Upload
aghniajolanda
View
161
Download
28
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Radiologi
Citation preview
Referat
DEEP VEIN THROMBOSIS
Oleh :
1. Rena Regina Erwin 0910312078
2. Rizka Aganda Fajrum 0910312084
3. Novi Irayanti 0910312135
4. Sri Ganesh 0910314
Preseptor :
dr. Hj. Rozetti, SpRad
BAGIAN ILMU RADIOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR. M. DJAMIL PADANG
2015
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan referat yang berjudul “Deep
Vein Thrombosis”.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Hj. Rozetti, SpRad selaku
pembimbing dan semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan penulisan
referat ini.
Penulisan referat ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis
mengharapkan kritik dan saran sebagai masukan untuk perbaikan demi kesempurnaan
referat ini. Semoga referat ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Padang, April 2015
Penulis
i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar .......................................................................................................... i
Daftar Isi ................................................................................................................... ii
Daftar Gambar .......................................................................................................... iii
BAB I Pendahuluan ............................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ........................................................................................... 1
1.2 Batasan Masalah......................................................................................... 1
1.3 Tujuan Penulisan......................................................................................... 1
1.4 Metode Penulisan ....................................................................................... 1
BAB II Tinjauan Pustaka ....................................................................................... 2
2.1 Anatomi dan Fisiologi Pembuluh Darah Vena Manusia ........................... 2
2.2 Definisi Deep Vein Thrombosis.................................................................. 4
2.3 Epidemiologi Deep Vein Thrombosis......................................................... 4
2.4 Etiologi dan Faktor Resiko Deep Vein Thrombosis ................................... 5
2.5 Patofisiologi dan Patogenesis Deep Vein Thrombosis ............................... 6
2.6 Manifestasi Klinis Deep Vein Thrombosis ................................................ 8
2.7 Pemeriksaan Penunjang Deep Vein Thrombosis ........................................ 8
2.8 Tatalaksana Deep Vein Thrombosis ........................................................... 14
2.9 Komplikasi Deep Vein Thrombosis ........................................................... 19
2.10 Pencegahan Deep Vein Thrombosis ........................................................... 19
BAB III Kesimpulan ................................................................................................ 23
Daftar Pustaka ........................................................................................................... 24
ii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Prinsip fungsi katup vena (panah yang mengarah ke atas menunjukkan
arah aliran darah. Katup menutup kalau ada aliran balik (arah panah ke
bawah).
Gambar 2.2 Vena pada sirkulasi sistemik
(pada tungkai kanan, diperlihatkan vena-vena bagian luar (superficial)
dan pada tungkai kiri vena-vena bagian dalam (profunda).
Gambar 2.3 Vena dan saraf epifacial pada tungkai bawah dan kaki, region kruris dan
regio pedis
Gambar 2.4 Pembuluh vena dan saraf epificial di dorsum pedis
Gambar 2.5 Skema terbentuknya trombosis vena
Gambar 2.6 Algoritma diagnosis DVT
Gambar 2.7 DVT pada Vena Poplitea Proximal
Gambar 2.8 DVT pada betis
Gambar 2.9 Posisi pasien saat pemeriksaan USG
Gambar 2.10 Vena Femoralis normal
Gambar 2.11 DVT pada Vena Femoralis
Gambar 2.12 Aliran warna Doppler pada pembuluh darah yang normal
Gambar 2.13 Aliran warna Doppler pada DVT
Gambar 2.14 Vena Poplitea normal
Gambar 2.15 DVT pada Vena Poplitea
Gambar 2.16 Latihan dalam posisi berbaring 1a
Gambar 2.17 Latihan dalam posisi berbaring 1b
Gambar 2.18 Latihan dalam posisi berbaring
Gambar 2.19 Latihan dalam posisi duduk 2a
Gambar 2.20 Latihan dalam posisi duduk 2b
Gambar 2.21 Latihan dalam posisi duduk 2c
Gambar 2.22 Latihan dalam posisi duduk 2d
Gambar 2.23 Latihan dalam posisi duduk 2e
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Deep Vein Thrombosis (DVT) atau disebut juga dengan thrombosis vena dalam
merupakan kondisi terbentuknya thrombus (bekuan darah) di dalam vena, terutama pada
vena tungkai bawah. Thrombus yang terlepas dapat merusak katup vena dan
menimbulkan sindrom pascatromboflebitis dan bahkan dapat mengakibatkan terjadinya
emboli paru yang mengancam jiwa. 1
Sejak awal tahun 1990-an Radiologist internasional sudah mengembangkan
metode endovascular sebagai terapi pada ekstremitas inferior. Pada tahun 2006, Society
of International Radiologist (SIR) pertama kali mempublikasikan panduan
penatalaksanaan DVT dan direvisi tahun 2013 sehingga tatalaksana DVT dilakukan
dengan endovascular thrombus removal treatment.2
Angka kejadiannya berjumlah 0,1% penduduk pertahun. Kejadian rata-rata DVT
adalah 48 per 100.000 penduduk dengan tidak ada perbedaan antara jenis kelamin. DVT
dapat mengakibatkan kematian, namun dapat dicegah.3 Oleh karena itu, penting bagi
kita untuk mengatahui tentang Deep Vein Thrombosis.
1.2 Batasan Masalah
Batasan penulisan referat ini membahas anatomi, fisiologi pembuluh darah.
Membahas juga mengenai definisi, etiologi, epidemiologi, klasifikasi, patogenesis,
gambaran klinis, diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi dan prognosis dari Deep Vein
Thrombosis.
1.3 Tujuan Penulisan
Penulisan referat bertujuan menambah pengetahuan tentang Deep Vein
Thrombosis.
1.4 Metode Penulisan
Penulisan referat ini menggunakan tinjauan kepustakaan yang merujuk pada
berbagai literatur.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi dan Fisiologi Pembuluh Darah Vena Manusia
Secara anatomi, pada tungkai terdapat tiga macam sistem vena yang mempunyai
arti klinis, yaitu sistem vena superficial (sistem vena permukaan), sistem vena profunda
(sistem dalam), dan sistem vena komunikans (sistem vena penghubung). Seluruh sistem
vena dilengkapi dengan katup yang menghadap ke arah jantung. Sistem vena terletak di
dalam bungkusan otot. 1
Sistem vaskuler terdiri atas dua system yang saling berhubungan : jantung kanan
memompa darah ke paru melalui sirkulasi paru, dan jantung kiri memompa darah ke
semua jaringan tubuh lainnya melalui sirkulasi sistemik. Pembuluh darah pada kedua
sistem merupakan saluran untuk pengangkutan darah dari jantung ke jaringan dan
kembali lagi ke jantung. Kontraksi ventrikel mensuplai tenaga dorong untuk
mengalirkan darah melalui sistem vaskuler. Arteri mendistribusikan darah teroksigenasi
dari sisi kiri jantung ke jaringan, sementara vena mengangkut darah yang
terdeoksigenasi dari jaringan ke sisi kanan jantung.4
Pembuluh kapiler yang terletak di antara jaringan menghubungkan sistem arteri
dan vena dan merupakan tempat pertukaran nutrisi dan sisa metabolisme antara sistem
sirkulasi dan jaringan, arteriol dan venul yang terletak disebelah kapiler, bersama
dengan kapiler , menyusun sirkulasi mikro.4
Secara struktural vena merupakan analogi system arteri dan vena cava sesuai
dengan aorta. Dinding vena berbeda dengan dinding arteri, lebih tipis dan lebih sedikit
ototnya. Hal ini memungkinkan dinding vena mengalami distensi lebih besar dibanding
arteri. 4
Vena adalah pembuluh darah yang mengalirkan darah kembali ke jantung. Vena
terkecil dinamakan venula. Vena juga mempunyai katup untuk menghalang aliran balik
darah.4
2
Gambar 2.1 Prinsip fungsi katup vena (panah yang mengarah ke atas menunjukkan arah aliran darah. Katup menutup kalau ada aliran balik (arah panah ke bawah).5
Gambar 2.2 Vena pada sirkulasi sistemik(pada tungkai kanan, diperlihatkan vena-vena bagian luar (superficial) dan pada tungkai kiri vena-vena
bagian dalam (profunda). 5
3
Gambar 2.3 Vena dan saraf epifacial pada tungkai bawah dan kaki, region kruris dan regio pedis. 5
Gambar 2.4 Pembuluh vena dan saraf epificial di dorsum pedis 5
2.2. Definisi Deep Vein Thrombosis
Trombosis vena dalam atau Deep vein thrombosis (DVT) merupakan
pembentukan bekuan darah pada lumen vena dalam (deep vein) yang diikuti oleh reaksi
inflamasi dinding pembuluh darah dan jaringan perivena. DVT disebabkan oleh
disfungsi endotel pembuluh darah, hiperkoagulabilitas dan gangguan aliran darah vena
(stasis) yang dikenal dengan Trias Virchow. 6,7
2.3. Epidemiologi Deep Vein Thrombosis
DVT dapat mengakibatkan kematian, namun dapat dicegah. Angka kejadiannya
berjumlah 0,1% penduduk pertahun. Kejadian rata-rata DVT adalah 48 per 100.000
penduduk dengan tidak ada perbedaan antara jenis kelamin. Namun, laki-laki memiliki
risiko yang tinggi untuk terjadinya thrombosis berulang.3
4
Pada beberapa penelitian juga didapatkan bahwa kejadian DVT meningkat
sesuai umur, dengan angka kejadian 1 per 10.000 – 20.000 populasi pada umur dibawah
15 tahun, dan meningkat secara eksponensial sesuai dengan umur hingga 1 per 1000
kasus pada usia diatas 80 tahun.8,9,10 Insidensi DVT pada ras Asia dan Hispanic
dilaporkan lebih rendah dibandingkan dengan ras Kaukasians, Afrika-Amerika, Latin,
dan Asia Pasifik.9 Angka insidensi yang lebih rendah ini masih belum dapat dijelaskan,
namun diduga berkaitan dengan rendahnya prevalensi faktor predisposisi genetik,
seperti faktor V Leiden.9 Tidak ada perbedaan insidensi antara pria dan wanita,
walaupun penggunaan kontrasepsi oral dan terapi sulih hormon post menopause
merupakan faktor resiko terjadinya DVT.9
Trombosis dapat terjadi pada bagian distal dan proksimal vena. Pada pasien
DVT simptomatis, lokasi thrombosis ditemukan 10% pada v. poplitea, 42% pada v.
poplitea dan v. femoralis superficial, 35% pada semua vena proksimal, dan 5% pada v.
femoralis superfisialis atau v. iliaka. 1
2.4. Etiologi dan Faktor Resiko
Beberapa faktor risiko terjadinya DVT 9,11
1. Didapat (acquired)
- Bertambahnya usia
- Tindakan pembedahan (ortopedi, bedah saraf, laparotomi,dll)
- Trauma
- Kateter vena sentral
- Keganasan
- Sindrom antifosfolipid
- Puerperium
- Imobilisasi lama (tirah baring, paralisis ekstremitas)
- Kehamilan
- Obesitas
- Kontrasepsi oral
- Terapi sulih hormon
- Penyakit myeloproliferatif
- Polisitemia vera
5
- Infark miokard
- Varises
2. Diturunkan
- Defisiensi antitrombin
- Defisiensi Protein C
- Defisiensi Protein S
- Faktor V Leiden (FVL)
- Prothrombin G20210A
- Kelompok Golongan darah non-O
- Disfibrinogenemia
3. Campuran keduanya
- Tingginya kadar PCI (PAI-3)
- Tingginya kadar salah satu faktor pembekuan darah dibawah ini: VIII, IX, XI
- Tingginya kadar fibrinogen
- Tingginya kadar TAFI (Thrombin Activated Fibrinolysis Inhibitor)
- Menurunnya kadar TFPI (Tissue Factor Pathway Inhibitor)
- Resistensi protein C teraktivasi pada absennya FVL
- Hiperhomosisteinemia
2.5. Patofisiologi dan Patogenesis Deep Vein Thrombosis
Terdapat tiga faktor yang dapat mengakibatkan thrombosis vena yang ditemukan
oleh Virchow pada tahun 1856 yang dikenal dengan Trias Virchow.1Trias Virchow
meliputi cedera pembuluh darah, hiperkoagulabilitas, dan stasis.11
Trias Virchow : 1
1. Pembuluh darah
Dalam keadaan normal terdapat keseimbangan dalam sistem pembekuan darah dan
sistem fibrinolisis. Kecendrungan terjadinya trombosis, apabila aktifitas pembekuan
darah meningkat atau aktifitas fibrinolisis menurun. Trombosis vena banyak terjadi
pada kasus-kasus dengan aktifitas pembekuan darah meningkat, seperti pada hiper
koagulasi, defisiensi antitrombin III, defisiensi protein C, defisiensi protein S dan
kelainan plasminogen.12,13
6
Bila terjadi kerusakan pada dinding pembuluh darah, akan mempermudah adhesi
trombosit pada subendotel. Thrombosis berdekatan akan dihubungkan oleh
fibrinogen dan terjadi agregasi trombosit yang membentuk plak trombosit. Selain
itu, kerusakan jaringan akan mengaktifkan sistem koagulasi jalur ekstrinsik yang
menghasilkan thrombus dan fibrin. 1
2. Koagulasi darah
Migrasi leukosit di tempat kerusakan jaringan akan mengakibatkan aktifnya
koagulasi. Aktivasi koagulasi tersebut akan mengaktifkan F X menjadi F Xa dan
melaui jalur umum, X Fa bersama F V dan faktor 3 trombosit akan mengubah
protrombin menjadi thrombin. Fibrin tersebut akan menjadi dasar bekuan atau
thrombosis. Koagulasi darah juga dapat meningkat karena faktor umur, trombofilia,
dan kondisi tertentu. 1
3. Stasis
Pada kondisi stasis, faktor koagulasi yang aktif akan lambat dibawa ke hati untuk
mengalami pembersihan (clearance). Stasis juga mencegah bercampurnya faktor
pembekuan aktif dengan antikoagulan. Selain itu, stasis juga mempermudah
interaksi trombosit dengan faktor pembekuan di dalam pembuluh darah. Akibat
terjadinya thrombus, aliran darah vena menjadi terhambat dan cairan dapat keluar
dari pembuluh darah ke jaringan interstitial sehingga menimbulkan udem. Udem
selanjutnya dapat menekan saraf perifer dan mengakibatkan adanya keluhan nyeri
terutama saat beraktivitas. Stasis vena juga dapat ditimbulkan oleh imobilitas,
obstruksi vena, gagal jantung. 1
Selain itu, stasis vena juga dapat menyebabkan desaturasi hemoglobin dan
mengarah pada suatu keadaan hipoksia pada endotelium. Suplai nutrisi endotelium
berasal dari perfusi langsung sel-sel darah di dalam lumen. Keadaan hipoksia pada
endotelium dapat menyebabkan berbagai respon seluler, mulai dari tidak ada respon,
aktivasi sel, hingga kematian sel. Keadaan iskemia dapat memicu aktivasi sel
endotelial untuk mengekpresikan P-selectin, yang kemudian memungkinkan
kompleks TF-mikrovesikel untuk menginisiasi koagulasi dan trombosis. 1
7
Gambar 2.5 Skema terbentuknya trombosis vena
2.6. Manifestasi Klinis Deep Vein Thrombosis
Manifestasi klinis utama DVT adalah bengkak, perubahan warna, nyeri, dan
function laesa. Lebih dari 25% pasien yang mengeluhkan hal tersebut ternyata
mengalami DVT. Beberapa pasien datang dengan riwayat gejala dan tanda thrombosis
vena yang berulang, yaitu bengkak dan nyeri tungkai, bengkak dan warna kulit gelap
atau kehitaman dan sering berkembang menjadi luka pada maleolus yang merupakan
gejala pascatrombosis. Bila terjadi sumbatan massif pada vena iliofemoral, aliran darah
balik dari pembuluh darah balik kaki tersumbat total sehingga terjadi pembengkakan
mulai dari paha sampai kaki yang tampak kebiruan disertai nyeri. Kondisi ini disebut
phlegmasia cerrulae dolons. 1
Salah satu penyulit DVT adalah terjadinya udem paru. Pasien tiba-tiba mengeluh
sakit dada, sesak, gelisah, sianosis, dan hemoptisis. Pada setiap pasien DVT perlu
dipikirkan emboli paru karena kejadiannya dapat terjadi lebih dari 2/3. 1
2.7. Pemeriksaan Penunjang Deep Vein Thrombosis
Diagnosis DVT tidak dapat ditegakkan hanya berdasarkan
manifestasi klinis, tetapi juga memerlukan pemeriksaan penunjang.
Pemeriksaan penunjang yang dapat membantu menegakkan
diagnosis pasti adalah dengan venografi, dimana sensitifitas dan
spesifisitas mencapai 100%. Namun venografi memiliki kelemahan,
yaitu tindakan invasif dan mempunyai efek samping phlebitis dan
8
pembentukan trombosis, oleh karena itu venografi tidak digunakan
sebagai alat bantu pertama dalam mendiagnosis DVT.14
D-dimer juga dapat dipakai sebagai pemeriksaan penunjang,
apalagi bila dikombinasi dengan pemeriksaan ultrasonografi dengan
nilai prediksi negatif yang baik sehingga hasil negatif benar-benar
dapat menyingkirkan diagnosis DVT. Akan tetapi, pemeriksaan D-
dimer tidak begitu akurat pada pasien dengan malignansi dan
kehamilan atau pada pasien paska operatif, hal ini disebabkan pada
pasien malignansi, hamil dan paska operatif nilai D-dimer dapat
meningkat meskipun tanpa adanya DVT. Oleh karena itu, pada pasien
dengan malignansi, kehamilan dan paska operatif sangat dianjurkan
untuk mengkombinasi pemeriksaan D-dimer dengan ultrasonografi.14
Selain itu, dapat juga digunakan pemeriksaan impedance
pletysmography dan radiolabeled fibrinogen uptake, akan tetapi karena
kompleksitas pemeriksaan ini sudah tidak dipakai lagi dan digantikan
dengan pemeriksaan ultrasonografi.14
Gambar 2.6 Algoritma diagnosis DVT14
1. Venografi
Hingga saat ini venografi masih merupakan Gold Standart untuk pemeriksaan
thrombosis vena. Namun pemeriksaan venografi dinilai relatif sulit, mahal, dan 9
dapat menimbulkan nyeri bahkan menimbulkan thrombosis baru. Sehingga
pemeriksaan ini dirasa kurang nyaman oleh sebagian besar penderita.15
Venografi pada kasus DVT dilakukan dengan menggunakan zat kontras yang
disuntikkan ke dalam daerah dorsum pedis sehingga akan terlihat gambaran system
vena di betis, paha, inguinal, sampai ke proksimal vena iliaca.15
Flebografi/ venografi yang dilakukan pada ekstremitas bawah dilakukan dengan
teknik sebagai berikut:16
- Kaki yang akan diperiksa direndam dengan air panas selama 10 menit
- Lakukan pengikatan di atas mata kaki dengan karet elastik agar vena-vena di
punggung kaki terlihat lebih jelas
- Lakukan tindakan asepsis dan antisepsis pada daerah punggung kaki
- Lakukan pungsi pada salah satu vena interfalangea atau vena-vena yang ada di
punggung kaki dengan menggunakan wing needle no 22-23
- Posisi pengambilan foto: kaki pasien difoto miring dengan sudut kira-kira 300-
450 dengan lantai. Pasien dapat difoto di meja Rontgen yang dimiringkan, atau
dapat juga dengan posisi pasien berdiri, kaki dimiringkan 300-450 dengan film
ukuran 20 x 100 cm di belakangnya
- Suntikan zat kontras angiografin sebanyak kira-kira 40-80 ml
- Posisi pengambilan foto:
o Pengikatan di atas mata kaki
Tungkai bawah, AP dan lateral
Lutut bawah, AP dan lateral
Tungkai atas, AP dan lateral
Daerah inguinal, AP
o Ikatan dibuka
Tungkai bawah, AP dan lateral
Lutut bawah, AP dan lateral
Tungkai atas, AP dan lateral
Gambaran patologik yang dapat terlihat pada foto flebografi (venografi):16
a. Flebitis; penyempitan vena, dinding vena ireguler, kalsifikasi, hipervaskularisasi
vena
10
b. Trombus dalam vena; tampak gambaran radiolusen berbentuk garis atau defek tak
beraturan di dalam vena
c. Penyumbatan vena; gambaran amputasi pada vena akibat munculnya kolateral pada
vena tersebut
d. Varises atau varikosis; tampak gambaran pelebaran dan berkelok0kelok pada vena
disekitar
e. Insufisiensi katup vena; kontras dapat memasuki vena padahal seharusnya kontras
tidak dapat memasuki vena tersebut
f. Aneurisma vena; tampak pelebaran pada dinding vena yang simetris, menyerupai
aneurisma
g. Defek pada vena; biasanya karena tertekan massa dari luar
Gambar 2.7 DVT pada Vena Poplitea Proximal17
Gambar 2.8 DVT pada betis17
2. Ultra sonografi (USG)
11
Menurut sebuah penelitian, pemeriksaan ini dapat memberikan hasil sensitivity
60.6% dan spesifity 93.9%. Pemeriksaan USG ini dilakukan terutama pada kasus
thrombosis vena yang berulang, yang sulit dideteksi menggunakan cara objektif
yang lain.15
USG untuk DVT terfokus pada ekstremitas bawah dapat dilakukan dengan
menggunakan teknik kompresi tiga poin sederhana yang berkonsentarasi pada
evaluasi terhadap daerah dengan turbulensi tertinggi dan paling berisiko untuk
trjadinya trombus, yaitu:18
1) Vena femoralis disaphenous junction,
2) Vena femoralis proksimal superficial dan profunda
3) Vena poplitea
Indikasi dilakukan USG pada kasus DVT, yaitu:18
1. Pembengkakan dan nyeri pada ekstremitas bawah
2. Diduga juga terjadi emboli paru namun secara klinis tidak stabil dan
kontraindikasi untuk dilakukan CT-scan thorax
3. Pulseless electrical activity (PEA)
Gambar 2.9 Posisi pasien saat pemeriksaan USG18
12
Gambar 2.10 Vena Femoralis normal18
Gambar 2.11 DVT pada Vena Femoralis18
Gambar 2.12 Aliran warna Doppler pada pembuluh darah yang normal18
13
Gambar 2.13 Aliran warna Doppler pada DVT18
Gambar 2.14 Vena Poplitea normal18
Gambar 2.15 DVT pada Vena Poplitea18
14
2.8. Penatalaksanaan Deep Vein Thrombosis
Pengobatan trombosis vena diberikan pada kasus-kasus yang diagnosisnya
sudah pasti dengan menggunakan pemeriksaan yang objektif, oleh karena obat-obatan
yang diberikan mempunyai efek samping yang kadang-kadang serius.10, 17,18
Penatalaksanaan DVT baik non-farmakologis dan farmakologis diarahkan untuk dapat
mencapai tujuan-tujuan sebagai berikut: 11,20
1. Mencegah meluasnya trombosis dan timbulnya emboli paru.
2. Mengurangi morbiditas pada serangan akut.
3. Mengurangi keluhan post flebitis
4. Mengobati hipertensi pulmonal yang terjadi karena proses tromboemboli.
1. Non Farmakologis
Penatalaksanaan non farmakologis terutama ditujukan untuk mengurangi
morbiditas pada serangan akut. Untuk mengurangi keluhan dan gejala trombosis vena
pasien diajurkan untuk: istirahat di tempat tidur (bedrest), meninggikan posisi kaki, dan
dilakukan pemasangan stoking dengan tekanan kira-kira 40mmHg.19,20
Meskipun stasis vena dapat disebabkan oleh imobilisasi lama seperti pada
pasien-pasien dengan bedrest, namun tujuan bedrest pada pasien-pasien dengan DVT
adalah untuk mencegah terjadinya emboli pulmonal. Prinsipnya sederhana, pergerakan
berlebihan dari tungkai yang mengalami DVT dapat membuat klot terlepas dan
“berjalan” ke paru. Dahulu, pasien dengan DVT aktif diharuskan bedrest selama 7-10
hari. Namun, pada penelitian Patrtsch dan Blattler dengan design kohort melaporkan
bahwa ambulasi dini dapat mengurangi nyeri dan pembengkakan segera. Ambulasi dini
dilakukan pada pasien DVT yang belum terdiagnosa PE dan tidak memiliki kelainan
kardiopulmoner. Ambulasi dini juga disarankan pada pasien dengan kondisi
hiperkoagulasi dan dilakukan sekitar 24jam setelah menerima terapi antikoagulan.19
Nyeri dan pembengkakan biasanya akan berkurang sesudah 24 – 48 jam
serangan trombosis. Apabila nyeri sangat hebat atau timbul flagmasia alba dolens di
anjurkan tindakan embolektomi. Pada keadaan biasa, tindakan pembedahan
pengangkatan thrombus atau emboli, biasanya tidak di anjurkan.20
2. Farmakologis
15
Meluasnya proses trombosis dan timbulnya emboli paru dapat di cegah dengan
pemberian anti koagulan dan obat-obatan fibrinolitik. Pada pemberian obat-obatan ini di
usahakan biaya serendah mungkin dan efek samping seminimal mungkin. Pemberian
anti koagulan sangat efektif untuk mencegah terjadinya emboli paru, obat yang biasa di
pakai adalah heparin. Prinsip pemberian anti koagulan adalah save dan efektif. Save
artinya anti koagulan tidak menyebabkan perdarahan. Efektif artinya dapat
menghancurkan trombus dan mencegah timbulnya trombus baru dan emboli. Pada
pemberian heparin perlu di pantau waktu tromboplastin parsial atau di daerah yang
fasilitasnya terbatas, sekurang-kurangnya waktu pembekuan.
16
a. Pemberian Heparin
Diberikan heparin 5000 IU bolus (80 iu/KgBB), bolus dilanjutkan dengan drips
1000 – 1400 iu/jam (18 iu/KgBB), drip selanjutnya tergantung hasil APTT. 6 jam
kemudian di periksa APTT untuk menentukan dosis dengan target 1,5 – 2,5 kontrol.
- Bila APTT 1,5 – 2,5 x kontrol dosis tetap.
- Bila APTT < 1,5 x kontrol dosis dinaikkan 100 – 150 iu/jam.
- Bila APTT > 2,5 x kontrol dosis diturunkan 100 iu/jam.
Penyesuaian dosis untuk mencapai target dilakukan pada hari ke 1 tiap 6
jam, hari ke 2 tiap 2 - 4 jam. Hal ini di lakukan karena biasanya pada 6 jam
pertama hanya 38% yang mencapai nilai target dan sesudah dari ke 1 baru 84%.
Heparin dapat diberikan 7–10 hari yang kemudian dilanjutkan dengan
pemberian heparin dosis rendah yaitu 5000 iu/subkutan, 2 kali sehari atau
pemberian anti koagulan oral, selama minimal 3 bulan.
Pemberian anti koagulan oral harus diberikan 48 jam sebelum rencana
penghentian heparin karena anti koagulan orang efektif sesudah 48 jam.
b. Pemberian Low Molecular Weight Heparin (LMWH)1
Pemberian obat ini lebih di sukai dari heparin karena tidak memerlukan pemantauan
yang ketat, sayangnya harganya relatif mahal dibandingkan heparin. Saat ini preparat
yang tersedia di Indonesia adalah Enoxaparin (Lovenox) dan (Nandroparin Fraxiparin).
Tabel Regimen LMWH dalam penatalaksanaan DVT 11
Nama Obat DosisEnoxaparin 1mg/kgBB, terbagi 2 dosis per hariDalteparin 200UI/kgBB, satu kali sehariTinzaparin 175UI/kgBB, satu kali sehariNadroparin 6150UI terbagi 2 dosis, untuk BB 50-70kg
4100 UI terbagi 2 dosis, bila BB <50kg9200 UI terbagi 2 dosis, bila BB >70kg
Reviparin 4200 UI terbagi 2 dosis, untuk BB 46-60kg3500 UI terbagi 2 dosis bila BB 35-45kg6300 UI terbagi 2 dosis, bila BB > 60kg
Fondaparinux 7,5mg satu kali sehari untuk BB 50-100kg5mg satu kali sehari untuk BB <50kg10mg satu kali sehari untuk BB>100kg
17
LMWH diberikan secara subkutan satu atau dua kali sehari, dan lebih dipilih
dibanding pemberian heparin kontinu secara intravena, terutama pada pasien-pasien
dengan trombosis vena tanpa komplikasi yang dapat rawat jalan.
Walaupun demikian, unfractionated heparin intravena tetap menjadi antikoagulan
inisial pada pasien dengan gagal ginjal. Beberapa regimen LMWH yang telah terbukti
efektif dalam menatalaksana trombosis vena dapat dilihat pada tabel di atas.
c. Pemberian Antikoagulan Oral11,20
Pemberian terapi antikoagulan jangka panjang diperlukan untuk mencegah
rekurensi. Obat yang biasa di pakai adalah antagonis vitamin K, seperti sodium
warfarin. Pemberian Warfarin di mulai dengan dosis 6 – 8 mg (single dose) pada
malam hari. Dosis dapat dinaikan atau di kurangi tergantung dari hasil INR
(International Normolized Ratio). Lama pemberian anti koagulan oral adalah 6 minggu
sampai 3 bulan apabila trombosis vena dalam timbul disebabkan oleh faktor resiko yang
reversible. Sedangkan kalau trombosis vena adalah idiopatik di anjurkan pemberian anti
koagulan oral selama 3-6 bulan, bahkan biasa lebih lama lagi apabila ditemukan
abnormal inherited mileculer.
Kontra indikasi pemberian anti koagulan adalah20,21:
1. Hipertensi : sistilik > 200 mmHg, diastolik > 120 mmHg.
2. Perdarahan yang baru di otak.
3. Alkoholisme.
4. Lesi perdarahan traktus digestif.
Pemberian trombolitik selama 12-14 jam dan kemudian di ikuti dengan heparin,
akan memberikan hasil lebih baik bila dibandingkan dengan hanya pemberian heparin
tunggal. Peranan terapi trombolitik berkembang dengan pesat pada akhir abad ini,
terutama sesudah dipasarkannya streptiknase, urokinase dan tissue plasminogen
activator (TPA). TPA bekerja secara selektif pada tempat yang ada plasminon dan
fibrin, sehingga efek samping perdarahan relatif kurang. Brenner menganjurkn
pemberian TPA dengan dosis 4 ugr/kgBB/menit, secara intra vena selama 4 jam dan
Streptokinase diberikan 1,5 x 106 unit intra vena kontiniu selama 60 menit. Kedua jenis
trombolitik ini memberikan hasil yang cukup memuaskan. Efek samping utama
pemberian heparin dan obat-obatan trombolitik adalah perdarahan dan akan bersifat
fatal kalau terjadi perdarahan sereral. Untuk mencegah terjadinya efek samping
18
perdarahan, maka diperlukan monitor yang ketat terhadap waktu trombo plastin parsial
dan waktu protombin, jangan melebihi 2,5 kali nilai kontrol.
3. Tindakan Pembedahan
Tindakan bedah dilakukan apabila pada upaya preventif dan pengobatan
medikamentosa tidak berhasil serta adanya bahaya komplikasi. Ada beberapa pilihan
tindakan bedah yang bisa dipertimbangkan antara lain:22
a. Ligasi vena, dilakukan untuk mencegah emboli paru. Vena Femoralis dapat diikat
tanpa menyebabkan kegagalan vena menahun, tetapi tidak meniadakan
kemungkinan emboli paru. Ligasi Vena Cava Inferior secara efektif dapat mencegah
terjadinya emboli paru, tapi gejala stasis hebat dan resiko operasi lebih besar
dibanding dengan pemberian antikoagulan dan trombolitik.
b. Trombektomi, vena yang mengalami thrombosis dilakukan trombektomi dapat
memberikan hasil yang baik jika dilakukan segera sebelum lewat 3 hari. Tujuan
tindakan ini adalah: mengurangi gejala pasca flebitik, mempertahankan fungsi katup
dan mencegah terjadinya komplikasi seperti ulkus stasis dan emboli paru.
c. Femorofemoral grafts disebut juga cross-over-method dari Palma, tindakan ini
dipilih untuk bypass vena iliaka serta cabangnya yang mengalami trombosis.
Tekniknya vena safena diletakkan subkutan suprapubik kemudian disambungkan
end-to-side dengan vena femoralis kontralateral.
d. Saphenopopliteal by pass, dilakukan bila rekanalisasi pada trombosis vena femoralis
tidak terjadi. Metoda ini dengan menyambungkan vena safena secara end-to-side
dengan vena poplitea.
4. Rehabilitasi Medik :
a. Fisioterapi
- Bed rest merupakan hal terakhir yang dilakukan setelah dilakukan kompresi kaki
dan ambulasi pada pasien yang sudah menderita DVT. Perkembangan thrombus
jarang terjadi dan kurang berat pada kelompok ambulasi.
- Terapi fisik harus diberikan lebih dini untuk pasien DVT.
- Pada pasien post-operasi, dapat dilakukan latihan range of motion, latihan
berjalan, dan latihan isometrik, yang dapat dimulai pada hari pertama setelah
operasi.
19
b. Terapi manual
Terapi yang efektif pada pasien trauma (dengan antikoagulan) untuk mencegah
DVT yakni gerakan pasif yang berkelanjutan. Misalnya menggerakan sendi kaki
secara pasief sebanyak 30 kali dalam satu menit.
c. Protesa-Ortesa
Penggunaan stoking kompresi elastic (ECS) setelah menderita DVT untuk
mengurangi gejala dan tanda selama latihan tidak memberikan hasil yang konklusif.
2.9. Komplikasi Deep Vein Thrombosis
Komplikasi dari endovascular DVT thrombus removal adalah terjadinya
perdarahan. Hal tersebut ditemui pada 2,8% yaitu 30 kasus dari 151 kasus yang
diikuti secara random. Perdarahan intracranial, pulmonary embolism (PE)
simptomatik, dan kematian adalah komplikasi yang paling ditakuti pada
prosedur endovascular thrombus removal.2
2.10. Pencegahan
Pencegahan adalah upaya terapi terbaik pada kasus trombosis vena
dalam, terutama pada penderita yang memiliki resiko tinggi. Peranan ahli
rehabilitasi medik sangat dibutuhkan pada upaya ini agar mereka yang
berpotensi mengalami trombosis vena tidak sampai mengalami DVT 22
Ada beberapa program rehabilitasi medik yang berfungsi untuk
mencegah timbulnya trombosis vena pada populasi resiko tinggi. Program-
program tersebut adalah 23
a. Mobilisasi dini, program ini diberikan pada penderita beresiko timbul DVT oleh
karena keadaan yang mengakibatkan imobilisasi lama akibat kelumpuhan seperti
penderita stroke, cedera spinal cord, cedera otak, peradangan otak. Dengan
melakukan latihan pada tungkai secara aktif maupun pasif sedini mungkin aliran
balik vena ke jantung bisa membaik.
b. Elevasi, meninggikan bagian ekstremitas bawah di tempat tidur sehingga lebih
tinggi dari jantung berguna untuk mengurangi tekanan hidrostatik vena dan juga
memudahkan pengosongan vena karena pengaruh grafitasi.
c. Kompresi, pemberian tekanan dari luar seperti pemakaian stocking, pembalut
elastik, ataupun kompresi pneumatik eksternal dapat mengurangi stasis vena. Tetapi
20
pemakaian stocking dan pembalut elastik harus dikerjakan dengan hati-hati guna
menghindari efek torniket oleh karena pemakaian yang ceroboh.
d. Latihan, program latihan yang melibatkan otot-otot ekstremitas bawah akan sangat
membantu perbaikan arus balik pada sistem vena sehingga mengurangi tekanan
vena, dengan demikian dapat memperbaiki sirkulasi vena yang bermasalah dan
beresiko timbulnya DVT. Berikut beberapa contoh sederhana latihan yang bisa
diberikan pada kelompok resiko tinggi trombosis vena
1. Latihan dalam posisi berbaring
Gambar 2.16 Latihan dalam posisi berbaring (1.a) Posisi berbaring miring dengan posisi tungkai satu di atas dengan yang lain selanjutnya tungkai yang berada di atas diangkat hingga 45 dipertahankan sesaat
kemudian kembali keposisi awal, latihan dilakukan bergantian antara kanan dan kiri tungkai masing-masing 6 kali.
Gambar 2.17 Latihan dalam posisi berbaring 1.b. Posisi terlentang kedua tungkai bawah lurus selanjutnya salah satu tungkai ditekuk dan ditarik kearah dada perlahan, di dipertahankan 15 detik
sebelum kembali ke posisi awal. Latihan bergantian kanan dan kiri masing-masing 6 kali.
Gambar 2.18 Latihan dalam posisi berbaring 1.c. Posisi terlentang dengan pergelangan kaki netral selanjutnya kaki diekstensikan/plantar fleksi dengan ujung jari ditekankan ke bawah, pertahankan
beberapa detik. Gerakan tersebut diulangi 6 kali per latihan.
21
2. Latihan dalam posisi duduk
Gambar 2.19 Latihan dalam posisi duduk 2.a. Lutut dipertahankan pada posisi fleksi selanjutnya diangkat keatas kea rah dada dan kembali diturunkan, demikian gerakan dilakukan berulang secara bergantian
antara sisi kiri dan kanan.
Gambar 2.20 Latihan dalam posisi duduk 2.b. Posisi sambil duduk kemudian lutut diekstensikan dan kembali keposisi semula, dilakukan bergantian sisi kanan dan kiri.
Gambar Latihan dalam posisi duduk 2.c. Posisi duduk dengan lengan di samping, selanjutnya tungkai bawah diangkat lurus ke atas, pertahankan beberapa detik kemudian diturunkan. Gerakan diulang secsra
bergantian masing-masing 6 kali.
Gambar 2.22 Latihan dalam posisi duduk 2.d. Tumit diangkat keduanya selanjutnya dilakukan gerakan melingkar/rotasi pada kedua kaki dengan arah putaran berlawanan antara kiri dan kanan, gerakan
dilakukan selama 15 detik dilanjutkan dengan arah putaran sebaliknya.
22
Gambar 2.23 Latihan dalam posisi duduk 2.e. Melakukan gerakan pumping pada kedua kaki dengan menekan lantai pada ujung jati kaki sementara tumit diangkat, dipertahankan 3 detik dan dilanjutkan
dengan tumit menekan lantai sementara ujung jari terangkat juga dipertahankan selama 3 detik, demikian dilakukan berulang.
23
BAB III
KESIMPULAN
Trombosis vena dalam atau Deep vein thrombosis (DVT) merupakan
pembentukan bekuan darah pada lumen vena dalam (deep vein) yang diikuti oleh reaksi
inflamasi dinding pembuluh darah dan jaringan perivena. Kejadian rata-rata DVT
adalah 48 per 100.000 penduduk dengan tidak ada perbedaan antara jenis kelamin.
Namun, laki-laki memiliki risiko yang tinggi untuk terjadinya thrombosis berulang.
DVT disebabkan oleh disfungsi endotel pembuluh darah, hiperkoagulabilitas
dan gangguan aliran darah vena (stasis) yang dikenal dengan Trias Virchow, meliputi
cedera pembuluh darah, hiperkoagulabilitas, dan stasis. Manifestasi klinis utama DVT
adalah bengkak, perubahan warna, nyeri, dan function laesa. Salah satu penyulit DVT
adalah terjadinya udem paru. Pasien tiba-tiba mengeluh sakit dada, sesak, gelisah,
sianosis, dan hemoptisis. Pada setiap pasien DVT perlu dipikirkan emboli paru.
Diagnosis DVT tidak dapat ditegakkan hanya berdasarkan
manifestasi klinis, tetapi juga memerlukan pemeriksaan penunjang.
Pemeriksaan penunjang yang dapat membantu menegakkan
diagnosis pasti adalah dengan venografi, dan d-dimer. Sensitifitas dan
spesifisitas pada venografi mencapai 100%.
Penatalaksanaan DVT meliputi farmakologi, nonfarmakologi,
tindakan pembedahan, dan rehabilitasi medic. Penatalaksanaan DVT baik
non-farmakologis dan farmakologis diarahkan untuk dapat mencapai tujuan mencegah
meluasnya trombosis dan timbulnya emboli paru, mengurangi morbiditas pada serangan
akut, mengurangi keluhan post flebitis, dan mengobati hipertensi pulmonal yang terjadi
karena proses tromboemboli.
Komplikasi dari endovascular DVT thrombus removal adalah terjadinya
perdarahan, sedangkan komplikasi yang paling ditakuti pada prosedur endovascular
thrombus removalperdarahan intracranial, pulmonary embolism (PE) simptomatik, dan
kematian .
24
25
DAFTAR PUSTAKA
1. Reksodiputro AH, Tambunan KL, Widjanarko A. Dalam R Sjamsuhidajat, De Jong.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Bedah Sjamsuhidajat – De Jong. Edisi 3. Jakarta : EGC.
2007
2. Vedantham S et al. Quality improvement guideline for treatmen of lower-extremity
Deep Vein Thrombosis with use of endovascular thrombus removal. J Vasc Interv
Radiol. 2014
3. Kesieme E et al. Deep Vein Thrombosis : a clinical review. Journal of Blood
Medicine. 2011
4. Hirsch AT, Haskal ZJ, Hertzer NR, et al. American College of Cardiology
(ACC)/American Heart Association (AHA) guidelines for the management of
patients with peripheral arterial disease (lower extremity, renal, mesenteric, and
abdominal aortic). J Am Col Card 2006
5. R, Putz and R, Pabst. Atlas Anatomi Manusia: Sobotta. Jakarta, EGC: 2006.
6. Bailey A, Scantlebury D, Smyth S. Thrombosis and antithrombotic in
women. Arterioscler Thromb Vasc Biol. 2009
7. Hirsh J, Lee A . How we diagnose and treat deep vein thrombosis.Blood. 2002
8. Cushman, M. Epidemiology and Risk Factors for Venous Thrombosis. Semin
Hematol. 2007
9. White, R. The Epidemiology of Venous Thromboembolism. Circulation.
http://circ.ahajournals.org/content/107/23_suppl_I/I-4. 2003
10. Fauci, AS, DL Kasper, DL Longo, E Braunwald, SL Hauser, JL Jameson, J
Loscalzo. Venous Thrombosis. Dalam: Harrison’s Principles of Internal Medicine
17th Edition. Chapter 111. USA: McGraw-Hill Companies, Inc. 2008.
11. Malone PC, Agutter PS. The Aetiology of deep venous thrombosis. Q J Med. 2006
12. Prandoni et al : DVT and the incidence of Subsequent Symptomatic cancer N. Eng J
Med. 327:1128-1133, 1992.
13. Anderson D.R. et al : Efficacy and Cost of LMH Compared with Standard Heparin
for Prevention of DVT After Total Hip Arthrosplasty. Ann of Intern Med. 119: 1105
– 1112.1993.
26
14. Muhammad R. Prevalensi Trombosis Vena Dalam. 2011. Medan : Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara
15. JCS Guidelines. Guidelines for the diagnosis, treatment and prevention of
pulmonary thromboembolism and deep vein thrombosis. 2011. Circ J
16. Sjahriar R Radiologi Diagnostik. Edisi kedua. 2009. Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Departemen Radiologi
17. Marina D, Resa E. Focus On: Emergency Ultrasound For Deep Vein Thrombosis.
ACEP News. http://www.acep.org/Clinical---Practice-Management/Focus-On--
Emergency-Ultrasound-For-Deep-Vein-Thrombosis/. 2009.
18. American Academy of Orthopaedics Surgeons. Deep Vein Thrombosis.
www5.aaos.org
19. Partsch, H dan Blattler W. Compression and walking versus bed rest in the
treatment of proximal deep venous thrombosis with low molecular weight heparin. J
Vasc Surg. 2000
20. Hirsh, J dan J Hoak. Management of Deep Vein Thrombosis and Pulmonary
Embolism. Circulation. http://circ.ahajournals.org/. 1996
21. Breddin HK et al. Effects of a LMH on Thrombus Regression and Recurrent
Thrombo-embolism in Patient DVT. N. Engl J of Med 344:626-631, 2001.
22. Jusi D. Dasar-Dasar Bedah Vaskuler. 3 ed. Jakarta: Balai Penerbitan FKUI; 2004.
23. Andrews KL, Gamble GL, et al. Vascular Diseases. In: Delisa JA, editor. Physical
Medicine & Rehabilitation Principles and Practice, 4th Edition. Phyladelphia:
Lippincott Williams & Wilkins; 2010.
27