perforasi

gaster dan penyakit ulkus duodenale, perforasi kolon (paling sering kolon sigmoid)

akibat divertikulitis, volvulus, kanker serta strangulasi usus halus.

Tabel 1. Penyebab Peritonitis Sekunder

Regio Asal Penyebab

Esophagus

Boerhaave syndrome

Malignancy

Trauma (mostly penetrating)

Iatrogenic*

Stomach Peptic ulcer perforation

Malignancy (eg, adenocarcinoma, lymphoma, gastrointestinal

4

Page 5: Referat Peritonitis

stromal tumor)

Trauma (mostly penetrating)

Iatrogenic*

Duodenum

Peptic ulcer perforation

Trauma (blunt and penetrating)

Iatrogenic*

Biliary

tract

Cholecystitis

Stone perforation from gallbladder (ie, gallstone ileus) or

common duct

Malignancy

Choledochal cyst (rare)

Trauma (mostly penetrating)

Iatrogenic*

Pancreas

Pancreatitis (eg, alcohol, drugs, gallstones)

Trauma (blunt and penetrating)

Iatrogenic*

Small

bowel

Ischemic bowel

Incarcerated hernia (internal and external)

Closed loop obstruction

Crohn disease

Malignancy (rare)

Meckel diverticulum

Trauma (mostly penetrating)

Large

bowel and

appendix

Ischemic bowel

Diverticulitis

Malignancy

Ulcerative colitis and Crohn disease

Appendicitis

Colonic volvulus

Trauma (mostly penetrating)

5

Page 6: Referat Peritonitis

Iatrogenic

Uterus,

salpinx,

and ovaries

Pelvic inflammatory disease (eg, salpingo-oophoritis, tubo-

ovarian abscess, ovarian cyst)

Malignancy (rare)

Trauma (uncommon)

Peritonitis tertier

Peritonitis yang mendapat terapi tidak adekuat, superinfeksi kuman, dan akibat tindakan

operasi sebelumnya

Sedangkan infeksi intraabdomen biasanya dibagi menjadi generalized (peritonitis)

dan localized (abses intra abdomen).

IV. Patofisiologi

Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat fibrinosa.

Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara perlekatan fibrinosa, yang menempel

menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi infeksi.Perlekatan biasanya

menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sebagai pita-pita fibrosa, yang kelak

dapat mengakibatkan obstuksi usus.

6

Page 7: Referat Peritonitis

Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan membran mengalami

kebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara cepat dan agresif, maka dapatmenimbulkan

kematian sel. Pelepasan berbagai mediator, seperti misalnya interleukin, dapat memulai respon

hiperinflamatorius, sehingga membawa ke perkembangan selanjutnya dari kegagalan banyak

organ. Karena tubuh mencoba untuk mengkompensasi dengan cara retensi cairan dan elektrolit

oleh ginjal, produk buangan juga ikut menumpuk. Takikardi awalnya meningkatkan curah

jantung, tapi ini segera gagal begitu terjadi hipovolemia.

Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen mengalami

oedem. Oedem disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah kapiler organ-organ tersebut yang

meninggi. Pengumpulan cairan didalam rongga peritoneum dan lumen-lumen usus serta oedem

seluruh organ intra peritoneal dan oedem dinding abdomen termasuk jaringan

retroperitoneal menyebabkan hipovolemia. Hipovolemia bertambah dengan adanya kenaikan

suhu, masukan yang tidak ada, serta muntah.Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan lumen

usus, lebih lanjut meningkatkan tekana intra abdomen, membuat usaha pernapasan penuh

menjadi sulit dan menimbulkan penurunan perfusi.

Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau bila infeksi

menyebar, dapat timbul peritonitis umum. Dengan perkembangan peritonitis umum,

aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik; usus kemudian menjadi atoni dan

meregang. Cairan dan elektrolit hilang kedalam lumen usus, mengakibatkan dehidrasi, syok,

gangguan sirkulasi dan oliguria. Perlekatan dapat terbentuk antara lengkung-lengkung usus yang

meregang dan dapat mengganggu pulihnya pergerakan usus dan mengakibatkan obstruksi usus.

Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus dapat menimbulkan ileus karena

adanya gangguan mekanik (sumbatan) maka terjadi peningkatan peristaltik usus sebagai usaha

untuk mengatasi hambatan. Ileus ini dapat berupa ileus sederhana yaitu obstruksi usus yang tidak

disertai terjepitnya pembuluh darah dan dapat bersifat total atau parsial, pada ileus stangulasi

obstruksi disertai terjepitnya pembuluh darah sehingga terjadi iskemi yang akan berakhir dengan

nekrosis atau ganggren dan akhirnya terjadi perforasi usus dan karena penyebaran bakteri pada

rongga abdomen sehingga dapat terjadi peritonitis.

Tifus abdominalis adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan kuman S.

Typhi yang masuk tubuh manusia melalui mulut dari makan dan air yang tercemar. Sebagian

kuman dimusnahkan oleh asam lambung, sebagian lagi masuk keusus halus dan mencapai

7

Page 8: Referat Peritonitis

jaringan limfoid plaque peyeri di ileum terminalis yang mengalami hipertropi ditempat ini

komplikasi perdarahan dan perforasi intestinal dapat terjadi, perforasi ileum pada tifus biasanya

terjadi pada penderita yang demam selama kurang lebih 2 minggu yang disertai nyeri kepala,

batuk dan malaise yang disusul oleh nyeri perut, nyeri tekan, defansmuskuler, dan keadaan

umum yang merosot karena toksemia.

Perforasi tukak peptik khas ditandai oleh perangsangan peritoneum yang mulai di

epigastrium dan meluas keseluruh peritonium akibat peritonitis generalisata. Perforasi lambung

dan duodenum bagian depan menyebabkan peritonitis akut. Penderita yang mengalami perforasi

ini tampak kesakitan hebat seperti ditikam di perut. Nyeri ini timbul mendadak terutama

dirasakan di daerah epigastrium karena rangsangan peritonium oleh asam lambung, empedu

dan atau enzim pankreas. Kemudian menyebar keseluruh perutmenimbulkan nyeri seluruh perut

pada awal perforasi, belum ada infeksi bakteria, kadang fase ini disebut fase peritonitis

kimia, adanya nyeri di bahu menunjukkan rangsanganperitoneum berupa mengenceran zat asam

garam yang merangsang, ini akan mengurangi keluhan untuk sementara sampai kemudian

terjadi peritonitis bacteria.

Pada apendisitis biasanya biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh

hiperplasi folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis dan neoplasma. Obstruksi

tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalamibendungan,makin lama mukus

tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan

sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen dan menghambat aliran limfe yang

mengakibatkan oedem, diapedesis bakteri, ulserasi mukosa, dan obstruksi vena sehingga udem

bertambah kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti

dengan nekrosis atau ganggren dinding apendiks sehingga menimbulkan perforasi dan

akhirnya mengakibatkan peritonitis baik lokal maupun general.

Pada trauma abdomen baik trauma tembus abdomen dan trauma tumpul abdomen dapat

mengakibatkan peritonitis sampai dengan sepsis bila mengenai organ yang berongga intra

peritonial. Rangsangan peritonial yang timbul sesuai dengan isi dari organ berongga tersebut,

mulai dari gaster yang bersifat kimia sampai dengan kolon yang berisi feses. Rangsangan kimia

onsetnya paling cepat dan feses paling lambat. Bila perforasi terjadi dibagian atas, misalnya

didaerah lambung maka akan terjadi perangsangan segera sesudah trauma dan akan terjadi gejala

peritonitis hebat sedangkan bila bagian bawah seperti kolon, mula-mula tidak terjadi gejala

8

Page 9: Referat Peritonitis

karena mikroorganisme membutuhkan waktu untukberkembang biak baru setelah 24 jam timbul

gejala akut abdomen karena perangsangan peritoneum.

V. Manifestasi Klinis

            Gejala dan tanda biasanya berhubungan dengan proses penyebaran di dalam rongga

abdomen. Bertanya gejala berhubungan dengan beberapa faktor yaitu: lamanya penyakit,

perluasan dari kontaminasi cavum peritoneum dan kemampuan tubuh untuk melawan, usia serta

tingkat kesehatan penderita secara umum.

            Manifestasi klinis dapat dibagi menjadi (1) tanda abdomen yang berasal dari awal

peradangan dan (2) manifestasi dari infeksi sistemik. Penemuan lokal meliputi nyeri abdomen,

nyeri tekan, kekakuan dari dinding abdomen, distensi, adanya udara bebas pada cavum

peritoneum dan menurunnya bising usus yang merupakan tanda iritasi dari peritoneum parietalis

dan menyebabkan ileus. Penemuan sistemik meliputi demam, menggigil, takikardi, berkeringat,

takipneu, gelisah, dehidrasi, oliguria, disorientasi dan pada akhirnya dapat menjadi syok.

Gejala

·        Nyeri abdomen

Nyeri abdomen merupakan gejala yang hampir selalu ada pada peritonitis. Nyeri

biasanya datang dengan onset yang tiba-tiba, hebat dan pada penderita dengan perforasi

nyerinya didapatkan pada seluruh bagian abdomen.

Seiring dengan berjalannya penyakit, nyeri dirasakan terus-menerus, tidak ada

henti-hentinya, rasa seperti terbakar dan timbul dengan berbagai gerakan. Nyeri biasanya

lebih terasa pada daerah dimana terjadi peradangan peritoneum. Menurunnya intensitas

dan penyebaran dari nyeri menandakan adanya lokalisasi dari proses peradangan, ketika

intensitasnya bertambah meningkat diserta dengan perluasan daerah nyeri menandakan

penyebaran dari peritonitis.

·        Anoreksia, mual, muntah dan demam

Pada penderita juga sering didapatkan anoreksia, mual dan dapat diikuti dengan

muntah. Penderita biasanya juga mengeluh haus dan badan terasa seperti demam sering

9

Page 10: Referat Peritonitis

diikuti dengan menggigil yang hilang timbul. Meningkatnya suhu tubuh biasanya sekitar

38OC sampai 40 OC.

·        Facies Hipocrates

Pada peritonitis berat dapat ditemukan fascies Hipocrates. Gejala ini termasuk

ekspresi yang tampak gelisah, pandangan kosong, mata cowong, kedua telinga menjadi

dingin, dan muka yang tampak pucat.

Penderita dengan peritonitis lanjut dengan fascies Hipocrates biasanya berada

pada stadium pre terminal. Hal ini ditandai dengan posisi mereka berbaring dengan lutut

di fleksikan dan respirasi interkosta yang terbatas karena setiap gerakan dapat

menyebabkan nyeri pada abdomen.

Tanda ini merupakan patognomonis untuk peritonitis berat dengan tingkat

kematian yang tinggi, akan tetapi dengan mengetahui lebih awal diagnosis dan perawatan

yang lebih baik, angka kematian dapat lebih banyak berkurang.

·        Syok

Pada beberapa kasus berat, syok dapat terjadi oleh karena dua factor. Pertama

akibat perpindahan cairan intravaskuler ke cavum peritoneum atau ke lumen dari

intestinal. Yang kedua dikarenakan terjadinya sepsis generalisata.

Yang utama dari septicemia pada peritonitis generalisata melibatkan kuman gram

negative diman dapat menyebabkan terjadinya tahap yang menyerupai syok. Mekanisme

dari fenomena ini belum jelas, akan tetapi dari penelitian diketahui bahwa efek dari

endotoksin pada binatang dapat memperlihatkan sindrom atau gejala-gejala yang mirip

seperti gambaran yang terlihat pada manusia.

Tanda

·        Tanda Vital

Tanda vital sangat berguna untuk menilai derajat keparahan atau komplikasi yang

timbul pada peritonitis. Pada keadaan asidosis metabolic dapat dilihat dari frekuensi

pernafasan yang lebih cepat daripada normal sebagai mekanisme kompensasi untuk

mengembalikan ke keadaan normal. Takikardi, berkurangnya volume nadi perifer dan

10

Page 11: Referat Peritonitis

tekanan nadi yang menyempit dapat menandakan adanya syok hipovolemik. Hal-hal

seperti ini harus segera diketahui dan pemeriksaan yang lebih lengkap harus dilakukan

dengan bagian tertentu mendapat perhatian khusus untuk mencegah keadaan yang lebih

buruk.

·        Inspeksi

Tanda paling nyata pada penderita dengan peritonitis adalah adanya distensi dari

abdomen. Akan tetapi, tidak adanya tanda distensi abdomen tidak menyingkirkan

diagnosis peritonitis, terutama jika penderita diperiksa pada awal dari perjalanan

penyakit, karena dalam 2-3 hari baru terdapat tanda-tanda distensi abdomen. Hal ini

terjadi akibat penumpukan dari cairan eksudat tapi kebanyakan distensi abdomen terjadi

akibat ileus paralitik.

·        Auskultasi

Auskultasi harus dilakukan dengan teliti dan penuh perhatian. Suara usus dapat

bervariasi dari yang bernada tinggi pada seperti obstruksi intestinal sampai hampir tidak

terdengar suara bising usus pada peritonitis berat dengan ileus. Adanya

suara borborygmi dan peristaltic yang terdengar tanpa stetoskop lebih baik daripada suara

perut yang tenang. Ketika suara bernada tinggi tiba-tiba hilang pada abdomen akut,

penyebabnya kemungkinan adalah perforasi dari usus yang mengalami strangulasi.

·        Perkusi

Penilaian dari perkusi dapat berbeda tergantung dari pengalaman pemeriksa.

Hilangnya pekak hepar merupakan tanda dari adanya perforasi intestinal, hal ini

menandakan adanya udara bebas dalam cavum peritoneum yang berasal dari intestinal

yang mengalami perforasi. Biasanya ini merupakan tanda awal dari peritonitis.

Jika terjadi pneumoperitoneum karena rupture dari organ berongga, udara akan

menumpuk di bagian kanan abdomen di bawah diafragma, sehingga akan ditemukan

pekak hepar yang menghilang.

11

Page 12: Referat Peritonitis

·        Palpasi

Palpasi adalah bagian yang terpenting dari pemeriksaan abdomen pada kondisi

ini. Kaidah dasar dari pemeriksaan ini adalah dengan palpasi daerah yang kurang terdapat

nyeri tekan sebelum berpindah pada daerah yang dicurigai terdapat nyeri tekan. Ini

terutama dilakukan pada anak dengan palpasi yang kuat langsung pada daerah yang nyeri

membuat semua pemeriksaan tidak berguna. Kelompok orang dengan kelemahan dinding

abdomen seperti pada wanita yang sudah sering melahirkan banyak anak dan orang yang

sudah tua, sulit untuk menilai adanya kekakuan atau spasme dari otot dinding abdomen.

Penemuan yang paling penting adalah adanya nyeri tekan yang menetap lebih dari satu

titik. Pada stadium lanjut nyeri tekan akan menjadi lebih luas dan biasanya didapatkan

spasme otot abdomen secara involunter. Orang yang cemas atau yang mudah dirangsang

mungkin cukup gelisah, tapi di kebanyakan kasus hal tersebut dapat dilakukan dengan

mengalihkan perhatiannya. Nyeri tekan lepas timbul akibat iritasi dari peritoneum oleh

suatu proses inflamasi. Proses ini dapat terlokalisir pada apendisitis dengan perforasi

local, atau dapat menjadi menyebar seperti pada pancreatitis berat. Nyeri tekan lepas

dapat hanya terlokalisir pada daerah tersebut atau menjalar ke titik peradangan yang

maksimal.

Pada peradangan di peritoneum parietalis, otot dinding perut melakukan spasme

secara involunter sebagai mekanisme pertahanan. Pada peritonitis, reflek spasme otot

menjadi sangat berat seperti papan.

VI. Pemeriksaan Penunjang

a. Laboratorium

Evaluasi laboratotium hanya dilakukan jika adanya hubungan antara riwayat penyakit

dengan pemeriksaan fisik. Tes yang paling sederhana dilakukan adalah termasuk hitung sel darah

dan urinalisis. Pada kasus peritonitis hitung sel darah putih biasanya lebih dari 20.000/mm3,

kecuali pada penderita yang sangat tua atau seseorang yang sebelumnya terdapat infeksi dan

tubuh tidak dapat mengerahkan mekanisme pertahanannya.

Pada perhitungan diferensial menunjukkan pergeseran ke kiri dan didominasi oleh

polimorfonuklear yang memberikan bukti adanya peradangan, meskipun jumlah leukosit tidak

menunjukkan peningkatan yang nyata.

12

Page 13: Referat Peritonitis

Analisa gas darah, serum elektrolit, faal pembekuan darah serta tes fungsi hepar dan

ginjal dapat dilakukan.

b. Radiologi

Pemeriksaan radiologi pada kebanyakan kasus peritonitis hanya mencakup foto thorak

PA dan lateral serta foto polos abdomen. Pada foto thorak dapat memperlihatkan proses

pengisian udara di lobus inferior yang menunjukkan proses intraabdomen. Dengan menggunakan

foto polos thorak difragma dapat terlihat terangkat pada satu sisi atau keduanya akibat adanya

udara bebas dalam cavum peritoneum daripada dengan menggunakan foto polos abdomen.

Ileus merupakan penemuan yang tidak khas pada peritonitis, usus halus dan usus besar

mengalami dilatasi, udara bebas dapat terlihat pada kasus perforasi. Foto polos abdomen paling

tidak dilakukan dengan dua posisi, yaitu posisi berdiri/tegak lurus atau lateral decubitus atau

keduanya. Foto harus dilihat ada tidaknya udara bebas. Gas harus dievaluasi dengan

memperhatikan pola, lokasi dan jumlah udara di usus besar dan usus halus.

VII. Tata Laksana

Tatalaksana utama pada peritonitis antara lain pemberian cairan dan elektrolit, kontrol

operatif terhadap sepsis dan pemberian antibiotik sistemik.

Penanganan Preoperatif

Resusitasi Cairan

                        Peradangan yang menyeluruh pada membran peritoneum menyebabkan perpindahan

cairan ekstraseluler ke dalam cavum peritoneum dan ruang intersisial.

                        Pengembalian volume dalam jumlah yang cukup besar melalui intravaskular sangat

diperlukan untuk menjaga produksi urin tetap baik dan status hemodinamik tubuh. Jika terdapat

anemia dan terdapat penurunan dari hematokrit dapat diberikan transfusi PRC (Packed Red

Cells) atau WB (Whole Blood). Larutan kristaloid dan koloid harus diberikan untuk mengganti

cairan yang hilang.

Secara teori, cairan koloid lebih efektif untuk mengatasi kehilangan cairan intravaskuler,

tapi cairan ini lebih mahal. Sedangkan cairan kristaloid lebih murah, mudah didapat tetapi

membutuhkan jumlah yang lebih besar karena kemudian akan dikeluarkan lewat ginjal.

13

Page 14: Referat Peritonitis

Suplemen kalium sebaiknya tidak diberikan hingga perfusi dari jaringan dan ginjal telah

adekuat dan urin telah diprodukasi.

Antibiotik

Bakteri penyebab tersering dari peritonitis dapat dibedakan menjadi bakteri aerob yaitu E.

Coli, golongan Enterobacteriaceae dan Streptococcus, sedangkan bakteri anaerob yang tersering

adalah Bacteriodes spp, Clostridium, Peptostreptococci. Antibiotik berperan penting dalam

terpai peritonitis, pemberian antibiotik secara empiris harus dapat melawan kuman aerob atau

anaerob yang menginfeksi peritoneum.

Pemberian antibiotik secara empiris dilakukan sebelum didapatkan hasil kultur dan dapat

diubah sesuai dengan hasil kultur dan uji sensitivitas jika masih terdapat tanda infeksi. Jika

penderita baik secara klinis yang ditandai dengan penurunan demam dan menurunnya hitung sel

darah putih, perubahan antibiotik harus dilakukan dengan hati-hati meskipun sudah didapatkan

hasil dari uji sensitivitas.

Efek pemberian antibiotik pada peritonitis tergantung kondisi-kondisi seperti: (1) besar

kecilnya kontaminasi bakteri, (2) penyebab dari peritonitis trauma atau nontrauma, (3) ada

tidaknya kuman oportunistik seperti candida. Agar terapi menjadi lebih efektif, terpai antibiotik

harus diberikan lebih dulu, selama dan setelah operasi.

Pada umumnya Penicillin G 1.000.000 IU dan streptomycin 1 gram harus segera

diberikan. Kedua obat ini merupakan bakterisidal jika dipertahankan dalam dosis tinggi dalam

plasma. Kombinasi dari penicillin dan streptomycin juga memberikan cakupan dari bakteri gram

negatif. Penggunaan beberapa juta unit dari peniillin dan 2 gram streptomycin sehari sampai

didapatkan hasil kultur merupakan regimen terpai yang logis. Pada penderita yang sensitif

terhadap penicillin, tetracycline dosis tinggi yang diberikan secara parenteral lebih baik daripada

chloramphenicol pada stadium awal infeksi.

Pemberian clindamycin atau metronidazole yang dikombinasi dengan aminoglikosida

sama baiknya jika memberikan cephalosporin generasi kedua.

Antibiotik awal yang digunakan cephalosporin generasi ketiga untuk gram negatif,

metronidazole dan clindamycin untuk organisme anaerob.

Daya cakupan dari mikroorganisme aerob dan anerob lebih penting daripada pemilihan

terapi tunggal atau kombinasi. Pemberian dosis antibiotikal awal yang kurang adekuat berperan

14

Page 15: Referat Peritonitis

dalam kegagalan terapi. Penggunaan aminoglikosida harus diberikan dengan hati-hati, karena

gangguan ginjal merupakan salah satu gambaran klinis dari peritonitis dan penurunan pH

intraperitoneum dapat mengganggu aktivitas obat dalam sel. Pemberian antibiotik diberikan

sampai penderita tidak didapatkan demam, dengan hitung sel darah putih yang normal.

Oksigen dan Ventilator

Pemberian oksigen pada hipoksemia ringan yang timbul pada peritonitis cukup

diperlukan, karena pada peritonitis terjadi peningkatan dari metabolism tubuh akibat adanya

infeksi, adanya gangguan pada ventilasi paru-paru. Ventilator dapat diberikan jika terdapat

kondisi-kondisi seperti (1) ketidakmampuan untuk menjaga ventilasi alveolar yang dapat

ditandai dengan meningkatnya PaCO2 50 mmHg atau lebih tinggi lagi, (2) hipoksemia yang

ditandai dengan PaO2 kurang dari 55 mmHg, (3) adanya nafas yang cepat dan dangkal.

Intubasi, Pemasangan Kateter Urin dan Monitoring Hemodinamik

Pemasangan nasogastric tube dilakukan untuk dekompresi dari abdomen, mencegah

muntah, aspirasi dan yang lebih penting mengurangi jumlah udara pada usus. Pemasangan

kateter untuk mengetahui fungsi dari kandung kemih dan pengeluaran urin. Tanda vital

(temperature, tekanan darah, nadi dan respiration rate) dicatat paling tidak tiap 4 jam. Evaluasi

biokimia preoperative termasuk serum elektrolit, kratinin, glukosa darah, bilirubin, alkali

fosfatase dan urinalisis.

Penanganan Operatif

Terapi primer dari peritonitis adalah tindakan operasi. Operasi biasanya dilakukan untuk

mengontrol sumber dari kontaminasi peritoneum. Tindakan ini berupa penutupan perforasi usus,

reseksi usus dengan anastomosis primer atau dengan exteriorasi. Prosedur operasi yang spesifik

tergantung dari apa yang didapatkan selama operasi berlangsung, serta membuang bahan-bahan

dari cavum peritoneum seperti fibrin, feses, cairan empedu, darah, mucus lambung dan membuat

irigasi untuk mengurangi ukuran dan jumlah dari bakteri virulen.

Kontrol Sepsis

Tujuan dari penanganan operatif pada peritonitis adalah untuk menghilangkan semua

material-material yang terinfeksi, mengkoreksi penyebab utama peritonitis dan mencegah

komplikasi lanjut. Kecuali pada peritonitis yang terlokalisasi, insisi midline merupakan teknik

operasi yang terbaik. Jika didapatkan jaringan yang terkontaminasi dan menjadi fibrotik atau

15

Page 16: Referat Peritonitis

nekrosis, jaringan tersebut harus dibuang. Radikal debridement yang rutin dari seluruh

permukaan peritoneum dan organ dalam tidak meningkatkan tingkat bertahan hidup. Penyakit

primer lalu diobati, dan mungkin memerlukan tindakan reseksi (ruptur apendik atau kandung

empedu), perbaikan (ulkus perforata) atau drainase (pankreatitis akut). Pemeriksaan kultur cairan

dan jaringan yang terinfeksi baik aerob maupun anaerob segera dilakukan setelah memasuki

kavum peritoneum.

Peritoneal Lavage

Pada peritonitis difus, lavage dengan cairan kristaloid isotonik (> 3 liter) dapat menghilangkan

material-material seperti darah, gumpalan fibrin, serta bakteri. Penambahan antiseptik atau

antibiotik pada cairan irigasi tidak berguna bahkan berbahaya karena dapat memicu adhesi

(misal: tetrasiklin, povidone-iodine). Antibiotik yang diberikan cecara parenteral akan mencapai

level bakterisidal pada cairan peritoneum dan tidak ada efek tambahan pada pemberian

bersama lavage. Terlebih lagi, lavage dengan menggunakan aminoglikosida dapat menyebabkan

depresi nafas dan komplikasi anestesi karena kelompok obat ini menghambat kerja dari

neuromuscular junction. Setelah dilakukan lavage, semua cairan di kavum peritoneum harus

diaspirasi karena dapat menghambat mekanisme pertahanan lokal dengan melarutkan benda

asing dan membuang permukaan dimana fagosit menghancurkan bakteri.

Peritoneal Drainage

Penggunaan drain sangat penting untuk abses intra abdominal dan peritonitis lokal dengan cairan

yang cukup banyak. Drainase dari kavum peritoneal bebas tidak efektif dan tidak sering

dilakukan, karena drainase yang terpasang merupakan penghubung dengan udara luar yang dapat

menyebabkan kontaminasi. Drainase profilaksis pada peritonitis difus tidak dapat mencegah

pembentukan abses, bahkan dapat memicu terbentuknya abses atau fistula. Drainase berguna

pada infeksi fokal residual atau pada kontaminasi lanjutan. Drainase diindikasikan untuk

peradangan massa terlokalisasi atau kavitas yang tidak dapat direseksi.

Pengananan Postoperatif

Monitor intensif, bantuan ventilator, mutlak dilakukan pada pasien yang tidak stabil.

Tujuan utama adalah untuk mencapai stabilitas hemodinamik untuk perfusi organ-organ vital.,

dan mungkin dibutuhkan agen inotropik disamping pemberian cairan. Antibiotik diberikan

selama 10-14 hari, bergantung pada keparahan peritonitis. Respon klinis yang baik ditandai

16

Page 17: Referat Peritonitis

dengan produksi urin yang normal, penurunan demam dan leukositosis, ileus menurun, dan

keadaan umum membaik. Tingkat kesembuhan bervariasi tergantung pada durasi dan keparahan

peritonitis. Pelepasan kateter (arterial, CVP, urin, nasogastric) lebih awal dapat menurunkan

resiko infeksi sekunder.

VIII. Komplikasi

Komplikasi postoperatif sering terjadi dan umumnya dibagi menjadi komplikasi lokal dan

sistemik. Infeksi pada luka dalam, abses residual dan sepsis intraperitoneal, pembentukan fistula

biasanya muncul pada akhir minggu pertama postoperasi. Demam tinggi yang persisten, edema

generalisata, peningkatan distensi abdomen, apatis yang berkepanjangan merupakan indikator

adanya infeksi abdomen residual. Hal ini membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut misalnya CT-

Scan abdomen. Sepsis yang tidak terkontrol dapat menyebabkan kegagalan organ yang multipel

yaitu organ respirasi, ginjal, hepar, perdarahan, dan sistem imun.

IX. Prognosis

Tingkat mortalitas dari peritonitis generalisata adalah sekitar 40%. Faktor-faktor yang

mempengaruhi prognosis, antara lain:

a. jenis infeksinya/penyakit primer

b. durasi/lama sakit sebelum infeksi

c. keganasan

d. gagal organ sebelum terapi

e. gangguan imunologis

f. usia dan keadaan umum penderita

Tingkat mortalitas sekitar 10% pada pasien dengan ulkus perforata atau apendisitis, pada usia

muda, pada pasien dengan sedikit kontaminasi bakteri, dan pada pasien yang terdiagnosis lebih

awal.

Keterlambatan penanganan 6 jam meningkatkan angka mortalitas sebanyak 10-30%. Pasien

dengan multipel trauma 80% pasien berakhir dengan kematian. Peritonitis yang berlanjut, abses

abdomen yang persisten, anstomosis yang bocor, fistula intestinal mengakibatkan prognosis yang

jelek.

17

Page 18: Referat Peritonitis

DAFTAR PUSTAKA

Fauci et al, 2008, Harrison’s Principal Of Internal Medicine Volume 1. McGraw Hill

Price, Sylvia Anderson. 1994. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi 4.

Jakarta: EGC

R. Sjamsuhidajat, Wim de Jong. 2004. Buku-ajar ilmu bedah Edisi 2. Jakarta: EGC

Reksoprodjo, Soelarto. 1995. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Jakarta : Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia.

18