Upload
bai-agfa
View
223
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Rangkuman Kelompok 1 Paralel
Prinsip Terapi Antimikroba
Penggolongan Antimikroba
1. Gol.B-laktam: Penisilin, sefalosporin
2. Gol.Tetrasiklin: Doksisiklin
3. Gol.Aminoglikosida: Kanamisin
4. Gol.Makrolid: Eritromisin
5. Gol.Ansamycin
6. Gol.Linkosaminida: Linkomisin, Klindamisin
7. Gol.Kloramphenicol
8. Gol.Polipeptida
9. Gol.Polien
10. Lain-lain: Griseofulvin, Sikloserin dan Kuinolon
Berdasarkan Sifat Aktivitas
- bakteriostatik : antibiotik yang menghambat pertumbuhan mikroba
- antibiotik bakterisid : antibiotik yang bersifat membunuh mikroba.
Kadar minimal yang diperlukan untuk menghambat pertumbuhan mikroba dikenal
dengan KHM (Kadar Hambat Minimal), sedangkan kadar minimal yang diperlukan
untuk membunuh mikroba disebut dengan KBM (Kadar Bunuh Minimal).
Antimikroba tertentu aktivitasnya dapat meningkat dari bakteriostatik menjadi
bakterisid bila kadar antimikrobanya ditingkatkan melebihi KHM.
Berdasarkan Spektrum
- berpektrum sempit --> benzil penisilin dan streptomisin
- berspektrum luas --> tetrasiklin dan kloramfenikol.
Walaupun suatu antibiotik berspektrum luas, efektivitas kliniknya belum tentu seluas
spektrumnya sebab efektivitas maksimal diperoleh dengan menggunakan obat terpilih
untuk infeksi yang sedang dihadapi, terlepas dari efeknya terhadap mikroba lain.
Selain itu, antibiotik berspektrum luas cenderung menimbulkan superinfeksi oleh
kuman atau jamur yang resisten. Di lain pihak pada septikemia yang penyebabnya
belum diketahui diperlukan antibiotik yang berspektrum luas sementara menunggu
hasil pemeriksaan mikrobiologik.
Berdasarkan Mekanisme Kerja
Antimikroba yang menghambat metabolisme sel mikroorganisme
Mikroorganisme membutuhkan asam folat untuk kelangsungan hidupnya. Asam
folat ini diperlukan dalam sintesis DNA. Mikroorganisme harus mensintesis sendiri
dihidrofolat dari asam paraaminobenzoat (PABA). Untuk dapat bekerja dihidrofolat
harus diubah menjadi bentuk aktifnya yaitu asam tetrahidrofolat dengan
bantuan enzim dihidrofolat reduktase.
Antibiotik jenis ini antara lain sulfonamida, trimetoprim dan asam p-
aminosalisilat. Sulfonamida bekerja dengan cara berkompetisi dengan PABA dalam
pembentukan dihidrofolat membentuk suatu analog yang tidak aktif. Trimetoprim
bekerja dengan menghambat enzim dihidrofolat reduktase sehingga tidak terbentuk
tetrahidrofolat. PAS merupakan analog PABA dan bekerja dengan menghambat
sintesis asam folat pada M. tuberculosis. Sulfonamida tidak efektif terhadap M.
tuberculosis dan sebaliknya PAS tidak efektif terhadap bakteri yang sensitif terhadap
sulfonamida. Perbedaan ini mungkin disebabkan perbedaan enzim untuk sintesis asam
folat yang bersifat sangat khusus bagi masing-masing jenis mikroorganisme.
Antibiotik yang menghambat sintesis dinding sel mikroorganisme
Antibiotik jenis ini antara lain penisilin, sefalosporin, basitrasin, vankomisisn, dan
sikloserin. Dinding sel bakteri terdiri dari peptidoglikan yaitu suatu kompleks polimer
glikopeptida. Obat golongan ini akan mengikat reseptor pada dinding sel bakteri,
dilanjutkan dengan reaksi transpeptidasi yang menyebabkan sintesis peptidoglikan
terhambat. Mekanisme ini diakhiri dengan penghentian aktivitas penghambat enzim
autolisis (hidrolase murein) pada dinding sel yang akan menyebabkan dinding sel
tidak terbentuk dan sel lisis.
Antibiotik yang mengganggu keutuhan membran sel mikroorganisme
Obat yang termasuk kedalam golongan ini adalah polimiksin, golongan polien serta
antiseptik surface active agents. Polimiksin sebagai senyawa amonium kuaterner
dapat merusak membran sel setelah bereaksi dengan fosfat pada fosfolipid membran
sel mikroorganisme. Polimiksin tidak efektif terhadap bakteri Gram-positif karena
jumlah fosfornya rendah. Bakteri Gram-negatif yang resisten terhadap polimiksin
dikarenakan jumlah fosfornya turun. Antibiotik polien bereaksi dengan struktur sterol
yang terdapat pada membran sel fungus sehingga mempengaruhi permeabilita selektif
membran sel tersebut.bakteri tidak sensitif terhadap antibiotik polien karena tiak
memiliki struktur sterol pada membran selnya. Antiseptik yang mengubah tegangan
permukaan (surface-active agents) dapat merusak permeabilitas selektif dari membran
sel mikroba. Kerusakan membran sel menyebabkan keluarnya berbagai komponen
penting dari dalam sel mikroorganisme yaitu protein, asam nukleat, nukleotida dan
lain-lain
Antibiotik yang menghambat sintesis protein sel mikroorganisme
Obat yang termasuk kedalam golongan ini antara lain golongan aminoglikosida,
makrolida, linkomisin, tetrasiklikn dan kloramfenikol. Untuk kehidupannya, sel
mikroorganisme perlu mensintesis berbagai protein. Sintesis protein berlangsung di
ribosom dengan bantuan mRNA dan tRNA. Pada bakteri, ribosom terdiri atas dua
subunit, yang berdasarkan konstnata sedimentasi dinyatakan sebgai ribosom 3OS dan
5OS. Untuk berfungsi pada sintesis protein, kedua komponen ini akan bersatu pada
pangkal rantai mRNA menjadi ribosom 7OS. Penghambatan sintesis protein terjadi
dengan berbagai cara.
Antibiotik yang menghambat sintesis asam nukleat sel mikroorganisme.
Antibiotik yang termasuk dalam golongan ini ialah rifampisin, dan golongan lainnya.
Antibiotik lain walaupun bersifat antibiotik, karena sifat sitotoksisitasnya, pada
umumnya hanya digunakan sebagai obat antikanker, tetapi beberapa obat dalam
kelompok terkahir ini dapat pula digunakan sebagai antivirus.
o Rifampisisn, salah satu derivat rifamisin, berikatan dengan enzim RNA
polimerase sehingga menghambat sintesis RNA dan DNA oleh enzim
tersebut.
o Golongan kuinolon menghambat enzim DNA girase pada kuman yang
fungsinya menata kromosom yang sangat panjang menjadi bentuk
spiral hingga dapat masuk kedalam sel kuman yang kecil.
RESISTENSI
Resistensi Suatu sifat tidak terganggunya kehidupan sel mikroba oleh antimikroba,
sifat ini merupakan suatu mekanisme alamiah untuk dapat bertahan hidup. Pola Resistensi
dan Sensitivitas Mikroba:
• Pola I : Belum pernah terjadi resistensi bermakna.
– Contoh : Streptoccocus pyogenes grup A terhadap penisilin G
• Pola II : Pergeseran dari sifat peka menjadi kurang peka, tetapi tidak resisten sepenuhn ya.
• Contoh : gonokokus bukan penghasil penisilinase,
• Pola III : sifat resistensi pada taraf yang cukup tinggi, sehingga menimbulkan masalah di klinik
– Contoh : galur tertentu dari Staphylococcus yang menghasilkan β-lakmatase dapat berubah menjadi resisten terhadap penisilin G.
Kelompok resistensi :
- Resistensi genetik : Mutasi spontan: mutasi spontan gen mikroba berubah, sehingga mikroba yang sensitif
terhadap antimikroba menjadi resisten
Resistensi Dipindahkan : Mikroba dapat berubah menjadi resisten akibat memperoleh
suatu elemen pembawa faktor resisten.
- Resistensi Nongenetik : Keadaan dimana bakteri dalam keadaan istirahat (inaktivitas
metabolik) sehingga tidak dipengaruhi oleh antimikroba.
- Resistensi Silang : Resistensi terhadap antimikroba tertentu dan juga memperlihatkan
sifat resistensi terhadap antimikroba lain.
Mekanisme resistensi:
1. Perubahan target site obat terhadap mikroba
2. Mikroba menurunkan permeabilitasnya sehingga obat sulit masuk ke dalam sel mikroba
3. Inaktivasi obat oleh mikroba (menjadi tidak aktif lagi)
4. Mikroba membentuk jalan pintas untuk menghindari tahap yang dihambat oleh antimikroba (contoh tambahkan)
5. Meningkatkan produksi enzim yang dihambat oleh antimikroba (tambahkan pada sulfonamid)
Efek samping :
Reaksi alergi
Reaksi idiosinkrasi
Reaksi toksis
Perubahan biologik dan metabolik pada hospes
Contoh superinfeksi :
• Tetrasiklin aktif terhadap berbagai spiroketa (bakteri spiral), termasuk Borrelia recurrentis, Borrelia burgdoferi (penyakit lyme), Treponema pallidum (sifilis), dan Treponema perteneu. Aktivitas tetrasiklin terhadap Chlamydia dan Mycoplasma menjadi semakin penting. Galur-galur Mycobacterium marinum juga rentan.
• Banyak tetrasiklin diabsorpsi tidak sempurna dari saluran gastrointestinal, sedemikian hingga tercapai konsentrasi yang tinggi di usus sehingga flora usus sangat berubah. Banyak mikroorganisme koliform aerob dan anaerob serta bakteri pembentuk spora gram-positif yang peka dan mengalami supresi tajam selama pengobatan dengan regimen tetrasiklin jangka panjang sebelum galur-galur resisten muncul kembali. Feses menjadi lebih lunak serta tidak berbau dan berwarna kuning hijau. Walaupun demikian, jumlah koliform dalam feses menurun, terutama ragi (Candida spp.), enterokokus, Proteus, dan Pseudomonas. Tetrasiklin terkadang menyebabkan kolitis pseudomembran yang disebabkan oleh toksin dari Clostridium difficile.
Perubahan Biologik dan Metabolik
Mikroflora normal pada tubuh hospes biasanya tidak menunjukkan sifat patogen.
Namun dengan penggunaan antimikroba berspektrum lebar, dapat mengganggu
keseimbangan mikroflora sehingga jumlah mikroba yang meningkat jumlahnya akan
menunjukkan sifat patogen. Terkadang dapat menyebabkan superinfeksi, yaitu infeksi baru
akibat pengobatan infeksi primer dengan suatu antimikroba. Mikroba penyebab superinfeksi
biasanya ialah mikroba yang menjadi dominan pertumbuhannya akibat penggunaan
antimikroba, misalnya kandidiasis sering timbul akibat penggunaan antibiotik berspektrum
lebar khusunya tetrasiklin.
Tetrasiklin aktif terhadap berbagai spiroketa (bakteri spiral), termasuk Borrelia
recurrentis, Borrelia burgdoferi (penyakit lyme), Treponema pallidum (sifilis), dan
Treponema perteneu. Aktivitas tetrasiklin terhadap Chlamydia dan Mycoplasma menjadi
semakin penting. Galur-galur Mycobacterium marinum juga rentan. Banyak tetrasiklin
diabsorpsi tidak sempurna dari saluran gastrointestinal, sedemikian hingga tercapai
konsentrasi yang tinggi di usus sehingga flora usus sangat berubah. Banyak mikroorganisme
koliform aerob dan anaerob serta bakteri pembentuk spora gram-positif yang peka dan
mengalami supresi tajam selama pengobatan dengan regimen tetrasiklin jangka panjang
sebelum galur-galur resisten muncul kembali. Feses menjadi lebih lunak serta tidak berbau
dan berwarna kuning hijau. Walaupun demikian, jumlah koliform dalam feses menurun,
terutama ragi (Candida spp.), enterokokus, Proteus, dan Pseudomonas. Tetrasiklin terkadang
menyebabkan kolitis pseudomembran yang disebabkan oleh toksin dari Clostridium difficile.
Faktor yang memudahkan timbulnya superinfeksi
1. Menurunnya daya tahan tubuh pasien.
2. Penggunaan antimikroba terlalu lama.
3. Luasnya spektrum aktivitas antimikroba baik tunggal maupun kombinasi.
Makin lebar spektrum antimikroba makin besar kemungkianan suatu jenis mikroflora tertentu
menjadi dominan. Frekuensi kejadian superinfeksi paling rendah ialah penisilin G.
Tindakan-tindakan dalam mengatasi superinfeksi
1. Menghentikan terapi antimikroba yang sedang digunakan.
2. Melakukan biakan mikroba penyebab superinfeksi.
3. Memberikan suatu antimikroba yang efektif terhadap mikroba tersebut.
Penyebab Kegagalan Terapi
Efek antimikorba akan terlihat dengan kondisi membaik pada 2–3 hari. Kegagalan bisa
karena penyebab penyakit yang bukan infeksi atau sumber nonbakteri atau ada patogen yang
tak terdeteksi. Faktor-faktor lain, yaitu
1. Pemilihan obat
Ketidaktepatan dalam pemilihan obat, dosis atau rute administrasi obat. Bisa juga
karena obat yang tidak terabsorpsi dengan sempurna dan adanya interaksi obat
2. Pasien
Kondisi pasien juga menjadi pertimbangan penting, seperti pasien yang
terimunosupresi akan memiliki respon terapi yang kurang karena sistem imunnya
yang kurang bekerja optimal.
3. Mikroorganisme
Umumnya berupa resistensi mikroba. Ada 2 jenis resistensi
a. Resistensi intrinsik adalah kesalahan dalam pemilihan antibakteri yang tidak
sesuai dengan mekanisme kerjanya pada dinding sel, seperti bakteri gram negatif
yang diobati dengan vankomisin (gram positif).
b. Resistensi terperoleh karena sifat bakteri yang secara aktif bisa memanipulasi
bakteri tersebut untuk resisten terhadap antimikroba. Resistensi terperoleh bisa
terjadi karena adanya pemindahan tempat kerja, perubahan permeabilitas, dan
inaktivasi obat. Contohnya adalah penisilinase terhadap penisilin.
Penggunaan di Klinik
Penggunaan di klinik dilakukan dengan beberapa tahap, yaitu identifikasi penyakit,
anamnesis, dan deteksi bakteri penyebab. Biasanya diketahui dari uji non-spesifik secara
umum, perhitungan leukosit, gram-stain, dan serologi. Dilanjutkan dengan kemungkinan
terapi bedasarkan hasil uji klinis dan perhatikan faktor-faktor. Selama terapi, dimonitor juga
penggunaannya.
Indikasi
1. Bakteri Gram-positif Kokus
a. Enterococcus faecalis
• Meningitis, endokarditis : Vankomisin
• Infeksi saluran kemih : Ampisilin, amoxicillin
• E faecium : Linezoid
b. Staphylococcus aureus : Oxacillin
c. Streptococcus (A,B,C, dan S. bovis) : Penisilin, ampisillin
d. Streptococcus pneumoniae : Golongan penisilin, Vankomisin (jika penisilin
resisten)
2. Bakteri Gram-negatif Kokus
a. Moraxella catarrhalis : Amoxicillin-klavulanat
b. Neisseria gonorrhae : Ceftriaxone, cefotaxime
c. Neisseria meningitides : Penicillin G
3. Gram-positif Basil
a. Clostridium perfringes : Penicliiln, Klindamisin
b. Clostridium difficile : Metronidazolea (oral), Vankomisin (oral)
4. Gram-negatif Basil
a. Actinetobacter spp : Doripenem
b. Bacteroides fragilis : Metronidazole
c. Enterobacter spp : Aminoglikosida
d. E. coli : cefotaxime, cephalexin
e. Gardnerekka vaginalis : Metronidazol
f. Haemophillus influenzae : Cefotaxime
g. Klebsiella pneumoniae : Cefotaxime
h. Legionella spp : Erithromisin
i. Proteus mirabilis : Ampisillin
j. Proteus vulgaris : Cefotaxime
k. Providencia stuartii : Cefotaxime
l. Salmonella typhi : Ciprofloxacin
m. Serratia marcescens : Cefotaxime
5. Golongan lain
a. Chlamydia pneumoniae : Doxycycline
b. Chlamydia trachomatis : Azithromycin
c. Treponema pallidum : Penicillin G
Obat yang digunakan untuk membasmi mikroba, penyebab infeksi pada manusia, ditentukan harus memiliki sifat toksisitas selektif setinggi mungkin, yang artinya obat tersebut haruslah bersifat sangat toksik untuk mikroba. Setelah suatu penyakit ditetapkan bahwa antimikroba perlu diberikan, maka hal-hal yang harus dilakukan adalah memilih antimikroba yang tepat, menentukan dosis, menentukan cara pemberian antimikroba.
Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan dalam memilih antimikroba adalah factor sensivitas mikroba terhadap antimikroba yang digunakan, keadaan tubuh hospes, dan biaya pengobatan. Pasien dengan penyakit ginjal misalnya, jika memerlukan tetrasiklin maka diberikan doksisiklin karena lebih aman terkait penyakit ginjalnya. Berdasarkan biaya pengobatan perlu juga diperhatikan lamanya penggunaan karena akan mempengaruhi jumlah obat yang dibutuhkan, bukan hanya harga satuan obat. Pemilihan antimkroba harus didasarkan pada pengalaman empiris yang rasional dan perkiraan etiologi yang paling mungkin serta antimkroba yang terbaik untuk infeksi tersebut.
Uji sensivitas merupakan suatu uji yang dilakukan untuk mengetahui kepekaan mikroba terhadap antimikroba dengan membiakan kuman penyebab infeksi yang diikuti dengan uji kepekaan. Suatu bahan biologik dari hospes diambil sebelum pemberian antimikroba kepada pasien, kemudian dalam keadaan infeksi berat suatu anitmikroba dapat diberikan dengan gambaran klini dari pasien. Namun jika uji sensitivitas tidak mungkin dilakukan, dapat dibuat pekiraan kuman penyebab dan pola kepekaan untuk pemberian suatu antimikroba.
Dari hasil uji kepekaan yang dilakukan akan terlihat bagaimana hasil pemilihan dari antimikroba. Bila dari hasil ui kepekaan pilihan antimikroba ternyata tepat dan keadaan klinik pasien membaik maka terapi dapat dilanjutkan. Bila dalam uji kepekaan ada antimikroba lain yang teruji lebih efektif namun antimikroba sebelumnya juga menunjukkan perbaikan yang meyakinkan maka antimikroba sebelumnya tetap diteruskan. Tetapi bila hasil perbaikan klinik dari terapi antimikroba kurang memuaskan, maka antimikroba semula diganti dengan antimikroba yang lebih efektif.
Berdasarkan sifat toksisitas yang selektif, ada antimikroba yang bersifat menghambat pertumbuhan mikroba atau yang dikenal sebagai aktifitas bakteriostatik, dan ada pula yang bersifat membunuh mikroba atau dikenal sebagai aktifitas bakterisid. Bila antimikroba hanya bersifat bakteriostatik maka pemusnahan mikroba tergantung pada daya tahan tubuh hospes. Bila antimikroba bersifat bakterisid maka antimikroba menjanjikan efek terapi apalagi jika
daya tahan tubuh hospes menurun, seperti leukemia akut dan defisiensi imun. Sehingga antimikroba dengan sifat bakterisid lebih dianjurkan.
Posologi adalah ilmu yang membahas mengenai sediaan obat, cara pemberian obat, perhitungan dosis, dan frekuensi pemberian obat. Posologi perlu dipelajari supaya dapat membantu memberikan obat secara rasional, yaitu pemberian obat yang tepat pasien, tepat obat, tepat dosis, dan tepat rute serta tepat dokumentasi. Efek terapi dari penggunaan antimikroba dipengaruhi oleh tercapainya kadadr antimikroba pada tempat terinfeksi. Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam menentukan dosis yaitu dari segi umur, berat badan, fungsi ginjal, fungsi hati, dan lain lain.
Penyerapan antimikroba dapat terhambat dengan adanya zat lain sehingga harus diperhatikan benar konsumsi makanan saat penggunaan obat. Contohnya penyerapan tetrasiklin akan terhambat dengan adanya preparat besi. Antimikroba lebih baik diberikan secara oral karena lebih mudah, aman, dan tidak invasive, pemberian secara parenteral dianjurkan untuk infeksi berat, sedangkan pemberian secara topical tidak memberikan efek terapi yang memuaskan, bahkan dapat menimbulkan sensitisasi dan resistensi.
Kombinasi antimikroba diperlukan untuk mengobati infeksi campuran, pengobatan awal pada infeksi berat yang etiologinya belum jelas, untuk mendapatkan efek sinergi, dan memperlambat timbulnya resistensi. Penggunaan kombinasi antimikroba sesuai dengan indikasi yang tepat maka akan memberikan manfaat yang besar, sedangkan kombinasi yang tidak terarah akan memingkatkan biaya dan efek samping, menseleksi galur kuman yang resisten terhadap banyak antimikroba dan tidak meningkatkan efek terapi.
Beberapa kasus dapat disebabkan oleh mikroba berbeda yang peka terhadap antimkroba yang berbeda, untuk itu diperlukan kombinasi antimkroba sesuai dengan kepekaan mikroba tersebut. Contoh infeksi pascabedaeh sering disebabkan oleh kuman anaerob dan aerob gram negatif. Kuman anaerob peka terhadap metronidazol, klinamisin, sefoksitil,dll. Sedangkan kuman aerob peka terhapa gentamisin, Maka dari itu diperlukan kombinasi keduanya untuk dapat melawan kuman penginfeksi tersebut.
Penggunaan kombinasi juga sebagai pengobatan awal pada infeksi berat yang etiologinya belum jelas. Penyakit seperti septicemia, meningitis purulenta dan infeksi berat lainnya memerlukan kombinasi antimikroba untuk menghindari keterlambatan pengobatan yang dapat membahayakan jiwa pasien, sementar kuman penyebab infeksi belum dapat diketahui. Kombinasi antimikroba diberikan dalam dosis penuh, setelah kuman penyebab diketahui maka antimikoba yang tidak diperlukan dapat dihentikan penggunaannya.
Sinergisme hasil kombinasi antimkroba terjadi bila kombinasi tersebut menghasilkan efek yang jauh lebih besar dari sekedar efek aditif terhadap kuman tertentu. Contoh kombinasi karbenisilin atau tikarsilin dengan aminoglikosida sangat mempertinggi angka penyembuhan pada pasien neutropenia karena pseudomonas.
Bila mutasi merupakan mekanisme timbulnya resistensi terhadap suatu antimikroba, maka kombinasi antimikroba merupakan cara efektif memperlambat timbulnya resistensi. Pemanfaatannya nyata pada pengobatan tuberculosis, lepra, dan hiv.
Suatu kombinasi dibenarkan jika komponen yang membentuk kombinasi memang dibutuhkan bersama. Contoh kombinasi antimikroba:
1. Sulfametoksazol-trimetoprim2. Sulfadoksin-primetamin3. Razobaktam-piperasilin
Kotrimoksazol adalah suatu kombinasi dari sulfametoksazol + trimetoprim dalam perbandingan 5:1 (400+80 mg). Trimetoprim memiliki daya kerja antibakteri yang menghambat enzim dihidrofolat reduktase. Afinitasnya terhadap enzim bakteri ini 50.000 kali lebih besar dibandingkan dengan afinitasnya terhadap enzim manusia, yang merupakan dasar dari daya kerja selektivitasnya. Di samping sebagai obat malaria, trimetoprim memiliki spectrum kerja antibakteri yang mirip sulfonamide, efektif terhadap sebagian besar kuman gram positif dan gram negatif serta banyak digunakan terhadap infeksi saluran kemih. Walaupun kedua komponen masing-masing hanya bersifat bakteriostatik, kombinasinya berkhasiat bakterisid terhadap bakteri yang sama, juga terhadap Salmonella, Proteus dan H.influenzae. Kotrimoksazol terutama digunakan untuk pengobatan infeksi saluran napas. Pada umumnya kombinasi dari sulfonamide dan trimetoprim memperkuat khasiatnya (potensiasi) serta menurunkan resiko resistensi dengan kuat.
Mekanisme kerjanya berdasakan teori sequential blockade dari Hitchings (1965), yakni bila dua obat bekerja terhadap dua titik berturut-turut dari suatu proses enzim bakteri, maka efeknya adalah potensiasi. Dalam hal ini proses enzim adalah sintesis protein (DNA/RNA) dari PABA, yang secara skematis dapat digambarkan pada gambar dibawah Disini terlihat bahwa sulfonamide mengganggu proses enzim ini, antara langkah 1 dan 2, dengan jalan persaingan substrat (bahan pangkal) sedangkan trimetoprim mengintervensi antara langkah 2 dan 3 dengan merintangi enzim dihidrofolat reduktase yang mereduksi dihidrofolic acid (DHFA) menjadi tetrahidrofolic acid (THFA). Akibatnya adalah terhentinya sintesa asam folat yang merupakan bahan pangkal untuk sintesa purin dan DNA/RNA, sehingga pembelahan sel bakteri dihentikan. Keuntungan penting lain dari kombinasi ini adalah timbulnya resistensi lebih lambat daripada komponen-komponennya sendiri. Hal ini adalah jelas karena bakteri yang menjadi resisten untuk salah satu komponen masih dapat dimusnahkan oleh yang lain.
Antimikroba untuk Tujuan Profilaksis
Di Amerika sekitar 30-50% antibiotik diberikan untuk tujuan profilaksis. Seringkali
pemberian profilaksis ini merupakan penggunaan AM yang berlebihan. Uji klinik telah
membuktikan bahwa pemberian profilaksis sangat bermanfaat untuk beberapa indikasi
tertentu, sedangkan untuk indikasi lain sama sekali tidak bermanfaat atau kontroversial.
Secara umum dapat dikatakan bahwa bila suatu AM digunakan untuk mencegah
infeksi kuman tertentu (yang peka terhadap AM tersebut) sebelum terjadinya kolonisasi dan
multiplikasi, maka profilaksis ini seringkali berhasil. Tetapi bila profilaksis dimaksudkan
untuk mencegah kemungkinan infeksi oleh segala macam mikroba yang ada di sekitar pasien,
maka profilaksis ini biasanya gagal.
Agen antimikroba memiliki beberapa keuntungan, yaitu harganya murah, mengurangi
kemungkinan terjadinya, sedikit efek samping, batas potensi untuk menseleksi terjadinya
resistensi antimikroba.
Profilaksis antimikroba ini dibedakan menjadi 2, yaitu profilaksis bedah dan non
bedah.
Prinsip penggunaan profilaksis kasus bedah :
1. Penggunaan AM untuk profilaksis selalu harus dibedakan dari penggunaan untuk
terapi
2. Pemberian profilaksis AM hanya diindikasikan untuk tindakan bedah tertentu yang
sering disertai infeksi pascabedah, atau yang membawa akibat berat bila terjadi
infeksi pasca-bedah, yaitu yang tergolong clean-contaminated dan contaminated
Tindakan-tindakan bedah yang bersih tidak memerlukan profilaksis AM, kecuali bila
dikhawatirkan akan terjadi infeksi pascabedah yang berat sekali
3. AM yang dipakai harus sesuai dengan jenis kuman yang potensial menimbulkan
infeksi pasca bedah
4. Cara pemberian biasanya IV atau IM
5. Pemberian dilakukan pada saat induksi anestesi, tidak dibenarkan pemberian yang
lebih dini dan biasanya hanya diberikan 1-2 dosis. Pemberian profilaksis lebih dari 24
jam tidak dibenarkan.
Tiga kategori Infeksi Luka Operasi (SSI) :
1. superficial : meliputi kulit dan jaringan subkutan
2. deep : yang meliputi fasia dan otot
3. organ/space : yang meliputi organ dan rongga tubuh
Faktor yang mempengaruhi terjadinya ILO/SSI :
1. faktor personal/individu
obesitas, diabetes, infeksi, mengalami kontaminasi saat pembedahan, rawat inap pre-
operatif yang panjang, menjalani operasi yang lama (>2jam), karier Staphylococcus
aureus, dan pertahanan tubuh yang lemah
2. faktor ahli bedah
karier Saphylococcos aureus dan Streptococcus pyogenes, dan skill yang kurang
terampil
3. faktor kuman
virulensi serta jumlah kuman
Antimikroba
profilaksis non
bedah :
1. melindung
i
seseorang
yang
terpajan
kuman
tertentu
Contoh :
Bersih (Klas I) Non trauma
Tidak ada inflamasi
Traktus respiratorius, digestivus, urogenital, tanpa
menembus
Tidak ada kesulitan dalam operasi
Bersih
kontaminasi
(Klas II)
Traktus respiratorius, digestivus, menembus tanpa sillage
yang signifikan
Apendiktomi
Orofaring
Vagina
Urogenital, menembus tetapi tidak ada infeksi urin
Bilier, menembus tetapi tidak ada infeksi bilier
Kesulitan ringan dalam operasi
Kontaminasi
(Klas III)
Kesulitan besar dlam operasi
Spillage yang banyak dari gastrointestinal
Luka trauma, baru
Menembus urogenital atau bilier, dengan adanya infeksi
urine atau bile
Kotor dan
infeksi
(Klas IV)
Inflamasi bakterial akut tanpa nanah
Transeksi daerah bersih untuk drainase nanah
Luka trauma dengan jaringan mati, benda asing,
kontaminasi fekal, delayed treatment
- pemberian penisilin G mencegah infeksi streptokokus Grup A
- kotrimazol efektif untuk mencegah kambuhnya infeksi saluran kemih
2. mencegah infeksi bakterial sekunder pada seseorang yang sedang menderita penyakit
lain seperti pada pasien koma, pasien dengan alat bantu napas, kateter, dan
sebagainya. Mikroba yang resisten terutama Enterobacteriaceae dan jamur seringkali
timbul sebagai pathogen bila profilaksis diteruskan.
3. mencegah endokarditis pada pasien kelainan katup atau struktur jantung lain yang
akan menempuh prosedur yang sering menimbulkan bakteremia, misalnya tindakan
pembedahan. Endokarditis terjadi karena kolonisasi kuman pada katup jantung yang
rusak. Profilaksis juga perlu diberikan untuk pasien dengan lesi jantung lainnya,
karena deposit fibrin dan trombosit yang menjadi tempat kolonisasi sering
berhubungan dengan tempat terjadinya arus darah turbulen pada jantung. Profilaksis
ini diberikan segera sebelum tindakan.
Prinsip penggunaan antibiotik profilaksis yaitu:
1. tepat indikasi
bergantung pada jenis pembedahan yang akan dilakukan yaitu untuk pembedahan
kriteria bersih kontaminasi dan kriteria bersih
tapi tidak tepat digunakan pada operasi kontaminasi atau kotor karena telah terjadi
kolonisasi kuman dalam jumlah besar atau sudah ada infeksi yang secara klinis belum
manifest.
2. tepat obat
antibiotik yang digunakan untuk tujuan profilaksis berbeda dengan obat yang
digunakan untuk tujuan terapi
3. tepat dosis
dosis harus tinggi agar dicapai kadar di atas MIC. Biasanya loading-dose yang
takarannya 2-4 kali dosis normal
4. tepat rute
agar segera didistribusikan ke jaringan maka pemberiannya dilakukan secara
intravena atau intramuskular
5. tepat waktu pemberian
dilakukan pada 30 menit (intravena) atau 1 jam (intramuskular) sebelum insisi dengan
maksud agar pada saat insisi maka kadar antibiotik di dalam jaringan
Bakteriologi
Pertimbangan yang paling penting saat memilih antiobiotik profilaksis adalah
pengetahuan mengenai bakteri di daerah operasi. Organisme yang terlibat dalam ILO/SSI
dapat berasal dari dalam maupun luar, dari dalam yaitu flora normal di dalam tubuh pasien itu
sendiri atau dari luar yaitu dari kontaminasi selama proses operasi.
Data dari National Nosocomial Infections Surveillance System, Januari 1992 – Juni 2004.
Jenis Operasi Patogen Regimen Dosis
Gastroduodenal Basilus gram negative
enteric, kokus gram positif,
anaerob oral
Cefazolin 1 g x 1
Kantung Empedu Basilus gam negative,
enterokokus, clostridia
Cefazolin 1 g x 1
Colorectal Basilus gram negtif enteric,
anaerob
PO: neomisin 1 g + eritromisin base 1 g
pada pukul 1 PM, 2 PM, +11 PM sehari
sebelum operasi
IV: efoxitin atau cefotetan
1 g x 1
Apendiks Basilus gram negative
enteric, anaerob
Cefoxitin atau Cefotetan 1 g x 1
Urologi E. coli Cefazolin 1 g atau antibiotik oral dengan
spectrum yang dapat dibandingkan x1
Cesar Basilus gram negatif enteric,
anaerob, streptokokus grup
B, enterokokus
Cefazolin 2 g x 1
Histerektomi Basilus gram negatif enteric,
anaerob, streptokokus grup
B, enterokokus
Vaginal: Cefazolin 1 g x 1, diulangi
setiap 8 jam 2 dosis
Kepala dan leher S. aureus, streptokokus,
anaerob oral
Cefazolin 2 g x 1 atau klindamisin 600
mg saat induksi dan 2 dosis atau lebih tia
8 jam
Kardiak S. aureus, S. epidermis, Cefazolin 1 g tiap 8 jam x 48 jam
corynebakteri, basilus gram
negative enterik
dimulai saat induksi
Vaskuler S. aureus, S. epidermis,
basilus gram negative
enterik
Cefazolin 1 g saat induksi dan setiap 8
jam x 2 dosis atau lebih
Otropedik S. aureus, S. epidermis Cefazolin 1 g x 1 pre op, kemudian tiap
8 jam 2 dosis atau lebih
Perbaikan fraktur: sama, tap harus
dilanjutkan total selama 48 jam
Bedah saraf S. aureus, S. epidermis Cefazolin 1 g x 1
Efek samping penggunaan antibiotik profilaksis yang tidak tepat akibat pemilihan penderita
yang tidak tepat, pemberiannya terlalu lama, atau digunakannya obat generasi terbaru dapat
memicu terjadinya resistensi kuman.