12
REKAYASA BAHASA DALAM PENGUATAN KONSERVASI LINGKUNGAN PADA MASYARAKAT PESISIR (Language Engineering in Strengthening Environmental Conservation in Coastal Communities) Oleh/by Ahmad Syaifudin Fathur Rokhman Mulyono Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang Gedung B1 Kampus Sekaran Gunungpati Semarang 50229 Telepon/Faksimile 024-8508070 Posel: 081325447691 Diterima: 18 Januari 2019, Disetujui: 13 Mei 2019 ABSTRAK Eksploitasi sepanjang pesisir menyebabkan kerusakan pantai yang membawa kerugian bagi masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Pada kondisi seperti itu, rekayasa bahasa sebagai bagian dari kekuatan budaya dapat dimanfaatkan untuk mengurangi kerusakan lingkungan di wilayah pesisir. Untuk mencapai tujuan tersebut digunakanlah desain research and development (R&D). Model rekayasa bahasa dirumuskan secara kolaboratif antara peneliti, pakar/ahli, masyarakat, pemerintah daerah, dan stakeholder melalui focus group discussion (FGD). Temuan penelitian ini adalah (1) potensi bahasa masyarakat pesisir dimanifestasikan dalam bentuk bahasa dan sastra pesisiran yang dinyatakan dalam puisi dan prosa, (2) rekayasa bahasa masyarakat pesisir Jawa dalam penguatan konservasi lingkungan dapat dilakukan melalui dua bentuk, yakni modifikasi dan alih wahana, dan (3) signifikansi rekayasa bahasa masyarakat pesisir dalam penguatan konservasi lingkungan difungsikan sebagai media utama untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta (Tuhan). Kata kunci: rekayasa bahasa, konservasi lingkungan, masyarakat pesisir, ekolinguistik ABSTRACT Exploitation along the coast causes damage to the coast which brings losses to the community and the surrounding environment. In such conditions, language engineering as part of cultural strength can be used to reduce environmental damage in coastal areas. To achieve these objectives design research and development (R&D) is used. The language engineering model is formulated collaboratively between researchers, experts, communities, local governments, and stakeholders through focus group discussion (FGD). The findings of this study are (1) the language potential of coastal communities manifested in the form of coastal language and literature expressed in poetry and prose, (2) language engineering in Javanese coastal communities in strengthening environmental conservation can be done through two forms, namely modification and transfer and (3) the engineering significance of the language of coastal communities in strengthening environmental conservation is functioned as the main media to get closer to the God.

REKAYASA BAHASA DALAM PENGUATAN KONSERVASI …

  • Upload
    others

  • View
    8

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: REKAYASA BAHASA DALAM PENGUATAN KONSERVASI …

REKAYASA BAHASA

DALAM PENGUATAN KONSERVASI LINGKUNGAN

PADA MASYARAKAT PESISIR

(Language Engineering in Strengthening Environmental Conservation

in Coastal Communities)

Oleh/by

Ahmad Syaifudin

Fathur Rokhman

Mulyono

Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang

Gedung B1 Kampus Sekaran Gunungpati Semarang 50229

Telepon/Faksimile 024-8508070

Posel: 081325447691

Diterima: 18 Januari 2019, Disetujui: 13 Mei 2019

ABSTRAK

Eksploitasi sepanjang pesisir menyebabkan kerusakan pantai yang membawa kerugian bagi

masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Pada kondisi seperti itu, rekayasa bahasa sebagai bagian

dari kekuatan budaya dapat dimanfaatkan untuk mengurangi kerusakan lingkungan di wilayah

pesisir. Untuk mencapai tujuan tersebut digunakanlah desain research and development (R&D).

Model rekayasa bahasa dirumuskan secara kolaboratif antara peneliti, pakar/ahli, masyarakat,

pemerintah daerah, dan stakeholder melalui focus group discussion (FGD). Temuan penelitian

ini adalah (1) potensi bahasa masyarakat pesisir dimanifestasikan dalam bentuk bahasa dan

sastra pesisiran yang dinyatakan dalam puisi dan prosa, (2) rekayasa bahasa masyarakat pesisir

Jawa dalam penguatan konservasi lingkungan dapat dilakukan melalui dua bentuk, yakni

modifikasi dan alih wahana, dan (3) signifikansi rekayasa bahasa masyarakat pesisir dalam

penguatan konservasi lingkungan difungsikan sebagai media utama untuk mendekatkan diri

kepada Sang Pencipta (Tuhan).

Kata kunci: rekayasa bahasa, konservasi lingkungan, masyarakat pesisir, ekolinguistik

ABSTRACT

Exploitation along the coast causes damage to the coast which brings losses to the community

and the surrounding environment. In such conditions, language engineering as part of cultural

strength can be used to reduce environmental damage in coastal areas. To achieve these

objectives design research and development (R&D) is used. The language engineering model is

formulated collaboratively between researchers, experts, communities, local governments, and

stakeholders through focus group discussion (FGD). The findings of this study are (1) the

language potential of coastal communities manifested in the form of coastal language and

literature expressed in poetry and prose, (2) language engineering in Javanese coastal

communities in strengthening environmental conservation can be done through two forms,

namely modification and transfer and (3) the engineering significance of the language of

coastal communities in strengthening environmental conservation is functioned as the main

media to get closer to the God.

Page 2: REKAYASA BAHASA DALAM PENGUATAN KONSERVASI …

Jalabahasa, Vol. 15, No. 1, Mei 2019, hlm. 84—95

85

Keywords: language engineering, environmental conservation, coastal communities,

ecolinguistics

PENDAHULUAN

Kawasan pesisir, khususnya Jawa,

memiliki potensi sumber daya alam

yang kaya dan beragam. Dahuri (1996:

6) mengutarakan bahwa sumber daya

alam wilayah pesisir terdiri atas sumber

daya alam yang dapat pulih (seperti

perikanan, rumput laut, padan lamun,

hutan mangrove, dan terumbu karang),

dan sumber daya alam yang tidak dapat

pulih (seperti minyak dan gas, biji besi,

timah, bauksit, miniral, serta bahan

tambang lainnya). Selain itu, ekosistem

wilayah pesisir dapat bersifat alami dan

buatan. Ekosistem yang bersifat alami

antara lain terumbu karang, hutan

mangrove, padang lamun, pantai

berpasir, estuaria, laguna, dan delta.

Kemudian, ekosistem yang bersifat

buatan antara lain tambak, sawah

pasang surut, kawasan pariwisata,

kawasan industri, kawasan agroindustri,

dan kawasan permukiman.

Wahyudi dan Suntoyo (2009: 1)

generasi muda lebih memilih istilah

across the bridge. Hal itu

dipengaruhi oleh kurikulum sekolah

yang kurang berorientasi pada

lingkungan.

Mbete (2002) menguak warisan

budaya leluhur masyarakat etnik Lio,

Flores, berupa ungkapan-ungkapan

verbal yang memiliki fungsi untuk

melestarikan lingkungan hidup.

Ungkapan-ungkapan budaya verbal

tersebut meliputi (1) ungkapan yang

berfungsi memelihara keserasian

hubungan dengan alam semesta,

terutama dengan Sang Khalik, dan

dengan leluhur pewaris lahan, (2)

ungkapan yang berfungsi untuk

melestarikan lahan dengan

menggunakan teknik tradisional yang

mendukung lingkungan, (3)

ungkapan yang mengamanatkan

pemeliharaan hutan lindung dan

sumber air, (4) ungkapan yang

berfungsi untuk melestarikan pantai

dan laut, dan (5) ungkapan yang

berfungsi untuk melestarikan dan

menjaga kebersamaan dan kesatuan

sosial.

Mishra (2009) mengungkapkan

bahwa mitos dan ritual berfungsi

menyatukan pikiran dan tindakan

penduduk asli di India.

Pembangunan dan budaya asing telah

mengubah perilaku penduduk

setempat untuk melupakan alam.

Bahkan, pemahaman leksikon-

leksikon yang menjadi entitas suatu

budaya menjadi berkurang. Hal itu

terungkap dalam penelitian Mbete

dkk. (2009). Temuan penelitiannya

adalah rata-rata pemahaman remaja

tentang leksikon bahasa Melayu

Langkat (BML) tergolong rendah.

Hal itu disebabkan (1) kekurangan

interaksi komunitas remaja dengan

entitas yang bercirikan ekologi

bahasa daerah, (2) kelangkaan

bahkan kepunahan entitas sehingga

tidak terkonsep dalam alam pikiran

penutur, dan (3) konsepsi leksikal

penutur tentang entitas-entitas itu

bukan dalam peranti bahasa daerah

melainkan dalam bahasa lain.

Penelitian Sinar (2010) dan

Rasna (2010) juga memiliki fokus

pada penguasaan leksikon yang

mengandung ekologis. Dari

penelitian tersebut ditemukan bahwa

pengetahuan dan pemahaman

generasi muda terhadap leksikon

yang menjadi bentuk ekolinguistik

banyak mengalami pergeseran dan

Page 3: REKAYASA BAHASA DALAM PENGUATAN KONSERVASI …

Rekayasa Bahasa dalam Penguatan Konservasi …. (Ahmad Syaifudin dkk.)

86

bahkan penyusutan. Mereka sudah

tidak lagi mengenal leksikon-

leksikon yang menjadi entitas

ekologi pada budaya setempat. Oleh

karena itu, langkah penguatan

konservasi lingkungan melalui

rekayasa bahasa merupakan langkah

strategis dalam memperkuat hubungan

antara bahasa dan lingkungan.

Penguatan yang dilakukan ini

terinspirasi riset Rokhman dkk. (2012)

yang membuat rekayasa bahasa sebagai

model konservasi bahasa.

Untuk merancang model rekayasa

bahasa tersebut, penelitian ini dirancang

dengan tipe penelitian dan

pengembangan (research and

development). Penelitian ini

dilaksanakan di wilayah pesisir Jawa,

khususnya Jawa Tengah dengan

memperlihatkan karakteristik dan

tipologi geografis dan budaya. Subjek

penelitian meliputi unsur masyarakat,

pemerintah daerah, dan

stakeholder wilayah pesisir Jawa.

Dengan demikian lokasi dan subjek

penelitian ditetapkan secara purposive

sampling, dengan mempertimbangkan

tahap-tahap penelitian serta tujuan

penelitian. Pengumpulan data

menggunakan metode angket,

observasi, dokumentasi, dan FGD.

Analisis data dilakukan dalam tiga

tahap (studi), yakni tahap pendahuluan,

pengembangan dan validasi. Pada tahap

studi pendahuluan, temuan atau fakta-

fakta tentang potensi bahasa yang

mendukung penguatan konservasi

lingkungan pada masyarakat pesisir

Jawa dianalisis (diinterpretasikan)

secara kualitatif. Pada tahap

pengembangan, teknik yang digunakan

dalam menganalisis adalah analisis

kualitatif. Kemudian, pada tahap

validasi model, teknik analisis yang

digunakan adalah deskriptif kualitatif

dan kuantitatif dalam bentuk sajian

data; demikian juga dalam ukuran

keterterapan model (applicability)

dianalisis secara deskriptif kualitatif

dan kuantitatif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Potensi Bahasa Masyarakat Pesisir

Potensi diartikan sebagai segala sesuatu

yang memunyai kemungkinan untuk

dikembang-kan. Berdasarkan

pengertian tersebut, potensi bahasa

masyarakat pesisir dapat diartikan

sebagai segala bentuk bahasa yang

memunyai kemungkinan untuk

dikembangkan dalam usaha penguatan

konservasi lingkungan di kawasan

pesisir sehingga berdampak pada

kesejahteraan hidup masyarakatnya.

Potensi bahasa masyarakat pesisir

dimanifestasikan dalam bahasa dan

sastra pesisiran dan dinyatakan dalam

bentuk puisi dan prosa. Bentuk puisi

ditampilkan berupa syiir dan ―puji-

pujian‖, sedangkan bentuk prosa

ditampilkan berupa cerita.

Melalui bahasa dan sastra

pesisiran, mental dan pola pikir

masyarkat pesisir dapat dipengaruhi.

Keindahan bahasa yang disusun

menjadikan ancaman maupun nasihat

dapat disalurkan tanpa rasa emosional.

Masyarakat terbawa keindahan bahasa

dan sastra yang lekat dengan kehidupan

masyarakat pesisir. Namun, bahasa dan

sastra pesisiran, baik yang dalam

bentuk puisi maupun prosa, belum

banyak mendapatkan perhatian dalam

penelitian sastra, walaupun populasinya

cukup banyak. Potensi bahasa dan

sastra pesisiran tidak disinggung dalam

berbagai buku sastra Jawa, seperti

dalam buku Kepustakaan Jawa (1952)

yang ditulis Purbatjaraka dan

Page 4: REKAYASA BAHASA DALAM PENGUATAN KONSERVASI …

Jalabahasa, Vol. 15, No. 1, Mei 2019, hlm. 84—95

87

Hadidjaya, Ngengrengan Kasusastran

Djawa karangan Padmosoekotjo

(1953), Bunga Rampai Sastra Jawa

Mutakhir karya Ras, J.J. (1985), dan

dalam buku Kawruh Kasusastraan

Jawa karya Subalidinata (1996). Syiir

juga tidak ditemukan dalam katalog

naskah Jawa seperti katalog susunan

Pigeaud Literature of Java: catalogue

Renaissance of Javanese Manuscripts

(1973), katalog Girardet Descriptive

Catalogue of the Javanese Manuscripts

and Printed Book in the Moun

Librerary of Surakarta and

Yogyakarta, dan katalog susunan

Behrend (Muzakka, 2002: 22).

Untuk melihat potensi bahasa

pesisiran, penginventarisasian dan

pendokumentasian perlu dilakukan

karena karya-karya pesisiran masih

minim yang berada di perpustakaan

maupun katalog naskah.

Kecenderungannya karya-karya sastra

tersebut dimiliki oleh perorangan dan

kalangan tertentu saja yang

menyimpannya.

Agar potensi bahasa dan sastra

pesisiran dapat diapresiasi masyarakat

secara luas, diperlukan suntingan teks

karena sastra pesisiran sebagai karya

klasik disajikan dalam bentuk tulisan

Arab-Jawa (pegon). Bagi masyarakat

yang tidak dapat membaca huruf

pegon, suntingan teks menjadi usaha

vital untuk menghubungkan penulis

dan pembaca dalam menerima efek

komunikasi bahasa, sastra, dan budaya

tentang potensi pesisiran dan nilai-nilai

luhur yang terdapat di dalamnya,

termasuk usaha konservasi lingkungan.

Dengan demikian, konservasi

lingkungan di pesisir pantai dimulai

dari penataan pola pikir masyarakat.

Potensi Sastra Pesisir

Syiir Masyarakat Pesisir

Menurut Mustofa Bisri (dalam Hamidi

2005: 4), syiir (singir) atau syiiran lebih

menunjuk pada pengertian nadham

dalam bahasa Jawa. Syiir sepadan

dengan nazham yang merupakan

kalimat yang disusun secara teratur dan

bersajak.

Syiir ditulis dalam bahasa Jawa

muncul dan berkembang di kalangan

masyarakat santri di Jawa dan

merupakan manifestasi dari puisi Jawa

yang terpengaruh Arab-Islam

(Muzakka, 2002: 39). Menurut

Steenbrink (1988: 14) syiir sebagai

karya sastra berasal dari syair Melayu.

Lebih lanjut, Darmawi (1964: 82)

mengungkapkan bahwa bentuk syiir

cenderung mengambil pola bentuk

syair Melayu meskipun tidak seketat

syair Melayu. Syiir memunyai bentuk

yang sama dengan syair dalam

khazanah sastra Indonesia lama, yaitu

terdiri atas empat baris tiap baitnya,

bersajak aaaa, dan bersuku kata tetap

tiap barisnya, umumnya tiap baris berisi

dua belas suku kata, Seperti tampak

pada kutipan berikut.

Sun miwiti anarik akaleng bocah

mbok menowo lawas lawas bisa

pecah

bisa mikir bisa ngrasa bisa genah

ngarep-arep kabeh iku min fadlilah

Wajib bapa aweh sandang mangan

ngimel

aweh arto sangu ngaji aja owel

lan arep kasil ngilmu buwang sebel

aja nganti ati atos amakiyel

Wajib ngain lanang wadon luru

ngilmu

aja leren yen durung rupek bodhomu

nadya adoh angel ilanga taksirmu

kena mulih yen wis kasil ilmumu

Page 5: REKAYASA BAHASA DALAM PENGUATAN KONSERVASI …

Rekayasa Bahasa dalam Penguatan Konservasi …. (Ahmad Syaifudin dkk.)

88

(syiir ―Darma Wasana‖ dalam

Darnawi 1964: 82—83)

Bandingkan syiir tersebut dengan

bait syair Melayu berikut ini.

Lalailah menentang al‘al Allah

leka memandang sifat Allah

khiyal merasai nikmat Allah

bagaikan lenyap dalam bahr Allah

Badannya tiada lagi terbawa

rasanya didi dalam jannat al-ma‘wa

letih lesu badan dan nyawa

melihatkan Bidadari ramai tertawa

(syair ―Bidadari‖ dalam Braginsky

dkk., 1989: 137)

Dari perbandingan tersebut

menunjukkan bahwa antara syair dan

syiir memiliki ciri-ciri luar dan dalam

yang hampir sama yaitu (1) tiap-tiap

bait terdiri atas empat baris, (2) tiap

baris terdiri atas 8--12 suku kata, (3)

bersajak sama (aaaa), dan warna Arab-

Islam cukup dominan. JIka dikaitkan

dengan batasan genre Wellek dan

Austin Warren (1989: 306--307), kedua

bentuk sastra tersebut tergolong dalam

genre yang sama.

Syair dan syiir ditulis dalam

bahasa yang berbeda. Kedua bentuk

sastra tersebut dapat dipisahkan karena

masing masing hidup dalam dunia

sastra daerah yang berbeda serta

memunyai kedudukan, fungsi, dan

potensi tersendiri dalam sastra

Indonesia (Muzakka, 2002: 40).

Berdasarkan jumlah baris tiap baitnya,

syiir semakin berbeda dengan syair.

Perbedaan itu tampak pada jumlah

baris tiap baitnya. Syiir terdiri atas dua

baris tiap baitnya (matsnawi).

Prosa Pesisiran

Hasil deskripsi naskah sastra pesisiran

yang dilakukan menunjukkan adanya

bentuk prosa. Bentuk prosa pesisiran

berupa tarih dan kisah/qisas. Tarih yang

cukup popular adalah tarih Nabi

Muhammad SAW yang berisi cerita

tentang Nabi Muhammad dari mulai

lahir sampai wafat. Kisah para nabi

yang cukup terkenal ada dalam Qisasul

Ambia.

Tarih Nabi Muhammad SAW

disusun oleh Kiai Toha Mahsun yang

menceritakan kehidupan manusia pada

zaman Nabi Muhammad SAW. Al

Abau Lil Abna’i yang ditulis oleh Kiai

Basir Musthofa berisi cerita yang

disertai gambar ilustrasi. Al Abau Lil

Abna’i menceritakan kehidupan

seorang anak. Cerita tersebut

mengandung nilai-nilai moral. Ada

pula cerita yang dikemas dalam bentuk

tanya jawab. Hal tersebut tampak

dalam Jawab Soalipun Mu’taqod yang

ditulis atau dikarang oleh Raden

Asnawi dari kampung Bandar Kudus.

Naskah Jawab Soalipun Mu’taqod

berisi Aqoid Lima Puluh (Aqidah).

Selain cerita tersebut, ditemukan

teks pesisiran yang disusun oleh Kiai

Ahmad Subekti dari Sampangan,

Pekalongan. Judul karyanya Maslakul

‘ibad yang berisi sifat-sifat Allah SWT.

Alfaqir Kiai Bisri Musthofa dari

Rembang juga megarang sastra

pesisiran yang berbentuk prosa berjudul

Darul Bayan yang menceritakan

tentang keimanan.

Isi Teks-Teks Pesisiran

Teks-teks pesisiran tidak bisa dibuat

dari bahan rekaan, tetapi mengacu atau

bersumber pada Alquran, hadis, dan

kitab-kitab keagamaan. Oleh karena itu,

teks-teks pesisir berisi ajaran moral,

Page 6: REKAYASA BAHASA DALAM PENGUATAN KONSERVASI …

Jalabahasa, Vol. 15, No. 1, Mei 2019, hlm. 84—95

89

nasihat, dan pendidikan. Teks Sastra

Pesisir merupakan hasil respons estetik

pengarang dari hasil pembacaannya

terhadap referensi-referensi keagamaan

yang bersumber pada Alquran, hadis,

dan kitab-kitab pesantren yang

memunyai otoritas tinggi.

Kitab–kitab keagamaan yang

memunyai hubungan dengan sastra

pesisir adalah kitab-kitab yang

diajarkan di pesantren. Kitab-kitab

pesantren yang memunyai hubungan

intertekstual dengan ajaran agama yang

terdapat dalam sastra pesisir dalam

penelitian ini adalah (1) Kitab Riyadhus

Shalihin karya Abu Zakaria Yahya bin

Syaraf An-Nawawi, (2) Duratun

Nasihin karya Usman bin Ahmad

Syakir Al-Khaubawi, (3) Bulughul

Maram karya Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-

‗Asqalani, (4) Tanbihul Ghafilin karya

Abullaits Assamarqandi, (5) Kitab

Ta’lim Muta’alim Thariqat Ta’lim,

yang disusun dan dikarang oleh Syekh

Az-Zarnuji, dan (6) Syaarah

Mukhtaarul Alhadiits karya Sayyid

Ahmad Alhasyimi. Kitab-kitab tersebut

merupakan kitab fiqih bermadzhab

Syafi‘i yang populer di pesantren dan

ditulis pada abad ke-10 smapai abad

ke-15 (Bruinessen, 1995: 30). Selain

kitab tersebut, ada juga kitab Durrat Al-

Faraid karya terjemahan Nurrudin ar-

Raniri yang diajarkan di pesantren.

Kitab Riyadus Shalihin dibahas

dalam 19 bagian kitab yang terbagi atas

372 bab dan menyertakan 1900 hadis.

Dalam penulisannya, Imam Nawawi

mengemukakan ayat-ayat Alquran

sebagai dalil utama untuk menguatkan

dalil penyokong atas masalah yang

akan dibahas. Kemudian, disertakan

dalil-dalil hadis sebagai penjabaran atas

masalah yang dibahas. Kitab Riyadus

Shalihin menjadi salah satu kitab wajib

yang diajarkan di pesantren.

Kitab Duratun Nasihin karya

Usman bin Ahmad Syakir Al-

Khaubawi berisi tentang akhlak murni

yang masih dikaji di pesantren dan

dijadikan acuan oleh para muballig

dalam materi dakwah mereka

(Manshur, 2001: 117). Kitab Duratun

Nasihin berisi nasihat, peringatan,

cerita-cerita teladan, penjelasan hukum,

serta permasalahan dunia dan akhirat.

Bulughul Maram karya Al-Hafizh Ibnu

Hajar Al-‗Asqalani merupakan kitab

yang berisi dalil-dalil hukum yang

terdapat dalam ajaran agama Islam,

seperti persoalan bersuci, salat, jual

beli, pernikahan, dan pidana. Tanbihul

Ghafilin diartikan sebagai ‗peringatan

bagi yang lupa‘. Kitab karya Abullaits

Assamarqandi ini berisi petunjuk

menuju kebaikan serta menghindari

kejahatan. Syaarah Mukhtaarul

Alhadiits karya Sayyid Ahmad

Alhasyimi berisi tentang hadis-hadis

pilihan beserta penjelasannya.

Kitab Ta’lim Muta’alim Thariqat

Ta’lim, karya Syekh Az-Zarnuji berisi

petunjuk bagi seorang penuntut ilmu,

seperti memilih guru dan teman untuk

berdiskusi dan mencari solusi dalam

permasalahan yang ada dalam

masyarakat, cara memuliakan ilmu dan

shohibul ilmu, dan hal-hal yang

berhubungan tentang hak dan

kewajiban penuntut ilmu.

Ajaran agama Islam berkaitan

dengan ketertarikan dan ketaatan

terhadap norma agama Islam yang

membentuk perilaku seseorang.

Perilaku agamis seseorang diwujudkan

dengan ketaatan terhadap ajaran agama

Islam sebagaimana disyariatkan Tuhan

melalui Nabi Muhammad SAW.

Ketaatan terhadap syariat Tuhan

ditunjukkan dengan kepercayaan

kepada Tuhan dan diwujudkan dengan

menjalankan segala perintah dan

Page 7: REKAYASA BAHASA DALAM PENGUATAN KONSERVASI …

Rekayasa Bahasa dalam Penguatan Konservasi …. (Ahmad Syaifudin dkk.)

90

larangan-Nya. Kepercayaan kepada

Tuhan menunjukkan keimanan,

sedangkan menjalankan segala perintah

serta meninggalkan larangan-Nya

merujuk pada ketakwaan.

Isi ajaran teks-teks sastra pesisir

sesuai dengan ajaran Islam yang

meliputi tiga dimensi, yaitu aqidah,

syariat, dan akhlak. Bertolak dari hal

tersebut, ajaran agama Islam yang

menjadi kajian dalam penelitian terdiri

atas dimensi akidah (keimanan), syariat

(praktik agama, ritual formal), dan

akhlak (pengamalan dari akidah dan

syariat).

Akidah berisi aspek keimanan

yang menekankan pada konsep

monoteisme atau keesaan Tuhan.

Akidah Islamiyah mengacu pada enam

keyakinan dasar yang disebut rukun

iman, yaitu iman kepada Allah,

malaikat, kitab suci, Nabi dan Rosul,

hari kiamat, dan takdir (Aminudin,

2002: 15). Akidah merupakan hal

pokok yang di atasnya berdiri syariat.

Antara akidah dan syariat tidak dapat

dipisahkan.

Syariat adalah wadah pengaturan

segala bentuk praktik keagamaan yang

terbagi dalam dua hal, yaitu ibadah dan

muamalah. Ibadah berkaitan kewajiban

pokok seorang muslim yang disebut

rukun Islam yang terdiri atas lima hal,

yaitu mengucapkan kalimat syahadat,

melaksanakan salat lima waktu,

membayar zakat, puasa ramadhan, dan

ibadah haji. Muamalah mengatur tata

kehidupan seorang muslim dengan

masyarakat, seperti hukum publik dan

hukum perdata (Depag, 1998: 37;

Aminudin dkk., 2002: 14). Dengan

demikian, perwujudan syariat

merupakan kewajiban yang harus

dijalankan oleh seseorang yang

beragama Islam, seperti salat zakat dan

lain sebagainya, sedangkan muamalah

merupakan bagian dari syariat yang

mengatur pergaulan hidup manusia di

atas bumi, baik tentang harta benda,

perjanjian-perjanjian, ketatanegaraan

maupun hubungan antarnegara.

Akhlak merupakan ajaran yang

diarahkan pada pembentukan etika

kehidupan masyarakat yang sejalan

dengan nilai-nilai dasar Islam (Depag,

1998). Akhlak mengatur bagaimana

seorang muslim berhubungan dengan

sesama manusia, hubungan dengan

rosul, hubungan dengan diri sendiri,

berbangsa dan antar bangsa, dengan

hewan, tumbuhan, serta seluruh alam

semesta (Daradjat, 1996). Dengan

demikian, perwujudan akhlak berupa

nilai dan perilaku seseorang seperti

sabar, syukur, tawakkal, dan berbakti

kepada orang tua, dan sebagainya

(akhlak al-mahmudah) dan sombong,

takabur, dengki, dan riya (akhlak al-

mazmumah). Kedudukan akhlak

berpengaruh terhadap watak individu

seseorang.

Rekayasa Bahasa dalam Konservasi

Lingkungan Pesisir

Apabila ditinjau dari garis pantai (coast

line), wilayah pesisir mempunyai dua

macam batas (boundaries), yaitu batas

yang sejajar garis pantai (long shore)

dan batas yang tegak lurus garis pantai

(cross shore). Pengertian tersebut

mengindikasikan terjadinya interaksi

antarekosistem perairan pesisir

sehingga memunculkan kekayaan

potensi habitat pesisir yang beragam.

Namun, kondisi hidup habitat pesisir

seperti itu berpotensi mudah

mengalami kerusakan akibat kegiatan

masyarakat yang tidak bertanggung

jawab.

Rekayasa bahasa masyarakat

pesisir Jawa dalam penguatan

Page 8: REKAYASA BAHASA DALAM PENGUATAN KONSERVASI …

Jalabahasa, Vol. 15, No. 1, Mei 2019, hlm. 84—95

91

konservasi lingkungan dapat dilakukan

melalui dua bentuk, yakni modifikasi

dan alih wahana. Rekayasa bahasa

dengan cara modifikasi dilakukan

dengan

menginovasikan/mengkreasikan bahasa

dan/atau sastra, baik tulis maupun lisan,

yang telah ada sebelumnya disesuaikan

dengan perkembangan zaman.

Rekayasa dengan cara alih wahana

dilakukan dengan mengubah karya ke

dalam bentuk lain.

Berdasarkan bentuknya, rekayasa

bahasa di pesisir yang paling banyak

ditemukan adalah alih wahana dalam

bentuk lirik/syair lagu yang dikemas

dalam bentuk kaset atau VCD. Lagu

yang digunakan bergenre dangdut, pop,

dan bahkan campursari. Misalnya, lagu

―Tombo Ati‖. Lagu ini cukup populer

di masyarakat karena disajikan dalam

berbagai jenis musik, baik pop,

dangdut, maupun campursari. Opick

menyanyikan lagu ―Tombo Ati‖ dalam

alunan musik pop. Didi kempot dan

Cak Dikin mengemas lagu tersebut

dalam kemasan campursari. Emha

Ainun Nadjib menyanyikan lagu

―Tombo Ati‖ dengan iringan Kiai

Kanjengnya. Dalam iringan lagu

dangdut lagu tersebut dipopulerkan

oleh OM Pallapa dan OM Monata yang

mengusung jenis musik dangdut koplo.

Lirik lagu ―Tombo Ati‖ yang

dikemas dalam bentuk dangdut dan

dinyanyikan oleh Nena Firnanda

bersama OM Monata, Brodin bersama

OM Pallapa, serta Ratna Antika

bersama OM Mutiara memunyai lirik

yang sama dengan lagu ―Tombo Ati‖

yang dibawakan oleh Opick maupun

Emha Ainun Nadjib, yaitu sebagai

berikut.

Tombo Ati

Tombo ati iku lima perkarane

kaping pisan maca Qur'an lan

maknane

kaping pindo Salat wengi lakonana

kaping telu wong kang soleh

kumpulana

kaping papat kudu weteng engkang

luwe

kaping lima dzikir wengi engkang

suwe

salah sakwijine sapa bisa ngelakoni

mugi-mugi Gusti Allah nyembadani

Obat hati ada lima perkaranya

yang pertama baca Alquran dan

maknanya

yang kedua salat malam dirikanlah

yang ketiga berkumpullah dengan

orang soleh

yang keempat perbanyaklah berpuasa

yang kelima zikir malam

perpanjanglah

salah satunya siapa bisa menjalani

moga-moga Gusti Allah mencukupi

Dilihat dari bentuk dan tematiknya

lirik lagu ―Tombo Ati‖ (obat hati)

memunyai kesamaan dengan syiir bab

tambane larane ati berikut ini.

Bab Tambane Larane Ati

Padha sira nambanana ing larane

atinira

Larane ati iku nggone demen donya

Lamun ora ditambani lawas-lawas

dadi mati

Nek wis mati ora gelem jak ngibadah

maring Gusti

Tambane lara ati iku lima perkarane

Ingkang dhihin seka lima maca

Qur’an karo dirasa

Kaping pindho kudu melek dzikir

wengi ingkang suwe

Kaping telu kudu salat tahajud

ingkang suwe

Kaping pat seka lima angothangi

wetengira

Page 9: REKAYASA BAHASA DALAM PENGUATAN KONSERVASI …

Rekayasa Bahasa dalam Penguatan Konservasi …. (Ahmad Syaifudin dkk.)

92

Kaping lima kudu sira angumpuli

para ngulama

Lamun sira wus nglakoni perkara

ingkang lelima

Gusti Allah paring waras ing larane

atinira

Mesthi sira ngelakoni salah siji saka

lima

Mbok menawa Gusti Allah paring

suda laranira

(Erang-Erang Sekar Panjang, Juz 1:

23)

Bab Obat Sakit Hati

sembuhkanlah sakit hatimu

sakit hati karena terlalu menyukai

dunia

jika tidak diobati lama-lama menjadi

mati

kalau sudah mati tidak mau diajak

ibadah kepada Allah

obat sakit hati itu lima perkara

yang pertama dari lima membaca

Alquran dengan dirasakan

yang kedua harus bangun berzikir di

malam hari yang lama

yang ketiga harus salat tahajud yang

lama

yang ke empat dari lima berpuasa

yang kelima kamu harus berkumpul

dengan ulama

Jika kamu sudah melakukan kelima

hal

Allah akan menyembuhkan sakit

hatimu

Jika kamu melakukan satu dari lima

semoga Allah meringankan sakitmu

Dalam syiir bab tambane larane ati

dijelaskan bahwa di dalam diri

seseorang terdapat penyakit hati.

Penyakit hati disebabkan oleh perasaan

seseorang yang terlalu mencintai dunia

(larane ati iku nggone demen donya).

Sakit hati kalau tidak diobati sangat

berbahaya karena seseorang yang

mendapat sakit hati akan tidak mau

beribadah menyembah kepada Allah

SWT. (nek wis mati ora gelem jak

ngibadah maring Gusti).

Karakteristik masyarakat pesisir

terbentuk secara alamiah dipengaruhi

oleh keadaan alam. Misalnya, mereka

sangat terbuka dan terbiasa berbicara

dengan nada keras. Hal itu terjadi

karena mereka berada di dekat pantai

yang tidak asing dengan deru ombak.

Kenyataan lainnya dapat dilihat secara

historis bahwa perlintasan Nusa Jawa

silang budaya terjadi akibat adanya

lintas kultural di daerah pesisiran.

Artinya, masyarakat pesisir mengalami

proses sentuhan globalisasi, cinanisasi,

arabisasi, dan westernisasi sehingga

masyarakat pesisir memunyai karakter

yang unik.

Warga masyarakat yang proses

sosialnya berada di wilayah pesisir

dapat digolongkan sebagai masyarakat

yang peradabannya ―kasar‖. Hal itu

ditandai oleh sikapnya yang lugas,

spontan, tutur kata yang digunakan

cenderung kasar, sedangkan dari segi

keagamaannya cenderung Islam

puritan. Umumnya budaya masyarakat

di daerah pantai lebih terbuka, mudah

menerima perubahan dan bersifat

majemuk jika dibandingkan budaya

masyarakat di daerah pedalaman.

Terkait signifikansi rekayasa bahasa

masyarakat pesisir dapat digambarkan

dalam bagan berikut ini.

Kehidupan masyarakat pesisir

yang tidak lepas dari nilai-nilai

keagamaan menjadikan aktivitas

konservasi tetap sebagai media

mendekatkan diri kepada Sang

Page 10: REKAYASA BAHASA DALAM PENGUATAN KONSERVASI …

Jalabahasa, Vol. 15, No. 1, Mei 2019, hlm. 84—95

93

Pencipta (Tuhan). Jika proses

mendekatkan diri kepada Tuhan

mendatangkan rezeki/pendapatan,

mereka menggunakan rezeki tersebut

sekadar untuk memenuhi kebutuhan

hidup. Sisanya mereka gunakan untuk

mendekatkan diri kepada Tuhan.

Kenyataan itu didasarkan pada ajaran

agama yang memerintahkan para

umatnya untuk menjaga lingkungan,

kebersihan, dan sebagainya. Dengan

demikian, signifikansi rekayasa bahasa

masyarakat pesisir dalam penguatan

konservasi lingkungan difungsikan

sebagai media utama untuk

mendekatkan diri kepada Sang

Pencipta (Tuhan).

SIMPULAN

Berdasarkan pembahasan tersebut

dapat disimpulkan bahwa (1) potensi

bahasa masyarakat pesisir

dimanifestasikan dalam bahasa sastra

pesisiran dan dinyatakan dalam bentuk

puisi dan prosa. Bentuk puisi

ditampilkan berupa syiir dan ―puji-

pujian‖, sedangkan bentuk prosa

ditampilkan berupa cerita. Melalui

bahasa sastra pesisiran, mental dan pola

pikir masyarakat pesisir dapat

dipengaruhi.

Keindahan bahasa yang disusun

membuat ancaman maupun nasihat

dapat disalurkan tanpa rasa emosional;

(2) bentuk rekayasa bahasa masyarakat

pesisir Jawa dalam penguatan

konservasi lingkungan dapat dilakukan

melalui dua bentuk, yakni modifikasi

dan alih wahana. Bentuk rekayasa

bahasa dengan cara modifikasi

dilakukan dengan

menginovasikan/mengkreasikan bahasa

dan/atau sastra, baik tulis maupun lisan,

yang telah ada sebelumnya disesuaikan

dengan perkembangan zaman. Bentuk

rekayasa dengan cara alih wahana

dilakukan dengan mengubah karya ke

dalam bentuk bentuk lain; dan (3)

signifikansi rekayasa bahasa

masyarakat pesisir dalam penguatan

konservasi lingkungan difungsikan

sebagai medium utama untuk

mendekatkan diri kepada pencipta

(Tuhan).

DAFTAR PUSTAKA

Aminudin., dkk. 2020. Pendidikan

Agama Islam untuk Perguruan

Tinggi Umum. Jakarta: Ghalia

Indonesia.

BPLH Daerah Provinsi Jawa Barat.

2004. Beberapa Permasalahan

Lingkungan dan Rekomendasi

Penanganan Wilayah Pesisir

Pantai Jawa Barat. Bandung:

Badan Pengendalian Lingkungan

Hidup Daerah Provinsi Jawa

Barat.

Braginsky, V.I., M.A. Boldyreva, A.M.

Kulikova. 1989. Naskhah

Melayu di Leningrad. Bangi:

Universiti Kebangsaan Malaysia.

Bruinessen, M.V. 1995. Kitab Kuning,

Pesantren, dan Tarekat.

Bandung: Mizan.

Departemen Agama. 1998. Suplemen

Buku Daras Pendidikan Agama

Islam untuk Perguruan Tinggi

Umum. Jakarta: PPIM.

Dahuri. 1996. Pengelolaan Sumber

Daya Wilayah Pesisir dan

Lautan Secara Terpadu. Jakarta:

Pradnya Paramita

Darnawi, S. 1964. Puisi Djawa.

Djakarta: Balai Penelitian

Bahasa.

Page 11: REKAYASA BAHASA DALAM PENGUATAN KONSERVASI …

Rekayasa Bahasa dalam Penguatan Konservasi …. (Ahmad Syaifudin dkk.)

94

Daradjat, Z. 1996. Ilmu Pendidikan

Islam. Jakarta: Bumi Aksara.

Fill, A. & Mühlhäusler, P. 2001. The

Ecolinguistics Reader Language,

Ecology, and Environment.

London: Continuum.

Hamidi, Jazim dan Abta Asyhari, A.

2005. Syiiran Kiai-Kiai.

Yogyakarta: Pustaka Pesantren.

Harahab, Nuddin. 2011. Valuasi

Ekonomi Ekosistem Hutan

Mangrove dalam Perencanaan

Wilayah Pesisir. Berkalah

Penelitian Hayati, Edisi

Khusus: 7F, hlm. 59–67

Haugen, E. 1972. The Ecology of

Language. Stanford, California:

Stanford University Press

Kastolani, W. 2012. ―Strategi

Konservasi Wilayah Pesisir yang

Berkelanjutan‖. Pidato

Pengukuhan Guru Besar dalam

Ilmu Geografi Lingkungan

Universitas Pendidikan

Indonesia, Bandung, 19 Juli

2012.

Manshur, F.M. 2007. ―Kasidah

Burdah Al-Bushiry dan

Popularitasnya dalam Berbagai

Tradisi: Suntingan Teks,

Terjemahan, dan Telaah

Resepsi‖. Disertasi. Pascasarjana

Universitas Gadjah Mada,

Yogyakarta.

Mbete, A.M. 2002. ―Ungkapan-

Ungkapan dalam Bahasa dan

Fungsinya dalam Melestarikan

Lingkungan.‖ Linguistika. Vol.

9: No. 17. Program Studi

Magister dan Doktor Linguistik

Universitas Udayana, September

2002. p. 174-186.

Mbete, A.M. dkk. 2009. ―Penyusutan

Fungsi Sosioekologis Bahasa

Melayu Langkat dan bahasa

Muna serta Upaya

Pemberdayaannya‖. Laporan

Penelitian. Denpasar: Universitas

Udayana.

Mishra, M.K. 2009. ―Sacred

Worldview in Tribal Memory:

Sustaining Nature Through

Cultural Actions‖. Language &

Ecology. Vol. 2, No.4, p 1–7.

Muzakka, M. 2002. ―Kedudukan dan

fungsi Singir bagi masyarakat

sastra Jawa‖. laporan penelitian.

Semarang: Fakultas Sastra

Universitas Diponegoro.

Pandey, A. 2000. ―Linguistic Erosion

On The Chesapeake:

Intergenerational Diachro-nic

Shifts In Lexicalizations Of The

Bay‖. Language and Ecology,

Vol. 2. No. 3. available

www.ecoling.net/journal.html.

Poerbatjaraka, R.N. dan Hadidjaja, T.

1952. Kepustakaan Djawa.

Djakarta: Djambatan.

Padmosoekotjo, S. 1953. Ngengrengan

Kasusastran Djawa. Yogyakarta:

Hien Hoo Sing.

Ras, J.J. 1985. Bunga Rampai Sastra

Djawa Mutakhir. Jakarta:

Pustaka Utama Grafiti.

Rasna, I.W. 2010. ―Pengetahuan dan

Sikap Remaja terhadap Tanaman

Obat Tradisional di Kabupaten

Buleleng dalam Rangka

Pelestarian Lingkungan: Sebuah

Kajian Ekolinguistik‖. Jurnal

Bumi Lestari, Volume 10 No. 2,

Agustus 2010. Hlm. 321 – 332.

Page 12: REKAYASA BAHASA DALAM PENGUATAN KONSERVASI …

Jalabahasa, Vol. 15, No. 1, Mei 2019, hlm. 84—95

95

Riniwati, H. 2011. ―Keragaman Hayati

Pesisir dan Laut: Kajian Potensi,

Masalah dan Solusi‖. Berkalah

Penelitian Hayati, Edisi Khusus:

7F, hlm. 1–6.

Rokhman, F., Syaifudin, A., dan

Pratama H. 2012. ―Rekayasa

Bahasa sebagai Penguatan

Pembudayaan Konservasi di

Universitas Negeri Semarang:

Kajian Ekolinguistik‖. Laporan

Penelitian. Semarang: LP2M

UNNES.

Sinar, T.S. 2010. ―Ungkapan Verbal

Etnis Melayu dalam

Pemeliharaan Lingkungan.‖

Disampaikan dalam International

Seminar Language, Literature,

and Culture in Southeast Asia.

Diselenggarakan oleh Prodi

Linguistik USU dan Phuket

Rajabhat University Thailand,

Thailand 3-5 Juni 2010.

Subalidinata, R.S. 1996. Kawruh

Kasusastraan Jawa. Yayasan

Pustaka Nusatama.

Suparwa, I. N. 2010. ―Ekologi Bahasa

dan Pengaruhnya dalam

Dinamika Kehidupan Bahasa

Melayu Loloan Bali‖. Bumi

Lestari Journal of Environment

Vol 8. No.1. 2010. p. 32–47.

Wahyudi, T.H., dan Suntoyo. 2009.

―Analisa Kerentanan Pantai di

Wilayah Pesisir Pantai Utara

Jawa Timur‖. SENTA 2009, p 1–

9.

Wahyudi. 2008. ―Assessment of the

Coastal Vulnerability to Coastal

Erosion in Coastal Area of the

Districit of Tegal Central Java‖.

Prosiding Seminar Nasional

Teori dan Aplikasi Teknologi

Kelautan, Desember 2008. ISSN

1412-2332, p 131–141.

Wellek, R. dan Austin Warren. 1989.

Teori Kesusasteraan.

Terjemahan Melani Budianta.

Jakarta: PT Gramedia.