Upload
others
View
6
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PROSIDING
Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Jambi tahun 2018
Tema: Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Berbasis Sumberdaya Lokal
SBN: 978-602-97051-7-1 E-ISSN : DOI :
77
RESPON BEBERAPA KLON BIBIT KARET (Hevea brasilliensis Muell. Arg.) ASAL STUM MATA TIDUR TERHADAP INTERVAL WAKTU
PEMBERIAN AIR
Helmi Salim1*), Zul Fahri Gani1, Nymas Mirna EF1
1Program Studi Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Jambi *)Penulis untuk korespondensi : No. Hp. 08127805499
email : [email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui respon bibit karet PB – 260, IRR-112
dan BPM-24 asal stum mata tidur terhadap waktu pemberian air yang berbeda
Penelitian dilaksanakan dirumah kaca Fakultas Pertanian Unversitas Jambi, Desa
Mendalo Darat Kecamatan Jambi Luar Kota Kabupaten Muaro Jambi, pada ketinggian
tempat 35 m dpl. Percobaan lapang berlangsung sekitar lima bulan, dari Bulan
April 2017 sampai Oktober 2017. Percobaan ini menggunakan Rancangan Acak
Lengkap (RAL) dengan pola Faktorial yang terdiri dari 2 faktor yaitu : Klon
Karet ( k ) dan Interval Waktu Penyiraman Air ( a ) . Klon Karet terdiri dari : k0
= Klon – PB 260, k1 = IRR – 112 dan k2 = BPM – 24. Faktor kedua adalah
interval waktu pemberian air terdiri dari 4 level perlakuan terdiri dari : a1 = 2 hari
sekali , a2 = 4 hari sekali , a3 = 6 hari sekali dan a4 = 8 hari sekali. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa; 1 Meningkatnya interval pemberian air pada ketiga
klon yang diuji, yakni Klon PB-260. IRR-112 dan BMP-24 semakin menurunkan
pertumbuhan tanaman secara nyata seperti panj ang tunas, diameter batang, berat
kering tajuk, dan luas daun. Sebaliknya pada berat kering akar mengalami
peningkatan seiring dengan meningkatnya interval waktu pemberian air dari 2
menjadi 8 hari sekali. 2. Kandungan prolin pada ketiga klon karet yang diuji
meningkat seiring dengan peningkatan interval waktu pemberian air. Peningkatan
kandungan prolin tertinggi dij umpai pada Klon PB-260. Hal ini menunjukkan bahwa
Klon PB-260 lebih toleran pada kondisi tercekam kekurangan air. Akan tetapi tidak
terdapat perbedaan klorofil pada ketiga klon, kecuali sebagai dampak dari
menurunnya ketersediaan air, mengalami penurunan secara drastis.
Kata Kunci: Air, Stum Mata Tidur Karet Klon PB – 260, IRR- 112 dan BPM – 24.
PROSIDING
Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Jambi tahun 2018
Tema: Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Berbasis Sumberdaya Lokal
SBN: 978-602-97051-7-1 E-ISSN : DOI :
78
PENDAHULUAN
Tanaman karet (Hevea brasiliensis Muell Arg.) merupakan salah satu
komoditas unggulan yang memiliki arti penting bagi sektor perkebunan selain
kelapa sawit dan coklat (Ambo, 2011). Hal ini dikarenakan karet merupakan
komoditas penyumbangm devisam bagi Indonesia dan sebagai sumber utama
pendapatan rakyat.
Luas lahan karet di Indonesia pada tahun 2010 yang merupakan luas lahan
terbesar di dunia yang mencapai 3,445 juta hektar.Perkebunan karet Indonesia
kebanyakan dimiliki oleh petani (perkebunan rakyat) yang menguasai 85 % total
perkebunan karet di Indonesia dan sisanya merupakan perkebunan milik karet Negara
(PTPN) dan perkebunan milik swasta.Perkebunan karet milik negara dan
perusahaan besar yang luasnya 538.300 ha mampu berproduksi 499.200 ton th-1.
Sedangkan perkebunan rakyat seluas 2.932.600 ha hanya menghasilkan 2.123.600 ton
th-1 (Dirjen Perkebunan, 2011). Indonesia merupakan produsen karet nomor dua
terbesar di dunia dengan produksi sebesar 2,7 juta ton pada tahun 2010 setelah
Thailand (produksi sebesar 9,6 juta ton, akan tetapi produktivitas, perkebunan
karet milik negara dan perusahaan besar maupun rakyat mencapai 0,972 ton ha -
1 (Gapkindo, 2011). Sementara berdasarkan kajian Balai Penelitian Sungai Putih
(2007), potensi produksi untuk karet kering yang bisa dihasilkan tanaman karet saat
ini yang mencapai 2,9– 3,2 ton ha-1 th-1.
Potensi pengembangan karet di Indonesia masih terbuka mengingat
permintaan karet cenderung meningkat seiring dengan pertumbuhan industri
automotif yang memerlukan karet sebagai bahan baku pembuat ban. Lateks hasil
utama tanaman karet berperan besar sebagai bahan baku, mulai dari peralatan
transportasi, medis, dan alat-alat rumah tangga. Perkembangan teknologi dan
industri yang semakin maju, menyebabkan penggunaan karet alam yang semakin luas
dalam kehidupan sehari-hari. Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Universitas
Free, Belanda, pada tahun 2020 mendatang kebutuhan karet dunia akan mencapai
lebih dari 25 j uta ton dan 13,473 j uta ton di antaranya adalah karet alam.
Kemampuan negara produsen karet alam untuk memenuhi kebutuhan konsumen
hanya sekitar 7,8 juta ton (Setiawan dan Agus, 2007).
PROSIDING
Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Jambi tahun 2018
Tema: Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Berbasis Sumberdaya Lokal
SBN: 978-602-97051-7-1 E-ISSN : DOI :
79
Upaya pemerintah dalam mendorong peningkatan konsumsi karet dunia
terhadap karet alam melalui berbagai terobosan program, berusaha meningkatkan
produksi yang berbasis pada pola intensifikasi dan ekstensifikasi (Direktorat Jenderal
Perkebunan Departemen Pertanian RI, 2004). Dengan semakin terbatasnya lahan subur
untuk tanaman karet maka perlu dikembangkan pada lahan-lahan yang kurang subur
salah satunya pada tanah ultisol. Produktivitas karet yang rendah di Indonesia
disebabkan oleh keterbatasan dalam pengadaan bibit yang berkualitas, pemanfaatan
lahan perkebunan yang tidak optimal dan pemeliharaan tanaman yang buruk.
Penggunaan karet klon unggul merupakan langkah awal dalam pembudidayaan
tanaman karet yang memiliki potensi produksi tinggi, tahan hama dan penyakit. Klon
merupakan bibit hasil okulasi yang merupakan cara pembiakan vegetatif yang
dilakukan pada tanaman karet
Salah satu klon karet unggul yang digunakan di Indonesia, termasuk di
Provinsi Jambi adalah klon PB-260 yang merupakan klon penghasil lateks yang
dianjurkan untuk dikembangkan di Indonesia mulai tahun 1991. (Karyudi Sunarwidi,
1988).
Produktivitas karet yang rendah di Indonesia disebabkan oleh keterbatasan
dalam pengadaan bibit yang berkualitas, pemanfaatan lahan perkebunan yang tidak
optimal dan pemeliharaan tanaman yang buruk. Penggunaan karet klon unggul
merupakan langkah awal dalam pembudidayaan tanaman karet yang memiliki potensi
produksi tinggi, tahan hama dan penyakit. Klon merupakan bibit hasil okulasi
yang merupakan cara pembiakan vegetatif yang dilakukan pada tanaman karet
(Karyudi Sunarwidi, 1988).
Di daerah yang kurang hujan yang menjadi faktor pembatas adalah
kurangnya air. Salah satu hal yang harus diperhatikan dalam pemeliharaan tanaman
karet adalah pengairan untuk kebutuhan air bagi tanaman, terutama pada saat
pembibitan. Kebutuhan air diperlukan pada saat setelah penempelan mata entres
sampai bibit dapat dipindah tanam ke kebun (Cahyono, 2010). Apabila tanaman
karet berada pada lokasi yang terbatas pasokan dan ketersediaan air, maka
tanaman dan tanah harus mampu mencegah evapotranspirasi yang melebihi kapasitas
air tanah yang tersedia dan diserap oleh tanaman. Menurut Sotedjo dan
Kartasapoetra (2002), penggunaan bibit karet toleran terhadap kekurangan air juga
PROSIDING
Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Jambi tahun 2018
Tema: Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Berbasis Sumberdaya Lokal
SBN: 978-602-97051-7-1 E-ISSN : DOI :
80
sangat penting untuk dipertimbangan penggunaannya di daerah-daerah yang
bermasalah dengan kecukupan ketersedian air.
Pada saat ini sudah banyak jenis klon unggul yang dikembangkan oleh
badan atau balai penelitian yang direkomendasikan untuk digunakan petani berkebun
karet. Di antaranya yang sudah biasa digunakan petani adalah Klon PB-260, IRR-1 12
dan BPM24. Namun informasi tentang toleransi ketiga klon tersebut terhadap
cekaman kekurangan air perlu diuji di lapangan mengingat banya daerah-daerah
yang curah hujannya rendah potensial untuk pengembangan perkebunan karet.
BAHAN DAN METODE
2.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Percobaan ini dilaksanakan di rumah kaca Fakultas Pertanian Unversitas
Jambi, desa Mendalo Darat Kecamatan Jambi Luar Kota Kabupaten Muaro Jambi,
dengan ketinggian 35 m dpl. Pelaksanaan penelitian ini berlangsung selama 6 bulan,
dari bulan April – Oktober 2017.
2.2 Metode Penelitian
Percobaan ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan pola
Faktorial yang terdiri dari 2 faktor yaitu : Klon Karet ( k ) dan Interval
WaktuPemberian Air ( a ) . Klon Karet terdiri dari :k0 = PB-260, k1 = IRR-112, dan k2
= BPM-24. Faktor kedua adalah interval waktu pemberian air terdiri dari 4 level
perlakuan terdiri dari :a1 = 2 hari sekali, a2 = 4 hari sekali, a3 = 6 hari sekali dan
a4 = 8 hari sekali. Setiap perlakuan diulang 4 kali dan terdapat 48 satuan percobaan.
Variabel yang diamati dalam penilitian ini meliputi panjang tunas okulasi,
diameter tunas, bobot kering tunas, bobot kering akar, luas daun total dan
kandungan prolin serta kandungan klorofil.
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Panjang Tunas Okulasi
Berdasarkan hasil analisis statistik, dengan mengkombinasikan interval waktu
pemberian air pada berbagai Klon Karet menunjukkan efek yang nyata secara
interaktif pada perubahan panjang tunas okulasi bibit karet klon PB – 260, IRR –
112 dan BPM - 24. Perubahan respon pada panjang tunas okulasi pada setiap taraf
PROSIDING
Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Jambi tahun 2018
Tema: Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Berbasis Sumberdaya Lokal
SBN: 978-602-97051-7-1 E-ISSN : DOI :
81
interval waktu pemberian air yang diberikan pada Klon Karet berbeda, ditampilkan
pada tabel 1.
Fenomena efek interaksi yang teramati antara interval waktu pemberian air
dengan perbedaan klon pada panjang tunas okulasi adalah terjadi penurunan panjang
tunas yang lebih drastis dijumpai pada Klon IRR-112 dan BPM-24 dibanding yang
terjadi pada Klon PB-260. Hal ini menunjukkan bahwa klon PB-260 lebih stabil
menghadapi kondisi cekaman air. Sehingga bisa disimpulkan, klon PB-260 lebih
sesuai pada daerah yang curah hujannya lebih rendah. Sebagaimana dikemukakan oleh
Sircelj dkk.,(1999), suatu jenis tanaman yang lebih peka terhadap cekaman
kekeringan pertumbuhannya lebih stabil meski menghadapi kondisi tercekam.
Sedangkan klon IRR-112 dan BPM-24, begitu mengalami cekaman air,
pertumbuhan turun drastis. Sehingga terlihat bahwa pada kondisi sama-sama
tercekam air, ke tiga klon yang diuji tersebut pertumbuhannya menjadi sama.
Tabel 1. Panjang Tunas Okulasi Sebagai Efek Interaksi Interval Waktu
Pemberian Air dan Klon Karet.
Faktor Klon Karet ( k )
PB-260 IRR-112 BPM-24
Interval Waktu
Pemberian Air (Hari)
2 28,00 A
a
33,00 A
b
36,13 A
c
4 27,43 A
a
32,00 A
b
33,75 B
b
6 23,63 B
a
29,43 B
b
31,13 C
b
8 23,63 B
a
24,38 C
a
25,93 D
a Keterangan : Notasi huruf pada angka-angka adalah pembeda efek antar taraf dalam taraf
perlakuan faktor lainnya pada tingkat α 0.05 Uji BNT (huruf kecil pembanding
horizontal dan huruf kapital untuk vertikal). Jika notasi sama, maka
perbedaan efek tidak nyata.
Meski demikian, kecukupan air penting bagi pertumbuhan tanaman sebagai
penyusun tubuh tanaman (70-90%), pelarut dan medium reaksi biokimia, medium
transport senyawa, pelarut dan pengangkut mineral serta unsur hara, memberikan
turgor bagi sel dan mempertahankan turgor tanaman, bahan baku dalam fotosintesis
serta menjaga suhu tanaman supaya tetap konstan. Turgor sel dalam tanaman sangat
penting untuk proses pembelahan sel dan pembesaran sel. Defisit air berakibat pada
PROSIDING
Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Jambi tahun 2018
Tema: Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Berbasis Sumberdaya Lokal
SBN: 978-602-97051-7-1 E-ISSN : DOI :
82
penurunan gradien potensial air antara tanah-akar-daun-atmosfer, sehingga laju
transpor air dan hara menurun (Taiz dan Zeiger, 2002).
3.2. Diameter Tunas Okulasi
Kombinasi antara interval waktu pemberian air dengan beda klon tidak
menampakkan efek secara interaktif pada perubahan diameter tunas okulasi.
Pengaruh yang menonjol pada pertambahan diameter tunas okulasi hanya terukur
secara nyata oleh efek mandiri dari masing-masing faktor. Perbedaan ukuran
diameter tunas yang terjadi akibat perubahan taraf yang dicobakan untuk
setiap faktor perlakuan ditampilkan pada Tabel 2.
Terlihat dari Tabel 2 bahwa ukuran diameter tunas bibit karet okulasi
semakin kecil seiring dengan semakin panjangnya interval waktu pemberian air.
Terlihat bahwa ukuran diameter tunas tertinggi terdapat pada Klon PB-260 yang
diikuti Klon IRR-112 dan BPM-24. Perbedaan pertumbuhan ini mungkin menjadi
alasan sehingga Klon PB-260 sangat dianjurkan di daerah yang sering bermasalah
dengan kondisi lingkungan kekurangan air. Anwar (2001) menjelaskan bahwa Klon
PB-260 sangat respon terhadap pemupukan, terutama unsur K. Unsur K memegang
peranan penting di dalam metabolisme tanaman antara lain terlibat langsung dalam
beberapa proses fisiologis (Farhad et al., 2010). Keterlibatan tersebut dikelompokkan
dalam dua aspek, yaitu: (1) aspek biofisik dimana kalium berperan dalam
pengendalian tekanan osmotik, turgor sel, stabilitas pH, dan pengaturan air melalui
kontrol stomata, dan (2) aspek biokimia, kalium berperan dalam aktivitas enzim pada
sintesis karbohidrat dan protein, serta meningkatkan translokasi fotosintat dari daun
(Taiz dan Zeiger, 2002).
PROSIDING
Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Jambi tahun 2018
Tema: Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Berbasis Sumberdaya Lokal
SBN: 978-602-97051-7-1 E-ISSN : DOI :
83
Tabel 2. Diameter Tunas Sebagai Efek Mandiri Perlakuan Interval Waktu
Pemberian Air dan Klon Karet.
Faktor Taraf Diameter Tunas Okulasi
(cm)
Interval Waktu Pemberian
Air (Hari)
2 0,566 a
4 0,534 b
6 0,512 c
8 0,495 d
Klon Karet ( k )
PB-260 0,545 a
IRR-112 0,527 b
BPM-24 0,507 c Keterangan : Notasi huruf pada angka-angka adalah pembeda efek antar taraf pada α 0.05 Uj i
BNT untuk masing-masing faktor yang diuj i. Jika notasi sama, maka
perbedaan efek tidak nyata.
3.3. Bobot Kering Tunas.
Berdasarkan hasil analisis statistik, bobot kering tunas bibit karet okulasi
dipengaruhi oleh efek faktor interval waktu pemberian air dan dosis pupuk kalium
secara mandiri. Sedangkan kombinasi antar kedua faktor tidak menampakkan efek
secara interaktif. Perbedaan bobot kering tunas dari masing-masing faktor interval
waktu pemberian air dan beda klon disajikan pada Tabel 3.
Sebagaimana pada Tabel 3, memperpanjang interval waktu pemberian air
memberi efek negatif terhadap bobot kering tunas okulasi. Bobot kering tunas tampak
menurun secara drastis dari 27,20 gram menjadi 18,97 gram dengan berubahnya
interval waktu pemberian air dari 2 hari sekali menjadi 8 hari sekali, yakni
mengalami penurunan bobot sebesar 30,3%.
Salah satu indikator adanya gangguan fisiologis akibat kekurangan air yang
berkaitan dengan fungsi metabolis klorofil adalah penurunan laju fotosintesis yang
diindikasikan dengan menurunnya bobot kering tunas. Penutupan stomata untuk
mencegah hilangnya air dari tanaman akibat defisit air, telah menghambat
masuknya CO2 ke dalam daun. Hal ini tentu menurunkan laju fotosisntesis
tanaman. Berkaitan dengan itu, tampak bahwa bobot kering tunas bibit karet okulasi
yang teramati lebih rendah 30,3% pada pemberian air dengan interval 8 hari sekali
dibanding yang diberi air 2 hari sekali.
PROSIDING
Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Jambi tahun 2018
Tema: Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Berbasis Sumberdaya Lokal
SBN: 978-602-97051-7-1 E-ISSN : DOI :
84
Tabel 3. Bobot Kering Tunas Sebagai Efek Mandiri Perlakuan Interval Waktu
Pemberian Air dan Klon Karet
Perlakuan Taraf Bobot Kering Tunas Okulasi
(g)
Interval Waktu Pemberian Air (Hari)
2 27,20 a
4 25,83 b
6 23,07 c
8 18,97 d
Klon Karet ( k )
PB-260 24,99 a
IRR-112 23,69 b
BPM-24 22,62 c Keterangan :Notasi huruf pada angka-angka adalah pembeda efek antar taraf pada α 0.05 Uji
BNT untuk masing-masing faktor yang diuj i. Jika notasi sama, maka
perbedaan efek tidak nyata.
Sementara tanaman yang lebih respon terhadap pemupukan K terlihat
pertumbuhan yang lebih baik. Hal ini tak terlepas dari adanya peranan K dalam
peningkatan senyawa organik dengan meningkatnya ATP, UTP, dan UDP-glukosa.
Melalui peningkatan asimilasi CO2 dan sintesis ATP sehingga dapat meningkatkan
laju aliran senyawa organik dan ATP di dalam floem. Hasil asimilasi memberikan lebih
banyak fotosintat yang diangkut ke floem dan disalurkan ke bagian-bagian organ
lain yang membutuhkan sehingga selama proses itu berlangsung energi yang
dibutuhkan lebih banyak seiring bertambahnya suplai K pada tanaman (Yaseen
dkk., 2010). Sebagaimana hasil penelitian ini, bobot kering tajuk pada Klon PB-260
lebih tinggi dibanding IRR-112 dan BPM-24.
3.4. Bobot Kering Akar.
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa efek mandiri faktor interval waktu
pemberian air dan dosis pupuk kalium berkontribusi nyata terhadap bobot
kering akar bibit okulasi klon PB - 260. Namun efek kombinasi taraf perlakuan dari
dua faktor tersebut tidak menunjukkan kontribusi yang nyata. Perbedaan efek yang
ditimbulkan
sebagai akibat perbedaan taraf perlakuan dari masing-masing faktor pada
pengamatan bobot kering akar disajikan pada tabel berikut.
PROSIDING
Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Jambi tahun 2018
Tema: Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Berbasis Sumberdaya Lokal
SBN: 978-602-97051-7-1 E-ISSN : DOI :
85
Tabel 4. Bobot Kering Akar Sebagai Efek Mandiri Perlakuan Interval Waktu
Pemberian Air dan Klon Karet.
Faktor Taraf Bobot Kering Akar
(g)
Interval Waktu Pemberian
Air (Hari)
2 3,13 a
4 3,46 a
6 4,20 b
8 4,53 b
Klon Karet ( k )
PB-260 4,05 a
IRR-112 3,87 b
BPM-24 3,25 c Keterangan : Notasi huruf pada angka-angka adalah pembeda efek antar taraf pada α0.05 Uj i
BNT untuk masing-masing faktor yang diuj i. Jika notasi sama, maka
perbedaan efek tidak nyata.
Tabel di atas memperlihatkan terjadinya peningkatan bobot kering akar bibit
okulasi seiring dengan semakin panjangnya interval waktu pemberian air. Apabila
dilihat perbedaan bobot kering akar pada ke tiga klon yang diuji, pada Klon PB-260
masih lebih tinggi dibanding Klon IRR-1 12 dan BPM-24. Beberapa karakter
morfologi akar yang berkaitan dengan respons tanaman terhadap kekeringan di
antaranya dengan meningkatkan panjang akar, perluasan dan kedalaman sistem
perakaran, distribusi akar,berat kering akar, volume akar, serta resistensi
longitudinalpada akar utama, dayatembus akar, rasio akar dan tajuk serta rasio
panjangakar dan tinggi tanaman(Passioura, 2002).
Peningkatan bobot kering akar pada bibit karet okulasi adalah sebagai upaya
untuk memenuhi kecukupan air, karena akar terus tumbuh sebagai respon terhadap
perlawanan terhadap lingkungan. Menurut Hale dan David (1987) peningkatan sistem
perakaran umumnya diikuti dengan penurunan pertumbuhan tajuk. Tanaman yang
lebih mengutamakan pertumbuhan akar dari pada tajuknya mempunyai
kemampuan lebih baik untuk bertahan pada kondisi kekeringan. Terlihat dari hasil
penelitian ini, bobot kering akar meni ngkat secara nyata seiring dengan menurunnya
ketersediaan air, sementara bobot kering tunas mengalami sebaliknya.
PROSIDING
Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Jambi tahun 2018
Tema: Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Berbasis Sumberdaya Lokal
SBN: 978-602-97051-7-1 E-ISSN : DOI :
86
3.5. Luas Daun Total
Pengamatan pada variabel luas daun total, terj adi perubahan respon secara
interaktif pada ukuran luas daun yang ditimbulkan oleh kombinasi antar taraf faktor
interval waktu pemberian air dan Beda Klon. Efek interaksi yang muncul pada
taraftaraf faktor yang berkombinasi sangat nyata. Perbedaan ukuran luas daun total
bibit karet okulai sebagai efek antar taraf perlakuan suatu faktor dalam taraf faktor
perlakuan lainnya disajikan pada tabel berikut :
Tabel 5. Luas Daun Total (cm2) Sebagai Efek Interaksi Interval Waktu
Pemberian Air dan Klon Karet.
Faktor Klon Karet ( k )
PB-260 IRR-112 BPM-24
Interval Waktu Pemberian
2 1256,25A 1065,15A 911,00A
a b c
4 101 0,70B 863,75B 759,30B
a a b
Air (Hari)
6 616,95C 605,00C 623,75C
a a a
8 511,75C 492,85C 473,25D
a A a
Keterangan : Notasi huruf pada angka-angka adalah pembeda efek antar taraf dalam
taraf perlakuan faktor lainnya pada tingkat α0.05 Uj i BNT (huruf kecil
pembanding horizontal dan huruf kapital untuk vertikal). Jika notasi sama,
maka perbedaan efek tidak nyata.
Berdasarkan tabel di atas tampak bahwa luas daun total pada klon PB-260 lebih
tinggi dibanding dua jenis kolon lainnya. Kemudian dapat dilihat bahwa seiring dengan
meningkatnya interval waktu pemberian air dari 2 menj adi 8 hari sekali, luas daun pada
ketiga klon yang diuji juga mengalami penurunan. Proses metabolisme terganggu akibat
berkurangnya suplai air pada tanaman. Akibatnya pembentukan luas daun juga
mengalami penurunan.
Berkurangnya ukuran luas daun merupakan mekanisme lain sebagai cara
tanaman meningkatkan resistensi terhadap penurunan ketersediaan air. Menurut
Gardner, dkk (2008), pengaruh kekurangan air selama fase vegetatif ialah
berkembangnya daun-daun yang lebih kecil yang dapat mengurangi nilai indeks luas
daun (ILD), dan berakibat kurangnya penyerapan cahaya oleh tanaman budidaya
tersebut. Mekanisme ini merupakan respon tanaman untuk mengurangi laju
PROSIDING
Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Jambi tahun 2018
Tema: Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Berbasis Sumberdaya Lokal
SBN: 978-602-97051-7-1 E-ISSN : DOI :
87
penguapan yang tinggi melalui transpirasi (Kamoshita dkk., 2000). Stres air yang ringan
sekalipun pada suatu tanaman dapat mengakibatkan pengurangan laju pertumbuhan dan
gangguan beberapa proses metabolisme. Namun penurunan ukuran luas daun ini, juga
merupakan penyebab menurunnya fotosintesis.
3.6. Kandungan Prolin Daun
Hasil analisis statistik diketahui bahwa kombinasi interval waktu pemberian
air yang berbeda pada berbagai klon yang diuji menunjukkan efek yang nyata
secara interaktif pada perubahan kandungan prolin.
Tabel 6. Kandungan Prolin (nM/g) Sebagai Efek Interaksi Interval Waktu
Pemberian Air dan Klon Karet.
Faktor Klon Karet ( k )
PB-260 IRR-112 BPM-24
Interval Waktu Pemberian
Air (Hari)
2 0,269 A
a
0,254 A
a
0,244 A
a
4 0,301 A
a
0,293 A
a
0,265 A
a
6 0,550 B
a
0,415 B
b
0,377 B
b
8 0,714 C
a
0,604 C
b
0,464 C
c
Keterangan : Notasi huruf pada angka-angka adalah pembeda efek antar taraf dalam
taraf perlakuan faktor lainnya pada tingkat α 0.05 Uji BNT (huruf kecil
pembanding horizontal dan huruf kapital untuk vertikal). Jika notasi sama,
maka perbedaan efek tidak nyata.
Terlihat pada Tabel 6, setelah interval pemberian air berubah dari 6 menjadi
8 hari sekali, terlihat perubahan yang nyata dalam hal kandungan prolin pada ketiga
klon yang diuji. Pada bibit karet Klon PB-260 terbentuk prolin sebanyak 0,714 nM g-1
yang nyata lebih tinggi dibanding kandungan prolin pada Klon IRR-1 12 dan nyata
berbeda dengan kandungan prolin pada Klon B PM-24.
Dalam hal meningkatnya kandungan prolin pada daun merupakan suatu
fenomena yang umum dijumpai pada tanaman jika kekurangan air. Ini merupakan
respon fisiologis sebagai indikator adanya perlawanan tanaman terhadap tekanan
lingkungan. Cekaman osmotik yang disebabkan oleh kurang tersedianya air
adalah hal yang serius yang dapat menghambat pertumbuhan dan produktivitas
PROSIDING
Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Jambi tahun 2018
Tema: Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Berbasis Sumberdaya Lokal
SBN: 978-602-97051-7-1 E-ISSN : DOI :
88
tanaman. Cekaman tersebut mengakibatkan terjadinya dehidrasi sel-sel
tanaman serta menimbulkan tanggapan fisiologis dan biokimia (Amin, et al., 2009).
Prolin merupakan senyawa penciri biokimia atau metabolit osmotik yang
banyak disintesis dan diakumulasi pada berbagai jaringan tanaman terutama pada
daun apabila tanaman menghadapi cekaman kekeringan. Tanaman yang
mengakumulasi prolin pada kondisi tercekam pada umumnya memiliki kemampuan
bertahan hidup yang lebih tinggi dari pada tanaman yang tidak
mengakumulasikannya (Hamim dkk., 2008). Menurut Verslues dkk (2006) bahwa
prolin memainkan peranan penting dalam penghindaran dehirasi dengan
meningkatkan kadar solute sel dan juga memelihara kadar air tetap tinggi. Pada saat
yang sama, akumulasi prolin memainkan peranan terhadap toleransi dehidrasi dengan
cara melindungi protein dan struktur membrane. Meningkatnya dosis kalium yang
diberikan pada bibit karet okulasi ternyata sintesis prolin juga semakin tinggi dalam
kondisi ketersediaan air yang lebih rendah.
3.7. Kandungan Klorofil Daun
Faktor yang menentukan terjadinya keragaman pada kandungan klorofil
daun pada bibit karet okulasi semata-mata merupakan kontribusi dari perbedaan
interval waktu pemberian air. Perubahan kandungan klorofil daun bibit okulasi akibat
perbedaan interval waktu pemberian air disajikan pada tabel di bawah ini.
Pemberian air pada bibit karet okulasi dengan interval waktu yang lebih lama,
berdampak nyata terhadap penurunan kandungan klorofil daun. Sebagaimana
disajikan pada Tabel 7, penundaan pemberian air pada bibit karet okulasi dari 2 hari
menjadi 8 hari sekali menyebabkan turunnya kandungan klorofil dari 11,737 µg/cm2
menjadi 8,842 µg/cm2 daun, atau mengalami penurunan sebanyak 24,7%.
Dari aspek fisiologis, dampak kekurangan air diawali dari terganggunya
pembentukan klorofil daun, yang mana mengalami penurunan dengan semakin
terbatasnya ketersediaan air yang dapat diserap tanaman. Sebagaimana terjadi pada
percobaan ini, kandungan klorofil daun menurun hingga 24,7% jika suplai air pada
bibit karet okulasi diperpanjang dari 2 hari menjadi 8 hari sekali. Menurut Sircelj dkk
(1999), kekurangan air pada tanaman akan menghambat pembentukan klorofil daun
dan pada kondisi cekaman yang berat akan kelihatan daun cepat menguning. Secara
PROSIDING
Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Jambi tahun 2018
Tema: Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Berbasis Sumberdaya Lokal
SBN: 978-602-97051-7-1 E-ISSN : DOI :
89
fisiologis, kekurangan air menghambat proses biokimia pembentukan klorofil daun.
Hal ini juga berkaitan dengan menurunnya serapan N dan Mg pada saat tanaman
kekurangan air, yang mana kedua unsur ini merupakan komponen penyusun
klorofil. Rumus kimia klorofil itu sendiri adalah sebagai berikut (Klorofil a =
C55H72O5N4Mg dan Klorofil b = C55H70O6N4Mg).
Tabel 7. Kandungan Klorofil Pada Perlakuan Interval Waktu Pemberian
Air Berbeda
Faktor Taraf Kandungan Klorofil Daun
(µg/cm2)
Interval Waktu Pemberian Air
(Hari)
2 11,737 a
4 11,030 b
6 9,855 c
8 8,842 d
Klon Karet ( k )
PB-260 10,106 a
IRR-112 10,334 a
BPM-24 10,658 a
Keterangan : Notasi huruf pada angka-angka adalah pembeda efek antar taraf pada α0.05 Uj i
BNT untuk masing-masing faktor yang diuj i. Jika notasi sama, maka
perbedaan efek tidak nyata.
Pada sisi lain terlihat bahwa perbedaan klon bibit karet okulasi tidak
berpengaruh terhadap kandungan klorofil daun. Berkemungkinan hal ini secara
genetis tidak ada perbedaan kandungan klorofil pada ketiga klon yang diuji.
Perbedaan klorofil yang terjadi pada ketiga klon tersebut lebih dipengaruhi oleh faktor
eksternal seperti ketersediaan air.
KESIMPULAN DAN SARAN
Dari hasil penelitian tentang interval waktu pemberian air dan perbedaan
klon yang diuji dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Meningkatnya
interval pemberian air pada ketiga klon yang diuji, yakni Klon PB-260. IRR-112 dan
BMP-24 semakin menurunkan pertumbuhan tanaman secara nyata seperti
panjang tunas, diameter batang, berat kering tajuk, dan luas daun. Sebaliknya pada
berat kering akar mengalami peningkatan seiring dengan meningkatnya interval
waktu pemberian air dari 2 menjadi 8 hari sekali. 2. Kandungan prolin pada
PROSIDING
Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Jambi tahun 2018
Tema: Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Berbasis Sumberdaya Lokal
SBN: 978-602-97051-7-1 E-ISSN : DOI :
90
ketiga klon karet yang diuji meningkat seiring dengan peningkatan interval waktu
pemberian air. Peningkatan kandungan prolin tertinggi dijumpai pada Klon PB-260.
Hal ini menunjukkan bahwa Klon PB-260 lebih toleran pada kondisi tercekam
kekurangan air. Akan tetapi tidak terdapat perbedaan klorofil pada ketiga klon, kecuali
sebagai dampak dari menurunnya ketersediaan air, mengalami penurunan secara
drastis.
DAFTAR PUSTAKA
Ambo Ala, 2011. Pengusahaan Tanaman Perkebunan Utama
KelapaSawit,Kelapa dan Karet. Identitas, Universitas Hasanuddin,
Makassar
Anwar K. 2001. Manajemen dan Teknologi Budidaya Karet. Pusat Penelitian
Karet Medan.
Badan Pusat Statistik. 2013. Jambi Dalam, Angka 2012. Badan Pusat Statistik
Provinsi Jambi.
Boyer , J. S. 1970. Leaf enlargement and metabolic rates of corn, soybean, and
sunflower at various leaf water potensials. Plant physoil. 46: 233 – 235
Boerhendhy, Island. 2013. Prospek perbanyakan bibit karet unggul dengan teknik
okulasi
okulasi dini. Jurnal Litbang Pertanian 32, 85-90. (Diunduh 27 Januari 2015)
Dalimunthe, A. 2004. Tanggap pertumbuhan dan serapan hara bibit karet(Hevea
brasiliensis Muell Agr) asal stum mata tidur karet terhadapketersedian
air tanah. Tesis. Program Pasca Sarjana USU. USU e-repository 2008.
Erlan, 2004. Pertumbuhan Setum Mata Tidur Karet (Hevea brasiliensis Meull.
Arg) Klon PB 260 di Polibag akibat Perlakuan Media dan Lama
Penyimpanan.Jurnal Akta Agrosia Vol.7 No.2 hlm 52-56 Juli-
Desember 2004, Palembang
Gardner, F.P., R.B Pearce dan R.L Mitchell. 2008. Fisiologi Tanaman
Budidaya.Universitas Indonesia, Jakarta.
Gomez. .K .A dan Gomez.A .A. 1995. Prosedur Statistik Untuk Penelitian Pertanian. U
I- Press. Jakarta.
Khaidir Amypalupy. 455 Info, Padu Padan Teknologi Merajut Asa
Ketangguhan
Agribisnis Karet. Balai Penelitian Sembawa, Pusat Penelitian Karet 2010. Kramer,
P.J. 1972. Plant and soil water realtionship. A Modern Synthesis. Reprinted
inIndia Arrangment with Mc Graw – Hill Inc. New York. 482 p.
Kramer, P.J. 1963. Water stres and palnt growth. Agron. J. 55: 31 – 35.
Li, R., P. Guo, M. Baum,S.Grando, S. Ceccarelli.2006. Evaluation of Chlorophyll
Content and Fluorescence Parameters as Indicators of Drought Tolerance
in Barley. Agricultural Sciences in China 5 (10): 751-757.
Mapegau, 1998. Respon Tanaman Jagung (Zea mays L.) Kultivar Arjuna
TerhadapPemupukan Kalium dan Kadar Air Tanah Tersedia Pada Ultisol
BatanghariJambi, (Disertasi) Program Pasca Sarjana Universitas Padjadjaran
Bandung.
PROSIDING
Seminar Nasional Fakultas Pertanian Universitas Jambi tahun 2018
Tema: Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Berbasis Sumberdaya Lokal
SBN: 978-602-97051-7-1 E-ISSN : DOI :
91
Ma’shum, M. 2008. Kesuburan Tanah dan Pemupukan. Fakultas
PertanianUniversitas Mataram.
Nelson, W.L. 1982. Interactions of potassium with moisture and temperature.Potash
Review:Subject16No.1.Int.PotashInst.Berne(Switzerland)
N io, S. A. 2010. Pengujian Kandungan Klorofil Total, Klorofil A dan B
sebagai Indikator Cekaman Kekeringan pada Padi (Oryza sativa L.).
Jurnal Ilmiah SAINS 23 (10) : 86-90.
Nio, S. A. 2011. Biomasa dan Kandungan Klorofil Total Daun Jahe (Zingiber
officinale L.) yang Mengalami Cekaman Kekeringan. Jurnal Ilmiah
SAINS. 35 (11) : 190-195.
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September
2014, ISBN : 979-587-529-9
Rose, C. W. 1966 Agricultural physics. Pergamon Press Ltd. London.230.p.
Setiawan, D.H. dan Agus, A. 2007. Petunjuk Lengkap Budidaya
Karet.AgroMedia Pustaka. Jakarta. 164 hal.
Setyamidjaja, D. 1995. Karet, Budidaya dan Pengolahan.
Kanisius.Yogyakarta. 206 Hal
Sitompul, S.M., Guritno, B. 1995. Analisis Pertumbuhan
Tanaman.Gajah Mada Universitas Perss. 412 hal.
Siregar, T. 2003. Teknik Penyadapan Karet. Kanisius. Yogyakarta.
Slatyer, R. D. 1967. Plant water relationship. Academic Press. London. 366 p.
Soepandi 2011, Pengembangan Tanaman Sela dibawah Tegakan Tanaman
Tahunan.IPTEK Tanaman Pangan. Departemen Agronomi dan
Hortikultura, FakultasPertanian, IPB.Bogor (2):1 :15
Sutrisno. H. 1980. Metode Research. Rineka Cipta Jakarta.