Upload
indra-hebat
View
51
Download
15
Embed Size (px)
DESCRIPTION
aaa
Citation preview
Refrat RadiologiKarsinoma Nasofaring
&Aspek Radiologis
Disusun oleh:
Jannsen Kurniawan (406101003)
Pembimbing:
Dr. HERMAN W HADIPRODJO, Sp. Rad
Kepaniteraan Radiologi
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Periode 21 Maret 2011- 22 April 2011
RS Royal Taruma
Jakarta
Karsinoma Nasofaring Jannsen Kurniawan (406101003)
LEMBAR PENGESAHAN
Nama : Jannsen Kurniawan
NIM : 406101003
Perguruan Tinggi : Universitas Tarumanagara
Fakultas : Kedokteran
Tingkat : Program Pendidikan Profesi Dokter
Judul Refrat : Karsinoma Nasofaring dan Aspek Radiologis
Bagian : Radiologi
Periode Kepaniteraan : 21 Maret 2011-23 April 2011
Diajukan : 23 April 2011
Pembimbing : dr. Herman W.H, Sp.Rad
Telah diperiksa dan disetujui tanggal………………………………………………
Mengetahui dan menyetujui
Ketua SMF
Ilmu Radiologi Pembimbing
RS. Royal Taruma
Dr. Herman W.H, Sp.Rad Dr. Herman W.H, Sp.Rad
Kepaniteraan Klinik Ilmu RadiologiFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraRumah Sakit Royal Taruma Periode 21 Maret 2011-23 April 2011
2
Karsinoma Nasofaring Jannsen Kurniawan (406101003)
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan YME atas hikmatNya yang menyertai penulis
sehingga dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.
Makalah ini disusun selain untuk memenuhi tugas dalam menjalankan
kepaniteraan dalam bidang Radiologi baik di RS Royal Taruma, tetapi juga
dimaksudkan untuk menambah wawasan mengenai aspek radiologis pada wacana
medis, dimana dewasa ini pencitraan dignostik semakin berkembang.
Bahwasanya hasil usaha penyusunan ini tidak lepas dari bimbingan yang telah
diberikan oleh dr. Herman W Hadiprodjo, Sp.Rad , dr. Linda Supardi Sp.Rad, dr.
Sophie Utami Sp.Rad dan staff serta semua pihak yang telah mendukung penulis.
Akhir kata, penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya bila terdapat
kesalahan baik dalam segi redaksional maupun interpretasi.
Hormat saya,
Penulis
Kepaniteraan Klinik Ilmu RadiologiFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraRumah Sakit Royal Taruma Periode 21 Maret 2011-23 April 2011
3
Karsinoma Nasofaring Jannsen Kurniawan (406101003)
DAFTAR ISI
Kata pengantar 1
Daftar isi 4
Bab I. Pendahuluan 5
I.1. Anatomi 6
I.2. Etiologi 8
I.3. Klasifikasi 10
Bab II. Pembahasan 11
II.1 Golongan benigna 11
II.1.1 Angiofibroma juvenile 11
II.1.2 Inverted papiloma 14
II.1.3 Hemangioma nasofaring 16
II.2 Golongan maligna 18
II.2.1 Kanker nasofaring 18
Bab III. Aspek radiologis 30
Bab IV. Kesimpulan 30
Daftar pustaka 33
Kepaniteraan Klinik Ilmu RadiologiFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraRumah Sakit Royal Taruma Periode 21 Maret 2011-23 April 2011
4
Karsinoma Nasofaring Jannsen Kurniawan (406101003)
BAB I
PENDAHULUAN
Kasinoma nasopharynx merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher yang
terbanyak ditemukan di indonesia. Hampir 60% tumor ganas kepala dan leher
merupakan karsinoma nasofaring, kemudian diikuti oleh tumor ganas hidung dan
sinus paranasal (18%), laring (16%) dan tumor ganas rongga mulut, tonsil, hipofaring
dalam presentase rendah. Berdasarkan data laboratorium patologi anatomi, tumor
ganas nasopharynx sendiri selalu berada dalam kedudukan lima besar dari tumor
ganas tubuh manusia bersama tumor ganas servik uteri, tumor payudara, tumor getah
bening dan tumor kulit. Hampir 90% dari karsinoma nasopharynx adalah “Squamous
cell carcinomas” dan 5% adalah melanomas, lymphomas, dan sarcomas.
Penggolongan yang paling umum digunakan WHO dan histopathology, yang
membagi tumor ini ke dalam tiga jenis: squamous cell carcinoma (type 1),
nonkeratinizing carcinoma (type 2), and undifferentiated carcinoma (type 3). ·
presentasi Yang klinis tergantung pada lokalisasi, dengan luka kecil menjadi
asymptomatik.
Diagnosa dini menentukan prognosis penderita, namun cukup sulit dilakukan,
karena nasopharynx tersembunyi dibelakang tabir langit – langit dan terletak
dibawah dasar tengkorak serta hubungan dengan banyak daerah penting didalam
tengkorak dan ke lateral maupun posterior leher.
Kepaniteraan Klinik Ilmu RadiologiFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraRumah Sakit Royal Taruma Periode 21 Maret 2011-23 April 2011
5
Karsinoma Nasofaring Jannsen Kurniawan (406101003)
Oleh karena letak nasopharynx tidak mudah diperiksa oleh mereka yang
bukan ahli, seringkali tumor ditemukan terlambat dan menyebabkan metastasis ke
leher lebih sering ditemukan sebagai gejala pertama.
I.1. Anatomi
Nasofaring ialah salah satu bagian dari faring. Faring atau tekak, adalah
saluran yang terletak antara rongga hidung serta rongga mulut dan kerongkongan.
Dari gambar, bisa dilihat bahwa faring itu terbagi atas nasofaring (yang berhubungan
dengan hidung atau nasal), orofaring (yang berhubungan dengan mulut atau oral)
serta laringofaring (yang berhubungan dengan laring atau pangkal tenggorok).
Ruang nasopharynx yang relatif kecil terdiri dari atau mempunyai hubungan
yang erat dengan beberapa struktur yang secara klinis mempunyai arti penting.
a. Pada dinding posterior meluas kearah kubah adalah jaringan adenoid.
b. Terdapat jaring limfoid pada dinding faringeal lateral dan pada resesus faringeus,
yg dikenal sebagai fossa Rosenmuller.
c. Torus tubarius refleksi mukosa faringeal diatas bagian kartilogo saluran tuba
eustachius yang terbentuk bulat dan menjulang tampak sebagai tonjolan seperti ibu
jari kedinding lateral nasofaring tepat diatas perlekatan polatum mole.
d. Koana posterior rongga hidung
Kepaniteraan Klinik Ilmu RadiologiFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraRumah Sakit Royal Taruma Periode 21 Maret 2011-23 April 2011
6
Karsinoma Nasofaring Jannsen Kurniawan (406101003)
e. Foramina kranial yang terletak berdekatan dan dapat terkena akibat perluasan
dari penyakit nasopharynx , termasuk foramen jugularis yang dilalui oleh saraf
kranial glossofaringeus, vagus dan asesorius spinalis.
f. Struktur pembuluh darah yang penting yang terletak berdekatan termasuk sinus
petrosus inferior, vena jugularis interna, cabang meningeal oksipital dan arteri
faringeal asenden, dan foramen hipoglosus yang dilalui saraf hipoglosus.
g. Tulang temporalis bagian petrosa dan foramen laserum yang terletak dekat
bagian lateral atap nasofaring.
h. Ostium dari sinus – sinus sfenoid
Nasopharynx dapat diperiksa pada satu dari tiga jalan yang ada. Penderita
benapas melalui mulut kemudian dilakukan penekanan yang lembut kearah bawah
pada sepertiga tengah lidah dangan spatel, kemudian dimasukkan cermin kedalam
orofaring. Pemeriksaan ini menggunakan cermin yang kecil, cermin digerakkan
memutar dari satu kesisi lainnya untuk melihat keseluruhan nasopharynx, refleksi
pada arah atas memberikan gambaran dari torus tubarius pada tiap-tiap sisi, koana
posterior rongga hidung, ujung posterior dari konka inferior, dan kubah serta dinding
poterior nasofpharynx. Seringkali penderita membutuhkan anastesi topikal untuk
menurunkan “reflek muntah” yang akan menghambat pemberian gambar yang
adekuat, muntah akan memberikan gambaran inadekuat nasofaring pada beberapa
penderita yang diduga mempunyai masalah yang berhubungan dengan daerah ini jika
anastesi topikal sendiri tidak memberikan pemeriksaan yang adekuat, mungkin
digunakan kateter kecil melalui kateter kecil melalui rongga hidung, memegangnya di
orofaring dan melalui kateter ini langsung kemulut.hal ini memberikan retraksi
palatum mole. Tentu saja membutuhkan anastesi pada rongga hidung dan orofaring.
Teknik yang lebih baik untuk melihat nasofaring adalah menggunakan
nasofaringoskop fleksibel atau nasofaringoskop lurus yang non fleksibel secara
Kepaniteraan Klinik Ilmu RadiologiFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraRumah Sakit Royal Taruma Periode 21 Maret 2011-23 April 2011
7
Karsinoma Nasofaring Jannsen Kurniawan (406101003)
langsung melalui hidung ke nasofaring. Dengan tehnik ini tidak hanya memberikan
gambaran yang lebih baik tapi juga pembesaran.
Gambaran Nasofaring dengan Nasofaringskop
I.3. ETIOLOGI
Sudah hampir dapat dipastikan bahwa penyebab karsinoma nasopharynx
adalah virus epstein-barr, karena pada semua penderita karsinoma nasopharynx
didapat titier anti-virus EB yang cukup tinggi. Titier ini lebih tinggi dari titer orang
sehat, penderita tumor ganas leher dan kepala lainnya, tumor organ tubuh lainnya,
bahkan kelainan nasopharynx yang lain sekalipun.
Banyak penyelidik mengenai perangai dari virus ini dikemukakan, tetapi virus
ini bukan satu-satunya faktor, karena banyak faktor lain yang sangat mempengaruhi
kemungkinan timbul timbulnya tumor ini, seperti letak geografis, rasial, jenis
kelamin, genetik, pekerjaan, lingkungan, kebiasaan hidup, kebudayaan, sosial,
ekonomi, infeksi kuman atau parasit.
Tumor ini lebih banyak ditemukan pada laki2 dan apa sebabnya belum dapat
diungkapkan dengan pasti, mungkin ada hubungannya dengan faktor genetik,
kebiasaan hidup, pekerjaan dan lain lainnya.
Kepaniteraan Klinik Ilmu RadiologiFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraRumah Sakit Royal Taruma Periode 21 Maret 2011-23 April 2011
8
Karsinoma Nasofaring Jannsen Kurniawan (406101003)
Faktor lingkungan yang berpengaruh adalah iritasi dari bahan kimia, asap
sejenis kayu bakar, kebiasaan memasak dengan bahan atau bumbu masak tertentu,
dan kebiasaan makan makanan yang terlalu panas. Terdapat hubunan antara kadar
nikel dalam air minum dan makanan dengan mortalitas karsinoma nasopharynx ,
sedangkan adanya hubungan dengan keganasan lain tidak jelas.
Kebiasaan penduduk Eskimo memakan makanan yang diawetkan (daging dan
ikan ) terutama pada musim dingin menyebabkan tingginya kejadian karsinoma ini.
Tentang faktor genetik telah banyak ditemukan kasus herediter atau familier
dari penderita karsinoma nasopharynx dengan keganasan organ tubuh lain. Secara
umum didapatkan 10% dari penderita karsinoma nasopharynx menderita keganasan
organ lain. Pengaruh genetik terhadap karsinoma nasopharynx sedang dalam
pembuktian dengan mampelajari “cell-mediated immunity” dari virus EB dan “tumor
associated antigens” pada karsinoma nasopharynx .
Sebagian besar penderita adalah golongan sosial ekonomi rendah dan hal ini
menyangkut pula dengan keadaan lingkungan dan kebiasaan hidup.
Yang menyebabkan atau meningkatkan resiko terkena Karsinoma nasopharynx:
1). Penggunaan tembakau – tembakau merupakan factor resiko terbesar yang
menyebabkan kanker kepala dan leher, yang dalam hal ini adalah nasopharynx.
Jika penggunaan tembakau dihentiksn, dapat menurunkan resiko terkena kanker
sampai 5 atau 10 tahun.
2). Ineksi, seperti syphilis dan beberapa virus dapat menyebabkan
3). Imunitas yang rendah, seperti pada penyakit
4). Ada riwayat kanker disaluran
5). Bernafas serbuk gergaji dan menghirup asap dari hasil pemakaran tertentu dapat
meningkatkan resiko untuk karsinoma nasopharynx dan tumor sinus, hal ini mungkin
disebabkan dari iritas yang kronik.
Kepaniteraan Klinik Ilmu RadiologiFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraRumah Sakit Royal Taruma Periode 21 Maret 2011-23 April 2011
9
Karsinoma Nasofaring Jannsen Kurniawan (406101003)
I.3. Klasifikasi
Tumor nasofaring banyak jenisnya, baik yang jinak maupun yang ganas.
Maka untuk membedakan secara klinis tidaklah mudah dan sering menimbulkan
masalah dalam menentukan diagnosis maupun penanganannya.
I. Golongan Benigna.
Juvenile angiofibroma nasofaring (JNA).
Inverted papiloma.
Hemangioma.
II. Golongan Maligna
Karsinoma nasofaring
BAB II
PEMBAHASAN
II.1. Golongan benigna
II.1.1. Angiofibroma juvenile
Definisi
Angiofibroma Juvenil adalah tumor jinak pada hidung bagian belakang atau
tenggorokan bagian atas (nasofaring), yang mengandung pembuluh darah. .
Tumor ini paling sering ditemukan pada anak-anak laki yang sedang mengalami
pubertas.
Kepaniteraan Klinik Ilmu RadiologiFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraRumah Sakit Royal Taruma Periode 21 Maret 2011-23 April 2011
10
Karsinoma Nasofaring Jannsen Kurniawan (406101003)
Histopatologi
Secara histopatologi, angiofibroma nasofaring termasuk jinak, tetapi klinis
berbahaya karena dapat terjadi perdarahan hebat (epistaksis) dan menimbulkan
kerusakan karena mendesak organ-organ di sekitarnya
Jika tumbuh membesar, tumor bisa meluas ke jaringan di sekitarnya, kantung mata
atau rongga kranial (rongga yang berisi otak). Tumor juga bisa menghalangi
pernafasan.
Klasifikasi
Pada dasarnya dikenal dua macam, yaitu tipe vaskuler dan fibrotik.
Tumor tipe vaskuler banyak mengandung pembuluh darah, dinding pembuluh
darahnya non kontraktil karena tidak mempunyai tunika muskularis, sehingga kalau
terjadi Iuka darah sukar berhenti.
Biasanya penderita datang karena epistaksis yang hebat, pucat karena anemi,
atau hidung terasa buntu. Penyebab epistaksis disebabkan lepasnya krusta pada
permukaan tumor atau karena tumor sendiri mengalami ulserasi, dan jarang sekali
karena erosi pembuluh darah besar.
Pada stadium awal penyakit terjadi epitaksis yang tidak hebat dan dapat berhenti
sendiri, tetapi karena vaskularisasi pada tumornya banyak, perdarahan dapat
menghebat
Tumor ini mulai tumbuh di nasofaring, kemudian dapat meluas ke rongga
hidung, sinus maksila, sinus etmoid, basis kranium. Pada pemeriksaan mungkin
ditemukan benjolan pada pipi atau proptosis, ini disebabkan karena ekspansi masa
tumor ke dalam spasium pterigomaksila dan orbita.
Diagnosa
Kepaniteraan Klinik Ilmu RadiologiFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraRumah Sakit Royal Taruma Periode 21 Maret 2011-23 April 2011
11
Karsinoma Nasofaring Jannsen Kurniawan (406101003)
Diagnosis ditegakkan berdasarkan keluhan dan pemeriksaan klinis, x-foto dan
angiografi, sedang biopsi tumor harus waspada terhadap perdarahannya. Pada x-foto
kranium terlihat masa jaringan lunak di nasofaring, kadang-kadang dapat terlihat
erosi ringan pada tulang. Jaringan tumor mendesak tulang di sekitarnya sehingga tipis
dan rusak
Tumor dapat terlihat pada pemeriksaan CT scan atau MRI.
Dengan angiografi dapat dilihat pembuluh darah yang menuju ke tumor dan
kemungkinan penyebarannya ke dalam kantung mata atau rongga kranial.
Terapi
Penanganan tumor juvenile angiofibroma tergantung dari luas dan besarnya
tumor, bila masih terbatas dalam nasofaring dan rongga hidung cukup dilakukan
eksterpasi tumor, tetapi bila JNA sudah sampai ke dalam kranium, radioterapi
merupakan cara pengobatan pilihan
Pengobatan perlu dilakukan jika angiofibroma tumbuh membesar, menghalangi
saluran udara atau menyebabkan epistaksis menahun.
Pada beberapa kasus, tidak perlu dilakukan pengobatan.
Pembedahan dilakukan untuk mengangkat tumor. Pengangkatan tumor seringkali
sulit dilakukan karena tumor terbungkus dan menyusup ke dalam, sehingga setelah
pengangkatan tumor seringkali terjadi kekambuhan. ,tumor yang terbatas di
nasofaring dan rongga hidung diekstraksi melalui rongga mulut dan hidung.
Caranya jari meng-eksplorasi ke dalam nasofaring untuk me- nilai besar dan
basis tumor, kemudian tumor dijepit dengan tang Jurasz dan diluksir sambil
diekstraksi ke luar melalui mulut. Sedang tumor di rongga hidung diekstraksi melalui
hidung. Kalau perlu dilakukan tindakan dengan cara transpalatal.
Kepaniteraan Klinik Ilmu RadiologiFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraRumah Sakit Royal Taruma Periode 21 Maret 2011-23 April 2011
12
Karsinoma Nasofaring Jannsen Kurniawan (406101003)
Embolisasi (penyumbatan arteri dengan suatu bahan) bisa menyebabkan
terbentuknya jaringan parut pada tumor dan menghentikan perdarahan.
Embolisasi dilakukan dengan cara menyuntikkan suatu zat ke dalam pembuluh darah
untuk menyumbat aliran darah yang melaluinya. Embolisasi efektif untuk mengatasi
perdarahan hidung dan tindakan ini bisa diikuti dengan pembedahan untuk
mengangkat tumor.
II.1.2. "Inverted" papiloma
Definisi
Inverted papiloma dikenal sebagai tumor jinak, tetapi terdapat hiperplasi
epitel yang tumbuh dan masuk ke dalam jaringan stroma di bawahnya untuk
kemudian membentuk kripte, dengan membrana basalis yang tetap utuh.
Ciri khas dari Inverted papiloma yaitu mempunyai kemampuan untuk merusak
jaringan sekitarnya, cenderung kambuh lagi dan dapat menjadi ganas.
Etiologi
Etiologinya belum jelas benar, terdapat bermacam-macam teori, antara lain:
infeksi kronis, virus, polip dan lain-lain, sehingga Vrabec menganjurkan
menganggapnya sebagai true neo plasma.
Insidensi
Lebih banyak penderita pria daripada wanita. Rata-rata umur penderita sekitar
40--50 tahun.
Gejala
Kepaniteraan Klinik Ilmu RadiologiFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraRumah Sakit Royal Taruma Periode 21 Maret 2011-23 April 2011
13
Karsinoma Nasofaring Jannsen Kurniawan (406101003)
Gejala inverted papiloma mirip dengan gejala tumor jinak hidung dan sinus
paranasal, pada pemeriksaan klinis didapatkan masa tumor mirip dengan polip
hidung, tetapi biasanya unilateral. Gejala dapat berupa
epistaksis, anosmia, rasa penuh di hidung, bersin-bersin, proptosis dan
lakrimasi yang berlebihan
Diagnosa
Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan histo-patologi . Biopsi tumor dapat
diambil dari rongga hidung dan sinus maksila.
Pemeriksaan X-foto hidung dan sinus paranasal dan sinuskopi sangat membantu
dalam menangani inverted papiloma. Bila sinus maksila suram, pemeriksaan
sinoskopi menentukan cara operasi yang akan diambil.
Terapi
Dalam mengobati inverted papiloma, para ahli menganjurkan untuk dilakukan
ekstirpasi tumor sebersih mungkin dengan lapangan pandangan operasi yang
memadai, yaitu dengan rinotomi lateral yang dapat diteruskan dengan perluasan insisi
sulkus gingivolabial atau perasat dari Weber Ferguson. Bila perlu eksenterasi orbita
Kasus
Selama tahun 1980--1985 terdapat 14 penderita inverted papiloma yang
dirawat di bagian THT RS Dr Kariadi, rata-rata berumur 45--55 tahun, terdapat 9 pria
dan 5 wanita.
Operasi rinotomi lateral dilakukan pada 13 penderita, pada 8 orang di
antaranya dilanjutkan dengan insisi sulkus gingivo labial. Seorang penderita wanita
muda, mengingat segi kosmetik, dilakukan perasat endonasal tetapi ternyata
memberikan
residif. Destruksi dinding lateral hidung pada 10 penderita.
Kepaniteraan Klinik Ilmu RadiologiFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraRumah Sakit Royal Taruma Periode 21 Maret 2011-23 April 2011
14
Karsinoma Nasofaring Jannsen Kurniawan (406101003)
Perluasan ke sinus maksila 7 orang, seorang di antaranya juga meluas ke sinus etmoid
dan frontal. Terdapat dua kasus yang menunjukkan gambaran papiloma transisional
pada pemeriksaan patalogi anatomi. Sampai kini tidak ada penderita yang kambuh
setelah operasi lateral.
II.1.3. Hemangioma nasofaring
Definisi
Hemangioma adalah tumor pembuluh darah yang mudah berdarah dan sukar
dibedakan dari teleangiektasi atau dilatasi pembuluh darah yang sebelumnya sudah
ada.
Klasifikasi
Terdapat tiga jenis hemangioma :
Hemangioma kapiler.
Hemangioma kavernosum.
Hemangioma perisitoma.
Hemangioma dapat tumbuh di semua bagian tubuh kita, termasuk di rongga
hidung, Yang terbanyak adalah jenis hemangioma kapiler, kemudian hemangioma
kavernosum, dan yang tersedikit adalah hemangioma perisitoma.
Perbedaan pada pemeriksaan patologi anatomi yaitu:
# Pada hemangioma kapiler terlihat sel endotel yang membengkak dan
membesar dan tersusun berlapis-Iapis. Bila proliferasi endotel menghebat sampai
menutup lumen, disebut hemangioma endotel.
Kepaniteraan Klinik Ilmu RadiologiFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraRumah Sakit Royal Taruma Periode 21 Maret 2011-23 April 2011
15
Karsinoma Nasofaring Jannsen Kurniawan (406101003)
# Hemangioma kavernosum mempunyai struktur seperti jaringan erektil dan
terdiri atas ruangan pembuluh darah yang lebar dilaposi oleh sel endotel.
# Hemangioma perisitoma terdiri atas jaringan kapiler yang dikelilingi oleh
sel berbentuk bundar atau fusiform yang tumbuh ke arah luar. Mungkin
merupakan derivat perisit dari Zimmermann. Sel perisit ini merupakan modifikasi
dari sel-sel otot polos pada dinding kapiler yang mempunyai sifat kontraktil dan
mengatur diameter lumen, tetapi sel perisit ini tidak mempunyai miofibril.
Diagnosa
Untuk mendiagnosis hemangioma, biasanya penderita mengeluh hidung
tersumbat, sering epistaksis, biasanya tidak nyeri kecuali disertai infeksi.
Pada pemeriksaan terlihat tumor polipoid yang bertangkai, warna agak
kemerahan, kadang-kadang putih abu-abu. Tumor teraba kenyal, batas tegas dan
tertutup kapsul sebagian, kalau disentuh mudah berdarah.
Pertumbuhan tumor lambat seakan-akan tidak bertambah berat .
Terapi
Hemangioma termasuk tumor yang radioresisten, maka pengobatan yang
terbaik adalah eksisi radikal yang cukup luas sampai tidak terlihat sisanya untuk
mencegah residif. Mengingat bahaya perdarahan yang hebat sewaktu operasi, pre-
operatif dapat dilakukan penyinaran.
Kasus
Selama tahun 1983--1985 hanya terdapat 2 penderita hemangioma, yaitu
seorang hemangioma kapiler (1983) dan seorang lagi hemangioma kavernosum
(1984), keduanya pria dan telah dilakukan eksisi.
Kepaniteraan Klinik Ilmu RadiologiFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraRumah Sakit Royal Taruma Periode 21 Maret 2011-23 April 2011
16
Karsinoma Nasofaring Jannsen Kurniawan (406101003)
II.2. Golongan maligna
II.2.1. Kanker Nasofaring (KNF)
Definisi
Nasofaring merupakan bagian nasal dari faring yang terletak posterior dari
kavum nasi dan di atas bagian bebas dari langit langit lunak. Yang disebut KNF
adalah kanker yang terjadi di selaput lendir daerah ini, tepatnya pada cekungan
Rosenmuelleri dan tempat bermuaranya saluran Eustachii yang menghubungkan liang
telinga tengah dengan ruang faring.
Insidensi
Angka kejadian KNF di Indonesia cukup tinggi, yakni 4,7 kasus baru per
tahun per 100.000 penduduk
Catatan dari berbagai rumah sakit menunjukkan bahwa KNF menduduki urutan ke
empat setelah kanker leher rahim, kanker payudara dan kanker kulit. Tetapi seluruh
bagian THT (telinga hidung dan tenggorokan) di Indonesia sepakat mendudukan
KNF pada peringkat pertama penyakit kanker pada daerah ini. Dijumpai lebih banyak
pada pria daripada wanita dengan perbandingan 2-3 orang pria dibandingkan 1
wanita.
Epidemiologi
Apabila kita melihat distribusi penyakit ini di seluruh dunia, maka KNF
paling banyak dijumpai pada ras Mongol, di samping Mediteranian, dan beberapa ras
di Afrika bagian utara.
Kepaniteraan Klinik Ilmu RadiologiFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraRumah Sakit Royal Taruma Periode 21 Maret 2011-23 April 2011
17
Karsinoma Nasofaring Jannsen Kurniawan (406101003)
Di Hongkong tercatat sebanyak 24 pasien KNF per tahun per 100.000 penduduk,
sedangkan angka rata rata di Cina bagian selatan berkisar antara 20 per 100.000.
Bandingkan dengan negara Eropa atau Amerika Utara yang mempunyai angka
kejadian 1 per 100.000 penduduk per tahun.3
Sekalipun termasuk ras Mongoloid, bangsa Korea, Jepang dan Tiongkok
sebelah utara tidak banyak yang dijumpai mengidap penyakit ini. Berbagai studi
epidemilogik mengenai angka kejadian ini telah dipublikasikan di berbagai jurnal.
Salah satunya yang menarik adalah penelitian mengenai angka kejadian KNF pada
para migran dari daratan Tiongkok yang telah bermukim secara turun temurun di
China town (pecinan) di San Fransisco Amerika Serikat.
Terdapat perbedaan yang bermakna dalam terjadinya KNF antara para migran
dari daratan Tiongkok ini dengan penduduk di sekitarnya yang terdiri atas orang kulit
putih (Caucasians), kulit hitam dan Hispanics, dimana kelompok Tionghoa
menunjukkan angka kejadian yang lebih tinggi. Sebaliknya, apabila orang Tionghoa
migran ini dibandingkan dengan para kerabatnya yang masih tinggal di daratan
Tiongkok maka terdapat penurunan yang bermakna dalam hal terjadinya KNF pada
kelompok migran tersebut.
Jadi kesimpulan yang dapat ditarik adalah, bahwa kelompok migran masih
mengandung gen yang `memudahkan' untuk terjadinya KNF, tetapi karena pola
makan dan pola hidup selama di perantauan berubah maka faktor yang selama ini
dianggap sebagai pemicu tidak ada lagi maka kanker ini pun tidak tumbuh. Untuk
diketahui bahwa penduduk di provinsi Guang Dong ini hampir setiap hari
mengkonsumsi ikan yang diawetkan (diasap, diasin), bahkan konon kabarnya seorang
bayi yang baru selesai disapih, sebagai makanan pengganti susu ibu adalah nasi yang
dicampur ikan asin ini. Di dalam ikan yang diawetkan dijumpai substansi yang
bernama nitrosamine yang terbukti bersifat karsinogen bagi hewan percobaan.
Kepaniteraan Klinik Ilmu RadiologiFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraRumah Sakit Royal Taruma Periode 21 Maret 2011-23 April 2011
18
Karsinoma Nasofaring Jannsen Kurniawan (406101003)
Dijumpai pula kenaikan angka kejadian ini pada komunitas orang perahu
(boat people) yang menggunakan kayu sebagai bahan bakar untuk memasak. Hal ini
tampak mencolok pada saat terjadi pelarian besar besaran orang Vietnam dari
negaranya.
Bukti epidemiologik lain adalah angka kejadian kanker ini di Singapura.
Persentase terbesar yang dikenai adalah masyarakat keturunan Tionghoa (18,5 per
100.000 penduduk), disusul oleh keturunan Melayu (6,5 per 100.000) dan terakhir
adalah keturunan Hindustan (0,5 per 100.000).
Dijumpainya Epstein-Barr Virus (EBV), (yang dinamai sesuai dengan
penemunya, Epstein dan Barr pada limfoma Burkitt pada 1960), pada hampir semua
kasus KNF telah mengaitkan terjadinya kanker ini dengan keberadaan virus tersebut.
Pada 1966, seorang peneliti menjumpai peningkatan titer antibodi terhadap EBV pada
KNF serta titer antibodi IgG terhadap EBV, capsid antigen dan early antigen.
Kenaikan titer ini sejalan pula dengan tingginya stadium penyakit.
Namun virus ini juga acapkali dijumpai pada beberapa penyakit keganasan lainnya
bahkan dapat pula dijumpai menginfeksi orang normal tanpamenimbulkan
manifestasi penyakit. Jadi adanya virus ini tanpa faktor pemicu lain tidak cukup untuk
menimbulkan proses keganasan.
Berbeda halnya dengan jenis kanker kepala dan leher lain, KNF tidak pernah
dihubungkan dengan kebiasaan merokok dan minum alkohol tetapi lebih dikaitkan
dengan virus Epstein Barr, predisposisi genetik dan pola makan tertentu.
Adanya hubungan antara faktor kebiasaan makan dengan terjadinya KNF
dipelajari oleh Ho dkk. Ditemukan kasus KNF dalam jumlah yang tinggi pada mereka
yang gemar mengkonsumsi ikan asin yang dimasak dengan gaya Kanton (Cantonese-
style salted fish). Risiko terjadinya KNF sangat berkaitan dengan lamanya mereka
Kepaniteraan Klinik Ilmu RadiologiFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraRumah Sakit Royal Taruma Periode 21 Maret 2011-23 April 2011
19
Karsinoma Nasofaring Jannsen Kurniawan (406101003)
mengkonsumsi makanan ini. Di beberapa bagian negeri Cina makanan ini mulai
digunakan sebagai pengganti air susu ibu pada saat menyapih.
Peneliti lainnya mencoba menghubungkannya dengan makanan yang diawetkan
menggunakan garam lainnya seperti udang asin, telur asin.
Penyebab lain yang dicurigai adalah pajanan di tempat kerja seperti formaldehid,
debu kayu serta asap kayu bakar.
Belakangan ini penelitian dilakukan terhadap pengobatan alami (Chinese herbal
medicine= CHB). Hildesheim dkk memperoleh hubungan yang erat antara terjadinya
KNF, infeksi EBV dan penggunaan CHB
Penyebab
Infeksi dari virus Epstein Barr memegang peranan penting dalam
timbulknya kanker nasofaring ini. Virus ini dapat masuk ke dalam tubuh dan tetap
tinggal di orofaring, nasofaring, kelenjar parotis dan kelenjar ludah tanpa
menimbulkan gejala. Untuk mengaktifkan virus ini dibutuhkan suatu mediator.
Kebiasaan mengkonsumsi ikan asin dalam waktu lama secara terus menerus
mulai dari masa kanak-kanak merupakan mediator utama yang dapat mengaktifkan
virus ini untuk segera menimbulkan kanker nasofaring.
# Makanan yang diawetkan
Beberapa faktor lain yang dianggap berpengaruh menjadi mediator untuk
timbulnya kanker nasofaring adalah makanan yang diawetkan dan nitrosamin.
Penelitian yang dilakukan di Hongkong pada tahun 1986 menyebutkan bahwa dari
250 penderita kanker nasofaring di bawah usia 35 tahun, sebagian besar ternyata
mengkonsumsi ikan asin sejak usia di bawah 10 tahun. Penelitian di Singapura pada
tahun 1994 juga menemukan kekerapan kanker nasofaring yang tinggi pada
masyarakat etnis tionghoa yang banyak mengkonsumsi makanan yang diasinkan.
Kepaniteraan Klinik Ilmu RadiologiFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraRumah Sakit Royal Taruma Periode 21 Maret 2011-23 April 2011
20
Karsinoma Nasofaring Jannsen Kurniawan (406101003)
Pada etnis tionghoa yang banyak mengkonsumsi sayuran segar dan vitamin angka
kejadian ini ternyata rendah.
Faktor-faktor lain yang diduga turut berperan adalah konsumsi tauco dan
daging asap.
# Faktor sosial ekonomi, lingkungan dan kebiasaan hidup.
Udara yang penuh asap di rumah-rumah dengan ventilasi kurang baik di
Cina, Indonesia dan Kenya juga meningkatkan insiden kanker nasofaring.
Pembakaran dupa, obat nyamuk bakar di rumah-rumah juga dianggap berperan dalam
menimbulkan kanker ini.
# Radang kronis di nasofaring
Dengan adanya radang menahun di daerah nasofaring, maka mukosa
nasofaring menjadi lebih rentan terhadap karsinogen penyebab kanker nasofaring.
# Ras dan keturunan
Kekerapan tertinggi di dunia ternyata diketahui pada ras Tionghoa, baik di
daerah asal maupun di perantauan. Ras Melayu yaitu di Malaysia dan Indonesia
berada di urutan ke dua. Ras Kaukasus jarang menderita penyakit ini.
Gambaran klinis
Seperti yang diungkapkan di atas, penderita kanker nasofaring biasanya
datang dan terdeteksi dalam stadium lanjut. Gejala-gejala awal sering tidak disadari
baik oleh pasien maupun oleh dokter sendiri.
Gejala-gejala yang dimaksud adalah:
a. Gejala hidung
Kepaniteraan Klinik Ilmu RadiologiFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraRumah Sakit Royal Taruma Periode 21 Maret 2011-23 April 2011
21
Karsinoma Nasofaring Jannsen Kurniawan (406101003)
Gejala pada hidung merupakan gejala dini kanker nasofaring, akan tetapi
gejala ini tidak khas. Karena dapat dijumpai pada penyakit infeksi biasa seperti
rinitis kronis maupun sinusitis.
Gejala yang dimaksud dapat berupa:
- sumbatan hidung. Hal ini bersifat menetap akibat pertumbuhan tumor ke dalam
rongga nasofaring. Gejala menyerupai pilek kronis, kadang-kadang disertai
gangguan penciuman dan adanya ingus yang kental
- mimisan. Perdarahan timbul berulang-ulang, jumlahnya sedikit, bercampur ingus
sehingga berwarna merah jambu atau terdapat garis-garis darah halus.
Kecurigaan besar terhadap kanker nasofaring jika:
- menderita pilek lama lebih dari satu bulan, usia di atas 40 tahun, dan tidak didapati
adanya kelainan lain pada hidung
- menderita pilek lama, ingus kental berbau dan terdapat garis-garis darah tanpa
kelainan hidung dan sinus paranasal (dekat hidung)
- penderita usia di atas 40 tahun dengan riwayat sering mimisan yang tidak jelas
penyebabnya
b. Gejala telinga
Bisa ditemukan gangguan pendengaran (kurang/sukar mendengar), rasa penuh
di telinga, seperti ada cairan, dan telinga berdenging (umumnya satu sisi saja).
Gejala yang merupakan gejala dini ini, harus diperhatikan serius terutama jika gejala
ini menetap atau hilang timbul tanpa penyebab yang jelas.
c. Pembesaran kelenjar leher
Gejala ini paling sering ditemukan dan membawa penderita berkonsultasi ke
dokter. Sebagian besar penderita datang berobat dengan keluhan pembesaran
Kepaniteraan Klinik Ilmu RadiologiFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraRumah Sakit Royal Taruma Periode 21 Maret 2011-23 April 2011
22
Karsinoma Nasofaring Jannsen Kurniawan (406101003)
kelenjar leher baik sesisi maupun kedua sisi. Pada saat ini sebenarnya kanker tersebut
telah menyebar. Benjolan ini, teraba keras dan tidak nyeri.
Gejala-gejala berat
Gejala-gejala yang disebutkan di atas mungkin masih tidak diperhatikan
penderita, karena meskipun sudah ada benjolan namun kalau tidak sakit biasanya
dibiarkan saja, apalagi hanya mimisan atau hidung berbau.
Tapi selanjutnya gejala kanker nasofaring akan membuat gangguan pada
penglihatan, kelumpuhan otot-ototkelopak mata sehingga tidak bisa membuka mata
secara normal, dan pandangan menjadi ganda. Bisa juga terjadi nyeri kepala hebat.
Jika telah mengenai saraf daerah mulut, maka bisa terjadi kesulitan dan nyeri
menelan, tidak bisa bersuara, dll. Secara tidak langsung hal-hal ini mengakibatkan
kondisi fisik dan sosial penderita akan menurun secara drastis.
Gejala-gejala yang lebih berat
Yang paling berat, adalah jika melalui darah dan aliran limfe sel-sel kanker
menyebar (metastase) mengenai organ tubuh yang letaknya jauh seperti
tulang, paru dan hati. Gejala yang timbul adalah sesuai dengan gejala akibat
kerusakan organ-organ tersebut. Apabila didapati gejala penyerta seperti nyeri tulang,
sesak, asites, dll., umumnya merupakan tanda suatu penyakit yang sukar diobati lagi.
Pengobatan yang dilakukan hanya bersifat meringankan penderita baik semasa hidup
maupun meninggalnya.
Diagnosa
Sebaiknya jika seorang dokter umum menemukan kasus-kasus berisiko
tinggi (etnik tionghoa, usia 40 tahun ke atas, pria, dengan pilek-pilek lama atau
mimisan yang hilang timbul, dengan atau tanpa pembesaran kelenjar di daerah
Kepaniteraan Klinik Ilmu RadiologiFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraRumah Sakit Royal Taruma Periode 21 Maret 2011-23 April 2011
23
Karsinoma Nasofaring Jannsen Kurniawan (406101003)
rahang/leher), bisa mengkonsultasikan ke dokter spesialis Telinga Hidung
Tenggorokan.
Foto rontgen konvensional dapat memberikan gambaran jaringan lunak
pada nasofaring atau erosi tulang dasar tengkorak dan tulang belakang daerah leher
(cervikalis) penderita kanker nasofaring stadium lanjut. Sedangkan pada stadium dini
lesi minimal dengan pemeriksaan radiologik biasa, tidak dapat terdeteksi.
Saat ini pemeriksaan CT Scan dan MRI sangat membantu dalam membuat
diagnosa dini kanker nasofaring. Pemeriksaan ini sekaligus untuk mengetahui
perluasan tumor dan ini diperlukan untuk penentuan stadium penyakit.
Perkembangan ilmu kedokteran berkembang setiap saat. Jika dulu biopsi
dianggap sebagai salah satu cara untuk mengetahui adanya KNF, saat ini tidak lagi
rupanya. Angka negatif palsu yang tinggi disertai kemungkinan bisa mempercepat
penyebarannya (metastase), menyebabkan cara ini (biopsi) sudah ditinggalkan.
Seandainya dibutuhkan pemeriksaan jaringan, yang dilakukan adalah dengan sistem
aspirasi jarum halus.
Screening massal
Pemeriksaan secara massal bisa dilakukan dengan pemeriksaan di
laboratorium (serologi) yaitu untuk mendeteksi adanya antibodi IgA untuk virus
Epstein Barr.
Titer IgA anti VCA sangat sensitif untuk kanker nasofaring tetapi kurang
spesifik. Sebaliknya IgA anti EA sangat spesifik untuk kanker nasofaring tetapi
kurang sensitif. Pemeriksaan ini juga berguna untuk mengevaluasi penderita pasca
pengobatan untuk mengetahui kemungkinan berulangnya kanker tersebut.
Pada daerah endemik (seperti di Cina) pemeriksaan ini menjadi petunjuk
bagi dokter untuk merujuk penderita ke RS yang mempunyai fasilitas pemeriksaan
lebih lanjut.
Kepaniteraan Klinik Ilmu RadiologiFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraRumah Sakit Royal Taruma Periode 21 Maret 2011-23 April 2011
24
Karsinoma Nasofaring Jannsen Kurniawan (406101003)
Pengobatan
Sampai dengan saat ini dasar pengobatan KNF yang masih terbatas pada
daerah kepala dan leher adalah terapi radiasi. Kombinasi pengobatan dengan
khemoterapi diperlukan apabila kanker sudah tumbuh sedemikian besarnya sehingga
menyulitkan tindakan radioterapi. Di samping itu pemberian khemoterapi diharapkan
dapat meningkatkan kepekaan jaringan tumor terhadap radiasi serta membunuh sel
sel kanker yang sudah berada di luar jangkauan radioterapi.
Radioterapi dilakukan dengan radiasi eksterna, dapat menggunakan pesawat
kobalt (Co60) atau dengan akselerator linier (Linear Accelerator atau Linac). Radiasi
ini ditujukan pada kanker primer di daerah nasofaring dan ruang parafaringeal serta
pada daerah aliran getah bening leher atas, bawah serta klavikula. Radiasi daerah
getah bening ini tetap dilakukan sebagai tindakan preventif sekalipun tidak dijumpai
pembesaran kelenjar.
Metode brakhiterapi, yakni dengan memasukkan sumber radiasi ke dalam
rongga nasofaring saat ini banyak digunakan guna memberikan dosis maksimal pada
tumor primer tetapi tidak menimbulkan cedera yang serius pada jaringan sehat di
sekitarnya. Kombinasi ini diberikan pada kasus kasus yang telah memperoleh dosis
radiasi eksterna maksimum tetapi masih dijumpai sisa jaringan kanker atau pada
kasus kambuh lokal.
Perkembangan teknologi pada dasawarsa terakhir telah memungkinkan
pemberian radiasi yang sangat terbatas pada daerah nasofaring dengan menimbulkan
efek samping sesedikit mungkin.
Metode yang disebut sebagai IMRT (Intensified Modulated Radiation
Therapy) telah digunakan di beberapa negara maju. Bahkan saat ini Malaysia dan
Filipina telah memilikinya.
Penatalaksanaan pembedahan tidak mempunyai peranan pada KNF mengingat lokasi
tumor yang melekat erat pada mukosa dasar tengkorak.
Kepaniteraan Klinik Ilmu RadiologiFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraRumah Sakit Royal Taruma Periode 21 Maret 2011-23 April 2011
25
Karsinoma Nasofaring Jannsen Kurniawan (406101003)
Efek samping terapi
Radiasi pada daerah kepala dan leher khususnya nasofaring mau tidak mau
akan mengikutsertakan sebagian besar mukosa mulut dan kelenjar parotis. Akibatnya
dalam keadaan akut akan terjadi efek samping pada mukosa mulut berupa mukositis
yang dirasa pasien sebagai nyeri telan, mulut kering dan hilangnya cita rasa (taste).
Keadaan ini seringkali diperparah oleh timbulnya infeksi jamur pada mukosa lidah
serta palatum.
Setelah radiasi selesai maka efek samping akut di atas akan menghilang
dengan pengobatan simptomatik. Akibat kelenjar parotis terkena radiasi dosis tinggi
terjadilah disfungsi berupa menurunnya alir saliva yang akan diikuti dengan
kekeringan pada mukosa mulut (xerostomia). Bila saliva yang mempunyai fungsi
antara lain mempertahankan pH mulut di angka netral dan ikut serta dalam
membersihkan sisa sisa makanan ini berkurang, karies gigi akan lebih mudah terjadi.
Untuk menghindari efek samping semaksimal mungkin maka sebelum dan
selama pengobatan, bahkan setelah selesai terapi, pasien akan selalu diawasi oleh
dokter. Perawatan sebelum radiasi adalah dengan membenahi gigi geligi, memberikan
informasi kepada pasien mengenai metode pembersihan ruang mulut dan gigi secara
benar.
STADIUM
Untuk penentuan stadium dipakai system TMN menurut UICC (1992)
T = Tumor Primer
T0 – tidak tampak tumor
T1 – tumor terbatas pada satu lokasi saja ( lateral/posterosuperior/atap dan lain – lainnya).
Kepaniteraan Klinik Ilmu RadiologiFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraRumah Sakit Royal Taruma Periode 21 Maret 2011-23 April 2011
26
Karsinoma Nasofaring Jannsen Kurniawan (406101003)
T2 – tumor terdapat pada dua lokalisasi atau lebih tetapi masih terbatas didalam rongga nasopharynx.
T3 – tumor telah keluar dari nasopharynx ( ke rongga hidung atau oropharynx )
T4 – tumor telah keluar dari nasopharynx dan telah merusak tulang tengkorak atau mengenai saraf – saraf otak.
Tx – tumor tidak jelas besarnya karena pemeriksaan tidak lengkap.
N = pembesaran kelenjar getah bening regional
N0 – tidak ada pembesaran.
N1 – terdapat pembesaran tetapi homolateral dan masih dapat digerakkan
N2 – terdapat pembesaran kontralateral / bilateral dan masih dapat digerakkan.
N3 – terdapat pembesaran baik homolateral, kontralateral maupun bilateral yang sudah melekat pada jaringan sekitar.
M = metastasis jauh
M0 – tidak ada metastasis jauh
M1 – terdapat metastasis jauh
Stadium I :
T1 N0 M0
Stadium II :
T2 N0 M0
Stadium III :
T1,T2,T3 N1 M0 atau T3 N0 M0
Stadium IV :
Kepaniteraan Klinik Ilmu RadiologiFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraRumah Sakit Royal Taruma Periode 21 Maret 2011-23 April 2011
27
Karsinoma Nasofaring Jannsen Kurniawan (406101003)
T4 N0/N1 M0 atau T1,T2,T3/T4 N2/N3 M0
Atau T1/T2/T3/T4 N0/N1/N2/N3 M1
BAB III
ASPEK RADIOLOGIS
Pemeriksaan radiologist merupakan salah satu alat diagnostic untuk tumor
pada nasofaring. Pada bab ini akan dibahas bagaimana peranan pemeriksaan
radiologist dalam menegakkan diagnosa tumor pada nasofaring.
Pada angiofibroma juvenile, paling baik dilihat dengan CT scan atau MRI.
Penelitian dengan CT scan dan pengamatan pada operasi, mengatakan bahwa masa
yang tumbuh pada basis lamina pterigoideus atau di dekatnya, dan terdapat erosi
tulang pada bagian ini, mungkin merupakan tanda yang patognomomik. Apabila
tumor menyebar ke hidung dan ruang postnasal, tumor ini mempunyai kecenderungan
untuk menyebar secara lateral melewati fisura pterigomaksilari menuju fosa
infratemporal. Pelebaran tumor ke sinus sphenoid atau yang jarang ke ruang kranium,
paling baik dilihat pada CT ssan potongan koronal.
Kepaniteraan Klinik Ilmu RadiologiFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraRumah Sakit Royal Taruma Periode 21 Maret 2011-23 April 2011
28
Karsinoma Nasofaring Jannsen Kurniawan (406101003)
Angiografi karotis, walaupun dapan menegakkan diagnosis, tidak selalu
diperlukan.angiografi mungkin berguna untuk embolisasi dari tumor untuk
mengurangi suplai darah terutama pada operasi.
Masa jaringan lunak yang besar pada ruang postnasal berhubungan dengan
kerusakan pada basis sphenoid dan kadang-kadang tampak kalsifikasi, terbaik dilihat
dengan CT scan. Hal ini seringdisertai dengan masa di intracranial. MRI merupakan
alternative pemeriksaan.
Pada karsinoma skuamos sel, 80% terdapat pada ruang postnasal. Kadang-
kadang besar dan masa jaringan lunak dapat terlihat pada ruangan ini. Lebih sering
lagi, tumor menginfiltrasi secara langsung melewati dasar tengkorak dan karena itu
pasien mengalami gejala lesi pada saraf cranial, atau menyebat lewat saluran limfe,
sehingga manifestasinya terjadi pembesaran kelenjar getah bening di leher.
Otitis media serosa dengan gejala tuli yeng berasal dari sumbatan karena
tumor pada tuba eustacius merupakan kelainan yang mungkin juga timbul. Penelitian
yang teliti pada dasar tengkorak memperlihatkan erosi dari tulang pada fosa media
dan region atlanto-ocipital. Seperti pada erosi yang dapat diperlihatkan pada CT scan,
juga dapat memperlihatkan obliterasi yang sering terjadi dari lateral faring (fosa
rosenmuler) oleh tumor yang berkembang di area ini.
Obliterasi dari jaringan lunak yang diperlihatkan pada CT scan merupakan
indikasi lain dari penyebaran dari karsinoma di ruang postnasal, terutama bila
ukurannya kesil namun dapat dikenali dengan baik.
Tumor limfoma di ruang postnasal cendetung untuk berkembang dengan pola
melingkar tanpa invasi pada ruang parafaringeal.
MRI menjadi pilihan untuk tumor pada nasofaring, terutama untuk karsinoma
kistik adenoid dimana kadang-kadang karakteristik infiltrasi perineural dapat
diperlihatkan.
BAB IV
Kepaniteraan Klinik Ilmu RadiologiFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraRumah Sakit Royal Taruma Periode 21 Maret 2011-23 April 2011
29
Karsinoma Nasofaring Jannsen Kurniawan (406101003)
KESIMPULAN
Nasofaring ialah salah satu bagian dari faring. Faring atau tekak, adalah
saluran yang terletak antara rongga hidung serta rongga mulut dan kerongkongan.
Faring itu terbagi atas nasofaring (yang berhubungan dengan hidung atau nasal),
orofaring (yang berhubungan dengan mulut atau oral) serta laringofaring (yang
berhubungan dengan laring atau pangkal tenggorok).
Kanker nasofaring (KNF) adalah kanker yang berada dalam daerah nasofaring.
KNF ini sukar terlihat maupun sukar teraba. Dalam arti, jika tidak awas,
kemungkinan bisa luput dari pemeriksaan dokter pada awalnya.
Hidung mempunyai hubungan erat dengan struktur di sekitarnya, misalnya sinus
paranasal dan nasofaring, sehingga tumor di rongga hidung sering meluas ke tempat
tersebut atau sebaliknya.
Tumor nasofaring banyak jenisnya, baik yang jinak maupun yang ganas.
Maka untuk membedakan secara klinis tidaklah mudah dan sering menimbulkan
masalah dalam menentukan diagnosis maupun penanganannya.
Tumor dapat diklasifikasi sebagai berikut:
I. Golongan Benigna.
Juvenile angiofibroma nasofaring (JNA).
Inverted papiloma.
Hemangioma.
II. Golongan Maligna
Karsinoma nasofaring
Secara garis besar, gejala dapat berupa sumbatan hidung. Gejala menyerupai
pilek kronis, kadang-kadang disertai gangguan penciuman dan adanya ingus yang
kental. Dapat pula dijumpai perdarahan pada hidung yang timbul berulang-ulang,
Kepaniteraan Klinik Ilmu RadiologiFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraRumah Sakit Royal Taruma Periode 21 Maret 2011-23 April 2011
30
Karsinoma Nasofaring Jannsen Kurniawan (406101003)
jumlahnya sedikit, bercampur ingus sehingga berwarna merah jambu atau terdapat
garis-garis darah halus.
Bisa ditemukan gangguan pendengaran (kurang/sukar mendengar), rasa penuh
di telinga, seperti ada cairan, dan telinga berdenging (umumnya satu sisi saja).
Tampak pula pembesaran kelenjar leher. Gejala ini paling sering ditemukan dan
membawa penderita berkonsultasi ke dokter. Sebagian besar penderita datang berobat
dengan keluhan pembesaran kelenjar leher baik sesisi maupun kedua sisi. Pada saat
ini sebenarnya kanker tersebut telah menyebar. Benjolan ini, teraba keras dan tidak
nyeri.
Foto rontgen konvensional dapat memberikan gambaran jaringan lunak
pada nasofaring atau erosi tulang dasar tengkorak dan tulang belakang daerah leher
(cervikalis) penderita tumor nasofaring stadium lanjut. Sedangkan pada stadium dini
lesi minimal dengan pemeriksaan radiologik biasa, tidak dapat terdeteksi.
Saat ini pemeriksaan CT Scan dan MRI sangat membantu dalam membuat
diagnosa dini tumor nasofaring. Pemeriksaan ini sekaligus untuk mengetahui
perluasan tumor dan ini diperlukan untuk penentuan stadium penyakit.
Penanganan tumor nasofaring sangat tergantung dari jenis, jinak ganasnya,
letak, besar dan luas penyebarannya, sehingga cara operasi belum tentu memberikan
hasil yangmemuaskan atau dapat dilakukan, maka diperlukan terapi lainnya yaitu
terapi kombinasi.
Kepaniteraan Klinik Ilmu RadiologiFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraRumah Sakit Royal Taruma Periode 21 Maret 2011-23 April 2011
31
Karsinoma Nasofaring Jannsen Kurniawan (406101003)
Daftar pustaka
Rasad, Sjahriar. Radiologi Diagnostik, Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Jakarta, (1995).
Arief Mansjoer, dkk. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 1. Edisi 3. Penerbit
Media Aesculapius FKUI, Jakarta, 2001.
Arsyad, Supardi, Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi 5.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 2001.
www.med.univ-rennes1fr/cerf/iconocerf/R/
www.ghorayeb.com/pictures.html
Kepaniteraan Klinik Ilmu RadiologiFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraRumah Sakit Royal Taruma Periode 21 Maret 2011-23 April 2011
32
Karsinoma Nasofaring Jannsen Kurniawan (406101003)
Lampiran
Seorang anak usia 5 tahun dengan tumor nasofaring di
daerah leher.
Kepaniteraan Klinik Ilmu RadiologiFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraRumah Sakit Royal Taruma Periode 21 Maret 2011-23 April 2011
33
Karsinoma Nasofaring Jannsen Kurniawan (406101003)
Pada gambar ini, tampak masa tumor pada nasofaring bagian kiri,
di belakang palatum mole dan pilar posterior sebelah kiri.
Kepaniteraan Klinik Ilmu RadiologiFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraRumah Sakit Royal Taruma Periode 21 Maret 2011-23 April 2011
34
Karsinoma Nasofaring Jannsen Kurniawan (406101003)
Gambaran pada pemeriksaan nasofaringoskopi pada wanita 38 tahun,
dengan gejala hemoptisis dan epistaksis.
Kepaniteraan Klinik Ilmu RadiologiFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraRumah Sakit Royal Taruma Periode 21 Maret 2011-23 April 2011
35
Karsinoma Nasofaring Jannsen Kurniawan (406101003)
Pada CT scan menunjukkan adanya massa yg berasal dari
dinding nasofaring sebelah kiri.
Seorang wanita tua datang dengan epistaksis.pada endoskopi nasal
tampak tumor nasofaring berbentuk globular. Tumor dapat bergerak,
mudah berdarah dan berasl dari dinding nasofaring.
Kepaniteraan Klinik Ilmu RadiologiFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraRumah Sakit Royal Taruma Periode 21 Maret 2011-23 April 2011
36
Karsinoma Nasofaring Jannsen Kurniawan (406101003)
Nasal kanan
Nasal kiri
Kepaniteraan Klinik Ilmu RadiologiFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraRumah Sakit Royal Taruma Periode 21 Maret 2011-23 April 2011
37
Karsinoma Nasofaring Jannsen Kurniawan (406101003)
Potongan coronal pada CT scan.
Menunjukkan adanya tumor pada dinding nasofaring
Kepaniteraan Klinik Ilmu RadiologiFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraRumah Sakit Royal Taruma Periode 21 Maret 2011-23 April 2011
38
Karsinoma Nasofaring Jannsen Kurniawan (406101003)
Wanita 63 tahun dengan obstruksi nasal bilateral. Pada nasal endoskopi, tampak
tumor yang lunak, mudah berdarah, dan menonjol ke dalam koana posterior menuju
ke dalam rongga hidung bilateral.
Nasal kanan
Kepaniteraan Klinik Ilmu RadiologiFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraRumah Sakit Royal Taruma Periode 21 Maret 2011-23 April 2011
39
Karsinoma Nasofaring Jannsen Kurniawan (406101003)
Nasal kiri
Aksial CT scan memperlihatkan masa jaringan lunak yang menyerupai adenoid,
berkembang dari atap nasofaring. Masa tumor ini menonjol ke dalam rongga hidung
dan menyebabkan sumbatan jalan nafas.
Kepaniteraan Klinik Ilmu RadiologiFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraRumah Sakit Royal Taruma Periode 21 Maret 2011-23 April 2011
40
Karsinoma Nasofaring Jannsen Kurniawan (406101003)
Aksial CT scan tampak limfoma menonjol ke dalam hidung
Kepaniteraan Klinik Ilmu RadiologiFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraRumah Sakit Royal Taruma Periode 21 Maret 2011-23 April 2011
41
Karsinoma Nasofaring Jannsen Kurniawan (406101003)
L
AMPIRAN :
Gambar 1. Pasien dengan pembesaran kelenjar getah bening leher yang
ternyata merupakan metastasis dari KNF
Kepaniteraan Klinik Ilmu RadiologiFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraRumah Sakit Royal Taruma Periode 21 Maret 2011-23 April 2011
42
Karsinoma Nasofaring Jannsen Kurniawan (406101003)
Gambar 2. Alat Radiasi Eksterna (Linear Accelerator)
Gambar 3. Masker yang digunakan oleh setiap pasien kanker kepala-leher yang
sedang memperoleh radiasi.
Alat bantu ini berguna untuk fiksasi kepala.
Lampiran 1
Disclaimer: The information contained within the Grand Rounds Archive is intended
for use by doctors and other health care professionals. These documents were
prepared by resident physicians for presentation and discussion at a conference held
at Baylor College of Medicine in Houston, Texas. No guarantees are made with
respect to accuracy or timeliness of this material. This material should not be used as
a basis for treatment decisions, and is not a substitute for professional consultation
and/or peer-reviewed medical literature.
Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma
James O. Fordice MD
September 23, 1993
Juvenile nasopharyngeal angiofibroma (JNA) is a histologically benign yet locally aggressive
vascular head and neck tumor. JNA affects almost exclusively adolescent boys, but has been
reported in women and elderly patients on rare occasions. JNA is an uncommon tumor, with
reported incidence between 1 in 5000 and 1 in 60,000 otolaryngology patients. It is estimated
to account for only 0.5% of all head and neck neoplasms, but is nevertheless considered the
most common benign neoplasm of the nasopharynx.
The histogenesis and pathogenesis of JNA are unclear. Popular theories include abnormal
growth of embryonal chondrocartilage, testosterone acting on a hamartomatous nidus of
inferior turbinate tissue mislocated in the nasopharynx, and tumor growth from normal
nasopharyngeal fibrovascular stroma. Other suggested etiologies include trauma,
inflammation, infection, allergy, and heredity.
Kepaniteraan Klinik Ilmu RadiologiFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraRumah Sakit Royal Taruma Periode 21 Maret 2011-23 April 2011
43
Karsinoma Nasofaring Jannsen Kurniawan (406101003)
The site of origin of JNA is usually broad-based, on the posterolateral wall of the nasal cavity,
where the sphenoidal process of the palatine bone meets the horizontal ala of the vomer and
the root of the pterygoid process of the sphenoid. This area forms the superior aspect of the
sphenopalatine foramen, and the posterior aspect of the middle turbinate. From its origin,
tumor spreads into the nasal cavity and nasopharynx, displacing the soft palate inferiorly and
sometimes becoming visible through the mouth. At the same time, the tumor extends laterally
through the sphenopalatine foramen into the pterygomaxillary fossa. From there the JNA
exerts pressure on the surrounding bony walls. Anteriorly, it pushes forward the posterior wall
of the maxillary sinus, creating the classic "antral bowing sign" visible by x-ray. Posteriorly, it
disrupts the root of the pterygoid plates. Superiorly, tumor expands into the orbit via the
inferior orbital fissure, continuing eventually into the superior orbital fissure and middle cranial
fossa. As tumor squeezes through the superior fissure, it widens the fissure's lower lateral
margin, another sign commonly seen radiographically. With further lateral expansion, the
tumor will pass through the pterygomaxillary fissure into the infratemporal fossa, often
creating a bulging of the cheek. If it reaches the temporal fossa, the tumor can create a bulge
above the zygoma. The ultimate danger of unchecked growth by JNA is intracranial
extension. The tumor reaches the cranial vault through three paths. The two lateral paths are
through the superior orbital fissure and directly through the greater wing of the sphenoid bone
from the pterygomaxillary and infratemporal fossae. These paths bring JNA up lateral to the
carotid artery and cavernous sinus. The medial path, which can bring tumor into contact with
the pituitary and optic chiasm, leads directly through the sphenoid sinus and sella turcica,
medial to the carotid and cavernous sinus. Tumor in this area can be extremely difficult or
impossible to resect without unacceptable morbidity. Fortunately, this pathway is less
common than the lateral pathways.
Grossly, the JNA is a lobulated, firm, non-encapsulated mass, usually pink-gray or purple-
red. The tumor base may be sessile or pedunculated, but the tumor often has numerous
secondary attachments, complicating resection in continuity. Microscopically, the tumor is
composed of thin-walled vessels of varying caliber in a mature connective tissue stroma. The
vessels typically have a single endothelial cell lining without a muscularis layer, which
probably explains the tumor's propensity for hemorrhage.
Kepaniteraan Klinik Ilmu RadiologiFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraRumah Sakit Royal Taruma Periode 21 Maret 2011-23 April 2011
44
Karsinoma Nasofaring Jannsen Kurniawan (406101003)
The diagnosis of JNA is based on history, physical exam, and radiographic studies. The
differential must include other benign and malignant lesions of the nasopharynx; among
these are choanal polyp, angiomatous polyp, chordoma, nasopharyngeal carcinoma,
rhabdomyosarcoma, nasopharyngeal cyst, and pyogenic granuloma. Biopsy of these tumors
is generally condemned as both unnecessary and hazardous. The average age at onset of
symptoms is 14 or 18 years, depending on the series quoted. A typical age range is between
7 and 21 years. Patients are almost always male.
The most common presenting symptoms are nasal obstruction and epistaxis. Symptoms
have usually been present for several months before the patient is seen. Other less common
symptoms include diplopia, blindness, hearing loss, otitis media, rhinorrhea, anosmia, nasal
speech, noisy sleep, mouth breathing, eye pain, and headache.
On exam, virtually all patients will have a nasopharyngeal mass, usually pink-to-purple and
nodular. Other signs which may be evident include proptosis, palatal bulge, or swelling of the
cheek or over the zygoma. As discussed, proptosis and lateral facial swelling are ominous
indications of extensive tumor spread. Unfortunately, symptoms are a relatively late
development in the growth of JNA; at the time of presentation most patients will have tumor
extension well beyond the nasopharynx.
JNA has several characteristic radiographic features. CT scanning is currently the mainstay
of diagnosis for JNA. Recent articles have explored the merits of MRI, and some authors
consider MRI superior to CT in delineating the margins of tumor and in revealing tumor
vascularity. Anterior bowing of the posterior wall of the maxillary sinus, the "antral bowing"
sign, can be seen in most JNA patients. Other commonly seen radiographic changes include
widening of the inferolateral aspect of the superior orbital fissure, distortion of the roots of the
pterygoid plates, erosion of the hard palate, erosion of the medial wall of the maxillary sinus,
and displacement of the nasal septum. Of course, the tumor itself will be evident as a soft
tissue mass extending into these bony areas. The tumor has a characteristic angiographic
appearance in the arterial phase of excessive numbers of dilated, tortuous vessels. In the
capillary phase, a homogenous, dense stain is seen. The predominant blood supply of most
JNA's is the ipsilateral internal maxillary artery. As it grows, the tumor may parasitize bilateral
arterial supply from any nearby vessel. Therefore, bilateral internal and external carotid
arteriography is indicated in most patients. In patients who have had previous attempts at
Kepaniteraan Klinik Ilmu RadiologiFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraRumah Sakit Royal Taruma Periode 21 Maret 2011-23 April 2011
45
Karsinoma Nasofaring Jannsen Kurniawan (406101003)
surgical resection or who have had previous external carotid ligation, supply from as far away
as the vertebrals and thyrocervical vessels has been demonstrated. Arterial embolization has
been shown both to decrease intraoperative hemorrhage and to lower rates of tumor
recurrence in JNA. Several materials have been tried over the years, including non-
absorbable Silastic spheres, Gelfoam, dura mater, and polyvinyl alcohol particles. Absorbable
Gelfoam was used at The Methodist Hospital several years ago, but non-absorbable polyvinyl
alcohol particles are now preferred.
Tumor staging has long been considered an important framework within which to evaluate
the efficacy of therapy. Sessions et al from Baylor devised the first staging system for JNA in
1981, based on CT findings. Today, intracranial extension is the criterion most commonly
used to divide patients into prognostic and therapeutic groups.
The two primary therapeutic modalities for JNA over the years have been surgery and
radiotherapy. Several adjunctive measures have been tried, including embolization, hormonal
therapy, and chemotherapy. The main concerns with radiotherapy, which is delivered by
external beam, are malignancies in the irradiated field and the danger of inhibiting normal
facial growth in younger patients. Cummings found that, although symptomatic relief is fast,
regression of tumor with radiation is slow. In his study, 50% of patients treated with primary
radiotherapy had visible tumor in the nasopharynx or nasal cavity 12 months after treatment.
Fifty percent of patients who had visible tumor at two years suffered eventual recurrence.
Most recurrences after radiotherapy have been blamed on geographic misses, but some
authors have blamed inadequate dosing. The proper dosage of radiotherapy is debated.
Cummings et al declared 30 Gy for three weeks adequate for tumor control, and found no
greater control at higher dosages. Economou et al from UCLA found doses of more that 36
Gy to be required for adequate tumor control. Some have suggested 30 to 35 Gy for
moderately-sized tumors, with larger doses for extensive tumors. McGahan et al from Baylor
recommend primary irradiation for intracranial tumor using 40 to 46 Gy with 180 cGy
fractions.
Most authors prefer surgical treatment in all patients with extracranial disease, and reserve
radiation for "unresectable" intracranial tumors or as post-operative adjunctive therapy when
residual tumor has to be left behind. Concerns with surgical management include intra-
operative death secondary to exsanguination, tumor recurrence, and intra-operative injury to
Kepaniteraan Klinik Ilmu RadiologiFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraRumah Sakit Royal Taruma Periode 21 Maret 2011-23 April 2011
46
Karsinoma Nasofaring Jannsen Kurniawan (406101003)
vital structures during attempted resection. In the literature, tumor control rates with a single
surgical procedure generally range from 70% to 90%.
Many surgical approaches have been used against JNA. The decision regarding approach is
usually made after reviewing radiographic studies to assess tumor extent, blood supply, and
presence or absence of intracranial extension. Midfacial degloving provides good exposure to
the target area with excellent cosmesis. Techniques have been combined as necessary to
provide full exposure for most tumors. In the case of JNA with extreme lateral extension, a
transzygomatic infratemporal approach has been used. Intracranial JNA is estimated to occur
in 20% to 25% of cases. Operative complication, recurrence, and mortality are all closely
linked to intracranial extension. Invasion lateral to the cavernous sinus is generally
considered resectable, while invasion of the sinus itself or medial penetration, with
involvement of chiasm and/or pituitary, is generally deemed unresectable and treated with
radiotherapy.
Twenty male patients with JNA were seen at The Methodist Hospital between 1981 and
1993. The average age was 14.65, and ages ranged from 9 to 21 years. Sixteen patients
underwent surgery, and four received radiation therapy. Eighteen patients were treated
primarily, and two were transferred from outside institutions after unsuccessful treatment.
Seven patients presented with epistaxis and obstruction respectively, and five patients
presented with these two symptoms together. One patient presented with rhinorrhea. The
most common tumor stage using the Sessions staging system was 2B. All patients
underwent arteriogram; surgical candidates were embolized, with Gelfoam in the early part of
the series, and with PVA for the latter patients. Several different approaches were used;
midfacial degloving is the most popular approach currently. All irradiated patients received 46
Gy dosing. There were five recurrences: four surgical, one radiotherapy. Recurrences came
with virtually every surgical approach, equally with both kinds of embolic materials, and with
both early and late stage patients. Average estimated intraoperative blood loss was about
one liter, with six patients requiring transfusions.
Our experience at Baylor suggests that most extracranial tumors can be controlled in one
procedure with a carefully planned approach, but that recurrences can occur at all tumor
stages. Likewise, most intracranial tumors can be controlled with 40 to 46 Gy of radiotherapy
with low morbidity.
Kepaniteraan Klinik Ilmu RadiologiFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraRumah Sakit Royal Taruma Periode 21 Maret 2011-23 April 2011
47
Karsinoma Nasofaring Jannsen Kurniawan (406101003)
Case Presentations
Case 1
A 9-year-old boy presented to the otolaryngology service with a history of several months of
nasal congestion and a one-month history of occasional epistaxis. On examination the patient
had a large fleshy mass completely filling the nasopharynx. CT scanning on the day prior to
admission revealed a nasopharyngeal soft tissue mass with extension into the paranasal
sinuses and bony destruction. Bilateral internal and external carotid arteriograms showed
primary feeding vessels from pterygomaxillary branches of the right internal maxillary artery,
with no significant contributions from the right internal carotid or from the left carotid system.
The patient had polyvinyl alcohol particle embolization of the right internal maxillary feeders,
and on the next day underwent resection of tumor through a right lateral rhinotomy approach.
Estimated blood loss was 1250 cc, and the patient received one unit of packed red blood
cells. He tolerated the procedure very well and was discharged on the sixth post-operative
day.
Case 2
A 20-year-old white man presented to the otolaryngology service with recurrent epistaxis and
nasal obstruction. He had been diagnosed in 1986 with juvenile nasopharyngeal
angiofibroma (JNA) with intracranial extension, and had been treated at that time with 4600
cGy of radiotherapy. He had an excellent clinical response with resolution of his symptoms,
and subsequently had been asymptomatic until a few months prior to this clinic visit.
Examination revealed a nasopharyngeal mass, and CT scanning of the head and sinuses
revealed a soft tissue mass occupying the nasopharynx, left maxillary sinus, sphenoid sinus,
and left pterygomaxillary fossa. Bilateral external and left internal carotid arteriography
revealed that the primary feeding vessels to the tumor were branches from the left internal
maxillary artery, with small contributions from a branch of the cavernous segment of the left
internal carotid artery and the right internal maxillary artery. Bilateral embolization of the
internal maxillary feeding vessels was performed using polyvinyl alcohol, and on the next day
the patient underwent resection of tumor via a midfacial degloving approach. Estimated blood
Kepaniteraan Klinik Ilmu RadiologiFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraRumah Sakit Royal Taruma Periode 21 Maret 2011-23 April 2011
48
Karsinoma Nasofaring Jannsen Kurniawan (406101003)
loss was 500 cc. The patient tolerated the procedure very well, required no transfusions, and
was discharged home on the sixth postoperative day.
Lampiran 2
Nasopharyngeal Cancer
Key Points for This Section
* Nasopharyngeal cancer is a disease in which malignant (cancer) cells form in
the tissues of the nasopharynx.
* Ethnic background and exposure to the Epstein-Barr virus can affect the risk of
developing nasopharyngeal cancer.
* Possible signs of nasopharyngeal cancer include trouble breathing, speaking, or
hearing.
* Tests that examine the nose and throat are used to detect (find) and diagnose
nasopharyngeal cancer.
* Certain factors affect prognosis (chance of recovery) and treatment options.
Nasopharyngeal cancer is a disease in which malignant (cancer) cells form in the
tissues of the nasopharynx.
The nasopharynx is the upper part of the pharynx (throat) behind the nose. The
pharynx is a hollow tube about 5 inches long that starts behind the nose and ends
Kepaniteraan Klinik Ilmu RadiologiFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraRumah Sakit Royal Taruma Periode 21 Maret 2011-23 April 2011
49
Karsinoma Nasofaring Jannsen Kurniawan (406101003)
at the top of the trachea (windpipe) and oesophagus (the tube that goes from the
throat to the stomach). Air and food pass through the pharynx on the way to the
trachea or the oesophagus. The nostrils lead into the nasopharynx. An opening on
each side of the nasopharynx leads into an ear. Nasopharyngeal cancer most
commonly starts in the squamous cells that line the oropharynx (the part of the
throat behind the mouth).
Ethnic background and exposure to the Epstein-Barr virus can affect the risk of
developing nasopharyngeal cancer.
Risk factors may include the following:
* Chinese or Asian ancestry.
* Exposure to the Epstein-Barr virus: The Epstein-Barr virus has been associated
with certain cancers, including nasopharyngeal cancer and some lymphomas.
Possible signs of nasopharyngeal cancer include trouble breathing, speaking, or
hearing.
These and other symptoms may be caused by nasopharyngeal cancer. Other
conditions may cause the same symptoms. A doctor should be consulted if any of
the following problems occur:
* A lump in the nose or neck.
* A sore throat.
* Trouble breathing or speaking.
* Nosebleeds.
* Trouble hearing.
* Pain or ringing in the ear.
* Headaches.
Tests that examine the nose and throat are used to detect (find) and diagnose
nasopharyngeal cancer.
Kepaniteraan Klinik Ilmu RadiologiFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraRumah Sakit Royal Taruma Periode 21 Maret 2011-23 April 2011
50
Karsinoma Nasofaring Jannsen Kurniawan (406101003)
The following tests and procedures may be used:
* Physical exam of the throat: An exam in which the doctor feels for swollen
lymph nodes in the neck and looks down the throat with a small, long-handled
mirror to check for abnormal areas.
* Nasoscopy: A procedure to look inside the nose for abnormal areas. A
nasoscope (a thin, lighted tube) is inserted through the nose. Tissue samples may
be taken for biopsy.
* Neurological exam: A series of questions and tests to check the brain, spinal
cord, and nerve function. The exam checks a person’s mental status,
coordination, and ability to walk normally, and how well the muscles, senses, and
reflexes work. This may also be called a neuro exam or a neurologic exam.
* Head and chest x-rays: An x-ray of the skull and organs and bones inside the
chest. An x-ray is a type of energy beam that can go through the body and onto
film, making a picture of areas inside the body.
* MRI (magnetic resonance imaging): A procedure that uses a magnet, radio
waves, and a computer to make a series of detailed pictures of areas inside the
body. This procedure is also called nuclear magnetic resonance imaging (NMRI).
* CT scan (CAT scan): A procedure that makes a series of detailed pictures of
areas inside the body, taken from different angles. The pictures are made by a
computer linked to an x-ray machine. A dye may be injected into a vein or
swallowed to help the organs or tissues show up more clearly. This procedure is
also called computed tomography, computerised tomography, or computerised
axial tomography.
* Laboratory tests: Medical procedures that test samples of tissue, blood, urine, or
other substances in the body. These tests help to diagnose disease, plan and
check treatment, or monitor the disease over time.
* Biopsy: The removal of cells or tissues so they can be viewed under a
microscope by a pathologist to check for signs of cancer.
Certain factors affect prognosis (chance of recovery) and treatment options.
Kepaniteraan Klinik Ilmu RadiologiFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraRumah Sakit Royal Taruma Periode 21 Maret 2011-23 April 2011
51
Karsinoma Nasofaring Jannsen Kurniawan (406101003)
The prognosis (chance of recovery) and treatment options depend on the
following:
* The stage of the cancer (whether it affects part of the nasopharynx, involves the
whole nasopharynx, or has spread to other places in the body).
* The type of nasopharyngeal cancer.
* The size of the tumour.
* The patient’s age and general health.
Stages of Nasopharyngeal Cancer
Key Points for This Section
* After nasopharyngeal cancer has been diagnosed, tests are done to find out if
cancer cells have spread within the nasopharynx or to other parts of the body.
* The following stages are used for nasopharyngeal cancer:
o Stage 0 (Carcinoma in Situ)
o Stage I
o Stage II
o Stage III
o Stage IV
After nasopharyngeal cancer has been diagnosed, tests are done to find out if
cancer cells have spread within the nasopharynx or to other parts of the body.
The process used to find out whether cancer has spread within the nasopharynx
or to other parts of the body is called staging. The information gathered from the
staging process determines the stage of the disease. It is important to know the
stage in order to plan treatment. The results of the tests used to diagnose
nasopharyngeal cancer are often also used to stage the disease.
Kepaniteraan Klinik Ilmu RadiologiFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraRumah Sakit Royal Taruma Periode 21 Maret 2011-23 April 2011
52
Karsinoma Nasofaring Jannsen Kurniawan (406101003)
The following stages are used for nasopharyngeal cancer:
Stage 0 (Carcinoma in Situ)
In stage 0 nasopharyngeal cancer, cancer is found only in the lining of the
nasopharynx. Stage 0 cancer is also called carcinoma in situ.
Stage I
In stage I nasopharyngeal cancer, cancer is found only in the nasopharynx.
Stage II
Stage II nasopharyngeal cancer is divided into stage IIA and stage IIB as follows:
* Stage IIA: Cancer has spread from the nasopharynx to the oropharynx (the
middle part of the throat that includes the soft palate, the base of the tongue,
and the tonsils), and/or to the nasal cavity.
* Stage IIB: Cancer is found in the nasopharynx and has spread to lymph nodes
on one side of the neck, or has spread to the area surrounding the nasopharynx
and may have spread to lymph nodes on one side of the neck. The involved
lymph nodes are 6 centimeters or smaller.
Stage III
In stage III nasopharyngeal cancer, the cancer:
* is found in the nasopharynx and has spread to lymph nodes on both sides of the
neck and the lymph nodes are 6 centimeters or smaller; or
* has spread into the soft tissues (oropharynx and/or nasal cavity) and to lymph
nodes on both sides of the neck and the lymph nodes are 6 centimeters or
smaller; or
* has spread beyond the soft tissues into areas around the pharynx and to lymph
nodes on both sides of the neck and the lymph nodes are 6 centimeters or
smaller; or
Kepaniteraan Klinik Ilmu RadiologiFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraRumah Sakit Royal Taruma Periode 21 Maret 2011-23 April 2011
53
Karsinoma Nasofaring Jannsen Kurniawan (406101003)
* has spread to nearby bones or sinuses and may have spread to lymph nodes on
one or both sides of the neck and the involved lymph nodes are 6 centimeters or
smaller.
Stage IV
Stage IV nasopharyngeal cancer is divided into stage IVA, stage IVB, and stage
IVC as follows:
* Stage IVA: Cancer has spread beyond the nasopharynx and may have spread to
the cranial nerves, the hypopharynx (bottom part of the throat), areas in and
around the side of the skull or jawbone, and/or the bone around the eye. Cancer
may also have spread to lymph nodes on one or both sides of the neck, and the
involved lymph nodes are 6 centimeters or smaller.
* Stage IVB: Cancer has spread to lymph nodes above the collarbone and/or the
involved lymph nodes are larger than 6 centimeters.
* Stage IVC: Cancer has spread beyond nearby lymph nodes to other parts of the
body.
Recurrent Nasopharyngeal Cancer
Recurrent nasopharyngeal cancer is cancer that has recurred (come back) after it
has been treated. The cancer may come back in the nasopharynx or in other
parts of the body.
Treatment Option Overview
Key Points for This Section
* There are different types of treatment for patients with nasopharyngeal cancer.
* Three types of standard treatment are used:
Kepaniteraan Klinik Ilmu RadiologiFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraRumah Sakit Royal Taruma Periode 21 Maret 2011-23 April 2011
54
Karsinoma Nasofaring Jannsen Kurniawan (406101003)
o Radiation therapy
o Chemotherapy
o Surgery
* New types of treatment are being tested in clinical trials. These include the
following:
o Biologic therapy
o Intensity-modulated radiation therapy
There are different types of treatment for patients with nasopharyngeal cancer.
Different types of treatment are available for patients with nasopharyngeal
cancer. Some treatments are standard (the currently used treatment), and some
are being tested in clinical trials. Before starting treatment, patients may want to
think about taking part in a clinical trial. A treatment clinical trial is a research
study meant to help improve current treatments or obtain information on new
treatments for patients with cancer. When clinical trials show that a new
treatment is better than the standard treatment, the new treatment may become
the standard treatment.
Clinical trials are taking place in many parts of the country. Information about
ongoing clinical trials is available from the NCI Web site. Choosing the most
appropriate cancer treatment is a decision that ideally involves the patient,
family, and health care team.
Three types of standard treatment are used:
Radiation therapy
Radiation therapy is a cancer treatment that uses high-energy x-rays or other
types of radiation to kill cancer cells. There are two types of radiation therapy.
External radiation therapy uses a machine outside the body to send radiation
toward the cancer. Internal radiation therapy uses a radioactive substance sealed
Kepaniteraan Klinik Ilmu RadiologiFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraRumah Sakit Royal Taruma Periode 21 Maret 2011-23 April 2011
55
Karsinoma Nasofaring Jannsen Kurniawan (406101003)
in needles, seeds, wires, or catheters that are placed directly into or near the
cancer. The way the radiation therapy is given depends on the type and stage of
the cancer being treated.
External radiation therapy to the thyroid or the pituitary gland may change the
way the thyroid gland works. The doctor may test the thyroid gland before and
after therapy to make sure it is working properly. Having a dentist evaluate
dental health and correct any existing problems is particularly important before
beginning radiation therapy.
Chemotherapy
Chemotherapy is a cancer treatment that uses drugs to stop the growth of cancer
cells, either by killing the cells or by stopping the cells from dividing. When
chemotherapy is taken by mouth or injected into a vein or muscle, the drugs
enter the bloodstream and can reach cancer cells throughout the body (systemic
chemotherapy). When chemotherapy is placed directly into the spinal column, an
organ, or a body cavity such as the abdomen, the drugs mainly affect cancer cells
in those areas (regional chemotherapy). The way the chemotherapy is given
depends on the type and stage of the cancer being treated.
Surgery
Surgery is removing the cancer in an operation. Surgery is sometimes used for
nasopharyngeal cancer that does not respond to radiation therapy. If cancer has
spread to the lymph nodes, the doctor may remove lymph nodes and other
tissues in the neck.
New types of treatment are being tested in clinical trials. These include the
following:
Biologic therapy
Kepaniteraan Klinik Ilmu RadiologiFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraRumah Sakit Royal Taruma Periode 21 Maret 2011-23 April 2011
56
Karsinoma Nasofaring Jannsen Kurniawan (406101003)
Biologic therapy is a treatment that uses the patient’s immune system to fight
cancer. Substances made by the body or made in a laboratory are used to boost,
direct, or restore the body’s natural defenses against cancer. This type of cancer
treatment is also called biotherapy or immunotherapy.
Intensity-modulated radiation therapy
Intensity-modulated radiation therapy (IMRT) is a type of 3-dimensional radiation
therapy that uses computer-generated images to show the size and shape of the
tumour.
Treatment Options by Stage
Stage I Nasopharyngeal Cancer
Treatment of stage I nasopharyngeal cancer is usually radiation therapy to the
tumour and lymph nodes in the neck.
Stage II Nasopharyngeal Cancer
Treatment of stage II nasopharyngeal cancer may include the following:
* Chemotherapy combined with radiation therapy.
* Radiation therapy to the tumour and lymph nodes in the neck.
Stage III Nasopharyngeal Cancer
Treatment of stage III nasopharyngeal cancer may include the following:
* Chemotherapy combined with radiation therapy.
* Radiation therapy to the tumour and lymph nodes in the neck.
* Radiation therapy followed by surgery to remove cancer-containing lymph
nodes in the neck that persist or come back after radiation therapy.
Kepaniteraan Klinik Ilmu RadiologiFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraRumah Sakit Royal Taruma Periode 21 Maret 2011-23 April 2011
57
Karsinoma Nasofaring Jannsen Kurniawan (406101003)
* A clinical trial of chemotherapy before, combined with, or after radiation
therapy.
Stage IV Nasopharyngeal Cancer
Treatment of stage IV nasopharyngeal cancer may include the following:
* Chemotherapy combined with radiation therapy.
* Radiation therapy to the tumour and lymph nodes in the neck.
* Radiation therapy followed by surgery to remove cancer-containing lymph
nodes in the neck that persist or come back after radiation therapy.
* Chemotherapy for cancer that has metastasized (spread) to other parts of the
body.
* A clinical trial of chemotherapy before, combined with, or after radiation
therapy.
* A clinical trial of new radiation therapy such as intensity-modulated radiation
therapy.
Treatment Options for Recurrent Nasopharyngeal Cancer
Treatment of recurrent nasopharyngeal cancer may include the following:
* External radiation therapy plus internal radiation therapy.
* Surgery.
* Chemotherapy.
* A clinical trial of biologic therapy and/or chemotherapy.
Kepaniteraan Klinik Ilmu RadiologiFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraRumah Sakit Royal Taruma Periode 21 Maret 2011-23 April 2011
58
Karsinoma Nasofaring Jannsen Kurniawan (406101003)
Lampiran 3
Senin, 24 Mei 2004 RAGAM
Kanker Tenggorok Sulit Terdeteksi
KARSINOMA nasofaring atau kanker tenggorok, merupakan keganasan tertinggi di daerah
leher dari bidang ilmu penyakit Telinga, Hidung dan Tenggorok (THT). Angka kematiannya
cukup tinggi. Di Indonesia penyakit ini termasuk dalam sepuluh besar keganasan dari
seluruh tubuh. Banyak menyerang pada usia 40-60 tahun, perbandingannya antara laki-laki
dan perempuan 2,5:1.
Penyebabnya berasal dari epitel skuamosa pada daerah tenggorok bagian atas (nasofaring).
Sedang faktor predileksinya pada fossa Rossen Mulleri yang letaknya sangat tersembunyi.
Akibatnya sulit mendiagnosis penyakit ini pada stadium dini, selain juga tanda ataupun
gejalanya yang tidak khas.
Faktor genetik, faktor lingkungan termasuk kebiasaan hidup serta adanya virus Ebstein Barr
merupakan penyebab terjadinya keganasan ini. Beberapa faktor penyulit menegakkan
diagnosis kanker tenggorok, selain letak predileksinya yang tersembunyi juga faktor pasien
karena kurangnya penyebaran informasi kepada masyarakat terhadap penyakit ini, sehingga
gejala dini tidak diketahui. Faktor sosial ekonomi, akibat tingkat ekonomi yang rendah
menyebabkan penderita baru datang ke tempat-tempat pengobatan setelah gejala itu benar-
Kepaniteraan Klinik Ilmu RadiologiFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraRumah Sakit Royal Taruma Periode 21 Maret 2011-23 April 2011
59
Karsinoma Nasofaring Jannsen Kurniawan (406101003)
benar mengganggu.
Disamping itu juga faktor penyakitnya sendiri ketika masih dini sering tidak menimbulkan
keluhan yang mengganggu sehingga penderita tidak datang berobat. Sulitnya menegakan
diagnosis dini sementara hasil biopsi sering negatif meskipun telah dilakukan berulang kali
pada daerah yang dicurigai. Sedangkan dari faktor dokter, akibat kurangnya kewaspadaan
terhadap gejala dini dan sarana alat untuk menegakkan diagnosis dini penyakit tersebut.
Gejala
Tanda ataupun gejala dini dari kanker tenggorok dapat diketahui dengan terdapatnya
benjolan pada daerah leher. Sebelumnya penderita merasakan adanya lendir di belakang
hidung terus-menerus yang tidak bisa dikeluarkan, rasa penuh di telinga, telinga
berdenging/gembrebeg, adanya radang pada telinga tengah (conge'an) sampai dengan
terjadinya robekan gendang telinga tanpa sebab yang jelas, dan tidak sembuh dengan
pengobatan serta terjadi berulang-ulang. Hal ini karena adanya tumor pada daerah tenggorok
bagian atas (nasofaring) menutupi saluran yang menuju ke liang telinga tengah (Tuba
Eustachii).
Bila tumor sudah membesar (stadium lanjut), maka ia dapat meluas ke rongga hidung bagian
belakang (Koana) dengan keluhan adanya hidung tersumbat ataupun mimisan bercampur
dengan ingus dalam jumlah yang bervariasi. Keluhan pada tenggorok merupakan gangguan
bicara, bernapas dan menelan dapat dijumpai bila tumor sudah membesar karena mendesak
ke rongga tenggorok.
Sementara keluhan pengelihatan dobel, karena tumor sudah meluas ke dasar tengkorak
sehingga mengakibatkan kelumpuhan pada syaraf-syaraf otot penggerak bola mata, dan mata
menjadi juling. Adanya gejala neurologi pada syaraf kranial seperti nyeri kepala dan nyeri di
Kepaniteraan Klinik Ilmu RadiologiFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraRumah Sakit Royal Taruma Periode 21 Maret 2011-23 April 2011
60
Karsinoma Nasofaring Jannsen Kurniawan (406101003)
sekitar wajah juga sering dijumpai pada penderita kanker tenggorok akibat dari penekanan
tumor pada syaraf di sekitar kepala.
Kedua keluhan ini (mata juling dan nyeri kepala) sering membawa penderita salah datang
berobat ke dokter spesialis yang bukan bidangnya. Apabila sudah sampai stadium lanjut,
kanker tenggorok ini dapat menyebar ke mana-mana antara lain tulang, paru dan hati.
Penyebaran ke tulang, penderita akan mengeluh adanya nyeri-nyeri pada tulang tangan
ataupun kaki. Penyebaran pada paru, penderita akan mengeluh sesak napas. Penyebaran ke
hati akan tampak kekuningan pada mata dan pada warna kulit penderita, kadang juga terjadi
perut buncit.
Pengobatan kanker tenggorok sampai saat ini dengan menggunakan radioterapi. Kemoterapi
sebagai terapi tambahan ternyata dapat meningkatkan hasil terapi terutama pada stadium
lanjut ataupun pada kekambuhan.(dr Mediana dan dr Amriyatun SpTHT/FK Undip
Semarang-35)
Kepaniteraan Klinik Ilmu RadiologiFakultas Kedokteran Universitas TarumanagaraRumah Sakit Royal Taruma Periode 21 Maret 2011-23 April 2011
61