Upload
others
View
8
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
REKAYASA BAHASA
DALAM PENGUATAN KONSERVASI LINGKUNGAN
PADA MASYARAKAT PESISIR
(Language Engineering in Strengthening Environmental Conservation
in Coastal Communities)
Oleh/by
Ahmad Syaifudin
Fathur Rokhman
Mulyono
Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang
Gedung B1 Kampus Sekaran Gunungpati Semarang 50229
Telepon/Faksimile 024-8508070
Posel: 081325447691
Diterima: 18 Januari 2019, Disetujui: 13 Mei 2019
ABSTRAK
Eksploitasi sepanjang pesisir menyebabkan kerusakan pantai yang membawa kerugian bagi
masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Pada kondisi seperti itu, rekayasa bahasa sebagai bagian
dari kekuatan budaya dapat dimanfaatkan untuk mengurangi kerusakan lingkungan di wilayah
pesisir. Untuk mencapai tujuan tersebut digunakanlah desain research and development (R&D).
Model rekayasa bahasa dirumuskan secara kolaboratif antara peneliti, pakar/ahli, masyarakat,
pemerintah daerah, dan stakeholder melalui focus group discussion (FGD). Temuan penelitian
ini adalah (1) potensi bahasa masyarakat pesisir dimanifestasikan dalam bentuk bahasa dan
sastra pesisiran yang dinyatakan dalam puisi dan prosa, (2) rekayasa bahasa masyarakat pesisir
Jawa dalam penguatan konservasi lingkungan dapat dilakukan melalui dua bentuk, yakni
modifikasi dan alih wahana, dan (3) signifikansi rekayasa bahasa masyarakat pesisir dalam
penguatan konservasi lingkungan difungsikan sebagai media utama untuk mendekatkan diri
kepada Sang Pencipta (Tuhan).
Kata kunci: rekayasa bahasa, konservasi lingkungan, masyarakat pesisir, ekolinguistik
ABSTRACT
Exploitation along the coast causes damage to the coast which brings losses to the community
and the surrounding environment. In such conditions, language engineering as part of cultural
strength can be used to reduce environmental damage in coastal areas. To achieve these
objectives design research and development (R&D) is used. The language engineering model is
formulated collaboratively between researchers, experts, communities, local governments, and
stakeholders through focus group discussion (FGD). The findings of this study are (1) the
language potential of coastal communities manifested in the form of coastal language and
literature expressed in poetry and prose, (2) language engineering in Javanese coastal
communities in strengthening environmental conservation can be done through two forms,
namely modification and transfer and (3) the engineering significance of the language of
coastal communities in strengthening environmental conservation is functioned as the main
media to get closer to the God.
Jalabahasa, Vol. 15, No. 1, Mei 2019, hlm. 84—95
85
Keywords: language engineering, environmental conservation, coastal communities,
ecolinguistics
PENDAHULUAN
Kawasan pesisir, khususnya Jawa,
memiliki potensi sumber daya alam
yang kaya dan beragam. Dahuri (1996:
6) mengutarakan bahwa sumber daya
alam wilayah pesisir terdiri atas sumber
daya alam yang dapat pulih (seperti
perikanan, rumput laut, padan lamun,
hutan mangrove, dan terumbu karang),
dan sumber daya alam yang tidak dapat
pulih (seperti minyak dan gas, biji besi,
timah, bauksit, miniral, serta bahan
tambang lainnya). Selain itu, ekosistem
wilayah pesisir dapat bersifat alami dan
buatan. Ekosistem yang bersifat alami
antara lain terumbu karang, hutan
mangrove, padang lamun, pantai
berpasir, estuaria, laguna, dan delta.
Kemudian, ekosistem yang bersifat
buatan antara lain tambak, sawah
pasang surut, kawasan pariwisata,
kawasan industri, kawasan agroindustri,
dan kawasan permukiman.
Wahyudi dan Suntoyo (2009: 1)
generasi muda lebih memilih istilah
across the bridge. Hal itu
dipengaruhi oleh kurikulum sekolah
yang kurang berorientasi pada
lingkungan.
Mbete (2002) menguak warisan
budaya leluhur masyarakat etnik Lio,
Flores, berupa ungkapan-ungkapan
verbal yang memiliki fungsi untuk
melestarikan lingkungan hidup.
Ungkapan-ungkapan budaya verbal
tersebut meliputi (1) ungkapan yang
berfungsi memelihara keserasian
hubungan dengan alam semesta,
terutama dengan Sang Khalik, dan
dengan leluhur pewaris lahan, (2)
ungkapan yang berfungsi untuk
melestarikan lahan dengan
menggunakan teknik tradisional yang
mendukung lingkungan, (3)
ungkapan yang mengamanatkan
pemeliharaan hutan lindung dan
sumber air, (4) ungkapan yang
berfungsi untuk melestarikan pantai
dan laut, dan (5) ungkapan yang
berfungsi untuk melestarikan dan
menjaga kebersamaan dan kesatuan
sosial.
Mishra (2009) mengungkapkan
bahwa mitos dan ritual berfungsi
menyatukan pikiran dan tindakan
penduduk asli di India.
Pembangunan dan budaya asing telah
mengubah perilaku penduduk
setempat untuk melupakan alam.
Bahkan, pemahaman leksikon-
leksikon yang menjadi entitas suatu
budaya menjadi berkurang. Hal itu
terungkap dalam penelitian Mbete
dkk. (2009). Temuan penelitiannya
adalah rata-rata pemahaman remaja
tentang leksikon bahasa Melayu
Langkat (BML) tergolong rendah.
Hal itu disebabkan (1) kekurangan
interaksi komunitas remaja dengan
entitas yang bercirikan ekologi
bahasa daerah, (2) kelangkaan
bahkan kepunahan entitas sehingga
tidak terkonsep dalam alam pikiran
penutur, dan (3) konsepsi leksikal
penutur tentang entitas-entitas itu
bukan dalam peranti bahasa daerah
melainkan dalam bahasa lain.
Penelitian Sinar (2010) dan
Rasna (2010) juga memiliki fokus
pada penguasaan leksikon yang
mengandung ekologis. Dari
penelitian tersebut ditemukan bahwa
pengetahuan dan pemahaman
generasi muda terhadap leksikon
yang menjadi bentuk ekolinguistik
banyak mengalami pergeseran dan
Rekayasa Bahasa dalam Penguatan Konservasi …. (Ahmad Syaifudin dkk.)
86
bahkan penyusutan. Mereka sudah
tidak lagi mengenal leksikon-
leksikon yang menjadi entitas
ekologi pada budaya setempat. Oleh
karena itu, langkah penguatan
konservasi lingkungan melalui
rekayasa bahasa merupakan langkah
strategis dalam memperkuat hubungan
antara bahasa dan lingkungan.
Penguatan yang dilakukan ini
terinspirasi riset Rokhman dkk. (2012)
yang membuat rekayasa bahasa sebagai
model konservasi bahasa.
Untuk merancang model rekayasa
bahasa tersebut, penelitian ini dirancang
dengan tipe penelitian dan
pengembangan (research and
development). Penelitian ini
dilaksanakan di wilayah pesisir Jawa,
khususnya Jawa Tengah dengan
memperlihatkan karakteristik dan
tipologi geografis dan budaya. Subjek
penelitian meliputi unsur masyarakat,
pemerintah daerah, dan
stakeholder wilayah pesisir Jawa.
Dengan demikian lokasi dan subjek
penelitian ditetapkan secara purposive
sampling, dengan mempertimbangkan
tahap-tahap penelitian serta tujuan
penelitian. Pengumpulan data
menggunakan metode angket,
observasi, dokumentasi, dan FGD.
Analisis data dilakukan dalam tiga
tahap (studi), yakni tahap pendahuluan,
pengembangan dan validasi. Pada tahap
studi pendahuluan, temuan atau fakta-
fakta tentang potensi bahasa yang
mendukung penguatan konservasi
lingkungan pada masyarakat pesisir
Jawa dianalisis (diinterpretasikan)
secara kualitatif. Pada tahap
pengembangan, teknik yang digunakan
dalam menganalisis adalah analisis
kualitatif. Kemudian, pada tahap
validasi model, teknik analisis yang
digunakan adalah deskriptif kualitatif
dan kuantitatif dalam bentuk sajian
data; demikian juga dalam ukuran
keterterapan model (applicability)
dianalisis secara deskriptif kualitatif
dan kuantitatif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Potensi Bahasa Masyarakat Pesisir
Potensi diartikan sebagai segala sesuatu
yang memunyai kemungkinan untuk
dikembang-kan. Berdasarkan
pengertian tersebut, potensi bahasa
masyarakat pesisir dapat diartikan
sebagai segala bentuk bahasa yang
memunyai kemungkinan untuk
dikembangkan dalam usaha penguatan
konservasi lingkungan di kawasan
pesisir sehingga berdampak pada
kesejahteraan hidup masyarakatnya.
Potensi bahasa masyarakat pesisir
dimanifestasikan dalam bahasa dan
sastra pesisiran dan dinyatakan dalam
bentuk puisi dan prosa. Bentuk puisi
ditampilkan berupa syiir dan ―puji-
pujian‖, sedangkan bentuk prosa
ditampilkan berupa cerita.
Melalui bahasa dan sastra
pesisiran, mental dan pola pikir
masyarkat pesisir dapat dipengaruhi.
Keindahan bahasa yang disusun
menjadikan ancaman maupun nasihat
dapat disalurkan tanpa rasa emosional.
Masyarakat terbawa keindahan bahasa
dan sastra yang lekat dengan kehidupan
masyarakat pesisir. Namun, bahasa dan
sastra pesisiran, baik yang dalam
bentuk puisi maupun prosa, belum
banyak mendapatkan perhatian dalam
penelitian sastra, walaupun populasinya
cukup banyak. Potensi bahasa dan
sastra pesisiran tidak disinggung dalam
berbagai buku sastra Jawa, seperti
dalam buku Kepustakaan Jawa (1952)
yang ditulis Purbatjaraka dan
Jalabahasa, Vol. 15, No. 1, Mei 2019, hlm. 84—95
87
Hadidjaya, Ngengrengan Kasusastran
Djawa karangan Padmosoekotjo
(1953), Bunga Rampai Sastra Jawa
Mutakhir karya Ras, J.J. (1985), dan
dalam buku Kawruh Kasusastraan
Jawa karya Subalidinata (1996). Syiir
juga tidak ditemukan dalam katalog
naskah Jawa seperti katalog susunan
Pigeaud Literature of Java: catalogue
Renaissance of Javanese Manuscripts
(1973), katalog Girardet Descriptive
Catalogue of the Javanese Manuscripts
and Printed Book in the Moun
Librerary of Surakarta and
Yogyakarta, dan katalog susunan
Behrend (Muzakka, 2002: 22).
Untuk melihat potensi bahasa
pesisiran, penginventarisasian dan
pendokumentasian perlu dilakukan
karena karya-karya pesisiran masih
minim yang berada di perpustakaan
maupun katalog naskah.
Kecenderungannya karya-karya sastra
tersebut dimiliki oleh perorangan dan
kalangan tertentu saja yang
menyimpannya.
Agar potensi bahasa dan sastra
pesisiran dapat diapresiasi masyarakat
secara luas, diperlukan suntingan teks
karena sastra pesisiran sebagai karya
klasik disajikan dalam bentuk tulisan
Arab-Jawa (pegon). Bagi masyarakat
yang tidak dapat membaca huruf
pegon, suntingan teks menjadi usaha
vital untuk menghubungkan penulis
dan pembaca dalam menerima efek
komunikasi bahasa, sastra, dan budaya
tentang potensi pesisiran dan nilai-nilai
luhur yang terdapat di dalamnya,
termasuk usaha konservasi lingkungan.
Dengan demikian, konservasi
lingkungan di pesisir pantai dimulai
dari penataan pola pikir masyarakat.
Potensi Sastra Pesisir
Syiir Masyarakat Pesisir
Menurut Mustofa Bisri (dalam Hamidi
2005: 4), syiir (singir) atau syiiran lebih
menunjuk pada pengertian nadham
dalam bahasa Jawa. Syiir sepadan
dengan nazham yang merupakan
kalimat yang disusun secara teratur dan
bersajak.
Syiir ditulis dalam bahasa Jawa
muncul dan berkembang di kalangan
masyarakat santri di Jawa dan
merupakan manifestasi dari puisi Jawa
yang terpengaruh Arab-Islam
(Muzakka, 2002: 39). Menurut
Steenbrink (1988: 14) syiir sebagai
karya sastra berasal dari syair Melayu.
Lebih lanjut, Darmawi (1964: 82)
mengungkapkan bahwa bentuk syiir
cenderung mengambil pola bentuk
syair Melayu meskipun tidak seketat
syair Melayu. Syiir memunyai bentuk
yang sama dengan syair dalam
khazanah sastra Indonesia lama, yaitu
terdiri atas empat baris tiap baitnya,
bersajak aaaa, dan bersuku kata tetap
tiap barisnya, umumnya tiap baris berisi
dua belas suku kata, Seperti tampak
pada kutipan berikut.
Sun miwiti anarik akaleng bocah
mbok menowo lawas lawas bisa
pecah
bisa mikir bisa ngrasa bisa genah
ngarep-arep kabeh iku min fadlilah
Wajib bapa aweh sandang mangan
ngimel
aweh arto sangu ngaji aja owel
lan arep kasil ngilmu buwang sebel
aja nganti ati atos amakiyel
Wajib ngain lanang wadon luru
ngilmu
aja leren yen durung rupek bodhomu
nadya adoh angel ilanga taksirmu
kena mulih yen wis kasil ilmumu
Rekayasa Bahasa dalam Penguatan Konservasi …. (Ahmad Syaifudin dkk.)
88
(syiir ―Darma Wasana‖ dalam
Darnawi 1964: 82—83)
Bandingkan syiir tersebut dengan
bait syair Melayu berikut ini.
Lalailah menentang al‘al Allah
leka memandang sifat Allah
khiyal merasai nikmat Allah
bagaikan lenyap dalam bahr Allah
Badannya tiada lagi terbawa
rasanya didi dalam jannat al-ma‘wa
letih lesu badan dan nyawa
melihatkan Bidadari ramai tertawa
(syair ―Bidadari‖ dalam Braginsky
dkk., 1989: 137)
Dari perbandingan tersebut
menunjukkan bahwa antara syair dan
syiir memiliki ciri-ciri luar dan dalam
yang hampir sama yaitu (1) tiap-tiap
bait terdiri atas empat baris, (2) tiap
baris terdiri atas 8--12 suku kata, (3)
bersajak sama (aaaa), dan warna Arab-
Islam cukup dominan. JIka dikaitkan
dengan batasan genre Wellek dan
Austin Warren (1989: 306--307), kedua
bentuk sastra tersebut tergolong dalam
genre yang sama.
Syair dan syiir ditulis dalam
bahasa yang berbeda. Kedua bentuk
sastra tersebut dapat dipisahkan karena
masing masing hidup dalam dunia
sastra daerah yang berbeda serta
memunyai kedudukan, fungsi, dan
potensi tersendiri dalam sastra
Indonesia (Muzakka, 2002: 40).
Berdasarkan jumlah baris tiap baitnya,
syiir semakin berbeda dengan syair.
Perbedaan itu tampak pada jumlah
baris tiap baitnya. Syiir terdiri atas dua
baris tiap baitnya (matsnawi).
Prosa Pesisiran
Hasil deskripsi naskah sastra pesisiran
yang dilakukan menunjukkan adanya
bentuk prosa. Bentuk prosa pesisiran
berupa tarih dan kisah/qisas. Tarih yang
cukup popular adalah tarih Nabi
Muhammad SAW yang berisi cerita
tentang Nabi Muhammad dari mulai
lahir sampai wafat. Kisah para nabi
yang cukup terkenal ada dalam Qisasul
Ambia.
Tarih Nabi Muhammad SAW
disusun oleh Kiai Toha Mahsun yang
menceritakan kehidupan manusia pada
zaman Nabi Muhammad SAW. Al
Abau Lil Abna’i yang ditulis oleh Kiai
Basir Musthofa berisi cerita yang
disertai gambar ilustrasi. Al Abau Lil
Abna’i menceritakan kehidupan
seorang anak. Cerita tersebut
mengandung nilai-nilai moral. Ada
pula cerita yang dikemas dalam bentuk
tanya jawab. Hal tersebut tampak
dalam Jawab Soalipun Mu’taqod yang
ditulis atau dikarang oleh Raden
Asnawi dari kampung Bandar Kudus.
Naskah Jawab Soalipun Mu’taqod
berisi Aqoid Lima Puluh (Aqidah).
Selain cerita tersebut, ditemukan
teks pesisiran yang disusun oleh Kiai
Ahmad Subekti dari Sampangan,
Pekalongan. Judul karyanya Maslakul
‘ibad yang berisi sifat-sifat Allah SWT.
Alfaqir Kiai Bisri Musthofa dari
Rembang juga megarang sastra
pesisiran yang berbentuk prosa berjudul
Darul Bayan yang menceritakan
tentang keimanan.
Isi Teks-Teks Pesisiran
Teks-teks pesisiran tidak bisa dibuat
dari bahan rekaan, tetapi mengacu atau
bersumber pada Alquran, hadis, dan
kitab-kitab keagamaan. Oleh karena itu,
teks-teks pesisir berisi ajaran moral,
Jalabahasa, Vol. 15, No. 1, Mei 2019, hlm. 84—95
89
nasihat, dan pendidikan. Teks Sastra
Pesisir merupakan hasil respons estetik
pengarang dari hasil pembacaannya
terhadap referensi-referensi keagamaan
yang bersumber pada Alquran, hadis,
dan kitab-kitab pesantren yang
memunyai otoritas tinggi.
Kitab–kitab keagamaan yang
memunyai hubungan dengan sastra
pesisir adalah kitab-kitab yang
diajarkan di pesantren. Kitab-kitab
pesantren yang memunyai hubungan
intertekstual dengan ajaran agama yang
terdapat dalam sastra pesisir dalam
penelitian ini adalah (1) Kitab Riyadhus
Shalihin karya Abu Zakaria Yahya bin
Syaraf An-Nawawi, (2) Duratun
Nasihin karya Usman bin Ahmad
Syakir Al-Khaubawi, (3) Bulughul
Maram karya Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-
‗Asqalani, (4) Tanbihul Ghafilin karya
Abullaits Assamarqandi, (5) Kitab
Ta’lim Muta’alim Thariqat Ta’lim,
yang disusun dan dikarang oleh Syekh
Az-Zarnuji, dan (6) Syaarah
Mukhtaarul Alhadiits karya Sayyid
Ahmad Alhasyimi. Kitab-kitab tersebut
merupakan kitab fiqih bermadzhab
Syafi‘i yang populer di pesantren dan
ditulis pada abad ke-10 smapai abad
ke-15 (Bruinessen, 1995: 30). Selain
kitab tersebut, ada juga kitab Durrat Al-
Faraid karya terjemahan Nurrudin ar-
Raniri yang diajarkan di pesantren.
Kitab Riyadus Shalihin dibahas
dalam 19 bagian kitab yang terbagi atas
372 bab dan menyertakan 1900 hadis.
Dalam penulisannya, Imam Nawawi
mengemukakan ayat-ayat Alquran
sebagai dalil utama untuk menguatkan
dalil penyokong atas masalah yang
akan dibahas. Kemudian, disertakan
dalil-dalil hadis sebagai penjabaran atas
masalah yang dibahas. Kitab Riyadus
Shalihin menjadi salah satu kitab wajib
yang diajarkan di pesantren.
Kitab Duratun Nasihin karya
Usman bin Ahmad Syakir Al-
Khaubawi berisi tentang akhlak murni
yang masih dikaji di pesantren dan
dijadikan acuan oleh para muballig
dalam materi dakwah mereka
(Manshur, 2001: 117). Kitab Duratun
Nasihin berisi nasihat, peringatan,
cerita-cerita teladan, penjelasan hukum,
serta permasalahan dunia dan akhirat.
Bulughul Maram karya Al-Hafizh Ibnu
Hajar Al-‗Asqalani merupakan kitab
yang berisi dalil-dalil hukum yang
terdapat dalam ajaran agama Islam,
seperti persoalan bersuci, salat, jual
beli, pernikahan, dan pidana. Tanbihul
Ghafilin diartikan sebagai ‗peringatan
bagi yang lupa‘. Kitab karya Abullaits
Assamarqandi ini berisi petunjuk
menuju kebaikan serta menghindari
kejahatan. Syaarah Mukhtaarul
Alhadiits karya Sayyid Ahmad
Alhasyimi berisi tentang hadis-hadis
pilihan beserta penjelasannya.
Kitab Ta’lim Muta’alim Thariqat
Ta’lim, karya Syekh Az-Zarnuji berisi
petunjuk bagi seorang penuntut ilmu,
seperti memilih guru dan teman untuk
berdiskusi dan mencari solusi dalam
permasalahan yang ada dalam
masyarakat, cara memuliakan ilmu dan
shohibul ilmu, dan hal-hal yang
berhubungan tentang hak dan
kewajiban penuntut ilmu.
Ajaran agama Islam berkaitan
dengan ketertarikan dan ketaatan
terhadap norma agama Islam yang
membentuk perilaku seseorang.
Perilaku agamis seseorang diwujudkan
dengan ketaatan terhadap ajaran agama
Islam sebagaimana disyariatkan Tuhan
melalui Nabi Muhammad SAW.
Ketaatan terhadap syariat Tuhan
ditunjukkan dengan kepercayaan
kepada Tuhan dan diwujudkan dengan
menjalankan segala perintah dan
Rekayasa Bahasa dalam Penguatan Konservasi …. (Ahmad Syaifudin dkk.)
90
larangan-Nya. Kepercayaan kepada
Tuhan menunjukkan keimanan,
sedangkan menjalankan segala perintah
serta meninggalkan larangan-Nya
merujuk pada ketakwaan.
Isi ajaran teks-teks sastra pesisir
sesuai dengan ajaran Islam yang
meliputi tiga dimensi, yaitu aqidah,
syariat, dan akhlak. Bertolak dari hal
tersebut, ajaran agama Islam yang
menjadi kajian dalam penelitian terdiri
atas dimensi akidah (keimanan), syariat
(praktik agama, ritual formal), dan
akhlak (pengamalan dari akidah dan
syariat).
Akidah berisi aspek keimanan
yang menekankan pada konsep
monoteisme atau keesaan Tuhan.
Akidah Islamiyah mengacu pada enam
keyakinan dasar yang disebut rukun
iman, yaitu iman kepada Allah,
malaikat, kitab suci, Nabi dan Rosul,
hari kiamat, dan takdir (Aminudin,
2002: 15). Akidah merupakan hal
pokok yang di atasnya berdiri syariat.
Antara akidah dan syariat tidak dapat
dipisahkan.
Syariat adalah wadah pengaturan
segala bentuk praktik keagamaan yang
terbagi dalam dua hal, yaitu ibadah dan
muamalah. Ibadah berkaitan kewajiban
pokok seorang muslim yang disebut
rukun Islam yang terdiri atas lima hal,
yaitu mengucapkan kalimat syahadat,
melaksanakan salat lima waktu,
membayar zakat, puasa ramadhan, dan
ibadah haji. Muamalah mengatur tata
kehidupan seorang muslim dengan
masyarakat, seperti hukum publik dan
hukum perdata (Depag, 1998: 37;
Aminudin dkk., 2002: 14). Dengan
demikian, perwujudan syariat
merupakan kewajiban yang harus
dijalankan oleh seseorang yang
beragama Islam, seperti salat zakat dan
lain sebagainya, sedangkan muamalah
merupakan bagian dari syariat yang
mengatur pergaulan hidup manusia di
atas bumi, baik tentang harta benda,
perjanjian-perjanjian, ketatanegaraan
maupun hubungan antarnegara.
Akhlak merupakan ajaran yang
diarahkan pada pembentukan etika
kehidupan masyarakat yang sejalan
dengan nilai-nilai dasar Islam (Depag,
1998). Akhlak mengatur bagaimana
seorang muslim berhubungan dengan
sesama manusia, hubungan dengan
rosul, hubungan dengan diri sendiri,
berbangsa dan antar bangsa, dengan
hewan, tumbuhan, serta seluruh alam
semesta (Daradjat, 1996). Dengan
demikian, perwujudan akhlak berupa
nilai dan perilaku seseorang seperti
sabar, syukur, tawakkal, dan berbakti
kepada orang tua, dan sebagainya
(akhlak al-mahmudah) dan sombong,
takabur, dengki, dan riya (akhlak al-
mazmumah). Kedudukan akhlak
berpengaruh terhadap watak individu
seseorang.
Rekayasa Bahasa dalam Konservasi
Lingkungan Pesisir
Apabila ditinjau dari garis pantai (coast
line), wilayah pesisir mempunyai dua
macam batas (boundaries), yaitu batas
yang sejajar garis pantai (long shore)
dan batas yang tegak lurus garis pantai
(cross shore). Pengertian tersebut
mengindikasikan terjadinya interaksi
antarekosistem perairan pesisir
sehingga memunculkan kekayaan
potensi habitat pesisir yang beragam.
Namun, kondisi hidup habitat pesisir
seperti itu berpotensi mudah
mengalami kerusakan akibat kegiatan
masyarakat yang tidak bertanggung
jawab.
Rekayasa bahasa masyarakat
pesisir Jawa dalam penguatan
Jalabahasa, Vol. 15, No. 1, Mei 2019, hlm. 84—95
91
konservasi lingkungan dapat dilakukan
melalui dua bentuk, yakni modifikasi
dan alih wahana. Rekayasa bahasa
dengan cara modifikasi dilakukan
dengan
menginovasikan/mengkreasikan bahasa
dan/atau sastra, baik tulis maupun lisan,
yang telah ada sebelumnya disesuaikan
dengan perkembangan zaman.
Rekayasa dengan cara alih wahana
dilakukan dengan mengubah karya ke
dalam bentuk lain.
Berdasarkan bentuknya, rekayasa
bahasa di pesisir yang paling banyak
ditemukan adalah alih wahana dalam
bentuk lirik/syair lagu yang dikemas
dalam bentuk kaset atau VCD. Lagu
yang digunakan bergenre dangdut, pop,
dan bahkan campursari. Misalnya, lagu
―Tombo Ati‖. Lagu ini cukup populer
di masyarakat karena disajikan dalam
berbagai jenis musik, baik pop,
dangdut, maupun campursari. Opick
menyanyikan lagu ―Tombo Ati‖ dalam
alunan musik pop. Didi kempot dan
Cak Dikin mengemas lagu tersebut
dalam kemasan campursari. Emha
Ainun Nadjib menyanyikan lagu
―Tombo Ati‖ dengan iringan Kiai
Kanjengnya. Dalam iringan lagu
dangdut lagu tersebut dipopulerkan
oleh OM Pallapa dan OM Monata yang
mengusung jenis musik dangdut koplo.
Lirik lagu ―Tombo Ati‖ yang
dikemas dalam bentuk dangdut dan
dinyanyikan oleh Nena Firnanda
bersama OM Monata, Brodin bersama
OM Pallapa, serta Ratna Antika
bersama OM Mutiara memunyai lirik
yang sama dengan lagu ―Tombo Ati‖
yang dibawakan oleh Opick maupun
Emha Ainun Nadjib, yaitu sebagai
berikut.
Tombo Ati
Tombo ati iku lima perkarane
kaping pisan maca Qur'an lan
maknane
kaping pindo Salat wengi lakonana
kaping telu wong kang soleh
kumpulana
kaping papat kudu weteng engkang
luwe
kaping lima dzikir wengi engkang
suwe
salah sakwijine sapa bisa ngelakoni
mugi-mugi Gusti Allah nyembadani
Obat hati ada lima perkaranya
yang pertama baca Alquran dan
maknanya
yang kedua salat malam dirikanlah
yang ketiga berkumpullah dengan
orang soleh
yang keempat perbanyaklah berpuasa
yang kelima zikir malam
perpanjanglah
salah satunya siapa bisa menjalani
moga-moga Gusti Allah mencukupi
Dilihat dari bentuk dan tematiknya
lirik lagu ―Tombo Ati‖ (obat hati)
memunyai kesamaan dengan syiir bab
tambane larane ati berikut ini.
Bab Tambane Larane Ati
Padha sira nambanana ing larane
atinira
Larane ati iku nggone demen donya
Lamun ora ditambani lawas-lawas
dadi mati
Nek wis mati ora gelem jak ngibadah
maring Gusti
Tambane lara ati iku lima perkarane
Ingkang dhihin seka lima maca
Qur’an karo dirasa
Kaping pindho kudu melek dzikir
wengi ingkang suwe
Kaping telu kudu salat tahajud
ingkang suwe
Kaping pat seka lima angothangi
wetengira
Rekayasa Bahasa dalam Penguatan Konservasi …. (Ahmad Syaifudin dkk.)
92
Kaping lima kudu sira angumpuli
para ngulama
Lamun sira wus nglakoni perkara
ingkang lelima
Gusti Allah paring waras ing larane
atinira
Mesthi sira ngelakoni salah siji saka
lima
Mbok menawa Gusti Allah paring
suda laranira
(Erang-Erang Sekar Panjang, Juz 1:
23)
Bab Obat Sakit Hati
sembuhkanlah sakit hatimu
sakit hati karena terlalu menyukai
dunia
jika tidak diobati lama-lama menjadi
mati
kalau sudah mati tidak mau diajak
ibadah kepada Allah
obat sakit hati itu lima perkara
yang pertama dari lima membaca
Alquran dengan dirasakan
yang kedua harus bangun berzikir di
malam hari yang lama
yang ketiga harus salat tahajud yang
lama
yang ke empat dari lima berpuasa
yang kelima kamu harus berkumpul
dengan ulama
Jika kamu sudah melakukan kelima
hal
Allah akan menyembuhkan sakit
hatimu
Jika kamu melakukan satu dari lima
semoga Allah meringankan sakitmu
Dalam syiir bab tambane larane ati
dijelaskan bahwa di dalam diri
seseorang terdapat penyakit hati.
Penyakit hati disebabkan oleh perasaan
seseorang yang terlalu mencintai dunia
(larane ati iku nggone demen donya).
Sakit hati kalau tidak diobati sangat
berbahaya karena seseorang yang
mendapat sakit hati akan tidak mau
beribadah menyembah kepada Allah
SWT. (nek wis mati ora gelem jak
ngibadah maring Gusti).
Karakteristik masyarakat pesisir
terbentuk secara alamiah dipengaruhi
oleh keadaan alam. Misalnya, mereka
sangat terbuka dan terbiasa berbicara
dengan nada keras. Hal itu terjadi
karena mereka berada di dekat pantai
yang tidak asing dengan deru ombak.
Kenyataan lainnya dapat dilihat secara
historis bahwa perlintasan Nusa Jawa
silang budaya terjadi akibat adanya
lintas kultural di daerah pesisiran.
Artinya, masyarakat pesisir mengalami
proses sentuhan globalisasi, cinanisasi,
arabisasi, dan westernisasi sehingga
masyarakat pesisir memunyai karakter
yang unik.
Warga masyarakat yang proses
sosialnya berada di wilayah pesisir
dapat digolongkan sebagai masyarakat
yang peradabannya ―kasar‖. Hal itu
ditandai oleh sikapnya yang lugas,
spontan, tutur kata yang digunakan
cenderung kasar, sedangkan dari segi
keagamaannya cenderung Islam
puritan. Umumnya budaya masyarakat
di daerah pantai lebih terbuka, mudah
menerima perubahan dan bersifat
majemuk jika dibandingkan budaya
masyarakat di daerah pedalaman.
Terkait signifikansi rekayasa bahasa
masyarakat pesisir dapat digambarkan
dalam bagan berikut ini.
Kehidupan masyarakat pesisir
yang tidak lepas dari nilai-nilai
keagamaan menjadikan aktivitas
konservasi tetap sebagai media
mendekatkan diri kepada Sang
Jalabahasa, Vol. 15, No. 1, Mei 2019, hlm. 84—95
93
Pencipta (Tuhan). Jika proses
mendekatkan diri kepada Tuhan
mendatangkan rezeki/pendapatan,
mereka menggunakan rezeki tersebut
sekadar untuk memenuhi kebutuhan
hidup. Sisanya mereka gunakan untuk
mendekatkan diri kepada Tuhan.
Kenyataan itu didasarkan pada ajaran
agama yang memerintahkan para
umatnya untuk menjaga lingkungan,
kebersihan, dan sebagainya. Dengan
demikian, signifikansi rekayasa bahasa
masyarakat pesisir dalam penguatan
konservasi lingkungan difungsikan
sebagai media utama untuk
mendekatkan diri kepada Sang
Pencipta (Tuhan).
SIMPULAN
Berdasarkan pembahasan tersebut
dapat disimpulkan bahwa (1) potensi
bahasa masyarakat pesisir
dimanifestasikan dalam bahasa sastra
pesisiran dan dinyatakan dalam bentuk
puisi dan prosa. Bentuk puisi
ditampilkan berupa syiir dan ―puji-
pujian‖, sedangkan bentuk prosa
ditampilkan berupa cerita. Melalui
bahasa sastra pesisiran, mental dan pola
pikir masyarakat pesisir dapat
dipengaruhi.
Keindahan bahasa yang disusun
membuat ancaman maupun nasihat
dapat disalurkan tanpa rasa emosional;
(2) bentuk rekayasa bahasa masyarakat
pesisir Jawa dalam penguatan
konservasi lingkungan dapat dilakukan
melalui dua bentuk, yakni modifikasi
dan alih wahana. Bentuk rekayasa
bahasa dengan cara modifikasi
dilakukan dengan
menginovasikan/mengkreasikan bahasa
dan/atau sastra, baik tulis maupun lisan,
yang telah ada sebelumnya disesuaikan
dengan perkembangan zaman. Bentuk
rekayasa dengan cara alih wahana
dilakukan dengan mengubah karya ke
dalam bentuk bentuk lain; dan (3)
signifikansi rekayasa bahasa
masyarakat pesisir dalam penguatan
konservasi lingkungan difungsikan
sebagai medium utama untuk
mendekatkan diri kepada pencipta
(Tuhan).
DAFTAR PUSTAKA
Aminudin., dkk. 2020. Pendidikan
Agama Islam untuk Perguruan
Tinggi Umum. Jakarta: Ghalia
Indonesia.
BPLH Daerah Provinsi Jawa Barat.
2004. Beberapa Permasalahan
Lingkungan dan Rekomendasi
Penanganan Wilayah Pesisir
Pantai Jawa Barat. Bandung:
Badan Pengendalian Lingkungan
Hidup Daerah Provinsi Jawa
Barat.
Braginsky, V.I., M.A. Boldyreva, A.M.
Kulikova. 1989. Naskhah
Melayu di Leningrad. Bangi:
Universiti Kebangsaan Malaysia.
Bruinessen, M.V. 1995. Kitab Kuning,
Pesantren, dan Tarekat.
Bandung: Mizan.
Departemen Agama. 1998. Suplemen
Buku Daras Pendidikan Agama
Islam untuk Perguruan Tinggi
Umum. Jakarta: PPIM.
Dahuri. 1996. Pengelolaan Sumber
Daya Wilayah Pesisir dan
Lautan Secara Terpadu. Jakarta:
Pradnya Paramita
Darnawi, S. 1964. Puisi Djawa.
Djakarta: Balai Penelitian
Bahasa.
Rekayasa Bahasa dalam Penguatan Konservasi …. (Ahmad Syaifudin dkk.)
94
Daradjat, Z. 1996. Ilmu Pendidikan
Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
Fill, A. & Mühlhäusler, P. 2001. The
Ecolinguistics Reader Language,
Ecology, and Environment.
London: Continuum.
Hamidi, Jazim dan Abta Asyhari, A.
2005. Syiiran Kiai-Kiai.
Yogyakarta: Pustaka Pesantren.
Harahab, Nuddin. 2011. Valuasi
Ekonomi Ekosistem Hutan
Mangrove dalam Perencanaan
Wilayah Pesisir. Berkalah
Penelitian Hayati, Edisi
Khusus: 7F, hlm. 59–67
Haugen, E. 1972. The Ecology of
Language. Stanford, California:
Stanford University Press
Kastolani, W. 2012. ―Strategi
Konservasi Wilayah Pesisir yang
Berkelanjutan‖. Pidato
Pengukuhan Guru Besar dalam
Ilmu Geografi Lingkungan
Universitas Pendidikan
Indonesia, Bandung, 19 Juli
2012.
Manshur, F.M. 2007. ―Kasidah
Burdah Al-Bushiry dan
Popularitasnya dalam Berbagai
Tradisi: Suntingan Teks,
Terjemahan, dan Telaah
Resepsi‖. Disertasi. Pascasarjana
Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.
Mbete, A.M. 2002. ―Ungkapan-
Ungkapan dalam Bahasa dan
Fungsinya dalam Melestarikan
Lingkungan.‖ Linguistika. Vol.
9: No. 17. Program Studi
Magister dan Doktor Linguistik
Universitas Udayana, September
2002. p. 174-186.
Mbete, A.M. dkk. 2009. ―Penyusutan
Fungsi Sosioekologis Bahasa
Melayu Langkat dan bahasa
Muna serta Upaya
Pemberdayaannya‖. Laporan
Penelitian. Denpasar: Universitas
Udayana.
Mishra, M.K. 2009. ―Sacred
Worldview in Tribal Memory:
Sustaining Nature Through
Cultural Actions‖. Language &
Ecology. Vol. 2, No.4, p 1–7.
Muzakka, M. 2002. ―Kedudukan dan
fungsi Singir bagi masyarakat
sastra Jawa‖. laporan penelitian.
Semarang: Fakultas Sastra
Universitas Diponegoro.
Pandey, A. 2000. ―Linguistic Erosion
On The Chesapeake:
Intergenerational Diachro-nic
Shifts In Lexicalizations Of The
Bay‖. Language and Ecology,
Vol. 2. No. 3. available
www.ecoling.net/journal.html.
Poerbatjaraka, R.N. dan Hadidjaja, T.
1952. Kepustakaan Djawa.
Djakarta: Djambatan.
Padmosoekotjo, S. 1953. Ngengrengan
Kasusastran Djawa. Yogyakarta:
Hien Hoo Sing.
Ras, J.J. 1985. Bunga Rampai Sastra
Djawa Mutakhir. Jakarta:
Pustaka Utama Grafiti.
Rasna, I.W. 2010. ―Pengetahuan dan
Sikap Remaja terhadap Tanaman
Obat Tradisional di Kabupaten
Buleleng dalam Rangka
Pelestarian Lingkungan: Sebuah
Kajian Ekolinguistik‖. Jurnal
Bumi Lestari, Volume 10 No. 2,
Agustus 2010. Hlm. 321 – 332.
Jalabahasa, Vol. 15, No. 1, Mei 2019, hlm. 84—95
95
Riniwati, H. 2011. ―Keragaman Hayati
Pesisir dan Laut: Kajian Potensi,
Masalah dan Solusi‖. Berkalah
Penelitian Hayati, Edisi Khusus:
7F, hlm. 1–6.
Rokhman, F., Syaifudin, A., dan
Pratama H. 2012. ―Rekayasa
Bahasa sebagai Penguatan
Pembudayaan Konservasi di
Universitas Negeri Semarang:
Kajian Ekolinguistik‖. Laporan
Penelitian. Semarang: LP2M
UNNES.
Sinar, T.S. 2010. ―Ungkapan Verbal
Etnis Melayu dalam
Pemeliharaan Lingkungan.‖
Disampaikan dalam International
Seminar Language, Literature,
and Culture in Southeast Asia.
Diselenggarakan oleh Prodi
Linguistik USU dan Phuket
Rajabhat University Thailand,
Thailand 3-5 Juni 2010.
Subalidinata, R.S. 1996. Kawruh
Kasusastraan Jawa. Yayasan
Pustaka Nusatama.
Suparwa, I. N. 2010. ―Ekologi Bahasa
dan Pengaruhnya dalam
Dinamika Kehidupan Bahasa
Melayu Loloan Bali‖. Bumi
Lestari Journal of Environment
Vol 8. No.1. 2010. p. 32–47.
Wahyudi, T.H., dan Suntoyo. 2009.
―Analisa Kerentanan Pantai di
Wilayah Pesisir Pantai Utara
Jawa Timur‖. SENTA 2009, p 1–
9.
Wahyudi. 2008. ―Assessment of the
Coastal Vulnerability to Coastal
Erosion in Coastal Area of the
Districit of Tegal Central Java‖.
Prosiding Seminar Nasional
Teori dan Aplikasi Teknologi
Kelautan, Desember 2008. ISSN
1412-2332, p 131–141.
Wellek, R. dan Austin Warren. 1989.
Teori Kesusasteraan.
Terjemahan Melani Budianta.
Jakarta: PT Gramedia.