25
II. KAIDAH-KAIDAH FIQH YANG ASASI (Al-Qawa’id Al-Asasiyah) A. Meraih Kemaslahatan dan Menolak Kemafsadatan ُ بْ لَ جِ حِ ل اَ صَ م ل اُ ءْ رَ دَ و ِ دِ اسَ فَ م ل ا“Meraih maslahat dan menolak mafsadah” Izzuddin bin Abd al-Salam di dalam kitabnya Qawa’id al-Ahkam fi Mushalih al-Anam mengatakan bahwa seluruh syariah adalah maslahat, baik dengan cara menolak mafsadah atau dengan dengan meraih maslahat. Setiap kemaslahatan memiliki tingkat-tingkat tertentu tentang kebaikan dan manfaat serta pahalanya, dan setiap kemafsadatan juga memiliki tingkat-tingkatannya dalam keburukan dan kemudaratannya. [27] Imam al-Ghazali dalam al-mustashfa, Imam al-Syatibi dalam al-Muwafaqat dan ulama sekarang seperti Abu Zahrah dan Abdul Wahab Khalaf menjelaskan lebih konkret tentang ukuran dari kemaslahatan ini, yang apabila disimpulkan, maka persyaratan kemaslahatan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Kemaslahatan itu harus sesuai dengan maqashid al- syari’ah, semangat ajaran, dalil-dalil kulli dan dalil qoth’i baik wurud maupun dalalahnya. 2. Kemaslahatan itu harus meyakinkan, artinya kemaslahatan itu berdasarkan penelitian yang cermat dan akurat sehingga tidak meragukan bahwa itu bisa mendatangkan manfaat dan menghindarkan mudarat.

RESUME Qawaid Fiqhiyah

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: RESUME Qawaid Fiqhiyah

II. KAIDAH-KAIDAH FIQH YANG ASASI (Al-Qawa’id Al-Asasiyah)

A. Meraih Kemaslahatan dan Menolak Kemafsadatan

ل�ب� �ح� ج� ء� الم�ص�ال د� و�د�ر� الم�ف�اس�“Meraih maslahat dan menolak mafsadah”

Izzuddin bin Abd al-Salam di dalam kitabnya Qawa’id al-Ahkam fi

Mushalih al-Anam mengatakan bahwa seluruh syariah adalah maslahat, baik

dengan cara menolak mafsadah atau dengan dengan meraih maslahat. Setiap

kemaslahatan memiliki tingkat-tingkat tertentu tentang kebaikan dan manfaat

serta pahalanya, dan setiap kemafsadatan juga memiliki tingkat-tingkatannya

dalam keburukan dan kemudaratannya. [27]

Imam al-Ghazali dalam al-mustashfa, Imam al-Syatibi dalam al-

Muwafaqat dan ulama sekarang seperti Abu Zahrah dan Abdul Wahab Khalaf

menjelaskan lebih konkret tentang ukuran dari kemaslahatan ini, yang apabila

disimpulkan, maka persyaratan kemaslahatan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Kemaslahatan itu harus sesuai dengan maqashid al-syari’ah, semangat ajaran,

dalil-dalil kulli dan dalil qoth’i baik wurud maupun dalalahnya.

2. Kemaslahatan itu harus meyakinkan, artinya kemaslahatan itu berdasarkan

penelitian yang cermat dan akurat sehingga tidak meragukan bahwa itu bisa

mendatangkan manfaat dan menghindarkan mudarat.

3. Kemaslahatan itu membawa kemudahan dan bukan mendatangkan kesulitan

yang diluar batas, dalam arti kemaslahatan itu bisa dilaksanakan.

4. Kemaslahatan itu memberi manfaat kepada sebagian besar masyarakat bukan

kepada sebagian kecil masyarakat. [29-30]

Dari segi syariah, kemaslahatan dibedakan menjadi tiga, ada yang wajib

melaksanakannya, ada yang sunnah melaksanakannya, dan ada yang mubah

melaksanakannya. Demikian pula kemafsadatan, ada yang haram

melaksanakannya dan ada yang makruh melaksanakannya. [28]

Sesuai dengan tujuan-tujuan tersebut, maka wasilah atau cara dalam

menuju kemaslahatan/ kemafsadatan itu pun disesuaikan dengan tujuannya. Dari

hubungan antara maqashid/tujuan ini memunculkan kaidah-kaidah seperti:

�ل� ائ �و�س� �ل �ام� ل �ح�ك الم�ق�اص�د� أ

Page 2: RESUME Qawaid Fiqhiyah

“Bagi setiap wasilah (media) hukumnya adalah sama dengan hukum tujuan”.[31]

B. Al-Qawa’id Al-Khamsah (Lima Kaidah Asasi)

1. Kaidah Asasi Pertama

�م�و�ر� �م�ق�اص�د�ه�ا األ ب“Segala perkara tergantung niatnya”

Dikalangan ulama-ulama Syafi’iyyah, niat diartikan dengan bermaksud

melakukan sesuatu disertai dengan pelaksanaannya. Dikalangan mazhab Hanbali

menyatakan bahwa tempat niat ada di dalam hati, karena niat adalah perwujudan

dari maksud dan tempat dari maksud adalah hati. Jadi apabila meyakini/beritikad

di dalam hatinya itupun sudah cukup; dan wajib niat didahulukan dari perbuatan.

[34]

Adapun fungsi niat adalah sebagai berikut:

Untuk membedakan antara ibadah dan adat kebiasaan

Untuk membedakan kualitas perbuatan, baik kebaikan ataupun kejahatan

Untuk menetukan sah atau tidaknya suatu perbuatan ibadah tertentu serta

membedakan yang wajib dari yang sunnah. [35-36]

Dikalangan para ulama ada kesepakatan bahwa suatu perbuatan ibadah

adalah tidak sah tanpa disertai niat, kecuali untuk beberapa hal saja. Kekecualian

kaidah tersebut diantaranya:

Sesuatu yang jelas-jelas ibadah bukan adat, sehingga tidak bercampur dengan

yang lain. Dalam hal ini tidak diperlukan niat, seperti iman kepada Allah,

adzan, iqamah, membaca al-Qur’an kecuali apabila membacanya dalam

rangka nadzar, dan sebagainya.

Tidak diperlukan niat didalam meninggalkan perbuatan buruk, karena dengan

tidak melakukan perbuatan tersebut sudah tercapai maksudnya.

Keluar dari shalat tidak diperlukan niat, karena niat diperlukan dalam

melakukan suatu perbuatan bukan untuk meninggalkan suatu perbuatan. [36]

Dasar kaidah “al-umur bimaqashidiha” diantaranya adalah firman Allah

SWT dan Hadits Nabi berikut ini:

وا و�م�ا �م�ر� �ال# أ �د�وا إ �ع�ب �ي #ه� ل ل�ص�ين� الل �ه� م�خ� �ف�اء الد-ين� ل ن ح�

Page 3: RESUME Qawaid Fiqhiyah

Artinya: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta`atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus”. (QS al-Bayyinah: 5)

#م�ا �ن ال� إ �ألع�م�11 ات� ال #ي#11 �ان ا ب #م�11 �ن ل- و�إ �ك�11 ر�ئ5 ل �و�ى ام�11 ان م�11

�ت� ف�م�ن� �ان �ه� ك ت �ل�ى ه�ج�ر� �ه� الله� إ و�ل س� �ه� و�ر� ت �ل�ى ف�ه�ج�ر� إ

�ه� الل11ه� و�ل س�11 �ت� و�م�ن� و�ر� ان ه� ك�11 ت�11 �ا ه�ج�ر� �ي �ه�ا ل11د�ن �ب ي �ص�11 ي

�ة5 أ �و�ر� �ك�ح�ه�ا ا �ن �ه� ي ت �ل�ى ف�ه�ج�ر� ر� إ �ه� م�اه�ج� �ي �ل إArtinya: “Setiap perbuatan itu bergantung kepada niatnya dan bagi setiap orang sesuai

dengan niatnyan. Barangsiapa berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa hijrahnya karena mengharapkan kepentingan dunia atau karena wanita yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang diniatkannya”. (HR Bukhari Muslim dari Umar bin Khattab) [37-38]

Adapun yang termasuk dalam lingkungan kaidah tentang niat ini,

diantarnya kaidah-kaidah berikut ini:

ة� �ر� �م�ق�لص�د� الع�ق�و�د� ف�ي� لع�ب �ى لل �لف�اظ� و�الم�ع�ان �أل �ل �ي ال �ان و�الم�ب“Pengertian yang diambil dari suatu tujuannya bukan semata-mata kata-kata dan ungkapannya”

�و�اب� �ث # ال �ال �ة� إ #ي �ان ب

“Tidak ada pahala kecuali dengan niat” [38-39]

�ل�ف� ل�و ان� اخت �ر� و�الق�ل�ب� الل�س� �ب �م�ع�ت الق�ل�ب� ف�ي� م�ا ف�ال

“Apabila berbeda antara apa yang diucapkan dengan apa yang ada dalam hati (diniatkan), maka yang dianggap benar adalah apa yang ada dalam hati”

م� �ز� �ل �ي �ة� ال �ي �اد�ة� ن �ب �ل- ف�ي� ال ء5 ك #م�ا ج�ز� �ن م� إ �ز� �ل �ة5 ف�ي ت �ه� ج�م�ل �ف�ع�ل م�اي

“Tidak wajib niat ibadah dalam setiap bagian, tetapi niat wajib dalam keseluruhan yang dikerjakan”

Mل� �ن� ك ض�ي �ه�م�ا م�ف�ر- �ج�ز�ي �ت #ةP ف�ال �ي دP ن # و�اح� �ال ة الح�ج- إ و�الع�م�ر�

“Setiap dua kewajiban tidak boleh denga satu niat, kecuali ibadah haji dan umrah” [40]

Mل� �ان� ك �ه� م�اك ص�لP ل� � أ �ق�ل� ف�ال �ت �ن �ه� ع�ن� ي ص�ل

� د� أ �م�ج�ر# �ة� ب -ي الن“Setiap perbuatan asal/pokok, maka tidak bisa berpindah dari yang asal karena semata-mata niat”

�ف�ظ� م�ق�اص�د� �ة� ع�ل�ى ال �ي �ف�ظ� ن الل

“Maksud yang terkandung dalam ungkapan kata sesuai dengan niat orang yang mengucapkan”

Page 4: RESUME Qawaid Fiqhiyah

�م�ان� �ي #ةP األ �ي �ن �لف�اظ� ع�ل�ى م�ب و�الم�ق�اص�د� األ

“Sumpah itu harus berdasarkan kata-kata dan maksud” [41]

2. Kaidah Asasi Kedua

�ن� �ق�ي �لي ال� ا �ز� �ي ك ال �الش# ب

“Keyakinan tidak bisa hilang karena adanya keraguan” [42]

Dasar kaidah ini diantaranya adalah hadits-hadits berikut ini:

�ك� م�ا د�ع� �ب �ر�ي �ل�ى ي �ك� إ �ب �ر�ي �ي م�االArtinya: “Tinggalkanlah apa yang meragukanmu, berpindahlah kepada

yang tidak meragukanmu”.

�ذ�ا ك# إ �م� ش� �ح�د�ك �ه� ف�ي� أ �ت ال �م� ص�11 �م� ف�ل د�ر�ك ل#ى ي�11 ا ص�11 Y11ث� �ال ث�عYا ب ر�

� ح� أ �ط�ر� �ي ك# ف�ل �ن� الش#11 �ب �ي �ق�ن� ع�ل�ى و�ل �ي ت )رواه م�ااس�11�ي� عن مسلم ب

� �د5 أ ع�ي �خ�د�ر�ي-( س� الArtinya: “Apabila seseorang ragu mengerjakan shalat, dia lupa berapa

raka’at dia telah melakukan shalatnya, apakah telah tiga raka’at atau empat raka’at. Maka hilangkanlah keraguannya (empat raa’at) dan tetaplah dengan apa yang dia yakini” (HR Muslim dari Abu Sa’id Al-Khudri) [44]

Yang dimaksud dengan yakin disini adalah:

�ان� م�ا ه�و� Yا ك �ت �اب �ظ�ر ث �الن و� ب� �ل أ �ي الد#ل

“Sesuatu yang pasti, dengan dasar pemeriksaan atau dengan dasar dalil (bukti)”. [44]

Dari kaidah asasi al-yaqin la yuzal bi al-syak ini kemudian muncul kaidah-kaidah yang lebih sempit ruang lingkupnya. Misalnya:

�ن� �ق�ي �لي ال� ا �ز� �ن� ي �ق�ي �الي �ه� ب �ل م�ث“Apa yang yakin bisa hilang karena adanya bukti lain yang meyakinkan pula” [47]

�ن� �ت� أ �ب �ن5 م�اث �ق�ي �ي �ف�ع� ب ت �ر� �ي # ال �ال �ن5 إ �ق�ي �ي ب

“Apa yang ditetapkan atas dasar keyakinan tida bisa hilang kecuali dengan keyakinan lagi”

ص�ل�� �أل اء�ة� ا �ر� الذ�م#ة� ب

“Hukum asal adalah bebasnya seseorang dari tanggung jawab” [48]

ص�ل�� �ق�اء� األ �ان� ب �ان� ع�ل�ى م�اك �م� م�اك �ن� م�ال �ك ه� ي -ر� �غ�ي م�اي

Page 5: RESUME Qawaid Fiqhiyah

“Hukum asal itu tetap dalam keadaan tersebut selama tidak ada hal lain yang mengubahnya”

ص�ل�� �أل الع�د�م� الع�ار�ض�ة� الص�ف�ات� ف�ي� ا

“Hukum asal pada sifat-sifat yang datang kemudian adalah tidak ada” [49]

ص�ل�� �أل �ض�اف�ة� ا �ل�ى الح�اد�ث� إ ب� إ �ق�ر� �ه� أ �وق�ات أ

“Hukum asal adalah penyandaran suatu peristiwa kepada waktu yang lebih dekat kejadiannya” [50]

ص�ل�� �أل �اء� ف�ي� ا ي �ش� ة� األ �اح� �ب �د�ل# ح�ت#ى اإل �ل� ي �ي � ع�ل�ى الد#ل �ح�ر�يم الت

“Hukum asal segala sesuatu itu adalah kebolehan sampai ada dalil yang menunjukan keharamannya” [51]

ص�ل�� �أل � ف�ي� ا �م �ال �ق�ة� الك الح�ق�ي

“Hukum asal dari suatu kalimat adalah arti yang sebenarnya”

ة� �ر� ب �ع� �الظ�ن- ال #ذ�ي� ب �ظ�ه�ر� ال خ�ط�اء�ه� ي

“Tidak dianggap (diakui), persangkaan yang jelas salahnya” [53]

� ة� ال �ر� ب � ع� #و�هMم �ت لل

“Tidak diakui adanya waham (kira-kira)”

�بت� �ت م�ن5 م�اث �ز� �م� ب �ح�ك �ق�اء�ه� ي �ب �م� ب �ق�و� م�ال �ل� ي �ي �ف�ه� ع�ل�ى الد#ل خ�ال

“Apa yang ditetapkan berdasarkan waktu, maka hukumnya ditetapkan berdasarkan berlakunya waktu tersebut selama tidak ada dalil yang bertentangan dengannya” [54]

3. Kaidah Asasi Ketiga

ق#ة� ل�ب� الم�ش� �ج� �ر� ت ي �س� �ي الت

“Kesulitan mendatangkan kemudahan”

Al-Masyaqqah menurut bahasa adalah al-ta’ab yaitu kelelahan, kesulitan,

dan kesukaran. Sedangkan al-taysir secara etimologis berarti kemudahan. Dalam

ilmu fiqh, kesulitan yang membawa kemudahan setidaknya ada ada tujuh macam,

yaitu:

a. Sedang dalam perjalanan.

b. Keadaan sakit.

c. Keadaan terpaksa yang membahayakan hidupnya.

d. Lupa (al-nisyan).

e. Ketidaktahuan (al-jahl).

Page 6: RESUME Qawaid Fiqhiyah

f. umum al-Balwa.

g. Kekurangmampuan bertindak hukum (al-naqash). [55-57]

Yang dikehendaki kaidah ini adalah bahwa kita dalam melaksanakan

ibadah itu tidak ifrath (melampaui batas) dan tidak tafrith (kurang dari batas).

Oleh Karena itu, para ulama membagi Masyaqqah ini menjadi tiga tingkatan,

yaitu:

a. Al-Masyaqqah al-‘Azhimmah (kesulitan yang sangat berat). Masyaqqah

semacam ini membawa keringanan.

b. Al-Masyaqqah al-Mutawasithah (kesulitan yang pertengahan).

Masyaqqah semacam ini harus dipertimbangkan, apabila lebih dekat

kepada Masyaqqah yang sangat berat, maka ada kemudahan disitu.

Apabila lebih dekat kepad Masyaqqah yang ringan, maka tidak ada

kemudahan disitu.

c. Al-Masyaqqah al-Khafifah (kesulitan yang ringan. Masyaqqah semacam

ini tidak ada kemudahan. [57-58]

Adapun keringanan atau kemudahan karena adanya Masyaqqah

setidaknya ada tujuh macam, yaitu:

a. Takhfif isqath, yaitu keringanan dalam bentuk penghapusan.

b. Takhfif tanqish, yaitu keringanan berupa pengurangan.

c. Takhfif ibdal, yaitu keringanan berupa penggantian.

d. Takhfif taqdim, yaitu keringanan dengan cara didahulukan.

e. Takhfif ta’khir, yaitu keringanan dengan cara diakhirkan.

f. Takhfif tarkish, yaitu keringanan karena rukhsah.

g. Takhfif taghyir, yaitu keringanan dalam bentuk berubahnya cara yang

dilakukan. [58-59]

Apabila kaidah ini dikembalikan kepada Al-Qur’an dan Al-Hadits,

ternyata banyak ayat dan hadits nabi yang menunjukkan akurasi kaidah “al-

masyaqqah tajlib taysir”, diantaranya:

�م� ج�ع�ل� و�م�ا … �ك �ي …ح�ر�ج م�ن� الد-ين� ف�ي ع�لArtinya: “Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu

kesempitan”. (QS al-Hajj: 78)

�ر�يد� … iه� ي �م� الل �ك ر� ب �س� �ي � ال �ر�يد� و�ال �م� ي �ك ر� ب �ع�س� …ال

Page 7: RESUME Qawaid Fiqhiyah

Artinya: “Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesulitan bagimu”. (QS al-Baqarah: 185)

و�ا ر� �س- � ي و� و�ال ر� �ع�س- و�ا ت ر� �ش- أ و�ب �ف-ر� �ن �ت و�ال

Artinya: “Mudahkanlah mereka dan jangan kamu menyulitkan dan gembirakanlah dan jangan menyebabkan mereka lari”. (HR al-Bukhari) [59-60]

Dari kaidah “al-masyaqqah tajlib taysir” kemudian dimunculkan kaidah-

kaidah cabangnya dan bisa disebut dhabit karena hanya berlaku pada bab-bab

tertentu, diantarnya:

�ذ�ا �م�ر� ض�اق� إ ع� األ #س� �ت إ

“Apabila suatu perkara menjadi sempit maka hukumnya hukumnya meluas” [61]

�ذ�ا �ع�ذ�ر� إ ص�ل� ت� �ص�ر� األ �ل�ى ي �د�ل� إ الب

“Apabila yang asli sukar dikerjakan maka berpindah kepada penggantinya” [62]

� �م�ك�ن� م�اال ز� ي #ح�ر� �ه� م��ه� الت م�ع�ف�و�ع�ن“Apa yang tidak mungkin menjaganya (menghindarkannya), maka hal itu dimaafkan ”

خ�ص� Mاط� الر� �ن �ت �الم�ع�ص�ى ال ب

“Keringanan itu tidak dikaitkan dengan kemaksiatan” [63]

�ذ�ا ت� إ �ع�ذ�ر� �ق�ة� ت �ص�ار� الح�ق�ي �لى� ي از� إ الم�ج�

“Apabila suatu kata sulit diartikan dengan arti yang sesungguhya, maka kata tersebut berpindah artinya kepada arti kiasannya”

�ذ�ا �ع�ذ#ر� إ �ع�م�ال� ت � إ �م �ال �ه�م�ل� الك ي“Apabila sulit mengamalkan suatu perkataan, maka perkataan tersebut ditinggalkan”

�ف�ر� �غ�ت � ف�ي� ي �ف�ر� الد#و�ام �غ�ت �ي �تد�اء� ف�ي� م�اال �ب اإل

“Bisa dimaafkan pada kelanjutan perbuatan dan tidak bisa dimaafkan pada permulaannya” [64]

�ف�ر� �غ�ت �تد�اء� ف�ي� ي �ب �ف�ر� م�ا اإل �غ�ت � ف�ي� ي الد#و�ام

“Dimaafkan pada permulaan tapi tidak dimaafkan pada kelanjutannya”

�ف�ر� �غ�ت �ع� ف�ي� ي #و�لب � الت �ف�ر� م�اال �غ�ت �ر�ه�ا ف�ي� ي غ�ي

“Dapat dimaafkan pada hal yang mengikuti dan tidak dimaafkan pada yang lainnya ” [65]

Page 8: RESUME Qawaid Fiqhiyah

4. Kaidah Asasi Keempat

ر� ال� الض�ر� �ز� ي

“Kemudaratan (harus) dihilangkan”.

Kaidah tersebut kembali kepada tujuan merealisasikan maqasid al-

Syari’ah dengan menolak yang mufsadat, dengan cara menghilangkan

kemudharatan atau setidaknya meringankannya.

Contoh-contoh dibawah ini antara lain memunculkan kaidah diatas:

- Larangan menimbun barang-barang kebutuhan pokok masyarakat

karena perbuatan tersebut mengakibatkan kemudharatan bagi rakyat.

- Adanya berbagai macam sanksi dalam fiqh jinayah (hukum pidana

Islam) adalah juga untuk menghilangkan kemudhratan.

- Adanya aturan alhajr (kepailitan) juga dimaksudkan untuk

menghilangkan kemudharatan. Demikian pula aturan hak syuf’ah.

Kaidah tersebut diatas sering diungkapkan dengan apa yang tersebut

dalam hadits:

ر� �ض�ر� � ال ار� و�ال ض�ر�

Artinya: “Tidak boleh memudharatkan dan tidak boleh di mudharatkan”. (HR. Hakim dan lainnya dari Abu Sa’id al-Khudri, HR. Ibnu Majah dari Ibnu ‘Abbas) [67-68]

Ayat-ayat Al-Qur’an dan Al-Hadits yang mendukung kaidah tersebut antara lain:

� �و� .... و�ال ك �م�س� ا ه�ن# ت Yار �د�وا ض�ر� �ع�ت �ت ... ل

Artinya: ”Janganlah kamu merujuk mereka untuk memberi kemudharatan karena dengan demikian kamu menganiaya mereka”. (QS. Al-Baqarah: 231)

وه�ن# و�ال�... Mض�ار� -ق�وا ت �ض�ي �ت �ه�ن# ل �ي ... ع�لArtinya:”dan janganlah kamu memudharatkan mereka (istri) untuk

menyempitkan hati mereka”. (QS. Ath-Thalaaq: 6)

... � �ض�آر# ال �د�ةP ت �د�ه�ا و�ال �و�ل � ب �ودP و�ال #ه� م�و�ل �د�ه� ل �و�ل ب ... Artinya: “Janganlah dimudharatkan seorang ibu karena anaknya dan seorang

ayah karena anaknya”. (QS. Al-Baqarah: 233)

�ن# �م� إ �م� د�م�اء�ك �ك �مو�ل �م� و�أ ض�ك �ع�ر� امP و�إ ح�ر�Artinya: “Sesungguhnya darah-darah kamu semua, harta-harta kamu semua, dan kehormatan kamu semua adalah haram diantara kamu semua” (HR. Muslim) [69-70]

Page 9: RESUME Qawaid Fiqhiyah

Kekecualian dari kaidah diatas pada prinsipnya adalah:

Apabila menghilangkan kemudharatan mengakibatkan datangnya

kemudharatan yang lain yang sama tingkatannya, maka hal itu tidak boleh

dilakukan.

Apabila dalam menghilangkan kemudharatan menimbulkan kemudharatan

lain yang lebih besar atau lebih tinggi tingkatannya, maka hal itu tidak

boleh dilakukan.

Dalam menghilangkan kemudharatan, dilarang melampaui batas dan betul-

betul tidak ada jalan lain kecuali melakukan perbuatan yang dilarang itulah

satu-satunya jalan. [70-71]

Kaidah-kaidah yang merupakan cabang dari kaidah ”al-dharar yuzal”,

diantaranya adalah sebagai berikut :

ات� ور� �ح� الضMر� �ي �ب ات� ت الم�خ�ظ�و�ر�

“Kemudharatan itu membolehkan hal-hal yang dilarang” [72]

ات� ور� �ق�د#ر� الضiر� �ق�د�ر�ه�ا ت ب

“Keadaan darurat ukurannya ditentukan menurut kadar kedaruratannya”

ر� ال� الض�ر� �ز� �ق�د�ر� ي �ان� ب �م�ك اإل“Kemudharatan harus ditolak dalam batas-batas yang memungkinkan”

ر� ال� الض�ر� �ز� �ي ر� ال �االض�ر� ب

“Kemudharatan tidak boleh dihilangkan dengan kemudharatan lagi ” [73]

ر� دM الض�ر� �ش� ال� األ �ز� ر� ي �الض#ر� �خ�ف- ب األ

“Kemudharatan yang lebih berat dihilangkan dengan kemudharatan yang lebih

ringan” [74] ر� �و�ن� الض�ر� �ك �ي �مYا ال ق�د�ي

“Kemudharatan itu tidak dapat dibiarkan karena dianggap telah lama terjadi” [75]

ة� �ز�ل� الح�ج� �ن �ة� ت �ز�ل ة� م�ن و�ر� �ان� ع�ام�ةP الض#ر� و� ك� خ�اص�ةY أ

“Kedudukan kebutuhan itu menempati kedudukan darurat baik umum amupun khusus” [76]

Mل ة5 ك�11 خ�ص�11 �ح�ت� ر� �ي ب� ة� أ و�ر� ر� ة� لل�ض#11 �م� و�الح�اج�11 �ح� ل �ب ت �س�11 ل� ت ق�ب�11

و�جثو�ود�ه�ا

Page 10: RESUME Qawaid Fiqhiyah

“Setiap keringanan yang dibolehkan karena darurat atau karena al-hajah tidak boleh dilaksanakan sebelum terjadinya kondisi darurat atau al-hajah” [77]

Mل� ف5 ك Mص�ر� ر# ت ادYا ج� �و� ق�س� ا د�ف�ع� ا Yح� �ه�ي� ص�ال �ه� م�ن ع�ن

“Setiap tindakan hukum yang membawa kemafsadatan atau menolak kemaslahatan adalah dilarang” [78]

5. Kaidah Asasi Kelima

#م�ةP الع�اد�ة� م�ح�ك

“Adat (dipertimbangkan didalam) menetapkan hukum”

Ketika kaidah ini dikembalikan kepada ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits

Nabi, ternyata banyak ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi yang menguatkannya.

Sehingga kaidah tersebut setelah dikritisi dan diasah oleh para ulama sepanjang

sejarah hukum islam, akhirnya menjadi kaidah yang mapan.

Diantara ayat Al-Qur’an dan Hadits tersebut adalah sebagai berikut:

ذ� �ع�ف�و� خ� م�ر� ال� ف� و�أ �ع�ر� �ال �ع�ر�ض� ب �ين� ع�ن� و�أ �ج�اه�ل ال

Artinya :” Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh”. (QS : Al-‘Araaf : 199) [81]

اه� �م�و�ن� م�ار� ل Yا الم�س� ن �د� ف�ه�و� ح�س� ن نP الله� ع� ح�س�

Artinya : “Apa yang dipandang baik oleh orang-orang islam, maka baik pula disisi Allah”. (HR Imam Ahmad) [82]

Al-’Aadah yang bisa dipertimbangkan dalam penetapan hukum adalah

al-’Aadah al-Shahihah bukan al-’Aadah al-Fasidah. Oleh karena itu, kaidah

tersebut tidak digunakan apabila :

- Al-’Aadah bertentangan dengan nash baik Al-Quran maupun Al-hadits, seperti

: shaum terus-terusan atau shaum 40 hari atau 7 hari siang malam.

- Al-’Aadah tersebut tidak menyebabkan ke mafsadatan atau menghilangkan

kemaslahatan termasuk didalamnya tidak mengakibatkan kesulitan atau

kesukaran, seperti memboroskan harta.

- Al-’Aadah berlaku pada umumnya berlaku dikaum muslimin, dalam arti bukan

hanya yang biasa dilakukan oleh beberapa orang saja. Bila dilakukan oleh

beberapa orang maka tidak dianggap ada. [83-84]

Page 11: RESUME Qawaid Fiqhiyah

Diantara kaidah-kaidah cabang dari kaidah “al-‘adah muhkamah” adalah

sebagai berikut:

�ع�م�ال� ت �س� #اس� إ ةP الن �ج�ب� ح�ج# �ه�ا الع�م�ل� ي ب

“Apa yang biasa diperbuat orang banyak adalah hujjah (alasan/argumen/dalil) yang wajib diamalkan” [84]

#م�ا �ن �ر� إ �ب �ع�ت �ذ�ا الع�اد�ة� ت دضت� إ و� اض�ط�ر�� �ت� أ �ب غ�ل

“Adat yang dianggap (sebagai pertimbangan hukum) itu hanyalah adat yang terus-menerus berlaku atau berlaku umum”

ة� �ر� �ب� الع�ب �غ�ال �ع� لل ائ #اد�ر� الش# �لن �ل ال

“Adat yang diakui adalah yang umumnya terjadi yang dikenal oleh manusia bukan dengan yang jarang terjadi” [85]

و�ف� �لم�ع�ر� وط� ع�رفYا ا ر� �الم�ش� رطYا ك ش�“Sesuatu yang telah dikenal karena ‘Urf seperti yang disyaratkan dengan suatu syarat”

و�ف� �ن� الم�ع�ر� �ي ار� ب Mج# وط� الت ر� �الم�ش� �ه�م� ك �ين ب“Sesuatu yang telah dikenal diantara pedagang berlaku sebagai syarat diantara mereka” [86]

�ن� #ع�ي ف� الت �الع�ر� �ن� ب #ع�ي �الت �الن#ص ك ب

“Ketentuan berdasarkan ‘Urf seperti ketentuan berdasarkan nash”

�ع� �ن �ع� ع�اد�ةY الم�م�ت �ن �اللم�م�ت �ق�ةY ك ق�ي ح�

“Sesuatu yang tidak berlaku berdasarkan adat kebiasaan seperti yang tidak berlaku dalam kenyataan”

�ق�ة� ك� الح�ق�ي �ر� �ت �ة� ت �ل �د�ال الع�اد�ة� ب

“Arti hakiki (yang sebenarnya) ditinggalkan karena ada petunjuk arti menurut adat” [87]

�ذ�ن� ف�ى اإل �ذ�ن� الع�ر� �اإل �ف�ظ�ى ك الل

“Pemberian izin menurut adat kebiasaan adalah sama dengan pemberian izin menurut ucapan” [88]

VI. PENERAPAN KAIDAH FIQH

Ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam menerapkan kaidah fiqh agar

tepat penggunaannya, ketiga hal tersebut adalah:

Page 12: RESUME Qawaid Fiqhiyah

A. Kehati-hatian Dalam Menerapkan Kaidah

Kehati-hatian dalam menggunakan kaidah ini diperlukan agar antara

masalah yang akan dipecahkan dengan kaidah yang digunakan bersesuaian ssatu

sama lain.

Oleh karena itu, masalah yang dihadapi harus diteliti lebih dahulu,

setidaknya dalam lima aspek, yaitu:

1) Ruang lingkup masalah yang dihadapi. Apakah masalah tersebut dalam

bidang ibadah, munakahat, muamalah, jinayah, siyasah, atau peradilan,

atau menyangkut keseluruhan bidang tersebut;

2) Apakah masalah yang dihadapi tersebut, substansinya perubahan

hukum atau bukan;

3) Apakah masalah tersebut berhubungan dengan masalah prioritas karena

adanya benturan atau pertentangan kepentingan sehingga diperlukan

pilihan-pilihan mana yang akan diambil;

4) Apakah masalah tersebut ruang lingkupnya sangat kecil yang hanya

berhubungan dengan bab-bab tertentu dari bidang-bidang hukum Islam

sehingga cukup digunakan al-qawa’id al-tafshiliyah atau dhabit atau

mulhaq-nya; dan

5) Hubungan antara masalah yang akan dipecahkan tersebut dengan teori-

teori fiqh dalam arti teori materi fiqh.

Secara sederhana, proses pemecahan masalah dengan menerapkan kaidah

fiqh dapat diilustrasikan sebagai berikut: [183-186]

Masalah Alat-alat Analisis

Hasil AkhirHasilnya Penilaian

Kasus Fikih atau

Identifikasi Masalah

Kaidah-kaidah Fikih

Fatwa tentang masalah

yang dihadapi

Hukum: wajib, sunat,

mubah, makruh,

atau haram

Dalil-dalil Kulli dan Prinsip Syariah

Page 13: RESUME Qawaid Fiqhiyah

B. Meneliti Masalah-masalah Fiqh yang Merupakan Kekecualian Yang Ada

di Luar Kaidah Fiqh

Dalam menerapkan kaidah fiqh harus memerhatikan nasalah-masalah

furu’ atau materi-materi fiqh yang ada di luar kaidah fiqh yang digunakan. Hal ini

penting karena setiap kaidah fiqh memiliki kekecualian-kekecualian (istitsnaiyat)

yang tidak tercakup dalam ruang lingkup kaidah tertentu. Dengan demikian, kita

akan terhindarkan dari kesalahan memasukkan masalah yang akan dijawab atau

yang akan dipecahkan ke dalam kaidah, yang sesungguhnya masalah tersebut

merupakan kekecualian dari kaidah yang digunakan.

Disinilah pentingnya membagi kaidah fiqh kedalam berbagai ruang

lingkup secara berjenjang dari yang paling luas sampai kepada yang paling

sempit. Dengan adanya kaidah-kaidah fiqh dalam bidang-bidang hukum tertentu

akan mempermudah dalam proses memecahkan masalah yang dihadapi. Misalnya,

apabila masalahnya dalam bidang muamalah, maka cara dahulu kaidah-kaidah

fiqh dibidang tersebut. Apabila tidak ditemukan, maka ditelusuri kepada kaidah-

kaidah yang lebih umum. Apabila tidak ditemukan juga, barangkali masih

diperlukan memunculkan kaidah-kaidah baru karena belum ter-cover oleh kaidah-

kaidah yang ada. Walaupun demikian, apabila masalah tersebut dikembalikan

kepada kaidah asasi yang lima atau menurut mazhab Hanafi kaidah fiqh yang

enam, maka pasti ter-cover, apalagi bila dikembalikan kepada kaidah dari

Izzuddin bin Abd al-Salam, yaitu: “Meraih kemslahatan dan menolak

kemafsadatan”.

Langkah-langkah ini penting untuk mengetahui kekecualian-kekecualian

dari kaidah dan menghindari risiko kesalahan menggunakan kaidah yang terlalu

besar untuk masalah yang yang ruang lingkupnya kecil. Atau sebaliknya,

memaksakan untuk memasukan kepada kaidah yang kecil untuk masalah yang

ruang lingkup dan cakupannya besar. [187-190]

C. Kesinambungan Antara Satu Kaidah dengan Kaidah Lainnya

Dalam penerapan kaidah fiqh perlu juga diperhatikan keseimbangan

antara satu kaidah yang digunakan untuk memecahkan masalah dengan kaidah

lain yang lebih luas ruang lingkup dan cakupannya. Hal ini memang tidak terlalu

Page 14: RESUME Qawaid Fiqhiyah

mudah, perlu menguasai keseluruhan kaidah fiqh dari mata rantai kaidah yang

paling kecil sampai kepada yang paling besar dalam suatu sistem kaidah.

Sebagai salah satu contoh kecil misalnya, seseorang meminjam uang

dengan dijanjikan pada waktu bayar harus ada tambahannya atau singkatnya

meminjam dari rentenir. Pendekatan kaidah fiqh dalam kasus ini cukup dengan

menggunakan kaidah tafshiliyah, yaitu:

Mل� ض5 ك ر# ق�ر� �ف�عYا ج� �ا ف�ه�و� ت ر�ب “Setiap utang piutang yang mendatangkan manfaat (bagi yang mengutangkan) adalah riba”

Dengan menggunakan kaidah tersebut, jelas bahwa meminjam uang dari

rentenir hukumnya haram karena termasuk riba. Kaidah tersebut jelas pula ada

dalam bidang fiqh muamalah. Dan kaidah diatas berhubungan dengan kaidah fiqh

dalam muamalah. Tetapi bukan dari sisi kebolehannya muamalah, melainkan dari

sisi ada bukti keharamannya yaitu riba, yaitu kaidah:

ص�ل�� �ة� ف�ي األ ة� الم�ع�ام�ل �اح� �ب # اإل �ال �ن� إ �د�ل# أ �لP ي �ي �ح�ر�يم�ه� ع�ل�ى د�ل ت

“Hukum asal dalam semua bentuk muamalah adalah boleh dilakukan kecuali ada

dalil yang mengharamkannya”

Jadi, haramnya meminjam dari rentenir merupakan kekecualian dari

hukum asal karena ada bukti tentang riba. Kaidah di atas termasuk kaidah yang

khusus. Apabila kaidah di atas dihubungkan dengan kaidah yang ruang

lingkupnya lebih luas (kaidah fiqh yang umum), maka kaidah tersebut di atas

berhubungan dengan kaidah:

Mل� ط5 ك ر� ال�ف� ش� ص�ول� م�خ�� �ع�ة� أ ر�ي �اط�لP الش# ب

“Setiap syarat yang menyalahi prinsip syariah adalah batal”

Dalam kasus di atas, rentenir mensyaratkan riba, maka syarat tersebut

adalah batal. Bagi orang yang mengatakan bahwa riba itu ada untungnya atau

manfaatnya, tetapi jelas riba diharamkan, yang berarti mafsadah bagi kehidupan,

hal ini terkena oleh kaidah:

ء� د� د�ر� ل�ب� ع�ل�ى م�ق�د#مP الم�ف�اس� �ح� ج� الم�ص�ال“Menolak mafsadah harus didahulukan daripada meraih maslahat”

Kedua kaidah di atas apabila dihubungkan dengan kaidah asasi

merupakan bagian dari kaidah:

Page 15: RESUME Qawaid Fiqhiyah

ر� ال� الض�ر� �ز� ي

“Segala kemudaratan (harus) dihilangkan”

Terakhir, kaidah asasi di atas berhubungan dengan kaidah inti:

ل�ب� �ح� ج� ء� الم�ص�ال د� و�د�ر� الم�ف�اس� “Meraih maslahat dan menolak mafsadah”

Dalam kasus rentenir di atas, perbuatannya adalah haram karena

membawa mafsadah sedangkan mafsadah harus ditolak.

Dari contoh di atas jelas terlihat kesinambungan satu kaidah dengan

kaidah lainnya. hal ini berarti bahwa penggunaan kaidah tafshiliyah dalam contoh

di atas yang mengharamkan rentenir cukup akurat digunakan dalam memecahkan

masalah yang ada di masyarakat. [190-192]