Upload
putri-rafika-zahrah
View
240
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
asma bronkiale
Citation preview
BAB I
A. Definisi Asma
Istilah asma berasal dari kata Yunani yang artinya “terengah-
engah” dan berarti serangan nafas pendek (Price, 1995).
Nelson mendefinisikan asma sebagai kumpulan tanda dan
gejala wheezing (mengi) dan atau batuk dengan karakteristik
sebagai berikut; timbul secara episodik dan atau kronik,
cenderung pada malam hari/dini hari (nocturnal), musiman,
adanya faktor pencetus diantaranya aktivitas fisik dan
bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan
penyumbatan, serta adanya riwayat asma atau atopi lain
pada pasien/keluarga, sedangkan sebab-sebab lain sudah
disingkirkan (Nelson 1996).
Batasan asma yang lengkap yang dikeluarkan oleh Global
Initiative for Asthma (GINA) didefinisikan sebagai gangguan
inflamasi kronik saluran nafas dengan banyak sel yang
berperan, khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit T. Pada
orang yang rentan inflamasi ini menyebabkan mengi
berulang, sesak nafas, rasa dada tertekan dan batuk,
khususnya pada malam atau dini hari. Gejala ini biasanya
berhubungan dengan penyempitan jalan nafas yang luas
namun bervariasi, yang sebagian bersifat reversibel baik
secara spontan maupun dengan pengobatan, inflamasi ini
juga berhubungan dengan hiperreaktivitas jalan nafas
terhadap berbagai rangsangan (GINA, 2006).
B. Epidemiologi Asma
1
Asma dapat timbul pada segala umur, dimana 30% penderita
bergejala pada umur 1 tahun, sedangkan 80-90% anak yang
menderita asma gejala pertamanya muncul sebelum umur 4-
5 tahun. Sebagian besar anak yang terkena kadang-kadang
hanya mendapat serangan ringan sampai sedang, yang
relatif mudah ditangani. Sebagian kecil mengalami asma
berat yang berlarut-larut, biasanya lebih banyak yang terus
menerus dari pada yang musiman. Hal tersebut yang
menjadikannya tidak mampu dan mengganggu kehadirannya
di sekolah, aktivitas bermain, dan fungsi dari hari ke hari
(Sundaru, 2006).
Asma sudah dikenal sejak lama, tetapi prevalensi asma
tinggi. Di Australia prevalensi asma usia 8-11 tahun pada
tahun 1982 sebesar 12,9% meningkat menjadi 29,7% pada
tahun 1992. Penelitian di Indonesia memberikan hasil yang
bervariasi antara 3%-8%, penelitian di Menado, Pelembang,
Ujung Pandang, dan Yogyakarta memberikan angka berturut-
turut 7,99%; 8,08%; 17% dan 4,8% (Naning, 1991).
C. Faktor Resiko Asma Bronchial
Secara umum faktor risiko asma dibagi kedalam dua
kelompok besar, faktor risiko yang berhubungan dengan
terjadinya atau berkembangnya asma dan faktor risiko yang
berhubungan dengan terjadinya eksaserbasi atau serangan
asma yang disebut trigger faktor atau faktor pencetus3).
Adapun faktor risiko pencetus asma bronkial yaitu (PDPI,
2003):
1. Asap Rokok
2. Tungau Debu Rumah
3. Jenis Kelamin
2
4. Binatang Piaraan
5. Jenis Makanan
6. Perabot Rumah Tangga
7. Perubahan Cuaca
8. Riwayat Penyakit Keluarga
9. Lingkungan termasuk lingkungan kerja
10. Psikologis
Asap Rokok
Pembakaran tembakau sebagai sumber zat iritan dalam
rumah yang menghasilkan campuran gas yang komplek dan
partikel-partikel berbahaya. Lebih dari 4500 jenis
kontaminan telah dideteksi dalam tembakau, diantaranya
hidrokarbon polisiklik, karbon monoksida, karbon dioksida,
nitrit oksida, nikotin, dan akrolein (GINA, 2006).
Perokok pasif
Anak-anak secara bermakna terpapar asap rokok. Sisi aliran
asap yang terbakar lebih panas dan lebih toksik dari pada
asap yang dihirup perokok, terutama dalam mengiritasi
mukosa jalan nafas. Paparan asap tembakau pasif berakibat
lebih berbahaya gejala penyakit saluran nafas bawah (batuk,
lendir dan mengi) dan naiknya risiko asma dan serangan
asma (Chilmonczyk, 1993).
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa risiko munculnya
asma meningkat pada anak yang terpapar sebagai perokok
pasif dengan OR = 3,3 (95% CI 1,41- 5,74) (Danusaputro,
2000).
Perokok aktif
3
Merokok dapat menaikkan risiko berkembangnya asma
karena pekerjaan pada pekerja yang terpapar dengan
beberapa sensitisasi di tempat bekerja37. Namun hanya
sedikit bukti-bukti bahwa merokok aktif merupakan faktor
risik berkembangnya asma secara umum.
Tungau Debu Rumah
Asma bronkiale disebabkan oleh masuknya suatu alergen
misalnya tungau debu rumah yang masuk ke dalam saluran
nafas seseorang sehingga merangsang terjadinya reaksi
hipersentitivitas tipe I. Tungau debu rumah ukurannya 0,1 -
0,3 mm dan lebar 0,2 mm, terdapat di tempat-tempat atau
benda-benda yang banyak mengandung debu. Misalnya
debu yang berasal dari karpet dan jok kursi, terutama yang
berbulu tebal dan lama tidak dibersihkan, juga dari
tumpukan koran-koran, buku-buku, pakaian lama
(Danusaputro, 2000).
Jenis Kelamin
Jumlah kejadian asma pada anak laki-laki lebih banyak
dibandingkan dengan perempuan. Perbedaan jenis kelamin
pada kekerapan asma bervariasi, tergantung usia dan
mungkin disebabkan oleh perbedaan karakter biologi.
Kekerapan asma anak laki-laki usia 2-5 tahun ternyata 2 kali
lebih sering dibandingkan perempuan sedangkan pada usia
14 tahun risiko asma anak laki- laki 4 kali lebih sering dan
kunjungan ke rumah sakit 3 kali lebih sering dibanding anak
perempuan pada usia tersebut, tetapi pada usia 20 tahun
kekerapan asma pada laki-laki merupakan kebalikan dari
insiden ini (Amu, 2006).
4
Peningkatan risiko pada anak laki-laki mungkin disebabkan
semakin sempitnya saluran pernapasan, peningkatan pita
suara, dan mungkin terjadi peningkatan IgE pada laki-laki
yang cenderung membatasi respon bernapas. Didukung oleh
adanya hipotesis dari observasi yang menunjukkan tidak ada
perbedaan ratio diameter saluran udara laki-laki dan
perempuan setelah berumur 10 tahun, mungkin disebabkan
perubahan ukuran rongga dada yang terjadi pada masa
puber laki-laki dan tidak pada perempuan. Predisposisi
perempuan yang mengalami asma lebih tinggi pada laki-laki
mulai ketika masa puber, sehingga prevalensi asma pada
anak yang semula laki-laki lebih tinggi dari pada perempuan
mengalami perubahan dimana nilai prevalensi pada
perempuan lebih tinggi dari pada laki-laki. Aspirin lebih
sering menyebabkan asma pada perempuan (GINA, 2006).
Binatang Peliharaan
Binatang peliharaan yang berbulu seperti anjing, kucing,
hamster, burung dapat menjadi sumber alergen inhalan.
Sumber penyebab asma adalah alergen protein yang
ditemukan pada bulu binatang di bagian muka dan ekskresi.
Alergen tersebut memiliki ukuran yang sangat kecil (sekitar
3-4 mikron) dan dapat terbang di udara sehingga
menyebabkan serangan asma, terutama dari burung dan
hewan menyusui (Anonim, 2005).
Untuk menghindari alergen asma dari binatang peliharaan,
tindakan yang dapat dilakukan adalah:
1. Buatkan rumah untuk binatang peliharaan di halaman
rumah, jangan biarkan binatang tersebut masuk dalam
rumah,
2. Jangan biarkan binatang tersebut berada dalam rumah,
5
3. Mandikan anjing dan kucing setiap minggunya.
Jenis Makanan
Beberapa makanan penyebab alergi makanan seperti susu
sapi, ikan laut, kacang, berbagai buah-buahan seperti tomat,
strawberry, mangga, durian berperan menjadi penyebab
asma38). Makanan produk industri dengan pewarna buatan
misal: (tartazine), pengawet (metabisulfit), vetsin
(monosodum glutamat-MSG) juga bisa memicu asma.
Penderita asma berisiko mengalami reaksi anafilaksis akibat
alergi makanan fatal yang dapat mengancam jiwa. Makanan
yang terutama sering mengakibatkan reaksi yang fatal
tersebut adalah kacang, ikan laut dan telor39). Alergi makanan
seringkali tidak terdiagnosis sebagai salah satu pencetus
asma meskipun penelitian membuktikan alergi makanan
sebagai pencetus bronkokontriksi pada 2% - 5% anak dengan
asma (Handayani, 2004).
Meskipun hubungan antara sensitivitas terhadap makanan
tertentu dan perkembangan asma masih diperdebatkan,
tetapi bayi yang sensitif terhadap makanan tertentu akan
mudah menderita asma kemudian, anak-anak yang
menderita enteropathy atau colitis karena alergi makanan
tertentu akan cenderung menderita asma. Alergi makanan
lebih kuat hubungannya dengan penyakit alergi secara umum
dibanding asma (GINA, 2006).
Perabot Rumah Tangga.
Bahan polutan indoor dalam ruangan meliputi bahan
pencemar biologis (virus, bakteri, jamur), formadehyde,
6
volatile organic coumpounds (VOC), combustion products
(CO1, NO2, SO2) yang biasanya berasal dari asap rokok dan
asap dapur. Sumber polutan VOC berasal dari semprotan
serangga, cat, pembersih, kosmetik, Hairspray, deodorant,
pewangi ruangan, segala sesuatu yang disemprotkan dengan
aerosol sebagai propelan dan pengencer (solvent) seperti
thinner. Sumber formaldehid dalam ruangan adalah bahan
bangunan, insulasi, furnitur, karpet. Paparan polutan
formaldehid dapat mengakibatkan terjadinya iritasi pada
mata dan saluran pernapasan bagian atas. Partikel debu,
khususnya respilable dust disamping menyebabkan ketidak
nyamanan juga dapat menyebabkan reaksi peradangan paru
(GINA, 2006).
Perubahan Cuaca
Kondisi cuaca yang berlawanan seperti temperatur dingin,
tingginya kelembaban dapat menyebabkan asma lebih parah,
epidemik yang dapat membuat asma menjadi lebih parah
berhubungan dengan badai dan meningkatnya konsentrasi
partikel alergenik. Dimana partikel tersebut dapat menyapu
pollen sehingga terbawa oleh air dan udara. Perubahan
tekanan atmosfer dan suhu memperburuk asma sesak nafas
dan pengeluaran lendir yang berlebihan. Ini umum terjadi
ketika kelembaban tinggi, hujan, badai selama musim dingin.
Udara yang kering dan dingin menyebabkan sesak di saluran
pernafasan (Anonim, 2006).
Riwayat Penyakit Keluarga
Risiko orang tua dengan asma mempunyai anak dengan
asma adalah tiga kali lipat lebih tinggi jika riwayat keluarga
dengan asma disertai dengan salah satu atopi3). Predisposisi
keluarga untuk mendapatkan penyakit asma yaitu kalau anak
7
dengan satu orangtua yang terkena mempunyai risiko
menderita asma 25%, risiko bertambah menjadi sekitar 50%
jika kedua orang tua asmatik. Asma tidak selalu ada pada
kembar monozigot, labilitas bronkokontriksi pada olahraga
ada pada kembar identik, tetapi tidak pada kembar dizigot.
Faktor ibu ternyata lebih kuat menurunkan asma dibanding
dengan bapak. Orang tua asma kemungkinan 8-16 kali
menurunkan asma dibandingkan dengan orang tua yang
tidak asma, terlebih lagi bila anak alergi terhadap tungau
debu rumah. R.I Ehlich menginformasikan bahwa riwayat
keluarga mempunyai hubungan yang bermakna (OR 2,77:
95% CI=1,11-2,48) (Sundaru, 2006).
D. Patofisiologi Asma Bronchial
Obstruksi saluran nafas pada asma merupakan kombinasi
spasme otot bronkus, sumbatan mukus, edema dan inflamasi
dinding bronkus. Obstruksi bertambah berat selama ekspirasi
karena secara fisiologis saluran nafas menyempit pada fase
tersebut. Hal ini mengakibatkan udara distal tempat
terjadinya obtruksi terjebak tidak bisa diekspirasi, selanjutnya
terjadi peningkatan volume residu, kapasitas residu
fungsional (KRF), dan pasien akan bernafas pada volume
yang tinggi mendekati kapasitas paru total (KPT). Keadaan
hiperinflasi ini bertujuan agar saluran nafas tetap terbuka dan
pertukaaran gas berjalan lancar (Sundaru, 2006).
Gangguan yang berupa obstruksi saluran nafas dapat dinilai
secara obyektif dengan Volume Ekspirasi Paksa (VEP) atau
Arus Puncak Ekspirasi (APE). Sedangkan penurunan Kapasitas
Vital Paksa (KVP) menggambarkan derajat hiperinflasi paru.
Penyempitan saluran nafas dapat terjadi baik pada di saluran
8
nafas yang besar, sedang maupun yang kecil. Gejala mengi
menandakan ada penyempitan di saluran nafas besar
(Sundaru, 2006).
Manifestasi penyumbatan jalan nafas pada asma disebabkan
oleh bronkokontriksi, hipersekresi mukus, edema mukosa,
infiltrasi seluler, dan deskuamasi sel epitel serta sel radang.
Berbagai rangsangan alergi dan rangsangan nonspesifik,
akan adanya jalan nafas yang hiperaktif, mencetuskan respon
bronkokontriksi dan radang. Rangsangan ini meliputi alergen
yang dihirup (tungau debu, tepungsari, sari kedelai, dan
protein minyak jarak), protein sayuran lainnya, infeksi virus,
asap rokok, polutan udara, bau busuk, obat-obatan
(metabisulfit), udara dingin, dan olah raga (Sundaru, 2006).
Patologi asma berat adalah bronkokontriksi, hipertrofi otot
polos bronkus, hipertropi kelenjar mukosa, edema mukosa,
infiltrasi sel radang (eosinofil, neutrofil, basofil, makrofag),
dan deskuamasi. Tanda-tanda patognomosis adalah krisis
kristal Charcot-leyden (lisofosfolipase membran eosinofil),
spiral Cursch-mann (silinder mukosa bronkiale), dan benda-
benda Creola (sel epitel terkelupas) (Sundaru, 2006).
Penyumbatan paling berat adalah selama ekspirasi karena
jalan nafas intratoraks biasanya menjadi lebih kecil selama
ekspirasi. Penyumbatan jalan nafas difus, penyumbatan ini
tidak seragam di seluruh paru. Atelektasis segmental atau
subsegmental dapat terjadi, memperburuk
ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi. Hiperventilasi
menyebabkan penurunan kelenturan, dengan akibat kerja
pernafasan bertambah. Kenaikan tekanan transpulmuner
yang diperlukan untuk ekspirasi melalui jalan nafas yang
9
tersumbat, dapat menyebabkan penyempitan lebih lanjut,
atau penutupan dini (prematur) beberapa jalan nafas total
selama ekspirasi, dengan demikian menaikkan risiko
pneumotoraks (Sundaru, 2006).
E. Etiologi Asma Bronchial
Asma merupakan gangguan kompleks yang melibatkan faktor
autonom, imunologis, infeksi, endokrin dan psikologis dalam
berbagai tingkat pada berbagai individu. Aktivitas
bronkokontriktor neural diperantarai oleh bagian kolinergik
sistem saraf otonom. Ujung sensoris vagus pada epitel jalan
nafas, disebut reseptor batuk atau iritan, tergantung pada
lokasinya, mencetuskan refleks arkus cabang aferens, yang
pada ujung eferens merangsang kontraksi otot polos bronkus.
Neurotransmisi peptida intestinal vasoaktif (PIV) memulai
relaksasi otot polos bronkus. Neurotramnisi peptida vasoaktif
merupakan suatu neuropeptida dominan yang dilibatkan
pada terbukanya jalan nafas (Sundaru, 2006).
Faktor imunologi penderita asma ekstrinsik atau alergi,
terjadi setelah pemaparan terhadap faktor lingkungan seperti
debu rumah, tepung sari dan ketombe. Bentuk asma inilah
yang paling sering ditemukan pada usia 2 tahun pertama dan
pada orang dewasa (asma yang timbul lambat), disebut
intrinsik (Sundaru, 2006).
Faktor endokrin menyebabkan asma lebih buruk dalam
hubungannya dengan kehamilan dan mentruasi atau pada
saat wanita menopause, dan asma membaik pada beberapa
anak saat pubertas. Faktor psikologis emosi dapat memicu
gejala-gejala pada beberapa anak dan dewasa yang
10
berpenyakit asma, tetapi emosional atau sifat-sifat perilaku
yang dijumpai pada anak asma lebih sering dari pada anak
dengan penyakit kronis lainnya (Sundaru, 2006).
F. Klasifikasi Asma Bronchial
(Konsensus PDPI, 2003)
Derajat
Asma
Gejala Gejala Malam Faal Paru
Intermitte
n
Gejala
<1x/minggu
Tanpa gejala
diluar serangan
Serangan
singkat
2x sebulan VEP1 80%
nilai prediksi
APE 80%
nilai terbaik
Variability
APE <20%
Persisten
Ringan
Gejala
>1x/minggu
tapi <ix/hari
>2x sebulan VEP1 80%
nilai prediksi
APE 80%
nilai terbaik
Variability
APE 20%-
30%
Persisten
Sedang
Gejala setiap
hari
Serangan
mengganggu
aktivitas dan
tidur
Membutuhkan
bronkodilator
tiap hari
>1x seminggu VEP1 60-
80% nilai
prediksi
APE 60-80%
nilai terbaik
Variability
APE >30%
Persisten Gejala terus Sering VEP1 <60%
11
Berat menerus
Sering kambuh
Aktivitas fisik
terbatas
nilai prediksi
APE <60%
nilai terbaik
Variability
APE >30%
G. Diagnosis Asma Bronchial
Studi epidemiologi menunjukkan asma underdiagnosed di seluruh dunia,
disebabkan berbagai hal antara lain gambaran klinis yang tidak khas dan
beratnya penyakit yang sangat bervariasi, serta gejala yang bersifat episodik
sehingga penderita tidak merasa perlu ke dokter. Diagnosis asma didasari
oleh gejala yang bersifat episodik, gejala berupa batuk, sesak napas, mengi,
rasa berat di dada dan variabiliti yang berkaitan dengan cuaca. Anamnesis
yang baik cukup untuk menegakkan diagnosis, ditambah dengan pemeriksaan
jasmani dan pengukuran faal paru terutama reversibiliti kelainan faal paru,
akan lebih meningkatkan nilai diagnostik (PDPI, 2003).
RIWAYAT PENYAKIT / GEJALA :
1. Bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa pengobatan
2. Gejala berupa batuk , sesak napas, rasa berat di dada dan berdahak
3. Gejala timbul/ memburuk terutama malam/ dini hari
4. Diawali oleh faktor pencetus yang bersifat individu
5. Respons terhadap pemberian bronkodilator(PDPI, 2003).
Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam riwayat penyakit :
1. Riwayat keluarga (atopi)
2. Riwayat alergi / atopi
3. Penyakit lain yang memberatkan
4. Perkembangan penyakit dan pengobatan (PDPI, 2003).
12
PEMERIKSAAN FISIK
Gejala asma bervariasi sepanjang hari sehingga pemeriksaan jasmani dapat
normal. Kelainan pemeriksaan jasmani yang paling sering ditemukan adalah
mengi pada auskultasi. Pada sebagian penderita, auskultasi dapat terdengar
normal walaupun pada pengukuran objektif (faal paru) telah terdapat
penyempitan jalan napas. Pada keadaan serangan, kontraksi otot polos
saluran napas, edema dan hipersekresi dapat menyumbat saluran napas; maka
sebagai kompensasi penderita bernapas pada volume paru yang lebih besar
untuk mengatasi menutupnya saluran napas. Hal itu meningkatkan kerja
pernapasan dan menimbulkan tanda klinis berupa sesak napas, mengi dan
hiperinflasi. Pada serangan ringan, mengi hanya terdengar pada waktu
ekspirasi paksa. Walaupun demikian mengi dapat tidak terdengar (silent
chest) pada serangan yang sangat berat, tetapi biasanya disertai gejala lain
misalnya sianosis, gelisah, sukar bicara, takikardi, hiperinflasi dan
penggunaan otot bantu napas (PDPI, 2003)..
FAAL PARU
Umumnya penderita asma sulit menilai beratnya gejala dan persepsi
mengenai asmanya , demikian pula dokter tidak selalu akurat dalam menilai
dispnea dan mengi; sehingga dibutuhkan pemeriksaan objektif yaitu faal paru
antara lain untuk menyamakan persepsi dokter dan penderita, dan parameter
objektif menilai berat asma. Pengukuran faal paru digunakan untuk menilai
(PDPI, 2003):
1. obstruksi jalan napas
2. reversibiliti kelainan faal paru
3. variabiliti faal paru, sebagai penilaian tidak langsung hiperes-ponsif jalan
napas
Banyak parameter dan metode untuk menilai faal paru, tetapi yang telah
diterima secara luas (standar) dan mungkin dilakukan adalah pemeriksaan
spirometri dan arus puncak ekspirasi (APE) (PDPI, 2003).
a. Spirometri
13
Pengukuran volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dan kapasiti
vital paksa (KVP) dilakukan dengan manuver ekspirasi paksa melalui
prosedur yang standar. Pemeriksaan itu sangat bergantung kepada
kemampuan penderita sehingga dibutuhkan instruksi operator yang jelas
dan kooperasi penderita. Untuk mendapatkan nilai yang akurat, diambil
nilai tertinggi dari 2-3 nilai yang reproducible dan acceptable. Obstruksi
jalan napas diketahui dari nilai rasio VEP1/ KVP < 75% atau VEP1 <
80% nilai prediksi (PDPI, 2003)..
Manfaat pemeriksaan spirometri dalam diagnosis asma :
- Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio VEP1/ KVP < 75%
atau VEP1 < 80% nilai prediksi.
- Reversibiliti, yaitu perbaikan VEP1 ³ 15% secara spontan, atau
setelah inhalasi bronkodilator (uji bronkodilator), atau setelah
pemberian bronkodilator oral 10-14 hari, atau setelah pemberian
kortikosteroid (inhalasi/ oral) 2 minggu. Reversibiliti ini dapat
membantu diagnosis asma
- Menilai derajat berat asma
b. Arus Puncak Ekspirasi (APE)
Nilai APE dapat diperoleh melalui pemeriksaan spirometri atau
pemeriksaan yang lebih sederhana yaitu dengan alat peak expiratory flow
meter (PEF meter) yang relatif sangat murah, mudah dibawa, terbuat dari
plastik dan mungkin tersedia di berbagai tingkat layanan kesehatan
termasuk puskesmas ataupun instalasi gawat darurat. Alat PEF meter
relatif mudah digunakan/ dipahami baik oleh dokter maupun penderita,
sebaiknya digunakan penderita di rumah sehari-hari untuk memantau
kondisi asmanya. Manuver pemeriksaan APE dengan ekspirasi paksa
membutuhkan koperasi penderita dan instruksi yang jelas (PDPI, 2003).
Manfaat APE dalam diagnosis asma
14
- Reversibiliti, yaitu perbaikan nilai APE ³ 15% setelah inhalasi
bronkodilator (uji bronkodilator), atau bronkodilator oral 10-14 hari,
atau respons terapi kortikosteroid (inhalasi/ oral , 2 minggu)
- Variabiliti, menilai variasi diurnal APE yang dikenal dengan
variabiliti APE harian selama 1-2 minggu. Variabiliti juga dapat
digunakan menilai derajat berat penyakit (lihat klasifikasi)
Nilai APE tidak selalu berkorelasi dengan parameter pengukuran faal
paru lain, di samping itu APE juga tidak selalu berkorelasi dengan derajat
berat obstruksi. Oleh karenanya pengukuran nilai APE sebaiknya
dibandingkan dengan nilai terbaik sebelumnya, bukan nilai prediksi
normal; kecuali tidak diketahui nilai terbaik penderita yang bersangkutan
(PDPI, 2003).
Cara pemeriksaan variabiliti APE harian
Diukur pagi hari untuk mendapatkan nilai terendah, dan malam hari
untuk mendapatkan nilai tertinggi. Rata-rata APE harian dapat diperoleh
melalui 2 cara (PDPI, 2003):
- Bila sedang menggunakan bronkodilator, diambil variasi/ perbedaan
nilai APE pagi hari sebelum bronkodilator dan nilai APE malam hari
sebelumnya sesudah bronkodilator. Perbedaan nilai pagi sebelum
bronkodilator dan malam sebelumnya sesudah bronkodilator
menunjukkan persentase rata-rata nilai APE harian. Nilai > 20%
dipertimbangkan sebagai asma.
APE malam - APE pagi
Variabiliti harian = -------------------------------------------- x 100 %
1/2 (APE malam + APE pagi)
- Metode lain untuk menetapkan variabiliti APE adalah nilai terendah
APE pagi sebelum bronkodilator selama pengamatan 2 minggu,
dinyatakan dengan persentase dari nilai terbaik (nilai tertinggi APE
malam hari) (PDPI, 2003).
15
PERAN PEMERIKSAAN LAIN UNTUK DIAGNOSIS
1. Uji Provokasi Bronkus
Uji provokasi bronkus membantu menegakkan diagnosis asma. Pada
penderita dengan gejala asma dan faal paru normal sebaiknya dilakukan
uji provokasi bronkus . Pemeriksaan uji provokasi bronkus mempunyai
sensitiviti yang tinggi tetapi spesifisiti rendah, artinya hasil negatif dapat
menyingkirkan diagnosis asma persisten, tetapi hasil positif tidak selalu
berarti bahwa penderita tersebut asma. Hasil positif dapat terjadi pada
penyakit lain seperti rinitis alergik, berbagai gangguan dengan
penyempitan jalan napas seperti PPOK, bronkiektasis dan fibrosis kistik
(PDPI, 2003).
2. Pengukuran Status Alergi
Komponen alergi pada asma dapat diindentifikasi melalui pemeriksaan uji
kulit atau pengukuran IgE spesifik serum. Uji tersebut mempunyai nilai
kecil untuk mendiagnosis asma, tetapi membantu mengidentifikasi faktor
risiko/ pencetus sehingga dapat dilaksanakan kontrol lingkungan dalam
penatalaksanaan (PDPI, 2003)..
Uji kulit adalah cara utama untuk mendiagnosis status alergi/atopi,
umumnya dilakukan dengan prick test. Walaupun uji kulit merupakan
cara yang tepat untuk diagnosis atopi, tetapi juga dapat menghasilkan
positif maupun negatif palsu. Sehingga konfirmasi terhadap pajanan
alergen yang relevan dan hubungannya dengan gejala harus selalu
dilakukan. Pengukuran IgE spesifik dilakukan pada keadaan uji kulit tidak
dapat dilakukan (antara lain dermatophagoism, dermatitis/ kelainan kulit
pada lengan tempat uji kulit, dan lain-lain). Pemeriksaan kadar IgE total
tidak mempunyai nilai dalam diagnosis alergi/ atopi (PDPI, 2003).
DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding asma antara lain sbb :
16
Dewasa (PDPI, 2003).
Penyakit Paru Obstruksi Kronik
Pada PPOK sesak bersifat irreversibel, terjadi pada usia 40 tahun
keatas dan biasanya dengan riwayat paparan zat alergen dalam watu
yang cukup lama.
Bronkitis kronik
Keluhan sesak nafas disertai dengan batuk produktif yang terus
menerus selama 3 bulan dalam 2 tahun berturut turut.
Gagal Jantung Kongestif
Sesak biasanya hilang timbul dan kumat-kumatan. Keluhan sesak
biasanya terjadi setelah melakukan aktivitas. Selain itu sesak nafas
juga terjadi pada saat tidur telentang sehingga pasien akan merasa
lebih nyaman jika tidur mnggunakan 2-3 buah bantal.
Obstruksi mekanis (misal tumor)
Keluhan sesak biasanya bertahan lama. Hal ini disebabkan karena
adanya penyempitan permanen dari saluran pernafasan. Bunyi mengi
juga akan terdengar setiap saat.
Anak (PDPI, 2003).
Benda asing di saluran napas
Keluhan sesak disertai dengan riwayat tertelan benda asing. Setelah
benda asing berhasil dikeluarkan maka keluhan sesak akan hilang
secara permanen.
Laringotrakeomalasia
Laringotrakeomalasia adalah kelainan yang disebabkan oleh
melemahnya struktur supraglotis dan dinding trakea, sehingga terjadi
kolaps dan obstruksi saluran napas yang menimbulkan gejala utama
berupa stridor. Kelainan ini dapat hadir sebagai laringomalasia atau
trakeomalasia saja.
Tumor
17
Keluhan sesak biasanya juga bertahan lama sama seperti tumor pada
dewasa. Hal ini disebabkan karena adanya penyempitan permanen
dari saluran pernafasan. Bunyi mengi juga akan terdengar setiap saat.
Bronkiolitis
Merupakan infeksi virus pada bronkiolus dan biasanya menyerang
anak dibawah usia 2 tahun
H. Penatalaksanaan Asma Bronchial
Tujuan penatalaksanaan asma:
1. Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma
2. Mencegah eksaserbasi akut
3. Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin
4. Mengupayakan aktiviti normal termasuk exercise
5. Menghindari efek samping obat
6. Mencegah terjadi keterbatasan aliran udara (airflow limitation)
ireversibel
7. Mencegah kematian karena asma (PDPI, 2003).
Penatalaksanaan asma berguna untuk mengontrol penyakit. Asma dikatakan
terkontrol bila :
1. Gejala minimal (sebaiknya tidak ada), termasuk gejala malam
2. Tidak ada keterbatasan aktiviti termasuk exercise
3. Kebutuhan bronkodilator (agonis b2 kerja singkat) minimal (idealnya
tidak diperlukan)
4. Variasi harian APE kurang dari 20%
5. Nilai APE normal atau mendekati normal
6. Efek samping obat minimal (tidak ada)
7. Tidak ada kunjungan ke unit darurat gawat(PDPI, 2003).
Tujuan penatalaksanaan tersebut merefleksikan pemahaman bahwa asma
adalah gangguan kronik progresif dalam hal inflamasi kronik jalan napas
18
yang menimbulkan hiperesponsif dan obstruksi jalan napas yang bersifat
episodik. Sehingga penatalaksanaan asma dilakukan melalui berbagai
pendekatan yang dapat dilaksanakan (applicable), mempunyai manfaat, aman
dan dari segi harga terjangkau (PDPI, 2003).
Program penatalaksanaan asma, yang meliputi 7 komponen :
1. Edukasi
2. Menilai dan monitor berat asma secara berkala
3. Identifikasi dan mengendalikan faktor pencetus
4. Merencanakan dan memberikan pengobatan jangka panjang
5. Menetapkan pengobatan pada serangan akut
6. Kontrol secara teratur
7. Pola hidup sehat (PDPI, 2003).
Pengobatan berdasarkan derajat berat asma
Asma Intermiten
Termasuk pula dalam asma intermiten penderita alergi dengan pajanan
alergen, asmanya kambuh tetapi di luar itu bebas gejala dan faal paru normal.
Demikian pula penderita exercise induced asthma atau kambuh hanya bila
cuaca buruk, tetapi di luar pajanan pencetus tersebut gejala tidak ada dan faal
paru normal (PDPI, 2003).
Serangan berat umumnya jarang pada asma intermiten walaupun mungkin
terjadi. Bila terjadi serangan berat pada asma intermiten, selanjutnya
penderita diobati sebagai asma persisten sedang (PDPI, 2003).
Pengobatan yang lazim adalah agonis beta-2 kerja singkat hanya jika
dibutuhkan, atau sebelum exercise pada exercise-induced asthma, dengan
alternatif kromolin atau leukotriene modifiers; atau setelah pajanan alergen
dengan alternatif kromolin. Bila terjadi serangan, obat pilihan agonis beta-2
kerja singkat inhalasi, alternatif agonis beta-2 kerja singkat oral, kombinasi
19
teofilin kerja singkat dan agonis beta-2 kerja singkat oral atau antikolinergik
inhalasi. Jika dibutuhkan bronkodilator lebih dari sekali seminggu selama 3
bulan, maka sebaiknya penderita diperlakukan sebagai asma persisten ringan
(PDPI, 2003).
Asma Persisten Ringan
Penderita asma persisten ringan membutuhkan obat pengontrol setiap hari
untuk mengontrol asmanya dan mencegah agar asmanya tidak bertambah
bera; sehingga terapi utama pada asma persisten ringan adalah antiinflamasi
setiap hari dengan glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah. Dosis yang
dianjurkan 200-400 ug BD/ hari atau 100-250 ug FP/hari atau ekivalennya,
diberikan sekaligus atau terbagi 2 kali sehari (PDPI, 2003).
Terapi lain adalah bronkodilator (agonis beta-2 kerja singkat inhalasi) jika
dibutuhkan sebagai pelega, sebaiknya tidak lebih dari 3-4 kali sehari. Bila
penderita membutuhkan pelega/ bronkodilator lebih dari 4x/ sehari,
pertimbangkan kemungkinan beratnya asma meningkat menjadi tahapan
berikutnya (PDPI, 2003).
Asma Persisten Sedang
Penderita dalam asma persisten sedang membutuhkan obat pengontrol setiap
hari untuk mencapai asma terkontrol dan mempertahankannya. Idealnya
pengontrol adalah kombinasi inhalasi glukokortikosteroid (400-800 ug BD/
hari atau 250-500 ug FP/ hari atau ekivalennya) terbagi dalam 2 dosis dan
agonis beta-2 kerja lama 2 kali sehari. Jika penderita hanya mendapatkan
glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah (£ 400 ug BD atau ekivalennya) dan
belum terkontrol; maka harus ditambahkan agonis beta-2 kerja lama inhalasi
atau alternatifnya. Jika masih belum terkontrol, dosis glukokortikosteroid
inhalasi dapat dinaikkan. Dianjurkan menggunakan alat bantu/ spacer pada
inhalasi bentuk IDT/MDI atau kombinasi dalam satu kemasan (fix
combination) agar lebih mudah (PDPI, 2003).
20
Terapi lain adalah bronkodilator (agonis beta-2 kerja singkat inhalasi) jika
dibutuhkan , tetapi sebaiknya tidak lebih dari 3-4 kali sehari. . Alternatif
agonis beta-2 kerja singkat inhalasi sebagai pelega adalah agonis beta-2 kerja
singkat oral, atau kombinasi oral teofilin kerja singkat dan agonis beta-2 kerja
singkat. Teofilin kerja singkat sebaiknya tidak digunakan bila penderita telah
menggunakan teofilin lepas lambat sebagai pengontrol (PDPI, 2003).
Asma Persisten Berat
Tujuan terapi pada keadaan ini adalah mencapai kondisi sebaik mungkin,
gejala seringan mungkin, kebutuhan obat pelega seminimal mungkin, faal
paru (APE) mencapai nilai terbaik, variabiliti APE seminimal mungkin dan
efek samping obat seminimal mungkin. Untuk mencapai hal tersebut
umumnya membutuhkan beberapa obat pengontrol tidak cukup hanya satu
pengontrol. Terapi utama adalah kombinasi inhalasi glukokortikosteroid dosis
tinggi (> 800 ug BD/ hari atau ekivalennya) dan agonis beta-2 kerja lama 2
kali sehari. Kadangkala kontrol lebih tercapai dengan pemberian
glukokortikosteroid inhalasi terbagi 4 kali sehari daripada 2 kali sehari (PDPI,
2003).
Teofilin lepas lambat, agonis beta-2 kerja lama oral dan leukotriene modifiers
dapat sebagai alternatif agonis beta-2 kerja lama inhalasi dalam perannya
sebagai kombinasi dengan glukokortikosteroid inhalasi, tetapi juga dapat
sebagai tambahan terapi selain kombinasi terapi yang lazim
(glukokortikosteroid inhalasi dan agonis beta-2 kerja lama inhalasi). Jika
sangat dibutuhkan, maka dapat diberikan glukokortikosteroid oral dengan
dosis seminimal mungkin, dianjurkan sekaligus single dose pagi hari untuk
mengurangi efek samping. Pemberian budesonid secara nebulisasi pada
pengobatan jangka lama untuk mencapai dosis tinggi glukokortikosteroid
inhalasi adalah menghasilkan efek samping sistemik yang sama dengan
pemberian oral, padahal harganya jauh lebih mahal dan menimbulkan efek
samping lokal seperti sakit tenggorok/ mulut. Sehngga tidak dianjurkan untuk
21
memberikan glukokortikosteroid nebulisasi pada asma di luar serangan/ stabil
atau sebagai penatalaksanaan jangka panjang (PDPI, 2003).
Indikator asma tidak terkontrol
a. Asma malam, terbangun malam hari karena gejala-gejala asma
b. Kunjungan ke darurat gawat, ke dokter karena serangan akut
c. Kebutuhan obat pelega meningkat (bukan akibat infeksi pernapasan, atau
exercise-induced asthma) (PDPI, 2003).
Pertimbangkan beberapa hal seperti kekerapan/ frekuensi tanda-tanda
(indikator) tersebut di atas, alasan/ kemungkinan lain, penilaian dokter; maka
tetapkan langkah terapi, apakah perlu ditingkatkan atau tidak. Alasan /
kemungkinan asma tidak terkontrol :
1. Teknik inhalasi : Evaluasi teknik inhalasi penderita
2. Kepatuhan : Tanyakan kapan dan berapa banyak penderita menggunakan
obat-obatan asma
3. Lingkungan : Tanyakan penderita, adakah perubahan di sekitar
lingkungan penderita atau lingkungan tidak terkontrol
4. Konkomitan penyakit saluran napas yang memperberat seperti sinusitis,
bronkitis dan lain-lain
Bila semua baik pertimbangkan alternatif diagnosis lain (PDPI, 2003).
Pengobatan sesuai berat serangan asma
Semua tahapan : ditambahkan agonis beta-2 kerja singkat untuk pelega bila
dibutuhkan, tidak melebihi 3-4 kali sehari.
Berat Asma Medikasi Pengontrol
Harian
Alternatif/Pilihan
Lain
Alternatif
Lain
Intermitten ------ ------- ------
Persisten Ringan Glukokortikosteroid Teofilin lepas ------
22
inhalasi (200-400 ug
BD/hari atau
ekivalennya)
lambat
Kromolin
Leukotriene
Modifiers
Persisten
Sedang
Kombinasi inhalasi
glukokortikosteroid
(400-800 ug BD/hari
atau ekivalennya)
dan agonis beta-2
kerja lama
Glukokortikostero
id inhalasi (400-
800 ug BD atau
ekivalennya)
ditambah Teofilin
lepas lambat ,atau
Glukokortikostero
id inhalasi (400-
800 ug BD atau
ekivalennya)
ditambah agonis
beta-2 kerja lama
oral, atau
Glukokortikostero
id inhalasi dosis
tinggi (>800 ug
BD atau
ekivalennya) atau
Glukokortikostero
id inhalasi (400-
800 ug BD atau
ekivalennya)
ditambah
leukotriene
modifiers
Ditambah
agonis beta-2
kerja lama
oral, atau
Ditambah
teofilin lepas
lambat
23
Persisten Berat Kombinasi inhalasi
glukokortikosteroid
(> 800 ug BD atau
ekivalennya) dan
agonis beta-2 kerja
lama, ditambah 1 di
bawah ini:
- teofilin lepas
lambat
- leukotriene
modifiers
- glukokortikosteroid
oral
Prednisolon/
metilprednisolon
oral selang sehari
10 mg
ditambah agonis
beta-2 kerja lama
oral, ditambah
teofilin lepas
lambat
Semua tahapan : Bila tercapai asma terkontrol, pertahankan terapi paling
tidak 3 bulan, kemudian turunkan bertahap sampai mencapai terapi seminimal
mungkin dengan kondisi asma tetap terkontrol (PDPI, 2003).
Penatalaksanaan Asma Eksaserbasi
24
Initial AssesmentRiwayat, pem.fisik (auskultasi, penggunaan otot bantu nafas, HR, RR, FEV1 atau PEF,
Saturasi Oksigen
Initial TreatmentOksigen smapai saturasi oksigen >90%, inhalasi β2-agonist kerja cepat (1jam), sistemik
glukokortikosteroid, sedatif di kontraindikasikan
Re-Assesment setelah 1 jamPem.fisik (auskultasi, penggunaan otot bantu nafas, HR, RR, FEV1 atau PEF, Saturasi O2
(GINA, 2010).
Glukokortikosteroid inhalasi yang dapat digunakan pada penanganan
Asma
Dewasa
Obat Dosis Harian Rendah (µg)
Dosis Harian Sedang (µg)
Dosis Harian Tinggi (µg)
Beclomethasone dipropionate - CFC
200-500 >500-1000 >1000-2000
Beclomethasone 100-250 >250-500 >500-1000
25
Kriteria episode moderate (sedang) :- PEF 60-80% nilai prediksi/terbaik- Tes Fisik : Gejala moderate,
penggunaan otot bantu nafasTreatment- O2- Inhalasi β2-agonist+antikolinergik tiap
jam- Oral glukokortikosteroid- Lanjutkan selama 1-3 jam
Kriteria episode severe (berat)- PEF <60% nilai prediksi/terbaik- Gejala berat timbul pada waktu istirahat- Riwayat faktor resiko yang mendekati
asma lanjutTreatment- O2- Inhalasi β2-agonist+antikolinergik tiap
jam- Sistemik glukokortikosteroid- Injeksi IV magnesium
Re-Assesment setelah 1 jam
Respon baik :- PEF >70%- SO2 >90%- Tidak ada distress
pernafasan
Respon inkomplit (1-2 jam):- Gejala ringan-sedang- PEF<60%- SO2 tidak ada perubahan
Acute care setting:- O2- Inhalasi β2-
agonist+antikolinergik- IV magnesium- Monitor PEF, SO2, nadi
Respon buruk (1-2 jam):- PEF<30%- PCO2>45mmHg- PO2<60mmHg
Intensive Care (ICU) :- O2- Inhalasi β2-
agonist+antikolinergik- Pertimbangkan IV β2-
agonist- Pertimbangkan IV
teofilin- Intubasi dan ventilasi
mekanikRe-Assesment
Respon buruk : ICURespon inkomplit dalam 6-12 jam : pertimbangkan ICU
Perbaikan
Perubahan : kriteria pulang- PEF >60%- Obat oral/inhalasi- Lanjutkan β2-
agonist- Pertimbangkan oral
glukokortikosteroid- Pertimbangkan
kombinasi inhalasi- Edukasi
dipropionate - HFABudesonide 200-400 >400-800 >8--0-1680Ciclesonide 80-160 >160-320 >320-1280Flunisolide 500-1000 >1000-2000 >2000Fluticazone propionate
100-250 >250-500 >500-1000
Mumetasone fuoat
200 400 >800
Triamcinolone acetonide
400-1000 >1000-2000 >2000
Anak-anak
Obat Dosis Harian Rendah (µg)
Dosis Harian Sedang (µg)
Dosis Harian Tinggi (µg)
Beclomethasone dipropionate
100-200 >200-400 >400
Budesonide 100-200 >200-400 >400Budesenide neb 250-500 >500-1000 >1000Ciclesonide 80-160 >160-320 >320Flunisolide 500-750 >750-1250 >1250Fluticazone propionate
100-200 >200-500 >500
Mumetasone fuoat
100 >200 >400
Triamcinolone acetonide
400-800 >800-1200 >1200
(GINA, 2010).
Kriteria rawat inap dan pemulangan pasien asma
Pasien dengan nilai FEV1 atau PEF pada pre-treatment kurang dari 20% atau
pasien dengan nilai FEV1 atau PEF pada post-treatment kurang dari 40%
merupakan indikasi untuk dilakukan rawat inap pada pasien asma. Pada
pasien dengan nilai FEV1 atau PEF pada post-treatment antara 40-60% dapat
dipulangkan namun dengan syarat harus diawasi secara adekuat. Sedangkan
26
pasien dengan nilai FEV1 atau PEF pada post-treatment lebih dari 60% dapat
langsung dipulangkan (GINA, 2010).
Klasifikasi berat serangan asma akut
Gejala dan Tanda
Berat Serangan Asma Keadaan Mengancam jiwaRingan Sedang Berat
Sesak napas Berjalan Berbicara Istirahat -Posisi Dapat tidur
telentangDuduk Duduk
membungkuk-
Cara berbicara
1 kalimat Beberapa kata
Kata demi kata
-
Kesadaran Mungkin gelisah
Gelisah Gelisah Mengantuk, gelisah, kesadaran
menurunRR <20x/menit 20-30x/menit >30x/menit -Nadi <100x/menit 100-120x
/menit>120x menit Bradikardia
Pulsus paradoksus
-10 mmHg
+/- 10-20 mmHg
+>25 mmHg
-Kelelahan otot
Otot bantu napas dan retraksi suprasternal
- + + Torakoabdominal paradoksal
Mengi Akhir ekspirasi
paksa
Akhir ekspirasi
Inspirasi dan ekspirasi
Silent chest
APE > 80 % 60-80 % < 60% -PaO2 > 80 mmHg 80-60 mmHg < 60 mmHg -PaCO2 < 45 mmHg < 45 mmHg > 45 mmHg -SaO2 > 95 % 91-95 % < 90 % -
(PDPI, 2003).
Rencana pengobatan serangan asma berdasarkan berat serangan dan
tempat pengobatan
Serangan Pengobatan Tempat Pengobatan
RINGANAktivitas normalBerbicara satu kalimat dalam satu nafasNadi < 100x/menitAPE > 80%
Terbaik :Inhalasi agonis β-2Alternatif :Kombinasi oral agins β-2 dan teofilin
Di rumah
Di praktek dokter/klinik/puskesmas
27
SEDANGJalan jarak jauh timbulkan gejalaBicara beberapa kata dalam satu kali nafasNadi 100-120 x/ menitAPE 60-80 %
Terbaik:Nebulisasi agonis β-2 tiap 4 jamAlternatif :-Agonis β-2 subkutan-Aminofilin IV-Adrenalin 1/1000 0,3 ml SK
Oksigen bila mungkinKortikosteroid sistemik
UGD/RSKlinikPraktek dokterPuskesmas
BERATSesak saat istirahatBerbicara kata perkata dalam satu nafasNadi >120 x/menitAPE <60 % atau 100 l/detik
Terbaik :Nebulisasi agonis β-2 tiap 4 jamAlternnatif :-Agonis β-2 SK/IV-Adrenalin 1/1000 0,3 ml SK
Aminofilin bolus dilanjutkan dripOksigenKortikosteroid IV
UGD/RSKlinik
MENGANCAM JIWAKesadaran berubah/menurunGelisahSianosisGagal nafas
Seperti serangan akut beratPertimbangkan intubasi dan ventilasi mekanis
UGD/RSICU
(PDPI, 2003).
I. Prognosis Asma Bronchial
Sulit untuk meramalkan prognosis dari asma bronkial yang tidak disertai
komplikasi. Hal ini akan tergantung pula dari umur, pengobatan, lama
observasi dan definisi. Prognosis selanjutnya ditentukan banyak faktor. Dari
kepustakaan didapatkan bahwa asma pada anak menetap sampai dewasa
sekitar 26% - 78% (Suyono, 2006).
28
Umumnya, lebih muda umur permulaan timbulnya asma, prognosis lebih
baik, kecuali kalau mulai pada umur kurang dari 2 tahun. Adanya riwayat
dermatitis atopik yang kemudian disusul dengan rinitis alergik, akan
memberikan kemungkinan yang lebih besar untuk menetapnya asma sampai
usia dewasa. Asma yang mulai timbul pada usia lanjut biasanya berat dan
sukar ditanggulangi. Smith menemukan 50% dari penderitanya mulai
menderita asma sewaktu anak. Karena itu asma pada anak harus diobati dan
jangan ditunggu serta diharapkan akan hilang sendiri. Komplikasi pada asma
terutama infeksi dan dapat pula mengakibatkan kematian (Suyono,2006).
DAFTAR PUSTAKA
Amu FA, Yunus F. Asma Pra Mentruasi, Departemen Pulmonologi Respirasi, FKUI-RS Persahabatan. Jakarta, Respir Indo Vol:26 No1, 1 Januari 2006 ; 28.
Anonim. Asthma . http//www.pdpersi.co.id/html.2005
29
Anonim, Asma :www kalbe.co.id. November 28, 2006 19 ; 46;08.
Chilmonczyk BA. Assosiation between exposure to Environmental Tobacco Smoke and Exacerbations of Asthma in Children, N.Eng J.Med 1993; 328;1665-1669.
Danusaputro H. Ilmu Penyakit Paru, 2000 ; 197 – 209.
GINA (Global Initiative for Asthma); Pocket Guide for Asthma Management and Prevension In Children. www. Ginaasthma.org.2006.
GINA (Global Initiative for Asthma); Pocket Guide for Asthma Management and Prevension In Children. www. Ginaasthma.org.2010.
Handayani D, Wiyono WH, Faisal Y. Penatalaksanaan Alergi Makanan. J.Respir Indo 2004 ;24(3) 133-44.
Naning R. Prevalensi Asma pada murid Sekolah Dasar di Kotamadya Yogyakarta, Bagian Ilmu Kesehatan Anak, FK UGM, RSUP Dr. sarjito, Yogyakarta 1991.
Nelson WE. Ilmu Kesehatan Anak.Terjemahan Wahab S. Vol I: Jakarta. Penerbit EGC. 1996:775.
Konsensus PDPI. 2003. Asma Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta:PDPI
Price AS, Alih Bahasa anugrah PatofisiologiProses-proses Penyakit, EGC, 1995 ; 689.
Sundaru H, Sukamto, Asma Bronkial, Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakulas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, juni 2006 ; 247.
Suyono. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Jakarta: FKUI
30