14
 BAB I LATAR BELAKANG Kedaruratan medis yang dapat mengancam nyawa biasa terjadi di mana saja, kapan saja dan bisa menimpa siapa saja. Keadaan ini dapat disebabkan oleh suatu  penyakit ataupun akibat kecelakaan lalu lintas, tenggelam, keracunan, dan lain lain . Kea daa n ini sangat membut uhk an per tol ong an segera sej ak di tempat kejadian, selama transportasi ke rumah sakit, sampai pasien diserahkan kepada  petugas kesehatan di rumah sakit. 1 Sumbatan jalan napas, hipoventilasi, sampai henti napas serta henti jantung, ma up un sy ok , cepa t se ka li me ny ebab ka n ke ma ti an bi la ti da k me ndapat  pertolongan yang cepat dan tepa t. Diperkirakan se kitar 35. orang meninggal  per tahunnya akibat henti jantung di !merika dan Kanada. "erkiraan ini tidak termasuk mereka yang diperkirakan meninggal akibat henti jantung dan tidak sempat diresusitasi. Kematian pasien akibat hal#hal di atas sesungguhnya dapat dih ind ari bil a tindak an per tol ongan resu sita si dap at cepat dik erja kan sejak dit emp at kej adi an. $al aup un usa ha unt uk mel akukan resu sita si tidak sel alu  berhasil, lebih banyak nyawa yang hilan g akibat tidak dilakukannya resusitasi. 1,% 1

RESUSITASI JANTUNG PARU

Embed Size (px)

DESCRIPTION

RJP

Citation preview

BAB ILATAR BELAKANG

Kedaruratan medis yang dapat mengancam nyawa biasa terjadi di mana saja, kapan saja dan bisa menimpa siapa saja. Keadaan ini dapat disebabkan oleh suatu penyakit ataupun akibat kecelakaan lalu lintas, tenggelam, keracunan, dan lain lain. Keadaan ini sangat membutuhkan pertolongan segera sejak di tempat kejadian, selama transportasi ke rumah sakit, sampai pasien diserahkan kepada petugas kesehatan di rumah sakit.1Sumbatan jalan napas, hipoventilasi, sampai henti napas serta henti jantung, maupun syok, cepat sekali menyebabkan kematian bila tidak mendapat pertolongan yang cepat dan tepat. Diperkirakan sekitar 350.000 orang meninggal per tahunnya akibat henti jantung di Amerika dan Kanada. Perkiraan ini tidak termasuk mereka yang diperkirakan meninggal akibat henti jantung dan tidak sempat diresusitasi. Kematian pasien akibat hal-hal di atas sesungguhnya dapat dihindari bila tindakan pertolongan resusitasi dapat cepat dikerjakan sejak ditempat kejadian. Walaupun usaha untuk melakukan resusitasi tidak selalu berhasil, lebih banyak nyawa yang hilang akibat tidak dilakukannya resusitasi.1,2

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISIResusitasi Jantung Paru (RJP) adalah usaha kedokteran gawat darurat untuk mengembalikan fungsi pernafasan dan atau sirkulasi akibat terhentinya fungsi dan atau denyut jantung pada pasien yang masih memiliki harapan hidup. 1,3,4 Resusitasi sendiri berarti menghidupkan kembali, dimaksudkan sebagai usaha-usaha untuk mencegah berlanjutnya episode henti jantung menjadi kematian biologis. Dapat diartikan pula sebagai usaha untuk mengembalikan fungsi pernafasan dan atau sirkulasi yang kemudian memungkinkan untuk hidup normal kembali setelah fungsi pernafasan dan atau sirkulasi gagal.3,4

2.3 FASE RJPResusitasi jantung paru dibagi menjadi 3 fase diantaranya1,4:1. FASE I : Tunjangan Hidup Dasar (Basic Life Support)Tunjangan Hidup Dasar (Basic Life Support) yaitu prosedur pertolongan darurat mengatasi obstruksi jalan nafas, henti nafas dan henti jantung, dan bagaimana melakukan RJP secara benar.Sesuai dengan guideline American Heart Association (AHA) tahun 2010 mengenai bantuan hidup dasar, maka RJP dimulai mulai dari3 ;i. Melihat seseorang tidak bernapas atau bernapas tidak normal, seperti gaspingii. Aktifkan respon emergency : amankan pasien, minta tolong atau panggil bantuan ambulan, minta seseorang mengambil AED (Automatic External Defibrillator) jika ada. Periksa pasien dalam waktu kurang dari 5 detik sampai 10 detik paling lama :a. C (circulation): mengadakan sirkulasi buatan dengan kompresi jantung paru.b. A (airway) : menjaga jalan nafas tetap terbuka.c. B (breathing) : ventilasi paru dan oksigenisasi yang adekuatKalau tidak didapatkan adanya pulsasi, maka segera lakukan resusitasi jantung paruiii. Mulai CPR/ RJPKompresi dilakukan sebanyak 30 kali lalu dilanjutkan 2 kali pemberian napas buatan dengan kedalaman 2 inchi atau 5 cm. Kecepatan kompresi yang ditargetkan adalah 100 kali per menit. Berikut ketentuan RJP pada berbagai usia :Rekomendasi

KomponenDewasaAnakBayi

Yang diperhatikan Tidak merespon

Tidak bernapas, atau bernapas tidak normal (ex gasping)Tidak bernapas atau gaspingTidak bernapas atau gasping

Tidak ada pulsasi yang teraba dalam 10 detik

Urutan CPRC-A-B

Kecepatan kompresi100 x/ menit

AirwayHead Tilt, Chin Lift ( Jaw thrust bagi susp. cedera leher)

Perbandingan Kompresi Ventilasi30 : 21 atau 2 penolong30 : 21 penolong15 : 22 penolong

Ventilasi pada orang yang tidak terlatihKompresi saja

Ventilasi pada tenaga kesehatan1 kali napas tiap 6-8 detik (8-10 napas/menit)

DefibrilasiGunakan AED sesegera mungkin

Pada prinsipnya, lakukan kompresi jantung dengan PUSH HARD, PUSH FASTLakukan kompresi ventilasi kurang lebih 2 menit.iv. Lakukan evaluasi ulang, periksa apakah sudah ada pulsasi, jika belum ada, lakukan lagi kompresi ventilasi selama 2 menit, atau jika AED sudah terpasang, bisa memberikan shock jika dibutuhkan.Berikut alogaritma dari AHA tahun 2010 :

Cara melakukan kompresi jantung dan ventilasi :A. Kompresi JantungKompresi dada yang adekuat memerlukan kompresi dengan kedalaman dan kecepatan yang sesuai, dengan pengembangan dada yang komplit setelah setiap kompresi dan penekanan dalam meminimalkan penghentian kompresi dan menghindari ventilasi yang berlebihan. Penolong harus memastikan bahwa kompresi dada dilakukan dengan benar.

Gambar: Pijat jantung

Melakukan kompresi dada dalam kecepatan yang cukup (setidaknya 100/menit) Melakukakan kompresi dada pada kedalaman yang cukup (dewasa: setidaknya 2 inchi/5 cm, bayi dan anak-anak: setidaknya sepertiga diameter anteroposterior (AP) dada atau sekitar 1,5 inchi/4 cm pada bayi dan sekitar 2 inchi/5 cm pada anak-anak). Menunggu dada mengembang sempurna setelah setiap kompresi Meminimalisir interupsi selama kompresi Menghindari ventilasi yang berlebihan.Jika ada lebih dari satu penolong, mereka harus bergantian melakukan kompresi setiap 2 menit.

B. VentilasiSumbatan jalan nafas oleh lidah yang menutupi dinding posterior faring merupakan persoalan yang sering timbul pada pasien tidak sadar yang terlentang.7 Ada cara yang dianjurkan untuk menjaga agar jalan nafas tetap terbuka, yaitu:a. Metode Head TiltPenolong mengekstensikan kepala korban dan dengan satu tangan sementara tangan yang lain menyangga bagian atas leher korban.7

b. Metode Chin liftKepala diekstensikan dan dagu diangkat ke atas. Metode ini dilakukan jika tidak ada trauma pada leher. Satu tangan penolong mendorong dahi ke bawah supaya kepala tengadah, tangan lain mendorong dagu dengan hati-hati tengadah, sehingga hidung menghadap ke atas dan epiglotis terbuka.7

Gambar: Metode Head Tilt dan Chin Lift

c. Metode Jaw ThrustKepala diekstensikan dan mandibula didorong maju dengan memegang sudut mandibula korban pada kedua sisi dan mendorongnya ke depan.7 Pada pasien dengan trauma leher, rahang bawah diangkat didorong ke depan pada sendinya tanpa menggerakkan kepala-leher.6 Pendorongan mandibula saja tanpa ekstensi kepala juga merupakan metode paling aman untuk memelihara jalan nafas atas tetap terbuka, pada pasien dengan dugaan patah tulang leher.6

Gambar: Metode Jaw Thrust

Bila korban yang tidak sadar bernafas spontan dan adekuat (tidak ada sianosis), korban sebaiknya diletakkan dalam posisi sisi mantap untuk mencegah aspirasi. Ekstensikan kepalanya dan pertahankan mukanya lebih rendah. Letakkan tangan pasien sebelah atas di bawah pipi sebelah bawah untuk mempertahankan ekstensi kepala dan mencegah pasien berguling ke depan. Lengan sebelah bawah yang berada di punggungnya, mencegah pasien terguling ke belakang.6

Bila pernafasan spontan tidak timbul, diperlukan ventilasi buatan.5 Nafas buatan tanpa alat dapat dilakukan dengan cara mulut ke mulut (mouth-to-mouth), mulut ke hidung (mouth-to-nose), mulut ke stoma trakeostomi atau mulut ke mulut via sungkup muka.6 Untuk melakukan ventilasi mulut-kemulut penolong hendaknya mempertahankan kepala dan leher korban dalam salah satu sikap yang telah disebutkan di atas dan memencet hidung korban dengan satu tangan atau menutup lubang hidung pasien dengan pipi penolong. Selanjutnya diberikan 2 kali ventilasi dalam dalam (1 kali ventilasi = 1-1 detik). Kemudian segera raba denyut nadi karotis atau femoralis. Bila ia tetap henti nafas tetapi masih mempunyai denyut nadi diberikan ventilasi dalam (800-1200 ml) setiap 5 detik.1 Bila denyut nadi karotis tak teraba, 2 kali ventilasi dalam harus diberikan sesudah tiap 30 kompresi dada. 5,7

Gambar: Mouth to mouthBila ventilasi mulut ke mulut atau mulut ke hidung tidak berhasil baik, walaupun jalan nafas telah dicoba dibuka, faring korban harus diperiksa untuk melihat apakah ada sekresi atau benda asing. Pada tindakan jari menyapu hendaknya korban digulingkan pada salah satu sisinya. Sesudah dengan paksa membuka mulut korban dengan satu tangan memegang lidah dan rahangnya, penolong memasukkan jari telunjuk dan jari tengah tangan yang lain ke dalam satu sisi mulut korban, melalui bagian belakang faring, keluar lagi melalui sisi lain mulut korban dalam satu gerakan menyapu. Bila tindakan ini gagal untuk mengeluarkan benda asing, hendaknya dikerjakan hentakan abdomen (abdominal thrust, gerak heimlich) atau hentakan dada (chest thrust). Hentakan dada dilakukan pada korban yang terlentang, tekhnik ini sama dengan kompresi dada luar. Urutan yang dianjurkan adalah berikan 6-10 x hentakan abdomen, buka mulut dan lakukan sapuan jari, reposisi pasien, buka jalan nafas dan beri ventilasi buatan. Urutan ini hendaknya diulang sampai benda asing keluar dan ventilasi buatan dapat dilakukan dengan sukses.7 Bila sesudah dilakukan gerakan triple (ekstensi kepala, buka mulut dan dorong mandibula) dan pembersihan mulut dan faring, ternyata masih ada sumbatan jalan nafas, dapat dicoba pemasangan orofaringeal airway atau nasofaringeal airway. Bila dengan ini belum berhasil, perlu dilakukan intubasi trakheal. Bila tidak mungkin atau tidak dapat dilakukan intubasi trakheal sebagai alternatifnya, krikotirotomi atau punksi membran krikotiroid dengan jarum berlumen besar ( misal dengan kanula intra vena 14 G).7

C. Indikasi menghentikan Bantuan Hidup DasarKeadaan penderita yang tidak sadar, tidak ada pernafasan spontan, reflek muntah dan dilatasi pupil yang menetap selama 15-30 menit atau lebih merupakan petunjuk kematian otak kecuali pasien hipotermik atau dibwah efek barbiturat atau dalam anestesi umum. Akan tetapi, tidak adanya tanggapan jantung terhadap tindakan resusitasi dibanding dengan tanda-tanda klinis kematian otak, adalah titik akhir yang lebih baik untuk membuat keputusan mengakhiri upaya resusitasi. Tidak ada aktifitas listrik jantung (asistole) selama paling sedikit 30 menit walaupun dilakukan upaya RJP dan terapi obat yang optimal, ini menandakan mati jantung.8

Indikasi stop BHD adalah : Kembalinya sirkulasi dan ventilasi spontan Paramedis sudah datang Baru diketahui telah ada tanda-tanda kematian yang ireversibel Penolong lelah atau keselamatannya terancam

2. FASE II : Tunjangan hidup lanjutan (Advance Life Support)Tunjangan hidup lanjutan (Advance Life Support); yaitu tunjangan hidup dasar ditambah dengan :a. D (drugs) : pemberian obat-obatan termasuk cairanObat-obat tersebut dibagi menjadi 2 golongan:1.Penting: Adrenalin : Mekanisme kerja merangsang reseptor alfa dan beta, dosis yang diberikan 0,5 1 mg iv diulang setelah 5 menit sesuai kebutuhan dan yang perlu diperhatikan dapat meningkatkan pemakaian O2 myocard, takiaritmi, fibrilasi ventrikel9 Natrium Bicarbonat: Penting untuk melawan metabolik asidosis, diberikan iv dengan dosis awal : 1 mEq/kgBB, baik berupa bolus ataupun dalam infus setelah selama periode 10 menit. Dapat juga diberikan intrakardial, begitu sirkulasi spontan yang efektif tercapai, pemberian harus dihentikan karena bisa terjadi metabolik alkalosis, takhiaritmia dan hiperosmolalitas. Bila belum ada sirkulasi yang efektif maka ulangi lagi pemberian dengan dosis yang sama4 Sulfat Atropin : Mengurangi tonus vagus memudahkan konduksi atrioventrikuler dan mempercepat denyut jantung pada keadaan sinus bradikardi. Paling berguna dalam mencegah arrest pada keadaan sinus bradikardi sekunder karena infark miokard, terutama bila ada hipotensi. Dosis yang dianjurkan mg, diberikan iv. Sebagai bolus dan diulang dalam interval 5 menit sampai tercapai denyut nadi > 60 /menit, dosis total tidak boleh melebihi 2 mg kecuali pada blok atrioventrikuler derajat 3 yang membutuhkan dosis lebih besar. Lidokain: Meninggikan ambang fibrilasi dan mempunyai efek antiaritmia dengan cara meningkatkan ambang stimulasi listrik dari ventrikel selama diastole. Pada dosis terapeutik biasa, tidak ada perubahan bermakna dari kontraktilitas miokard, tekanan arteri sistemik, atau periode refrakter absolut. Obat ini terutama efektif menekan iritabilitas sehingga mencegah kembalinya fibrilasi ventrikel setelah defibrilasi yang berhasil, juga efektif mengontrol denyut ventrikel prematur yang mutlti fokal dan episode takhikardi ventrikel. Dosis 50-100 mg diberikan iv sebagai bolus, pelan-pelan dan bisa diulang bila perlu. Dapat dilanjutkan dengan infus kontinu 1-3 mg.menit, biasanya tidak lebih dari 4 mg.menit, berupa lidocaine 500 ml dextrose 5 % larutan (1 mg/ml)4.2.Berguna: Isoproterenol: Merupakan obat pilihan untuk pengobatan segera (bradikardi hebat karena complete heart block). Ia diberikan dalam infus dengan jumlah 2 sampai 20 mg/menit (1-10 ml larutan dari 1 mg dalam 500 ml dectrose 5 %), dan diatur untuk meninggikan denyut jantung sampai kira-kira 60 kali/menit. Juga berguna untuk sinus bradikardi berat yang tidak berhasil diatasi dengan Atropine4. Propanolol: Suatu beta adrenergic blocker yang efek anti aritmianya terbukti berguna untuk kasus-kasus takhikardi ventrikel yang berulang atau fibrilasi ventrikel berulang dimana ritme jantung tidak dapat diatasi dengan Lidocaine. Dosis umumnya adalah 1 mg iv, dapat diulang sampai total 3 mg, dengan pengawasan yang ketat4. Kortikosteroid: Sekarang lebih disukai kortikosteroid sintetis (5 mg/kgBB methyl prednisolon sodium succinate atau 1 mg/kgBB dexamethasone fosfat) untuk pengobatan syok kardiogenik atau shock lung akibat henti jantung. Bila ada kecurigaan edema otak setelah henti jantung, 60-100 mg methyl prednisolon sodium succinate tiap 6 jam akan menguntungkan. Bila ada komplikasi paru seperti pneumonia post aspirasi, maka digunakan dexamethason fosfat 4-8 mg tiap 6 jam4.b. E (EKG) : Diagnosis elektrokardiografis secepat mungkin setelah dimulai PJL, untuk mengetahui apakah ada fibrilasi ventrikel, asistole atau agonal ventricular complexes.c. F (fibrillation treatment) : tindakan untuk mengatasi fibrilasi ventrikel.

Keputusan untuk mengakhiri resusitasiKeputusan untuk memulai dan mengakhiri usaha resusitasi adalah masalah medis, tergantung pada pertimbangan penafsiran status serebral dan kardiovaskuler penderita. Kriteria terbaik adanya sirkulasi serebral dan adekuat adalah reaksi pupil, tingkat kesadaran, gerakan dan pernafasan spontan dan refleks. Keadaan tidak sadar yang dalam tanpa pernafasan spontan dan pupil tetap dilatasi 15-30 menit, biasanya menandakan kematian serebral dan usaha-usaha resusitasi selanjutnya biasanya sia-sia. Kematian jantung sangat memungkinkan terjadi bila tidak ada aktivitas elektrokardiografi ventrikuler secara berturut-turut selama 10 menit atau lebih sesudah RJP yang tepat termasuk terapi obat4

FASE III : Tunjangan hidup terus-menerus (Prolonged Life Support)a. G (Gauge) : Pengukuran dan pemeriksaan untuk monitoring penderita secara terus menerus, dinilai, dicari penyebabnya dan kemudian mengobatinya.b. H (Head) : tindakan resusitasi untuk menyelamatkan otak dan sistim saraf dari kerusakan lebih lanjut akibat terjadinya henti jantung, sehingga dapat dicegah terjadinya kelainan neurologic yang permanen.c. H (Hipotermi) : Segera dilakukan bila tidak ada perbaikan fungsi susunan saraf pusat yaitu pada suhu antara 30 32C.d. H (Humanization) : Harus diingat bahwa korban yang ditolong adalah manusia yang mempunyai perasaan, karena itu semua tindakan hendaknya berdasarkan perikemanusiaan.e. I (Intensive care) : perawatan intensif di ICU, yaitu : tunjangan ventilasi : trakheostomi, pernafasan dikontrol terus menerus, sonde lambung, pengukuran pH, pCO2 bila diperlukan, dan tunjangan sirkulasi, mengendalikan kejang4

BAB IIIKESIMPULAN

Resusitasi Jantung Paru merupakan suatu bentuk kegawatdaruratan medis yang dapat terjadi di mana saja. Kejadian tersering yang menyebabkan butuh dilakukannya RJP adalah serangan jantung. Hal tersebut membuat American Heart Association (AHA) mengeluarkan guidelines terbarunya (2010) mengenai algoritma melakukan RJP. Walaupun RJP yang dilakukan belum tentu berhasil menyelamatkan nyawa pasien, namun RJP dapat mengurangi angka kematian akibat serangan jantung dibandingkan dengan insidensi kematian karena serangan jantung yang tidak mendapatkan RJP.

BAB IVDAFTAR PUSTAKA

1. Mangku, Gde, Tjokorda Gde Agung. Buku Ajar Ilmu Anestesia dan Reanimasi. Jakarta : Indeks. 2010. p: 339-3482. American Heart Association. 2010. Part 4 Adult Basic Life Support in Circulation Journal.3. American Heart Association. Highlights of the 2010 American Heart Association Guidelines for CPR and ECC. 20104. Latief S.A. 2007. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi Kedua. Penerbit FKUI. Jakarta5. Muhiman M, et al. Anestesiologi. Jakarta: Staf Pengajar Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI. 2004.6. Alkatiri J. Resusitasi Kardio Pulmoner dalam Sudoyo W. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi IV. FKUI. Jakarta. 2007. Hal. 173-77. Agarwal P.S.& Jadon A., 2008. Cardiopulmonary Resuscitation. TATA Motors Hospital. Jamshedpur. India8. John M. Field, Part 1: Executive Summary: 2010 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care. Circulation 2010;122;S640-S656.9. Comittee on Trauma Advanced Trauma Life Supportfor doctors 7th edition. Chicago. American College of Surgeon Committee on Trauma

12