169
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jalan adalah salah satu sarana transportasi untuk menunjang berbagai sektor pembangunan dan merupakan sarana dalam pembangunan wilayah dari daerah sepanjang jalan tersebut. Oleh karena itu, sistem transportasi jalan raya merupakan kegiatan penggerak ekonomi yang penting disamping juga menjadi sarana aktifitas penduduk yang melibatkan masalah-masalah ekonomi, sosial dan budaya. Pembangunan jalan dimaksudkan untuk mempermudah hubungan dari suatu daerah ke daerah lain, serta untuk mengembangkan potensi ekonomi yang ada di daerah tersebut. Jaringan jalan adalah salah satu sarana transportasi untuk menunjang berbagai sektor pembangunan dan merupakan sarana dalam pembangunan wilayah dari daerah sepanjang jalan tersebut. Oleh karena itu, sistem transportasi jalan raya merupakan kegiatan penggerak ekonomi yang penting disamping juga menjadi sarana aktifitas penduduk yang melibatkan masalah-masalah ekonomi, sosial dan budaya. Perkerasan lentur (flexible) dapat berubah bentuk dan tidak akan seluruhnya kembali seperti semula bila menerima beban yang terus menerus atau berulang- ulang. Di dalam

Referensi TA

Embed Size (px)

DESCRIPTION

ghgh

Citation preview

Page 1: Referensi TA

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Jalan adalah salah satu sarana transportasi untuk menunjang berbagai sektor

pembangunan dan merupakan sarana dalam pembangunan wilayah dari daerah

sepanjang jalan tersebut. Oleh karena itu, sistem transportasi jalan raya merupakan

kegiatan penggerak ekonomi yang penting disamping juga menjadi sarana aktifitas

penduduk yang melibatkan masalah-masalah ekonomi, sosial dan budaya.

Pembangunan jalan dimaksudkan untuk mempermudah hubungan dari suatu daerah ke

daerah lain, serta untuk mengembangkan potensi ekonomi yang ada di daerah tersebut.

Jaringan jalan adalah salah satu sarana transportasi untuk menunjang berbagai

sektor pembangunan dan merupakan sarana dalam pembangunan wilayah dari daerah

sepanjang jalan tersebut. Oleh karena itu, sistem transportasi jalan raya merupakan

kegiatan penggerak ekonomi yang penting disamping juga menjadi sarana aktifitas

penduduk yang melibatkan masalah-masalah ekonomi, sosial dan budaya.

Perkerasan lentur (flexible) dapat berubah bentuk dan tidak akan seluruhnya

kembali seperti semula bila menerima beban yang terus menerus atau berulang- ulang.

Di dalam batas-batas tertentu permukaan ini dapat menyesuaikan diri terhadap

pemadatan lapisan-lapisan di bawahnya. Sedangkan perkerasan kaku, plat beton-semen

adalah kaku, sifat elastis dan dapat kembali kepada bentuk aslinya apabila muatan

dihilangkan. Dalam kejadian ini, apabila lapisan-lapisan dibawahnya tidak seluruhnya

kembali seperti semula, plat ini akan terangkat dan membentang di atas daerah yang

lebih rendah. Suatu ketika, jika daerah yang tidak tersangga tersebut cukup luas dan

menerima muatan yang besar dan cukup sering, maka plat tersebut akan hancur akibat

kelelahan struktur.

Dalam pengoperasian jalan raya tentunya tidak dapat dihindarkan berbagai macam

permasalahan yang terjadi sehari-hari. Kerusakan jalan dapat berupa retak-retak

(cracking), gelombang (corrugation), juga berupa alur/cekungan arah memanjang jalan

Page 2: Referensi TA

2

sekitar jejak roda kendaraan (rutting). Ada juga berupa genangan aspal dipermukaan

jalan (bleeding), dan ada juga berupa lobang-lobang (pothole). Kerusakan jalan seperti

ini biasanya disebabkan oleh berbagai faktor misalnya beban roda kendaraan berat yang

melintas, kondisi muka air tanah yang tinggi, kesalahan pada saat pelaksanaan atau

akibat kesalahan perancangan.

Jalan Tanjung Serdang – Lontar Kabupaten Kotabaru merupakan jalan akses

untuk ke luar dan ke dalam kota serta menghubungkan beberapa kecamatan. Kondisi

jalan yang ada sekarang sangat memperhatinkan karena sebagian rusak dan berlubang

yang cukup parah. Dengan kondisi yang ada sekarang tentunya sangat mengganggu

kenyamanan pengguna jalan yang berpengaruh terhadap masalah ekonomi dan Sosial

masyarakat setempat serta belum adanya perancangan untuk tebal perkerasan pada jalan

ini.

Mengacu pada uraian di atas maka tugas akhir ini berjudul “PERANCANGAN

TEBAL PERKERASAN LENTUR (FLEXIBLE PAVEMENT) PADA RUAS JALAN

TANJUNG SERDANG – LONTAR (KOTABARU) STA. 84+250 S/D 89+250

DENGAN MANUAL DESAIN PERKERASAN JALAN NO. 02/M/BM/2013” yang

perancangannya mengacu pada Manual Desain Perkerasan Jalan Nomor 02/M/BM/2013

Kementrian Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Bina Marga tahun 2013.

1.2 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

a. Mendapatkan tebal perkerasan lentur pada ruas jalan sesuai dengan Manual

Desain Perkerasan Jalan Nomor 02/M/BM/2013 Kementrian Pekerjaan Umum

Direktorat Jenderal Bina Marga tahun 2013. Yang dikontrol menggunakan

Pedoman Pt-T-01-2002-B dan program SDPJL (Software Desain Perkerasan

Jalan Lentur).

b. Mendapatkan Rencana Anggaran Biaya (RAB).

Page 3: Referensi TA

3

1.3 Batasan Masalah

Menyadari akan luasnya permasalahan dalam perancangan suatu jalan yang

mencakup berbagai aspek, maka dalam penyusunan tugas akhir ini hanya membatasi

permasalahan pada perancangan desain tebal perkerasan lentur, dan menghitung rencana

anggaran biaya (RAB) untuk ruas jalan Tanjung Serdang – Lontar (Kotabaru) STA.

84+250 s/d 89+250.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan rencana tebal perkerasan

jalan dan rencana anggaran biaya (RAB). Diharapkan hasil ini bisa bermanfaat dan bisa

menjadi acuan dalam suatu perancangan perkerasan jalan.

1.5 Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan pada ruas Jalan Tanjung Serdang – Lontar (Kotabaru).

Berikut ini adalah layout dari peta Kabupaten Kotabaru dapat dilihat pada gambar 1.1

berikut.

Page 4: Referensi TA

4

Gambar 1. 1 Peta Kabupaten Kotabaru

Untuk daerah ruas jalan rencana sendiri dapat dilihat pada gambar 1.2 berikut ini.

Gambar 1. 2 Lokasi Penelitian

STA 0 + 000

STA 84 + 250

STA 89 + 250

Page 5: Referensi TA

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Umum

2.1.1 Pengertian Jalan

Jalan merupakan prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan,

termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang di peruntukkan untuk lalu

lintas baik menggunakan kendaraan maupun jalan kaki yang menghubungkan dari satu

daerah ke daerah lain.

Sebagai prasarana transportasi, jalan harus memenuhi syarat sesuai dengan

fungsinya yaitu memindahkan barang atau orang dari suatu tempat ketempat yang lain

dengan cara aman, nyaman, lancar dan ekonomis.(Sumber: Undang-Undang Jalan No.

38 Tahun, 2004)

2.1.2 Sistem Jaringan Jalan

Dengan kemajuan jaman yang begitu pesat, maka tuntutan perekonomian,

pendidikan, dan hal-hal lainnya yang merupakan tuntutan hidup membuat tuntutan akan

pelayanan terhadap transportasi semakin besar. Dari jenis kendaraan, ukuran dan jumlah

semua juga ikut berubah pula sehingga masalah–masalah seperti kelancaran arus lalu

lintas, kenyamanan dan hal-hal lainnya yang membuat kinerja jalan menurun mencuat

kepermukaan, oleh karena itu perlunya diadakan batasan-batasan. Batasan-batasan

tersebut itulah yang membuat jalan diklasifikasikannya.

Sistem jaringan dibedakan menjadi dua, yaitu :

1. Sistem Jaringan Jalan Primer

Sistem jaringan jalan primer disusun mengikuti ketentuan pengaturan tata ruang

dan struktur pengembangan wilayah tingkat Nasional, yang menghubungkan

simpul-simpul jasa distribusi. Jaringan jalan primer menghubungkan secara

menerus kota jenjang kesatu, kota jenjang kedua, kota jenjang ketiga, dan kota-

kota dibawahnya sampai kepersiil dalam satu satuan wilayah pengembangan.

Page 6: Referensi TA

6

Jaringan jalan primer menghubungkan kota jenjang kesatu dengan kota jenjang

kesatu antar satuan wilayah pengembangan.

Jaringan jalan primer tidak terputus walaupun memasuki kota jaringan jalan

primer harus menghubungkan kawasan primer. Suatu ruas jalan primer dapat

berakhir pada suatu kawasan primer. Kawasan yang mempunyai fungsi primer

antara lain: Industri berskala regional, Bandar Udara, Pasar Induk, Pusat

perdagangan skala Regional/Grosir.

2. Sistem Jaringan Jalan Sekunder

Sistem jaringan jalan sekunder disusun mengikuti ketentuan pengaturan tata

ruang kota yang menghubunkan kawasan-kawasan yang memiliki fungsi primer,

fungsi sekunder kesatu, fungsi sekunder kedua, fungsi sekunder ketiga dan

seterusnya sampai keperumahan.

2.1.3 Fungsi Jalan Umum

Berdasarkan fungsinya, jalan umum dapat dikelompokkan kedalam :

1. Jalan Arteri Primer, ialah jalan yang menghubungkan kota jenjang kesatu dengan

kota jenjang kedua.

Untuk jalan arteri primer wilayah perkotaan, mengikuti kriteria sebagai berikut :

a. Jalan arteri primer dalam kota merupakan terusan arteri primer luar kota.

b. Jalan arteri primer melalui atau menuju kawasan primer.

c. Jalan arteri primer dirancang berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 60

km/jam.

d. Lebar badan jalan tidak kurang dari 8 meter.

e. Lalu lintas jarak jauh pada jalan arteri primer adalah lalu lintas regional.

Untuk itu, lalu lintas tersebut tidak boleh terganggu oleh lalu lintas ulang alik

dan lalu lintas lokal, dan kegiatan lokal.

f. Kendaraan angkutan berat dan kendaraan umum bus dapat diijinkan

menggunakan jalan ini.

Page 7: Referensi TA

7

g. Jumlah jalan masuk dibatasi secara efisien, jarak antara jalan masuk/akses

langsung tidak boleh lebih pendek dari 500 meter.

h. Persimpangan diatur dengan pengaturan tertentu, sesuai dengan volume lalu

lintasnya.

i. Besarnya lalu lintas harian rata-rata pada umumnya lebih besar dari fungsi

jalan yang lain.

j. Mempunyai kapasitas yang lebih besar dari volume lalu lintas harian rata-rata.

k. Lokasi berhenti dan parkir pada badan jalan ini seharusnya tidak diijinkan.

2. Jalan Kolektor Primer, ialah jalan yang menghubungkan kota jenjang kedua

dengan kota jenjang kedua atau kota menghubungkan kota jenjang kedua dengan

kota jenjang ketiga. Untuk wilayah perkotaan kriterianya adalah :

a. Jalan kolektor primer kota merupakan terusan jalan kolektor primer luar kota.

b. Melalui atau menuju kawasan primer atau jalan arteri primer.

c. Dirancang untuk kecepatan rencana 40 km/jam.

d. Lebar badan jalan tidak kurang dari 7 meter.

e. Jumlah jalan masuk dibatasi secara efisien jarak antaranya lebih dari 400

meter.

f. Kendaraan angkutan berat dan bus dapat dijinkan melalui jalan ini.

g. Persimpangan diatur dengan pengaturan tertentu sesuai dengan volume lalu

lintasnya.

h. Kapasitasnya sama atau lebih besar dari volume lalu lintas harian rata-rata.

i. Lokasi parkir pada badan jalan sangat dibatasi dan seharusnya tidak diijinkan

pada jam sibuk

j. Dilengkapi dengan perlengkapan jalan yang cukup.

k. Besarnya LHR pada umumnya lebih rendah dari pada jalan arteri primer.

3. Jalan Lokal Primer, adalah jalan yang menghubungkan kota jenjang kesatu

dengan persiil atau menghubungkan kota jenjang kedua dengan persiil atau kota

jenjang ketiga dengan kota jenjang ketiga, kota jenjang ketiga dengan kota

Page 8: Referensi TA

8

dibawahnya, atau kota jenjnag ketiga dengan persiil atau kota dibawah jenjang

ketiga sampai persiil. Kriteria untuk jalan lokal primer adalah :

a. Merupakan terusan jalan lokal pimer luar kota.

b. Melalui atau menuju kawasan primer atau jalan primer lainnya.

c. Dirancang umtuk kecepatan rencana 20 km/jam.

d. Kendaraan angkutan barang dan bus diijinkan melalui jalan ini.

e. Lebar jalan tidak kurang dari 6 meter.

f. Besarnya LHR pada umumnya paling rendah pada sistem primer.

Kawasan primer adalah kawasan kota yang mempunyai fungsi primer. Fungsi

primer adalah fungsi kota dalam hubungannya dengan kedudukan kota sebagai

pelayan jasa bagi kebutuhan pelayanan kota, dan wilayah pengembangannya.

4. Jalan Arteri Sekunder, menghubungkan kawasan primer dengan sekunder kesatu

atau menghubungkan kawasan kesatu dengan kawasan sekunder kedua. Kriteria

untuk jalan perkotaan :

a. Dirancang berdasarkan kecepatan rancang paling rendah 20 km/jam.

b. Lebar badan jalan tidak kurang dari 7 meter.

c. Kendaraan angkutan barang berat tidak diijinkan melalui fungsi jalan ini

didaerah pemukiman.

d. Lokasi parkir pada jalan dibatasi.

e. Harus mempunyai perlengkapan jalan cukup.

f. Besarnya LHR pada umumnya lebih rendah dari sistem primer.

5. Jalan Lokal Sekunder menghubungkan antar kawasan sekunder ketiga atau

dibawahnya dan kawasan sekunder dengan perumahan. Kriteria untuk daerah

perkotaan adalah :

a. Dirancang berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 10 km/jam.

b. Lebar jalan tidak kurang dari 5 meter.

c. Kendaraan angkutan barang dan bus tidak diijinkan melalui jalan ini didaerah

pemukiman.

d. Besarnya LHR umumnya paling rendah.

Page 9: Referensi TA

9

2.1.4 Kelas Jalan

Berdasarkan pasal 19 UU RI Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan, jalan dikelompokkan dalam beberapa kelas jalan berdasarkan:

1. Fungsi dan intensitas lalu lintas guna kepentingan pengaturan penggunaan jalan

dan kelancaran lalu lintas dan angkutan jalan.

2. Daya dukung untuk menerima muatan sumbu terberat dan dimensi kendaraan

bermotor.

Pengelompokkan jalan menurut kelas jalan terdiri atas beberapa kelas, antara

lain adalah:

a. Jalan Kelas I, yaitu jalan arteri dan kolektor yang dapat dilalui kendaraan

bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 mm, ukuran panjang tidak

melebihi 18000 mm, ukuran paling tinggi 4.200 mm, dan muatan sumbu terberat

10 ton.

b. Jalan Kelas II, yaitu jalan arteri, kolektor, lokal, dan lingkungan yang dapat dilalui

kendaraan bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 mm, ukuran

panjang tidak melebihi 12.000 mm, ukuran paling tinggi 4.200 mm, dan muatan

sumbu terberat 8 ton.

c. Jalan Kelas III, yaitu jalan arteri, kolektor, lokal, dan lingkungan yang dapat

dilalui kendaraan bermotor dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.100 mm, ukuran

panjang tidak melebihi 9.000 mm, ukuran paling tinggi 3.500 mm, dan muatan

sumbu terberat 8 ton.

d. Jalan Khusus, yaitu jalan arteri yang dapat dilalui kendaraan bermotor dengan

ukuran lebar tidak melebihi 2.500 mm, ukuran panjang tidak melebihi 18.000 mm,

ukuran paling tinggi 4.200 mm, dan muatan sumbu terberat 10 ton.

Fungsi jalan menggambarkan kemungkinan tipe lalu lintas yang akan

menggunakan jalan. Jalan arteri, atau jalan nasional, atau jalan kelas 1 secara nyata

menggambarkan bahwa perkerasan jalan harus mampu menerima beban lalu lintas yang

lebih berat dibandingkan dengan fungsi jalan lainnya. Hal ini sangat mempengaruhi

tebal perkerasan jalan tersebut.

Page 10: Referensi TA

10

2.1.5 Klasifikasi Jalan Berdasarkan Beban Muatan Sumbu

Untuk keperluan pengaturan penggunaan dan pemenuhan kebutuhan angkutan,

jalan dibagi dalam beberapa kelas yang didasarkan pada kebutuhan transportasi,

pemilihan moda secara tepat dengan mempertimbangkan keunggulan karakteristik

masing-masing moda, perkembangan teknologi kendaraan bermotor, muatan sumbu

terberat kendaraan bermotor serta konstruksi jalan. Pengelompokkan jalan menurut

muatan sumbu yang disebut juga kelas jalan, terdiri dari:

1. Jalan Kelas I, yaitu jalan arteri yang dapat dilalui kendaraan bermotor termasuk

muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 milimeter, ukuran panjang tidak

melebihi 18.000 milimeter, dan muatan sumbu terberat yang diizinkan lebih besar

dari 10 ton, yang saat ini masih belum digunakan di Indonesia, namun sudah

mulai dikembangkan diberbagai negara maju seperti di Prancis telah mencapai

muatan sumbu terberat sebesar 13 ton.

2. Jalan Kelas II, yaitu jalan arteri yang dapat dilalui kendaraan bermotor termasuk

muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 milimeter, ukuran panjang tidak

melebihi 18.000 milimeter, dan muatan sumbu terberat yang diizinkan 10 ton,

jalan kelas ini merupakan jalan yang sesuai untuk angkutan peti kemas.

3. Jalan Kelas III A, yaitu jalan arteri atau kolektor yang dapat dilalui kendaraan

bermotor termasuk muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 milimeter,

ukuran panjang tidak melebihi 18.000 milimeter, dan muatan sumbu terberat yang

diizinkan 8 ton;

4. Jalan Kelas III B, yaitu jalan kolektor yang dapat dilalui kendaraan bermotor

termasuk muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.500 milimeter, ukuran

panjang tidak melebihi 12.000 milimeter, dan muatan sumbu terberat yang

diizinkan 8 ton.

5. Jalan Kelas III C, yaitu jalan lokal dan jalan lingkungan yang dapat dilalui

kendaraan bermotor termasuk muatan dengan ukuran lebar tidak melebihi 2.100

Page 11: Referensi TA

11

milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 9.000 milimeter, dan muatan sumbu

terberat yang diizinkan 8 ton.

Tabel 2.1 Klasifikasi Penggunaan Jalan menurut Muatan Sumbu Terberat

KELAS JALAN

FUNGSI JALAN

Dimensi Maksimum dan MST Kendaraan Bermotor yang Diizinkan Menggunakan Jalan

Lebar (mm)

Panjang (mm)

MST (Ton)

Tinggi (mm)

UU No.14/1992, ps. 7, dan PP No.43/1993, ps. 11 ayat (1)

RUU LLAJ 2005 ps. 12 ayat (1) s.d. (4)

PP No.44/1993, ps. 115

ayat (1) huruf b

IArteri

2500 18000 > 10

4200 dan ≤ 1,7 x Lebar

kendaraan

II 2500 18000 ≤ 10

IIIAArteri atau Kolektor

2500 18000 ≤ 8

IIIB Kolektor 2500 12000 ≤ 8

IIICLokal &

Lingkungan2100 9000 ≤ 8

Sumber: Pedoman Perkerasan 02/M/BM/2013

2.2 Struktur dan Perkerasan Jalan

Jalan memiliki persyaratan dari segi konstruksi yaitu harus kuat, awet dan kedap

air. Jika dilihat dari segi pelayanan jalan harus rata, tidak licin, geometrik memadai dan

ekonomis. Untuk itu membutuhkan suatu rancangan perkerasan yang mampu melayani

beban berupa lalu lintas. Perkerasan jalan adalah lapisan atau badan jalan yang

menggunakan bahan khusus, yaitu campuran antara agregat dan bahan ikat. Agregat

yang dipakai terdiri dari batu pecah, batu belah, batu kali. Sedangkan bahan ikat yang

digunakan berupa aspal dan semen.

Perancangan perkerasan yang efektif adalah salah satu dari berbagai aspek lain

dari perancangan jalan. Perkerasan adalah bagian dari jalan raya yang sangat penting

bagi pengguna jalan. Kondisi dan kekuatan dari jalan raya sering dipengaruhi oleh

kehalusan atau kekasaran permukaan jalan. Keadaan perkerasan yang baik dapat

mengurangi biaya pengguna, penundaan waktu perjalanan, tabrakan dan pemakaian

bahan bakar.

Page 12: Referensi TA

12

Lapis perkerasan berfungsi untuk menerima dan menyebarkan beban lalu lintas

tanpa menimbulkan kerusakan yang berarti pada konstruksi jalan itu. Dengan demikian

perancangan tebal masing–masing lapis perkerasan harus diperhitungkan dengan

optimal.

Perkerasan jalan dibedakan menjadi empat bagian, yaitu:

1. Perkerasan lentur (Flexible Pavement)

Yaitu perkerasan yang menggunakan aspal yang digunakan sebagai bahan

pengikat. Lapisan perkerasan bersifat menahan beban lalu lintas dan menyebarkan

ketanah dasar, tanpa menimbulkan kerusakan.

Secara umumnya konstruksi perkerasan lentur terdiri dari lapisan–lapisan yang

diletakkan pada tanah dasar. Lapisan–lapisan tersebut berfungsi untuk menerima

beban lalu lintas dan menyebarkannya kelapisan dibawahnya. Ada jenis struktur

perkerasan yang diterapkan pada struktur perkerasan jalan baru yaitu terdiri atas:

Struktur perkerasan pada permukaan tanah asli

Struktur perkerasan pada timbunan

Struktur perkerasan pada galian.

Untuk lapisan-lapisan pada perkerasan lentur dapat dilihat pada gambar 2.1

berikut ini.

Page 13: Referensi TA

13

Gambar 2.1 Lapisan Perkerasan Lentur

Page 14: Referensi TA

14

2. Perkerasan kaku (Rigid Pavement)

Yaitu perkerasan yang menggunakan semen (Portland Cement) sebagai bahan

pengikat. Pelat beton dengan atau tanpa tulangan diletakkan diatas tanah dasar

dengan atau tanpa lapisan pondasi bawah. Beban lalu lintas sebagian besar dipikul

oleh pelat beton. Untuk lapisan-lapisan pada perkerasan kaku dapat dilihat pada

gambar 2.2 berikut ini.

Gambar 2.2 Lapisan Perkerasan Kaku

Page 15: Referensi TA

15

Ada 5 jenis perkerasan beton semen yaitu sebagai berikut:

a. Perkerasan beton semen tanpa tulangan dengan sambungan (Jointed Plain

Concrete Pavement).

b. Perkerasan beton semen bertulang dengan sambungan (Jointed Reinforced

Concrete Pavement).

c. Perkerasan beton semen tanpa tulangan (Continuosly Reinforced Concrete

Pavement).

d. Perkerasan beton semen prategang (Prestressed Concrete Pavement).

e. Perkerasan beton semen bertulang fiber (Fiber Reinforced Concrete

Pavement).

Perkerasan kaku mempunyai sifat yang berbeda dengan perkerasan lentur. Pada

perkerasan kaku daya dukung perkerasan terutama diperoleh dari pelat beton. Hal ini

terkait dengan sifat pelat beton yang cukup kaku, sehingga dapat menyebarkan beban

pada bidang yang luas dan menghasilkan tegangan yang rendah pada lapisan–lapisan

di bawahnya.

3. Perkerasan komposit (Composite Pavement)

Yaitu perkerasan kaku yang dikombinasikan dengan perkerasan lentur dapat

berupa perkerasan lentur diatas perkerasan kaku, atau perkerasan kaku diatas

perkerasan lentur. Lapisan-lapisan perkerasan komposit dapat dilihat pada gambar

2.3 berikut ini.

Lapisan tanah dasar (subgrade)

Lapisan pondasi bawah (subbase)

Plat beton (concrete slab)

Lapisan permukaan (surface)

Page 16: Referensi TA

16

4. Perkerasan Paving Block (Concrete Block)

Yaitu perkerasan yang terbuat dari campuran pasir dan semen ditambah atau tanpa

campuran lainnya (abu batu atau lainnya). Paving block atau blok beton terkunci

menurut SII.0819-88 adalah suatu omposisi bahan bangunan yang terbuat dari

campuran semen Portland atau bahan perekat hidrolis lainnya, air dan agregat

dengan atau tanpa bahan tambahan lainnya yang tidak mengurangi mutu beton

tersebut, sedangkan menrut SK SNI T-04-1990-F paving block adalah segmen-

segmen kecil yang terbuat dari beton dengan bentuk segi empat atau segi banyak

yang dipasang sedemikian rupa sehingga saling mengunci (Dudung Kumara,1992;

Akmaluddin dkk. 1998). Untuk lapisan-lapisan perkerasan paving block dapat dilihat

pada gambar 2.4 berikut ini.

2.3 Struktur Dan Perkerasan Lentur (Flexible Pavement)

Pada umumnya perkerasan lentur baik digunakan untuk jalan yang melayani

beban lalu lintas ringan sampai dengan sedang, seperti jalan perkotaan, jalan dengan

sistem utilitas terletak dibawah perkerasan jalan, perkerasan bahu jalan, atau perkerasan

dengan konstruksi bertahap. Konstruksi perkerasan lentur terdiri dari lapisan-lapisan

yang diletakkan diatas tanah dasar yang telah dipadatkan. Lapisan-lapisan tersebut

Gambar 2.3 Lapisan Perkerasan Komposit

Gambar 2.4 Lapisan Paving Block

Page 17: Referensi TA

17

berfungsi untuk menerima beban lalu lintas dan menyebarkannya kelapisan

dibawahnya.

Keuntungan menggunakan perkerasan lentur adalah:

1. Dapat digunakan pada daerah dengan perbedaan penurunan (differential

settlement) terbatas.

2. Mudah diperbaiki.

3. Tambahan lapisan perkerasan dapat dilakukan kapan saja.

4. Memiliki tahanan geser yang baik.

5. Warna perkerasan memberikan kesan tidak silau bagi pemakai jalan.

6. Dapat dilaksanakan bertahap, terutama pada kondisi biaya pembangunan

terbatas atau kurangnya data untuk perancangan.

Kerugian menggunakan perkerasan lentur adalah:

1. Tebal total struktur perkerasan lebih tebal dari pada perkerasan kaku.

2. Kelenturan dan sifat kohesi berkurang selama masa pelayanan.

3. Frekuensi pemeliharaan lebih sering daripada menggunakan perkerasan

kaku.

4. Tidak baik digunakan jika serig digenangi oleh air.

5. Membutuhkan lebih banyak agregat.

Struktur perkerasan lentur menurut Pedoman Perancanaan Tebal Perkerasan

Lentur (Rancangan 3) umumnya terdiri atas:

1. Lapisan permukaan (surface course)

Lapisan permukaan adalah lapisan yang terletak pada lapisan paling atas dan

berfungsi sebagai :

Lapisan perkerasan penahan beban roda, lapisan ini mempunyai stabilitas

tinggi untuk menahan beban roda selama masa pelayanan.

Page 18: Referensi TA

18

Lapisan kedap air, sehingga air hujan yang jatuh diatasnya tidak meresap

kelapisan bawahnya.

Lapisan aus (wearing course), lapisan yang langsung menderita gesekan akibat

rem kendaraan sehingga mudah menjadi aus.

Lapisan yang menyebarkan beban kelapisan bawah.

2. Lapisan pondasi atas (base course)

Lapisan perkerasan yang terletak diantara lapisan pondasi bawah dan pondasi

permukaan dinamakan lapisan pondasi atas yang berfungsi sebagai:

Bagian perkerasan yang menahan gaya lintang dari beban roda dan

menyebarkan beban kelapisan dibawahnya.

Lapisan peresapan untuk lapisan pondasi bawah.

Bantalan terhadap lapisan permukaan.

3. Lapisan pondasi bawah (subbase course)

Lapisan perkerasan yang terletak antara lapisan pondasi atas dan tanah dasar

dinamakan lapisan pondasi bawah, yang berfungsi sebagai:

Bagian dari konstrusi perkerasan untuk menyebarkan beban roda ketanah

dasar.

Efisiensi penggunaan material.

Lapisan peresapan, agar air tanah tidak berkumpul dipondasi.

Lapisan pertama, agar perkerasan dapat berjalan lancar.

4. Lapisan tanah dasar (subgrade)

Lapisan tanah dasar setebal 50-100cm diatas akan diletakkan dilapisan pondasi

bawah dinamakan lapisan tanah dasar.

Lapisan tanah dasar dapat berupa tanah asli yang dipadatkan jika tanah aslinya

baik, tanah yang didatangkan dari tempat lain dan didapatkan atau tanah yang

distribusiakan dengan kapur atau bahan lainnya. Kekuatan dan keawetan konstruksi

perkerasan jalan sangat tergantung pada sifat-sifat dan daya dukung tanah dasar.

Masalah-masalah yang sering ditemui terkait dengan lapisan tanah dasar adalah:

Page 19: Referensi TA

19

a. Perubahan bentuk tetap (deformasi permanen) dan rusaknya struktur perkerasan

jalan secara menyeluruh akibat beban lalu lintas.

b. Sifat mengembang dan menyusut pada jenis tanah yang memiliki sifat plastisitas

tinggi. Perubahan kadar air tanah dasar dapat berkibat terjadinya retak dan atau

perubahan bentuk. Faktor drainase dan kadar air pada proses pemadatan tanah

dasar sangat menentukan kecepatan kerusakan yang mungkin terjadi.

c. Perbedaan daya dukung tanah akibat perbedaan jenis tanah sukar ditentukan

secara pasti. Penelitian yang seksama akan jenis dan sifat tanah dasar disepanjang

jalan dapat mengurangi dampak akibat tidak meratanya daya dukung tanah dasar.

d. Perbedaan penurunan (differential settlement) akibat terdapatnya lapisan tanah

lunak dibawah tanah yang terletak dibawah lapisan tanah dasar sangat membantu

mengatasi masalah ini.

e. Tambahan pemadatan akibat pembebanan lalu lintas dan penurunan yang

diakibatkannya, yaitu pada tanah berbutir kasar (granular soil) yang tidak

dipadatkan secara baik pada saat pelaksanaan.

2.4 Prosedur Perancangan Perkerasan Lentur

Berdasarkan Pedoman Perancangan Tebal Perkerasan Lentur Manual Desain

Perkerasan Jalan Nomor 02/M/BM/2013 Kementrian Pekerjaan Umum Direktorat

Jenderal Bina Marga tahun 2013.

Untuk menentukan nilai struktur yang diperlukan dapat dilihat dari langkah-

langkah berikut ini:

1. Umur Rencana

Untuk menentukan umur rencana jalan bisa dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2.2 Umur Rencana perkerasan jalan baru (UR)

Page 20: Referensi TA

20

Catatan :

1. Jika dianggap sulit untuk menggunakan umur rencana diatas, maka dapat digunakan

umur rencanaberbeda, namun sebelumnya harus dilakukan analisis dengan

discounted whole of life cost, dimana ditunjukkan bahwa umur rencana tersebut dapat

memberikan discounted whole of life cost terendah.

2. Umur rencana tidak boleh diambil melampaui kapasitas jalan pada saat umur

rencana.

2. Menentukan nilai CESA4

Beban sumbu standar kumulatif atau Cumulative Equivalent Single Axle Load

(CESA) merupakan jumlah kumulatif beban sumbu lalu lintas desain pada lajur

desain selama umur rencana, yang ditentukan sebagai:

ESA = (Σjenis kendaraan LHRT x VDF)............................................................

(2.1)

CESA = ESA x 365 x R ..................................................................... (2.2)

Dimana

ESA : lintasan sumbu standar ekivalen (equivalent standard axle)

untuk 1 (satu) hari

LHRT : lintas harian rata-rata tahunan untuk jenis kendaraan tertentu

Jenis Perkerasan Elemen PerkerasanUmur

Rencana (Tahun)

Perkerasan lentur lapisan aspal dan lapisan berbutir dan CTB 20

pondasi jalan 40semua lapisan perkerasan untuk area yang tidakdiijinkan sering ditinggikan akibat pelapisan ulang, misal : jalan perkotaan, underpass, jembatan, terowongan.

40

Cement Treated BasedPerkerasanKaku

lapis pondasiatas, lapis pondasi bawah, lapis beton semen, dan pondasi jalan.

40

Jalan tanpa penutup Semua elemen Minimum 10

Page 21: Referensi TA

21

CESA : kumulatif beban sumbu standar ekivalen selama umur rencana

R : faktor pengali pertumbuhan lalu lintas

3. Menentukan nilai Traffic Multiplier (TM)

Traffic Multiplier adalah faktor yang digunakan untuk mengkoreksi jumlah

pengulangan beban sumbu (ESA) pangkat empat menjadi nilai faktor pangkat

lainnya yang dibutuhkan untuk desain mekanik. Nilai TM kelelahan lapisan aspal

(TM lapisan aspal) untuk kondisi pembebanan yang berlebih di Indonesia adalah

berkisar 1,8 - 2. Nilai yang akurat berbeda-beda tergantung dari beban berlebih

pada kendaraan niaga di dalam kelompok truk.

4. Menentukan nilai CESA5

Nilai CESA tertentu (pangkat 4) untuk desain perkerasan lentur harus dikalikan

dengan nilai TM untuk mendapatkan nilai CESA5 dengan menggunakan

persamaan berikut:

CESA5 = (TM x CESA4).............................................................................. (2.3)

5. Menentukan tipe perkerasan

Page 22: Referensi TA

22

Pemilihan jenis perkerasan akan bervariasi sesuai estimasi lalu lintas, umur

rencana, dan pondasi jalan. Batasan di dalam gambar 2.5 tidak absolut desainer

juga harus mempertimbangkan biaya selama umur pelayanan terendah, batasan

dan kepraktisan konstruksi. Tabel pemilihan jenis perkerasan sebagai berikut:

Gambar 2.5 Pemilihan Jenis Perkerasan

6. Menentukan subgrade yang seragam dan daya dukung subgrade

Panjang rencana jalan harus dibagi dalam segmen – segmen yang seragam

(homogen) yang mewakili kondisi pondasi jalan yang sama:

a. Apabila data yang cukup valid tersedia (minimal 163 data pengujian per

segmen yang dianggap seragam), formula berikut dapat digunakan :

CBR karakteristik = CBR rata2 – 1.3 x standar deviasi .........................(2.4)

Page 23: Referensi TA

23

Data CBR dari segmen tersebut harus mempunyai koefisien variasi

25% - 30% (standar deviasi/nilai rata-rata).

b. Bila set data kurang dari 16 bacaan maka nilai wakil terkecil dapat digunakan

sebagai nilai CBR dari segmen jalan. Nilai yang rendah yang tidak umum dapat

menunjukkan daerah tersebut membutuhkan penanganan khusus, sehingga

dapat dikeluarkan, dan penanganan yang sesuai harus disiapkan.

7. Menentukan struktur pondasi jalan

Desain pondasi jalan adalah desain perbaikan tanah dasar dan lapis penopang,

tiang pancang mikro atau penanganan lainnya yang dibutuhkan untuk memberikan

landasan pendukung struktur perkerasan lentur.

8. Menentukan struktur perkerasan

Solusi Perkerasan yang banyak dipilih yang didasarkan pada pembebanan dan

pertimbangan biaya terkecil yang ada pada gambar 2.6 sebagai berikut:

Page 24: Referensi TA

24

Gambar 2.6 Desain perkerasan lentur opsi biaya minimum termasuk CTB

Catatan:

Ukuran Gradasi LPA nominal maksimum harus 20 mm untuk tebal lapisan 100 – 150 mm atau 25 mm untuk tebal lapisan 125 – 150 mm.

Hanya kontraktor yang cukup berkualitas dan memiliki akses terhadap peralatan yang sesuai dan keahlian yang diijinkan melaksanakan pekerjaan CTB. LMC dapat digunakan sebagai pengganti CTB untuk pekerjaan di area sempit atau jika disebabkan oleh ketersediaan alat.

AC BC harus dihampar dengan tebal padat minimum 50 mm dan maksimum 80 mm. HRS tidak cocok untuk gradien curam atau daerah perkotaan dengan lalu lintas melebihi 1 juta

ESA4.

Dan pada gambar 2.7 merupakan desain perkerasan lentur alternatif yang

digunakan jika HRS dan CTB sulit untuk dilaksanakan, namun desain perkerasan lentur

tetap lebih mengutamakan desain menggunakan gambar 2.6.

Page 25: Referensi TA

25

Gambar 2.7 Desain perkerasan lentur alternatif

9. Periksa dengan menggunakan Pt-T-01-2002-B

Setelah semua perhitungan dilakukan maka hasil perhitungan secara struktur

diperiksa dengan menggunakan Pt-T-01-2002-B.

10. Menentukan standar drainase bawah permukaan yang dibutuhkan

Drainase bawah permukaan (sub surface pavement drainage) harus disediakan

untuk memenuhi ketentuan-ketentuan berikut:

Seluruh lapis pondasi bawah (sub base) harus dapat mengalirkan air.

Desain pelebaran perkerasan harus menjamin tersedianya drainase yang

memadai dari lapisan berbutir terbawah pada perkerasan eksisting.

Lapis terbawah perkerasan harus dapat mengalirkan air atau tebal lapis

perkerasan berbutir efektif harus dikalikan dengan faktor m. Jalur air dengan

batas timbunan paling tidak 500 m dari lapisan berbutir ke tepi timbunan (titik

free drainage) harus dianggap dapat mengalirkan air. Drainase melintang pada

titik rendah atau pada pusat 10 m harus dianggap memberikan free drainage

pada subbase.

Page 26: Referensi TA

26

Apabila ketinggian sub base lebih rendah dari pada ketinggian permukaan tanah

sekitarnya, baik di daerah timbunan ataupun di permukaan tanah asli, maka

harus dipasang drainase bawah permukaan (bila memungkinkan keadaan

ini dapat dihindari dengan desain geometris yang baik), bila drainase bawah

permukaan tidak tersedia atau jika muka air tanah lebih tinggi dari 600 mm

dibawah tanah dasar maka harus digunakan penyesuaian dengan faktor “m”

untuk tebal lapis berbutir sesuai AASHTO 93 pasal 2.4.1.

Drainase bawah permukaan harus disediakan didekat saluran U dan struktur

lain yang menutup aliran air dari setiap lapisan sub base. Lubang kecil

(weep holes) harus ditempatkan secara benar selama konstruksi namun tidak

dapat dijadikan satu – satunya metode yang dilakukan. Secara umum drainase

bawah permukaan harus diupayakan untuk disediakan.

Drainase bawah permukaan harus ditempatkan pada kemiringan yang seragam

tidak kurang dari 0,5% sehingga air akan mengalir dengan bebas sepanjang

drainase sampai ke titik keluar (outlet point). Selain itu harus juga tersedia titik

akses untuk membersihkan drainase atau titik pembuangan (discharge point)

pada jarak tidak lebih dari 60 m.

Elevasi titik masuk dan pembuangan drainase bawah permukaan harus lebih

tinggi dari muka banjir rencana sesuai standar desain drainase.

Apabila drainase bawah permukaan tidak dapat diberikan yang umumnya terjadi

pada daerah perkotaan, harus digunakan koefisien “m” pada desain ketebalan lapis

pondasi berbutir sesuai dengan aturan AASHTO 93 pasal 2.4.1 dan gambar 2.8.

Faktor ‘m’ tersebut digunakan untuk check dengan metode AASHTO 1993. Tebal

lapis pondasi berbutir dari gambar 2.6 harus disesuaikan dengan membagi tebal

desain lapis berbutir dengan faktor ‘m’. Nilai yang didapat menjadi tebal desain

lapis pondasi berbutir.

Page 27: Referensi TA

27

Page 28: Referensi TA

28

Gambar 2.8 Koefisien drainase ‘m’ untuk lapis berbutir

11. Menentukan kebutuhan daya dukung tepi perkerasan

Struktur perkerasan memerlukan daya dukung tepi yang cukup, terutama bila

terletak pada tanah lunak atau tanah gambut. Ketentuan daya dukung tepi harus

dinyatakan secara terinci di dalam gambar gambar kontrak (drawings).

Ketentuan minimum adalah:

Setiap lapis perkerasan harus dipasang sampai lembar yang sama atau lebih dari

nilai minimum yang dinyatakan dalam gambar 2.9 dan 2.10

Timbunan tanpa penahan pada tanah lunak (CBR < 2%) atau tanah gambut harus

dipasang pada kemiringan tidak lebih curam dari 1V : 3H

Page 29: Referensi TA

29

Gambar 2.9 Dukungan terhadap tepi perkerasan

Gambar 2.10 Detail dukungan terhadap tepi perkerasan

Lapisan penopang dan peningkatan tanah dasar harus diperpanjang sama ke

bawah median sebagaimana dalam gambar 2.9. Area median harus terdrainase baik atau

diisi dengan lean mix concerete atau dengan bahan pengisi kedap untuk menghindari

pengumpulan air dan merusak tepi perkerasan.

2.5 Prosedur Perancangan Pt-T-01-2002-B

Pada Manual Desain Perkerasan Jalan Nomor 02/M/BM/2013 perhitungan

perkerasan dilakukan pemeriksaan dengan menggunakan pedoman perkerasan jalan Pt-

T-2002-B.

Page 30: Referensi TA

30

Pedoman perkerasan jalan Pt-T-2002-B yaitu perancangan tebal perkerasan lentur

yang meliputi ketentuan umum perancangan uraian deskripsi, ketentuan teknis

perancangan, metode perancangan, dan contoh-contoh perancangan. Perancangan tebal

perkerasan yang diuraikan dalam pedoman ini hanya berlaku untuk konstruksi

perkerasan yang menggunakan material bergradasi lepas (granular material dan batu

pecah) dan berpengikat.

Petunjuk perancangan ini digunakan untuk :

Perancangan perkerasan jalan baru;

Perancangan pelapisan tambah (Overlay);

Perancangan konstruksi bertahap (Stage Construction).

Dalam menggunakan pedoman perancangan tebal perkerasan lentur ini, penilaian

terhadap kekuatan perkerasan jalan yang ada harus terlebih dahulu meneliti dan

mempelajari hasilhasil pengujian di laboratorium dan lapangan. Penilaian ini

sepenuhnya tanggung jawab perencana, sesuai dengan kondisi setempat dan

pengalamannya. Cara-cara perancangan tebal perkerasan, selain yang diuraikan dalam

pedoman ini dapat juga digunakan, dengan syarat dapat dipertanggungjawabkan

berdasarkan hasil-hasil pengujian para ahli.

Kriteria Perancangan Pedoman perkerasan jalan Pt-T-2002-B, yaitu:

a. Lalu-lintas

• Angka Ekivalen Beban Gandar Sumbu Kendaraan (E)

Angka eivalen (E) masing-masing golongan beban gandar sumbu (setiap

kendaraan) ditentukan dan untuk roda tunggal karakteristik beban yang

berlaku agak berbeda dengan roda ganda.

• Reliabilitas

Konsep reliabilitas merupakan upaya untuk menyertakan derajat kepastian

(degree of certainty) ke dalam proses perancangan untuk menjamin

bermacam-macam alternative perancangan akan bertahan selama selang waktu

yang direncanakan (umur rencana).

Page 31: Referensi TA

31

Faktor perancangan reliabilitas memperhitungkan kemungkinan variasi

perkiraan lalu-lintas (w18) dan perkiraan kinerja (w18), dan karenanya

memberikan tingkat reliabilitas (R) dimana seksi perkerasan akan bertahan

selama selang waktu yang direncanakan. Pada umumnya, dengan

meningkatnya volume lalu-lintas dan kesukaran untuk mengalihkan lalu-lintas,

resiko tidak memperlihatkan kinerja yang diharapkan harus ditekan.

• Lalu Lintas Pada Lajur Rencana

Lalu lintas pada lajur rencana (w18) diberikan dalam kumulatif beban gandar

standar. Untuk mendapatkan lalu lintas pada lajur rencana ini digunakan

perumusan berikut ini :

w18 = DD x DL x ŵ18

Dimana :

DD = faktor distribusi arah.

DL = faktor distribusi lajur.

ŵ18 = beban gandar standar kumulatif untuk dua arah.

b. Kualitas drainase

Kualitas drainase pada perkerasan lentur diperhitungkan dalam perancangan

dengan menggunakan koefisien kekuatan relatif yang dimodifikasi. Faktor

untuk memodifikasi koefisien kekuatan relatif ini adalah koefisien drainase

(m) dan disertakan ke dalam persamaan Indeks Tebal Perkerasan (ITP)

bersama-sama dengan koefisien kekuatan relatif (a) dan ketebalan (D).

c. Indeks Permukaan (IP)

Indeks permukaan ini menyatakan nilai ketidakrataan dan kekuatan perkerasan

yang berhubungan dengan tingkat pelayanan bagi lalu-lintas yang lewat.

Adapun beberapa ini IP beserta artinya adalah seperti yang tersebut di bawah

ini :

IP = 2,5 : menyatakan permukaan jalan masih cukup stabil dan baik.

IP = 2,0 : menyatakan tingkat pelayanan terendah bagi jalan yang masih

mantap.

Page 32: Referensi TA

32

IP = 1,5 : menyatakan tingkat pelayanan terendah yang masih mungkin (jalan

tidak terputus).

IP = 1,0 : Menyatakan permukaan jalan dalam keadaan rusak berat sehingga

sangat mengganggu lalu-lintas kendaraan.

d. Koefisien Kekuatan Relatif (a)

Pedoman ini memperkenalkan korelasi antara koefisien kekuatan relatif

dengan nilai mekanistik, yaitu modulus resilien. Berdasarkan jenis dan fungsi

material lapis perkerasan, estimasi Koefisien Kekuatan Relatif dikelompokkan

ke dalam 5 katagori, yaitu : beton aspal (asphalt concrete), lapis pondasi

granular (granular base), lapis pondasi bawah granular (granular subbase),

cement-treated base (CTB), dan asphalt-treated base (ATB).

Diadopsi dari Metode AASHTO 1993 dengan langkah-langkah perancangan

sebagai berikut:

a. Menentukan Indeks Permukaan awal (IP0) yaitu kinerja struktur perkerasan

dengan menggunakan tabel khusus untuk jenis perkerasan yang

dipergunakan untuk lapis permukaan.

Dalam menentukan indeks permukaan pada awal umur rencana (IP0) perlu

diperhatikan jenis lapis perkerasan pada awal umur rencana sesuai dengan

gambar 2.11.

Gambar 2.11 Indeks Permukaan pada Awal Umur Rencana (IPo)

b. Menentukan Indeks Permukaan akhir (IPt) sesuai Metode Pt T-01-2002-B

yang mempunyai lebih banyak pilihan nilai dibandingkan dengan Metode

AASHTO 1993.

Page 33: Referensi TA

33

Dalam menentukan indeks permukaan pada akhir umur rencana (IPt), perlu

dipertimbangkan faktor-faktor klasifikasi fungsional jalan.

Gambar 2.12 Indeks Permukaan pada Akhir Umur Rencana (IPt)

c. Mengasumsikan nilai SN yang digunakan untuk menentukan angka

ekivalen.

d. Menentukan angka ekivalen setiap jenis kendaraan dengan terlebih dahulu

menentukan angka ekivalen masing-masing sumbu.

Angka ekuivalen (E) asing-masing golongan beban gandar sumbu (setiap

kendaraan) ditentukan menurut tabel pada Lampiran. Tabel ini hanya berlaku

untuk roda ganda. Untuk roda tunggal karakteristik beban yang berlaku agak

berbeda dengan roda ganda. Untuk roda tunggal rumus berikut ini harus

dipergunakan.

Angka ekivalenrodatunggal= ¿]4...............(2.5)

e. Menentukan faktor distribusi arah (DA) jika volume lalulintas yang

tersedia dalam 2 arah DA berkisar antara 0,3–0,7. Untuk perancangan pada

umumnya diambil nilai DA senilai 0,5.

f. Menentukan faktor distribusi lajur (DL) yaitu faktor distribusi ke lajur

rencana.

Page 34: Referensi TA

34

Gambar 2.13 Faktor Distribusi Lajur (DL)

g. Menghitung lintas ekivalen selama umur rencana (W18).

W18 = DD x DL x W18...............................................................................(2.6)

Dimana :

DD = faktor distribusi arah.

DL = faktor distribusi laju

W18= beban gandar standar kumulatif untuk dua arah

h. Menentukan Reabilitas/reability, tingkat reabilitas tinggi menunjukan jalan

yang melayani lalulintas paling banyak, sedangkan tingkat yang paling

rendah yaitu 50% menunjukan jalan lokal.

Gambar 2.14 Rekomendasi tingkat reliabilitas untuk bermacam-macam klasifikasi jalan.

i. Menentukan MR tanah dasar berdasarkan korelasi dengan nilai

CBR segmen.

j. Menentukan nilai SN (inci) dengan menggunakan nomogram, nilai SN

harus sama dengan SN yang telah diasumsikan diawal, apabila nilai SN

belum sama maka langkah perancangan diulang kembali mulai dari

Page 35: Referensi TA

35

asumsi nilai SN. Nomogram perkerasan lentur bisa dilihat pada Gambar 2.15

sebagai berikut:

Page 36: Referensi TA

36

Gambar 2.15 Nomogram untuk perancangan tebal perkerasan lentur

k. Menentukan koefisien drainase lapis pondasi dan lapis pondasi bawah.

Gambar 2.16 Koefisien drainase (m) untuk memodifikasi koefisien kekuatan relatif material untreated base dan subbase pada perkerasan lentur.

l. Menentukan tebal minimum masing-masing perkerasan.

Page 37: Referensi TA

37

Gambar 2.17 Tebal minimum lapis permukaan berbeton aspal dan lapis

fondasi agregat (inci)

2.6 SDPJL 1.0 (Software Desain Perkerasan Jalan Lentur)

Software Desain Perkerasan Jalan Lentur adalah alat bantu perancangan teknis

perkerasan jalan dengan menggunakan komputer yang pada mulanya dikembangkan

oleh Central Design Office BIPRAN pada tahun 1983 (RDS). Kemudian seiring dengan

perkembangan teknologi komputer, teknologi perkerasan jalan dan perkembangan

spesifikasi, maka software perancangan perkerasan jalan dimodifikasi disesuaikan

dengan kebutuhan.

Software Desain Perkerasan Jalan Lentur merupakan pemutakhiran perangkat

lunak sebelumnya yaitu Roads Design System (RDS), dengan bantuan komputer yang

dapat berdiri sendiri dan dapat menampung perubahan dan perkembangan pemakaian

material dan spesifikasi yang digunakan.

SDPJL ini hanya sebagai alat bantu perhitungan perencana dalam proses

mendesain perkerasan jalan lentur yang merujuk pada Pedoman Interim Desain

Perkerasan Jalan Lentur No 002/P/BM/2011. Dalam aplikasinya pemakai perangkat

lunak ini masih memerlukan data dan perhitungan secara manual dan secara mandiri

harus melakukan pertimbangan teknik terhadap keluarannya, sehingga menjadi desain

yang sesuai dengan kebutuhan.

2.6.1 Prinsip Utama dari Software Desain Perkerasan Jalan Lentur

Beberapa prinsip utama dari software ini antara lain:

Page 38: Referensi TA

38

1. Penyeragaman dalam metoda pengambilan data lapangan dan metoda

perancangan untuk seluruh Indonesia, sehingga memudahkan dan mempercepat

pemantauan (monitoring).

2. Koordinasi pekerjaan lebih mudah, sehingga seluruh pekerjaan diharapkan dapat

diselesaikan sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan dan dikerjakan sesuai

dengan metoda yang ditetapkan.

3. Seluruh kegiatan Perancangan sampai dengan tahap PHO dapat disimpan dalam

satu “file perancangan“ dan dapat di link dengan perangkat lunak Analisis Harga

Satuan.

4. Mempermudah perencanan dalam mengerjakan beberapa perancangan konstruksi

perkerasan jalan, (dapat mendesain beberapa alternatif desain dalam waktu yang

bersamaan).

2.6.2 Parameter-parameter Input Perhitungan SDPJL

Desain perkerasan jalan lentur dengan menggunakan software ini, memerlukan

data yang antara lain :

1. Data kekuatan jalan yang ada, yang diperoleh dengan pengukuran B/Beam (untuk

jalan yang beraspal) atau dengan pengukuran CBR subgrade menggunakan alat

Dinamic Cone Penetrometer (untuk jalan tanah, jalan rusak dan pelebaran).

2. Data geometrik Jalan termasuk temperatur perkerasan dan ketebalan aspal

existing.

3. Data sumber material.

4. Harga satuan.

5. Peta lokasi proyek yang menunjukkan secara pasti titik awal dan titik akhir proyek

berikut datumnya.

6. Data perkiraan kebutuhan lapangan lainnya.

7. Data Lalu Lintas.

Page 39: Referensi TA

39

2.6.3 Proses Perancangan Perkerasan Menggunakan SDPJL 1.0

Adapun langkah-langkah perancangan dengan menggunakan program SDPJL 1.0

berdasarkan Pedoman Perancangan Perkerasan Lentur Nomor 02/M/BM/2013 ini

adalah sebagai berikut:

1. Tampilan awal

Tampilan awal merupakan isian data yang terdiri sebagai berikut:

a. Isian, Inputing data isian di isi sesuai dengan kebutuhan lapangan dan untuk

mengisinya ada fasilitas pembantu berupa tanda merah dalam sel (untuk

membantu pengisian). Caranya geser cursor ke arah tanda merah dengan

mempergunakan mouse, sehingga muncul kotak keterangan seperti terlihat pada

gambar 2.18.

b. Pilihan, Di dalam gambar 2.18 terlihat kotak pilihan untuk pengisian (contohnya:

Fungsi Jalan). Cara menentukan pilihan, geser cursor ke pojok kanan kotak

pilihan, tekan mouse pada saat cursor terdapat pada segitiga, kemudian tentukan

pilihan yang dibutuhkan.

Page 40: Referensi TA

40

Page 41: Referensi TA

41

Gambar 2.18 Tampilan Awal Program SDPJL 1.0

2. Tampilan isian data hasil survey

Gambar 2.19 Isian Data Hasil Survey

3. Tampilan kolom AADT Rencana

Diisi dengan kondisi lalu lintas disesuaikan dengan Tabel Koefesien Distribusi

Kendaraan dibuat formulanya.

Contoh pengisian data:

Page 42: Referensi TA

42

Gambar 2.20 Kolom AADT Rencana

4. Tampilan hasil analisis traffik

Gambar 2.21 Hasil Analisis Traffik

5. Tampilan data untuk proses sorting

Page 43: Referensi TA

43

Gambar 2.22 Data untuk Proses Sorting

6. Tampilan pengelompokan data lapangan

Gambar 2.23 Pengelompokan data lapangan

7. Contoh tampilan pengelompokan data lendutan

Page 44: Referensi TA

44

Gambar 2.24 Pengelompokan Data Lendutan

8. Tampilan hasil sort

Gambar 2.25 Hasil Sort

9. Tampilan hasil output

Page 45: Referensi TA

45

Gambar 2.26 Hasil Output

2.6.4 Output Hasil Perancangan SDPJL

Output hasil perancangan SDPJL terdiri dari:

a. Tebal lapisan perkerasan

b. Volume Pekerjaan

c. Analisis Harga Satuan

Untuk mendapatkan perkiraan biaya pekerjaan dapat mempergunakan perangkat

lunak analisis Harga Satuan dengan cara link antar file.

Dalam SDPJL, output yang akan diperoleh masih terbatas pada tebal lapisan

perkerasan dan kuantitas pekerjaan yang berhubungan dengan perkerasan. Untuk

kuantitas pekerjaan pendukung lainnya diperlukan yang lebih rinci dalam dalam lembar

kerja yang ada dalam SDPJL.

Page 46: Referensi TA

46

2.7 Analisis Harga Satuan

Analisis harga satuan ini menguraikan suatu perhitungan harga satuan bahan dan

pekerjaan yang secara teknis dirinci secara detail berdasarkan suatu metode kerja dan

asumsi-asumsi yang sesuai dengan yang diuraikan dalam suatu sfesifikasi teknik dan

komponen harga satuan, baik untuk kegiatan pemeliharaan, maupun peningkatan jalan.

Analisis harga satuan pekerjaan yang akan dilakukan adalah harga satuan bahan,

harga satuan alat dan harga satuan upah. Dari analisis yang dilakukan untuk masing-

masing kelompok, kemudian disatukan menjadi analisis harga satuan pekerjaan. Jumlah

perkiraan biaya proyek dapat dibuat dengan mengalikan kuantitas satuan pekerjaan dan

harga satuan pekerjaan.

Menurut Bina Marga, data harga satuan dasar yang digunakan dalam perhitungan

analisis harga satuan adalah sebagai berikut:

1. Harga pasar setempat pada waktu yang bersangkutan.

2. Harga kontrak untuk barang/pekerjaan sejenis setempat yang pernah dilaksanakan

dengan mempertimbangkan faktor-faktor kenaikan harga yang terjadi.

3. Informasi harga satuan yang dipublikasikan secara resmi oleh Biro Pusat Statistik

(BPS) dan media cetak lainnya.

4. Daftar harga/tarif dan barang/jasa yang dikeluarkan pabrik atau agen tunggal.

5. Daftar harga standar yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang baik pusat

maupun daerah.

6. Data lain yang dapat digunakan.

2.7.1 Harga Satuan Dasar (HSD) Tenaga Kerja

Komponen tenaga kerja berupa upah yang digunakan dalam mata pembayaran

tergantung pada jenis pekerjaan. Faktor yang mempengaruhi harga satuan dasar tenaga

kerja antara lain jumlah tenaga kerja dan tingkat keahlian tenaga kerja. Penetapan

jumlah dan keahlian tenaga kerja mengikuti produktivitas paralatan utama. Suatu

produksi jenis pekerjaan yang menggunakan tenaga manusia pada umumnya

dilaksanakan oleh perorangan atau kelompok kerja yang dilengkapi dengan peralatan

Page 47: Referensi TA

47

yang diperlukan berdasarkan metode kerja yang ditetapkan yang disebut alat bantu serta

bahan yang diolah.

Biaya tenaga kerja standar dapat dibayar dalam sistem hari orang standar atau

jam orang standar. Besarnya sangat dipengaruhi oleh jenis pekerjaan dan lokasi

pekerjaan. Secara lebih rinci faktor tersebut dipengaruhi antara lain oleh :

a. Keahlian tenaga kerja

b. Jumlah tenaga kerja

c. Faktor kesulitan pekerjaan

d. Ketersediaan peralatan

e. Pengaruh lamanya kerja

f. Pengaruh tingkat persaingan tenaga kerja

2.7.1.1 Kualifikasi Tenaga Kerja

Dalam pelaksanaan pekerjaan jalan dan jembatan diperlukan keterampilan yang

memadai untuk dapat melaksanakan suatu jenis pekerjaan. Tenaga kerja yang terlibat

dalam suatu jenis pekerjaan jalan dan jembatan umumnya terdiri dari:

a. Pekerja,

b. Tukang,

c. Mandor,

d. Operator,

e. Pembantu operator,

f. Sopir,

g. Pembantu sopir,

h. Mekanik,

i. Pembantu mekanik,

j. Kepala tukang.

Page 48: Referensi TA

48

2.7.1.2 Standar Upah

Sumber data harga standar upah berdasarkan UMR (Upah Minimum Regional)

didapat dari ketetapan yang dikeluarkan Mentri Tenaga Kerja mengenai besarnya upah

minimum regional yang selalu diadakan peninjauan kembali setiap tahun.

Upah Minimum Regional (UMR) adalah upah pokok terendah termasuk tunjangan

tetap yang diterima oleh pekerja di wilayah tertentu dalam satu provinsi, dan ini adalah

sebagai dasar upah.

Dalam suatu perusahaan, upah minimum regional (UMR) ini akan terjadi pula

sebagai harga dasar upah. Komponen upah dasar tenaga kerja adalah upah berdasar

UMR, disamping tujuan seprti:

a. Makan,

b. Transport,

c. Pengobatan dan pengamanan,

d. Runah atau tempat tinggal sementara atau tempat penampungan sementara para

pekerja selama kegiatan pekerjaan berjalan,

e. Perlengkapan K3 (Kesehatan dan Keselamatan Kerja).

Untuk suatu perusahaan baik yang bergerak di bidang pembangunan atau lainnya,

dasar upah, selain berdasar (UMR), dipertimbangkan pula adanya upah lokal dan upah

mendatangkan tenaga kerja dari luar daerah (lokasi pekerjaan). Upah lokal adalah harga

upah setempat pada waktu yang bersangkutan atau yang terjadi pada waktu itu. Sumber

data upah lokal adalah dari instansi yang berwenag di daerah.

2.7.1.3 Hari Orang Standar (Standard Man Day)

Yang dimaksud dengan pekerja standar di sini adalah pekerja yang bisa

mengerjakan satu macam pekerjaan seperti pekerja galian, pekerja pengaspalan, pekerja

pasangan batu, pekerja las dan lain sebagainya. Dalam sistem pengupahan digunakan

satu satuan upah berupa orang hari standar (Standard Man Day) yang disingkat orang

Page 49: Referensi TA

49

hari (OH) atau man day (MD), yaitu sama dengan upah pekerjaan dalam 1 hari kerja (8

jam kerja termasuk 1 jam istirahat).

2.7.1.4 Jam Orang Standar (Standard Man Hour)

Orang hari standar atau satu hari orang bekerja adalah 8 jam, terdiri dari 7 jam

kerja (efektif) dan satu jam istirahat. Apabila perhitungan upah dinyatakan dengan upah

orang per jam (OJ) maka upah orang per jam dihitung sebagai berikut:

Upah orang per jam (OJ )=upah orang per hari7 jam kerja

................................... (2.7)

Bila diperoleh data upah pekerja per bulan, maka upah jam orang pada rumus

(2.7) dapat dihitung dengan membagi upah per bulan dengan jumlah hari efektif selama

satu bulan (24-26) hari kerja dan dengan jumlah 7 jam kerja efektif selama satu hari.

2.7.1.5 Koefisien dan Jumlah Tenaga Kerja

Jumlah jam kerja merupakan koefisien tenaga kerja atau kuantitas jam kerja per

satuan pengukuran. Koefisien ini adalah faktor yang menunjukkan lamanya pelaksanaan

dari tenaga kerja yang diperlukan untuk menyelesaikan satu satuan volume pekerjaan.

Faktor yang mempengaruhi koefisien tenaga kerja antara lain jumlah tenaga kerja dan

tingkat keahlian tenaga kerja. Penetapan jumlah dan keahlian tenaga kerja mengikuti

produktivitas peralatan utama.

Jumlah tenaga kerja tersebut adalah relatif tergantung dari beban kerja utama

produk yang dianalisis. Jumlah total waktu digunakan sebagai dasar menghitung jumlah

pekerja yang digunakan. Rasio antara mandor dengan pekerja paling kecil 1:20 atau

pada kondisi tertentu adalah 1:10. Rasio antara kepala tukang dan tukang adalah sekitar

1:10.

Page 50: Referensi TA

50

2.7.2 Harga Satuan Dasar (HSD) Alat

2.7.2.1 Masukan Untuk Perhitungan Biaya Alat

Komponen alat digunakan dalam mata pembayaran tergantung pada jenis

pekerjaannya. Faktor yang mempengaruhi harga satuan dasar alat anatara lain: jenis

peralatan, efesiensi kerja, kondisi cuaca, kondisi medan, dan jenis material/bahan yang

dikerjakan. Jika beberapa jenis peralatan yang digunakan

untuk pekerjaan secara mekanis dan digunakan dalam mata pembayaran tertentu,

maka besarnya suatu produktivitas ditentukan oleh peralatan utama yang digunakan

dalam mata pembayaran tersebut. Berikut ini masukan yang diperlukan dalam

perhitungan biaya alat pers atuan waktu.

a. Jenis alat

Jenis alat yang dipergunakan dalam satu mata pembayaran disesuaikan dengan

ketentuan yang tercantum dalam spesifikasi teknis. Pada umumnya satu jenis

peralatan hanya mampu melaksanakan satu jenis kegiatan pelaksanaan pekerjaan.

b. Tenaga mesin

Tenaga mesin (Pw) merupakan kapasitas tenaga mesin penggerak dalam satuan

tenaga kuda atau horsepower.

c. Kapasitas alat

Kapasitas alat adalah kapasitas peralatan (Cp) yang dipergunakan, misalnya AMP

5ton/jam (kapasitas produksi per jam). Ada beberapa peralatan yang bisa berdiri

sendiri dalam operasinya, tapi ada peralatan yang bergantung pada peralatan lain

seperti misalnya dum truck, yang tidak bisa mengisi muatannya sendiri, harus diisi

memakai loader atau excavator. Jadi isi muatan bak dump truck tergantung pada

berapa banyak yang bisa di tumpahkan oleh pengisinya (loader atau excavator)

d. Umur ekonomi alat

Umur ekonomis peralatan (A) dapat dihitung berdasarkan kondisi penggunaan dan

pemeliharaan yang normal, menggunakan standard dari pabrik pembuat. Setiap

Page 51: Referensi TA

51

peralatan selama pemakaiannya (operasinya) membutuhkan sejumlah biaya, yaitu

biaya untuk operasi sesuai fungsinya dan biaya pemeliharaan (termasuk

perbaikan) selama operasi. Setiap jenis peralatan mempunyai umur ekonomis

sendiri-sendiri yang berbeda antara satu jenis peralatan lainnya. Biasanya

dinyatakan dalam tahun pengoprasian.

Umur ekonomis suatu peralatan dapat berubah (menjadi lebih singkat) yang

diakibatkan antara lain karena cara pengoprasian yang tidak baik dan tidak benar

serta pemeliharaan dan perbaikannya tidak baik.

e. Jam kerja alat per tahun

Pada peralatan yang bermesin maka jam peralatan atau jam pemakaian peralatan

akan dihitung dan di catat sejak mesin dihidupkan sampai mesin dimatikan.Selama

waktu (jam) pelaksanaan kegiatan pekerjaan maka peralatan tetap dihidupkan,

kecuali generating set (gen set) yang selalu tetap dihidupkan, untuk peralatan

tidak bermesin maka jam pemakaiannya sama dengan jam pelaksanaan kegiatan

pekerjaan.

f. Harga pokok alat

Harga pokok perolehan alat (B) yang dipakai dalam perhitungan biaya sewa alat

atau pada analisis harga satuan dasar alat. Harga yang tercantum dapat terjadi

melalui persyaratan jual beli apakah barang tersebut loko gudang, fraco gudang,

free on board, serta kadang-kadang penjual harus menanggung cost, freight, and

insurance atas barang yang dikirim.

g. Nilai sisa alat

Nilai sisa peralatan (C) atau bisa disebut nilai jual kembali (resale value) adalah

perkiraan harga peralatan yang bersangkutan pada akhir umur ekonomisnya.

Untuk perhitungan analisis harga saat ini, nilai sisa alat dapat diambil rata-rata

10% dari pada harga pokok alat, tergantung pada karakteristik (dari pabrik

pembuat) dan kemudian pemeliharaan alat.

Nilai sisa alat : C= 10% harga alat

Page 52: Referensi TA

52

h. Tingkat suku bunga, faktor angsuran modal dan biaya pengembalian modal

Merupakan tingkat suku bunga bank pinjaman infestasi yang berlaku pada waktu

pembelian peralatan yang bersangkutan. Perancangan teknis/pengguna jasa

menentukan nilai suku bunga ini dengan mengambil nilai rata-rata dari beberapa

bank komersial terutama di wilayah tempat kegiatan pekerjaan berada. Untuk

mendapatkan biaya pengembalian modal menggunakan rumus (7)

D=i ׿¿.............................................................................................(2.8)

E=( B−C ) × D

W..............................................................................................(2.9)

dimana:

A = Umur ekonomis alat

D = Faktor angsuran dan pengembalian modal

E = Biaya pengembalian modal

i = Tngkat suhu bunga pinjaman investasi (% per tahun)

B = Harga pokok alat (rupiah)

C = Nilai sisa alat (%)

W = Jumlah jam kerja alat dalam satu tahun (jam)

i. Angsuran dan pajak

Besarnya nilai angsuran (Ins) dan pajak kepemilikan peralatan ini umumnya

diambil rata-rata per tahun sebesar 0,1% untuk angsuransi dan 0,1% untuk pajak,

atau dijumlahkan sebesar 0,2% dari harga pokok alat, atau 2% dari sisa alat

(apabila nilai sisa alat = 10% dari harga pokok alat). rumus untuk mendapatkan

nilai asuransi dapat dilihat pada persamaan (8)

F= Ins × BW

...................................................................................................

(2.10)

dimana:

F = Asuransi

Page 53: Referensi TA

53

B = Harga pokok alat (rupiah)

Inc = Asuransi(5)

W = Jumlah jam dalam kerja alat dalam satu tahun (jam)

j. Upah tenaga

Upah tenaga kerja dalam perhitungan biaya operasi peralatan disisni terdiri atas

biaya upah tenaga kerja dalam satuan Rp./jam. Untuk mengoprasikan alat

diperlukan opertor dan pembantu operator.

k. Harga bahan bakar dan pelumas

Harga bahan bakar (H) dan minyak pelumas maupun minyak hidrolik (I), dalam

perhitungan biaya53 operasi peralatan adalah harga umum yang ditetapkan

pemerintah setempat.

2.7.2.2 Proses Perhitungsn Harga Satuan Dasar Alat

Komponen dasar poses harga satuan dasar alat, tediri atas:

A) Biaya pasti, (owning cost)

Biaya pasti, (owning cost) adalah biaya pengembalaian modal dan bunga setiap

tahun, dihitung sebagai berikut:

G=( E+F)× D

W+ Ins × B

W=

(B−C )× D+(Ins× D)W

.........................................(2.11)

dimana :

G = biaya pasti per jam

B = Harga pokok alat setempat

C = Nilai sisa alat

D = Faktor angsuran dan pengembalian modal

E = Faktor angsuran dan pengembalian modal

F = Biaya asuransi, pajak dan lain-lain per tahun

Page 54: Referensi TA

54

= 0,002 x B atau

= 0,02 x C

W = Jumlah jam kerja alat dalam satu tahun

B) Biaya tidak pasti atau biaya operasi

1. Komponen biaya operasi

komponen biaya operasi tiap unit peralatan dihitung berdasarkan bahan

tang diperlukan sebagai berikut:

a. Biaya bahan bakar (H)

Kebutuhan bahan bakar tiap jam (H) dihitung berdasarkan data tenaga

kerja mesin penggerak sesuai yang tercantum dalam manual pemakaian

bahan bakar yang digunakan untuk proses produksi (misalnya untuk

pengeringan/ pemanasan agregat atau pemanasan aspal pada AMP, serta

pemanasan permukaan perkerasan pada Hot Recycler).

b. Biaya minyak pelumas (I)

Minyak pelumas (I) yang meliputi minyak pelumas mesin (I), minyak

pelumas hidrolik, pelumas transmisi, Tongue Converter, power steering,

gemuk (grease) dan minyak pelumas lainnya, kebutuhan per jam dihitung

berdasarkan kebutuhan jumlah minyak pelumas diabagi tiap berapa berapa

jam minyak pelumas yang bersangkutan harus diganti sesuai manual

pemeliharaan dari pabrik pembuat.

c. Biaya bengkel (J)

Pemeliharaan perawatan rutin (J) seperti pengganti saringan udara,

saringan bahan bakar, saringan pelumas serta perbaikan ringan lainnya.

d. Biaya perawatan atau perbaikan

Biaya perbaikan (K) ini meliputi:

- Biaya penggantian ban (untuk peralatan yang memakai roda ban)

Page 55: Referensi TA

55

- Biaya penggantian komponen-komponen yang aus (yang penggantiannya sudah

dijadwalkan) seperti swing dan fixed jaw pada jaw crusher, cutting edge pada

pisau buldozer, saringan (screen) pada stone crusher dan AMP

- Penggantian batre i accu

- perbaikan undercarriage dan attachment

- biaya bengkelUpah operator/driver

e. Upah operator/ driver (L) dan pembantu operator/driver (M)

Besarnya upah untuk operator/driver (M) dan pembantu operator/ driver

(L) diperhitungkan sesuai dengan “besar perhitungan upah kerja”, tetapi

upah per jam diperhitungkan upah 1 (satu) jam kerja efektif

2. perhitungan biaya operasi

Perhitungan cara pendekatan dengan rumus rata-rata untuk biaya tidak

pasti atau biaya operasi adalah sebagai berikut

a) Biaya bahan bakar (H)

Banyakaknya bahan bakar per jam yang digunakan oleh mesin penggerak

dan tergantung pada besarnya kapasitas tenaga mesin, biasanya diukur

dengan satuan HP (Horse Power)

H=(12,00 s /d 15,00)% xHP..................................................(2.12)

dimana:

H = banyaknya bahan bakar yang dipergunakan dalam 1

(satu) jam dengan satuan liter/jam

HP = Horse power, kapasitas tenaga mesin penggerak

12,00% = Untuk alat yang bertugas ringan

15,00% = Untuk alat yang bertugas berat

b) Biaya minyak pelumas

Banyaknya minyak pelumas (termasuk pemakaian minyak yang lain serta

grease) yang dipergunakan oleh peralatan yang bersangkutan dihitung

dengan rumus dan berdasarkan kapasitas tenaga mesin

Page 56: Referensi TA

56

I=(2,5 s /d3)% x HP..............................................................(2.13)

dimana :

I = banyaknya minyak pelumas yang dipakai dalam 1 (satu)

jam dengan satuan liter/jam

HP = kapasitas tenaga mesin (Horse power)

2,5% = untuk pemakaian ringan

3% = untuk pemakaian berat

c) Biaya bengkel (J)

Besarnya biaya bengkel (workshop) tiap jam dihitung sebagai berikut:

J=(6,25 s/d 8,75)% x BW .....................................................(2.14)

dimana :

B = harga pokok alat setempat

W = jumlah jam kerja alat dalam satu tahun

6,25% = untuk pemakaian ringan

8,75% = untuk pemakaian berat

d) Biaya perbaikan (K)

Untuk menghitung biaya perbaikan termasuk penggantian suku cadang

yang aus dipakai rumus:

K=(12,5 s /d 17,5)% x B/W .................................................(2.15)

dimana :

B = harga pokok alat setempat

W = jumlah jam kerja alat dalam satu tahun)

dimana :

P = Biaya operasi

H = bnayaknya bahan bakar yang digunakan dalam 1 jam

dengan satuan liter/jam

I = Banyaknya minyak pelumas yang dipakai dalam 1

jam dengan satuan liter/jam

Page 57: Referensi TA

57

J = Besarnya biaya bengkel (workshop) tiap jam

K = Biaya perbaikan termasuk penggantian suku cadang yang

aus

L = Upah operator atau diver

M = Upah pembantu Operator atau pembantu driver

2.7.2.3 Keluaran (Output) HSD Alat

Keluaran harga satuan alat (S) adalah harga satuan dasar alat yang meliputi

biaya pasti (G), biaya tidak pasti atau biaya operasi (P), harga satuan dasar alat didapat

dengan:

S=G+P.................................................................................................(2.16)

Keluaran harga satuan dasaralat ini selanjutnya merupakan masukan (input) untuk

proses analisis harga satuan pekerjaan (HSP)

2.7.2.4 Alat Bantu

Di samping peralatan mekanis, hampir semua nomor mata pembayaran

memerlukan alat bantu manual, seperti: cangkul, sekop, gerobak sorong, keranjang,

timba dan lain-lain. Alat bantu tersebut jumlah dan harganya relatif kecil, sehingga

untuk memudahkan snalisis, alat bantu manual tidak dianalisis, dan dalam contoh

perhitungkan analisis harga satuan pekerjaan, harga alat bantu diisi dengan angka nol.

2.7.3 Harga Satuan Dasar (HSD) Bahan

Faktor yang mempengaruhi harga satuan dasar bahan antara lain adalah kualitas,

kuantitas dan lokasi asal bahan. Faktor-faktor yang berkaitan dengan kuantitas dan

kualitas bahan harus ditetapkan dengan mengacu pada spesifikasi yang berlaku.

Data satuan dasar bahan dalam perhitungan analisis ini berfungsi untuk kontrol

terhadap harga penawaran kontraktor. Harga datuan dasar bahan daat dikelompokkan

menjadi tiga bahan yaitu:

Page 58: Referensi TA

58

a. Harga satuan dasar bahan baku, misal: batu, pasir, semen, baja tulangan, dan lain-

lain

b. Harga satuan dasar bahan olahan, misal: agregat kasar dan agregat

halus, campuran beton semen, campuran semen, dan lain-lain.

c. Harga satuan dasar bahan jadi, misal tiang pancang beton pracetak, geosintetik dan

lain-lain

Harga pokok bahan dapat terjadi melalui persyaratan jual beli. Masukan (input)

harga bahan yang dibutuhkan dalam proses perhitungan HSD bahan yaitu harga

komponen bahan per satuan pengukuran. Satuan pengukuran bahan tersebut misalnya

m, m2, m3, kg, ton, zak dan sebagainya. Untuk pekerjaan bangunan jalan, jembatan, dan

bangunan air, pada umumnya memerlukan alat secara mekanis terutama memproduksi

bahan olahan dan proses pelaksanaan pekerjaan dilapangan, sebagian kecil memerlukan

pekerjaan secara manual.

2.7.3.1 Harga Satuan Dasar Bahan Baku

Bahan baku biasanya diperhitungkan dari sumber bahan (quarry), tetapi dapat

pula diterima di base camp atau di gudang setelah memperhitungkan ongkos bongkar

muat dan pengangkutannya. Survei bahan baku biasnya dilakukan terlebih dahulu untuk

mengetahui jarak lokasi sumber dan pemenuhan terhadap spesifikasinya, kemudian

diberi keterangan, misal: harga bahan di quarry (batu kali, pasir, dll) atau harga bahan

diambil dari pabrik atau gudang grosir (semen, aspal, besi dan sebagainya).

2.7.3.2 Harga Satuan Dasar Bahan Olahan

Bahan olahan merupakan hasil produksi di plant (pabrik) atau dibeli dari

produsen diluar kegiatan pekerjaan. Bahan olahan misalnya agregat atau batu pecah

yang diambil dari bahan baku atau bahan dasar kemudian diproses dengan alat mesin

pemecah batu menjadi material menjadi beberapa fraksi. Melalui proses penyaringan

Page 59: Referensi TA

59

atau pencampuran beberapa fraksi bahan dapat dihasilkan menjadi agregat kelas A dan

kelas B, sebagai bahan pondasi jalan.

Lokasi tempat proses pemecahan bahan biasanya di base camp atau di lokasi

khusus, sedangkan unit produksi campuran aspal (asphalt mixing plant) atau unit

produksi campuran beton semen (concrete batch plant) umumnya berdekatan dengan

lokasi mesin pemecah batu (stone crusher), agar dapat mensuplai agregat lebih mudah

Dalam penetapan harga satuan dasar bahan olahan di lokasi tertentu, khususnya

untuk agregat, ada tiga tahapan yang harus dilakukan, yaitu: masukan, proses dan

keluaran.

a) Masukan

1. Jarak quarry (bila sumber bahan baku diambil dari quarry) km

2. Harga satuan dasar tenaga kerja

3. harga satuab dasar alat

4. harga satuan dasar bahan baku atau bahan dasar

5. kapasitas alat, merupakan kapasitas dari alat yang dipergunakan, misalnya alat

pemecah batu (stone crusher) dalam ton per jam, dan Wheel Loader dalam m3

heaped (kapasitas bucket)

6. Faktor efesiensi alat

Faktor-faktor yang mempengaruhi proses produksi diantaranya adalah: faktor

operator, faktor peralatan, faktor cuaca, faktor kodisi medan/lapangan, faktor

manajemen kerja

Untuk memberikan estimasi besaran pada setiap faktor di atas adalah sulit

sehingga untuk mempermudah pengambilan nilai yang digunakan, faktor-faktor

tersebut digabungkan menjadi satu yang merupakan faktor kondisi kerja secara

umum. Selanjutnya faktor tersebut digunakan sebagai faktor efisiensi kerja alat

(Fa). Faktor efesiensi dapat dilihat pada Tabel 2.3, tetapi tabel tersebut tidak

disarankan bila kondisi operasi dan pemeliharaan mesin adalah buruk.

Tabel 2.3 Faktor Efisiensi Alat

Page 60: Referensi TA

60

7. Faktor kehilangan bahan

Faktor untuk memperhitungkan bahan yang tercecer pada saat diolah dan di

pasang. Faktor kehilangan bahan curah dan kemasan pada pekerjaan berbasis

semen atau beton semen dapat dilihat pada Tabel 2.4

Tabel 2.4 Faktor Kehilangan Bahan Curah dan Kemasan pada Pekerjaan Berbasis Semen atau Beton Semen

(Sumber: AHSP, 2013)

b) Proses

Proses perhitungan dapat dilakukan secara manual atau menggunakan perangkat

lunak secara sederhana dengan microsoft office, Excel, sesuai dengan rumus di atas.

c) Keluaran

Proses perhitungan di atas akan menghasilkan harga satuan dasar bahan, misal:

untuk agregat kasar dan agregat halus sebagai keluaran. Harga satuan dasar bahan

olahan ini merupakan masukan dalam proses perhitungan analisis harga satuan

pekerjaan.

Kondisi OperasiPemeliharaan Mesin

Baik Sekali Baik Sedang Buruk Buruk Sekali

Baik sekali 0,83 0,81 0,76 0,7 0,63

Baik 0,78 0,75 0,71 0,65 0,6

Sedang 0,72 0,69 0,65 0,6 0,54

Buruk 0,63 0,61 0,57 0,52 0,45

Buruk sekali 0,53 0,5 0,47 0,42 0,32

Bentuk Bahan Faktor Kehilangan (%)

Semen 1,00 - 2,00

Pasar 5,00 - 10,0

Agregat kasar 5,00 - 10,0

Superplasticizer 1,00 - 2,00

Page 61: Referensi TA

61

2.7.3.3 Harga Satuan Dasar Bahan Jadi

Bahan jadi diperhitungkan diterima di base camp/gudang atau dipabrik setelah

memperhitungkan ongkos bongkar muat dan pengangkutannya serta biaya pemasangan

(tergantung perjanjian transaksi)

Untuk harga satuan dasar bahan jadi, harus diberi keterangan harga bahan

diterima sampai di lokasi tertentu, misal lokasi pekerjaan, base camp atau bahan diambil

di pabrik/udang grosir. Bahan jadi dapat berasal dari pabrik/pelabuhan/ gudang

kemudian

diangkut ke lokasi pekerjaan menggunakan tronton/truk, sedang untuk memuat dan

menurunkan barang menggunakan crane atau alat lainnya.

Page 62: Referensi TA

62

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Tahapan Persiapan

Tahapan persiapan yang dilakukan meliputi:

1. Studi Literatur

Mengumpulkan, membaca, dan menganalisis sumber-sumber pustaka yang

ada kaitannya dengan tema penulisan tugas akhir ini, baik melalui buku-buku,

makalah-makalah hasil seminar, jurnal, karya tulis lainnya maupun bahan-bahan

yang didapatkan dari bangku kuliah. Hal ini bertujuan untuk memberikan

pemahaman terhadap permasalahan yang diangkat sehingga didapat landasan teori

yang baik dan dapat dipertanggung jawabkan.

2. Survey Pendahuluan

Merupakan kegiatan survey dilapangan dalam skala kecil sebelum

pengumpulan data untuk menghimpun data-data lapangan secara visual di lokasi

tempat pekerjaan akan dilakukan.

Hal-hal yang dilakukan dalam survey pendahuluan antara lain:

a. Melihat langsung kondisi jalan secara umum

Page 63: Referensi TA

63

b. Menentukan titik awal dan akhir lokasi penelitian

c. Mengambil foto-foto keadaan jalan dan lingkungan di sekitar lokasi penelitian.

3.2 Pengumpulan Data

1. Data Primer

Data primer adalah data-data yang diperoleh langsung dilapangan melalui

hubungan langsung dengan objek penelitian, yaitu berupa kondisi awal

dilapangan.

2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang didapat dari studi pustaka, karya tulis,dan

badan atau instansi pemerintah. Data sekunder yang dikumpulkan berupa:

a. Data Topografi

b. Data tingkat pertumbuhan lalu lintas

c. Daftar harga upah dan bahan.

3.3 Analisis Data

Berdasarkan data primer dan data sekunder, selanjutnya dilakukan analisis untuk

mendapatkan hasil perancangan yang diinginkan, yaitu struktur perkerasan lentur

(Flexible Pavement) jalan yang berdasarkan Manual Desain Perkerasan Jalan Nomor

02/M/BM/2013 Kementrian Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Bina Marga tahun

2013 dan rencana anggaran biaya (RAB).

3.3.1 Analisis Data Menggunakan Manual Desain Perkerasan Jalan

02/M/BM/2013

Menurut Manual Desain Perkerasan Jalan 02/M/BM/2013, langkah analisis

data sebagai berikut:

a. Menetapkan Umur Rencana

Untuk menentukan umur rencana jalan bisa dilihat pada tabel 2.2

Page 64: Referensi TA

64

b. Menentukan Daya Dukung Tanah Dasar

Daya dukung lapisan tanah dasar diukur dengan korelasi dari nilai empiris hasil

penetrometer konusdinamis (Dynamic Cone Penetrometer) yang dikenal dengan

DCP.

Setelah didapat data CBR hasil survey lalu dicari standar deviasi untuk

mendapatkan CBR desain. Untuk mencari nilai Standar Deviasi didapat dengan

rumus:

Maka didapat hasil CBR efektif dengan cara:

CBR karakteristik = CBR rata-rata – 1.3 x standar deviasi

c. Menentukan Nilai CESA4

Menentukan CESA4 pertama-tama harus menentukan nilai lalu lintas harian

rencana (LHR) x VDF.

Setelah mengetahui nilai LHR, maka didapat nilai ESA, lalu dimasukan ke

dalam rumus:

CESA4 = ESA x 365 x R

d. Menentukan nilai Traffic Multiplier (TM)

e. Menentukan nilai CESA5

Nilai CESA tertentu (pangkat 4) untuk desain perkerasan lentur harus dikalikan

denagn nilai TM untuk mendapatkan CESA5.

f. Menentukan Tipe Perkerasan

Pemilihan jenis perkerasan akan bervariasi sesuai estimasi lalu lintas, umur

rencana.

g. Struktur Pondasi Jalan

Untuk menetukan desain struktur pondasi jalan memerlukan data CBR desain

dan CESA5.

h. Menentukan Standar Drainase Bawah Permukaan

Page 65: Referensi TA

65

i. Desain Tebal Perkerasan

Setelah didapat jenis perkerasan kemudian nilai CESA5, maka nilai CESA5

tersebut bertujuan untuk mendapatkan masing-masing tebal perkerasan

3.3.2 Analisis Data Menggunakan SDPJL

Analisis data dengan SDPJL sebagai berikut:

a. Data Input

Untuk input data awal, diperlukan data-data seperti lebar existing, CBR,

temperatur perkerasan aspal, dan tebal lapis aspal existing. Bisa dilihat pada

gambar 2.19.

b. Data Output

Data output merupakan hasil perancangan dengan menggunakan SDPJL yang

kemudian akan mendapatkan tebal perkerasan masing-masing lapisan. Baik itu

Lapis permukaan (AC WC), Lapis sub permukaan 1 (AC Base), Lapis sub

permukaan 2, maupun Lapis pondasi (Agregat A) dan Lapis pondasi bawah

(Agregat B).

3.3.3 Analisis Data Dengan Perhitungan Tebal Perkerasan Menggunakan

Pedoman Pt-T-01-2002-B

Dari hasil pengumpulan data didapatkan sejumlah data berupa data primer

dan data sekunder yang kemudian data-data tersebut dianalisis untuk mendapatkan

desain tebal perkerasan. Langkah – langkahnya sebagai berikut:

Page 66: Referensi TA

66

a. Menentukan Indeks Permukaan

Indeks permukaan menyatakan nilai ketidakrataan dan kekuatan perkerasan yang

berhubungan dengan tingkat pelayanan bagi lalulintas yang lewat. IP merupakan

skala penilaian kinerja struktur perkerasan jalan yang memiliki rentang antara

angka 1sampai 5. Angka 5 menunjukan fungsi pelayanan yang sangat baik dan

angka 1 menunjukan fungsi pelayanan yang sangat buruk. Jenis indeks

permukaan terbagi menjadi dua, yaitu:

1) Menentukan Indeks Permukaan Awal (IPo)

Dalam menentukan indeks permukaan pada awal umur rencana perlu

diperhatikan jenis lapis permukaan perkerasan pada awal umur rencana

2) Menentukan Indeks Permukaan Akhir (IPt)

Dalam menentukan indeks permukaan pada akhir umur rencana, perlu

dipertimbangkan faktor-faktor klasifikasi fungsional jalan.

b. Asumsi Nilai Struktural Number (SN)

Structural Number (SN) merupakan fungsi dari ketebalan lapisan, koefisien relatif lapisan (layer coefficients), dan koefisien drainase (drainage coefficients). Strktural number adalah angka yang menunjukan nilai struktur perkerasan jalan.

c. Menentukan Angka Ekivalen Setiap Jenis Kendaraan

Jenis setiap kendaraan memiliki minimal dua sumbu, yaitu sumbu depan disebut

juga sumbu kendali, dan sumbu belakang atau sumbu penahan beban. Masing-

masing sumbu dilengkapi satu, dua atau tiga roda, yang apabila sumbu

dilengkapi dengan satu roda disebut dengan sumbu singlet atau tunggal, apabila

dilengkapi dengan dua roda disebut sumbu tandem atau ganda dan apabila

dilengkapi dengan 3 roda disebut sumbu triple. Untuk pelaksanaan tebal

perkerasan jalan beban yang diperhitungkan adalah beban yang mungkin terjadi

selama umur rencana atau masa pelayanan jalan.

d. Menentukan Faktor Distribusi Arah (DA)

Faktor distribusi arah dapat ditentukan apabila volume lalulintas yang tersedia

dalam 2 arah.

Page 67: Referensi TA

67

e. Menentukan Faktor Distribusi Lajur (DL)

Faktor distribusi lajur yaitu faktor distribusi ke lajur rencana.

f. Menghitung Repetisi Beban Selama Umur Rencana (W18)

Untuk mendapatkan nilai W18 sebelumnya dicari terlebih dahulu nilai tingkat

pertumbuhan lalulintas (i), nilai Lintas Harian Rata-rata (LHR) dan faktor umur

rencana (N). Kemudian menentukan nilai reliabilitas. Konsep reliabilitas

merupakan upaya untuk menyertakan derajat ketidakpastian kedalam proses

perancangan untuk menjamin berbagai macam alternatif perancangan akan

bertahan selama selang waktu yang direncanakan.

g. Menentukan Daya Dukung Tanah Dasar

Daya dukung lapisan tanah dasar diukur dengan korelasi dari nilai empiris hasil

penetrometer konus dinamis (Dynamic Cone Penetrometer) yang dikenal dengan

DCP. Dari hasil test DCP akan didapat nilai CBR segmen jalan dan akan

dikorelasikan menjadi nilai MR untuk tanah dasar.

h. Menentukan Nilai Modulus Resilient (MR) Masing-Masing Lapisan

Dari nilai CBR dikorelasikan Menjadi MRyang berperan sebagai parameter

penunjuk daya dukung lapisan tanah dasar atau subgrade menggantikan nilai

CBR yang selama ini digunakan dengan perhitungan dibawah ini :

MR =1500 (CBR), MRdalam psi

i. Mencari Nilai SN Dengan Nomogram dan Rumus Log Penentu Nilai SN

Angka Struktural Number (SN) yang diperoleh dengan nomogram harus sama

dengan SN yang asumsikan. Jika SN yang diperoleh tidak sama, maka langkah

diulang kembali mulai dari asumsi SN sampai ditemukan SN hasil hitungan.

j. Menentukan Koefisien Drainase

Pengaruh kualitas drainase dalam proses perancangan tebal lapisan perkerasan

dinyatakan dengan koefisien drainase (m).

k. Menentukan Tebal Minimum Masing – Masing Perkerasan

Page 68: Referensi TA

68

Komposisi lapisan yang direncanakan dalam perancangan perkerasan lentur

dengan menggunakan Pedoman Perancangan Tebal Perkerasan Lentur

(Rancangan 3) ini adalah sebagai berikut:

1) Lapis permukaan/ surface (AC-WC beton aspal dan AC-Base)

2) Lapis pondasi/ base Agregat kelas A (lapis pondasi beraspal)

3) Lapis pondasi bawah/ subbaseAgregat kelas B (lapis pondasi granular)

Setelah melakukan analisis data menggunakan tiga metode tersebut di atas akan

didapatkan tebal perkerasan lentur pada Jalan Tanjung Serdang – Lontar (Kotabaru) Sta.

84+250 s/d 89+250, dari ketiga metode analisis tersebut akan diambil hasil analisis yang

paling efisien dan digunakan dalam perhitungan estimasi biaya.

3.4 Menghitung Anggaran Biaya

Berikut langkah-langkah yang dilakukan untuk melakukan analisa perhitungan

anggaran biaya setelah didapatkan nilai tebal perkerasan lentur pada pada Jalan Tanjung

Serdang – Lontar (Kotabaru) Sta. 84+250 s/d 89+250.

a. Data Proyek

Ada pun data-data Yang didapat pada perancangan ini yaitu sebagai berikut:

- Data Upah Pekerja

Adapun data Upah Pekerja yang di pakai pada berdasarkan HSPK (Harga

Satuanan Pokok Kegiatan) di Kotabaru Tahun 2014.

- Data Harga Material

Adapun data harga material di dapat berdasarkan HSPK (Harga Satuanan

Pokok Kegiatan) di Kotabaru Tahun 2014.

- Data Volume Pekerjaan

Adapun data volume pekerjaan pembangunan Jalan Tanjung Serdang –

Lontar (Kotabaru) Sta. 84+250 s/d 89+250.

Page 69: Referensi TA

69

b. Analisa Harga Satuan SNI

Menganalisa pekerjaan untuk perhitungan kebutuhan bahan, upah dan alat

untuk melaksanakan pekerjaan, analisa pekerjaan ini mengaju dan merujuk ke

SNI seperti di bawah ini :

Koofisien X Harga bahan / upah = jumlah

c. Rekapitulasi Harga Pekerjaan

Setelah didapat jumlah volume pekerjaan jalan dan data lain seperti halnya

harga satuan ataupun data-data yang diperlukan dalam perhitungan analisis

harga satuan, maka dapat dihitung perkiraan harga pekerjaan dengan

menggunakan rumus seperti di bawah ini :

Total biaya pekerjaan = volume x harga satuan

Setelah melakukan perhitungan sesuai dengan rumus tersebut, maka akan

didapatkan rekapitulasi harga pekerjaan pada pembangunan Jalan Tanjung

Serdang – Lontar (Kotabaru) Sta. 84+250 s/d 89+250.

3.5 Bagan Alir

Bagan Alir (flowchart) adalah bagan (chart) yang menunjukkan alir (flow) di

dalam suatu program atau prosedur sistem secara logika. Dalam hal ini, dapat dilihat

pada Gambar 3.1 untuk bagan alir perancangan utama dengan ditunjukkan urutan-

urutan sebagai berikut yaitu perancangan, dimulai dari persiapan dan studi literatur,

pengumpulan data yang meliputi data primer dan data sekunder (data tanah/CBR

lapangan dan Lalu-lintas harian/LHR) dan data sekunder (data topografi kondisi

disekitar lapangan, data tingkat pertumbuhan lalu lintas, data curah hujan, dan harga

satuan), setelah itu diteruskan dengan mengolah data dan verifikasi data yang didapat

maka akan didapat perancangan tebal perkerasan tersebut hingga dapat diketahui hasil

dari perancangan. Setelah didapat tebal perkerasan maka dapat dihitung rencana

anggaran biaya (RAB) sehingga didapat kesimpulan akhirnya.

Page 70: Referensi TA

70

Gambar 3.1 Bagan Alir Perancangan Utama

Perkerasan

Perancangan tebal perkerasan lentur dengan Manual Desain

Perkerasan Jalan Nomor 02/M/BM/2013 Kementrian Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Bina Marga tahun

2013

Pengumpulan data

Persiapan dan Studi Literatur

Mulai

Data Sekunder:

a. Data topografib. Data tingkat

pertumbuhan lalu lintas (i)

c. Data harga upah dan bahan

Data Primer:

a. Data CBR lapaganb. Data LHR (lalu

lintas harian rata-rata)

RAB

Selesaii

Kesimpulan

Perancangan tebal perkerasan lentur dibantu program SDPJL (Software Desain Perkerasan

Jalan Lentur)

Perancangan perkerasan lentur jalan, metode yang digunakan adalah Metode

Pt T-01-2002-B

Page 71: Referensi TA

71

Gambar 3.2 Bagan alir perhitungan tebal perkerasan lentur metode manual desain 02/M/BM/2013

Tentukan Nilai TM untuk menentukan

CESA5 = TM x CESA4

Selesai

Desain Bahu Jalan

Standar Drainase Bwh Permukaan Faktor ‘m’ diadopsi dr AASHTO

Check Kecukupan Struktur Relatif terhdp

Pd T-01-2002-B

Hasil mana yg dipilih? Diperlukan Engineering

Penentuan Tebal Lapis Perkerasan

Struktur Pondasi Jalan

Jenis Perkerasan

Homogeneous Section & Daya Dukung Tanah

Dasar

Penentuan CESA4

ESA = (Σjenis kendaraan LHRT x VDF)

CESA=ESA*365*R

Pengumpulan Analisis data Tanah Dasar

(CBR)

Tentukan Umur Rencana &

Pengumpulan Data Lalu lintas

Mulai

Page 72: Referensi TA

72

Gambar 3.3 Bagan Alir Perancangan PT-T-01-2002-B

Page 73: Referensi TA

73

Gambar 3.4 Bagan Alir SDPJL

Mulai

Selesai

Pengumpulan Data

Data Proyek Data Hasil Survey Lalin, CBR, dan Lapangan

Analisa Lalin, CBR, Dan Data Lapangan

Sorting dan Pengelompokan Data Lapangan

Data Desain (Umur, CBR desain, Lebar dan Panjang Jalan, serta Tinggi Penimbunan)

Tebal Perkerasan

Page 74: Referensi TA

74

Gambar 3.5 Bagan Alir Estimasi Anggaran Biaya

Mulai

Pengumpulan Data

Pengumpulan Daftar Harga Bahan, Tenaga, Upah Bahan dan Alat

Menghitung Volume Pekerjaan

Analisa Harga Satuan Pekerjaan SNI

Hasil Estimasi Biaya (RAB)

Selesai

Page 75: Referensi TA

75

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini akan disajikan analisis data dan perhitungan perancangan tebal

perkerasan dengan menggunakan pedoman perkerasan jalan lentur nomor

02/M/BM/2013, pedoman Pt-T-01-2002-B, dan program SDPJL pada Ruas Jalan

Tanjung Serdang – Lontar (Kotabaru) Sta. 84+250 s/d Sta. 89+25.

Selain membahas tentang perhitungan tebal perkerasan lentur di sini juga

dilakukan perhitungan rencana anggaran biaya (RAB) yang didapat dari hasil

pengumpulan data maka didapatkan sejumlah data penunjang berupa data primer dan

data sekunder yang kemudian data-data tersebut dianalisis untuk mendapatkan desain

tebal perkerasan dan rencana anggaran biaya pada Ruas Jalan Tanjung Serdang – Lontar

(Kotabaru) Sta. 84+250 s/d Sta. 89+.

4.1 Perancangan Dengan Manual Desain Perkerasan Jalan 02/M/BM/2013

4.1.1 Menetapkan Umur Rencana

Sesuai pedoman perkerasan jalan 02/M/BM/2013 untuk menetapkan umur

rencana perkerasan jalan baru diambil dari hubungan antara jenis perkerasan dan

elemen perkerasan yang kemudian menentuan umur rencana. Dari ketentuan tersebut

maka diambil umur rencana untuk perkerasan lentur sebesar 20 tahun dan pondasi jalan

selama 40 tahun seperti pada Tabel 4.1 berikut.

Tabel 4.1 Umur Rencana perkerasan jalan baru (UR)

Jenis Perkerasan

Elemen Perkerasan Umur Rencana (Tahun)

Perkerasan lentur

lapisan aspal dan lapisan berbutir dan CTB 20pondasi jalan 40semua lapisan perkerasan untuk area yang tidak diijinkan sering ditinggikan akibat pelapisan ulang, misal : jalan perkotaan, underpass, jembatan, terowongan.

40

Cement Treated Based

Page 76: Referensi TA

76

Jenis Perkerasan

Elemen PerkerasanUmur Rencana

(Tahun)PerkerasanKaku

lapis pondasiatas, lapis pondasi bawah, lapis beton semen, dan pondasi jalan.

40

Jalan tanpa penutup

Semua elemenMinimum 10

Sumber: Pedoman Perkerasan 02/M/BM/2013

4.1.2 Menentukan Nilai CESA4

Sebelum menentukan CESA4 pertama-tama yang harus dilakukan adalah

menentukan nilai tingkat pertumbuhan tahunan (i) untuk mendapatkan faktor pengali

pertumbuhan lalu lintas (R). Kemudian menentukan nilai lalu lintas harian rencana

(LHR) x VDF pada Tabel 4.4. Untuk menentukan nilai CESA4 dilakukan langkah-

langkah sebagai berikut :

1. Menentukan nilai tingkat pertumbuhan tahunan (i)

Dari data sekunder yang diperoleh yaitu :

Tabel 4.2 Data tingkat pertumbuhan kendaraan Kab. Kotabaru (2011 – 2013)

Tahunsepeda motor

mobil penumpang

Bus Truk 2asTruk 3as

Truk 5as Trailer

2011 56607 16021 75 301 105 18 21

2012 62683 17534 77 318 107 19 22

2013 64272 18455 80 328 110 19 22

Sumber: BPS Kab. Kotabaru

Perhitungan angka pertumbuhan sepeda motor sebagai berikut :

LHR2011 (1+i) = LHR2012

56607 (1+i) = 62683

(1+i) = 62683/56607

(i) = 1,107-1 = 0,107

Page 77: Referensi TA

77

(i)% = 10,7

Untuk hasil perhitungan (i) yang lengkap seperti terlihat pada Tabel 4.3 berikut.

Tabel 4.3 Rata - Rata Tingkat Pertumbuhan Tahunan kendaraan (i)

2. Menghitung faktor pengali pertumbuhan lalu lintas (R)

Untuk menghitung pertumbuhan lalu lintas selama umur rencana dihitung

sebagai berikut:

R=(1+0.01 ( i ))UR−1

0.01 ( i )

R=(1+0.01 x 9,72)20−1

0.01 ( 9,72 )=55,5

3. Menentukan nilai lalu lintas harian rencana (LHR) x VDF

Nilai lalu lintas harian rencana (LHR) didapatkan dari LHR survey dikalikan

dengan faktor ekivalen beban (VDF). Hasil perhitungannya seperti pada Tabel

4.4 berikut.

Jenis Kendaraani = (%) i = (%) i = (%)

LHR2011 dan 2012

LHR 2012 DAN 2013 rata-rata

sepeda motor 10,7 2,5 6,6mobil penumpang 9,4 5,3 7,3

Bus 2,7 3,8 3,3Truk 2as 5,6 3,1 4,4Truk 3as 1,9 2,8 2,4Truk 5as 5,6 0,0 2,8Trailer 4,8 0,0 2,4

i(%) rata-rata pertahun 9,72

Page 78: Referensi TA

78

Tabel 4.4 LHR2015 (Awal Umur Rencana)

KEND/HARI/2 ARAH382 KEND 0 0.0026 KEND 0 0.000 KEND 0 0.0026 KEND 0.3 7.650 KEND 0.3 0.000 KEND 1 0.002 KEND 0.8 1.609 KEND 1.6 14.400 KEND 28.1 0.000 KEND 36.9 0.000 KEND 36.9 0.006 KEND 0.00

451 KEND ESA 23.65

Truck semi trailer

Σ

VDF4 LHR*VDF4LHR 2015

Sepada motor, sekuter & roda 3Sedan, Jeep, Station Wagon

JENIS KENDARAAN

bus besartruck ringan 2 sumbutruck sedang 2 sumbu

Oplet, suburban, combiPick up, micro truck, mobil hantaran

bus kecil

tak bermotor

truck 3 sumbutruck gandeng

Page 79: Referensi TA

79

Sumber: Hasil Perhitungan

4. Nilai CESA4

CESA4 = ESA x 365 x R

= 23,65 x 365 x 55,55

= 479207,65

= 0,48 x 106

4.1.3 Menentukan nilai Traffic Multiplier (TM)

Nilai TM kelelahan lapisan aspal (TM lapisan aspal) untuk kondisi pembebanan yang

berlebih di Indonesia adalah berkisar 1,8-2. Nilai yang akurat berbeda-beda tergantung

dari beban berlebih pada kendaraan niaga di dalam kelompok truk. Diambil nilai TM

yang terkecil TM=1,8 karena merupakan jalan dengan lalulintas rendah.

4.1.4 Menentukan nilai CESA5

Nilai CESA tertentu (pangkat 4) untuk desain perkerasan lentur harus dikalikan

denagn nilai TM untuk mendapatkan CESA5. Adapun perhitungannya sebagai berikut:

CESA5 = (TM x CESA4)

CESA5 = (1,8 x 0,86 x 106)

CESA5 = 0,86 x 106

4.1.5 Menentukan Tipe Perkerasan

Pemilihan jenis perkerasan akan bervariasi sesuai estimasi lalu lintas, umur

rencana, kondisi pondasi jalan, pertimbangkan biaya selama umur pelayanan, dan

kepraktisan konstruksi.

Tipe perkerasan didapatkan dari hubungan umur rencana perkerasan dengan ESA

20 tahun (pangkat 4) yang kemudian akan menghasilkan struktur perkerasan dan desain

sesuai ketentuan pada Pedoman Perkerasan 02/M/BM/2013.

Page 80: Referensi TA

80

Tipe perkerasan untuk pemilihan umur rencana perkerasan selama 20 tahun

dengan nilai CESA4 = 0,86 x106 seperti terlihat pada gamabr 4.1 berikut.

Gambar 4.1 Pemilihan Jenis Perkerasan

Berdasarkan gambar 4.5 maka tipe perkerasan yang terpilih adalah AC atau HRS tipis

diatas lapis pondasi berbutir dengan menggunakan desain 3 perkerasan lentur.

4.1.6 Menentukan Daya Dukung Tanah Dasar

Daya dukung lapisan tanah dasar diukur dengan korelasi dari nilai empiris hasil

penetrometer konusdinamis (Dynamic Cone Penetrometer) yang dikenal dengan DCP.

Cara pelaksanaan yang dilakukan merujuk kepada Surat Edaran Menteri Pekerjaan

Umum NO. 04/SE/M/2010 yaitu Pemberlakukan Pedoman Cara Uji California Bearing

Ratio (CBR) dengan Dynamic Cone Penetrometer (DCP).

Hasil data lapangan yang didapatkan kemudian diolah untuk mendapatkan nilai

CBR titik pada jalan yang disurvei. Hasilnya dapat dilihat pada tabel 4.5 berikut.

Tabel 4.5 CBR Tanah Dasar

Stasiun Titik CBR titik

Page 81: Referensi TA

81

84+250 1 2

84+450 2 5

84+650 3 4.2

84+850 4 0.7

85+050 5 1.8

85+250 6 9

85+450 7 9

85+650 8 9.4

85+850 9 3.4

86+050 10 7.3

86+250 11 3.4

86+450 12 6

86+650 13 2.4

86+850 14 10.3

87+050 15 4.3

87+250 16 3.3

87+450 17 6.4

Stasiun Titik CBR titik

87+650 18 10.3

87+850 19 30.5

88+050 20 27

88+250 21 27

88+450 22 12.5

88+650 23 28

88+850 24 26.5

89+050 25 26.5

89+250 26 21

Page 82: Referensi TA

82

JUMLAH 297.2

Sumber: Hasil perhitungan

Dari data tabel 4.5 dapat kita hitung nilai CBR rata-rata dari data yang kita

dapatkan sebagai berikut :

CBR rata-rata = JumlahCBRtitik

Jumlahdata =

297,226

= 11,43

Setelah nilai CBR rata-rata didapatkan, selanjutnya melakukan perhitungan CBR

karakteristik dengan menggunakan rumus berikut.

CBR karakteristik = CBR rata-rata – 1.3 x Standar deviasi

Rumus ini bisa digunakan apabila data yang cukup valid tersedia (minimal n = 16

data pengujian per segmen yang dianggap seragam) dan data CBR dari segmen tersebut

harus mempunyai koefisien variasi 25% - 30% (standar deviasi/nilai rata-rata). Bila set

data kurang dari 16 bacaan maka nilai wakil terkecil dapat digunakan sebagai nilai CBR

dari segmen jalan.

Page 83: Referensi TA

83

Segmen jalan dibagi dalam per 200 m dan dalam penentuan keseragaman

berdasarkan nilai CBR < 6% dan ≥ 6%. Untuk

hasil pembagiannya seperti pada tabel 4.6

berikut ini.

Tabel 4.6 Pembagian

Keseragaman Subgrade

n pada CBR < 6% = 10, jumlah data tidak memenuhi ketentuan untuk

menggunakan rumus dalam menentukan CBR karakteristik, dengan demikian nilai

terkecil yang digunakan dalam menentukan CBR karakteristiknya di ambil nilai CBR

titik yang paling rendah dari data tersebut yaitu,

CBR karekteristik (< 6%) = 0.7

n pada CBR ≥ 6% = 16, perhitungan standar deviasi (S) sebagai berikut.

No CBR < 6% CBR ≥ 6%

1 0.7 6

2 1.8 6.4

3 2 7.3

4 2.4 9

5 3.3 9

6 3.4 9.4

7 3.4 10.3

8 4.2 10.3

9 4.3 12.5

10 5 21

11 26.5

12 26.5

13 27

14 27

15 28

16 30.5

Page 84: Referensi TA

84

= √(6−16,67 )2+. . .+(30.5−16,67 )2

16−1 %= 9.09 %

Standar deviasi tidak memenuhi ketentuan yaitu kurang dari 25% - 30%, maka nilai

CBR yang digunakan adalah nilai CBR yang paling rendah pada data tersebut yaitu

CBR karakteristik (≥ 6%) = 6 %

4.1.7 Menentukan Struktur Pondasi Jalan

Dari hasil perhitungan daya dukung subgrade maka diketahui daya dukung tanah

dasar pada Ruas Jalan Tanjung Serdang – Lontar (Kotabaru) Sta. 84+250 – Sta. 89+25

hasil CBR subgrade ada yang < 6 %.

Untuk menetukan desain struktur pondasi jalan memerlukan data CBR subgrade

dan CESA5 dengan umur rencana 40 tahun, kemudian nilai yang didapat dimasukan

kedalam Tabel 4.8, perhitungannya sebagai berikut :

R = 411

CESA4 = 3,55 x 106

TM = 1.8

Maka perhitungan untuk CESA5 pondasi adalah sebagai berikut :

CESA5 = ( TM x CESA4 )

= 1.8 x 3,55 x 106

= 6,38 x 106

Setelah didapatkan nilai CESA5 kemudian dimasukkan ke dalam gambar 4.2 sebagai

berikut :

Page 85: Referensi TA

85

Dari Gambar 4.2 didapatkan desain struktur pondasi jalan dengan perbaikan

subgrade menggunakan stabilisasi kapur atau menggunakan timbunan pilihan untuk

yang nilai CBR subgrade < 6% untuk meningkatkan daya dukung tanah, sedangkan

untuk CBR subgrade yang CBR ≥ 6% tidak memerlukan peningkatan, tebal minimum

peningkatan tanah dasar sebesar 350 mm.

4.1.8 Menentukan Standar Drainase Bawah Permukaan

Sesuai dengan keadaan lapangan jalan Tanjung Serdang – Lontar (Kotabaru) Sta.

84+250 – Sta. 89+25, maka koefisen drainase ‘m’ bisa ditentukan seperti pada gambar

4.3 yaitu ketentuan untuk mendapatkan koefisen drainase ‘m’ untuk tebal lapisan yang

berdasarkan kepada kondisi lapangan jalan tersebut. Dalam gambar 4.3 ini

mengasumsikan drainase dalam kondisi baik.

Gambar 4.2 Solusi Desain Pondasi Jalan Minimum3

Page 86: Referensi TA

86

Gamabar 4.3 Koefisien Drainase ‘m’ untuk Tebal Lapisan

Sesuai kondisi lapangan jalan Tanjung Serdang – Lontar (Kotabaru) Sta. 84+250 – Sta.

89+25 maka hasil dari gamabr 4.3 yaitu kondisi lapangan nomor 2 dan didapat nilai

‘m’= 1,2.

4.1.9 Desain Tebal Perkerasan

Desain perkerasan yaitu lapisan di atas tanah dasar (formasi atas). Desain

perkerasan ini berdasarkan pilihan pada Tabel 4.5 yaitu tipe perkerasan yang terpilih

adalah AC atau HRS tipis diatas lapis pondasi berbutir dengan menggunakan desain 3

perkerasan lentur.

Desain 3 perkerasan lentur ini berdasarkan opsi biaya minimum yang ditunjukkan

dalam gambar 4.4. Dalam menentukan desain perkerasan menggunakan desain 3

perkerasan lentur ini berdasarkan pada Pengulangan beban sumbu desain 20 tahun

terkoreksi di lajur desain (pangkat 5) (106 CESA5). Dari hasil perhitungan sub bab 4.1.4

diperoleh (CESA5) = 1.55 x 106, maka desain perkerasan yang dipilih sebagai berikut.

Page 87: Referensi TA

87

Gambar 4.4 Desain Perkerasan Lentur opsi biaya minimum termasuk CTB)1

Hasil dari gamabr 4.4 yaitu jenis permukaan berpengikat adalah HRS, LPA kelas A,

tebal lapis perkerasan HRS WC = 30 mm, tebal lapis HRS Base = 35 mm, tebal LPA

kelas A = 250 mm, dan tebal lapis LPA yang distabilisasi dengan CBR > 10% = 125

mm.

Gambar 4.5 Desain Tebal Perkerasan Lentur PP 02/M/BM/2013

4.2 Analisis Data Perhitungan Tebal Perkerasan Dengan Menggunakan

Pedoman Pt-T-01-2002-B

Metode Pt T-01-2002-B mengacu kepada metode AASHTO 1993 seperti yang

telah diuraikan pada bab sebelumnya. Pada bab ini akan disajikan langkah–langkah

dan proses perhitungan perancangan tebal perkerasan dengan metode Pt T-01-2002-B

pada ruas jalan Tanjung Serdang – Lontar (Kotabaru) Sta. 84+250 s/d Sta. 89+25.

Dari hasil pengumpulan data didapatkan sejumlah data berupa data primer dan

data sekunder yang kemudian data-data tersebut dianalisis untuk mendapatkan desain

tebal perkerasan ruas jalan Tanjung Serdang – Lontar (Kotabaru) Sta. 84+250 s/d Sta.

89+25 sepanjang ± 5 Km.

HRS BC = 3,5 cm

LPA kelas A2 = 25 cm

LPB = 12,5 cm

Tanah dasar

HRS WC = 3 cm

Page 88: Referensi TA

88

4.2.1 Menentukan Indeks Permukaan

Indeks permukaan menyatakan nilai ketidakrataan dan kekuatan perkerasan yang

berhubungan dengan tingkat pelayanan bagi lalu lintas yang lewat. IP merupakan skala

penilaian kinerja struktur perkerasan jalan yang memiliki rentang antara angka 1

sampai 5. Angka 5 menunjukan fungsi pelayanan yang sangat baik dan angka 1

menunjukan fungsi pelayanan yang sangat buruk. Jenis indeks permukaan terbagi

menjadi dua, yaitu:

a. Menentukan Indeks Permukaan Awal (IPo)

Menentukan indeks permukaan pada awal umur rencana dengan cara

menentukan jenis lapis permukaan perkerasan yang akan diterapkan pada jalan

rancangan terlebih dahulu, kemudian baru didapatkan nilai indeks permukaan

awal dan ketidakarataannya seperti ditunjukkan oleh tabel 4.7 diperhatikan jenis

lapis permukaan perkerasan pada awal umur rencana.

Tabel 4.7 Indeks Permukaan pada Awal Umur Rencana (IPo)

(Sumber: Pt-T-01-2002-B)

Sesuai dengan tabel 4.11 maka diambil nilai IPo sebesar 3,9 dengan jenis lapis

permukaan Beton Aspal (Laston = Asphalt Concrete = AC) yang merupakan lapis

permukaan dengan menggunakan agregat bergradasi baik. Asumsi ini diambil juga

berdasarkan agar tebal perkerasan jalan lebih efisien.

b. Menentukan Indeks Permukaan Akhir (IPt)

Jenis Lapis

Permukaan

IPo Ketidakrataan (IRI,m/km)Laston ≥4 ≤1,0

3,9-3,5 >1,0Lasbutag 3,9-3,5 ≤2,0

3,4-3,0 >2,0Lapen 3,4-3,0 ≤3,0

2,9-2,5 >3,0

Page 89: Referensi TA

89

Dalam menentukan indeks permukaan pada akhir umur rencana (IPt) perlu

dipertimbangkan faktor-faktor klasifikasi fungsional jalan, dan menentukannya

berdasarkan klasifikasi jalan tersebut, seperti yang ditunjukkan pada tabel 4.8

Tabel 4.8 Indeks Permukaan pada Akhir Umur Rencana(IPt)

Fungsi JalanLokal Kolektor arteri Tol1-1,5 1,5 1,5-2 -1,5 1,5-2 2 -

1,5-2 2 2-2,5 -- 2-2,5 2,5 2,5

(Sumber: Pt-T-01-2002-B)

Berdasarkan tabel 4.8 didaptkan ketentuan Nilai IPt dari 2 sampai dengan

2,5. Dari ketentuan ini maka diambil nilai IPt sebesar 2,5 yang menandangan

bahwa diakhir umur rencana jalan tersebut permukaan jalannya masih cukup

stabil dan baik.

pada metode ini berbeda dengan Metode AASHTO 1993, karena pada Metode

AASHTO 1993 hanya memiliki 3 nilai yaitu 2; 2,5; dan 3. Sedangkan untuk metode Pt

T-01-2002-B memiliki nilai yang bervariasi antara 1; 1,5; 2; atau 2,5. Pengambilan nilai

2,5 pada IPt menyatakan permukaan masih cukup stabil dan baik.

4.2.2 Asumsi Nilai SN

Structural number (SN) adalah angka yang menunjukkan nilai struktur

perkerasan jalan. Menentukan nilai SN dengan cara asumsi digunakan dalam

menentukan angaka ekivalen untuk beban sumbu. Dalam perhitungan ini diambil nilai

SN asumsi sebesar 2,00.

4.2.3 Menentukan Angka Ekivalen (E)

Page 90: Referensi TA

90

Jenis setiap kendaraan memiliki minimal dua sumbu, yaitu sumbu depan disebut

juga sumbu kendali, dan sumbu belakang atau sumbu penahan beban. Masing-masing

sumbu dilengkapi satu, dua atau tiga roda, yang apabila sumbu dilengkapi dengan satu

roda disebut dengan sumbu single atau tunggal, apabila dilengkapi dengan dua roda

disebut sumbu tandem atau ganda dan apabila dilengkapi dengan tiga roda disebut

sumbu triple. Sebagai usaha mempermudah untuk membedakan berbagai jenis

kendaraan maka dalam proses perancangan digunakan kode angka dan simbol.

Untuk pelaksanaan tebal perkerasan jalan beban yang diperhitungkan adalah

beban yang mungkin terjadi selama umur rencana atau masa pelayanan jalan. Beban

lalulintas rencana tidak selalu sama dengan beban lalulintas maksimum. Perancangan

dengan menggunakan beban maksimum akan menghasilkan tebal perkerasan yang tidak

ekonomis, tetapi perancangan berdasarkan beban yang lebih kecil dari beban rata-rata

yang digunakan akan menyebabkan struktur perkerasan mengalami kerusakan sebelum

masa pelayanan habis. Dalam perancangan ini, perancangan beban lalulintas yang

digunakan menggunakan beban maksimum masing-masing jenis kendaraan.

Menentukan angka ekivalen setip jenis kendaraan dengan cara menentukan angka

ekivalen masing-masing sumbu terlebih dahulu. Untuk perhitungan angka ekivalen roda

tunggal menggunakan rumus berikut.

E roda tunggal =

Untuk ekivalen roda tandem dan triple menggunakan tabel yang diberikan oleh

Pt-T-01-2002-B pada bagian lampiran.

Untuk contoh perhitungan menentukan nilai angka ekivalen kendaraan sesuai

dengan rumus dan tabel nilai angka ekivalen pada lampiran Pt-T-01-2002-B adalah

sebagai berikut.

Jenis Kendaraan : Truk Ringan

Berat : 8300 kg

Konfigurasi sumbu : 1.2 L

Page 91: Referensi TA

91

Pembagian Berat : Depan : Roda Tunggal = 8300 x 34%

= 2822 kg = 28,22 KN

Belakang : Sumbu Tandem = 8300 x 66%

= 5478 kg

E roda tunggal =

= [ 28,2253 ]

4

= 0,0804

Untuk angka ekivalen roda tandem berdasarkan Pt-T-01-2002-B menggunakan

SN (asumsi) = 2,00 dan IPt = 2,5 didapat nilai faktor ekivalen dengan cara interpolasi

sebagai berikut:

Sumbu roda tandem:

5448 Kg = 0,198

5478 Kg = E roda tandem

6356 Kg = 0,358

E roda tandem=( 0,358−0,1986356−5448 )× (5478−5448 )+ (0,198 )

E roda tandem = 0,2033

Dari hasil tersebut maka angka ekivalen untuk truk ringan adalah

E Truk ringan = E roda tunggal + E roda tandem

= 0,0804 + 0,2033 = 0,2837

Untuk perhitungan nilai ekivalen dan faktor ekivalen jenis kendaraan lainnya

dikonfigurasi sumbu dan tipe kendaraan serta berat kendaraan untuk masing-masing

kendaraan dapat dilihat pada gambar 4.6 dibawah ini.

Page 92: Referensi TA

92

Gambar 4.6 Angka Ekivalen (E) Setiap Kendaraan

4.1.1 Menentukan Faktor Distribusi Arah (DD)

Faktor distribusi arah dapat ditentukan apabila volume lalu lintas yang tersedia

dalam 2 arah. Nilai DA berkisar antara 0,3-0,7. Untuk perancangan umumnya diambil

nilai DA sama dengan 0,5 kecuali pada kasus khusus dimana kendaraan berat cenderung

menuju satu arah tertentu atau pada kasus dimana diperoleh data volume lalulintas

untuk masing-masing arah.

4.2.5 Menentukan Faktor Distribusi Lajur (DL)

Faktor distribusi lajur yaitu faktor distribusi ke lajur rencana. Pada Pt-T-01-2002-

B telah disediakan tabel untuk menentukan distribusi lajur ini. Tabel distribusi lajur ini

menunjukan faktor distribusi lajur untuk jumlah lajur per arah dan persen sumbu standar

dalam lajur rencana seperti yang ditunjukkan pada tabel 4.9 berikut ini.

Page 93: Referensi TA

93

Tabel 4.9 Faktor Distribusi Lajur (DL)

(Sumber: Pt-T-01-2002-B)

Pada tabel 4.9 di dapatkan faktor distribusi lajur untuk jumlah lajur per arah sama

dengan 1 adalah 100% sumbu standar dalam lajur rencana atau DL = 1.

4.2.6 Menghitung Repetisi Beban Selama Umur Rencana (W18)

Untuk mendapatkan nilai W18 sebelumnya dicari terlebih dahulu nilai tingkat

pertumbuhan lalu lintas (i), nilai Lintas Harian Rata-rata (LHR) dan traffic growth (TG).

Perhitungan sebagai berikut :

a. Pertumbuhan lalu lintas

Dari data sekunder yang diperoleh yaitu :

Tabel 4.10 Data tingkat pertumbuhan kendaraan Kab. Kotabaru (2011 – 2013)

Tahunsepeda

motor

mobil

penumpan

g

BusTruk

2as

Truk

3as

Truk

5asTrailer

2011 56607 16021 75 301 105 18 21

2012 62683 17534 77 318 107 19 22

2013 64272 18455 80 328 110 19 22

sumber : BPS Kab.Kotabaru

Perhitungan angka pertumbuhan mobil penumpang sebagai berikut :

LHR2011 (1+i) = LHR2012

16021 (1+i) = 17534

Jumlah Lajur Per Arah Persen Sumbu Standar Dalam LajurRencana

1 1002 80-1003 60-804 50-75

Page 94: Referensi TA

94

(1+i) = 17534/16021

(i) = 1,094 - 1= 0,094

(i)% = 9,4

Untuk hasil perhitungan (i) yang lengkap seperti terlihat pada Tabel 4.11

berikut.

Tabel 4.11 Hasil Perhitungan Tingkat Pertumbuhan Tahunan (i)

Jenis Kendaraani = (%) i = (%) i = (%)

LHR2011 dan 2012

LHR 2012 dan 2013 rata-rata

sepeda motor 10.734 2.535 6.63

mobil penumpang 9.444 5.253 7.35

Bus 2.667 3.896 3.28

Truk 2as 5.648 3.145 4.40

Truk 3as 1.905 2.804 2.35

Truk 5as 5.556 0.000 2.78

Trailer 4.762 0.000 2.38

i(%) rata-rata pertahun 9.72

b. Perhitungan Lalu Lintas Harian Rata-Rata (LHR)

Dari hasil survey, kesimpulan hasil LHR yang didapatkan, volume lalu

lintas pada tahun 2015 adalah :

Tabel 4.12 Lalu Lintas Harian Rencana 2015 (LHR2015)

JENIS KENDARAAN LHR2015 (Kend/hari/2 lajur)Sepada motor, sekuter & roda 3 382

Sedan, Jeep, Station Wagon 26Oplet, suburban, combi, mini bus 0

Pick up, micro truck, mobil hantaran 26bus kecil 0bus besar 0

truck ringan 2 sumbu 2truck sedang 2 sumbu 9

truck 3 sumbu 0truck gandeng 0

Page 95: Referensi TA

95

Truck semi trailer 0tak bermotor 6

TOTAL 451c. traffic growth (TG)

traffic growth (TG) dapat dihitung berdasarkan rumus berikut

TG =

= ¿¿¿ = 55,5

Hasil perhitungan repitisi beban selama umur rencana (W18) dapat dilihat pada

gambar 4.7 berikut ini.

Gambar 4.7 Repitisi Selama Umur Rencana (W18)

4.2.7 Menentukan Nilai Reliabilitas (R), Standar Deviasi (So), standard normal

deviate (ZR), dan Menghitung Faktor Reliabilitas (FR)

a. Reabilitas (R)

Reabilitas adalah tingkat kepasrtian atau probabilitas bahwa struktur

perkerasan mampu melayani arus lalu lintas selama umur rencana sesuai dengan

proses penurunan kinerja struktur perkerasan.

Page 96: Referensi TA

96

Konsep reliabilitas merupakan upaya untuk menyertakan derajat ketidak

pastian kedalam proses perancangan untuk menjamin berbagai macam alternatif

perancangan akan bertahan selama selang waktu yang direncanakan. Pada Pt-01-

T-2002-B telah memberikan rekomendasi tingkat reabilitas berdasarkan fungsi

jalan dan jalan perkotaan atau antar kota seperti terlihat pada tabel 4.13 berikut

ini.

Tabel 4.13 Nilai Reliabilitas Sesuai Fungsi Jalan

(Sumber: Pt-01-T-2002-B)

Berdasarkan tabel 4.13 dan berdasarkan fungsi jalan yang didesain berupa jalan

kolektor antar kota maka tingkat reliabilitas berkisar antara 75%-95% dan diambil

nilai yaitu 90% untuk perancangan ini karena memastikan struktur perkerasan

mampu melayani arus lalu lintas selama umur rencana.

b. Standar Deviasi (So)

Deviasi Standar (So) adalah deviasi standar keseluruhan dari distribusi

normal sehubungan dengan kesalahan yang terjadi pada perkiraan lalu lintas dan

kinerja perkerasan. Berdasarkan Pt-T-01-2002-B nilai So yang diberikan berkisar

0,4 - 0,5. Dari ketentuan tersebut maka diambil nilai tertinggi 0,5 karena

beranggapan kesalahan yang terjadi tinggi.

c. Standard Normal Deviate (ZR)

Nilai Standar Normal Deviate (ZR) adalah nilai Z statistik. Untuk

mendapatkan nilai (ZR), Pt-T-01-2002-B telah memberikan nilai penyimpangan

Fungsi Jalan

Rekomendasi Tingkat Reliabilitas

Perkotaan AntarKota

Bebas hambatan 85-99,9 80-99,9Arteri 80-99 75-95Kolektor 80-95 75-95Lokal 50-80 50-80

Page 97: Referensi TA

97

normal standar (standard normal deviate) untuk tingkat reliabilitas tertentu seperti

pada tabel 4.14 berikut.

Tabel 4.14 Nilai Reliabilitas, ZR, dan FR

(Sumber:WSDOT,

1995)

Dari tabel 4.14 maka di dapatkan nilai ZR untuk R = 95% yaitu -1.282

d. Faktor Reliabilitas (FR)

Faktor Reliabilitas (FR) adalah faktor yang digunakan dalam reabilitas yang

digunakan untuk mengalikan repetisi beban lalu lintas yang diperkirakan selama

umur rencana dengan (FR) ≥ 1. Efek dengan adanya (FR) dalam perrencanaan

Reliabilitas, R (%)

Standar normal deviate, ZR

50 0,00060 - 0,25370 - 0,52475 - 0,67480 - 0,84185 -1,03790 -1,28291 -1,34092 -1,40593 -1,47694 -1,55595 -1,64596 -1,75197 -1,88198 -2,05499 -2,327

99,9 -3,09099,99 -3,750

Page 98: Referensi TA

98

adalah meningkatkan ESAL yang digunakan untuk merencanakan tebal

perkerasan jalan.

(FR) ditentukan dengan menggunakan rumus berikut :

FR = 10−ZR(So)

Maka,

FR = 10−(−1.282) (0,5 ) = 4,38

Reliabilitas kinerja perancangan dikontrol dengan faktor reliabilitas (FR) yang

dikalikan dengan perkiraan lalu lintas (W18) selama umur rencana untuk memperoleh

prediksi kinerja (W18) dengan rumus dan perhitungan sebagai berikut:

W18 = FR x W18

= 4,38 x 6039418,81

= 26423792,30 lss/ur/lajur rencana

Jadi, prediksi kinerja setelah di kontrol dengan faktor reliabilitas adalah

26423792,30 lss/ur/lajur rencana.

4.2.8 Menentukan Daya Dukung Tanah Dasar

Daya dukung lapisan tanah dasar diukur dengan korelasi dari nilai empiris hasil

penetrometer konus dinamis (Dynamic Cone Penetrometer) yang dikenal dengan DCP.

Dari hasil test DCP akan didapat nilai CBR titik jalan yang kemudian digunakan untuk

menentukan CBR segmen dan akan dikorelasikan menjadi nilai MR untuk tanah dasar.

Hasil data lapangan dengan menggunakan alat DCP yang didapatkan kemudian

diolah untuk mendapatkan nilai CBR titik pada jalan yang disurvei. Hasilnya dapat

diliahat pada tabel 4.15 berikut.

Tabel 4.15 CBR Tanah Dasar

Stasiun Titik CBR titik

84+250 1 2

84+450 2 5

84+650 3 4.2

Page 99: Referensi TA

99

84+850 4 0.7

85+050 5 1.8

85+250 6 9

85+450 7 9

85+650 8 9.4

85+850 9 3.4

Stasiun Titik CBR titik

86+050 10 7.3

86+250 11 3.4

86+450 12 6

86+650 13 2.4

86+850 14 10.3

87+050 15 4.3

87+250 16 3.3

87+450 17 6.4

87+650 18 10.3

87+850 19 30.5

88+050 20 27

88+250 21 27

88+450 22 12.5

88+650 23 28

88+850 24 26.5

89+050 25 26.5

89+250 26 21

JUMLAH 297.2

Setelah didapat CBR tanah dasar per stasiun tersebut, kemudian menentukan

modulus resilient (MR) tanah dasar menggunakan rumus berikut

Page 100: Referensi TA

100

MR = 1500 (CBR), MRdalam psi

CBR tanah dasar yang diharapkan adalah 6 %, maka untuk MR tanah dasar

sebagai berikut :

MR = 1500 (CBR)

= 1500 (6 %)

= 9000 psi

Dari total panjang jalan yaitu 5 Km kemudian ditentukan segmen jalan setiap 1

Km. Untuk pembagian segmen jalan. Setiap segmen mempunyai satu nilai CBR yang

mewakili mutu daya dukung tanah dasar untuk digunakan pada perancangan tebal

lapisan perkerasan.

Untuk perhitungan CBR segmen menggunakan metode analitis Japan Road Ass dengan

rumus berikut ini.

CBRsegmen = CBRrata-rata – (CBRmaks – CBRmin) / R

R = Konstanta seperti pada tabel 4.16, berdasarkan jumlah data CBR titik pengamatan

dalam satu segmen.

Tabel 4.16 Nilai R untuk Menghitung CBRsegmen

Jumlah titik pengamatan Nilai R

2 1,41

3 1,91

4 2,24

5 2,48

6 2,67

7 2,83

8 2,96

9 3,08

10 3,18

(sumber : Japan Road Ass)

Contoh perhitungan sebagai berikut

Page 101: Referensi TA

101

Segmen 1 yaitu stasiun 84+250 s/d 85+250 memiliki nilai CBR titik 2%, 5%,

4.2%, 0.7%, 1.8%, 9%.

CBRrata-rata = (2+5+4,2+0.7++1,8+9) / 6 = 3,78 %

CBR maks = 9 %

CBR min = 0,7%

R = 2,67

Maka,

CBRsegmen = 3,78 – (9 – 0,7) / 2,67 = 0,67 %

Untuk perhitungan semua segmen seperti yang ditunjukkan pada tabel 4.17 berikut

Tabel 4.17 CBR segmen

Segmen Stasiun TitikCBR titik

CBR rata rata

CBR maks

CBR min

RCBR

segmen

1

84+250 1 2

3.78 9 0.7 2.67 0.67

84+450 2 5

84+650 3 4.2

84+850 4 0.7

85+050 5 1.8

85+250 6 9

2

85+450 7 9

6.50 9.4 3.4 2.48 4.08

85+650 8 9.4

85+850 9 3.4

86+050 10 7.3

86+250 11 3.4

3

86+450 12 6

5.26 10.3 2.4 2.48 2.07

86+650 13 2.4

86+850 14 10.3

87+050 15 4.3

87+250 16 3.3

4 87+450 17 6.4 20.24 30.5 6.4 2.48 10.52

87+650 18 10.3

87+850 19 30.5

Page 102: Referensi TA

102

88+050 20 27

88+250 21 27

5

88+450 22 12.5

22.90 28 12.5 2.48 16.65

88+650 23 28

88+850 24 26.5

89+050 25 26.5

89+250 26 21

Dari Tabel 4.17 dapat diketahui semua CBR segmen dan untuk CBR titik yang

tidak memenuhi CBR tanah dasar yang diharapkan yaitu sebesar 6% maka pada CBR

titik tersebut perlu perbaikan tanah dasar atau perlu penanganan untuk meningkatan

daya dukung tanah dasar misalnya dengan cara penggunaan timbunan pilihan.

4.2.9 Mencari Nilai SN Dengan Rumus Log Penentu Nilai SN

SN yang diperoleh dengan menggunakan rumus harus sama dengan asumsi yang

diambil ketika menentukan angka ekivalen (E). Jika SN yang diperoleh tidak sama,

maka penentuan angka ekivalen harus diulang kembali dengan menggunakan nilai SN

yang baru.

Rumus yang digunakan dalam perhitungan sebagai berikut.

Log10W18 = ZR S0 + 9.36 [Log10 (SN + 1)] – 0 .20 +

Log10 [PSI/2.7] / {0.40+[1094/(SN+1)5.19 } +

2.32 x log (MR) – 8,07

Diketahui:

SN asumsi = 2

Zr = -1,282

So = 0,5

MR = 9000 psi

∆ PSI = 1,4

W18 = 6039418,81

Page 103: Referensi TA

103

Log10W18 = 6,7810

Denga menggunakan rumus maka didapat Hasil sebagai berikut

6,7810 = (-0,64) + 6,73 + (-0,29/0,56) + 1,10

6,7810 = 3,5545

Dari hasil perhitungan didapatkan bahwa nilai SN asumsi dengan hasil

perhitungan menggunakan rumus tidak sama, maka dilakukan perhitungan ulang untuk

SN yang baru.

Perhitungan ulang untuk SN Asumsi = 4,5

SN = 4,5

W18 = 5097392,30

Log10W18 = 6,7073

Maka hasil yang didapatkan adalah 6,7073 = 5,5769

Nilai SN yang didapatkan menghampiri nilai SN asumsi. Karena nilai SN belum

sama maka digunakan penentuan nilai SN berdasarkan Nomogram seperti pada gambar

4.8 berikut ini.

Gambar 4.8 Nomogram Penentuan SN

Page 104: Referensi TA

104

Untuk penggunaan nomogram seperti pada gambar 4.8 didapatkan nilai SN = 4,5.

Berdasarkan hasil nomogram tersebut maka nilai SN yang dipakai adalah 4,5.

4.2.10 Menentukan Koefisien Drainase

Pengaruh kualitas drainase dalam proses perancangan tebal lapisan perkerasan

dinyatakan dengan koefisien drainase (m). Untuk perancangan tebal perkerasan jalan

kualitas drainase ditentukan berdasarkan kemampuan menghilangkan air dari struktur

perkerasan.

Dalam Pt-T-01-2002-B diperkenalkan konsep koefisien drainase untuk

mengakomodasi kualitas sistem drainase yang dimiliki perkerasan jalan. Tabel 4.18

memperlihatkan definisi umum mengenai kualitas drainase.

Tabel 4.18 Definisi Kualitas Drainase

Kualitas Drainase Air Hilang dalam

Baik sekali 2 jam

Baik 1 Hari

Sedang 1 Minggu

Jelek 1 Bulan

Jelek sekali Air tidak akan mengalir

(sumber : Pt-T-01-2002-B)

Kualitas drainase pada perkerasan lentur diperhitungkan dalam perancangan

dengan menggunakan koefisien kekuatan relatif yang dimodifikasi. Faktor untuk

memodifikasi koefisien kekuatan relatif ini adalah koefisien drainase (m) dan disertakan

ke dalam persamaan Indeks Tebal Perkerasan (ITP) bersama-sama dengan koefisien

kekuatan relatif (a) dan ketebalan (D).

Tabel 4.19 memperlihatkan nilai koefisien drainase (m) yang merupakan fungsi

dari kualitas drainase dan persen waktu selama setahun struktur perkerasan akan

dipengaruhi oleh kadar air yang mendekati jenuh. Tabel 4.19 Koefisien drainase (m)

Page 105: Referensi TA

105

untuk memodifikasi koefisien kekuatan relatif material untreated base dan subbase pada

perkerasan lentur.

Tabel 4.19 Koefisien drainase (m)

AirHilangDalam

KualitasDrainase

Persen Waktu Struktur PerkerasanDipengaruhi oleh KadarAir yang

Mendekati Jenuh<1% 1-5% 5-25% >25%

2 jamBaiksekali 1,4-1,35 1,35-1,3 1,3-1,2 1,20

1 hari Baik 1,35-1,25 1,25-1,15 1,15-1 1

AirHilangDalam

KualitasDrainase

Persen Waktu Struktur PerkerasanDipengaruhi oleh KadarAir yang

Mendekati Jenuh<1% 1-5% 5-25% >25%

1 minggu sedang 1,25-1,15 1,15-1,05 1-0,80 0,80

1 bulan Jelek 1,15-1,05 1,05-0,80 0,8-0,6 0,60

Air tidakmengalir

Jeleksekali 1,05-0,95 0,95-0,75 0,75-0,4 0,40

(sumber : Pt-T-01-2002-B)

Berdasarka tabel 4.19 ditentukan koefisien drainase untuk m3 dan m2 sebesar

1.25.

4.2.11 Menentukan Tebal Minimum Masing – Masing Perkerasan

Sebelum menentukan tebal minimum masing-masing lapisan perkerasan terlebih

dahulu kita mencari atau menghitung koefisien kekuatan relatif (a) untuk masing-

masing lapisan perkerasan. Maksud dari koefisien kekuatan relatif (a) yaitu korelasi

antara koefisien kekuatan relatif dengan nilai mekanistik, yaitu modulus resilien.

Berdasarkan jenis dan fungsi material lapis perkerasan, estimasi Koefisien

Kekuatan Relatif dikelompokkan ke dalam 5 katagori, yaitu : beton aspal (asphalt

concrete), lapis pondasi granular (granular base), lapis pondasi bawah granular (granular

subbase), cement-treated base (CTB), dan asphalt-treated base (ATB).

Page 106: Referensi TA

106

a. Lapis Permukaan Beton Aspal (asphalt concrete surface course)koefisien

kekuatan relatif lapis permukaan ditentukan dengan menggunakan gambar 4.8

yang berdasarkan nilai modulus elastisitas, EAC (psi) beton aspal.

Gambar 4.8 Koefisien Kekuatan Relatif a1 untuk beton aspal

Dari gambar 4.8 maka didapat (a1 ) = 0,42

b. Lapis Pondasi Granular (granular base layer)

Lapis Pondasi Granular (a2) ditentukan berdasarkan gambar 4.9 berikut

Page 107: Referensi TA

107

Gambar 4.9 Variasi koefisien kekuatan relatif lapis pondasi granular (a2).

Dari gambar 4.9 diperoleh a2 = 0,138.

Sedangkan dengan perhitungan sebagai berikut

a2 = 0,249 (log EBS) – 0,977

= 0,249 (log 29300) – 0,977 = 0,14

c. Lapis Pondasi Bawah Granular (granular subbase layers)

Koefisien Kekuatan Relatif, a3 dapat diperkirakan dengan menggunakan gambar

4.10 berikut

Page 108: Referensi TA

108

Gambar 4.10 Variasi koefisien kekuatan relatif lapis pondasi granular (a3)

Dari gambar 4.10 Didapatkan nialai untuk a3 = 0.128

Untuk perhitungannya sebagai berikut

a3 = 0,227 (log ESB) – 0,839

= 0,227 (log 18400) – 0,893 = 0,13

Pt-T-01-2002-B memberikan nilai untuk memperlihatkan nilai tebal minimum

untuk lapis permukaan berbeton aspal dan lapis pondasi agregat yang berdasarkan lalu

lintas (ESAL) seperti pada tabel 4. 20.

Tabel 4.20 Tebal minimum lapis permukaan berbeton aspal dan lapis pondasi agregat (inci)

Page 109: Referensi TA

109

(sumber : Pt-T-01-2002-B)

Dari tabel 4. 20 Didapatkan tebal minimum untuk perkerasan lentur yaitu

D1 = 3,5 inch = 8,75 cm

D2 = 6 inch = 15 cm

Cara lain untuk mendapatkan tebal minimum masing-masing perkerasan yaitu

dengan cara perhitungan menggunakan rumus dan nilai SN dari setiap lapisan harus

diketahui. Nilai SN untuk ketiga lapisan tersebut didapatkan dari nomogram nerikut ini.

Gambar 4.12 Nomogram Penentuan SN 1

Dari gambar 4.12, gambar 4.11, gambar 4.8 didapatkan nilai SN untuk masing-masing

lapisan sebagai berikut.

SN1 = 2,5

SN2 = 3,4

SN3 = 4,5

Gambar 4.11 Nomogram Penentuan SN 2

Page 110: Referensi TA

110

Maka perhitungan tebal minimum lapisan sebagai berikut:

D1* = SN1/a1 = 2,5/0,42 = 5,95 inch = 14,875 ≈ 15 cm

SN1* = a1 x D1* = 0,42 x 5,95 = 2,5

2,5 = 2,5 (OK)

D2* = (SN2 – SN1*) / a2 x m2 = (3,4 – 2,5)/(0,14 x 1,25)

= 5,32 inch = 14 cm

SN2* = a2 x m2 x D2* = 0,14 x 1,25 x 5,32 = 0,92

SN1* + SN2* = SN2

2,5 + 0,92 = 3,42 (OK)

Tebal material lapis pondasi bawah (D3) yang diperlukan adalah

D3* = (SN3 – (SN1* + SN2*)) / (a3 x m3)

= (6 – (2,5 + 0,92)) / (0.13 x 1,25) = 6,7 inch = 17 cm

Catatan : Tanda * menunjukkan tebal minimal yang digunakan untuk lapis permukaan (D1*), lapis pondasi (D2*), lapis pondasi bawah (D3*).

Tabel 4.21 Tebal Minimum Lapisan Aspal

Sumber : Spesifikasi Umum 2010

Dari hasil perhitungan dan menurut tabel 4.21 di atas, diambil tebal perkerasan

berdasarakan hasil perhitungan dengan hasil pada Gambar 4.13 berikut ini.

AC Base = 9 cm

AC WC = 6 cm

Page 111: Referensi TA

111

Gambar 4.13 Desain Tebal Perkerasan Lentur Pt-T-01-2002-B

4.3 Perancangan Tebal Perkerasan Dengan SDPJL

4.3.1 Data Input

Untuk input data awal, diperlukan data-data seperti data ruas jalan, CBR, RCI,

temperatur, tebal perkerasan existing, dan data lalu lintas. Untuk data ruas jalan dapat

dilihat pada Gambar 4.14 dibawah ini. Pada isian data yang bernilai nol, ini dikarenakan

dalam perancangan jalan baru data-data tersebut tidak digunakan.

LPA kelas A = 14 cm

LPB kelas B = 17 cm

Page 112: Referensi TA

112

Gambar 4.14 Data Input Awal Untuk Ruas Jalan

Untuk data input awal berikutnya yaitu data lalu lintas yang perlu diisi yaitu year of

opening, life period (years), traffick growth, dan kolom AADT untuk pengisian data

sebagai beikut :

Year of opening

Diisi dengan perkiraan tahun sesudah Kegiatan selesai

Life Period (years)

Diisi dengan umur rencana jalan

Traffick Growth

Diisi dengan perkiraan pertumbuhan lalu lintas

Kolom AADT

Diisi dengan data hasil survey lalu lintas dan pada AADT rencana diisi dengan

kondisi lalu lintas disesuaikan dengan tabel koefesien distribusi kendaraan yang

kemudian dibuatkan formulanya.

Untuk input data lalu lintas seperti ditunjukkan pada gambar 4.15 berikut.

Page 113: Referensi TA

113

Gambar 4.15 Data Input Awal Untuk Lalu Lintas

Kemudian untuk input data akhir adalah data-data yang didapatkan dari input data

awal yang kemudian disortir kembali apabila ada data yang keliru. Input data akhir ini

merupakan input data untuk desain jalan yang direncanakan. Untuk isian data kolom

lendutan dan desain lendutan diisi angka nol (0), ini dikarenakan dalam perancangan jalan

baru data-data tersebut tidak dipergunakan. Untuk input data akhir selengkapnya dapat

dilihat pada gambar 4.16 berikut.

Page 114: Referensi TA

114

Gambar 4.16 Data Input Akhir Program SDPJL

4.3.2 Data Output

Hasil perancangan dengan menggunakan SDPJL didapat tebal perkerasan masing-

masing lapisan seperti yang terlihat pada gambar 4.17 dibawah ini.

Page 115: Referensi TA

115

Gambar 4.17 Data Output Program SDPJL

Dari hasil perancangan dengan menggunakan program SDPJL ini, maka didapat masing-

masing tebal perkerasan sebagai berikut:

Lapis permukaan (HRS WC) = 3 cm

Lapis sub permukaan 1 (HRS Base) = 3,5 cm

Lapis pondasi (Agregat A) = 13 cm

Lapis pondasi bawah (Agregat B) = 21 cm

Dari hasil perancangan diatas maka didapat tebal perkerasan masing-masing lapisan

seperti yang terlihat pada sketsa desain perkerasan jalan pada gambar 4.18 dibawah ini.

Gambar 4.18 Desain Tebal Perkerasan Lentur SDPJL

Dari hasil perhitungan diatas, maka didapat masing-masing tebal perkerasan. Untuk

masing-masing perkerasan bisa dilihat pada tabel 4.20 sebagai berikut:

Tabel 4.20 Perkerasan Setiap Metode

Metode Lapisan Surface (cm)Lapisan Base

(cm)

Lapisan SubBase

(cm)

Total Lapis Perkerasan

(cm)

Pt T-01-2002-BAC BC (6 cm)

AC-Base(9 cm)

Agregat Kelas A(14 cm)

Agregat Kelas B(17 cm)

46 cm

SDPJLHRS-WC

(3 cm)

HRS-Base(3,5 cm)

Agregat Kelas A(13 cm)

Agregat Kelas B(21 cm)

40, 5 cm

HRS WC = 3 cm

LPA kelas A = 13 cm

LPB kelas B = 21 cm

HRS Base = 3,5 cm

Page 116: Referensi TA

116

02/M/BM/2013HRS-WC

(3 cm)

HRS-Base(3,5 cm)

Agregat Kelas A(25 cm)

Agregat Kelas B

(12,5 cm)44 cm

Sumber: Hasil Perhitungan

Dari tabel 4.20 untuk tebal perkerasan yang diambil adalah perhitungan dengan

menggunakan metode Pt T-01-2002-B karena menurut perhitungan struktur metode ini

yang paling kuat dibandingkan dengan SDPJL dan Pt 02/M/BM/2013, sehingga untuk

penyusunan rencana anggaran biaya (RAB) berdasarkan metode Pt T-01-2002-B.

4.4 Rencana Anggaran Biaya

Perhitungan rencana anggaran biaya ini dengan menggunakan bantuan komputer

berupa program Microsoft Excel untuk mendapatkan perkiraan harga satuan pekerjaan

penangan jalan dilingkungan Dirjen Bina Marga, Departement Pekerjaan Umum. Untuk

perhitungan jumlah volume pekerjaan yang diasumsikan ialah kondisi jalan dalam keadaan

lurus terdapat pada uraian berikut ini:

4.4.1 Perhitungan Kuantitas Masing-Masing Pekerjaan

Divisi 1: Umum

1.2 Mobilisasi

Jumlah volume = 1 LS

Divisi 3 : Pekerjaan Tanah

3.1(1) Galian Biasa

Jumlah volume = tinggi galian x lebar galian x panjang galian

= 0,6 x 7 x 200

= 240 m3

3.3(1) Penyiapan Badan Jalan

Jumlah volume = (lebar jalan + bahu jalan + 1) x panjang jalan

= (5 + 2 + 1) x 5000

= 40.000 m2

Page 117: Referensi TA

117

Divisi 4 : Pelebaran Perkerasan Dan Bahu Jalan

4.2(2a) Lapis Pondasi Agregat Kelas B

Jumlah volume = tebal bahu jalan kelas B x lebar bahu jalan x panjang

= 0,125 x 1 x 5000

= 625m3

Divisi 5 : Perkerasan Berbutir Dan Perkerasan Beton Semen

5.1(1) Lapis Pondasi Agregat Kelas A

Jumlah volume = tebal lapis pondasi kelas A x lebar jalan x panjang

= 0,14 x 5 x 5000

= 3500 m3

5.1(2) Lapis Pondasi Agregat Kelas B

Jumlah volume = tebal lapis pondasi kelas B x lebar jalan x panjang

= 0,17 x 5 x 5000

= 4.250 m3

Divisi 6 : Perkerasan Aspal

6.1(1)(a) Lapis Resap Pengikat-Aspal Cair

Jumlah volume = 1,1 x lebar jalan x panjang jalan

= 1,1 x 5 x 5000

= 27.500 liter

6.1(2)(a) Lapis Perekat-Aspal Cair

Jumlah volume = 0,4 L x lebar jalan x panjang jalan

= 0,4 x 5 x 5000

= 10.000 liter

6.3(5a) Laston Lapis Antara (AC-BC) (Gradasi halus/kasar)

Jumlah volume = tebal lapisan AC-BC x lebar jalan x panjang jalan

= 0,06 x 5 x 5000

= 1500 ton

6.3(6a) Laston Lapis Pondasi (AC-Base) (Gradasi halus/kasar)

Page 118: Referensi TA

118

Jumlah volume = tebal lapisan AC-Base x lebar jalan x panjang jalan

= 0,09 x 5 x 5000

= 2250 ton

Divisi 8 : Pengembalian Kondisi Dan Pekerjaan Minor

8.4(1) Marka Jalan Termoplastik

Jumlah volume = tebal marka jalan termoplastik x panjang jalan

= 0,03 x 5000

= 150 m2

Setelah didapat jumlah volume pekerjaan jalan dan data lain seperti halnya harga

satuan ataupun data-data yang diperlukan dalam perhitungan analisis harga satuan, maka

dapat dihitung perkiraan harga pekerjaan dengan rekapitulasi seperti pernyatan

selanjutnya.

4.4.2 Perhitungan Total Biaya Pekerjaan Masing – Masing Pekerjaan

Berikut ini adalah hasil total biaya pekerjaan yang diperlukan dengan rumus (volume

x harga satuan) dapat dilihat pada tabel 4.21 dibawah ini.

Tabel 4.11 Perhitungan Total Biaya Pekerjaan

No. Mata

Pembayaran

UraianSatuan

Perkiraan

Kuantitas

Harga Satuan (Rupiah)

Jumlah Harga-Harga (Rupiah)

a b c d E f = (d x e)

DIVISI 1. UMUM

1.2 Mobilisasi LS 1 542,890,000.00 542,890,000.00

1.8.(1)Manajemen dan Keselamatan Lalu Lintas

LS 1 137,280,000.00 137,280,000.00

1.21 Manajemen Mutu LS 1 94,800,000.00 94,800,000.00Jumlah Harga Pekerjaan DIVISI 1 (masuk pada Rekapitulasi Perkiraan Harga Pekerjaan)

774,970,000.00

DIVISI 3. PEKERJAAN TANAH

3.1.(1a) Galian Biasa M3 240 242,244.12 58,138,589

3.3.(1) Penyiapan Badan Jalan M2 40000 940.28 37,611,376.52Jumlah Harga Pekerjaan DIVISI 3 (masuk pada Rekapitulasi Perkiraan Harga

Pekerjaan)241,096,437.32

DIVISI 4. PELEBARAN PERKERASAN DAN BAHU JALAN

4.2.(2a) Lapis Pondasi Agregat Kelas B M3 625 670,992.92 419,370,575.00

Jumlah Harga Pekerjaan DIVISI 4 (masuk pada Rekapitulasi Perkiraan Harga 419,370,575.00

Page 119: Referensi TA

119

Pekerjaan)DIVISI 5. PERKERASAN BERBUTIR

5.1.(1) Lapis Pondasi Agregat Kelas A M3 3500 593,988.20 2,078,958,684.10

5.1.(2) Lapis Pondasi Agregat Kelas B M3 4250 654,941.25 2,783,500,293.21Jumlah Harga Pekerjaan DIVISI 5 (masuk pada Rekapitulasi Perkiraan Harga Pekerjaan)

4,862,458,977.31

DIVISI 6. PERKERASAN ASPAL6.1 (1)

(a)Lapis Resap Pengikat - Aspal Cair Liter 27500 9,754.97 268,261,686.02

6.1 (2)(a)

Lapis Perekat - Aspal Cair Liter 10000 9,033.28 90,332,800.00

6.3.(4a)Laston Lapis Pondasi (AC-Base) (gradasi senjang/semi senjang)

Ton 2250 578,312 1,301,200,949

6.3.(4b)Laston Lapis Antara (AC-BC) (gradasi halus/kasar)

Ton 1500 579,759 869,638,009

Jumlah Harga Pekerjaan DIVISI 6 (masuk pada Rekapitulasi Perkiraan Harga Pekerjaan)

2,529,433,443

DIVISI 8. PENGEMBALIAN KONDISI DAN PEKERJAAN MINOR

8.3.(3) Marka Jalan Termoplastik M2 150 196,810.52 29,521,577.64Jumlah Harga Pekerjaan DIVISI 8 (masuk pada Rekapitulasi Perkiraan Harga Pekerjaan)

29,521,577.64

4.4.3 Perhitungan Rencana Anggaran Biaya

Untuk perhitungan rencana anggaran biaya masing-masing pekerjaan dapat dilihat

pada lampiran. Untuk rekapitulasi dapat dilihat pada tabel 4.22 dibawah ini.

Tabel 4.22 Rekapitulasi Perkiraan Harga Pekerjaan

No. Divisi

UraianJumlah Harga

Pekerjaan (Rupiah)

1 Umum 774,970,0002 Drainase 03 Pekerjaan Tanah 95,749,9654 Pelebaran Perkerasan dan Bahu Jalan 419,370,5755 Pekerasan Non Aspal 4,862,458,9776 Perkerasan Aspal 2,529,433,4437 Struktur 08 Pengembalian Kondisi dan Pekerjaan Minor 29,521,5789 Pekerjaan Harian 0

10 Pekerjaan Pemeliharaan Rutin 0

(A) Jumlah Harga Pekerjaan (termasuk Biaya Umum dan Keuntungan) 8,711,504,538

(B) Pajak Pertambahan Nilai ( PPN ) = 10% x (A) 871,150,454

(C) JUMLAH TOTAL HARGA PEKERJAAN = (A) + (B) 9,582,654,992

Sumber: Hasil Perhitungan

Page 120: Referensi TA

120

Dari tabel 4.22 diketahui bahwa untuk perancangan ruas jalan Tanjung Serdang –

Lontar (Kotabaru) Sta. 84+250 s/d Sta. 89+25 didapatkan perkiraan harga pekerjaan

sebesar Rp. 9,582,654,992 (sembilan milyar lima ratus delapan puluh dua juta enam ratus

lima puluh empat ribu sembilan ratus sembilan puluh dua rupiah) dengan jalan sepanjang ±

5000 m dengan lebar jalan sebesar 5 m.

BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Dari hasil analisis tebal lapisan perkerasan lentur pada bab sebelumnya, maka

dapat diambil kesimpulan bahwa:

1. Perancangan tebal perkerasan lentur jalan Tanjung Serdang–Lontar (Kotabaru) Sta.

84+250 s/d Sta. 89+25 dengan menggunakan Pedoman Perancangan Tebal

Perkerasan Jalan Lentur 02/M/B/BM/2013 yang kemudian dikontrol dengan

menggunakan metode Pt T-01-2002-B dan program SDPJL dengan ketentuan umur

rencana 20 tahun, lebar jalan 5 meter sepanjang ± 5 Km menghasilkan struktur

tebal perkerasan lentur sebagai berikut:

a. Pedoman Perancangan Tebal Perkerasan Jalan Lentur 02/M/B/BM/2013

- Tebal surface coarse HRS WC adalah 3 cm dan HRS Base adalah 3,5 cm

- Tebal base coarse agregat kelas A adalah 25 cm

- Tebal sub base coarse agregat kelas B adalah 12,5 cm

b. Metode Pt T-01-2002-B

- Tebal surface coarse AC BC adalah 6 cm dan AC Base adalah 9 cm

- Tebal base coarse agregat kelas A adalah 14 cm

- Tebal sub base coarse agregat kelas B adalah 17 cm

Page 121: Referensi TA

121

c. SDPJL

- Tebal surface coarse HRS WC adalah 3 cm dan HRS Base adalah 3,5 cm

- Tebal base coarse agregat kelas A adalah 13 cm

- Tebal sub base coarse agregat kelas B adalah 21 cm

2. Untuk tebal perkerasan jalan yang dipakai yaitu perhitungan tebal perkerasan

berdasarkan metode Pt T-01-2002-B karena perhitungan struktur jalan yang lebih

kuat.

3. Anggaran biaya untuk pengerjaan perkerasan lentur jalan dengan panjang 5 KM

dan lebar 5 m pada ruas jalan Tanjung Serdang – Lontar (Kotabaru) Sta. 84+250 s/d

Sta. 89+25 adalah Rp. 9,582,654,992 (sembilan milyar lima ratus delapan puluh

dua juta enam ratus lima puluh empat ribu sembilan ratus sembilan puluh dua

rupiah).

5.2 Saran

1. Dalam mendesain tebal perkerasan suatu jalan, data-data yang nantinya

dipergunakan sebaiknya diambil langsung kelapangan oleh perencana, agar

memperoleh perancangan yang sesuai dengan kondisi daerah sekitar perancangan.

2. Perancangan dengan menggunakan program SDPJL sebaiknya terlebih dahulu

dilakukan perhitungan secara manual sebagai pembanding, karena mungkin saja

terjadi kesalahan dari hasil program dikarenakan data-data asumsi yang dimasukkan.

3. Dalam perancangan rencana anggaran biaya proyek pembangunan diperlukan dasar-

dasar pertimbangan yang tepat serta digunakan harga satuan yang baru, sehingga

didapat rencana anggaran biaya yang lebih optimal.