12
TUGAS MATA KULIAH SUMBERDAYA PEMBANGUNAN DAMPAK SEAFRONT CITY TERHADAP ALIH FUNGSI LAHAN DI KABUPATEN REMBANG OLEH : DWI SEPTINA RAHAYU P 0204211524

Rembang, Seafront City

Embed Size (px)

Citation preview

TUGAS MATA KULIAHSUMBERDAYA PEMBANGUNAN

DAMPAK SEAFRONT CITY TERHADAP ALIH FUNGSI LAHAN

DI KABUPATEN REMBANG

OLEH :

DWI SEPTINA RAHAYUP 0204211524

Program Studi Konsentrasi Manajemen PerencanaanProgram Pasca Sarjana Perencanaan Pengembangan Wilayah

Universitas Hasanuddin2012

1

Tema : Sumberdaya Lahan dalam P embangunan Wilayah

DAMPAK SEAFRONT-CITY TERHADAP ALIH FUNGSI LAHAN DI KABUPATEN REMBANG

DWI SEPTINA RAHAYU

AbstrakSeafront city yang ingin diwujudkan Rembang di masa yang akan datang

memberikan peluang peningkatan kesejahteraan bagi masyarakatnya karena menawarkan peluang pembukaan usaha baru, namun dibaliknya ternyata menyimpan ancaman kerusakan lingkungan karena alih fungsi lahan yang akan terjadi sebagai dampak negative seafront city ini. Berdasarkan serangkaian analisis yang dilakukan, minimalisir dampak negative alih fungsi lahan ini dapat dilakukan dengan melakukan perencanaan pembangunan yang baik dengan mengikuti tahapan identifikasi permasalahan dan tujuan, mengkaji latar belakang penetapan peruntukan lahan, mengkaji kesesuaian lahan dengan rencana yang ingin dicapai, mengimplementasikan rencana tersebut dan melakukan evaluasi atas implementasi rencana. Yang paling penting adalah pelibatan komunitas local dalam setiap tahap pembangunan seafront city menjadi suatu keharusan sehingga hasilnya menjadi lebih optimal bagi suksesnya pembangunan wilayah yang ditunjukkan melalui peningkatan capaian indicator-indikator pembangunan.Kata Kunci : Seafront city, Zonasi Wilayah, Alih Fungsi Lahan

1. Pendahuluan

Otonomi daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, memberi peluang kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut azas otonomi dan tugas pembantuan. Pendekatan sektoral dan terpusat yang digunakan sebagai kebijakan pembangunan oleh pemerintah Indonesia pada beberapa waktu lalu melahirkan kesenjangan antardaerah sebagai salah satu indicator kegagalan pembangunan, kegagalan ini terjadi karena potensi dan kemampuan masing-masing daerah berbeda satu sama lainnya, begitu pula dengan hambatan dan tantangan yang dihadapi. Kebijakan pembangunan berbasis pengembangan wilayah lahir guna mengurangi kesenjangan pembangunan antardaerah tersebut, meningkatkan ekonomi daerah dan kesejahteraan masyarakat. Berlandaskan konsep tersebut maka pembangunan wilayah Kabupaten Rembang dilaksanakan dengan mensinergikan potensi sumberdaya alam, sumber daya manusia, investasi modal, prasarana dan sarana pembangunan, transportasi dan komunikasi, komposisi industri, teknologi, situasi ekonomi dan perdagangan antarwilayah, kemampuan pendanaan dan pembiayaan pembangunan daerah, kewirausahaan, kelembagaan daerah, dan lingkungan pembangunan secara luas.

Dalam membangun wilayah, sumberdaya lahan adalah salah satu dari sekian banyak sumber daya lokal yang dimanfaatkan pelaku pembangunan sebagai modal pembangunan. Sebagai daerah yang terletak di pesisir utara

1

2

Laut Jawa dengan bentang garis pantai sepanjang 63,5 KM dan segala potensi sumber daya alam didalamnya, sudah selayaknya apabila konsep pengembangan wilayah pesisir digunakan sebagai muara pembangunan wilayah. Memiliki luas wilayah 101.408 Ha yang terbagi dalam 14 kecamatan dengan karakteristik topografis wilayah yang bervariasi meliputi daerah pantai, dataran rendah, dataran tinggi dan daerah pegunungan tentunya memerlukan kebijakan pengembangan wilayah yang bervariasi pula. Terlebih dengan variasi tingkat ketinggian lahan dimana 8.34% wilayah Kabupaten Rembang terletak pada ketinggian 1–7 meter dpl, 12,41% wilayah dengan ketinggian 7-25 m dpl, ketinggian 25-100 m dpl sebesar 42,82 %, ketinggian 100-500 m dpl sebesar 28,08%, dan ketinggian diatas 500 m dpl sebesar 8,34% maka sentuhan kebijakan pada masing-masing daerah berbeda juga. Karakteristik kawasan perkotaan dan kawasan pedesaan yang mengisi ruang dengan kegiatan pengolahan sumber daya didalamnya juga menuntut diberlakukannya kebijakan pembangunan wilayah yang berbeda antara satu kawasan dengan kawasan lainnya.

Pembangunan wilayah menciptakan konsekuensi logis terjadinya alih fungsi lahan, terlebih saat melaksanakan pembangunan ekonomi. Dalam skala nasional, dalam kurun waktu tiga dekade terakhir, setidaknya terdapat dua trend utama proses alih fungsi lahan yang menonjol, yakni proses deforestasi dan urbanisasi-suburbanisasi (Kitamura dan Rustiadi, 1997). Proses alih fungsi lahan ini juga terlihat di Kabupaten Rembang terlebih sejak dicanangkannya vision Rembang Seafront-City, kemungkinan terjadinya alih fungsi lahan di masa yang akan datang menjadi semakin besar karena pembangunan berbagai infrastruktur yang mendukung Seafront-city dan efek ikutannya. Sebagai konsekuensi logis dari kegiatan pembangunan, alih fungsi lahan tidak akan dapat dihindari, tetapi pemangku kepentingan dapat menetapkan kebijakan untuk meminimalisir dampak negative alih fungsi lahan seperti berkurangnya produksi bahan pangan karena berkurangnya areal persawahan dan terjadinya pencemaran air, tanah dan udara bahkan suara karena kegiatan manusia yang tidak ramah lingkungan. Disini tampak pentingnya menerapkan kebijakan seafront-city yang berwawasan lingkungan. Makalah ini akan menguraikan Seafront City sebagai Pendekatan Pembangunan Wilayah Kabupaten Rembang, Seafront-City dan Alih Fungsi Lahan, serta strategi untuk meminimalisir dampak negative alih fungsi lahan dalam konteks pembangunan wilayah.

2. Seafront City sebagai Pendekatan Pembangunan Wilayah Kabupaten Rembang

Bentangan garis pantai Kabupaten Rembang sepanjang 63,5 km menyimpan potensi ekonomi bahari yang sangat besar dan beragam dari sektor kelautan dan perikanan, keberadaan kawasan hutan mangrove, terumbu karang dan pulau-pulau kecil serta ditemukannya situs-situs sejarah maritim di Kabupaten Rembang juga sangat berpeluang untuk dikembangkan menjadi sektor pariwisata bahari unggulan maupun jasa-jasa lingkungan lainnya. Memperhatikan potensi dan peluang tersebut, maka upaya optimalisasi sumberdaya pesisir Kabupaten Rembang adalah keniscayaan dan oleh

3

pemerintah Kabupaten Rembang diakomodasi dalam konsep pembangunan yang komprehensif dan terpadu melalui pendekatan seafront city. Filosofi pengembangan seafront city dilandasi pada perubahan paradigma masyarakat yang selama ini masih berorientasi daratan (land based) menjadi berorientasi pada lautan (ocean based). Perubahan paradigma ini diharapkan merubah orientasi masyarakat untuk menempatkan pengelolaan kawasan perairan laut sebagai “halaman depan” serta menuntut kearifan semua stakeholder terhadap pengelolaan sumberdayanya.

Konsekuensi logis atas digunakannya konsep pembangunan ini adalah dibutuhkannya komitmen segenap pemangku kepentingan serta terfokusnya kebijakan pada sektor maritim terutama dalam penyediaan dan peningkatan infrastruktur di kawasan pesisir Kabupaten Rembang yang dilakukan sejalan dengan upaya pemberdayaan masyarakat pesisir khususnya masyarakat nelayan. Meskipun menempatkan kawasan pesisir sebagai focus perhatian, namun kawasan lainnya tetap tak terabaikan. Zonasi wilayah yang dilakukan dalam konsep seafront city ini tampak pada gambar berikut :

ZONASI WILAYAH KABUPATEN REMBANG

(SEAFRONT CITY)

Sumber : Bappeda Kabupaten Rembang

Dalam gambar tersebut tampak bahwa pemerintah berencana untuk mengembangkan 6 kawasan industry yang meliputi kawasan industry garam, kawasan industry pariwisata terpadu, kawasan industry perikanan terpadu, kawasan agribisnis, kawasan industry kimia dan kawasan industry semen. Pengembangan kawasan industry yang dilaksanakan di Kabupaten Rembang ini dilakukan dalam konteks pembangunan wilayah. Menurut Cullis dan Jones pembangunan wilayah sangat tepat diimplementasikan dalam perekonomian yang tumbuh dengan mengandalkan pengelolaan sumber daya publik (common and public resources), antara lain sektor kehutanan, perikanan, atau pengelolaan wilayah (Nugroho dan Dahuri, 2004 dalam Sugiharto, 2006).

4

Sector industri memiliki peluang karena pengembangan sector ini akan lebih memberikan efek pengganda bagi masyarakat sekitar dan akan mendorong berkembangnya sector lain. Bila kawasan industry ini benar-benar telah terbentuk dan berjalan dengan baik dengan dukungan dari masing-masing stakeholder maka keberhasilan pembangunan wilayah akan memuaskan semua pihak.

Penyediaan infrastruktur dalam konsep seafront city perlu diinisiasi melalui pembangunan sarana dan prasarana ekonomi maupun sektor pendukungnya yang secara tidak langsung juga akan membawa perubahan paradigma masyarakat terhadap pembangunan seafront city. Upaya tersebut dilakukan secara integratif dan komprehensif dengan penguatan dan pemberdayaan masyarakat pesisir utamanya masyarakat nelayan. Upaya pemberdayaan masyarakat pesisir adalah aspek penting yang perlu menjadi perhatian utama dalam pengembangan seafront city mengingat karakteristitik sosial budaya masyarakat pesisir yang rawan termarjinalisasi. Upaya tersebut ditekankan pada peningkatan keterampilan, pengetahuan, pendidikan serta penguatan struktural dalam masyarakat sehingga kesejahteraannya meningkat, mengingat lebih dari 50 persen penduduk Rembang bermukim di kawasan pesisir dan sebagian menggantungkan hidupnya pada kegiatan ekonomi di sektor maritim. Pembangunan seafront city diprediksikan akan mampu menjadi sumber energi potensial dalam memicu pertumbuhan ekonomi daerah.

3. Seafront City dan Alih Fungsi Lahan

Penggunaan lahan untuk mewujudkan seafront city di Kabupaten Rembang memberikan konsekuensi logis terjadinya alih fungsi lahan di masa yang akan datang. Aktivitas ekonomi, social, budaya, politik atau aktivitas lainnya memerlukan ruang gerak yang memanfaatkan lahan sebagai sumberdayanya. Permasalahan klasik dalam alih fungsi lahan meliputi efisiensi alokasi dan distribusi sumberdaya dari sudut pandang ekonomi, keterkaitannya dengan masalah pemerataan dan keadilan penguasaan sumberdaya, serta keterkaitannya dengan proses degradasi dan kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan hidup.

Didorongnya industry untuk berkembang di Kabupaten Rembang melalui penyediaan kawasan industry yang tersebar di hampir semua kecamatan di Kabupaten Rembang lebih karena alasan ekonomi. Dari sudut pandang ekonomi mengembangkan industry akan lebih memberikan efek pengganda yang lebih besar bagi kemakmuran masyarakat karena industry mampu memberikan nilai tambah bagi produk yang dihasilkan masyarakat. Rantai nilai dalam kegiatan industry secara langsung maupun tidak langsung lebih panjang dibandingkan rantai nilai yang ditawarkan oleh sector pertanian. Dengan pemakaian lahan yang sama dengan lahan pertanian, industry akan menghasilkan pendapatan yang lebih besar dan lebih banyak tenaga kerja yang tertampung di atas lahan tersebut. Seiring dengan peningkatan pendapatan yang diterima masyarakat maka permintaan akan lahan juga semakin besar, terlebih dengan meningkatnya jumlah penduduk. Sebagai individu, masyarakat turut berperan dalam proses alih fungsi ini misalnya dengan pembangunan rumah tinggal di lahan yang dulunya areal persawahan.

5

Secara kolektif, pendirian gedung, pembangunan jalan, pembangunan waduk buatan, atau pembangunan infrastruktur lainnya juga menjadi factor terjadinya alih fungsi lahan ini.

Pemerataan dan keadilan akan kebijakan yang dilaksanakan oleh pemerintah seringkali tak sempurna, kapasitas masyarakat yang berbeda baik secara fisik maupun psikis menjadikan tak semua anggota masyarakat memiliki kesempatan untuk mengalokasikan sumber daya yang sejatinya ada. Alasan financial seringkali menjadi argument yang paling sering kenapa penguasaan lahan di Kabupaten Rembang ini tidak merata, dimana hanya orang dengan kemampuan financial yang lebih yang dapat memiliki lahan. Pengambilalihan lahan dilakukan dengan mengurangi atau bahkan menghilangkan keberdayaan masyarakat pemilik lahan. Dengan alasan kepentingan yang lebih besar pemerintah mengambil alih kepemilikan lahan untuk dimanfaatkan sebagai jalan, pembangkit listrik, waduk, pelabuhan, atau infrastruktur lainnya. Atas tindakan ini tentunya pemerintah tidak menutup mata, pemerintah tetap memberikan ganti rugi kepada para pemilik lahan, tetapi karena rendahnya keberdayaan seringkali ganti rugi tersebut justru dinikmati oleh calo tanah atau bahkan aparat yang nakal. Ketidakberdayaan petani atas lahannya ternyata juga dimanfaatkan oleh pihak swasta untuk membeli lahan-lahan pertanian dengan harga murah dan merubahnya menjadi pabrik. Kegiatan-kegiatan ini tentunya menjadi masalah tersendiri dalam alih fungsi lahan.

Masalah selanjutnya atas kegiatan alih fungsi lahan adalah masalah degradasi lingkungan yang ditimbulkan. Perubahan peruntukan lahan secara langsung maupun tidak langsung akan merubah ekosistem wilayah tersebut. Analisis daya dukung lingkungan yang sering kali luput untuk dianalisis dalam peralihan fungsi lahan sejatinya merupakan hal wajib yang harus dilakukan sebelum melakukan alih fungsi lahan. Berkurangnya lahan sawah adalah fenomena yang tidak dapat dihindari karena tingginya permintaan lahan untuk kegiatan manusia seperti pemukiman, sekolah, pasar, jalan, pabrik atau perkantoran. Luas sawah di Kabupaten Rembang pada tahun 2010 seluas 39.974 ha, pada tahun 2009 seluas 40.758 ha sementara pada tahun 2008 seluas 41.910 ha. Luas lahan sawah yang terdiri dari sawah irigasi maupun sawah tadah hujan di tahun 2010 ini menggunakan 39,4% dari keseluruhan lahan Kabupaten Rembang. Selain sawah, areal tambak juga relative besar dimana tambak di Kabupaten Rembang selain digunakan untuk budidaya perikanan darat, tambak juga dimanfaatkan untuk memproduksi garam dimana produksi garamnya mencapai 150.400 ton/tahun.

Pembangunan infrastruktur yang mendukung seafront city akan mengakibatkan alih fungsi lahan dari sawah atau tambak menjadi bangunan, jalan atau peruntukan lainnya. Pembangunan kawasan-kawasan industry selain mengakibatkan menurunnya jumlah produksi pangan karena berkurangnya areal tanam atas alih fungsi yang terjadi, pembukaan kawasan-kawasan industry tersebut akan berpengaruh pula pada kondisi rusaknya ekologi karena limbah dari aktivitas kawasan-kawasan tersebut. Pembangunan infrastruktur di sepanjang pantai demi konsep seafront city selain berpeluang ekonomi tinggi juga akan menimbulkan peluang rusaknya hutan mangrove yang saat ini ada, disini biota laut dan pantai menjadi taruhannya. Pengurukan laut untuk menambah luasan lahan juga mengganggu ekosistem sehingga tindakan ini

6

sangatlah tidak bijak dilakukan. Industry pertambangan yang dijanjikan akan memberikan efek positif yang lebih besar bagi kemakmuran masyarakat Rembang juga harus dilakukan dengan bijak demi menghindari degradasi lahan yang sangat fatal. Meskipun saat ini luasan hutan di Kabupaten Rembang mencapai 30 % dari luasan wilayah Kabupaten Rembang (20 % hutan Negara dan 10% hutan rakyat) tetapi luasan hutan ini juga terancam berkurang dengan konsep seafront city ini, karena eksploitasi yang terus dilakukan baik dalam rangka memanfaatkan hasil hutannya maupun dalam rangka keinginan untuk menggunakan lahan dari areal hutan itu sendiri.

Proses alih fungsi lahan umumnya bersifat irreversible dimana lahan-lahan sawah yang dikonversikan ke berbagai aktifitas pembangunan baik yang mendukung suksesnya seafront city maupun pembangunan-pembangunan fisik lainnya sangat kecil kemungkinannya untuk kemudian dikembalikan lagi menjadi sawah. Demikian juga halnya dengan hutan-hutan baik hutan Negara maupun hutan rakyat yang mengalami degradasi memerlukan usaha yang sangat besar untuk direboisasi.

4. Meminimalisir Dampak Negatif Alih Fungsi Lahan

Sebagai nilai yang telah disepakati bersama untuk dianut, konsep pembangunan untuk menuju Seafront city ini telah mewarnai dokumen-dokumen perencanaan pembangunan Kabupaten Rembang baik perencanaan pembangunan jangka pendek maupun perencanaan pembangunan jangka menengah. Selayaknya perencanaan tata ruang untuk mewujudkan Rembang Seafront city itu merupakan perancanaan jangka panjang, karena dampak besar perubahan lingkungan yang sangat berpotensi ditimbulkannya. Namun akibat proses perencanaan yang tidak tepat, efektifitas perencanaan tata ruang yang disusun umumnya rendah dan terlalu sering direvisi, sehingga seolah-olah bersifat jangka pendek, atau bahkan tidak dijadikan acuan sama sekali akibat sudah kepalang tidak efektif. Zonasi Rembang seafront city selayaknya ditetapkan setelah dilakukannya analisis kesesuaian lahan yang sangat tergantung pada kondisi lingkungannya seperti factor kelerengan, iklim, jenis tanah dan batuan, tutupan lahan, hidrologi dan factor-faktor lainnya

Untuk mengetahui kesesuaian lahan dengan peruntukannya, Djauhari Noor (2006) menyatakan bahwa terdapat 3 tahapan dalam proses perencanaan tataguna lahan, yaitu melakukan survey pendahuluan atas data-data dasar yang meliputi studi pustaka, survey lapangan serta pekerjaan laboratorium guna menyusun dan memadukan data dasar ke dalam peta untuk penyusunan laporan, melakukan penilaian kapabilitas lahan dari hasil tahap pertama untuk berbagai peruntukan lahan, seperti pertanian atau perumahan, serta menyiapkan rencana lokasi dan tujuan dari peruntukan lahan. Satu hal yang tidak boleh diabaikan dalam menyusun strategi menuju Rembang seafront city adalah pelibatan komunitas local dalam setiap tahap pembangunan, sehingga mereka tidak menjadi makhluk asing diwilayahnya sendiri, perencanaan yang tidak disepakati oleh komunitas local harus disusun ulang sehingga perencanaan itu bisa diterima dengan baik oleh setiap entitas yang menyusunnya. Pelibatan komunitas local juga untuk mengikat secara emosi

7

komunitas atas tujuan bersama yang ingin dicapai. Untuk menyusun rencana yang baik, seorang perencana dapat mengikuti tahapan proses berikut ini :a. menetapkan batasan permasalahan, ditahap ini inventarisasi data awal

berupa permasalahan-permasalahn yang dihadapi oleh masyarakat menjadi hal yang sangat penting sehingga ketepatan wilayah itu ditujukan untuk menjadi kawasan apa menjadi lebih tepat.

b. Setelah permasalahan ditemukan maka harus ditindaklanjuti dengan melakukan pengkajian terhadap factor-faktor terkait, baik aspek fisik, social, ekonomi atau bahkan factor politik sehingga diketahui dengan jelas latar belakang penetapan suatu kawasan ditetapkan menjadi wilayah industry, public servis atau wilayah lainnya.

c. Selanjutnya mengkaji kesesuaian lahan dengan peruntukan yang kita inginkan, disini studi-studi lanjutan sangat diperlukan untuk mendukung ketepatan perencanaan yang ingin dilakukan.

d. Setelah perencanaan berhasil disusun tahapan selanjutnya adalah mendampingi rencana tersebut dengan regulasi sehingga rencana tersebut memiliki kekuatan hukum untuk mengikat semua pihak yang terlibat didalamnya dengan aturan tertentu dan rencana tersebut terimplementasikan dengan baik.

e. Evaluasi menjadi tahap akhir sekaligus menjadi tahap awal untuk proses perencanaan berikutnya.

5. Penutup

Pembangunan seafront city selayaknya memberikan harapan yang indah bagi semua masyarakat Kabupaten Rembang, peningkatan kesejahteraan yang ditawarkannya harus diiringi dengan jaminan kelestarian lingkungan. Alih fungsi lahan untuk membangun infrastruktur-infrastruktur baru harus dilakukan dengan bijak sehingga ekosistem akan terjaga dengan baik untuk mewujudkan konsep pembangunan yang berkelanjutan. Jangan karena ingin mengejar keberhasilan pembangunan sector social dan ekonomi, alam menjadi korban keserakahan pembangunan, bagaimanapun alam khususnya lahan memiliki daya dukung yang terbatas. Perencanaan yang baik akan meminimalisir dampak negative dari alih fungsi lahan sebagai konsekuensi pengembangan seafront city ini, karena zonasi yang dibuat telah dianalisis kesesuaiannya dengan kondisi lingkungan.

Daftar PustakaDjauhari Noor, 2006, Geologi Lingkungan, Graha Ilmu, Yogyakarta.Kitamura, T. and E. Rustiadi, 1997, Indonesia Model Center for Global

Environmental Research. Pemerintah Kabupaten Rembang, 2010, RPJMD Tahun 2010-2015Sugiharto, 2006. “Pembangunan dan Pengembangan Wilayah”, USU Press,

Medan.