Upload
meghan-taylor
View
287
Download
5
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Meningitis pada anak
Citation preview
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam makalah refreshing ini kami akan membahas tentang kasus-kasus neuropediatri
yaitu kejang demam, meningitis tuberkulosa, meningitis purulenta dan ensefalitis pada anak.
Pemilihan kasus-kasus yang dibahas dalam refreshing ini didasari karena kasus-kasus tersebut
adalah kasus dengan angka prevalensi maupun mortalitas yang tinggi pada anak.
Kejang demam ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal
> 38oC) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium (Konsensus,2006). Kejang demam
terjadi pada 2-5% anak berumur 6 bulan-5 tahun. Pada anak yang sebelumnya pernah mengalami
kejang tanpa demam dan kejang yang disertai demam pada bayi berumur kurang dari 1 bulan
tidak termasuk dalam kejang demam (IDAI, 2006).Kejang demam yang terjadi pada bayi dan
anak memiliki tingkat kejadian sebesar 2,2-5% (Marliana,2006). Kejang demam terjadi pada 2-
4% di Amerika serikat, Amerika Selatan, dan Eropa Barat, sedangkan di Asia dilaporkan lebih
tinggi angka kejadiannya (Selamihardja,2001).
Meningitis adalah suatu radang yang mengenai sebagian atau semua lapisan selaput otak
yang membungkus jaringan otak sampai sumsum tulang belakang yang terdiri dari Duramater,
Arachnoid dan Piamater (Mansjoer,2000). Meningitis disebabkan oleh karena adanya infeksi
bakteri spesifik/non spesifik atau virus (Saharso,2008).Meningitis dibagi menjadi dua golongan
berdasarkan perubahan yang terjadi pada cairan otak yaitu meningitis serosa dan meningitis
purulenta. Meningitis serosa ditandai dengan jumlah sel dan protein yang meninggi disertai
cairan serebrospinal yang jernih. Penyebab yang paling sering dijumpai adalah kuman
Tuberculosis dan virus.Meningitis purulenta ialah radang selaput otak (arakhnoidea dan
piamater) yang menimbulkan eksudasi berupa pus, disebabkan oleh kuman non spesifik dan non
virus (Mansjoer,2000). Meningitis tuberkulosis (TB) adalah suatu peradangan pada selaput otak
(meningen) yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis (Rahajoe et al., 2005).
Meningitis TB merupakan salah satu komplikasi TB primer pada sistem saraf pusat yang banyak
ditemukan dimana angka kejadian tertinggi dijumpai pada anak terutama bayi dan anak kecil
dengan kekebalan alamiah yang masih rendah. Angka kejadian jarang dibawah usia 3 bulan dan
mulai meningkat dalam usia 5 tahun pertama, tertinggi pada usia 6 bulan sampai 2 tahun. Angka
1
kematian berkisar antara 10-20%. Sebagian besar memberikan gejala sisa, hanya 18% pasien
yang normal secara neurologis dan intelektual. Anak dengan meningitis tuberkulosis yang tidak
diobati, akan meninggal dalam waktu 3-5 minggu. Angka kejadian meningkat dengan
meningkatnya jumlah pasien tuberkulosis dewasa (Pudjiadi et al,2010).
Ensefalitis adalah proses inflamasi pada jaringan otak yang berkaitan dengan adanya
proses patologis di dalam otak yang bermanifestasi dengan adanya disfungsi neurologis (Tunkel
et al.,2005; Solomon et al.,2011). Ensefalitis dapat disebabkan oleh adanya infeksi ke sistem
saraf pusat maupun disebabkan oleh agen non infeksi. Meliputi berbagai virus,bakteri
(khususnya bakteri intraseluler seperti mycoplasma pneumonia), parasit, dan jamur (Solomon et
al.,2011). Angka kematian masih tinggi, berkisar 35%-50%, dengan gejala sisa pada pasien yang
hidup cukup tinggi (20%-40%). Penyebab tersering dan terpenting adalah virus. Berbagai macam
virus dapat menimbulkan ensefalitis dengan gejala yang kurang lebih sama dan khas, akan tetapi
hanya ensefalitis herpeks simpleks dan varisela yang dapat diobati (Tunkel et al.,2005).
Pengetahuan yang benar mengenai kejang demam, meningitis purulenta, meningitis
tuberculosa, dan ensefalitis sangat diperlukan untuk mengurangi resiko komplikasi maupun
angka kematian penderita mengingat insiden dari keempat penyakit tersebut masih cukup tinggi
di masyarakat.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis membuat rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apakah definisi kejang demam, meningitis purulenta, meningitis tuberkulosa, dan
ensefalitis?
2. Apakah penyebab kejang demam, meningitis purulenta, meningitis tuberkulosa, dan
ensefalitis?
3. Apa sajakah faktor resiko kejang demam, meningitis purulenta, meningitis
tuberkulosa, dan ensefalitis?
4. Bagaimanakan epidemiologi kejang demam, meningitis purulenta, meningitis
tuberkulosa, dan ensefalitis?
5. Bagaimanakah patomekanisme kejang demam, meningitis purulenta, meningitis
tuberkulosa, dan ensefalitis?
2
6. Apa sajakah manifestasi klinis kejang demam, meningitis purulenta, meningitis
tuberkulosa, dan ensefalitis?
7. Bagaimanakah cara diagnosis kejang demam, meningitis purulenta, meningitis
tuberkulosa, dan ensefalitis?
8. Bagaimanakah penatalaksanaan pada kejang demam, meningitis purulenta, meningitis
tuberkulosa, dan ensefalitis?
9. Apa sajakah komplikasi yang mungkin ditimbulkan dari kejang demam, meningitis
purulenta, meningitis tuberkulosa, dan ensefalitis dan bagaimana prognosisnya?
1.3 Tujuan
Tujuan dari penulisan refreshing kali ini adalah:
1. Mengetahui definisi kejang demam, meningitis purulenta, meningitis tuberkulosa, dan
ensefalitis
2. Mengetahui penyebab kejang demam, meningitis purulenta, meningitis tuberkulosa,
dan ensefalitis
3. Mengetahui faktor resiko kejang demam, meningitis purulenta, meningitis
tuberkulosa, dan ensefalitis
4. Mengetahui epidemiologi kejang demam, meningitis purulenta, meningitis
tuberkulosa, dan ensefalitis
5. Mengetahui patogenesis kejang demam, meningitis purulenta, meningitis tuberkulosa,
dan ensefalitis
6. Mengetahui manifestasi klinis kejang demam, meningitis purulenta, meningitis
tuberkulosa, dan ensefalitis
7. Mengetahui cara diagnosis kejang demam, meningitis purulenta, meningitis
tuberkulosa, dan ensefalitis
8. Mengetahui managemen dan terapi pada kejang demam, meningitis purulenta,
meningitis tuberkulosa, dan ensefalitis
9. Mengetahui komplikasi yang mungkin ditimbulkan dari kejang demam, meningitis
purulenta, meningitis tuberkulosa, dan ensefalitis dan bagaimana prognosisnya?
3
1.4 Manfaat
Melalui referat ini diharapkan dapat menambah pengetahuan mengenai kejang demam,
meningitis tuberkulosa, meningitis purulenta, dan ensefalitis pada anak serta dapat melakukan
diagnosis dan manajemennya sesuai dengan standar tatalaksananya.
4
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Kejang Demam
2.1.1 Definisi
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu
rektal di atas 380C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium (IDAI, 2006). Menurut
National Institute of Health (NIH), kejang demam adalah suatu kejadian pada bayi atau anak,
yang biasanya terjadi pada usia 3 bulan sampai dengan 5 tahun, berhubungan dengan demam,
namun tanpa bukti adanya infeksi intrakranial atau penyebab tertentu dari kejang. Menurut
International League Against Epilepsy (ILAE), kejang demam adalah bangkitan kejang yang
berhubungan dengan demam, tanpa adanya infeksi susunan saraf pada anak berusia lebih dari 1
bulan, yang tidak pernah mengalami kejang tanpa demam sebelumny (Kundu at all, 2010).
Kejang demam terjadi pada 2-4% anak berumur 6 bulan – 5 tahun. Anak yang pernah
mengalami kejang tanpa demam, kemudian kejang demam kembali tidak termasuk dalam kejang
demam. Kejang disertai demam pada bayi berumur kurang dari 1 bulan tidak termasuk kejang
demam. Bila anak berumur kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun mengalami kejang
didahului demam, pikirkan kemungkinan lain misalnya infeksi SSP, atau epilepsi yang kebetulan
terjadi bersama demam (Jones, 2007).
2.1.2 Epidemiologi
Kejang demam terjadi pada 2-4% anak berumur 6 bulan - 5 tahun. Kejang demam
sederhana merupakan 80% diantara seluruh kejang demam, sedangkan 20% lainnya merupakan
kejang demam kompleks. Kejang lama terjadi pada 8% kejang demam, sedangkan kejang
berulang terjadi pada 16% di antara anak yang mengalami kejang demam (IDAI,2006).
Kejang sangat tergantung kepada umur, 85% kejang pertama sebelum berumur 4 tahun
yaitu terbanyak di antara umur 17-23 bulan. Hanya sedikit yang mengalami kejang demam
pertama sebelum berumur 5-6 bulan atau setelah berumur 5-8 tahun. Biasanya setelah berumur 6
5
tahun pasien tidak kejang demam lagi/ namun, beberapa pasien masih dapat mengalami kejang
demam sampai umur lebih dari 5-6 tahun (Soetomenggolo, 1998).
Di Amerika Serikat insiden kejang demam berkisar antara 2-5% pada anak umur kurang
dari 5 tahun. Di Asia angka kejadian kejang demam dilaporkan lebih tinggi dan sekitar 80-90%
dari seluruh kejang demam adalah kejang demam sederhana. Di Jepang angka kejadian kejang
demam adalah 9-10% (Kusuma dan Yuana, 2010). Kejang demam memiliki prognosis dengan
angka kematian hanya berkisar 0,64% - 0,75%. Sebagian besar penderita kejang demam
sembuh sempurna, sebagiannya lagi berkembang menjadi epilepsi sebanyak 2-7%. Kejang
demam juga dapat mengakibatkan gangguan tingkah laku serta penurunan intelegensi dan
pencapaian tingkat akademik (Fuadi, 2010).
2.1.3 Klasifikasi
Penggolongan kejang demam dikemukakan oleh berbagai pakar. Penggolongan tersebut
didasari oleh jenis kejang, tingginya demam, usia penderita, lamanya kejang berlangsung,dan
lainnya (Lumbantombing, 2007).
1. Klasifikasi kejang demam menurut Livingston :
a. Kejang demam sederhana
a) Kejang bersifat umum
b) Lama kejang berlangsung singkat (kurang dari 15 menit)
c) Kejang demam pertama terjadi pada usia kurang dari 6 tahun
d) Frekuensi serangan kejang 1-4 kali dalam setahun
b. Epilepsi yang dicetuskan oleh demam
a) Kejang bersifat fokal
b) Kejang berlangsung lama (lebih dari 15 menit)
c) Kejang demam pertama terjadi pada usia lebih dari 6 tahun
d) Frekuensi serangan kejang lebih dari 4 kali dalam setahun
2. Klasifikasi kejang demam menurut Fukuyama
Fukuyama membagi kejang demam menjadi:
a. Kejang demam sederhana
b. Kejang demam kompleks
6
Kejang demam sederhana harus memenuhi semua kriteria berikut ini. Kejang demam yang tidak
memenuhi kriteria tersebut digolongkan sebagai kejang demam kompleks.
a. Tidak ada riwayat epilepsi dalam keluarga
b. Tidak ada riwayat cedera otak oleh penyebab apapun
c. Serangan kejang pertama terjadi antara usia 6 bulan – 6 tahun
d. Lama kejang kurang dari 20 menit
e. Kejang bersifat umum (tidak bersifat fokal)
f. Tidak ada gangguan atau abnormalitas pasca kejang
g. Tidak ada abnormalitas neurologis
Klasifikasi kejang demam menurut Konsensus Kejang Demam
1. Kejang demam sederhana (simple febrile seizure): yang berlangsung singkat, kurang dari 15
menit dan umumnya akan berhenti sendiri. Kejang berbentuk umum tonik atau klonik tanpa
gerakan fokal. Kejang tidak berulang dalam waktu 24 jam.
2. Kejang Demam Kompleks (complex febrile seizure) :
Kejang demam kompleks adalah kejang demam dengan salah satu ciri berikut:
a. Kejang lama lebih dari 15 menit
b. Kejang fokal atau parsial satu sisi atau kejang umum didahului kejang parsial
c. Berulang atau lebih dari 1x dalam 24 jam
Kejang fokal adalah kejang parsial satu sisi atau kejang umum yang didahului kejang
parsial. Kejang berulang adalah kejang 2x atau lebih dalam kurun waktu 24 jam dan di antara 2
bangkitan kejang anak sadar. Kejang berulang terjadi pada 16% di antara anak yang mengalami
kejang demam.
2.1.4 Faktor Resiko
Terdapat enam faktor yang berperan dalam etiologi kejang demam, yaitu: demam, usia,
riwayat keluarga, faktor prenatal (usia saat ibu hamil, riwayat pre-eklamsi pada ibu, hamil
primi/multipara, pemakaian bahan toksik), faktor perinatal (asfiksia, bayi berat lahir rendah, usia
7
kehamilan, partus lama, cara lahir) dan faktor paskanatal (kejang akibat toksik, trauma kepala)
(Kusuma, 2010; Fuadi, 2010).
1. Faktor demam.
Demam ialah hasil pengukuran suhu tubuh di atas 37,8oC aksila atau di atas 38,3oC
rektal. Demam dapat disebabkan oleh berbagai sebab, tetapi yang tersering pada anak
disebabkan oleh infeksi dan infeksi virus merupakan penyebab terbanyak. Demam
merupakan faktor utama timbulnya bangkitan kejang (Fuadi, 2010).
Kenaikan temperatur tubuh berpengaruh terhadap nilai ambang kejang dan
eksitabilitas neural, karena kenaikan suhu tubuh berpengaruh pada kanal ion dan
metabolisme seluler serta produksi ATP. Setiap kenaikan suhu tubuh satu derajat celsius
akan meningkatkan metabolisme karbohidrat sebesar 10-15%, sehingga meningkatkan
kebutuhan glukosa dan oksigen (Bahtera, 2006; Fuadi, 2010).
Demam tinggi akan mengakibatkan hipoksia jaringan termasuk jaringan otak. Pada
keadaan hipoksia, otak akan kekurangan energi sehingga menggangu fungsi normal pompa
Na+. Permeabilitas membran sel terhadap ion Na+ meningkat, sehingga menurunkan nilai
ambang kejang dan memudahkan timbulnya bangkitan kejang. Demam juga dapat merusak
neuron GABA-ergik sehingga fungsi inhibisi terganggu (Bahtera, 2006).Bangkitan kejang
demam terbanyak terjadi pada kenaikan suhu tubuh berkisar 38,9°C-39,9°C (40 -56%).
Bangkitan kejang terjadi pada suhu tubuh 37°C-38,9°C sebanyak 11% dan sebanyak 20%
kejang demam terjadi pada suhu tubuh di atas 40oC (Fuadi, 2010).
2. Faktor usia
Tahap perkembangan otak dibagi 6 fase yaitu (Fuadi, 2010) :
1. Neurulasi
2. Perkembangan prosensefali
3. Proliferasi neuron
4. Migrasi neural
5. Organisasi
6. Mielinisasi.
Tahapan perkembangan otak intrauteri dimulai fase neurulasi sampai migrasi neural.
Fase perkembangan organisasi dan mielinisasi masih berlanjut sampai tahun-tahun pertama
paskanatal. Kejang demam terjadi pada fase perkembangan tahap organisasi sampai
8
mielinisasi. Fase perkembangan otak merupakan fase yang rawan apabila mengalami
bangkitan kejang, terutama fase perkembangan organisasi (Fuadi, 2010).
Pada keadaan otak belum matang (developmental window), reseptor untuk asam
glutamat sebagai reseptor eksitator padat dan aktif, sebaliknya reseptor GABA sebagai
inhibitor kurang aktif, sehingga pada otak belum matang eksitasi lebih dominan dibanding
inhibisi (Fuadi, 2010). Corticotropin releasing hormon (CRH) merupakan neuropeptid
eksitator, berpotensi sebagai prokonvulsan. Pada otak belum matang kadar CRH di
hipokampus tinggi dan berpotensi untuk terjadi bangkitan kejang apabila terpicu oleh demam
(Bahtera,2006).
Anak pada masa developmental window merupakan masa perkembangan otak fase
organisasi yaitu saat anak berusia kurang dari 2 tahun. Pada masa ini, apabila anak
mengalami stimulasi berupa demam, maka akan mudah terjadi bangkitan kejang (Bahtera,
2006). Sebanyak 4% anak akan mengalami kejang demam dan 90% kasus terjadi pada anak
antara usia 6 bulan sampai dengan 5 tahun, dengan kejadian paling sering pada anak usia 18
sampai dengan 24 bulan (Fuadi, 2010).
3. Riwayat keluarga
Belum dapat dipastikan cara pewarisan sifat genetik terkait dengan kejang demam.
Pewarisan gen secara autosomal dominan paling banyak ditemukan sekitar 60-80%. Apabila
salah satu orang tua memiliki riwayat kejang demam maka anaknya beresiko sebesar 20-
22%. Apabila kedua orang tua mempunyai riwayat pernah menderita kejang demam maka
resikonya meningkat menjadi 59-64%. Sebaliknya apabila kedua orangtuanya tidak
mempunyai riwayat kejang demam maka risiko terjadi kejang demam hanya 9%. Pewarisan
kejang demam lebih banyak oleh ibu dibandingkan ayah yaitu 27% berbanding 7% (Fuadi,
2010).
4. Faktor Prenatal dan Perinatal
Usia ibu kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun dapat mengakibatkan berbagai
komplikasi kehamilan dan persalinan. Komplikasi kehamilan diantaranya hipertensi dan
eklamsia, sedangkan gangguan pada persalinan diantaranya trauma persalinan. Hipertensi
pada ibu dapat menyebabkan aliran darah ke plasenta berkurang sehingga berakibat
keterlambatan pertumbuhan intrauterin, prematuritas dan BBLR. Komplikasi persalinan
diantaranya partus lama. Keadaan tersebut dapat mengakibatkan janin dengan asfiksia
9
sehingga akan terjadi hipoksia dan iskemia. Hipoksia mengakibatkan lesi pada daerah
hipokampus, rusaknya faktor inhibisi dan atau meningkatnya fungsi neuron eksitasi, sehingga
mudah timbul kejang bila ada rangsangan yang memadai seperti demam (Fuadi, 2010).
5. Faktor Postnatal
Risiko untuk perkembangan kejang akan menjadi lebih tinggi bila serangan
berlangsung bersamaan dengan terjadinya infeksi sistem saraf pusat seperti meningitis,
ensefalitis, dan terjadinya abses serta infeksi lainnya. Ensefalitis virus berat seringkali
mengakibatkan terjadinya kejang. Di negara-negara barat penyebab yang paling umum
adalah virus Herpes simplex (tipe l) yang menyerang lobus temporalis. Selain infeksi,
ditemukan bukti bahwa cedera kepala memicu kejadian kejang demam pada anak sebesar
20,6% (Bahtera, 2006).
2.1.5 Patogenesis Kejang Demam
Kejang merupakan manifestasi klinis akibat terjadinya pelepasan muatan listrik yang
berlebihan di sel neuron otak karena gangguan fungsi pada neuron tersebut, baik berupa fisiologi,
biokimiawi, maupun anatomi. Sel syaraf, seperti juga sel hidup umumnya, mempunyai potensial
membran(Fuadi, 2010).Dalam keadaan istirahat, neuron memiliki membran potensial sebesar -70
mV. Membran potensial istirahat merupakan perbedaan muatan di dalam dan di luar sel akibat
pemisahan muatan positif dan negatif oleh membran sel (Barret K, at all, 2009). Menurut Fuadi
terdapat beberapa mekanisme terjadinya kejang, yaitu:
a. Gangguan pembentukan ATP dengan akibat kegagalan pompa Na-K, misalnya pada
hipoksemia, iskemia, dan hipoglikemia. Sedangkan pada kejang sendiri dapat terjadi
pengurangan ATP dan terjadi hipoksemia.
b. Perubahan permeabilitas sel syaraf, misalnya hipokalsemia dan hipomagnesemia.
c. Perubahan relatif neurotransmiter yang bersifat eksitasi dibandingkan dengan
neurotransmiter inhibisi dapat menyebabkan depolarisasi yang berlebihan. Misalnya
ketidakseimbangan antara GABA atau glutamat akan menimbulkan kejang.
Patogenesis terjadinya kejang demam secara pasti sampai saat ini belum dapat diketahui,
diperkirakan bahwa pada keadaan demam terjadi peningkatan reaksi kimia tubuh. Untuk
mempertahankan kelangsungan hidup sel-sel neuron pada otak, diperlukan energi yang didapat
dari metabolisme. Bahan baku untuk metabolisme otak adalah glukosa. Melalui proses oksidasi,
10
glukosa dipecah menjadi CO2 dan H2O.Pada keadaan demam dengan kenaikan suhu 1OC akan
mengakibatkan kenaikan metabolisme basal sebesar 10-15% dan kebutuhan oksigen akan
meningkat 20%. Oleh karena itu kenaikan suhu tubuh dapat mengubah keseimbangan dari
membran sel neuron dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari K+ maupun Na+yang
mengakibatkan terjadinya pelepasan muatan listrik. Pelepasan muatan listrik ini sedemikian
besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun ke membran sel sekitarnya dengan
bantuan neurotransmiter sehingga terjadi kejang (Rudolph, 2011).
Gambar 1. Patogenesis terjadinya kejang demam
2.1.6 Manifestasi Klinis
Anak dengan kejang demam memiliki perkembangan yang baik dan sehat secara
neurologis sebelum dan setelah kejang demam (Bauman 2012). Serangan kejang pada kejang
demam biasanya berkaitan dengan peningkatan suhu pusat (core temperature) yang tinggi (39°C
atau lebih) dan cepat.1 Umumnyaserangan kejang terjadi dalam 24 jam pertama timbulnya
demam (Lumbantombing, 2007) Sebagian besar serangan kejang demam berlangsung singkat
(kurang dari 15 menit) dengan sifat bangkitan kejang berbentuk umum.3 Umumnya kejang tidak
11
berulang dalam 24 jam (Lumbantombing, 2007). Bangkitan kejang dapat berupa postur tonik
(kontraksi dan kekakuan otot menyeluruh), gerakan klonik (kontraksi dan relaksasi otot yang
kuat dan berirama), ataupun kejang fokal (Lumbantombing, 2007). Saat kejang anak tidak sadar
(Lumbantombing, 2007). Selain itu, mata dapat berputar-putar (sehingga hanya sklera yang
terlihat), mulut berbusa, lidah atau pipinya dapat tergigit, gigi atau rahangnya terkatup rapat,
inkontinensia (mengeluarkan air kemih atau tinja diluar kesadarannya), gangguan pernafasan,
apnea atau henti nafas, dan kulitnya menjadi kebiruan(Lumbantombing, 2007)Pada fase setelah
kejang (fase post-iktal), anak sadar kembali, namun biasanya tampak kelelahan atau tertidur. Hal
ini dapat terjadi hingga 15 menit atau lebih (Bauman, 2012)
Gambar 2. Jenis kejang pada kejang demam
2.1.7 Diagnosis
Diagnosis kejang demam dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang (Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI, 2006)
2.1.7.1 Anamnesis
Anamnesis yang baik dapat membantu menegakkan diagnosis kejang demam. Perlu
ditanyakan kepada orang tua/ pengasuh yang menyaksikan anak kejang mengenai kejang: jenis
12
kejang, lama kejang, frekuensi dalam 24 jam, serta kondisi sebelum, diantara, dan setelah kejang
(termasuk kesadaran). Hal yang menyertai kejang seperti muntah, kelemahan anggota gerak,
kemunduran, dan lainnya juga perlu ditanyakan. Penting juga ditanyakan suhu sebelum/ saat
kejang.
Untuk demam, perlu ditanyakan pola demam (apakah mendadak tinggi atau perlahan-
lahan meningkat, apakah demam menetap atau hilang timbul, apakah membaik dengan
pemberian obat, dan lainnya). Selain itu, keluhan lain yang menyertai demam, seperti batuk,
pilek, sesak nafas, mual, muntah, diare, manifestasi perdarahan dan lainnya perlu ditanyakan.
Hal ini bertujuan mengidentifikasi sumber infeksi.
Pada riwayat penyakit dahulu perlu ditanyakan apakah sebelumnya pernah mengalami
kejang dengan demam atau tanpa demam. Ditanyakan pula apakah anak mengalami gangguan
neurologi sebelum demam. Penting juga ditanyakan apakah anak mengkonsumsi obat-obatan
anti kejang, atau obat-obatan lainnya. Selain itu, riwayat trauma kepala juga penting ditanyakan.
Pada riwayat penyakit keluarga perlu digali riwayat kejang demam atau epilepsi dalam keluarga.
Pada riwayat kehamilan dan persalinan, perlu ditanyakan riwayat kehamilan ibu, apakah pernah
mengalami sakit selama kehamilan, apakah ibu merokok selama kehamilan.
Pada riwayat tumbuh kembang, perlu ditanyakan pola tumbuh kembang anak apakah
sesuai dengan usianya.
2.1.7.2 Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, nilai keadaan umum dan kesadaran anak. Setelah itu dilakukan
pemeriksaan tanda-tanda vital (tekanan darah, nadi, suhu, dan pernafasan) dan status tumbuh
kembang anak. Pasien kejang seringkali mengalami hipertensi dan takikardi, yang akan pulih
menjadi normal kembali bila kejang sudah berhenti. Bradikardia, hipotensi, dan perfusi yang
buruk merupakan tanda yang buruk. Pada anak dengan kejang demam penting untuk melakukan
pemeriksaan neurologis, antara lain (Baumann, 2013):
a. Tanda rangsang meningeal: kaku kuduk, kernig, laseque, brudzinsky I dan brudzinsky II.
b. Pemeriksaan nervus kranialis I-XII.
c. Tanda peningkatan tekanan intrakranial: ubun-ubun membonjol, papiledema.
d. Pemeriksaan motorik: massa, tonus, kekuatan, dan refleks (fisiologis dan patologis).
e. Pemeriksaan sensorik: sensibilitias eksteroseptif, propioseptif, dan diskriminatif.
f. Pemeriksaan autonom .
13
2.1.7.3 Pemeriksaan penunjang
Beberapa pemeriksaan penunjang yang diperlukan dalam mengevaluasi kejang demam,
diantaranya sebagai berikut (Ojha and Aryal, 2013; Farell and Goldman, 2011; Subcomitee on
febrile seizure, 2011).
1. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang demam, tetapi dapat
dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam, atau keadaan lain misalnya
gastroenteritis dehidrasi disertai demam. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dikerjakan
misalnya darah perifer, elektrolit, dan gula darah.
2. Pungsi Lumbal
Pemeriksaan cairan serebrospinal dengan pungsi lumbal dilakukan untuk menegakkan atau
menyingkirkan kemungkinan meningitis. Resiko terjadinya meningitis bakterialis adalah 0.6 -
6.7%. Pada bayi kecil seringkali sulit untuk menegakan atau menyingkirkan diagnosis meningitis
karena manifestasi klinisnya tidak jelas. Oleh karena itu, pungsi lumbal dianjurkan pada:
a. Bayi kurang dari 12 bulan sangat dianjurkan untuk dilakukan.
b. Bayi antara 12 - 18 bulan dianjurkan.
c. Bayi > 18 bulan tidak rutin
Bila yakin bukan meningitis secara klinis tidak perlu dilakukan pungsi lumbal.
3. Elektroensefalografi
Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) tidak dapat memprediksi berulangnya kejang, atau
memperkirakan kemungkinan kejadian epilepsi pada pasien kejang demam. Oleh karenanya,
tidak direkomendasikan.
2.1.8. Tatalaksana
Apapun jenis dan etiologi kejang yang dihadapi, langkah penatalaksanaan kejang yang
harus dilakukan adalah (IDAI, 2006; Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI, 2006; Steering
committee on quality improvement and management, 2008):
a. Manajemen jalan nafas, pernafasan, dan fungsi sirkulasi yang adekuat.
Bila anak datang dalam keadaan kejang, tanyakan beberapa hal penting saja agar tidak
membuang waktu sambil memeriksa fungsi vital dengan cepat. Anamnesis dan
pemeriksaan fisik lengkap dilakukan setelah kejang teratasi.
14
b. Jalan nafas harus bebas agar oksigenasi terjamin. Pasien diletakkan dalam posisi
miring agar tidak terjadi aspirasi bila muntah. Lendir dihisap, diberikan oksigen 100%.
Jangan memasukkan benda keras antara gigi yang sudah terkatup.
2.1.8.1 Penatalaksanaan saat kejang
Biasanya kejang demam berlangsung singkat dan pada waktu pasien datang kejang sudah
berhenti. Apabila datang dalam keadaan kejang obat yang paling cepat untuk menghentikan
kejang adalah diazepam yang diberikan secara intravena. Dosis diazepam intravena adalah 0.3-
0.5 mg/kg perlahan-lahan dengan kecepatan 1-2 mg/ menit atau dalam waktu 3-5 menit, dengan
dosis maksimal 20 mg.
Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orang tua atau di rumah adalah diazepam
rektal (level II-2, level II-3, rekomendasi B). Dosis diazepam rektal adalah 0.5-0.75 mg/kg atau
diazepam rektal 5 mg untuk anak dengan berat badan kurang dari 10 kg dan 10 mg untuk anak
dengan berat badan lebih dari 10 kg. Diazepam rektal juga dapat diberikan dengan dosis 5 mg
untuk anak dibawah usia 3 tahun atau dosis 7.5 mg untuk anak di atas usia 3 tahun (lihat bagan
penatalaksanaan kejang demam).
Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti, dapat diulang lagi dengan
cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit. Bila setelah 2 kali pemeberian
diazepam rektal masih tetap kejang, dianjurkan ke rumah sakit. Di rumah sakit dapat diberikan
diazepam intravena dengan dosis 0.3-0.5 mg/kg.
Bila kejang tetap belum berhenti diberikan fenitoin secara intravena dengan dosis awal
10-20 mg/kg/kali dengan kecepatan 1 mg/kg/menit atau kurang dari 50 mg/menit. Bila kejang
berhenti dosis selanjutnya adalah 4-8 mg/kg/hari, dimulai 12 jam setelah dosis awal. Bila dengan
fenitoin kejang belum berhenti maka pasien harus dirawat di ruang intensif. Bila kejang telah
berhenti, pemeberian obat selanjutnya tergantung dari jenis kejang demam apakah kejang demam
sederhana atau kompleks dan faktor resikonya.
15
16
Phenytoin :IV : 10-20 mg/kgBB/kali
Dengan kecepatan 1 mg/kgBB/menit atau kurang dari 50 mg/menit
Kejang Berhenti ?
Pemantauan : RR, TD, Nadi
Terapi Penyebab Atasi Penyulit
Posisi Semiprone Hindari Trauma
Pasang NGT
Pasang Infus D 10Injeksi Thiamin 25 mg/KgBB/kali
Injeksi Dexamethasone 0,5 mg/KgBB/kali
AirwayBreathing
Circulation
Ya
Midazolam : IV : Dosis awal 0,2
mg/KgBB (bolus dalam 2-5 menit)
IV : Dosis Rumatan 0,4-6 mcg/KgBB/jam
Tidak
Kejang Berhenti ?
Diazepam :IV :dosis maksimal 3
mg/kgBB/jam(awasi tanda depresi nafas)
Tidak Ya
Kejang Berhenti ?
Pindah ke ruang rawat intensif
Phenytoin :IV : 4-8 mg/kgBB/hari
Dimulai 12 jam setelah dosis awal
YaTidak
Anamnesis :Tipe kejang, riwayat kejang dalam
keluarga, riwayat persalinan, trauma kepala, obat-obatan yang sudah
diberikan selama kejang.
Pemeriksaan Fisik :Tanda-tanda peningkatan TIK, trauma kepala, transiluminasi,
rangsang meningeal, reflex patologis.
Pemeriksaan Laboratorium :Darah : DL, GDA, SE, BGA,
SGOT/SGPT.Urine : Urinalisis
CSS : Analisis dan Kultur.
Pemeriksaan Radiologis :Foto Rontgen Kepala dan Thoraks,
CT-Scan Kepala.
Diazepam :IV : 0,3-0,5 mg/kbBB/kali
(berikan 2x bila dalam waktu 5 menit anak tetap kejang)
AtauRektal : 0,5-0,7 mg/kgBB/kali
(berikan 2x bila dalam waktu 5 menit anak tetap kejang)
Cari PenyebabTindakan Suportif Penatalaksanaan Kejang
Tentukan Fase Status Konvulsi
Status Konvulsi
Pemeriksaan :Tanda-tanda vital, kejang, derajat gangguan kesadaran, tanda-tanda
fokal
Gambar 2. Tatalaksana Kejang Demam
2.1.8.2 Pemberian obat pada saat demam
1. Antipiretik
Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi resiko terjadinya
kejang demam (level I, rekomendasi D), namun para ahli di Indonesia sepakat bahwa antipiretik
tetap dapat diberikan (level III, rekomendasi B). Dosis parasetamol yang digunakan adalah 10-15
mg/kg/kali deberikan 4 kali sehari dan tidak lebih dari 5 kali. Dosis Ibuprofen 5-10 mg/kg/kali,
3-4 kali sehari.
Meskipun jarang, asam asetilsalisilat dapat menyebabkan sindrom Reye terutama pada anak
kurang dari 18 bulan, sehingga penggunaan asam asetilsalisilat tidak dianjurkan (level III,
rekomendasi E).
2. Antikonvulsan
Pemakaian diazepam oral dosis 0.3 mg/kg setiap 8 jam pada saat demam menurunkan
resiko berulangnya kejang pada 30-60% kasus, begitu pula dengan diazepam rektal dosis 0.5
mg/kg setiap 8 jam pada suhu > 38.5 derajat Celcius (level I, rekomendasi A). Dosis tersebut
cukup tinggi dan menyebabkan ataksia, iritabel dan sedasi yang cukup berat pada 25-39% kasus.
Fenobarbital, karbamazepin, dan fenitoin pada saat demam tidak berguna untuk mencegah
kejang demam (level II, rekomendasi E)
3. Pemberian obat rumat
Pengobatan rumat hanya diberikan bila kejang demam menunjukan ciri sebagai berikut
(salah satu) :
a. Kejang lama > 15 menit
b. Adanya kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang, misalnya
hemiparesis, paresis Todd, cerebral palsy, retardasi mental, hidrosefalus. Kelainan
neurologis tidak nyata misalnya keterlambatan perkembangan ringan bukan
merupakan indikasi pengobatan rumat
c. Kejang fokal. Kejang fokal atau fokal menjadi umum menunjukan bahwa anak
mempunyai fokus organik
d. Pengobatan rumat dipertimbangkan bila :
-Kejang berulang dua kali atau lebih dalam 24 jam.
-Kejang demam terjadi pada bayi kurang dari 12 bulan.
-Kejang demam ≥ 4 kali per tahun.
17
a. Jenis antikonvulsan untuk pengobatan rumat
Pemberian fenobarbital atau asam valproat setiap hari efektif dalam menurunkan resiko
berulangnya kejang (level I). Berdasarkan bukti ilmiah bahwa kejang demam tidak berbahaya
dan penggunaan obat dapat menyebabkan efek samping, maka pengobatan rumat hanya
diberikan terhadap kasus selektif dan dalam jangka pendek (rekomendasi D). Pemakaian
fenobarbital setiap hari dapat menimbulkan gangguan perilaku dan kesulitan belajar pada 40-
50% kasus. Obat pilihan saat ini adalah asam valproat. Pada sebagian kecil kasus, terutama yang
berumur kurang dari 2 tahun asam valproat dapat menyebabkan gangguan fungsi hati. Dosis
asam valproat 15-40 mg/kg/hari dalam 2-3 dosis, dan fenobarbital 3-4 mg/kg per hari dalam 1-2
dosis.
b. Lama pengobatan rumat
Pengobatan diberikan selama 1 tahun bebas kejang, kemudian dihentikan secara bertahap
selama 1-2 bulan.
2.1.9 Prognosis
Kejadian kecacatan sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah dilaporkan.
Perkembangan mental dan neurologis umumnya tetap normal pada pasien yang sebelumnya
normal. Terdapat kelainan neurologis pada sebagian kecil kasus, dan kelainan ini biasanya terjadi
pada kasus dengan kejang lama atau kejang berulang baik umum atau fokal (IDAI,2010).
Kejadian kecacatan sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah dilaporkan. Kematian
akibat kejang demam juga tidak pernah dilaporkan. Perkembangan mental dan neurologis
umumnya tetap normal pada pasien yang memang sebelumnya normal. Penelitian lain secara
retrospektif melaporkan kelainan neurologis pada sebagian kecil kasus dan kelainan ini biasanya
terjadi pada kasus kejang yang lama atau kejang berulang baik fokal atau kejang umum
(Pusponegoro, 2006).
Kejang demam akan berulang kembali pada sebagian kasus. Faktor resiko berulangnya
kejang yaitu riwayat kejang demam dalam keluarga, usia saat kejang pertama < 12 bulan,
temperatur yang rendah saat kejang (<40°C) dan timbulnya kejang yang cepat setelah demam.
Bila semua faktor tersebut terpenuhi maka resiko berulangnya kejang demam 80 % sedangkan
bila tidak terdapat faktor tersebut resikonya 10-15%. Kemungkinan berulangnya kejang paling
besar pada tahun pertama (Pusponegoro, 2006).
18
2.2 Meningitis Tuberkulosa
2.2.1 Definisi
Meningitis tuberkulosis (TB) adalah suatu peradangan pada selaput otak (meningen) yang
disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Meningitis TB merupakan salah satu
komplikasi TB pada sistem saraf pusat yang banyak ditemukan dan pada umumnya sebagai
penyebaran tuberkulosis primer dengan fokus infeksi di tempat lain. Penyakit ini juga dapat
merupakan reaktivasi fokus TB (TB pasca-primer) bertahun-tahun setelah pembentukannya
pada fase infeksi primer (Rahajoe et al., 2005).
2.2.2 Epidemiologi
Insiden dan prevalensi dari tuberkulosis (TB) di berbagai negara sangat bervariasi
bergantung pada tingkat sosio-ekonomi, kesehatan masyarakat, umur, status gizi serta faktor
genetik yang menentukan respon imun seseorang. Di negara berkembang, TB pada anak berusia
<15 tahun adalah 15% dari seluruh kasus TB sedangkan di negara maju, angkanya lebih rendah
yaitu 5-7%. World Health Organization (WHO) memperkirakan kasus baru TB akan meningkat
setiap tahunnya dan Indonesia menduduki peringkat ketiga dalam jumlah kasus baru TB setelah
India dan Cina.
Meningitis tuberkulosis merupakan komplikasi TB ekstrapulmonal yang sering ditemukan
dan lebih sering terjadi pada anak-anak dibandingkan pada orang dewasa, terutama dalam 5
tahun pertama kehidupan. Anak-anak berusia 0-5 tahun lebih sering terkena meningitis TB
daripada kelompok usia lainnya dan jarang pada anak-anak usia kurang dari 6 bulan dan hampir
tidak pernah terdengar pada bayi yang lebih muda dari 3 bulan karena waktu kuman penyebab
TB untuk berkembang setidaknya 3 bulan.
Angka kejadian tertinggi dijumpai pada anak terutama bayi dan anak kecil dengan
kekebalan alamiah yang masih rendah terutama dalam 5 tahun pertama kehidupan. Angka
kejadian jarang dibawah usia 3 bulan, tertinggi pada usia 6 bulan sampai 2 tahun. Angka
kematian berkisar antara 10-20%. Sebagian besar memberikan gejala sisa, hanya 18% pasien
yang normal secara neurologis dan intelektual. Anak dengan meningitis tuberkulosis yang tidak
diobati, akan meninggal dalam waktu 3-5 minggu. Angka kejadian meningkat dengan
19
meningkatnya jumlah pasien tuberkulosis dewasa (Fenichel,2005 ; Pudjiadi,2010 ;
Ramachandran et al.,2013).
2.2.3 Etiologi
Penyebab terbanyak dari meningitis TB adalah Mycobacterium tuberculosis.
Mycobacterium tuberkulosis merupakan bakteri aerob berbentuk batang pleomorfik gram positif,
berukuran 0,4 – 3 μ, mempunyai sifat tahan asam, dapat hidup selama berminggu-minggu dalam
keadaan kering, serta lambat bermultiplikasi (setiap 15 sampai 20 jam). Bakteri ini merupakan
salah satu jenis bakteri yang bersifat pathogen intraselular pada hewan dan manusia. Selain
Mycobacterium tuberkulosis, spesies lainnya yang juga dapat menimbulkan tuberkulosis adalah
Mycobacterium. bovis, Mycobacterium africanum, dan Mycobacterium microti. Berikut adalah
bakteri penyebab meningitis pada anak sesuai usia ( Ramachandran et al.,2013; Tan, 2003).
Gambar 3. Etiologi meningitis pada anak
2.2.4 Faktor Risiko
Terdapat beberapa faktor yang mempermudah terjadinya infeksi TB maupun timbulnya
penyakit TB pada anak. Faktor-faktor tersebut dibagi menjadi faktor risiko infeksi dan faktor
risiko progresif infeksi menjadi penyakit.
1. Faktor risiko infeksi TB
20
Faktor risiko terjadinya infeksi TB antara lain adalah anak yang terpajan dengan orang
dewasa dengan TB aktif (kontak TB positif), daerah endemis, kemiskinan, lingkungan
yang tidak sehat(higiene dan sanitasi tidak baik), dan tempat penampungan umum
seperti panti asuhan,penjara, dan tempat perawatan lain yang banyak terdapat pasien
TB dewasa aktif. Sumber infeksi TB pada anak yang terpenting adalah pajanan
terhadap orang dewasa yang infeksius, terutama dengan BTA positif.
2. Faktor risiko sakit TB
Anak yang telah terinfeksi TB tidak selalu akan mengalami sakit TB. Beberapa faktor
yang dapat menyebabkan berkembangnya infeksi TB menjadi sakit TB:
Usia Anak berusia <5 tahun mempunyai risiko lebih besar karena imunitas
selulernya belum berkembang dengan sempurna. Risiko sakit TB ini akan
berkurang secara bertahap seiring bertambahnya usia.
Infeksi baru yang ditandai dengan adanya konversi uji tuberkulin (dari negatif
menjadi positif) dalam 1 tahun terakhir, malnutrisi, keadaan imunokompromais
(HIV, keganasan,transplantasi organ), DM , dan gagal ginjal kronis
Status sosioekonomi yang rendah, penghasilan kurang, kepadatan hunian,
pendidikan yang rendah.
Virulensi bakteri
(Rahajoe et al., 2005).
2.2.5 Patofisiologi
Meningitis tuberculosis pada umumnya sebagai penyebaran tuberculosis primer, dengan
fokus infeksi di tempat lain. Biasanya fokus infeksi primer di paru, namun Blockloch
menemukan 22,8% dengan focus infeksi primer di abdomen, 2,1% di kelenjar limfe leher dan
1,2% tidak ditemukan adanya fokus infeksi primer. Dari fokus infeksi primer, basil masuk ke
sirkulasi darah melalui duktus torasikus dan kelenjar limfe regional dan dapat menimbulkan
infeksi berat berupa tuberculosis milier atau hanya menimbulkan beberapa focus metastaseyang
biasanya tenang.
Pendapat yang sekarang dapat diterima dikemukakan oleh Rich pada tahun 1951,yakni
bahwa terjadinya meningitis tuberculosis adalah mula-mula terbentuk tuberkel di otak,selaput
21
otak atau medulla spinalis, akibat penyebaran basil secara hematogen selama infeksi primer atau
selama perjalanan tuberculosis kronik (walaupun jarang). Kemudian timbul meningitis akibat
terlepasnya basil dan antigennya dari tuberkel yang pecah karena rangsangan mungkin berupa
trauma atau faktor imunologis. Basil kemudian langsung masuk ke ruang subarachnoid atau
ventrikel. Hal ini mungkin terjadi segera setelah dibentuknya lesi atau setelah periode laten
beberapa bulan atau beberapa tahun. Bila hal ini terjadi pada pasien yang sudah tersensitisasi,
maka masuknya basil ke ruang subarachnoid menimbulkan reaksi peradangan yang
menyebabkan perubahan pada cairan cerebrospinal. Reaksi peradangan ini mula-mula timbul di
sekitar tuberkel yang pecah, tetapi kemudian tampak jelas di selaput otak pada dasar otak dan
ependim. Meningitis basalis yang terjadi akan menimbulkan komplikasi neurologis, berupa
paralisis saraf kranialis, infark karena penyumbatan arteria dan vena, serta hidrosefalus karena
tersumbatnya aliran cairan cerebrospinal. Perlengketan yang sama dalam kanalis sentralis
medulla spinalis akan menyebabkan spinal block dan paraplegia (Saharso,1999). Secara
patologis, ada tiga keadaaan yang terjadi pada meningitis tuberkulosis:
1. Araknoiditis proliferatif
Proses ini terutama terjadi di basal otak, berupa pembentukan massa fibrotik yang
melibatkan saraf kranialis dan kemudian menembus pembuluh darah. Reaksi radang akut
di leptomening ini ditandai dengan adanya eksudat gelatin, berwarna kuning kehijauan di
basis otak. Secara mikroskopik, eksudat terdiri dari limfosit dan sel plasma dengan
nekrosis perkijuan. Pada stadium lebih lanjut, eksudat akan mengalami organisasi dan
mungkin mengeras serta mengalami kalsifikasi. Adapun saraf kranialis yang terkena akan
mengalami paralisis. Saraf yang paling sering terkena adalah saraf kranial VI, kemudian
III dan IV, sehingga akan timbul gejala diplopia dan strabismus. Bila mengenai saraf
kranial II, maka kiasma optikum menjadi iskemik dan timbul gejala penglihatan kabur
bahkan bisa buta bila terjadi atrofi papil saraf kranial II. Bila mengenai saraf kranial VIII
akan menyebabkan gangguan pendengaran yang sifatnya permanen.
2. Vaskulitis dengan trombosis dan infark pembuluh darah kortikomeningeal yang melintasi
membran basalis atau berada di dalam parenkim otak. Hal ini menyebabkan timbulnya
radang obstruksi dan selanjutnya infark serebri. Kelainan inilah yang meninggalkan
sekuele neurologis bila pasien selamat. Apabila infark terjadi di daerah sekitar arteri
cerebri media atau arteri karotis interna, maka akan timbul hemiparesis dan apabila
22
infarknya bilateral akan terjadi quadriparesis. Pada pemeriksaan histologis arteri yang
terkena, ditemukan adanya perdarahan, proliferasi, dan degenerasi. Pada tunika
adventisia ditemukan adanya infiltrasi sel dengan atau tanpa pembentukan tuberkel dan
nekrosis perkijuan. Pada tunika media tidak tampak kelainan, hanya infiltrasi sel yang
ringan dan kadang perubahan fibrinoid. Kelainan pada tunika intima berupa infiltrasi
subendotel, proliferasi tunika intima, degenerasi, dan perkijuan. Yang sering terkena
adalah arteri cerebri media dan anterior serta cabang-cabangnya, dan arteri karotis
interna. Vena selaput otak dapat mengalami flebitis dengan derajat yang bervariasi dan
menyebabkan trombosis serta oklusi sebagian atau total. Mekanisme terjadinya flebitis
tidak jelas, diduga hipersensitivitas tipe lambat menyebabkan infiltrasi sel mononuklear
dan perubahan fibrin.
3. Hidrosefalus komunikans akibat perluasan inflamasi ke sisterna basalis yang akan
mengganggu sirkulasi dan resorpsi cairan serebrospinalis. Adapun perlengketan yang
terjadi dalam kanalis sentralis medulla spinalis akan menyebabkan spinal block dan
paraplegia (Rahajoe et al., 2005).
Manifestasi klinis TB di berbagai organ muncul dengan pola yang konstan, sehingga dari
studi Wallgren dan peneliti lain disusun suatu kalender perjalanan penyakit tuberkulosis di
berbagai organ. Meningitis TB dapat terjadi setiap saat tetapi biasanya berlangsung dalam 3-6
bulan pertama setelah terinfeksi TB.
23
Gambar 4. Kalender perjalanan penyakit tuberkulosis (Miller,1982).
2.2.6 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis bisa bervariasi dalam beberapa gejala dan tanda dengan awal yang tidak
jelas. Gejala dan tanda tersebut antara lain adalah demam yang persisten, malaise, anoreksia,
berat badan menurun, fatigue, hepatomegali, splenomegali, limfadenopati generalisata,
penurunan kesadaran dan sensoris, stupor dan berbagai gejala neurologis lainnya.
Manifestasi klinis dari meningitis tuberkulosis dikelompokkan dalam tiga stadium:
1. Stadium I (stadium inisial/stadium non spesifik/fase prodromal)
Biasanya berlangsung selama 1-3 minggu dengan gejala tidak khas, timbul
perlahan-lahan, dan tidak ada gejala neurologis fokal maupun umum yang nampak. Gejala
yang muncul biasanya tidak spesifik, seperti demam yang tidak terlalu tinggi namun
menetap, malaise, anoreksia, berat badan menurun, fatigue, nyeri perut, sakit kepala, tidur
terganggu, mual, muntah, konstipasi, apatis, irritable.
Pada bayi, irritable dan ubun- ubun menonjol merupakan manifestasi yang sering
ditemukan. Sedangkan pada anak yang lebih tua memperlihatkan perubahan suasana hati
yang mendadak, prestasi sekolah menurun, letargi, apatis, mungkin saja tanpa disertai
24
demam. Jika sebuah tuberkel pecah ke dalam ruang sub arachnoid maka stadium I akan
berlangsung singkat sehingga sering terabaikan dan akan langsung masuk ke stadium III.
2. Stadium II (stadium transisional/fase meningitik)
Pada fase ini terjadi rangsangan pada selaput otak/meningen. Ditandai dengan
munculnya kaku kuduk, penurunan reflek tendon, lethargi, dan/atau kelemahan saraf
kranial. Meningitis TB biasanya menyerang nervus VI, menyebabkan kelemahan rectus
lateral. Hal ini disebabkan karena tekanan dari eksudat inflamasi basilar di saraf kranial
atau akibat hidrosefalus. Nervus III, IV, dan VII juga bisa terganggu. Perubahan pada
pemeriksaan funduskopi biasanya termasuk papilledema dan munculnya choroid tubercle,
yang harus dicari dengan pemeriksaan seksama.
Pada anak berusia di bawah 3 tahun, iritabel dan muntah adalah gejala utamanya,
sedangkan sakit kepala jarang dikeluhkan. Sedangkan pada anak yang lebih besar, sakit
kepala adalah keluhan utamanya, dan kesadarannya makin menurun. Vaskulitis
menyebabkan gangguan fokal, saraf kranial dan kadang medulla spinalis. Peradangan dan
penyempitan arteri di otak juga bisa menyebabkan disorientasi, bingung, kejang, tremor,
hemibalismus, hemikorea, hemiparesis/quadriparesis, penurunan kesadaran, dan gangguan
saraf kranial.
3. Stadium III (fase lanjut/fase paralitik)
Pada stadium ini merupakan kelanjutan proses penyakit dimana gangguan fungsi
otak menjadi semakin jelas yaitu kesadaran makin menurun sampai koma, otot ekstensor
menjadi kaku dan spasme sehingga seluruh tubuh menjadi kaku dan timbul opistotonus
oleh karena dekortikasi atau deserebrasi. Pupil melebar dan tidak bereaksi sama sekali,.
Nadi dan pernafasan menjadi tidak teratur, timbul hiperpireksia dan akhirnya pasien
meninggal. Timbulnya gambaran klinis gangguan fungsi batak otak akibat lesi pembuluh
darah atau strangulasi oleh eksudat yang mengalami organisasi.
Tiga stadium tersebut di atas biasanya tidak jelas batasnya antara satu dengan yang
lain, tetapi bila tidak diobati biasanya berlangsung 3 minggu sebelum pasien meninggal.
Dikatakan akut bila 3 stadium tersebut berlangsung selama 1 minggu. Hidrosefalus dapat
terjadi pada kira-kira 2/3 pasien, terutama yang penyakitnya telah berlangsung lebih dari 3
minggu. Hal ini terjadi apabila pengobatan terlambat atau tidak adekuat (Rahajoe et al.,
2005). Dibandingkan dengan meningitis bakterial, pasien dengan meningitis TB biasanya
25
sakit lebih lama, dan lebih sering mengalami kelemahan saraf kranial, serta jarang
memiliki peningkatan sel darah putih (Pudjiadi et al., 2010 ; Rahajoe et al., 2005 ;
Saharso,2008).
2.2.7 Diagnosis
Dasar diagnosis meningitis TB meliputi beberapa hal yaitu anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang.
1. Anamnesis
Dari anamnesis didaptkan adanya riwayat kejang atau penurunan kesadaran (tergantung
stadium penyakit), adanya riwayat kontak dengan pasien tuberkulosis (baik yang
menunjukkan gejala, maupun yang asimptomatik),riwayat imunisasi BCG, adanya gambaran
klinis yang ditemukan pada penderita (sesuai dengan stadium meningitis tuberkulosis). Pada
neonatus, gejalanya mungkin minimalis dan dapat menyerupai sepsis, berupa bayi malas
minum, letargi, distress pernafasan, ikterus, muntah, diare, hipotermia, kejang (pada 40%
kasus), dan ubun-ubun besar menonjol (pada 33,3% kasus).
2. Pemeriksaan Fisik
Dari pemeriksaan fisik tergantung stadium penyakit. Tanda rangsang meningen seperti kaku
kuduk biasanya tidak ditemukan pada anak berusia kurang dari 2 tahun.
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan cairan serebrospinal (CSS) melalui
pungsi lumbal . Pada pemeriksaan pungsi lumbal didapatkan cairan
cerebrospinalis berwarna jernih (khas), bila dibiarkan mengendap akan membentuk batang-
batang. Dapat juga berwarna xanhtochrom bila penyakitnya telah berlangsung lama dan ada
hambatan di medulla spinalis. Jumlah sel: 100 – 500 sel / μl. Mula-mula, sel
polimorfonuklear dan limfosit sama banyak jumlahnya, atau kadang-kadang sel
polimorfonuklear lebih banyak (pleositosis mononuklear). Kadang-kadang, jumlah sel pada
fase akut dapat mencapai 1000 / mm3.Kadar protein meningkat (dapat lebih dari 200 mg /
mm3). Hal ini menyebabkan liquor cerebrospinalis dapat berwarna xanthochrom dan pada
permukaan dapat tampak sarang laba-laba ataupun bekuan yang menunjukkan tingginya
26
kadar fibrinogen. Kadar glukosa biasanya menurun dikenal sebagai hipoglikorazia. Adapun
kadar glukosa normal pada liquor cerebrospinalis adalah ±60% dari kadar glukosa darah.
Kadar klorida normal pada stadium awal, kemudian menurun. Darah lengkap
menunjukkan anemia ringan, peningkatan laju endap darah pada 80% kasus. Hiponatremia
akibat innapropriate secretion of antidiuretic hormone (SIADH) sering kali didapatkan.
Tabel 1 Interpretasi Analisis Cairan Serebrospinal (Saharso, 2008)
Tes Meningitis Bakterial Meningitis Virus Meningitis TB
Tekanan LP Meningkat Biasanya normal Bervariasi
Warna Keruh Jernih Xanthocrome
Jumlah Sel ≥ 1000/ml <100/ml Bervariasi
Jenis Sel Predominan PMN Predominan MN Predominan MN
Protein Sedikit Meningkat Normal/meningkat Meningkat
Glukosa Normal/menurun Biasanya normal Rendah
Pada pewarnaan Gram dan kultur liquor cerebrospinalis dapat ditemukan kuman.
Pengecatan ini bisa mendeteksi hingga 80% kasus meningitis TB, sedangkan kultur memiliki
sensitifitas yang rendah, sekitar 40%-80. Sehingga hasil negative pada pewarnaan gram dan
kultur tidak pernah menyingkirkan diagnosis meningitis TB. Diagnosis meningitis TB sering
kali hanya dikerjakan berdasarkan gejala klinis dan karakteristik CSF tanpa menggunakan
hapusan atau kultur. Untuk mendapatkan hasil positif, dianjurkan untuk melakukan pungsi
lumbal selama 3 hari berturut-turut. Terapi dapat langsung diberikan tanpa menunggu hasil
pemeriksaan pungsi lumbal kedua dan ketiga.
b. Uji Tuberkulin
Pada 40% kasus, uji tuberkulin dapat negatif. Pada anak, uji tuberkulin merupakan
pemeriksaan screening tuberkulosis yang paling bermanfaat. Penelitian menunjukkan bahwa
efektivitas uji tuberkulin pada anak dapat mencapai 90%. Ada beberapa cara melakukan uji
tuberkulin, tetapi hingga saat ini cara mantoux lebih sering dilakukan. Pada uji mantoux,
dilakukan penyuntikan PPD (Purified Protein Derivative) dari kuman Mycobacterium
27
tuberculosis. Lokasi penyuntikan uji mantoux umumnya pada ½ bagian atas lengan bawah
kiri bagian depan, disuntikkan intrakutan (ke dalam kulit). Penilaian uji tuberkulin dilakukan
48–72 jam setelah penyuntikan dan diukur diameter daripembengkakan (indurasi) yang
terjadi. Jika pemeriksaan PPD wal menunjukkan hasil negatif, maka tes diulang dalam 5-7
hari.Bila dalam penyuntikan vaksin BCG (Bacillus Calmette-Guérin) terjadi reaksi cepat
(dalam 3-7 hari) berupa kemerahan dan indurasi ≥ 5 mm, maka anak dicurigai telah
terinfeksi Mycobacterium tuberculosis.
c. Pemeriksaan Radiologi
Foto toraks dapat menunjukkan adanya gambaran tuberkulosis. Gambaran ini ditemukan
pada mayoritas anak-anak dengan meningitis TB dan hanya setengah dari orang dewasa. CT-
scan kepala dapat menentukan adanya dan luasnya kelainan di daerah basal, serta adanya dan
luasnya hidrosefalus. Pemeriksaan radiologis yang paling baik untuk mendiagnosis
meningitis TB ini adalah dengan MRI (Magnetic Resonance Imaging) kepala. Seiring
berkembangnya penyakit, gambaran yang sering ditemukan adalah enhancement di daerah
basal, tampak hidrosefalus komunikans yang disertai dengan tanda-tanda edema otak atau
iskemia fokal yang masih dini. Selain itu, dapat juga ditemukan tuberkuloma, biasanya di
daerah korteks serebri atau talamus.
d. Pemeriksaan EEG (electroencephalography)
Pemeriksaan EEG menunjukkan kelainan kira-kira pada 80% kasus berupa kelainan difus
atau fokal.
(Garna et al., 2005 ; Rahajoe et al., 2005 ; Pudjiadi et al.,2010).
2.2.8 Terapi
Pengobatan meningitis tuberkulosis harus tepat dan adekuat, termasuk kemoterapi yang
sesuai, koreksi gangguan cairan dan elektrolit, dan penurunan tekanan intrakranial. Terapi harus
segera diberikan tanpa ditunda bila ada kecurigaan klinis ke arah meningitis tuberkulosis
(Saharso, 2008).
28
1. Medikamentosa
Terapi medikamentosa diberikan sesuai rekomendasi American Academy of Pediatrics 1994,
yakni dengan konsep baku tuberkulosis yaitu fase intensif selama 2 bulan dengan 4 sampai 5
obat anti tuberkulosis (OAT), yakni isoniazid, rifampisin, pirazinamid, streptomisin, dan
etambutol. Kemudian terapi dilanjutkan dengan 2 obat anti tuberkulosis, yakni isoniazid dan
rifampisin hingga 12 bulan.
Tabel 3. Terapi Obat pada Meningitis Tuberkulosis
Agen Anti-
TB
Rekomendasi
Dosis
(mg/kg/hr)
Dosis
Maksimum
(mg/hr)
Efek Samping Durasi
Terapi
Isoniazid 10-20 300 Hepatotoksik,
Neuropati Perifer
Minimal
1 tahun
Rifampisin 10-20 450(<50 kg)
600 (≥50 kg)
Hepatotoksik,
ruam, flu-like
syndrome,
multiple drug
interactions.
Minimal
9 bulan
Pyrazinamide 20-40 1500(<50 kg)
2000 (≥50 kg)
Hepatotoksik,
atralgia, GI upset,
anorexia, dan
fotosensitifitas
kulit
2 bulan
Ethambutol* 15–20 1600 untuk
dewasa
(1000 untuk
anak-anak
dengan HIV (−)
dan 2500 in HIV
(+))
Neuritis optik,
neuritis perifer,
atralgia, GI upset
2 bulan
Streptomycin 20 1000 Nefrotoksik,
ototoksik, dan
2 bulan
29
toksisitas
vestibular
Kortikosteroid diberikan untuk menurunkan inflamasi dan edema serebri. Prednison
diberikan dengan dosis 1-2mg/kgBB/hari selama 6-8minggu. Adanya peningkatan tekanan
intrakranial yang tinggi dapat diberikan deksametasone dengan dosis 0,3-0,5mg/kgBB/hari.
Pada pasien dengan meningitis TB,terdapat stimuli nonosmotik untuk ekspresi hormon
antidiuretik (ADH), yang menyebabkan syndrome of inappropriate ADH (SIADH).
Walaupun ADH sendiri tidak bisa memperparah edema serebri, namun perkembangan akut
dari hiponatremi hipoosmotik bisa memperburuk edema serebri akibat perpindahan air dari
kompartemen intravaskular ke ekstravaskular otak. Intake air harus dibatasi sebagai terapi
SIADH, namun tetap harus menghindari hipovolemi, karena bisa menyebabkan penurunan
erfusi serebral dan akan melepas lebih banyak lagi ADH. Dengan demikian, status euvolemik
harus tetap dipertahankan demi menjaga perfusi serebral untuk mencegah hypovolemia-
induced ADH release. Jika simptomatik, hiponatremi akut tidak merespon terapi anti-TB dan
restriksi cairan, penggunaan V2 (ADH) receptor antagonist bisa dipertimbangkan untuk
diberikan dengan hati-hati karena belum ada rekomendasi penggunaan antagonis reseptor
ADH ini. Koreksi hiponatremi yang terlalu cepat bisa mengakibatkan osmotic demyelination
syndrome.
2. Operasi
Pada beberapa penelitian disebutkan 30% pasien membutuhkan VP-shunt akibat gagal
terapi dengan diuretic. Intervensi bedah ini hanya direkomendasikan pada hidrosefalus grade
2 dan 3 (normal atau penurunan sensoris ringan, mudah dibangunkan) karena peningkatan
mortalitas dan rendahnya keberhasilan operasi pada pasien dengan hidrosefalus meningitis
TB grade 4 (deeply comatose). Walaupun pada 33-45% pasien menunjukkan hasil yang
memuaskan dengan VP Shunt. Kemungkinan, kondisi neurologis yang buruk dari hasil
operasi ini berhubungan dengan usia dibawah 3 tahun dan lebih dari 3 hari munculnya gejala
(Pudjiadi et al., 2010).
30
2.2.9 Komplikasi
Komplikasi yang paling menonjol dari meningitis tuberkulosis adalah gejala sisa
neurologis (sekuele). Sekuele terbanyak adalah paresis spastik, kejang, paraplegia, dan gangguan
sensori ekstremitas. Sekuele minor dapat berupa kelainan saraf otak, nistagmus, ataksia,
gangguan ringan pada koordinasi, dan spastisitas. Komplikasi pada mata dapat berupa atrofi
optik dan kebutaan. Gangguan pendengaran dan keseimbangan disebabkan oleh obat
streptomisin atau oleh penyakitnya sendiri. Gangguan intelektual terjadi pada kira-kira 2/3 pasien
yang hidup. Pada pasien ini biasanya mempunyai kelainan EEG yang berhubungan dengan
kelainan neurologis menetap seperti kejang dan mental subnormal. Kalsifikasi intrakranial terjadi
pada kira-kira 1/3 pasien yang sembuh. Seperlima pasien yang sembuh mempunyai kelainan
kelenjar pituitari dan hipotalamus, dan akan terjadi prekoks seksual, hiperprolaktinemia, dan
defisiensi ADH, hormon pertumbuhan, kortikotropin dan gonadotropin.
Secara keseluruhan, mortalitas pada meningitis TB ini sekitar 30%. Mortalitas tertinggi
ada pada pasien dengan Glasgow Coma Scale (GCS) yang rendah atau stadium yang sudah
tinggi ketika terdiagnosis. Mortalitas juga meningkat pada pasien dengan terapi yang tertunda
atau terputus. Gejala neurologis sisa termasuk hemiparesis, hemiplegi, paraplegi, visual atau
hearing loss, dan perubahan kepribadian juga ditemukan paling tinggi pada pasien dengan GCS
rendah atau presentasi awal di stadium yang tinggi dengan adanya gejala neurologis fokal.
Hidrosefalus merupakan komplikasi umum dari meningitis TB; prevalensinya telah
didokumentasikan pada >75% penderita pada beberapa publikasi. Ventriculoperitoneal shunt
(VP-Shunt) dan endoscopic thrird ventriclostomy adalah teknik bedah yang telah dipraktikkan
untuk menurunkan tekanan intra kranial (TIK) pada meningitis TB dan memperbaiki kondisi
neurologis pasien. Anak-anak memiliki resiko yang tinggi untuk mengalami hidrosefalus dan
penningkatan TIK (Ramachandran et al., 2013)
2.2.10 Prognosis
31
Pasien meningitis tuberkulosa yang tidak diobati biasanya meninggal dunia. Prognosis
tergantung kepada faktor stadium penyakit ,umur penderita, berat ringan infeksi, lama sakit
sebelum mendapat pengobatan, kepekaan kuman terhadap antibiotik yang diberikan serta
penyulit dan penanganannya. Dengan diagnosis awal dan penanganan yang cepat, angka
kesembuhan bisencapai 90%. Prognosis pasien berbanding lurus dengan tahapan klinis saat
pasien didiagnosis dan diterapi. Semakin lanjut tahapan klinisnya, semakin buruk prognosisnya
Sebelum ditemukannya obat-obat anti-tuberkulosis, mortalitas meningitis tuberkulosis
hampir 100%. Dengan obat-obat anti-tuberkulosis, mortalitas dapat diturunkan walaupun
masihtinggi yaitu berkisar antara 10-20% kasus. Penyembuhan sempurna dapat juga terlihat.
Gejala sisa masih tinggi pada anak yang selamat dari penyakit ini, terutama bila datang berobat
dalam stadium lanjut. Gejala sisa yang sering didapati adalah gangguan fungsi mata
dan pendengaran. Dapat pula dijumpai hemiparesis, retardasi mental dan kejang.
Keterlibatanhipothalamus dan sisterna basalis dapat menyebabkan gejala endokrin. Saat
permulaan pengobatan umumnya menentukan hasil pengobatan (Saharso, 2008).
2.2.11 Pencegahan
Imunisasi BCG diberikan pada usia sebelum 2 bulan. Dosis untuk bayi sebesar 0,05 dan
untuk anak 0,1 ml diberikan secara intrakutan di daerah insersi otot deltoid kanan (penyuntikan
lebih mudah dan lemak subkutis lebih tebal, ulkus tidak mengganggu struktur otot dan sebagai
tanda baku). Bila BCG diberikan pada usia >3bulan sebaiknya dilakukan uji tuberkulin terlebih
dahulu. Insidens TB anak yang mendapat BCG berhubungan dengan kualitas vaksin yang
digunakan, pemberian vaksin,jarak pemberian vaksin, dan intensitas pemaparan infeksi.
Manfaat BCG telah dilaporkan oleh beberapa peneliti, yaitu antara 0-80%. Imunisasi
BCG efektif terutama untuk mencegah TB milier, meningitis TB, dan spondilitis TB pada anak.
Fakta di klinik, sekitar 70% TB berat dengan biakan positif telah mempunyai parut BCG.
Imunisasi BCG ulangan dianjurkan di beberapa negara tetapi umumnya tidak dianjurkan di
banyak negara lain termasuk Indonesia. Imunisasi BCG relatif aman, jarang timbul efek
samping yang serius. Efek samping yang sering ditemukan adalah ulserasi lokal dan limfadenitis
dengan insidens (0,1-1%). Kontraindikasi imunisasi adalah kondisi imunokompromais, misalnya
defisiensi imun, infeksi berat, gizi buruk, dan gagal tumbuh. Pada bayi prematur, imunisasi BCG
ditunda hingga bayi mencapai BB optimal (Rahajoe et al.,2005).
32
2.3. Meningitis Purulenta
2.3.1 Definisi
Meningitis adalah suatu radang yang mengenai sebagian atau semua lapisan selaput otak
yang membungkus jaringan otak sampai sumsum tulang belakang. Sedangkan, Meningitis
purulenta ialah radang selaput otak (arakhnoidea dan piamater) yang menimbulkan eksudasi
berupa pus, disebabkan oleh kuman non spesifik dan non virus (Gilroy,2000).
2.3.2 Etiologi
Kuman penyebab terbanyak meningitis purulenta ialah jenis Pneumokokus, Hemophilus
influenza, Staphylokokus, Streptokokus, E. Coli, Meningokokus dan Salmonella, Listeria,
Klebsiela (Mansjoer,2000). Agen etiologi meningitis purulenta pada neonatus paling banyak
adalah bakteri streptokokus grup B dan bakteri gram negative. Bakteri streptokokus merupakan
agen penting yang menyebabkan late-onset disease yang akan bermanifestasi sebagai meningitis.
Bakteri Escherichia colli dan bakteri gram negative lain seperti Klebsiella, Enterobacter, dan
Salmonella menyebabkan insiden meningitis yang sporadik pada negara berkembang
(Muller,2011).
Tabel. Etiologi Meningitis Purulenta
2.3.3 Epidemiologi
33
Angka prevalensi meningitis purulenta adalah 5 : 100.000 dengan insiden tertinggi
meningitis purulenta terdapat pada anak usia 2 bulan hingga usia 2 tahun, dimana umumnya
banyak terjadi pada anak yang distrofik dengan daya tahan tubuh rendah (Gilroy,2000).
Meningitis Purulenta pada bayi dan anak di Indonesia, khususnya di Jakarta masih merupakan
penyakit yang belum mengurang. Angka kejadian tertinggi umur antara 2 bulan – 2 tahun.
Umumnya terdapat pada anak yangdistrofik, yang daya tahan tubuhnya rendah. Di negeri yang
sudah maju, angka kejadian sudah sangat berkurang (Mansjoer,2000).
Faktor predisposisi meningitis purulenta meliputi infeksi saluran pernafasan, infeksi
saluran pendengaran, riwayat cedera kepala, riwayat anestesi spinal, riwayat kontak dengan
penderita infeksi meningokal, dan menurunnya kondisi tubuh (Gilroy,2000).
2.3.4 Patogenesis
Infeksi dapat mencapai selaput otak melalui :
1. Aliran darah (hematogen) karena infeksi di tempat lain seperti faringitis, tonsilitis,
endokarditis, penumonia, infeksi gigi. Pada keadaan ini sering didapatkan biakan kuman
yang positif pada darah, yang sesuai dengan kuman yang ada dalam cairan otak
(Gilroy,2000).
2. Perluasan langsung dari infeksi (per kontinuitatum) yang disebabkan oleh infeksi dari
sinus paranasalis, mastoid, abses otak, sinus kavernosus (Gilroy,2000).
3. Implantasi langsung : trauma kepala terbuka, tindakan bedah otak, punksi lumbal, dan
mielokel (Gilroy,2000).
4. Meningitis pada neonatus dapat terjadi karena :
Aspirasi dari cairan amnion yang terjadi pada saat bayi melalui jalan lahir atau
oleh kuman-kuman yang normal ada pada jalan lahir.
Infeksi bakterial secara transplantasi terutama listeria. (4)
Meningitis purulenta pada umumnya sebagai akibat komplikasi penyakit lain. Sebagian
besar infeksi susunan saraf pusat terjadi akibat penyerangan hematogen. Pada neonates, pathogen
didapat dari sekresi genital maternal yang terinfeksi. Pada bayi dan anak-anak, infeksi saluran
napas merupakan port d’entree utama bagi banyak penyebab meningitis purulenta (Bueno et
al.,2005). Inokulasi direct bacteria ke dalam CNS dapat diakibatkan karena trauma, skull defect,
congenital dura defect. Proses terjadinya diawali dengan perlekatan bakteri pada sel epitel
34
mukosa nasofaring dan melakukan kolonisasi, kemudian menembus rintangan mukosa dan
memperbanyak diri dalam aliran darah dan menimbulkan bakteremia. Selanjutnya, bakteri masuk
ke dalam cairan serebrospinal dan memperbanyak diri di dalamnya. Bakteri melepaskan
endotoksin dan sitokin-sitokin proinflamasi seperti TNF-a, IL-1, IL-6, IL-8, IL-10, MMP1,
MMP2, dan mediator-mediator lain sehingga menyebabkan respon inflamasi meningkat pada
piameter dan arachnoid sehingga terjadi kongesti dan produksi eksudat fibropurulen
(Gilroy,2000)
2.3.5 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis meningitis purulenta bergantung pada usia dari penderita. Demam,
kaku lehar, dan perubahan status mental ditemukan pada hamper 50% penderita, tanda kernig
sign positif dan brudzinki sign positif ditemukan hanya 5% pada pasien dewasa dengan
meningitis purulenta. Manifestasi klinis diatas lebih jarang didapatkan pada penderita meningitis
purulenta usia anak-anak. Tanda-tanda iritasi meningeal seperti kaku leher, tanda kernig dan
brudzinki pada anak-anak tidak dapat secara spesifik mengidentifikasi meningitis purulenta
(Fenichel,2005).
Secara garis besar manifestasi klinis meningitis purulenta dibagi menjadi 3 gejala besar
yakni :
1. Gejala infeksi akut
Anak menjadi lesu, mudah terangsang, panas muntah, anoreksia dan pada anak yang
besar mungkin didapatkan keluhan sakit kepala. Pada infeksi yang disebabkan oleh
meningokokus terdapat petekia dan herpes labialis (Gilroy,2000).
2. Gejala Tekanan intrakranial yang meninggi
Anak yang sering muntah, nyeri kepala (pada anak besar), moaning cry (pada neonatus)
yaitu tangis yang merintih. Kesadaran bayi/anakmenurun dari apatis sampai koma.
Kejang yang terjadi dapat bersifatumum, fokal atau. Ubun-ubun besar menonjol dan
tegang,terdapat gejala kelainan serebral lainnya seperti paralisis, strabismus,”Crack pot
sign” dan pernapasan Cheyne Stokes. Kadang-kadang padaanak besar terdapat hipertensi
dan ”Chocked disc” dari papila nervusoptikus (Gilroy,2000).
35
3. Gejala rangsangan meningeal
Terdapat kaku kuduk, malahan dapat terjadi regiditas umum. Tanda-tanda spesifik seperti
kernig, brudzinsky I dan II positif. Pada anak besar sebelum gejala di atas terjadi, sering
terdapat keluhan di daerah leher dan punggung. Bila terdapat gejala tersebut di atas,
selanjutnya dilakukan punksi lumbal untuk mendapatkan cairan serebrospinal
(Gilroy,2000).
Manifestasi klinis meningitis purulenta berdasarkan usia :
a. Neonatus : Gejala tidak khas, panas +, anak tampak malas, lemah, tidak mau minum,
muntah, dan kesadaran menurun. Ubun-ubun besar kadang tampak cembung, dan
pernafasan tidak teratur.
b. Anak-anak usia 2 bulan - 2 tahun : Gambaran klasik (-). Hanya panas, muntah, gelisah,
dan kejang berulang.
c. Anak umur > 2 tahun : panas menggigil, muntah, nyeri kepala, kejang, gangguan
kesadaran dan ditemukan tanda-tanda rangsang meningeal (Saharso,2008).
2.3.6 Pemeriksaan Penunjang
1. Pungsi Lumbal
Lakukan punksi lumbal pada setiap pasien dengan kecurigaan meningitis. Meskipun
hasilnya normal, observasi pasien dengan ketat sampai keadaannya kembali normal. Punksi
lumbal dapat diulang setelah 8 jam bila diperlukan. Umumnya cairan serebrospinal berwarna
opalesen sampai keruh, tetapi pada stadium dini dapat dijumpai cairan yang jernih. Reaksi
Nonne dan Pandy umumnya positif kuat. Jumlah sel umumnya ribuan per milimeter kubik
cairan yang sebagian besar terdiri dari sel polimorfonukleus. Pada stadium dini didapatkan
jumlah sela hanya ratusan per milimeter kubik dengan hitung jenis lebih banyak limfosit
daripada segmen. Oleh karena itu pada keadaan demikian, punksi lumbal perlu diulangi
keesokan harinya untuk menegakkan diagnosis yang pasti. Keadaan seperti ini juga ditemukan
pada stadium penyembuhan meningitis purulenta. Kadar protein dalam likuor meninggi.
Kadar gula menurun tetapi tidak serendah pada meningitis tuberkulosa. Kadar klorida kadang-
kadang merendah. Pengobatan antibiotik sebelumnya dapat mengqcaukan gambaran cairan
36
serebrospinal. Pewarnaan gram cairan serebrospinal berguna untuk menentukan terapi awal.
Kultur dan uji resistensi dilakukan untuk menentukan terapi yang tepat.
2. Pemeriksaan Darah
Dari pemeriksaan sediaan langsung di bawah mikroskop mungkin dapat ditemukan
kuman penyebab (jarang). Diferensiasi kuman yang dapat dipercaya hanya dapat ditentukan
secara pembiakan dan percobaan binatang. Tidak ditemukan kuman pada sediaan langsung
bukanlah indikasi kontra terhadap diagnosis. Pada pemeriksaan darah tepi ditemukan
leukositosis yang tinggi dengan pergeseran ke kiri. Umumnya terdapat anemia megaloblastik.
2.3.7 Diagnosis
Diagnosa dapat ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
neurologi, dan pemeriksaan penunjang seperti lumbal pungsi. Pasien pada umumnya datang
dengan keluhan adanya demam, kaku pada bagian leher, dan perubahan status mental, bahkan
tidak terkecuali pasien datang dengan kejang. Pada pemeriksaan mungkin didapatkan adamya
fokus infeksi yang telah ada, seperti adanya infeksi pada traktus respiratori atau lainnya. Pada
pemeriksaan fisik, mungkin didapati penurunan kesadaran dari pasien, adanya tanda-tanda
meningeal yang positif dengan suhu aksila yang cenderung tinggi.. Pemeriksaan penunjang yang
dapat dilakukan seperti lumbar pungsi akan menampakkan hasil yang menunjang diagnosa dari
meningitis bakterial itu sendiri. Bila dibutuhkan dapat dilakukan pemeriksaan imaging yang ada
untuk melihat adanya fokus-fokus infeksi ditempat tertentu.
2.3.8 Diganosis Banding
Gejala awal yang tidak khas menyebabkan pasien diduga menderita demam tifoid atau
sakit dengan penyebab panas yang lain . Diagnosis banding untuk meningitis purulenta juga
adalah meningitis tuberkulosa dan meningitis virus (Saharso,2008).
2.3.9 Komplikasi
Ventrikulitis, efusi subdural, gangguan cairan dan elektrolit, meningitis berulang, abses
otak (gejala neurologik fokal, leukositosis), paresis/paralisis, ataksia, tuli, hidrosefalus, retardasi
mental, epilepsi,syok septik, trombosis sinus vena (gangguan kesadaran) (Mansjoer,2000 ;
Krawinkel,2001).
Ventrikulitis
37
Infeksi pada system ventrikel primer atau sekunder penyebaran mikroorganisem dari ruang
subaraknoid karena pasang surut CSS atau migrasi kuman yang bergerak. Komplikasi sering
terjadi pada neonates, pernah dilaporkan sampai 92% pada bayi dengan meningitis purulenta.
Apabila ventrikulitis disertai obstruksi aquaductus Sylvii, maka infeksinya menjadi stempat
(terlokalisasi) seperti abses, dengan peningkatan tekanan intracranial yang cepat dan dapat
menyebabkan herniasi. Pada ventrikulitis perlu pengobatan dengan antibiotic parenteral secara
massif, irigasi dan drainase secara periodic.
Efusi Subdural
Kemungkinan adanya efusi subdural perlu dipikirkan apabila demam tetap ada setelah 72 jam
pemberian antibiotic dan pengobatan suportif yang adekuat, ubun-ubun besar tetap memnonjol,
gambaran klinis meningitis tidak membaik, kejang fokal atau umum, timbul kelainan neurologis
fokal atau muntah-muntah. Diagnosis ditegakkan dengan transiluminasi kepala atau pencitraan.
Transiluminasi kepala dinyatakan positif bila daerah translusenasimetri, pada bayi berumur
kurang dari 6 bulan daerah trasnlusen melebihi 3cm, dan padabayi berumur 6 bulan atau lebih
daerah trasnslusen melebihi 2 cm. selanjutnya efusi subdural mempunyai 4 kemungkinan: a.
kering sendiri, bila jumlahnya sedikit; b.menetap ataubertambah banyak; c. membentuk
membrane yang berasal dari fibrin; d. menjadi empiema. Pengobatan efusi subdural masih
controversial, tetapi biasanya dilakukan tap subdural apabila terdapat penenkanan jaringan otak,
demam menetap, kesadaran menurun tidak membaik, peningkatan tekanan intracranial menetap,
dan empiema. Dilakukan tap subdural tiap 2 hari (selang sehari) sampai kering. Kalau dalam 2
minggu tidak kering dikonsulkan ke Bagian Bedah Saraf untuk dikeringkan. Kalau lebih dari 2
minggu tidak kering akan terbentuk membrane yang berasal dari fibrin dan dapat menghalangi
pertumbuhan otak. Membrane akan membentuk neovaskular yang ujungnya menempel di
korteks serebri dan dapat merupakan focus iritatif akan timbulnya epilepsy di kemudian hari.
Pengeluar cairan satu kali tap maksimal 30ml pada kedua sisi. Cairan yang keluar pada
permulaan berwarna xantokrom, tapi setelah beberapa kali menjadi kuning muda.
Gangguan cairan dan elektrolit
Pada pasien meningitis bacterial kadang disertai dengan hipervolemia (edema), oliguria, gelisah,
iritabel, dan kejang. Hal ini disebabkan oleh karena SIADH, sekresi ADH berlebihan. Diagnosis
38
ditegakkan dengan meninmbang ulang pasien, memeriksa elektrolit serum, mengukur volume
dan osmolaritas urin dan mengukur berat jenis urin. Pengobatan dengan restriksi pemberian
cairan, pemberian diuretic (furosemid). Pada pasien berat dapat diberikan sedikit natrium.
Tuli
Kira-kira 5-30% pasien meningitis bacterial mengalami komplikasi tuli terutama apabila
disebabkan oleh S.penumoniae. Tuli konduktif disebabkan oleh karena infeksi telinga tengah
yang menyertai meningitis. Yang terbanyak tuli sensorineural. Tuli sensorineural lebih sering
disebabkan oleh karena sepsis koklear daripada kelainan N.VIII. Gangguan pendengaran dapat
dideteksi dalam waktu 48 jam sakit dengan BAEP. Biasanya penyembuhan terjadi pada akhir
minggu ke-2, tetapi yang berat menetap. Pemberian deksametason dapat mengurangi komplikasi
gangguan pendengaran apabila diberikan sebelum pemberian antibiotic dengan dosis
0,6mg/kgBB/hari intravena dibagi 4 dosis selama 4 hari.
2.3.10 Penatalaksanaan
Penanganan penderita meningitis meliputi :
1. Farmakologis :
Menurut Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak tahun 2004, terapi empirik untukneonatus dengan meningitis bakterial sebagai berikut (Pusponegoro,2004):· Umur 0-7 hari
1. Ampisilin 150 mg/kgBB/hari setiap 8 jam IV + Sefotaksim 100 mg/kgBB/hari setiap 12 jam IV atau
2. Seftriakson 50 mg/kgBB/hari setiap 24 jam IV atau3. Ampisilin 150 mg/kgBB/hari setiap 8 jam IV + Gentamisin 5 mg/kgBB/hari setiap 12
ajm IV.
· Umur >7 hari1. Ampisilin 200 mg/kgBB/hari setiap 6 jam IV + Gentamisin 7,5 mg/kgBB/hari2. setiap 12 jam IV atau3. Ampisilin 200 mg/kgBB/hari setiap 8 jam IV atau4. Seftriakson 75 mg/kgBB/hari setiap 24 jam IV.
Menurut Pedoman Pelayanan Medis IDAI tahun 2010, terapi empirik pada bayi dan anak dengan meningitis bakterial sebagai berikut :
· Usia 1 – 3 bulan :
39
1. Ampisilin 200-400 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 4 dosis + Sefotaksim 200-300 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 4 dosis, atau
2. Seftriakson 100 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 2 dosis
· Usia > 3 bulan :1. Sefotaksim 200-300 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 3-4 dosis, atau2. Seftriakson 100 mg/kgBB/hari IV dibagi 2 dosis, atau3. Ampisilin 200-400 mg/kgBB/hari IV dibagi dalam 4 dosis + Kloramfenikol 100
mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis
Jika sudah terdapat hasil kultur, pemberian antibiotik disesuaikan dnegan hasil kultur dan resistensi.
Durasi pemberian antibiotik menurut IDSA 2004 guidelines for management of bacterial meningitis adalah sebagai berikut :· N meningitidis - 7 hari· H influenzae - 7 hari· S pneumoniae - 10-14 hari· S agalactiae - 14-21 hari· Bacil aerob Gram negatif - 21 hari atau or 2 minggu· L monocytogenes - 21 hari atau lebih
Pada neonatus pengobatan selama 21 hari, pada bayi dan anak 10 – 14 hari (Saharso,2003 ;
Behrmann,2003)
2. Pengobatan Simptomatis :
Menghentikan kejang :
Diazepam 0,2-0,5mg/KgBB/dosis IV atau 0,4-0,6 mg/KgBB/dosis rectal suppositoria,
kemudian dilanjutkan dengan :
Phenitoin 5mg/kgBB/hari IV/PO dibagi dalam 3 dosis atau
Phenobarbital 5-7mg/KgBB/hari dibagi dalam 3 dosis
Menurunkan Panas :
o Antipiretik : Paracetamol 10mg/KgBB/dosis PO atau Ibuprofen 5-10mg/KgBB/dosis PO
diberikan 3-4x sehari.
o Kompres air hangat atau biasa
3. Pengobatan Supportif :
Cairan intravena, koreksi gangguan asam basa dan elektrolit, oksigenasi
(Saharso,2003)
40
Tabel : Terapi Antibiotik untuk meningitis purulenta (Krawinkel,2001)
2.3.11 Prognosis
Berat ringannya penyakik.t ini tergantung pada umur (makin muda makin berat), jenis
kuman, berat ringannya infeksi, lama sakit sebelum diobati, kepekaan kuman terhadap antibiotik
(sering jenis kuman tidak teridentifikasi) dan komplikasi yang timbul. Prognosis buruk pada usia
lebih muda, infeksi berat yang disertai DIC (Disseminated Intravascular Coagulation)
(Mansjoer,2000)
2.4. Ensefalitis
2.4.1Definisi
Ensefalitis adalah suatu peradangan pada parenkim otak yang dapat disebabkan oleh
berbagai macam mikroorganisme (virus, bakteri, jamur dan protozoa) (Tunkel et al.,2008 ;
Solomon et al.,2011).
Gejala ensefalitis yang muncul dapat berupa disfungsi neurologis yang bersifat fokal atau
menyeluruh. Terkadang peradangan ensefalitis tidak hanya terjadi pada parenkim otak saja,
tetapi juga pada meningen. Keadaan ini disebut meningoensefalitis. Ensefalitis dapat dibedakan
dengan meningoensefalitis bila ditemukan tanda dan gejala inflamasi meningen dari pemeriksaan
fisik.
41
Ensefalitis juga harus dibedakan dari cerebritis yang merupakan suatu kondisi pembetukan abses
akibat infeksi bakteri yang bersifat destruktif pada jaringan otak. Ensefalitis bersifat akut dan
lebih sering disebabkan karena infeksi virus. Kerusakan parenkim otak pada ensefalitis bervariasi
dari ringan sampai dalam.
Ensefalitis dapat disebabkan oleh infeksi bakteri, jamur, virus dan kelainan autoimun. Insiden
ensefalitis pada populasi di Amerika Serikat adalah 1:200.000 diakibatkan oleh infeksi virus
herpes simpleks. Pada kasus ensefalitis yang bersifat sub akut dan kronik, atau pada penderita
dengan imunodefisiensi, penyebab paling sering adalah infeksi toksoplasmosis.
Sebagian besar kasus tidak dapat ditentukan penyebabnya. Angka kematian masih tinggi,
berkisar 35%-50%, dengan gejala sisa pada pasien yang hidup cukup tinggi (20%-40%).
Penyebab tersering dan terpenting adalah virus. Berbagai macam virus dapat menimbulkan
ensefalitis dengan gejala yang kurang lebih sama dan khas, akan tetapi hanya ensefalitis herpeks
simpleks dan varisela yang dapat diobati. Ensefalitis terjadi dalam dua bentuk, yaitu bentuk
primer dan bentuk sekunder. Ensefalitis primer melibatkan infeksi virus langsung
dari otak dan sumsum tulang belakang. Sedangkan ensefalitis sekunder, infeksi virus pertama
terjadi di tempat lain ditubuh dan kemudian ke otak (Tunkel et al.,2005).
2.4.2 Epidemiology
Insiden ensefalitis tergantung pada virus tertentu yang memiliki prevalensi tinggi
penyebab ensefalitis. Studi prospektif yang dilakukan Koskiniemi et al (2001) menemukan
bahwa insiden ensefalitis secara keseluruhan adalah 10,5 di 100 000 anak per tahun, dengan
angka tertinggi pada anak-anak muda dari usia 1 tahun (18,4 dalam 100.000 anak-tahun). Para
agen penyebab yang paling sering diidentifikasi adalah VZV, virus pernafasan, enterovirus,
adenovirus, EBV, HSV, rotavirus dan HHV-6 (Koskiniemi et al.,2001). Untuk orang dewasa dan
anak-anak, herpes simplex virus (HSV) merupakan penyebab terbanyak ensefalitis dengan
kejadian dari 1 dalam 250 000-500 000, tetapi sekitar 10% disebabkan HSV-2 yang umumnya
menyebabkan ensefalitis pada pasien dewasa dengan immunocompromised dan neonatus, dimana
(Koskiniemi et al.,2001; Whitley,2005;Solomon,2011).
Individu pada usia muda seperti bayi baru lahir memiliki resiko yang tinggi pada infeksi HSE.
HSE neonatal merupakan manifestasi infeksi diseminata tipe 1 dan 2. Sedangkan pada bayi, anak
dan dewasa dapat mengalami infeksi CNS.
42
Etiologi
Penyebab paling sering dari ensefalitis adalah virus. Virus seperti HSV tipe 1 dan 2, sering
muncul pada neonates dibanding dewasa. Selain itu ensefalitis juga disebabkan karena penularan
virus dari penderita dengan infeksi VZV, EBV, virus measles (SSPE dan PIE), virus mumps dan
virus rubella. CDC telah membuktikan adanya penularan MNV akibat transplantasi organ dan
tranfusi darah.
Vector yang berperan dalam penyebaran virus adalah nyamuk dan Tick, yang merupakan hewan
yang menginokulasi arbovirus, dan mamalia berdarah hangat, yang menjadi vector rabies dan
lymphocytic choriomeningitis (LCM).
Patogen bacterial, seperti spesies Mycoplasma dan penyebab penyakit rickettsial atau catscracth
disease, jarang menyebabkan inflamasi parenkim otak.
Selain itu, parasit dan jamur penyebab ensefalitis seperti toxoplasma gondii sering terjadi pada
penderita dengan imunodefisiensi.
Penyebab noninfeksi yang lain adalah karena terjadinya proses demyelinating akut diseminata
ensefalitis.
Ensefalitis arboviral : west nile encephalitis, st. Louis encephalitis (Flaviviridae), California
encephalitis (Bunyviridae), western equine encephalitis, eastern equine encephalitis (Togavirus),
Colorado tick fever (Reoviridae), Venezuelan equine encephalitis (alphavirus, togaviridae).
Genus Virus dan penyakitnya Vector Distribusi geografis
Flaviviru
s
Japanesse encephalitis Culex tritaeniorhynchus Asia/jepang sampai
Sri Lanka
Murray valley
encephalitis
Culex annulisrostris Australia timur
Rocio Psorophora dan aedes Sao Paula, Brazil
West nile Culex Eropa – Australia
Tick borne encephalitis Ixodes ricinus, ixodes
persulcatus
Eropa, Rusia
Togaviru
s
Venezuellan equine
encephalitis
Culex dll Amerika selatan
bagian utara
43
2.4.3Patogenesis
Virus masuk ke tubuh pasien melalui beberapa jalan. Beberapa virus penyebab ensefalitis
masuk ke tubuh penderita karena tertular dari luar. Tetapi pada kasus HSE dapat disebabkan
karean reaktivasi virus herpes simpleks yang berdormansi di ganglia trigeminal. Penularan virus
arbovirus dan rabies disebabkan karena paparan sekret serangga seperti nyamuk yang membawa
arbovirus. Pada penderita inmunodefisiensi infeksi virus varisela zoster dan cytomegalovirus,
dapat mengakibatkan gejala ensefalitis.
Virus bereplikasi diluar CNS dan masuk ke CNS melalui penyebaran hematogen atau melalui
jalur saraf (rabies, HSV, VZV). Etiologi dari infeksi virus lambat seperti yang terjadi pada
measles-related subavute sclerosing panencephalitis dan progressive multifocal
leukoencephalopathy (PML), masih belum diketahui.
Setelah menembus Blood Brain Barrier, virus memasuki sel saraf, dan menyebabkan kerusakan
fusngi sel, kongesti perivaskuler, perdarahan dan respon inflamasi yang luas yang menyebabkan
perubahan batas regio white matter dan gray matter.
Tropisme regional berhubungan dengan beberapa virus karena teradapat sel yang memiliki
reseptor spesifik pada membrannya, sehingga ditemukan focus patologi pada area tersebut.
Contohnya pada infeksi HSV yang memiliki predileksi pada lobus temporal inferior dan medial.
Berbeda dengan virus yang menginfeksi gray matter secara langsung, ensefalitis akut diseminata
dan postinfectious encephalomyelitis (PIE) sering disebabkan oleh infeksi measles dan
berhubungan dengan Epstein-barr virus. Infeksi CMV, merupkana proses yang dimediasi sistem
imun, menyebabkan demyelinasi multifocal pada area perivenous white matter.
Tempat permulaan masuknya virus dapat melalui kulit, saluran pernapasan, dan saluran
pencernaan. Setelah masuk ke dalam tubuh virus tersebut akan menyebar ke seluruh tubuh
dengan beberapa cara :
Setempat : virus hanya terbatas menginfeksi selaput lendir permukaan atau organ
tertentu.
Penyebaran hematogen primer : virus masuk ke dalam darah kemudian menyebar ke
organ dan berkembang biak di organ-organ tersebut.
Penyebaran hematogen sekunder : virus berkembang biak di daerah pertama kali
masuk (permukaan selaput lendir) kemudian menyebar ke organ lain.
44
Penyebaran melalui saraf : virus berkembang biak dipermukaan selaput lendir dan
menyebar melalui sistem saraf.
Pada keadaan permulaan akan timbul demam pada pasien, tetapi belum terdapat kelainan
neurologis. Virus akan terus berkembang biak, kemudian menyerang susunan saraf pusat dan
akhirnya diikuti oleh kelainan neurologis. Kelainan neurologis pada ensefalitis disebabkan oleh :
Invasi dan pengerusakan langsung pada jaringan otak oleh virus yang sedang
berkembang biak.
Reaksi jaringan saraf pasien terhadap antigen virus yang akan berakibat demielinisasi,
kerusakan vaskular dan para vascular. Sedangkan virusnya sendiri sudah tidak ada
dalam jaringan otak.
Reaksi aktivitas virus neurotropik yang bersifat laten (Solomon et al.,2005)
2.4.4Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis ensefalitis sangat bervariasi dari yang ringan sampai yang berat.
Manifestasi ensefalitis biasanya bersifat akut tetapi dapat juga perlahan-lahan.
Masa prodormal berlangsung antara 1-4 hari yang ditandai dengan demam, sakit kepala,
pusing, muntah, nyeri tenggorokan, malaise, nyeri pada ekstremitas dan pucat. Kemudian diikuti
oleh tanda ensefalitis yang berat ringannya tergantung dari distribusi dan luasnya lesi pada
neuron. Gejala-gejala tersebut berupa pasien gelisah, iritabel, screaming attack, perubahan dalam
perilaku, gangguan kesadaran dan kejang. Kadang-kadang dapat juga disertai tanda neurologis
fokal berupa afasia, hemiparesis, hemiplegia, ataksia, dan paralisis saraf otak. Tanda rangsang
meningeal dapat terjadi bila peradangan mencapai meningen. Ruam kulit kadang didapatkan
pada beberapa tipe ensefalitis misalnya pada enterovirus, varisela dan zoster (Tunkel et al.,2005).
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan :
- Ruam - exanthems (banyak virus), misalnya tangan, kaki dan mulut, penyakit (EV71),
purpura ruam (meningitis meningokokus);
- Meningisme atau fotofobia : dapat terlihat dengan memeriksa kekakuan leher dan Tanda
Kernig
- Tanda-tanda tekanan intrakranial (RICP) : peningkatan tekanan darah, bradikardia,
perubahan pola pernapasan, postur yang abnormal (mengulit atau decerebrate),
papilloedema
45
- Tanda-tanda neurologis fokal : hemiplegia, neuropati kranial, sikap yang abnormal
- deviasi mata tonik, nistagmus, gerakan klonik halus wajah atau jari - halus bermotor
Status epileptikus
- Neuropati kranial yang lebih rendah : rhomboencephalitis / basal meningoencephalitis
(enterovirus atau listeria, tuberkulosis) (Tunkel et al.,2005).
2.4.5Diagnosis
Di negara-negara berkembang diagnosis spesifik untuk mengetahui penyebab ensefalitis
tidak mudah oleh karena terbatasnya fasilitas yang tersedia. Di Amerika Serikat sampai 1978
lebih dari 50% kasus ensefalitis tidak diketahui penyebabnya. Untuk memastikan diagnosis
ensefalitis didasarkan atas gambaran klinis, pemeriksaan virologis dan patologi anantomi.
a. Anamnesis
Berdasarkan anamnesa penyebab ensefalitis dapat diketahui berdasarkan riwayat
gigitan nyamuk atau tick, dan mamalia yang berkaitan dengan infeksi rabies.
Gejala prodromal dapat dialami selama beberapa hari, yaitu demam, nyeri kepala,
mual, muntah, myalgia dan kelemahan. Gejala prodromal yang spesifik disebabkan
oleh infeksi virus varicella-zoster, Epstein-barr, cytomegalovirus, measles, dan
mumps adalah ruam kemerahan, limfadenopati, hepatosplenomegali dan pembesaran
parotis. Keluhan dysuria dan pyuria dapat jadi pada ensefalitis st. Louis. Kelemahan
yang berat sering terjadi pada west nile encephalitis (WNE).
Gejala ensefalitis akibat infeksi herpes simplekspada neonates, terdiri dari lesi di
kulit, mata dan mulut. Penurunan kesadaran, iritabilits, kejang, dan penurunan nafsu
makan.
Demam tinggi mendadak, sering ditemukan hiperpireksia.
Penurunan kesadaran dengan cepat. Anak agak besar sering mengeluh nyeri kepala,
ensefalopati, kejang, dan kesadaran menurun.
Kejang bersifat umum atau fokal, dapat berupa status konvulsivus. Dapat ditemukan
sejak awal ataupun kemudian dalam perjalanan penyakitnya.
Paralisa flaccid
b. Pemeriksaan fisik
46
Tanda dan gejala akibat ensefalitis dapat bersifat fokal atau menyeluruh. Beberapa
gejala klinis yang dapat ditemukan adalah:
Seringkali ditemukan hiperpireksia, kesadaran menurun sampai koma dan kejang.
Kejang dapat berupa status konvulsivus.
Ditemukan gejala peningkatan tekanan intracranial.
Sering ditemukan perubahan kepribadian, gangguan konsentrasi.
Gangguan motoric seperti pada st. Louis encephalitis, eastern equine encephalitis
(EEE), western equine encephalitis (WEE).
Ataxia
Disfagia, terutama karena infeksi rabies.
Disfungsi sensorimotor unilateral (PIE).
Pada bayi, frontanela menonjol.
Gejala serebral lain dapat beraneka ragam, seperti kelumpuhan tipe upper motor
neuron (spastic, hiperefleks, reflex patologis, dan klonus).
Untuk penegakkan diagnosis ensefalitis akibat infeksi virus, perlu dilakukan evaluasi
lain yang mendukung. Contohnya, pada infeksi HSV pada neonates, selain gejala
ensefalitis, sering ditemukan lesi herpetic di kulit, keratokonjungtivits, infeksi di
orofaring terutama di mukosa bukal dan lidah
Infeksi toksoplasma sering terjadi pada penderita imunodefisiensi.
c. Pemeriksaan penunjang
Ensefalitis dapat disebabkan karena infeksi bakteri, jamur, gangguan autoimun dan
virus. Karena itu, pemeriksaan darah lengkap dan urnin, perlu dilakukan untuk
mengidentifikasi penyebab ensefalitis.
Darah perifer lengkap, ensefalitis akibat virus sering menunjukkan gambaran
leukositosis ringan atau pleocytosis. Pemeriksaan gula darah dan elektrolit dilakukan
jika ada indikasi.
Serum elektrolit, Blood Urea Nitrogen, dapat dilakukan untuk emnilai status
dehidrasi, SIADH sering terjadi pada ensefalitis st. Louis. Faal hati dievaluasi untuk
menentukan regimen terapi antimikroba.
Pemeriksaan Radiologi: CT scan, MRI dan EEG.
47
o Pemeriksaan radiologi perlu dilakukan sebelum pungsi lumbal, terutama bila
ditemukan gejala peningkatan tekanan intracranial, hidrosefalus obstruktif, atau
efek massa akibat infeksi jaringan otak.
o Berdasarkan pemeriksaan MRI, ensefalitis yang menunjukkan adanya
peningkatan intenstas pada gambaran T2 di lobus temporal dan inferior frontal
gray matter adalah tanda dari infeksi HSE. Pada CTscan, ditemukan edema dan
perdarahan petekial.
o Gambaran MRI ensefalitis EEE dan tick-borne, menunjukkan peningkatan
insentras pada basal ganglia dan thalamus.
o Gambaran CT scan dengan kontras pada infeksi toksoplasmosis menunjukkan lesi
penyangatan berbentuk cincin dan nodular. Gambaran ini mungkin tidak tampak
bila dilakukan CTscan tanpa kontras.
o Gambaran EEG pada HES, menunjukkan karakteristik PLEDs, paroxysmal lateral
epileptiform discharge, bahkan sebelum terjadi perubahan gambaran radiologi.
Tetapi gambaran PLEDs tidak spesifik pada HES.
Pungsi lumbal : pemeriksaan cairan serebrospinal (CSS) bias normal atau
menunjukkan abnormalitas ringan sampai sedang :
- peningkatan jumplah sel 50-200/mm3.
- hitung jenis didominasi sel limfosit
- protein meningkat tapi tidak melebihi 200mg/dl
- glukosa normal
- pencitraan (computed tomography/CT scan atau magnetic resonance
imaging/MRI kepala) menunjukkan gambaan edema otak baik umum atau fokal
- Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) merupakan pemeriksaan penunjang yang
sangat penting pada beberapa pasien, umumnya didapatkan gambaran
perlambatan atau gelombang epileptiform baik umum maupun fokal
- Dengan asumsi bahwa biopsi otak tidak meningkatkan morbiditas dan mortalitas,
apabila didapatkan lesi fokal pada pemeriksaan EEG atau CT scan, pada daerah
tersebut dapat dilakukan biopsi, tetapi apabila pada pemeriksaan CT scan dan
EEG tidak didapatkan lesi fokal, biopsi tetap dilakukan dengan melihat tanda
klinis fokal. Apabila tanda klinis fokal tidak didapatkan maka biopsy dapat
48
dilakukan pada daerah lobus temporalis yang biasanya menjadi tempat predileksi
virus Herpes Simplex, dimana sering ditemukan HSC cowdry tipe A inclusion
dengan nekrosis perdarahan. Pada infeksi rabies dapat ditemukan Negri Bodies
pada hippocampus dan serebellum.
- Pemeriksaan Tzanck smear bila dicurigai adanya infeksi virus herpes simpleks.
- Pewarnaan gram dilakukan untuk menyingkirkan diagnosis meningitis bakteri.
- Kultur LCS atau kultur darah.
- Uji serologi dan PCR pada infeksi arbovirus, ensefalitis st. Louis, japanesse
encephalitis, dan WNE, toksoplasmosis dan EBV.
- Adanya data epidemiologi dapat membantu menentukan uji serologis yang perlu
dilakukan untuk menegakkan diagnosis.
2.4.6Diagnosis banding
Kelainan-kelainan yang merupakan diagnosis banding adalah meningitis TBC, sindrom
Reye, abses otak, tumor otak dan ensefalopati (Suharso,2008).
Penyakit catscratch, hypoglycemia, leptospirosis pada manusia, status epileptikus, perdarahan
subarachnoid akibat trauma kepala, systemic lupus erythematosus,
2.4.7 Penatalaksanaan
a. Medikamentosa
Penatalaksanaan penderita dengan ensefalitis terdiri dari terapi suportif seperti
manajemen peningkatan tekanan intracranial dan hidrosefalus, terapi komplikasi sistemik
dan terapi empiric.
Semua pasien yang dicurigai sebagai ensefalitis harus dirawat di rumah sakit.
Penanganan ensefalitis biasanya tidak spesifik, tujuan dari penanganan tersebut adalah
mempertahankan fungsi organ, yang caranya hampir sama dengan perawatan pasien
koma yaitu mengusahakan jalan napas tetap terbuka, pemberian makanan secara enteral
atau parenteral, menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit, koreksi terhadap gangguan
asam basa darah serta terapi suportif yang lain berupa tatalaksana pada peningkatan
tekanan intracranial dan kejang (Tunkel et al.,2005)
49
Manajemen peningkatan tekanan intracranial dan hidrosefalus, teradi dari
pemberian antipiretik, analgesic, control batuk, pencegahan kejang dan hipotensi
sistemik. Komplikasi sistemik yang dapat terjadi adlaah syok, hipoksemia, hiponatremia
dan eksaserbasi penyakit kronik lainnya.
Pemberian pengobatan dapat berupa antipiretik, cairan intravena, obat anti
epilepsy, kadang diberikan kortikosteroid. Bila kejang dapat diberikan diazepam 0,3-0,5
mg/kgBB IV dilanjutkan dengan fenobarbital. Paracetamol 10 mg/kgBB dan kompres
dingin dapat diberikan apabila pasien panas. Selain itu, yang dapat dilakukan adalah
elevasi kepala dan pemantauan status neurologis. Pemberian diuresis, furosemide 20 mg
IV, dapat dilakukan untuk menjaga volume tidak meningkat. Deksamethason 10mg IV
setiap 6 jam untuk mengurangi edema disekitar lesi. Hiperventilasi dapat menyebabkan
penurunan cerebral blood flow, sehingga dapat digunakan untuk menurunkan tekanan
intracranial pada kondisi emergensi. Apabila didapatkan tanda kenaikan intrakranial
dapat diberi deksametason 1 mg/kgBB/kali dilanjutkan dengan pemberian 0,25-0,5
mg/kgBB/hari. Pemberian deksametason tidak diindikasikan pada pasien tanpa tekanan
intracranial yang meningkat atau keadaan umum telah stabil. Mannitol juga dapat
diberikan dengan dosis 1,5-2g/kgBB IV dalam periode 8-12 jam (Pusponegoro, 2002).
Perawatan yang baik berupa drainase postural dan aspirasi mekanis yang periodic
pada pasien ensefalitis yang mengalami gangguan menelan, akumulasi lendir pada
tenggorokan serta adanya paralisis pita suara atau otot-otot pernapasan. Pada pasien
herpes ensefalitis dapat diberikan Adenosine Arabinose 15 mg/kgBB/hari IV diberikan
selama 10 hari (Pusponegoro, 2002).
Pada anak dengan neuritis optika, mielitis, vaskulitis inflamasi, dan acute
disseminated encephalomyelitis (ADEM) dapat diberikan kortikosteroid selama 2
minggu. Diberikan dosis tinggi metilprednisolon 15 mg/kg/hari dibagi setiap 6 jam
selama 3-5 hari dan dilanjutkan prednisone oral 1-2 mg/kg/hari selama 7-10 hari (Tunkel
et al.,2005).
Pengobatan empiric pada ensefalitis berdasarkan etiologinya. Pemberian acyclovir
10mg/kg setiap 8 jam selama 14-21 hari dilakukan untuk terapi ensefalitis akibat virus
herpes simpleks dan varicella-zoster pada anak dan dewasa. Pada neonates, pemberian
acyclovir 10-15mg/kg IV setiap 8 jam.
50
Gejala sisa yang sering ditemukan adalah gangguan penglihatan, palsi serebral,
epilepsi, retardasi mental maupun gangguagn perilaku. Pasca rawat pasien memerlukan
pemantauan tumbuh-kembang, jika terdapat gejala sisa dilakukan konsultasi ke
departemen terkait sesuai indikasi (Tunkel et al.,2005)
2.4.8Komplikasi
Komplikasi yang dapat disebabkan karena ensefalitis adalah kejang, syndrome of
inappropriate secretion of antidiuretic hormone (SIADH), peningkatan tekanan intracranial, dan
koma. Kesadaran pasien sewaktu keluar dari rumah sakit bukan merupakan gambaran penyakit
secara keseluruhan karena gejala sisa kadang-kadang baru timbul setelah pasien pulang.
Beberapa kelainan yang mungkin dapat dijumpai antara lain retardasi mental, iritabel, emosi
tidak stabil, sulit tidur, halusinasi, enuresis, dan lainnya. Adanya gangguan motorik dan epilepsi
tidak jarang didapatkan pada pasien (Tunkel et al.,2005)
51
b. Pemantauan pasca rawat
Skema dalam Management Viral Encephalitis (Solomon et al.,2012).
Daftar Pustaka
Bahtera, T., (2006), Pengelolaan Kejang Demam, Neurologi Anak, FK UNDIP, Jawa Tengah.
Barrett K, Barman S, Boitano S, Brooks H. Ganong’s Review of Medical Physiology. Edisi ke-23. Amerika Serikat: The McGraw-Hill Companies, Inc.; 2010.
52
Baumann R. Febrile Seizures. Online. http://emedicine.medscape.com. Diakses pada tanggal 18Juli 2013 pukul 17.00 WIB.
Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan RSUPN Dr. Cipto Mangunkusomo. Pediatric Neurology and Neuroemergency in Daily Practice. .Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2006.
Farrell Kevin, Goldman R. The Management of Febrile Seizures. British Columbia Medical Journal 2011; 53(6): 268-273.
Fuadi, F., (2010), Faktor Risiko Bangkitan Kejang Demam pada Anak,(Tesis), Universitas Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah.
Fenichel GM.2005. Clinical Pediatric Neurology 5th ed. Philadelphia : Elsevier saunders.
Garna, et.al. 2005. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak. Bandung: Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNPAD.
GilroyJ.2000. Basic Neurology 3rd edition. USA : McGraw-Hill.
Howes et al. 19 Maret 2013. Encephalitis. http://emedicine.medscape.com/article/791896-overview. diakses pada tanggal 28 Juli 2013 pukul 17.00.
Jones, T. and Jacobsen, S.J. (2007) Childhood febrile seizures: overview and implications. International Journal of Medical Sciences4(2), 110-114.
Koskiniemi et al. Clinical Report – Infection of the Central Nervous System of Suspected Viral Origin: A Collaborative Study from Finland. Journal of Neurovirologi, 7:400-4008, 2001.
Krawinkel,M.2001. Praktik kedokteran di Negara Berkembang. Edisi I. Jakarta : Widya Medika.
Kundu G, Rabin F, Nandi E, Sheikh N, Akhter S. Etiology and Risk Factors of Febrile Seizure – An Update. Bangladesh Journal Child Health 2010; 34(3): 103-112.
Kneen et al. Management of Suspected Viral Encephalitis in Adult – Association of British Neurologist and British Infection Association National Guidelines. J. infect. 2012 Apr;64(4):347-73.
Kusuma, D., Yuana I., (2010), Korelasi antara Kadar Seng Serum dengan Bangkitan Kejang Demam, (Tesis), Magister Ilmu Biomedik dan Program Pendidikan Dokter Spesialis 1, Ilmu Kesehatan Anak, Universitas Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah.
Lumbantobing S. Kejang Demam. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007.
53
Mangunatmadja, I., Widodo, D.P., (2011), Simposium dan Workshop Tata Laksana Terkini Kejang Demam dan Epilepsi pada Anak, Ikatan Dokter Anak Indonesia Cabang Kalimantan Barat.
Mansjoer Arif.2000. Kapita SelektaKedokteran Jilid 2. Jakarta : EGC.
Ministry of Health Service, (2010), Guidelines and Protocols : Febrile seizures, British Columbia Medical Assosiation.
Miller FJW. 1982. Tuberculosis in children: Tuberculosis of the central nervous system. 1st ed. Edinburgh: Churchil Livingstone.
Muller ML, dkk. Pediatric Bacterial Meningitis.http://emedicine.medscape.com/article/061497-overview. Diakses tanggal 24 Juli 2013.
Murray et al. Risk Factor for Encephalitis and Death from West Nile Virus Infection. Epidemiol. Infect. 2006. 134;1325-1332.
Ojha A, Aryal U. Leucocytosis in Febrile Seizure. Journal of Nepal Pediatric Society 2011; 31(3): 188-191.
Pudjiadi AH,dkk.2010. Ed. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jilid1. Jakarta : Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Pusponegoro HD, dkk. 2004. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Edisi ke-1. Jakarta: Badan Penerbit IDAI : 200 – 208.
Pusponegoro, H.D., Widodo, D.P., Ismael, S., (2006), Konsensus Penatalaksanaan Kejang Demam, Unit Kerja Koordinasi Neurologi, Ikatan Dokter Anak Indonesia, Jakarta.
Ramachandran TS. Tuberculous Meningitis. Last Updated 4 December 2008. Availablefrom http://emedicine.medscape.com/article/1166190-overview.
Rahajoe N, Basir D, dkk. 2005. Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak, UnitKerja Pulmonologi PP IDAI, Jakarta.
Rudolph C, Rudolph A, Lister G, First L, Gershson A. Rudolph’s Pediatrics.Edisi ke-22. Amerika Serikat: The McGraw-Hill Companies, Inc.; 2011.
Saharso D, dkk.2003.Infeksi Susunan Saraf Pusat. Dalam : Soetomenggolo TS, Ismael S, penyunting. Buku Ajar Neurologi Anak. Jakarta : BP IDAI.
Saharso D, dkk. 1999. Infeksi Susunan Saraf Pusat. Dalam : Soetomenggolo TS, Ismael S, penyunting. Buku Ajar Neurologi Anak. Jakarta: BP IDAI.
Scheffer, I.E., Sadleir, L.G., (2007), Febrile Seizures, BMJ;334;307-311.
54
Soetomenggolo, T.S., (1998), Kejang Demam dalam Buku Ajar Neurologi,IDAI, Jakarta.
Srinivasan, J., Wallace, K.A., Scheffer, I.E., (2005), Febrile Seizures, Australian Family Physician, Vol. 34, No. 12: 1021-1025.
Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI.1985. Ilmu Kesehatan Anak. Jilid 2. Jakarta:Bagian Kesehatan Anak FKUI.
Steering committee on quality improvement and management, subcommittee on febrile seizures. Febrile Seizures: Clinical Practice Guideline for the Long-term Management of the Child with Simple Febrile Seizure. Pediatrics 2008; 121: 1281-1286.
Subcommitee on febrile seizures. Febrile Seizures: Guideline for the Neurodiagnostic Evaluation of the Child with a Simple Febrile Seizure. Pediatrics 2011; 127: 389-394.
Suharso, Darto. 2008. Pedoman Diagnosis dan Terapi Bag/SMF Ilmu Kesehatan Anak. Rumah Sakit Umum Dokter Soetomo Surabaya.
Tan TQ. Meningitis. 2003. In : Perkin RM, Swift JD, Newton DA, penyunting. PediatricHospital Medicine, textbook of inpatient management. Philadelphia : LippincottWilliams & Wilkins.
Tunkel et al. The Management of Encephalitis Clinical Practice Guideline by the Infectious Disease Society of America. Clinical Infectious Diseases 2008;47:303-27.
Unit Kerja Koordinasi Neurologi Ikatan Dokter Indonesia 2006. Konsensus Penatalaksanaan Kejang Demam. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI); 2006.
Whitley RJ, et al. Herpes Simplex Encephalitis: Children and Adolescents. Pediatric Infection Disease 2005 Jan;16(1):17-23.
Wolf, P., Shinnar, S., (2005), Febrile Seizures in Current Management in Child Neurology, Third Edition. BC Decker Inc.
55