32
Reformasi Hukum Administrasi , Menciptakan Pemerintahan Menuju Pemerintahan Good Governance LATAR BELAKANG Hukum Administrasi Negara adalah sebagian dari hukum yang mengatur tindakan penyelenggara negara (= administrasi negara) berdasarkan kewenangan yang dimilikinya dalam hubungannya dengan rakyat atau warganya. 1 Dengan demikian Hukum Administrasi Negara dapat dikatakan sebagai suatu aturan-aturan ataupun kaidah hukum yang memiliki fungsi sebagai pengatur hubungan antara pemerintah sebagai administrasi negara dengan rakyat dengan tujuan untuk melakukan servis publik. Sedangkan menurut J.H.A Logemann 2 hukum administrasi sendiri meliputi peraturan-peraturan khusus, yang disamping hukum positif yang berlaku umum, mengatur cara-caraorganisasi negaraikut serta dalam lalu lintas masyarakat. 1 Zainal Muttaqin, Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara: Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Administrasi Negara dalam Negara Hukum Pancasila dan UUD 1945, (Yogyakarta: UII Press), 2004, halaman 127 2 J.H.A. Logemann dalam, Philipus M. Hodjon dkk, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press), 2005, halaman 23 1

Reformasi Hukum Administrasi

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Reformasi Hukum Administrasi

Reformasi Hukum Administrasi , Menciptakan Pemerintahan Menuju

Pemerintahan Good Governance

LATAR BELAKANG

Hukum Administrasi Negara adalah sebagian dari hukum yang mengatur

tindakan penyelenggara negara (= administrasi negara) berdasarkan kewenangan

yang dimilikinya dalam hubungannya dengan rakyat atau warganya.1 Dengan

demikian Hukum Administrasi Negara dapat dikatakan sebagai suatu aturan-

aturan ataupun kaidah hukum yang memiliki fungsi sebagai pengatur hubungan

antara pemerintah sebagai administrasi negara dengan rakyat dengan tujuan untuk

melakukan servis publik. Sedangkan menurut J.H.A Logemann2 hukum

administrasi sendiri meliputi peraturan-peraturan khusus, yang disamping hukum

positif yang berlaku umum, mengatur cara-caraorganisasi negaraikut serta dalam

lalu lintas masyarakat.

Namun, jika kita melihat berdasarkan kenyataan yang ada, hubungan

antara pemerintah dengan masyarakat dirasa telah mengalami kegagalan. Keadaan

tersebut tercerminkan dengan ketidakpuasan masyarakat atas segala kebijakan

yang ditempuh oleh pemerintah. Akibatnya adalah segala upaya yang dilakukan

oleh pemerintah untuk melakukan pembangunan disegala bidang selalu terhambat.

Kondisi yang terjadi untuk saat ini secara mendasar dikarenakan

pendekatan dalam hal administrasi yang dilakukan oleh pemerintah terhadap

masyarakat dirasa kurang tepat. Pemerintah dinilai kurang peka terhadap kondisi

perkembangan masyarakat yang telah memasuki tahap modern dan menuju post-

1 Zainal Muttaqin, Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara: Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Administrasi Negara dalam Negara Hukum Pancasila dan UUD 1945, (Yogyakarta: UII Press), 2004, halaman 1272 J.H.A. Logemann dalam, Philipus M. Hodjon dkk, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press), 2005, halaman 23

1

Page 2: Reformasi Hukum Administrasi

modern, yaitu kondisi masyarakat yang telah semakin dinamis, kompleks, kritis,

dan sangat beragam dalam karakteristik dan kebutuhannya.

Sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Asep Kartiwa,

penyelenggaraan pemerintahan (governance), pembangunan, dan pelayanan

publik beberapa dekade belakanagan ini telah cenderung diwarnai oleh berbagai

permasalahan yang mencakup; sentralisasi kekuasaan pemerintah yang terlalu

dominan, korupsi, kolusi, dan nepotisme, terhambatnya saluran aspirasi dan

partisipasi masyarakat, dan berbagai persoalan lainnya yang menunjukkan

dominasi kekuasaan pemerintah. Kesemuanya itu menunjukkan adanya

karakteristik bad governance.

Pemerintah dapat menciptakan kepemerintahan yang baik (good

governance) jika pemerintah dapat menciptakan suatu sistem administrasi publik

yang baik dengan melakukan perbaikan pendekatan pelayanan publik. Oleh

karena permasalahan tersebut maka penulis menyusun makalah dengan judul:

Reformasi Hukum Administrasi , Menciptakan Pemerintahan Wirausaha dalam

Rangka Menuju Pemerintahan Good Governance

PERMASALAHAN

1. Bagaimanakah kondisi administrasi negara (birokrasi) saat ini?

2. Apa sajakah faktor-faktor yang mempengaruhi?

3. Bagaimanakah model ideal administrasi publik seharusnya?

2

Page 3: Reformasi Hukum Administrasi

PEMBAHASAN

Hukum Administrasi Negara atau seringkali disingkat dengan sebutan

HAN merupakan landasan pelaksanaan setiap kebijakan mengenai pelaksanaan

administrasi negara, atau acap kali disebut dengan birokrasi. Untuk dapat

menciptakan suatu HAN yang dapat membentuk kepemerintahan good

governance maka kita juga perlu untuk mengetahui komponen apa saja yang

diatur dalam HAN, dan bagaimanakah komponen tersebut bekerja dalam

realitasnya. Oleh karena itu, penulis berusaha untuk menitik beratkan pembahasan

lebih kepada cakupan birokrasi ataupun administrasi negara dengan tujuan untuk

membangun HAN itu sendiri. Sebagaimana yang kita ketahui, sampai saat ini

RUU tentang Administrasi Publik belum juga disahkan dan disetujui oleh badan

legislatif (DPR).

Isu mengenai good governance sendiri sebenarnya telah lama

dihembuskan semenjak pasca reformasi. Namun, sampai saat ini keadaan di

Indonesia belum juga menunjukkan kearah good governance yang dimaksud.

Permasalahan mendasar penyebab tidak kunjung Indonesia dapat mewujudkan

pemerintahan good governance adalah, Sebagaimana yang dikatakan oleh Azhar

Arsyad3 bahwa birokrasi sebagai pengayuh roda pemerintahan belum mampu

keluar dari citra yang kurang memuaskan. Misalnya, birokrasi masih sering

terkesan kurang responsif terhadap tuntutan perubahan, padahal tanpa inisiasi

perubahan yang dimulai dari birokrasi, reformasi total yang diidamkan akan

berputar pada wacana semata.

Untuk membahas lebih dalam mengenai administrasi negara (birokrasi).

Maka penulis akan membahas terlebih dahulu mengenai apa itu administrasi

negara (birokrasi). Definisi Birokrasi menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia

adalah sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai pemerintah karena

telah berpegang pada hierarki dan jenjang jabatan. Pandji Santosa4 dalam bukunya

3 Rektor dan Guru Besar Ilmu Manajemen UIN Alauddin Makassar, dalam pengantar pada buku Change Management dalam Reformasi Birokrasi.4 Pandji Santosa, Administrasi Publik Teori dan Aplikasi Good Governance, (Bandung: Refika Aditama), 2008, halaman 2

3

Page 4: Reformasi Hukum Administrasi

yang berjudul Administrasi Publik Teori dan Aplikasi Good Governance

mengatakan bahwa birokrasi dimaksudkan sebagai sutu sistem otorita yang

ditetapkan secara rasional oleh berbagai peraturan. Birokrasi dimaksudkan untuk

mengorganisasi, secara teratur, suatu pekerjaan yang harus dilakukan oleh orang

banyak.

First Morstein Marx merumuskan birokrasi sebagai tipe organisasi yang

dipergunakan pemerintah modern untuk melaksanakan tugas-tugasnya yang

bersifat spesialisasi, dilaksanakan dalam sistem administrasi dan khususnya oleh

aparatur pemerintah. Dari pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa birokrasi

sendiri sebenarnya adalah kajian ilmu administrasi lebih spesifiknya yaitu

administrasi negara. Sejatinya cakupan mengenai administrasi cukup luas dan

tidak hanya mengenai administrasi tentang pemerintahan namun juga termasuk

administrasi niaga, administrasi perusahaan, dan sebagainya tergantung di mana

ilmu administrasi tersebut diimplementasikan.

Menurut Max Weber birokrasi sendiri memiliki enam ciri karakteristik

sebagai berikut:

a. Terdapat prinsip yang pasti dan wilayah yurisdiksi resmi, yang pada

umumnya diatur dengan hukum atau peraturan-peraturan administrasi.

b. Terdapat prinsip hierarki dan tingkat otorita yang mengatur sistem.

c. Manajemen didasarkan pada dokumen-dokumen yang dipelihara dalam

bentuk aslinya.

d. Terdapat spesialisasi dan pengembangan pekerja melalui latihan keahlian.

e. Aktivitas organisasi menuntut kapasitas pekerja secara penuh.

f. Berlakunya aturan-aturan umum mengenai manajemen.

Karakteristik tersebut mengungkapkan bahwa dalam setiap organisasi pasti ada dua kelompok orang, apa pun itu namanya. Kelompok pertama adalah mereka yang di atas atau kelompok superior atau pemimpin atau penguasa dan sebagainya. Kelompok kedua adalah mereka yang di bawah atau kelompok subordinasi atau yang dipimpin atau yang dikuasai atau seterusnya. Gampangnya, setiap organisasi tentu ada “pengurus” (superior) dan “anggota” (subordinasi). Agar keduanya ada jalinan, maka

4

Page 5: Reformasi Hukum Administrasi

diperlukan sistem hubungan, yakni yang lebih tinggi akan memberi perintah kepada yang lebih bawah, sedangkan yang lebih bawah tersebut harus melaporkan apa yang telah dikerjakan sesuai dengan perintah yang diterima. Karakteristik ini dapat ditemui pada semua struktur birokratik, tidak pandang jenis dan tujuan organisasinya. Prinsip hierarki juga berlaku, baik dalam otorita publik maupun privat.5

1. Kondisi Administrasi Negara (birokrasi) di Indonesia

Hampir setiap elemen masyarakat mengatakan bahwa di negara kita belum

terjadi kepemerintahan good governance. Padahal untuk menciptakan

kepemerintahan good governance, birokrasi yang baik merupakan salah satu dasar

utama pembentuknya. Bukan hanya masyarakat, presiden sendiri juga

mengungkapkan bahwa birokrasi kita masih memiliki banyak permasalahan

serius. Namun, meskipun presiden telah mengakui bahwa birokrasi di Indonesia

sampai saat ini masih terbilang buruk, reformasi birokrasi sampai saat ini tidak

kunjung dilakukan oleh presiden.

Sebelum era reformasi lahir khususnya ketika rezim orde baru berkuasa,

birokrasi di Indonesia dapat dikatakan sangat buruk. Ketika itu birokrasi dijadikan

alat untuk menjalankan kehendak para elite politik. Akibat dari keadaan tersebut,

masyarakat harus membayar biaya yang mahal, ketidakpastian waktu, ketidak

pastian biaya, dan ketidak pastian siapa yang bertanggung jawab.6 Dampak lebih

buruk dari keadaan tersebut adalah, menjamurnya praktek korupsi, kolusi, dan

nepotisme di lingkungan pejabat birokrasi.

Keluhan tentang birokrasi di Indonesia juga telah diutarakan oleh berbagai

pihak. Penulis mengutip tulisan Qodri Azizi pada bukunya yang berjudul Change

Management dalam Reformasi Birokrasi, yang menuliskan beberapa keluhan dan

kritik terhadap birokrasi yang berasal dari catatan empiris media massa, hasil

5 Ibid., halaman 116 Ibid., halaman 116

5

Page 6: Reformasi Hukum Administrasi

penelitian UGM, dan penilaian internasional. Keluhan dan kritik terhadap

birokrasi yang dimaksud adalah sebagai berikut:7

a. Catatan Empiris Media Massa

Opini yang timbul ketika diselenggarakannya seminar Reformasi

Birokrasi: jalan menuju pemberantasan korupsi berkelanjutan pada

tanggal 30 Agustus 2006, bahwa reformasi birokrasi belumlah dilakukan

oleh pemerintah. Kemal A. Stamboel (Dewan Pengurus Masyarakat

Transparansi Indonesia) mengaskan bahwa, untuk saat ini permasalahan

birokrasi belumlah memiliki landasan hukum yang kuat. Seharusnya

pemerintah perlu mendesain regulasi birokrasi yang komprehensif, dengan

mencabut, merevisi, dan mensikronisasi serta menyusun regulasi baru.

Kemal mengakui bahwa reformasi birokrasi memang bukan merupakan

agenda politik dalam pemerintahan. Namun, untuk mengatasi semua

permasalahan dalam birokrasi, dibutuhkan kemauan politik dari para

pemimpin.

Seyogyanya telah banyak pendapat-pendapat publik yang

memperbincangkan reformasi birokrasi di media massa. Contohnya

adalah, ada yang mengusulkan perbaikan dan rekayasa ulang atas sumber

daya manusia birokrasi untuk mengakhiri tidak efisiennya kinerja

birokrasi. Pendapat-pendapat semacam ini sebenarnya juga perlu

dipertimbangkan, sebab pada kenyataannya birokrasi yang ada saat ini

belumlah dapat memberikan pelayanan publik yang baik sebagaimana

yang telah menjadi tuntutan masyarakat selama ini.

Qodri Azizi dalam bahasannya tentang catatan empiris media

massa, juga memberikan beberapa contoh yang berasal dari koran nasional

tentang ketidak puasan para penerima layanan birokrasi khususnya para

pengusaha. Menurut hemat penulis, inilah salah satu penyebab

ketertinggalan Indonesia dalam melakukan pembangunan, serta salah satu

7 A. Qodri Azizi, Change Management dalam Reformasi Birokrasi, (Jakarta: Gramedia), 2007, halaman 37

6

Page 7: Reformasi Hukum Administrasi

penyebab utama maraknya gratifikasi ataupun suap yang dilakukan oeh

pengusaha terhadap pejabat birokrasi.

b. Hasil Penelitian UGM

Pembahahasan yang tak kalah menarik mengenai birokrasi adalah,

menyangkut hasil penelitian yang dilakukan oleh UGM. Penelitian

tersebut dilakukan oleh sejumlah dosen UGM, yang dapat dikatakan telah

berhasil mengungkap secara lengkap tentang kenyataan birokrasi di

Indonesia. Penelitian tersebut mengambil sampel di tiga provinsi yaitu

Yogyakarta, Sumatra Barat dan Sulawesi Selatan.

Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa kinerja

pelayanan publik di ketiga provinsi masih sangat buruk. Meskipun

penyelenggaraan pelayanan publik di ke tiga daerah tersebut tidak

mewakili keseluruhan kinerja pelayanan publik di Indonesia. Setidaknya

hasil temuan yang didapatkan penelitian tersebut memberikan indikasi

masih rendahnya kualitas pelayanan publik di Indonesia. Penelitian ini

telah mebuktikan bahwa birokrasi publik di Indonesia belum amampu

menyelenggarakan pelayanan publik yang efisien, adil, responsif dan

akuntabel.

Hasil penelitian ini juga memberikan 5 rekomendasi terkait dengan

permasalahan yang ada pada birokrasi di Indonesia sebagai berikut:

Pertama, praktik pelayanan publik dapat diubah jika seandainya nilai-nilai

dan budaya yang selama ini menjadi akar permasalahan praktek birokrasi

tersebut dapat dikenali dan digusur untuk digantikan dengan nilai-nilai dan

budaya baru yang dapat mendorong munculnya praktek birokrasi yang

berbeda seperti yang diinginkan.

Kedua, perlunya diciptakan lingkungan baru, terutama berkaitan

dengan transparansi dan pemberantasan KKN. Perubahan ini harus

dilakukan secara bertahap.

Ketiga, perlunya untuk menerapkan customer charter dalam

birokrasi pelayanan publik. Customer charter yang dimaksud menyangkut

7

Page 8: Reformasi Hukum Administrasi

formulasi, promosi, perbaikan pelayanan, monitoring, serta evaluasi

pelaksanaan.

Keempat, perlunya untuk dipikirkan mengenai pengembangan

kemitraan antara pemerintah dan masyarakat, termasuk dunia usaha. Yaitu

dengan menggunakan dua konsep koproduksi dan privatisasi.

Kelima, perlu dipikirkan “penggunaan misi birokrasi sebagai

kriteria untuk menilai tindakan seorang pejabat pemerintah dan birokrasi”.

Tindakan birokrat seharusnya tidak terlalu terpaku pada peraturan yang

ada, tetapi justru lebih berorientasi pada hasil. Kemudian juga perlunya

tiap lembaga dan departemen merumuskan misinya dengan jelas, dan

setiap lembaga serta departemen diberikan kewenangan yang penuh untuk

melaksanakan misi tersebut.

c. Penilaian Internasional

Penilaian buruk terhadap birokrasi di Indonesia dapat dilihat dari

hasil survei lembaga survey international seperti MTI, IFC ( International

Finance Cooperation), PERC ( the political and economic risk

consultancy). MTI melakukan survey mengenai Indeks Persepsi Korupsi,

sedangkan IFC mengenai kemudahan berbisnis, sedangkan PERC

mensurvei mengenai birokrasi negara-negara asia.

Hasil survei MTI pada tahun 2005, menempatkan Indonesia pada

peringkat 137 dari 159 negara yang disurvei. Kemudian hasil survei yang

dilakukan bank dunia mengenai “kemudahan berbisnis“ pada tahun 2006

menempatkan Indonesia berada di peringkat 135 dari 175 negara yang

telah disurvei. Terakhir adalah survei yang dilakukan oleh PERC

mengenai birokrasi negara-negara asia, hasilnya adalah sebgai berikut:

1. Pada 1997 sebagai birokrasi terburuk ketiga di Asia;

2. Pada 1998 sebagai birokrasi terburuk keempat di Asia;

3. Pada 1999 sebagai birokrasi terburuk kelima di Asia;

8

Page 9: Reformasi Hukum Administrasi

4. Pada 2000 sebagai birokrasi terburuk kelima di Asia;

5. Pada 2001 turun kembali sebagai birokrasi terburuk ketiga di Asia;

6. Pada 2005 semakin turun sebagai birokrasi terburuk kedua di Asia;

Berdasarkan hasil survei tersebut dapat disimpulkan bahwa kinerja

birokrasi yang begitu buruk akan berdampak pada segala bidang. Seperti

contoh di atas, buruknya birokrasi berimbas pada sulitnya berbisnis di

Indonesia dikarenakan sistem birokrasi yang buruk dan menyulitkan para

pelaku bisnis. Oeleh karena itu sejatinya pemerintah haruslah lebih gencar

dalam melakukan reformasi birokrasi jika ingin memperbaiki keadaan

negara.

2. Faktor yang Mempengaruhi Buruknya Birokrasi

Banyak hal yang mempengaruhi mengapa birokrasi di Indonesia dapat

dikatakan begitu buruk. Dari berbagai aspek-aspek tersebut, penulis akan

membahas mengenai 4 (empat) kelemahan birokrasi pada umumnya8, mengingat

keempat aspek tersebut juga merupakan faktor-faktor yang juga terdapat pada

birokrasi di Indonesia. Keempat hal yang menjadi kelemahan birokrasi pada

umumnya dan juga menjadi faktor buruknya birokrasi di Indonesia adalah sebagai

berikut:9

a. Standard efisiensi fungsional

Birokrasi yang baik haruslah menetapkan standard efisiensi fungsional,

misalnya untuk mengukur efisiensi kerja aparatur pemerintah, diperlukan adanya

satu standar yang dapat dipergunakan untuk mengukur tingkat pencapaian

efisiensi secara fungsional. Permasalahannya adalah, bagaimana cara membuat

standard efisiensi yang dapat digunakan secara fungsional tersebut.

8 Ali Mufiz, Pengantar Administrasi Negara, (Jakarta: Karunika), 1986, halaman 199 9 Pandji Santosa, op. cit., halaman 17

9

Page 10: Reformasi Hukum Administrasi

Untuk contoh lebih mudahnya sebagaimana penjelasan pada pokok

bahasan sebelumnya mengenai penelitian yang telah dilakukan UGM,

bahwasanya lembaga birokrasi membutuhkan suatu misi dan perlu dirumuskannya

misi tersebut dengan jelas. Untuk menciptakan sebuah standard misi yang

kemudian standard misi tersebut dapat dibentuk sebuah kriteria apa saja agar misi

tersebut dapat dikatakan tercapai tidaklah mudah.

Untuk saat ini birokrasi di Indonesia hanya memiliki standard bagaimana

pelaksanaan birokrasi, melalui peraturan-peraturan tiap-tiap lembaga

pemerintahan itu sendiri mengenai pelaksanaan birokrasi yang bagaimana yang

akan mereka lakukan. Akibatnya adalah, pelaksanaan birokrasi di Indonesia saat

ini lebih mementingkan kesesuaian apa yang telah mereka lakukan dengan

peraturan yang ada, dibandingkan dengan hasil yang diperoleh.

b. Penekanan berlebihan terhadap rasionalitas, impersonalitas, dan

hierarki

Menurut Weber, setiap organisasi memiliki aturan-aturan formal yang

berlaku dan memiliki fungsi untuk mengendalikan perilaku angota-anggota

organisasi tersebut. Ketika suatu organisasi menerapkan hal tersebut, maka secara

otomatis yang menjadi tuntutan hanyalah sebuah kepastian hukum. Para analis

birokrasi melontarkan kritik terhadap konsep yang dikemukakan oleh Weber

tersebut, para analis berpendapat bahwa konsep tersebut memberikan tekanan

yang berlebihan terhadap rasionalitas, impersonalitas,dan hierarki dalam

hubungan-hubungan sosial birokratik.

Keadaan tersebut menciptakan situasi bahwa suatu aturan-aturan yang ada

haruslah dipatuhi, akibatnya adalah diciptakannya aturan tentang tata cara

pertanggung jawaban kepada pimpinan. Arnold Brecht menyimpulkan, ketika

keadaan tersebut berlangsung maka mereka yang berada di bawah aturan tentang

pertanggung jawaban pemimpin tersebut, cenderung untuk mentransformasikan

hidup, spirit dan fleksibilitas manusiawinya pada pimpinan secara amat formal

acuh tidak acuh dan baku. Keadaan ini juga lah yang mengakibatkan birokratik

10

Page 11: Reformasi Hukum Administrasi

tidak berhasil untuk menjalankan tugasnya dikarenakan akibat penerapan secara

kaku konsep rasionalitas dan hierarki.

Organisasi publik yang mengalami anomali adalah karena orientasinya

bukan kepada rakyat tetapi kepada atasan.10 Dwiyanto Indiahono dalam bukunya

“Reformasi Birokrasi Amplop: Mungkinkah?” menjelaskan ketika birokrasi

dikuasai oleh para birokrat yang menerapkan konsep rasionalitas secara kaku

maka;

Begitupun ketika organisasi publik menisbatkan diri sebagai tempat pengambilan kebijakan yang berimplikasi luas diisi oleh aktor rasional. Faktanya adalah ketika aktor-aktor rasional tersebut bertindak sebagai decision makers, ternyata kebijakan yang dihasilkan adalah tidak responsif kepada aspirasi publik dan cenderung menguntungkan diri sendiri. Dalam bahasa political economy approach ada sebuah konsep ekonomi yang bisa membedah fenomena ini: rational utility maximazer. Rasional utility maximizer, menunjuk bahwa setiap manusia memiliki kecenderungan secara rasional untuk menguntungkan dirinya secara economic, apalagi jika ia memiliki kewenangan untuk membuat kebijakan. Aktor rasional dalam hal ini tidak melakukan benefit consept yang diharapkan oleh publik yaitu for the benefit of the larger number of citizen.11

c. Penyelewengan tujuan

Tanda-tanda dari organisasi yang tidak sehat adalah penyelewengan

tujuan, kekakuan yang berlebihan, pita merah, perlakuan tidak berpribadi, dan

penolakan secara tidak masuk akal terhadap perubahan.12 Merton mengatakan

bahwa penyakit-penyakit ini sebagai “bureaucratic dysfunctions” dan mencirikan

dengan istilah “trained incapacity”. Ketidakmampuan terlatih ini menunjuk pada

suatu kondisi ketika kemampuan seseorang berfungsi secara tidak tepat dan

membuta. Segala tindakan anggota organisasi didasarkan pada hasil latihan dan

keahlian yang memang berhasil diterapkan di masa-masa lampau, tetapi akan

menghasilkan tanggapan yang tidak tepat dalam kondisi-kondisi yang telah

berubah.

10 Agus Dwiyanto, Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia, (Yogyakarta: Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM), 2002, halaman 99 11 Dwiyanto Indiahono, Reformasi “Birokrasi Amplop”: Mungkinkah?, (Yogyakarta: Gava Media), 2006, halaman 2712 Pandji Santosa, op. cit., halaman 18

11

Page 12: Reformasi Hukum Administrasi

Demikian pula yang terjadi di Indonesia, para birokrat hanya diajarkan

mengenai keahlian tentang tata cara pelaksanaan birokrasi yang telah ada pada

peraturan-peraturan organisasi. Akibatnya adalah ketika muncul suatu

permasalahan baru, para birokrat akan mengambil kebijakan yang tidak tepat

dengan kondisi-kondisi yang akan selalu berubah.

Pandji Santosa dalam bukunya yang berjudul Administrasi Publik Teori

dan Aplikasi Good Governance, menjelaskan bagaimana suatu kebijakan birokrasi

justru menyeleweng dari tujuan;

Ada saatnya ketika birokrat mengidentifikasi kedisiplinan, dalam menerapkan peraturan-peraturan organisasi, dengan kepentingan dan keinginan-keinginan pribadi mereka untuk memajukan statusnya. Manifestasi terakhir dari penyelewengan tujuan akan berupa suatu sikap ketika birokrat menafsirkan perbedaan merupakan setiap tantangan terhadap keamanan dirinya. Penyelewengan tujuan lolos melalui proses penghukuman di dalam mana prosedur birokratik dibentuk dengan perilaku legitimasi moral. Birokrat, dalam kenyataannya hanya mementingkan berlakunya nilai-nilai pribadi mereka sendiri, dan tidak memerhatikan lebih lanjut untuk mengembangkan administrasi.13

d. Pita merah (“red tape”)

Max Weber mengatakan bahwa Pita merah disebabkan oleh

kecenderungan alamiah dari manusia yang berada dalam lingkungan birokratik

untuk merutinkan aktivitas-aktivitas mereka. Karakterisasi Weber mengenai

birokrasi sangat rasional dan amat tidak perduli dalam melayani pembuat

kebijakan dan publik. Karakterisasi yang dinyatakan oleh Weber tersebut

menegaskan bahwa ketetapan pelaksanaan dari prosedur yang ada merupakan

keharusan yang wajib untuk dilaksanakan.

Herbart Haufman menjelaskan bahwa, timbulnya suatu Pita Merah

diawali ketika satu sistem demokratik yang merancangkan peraturan-peraturan

dan regulasi-regulasi untuk melindungi individu. Ketika peraturan dan regulasi

13 Ibid., halaman 19

12

Page 13: Reformasi Hukum Administrasi

berjalan menyimpang dan menjadi berlebih-lebihan, maka pada saat itulah pita

merah ada dan berkembang. Akibat dari munculnya pita merah itu sendiri

menciptakan formalitas yang berlebihan, dan prosedur-prosedur yang ada ditaati

secara konstan.

3. Model Ideal Administrasi Publik

Konsep good governance saat ini menjadi konsep yang begitu ramai

diperbincangkan sebagai konsep yang dapat membenahi sistem birokrasi yang

berada di bawah konsep goverment. Agus Dwiyanto menjabarkan tiga hal pokok

yang menjadi alasan mengapa konsep governance perlu untuk digunakan:

Pertama, bahwa governance (tata pemerintahan) adalah sutau sistem administrasi yang melibatkan banyak pelaku dari pemerintah dan unsur-unsur non pemerintahan. Governance bukanlah sebagai pengganti government tetapi lebih kepada pelengkap dari sebuah pemerintahan. Kebijakan tidak lagi dikembangkan dengan semata-mata mempertimbangkan aspek konstitusi legal formal saja, tetapi juga mempertimbangkan aspek dan nilai yang berkembtatang dalam masyarakat. Kedua, tata pemerintahan sengaja dikembangkan untuk merespon masalah dan kepentingan publik. Konsentrasi dari tata pemerintahan adalah kepentingan publik secara kolektif dan bukan pada kepentingan warga negara sebagai individu. Ketiga, struktur yang dikembangkan bukanlah struktur yang formal, rigid dan kaku, melainkan struktur yang informal, lentur dan longgar. 14

Konsep good governance ini dikembangkan dengan decentralisasi, bersikap

wirausaha dan pasar dapat mengarahkan pilihan yang diinginkan oleh publik.

Maka sudah saatnya Indonesia menerapkan konsep good governance, dan

merombak sistem birokrasi klasik ajaran Weber yang telah mengakibatkan

buruknya birokrasi di Indonesia. Sehingga keinginan untuk mereformasi birokrasi

dapat segera diwujukan.

14 Agus Dwiyanto, Reformasi: Tata Pemerintahan dan Otonomi Daerah, (Yogyakarta: Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gajah Mada), 2003, halaman 4-5

13

Page 14: Reformasi Hukum Administrasi

Bob Sugeng Hadiwinata menyampaikan bahwa, asumsi dasar good

governance haruslah menciptakan sinergi antara sektor pemerintah (menyediakan

perangkat aturan dan kebijakan), sektor bisnis (menggerakkan roda

perekonomian), dan sektor civil society (aktivitas swadaya guna mengembangkan

produktivitas ekonomi, efektivitas, dan efisiensi). Menurut Institute on

Governance untuk menciptakan good governance perlu diciptakan hal-hal sebagai

berikut:

1. Kerangka kerja tim antar organisasi, departemen, dan wilayah.2. Hubungan kemitraan antara pemerintah dengan setiap unsur dalam

masyarat negara yang bersangkutan.3. Pemahaman dan komitmen terhadap manfaat dan arti pentingnya

tanggung jawab bersama dan kerjasama dalam suatu keterpaduan serta sinergisme dalam pencapaian tujuan.

4. Adanya dukungan dan sistem imbalan yang memadai untuk mendorong terciptanya kemampuan dan keberanian menanggung risiko (risk taking) dan berinisiatif, sepanjang hal ini secara realistik dapat dikembangkan.

5. Adanya pelayanan administrasi pubik yang beroriantasi pada masyarakat, mudah dijangkau masyarkat dan bersahabat, berdasarkan kepada asas pemerataan dan keadilan dalam setiap tindakan dan pelayanan yang diberikan kepada masyarakat, berfokus pada kepentingan masyarakat, bersikap profesional, dan tidak memihak (non partisan).

Untuk menciptakan pemerintahan good governance sebenarnya dapat

dilakukan melalui berbagai macam metode atau cara yang telah dikemukakan oleh

para ilmuwan dibidang administrasi, namun untuk kondisi di Indonesia sebagai

negara yang berkembang alangkah baiknya terlebih dahulu kita memilah-milah

metode dan cara yang seperti apa cocok dengan kondisi di Indonesia saat ini.

Jangan sampai metode yang kita pilih justru menciptakan birokrasi yang lebih

buruk dibandingkan keadaan sebelumnya dikarenakan kesalahan dalam

menentukan metode atau cara untuk membenahi kondisi birokrasi yang ada untuk

saat ini.

14

Page 15: Reformasi Hukum Administrasi

Metode atau cara-cara untuk melakukan perombakan terhadap model

birokrasi yang dikemukakan Weber telah muncul sejak awal 1980-an. Munculnya

metode-metode tersebut sebenarnya merupakan respon terhadap kelemahan dan

kekurangan model birokrasi terdahulu. Metode-metode tersebut antara lain

Managerialism (Pollit), New Public Management (NPM) (Hood), Entrepreneurial

Goverment (Osborne and Gaebler), dan Banishing Bureaucracy (orborne dan

Plastrik). Walaupun metode tersebut menggunakan nama yang berbeda, mereka

memiliki kesamaan konsep dan tujuan sebagai berikut:

Pertama, lebih menitikberatkan kepada achievment of results dan the personal responsibility. Kedua, pembuatan performance indicators sebagai ukuran baik untuk organisasi maupun personnel, sehingga diperoleh 3E: economy, efficiency, effectiveness. Ketiga, berusaha menghilangkan tendensi classic bureaucracy dengan membuat organisasi, personel, dan kondisi yang ada untuk lebih fleksibel. Keempat, lebih membuat para pejabat commited terhadap politik/keputusan-keputusan politik, tidak sekadar pelaksana yang netral (neutral and nonpartisan). Kelima, berusaha mengurangi fungsi-fungsi pemerintah melalui privatisasi. Keenam, orientasi dari steering from rowing ( catatan: mestinya “lebih berperan mengarahkan ketimbang mendayung”).15

Kemudian yang menjadi pertanyaan adalah, apakah metode-metode

tersebut dapat digunakan di Indonesia? Penulis beranggapan, bahwasanya untuk

saat ini metode tersebut belumlah cocok untuk diterapkan di Indonesia.

Sebagaimana yang ditulis oleh Qodri Azizi16 bahwa pemikiran-pemikiran yang

dituangkan pada buku-buku tersebut ditulis dengan latar belakang Amerika

Serikat yang sejarah birokrasi dan praktik birokratnya sudah mempunyai fondasi

jauh lebih baik dari pada di Indonesia.

Sebagai contohnya adalah, mengenai pemerintahan wirausaha yang

dikemukakan oleh David Osborne dan Peter Plastrik untuk menciptakan

pemerintahan wirausaha dengan menggunakan lima strategi:17 Pertama, strategi 15 Warsito Utomo, Administrasi Publik Baru Indonesia:Perubahan Paradigmadari Administrasi Negara ke Administrasi Publik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), 2006, halaman 5-616 A. Qodri Azizi, op. cit., halaman 2817 David Osborne and Peter Plastrik, Memangkas Birokrasi Menuju Pemerintahan Wirausaha, Terjemahan Abdul Rosyid dan Ramlan, (Jakarta: PPM), 2004

15

Page 16: Reformasi Hukum Administrasi

inti: menciptakan tujuan yang jelas, Kedua, strategi konsekuensi, Ketiga, strategi

pelanggan, Keempat, strategi pengendalian, Keliama, strategi budaya. Ketika di

Indonesia diterapkan pemerintahan wirausaha maka situasi yang dikhawatirkan

terjadi adalah, adanya bisnis di birokrasi yang dilakukan oleh oknum birokrat

untuk mendapat keuntungan pribadi. Apalagi untuk saat ini sistem birokrasi

belum memisahkan antara kekayaan pribadi dengan kekayaan publik, akibat yang

terjadi adalah para birokrat akan lebih leluasa untuk melakukan KKN yang telah

menjadi permasalahan utama di Indonesia.

Pertanyaan selanjutnya yang timbul adalah, dengan metode dan cara apa

birokrasi dapat dibenahi untuk menciptakan suatu kepemerintahan good

governance? Penulis lebih setuju dengan usulan Qodri Azizi agar Indonesia

menggunakan sistem Change Management (manajemen perubahan) dalam

melakukan reformasi birokrasi. Perubahan ini memang sanagat perlu untuk

diperlukan karena masuknya kita pada tahapan era globalisasi mengakibatkan kita

dituntut untuk bergerak selalu dinamis mengikuti perubahan dan kemajuan yang

ada.

Untuk melaksanakan Change Management birokrasi, langkah awal yang

harus dilaksanakan adalah menciptakan payung hukum untuk pelaksanaan

Change Management tersebut. Yaitu dengan menciptakan landasan hukum berupa

UU, namun yang terjadi saat ini adalah, RUU Administrasi negara belum juga

disahkan dan dibahas oleh badan legislatif ini juga merupakan salah satu kendala

mengapa reformasi birokrasi tak kunjung dapat dilakukan.

Qodri Azizi menjelaskan bahwa untuk membentuk suatu payung hukum

yang dilandasi Change Management minimal harus mencakup hal-hal sebagai

berikut:18

1. Melakukan penghentian pendarahan (stop the bleeding). Hal-hal yang

perlu dilakukan penghentian meliputi: (a) lemahnya komitmen pimpinan

dalam perbaikan birokrasi; (b) inefisiensi, baik yang tergolong

18 A. Qodri Azizi, op. cit., halaman 84-85

16

Page 17: Reformasi Hukum Administrasi

penyimpangan maupun yang tidak; (c) fee; (d) pemekaran wilayah dan

lembaga negara/komisi yang mengakibatkan pemekaran birokrasi; (e)

“lomba glamor” fasilitas antar birokrat. Kelima hal tersebut memang

sudah seharusnya untuk segera dilakukan penghentian, dikarenakan kelima

hal tersebut juga sebagai kunci utama terciptanya birokrasi yang buruk.

2. Batas waktu pelaksanaan change management secara serius, serempak,

dan direalisasikan tanpa kompromi atau toleransi. Karena di Indonesia

seringkali susah untuk melakukan suatu realisasi konsep, pemerintah

selalu terlihat kurang serius untuk melakukan suatu perubahan kearah

yang lebih baik.

3. Jabatan eselon satu dan eselon dua harus dipegang oleh leader manager,

yaitu birokrat atau pejabat yang memahami, menghayati, dan

mempraktikkan management leadership (kepemimpinan manajemen). Di

sini, kemungkinan akan muncul persoalan berkaitan dengan sistem

penggunaan anggaran. Namun di sisi lain, ada ancaman melawan hukum,

dan disisi lain mereka dituntut untuk berorientasi pada outcomes (hasil)

yang berarti berhasil guna, dan lebih menjamin keberlanjutan. Keadaan

yang menjadi permasalahan adalah, di Indonesia setiap pengangkatan

pejabat seringkali faktor-faktor professional dikesampingkan, dan

nepotisme masih selalu menjadi momok bangsa ini.

4. Benchmarking ke beberapa negara untuk merumuskan detail change

management. Namun dengan catatan, studi banding dilakukan secara

komprehensif, tidak hanya beberapa hari melakukan benchmarking tanpa

menghasilkan apapun.

5. Terwujudnya standar kinerja dan indikator keberhasilan yang konkret,

jelas, dapat dipraktikkan dan dapat diukur dengan mekanisme

pengendalian yang efektif, efisien, dan tepat sasaran sehingga

pengendalian mutu (quality control) akan terjamin.

6. Mendayagunakan lembaga pengawasan untuk menjalankan peran kendali

mutu (quality control) dan membentuk lembaga yang menjalankan peran

penjaminan mutu (quality assurance) agar dapat sampai pada target yang

17

Page 18: Reformasi Hukum Administrasi

telah ditetapkan dengan standar yang ada. Utnuk saat ini di Indonesia telah

ada ombudsman sebagai lembaga pengawas birokrasi, namun sampai saat

ini ombudsman sendiri belum memiliki payung hukum tentang teknis

syarat, tata cara dan prosedur pelayanan publik.

7. Pengawasan (controlling) mencakup evaluasi mendasar terhadap rencana

kerja departemen/lembaga non-departemen secara ketat.

8. Peningkatan gaji PNS secara signifikan sesuai dengan standar hidup, tidak

sekadar kenaikan sedikit demi sedikit yang hanya menanggulangi inflasi.

Dengan penigkatan gaji PNS diharapkan praktek KKN di lingkungan

briokrasi dapat diminimalisir.

9. Restrukturisasi PNS, antara lain dengan cara rekruitmen ulang. Namun,

harus ditangani dengan serius sehingga tidak terjadi gejolak dan

pengangguran massal.

10. Perubahan sistem pendidikan dan latihan (diklat).

Perwujudan reformasi birokrasi kearah good governance bukan tidak

mungkin untuk diwujudkan ketika change management benar-benar diterapkan di

Indonesia. Karena change management sendiri merupakan metode paling tepat

untuk melakukan perubahan dan reformasi birokrasi di Indonesia yang masih

menerapkan sistem birokrasi Weberian. Selain itu metode-metode yang di gagas

oleh para ilmuwan administrasi ternyata kurng cocok dengan kondisi dan

karakteristik birokrasi di Indonesia sendiri.

KESIMPULAN

18

Page 19: Reformasi Hukum Administrasi

1. Situasi birokrasi di Indonesia saat ini dapat dikatakan tidak begitu baik,

terlalu banyak permasalahan yang masih harus segera dibenahi. Dimulai

dari pembenahan sistem birokrasi, sampai pada pembenahan mental para

birokrat yang gemar melakukan KKN. Oleh karena itu, untuk melakukan

reformasi birokrasi kita perlu untuk mencari akar permasalahan mengapa

birokrasi di Indonesia begitu buruk, kemudian barulah kita menentukan

metode apa yang dapat kita gunakan untuk memecahkan permasalahan

tersebut.

2. Sumber permasalahan buruknya birokrasi di Indonesia terletak pada sistem

birokrasi yang kita gunakan masih menggunakan sistem birokrasi yang

dicetuskan oleh Max Weber. Salah atu akibatnya pada birokrasi kita adalah,

segala kebijakan harus berdasarkan aturan/regulasi, birokrasi sebaga

organisasi yang konstan, terlalu memegang teguh prosedur akibatnya

permasalahan tidak dapat diselesaikan, sistem pengawasan yang masih

lemah, dan kualitas birokrat yang masih buruk, selain itu ini diakibatkan

belum terbentuknya payung hukum (UU Administrasi) tentang administrasi

negara.

3. Untuk melakukan reformasi birokrasi dalam rangka menciptakan

pemerintahan good governance, maka yang perlu kita lakukan pertama kali

adalah melakukan perubahan sistem. Kemudian kita dihadapkan pilihan

metode bagaimana yang kita gunakan untuk merubah sistem tersebut.

Menurut hemat penulis, metode yang paling tepat untuk kita gunakan adalah

dengan menggunakan metode change management, yaitu metode perubahan

yang diterapkan pada administrasi negara agar dapat mengikuti

perkembangan situasi, kondisi dan keinginan masyarakat dalam rangka

menciptakan Hukum Administrasi Negara yang dapat menuntun kita untuk

menciptakan pemerintahan good governance.

DAFTAR PUSTAKA

19

Page 20: Reformasi Hukum Administrasi

Agus Dwiyanto, Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia, Yogyakarta: Pusat

Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM, 2002.

____________, Reformasi: Tata Pemerintahan dan Otonomi Daerah,

Yogyakarta: Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan

Universitas Gajah Mada, 2003.

Ali Mufiz, Pengantar Administrasi Negara, (Jakarta: Karunika), 1986.

A Qodri Azizi, Change Management dalam Reformasi Birokrasi, Jakarta:

Gramedia, 2007.

David Osborne and Peter Plastrik, Memangkas Birokrasi Menuju Pemerintahan

Wirausaha, Terjemahan Abdul Rosyid dan Ramlan, (Jakarta:

PPM), 2004.

Dwiyanto Indiahono, Reformasi “Birokrasi Amplop”: Mungkinkah?, Yogyakarta:

Gava Media, 2006.

Pandji Santosa, Administrasi Publik Teori dan Aplikasi Good Governance,

(Bandung: Refika Aditama), 2008

Philipus M. Hodjon dkk, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Yogyakarta:

Gadjah Mada University Press, 2005.

Warsito Utomo, Administrasi Publik Baru Indonesia:Perubahan Paradigmadari

Administrasi Negara ke Administrasi Publik, (Yogyakarta:

Pustaka Pelajar), 2006

Zainal Muttaqin, Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara: Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Administrasi Negara dalam Negara Hukum Pancasila dan UUD 1945, (Yogyakarta: UII Press), 2004.

20