Upload
others
View
7
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
REINTERPRETASI HUKUM RIQAB SEBAGAI MUSTAHIK ZAKAT (STUDI KOMPARATIF METODE IJTIHAD RASYID
RIDHA DAN YUSUF QARDHAWI)
Skripsi
Oleh:
M. NURMAN HAFIZ NIM: SPM.152137
PEMBIMBING:
Drs. M. Hasbi Ash-Shiddiqi, M.Ag Dr. D. I. Ansusa Putra, MA
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB FAKULTAS SYARIAH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTHAN
THAHA SAIFUDDIN JAMBI 2019
i
ABSTRAK
Skripsi ini berjudul Reinterpretasi Hukum Riqab Sebagai Mustahik Zakat
(Studi Komparatif Metode Ijtihad Rasyid Ridha dan Yusuf Qardhawi) dengan
tujuan untuk mengetahui bagaimana konsep hukum Riqab dan metode Ijtihad
Rasyid Ridha dan Yusuf Qardhawi terhadap Status dan hakikat Riqab untuk
zaman sekarang ini. Skripsi ini menggunakan Metode kualitatif dengan
Pendekatan normatif dan komparatif dengan metode pengumpulan melalui
dokumentasi berupa data Kitab, buku, Jurnal, Skripsi dan artikel-artikel lainnya
yang berkenaan dengan objek penelitian.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan diperoleh kesimpulan sebagai
berikut: Mengenai konsep hukum riqab menurut Rasyid Ridha dan Yusuf
Qardhawi sebagai berikut: Menurut Rasyid Ridha tentang status Riqab untuk
sekarang ini perlulah untuk diperluas terhadap makna dari riqab tersebut karena
menurut Rasyid Ridha bahwa makna dari riqab seperti yang tercantum dalam al-
Qur’an itu tidaklah dapat ditemukan lagi secara fakta, dan Menurut Yusuf
Qardhawi tentang status Riqab untuk saat sekarang ini tetaplah ia bertahan pada
makna zahiri dari ayat tentang riqab tersebut dan menurutnya tidaklah perlu lagi
untuk diperluas terhadap makna riqab tersebut.
Kata kunci: Reinterpretasi, Riqab, Mustahik Zakat.
iii
MOTTO
Artinya :
14. Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman),
15. dan Dia ingat nama Tuhannya, lalu Dia sembahyang.
iv
PERSEMBAHAN
Sembah sujud serta syukur kepada Allah SWT atas kasih sayang dan
karunia-Nya yang telah memberikanku kekuatan serta membekaliku dengan ilmu
pengetahuan sehingga diberikan kemudahan dalam penyusunan skripsi ini.
Sholawat dan salam selalu terlimpahkan keharibaan Rasulullah Muhammad
SAW semoga kelak kita mendapatkan syafaat dari beliau. Aamiin..
Teristimewa kupersembahkan karya kecil ini kepada cahaya hidup yang
sangat kusayangi Ayahanda (Samsir) dan Ibunda (Rosdiana) tercinta, terkasih,
dan yang tersayang sebagai tanda bakti, hormat dan terima kasih yang
setulusnya. Tiada kata yang bisa menggantikan segala sayang, usaha, do’a,
semangat dan materi yang telah diberikan untuk penyelesaian tugas akhir ini
dibangku kuliah. Semoga ini menjadi awal untuk membuat Ibunda dan Ayahanda
bahagia.
Seluruh keluarga besarku yang tercinta, untuk Abangku yang tercinta
(Wahyu Firmansyah) terima kasih atas do’a, cinta, kasih sayang dan bantuan
kalian selama ini. Serta adik-adik dan keponakan-keponakanku tersayang terima
kasih untuk senyum dan tawanya. Hanya karya kecil ini yang dapat
kupersembahkan, semoga dapat menjadi kebanggaan kalian semua.
Terkhusus untuk Almamater dan kampus biru tercinta.
Tak lupa untuk sahabat dan teman seperjuangan PM15. Serta sahabat,
kawan-kawan sehidup, seperjuangan dan sependeritaan dikontrakan, Terima
kasih untuk do’a, nasehat, hiburan, kerjasama, ide, traktiran, tebengan dan
semangat yang kalian berikan selama ini. Sukses untuk kita semua Aaminn..
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur Penulis panjatkan kehadiran Allah SWT yang mana dalam
penyelesaian skripsi ini penulis selalu diberikan kesehatan dan kekuatan, sehingga dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Disamping itu, tidak lupa pula iringan shalawat
serta salam Penulis sampaikan kepada junjungan Nabi Besar Muhammmad SAW.
Menjadi kewajiban bagi setiap mahasiswa semester akhir untuk menyusun skripsi
sebagai syarat untuk memperoleh predikat Sarjana dalam bidang ilmu yang dituntut maka
penulis dapat persetujuan untuk menyusun skripsi dengan judul berjudul “Reinterpretsai
Hukum Riqab Sebagai Mustahik Zakat (Studi Komparatif metode Ijtihad Rasyid Ridha
dan Yusuf Qardhawi)”.
Kemudian dalam penyelesaian skripsi ini, Penulis akui tidak sedikit hambatan
dan rintangan yang Penulis temui baik dalam mengumpulkan data maupun dalam
penyusunannya. Dan berkat adanya bantuan dan bimbingan yang diberikan oleh Dosen
Pembimbing, maka skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Oleh karena itu, hal yang
pantas Penulis ucapkan adalah kata terima kasih kepada semua pihak yang turut
membantu penyelesaian skripsi ini terutama sekali kepada yang terhormat :
1. Bapak Dr. H. Hadri Hasan, MA., selaku Rektor UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.
2. Bapak Dr. A. A. Miftah, M.Ag., selaku Dekan Fakultas Syariah UIN Sulthan Thaha
Saifuddin Jambi.
3. Bapak H. Hermanto Harun, Lc., M.HI., Ph.D., selaku Wakil Dekan Bidang
Akademik Fakultas Syariah UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.
4. Ibu Dr. Rahmi Hidayati, S.Ag., M.HI., selaku Wakil Dekan Bidang Administrasi
Umum, Perencanaan Dan Keuangan Fakultas Syariah UIN Sulthan Thaha Saifuddin
Jambi
vii
DAFTAR ISI
Table of Contents HALAMAN JUDUL ................................................................................................ i
PERNYATAAN KEASLIAN ................................................................................. ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................................................... iii
MOTTO.................................................................................................................. iv
PERSEMBAHAN ................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ........................................................................................... vi
DAFTAR ISI ......................................................................................................... vii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah .................................................................. 1
B. Batasan Masalah .............................................................................. 9
C. Rumusan Masalah ......................................................................... 10
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ................................................... 10
E. Kerangka Teori .............................................................................. 11
F. Tinjauan Pustaka ........................................................................... 15
G. Metode Penelitian………………………………………………. 16
H. Sistematika Penulisan……………………………………........... .22
BAB II PROFIL RASYID RIDHA DAN YUSUF QARDHAWI....................... 23
A. TOKOH RASYID RIDHA ............................................................ 23
1. Biografi Rasyid Ridha…………………………………………23
2. Pemikiran Pembaharuan Rasyid Ridha..................……………24
3. Pandangan Rasyid Ridha Tentang Ijtihad……………….…….26
4. Karya-Karya Rasyid Ridha……………………………………30
B. TOKOH YUSUF QARDHAWI…………………………………32
1. Kelahiran……………………………………………...……….32
2. Pendidikan…………………………………………………….32
viii
3. Corak Pemikirannya……………………………..……….……34
4. Karya-Karya Yusuf Qardhawi………….……………………...38
BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG RIQAB ............................................. 43
A. Pengertian dan Sejarah Riqab ........................................................ 43
1. Pengeretian Riqab…………………………………………...…43
2. Sejarah Riqab……………………………………………..........49
B. Dinamika Hukum Islam ................................................................ 60
BAB IV PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN ...................................... 67
A. Istinbath Hukum Rasyid Ridha Tentang Riqab ………............….67
1. Ijtihad Intiqa'i…………………………………………..............68
2. Ijtihad Insya'i……………………………..……………………69
3. Ijtihad Muqorin……………………………...………………....70
B. Istinbath Hukum Yusuf Qardhawai Tentang Riqab……...………74
1. Ijtihad Tarjih……………….…………………………………..75
2. Ijtihad Kreatif…………………………………………….........76
3. Ijtihad Tarjih Kreatif…………………………………………..77
C. Persamaan dan Perbedaan Istinbath Hukum Rasyid Ridha dan Yusuf Qardhawi Tentang Riqab .................................................... 80
D. Analisis Penulis…………………………….…………………….83
BAB V PENUTUP ................................................................................................ 85
A. Kesimpulan .................................................................................... 85
B. Saran…………………………………………………...…………86
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................................
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................................
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Salah satu norma hukum yang disebutkan al-Qur’an secara eksplisit adalah
hukum kewajiban membayar zakat, Zakat merupakan bahagian dari syari’at Islam.
Dan syari’at Islam itu, menurut As-Syatibi, disyari’atkan dalam rangka untuk
mewujudkan kemaslahatan umat manusia di dunia dan di akherat kelak.1Zakat yang
dikeluarkan seorang Muslim semata karena menurut perintah Allah dan mencari
ridha-Nya, akan mensucikannya dari segala kotoran dosa secara umum dan terutama
kotornya sifat kikir.2 Kewajiban adanya zakat berkaitan dengan kekhalifahan,
kepemilikan, dan penggunaan harta dalam Islam.Ketiga hal tersebut saling berkaitan
dan memiliki implikasi fungsional bagi manusia. Disamping berfungsi untuk
memenuhi kebutuhan diri dan keluarga, juga untuk meningkatkan pengabdian kepada
Allah SWT. Melalui sarana beramal, baik yang mahdhah maupun ghair mahdhah.
Tugas kekhalifahan manusia, secara umum, adalah mewujudkan kemakmuran
dan kesejahteraan dalam kehidupan serta pengabdian atau ibadah dalam arti
luas.Untuk menunaikan tugas tersebut, Allah SWT, memberikan manusia anugerah
sistem kehidupan dan sarana kehidupan.3
Sebagaimana dicantumkan dalam Al-Qur’an Surah Luqman ayat 20
1A. A. Miftah, Zakat Antara Tuntunan Agama dan Tuntunan Hukum, (Sulthan Thaha Press, Jambi, 2007) h. 46-47. 2 Yusuf Qardhawi, Hukum Zakat. (Pustaka Litera AntarNusa, Jakarta, 2004) cet, ke-7 h. 848 3Zakat Antara Tuntunan Agama dan Tuntunan Hukum, h. 42.
2
“tidakkah kamu perhatikan Sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk
(kepentingan)mu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan
untukmu nikmat-Nya lahir dan batin. dan di antara manusia ada yang membantah
tentang (keesaan) Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa kitab yang
memberi penerangan. 4
Harta sebagai sebuah sarana bagi manusia, dalam pandangan Islam, merupakan
hak mutlak milik Allah SWT. Kepemilikan manusia bersifat relatif, hanya sebatas
untuk melaksanakan amanah mengelola dan memanfaatkan sesuai dengan
ketentuannya. Harta yang dianggap sebagai perhiasan hidup yang memungkinkan
manusia bisa menikmatinya dan sebagai bekal ibadah dapat pula sebagai “ujian
keimanan.” Adanya ujian merupakan satu bentuk penilaian terhadap kesadaran
kepatuhan dan pengakuan bahwa, apa yang dimilikinya benar-benar merupakan
karunia dan kepercayaan dari Allah SWT, bagi yang menerimanya. Untuk itu,
kewajiban zakat merupakan suatu yang alamiah bagi kehidupan manusia. Sebab,
zakat yang diberikan atau dikeluarkan oleh seseorang dari harta yang diperolehnya,
pada hakikatnya, dikembalikan kepada pemilik utamanya, yaitu Allah SWT.5
4 Departemen Agama R.I, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Toha Putra, Semarang, 1989), h. 655 5 Heri Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam, (Ekonisia Kampus Fakultas Ekonomi UII, Yogyakarta, 2004) cet ke-3. h. 12.
3
Pada dasarnya, Allah SWT, sendiri memberi kebebasan kepada manusia untuk
menggunakan apa yang diperoleh dari karunia-Nya. Namun ditegaskan bahwa,
karena dia bukanlah satu-satunya khalifah dan karenanya terdapat jutaan manusia lain
yang berkedudukan sama sebagai khalifah, mereka juga mempunyai hak yang sama.
Untuk itu, dalam proses pendayagunaan karunia tuhan perlu dilakukan dengan cara
yang efisien dan adil, agar manusia yang lainnya mendapatkan kemakmuran
sebagaimana yang diperolehnya. Pada dataran ini, solidaritas sosial merupakan
bagian lain dari dasar adanya kewajiban zakat. Zakat adalah ibadah yang
mengandung dua dimensi, yaitu dimensi hablumminallah atau dimensi vertikal dan
dimensi hablumminannas, atau dimensi horizontal.6
Islam menempatkan harta sebagai amanat (titipan) Allah SWT kepada manusia
untuk dinikmati dan dimanfaatkan dalam kehidupan yang bersifat sementara di dunia
ini, sebagai amanat dari Allah SWT, harta benda itu harus dipergunakan sesuai
dengan ketentuan-ketentuan pemberi amanat.
Sebab pada akhirnya penggunaan amanat itu akan dimintai pertanggung
jawabannya. Hal ini dikenal sebagai norma Istikhlaf dalam Islam.7 Zakat terkait
ibadah Maaliyyah yang merupakan perpanjangan tangan orang-orang kaya kepada
fakir untuk memenuhi kebutuhan dan menciptakan kemaslahatan umum. Zakat juga
termasuk hal yang menjadi sebab kepemilikan yang termasuk dalam kategori 6Didin hafiduddin, Zakat Dalam Perekonomian Modern, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), cet. Ke-2, h. 5 7Istikhlaf adalah: apa-apa yang dimiliki oleh manusia hanyalah titpan Allah, adanya norma Istikhlaf ini makin mengukuhkan norma ketuhanan dalam ekonomi Islam. Untuk selengkapnya lihat bukuYusuf al-Qardhawi, Norma dan Etika Ekonomi Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), cet, ke-1, h, 40-47.
4
penguasaan harta bebas.8 Dalam semangat dan etos kerja yang diajarkan oleh agama
Islam bahwa setiap muslim hendaknya menyadari dan berkeyakinan, bahwa harta
yang dicarinya, tidak hanya untuk kepentingan pribadi semata, tetapi untuk
kepentingan yang lebih luas lagi, seperti untuk kepentingan fakir miskin,
pembangunan masjid, sekolah, rumah sakit, dan kepentingan sosial lainnya.9
Seperti dijelaskan dalam Al-Qur’an surah At-Taubah Ayat 60.
*
$yJR Î)
àM» s% yâ¢Á9$#
Ïä !#tçs)àÿù=Ï9
Èûü Å3»|¡yJø9$# ur
5
dan ibnu sabil. Jika delapan kelompok yang tersebut dalam surat At-Taubah ayat 60
itu dapat dikelompokkan lagi akan terdapat tiga hak dalam zakat, yaitu pertama hak
Allah SWT, kedua hak fakir miskin dan ketiga hak masyarakat.10
Menurut Umar Sulaiman al-Asyqar, dari delapan golongan tersebut terbagi lagi
menjadi dua bagian yaitu:
a. Golongan yang mengambil hak zakat untuk menutupi kebutuhan mereka,
seperti fakir, miskin, hamba sahaya, ibnu sabil.
b. Golongan yang mengambil hak zakat untuk memanfaatkan harta tersebut,
seperti pegawai zakat, muallaf, orang yang mempunyai banyak hutang,
perang di jalan Allah SWT.11
Dalam perkembangannya, konsep mustahik serta aplikasinya pada saat ini perlu
dicermati karena kondisi yang berkembang terkait dengan perubahan zaman,
sehingga perlu adanya upaya penggalian hukum untuk menyikapi perkembangan
zaman agar hukum Islam tetap dapat beradaptasi dengan waktu dan tempat (Shahih li
kulli zaman wa makan). Hal ini menyebabkan kelangsungan ashnaf dalam dataran
aplikatif seringkali tidak menentu.Apalagi konteks zakat sendiri selama ini tidak lebih
diproyeksikan sebagai lembaga karitas, yakni sebuah hubungan belas kasihan antara
si kaya dan si miskin.12
10 Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, h. 48. 11 Dikutip oleh Abdul Hamid Mahmud Al-Ba’li, Ekonomi Zakat: Sebuah Kajian Moneter dan Keuangan Syari’ah, h. 68. 12 Muslim Abdurrahman, Islam Transformatif, cet ke-2, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), h. 19.
6
Zakat dapat merubah status hamba sahaya menjadi merdeka dengan upaya
meningkatkan produktifitas terhadap unsur-unsur baru yang sulit untuk diberdayakan,
Riqab merupakan salah satu mustahik zakat yang dimaknai secara khusus yaitu
memerdekakan budak, budak di sini diartikan sebagai mereka yang menjadi tawanan
akibat perang yang dibenarkan secara syari’at atau mereka yang merupakan
keturunan budak pula. Sebagian besar ulama mazhab sepakat yang dimaksud dengan
riqab adalah budak mukatab. Golongan Syafi’iyyah mengartikan riqab juga dengan
budak mukata bakan tetapi dengan penyertaan syarat-syarat tertentu, hanya golongan
Maliki saja yang berpendapat bahwa arti riqab dalam konteks mustahik zakat disini
adalah budak secara umum, tidak terkait apakah ia mukatab atau tidak. Sebagaimana
firman Allah: Surah An-Nuur ayat 33.
É#Ïÿ÷è tG ó¡uäø9ur
tûïÏ% ©!$#
üw
tbrßâÅgsÜ
% ·n% s3ÏR
7
harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu. dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, karena kamu hendak mencari Keuntungan duniawi. dan Barangsiapa yang memaksa mereka, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa itu”13
Penafsiran konvensional terhadap ar-riqab (memerdekakan budak) sebagai
kalangan yang berhak menerima zakat, yakni tuan si budak yang akan menjual budak
tersebut kepada orang yang akan membelinya untuk dimerdekakan atau orang yang
akan menerima ganti kemerdekaan budak itu.14 Untuk itulah para pihak yang berbuat
demikian itu yang berhak mendapatkan bagian zakat. Sedangkan menurut Rasyid
Ridha konsep riqab masa sekarang ini tidak hanya diartikan sebagai budak saja akan
tetapi luas, boleh dipergunakan untuk membantu suatu bangsa yang ingin melepaskan
dirinya dari penjajahan, apabila tidak ada sasaran membebaskan perseorangan.15
Pendapat itu diperkuat oleh Mahmud Syaltut yang menyatakan bahwa apabila
perbudakan secara perorangan telah habis, ada jenis perbudakan lain yang lebih
berbahaya bagi kemanusiaan, yaitu perbudakan bangsa, baik dalam cara berfikir,
ekonomi, kekuasaan maupun kedaulatannya. Perbudakan perseorangan bisa lenyap
disebabkan matinya orang tersebut, sedangkan negaranya tetap merdeka, dapat di
urus oleh orang-orang pintar yang bebas merdeka, akan tetapi perbudakan terhadap
suatu bangsa, akan melahirkan generasi yang keadaanya seperti nenek moyangnya,
13 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya h. 549
14 Yusuf Qardhawi, Hukum Zakat, h. 587. 15 Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Qur’an al-Hakim Syahir bi Tafsir al-Manar (Beirut:Dar al-Marifah), h. 515.
8
yaitu tetap berada dalam perbudakan yang umum dan kekal, merusak umat dengan
kekuatan yang penuh kezaliman.
Sedangkan menurut Yusuf al-Qardhawi makna riqab diartikan sebagai budak
mukatab yaitu budak yang telah mengadakan perjanjian dengan tuannya bahwa ia
akan dibebaskan bila biaya pembebasannya telah ilunasi. Dengan demikian betapa
pentingnya melakukan usaha dan kegiatan untuk menghilangkan perbudakan dan
penghinaan bangsa, bukan hanya sekedar dengan harta saja, akan tetapi dengan
seluruh harta dan raga.16
Berdasarkan hal diatas maka pada dasarnya pemaknaan riqab terbagi menjadi
dua, pertama golongan yang memaknai riqab sebagai budak secara umum atau
khusus budak mukatab yang hal ini diwakili oleh ulama-ulama mazhab dan Yusuf al-
Qardhawi, yang kedua adalah golongan yang memaknai riqab tidak hanya sebagai
budak akan tetapi memperluasnya mencakup hal-hal seperti pembebasan tawanan
perang, pembebasan suatu bangsa dari penjajahan, baik penjajahan secara fisik
maupun penjajahan secara psikis seperti pikiran dan mental yang diwakili oleh
Muhammad Rasyid Ridha dan Mahmud Syaltut.17
Ulama tafsir dalam menjelaskan ayat yang berkaitan dengan dengan riqab tentu
tidak jauh dari metodologi yang jelas, seperti halnya yang dilakukan oleh ulama tafsir
era klasik, Imam Ath-Thabari. Dalam penjelasan mengenai ayat yang berkaitan
dengan hukum pembagian zakat, ketika meneliti setiap tema pembahasannya yang
16 Mahmud Syaltut, Islam: Aqidah Wa Syari’ah, h. 111. 17 Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Qur’an al-Hakim Syahir bi Tafsir al-Manar, h. 520
9
bertumpu kepada pendapat-pendapat (atau metode tafsiran) yang dikuatkan dengan
sanad-sanad dari ayat, hadis dan atsar-atsar para salaf pada setiap ayat al-Qur’an,
sehingga mencakupi seluruh pendapat yang ada dari kalangan salaf. Sekaligus
menjadi penjelas bahwa tafsir beliau adalah Tafsir bil-matsur yang mengemukakan
metode tafsiran ayat berdasarkan hadis-hadis dan kefahaman para salaf dari kalangan
sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Sedangkan pada era modern, seperti penafsiran
yang dilakukan oleh Rasyid Ridha dalam tafsirnya al-Manar terhadap ayat yang
berkaitan dengan riqab lebih mengarah kepada kontekstualnya, karena era sekarang
sudah tidak ada lagi perbudakan, hal inilah yang membuat penulis tertarik untuk
membahas lebih mendalam mengenai Reinterpretasi Hukum Riqab Sebagai
Mustahik Zakat (Studi Komparatif Metode Ijtihad Rasyid Ridha dan Yusuf Al-
Qardhawi).
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
1. Identifikasi Masalah
a. Riqab secara klasik dimaknai sebagai pembebasan budak belian
b. Pada masa ini (Kontemporer) perbudakan sudah tidak ada lagi
c. Pemaknaan ulang terhadap hakikat hukum riqab sebagai mustahik zakat
pada masa kini sangat penting
2. Batasan Masalah
Pembatasan masalah dalam penelitian ini perlu dilakukan agar
pembahasan yang ada tidak terlalu luas dan tidak menyimpang dari pokok
permasalahan, disamping itu juga untuk mempermudah melaksanakan
10
penelitian dengan hanya membahas permasalahan tentang Reinterpretasi
Hukum Riqab sebagai Mustahik Zakat yang mana dalam hal ini hanya di
fokuskan kepada dua metode ijtihad yang digunakan oleh dua orang ulama’
zaman kontemporer sekarang ini, Yaitu Rasyid Ridha dan Yusuf al-
Qardhawi.
C. Rumusan Masalah
Dari latar belakang penelitian di atas dapat dirumuskan beberapa masalah
sebagai berikut:
1. Bagaimanakah konsep hukum riqab sebagai mustahik zakat menurut Rasyid
Ridha?
2. Bagaimanakah konsep hukum riqab sebagai mustahik zakat menurut Yusuf al-
Qardhawi
3. Bagaimanakah Metode Ijtihad Rasyid Ridha dan Yusuf Al-Qardhawi dalam
memaknai riqab sebagai mustahik zakat di zaman Kontemporer?
D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Berdasarkan dari rumusan masalah yang ada maka pada pembahasan
selanjutnya perlu diketahui tentang tujuan dan kegunaan penelitian.
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui bagaimana konsep hukum riqab sebagai mustahik zakat
secara umum
b. Untuk menganalisa bagaimana pemaknaan terhadap riqab sebagai mustahik
zakat menurut Rasyid Ridha dan Yusuf al-Qardhawi.
11
c. Untuk memberikan penjelasan mengenai metode ijtihad Rasyid Ridha dan
Yusuf Al-Qardhawi mengenairiqab sebagai mustahik zakat di zaman
Kontemporer
2. Kegunaan Penelitian
a. Sebagai sarana untuk mempelajari interpretasiatau pemaknaan terhadap
riqab yang telah dilakukan oleh ulama-ulama terdahulu.
b. Sebagai salah satu persyaratan untuk menyelesaikan studi Strata satu (s1)
pada prodi perbandingan Perbandingan Mazhab, Fakultas Syari’ah, UIN
STS Jambi.
c. Sebagai sumbangan pemikiran terhadap interpretasi hukum riqab sebagai
mustahik zakat metode ijtihad Rasyid Ridha dan Yusuf al-Qardhawi.
E. Kerangka Teori
Hukum islam mempunyai sifat sempurna karenahukum islam ditentukan
dalam bentuk yang umum dan garis besar permasalahan, seperti prinsip tentang
meniadakan kepicikan, tidak memberatkan, memperhatikan kemaslahatan manusia,
keadilan dan lain sebagainya. Prinsip ini bersifat tetap, tidak berubah karena
berubahnya waktudan perbedaan tempat. Hukum islam bersifat elastis karena
meliputi segala bidang dan lapangan kehidupan manusia, permasalahan kemanusiaan,
kehidupan jasmani dan rohani, hubungan sesama makhluk dan khalik serta
tuntunanhidup di dunia dan akhirat terkandung di dalam ajarannya.
Hukum islam bersifat universal dan dinamis, karena hukum islam meliputi
seluruh alam tanpa tapal batas, tidak dibatasi pada daerah tertentu seperti ruang
12
lingkup ajaran Nabi-nabi sebelumnya, ia berlaku bagi orang arab dan ‘Ajam (non
Arab), kulit putih maupun kulit hitam. Universalitas hukum Islam ini sesuai dengan
pemilik hukum itu sendiri yang kekuasaannya tidak terbatas, di samping itu hukum
islam mempunyai sifat dinamis yaitu sesuai dan cocok untuk semua zaman dan
keadaan.
Dalam kajian hukum islam, ada beberapa istilah yang dipakai untuk merujuk
pemaknaan hukum yaitu istilah syari’ah dan fiqih. Hukum islam yang berdimensi
syari’ah bersifat konstan, telah sempurna tetap berlaku universal sepanjang zaman,
tidak mengenal perubahan dan tidak disesuaikan dengan situasi dan kondisi.18
Adapun hukum islam yang berdimensi fiqih bersifat akurat fleksibel-elastis tidak
berlaku universal, mengenal perubahan serta dapat disesuaikan dengan situasi dan
kondisi. Oleh karena itu fiqih dapat berbeda dari masa ke masa.19
Perubahan dalam hukum islam bukan berarti dengan pembatalan dalam konsepsi
hukum Islam, walaupun pembatalan terjadi dalam syari’at (Hukum Islam) yang juga
dikaitkan dengan kemaslahatan, namun nasakh(pembatalan) tidak berlaku lagi setelah
diturunkannya al-qur’an sebagai wahyu yang terakhir, karena pembatalan
menyangkut eksistensi eks ayat (nash), di mana nash yang datang belakangan
membatalkan nash yang terdahulu. Sementara nash perubahan hukum Islam adalah
pengamalan dan penerapan nash yang sudah ada, dengan mempertimbangkan situasi
18Bustanul Arifin.: Pemikiran dan perannya dalam pengembangan hukum islam dalam sistem hukum nasional di Indonesia. Jakarta: PP IKAHA. 1994. h. 37. 19Ibid, h. 38.
13
nash tersebut dan dikaitkan dengan kepentingan dan kemaslahatan yang sifatnya
situasional dengan tanpa mengubah nash itu sendiri.20
Secara faktual, perbudakan eksis jauh sebelum ia mencapai skala besarmelintasi
Atlantik lima abad lalu. Bangsa Mesir, Babilonia, Yunani, Persia dan Romawi
semuanya melakukan praktik perbudakan. Pada abad pertengahan, seluruh jaringan
Arab yang tumbuh di Sahara dan seputar sungai Nil, mengambil para budak dari
jantung Afrika. Maka ketika Islam datang, salah satu misinya adalah bertujuan untuk
menghapus perbudakan yang saat itu telah menjadi simbol kekayaan pribadi. Namun
Islam tidak secara drastis mengubah kondisi perbudakan yang sudah mapan di zaman
jahiliyah tersebut. Al-qur’an berupaya secara bertahap dan sistematis menghapus
sistem perbudakan melalui berbagai syari’atnya.
Misalnya, bagi orang yang menzihar istrinya, hukuman yang pertama adalah
memerdekakan budak, kemudian apabila seseorang melanggar sumpahnya sendiri,
hukuman yang pertama diberikan adalah memerdekakan budak. Bagi orang yang
melakukan hubungan suami istri di siang hari pada Bulan Ramadhan, hukuman
pertamanya adalah memerdekakan budak. Tujuan syari’at dalam menetapkan hukum-
hukumnya adalah untuk kemaslahatan manusia secara keseluruhan, baik dunia
maupun akhirat. Kemaslahatan tersebut dibagi dalam tiga kategori yaitu dharuriyat,
hajiyyat dan tahsiniyat. Sedangkan dharuriyat tersebut terkenal denganal- maqashid
al-khamsah (Lima tujuan dasar syari’at Islam), lima tujuan tersebut diarahkan untuk:
20Amir Nuruddin, Ijtihad Umar ibn al-Khattab Studi tentang Perubahan Hukum Dalam Islam, cet. Ke-1 (Jakarta: Rajawali Press, 1991), h. 175
14
1. Memelihara kemaslahatan agama
2. Memelihara jiwa
3. Memelihara akal
4. Memelihara harta benda.
Terkait dengan masalah zakat terutama mengenai riqab sebagai mustahik zakat,
perkembangan zaman dan perubahan situasi serta kondisi berpengaruh dalam zakat
baik objek maupun subjek zakat itu sendiri. Terutama riqab yang berhubungan
dengan sejarah maka posisi riqab dalam dataran aplikatif harus dipertegas, konsep
maupun kedudukannya sebagai mustahik zakat di masa sekarang, karena saat ini
perbudakan telah dihapuskan sehingga perlu dikaji konsep riqab di masa sekarang
serta kedudukannya selaku objek penyaluran zakat,
Sejarah mencatat Umar bin Khattab pernah tidak memberikan bagian muallaf
dikarenakan alasan politis.21 Atau adanya sebab yang melatar belakangi turunnya ayat
tersebut atau hadist (asbab al wurud dan asbab an nuzul). Akan tetapi untuk
memahami nash-nash syara’ secara tepat, perlu mengetahui pula tujuan syari’at
(maqashid al-syari’ah) disamping peristiwa-peristiwa tertentu yang merupakan asbab
an nuzul dan asbab al wurud hadis-hadis Nabi SAW tersebut, maka seyogyanya
dengan mengambil dari segi umumnya lafadz akan memperoleh arti yang lebih luas
dan lebih jelas tentang keuniversalan al-qur’an, sehingga bisa diterapkan di segala
zaman, situasi, dan kondisi.
21Muhammad Rawwas Qal’aji, Ensiklopedi Fiqih Umar bin Khattab ra, alih bahasaM. Abdul Mujieb (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 1999) h. 678.
15
F. Tinjauan Pustaka
Permasalahan mustahik zakat sudah banyak yang membahas dalam kitab-
kitab fiqih, baik klasik maupun modern, namun belum banyak yang secara spesifik
membahas mengenai permasalahan Interpretasi hukum riqab sebagai mustahik zakat
menurut Rasyid Ridha dan Yusuf al-Qardhawi. Maka dari itu, penulis mencoba untuk
membahas permasalahan tersebut. Penulis menemukan beberapa penelitian yang
pernah ditulis terkait dengan pembahasan yang sedang diteliti, paenulis menjumpai
hasil penelitian yang dilakukan oleh:
Muhammad Arif salah satu mahasiswa di jurusan perbandingan mazhab UIN
SGD Bandung dengan judul “Konsep riqab dan kontekstualisasinya sebagai mustahik
zakat (studi pemikiran yusuf al-Qardhawi).22” Skripsi ini hanya berfokus kepada
konsep riqab dan kontekstualisasinyadan hasil dari penelitian saudara Muhammad
Arif tersebut mengemukakan “bahwa konsep riqab menurut Yusuf Al-Qardhawi ialah
bahwa: Riqab sebagai salah satu golongan dalam 8 ashnaf yang berhak menerima
zakat ialah budak mukatab atau yang ghairu mukatab yang telah mengadakan
perjanjian dengan tuannya sehingga dimerdekakannya maka sampai pada hal itu ia
tetap berhak menerima zakat”. Ini yang membedakan dengan apa yang akan penulis
angkat, yang mana penulis disini akan mengangkat mengenai metode Ijtihad Rasyid
Ridha dan Yusuf Al-Qardhawi dalam memaknai Riqab sebagai mustahik zakat.
Muhammad Jayus, salah satu mahasiswa di jurusan perbandingan mazhab
IAIN Raden Intan Lampung dengan judul “Reinterpretasi makna riqab sebagai
22Muhammad Arif, “Konsep riqab dan kontekstualisasinya sebagai mustahik zakat (studi pemikiran Yusuf al-Qardhawi)” Skripsi (Bandung: Program Strata satu (s1) Jurusan perbandingan mazhab, fakultas syari’ah, UIN SGD Bandung)
16
mustahik zakat pada zaman modern.23 Skripsi ini hanya berfokus kepada Interpretasi
makna riqab zakat pada zaman modern dan dalam hal ini penulis temukan hasil dari
penelitian saudara Muhammad Jayus tersebut ialah “Interpretasi makna riqab pada
zaman modern ialah: kembalinya suatu pemaknaan ulang terhadap makna dari Riqab
yaitu sebagai budakyang telah terikat dengan tuannya dan tidak dimaknai secara lebih
luas lagi mengenai budak sebagai salah satu golongan yang berhak menerima zakat
dan ini didasarkan pada pendapat ulama’ yang mengembalikan poros hukum kepada
hukum awal yang dibentuk pada zaman rasulullah hingga kepada zaman Tabi’ut
Tabi’in yang mana dalam penelitian tersebut ia mengkaji secara umum dan tidak
terlalu menspesifikasinya.
Lukman Hakim, salah satu mahasiswa di jurusan perbandingan mazhab UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta dengan judul “Perluasan makna riqab zakat (studi
pemikiran Wahbah az-Zuhaili )”24 Skripsi ini hanya berfokus kepada pemikiran
Wahbah az-Zuhail yang mana pada penelitian tersebut didapatkan hasil sebagai
berikut: “Dalam hal ini tidak dipandang bagaimana cara memerdekakan nya , tetapi
yang lebih penting adalah fungsi dari dana zakat digunakan untuk memerdekakan
sang budak tersebut”, ini berbeda dengan pembahasan yang akan penulis angkat.
Dalam penelitian tersebut, belum secara spesifik dijelaskan bagaimana pemaparan
yang dilakukan ahli tafsir kontemporer mengenai ayat hukum yang berkaitan dengan
pembagian mustahik zakat,terkhusus mengenai hukum riqab sebagai mustahikzakat
menurut Rasyid Ridha dan Yusuf al-qardhawi. 23 Muhammad Jayus, “Reinterpretasi makna riqab sebagai mustahik zakat pada zaman modern” Skripsi (Lampung: Program Strata Satu (s1) Jurusan Perbandingan mazhab, fakultas syari’ah, IAIN Raden Intan Lampung). 24 Lukman Hakim, Perluasan makna Riqab zakat (studi pemikiran Wahbah az-Zuhaili)” Skripsi (Yogyakarta: Program Strata Satu (s1) Jurusan Perbandingan Mazhab, fakultas Syari’ah, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta).
17
G. Metode Penelitian
Metode suatu penelitian akan sangat bergantung pada pokok permasalahan
dan sifat penelitian tersebut, sedangkan untuk mendapatkan data yang obyektif bagi
suatu penelitian, maka setiap penelitian ilmiah harus menggunakan suatu metode
penelitian tertentu.
1. Jenis Dan Sifat Penelitian
a. Jenis penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research).Yaitu
penelitian yang menggunakan buku-buku sebagai sumber datanya.25 Pendapat
lain menyatakan bahwa, yang dimaksud dengan penelitian kepustakaan
menurut Hermawan Warsito ialah: suatu kegiatan yang dilaksanakan dengan
mengumpulkan data dari berbagai literatur dari perpustakaan.26 Jadi, dalam
penelitian ini akan mengumpulkan data dari berbagai jenis literature, baik itu
buku, serta karya-karya lain yang berhubungan dengan pokok pembahasan,
yaitu yang berkenaan dengan riqab. Penelitian ini juga menggunakan sumber-
sumber ilmiah lainnya yang relevan dengan pembahasan.
b. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif analitik, yaitu diawali dengan
mendeskripsikan metode ijtihad para ulama fiqih tentang konsep hukumriqab
25 Sutrisno Hadi, Metodologi Research (Yogyakarta: Andi Offset, 1990), h. 9. 26 Hermawan Warsito, Pengantar Metodologi Penelitian, (Jakarta: Gramedia Utama, 1992), h. 10.
18
kemudian penyusun berusaha menganalisa pemikiran Rasyid Ridha dan Yusuf
al-qardhawi.
c. Tehnik Pengumpulan Data
Bahan untuk penelitian dari sumber tertulis yang ada kaitannya dengan
masalah ini, terbagi menjadi dua kategori yaitu:
1). Data Primer,
Yang dimaksud dengan data primer adalah suatu data yang diperoleh
secara langsung dari sumber aslinya,27 bisa diperoleh dari wawancara
dengan narasumber maupun perkataan langsung yang dinyatakan oleh
sumber tersebut. Dalam penelitian ini yang digunakan adalah bersumber
dari kitab Tafsir Al-manar karangan Rasyid Ridha dan buku Pembaharuan
Hukum Islam dan Fiqh Zakat karya Yusuf Al-Qardhawi yang membahas
berkaitan dengan permasalahan yang sedang dibahas yaitu mustahik zakat,
khususnya riqab.
2). Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang tidak berkaitan secara langsung
dengan sumber aslinya. Yaitu kitab-kitab atau buku-buku serta karya
ilmiah lain yang membahas tentang zakat juga konsep riqab sebagai
mustahik zakat di era kontemporer juga berbagai rujukan.
27 Chalid Narbuko, Abu Dawud, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991),h.43.
19
d. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
normative.28 yaitu pendekatan terhadap suatu masalah dengan berdasarkan
kepada pemahaman dan penafsiran terhadap sumber ajaran Islam (al-qur’an
dan al-hadist) serta kaidah-kaidah yang dirumuskan kepada ulama kemudian
dirumuskan kembali dari pendapat-pendapat dan pemahaman dari
permasalahan yang telah dibahas, sehingga menjadi konklusi atau kesimpulan
yang dihasilkan.
2. Cara Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini penulis mengumpulkan data dengan cara membaca,
mencatat serta menyusun data-data yang diperoleh itu menurut pokok bahasan
masing-masing. Adapun tehnik dari pengumpulan data-data tersebut penulis
menggunakan antara lain:
a. Kartu Ihtisar
Pencatatan hanya garis besar dari pokok karangan, sumber data atau
pendapat seorang tokoh. Dengan demikian pencatatan ini harus dilakukan
akurat karena untuk menghindari kekaburan dari sumber aslinya.
b. Kartu Kutipan
Yaitu pencatatan sesuai dengan aslinya dan tidak mengurangi dan
menambah atau merubah walaupun satu kata, huruf maupun tanda
baca.Adapun mempertinggi penelitian kutipan diadakan pengecekan ulang 28Sayuti Una, Pedoman Penulisan Skripsi, Edisi Revisi, (Jambi: Syari’ah Press, 2014), h. 32.
20
ketika selesai mengutip, lalu disertai dengan halaman sumber yang terdapat
diakhir kutipan.29
c. Kartu Komentar/Ulasan
Kartu ini memuat catatan khusus yang datang dari peneliti sebagai refleksi
terhadap suatu sumber data yang dibaca.Komentar atau ulasan tersebut dapat
berupa kritik, saran, kesimpulan, atau berupa penjelasan kembali terhadap
sumber data yang bersifat pribadi.
3. Metode Analisa Data
Setelah data-data yang diperlukan terkumpul, maka selanjutnya dilakukan
tahapan analisis terhadap data-data tersebut. Penelitian ini menggunakan metode
analisa kualitatif.Metode analisis kualitatif adalah prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang
dan perilaku yang dapat diamati.30 Setelah data diperoleh lalu dikumpulkan dan di
olah, kemudian dianalisis secara kualitatif, sehingga memudahkan interpretasi
data.Hasil analisis dan pembahasan tersebut kemudian ditulis dalam bentuk
laporan penelitian yang yang dideskripsikan secara lengkap, rinci, jelas dan
sistematis.Metode penelitian kualitatif dalam bentuk pembahasan ini adalah
dengan mengemukakan analisis dalam bentuk uraian kata-kata tertulis dan tidak
berbentukpemikiran angka-angka.
29Anton Baker dan Zubair Ahmad Charis, Metodologi Penelitian Filsafat,(Kanisius, Yogyakarta, 1990), h. 63. 30 Lexy,.J.Moeloeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rusda Karya, 2001), cet ke 14, h. 8.
21
Metode analisis yang digunakan dalam, penelitian ini adalah metode induktif,
yaitu pengambilan pemahaman dan cara saling melengkapi antara proses analisa
yang berangkat dari peristiwa khusus kemudian diambil kesimpulan secara
umum. Metode ini digunakan dalam rangka memperoleh gambaran utuh tentang
pemikiran fuqaha tentang Makna Riqab sebagai mustahik zakat di zaman modern.
Setelah melalui tahap identifikasi sumber data, identifikasi bahan hukum yang
diperlukan.Dan Inventarisasi bahan hukum (data) yang diperlukan. Data yang
sudah terkumpul kemudian diolah melalui tahap-tahap sebagai berikut:
a. Pemeriksaan Data (editing)
Pemeriksaan data adalah pembenaran apakah data yang terkumpul melalui
studi pustaka, dokumen, dan karya-karya ilmiah sudah dianggap lengkap,
relevan dengan masalah, jelas, tidak berlebihan, dan tanpa kesalahan
b. Penandaan Data (coding)
Penandaan data adalah pemberian tanda pada data yang diperoleh, baik
merupakan penomoran ataupun penggunaan tanda atau simbol atau kata
tertentu yang menunjukkan golongan atau kelompok klasifikasi data menurut
jenis sumbernya, dengan tujuan untuk menyajikan data secara sempurna,
memudahkan rekonstruksi serta analisis data.Data sekunder berupa literatur
biasanya diberi tanda sumber data (penulis), tahun (penerbitan), dan halaman
(tempat data ditemukan) data sekunder yang berupa perundang-undangan
diberi tanda nomor undang-undang, tahun penerbitan, judul undang-undang,
22
pasal undang-undang, nomor lembaran negara dan tahun penerbitan lembaran
negara.
c. Penyusunan atau Sistematisasi (constructing/systematizing)
Penyusunan atau sistematisasi data adalah mengelompokkan
secarasistematis data yang sudah diedit dan diberi tanda menurut klasifikasi
data dan urutan masalah, kemudian disusun ulang secara teratur, berurutan
dan logis, sehingga mudah diapahami dan diinterpretasikan. Metode yang
penulis gunakan menggunakan teknik deduktif, yaitu pengolahan data dari
yang bersifat umum terhadap hal-hal yang bersifat khusus.
H. Sistematika Pembahasan
Pembahasan yang akan dilakukan penulis dalam penulisan hasil penelitian ini
adalah: Bab 1 Pendahuluan, meliputi; Latar Belakang Masalah, Fokus Masalah,
Tujuan dan Kegunaan Penelitian, Tinjauan Pustaka, Kerangka Teori, Metode
Penelitian, Sistematika Pembahasan, Bab 2 membahas mengenai Biografi dan
pemikiran Rasyid Ridha dan Yusuf Qardhawi. Bab 3 membahas tentang tinjauan
umum riqab sebagai mustahik zakat. Bab 4 analisa terhadap hukumriqab menurut
metode Ijtihad Rasyid Ridha dan Yusuf al-Qardhawi. Bab 5 Penutup berisi
kesimpulan dan rekomendasi.
23
BAB II
PROFIL RASYID RIDHA DAN YUSUF QARDHAWI
A. Rasyid Ridha
1. Biographi Rasyid Ridha
Muhammad Rasyid Ridha dilahirkan pada tahun 1282 H di Al-Qolamun suatu
desa di lebanon, sebuah kampung sekitar 4 km dari Tripoli, dia adalah seorang
bangsawan Arab yang mempunyai garis keturunan langsung dari Sayyidina
Husain, putra Ali bin Abi Thalib dan Fatimah putri Rasulullah SAW.1 latar
belakang pendidikannya dimulai dari madrasah tradisional di Al-Qolamun.
Kemudian dia meneruskan pelajarannya kesekolah nasional Islam (Madrasah Al-
Wathoniyah Al-Islamiyah) di Tripoli. Di sekolah ini selain pengetahuan agama
dan bahasa arab, diajarkan pula pengetahuan modern dan bahasa Prancis serta
Turki.
Rasyid Ridha adalah murid dari Syaikh Muhammad Abduh, sesungguhnya
ide-ide pembaharuan yang telah diperolehnya pernah dicoba diterapkannya.
Ketika ia masih berada di Suria, namun usahanya mendapat tantangan dari pihak
kerajaan Usmani, atas dasar itu ia memutuskan untuk pindah ke Mesir, dan pada
januari 1898 ia telah sampai disana.2 Pada tahun yang sama, beberapa bulan
kemudian, ia segera menerbitkan majalah yang bersemangat pembaharuan dan
yang kemudian dengan nama Al-Manar. Majalah ini mempunyai haluan dan
1M. Quraisy Shihab, Rasionalitas al-Qur’an: Studi Kritis atas Tafsir al-Manar, (Jakarta: Lentera Hati, 2006). h. 71 2Ibid, h. 85
24
tujuan yang sama dengan Al-Urwatul Wustqo, selain ide-ide, majalah ini pun
secara langsung banyak memuat tulisan Muhammad Abduh. Disamping pikiran-
pikiran pembaharuan keislaman yang bersifat umum, menurut gagasan Rasyid
Ridha sebaiknya Muhammad Abduh menulis tafsir Al-Qur’an modern yang
mendukung kerangka pikiran pembaharuan.
Gagasan muridnya ini tidak segera ditanggapi secara serius, tetapi karena
Rasyid Ridha terus mendesaknya. Akhirnya pada tahun 1899 Muhammad Abduh
setuju untuk memberikan kuliah Tafsir Al-Qur’an di Al-Azhar. Hasil kuliah
tersebut disusun oleh Rasyid Ridha dan kemudian dikonfirmasikan kepada
gurunya. Setelah mendapat persetujuannya, segera Rasyid Ridha memuat tulisan
tersebut di Al-Manar.
Pekerjaan ini terus dilakukan Rasyid Ridha sampai gurunya wafat pada tahun
1905 M. Dengan cara inilah kemudian Tafsir Al-Manar tercipta. Rasyid Ridha lah
yang meneruskan karya penafsiran tersebut, yang dimulai dari surat An-Nisa ayat
126, karena Muhammad Abduh hingga wafatnya hanya berhasil menafsirkan Al-
Qur’an sampai ayat 125 dari surat An-Nisa. Rasyid Ridha seorang pembaharuan
asal Libanon ini wafat pada Agustus 1935 M.3
2. Pemikiran Pembaharuan Rasyid Ridha
Pemikiran-pemikiran pembaharuan yang dimajukan Rasyid Ridha, tidak
banyak dengan ide-ide gurunya. Muhammad Abduh dan Jamaludin Al-Afghani,
ia juga berpendapat bahwa umat Islam mundur karena tidak lagi menganut ajaran- 3Ibid, h. 71
25
ajaran Islam sebenarnya. Pengertian umat Islam tentang ajaran-ajaran agama
salah dan perbuatan-perbuatn mereka telah menyeleweng dari ajaran-ajaran Islam
sebenarnya. Kedalam Islam telah banyak masuk bid’ah yang merugikan bagi
perkembangan dan kemajuan umat.4
Di antara bid’ah itu pendapat bahwa dalam Islam terdapat ajaran kekuatan
bathin yang membuat pemiliknya dapat memperoleh segala apa yang
dikehendakinya, sedang kebahagiaan di akhirat dan didunia diperoleh melalui
hukum alam yang diciptakan tuhan, demikian Rasyid Ridha berpendapat. Rasyid
Ridha sebagaimana Muhammad Abduh menghargai akal manusia. Sungguh pun
penghargaannya terdapat akal tidak setinggi penghargaan yang diberikan gurunya.
Menurutnya akal dapat dipakai terhadap ajaran-ajaran mengenai hidup
kemasyarakatan, tetapi untuk ibadah, ijtihad diperlukan hanya untuk soal-soal
hidup masyarakat terhadap ayat dan hadist yang mengandung arti tegas. Ijtihad
tidak dipakai lagi. Akal dapat dipergunakan terhadap ayat-ayat dan hadist yang
tidak mengandung arti yang tegas. Dan terhadap persoalan-persoalan yang tidak
tersebut dalam Al-Qur’an dan Hadist.5
Menurutnya, umat Islam harus dibawa kembali kepada ajaran-ajaran Islam
yang sebenarnya. Yaitu ajaran yang murni dari segala bid’ah yang menggerogoti
ajaran Islam itu, Islam murni itu sederhana sekali menurutnya, kesederhanaan itu
4 Ahmad Sanusi, Pemikiran Rasyid Ridha tentang Pembaharuan Hukum Islam, (Banten: Sultan Maulana Press, 2018) h. 34. 5 Muhammad Subhan, Jurnal Keislaman, Kemasyarakatan & Kebudayaan, Vol 19 No 2 (Juli-Desember 2018), h. 34
26
terletak dalam ibadah dan muamalat. Ibadah kelihatan berat dan ruwet karena
dalam hal-hal yang wajib pada ibadah telah ditambahkan sesuatu yang bukan
wajib. Padahal yang sebenarnya hanya sunnah mengenai hal-hal yang sunnah
inilah terdapat perbedaan paham yang akibatnya timbulah kekacauan dan bahkan
pertentangan. Dalam soal muamalat juga amat simpel, hanya dasar-dasar yang
diberikan, seperti keadilan, persamaan, pemerintah syura. Perincian dan
pelaksanaan dari dasar-dasar ini diserahkan kepada umat untuk menentukannya.
Hukum-hukum fiqh mengenai kehidupan masyarakat, sungguhpun itu didasarkan
atas Al-Qur’an dan Al-Hadist tidak boleh dianggap absolut dan tak dapat diubah.
Hukum- hukum itu timbul sesuai dengan suasana tempat dan zaman ia timbul.6
3. Pandangan Rasyid Ridha Tentang Ijtihad
Syari’at secara bahasa “jalan menuju sumber air” jalan menuju sumber air
disini dapat pula dikatakan sebagai jalan kearah sumber pokok kehidupan. Dalam
masa-masa awal, syari’at di identikkan dengan al-nushus al-muqaddasah dari Al-
Qur’an dan Al-Hadist mutawatir yang sama sekali belum dicampuri oleh pikiran
manusia. Syari’at sering juga disebut Al-thariq Al-mustaqimah (jalan yang
lurus).7 Pengertian ini sejalan dengan maksud firman Allah, dalam surah al-
jatsiyah ayat 18:
¢OèO
y7» oY ù=yè y_
4ín?tã
7pyèÉ Îéü°
z ÏiB
27
Artinya: Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan)
dari urusan (agama itu), Maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa
nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.
Dengan demikian, syari’at harus dipahami tidak hanya ajaran-ajaran yang
telah dibawa nabi Muhammad saja, tetapi juga ajaran-ajaran yang dibawa oleh
nabi dan rosulnya sebelumnya. Demikian pula muatan yang terkandung dalam
syari’at para nabi tersebut tidak hanya berkaitan dengan hukum fiqh saja tetapi
meliputi pula aqidah, amaliyah dan khuluqiyah. Sumber-sumber syari’at
sebagaimana dinyatakan Rasyid Ridha meliputi Al-Qur’an dan sunnah Ijtihad.8
Pemikiran ijtihad sebagai salah satu sumber hukum Islam bagi Rasyid Ridha
didasarkan atas hadist nabi tentang diutusnya Muaz bin Jabal ke Yaman sebagai
berikut:
Artinya: “bahwa Nabi Muhammad saw ketika mengutus Muaz ke yaman, nabi
berkata: bagaimana engkau mengambil keputusan hukum terhadap permasalahan yang di
ajukan kepadamu? Muaz menjawab: saya akan mengambil keputusan hukum
berdasarkan kitab Allah, kalau engkau tidak menemukan dalam Al-Qur’an? Tanya nabi,
muaz menjawab: saya akan mengambil keputusan dengan dengan sunnah rosul jawab
8Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manar, Juz 4, (Beirut: Dar Al-Ma’rifah, 1973), h. 276-277.
28
muaz, kalau engkau tidak menemukan dalam sunnah rosul? Tanya nabi, muaz menjawab:
saya akan berijtihad dengan akal saya dan tidak akan bersantai-santai, lalu rosulullah
menepuk dadaku seraya mengatakan: segala puji bagi Allah yang telah membuat taufiq
kepada utusan rosulnya terhadap sesuatu yang diridhai oleh rosulullah saw. (H.R Ahmad,
Abu Dawud, Tirmidzi)
Penetapan hukum dengan berijtihad diakui Rasyid Ridha dengan alasan
bahwa ayat-ayat yang terkandung dalam Al-Qur’an tidak lebih dari 510 ayat yang
terdiri atas ayat-ayat tentang hukum, politik dan selebihnya ayat-ayat tentang
ibadah dan muamalah. Sedang hadist ahkam berjumlah 500 hadist dari 4000
hadist pada umumnya, oleh karena itu penggunaan ijtihad dalam menempatkan
hukum disamping berdasarkan pada adanya persetujuan nabibagi siapa saja yang
mencari ketentuan hukum, juga dari adanya kenyataan baik Al-Qur’an maupun
hadist yang menunjukkan kandungan hukum secara tegas tersurat, sangat terbatas
jumlahnya.9
Kata ijtihad secara umum berarti upaya bersungguh-sungguh, sedangkan yang
dimaksud dengan Ijtihad dalam syari’at Islam adalah menggerakkan kemampuan
oleh mujtahid dalam mencari pengetahuan hukum dalam hukum syara’.Ijtihad
memainkan peranan penting dalam menetapkan hukum, yang bagi Rasyid Ridha
terbagi atas dua bagian yaitu: ijtihad dalam persoalan agama dilakukan melalui
ijma’ oleh para mujtahid dan ijtihad yang dilakukan oleh para penguasa dan
persoalan-persoalan pemerintahan, politik, birokrasi, dan militer.
9 Ahmad Sanusi, PemikiranRasyid Ridha tentang Pembaharuan Hukum Islam. TAZKIYA JurnalKeislaman, Kemasyarakatan&Kebudayaan, Vol.19 No.2 (2018)
29
Lebih jauh, mengenai ijtihad, Rasyid Ridha berkata:
“Tidak ada ishlah (pembaharuan) kecuali dengan dakwah, tidak ada
dakwah kecuali dengan hujjah (argumentasi yang dapat diterima
secara rasional), dan tidak ada hujjah dalam hal mengikut secara
buta (taqlid)”.
Ijtihad merupakan upaya maksimal dalam mengeluarkan hukum-hukum dari
al-Qur’an dan hadist. Berijtihad sangatlah diperlukan karena ayat-ayat ahkam dan
jumlah hadist ahkam terbatas, sementara situasi sosial terus menerus mengalami
perubahan. Ijtihad memainkan peran penting dalam menetapkan hukum, yang
bagi Rasyid Ridha terbagi dua bagian yaitu: Ijtihad dalam persoalan agama
dilakukan melalui ijma’ oleh para mujtahid dan Ijtihad yang dilakukan oleh para
penguasa dalam persoalan-persoalan pemerintahan, politik, birokrasi dan militer.
Rasyid Ridha menempatkan otoritas ulama dan ummat dalam posisi yang
berbeda. Ijtihad ulama memiliki tingkat otoritas dalam urusan keagamaan,
sedangkan umat mempunyai otoritas dalam ijtihad dibidang pemerintahan.10 hal
ini sesuai dengan firman Allah surah An-Nisa 59
$pk öâr'» tÉ tûïÏ% ©!$# (# þqãYtB# uä (#qãèã ÏÛr&©!$# (#qãèãÏÛr&urtAq ßô §ç9$#íÍ<'ré&urÍê öD F{ $# óOä3ZÏB (bÎ* sù÷L äêôãtì» uZs?íÎû&ä óÓx« ç
nrñä ãçsùín<Î)«!$# ÉAq ßô §ç9$# urbÎ) ÷L äêY ä.tbqãZÏB ÷sè? «!$$Î/ ÏQ öquã ø9$# urÌçÅz Fy$# 4y7Ï9ºså ×é öçyz ß |¡ôm r&urxÉ Írù's?
ÇÎÒÈ
10Wahbah al-Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami (Damaskus: Dar al-Fikr, 1998) Juz 2, h. 1064
30
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilahRasul (Nya), dan ulil amri
di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al Quran) danRasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. An-Nisa,
Ayat 59)
Yang mesti ada adalah tertutupnya pintu taqlid buta, dan terbukanya pintu
bagi faham rasional yang argumentatif adalah awal dari setiap upaya ishlah.
Taqlid merupakan hijab yang sangat tebal yang tidak disertai ilmu dan
pemahaman. Mengenai ilmu pengetahuan, menurut Rasyid Ridha, peradaban
Barat modern didasarkan atas kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, ilmu
pengetahuan dan teknologi tidak bertentangan dengan Islam. Untuk kemajuan,
umat Islam harus mau menerima peradaban Barat yang ada. Barat maju, demikian
menurut Rasyid Ridha.11 Karena mereka mau mengambil ilmu pengetahuan yang
dikembangkan umat Islam zaman klasik. Dengan demikian mengambil ilmu
pengetahuan barat modern sebenarnya berarti mengambil kembali ilmu
pengetahuan yang pernah dimiliki umat Islam
3. Karya
Majalah al-Manar mulai terbit pada tanggal 22 syawal 1315 H/15 Maret 1898
M. Pada mulanya majalah tersebut terbit dalam bentuk tabloid, sekali dalam
seminggu, kemudian setengah bulan sekali, dan kadang-kadang sembilan nomor
dalam setahunnya, majalah tersebut dapat diterbitkan Rasyid Ridha seorang diri
11 Jurnal Ushuluddin, Pembaharuan Pemikiran Islam, Riau, Badan Penelitian dan Pengembangan Fakultas Ushuluddin UIN SUSKA Vol. VII, Januari 2006, h. 223
31
hingga akhir hayatnya.12 Apa yang telah dilakukan oleh Rasyid Ridha adalah
prestasi besar yang sulit ditandingi orang lain. Selama al-Manar terbit, sebanyak
34 jilid besar dan setiap jilidnya berisi 1000 halaman telah terkumpul seluruhnya.
Tafsir al-Qur’an karya Rasyid Ridha itu berjudul Tafsir al-Qur’an al-Hakim
(Tafsir Al-Manar) bagian pertamanya, yaitu surat al-Fatihah sampai dengan surat
An-Nisa ayat 125 merupakan hasil kerjasama dengan gurunya, Syekh Muhammad
Abduh. Sedangkan bagian keduanya, yaitu dari surat An-Nisa ayat 126 sampai
dengan surat yusuf ayat 110 adalah hasil karyanya secara mandiri. Karya-karya
yang dihasilkan semasa hidup Rasyid Ridha pun cukup banyak. Antara lain,
Tarikh Al-Ustadz Al-Imama Asy-Syaikh ‘Abduh (sejarah hidup Imam Syaikh
Muhammad ‘Abduh), Nida’ Li Al-Jins Al-Latif (panggilan terhadap kaum
wanita), Al-Wahyu Muhammad (Wahyu Allah yang diturunkan kepada nabi
Muhammad saw), Yusr Al-Islam wa Usul At-Tasyri’ Al-‘Am (kemudahan
Agama Islam dan dasar-dasar umum penetapan hukum Islam), Al-Khilafah wa
Al-Imamah Al-Uzma (Kekhalifahan dan Imam-imam besar), Muhawarah Al-
Muslih wa Al-Muqallid (dialog antara kaum pembaharu dan konservatif), Zikra
Al-Maulid An-Nabawiy (Peringatan kelahiran Nabi Muhammad saw), dan Haquq
Al-Mar’ah As-Shalihah (hak-hak wanita Muslim).13
12 Ahmad Taufik, dkk, Sejarah Pemikiran dan Tokoh Modernisme Islam, (Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2005), h. 103 13 M. Quraisy Shihab, Rasionalitas al-Qur’an: Studi Kritis atas Tafsir al-Manar, (Jakarta: Lentera Hati, 2006), h. 71
32
B. Yusuf Qardhawi
Yusuf Qardhawi adalah seorang cendekiawan Muslim yang berasal dari
Mesir, beliau dikenal sebagai seorang mujtahid pada era modern ini. Salah satu
ulama kontemporer yang fatwanya banyak menjadi rujukan, namun juga banyak
yang mengkritiknya.
1. Kelahiran
Yusuf Qardhawi, nama lengkapnya adalah Muhammad Yusuf Qardhawi, lahir
di Desa Shafat Turab Mesir (Barat Mesir), pada tanggal 9 September 1926. Desa
tersebut adalah tempat dimakamkannya salah seorang sahabat Rasulullah SAW,
yaitu Abdullah bin Harist R.A.14 Yusuf Qardhawi berasal dari keluarga taat
beragama. Ketika berusia dua tahun, ayahnya meninggal dunia. Sebagai anak
yatim dia diasuh pamannya, yaitu saudara ayahnya. Ia mendapat perhatian cukup
besar dari pamannya sehingga ia menganggap pamannya itu orang tuanya sendiri.
Seperi keluarganya, keluarga pamannya pun taat menjalankan perintah Allah.
Sehingga ia terdidik dan dibekali dengan berbagai Ilmu pengetahuan agama dan
syari’at Islam.15
2. Pendidikan
Dengan perhatian yang cukup baik dalam lingkungan yang taat beragama,
Yusuf Qardhawi mulai serius menghapal Al-Qur’an sejak usia lima tahun.
Bersamaan itu ia juga disekolahkan di sekolah dasar yang bernaung dibawah
14Yusuf Qardhawi, Fatwa Qardhawi, Terj: H. Abdurrahman Ali Bauzir. (Jakarta: Gema Insani),
2008 h. 499. 15http://www.Repository.UIN-Suska.ac.id/2497/3/BaB 11 PDF.diakses 15 April 2019
33
lingkungan departemen pendidikan dan pengajaran Mesir untuk mempelajari ilmu
umum seperti menghitung, sejarah, kesehatan dan ilmu-ilmu lainnya. Berkat
ketekunan dan kecerdasan Yusuf Qrdhawi akhirnya berhasil menghafal al-Qur’an
30 juz dalam usia 10 tahun. Bukan hanya itu, kefasihan dan kebenaran tajwid serta
kemerduan qira’atnya menyebabkan dia sering disuruh menjadi imam masjid.
Prestasi akademik Yusuf Qardhawi pun sangat menonjol sehingga dia meraih
lulusan terbaik pada Fakultas Ushuluddin di Universitas al-Azhar Kairo Mesir
pada tahun 1952/1953. Kemudian dia melanjutkan pendidikan kejurusan Khusus
Bahasa Arab di al-Azhar selama 2 tahun. Disini dia pun mendapat ranking pertama
dari 500 mahasiswa lainnya dengan memperoleh ijazah internasional dan sertifikat
pengajaran.Pada tahun 1957, Yusuf Qardhawi meneruskan studinya di Lembaga
Riset dan Penelitian masalah-masalah arab selama 3 tahun. Akhirnya dia
menggondol diploma di bidang sastra dan bahasa. Seterusnya beliau
menyambung usahanya pada peringkat pasca sarjana di Fakultas Ushuluddin
dalam Jurusan Tafsir Hadis di Universitas al-Azhar Kairo Mesir.
Setelah tahun pertama di jurusan Tafsir Hadis, tidak seorangpun yang berhasil
dalam ujian kecuali Yusuf Qardhawi. Selanjutnya dia mengajukan Tesis dengan
judul Fiqh az-Zakah, dia mengajukan dan berhasil meraih gelar doktor.16 Pada
tahun 1977, Yusuf Qardhawi ditempat sebagai ketua Fakultas Syari’ah dan Studi
Islam di Universitas Qatar dan menjadi Dekan. Pada tahun yang sama beliau
mendirikan Pusat Penyelidikan Sirah dan Sunnah.
16Ibid, h. 155
34
3. Corak Pemikirannya
Yusuf al-Qardhawi adalah seorang cendekiawan muslim dan seorang ulama
mujtahid kondang di Mesir dan beberapa negara timur tengah. Beliau terkenal
sebagai seorang ulama yang tidak mengikatkan diri kepada mazhab fiqh tertentu.
Semua mazhab sunni olehnya dijadikan bahan studi, bahan analisis dan bahan
kajian serta perbandingan melalui proses penelitian berdasarkan al-Qur’an dan
Sunnah kemudian dia renungkan hasil ijtihad dan istinbath tersebut kedalam fatwa-
fatwa fiqh.
Menurutnya pemecahan masalah fiqh yang terbaik adalah yang paling jelas
landasannya.Yang terbaik dasar pemikirannya, yang termudah pengalamannya dan
yang terdekat relevannya dengan kondisi zaman. Dia menolak fanatisme
kemazhaban dan taqlid tanpa pengertian.17 Menurut Yusuf Qardhawi para imam
yang empat to
koh pendiri mazhab-mazhab populer dikalangan umat Islam tidak pernah
mengharuskan mengikuti salah satu mazhab. Semua mazhab itu tidak lain
hanyalah hasil dari ijtihad dari para imam. Para ulama tidak pernah mendewakan
dirinya sebagai orang yang “Ishamah” (terhindar dari kesalahan). Karena itulah
Yusuf Qardhawi tidak mengikat dirinya pada salah satu mazhab, karena
menurutnya kebenaran itu tidak hanyalah terdapat dalam satu mazhab saja.
Menurut Yusuf Qardhawi tidak pantas bagi seorang muslim yang
berpengetahuan dan memiliki kemampuan untuk menjatuhkan dan menguji, 17Yusuf Qardhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, Jilid 1, h. 16
35
mengikatkan diri pada satu mazhab atau tunduk pada pendapat seorang ahli fiqh,
tetapi seharusnya dia mendalami sendiri hujjah dan dalil tersebut berdasarkan al-
Qur’an dan Sunnah. Justru itu sejak awal Ali bin Abi Thalib R.A mengatakan
“jangan kamu kenali kebenaran itu karena tokohnya, tetapi kenalilah kebenaran itu
sendiri niscaya engkau akan tahu siapa ahlinya”.18
Maksud dari perkataan Ali tersebut adalah, kebenaran itu bukan dilihat dari
sekelompok orang yang menjadi panutan, tetapi dilihat dari tata cara dan sistem
seseorang tertentu dalam menghasilkan kebenaran tersebut. Maka oleh sebab itu
orang yang memiliki ilmu pengetahuan yang dapat mencapai kebenaran janganlah
sampai terikat pada kebenaran yang telah dihasilkan oleh ahli fiqh. Yusuf
Qardhawi mengatakan bahwa untuk menjadi seorang mujtahid yang berwawasan
luas dan berfikiran objektif, ulama harus lebih banyak membaca dan menelaah
buku-buku karangan muslim maupun non muslim. Seorang ulama yang bergelut
dalam hukum Islam tidak cukup hanya menguasai kitab-kitab klasik saja.19
Menanggapi tentang adanya golongan yang tidak menerima pembaharuan
hukum Islam, dia mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang yang tidak
mengerti jiwa dan cita-cita Islam, tidak memahami persialitas dan kerangka global.
Sedangkan golongan ekstrim yang menginginkan semua yang berbau kuno harus
dihapuskan. Meskipun sudah mengakar di budaya masyarakat, sama dengan
golongan tersebut, mereka tidak memahami jiwa dan cita-cita Islam yang
18Ibid, h. 22 19Antoni, Ensiklopedia Hukum Islam. H. 1449
36
sebenarnya. Tapi yang benar menurutnya Islam memerlukan pembaharuan.
Pembaharuan yang tetap dibawah naungan Islam, pembaharuan hukum Islam
menurutnya bukan berarti ijtihad, tapi meliputi bidang pemikiran, sikap mental dan
sikap tindak, yaitu ilmu, iman dan amal. Sebagaimana di akuinya sendiri Yusuf
Qardhawi pengagum Ibnu Taymiyah, hasan al-Banna, Rasyid Ridha dan Sayyid
Sabiq, karna itu cara berpikir maupun cara pandang nya punya ciri khas tersendiri.
Namun walaupun demikian Yusuf al-Qardhawi tidak bertaqlid pada mazhab
tertentu dalam mengeluarkan fatwa-fatwanya.20 Ada beberapa metode Yusuf al-
Qardhawi dalam memberi fatwa yakni sebagai berikut:
a. Tidak panatik pada suatu mazhab, yakni tidak bertaklid buta pada suatu
pendapat, baik dari ulama salafiyah maupun yang hidup pada zaman berikutnya.
Dia tidak mengambil suatu pendapat tertentu tanpa dalil yang kuat, sebelum
meneliti pendapat-pendapat yang lain.21
b. Menghindari kesulitan dalam berfatwa dia banyak mempermudah atau
memperingan dalam masalah furu’iyah namun sangat tegas dalam Ushuluddin,
karena menurutnya syari’at di tegaskan atas dasar kemudahan dan menghindari
kesulitan dari kehidupan manusia.22
c. Berfatwa dengan mempertimbangkan kondisi, Yusuf al-Qardhawi dalam
memberi fatwa selalu menyesuaikan dengan kondisi serta menghindari kata-
20Yusuf Qardhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, Jilid 1. H. 6 21 Ibid, h. 22 22 Ibid, h. 25
37
kata istilah aneh yang sukar di fahami, sehingga fatwanya mudah dimengerti
dan difahami oleh masyarakat.
d. Menghindari sesuatu yang tidak bermanfaat, dalam berfatwa dia menghindari
sumber fatwa pada sesuatu yang tidak bermanfaat dan pada sesuatu yang
apabila di fatwakan bisa memecah belah persatuan kaum muslimin. Tetapi
bersegera memfatwakan pada suatu yang bermanfaat bagi masyarakat, yang
mereka butuhkan dalam kehidupan nyata.
e. Bersikap menengahi, dalam memberikan fatwa dia tidak menginginkan seperti
orang-orang yang hendak melepaskan ikatan-ikatan hukum Islam yang telah
tetap dengan alasan menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman, tetapi
juga tidak seperti orang-orang yang melakukan fatwa-fatwa, perkataan-
perkataan dan ungkapan terdahulu karena dianggap suci segala sesuatu yang
terdahulu.
f. Memberikan hak fatwa yang jelas. Dalam hal ini dia berusaha memberikan fatwa
kepada masyarakat berupa penjelasan yang memadai, sehingga memuaskan hati
sang peminta fatwa.23
Dari keterangan diatas dapat di fahami bahwa Yusuf al-Qardhawi dalam
memberikan fatwa menengahi para mazhab yang didasari langsung dari al-
Qur’an dan Sunnah, ia tidak memihak kepada suatu mazhab apapun karena
menurutnya pendapat yang benar adalah yang paling kuat hujjah dan mudah
pengalamannya. 23 Ibid, h. 31
38
4. Karya-karya Yusuf Qardhawi
Buku-buku karya Yusuf al-Qardhawi memiliki beberapa kelebihan di
antaranya adalah:
a. Karya-karyanya selalu mendasarkan pada khazanah keislaman yang berdasarkan
al-Qur’an dan Sunnah Nabi dan selalu mengikuti manhaj salafus shahih. Dia
tidak pernah melupakan zaman semasa hidupnya. Maka dari itu, dia selalu
menggabungkan antara orisinalitas dan kemoderenansekaligus.
b. Selalu menggabungkan antara ketelitian ilmiah, kedalaman pemikiran dan
orientasi perubahan.
c. Bebas dari sikap taklid dan fanatisme mazhab.
d. Karya-karyanya penuh dengan nuansa moderat.
e. Tulisan-tulisannya selalu menggambarkan konfrontasi bagi semua aliran
pemikiran destruktif yang datang dari luar Islam
Karya-karya Yusuf al-Qardhawi tersebut adalah sebagai berikut:24
1) Bidang Fiqh dan Ushul Fiqh
a) al-Halal wal Haram fil-Islam
b) Fatawa mu’ashirah (3 juz)
c) Tafsir al-Fiqh: Fiqh ash-Shiyam
d) Al-Ijtihad Fiqh Syari’ah al-Islamiyyah
e) Madkhal fi Dirasat asy-Syari’ah al-islamiyyah
24 Ishom Talimah, Manhaj Fikih Yususf Al-Qardhawi, cet ke-1, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, Dar At-Tauji’ wa an-Nasyr al-Islamiyah, 2001), h. 35-39
39
f) Min Fiqhid Daulah fil Islam
g) Tafsir al-Fiqh li al-Muslim al-Mu’ashir
h) Al-Fatwa Baina al-Indhibath wat-Tasayyub
i) ‘Awamil as-Sa’ah wal-Murunah Fi asy-Syari’ah al-Islamiyah
j) Al-Fiqh al-Islami baina ash-Shalah wat-Tajdid
k) Al-Ijtihad al-Mu’ashir bainal-indhibath wal-Infirath
l) Ziwaj al-Misyar
m) Adh-Dhawabith asy-Syariyyah li Binaa al-Masajid
n) Al-Ghina wal-Musiqa fi dhau’il-kitab was-Sunnah
2) Bidang Ekonomi Islam
a) Fiqh az-Zakah (2 juz)
b) Musykilat al-Faqr wa Kaifa ‘Alajaha al-Islam
c) Bai’ al-Murabahah lil-Amir Bisy-Syira’
d) Fawaidul-Bunuk Hiya ar-Riba al-Haram
e) Darul Qiyam wal-Akhlak fil-Iqtishad al-Islami
3) Bidang ‘Ulum Al-Qur’an dan Sunnah
a) Ash-Shabru wal-‘ilmu Fil-Qur’an al-Karim
b) Al-‘Aqhu wal-‘ilmu Fil-Qur’an al-Karim
c) Kaifa Nata’amal Ma’as-Sunnah an-Nabawiyyah
d) Kaifa Nata’amal Ma’al Qur’an al-‘Adzim
e) Tafsir surat ar-Ra’d
f) Al-madkhal Li Dirasat as-Sunnah an-Nabawiyyah
40
g) Al-Muntaqaa Fit-Targhib wat-Tarhib (2 juz)
h) As-Sunnah mashdar lil-Ma’rifah wal-Hadharah
i) Nahwa Mausu’ah lil-Hadits An-Nabawi
j) Quthuf Daniyyah min al-Kitab was-Sunnah
4) Bidang Akidah
a) Al-Imam wal-Hayat
b) Muaqif al-Islam min Kufr al-Yahud wan-Nashara
c) Al-Iman bil Qadar
d) Wujudullah
e) Haqiqat at-Tauhid
5) Bidang Fiqih Perilaku
a) Al-Hayat ar-Rabbaniyyah wal-‘ilmu
b) An-Niyat wal-Ikhlas
c) At-Tawakkul
d) At-Taubah ila Allah
6) Bidang Dakwah dan Tarbiyah
a) Tsaqafah ad-Da’iyyah
b) At-Tarbiyah al-Islamiyyah wa-Madrasatu Hasan al-Banna
c) Al-Ikhwanu al-Muslimin 70 ‘Aaman fid-Da’wah wat-Tarbiyyah
d) Ar-Rasul wal-‘Ilmu
e) Rishalat al-Azhar baina al-Amsi wal Yaum wal-Ghad
f) Al-Waqtu fil-Hayat al-Muslim
41
7) Bidang Gerakan dan Kebangkitan Islam
a) Ash-Shahwah al-Islamiyyah bainal-juhud wat-Tatharruf
b) Ash-Shahwah al-Islamiyyah wa Humum al-Wathan al-‘Arabi wal-Islami
c) Ash-Shahwah al-Islamiyyah bainal-Ikhtilaf al-Masyru’ wat-Tafarruq al-
Madzmum
d) Min Ajli Shahwah Rasyidah Tujaddid ad-Din wa Tanhad bid-Dunya
e) Ayna al-Khalal?
f) Awlawiyyat al-Harakah al-Islamiyyah fi al-Marhalah al-Qadimah
g) Al-Islam wal ‘Alamiyyah wajhan bi wajhin
h) Fi fiqh al-Awlawiyyat
i) Ghayrul al-Muslimin fi al-Mujtama’ al-Islami
j) Syari’at al-Islam Shalihah Lit-Tatbiq fi kulli Zaman wa Makanin
k) Zhahirat al-Ghuluw fit-Tafkir
l) Al-Ummat al-Islamiyyah Haqiqat la Wahm
m) Al-Hullul al-Mustawridah wa Dharurah
n) Bayyinal-Hill al-Islami wa syubuhat al-‘Ilmaniyyin wal-Murtagharribin
o) A’da’ al-Hill al-Islami
p) Ummatuna bainal-Qarnayn
8) Bidang Penyatuan Pemikiran Islam
a) Syumul al-Islam
b) Al-Marji’iyyah al-‘Ulya fi al-Islam li Al-Qur’an was-Sunnah
42
c) Mauqif al-Islam min al-Ilham wal-kasyf wa al-Ru’aa wa min al-Tamaim
wa al-Kahanah wa al-Ruqa
d) Al-Siyasah al-Syariyyah fi Dhau’ Nushush al-Syari’ah wa Maqashidiha
9) Bidang Pengetahuan Islam yang Umum
a) Al-‘ibadah fi al-Islam
b) Al-Khashaish al-‘Ammah li al-Islam
c) Madkhal li ma’rifat al-Islam
d) Al-Islam Hadharat al-Ghad
e) Khuthab al-Syaikh al-Qardhawi (2 juz)
10) Tentang Tokoh-tokoh Islam
a) Asy-Syaikh al-Ghazali kama ‘Araftuhu Rihlah Nisfu Qarn
43
BAB III
TINJAUAN UMUM TENTANG RIQAB
A. Pengertian dan Sejarah Riqab
1. Pengertian Riqab
Riqab adalah bentuk jamak dari raqabah.1 Istilah ini dalam al-Qur’an
artinya budak belian laki-laki (abid) dan bukan belian perempuan (amah).Istilah
ini diterangkan dalam kaitannya dengan pembebasan atau pelepasan, seolah-olah
Qur’an memberikan isyarah dengan kata kiasan ini maksudnya, bahwa perbudakan
bagi manusia tidak ada bedanya seperti belenggu yang mengikatnya.
Membebaskan budak belian artinya sama dengan menghilangkan atau melepaskan
belenggu yang mengikatnya.
Dalam Fiqh, terdapat perkembangan dalam beberapa tahap, dimulai dari
masa kenabian hingga zaman sekarang. Periode perkembangan fiqh terjadi
beberapa tahap, sejak masa nabi Muhammad SAW sampai pada masa kejayaanya
kemudian sempat terjadi masa taklid, dan baru-baru ini terjadi perubahan besar
dalam pemikiran fiqih yang menunjukkan adanya kebangkitan pemikiran fiqih.2
Hal ini akan berimplikasi pada peradaban Islam itu sendiri mengalami kebangkitan
1Dalam kamus al-munawwir diartikan sebagai artinya leher, atau juga
artinya: budak, hamba sahaya. Lihat: Ahmad Warson al-Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia, (Surabaya, PT. Pustaka Progresif, 1997), h. 520 2 Muhammad Khudari Bek membagi periode Tarikh Tasyri’ al-Islami menjadi enam periode yaitu: (1) Periode awal, sejak Muhammad bin Abdullah diangkat menjadi rasul; (2) Periode para sahabat besar; (3) Periode sahabat kecil dan tabi’in; (4) Periode awal abad ke-2 H sampai pertengahan abad ke-4 H; (5) Periode berkembangnya mazhab dan munculnya taklid mazhab; dan (6) Periode jatuhnya Baghdad (pertengahan abad ke-7 H oleh Hulagu Khan (1217-1265) sampai sekarang. Lihat selengkapnya: http://pustaka.abatasa.com/pustaka/detail/fiqih/ilmu-fiqih/115/tarikh at-tasyri.html, diakses 2-04-2019.
44
dan kemajuan seperti masa abad 15 lalu, akan tetapi hal yang paling menonjol dari
perkembangan fiqih adalah pembaharuan pemikiran fiqih saat ini yang
membedakannya dengan produk pemikiran masa lalu, sehingga penulis membagi
produk pemikiran fiqih dalam dua masa yaitu klasik dan kontemporer.Golongan
budak ini mencakup budak mukattab dan budak biasa. Budak mukattab adalah
budak yang telah dijanjikan oleh tuannya akan dimerdekakan bila telah melunasi
harga dirinya yang telah ditetapkan dengan harta zakat,budak mukattab dibantu
membebaskan diri dari belenggu perbudakan. Adapun budak biasa, dengan harta
zakat dibebaskan dengan membeli budak itu dari tuannya.3
Kata “fi ar-riqab” dalam al-Qur’an disebutkan 3 kali,4 sedangkan padanan
katanya disebutkan sebanyak 21 kali. Lafaz “fi ar-riqab” dalam al-Qur’an menurut
al-Ragib al-Asfahani memiliki makna budak mukattab yang dibebaskan melalui
harta zakat.5 Ulama Hanafiah dan Hanabilah mengartikan riqab sebagai budak
mukattab, sedangkan ulama Syafi’iyyah mengartikan riqab juga sebagai budak
mukattab dengan syarat sebagai berikut:
a. Ada janji untuk dibebaskan
b. Muslim
c. Tidak mempunyai sesuatu hal yang membebaskannya dari budak
d. Tidak memiliki perjanjian (kitabah) dengan muzakki. 3 Ensiklopedi Islam, Jilid 5, (Jakarta: Ichtisar Baru Van Hoeve, 1997), h. 229. 4Yaitu pada QS. Al-Baqarah (2) : 177, QS. At-Taubah (9) : 60, QS Muhammad (47) : 4, Lihat,Muhammad Fuad Abdu al-Baqi, Al-Mu’jam al-Mufahros li Alfaz al-Qur’an al-Karim, cet. Ke-1, (Kairo: Dar al-Hadis, 1996), h. 397. 5Al-Rogib al-Ashfahani, Mufrodat al-Alfaz al-Qur’an al-Karim, cet. Ke-1, (Damaskus: Dar al-Qalam, 1997), h. 362.
45
Sedangkan golongan Malikiyah saja yang berpendapat bahwa arti riqab dalam
konteks mustahik zakat disini adalah budak secara umum, tidak terkait apakah ia
mukattab atau tidak.6 Berbicara masalah konsep tentunya tidak lepas dari kajian
ilmu tafsir. Pada masa hidup Rasulullah SAW, keperluan tentang tafsir al-Qur’an
belumlah begitu dirasakan, sebab apabila para sahabat tidak atau kurang
memahami sesuatu ayat al-Qur’an, mereka dapat terus menanyakannnya kepada
Rasulullah SAW.
Dalam hal ini Rasulullah SAW. Selalu memberikan jawaban yang
memuaskan, setelah Rasulullah SAW meninggal apalagi setelah agama Islam
meluaskan sayapnya ke luar jazirah Arab, dan memasuki daerah-daerah yang
berkebudayaan lama, terjadilah pertemuan antara agama Islam yang masih dalam
bentuk kesederhanaannya di satu pihak, dengan kebudayaan lama yang telah
mempunyai pengalaman, perkembangan serta kekuatan daya juang di pihak yang
lain. Disamping itu kaum Muslimin sendiri menghadapi persoalan baru, terutama
yang berhubungan dengan pemerintahan dan pemulihan kekuasaan berhubung
dengan meluasnya daerah Islam itu.
Perkembangan dan keperluan ini menimbulkan persoalan baru. Persoalan baru
itu akan dapat dipecahkan apabila ayat al-Qur’an ditafsirkan dan diberi komentar
untuk menjawab persoalan-persoalan yang baru timbul itu. Maka tampil lah ke
muka beberapa orang sahabat dan tabi’in memberanikan diri menafsirkan ayat al-
6Abdu ar-Rahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ‘ala mazahib al-Arba’ah, (Mesir: Maktabah al-Tijariyyah al-Kubro, t.t), h. 621
46
Qur’an yang masih bersifat umum dan global itu, sesuai dengan batas-batas
lapangan berijtihad bagi kaum Muslimin. Demikian lah, tiap-tiap generasi yang
mewarisi kebudayaan dari generasi sebelumnya, keperluan suatu generasi
berlainan dan hampir tidak sama dengan keperluan generasi yang lain. Begitu pula
perbedaan tempat dan keadaan, tidak dapat dikatakan sama keperluan dan
keperluannya, sehingga timbullah penyelidikan dan pengolahan dari apa yang telah
didapat dan dilakukan oleh generasi-generasi yang dahulu, serta saling tukar
menukar pengalaman yang dialami oleh manusia pada suatu daerah dengan daerah
lain, mana yang masih sesuai dipakai, mana yang kurang sesuai dilengkapi dan
mana yang tidak sesuai lagi diketepikan, sampai nanti keadaan dan masa
diperlukan pula.
Begitu pula haknya tafsir al-Qur’an, ia berkembang mengikuti irama
perkembangan masa dan memenuhi keperluan manusia dalam suatu generasi,
Tiap-tiap masa dan generasi menghasilkan tafsir-tafsir al-Qur’an yang sesuai
dengan keperluan dan keperluan generasi itu dengan tidak menyimpang dari
ketentuan-ketentuan agama Islam sendiri. Pada mulanya usaha penafsiran ayat-
ayat al-Qur’an berdasarkan ijtihad masih sangat terbatas dan terikat dengan
kaidah-kaidah Bahasa serta arti-arti yang dikandung oleh satu kosa kata.Namun
sejalan dengan lajunya perkembangan masyarakat, berkembang dan bertambah
besar pula porsi peranan akala tau ijtihad dalam penafsiran yang beraneka ragam
47
coraknya.7 Dalam peta ilmu-ilmu keislaman, ilmu tafsir termasuk ilmu yang belum
matang, sehingga selalu terbuka untuk dikembangkan. Sejarah perkembangan
tafsir al-Qur’an secara garis besar dapat dibedakan menjadi tafsir pra-modern dan
tafsir modern. Dilihat dari perspektif sejarah perkembangan ilmu pengetahuan
yang menurut Thomas Kuhn berlangsung secara dialektik dan revolusioner, tafsir
dalam dua periode itu dikembangkan dengan menggunakan paradigma. Paradigma
adalah pandangan fundamental tentang pokok persoalan dari obyek yang dikaji
dalam studi tafsir, obyek itu adalah al-Qur’an.8
Jadi paradigma tafsir itu adalah pandangan mendasar mengenai al-Qur’an
yang ditafsirkan, berkenaan dengan apa yang seharusnya dikaji dari kitab itu,
sampai zaman pra-modern ada tiga teori tafsir yang pernah dominan, masing-
masing dengan paradigmanya sendiri, dan menghasilkan tafsir normal science
yang melimpah dan berpengaruh. Pertama, teori teknis. Teori ini dirumuskan
dalam definisi yang menyatakan bahwa “tafsir itu adalah kajian mengenai cara
melafalkan kata-kata al-Qur’an, pengertiannya, ketentuan-ketentuan yang berlaku
padanya ketika berdiri sendiri dan ketika berada dalam susunan, arti yang
dimaksudkannya dalam susunan kalimat al-Qur’an, dan lain-lain yang melengkapi
kajian mengenai hal-hal itu”.
7 Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, cet. Ke-13, (Bandung: Mizan, 1996), h. 135. 8 Muhammad Jayus, Reinterpretasi makna riqab di zaman modern, Skripsi, IAIN Raden Intan Lampung, 2008) h. 30
48
Kedua, teori akomodasi. Teori ini dirumuskan dalam definisi yang
menyatakan bahwa tafsir itu adalah kajian untuk menjelaskan maksud al-Qur’an
sesuai dengan kemampuan manusia, Ketiga, teori takwil. Tidak ada yang
merumuskan teori ini secara definitive.9 Dalam sebagian besar dalam literatur
klasik kita temukan bahwa makna riqab sebagai salah satu mustahik zakat
diartikan sebagai memerdekakan budak saja atau mempergunakan sebagian harta
zakat untuk memerdekakan budak mukattab. Dalam Ma’ani al-Qur’an, riqab
diartikan sebagai budak mukattab,10 Dalam Tafsir Ibn Katsir, makna riqab berarti
budak mukattab menurut Ibnu Abbas dan Al-Hasan, memerdekakan seorang
hamba sahaya atau budak belian dapat diperhitungkan sebagai bagian dari zakat
yang harus dikeluarkan.
Demikian pula menurut mazhab Imam Ahmad. Dalam Tafsir at-Thobari
dinyatakan bahwa riqab menurut Ibnu Abbas adalah budak mukattab, beliau
berpendapat bila hal itu tidak memungkinkan untuk membayarkan angsuran
karena disebabkan ketiadaan apapun pada diri budak atau tidak ditemukan sesuatu
untuk mengangsurnya maka hal itu diserahkan kepada tuannya dengan izinnya
untuk membantu memerdekakan. Imam Malik, Ahmad dan Ishak berpendapat
bahwa pengertian riqab disini adalah membeli budak kemudian dimerdekakan.11
9 Hamim Ilyas, dalam Muhammad Yusuf dkk, Studi Kitab Tafsir: Menyuarakan Teks Yang Bisu, (Yogyakarta: Teras, 2004), h. 19-21. 10Abi Zakariyya ibn Ziyad Al-Farra’, Ma’ani al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), h. 443. 11 Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir at-Thobari, Tafsir At-Thobari, (Beirut: Dar al-Fikr, 1978), VI: H. 111.
49
2. Sejarah Riqab
Istilah riqab menunjuk pada seseorang yang menjadi abdi, hamba, jongos atau
orang yang dibeli untuk dijadikan budak.12 Sedangkan perbudakan mengacu pada
system sosial di suatu masa dimana segolongan manusia merampas kepentingan
golongan manusia lain. Di masa penjajahan kolonial dikenal istilah kuli, sebagai
sebutan untuk buruh kasar yang tidak terdidik yang diperlakukan juga dengan
semena-mena sebagai budak. Perbudakan dan pelayan diketahui sudah ada sejak
zaman Mesir kuno dan Timur Tengah juga China dan India.
Dalam Skripsi Muhammad Jayus yang berjudul Reinterpretasi makna riqab di
zaman modern di katakan bahwa Budak secara umum berasal dari bangsa asing
akan tetapi di banyak negara berasal dari bangsa asli yang diperbudak karena
sebab hutang maupun hukuman. Dalam undang-undang Hamurabi di Babylonia
(sekitar 2.000 SM) diketahui bahwa budakmerupakan salah satu kelas populasi
masyarakat yang menjalani aturan tertentu, tidak jarang seperti di Mesir mereka
bangkit dan menempati posisi penting dalam negara dan pengadilan.Hal ini
tampak nyata ketika sebuah rezim ekonomi berkuasa pada masa lalu selalu ada
sistem perbudakan terkait dengan industri.13
Pada masa berburu, kelompok yang menang perang tidak hanya menaklukkan
musuhnya akan tetapi juga membunuhnya, menawan wanita-wanitanya dan
menjadikannya sebagai pelayan, kemudian budak tersebut dapat diperjualbelikan.
12 Peter Salim dan Yenni Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, edisi 1, (Jakarta: Modern English Press, 1991), h. 227 13 Muhammad Jayus, Reinterpretasi Makna Riqab di Zaman Modern, h. 33
50
Hal ini merupakan bagian kemenangan yang terus menerus dan eksploitasi
agrikultur yang diterapkan secara skala besar sebagai eksistensi pasca perang.Di
daerah Yunani, Roma, Eropa, Rusia dan Timur Tengah, system perbudakan telah
menjadi hal yang lazim saat itu. Perbudakan berkembang, seiring dengan
perkembangan perdagangan dan industri. Meningkatnya perdagangan dan industri
meningkatkan permintaan akan tenaga kerja untuk menghasilkan barang-barang
keperluan ekspor. Islam datang di saat budak dan system perbudakan telah
merajalela.Penyebab perbudakan pun beraneka ragam, sesuai dengan tabiat dan
sistem sosial kemasyarakatan pada masa itu. Diantara penyebab perbudakan pada
masa lalu ialah:
a. Nafsu memperbudak (insting manusia) ketika kelompok atau golongannya
menang perang terhadap bangsa lain.
b. karena kemiskinan atau tidak adanya kesetiaan terhadap agama
c. Hukumbagi tindakan criminal pada masa itu, seperti pencurian
d. Karena mencari pekerjaan dan tempat tinggal
e. Karena penyanderaan dan penculikan
f. dan sumber-sumber lainnya yang bisa menjadi “alasan” untuk
memperbudak.14
Ada perbedaan prinsip antara hak-hak asasi manusia dilihat dari sudut
pandang Barat dan Islam.Hak asasi manusia menurut pemikiran Barat semata-mata
bersifat antroposentris, artinya segala sesuatu berpusat pada manusia. Dengan 14http://www.angelfire.com/id/dialogis/budak.html.akses 4 Maret 2019
51
demikian, manusia sangat dipentingkan. Sebaliknya, hak-hak asasi manusia ditilik
dari sudut pandang Islam bersifat teoantroposentris, artinya segala sesuatu
berpusat pada Tuhan, atau menempatkan Allah melalui ketentuan syari’atnya
sebagai tolak ukur tentang baik buruk tatanan kehidupan manusia baik sebagai
pribadi maupun sebagai warga masyarakat atau warga bangsa. Dengan demikan
ajaran Islam tentang HAM berpijak pada tauhid.Konsep tauhid mengandung ide
persamaan dan persaudaraan manusia.15 Islam hadir untuk melepaskan budak dan
system perbudakan.Syari’at Islam datang dengan misi membebaskan para budak
dan memperlakukannya secara terhormat dan manusiawi. Perlakuan Islam
terhadap budak ini secara garis besar dapat disimpulkan dalam tiga rumusan yaitu:
a. Islam memandang para budak dari sisi bahwa mereka itu adalah manusia juga
yang sama dengan manusia merdeka lainnya. Terutama pada fitrah
insaniyahnya. Islam datang mengembalikan hakekat manusia, tanpa
membedakan warna kulit, jenis dan tingkatannya, bahwa tidak ada kelebihan
bagi orang berkulit putih atas orang berkulit hitam, tidak ada kelebihan
seorang Arab atas seorang ‘Ajam(bukan Arab) kecuali dengan taqwanya.
Firman Allah SWT. Dalam surat al-Hujurat: 13
$pk öâr'» tÉ
â¨$¨Z9$#
$¯RÎ)
/ä3» oYø)n=yz
ÏiB
52
Artinya: Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-
laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-
sukusupaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia
diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara
kamu.Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Al-Hujurat:
13)
b. Islam memperlakukan budak dengan perlakuan manusiawi dan mulia. Islam
menyatakan bahwa seorang budak adalah seorang mahluk hidup yang
memiliki kehormatan dan kehidupan sebagaimana mahluk lain. Sehingga kita
harus memprlakukannya dengan baik sama dengan memperlakukan orang tua,
sanak saudara, dan lainnya.
Allah berfirman dalam surah an-Nisa: 36
*
(#rßâç6 ôã$# ur
©!$#
üwur
(#qä.Îé ô³è@
53
c. Islam mengangkat derajat budak menjadi manusia merdeka. Tidak ada
perbedaan antara manusia merdeka dengan budak, oleh karena itu banyak
anjuran untuk memerdekakan budak menjadi orang yang merdeka supaya
memiliki kesamaan derajat dengan orang merdeka secara umum.Dalam
sejarah, kita temukan bahwa Nabi SAW. Mempersaudarakan budak dengan
orang merdeka dengan harapan dapat mengikat erta hubungan selain itu pula
dapat mengangkat harkat dan martabat budak tersebut di lingkungan sosial
kemasyarakatan. Berikut ini beberapa contoh perlakuan mengangkat harkat
dan martabat para budak:
1) Rasulullah SAW. mempersaudarakan beberapa mantan budak belian
dengan beberapa pemuka Quraisy.
2) Bilal bin Rabbah dipersaudarakan dengan Khalid bin Ruwainah al-
Khatsma’i.
3) Zaid bin Haritsah dipersaudarakan dengan paman Nabi SAW.
4) Zaid dipersaudarakan dengan Abu Bakar as-Shiddiq.16
Islam secara awal telah membebaskan budak melalui dalam diri dan
nurani si budak sendiri agar ia merasakan persamaan hak dan sungguh-sungguh
si budak bisa menempuh jalan-jalan secara hukum/syari’at Islam untuk
kebebasannya. Inilah proses pembebasan yang sebenarnya. Islam juga 16 Peristiwa ini terjadi ketika Nabi Muhammad SAW, beserta pengikutnya hijrah ke Yastrib (sekarang Madinah), di tahun pertama di Yastrib, untuk mempererat persaudaraan antara kaum Muhajirin dan kaum Anshar, maka Nabi SAW mempersaudarakan mereka, Husein Haekal, Sejarah Muhammad, (Jakarta: Litera Antar Nusa, 1996), h. 254
54
mengupayakan pembebasan yang sebenarnya bagi para budak, dari dalam dan
dari luar. Dari dalam dengan jalan menyadarkan para budak, dari kedalaman
sanubarinya, melalui keyakinannya bahwa ni’mat kebebasan itu sangatlah
tinggi dan menggalakkan mereka agar mendapatkan kemerdekaan, sekalipun
dengan pengorbanan yang berat dan mahal. Syari’at Islam juga mengupayakan
berbagai jalan untuk membebaskan budak, seperti yang tercermin dalam
beberapa sarana berikut:17
1) Memerdekakan budak karena mengharap Ridha Allah SWT.Cara ini adalah
pembebasan budak dari pihak tuannya atau pemilik budak yang
mengharapkan pahala dan ganjaran di sisi Allah SWT. Dan terbebas dari api
neraka.Dalamhal ini Islam sangat menggalakkandanmendorong
(targhib)para tuan agar memerdekakan budaknya.
Sebagaimana firman-Nya dalam surah al-Balad:11-13
üxsù
zNys tFø% $#
sp t7 s)yè ø9$#
ÇÊÊÈ
!$tB ur
55
2) Memerdekakan budak dengan kafarat
Kafarat merupakan sarana yang paling penting dalam memerdekakan
budak. Al-Qur’an di dalam berbagai kesmpatan menetapkan bahwa
“memerdekakan budak” sebagai kafarat (penghapus) bagi beberapa
pelanggaran syari’at dan dosa-dosa eksidental yang dilakukan oleh seorang
muslim. Padahal pelanggaran dan dosa yang dilakukan oleh kaum muslimin
dalam realitas kehidupannya sehari-hari sudah barang tentu tidak sedikit. Ini
berarti Islam bersungguh-sungguh dalam memerdekakan budak sebanyak
mungkin didalam masyarakat Islam. Diantara sarana pembebasan dengan
kafarat sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an
a) Orang yang membunuh karena keliru (tidak sengaja) maka kafaratnya
adalah memerdekakan seorang budak dan membayar diyat kepada
keluarganya .18
$tB ur
öc% x.
? ÏB ÷sßJÏ9
br&
ü@ çFø)tÉ
56
yJsù
öN ©9
ôâÉf tÉ
ãP$uã ÅÁ sù
Èûøïtç ôgx©
57
oleh kedua pihak (tuan dan budaknya) dan akan ditunaikan oleh pihak budak
secara berangsur, bila ia telah menunaikannya maka merdekalah sang budak
tersebut. Islam menjamin pelaksanaan mukatabah ini dengan firman-Nya
dalam surah an-Nuur: 33
É#Ïÿ÷è tG ó¡uäø9ur
tûïÏ% ©!$#
üw
tbrßâÅgsÜ
% ·n% s3 ÏR
58
perbudakan, selain budak mukatab ada pula budak mudabbar,19 yang akan
menjadi orang merdeka ketika tuannya meninggal dunia serta ummu al-walad20
yang anaknya menjadi merdeka ketika ia dinikahi oleh tuannya.
4) Memerdekakan budak sebagai tanggungan Negara
Suatu jalan yang utama, apabila negara dalam Islam mengambil pula
kewajibannya untuk menghapuskan para budak ini. Ribuan budak secara
serentak dan cepat bisa dimerdekakan di berbagai tempat. Islam telah
menyediakan dana khusus yang tersedia di Bait al-Maal, yaitu melalui dana
zakat untuk memerdekakan para budak. Bahkan dalam pandangan Islam
apabila di Bait al-Maal cukup banyak, dan tidak terdapat suatu pun yang
dapat meruntuhkan sendi-sendi ekonomi negara, maka negara dalam hal ini
yang diwakili oleh khalifah mendistribusikan sebagian harta dari Bait al-Maal
tersebut untuk membebaskan para budak. Yahya bin Sa’id berkata:
“Umar bin Abdul Azis pernah mengutus aku untuk mengurusi zakat-
zakatdi Afrika, kemudian aku mengumpulkannya dan aku mencari
fuqara’ yang berhak menerimanya, tetapi kami tidak mendapatkan
seorang faqir pun yang berhak menerimanya karena Umar bin Abdul
19Budak mudabbar adalah budak yang merdeka ketika tuannya meninggal dunia. Baca al-Hafiz Syihab ad-Din Ahmad ibn Ali ibn Hajar al-Asqalani, Ibahat al-Ahkam: Syarh Bulughal Maram,(Beirut: Dar al-Fikr, 2004), IV: 314 20 Ketika seorang lelaki Muslim memiliki seorang budak wanita, maka Islam mengangkat derajat di budak wanita tersebut dengan peluang dijadikannya si budak itu istri baginya atau paling tidak diperlakukan seperti istri, dan apabila si budak wanita itu melahirkan anaknya kemudian tuannya itu mengakui bahwa itu adalah anaknya, maka si budak wanita itu menjadi ”ibu si Anak” (ummu al-walad), maka dalam keadaan demikian, tuannya diharamkan menjual budak tersebut, dan apabila si tuan meninggal, maka budak tersebut langsung menjadi merdeka sesudah kematiannya jika selama itu belum dimerdekakannya.
59
Azis telah memenuhinya. Lalu harta zakat itu aku belikan sejumlah
budak untuk kemudian dimerdekakan oleh Negara”21
5) Memerdekakan budak karena pemukulan secara aniaya
Islam memerintahkan perlakuan yang baik bagi para budak, agar
mereka merasakan eksistensi dan kemanusiaannya dan menyadari bahwa ia
adalah manusia yang diciptakan sebagaimana manusia lainnya yang memiliki
hak dan kehormatan dan kehidupan. Rasulullah SAW, mengecam dan
mengingkari setiap orang yang memperlakukannya secara kasar dan tidak
manusiawi, misalnya memukul dan merusak kehormatannya. Di dalam
riwayat yang shahih pernah disebutkan:
Artinya:Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib Muhammad bin al-A’la telah menceritakan kepada kami Abu Mu’awiyah bin al-A’la telah menceritakan kepada kami Al-A’masy dari Ibrahim At Taimi dari ayahnya dari Abu Mas’ud al Anshari dia berkata, ‘Aku pernah memukul seorang budk milikku, lalu aku mendengar suara seseorang menyeru dari belakang, “Ketahuilah wahai Abu Mas’ud, sesungguhnya Allah lebih berkuasa atas dirimu daripada kuasamu atas dia.” Setelah aku menoleh, ternyata itu adalah Rasulullah SAW. Maka aku pun berkata, “Wahai Rasulullah, dia sekarang aku bebaskan karena Allah”, Beliau bersabda: “Seandainya kamu tidak membebaskannya, maka kamu akan dilahap oleh api neraka”.22
21http://www.angelfire.com/id/dialogis/budak.html. Diakses 06-04-2019 22 Abu al-Husain Muslim ibn al-Hujjaj an-Naisaburi, Shahih Muslim, XI: hadist ke 68.
60
Islam membolehkan para pemilik budak untuk memberikan pelajaran disiplin
pada budaknya yang berlaku kurang baik, namun ini harus dilakukan dalam
batas-batas yang telah digariskan oleh Islam dan tidak boleh dilanggar. Jika hal
ini dilanggar, maka perlakuan buruk ini menjadi “sebab syar’i” untuk
pembebasannya dari perbudakan.
B. Dinamika Hukum Islam
Secara etimologis (Bahasa) kata hukum al-hukm, sebagaimana dijelaskan
Wahbah Zuhaili menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan hukm adalah
“cegahan atau larangan”. Kemudian, Amir Syarifuddin menyebutkan bahwa
secara etimologi kata al hukm berarti “menetapkan, memutuskan, dan
menyelesaikan”.Dari pengertian etimologi di atas dapat dipahami bahwa jika al
hukm diartikan menempatkan sesuatu pada tempatnya, berarti hukum itu sesuatu
yang menghendaki keteraturan dan ketertiban.23
Demikian juga, jika hukum diartikan dengan “cegahan atau larangan” maka
berarti hukum itu melarang atau mencegah terjadinya kezaliman atau maksiat
yang dilakukan oleh manusia. Selanjutnya, bila hukum diartikan dengan
“menetapkan, menentukan atau menyelesaikan”, maka berarti hukum merupakan
alat atau sarana untuk menyelesaikan dan menetapkan berbagai perkara yang
muncul dalam kehidupan umat. Kemudian secara terminologi, sebagaimana
23 Wahbah Zuhaili, Ushul al-Fiqh al Islami jilid I, Damaskus: Daarul Fikri, 1986 h. 37.
61
dijelaskan oleh ulama ushul fiqh bahwa yang dimaksud dengan hukum syara'
adalah:
“Hukum ialah titah (khitab) Allah yang berkaitan dengan perbuatan orang
mukallaf baik berupa tuntutan (suruhan, larangan) pilihan untuk berbuat atau tidak berbuat maupun hal-hal yang menjadi sebab, syarat dan penghalang dari ketentuan-ketentuan”24
Pengertian atau definisi di atas merupakan definisi yang dikemukakan oleh
kalangan ulama ushul pada umumnya. Tidak ada perbedaan antara ulama ushul
klasik dengan ulama ushul kontemporer dalam mendefinisikan hukum syara’.
Dari definisi di atas dapat dipahami bahwa apa yang disebut dengan titah Allah
kepada orang mukallaf adalah menyangkut ketentuan untuk melaksanakan segala
perintah Allah dan meninggalkan semua larangan-Nya. Selanjutnya, dalam
syari’at Islam pembuat hukum Al hakim Al Syari’ adalah Allah SWT sendiri.
Adapun Rasul (Muhammad SAW) adalah orang yang dipilih oleh Allah untuk
menyampaikan hukum-hukum syara’ kepada manusia.Semasa hidupnya, nabi
Muhammad SAW telah menjalankan tugasnya dengan sungguh-sungguh
menyampaikan dan menjelaskan berbagai ketentuan hukum syara’ yang
termaktub dalam kitab al-Qur’an dan Sunnahnya.
Setelah beliau wafat, peran dan tugas beliau beralih kepada para mujtahid-
mujtahid setelahnya. Peran dan tugas yang diemban oleh para mujtahid bukanlah
pekerjaan yang mudah dan ringan, tetapi membutuhkan kesungguhan dan
24 Hasbi Ash-Shiddiqi, Pengantar Hukum Islam, Jilid II, (Jakarta: Bulan Bintang), h. 121
62
kemampuan yang tinggi dalam memahami dan sekaligus “menetapkan” hukum-
hukum syara’ manakala berhadapan dengan berbagai persoalan yang tidak
dijelaskan oleh nash al-Qur’an dan Sunnah. Menghadapi hal seperti inilah para
mujtahid merumuskan kaidah-kaidah dan system ijtihad atau system istinbath
hukum ini sesungguhnya, adalah merupakan teori “penetapan hukum” (usaha
mujtahid memahami sumber-sumber syara’ dan menetapkan hukum atas dasar
pemahaman tersebut) yang bentuknya adalah sebagai berikut:
1. Teori Bayani
Sumber penetapan hukum atau tasyri’ adalah al-Qur’an dan As-
Sunnah.Kedua sumber utama ini merupakan rujukan utama dalam
menetapkan hukum, maka ia harus dapat dipahami dengan baik sehingga
persoalan-persoalan hukum dapat dipecahkan dengan tepat. Untuk dapat
memahami nash dengan baik para ulama ushul telah merumuskan kaidah-
kaidah kebahasaan dengan membagi lafaz nash kepada berbagai bentuk
karakteristiknya, baik dilihat dari segi lafaz nash dan cakupan maknanya, lafaz
dari segi penggunaan maknanya, lafaz dari segi penunjukkan (dilalah)nya
kepada makna. Pembagian lafaz nash kepada beberapa karakteristik seperti
disebutkan di atas tujuannya adalah dalam rangka untuk menjelaskan maksud
yang terkandung di dalam lafaz nash tersebut. Jika lafaz nash sudah dapat
diketahui maksudnya, maka akan memudahkan untuk mengambil kesimpulan
hukum. Usaha untuk menjelaskan dan mengetahui maksud lafaz nash dan
63
kemudian berakhir pada penetapan ketentuan hukum. Inilah yang disebut
dengan proses penetapan hukum dengan teori bayani.25
2. Teori Qiyasi
Secara Bahasa qiyas berarti “mengukur sesuatu atas sesuatu yang lain”
qiyas diartikan pula dengan “mengukur sesuatu atas
sesuatu yang lainnya dan kemudian menyamkannya”. Misalnya seseorang
mengukur sesuatu dan lalu menyamakannya dengan sesuatu yang lain, maka
dalam kontek pengertian bahasa hal tersebut dinamakan dengan qiyas.
Adapun pengertian qiyas secara istilah syara’ menurut Muhammad Abdul
Ghani ialah: “menghubungkan satu persoalan yang tidak (belum) ada
ketentuan hukumnya di dalam nash dengan suatu persoalan yang telah
ditetapkan oleh nash hukumnya, karena dantara keduanya terdapat persamaan
‘illat”. Oleh karena itu, apabila nash telah menjelaskan hukum sesuatu
persoalan dan di dalamnya diketahui ada ‘illat penetapannya dan kemudian
terdapat persoalan lain (masalah baru) yang ‘illat nya sama dengan apa yang
telah disebutkan oleh nash, maka atas dasar kesamaan ‘illat ini keduanya
berlaku ketentuan hukum yang sama pula. Penetapan hukum atas metode ini
disebut dengan ijtihad qiyasi.26
25 Wahbah Zuhaily, Ushul al-Fiqh.... h. 204 26 Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam, (Pusat Penerbitan Universitas LPPM Universitas Islam Bandung, 1995), h. 62
64
3. Teori Istilahi
Menurut para ulama ushul fiqh maslahat ialah berusaha untuk
terwujudnya manfaat dan kebaikan dan menolak terjadinya kerusakan.
Sementara itu, menurut Imam Ghozali maslahat pada dasarnya yaitu meraih
manfaat dan menolak terjadinya kemudharatan. Sedangkan Istishlah
merupakan cara yang digunakan dalam rangka menetapkan suatu ketentuan
hukum, dimana penetapan itu dimaksudkan semata-mata untuk mencari
kemaslahatan dan menolak kemudharatan dalam kehidupan ini. Oleh karena
itu penerapan istislahi dalam istinbath hukum, tentu tidaklah serta merta
begitu saja, tetapi harus didukung oleh syarat-syarat yang kongkrit.
Berdasarkan penjelasan Jalaludin Rahman, paling tidak ada tiga syarat yang
harus melandasi teori istishlahi atau maslahat mursalah ini,yaitu:
a. Kemaslahatan hendaklah terkait dengan kepentingan pokok yang dihajatkan
oleh manusia dan harus sejalan dengan tujuan syari’ah.
b. Kemaslahatan hendaklah menyangkut kepentingan masyarakatbanyak,
bukan orang-perorang. Artinya, kepentingan dan manfaattersebut
menyangkut kepentingan umat secara keseluruhan.
65
c. Kemaslahatan itu hendaklah realistis, jelas, dapat dipastikan dan
diperkirakan eksistensinya, kemaslahatan itu harus logis dan tidak
mengada-ada atau sesuatu yang tidak masuk akal.27
4. ‘Illat Hukum
‘Illat secara bahasa (etimologis) kata ‘illat adalah bentuk mashdar yang
berasal dari akar kata atau yang berarti sakit atau penyakit.
Dalam ilmu hadist, ‘illat dipandang sebagai sesuatu yang menyebabkan
cacatnya suatu hadist. Dalam terminologi ahli hadist bahwa ‘illat itu
merupakan sebab yang tersembunyi dan mengakibatkan cacatnya hadist,
meskipun secara lahiriyah tampak terhindar dari cacat.
Para filosof hukum Islam membagi ‘illat kedalam beberapa bagian:
1. ‘illat Asasiyah yaitu kausa prinsipal. Kausa prinsipal ialah ‘illat yang dapat menyebabkan adanya sesuatu yang selainnya dengan sendirinya.
2.‘illat Adah yaitu kausa instrumental. Kausa instrumental ialah ‘illat yang menyebabkan adanya wujud sesuatu.
3.‘illat Mubasyarah yaitu ‘illat yang menyebabkan sesuatu yang lainberadatanpa melalui perantaraan. ‘illat ini dapat disebut kausadireksi:kebalikan dari kausa instrumental.
4.‘illat Ghairu Mubasyarah, yaitu ‘illat yang menyebabkan keberadaanya sesuatu yang lain disebabkan adanya perantaranya.
27Jalaludin Abdul Rahman, al-Mashalih al-Mursalah, h. 50-51
66
5.‘illat Tammah atau Mustaqilah,yaitu ’illat yang independent yang menyebabkan mahiyyah/quiddity (apanya sesuatu wujud) dan wujud sesuatu tergantung kepadanya.
6.‘illat Muadah yaitu sesuatu yang menyebabkan adanya yang disebabkan tanpa keharusan ada penyebabnya.28
Kemudian disebut ‘illat manqulah.‘illat ini dapat diketahui berdasarkan
informasi dari Qur’an dan Sunnah, namun demikian, untuk mengetahuinya
diperlukan ilmu bantu seperti Ilmu Bahasa Arab, ilmu tafsir serta ilmu hadist.
Kedua ’illat musthanbitah, yaitu ‘illat yang diketahui melalui ijtihad.Bentuk
’illat ini jelas harus diketahui melalui penelitian yang mendalam. Oleh karena
itu, cara mengetahuinya bukan hanya diperlukan pengetahuan logika, tetapi
juga ilmu-ilmu lainya baik ilmu kealaman maupun ilmu sosial.29 Dapat
dinyatakan bahwa peranan metode ilmiah dalam upaya mengetahui dan
menguji keberadaan suatu ‘illat hukum sangat penting, bahkan menentukan
kualitas kebenaran ada dan tidak adanya suatu ‘illat.
28 Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam...... h. 67 29 Ibid, h. 65
67
BAB IV
ANALISIS TERHADAP HUKUM RIQAB MENURUT METODE IJTIHAD
RASYID RIDHA DAN YUSUFQARDHAWI.
A. Istinbath Hukum Rasyid Ridha Tentang RIQAB Sebagai Mustahik Zakat
Rasyid Ridha adalah seorang ahli Tafsir pada era modern, paham serta
pemikirannnya tidak lah jauh berbeda dengan guru-guru nya yaitu Jamaluddin Al-
Afghani dan Muhammad ‘Abduh dan ide-ide para gurunya tersebut amatlah
mempengaruhi corak pemikirannya serta ia pun amat mengidolakan Imam Al-Ghazali
yang terkenal sebagai tokoh Filsuf Muslim, sehingga hampir secara keseluruhan dari
ide pembaharuan yang di lontarkan oleh Rasyid Ridha hampir tak ada yang
bertentangan dengan apa-apa yang di sampaikan oleh para gurunya dan juga Imam
Al-Ghazali, hanya saja syaikh Muhammad Abduh tidak mau terikat pada salah satu
aliran atau mazhab yang ada dalam Islam, karena ingin bebas dalam pemikiran.1
Sebaliknya Rasyid Ridha masih memegang kuat mazhab dan masih terikat
secara kuat pula pada pendapat-pendapat Ibn Hambal dan Ibn Taiymiyyah.
Karenanya, dalam beberapa pemikiran beliau, terdapat persamaan dengan faham
Salafi,2 dalam menafsirkan ayat tajassum, misalnya, Muhammad ‘Abduh
menafsirkannya sebagai kiasan, sementara Rasyid Ridha menafsirkannya secara
dzahiri sebagaimana juga ketika menafsirkan QS. Al-Baqarah: 25, di dalam tafsir Al-
Manar tentang balasan di akhirat. ‘Abduh menekankan tafsiran filosofis. Tafsiran itu 1 https://www.harjasaputra.com/amp. Diakses 27 April 2019 2 https://www.bacaanmadani.com/2018/01/biografi-singkat-rasyid-ridha-dan.html?m=1. Diakses 27 April 2019
68
mengandung arti bahwa balasan yang akan diterima di akhirat adalah bersifat rohani.
Sedangkan Rasyid Ridha dalam komentarnya lebih menekankan balasan dalam
bentuk jasmani.
Rasyid Ridha menggunakan beberapa sumber ijtihad dalam merumuskan
pendapat hukumnya (fatwa), baik dalam arti sesuatu yang darinya diambil
kesimpulan-kesimpulan hukum maupun dalam arti Al-adillah as-Syar’iyyah (dalil-
dalil hukum). Rasyid Ridha masih memegang madzhab dan masih terikat pada
pendapat-pendapat Ibn Hambal dan Ibn Taimiyah, secara berurutan menyebutkan
lima sumber atau dalil-dalil hukum secara berurutan sebagai berikut:3
1.Nash Al-Qur’an dan Al-Hadist
2. Fatwa Sahabi
3. Pendapat sebagian sahabat
4. Hadis Mursal atau hadist dho’if
5. Qiyas
Menurut Rasyid Ridha, ada beberapa bentuk ijtihad dalam merumuskan suatu
hukum atau menghasilkan suatu fatwa nya tersebut yaitu:4
1. Ijtihad Intiqa’i
Ijtihad Intiqa’i adalah ijtihad yang dilakukan seseorang atau sekelompok
orang untuk memilih pendapat para ahli fiqh terdahulu mengenai masalah-masalah
3 Hasbi Ash-Shiddiqi, Pengantar Ilmu Fiqh, cet. Ke 8, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1993), h. 122 4 Imarah Muhammad, Mencari Format Peradaban Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), h. 182
69
tertentu, sebagaimana tertulis dalam kitab fiqh, kemudian menyeleksi mana yang
lebih kuat dalilnya dan lebih relevan dengan kondisi kita sekarang. Dan pada
pembahasan mengenai interpretasi riqab pada saat sekarang ini Rasyid Ridha
menggunakan metode ijtihad Intiqa’i tersebut yang mana ia menganalisis tentang
makna riqab dengan keadaan umat saat itu, dikarenakan pada saat ia mengemukakan
fatwa tentang makna riqab tersebut tidak lagi ia temukan perbudakan
individu/perorangan yang terjadi pada saat itu, sehingga ia mengeluarkan fatwa
terbaru yang berbeda dengan fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh ulama’ kontemporer
lainnya, yaitu ia mengemukakan bahwa makna riqab untuk saat sekarang ini dapat
diperluas kepada arti yang bermuatan kepada suatu golongan, masyarakat, bangsa
ataupun Negara.
2. Ijtihad Insya’i
Ijtihad Insya’i ialah usaha untuk menetapkan kesimpulan hukum mengenai
peristiwa-peristiwa baru yang belum diselesaikan oleh para ahli fiqh terdahulu.
Dalam ijtihad ini diperlakukan pemahaman yang menyeluruh terhadap kasus-kasus
baru yang akan ditetapkan hukumnya, jadi dalam menghadapi masalah yang sedang
dibahas, tanpa mengetahui kasus yang baru tersebut maka kemungkinan besar hasil
ijtihadnya akan membawa kepada kekeliruan.5
Sebagai contoh dalam kasus pencangkokan jaringan atau organ tubuh
manusia, guna menetapkan hukumnya maka perlu didengar lebih dahulu pendapat
para ahli dalam bidang kedokteran, khususnya ahli bedah, setelah diketahui secara 5 Ibid, h. 184
70
jelas perihal pencangkokan tersebut kemudian baru dimulai dibahas dalam disiplin
ilmu agama Islam, untuk kemudian diambil kesimpulannya. Dalam Ijtihad Insya’i ini
diperlukan pemahaman tentang metode penetapan hukum, diantara metode tersebut
adalah qiyas, istihsan, maslahat mursalat dan saddu al-Zari’at.
3. Ijtihad Muqorin (komparatif)
Ijtihad Muqorin (komparatif) adalah menggabungkan kedua bentuk ijtihad
diatas (Intiqa’i dan Insya’i) dengan demikian disamping untuk menguatkan atau
mengkompromikan beberapa pendapat, juga diupayakan adanya pendapat baru
sebagai jalan keluar yang lebih sesuai dengan tuntunan zaman.6 Pada dsarnya, hasil
Ijtihad yang dihasilkan oleh ulama’ terdahulu merupakan karya agung yang masih
utuh, bukanlah menjadi patokan mutlak, melainkan masih memerlukan ijtihad baru,
karena itu diperlukan kemampuan mengutak-atik, mengkaji ulang hasil sebuah ijtihad
tersebut, dengan jalan menggabungkan kedua bentuk ijtihad tersebut diatas.
Menurut Rasyid Ridha dalam Tafsir al-Manar, beliau mengatakan
memerdekakan budak ialah, memerdekakan budak yang mempunyai perjanjian
dengan tuannya atau pun budak yang memang berasal dari keturunan dan
memerdekakan budak ini ialah tujuan yang bermuatan maslahah dalam kehidupan
bermasyarakat berbangsa dan bernegara yang sangat di utamakan dalam islam.7
Bahkan agama islam menempatkan posisi memerdekakan budak pada posisi
pertama dalam setiap kesalahan-kesalahan umat muslim ketika melanggar hukum-
6Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, (jakarta: logos publishing House, 1995) h. 34-35. 7Rasyid Ridha, Tafsir al-Manaar, cet ke-2 Juz 10, (Daar al-fikr), h. 497
71
hukum yang di perintahkan oleh tuhan, contoh: Jika seorang muslim menzihar
istrinya, maka kafarat pertama yang harus di tunaikan seorang muslim ialah
memerdekakan budak, dan contoh lain: jika seoarng muslim berhubungan suami istri
pada siang hari ketika puasa pada bulan Ramadhan maka ia diharuskan pertama
kalinya ialah untuk memerdekakan budak.
Dari keterangan-keterangan tersebut dapat dipahami bahwa begitu besarnya
respect atau kepedulian agama islam terhadap perbudakan yang terjadi, apabila
perbudakan sekarang sudah hilang tetapi peperangan tidak akan pernah berhenti,
pertentangan antara hak dan batil akan senantiasa berlangsung. Atas dasar itu maka
bagian ini diperbolehkan dengan seluas-luasnya untuk membebaskan tawanan
Muslim. Rasyid Ridha mengemukakan dalam Tafsir al-Manar, bahwa bagian “fir-
riqab” boleh dipergunakan untuk membantu sesuatu bangsa yang ingin melepaskan
dirinya dari penjajahan, apabila tidak ada sasaran membebaskan perorangan.8
Pendapat tersebut diperkuat oleh pendapat Syaikh Mahmud Syaltut yang
menyatakan, bahwa apabila anda menyatakan telah habisnya perbudakan perorangan,
akan tetapi sebagaimana aku lihat ada jenis perbudakan lain yang lebih berbahaya
bagi kemanusiaan, yaitu perbudakan bangsa, baik dalam cara berfikir, ekonomi,
kekuasaan maupun kedaulatannya. Perbudakan perorangan lenyap dengan sebab
matinya orang itu, sedangkan negaranya tetap merdeka, bisa diurus oleh orang-orang
pintar yang bebas merdeka.9
8Ibid, h. 498 9Muhammad Jayus, Reinterpretasi Makna Riqab..... h. 86
72
Akan tetapi perbudakan terhadap sesuatu bangsa, akan melahirkan generasi
yang keadaannya seperti nenek moyangnya yaitu tetap berada dalam perbudakan
yang umum dan kekal, merusak umat dengan kekuatan yang penuh kezaliman.
Dengan demikian betapa pentingnya melakukan usaha dan kegiatan untuk
menghilangkan perbudakan dan penghinaan bangsa, bukan hanya sekedar dengan
harta zakat saja, akan tetapi dengan seluruh harta dan raga.
Atas dasar itu kita mengetahui betapa besar tanggung jawab orang kaya
muslim untuk menolong suku bangsa lain yang Muslim. Apa yang dikemukakan
Rasyid Ridha dan Mahmud Syaltut menunjukkan betapa luasnya arti perbudakan itu,
meliputi perbudakan perorangan dan perbudakan bangsa. Maka menurut Rasyid
Ridha, dalam konteks ini penafsiran ar-Riqab perlu diperluas tidak melulu
menyangkut membebaskan budak tetapi merupakan upaya membebaskan negara-
negara yang masih dikuasai negara adikuasa yang bertindak zalim baik secara politik,
ekonomi, maupun ideologis.10
Negara-negara semacam ini masuk dalam cengkeraman perbudakan dan
mengekang kebebasan warganya sehingga bagi kemanusiaan secara global
dampaknya lebih mengerikan daripada sekedar perbudakan hamba sahaya. Lagi pula
perbudakan yang ditunjuk dalm surah at-Taubah ayat 60 itu sudah tidak ditemukan
lagi faktanya di dunia sekarang ini. Lebih lanjut Rasyid Ridha menjelaskan bahwa
negara-negara yang masih diperbudak ini umumnya adalah negara yang warganya
10Rasyid Ridha, Tafsir al-Manaar, (Daar al-Kutub al-‘Ilmiyah, cet pertama, Juz 2. Beirut 1999), h. 93
73
mayoritas beragama Islam, oleh karena itu, ia menegaskan alangkah pantasnya jika
perbudakan semacam ini dibebaskan lewat perlawanan dan perjuangan guna
melepaskan penjajahan negara adikuasa yang jelas menimbulkan dampak kerugian
bagi kemanusiaan.
Untuk usaha pembebasan ini, Rasyid Ridha berpendapat tidak hanya dengan
zakat saja namun juga melibatkan jiwa dan raga. Dalam kasus memerdekakan budak
(ar-Riqab) Rasyid Ridha menggunakan pendekatan qiyas. Dia menganalogikan
penjajahan atas bangsa dengan perbudakan pada masa awal Islam. Walaupun Rasyid
Ridha tidak menjelaskan ‘illat-nya, namun hal itu bisa dipastikan dengan merujuk
langsung kepada surat at-Taubah ayat 60. Kiranya illat yang mengikat antara
memerdekakan budak pada masa awal Islam dengan memerdekakan bangsa yang
terjajah adalah menyingkirkan kesulitan dan menjauhkan nestapa manusia.11
Metode istinbath yang digunakan nya ialah metode yang dilakukan dengan
metode ijtihad intiqa’i serta menggunakan qiyas musawi yaitu: suatu qiyas yang
‘illatnya yang mewajibkan hukum, atau mengqiyaskan sesuatu pada sesuatu yang
keduanya bersamaan dalam keputusan menerima hukum tersebut. Yang mana pada
pembahasan tersebut ia bersandar pada Hadis Nabi:
11Muhammad Jayus, Reinterpretasi Makna Riqab..... h. 87
74
Artinya: dari barra bin ‘Azib berkatadatang seorang lelaki menghadap Rasulullah SAW, dan berkata “Ya Rasulullah, tunjukkan kepadakun suatu amalan yang mendekatkanku kepada surga dan menjauhkanku dari neraka, Rasulullah menjawab, bebaskanlah budak dan merdekakanlah budak, lelaki itu berkata lagi, ya Rasulullah bukankah itu perkara yang sama? Rasulullah menjawab, tidak, membebaskan budak adalah engkau sendiri yang membebaskan nya sedangkan memerdekakan budak ialah engkau membantu dengan hartamu”. (HR. Ahmad dan Daarul Quthni).12 Dalam pembahasan mengenai Riqab pada surat Al-Baqarah ayat 177 dan
surah at-Taubah ayat 60 Rasyid Ridha meluaskan makna riqab yang asal nya hanya
dimaknai kepada budak perorangan/individu menjadi lebih luas lagi ketika sudah tak
ditemukan lagi budak yang dimaksud tersebut maka di luaskan lah makna tersebut
mencakup suatu masyarakat, golongan, bangsa dan bahkan negara yang mengalami
penjajahan alasan fatwa ini di keluarkan karena hampir tidak ada lagi perbudakan
seperti yang tertulis dalam ayat al-Qur’an tersebut sehingga di qiyas kan lah kepada
yang lebih luas lagi dari maksuda dan tujuan ayat tersebut yang essensi nya tetaplah
sama yaitu: menciptakan kesetaraan dalam masyarakat ataupun golongan.
B. Istinbath Hukum Yusuf Qardhawi Tentang Riqab Sebagai Mustahik Zakat
Yusuf al-Qardhawi menggunakan beberapa sumber ijtihad dalam
merumuskan hukumnya (fatwa), baik dalam arti sesuatu yang darinya diambil
kesimpulan-kesimpulan hukum maupun dalam arti al-adillah as-syar’iyyah (dalil-dalil
hukum). Dalam buku Min Hady al-Islam Fatawa Mu’asirah, ketika mengkaji tentang
keharaman rokok, al-Qardhawi menyebutkan empat sumber atau dalil-dalil hukum
secara beruntun sebagai berikut:
12 Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manaar..... h. 497
75
1. Al-Qur’an
2. Sunnah
3. Ijma’
4. Al-Qawa’id as-Syar’iyyah al-Kuliyah (Kaidah Prinsipil Syariat).13
Akan tetapi, dalam pengkajian lebih lanjut, penulis menemukan bahwa selain
empat sumber atau dalil hukum di atas, al-Qardhawi juga menggunakan satu sumber
lain dalam berijtihad, yakni logika. Ketika mengkaji tentang kisah nabi Khidir as. Al-
Qardhawi menyebutkan dalil hukum yang ia gunakan selain Al-Qur’an, Sunnah dan
Ijma’, yakni logika.14 Dengan menganalisis fatwa yang dikemukakan oleh Yusuf al-
Qardhawi, dan menghubungkannnya dengan pendapat-pendapat hukum para fuqaha
terdahulu, maka ijtihad yang dilakukan al-Qardhawi dapat diklasifikasikan kepada
tiga kelompok, yakni: Ijtihad tarjih, Ijtihadi Kreatif dan Ijtihad Tarjih Kreatif. Untuk
hal ini, al-Qardhawi mempunyai istilah yang berbeda yakni Ijtihad Intaqa’i dan
Ijtihad Intaqa’i Insya’i.
1. Ijtihad tarjih
Ijtihad tarjih atau intaqa’i seperti yang dilakukan oleh Yusuf al-Qardhawi
dalam berfatwa adalah memilah-milih beberapa pendapat dan menetapkan pendapat
yang paling kuat dan mengikutinya berdasarkan dalil-dalil hukum tertentu. Ijtihad ini
sangat banyak ditemukan dalam fatwa kontemporer al-Qardhawi. Dalam ijtihad tarjih
al-Qardhawi melakukan pengkajian terhadap pendapat-pendapat hukum ulama 13 Yusuf Qardhawi, Hady Al-Islam Fatawa Al-Mu’asirah (Kuwait: Dar Al-Qalam, 2000), jilid 1, h. 645-646 14 http://repository.uinsu.ac.id/193/8/BAB%20IV.pdf. Diakses 3 mei 2019
76
sebelumnya tentang sebuah masalah dengan menimbang dalil-dalil yang digunakan
hingga ia mendapatkan pendapat yang paling kuat yang didasarkan pada argumentasi
yang paling kuat. Selain pertimbangan dalil, tarjih yang dilakukan oleh al-Qardhawi
juga mempertimbangkan identifikasi masalah serya keadaan kontemporer mencakup
perubahan keadaan sosial politik, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ijtihad
tarjih banyak dilakukan oleh al-Qardhawi dalam permasalahan bersuci, shalat, zakat,
sedekah, puasa, zakat fitrah, sumpah dan nazar.
2. Ijtihad Kreatif atau insya’i
Ijtihad kreatif atau insya’i adalah usaha untuk merumuskan hukum suatu
persoalan yang belum pernah dikemukakan oleh para fuqaha salaf, baik karena
masalah tersebut baru atau karena pendapat hukumnya berbeda. Ijtihad kreatif atau
insya’i pada umumnya dilakukan al-Qardhawi untuk masalah-masalah yang relatif
baru dan belum dikenal pada masa sebelumnya, seperti masalah zakat gudang dan
stand.15
Dalam melakukan ijtihad kreatif, al-Qardhawi sering mengutip pendapat-
pendapat para fuqaha yang lain kalau ada, menguji dalil-dalil hukum yang digunakan
serta menyimpulkan kesimpulan hukum. Sedangkan apabila tidak ada pendapat
ulama lain tentang masalah tersebut, maka al-Qardhawi mengemukakan dalil-dalil
serta argumentasinya dan menyimpulkan pendapat hukumnya.16
15Ibid, h. 173 16 Muhammad Halim, Istinbath Hukum Yusuf Qardhawi Tentang Aurat Wanita, (Skripsi, UIN SGD Bandung, Fakultas Syari’ah. 2008), h. 51
77
3. Ijtihad Tarjih atau Intaqa’i Insya’i
Ijtihadi tarjih kreatif atau intaqa’i insya’i adalah perpaduan dari dua bentuk
ijtihad sebelumnya. Ijtihad ini dilakukan dengan mengemukakan pendapat-pendapat
ulama salaf tentang sebuah permasalahan hukum. Menentukan yang paling kuat di
antaranya serta menjelaskan atau menambahkan hal-hal baru yang belum dijelaskan
atau disertakan oleh ulama sebelumnya. Selain tiga bentuk ijtihad di atas, yang perlu
dicatat di sini adalah bahwa al-Qardhawi sangat jarang menggunakan metode
istinbath hukum yang umum digunakan oleh para mujtahid seperti Qiyas, Maslahah
Mursalah dan Istihsan.17
Menurut Yusuf Qardhawi dalam bukunya Hukum Zakat, Riqab adalah
bentuk jama’ dari Raqabah. Istilah ini dalam Qur’an artinya budak belian laki-laki
(abid) dan bukan belian perempuan (amah). Istilah ini diterangkan dalam kaitannya
dengan pembebasan atau pelepasan, seolah-olah Qur’an memberikan isyarah dengan
kata kiasan ini maksudnya, bahwa perbudakan bagi manusia tidak ada bedanya
seperti belenggu yang mengikatnya.18 Membebaskan budak belian artinya sama
dengan menghilangkan ataupun melepaskan belenggu yang mengikatnya. Pada ayat
tentang sasaran zakat, Allah berfirman: “Dan dalam memerdekakan budak belian.”
Artinya, bahwa zakat itu antara lain harus dipergunakan untuk membebaskan budak
belian dan menghilangkan segala bentuk perbudakan. Cara membebaskan bisa
dilakukan dengan dua hal:
17Ibid, h. 53 18Yusuf Qardhawi, Hukum Zakat..... h. 587
78
Pertama, menolong hamba mukatab, yaitu budak yang telah ada perjanjian
dan kesepakatan dengan tuannya, bahwa bila ia sanggup menghasilkan harta dengan
nilai dan ukuran tertentu, maka bebaslah ia, Allah telah memerintahkan kepada kaum
Muslimin untuk memberikan kesempatan pada hamba-hambanya untuk
memerdekakan dirinya, bila ia menghendakinya serta berbuat baik kepadanya
sebagaimana Allah memerintahkan kaum Muslimin untuk memberikan pertolongan
pada mereka dalam memenuhi segala tuntutan yang diperlukan. Majikan hendaknya
memudahkan mereka, demikian pula masyarakat hendaknya mau menolong agar
mereka dapat melepaskan diri dari perbudakan.
Terhadap hal ini Allah s.w.t. berfirman:
tûïÏ% ©!$# ur
tbqäó tG ö6 tÉ
|=» tGÅ3ø9$#
$£JÏB
ôMs3 n=tB
79
firman Allah: “Dan dalam memerdekakan budak belian.” Maksudnya adalah budak
mukatab. Ia memperkuat dengan firman: “Dan berikanlah kepada mereka sebagian
dari harta Allah yang dikaruniakan-nya kepadamu.”19
Kedua, seseorang dengan harta zakatnya atau seseorang bersama-samadengan
temannya membeli seorang budak atau amah kemudian membebaskan, atau penguasa
membeli seorang budak atau amah dari harta zakat yang diambilnya, kemudian ia
membebaskan. Cara ini termasuk pendapat yang masyhur yang diikuti oleh Imam
Malik, Ahmad dan Ishak.
Imam Ibnu Arabi berpendapat, bahwa cara ini adalah cara yang tepat, ia
memperkuat dengan menyatakan, bahwa hal itu berdasarkan zahir nash Qur’an,
karena Allah s.w.t. apabila dalam kitab-Nya menerangkan Raqabah, maka
maksudnya membebaskan. Dan kalau yang dimaksud hamba mukatab, pasti Allah
menyebut dengan namanya yang yang tertentu itu, sedangkan dalam ayat tersebut ia
menyebutkan Raqabah. Maka pasti maksudnya membebaskan. Dan sebenarnya pula
bahwa mukatab itu sudah termasuk golongan orang yang berhutang, karena ia harus
membayar hutang kitabah (pembebasan dirinya), sehingga ia tidak termasuk
kelompok fir-riqab (dalam membebaskan budak belian). Kadang-kadang mukatab
termasuk pula pada asnaf fir-riqab dalam pengertian umum, akan tetapi baru pada
angsuran terakhir dia harus membayar, boleh diambil dari zakat untuk memerdekakan
dirinya.
19Tafsir al-Kabir, Imam Fakhrur-Razi, jilid 16, h. 112
80
C. Persamaan dan Perbedaan Istinbath Hukum Rasyid Ridha dan Yusuf
Qardhawi tentang Riqab Sebagai Mustahik zakat
Persamaan pendapat antara Rasyid Ridha dan Yusuf Qardhawi tentang
mengistinbathkan hukum Riqab sebagai mustahik zakat yaitu sama-sama
menggunakan metode ijtihad intiqa’i, dan sama-sama memahami dan mengartikan
bahwa riqab itu ialah bermakna tentang pembebasan dari sesuatu yang membelenggu
atau mengikat antar sesama manusia ataupun golongan.Sedangkan dasar hukum yang
digunakan Rasyid Ridha yaitu Al-Qur’an, Hadist, Ijma’ dan Qiyas, sedangkan Yusuf
Qardhawi juga menggunakan dasar hukum yang sama berbeda hanya pada Rasyid
Ridha dalam menafsirkan makna riqab menggunakan Qiyas tetapi Yusuf Qardhawi
tidak, sedangkan untuk menguatkan pendapat masing-masing yaitu dengan hadist
yang berbeda-beda pula.
Sedangkan untuk intiqa’i nya Rasyid Ridha berpendapat sama dengan
mahmud syaltut yang mengatakan bahwa: “Apabila perbudakan perorangan telah
tiada lagi di dunia ini, maka di qiyaskan lah pada pembebasan budak yang
melingkupi sebuah masyarakat, golongan atau bangsa yang masih terjajah oleh
negara atau golongan lain”.20 Dan pada pembahasan ini Rasyid Ridha menggunakan
qiyas musawi sebagaimana berikut ini:
20Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manar, (Daar Al- Kutub Al-Ilmiyah, Beirut 1999), Juz 10. h. 434-
435
81
“Sesuatu qiyas, yang ‘illatnya mewajibkan hukum”. Atau mengqiyaskan sesuatu
kepada sesuatu yang bersamaan kedua-duanya yang patut menerima hukum tersebut”.
Yakni hukum tersebut patut diterima oleh kedua-duanya dengan dasar sama,
umpamanya, mengqiyaskan budak wanita kepada budak lelaki dalam soal
mewajibkan kepada yang memerdekakan bagiannya dari seseorang budak wanita,
membayar kepada yang tidak memerdekakan, supaya budak itu merdeka penuh.
Allah berfirman:
“Maka atas mereka (budak-budak perempuan) separo bebanan dari yang
dikenakan atas wanita-wanita yang terpelihara”. (Q. S. An-Nisa’: 25)
Maka kita qiyaskan hukum budak lelaki kepada budak wanita, dalam
memikul separo dera (separo hukuman) Qiyas ini oleh setengah ulama dinamai:
Lahnul Khitab, yakni: menetapkan hukum kepada yang tidak disebut atas dasar
memahamkan irama pembicaraan. Qiyas ini juga diterima oleh semua ulama,
walaupun sebagian mereka tidak menamainya qiyas.21
Sedangkan Yusuf Qardhawi tetap berpegang teguh pada ketetapan tekstual
yang tertera dalam surah At-Taubah ayat 60 tersebut yang mana, ma’na fir-riqab
hanya di peruntukkan untuk budak belian saja atau budak mukatab ataupun budak
yang berasal dari keturunan dan tidak lah ma’na pada ayat tersebut diperluas ke arah
yang lain. Sebagaimana ia kemukakan fatwa nya dalam bukunya yang berjudul
21Hasbi Ash-Shiddieqy, (Pengantar Hukum Islam, PT. Pustaka Rizki Putra, Semarang. 1997), h. 207-208
82
Hukum Zakat yaitu “ Saya cenderung untuk menyatakan, bahwa kita tidak perlu
memperluas pengertian kalimat yang madlul aslinya tidak menunjukkan demikian,
sebab menolong bangsa yang sedang memperjuangkan kemerdekaannya, bila diambil
dari zakat dengan melalui bagian sabilillah, apalagi dalam hubungan dengan negara
lain, masalah ini merupakan tanggung jawab bersama”. Dan ia tetap berpegang teguh
pada pengertian riqab itu ialah budak yang ada perjanjian dengan tuannya ataupun
yang berasala dari keturunan dan tidaklah makna tersebut diperluasnya lagi kedalam
jangkauan lain. Dan pendapatnyainidiperkuatdengansalahsatuayat al-Qur’an dalam
surah An-Nisaa’ ayat: 92
ãçÉ ÌçóstG sù
7pt7 s% uë
“(hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya.” (QS. An-Nisaa’: 92) Dalam As-Sunnahdisebutkan, bahwaRasulullahShallallahu ‘alaihiwasallambersabda,
“Barangsiapa yang memerdekakanbudak yang muslim, maka Allah
akanmembebaskansetiapanggotabadannyasatupersatuarineraka, sampaikemaluannya
(dihindarkandarineraka) karenamembebaskanfarjinya.” (HR. Bukharidan Muslim)
Dalam pengertian penggalan ayat ke 92 dari surah an-Nisaa’ dan hadis
riwayat Bukhari dan Muslim tersebut, yusuf Qardhawi memaknai dan menafsirkan
riqab hanya untuk budak perorangan atau individu saja baik yang mukatab ataupun
budak yang dari keturunan, sehingga yusuf Qardhawi tidak memaknai ayat tentang
riqab tersebut secara meluas dan lebih jauh lagi. Karena pemahaman suatu ayat yang
83
sudah jelas tujuannya dan objeknya tidak perlu lagi untuk diperluas pada pemahaman
maknanya. Dan ia pun tidak menemukan hadis atau perbuatan sahabat yang
melakukan atau mengungkapkan tentang makna riqab secara luas dan lebih umum.22
D. Analisis Penulis
Pada bab terdahulu penulis telah membahas tentang sejarah panjang
kehidupan dan penididikan Rasyid Ridha dan Yusuf Qardhawi, metode istinbath
hukumnya serta dasar-dasar hukum yang digunakannya, serta pendapat mengenai
hukum Riqab sebagai mustahik zakat, maka selanjutnya dalam bab ini, penulis akan
penulis akan menganalisis lebih lanjut pendapat Rasyid Ridha dan Yusuf Qardhawi
yakni tentang pendapat yang berbeda mengenai riqab sebagai mustahik zakat, Al-
Qur’an tidak banyak memberi solusi yang rinci mengenai hakikat riqab sebagai
mustahik zakat yang sebenarnya, sehingga para fuqaha masih merasa perlu merinci
hal-hal yang masih global atau mujmal tersebut dalam bentuk ra’yi atau ijtihad
mereka.
Para ulama’ dalam melakukan istinbath hukum tehadap suatu persoalan akan
merujuk pada sumber pokok (Al-Qur’an dan Hadist), padahal sering kali pesan-pesan
yang terkandung dalam sumber-sumber pokok itu bersifat global yang pada akhirnya
akan menimbulkan berbagai pemikiran ushul fiqh, sehingga berpengaruh terhadap
pengambilan hukum yang seringkali kita temukan berbeda satu sama lainnya. Dalam
hal ini, penulis melihat urgensi zaman sekarang banyaknya aliran/pendapat yang
22https://www.bacaanmadani.com/pengertian-qiyas-dan-macam.html?m=1.Diakses 25 April 2019
84
muncul perbedaan antaranya masalah ma’na sebenarnya tentang hakikat riqabsebagai
mustahik zakat, oleh sebab itu penulis ingin menjelaskan bagaimana pandangan
Rasyid Ridha dan Yusuf Qardhawi tentang arti dari Riqab untuk zaman sekarang ini,
terlihat perbedaan pendapat dikalangan mereka didasari oleh perbedaan dalam
memahami dalil-dalil nash, begitu pula dengan Rasyid Ridha dan Yusuf Qardhawi
yang berbeda pendapat mengenai riqab sebagi mustahik zakat yang menggunakan
konsep tersendiri.
Mengenai konsep riqab Rasyid Ridha menggunakan metode intiqa’i, yaitu
Riqab dimaknai secara luas dan tidak terfokus hanya pada ma’na yang tertulis dalam
surah At-Taubah ayat 60 tersebut serta menggunakan metode Qiyas Musawi tersebut,
sedangkan pendapat dan metode Yusuf Qardhawi mengatakan bahwa Riqab itu
tidaklah harus dimaknai secara luas karena ketetapannya aadalah tetap pada makna
bahwa Riqab itu ialah: budak mukatab, budak belian maupun budak yang berasal dari
keturunan dan tidak meluaskan maknanya, karena para sahabat dan ijtima’ ulama’
terdahulu pun tidak ada yang meluaskan mengenai tafsir dari Riqab tersebut.
Dalam hal ini, penulis melihat urgensi zaman sekarang dan melihat kepada pendapat
yang diatas disitu terkandung makna supaya kemaslahatan itu benar-benar tercipta
dan dirasakan oleh setiap orang, golongan, masyarakat, bangsa dan Negara. Jadi
kalau dilihat dari dasar hukum masing-masing itu sama tapi berbeda dalam
penguatannya yang lebih kuat dan memandang kemaslahatan sesuai zaman sekarang
ini yaitu metode yang digunakan oleh Rasyid Ridha.
85
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Istinbath hokum tentang Riqab sebagai mustahik zakat menurut Rasyid Ridha
yaitu menggunakan metode qiyas musawi yaitu melihat makna sebenarnya dari
suatu tafsiran ayat tersebut dan tidak terpatok atau terfokus pada makna yang
ada saja namun juga melihat kepada kemaslahatan yang akan di timbulkan dari
hal tersebut.
2. Istinbath hukum yang digunakan Yusuf Qardhawi yaitu ijtihad intiqa’i ia
mengikut pendapat yang tidak terlalu meluaskan mengenai makna dari riqab
tersebut dan melihat makna dari riqab tersebut hanyalah bermuatan dan
bertujuan pada budak mukatab, belian dan budak yang berasal dari keturunan
saja.
3. Persamaan dan perbedaan Istinbath hukum tentang Riqab menurut Rasyid Ridha
dan Yusuf Qardhawi yaitu sama-sama dasar hukum surah At-Taubah ayat 60
dan tujuannya sama yaitu supaya menghilangkan perbudakan yang ada di dunia
ini, sedangkan perbedaannya yaitu berbeda dalam pemahaman tentang
penafsirannya secara luas dan berbedanya cara memandang tentang
kemaslahatan yang terjadi pada masanya masing-masing.
86
B. Saran
Berdasarkan penelitian yang diperoleh penulis, maka penulis menyampaikan
saran sebagaiberikut:
1.Perlu adanya upaya memahamkan masyarakat mengenai berbagai hal yang
berkenaan dengan proses penafsiran dan istinbath hukum, sehingga apa yang
menjadi kekayaan intelektual umat Islam berupa hasil kajian-kajian para
intelektual Islam dapat dipahami oleh masyarakat secara umum
2. Dengan adanya upaya pemahaman terhadap kekayaan intelektual umat Islam
tersebut, yang memiliki perbedaan cara pandang dalam memahami makna riqab
serta mengetahui makna dari kemaslahatan yang terkandung dalam ayat tersebut.
3. hasil pemikiran Yusuf Qardhawi mengenai riqab sebagai mustahik zakat terkesan
lebih mudah dipahami dalam perkembangan masyarakat, namun dalam hal ini
bukan berarti yang ditawarkan Yusuf Qardhawi yang terbaik, pendapatnya tentang
Riqab terkesan lebih mudah dicerna dari pendapat Rasyid Ridha, akan tetapi dari
pendapat kedua ulama tersebut, paling tidak dapat menambahkan rujukan hokum
bagi umat Islam dalam menjalankan aturan-aturan tuhan, sehingga kita dapat lebih
arif dalam menyikapi setiap persoalan di sekeliling kita.
DAFTAR PUSTAKA
A. Literature.
A. A. Miftah, Zakat Antara Tuntunan Agama dan Tuntunan Hukum, (Sulthan Thaha Press, Jambi, 2007)
Abi Zakariyya ibn Ziyad Al-Farra’, Ma’ani al-Qur’an, (Beirut: Dar al-Fikr, 1995).
Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir at-Thobari, Tafsir At-Thobari, (Beirut: Dar al-
Fikr, 1978).
Ahmad Warson al-Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia, (Surabaya, PT. Pustaka Progresif, 1997)
Al-Hafiz Syihab ad-Din Ahmad ibn Ali ibn Hajar al-Asqalani, Ibahat al-Ahkam: Syarh Bulughal Maram,(Beirut: Dar al-Fikr, 2004).
Al-Rogib al-Ashfahani, Mufrodat al-Alfaz al-Qur’an al-Karim, cet. Ke-1, (Damaskus: Dar al-Qalam, 1997)
Amir Nuruddin, Ijtihad Umar ibn al-Khattab Studi tentang Perubahan Hukum Dalam Islam, cet. Ke-1 (Jakarta: Rajawali Press)
Anton Baker dan Zubair Ahmad Charis, Metodologi Penelitian Filsafat,(Kanisius, Yogyakarta, 1990)
Bustanul Arifin.: Pemikiran dan perannya dalam pengembangan hukum islam dalam sistem hukum nasional di Indonesia. Jakarta: PP IKAHA.
Chalid Narbuko, Abu Dawud, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Bumi Aksara). Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya.(Semarang: Toha Putera).
Didin hafiduddin, Zakat Dalam Perekonomian Modern, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), cet. Ke-2.
Dikutip oleh Abdul Hamid Mahmud Al-Ba’li, Ekonomi Zakat: Sebuah Kajian Moneter dan Keuangan Syari’ah.
Ensiklopedi Islam, Jilid 5, (Jakarta: Ichtisar Baru Van Hoeve, 1997)
Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, (jakarta: logos publishing House, 1995).
Ghufron A Mas’ad, Fiqh Mu’amalah Kontekstual, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002).
Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, (PT. Pustaka Rizki Putra, Semarang. 1997)
Hamim Ilyas, dalam Muhammad Yusuf dkk, Studi Kitab Tafsir: Menyuarakan Teks Yang Bisu, (Yogyakarta: Teras, 2004).
Heri Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam, (Ekonisia Kampus Fakultas Ekonomi UII, Yogyakarta, 2004) cet ke-3
Hermawan Warsito, Pengantar Metodologi Penelitian, (Jakarta: Gramedia Utama, 1992).
Husein Haekal, Sejarah Muhammad, (Jakarta: Litera Antar Nusa, 1996)
Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam. (Pusat Penerbitan Universitas LPPM Universitas Islam Bandung. 1995).
Lexy,.J.Moeloeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rusda Karya, 2001), cet ke 14.
M Ali Hasan, Zakat dan Infak: Salah Satu Mengatasi Problema Sosial di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006).
Mahmud Syaltut, Islam: Aqidah Wa Syari’ah.
Muhammad Chirzin, Al-Qur’an dan ‘Ulum al-Qur’an (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1998).
Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Qur’an al-Hakim Syahir bi Tafsir al-Manar (Beirut:Dar al-Marifah).
Muhammad Rawwas Qal’aji, Ensiklopedi Fiqih Umar bin Khattab ra, alih bahasaM. Abdul Mujieb (Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 1999).
Muhammad Fuad Abdu al-Baqi, Al-Mu’jam al-Mufahros li Alfaz al-Qur’an al-Karim, cet. Ke-1, (Kairo: Dar al-Hadis, 1996).
Muslim Abdurrahman, Islam Transformatif, cet ke-2, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995).
Peter Salim dan Yenni Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, edisi 1, (Jakarta: Modern English Press, 1991).
Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manar, Juz 4, (Beirut: Dar Al-Ma’rifah, 1973)
Sayuti Una, Pedoman Penulisan Skripsi, Edisi Revisi, (Jambi: Syari’ah Press, 2014).
Sutrisno Hadi, Metodologi Research (Yogyakarta: Andi Offset, 1990)
Yusuf Qardawi, al-ijtihad fi al-Syari’at al-Islamiyyah (Kuwait, Dar al-Qalam, 1985).
Yusuf Qardhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer Jilid 1
Yusuf Qardhawi, Fatwa Qardhawi, Terj: H. Abdurrahman Ali Bauzir. (Jakarta: Gema Insani 2008).
YusufQardhawi, Hady Al-Islam Fatawa Al-Mu’asirah (Kuwait: Dar Al-Qalam, 2000).
Yusuf Qardhawi, Hukum Zakat. (Pustaka Litera AntarNusa, Jakarta, 2004) cet, ke-7
Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, cet. Ke-13, (Bandung: Mizan, 1996).
Wahbah Zuhaili, Ushul al-Fiqh al Islami jilid I, (Damaskus: Daarul Fikri, 1986).
B. Lain-Lain
http://www.angelfire.com/id/dialogis/budak.html.akses
http://www.Repository.UIN-Suska.ac.id/2497/3/BaB 11 PDF.
http://pustaka.abatasa.com/pustaka/detail/fiqih/ilmu-fiqih/115/tarikh at-tasyri.html.
Lukman Hakim, Perluasan makna Riqab zakat (studi pemikiran Wahbah az-Zuhaili)” Skripsi (Yogyakarta: Program Strata Satu (s1) Jurusan Perbandingan Mazhab, fakultas Syari’ah, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta).
Muhammad Arif, “Konsep riqab dan kontekstualisasinya sebagai mustahik zakat (studi pemikiran Yusuf al-Qardhawi)” Skripsi (Bandung: Program Strata satu (s1) Jurusan perbandingan mazhab, fakultas syari’ah, UIN SGD Bandung).
Muhammad Jayus, “Reinterpretasi makna riqab sebagai mustahik zakat pada zaman modern” Skripsi (Lampung: Program Strata Satu (s1) Jurusan Perbandingan mazhab, fakultas syari’ah, IAIN Raden Intan Lampung).
CURRICULUM VITAE
Nama : M. Nurman Hafiz Tempat dan Tanggal Lahir : Ds. Rambahan, 31 - Mei - 1996 NIM : SPM. 152137 Fakultas : Syariah Jurusan : Perbandingan Mazhab Jenis Kelamin : Laki-Laki Status : Belum Menikah Nama Ayah : Samsir Nama Ibu : Rosdiana Anak Ke : 2 dari 6 Bersaudara Alamat Asal : Ds. Rambahan, Kec Muara Bulian, Kab Batang Hari Nomor Telepon : 0822-3761-4332 E-mail : [email protected] Alamat Sekarang : Desa dusun baru simpang sei.duren RT.10
JENJANG PENDIDIKAN
Tahun 2003 – 2009 : SD N 159/1 Desa Rambahan Tahun 2009 – 2012 : MTs Swasta Darul Aufa Sungai Buluh Tahun 2012 – 2015 : MAS Darul Aufa Sungai Buluh Tahun 2015 – 2019 : Universitas Islam Negeri Sultan Thaha Saifuddin
Jambi