Upload
corry-r-marhaenita
View
27
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Jika emosional itu dapat di kelola dengan baik sejak dini pada diri anak, maka jika anak sudah mulai tumbuh dewasa diharapkan akan dapat mengontrol emosi dirinya. Dengan melatih sebuah emosional yang ada pada diri anak, anak tersebut sudah akan siap jika suatu hari nanti menghadapi masalah yang sangat kompleks di dalam hidupnya. Semua orang pasti akan menghadapi sebuah masalah yang sangat kompleks dalam hidupnya dan masalah tidak pernah memandang usia. Namun begitu tuhan tidak akan pernah memberikan sebuah masalah yang melampaui batas kemampuannya. Manusia tersebut hanya tinggal menunggu waktunya sampai masalah yang kompleks tersebut datang kepadanya.
Citation preview
Pengaruh Pola Asuh Penelantar Terhadap Perkembangan Emosi
Anak Usia Dini
(Studi Kasus di Asrama Dinas Kebersihan RT 5 RW 9)
Imelda Ayu Laksmi Marhaenita
2009810003
PENDIDIKAN ANAK USIA DINI
FAKULTAS PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2013
DAFTAR ISI
Hlm
DAFTAR ISI ..................................................................................................... i
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1
A. Latar Belakang
Masalah......................................................................
B. Fokus
Masalah....................................................................................
C. Rumusan
Masalah..............................................................................
D. Tujuan
Penelitian.................................................................................
E. Kegunaan
Penelitian ..........................................................................
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kajian Teori
B. Kerangka Berpikir
C. Hipotesis
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
B. Metode Penelitian
C. Instrumen Penelitian
D. Sumber Data
E. Teknik Pengumpulan Data
F. Analisis Data dan Triangulasi
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
A. Latar Belakang
Di dalam sebuah emosi, terdapat banyak tersimpan pengaruh yang
besar bagi fisik apalagi jiwa manusia. Karena jika emosional seseorang itu
negatif, maka akan berdampak negatif pula pada fisik atau kondisi tubuh. Begitu
pula sebaliknya, jika emosi yang di terima dan di keluarkan positif maka akan
berdampak baik pada kondisi fisik orang tersebut.
Jika emosional itu dapat di kelola dengan baik sejak dini pada diri
anak, maka jika anak sudah mulai tumbuh dewasa diharapkan akan dapat
mengontrol emosi dirinya. Dengan melatih sebuah emosional yang ada pada diri
anak, anak tersebut sudah akan siap jika suatu hari nanti menghadapi masalah
yang sangat kompleks di dalam hidupnya. Semua orang pasti akan menghadapi
sebuah masalah yang sangat kompleks dalam hidupnya dan masalah tidak
pernah memandang usia. Namun begitu tuhan tidak akan pernah memberikan
sebuah masalah yang melampaui batas kemampuannya. Manusia tersebut
hanya tinggal menunggu waktunya sampai masalah yang kompleks tersebut
datang kepadanya.
Jika sejak awal para orangtua sudah salah mendidik anak, maka ke
depannya anak tersebut akan tumbuh menjadi pribadi yang buruk dan
penyesalan sebagai orangtua sudah datang terlambat ketika anak sudah
tersesat di dalam hidupnya.
Sebagai orangtua yang bijak, jika anak telah melakukan kesalahan
jangan menyalahkan sepenuhnya kepada anak. Setiap anak pasti mempunyai
alasannya sendiri sehingga melakukan kesalahan tersebut. Bicarakanlah dengan
baik kepada anak tentang kesalahan yang dia lakukan dengan cara pendekatan
dari hati ke hati antara orangtua dan anak. Dengan cara inilah yang biasanya
berhasil untuk semakin dekat dan mengetahui karakter anak.
Seperti yang kita ketahui sedikit tentang pola asuh. Pola asuh
merupakan sebuah bentuk perlakuan atau sikap orangtua terhadap anak. Pola
asuh juga bisa sebagai bentuk interaksi orangtua dengan anak dan pola asuh
anak-lah yang kemudian hari akan menentukan bagaimana anak berkembang
dalam sebuah keluarga.
Banyak orang yang mengatakan seperti kata pepatah “Buah jatuh
tidak jauh dari pohonnya”. Maksudnya di sini adalah anak itu memang biasanya
mengikuti dan mencontoh dari perilaku dan sikap orangtuanya sehari-hari.
Masih banyak para orantua yang tidak tahu tentang pola asuh yang
baik dan benar (awam), mereka merasa kalau didikan mereka terhadap anak itu
sudah tepat. Seperti yang kita ketahui, didikan para orangtua kita dahulu
kebanyakan menggunakan kekerasan karena asumsi jika dengan menggunakan
cara tersebut maka anak akan patuh dan menurut apa yang di perintahkan dan
di inginkan orangtua.
Di zaman sekarang ini juga banyak orangtua yang mementingkan
karir dan kehidupan pribadinya hingga kemudian mengabaikan anaknya yang
seharusnya menjadi tanggung jawab mereka. Orangtua seperti ini juga biasanya
hampir tidak pernah memberikan cinta dan kasih sayang yang cukup untuk di
berikan kepada anak mereka.
Hal seperti ini juga kerap terjadi di lingkungan keluarga kecil
(sederhana). Karena sikap dan perilaku anak juga di pengaruhi oleh aspek sosial
dan ekonomi. Jika keluarga yang hidup dalam kekurangan tidak bisa memenuhi
kebutuhan anak-anak mereka, akibatnya mereka lebih berpotensi mengalami
demoralisasi.
Biasanya anak yang seringkali di abaikan oleh orangtuanya adalah
anak yang cenderung biasa-biasa saja kesehariannya. Padahal anak-anak
seperti ini yang lebih perlu di khawatirkan, karena para psikolog menduga bahwa
anak-anak seperti itu dapat menimbulkan banyak masalah sehingga harus
mendapatkan perhatian lebih dari orangtuanya. Beberapa perilaku khusus
bahkan di kategorikan sebagai perilaku patologis.
Banyak sekali dari sebagian orangtua yang tidak memahami anaknya
sendiri. Keluarga atau orangtua yang seringkali memberikan hukuman fisik atas
setiap pelanggaran atau kesalahan yang telah di lakukan anak. Akan tetapi,
tanpa di sadari anak seperti ini mempunyai keinginan untuk memberontak yang
terpendam karena sikap orangtuanya yang keras.
Seorang anak yang di dalam kehidupannya terlalu tertekan seperti itu
lebih cenderung tumbuh menjadi pribadi dengan karakter yang tidak jelas.
Kedisiplinan yang terlalu di paksakan malah akan menjadikan pribadi yang tidak
jujur. Rasa takut membuka jalan bagi anak untuk berperilaku menyimpang.
Jadi sebenarnya factor yang mempengaruhi kenakalan seorang anak
atau remaja sangat simpel jawabannya, yaitu :
- Usia
- Besar kecilnya keluarga
- Lingkungan
- Hubungan antara orangtua dan anak
- Keturunan, dll.
Tidak sedikit orangtua hingga sekarang masih memaksakan
keinginan mereka kepada anak. Anak di anggap seperti barang yang dapat di
manfaatkan sesuai kehendak orangtua untuk memenuhi ambisi mereka. Tidak
sangat menyenangkan memaksa seseorang menjadi apa yang tidak di sukainya.
Karena itu orangtua harus lebih introspeksi diri apakah harapan dan keinginan
mereka selama ini sesuai dengan harapan dan keinginan sang anak.
Daripada melakukan tindak kekerasan atau mencaci maki anak, lebih
baik orangtua duduk dengan tenang dan menganalisa penyebab kesalahan pada
anak mereka. Hal ini sangat di anjurkan agar tidak terulang kembal. Dalam
batas-batas tertentu anak tidak boleh terlalu di tuntut karena jika anak tidak
dapat memenuhi tuntutan orangtua, mereka akan merasa inferior.
Orangtua janganlah selalu merasa dirinya benar dan seolah-olah
merasa tahu segalanya sehingga menganggap remeh pertanyaan anak hanya
karena mereka adalah seorang anak, sedangkan mereka para orangtua merasa
dirinya sudah sangat berpengalaman.
Hormatilah pribadi seorang anak, walau bagaimanapun anak
hanyalah seorang anak yang belum banyak mengetahui atau mengerti tentang
kehidupan. Bagaimanapun mereka juga adalah insan dari Yang Maha Esa sama
seperti manusia lainnya.
B. Fokus Masalah :
Emosi di dalam diri seseorang terkadang sering tidak stabil karena
pola asuh dari orangtuanya. Umumnya pengaruh tersebut karena mayoritas dari
para orangtuanya :
1. Orangtua (ayah dan ibu) yang bekerja atau sibuk
2. Kurang pemahamannya pengetahuan orangtua terhadap tentang cara
mendidik anak
C. Rumusan Masalah :
Apakah selama ini pemahaman pengetahuan para orangtua dalam
mendidik anak sudah di lakukan dengan cara yang baik?
D. Tujuan penelitian :
Jika para orangtua dapat melatih emosi dirinya dan anak-anaknya,
dengan begitu maka akan tercipta kesejahteraan hidup seperti cinta dan kasih
sayang yang di berikan kepada anak dengan di landasi oleh agama yang kuat
untuk di ajarkan kepada anak supaya tidak mudah terpengaruh oleh hal-hal yang
negatif. Orangtua manapun sangat mengharapkan menjadi orangtua yang
berhasil mendidik anak-anaknya.
Anak sangat membutuhkan perhatian dari kedua orangtuanya, karena
pembentukkan karakter anak itu tergantung dari pola asuh orangtua. Sekarang
anak bukanlah lagi alat untuk orangtua. Mereka berhak mendapatkan kebebasan
untuk berkreasi dan berekpresi.
Jika orangtua sudah memenuhi kesejahteraan anak, berarti orangtua
sudah memahami anak mereka sendiri. Dengan memberikan kasih sayang yang
cukup, maka anak akan tumbuh menjadi pribadi yang baik. Kepedulian orangtua
sangatlah penting untuk membentuk pribadi seorang anak. Karena dengan
begitu juga orangtua dapat mengontrol sikap anak. Dan jika kita bisa menjadi
sahabat baginya, kita sebagai orangtua akan mampu membantu sang anak
dalam mengembangkan potensi yang di milikinya. Dan juga sebagai orangtua
telah mengarahkan ke jalan yang benar dengan berusaha semaksimal mungkin
untuk memberikan yang terbaik. Agar para orangtua mengerti maksud keinginan
anak yang sesungguhnya demi untuk menentukan arah hidupnya. Semua
manusia berhak mendapatkan kebebasan dalam menentukan yang terbaik
kemana arah hidupnya.
Penjelasan di atas bertujuan agar para orangtua atau siapapun tidak
lagi meremehkan sebuah emosional yang ada pada diri setiap anak. Karena
emosional seseorang itu sangat berpengaruh dan berdampingan dengan
sosialisasi.
E. Kegunaan Penelitian :
Jika setiap anak atau setiap orang dapat melatih dan mengontrol
emosinya, maka di manapun dia berada akan dapat mengkondisikan atau
menyesuaikan dirinya di lingkungan masyarakat. Orang-orang yang semacam itu
dapat di katakan sebagai orang-orang yang cerdas. Orang cerdas yang
sesungguhnya itu bukan sekedar pintar dalam sebuah teor, tetapi juga pintar
dalam bersikap. Itulah orang cerdas yang sesungguhnya
Anak menjadi merasa percaya diri dan dapat menjadi dirinya sendiri
atau dapat mengenal jati dirinya jika faktor dari dalam atau orangtua (keluarga)
dapat selalu membawanya ke hal positif atau pengaruh baik kepada anak.
Dengan begitu para orangtua dapat mengerti maksud keinginan anak yang
sesungguhnya
BAB II
A. Kajian Teori
Pola asuh anak adalah pola-pola yang di berikan oleh orangtua dalam
berinteraksi dengan anggota keluarga (termasuk anak). Sedangkan pengertian
pola asuh terhadap anak merupakan bentuk interaksi antara orangtua ke anak
selama melakaukan pengasuhan yang berarti orangtua itu mendidik,
membimbing dan melindungi anak (Gunarsa, 2002).
Tipe-tipe Pola Asuh :
Demokratis
Pola asuh orangtua yang lebih menghargai pendapat dan hak-hak
anak termasuk orang lain, bersikap mendorong, penuh penghargaan, perhatian
dan selalu membimbing tanpa terkesan memaksakan kehendak.
Otoriter
Di mana orangtua cenderung berwatak keras, suka memaksa
pendapat, senang mendominasi semua tingkah dan perilaku anak, suka
menguasai pembicaraan dan tidak senang di bantah.
Permisif
Di mana orangtua bersikap masa bodoh, terlalu cuek, serba tidak
peduli atas apa yang telah terjadi, kurang berempati, kurang memahami
perasaan orang lain, lemah dan mudah mengalah kepada anak.
Kriteria Pola Asuh
Pola asuh orangtua terhadap perilaku anak memiliki beberapa kriteria
yaitu (Syamsul, 2005) :
1. Pola asuh authoritarian : pola asuh orangtua di mana sikap orangtua yang
rendah, namun kontrolnya tinggi, suka menghukum secara fisik dan bersikap
komando.
2. Pola asuh permissive : pola asuh orangtua di mana sikap orangtua meningkat
namun kontrolnya rendah, memberikan kebebasan terhadap anak untuk
untuk mengatakan dorongan keinginannya.
3. Pola asuh authoritative : pola asuh orangtua di mana sikap yang meningkat
dan kontrolnya yang meningkat, bersikap responsif terhadap kebutuhan anak,
mendorong anak untuk menyatakan pendapat atau pernyataan, memberikan
penjelasan tentang dampak perbuatan yang baik atau buruk.
4. Pola asuh dominan : pola asuh orangtua yang mendominasi dalam segala hal
yang menyangkut remaja dalam tindakan sehari-hari.
5. Pola asuh submission : orangtua cenderung senantiasa memberikan sesuatu
yang di minta anak berperilaku semaunya di rumah.
6. Pola asuh overdicipline : orangtua senantiasa mudah memberikan hukuman,
menanamkan kedisiplinan secara keras.
Pola asuh yang salah penentu risiko bullying pada anak
Banyak orangtua berpikir anak akan merasa aman dan terlindung dari
berbagai marabahaya jika mereka bersikap cerewet dan overprotectif terhadap
anak. Padahal menurut sebuah studi baru, anak yang orangtuanya overprotektif
justru malah sering mengalami bullying atau di cela.
Yang lebih mengenaskan lagi, kondisi serupa juga akan terjadi pada
anak yang orangtuanya acuh tak acuh ataupun orangtuanya suka melakukan
tindak kekerasan. Hal ini di dasarkan pada analisis terhadap 70 studi yang
melibatkan sekitar 200.000 anak.
Namun peneliti menekankan jika efek pola asuh (parenting) yang
buruk ini jauh lebih kuat di rasakan anak yang menjadi korban sekaligus pelaku
bullying ketimbang anak yang menjadi korban bullying tapi tidak melakukan hal
serupa pada anak lain.
Pola asuh yang negatif atau penuh kekerasan juga dapat di kaitkan
dengan peningkatan resiko anak menjadi korban sekaligus pelaku bullying
(sedang) dan peningkatan resio anak menjadi korban bullying (kecil).
“Yang di butuhkan anak itu sebenarnya hanyalah dukungan tapi sejumlah
orangtua justru mencoba menghindarkan anak-anaknya dari segala jenis
pengalaman negatif. Padahal itu sama halnya dengan mencegah anak-anak
mereka belajar menghadapi bullying dan membuat mereka jauh lebih rentan.”
ungkap peneliti, Dieter Wolke University of Warwick, Inggris
Menurut Wolke, hal ini karena anak yang orangtuanya overprotektif
bisa jadi tidak mempunyai kualitas seperti otonomi dan ketegasan sehingga
mereka lebih mudah menjadi target bullying. Sebaliknya, studi yang di
publikasikan dalam Chil Abuse & Neglect ini juga menemukan bahwa anak yang
orangtuanya memberikan aturan tentang perilaku yang jelas secara aktif
memberikan dukungan dan bersikap hangat terbukti lebih sedikit mengalami
bullying.
Wolke juga mengingatkan banyak orang berasumsi bahwa bullying
hanyalah semata persoalan yang muncul dari kurang ketatnya peraturan di
sekolah, padahal jelas-jelas dari studi ini di ketahui jika orangtua memainkan
peranan yang sangat penting dalam memunculkan persoalan itu sendiri.
Pasal 2 ayat 1 sampai 4 :
a. Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan
berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarganya maupun di dalam asuhan
khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar.
b. Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan
kehidupan sosialnya, sesuai dengan kebudayaan dan kepribadian bangsa,
untuk menjadi warga n\mengembangkan kemampuan dan kehidupan
sosialnya, sesuai dengan kebudayaan dan kepribadian bangsa, untuk
menjadi warga negara yang baik dan berguna.
c. Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam
kandungan maupun sesudah di lahirkan.
d. Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat
membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkemabangannya
dengan wajar.
Undang-undang 1945 pasal 28 B ayat 2
“setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan
berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”
Undang-undang nomor 4 tahun 1979 tentang kesejahteraan anak
“Kehidupan keluarga merupakan sekolah kita yang pertama untuk
mempelajari emosi” tulis Daniel Goleman, ahli psikologi dan penulis Emotional
Intelligence, sebuah buku yang melukiskan dengan begitu rinci penelitian ilmiah 1
Psikolog terkenal Gardner, berdasarkan penelitian yang
komprehensif, berpendapat bahwa anak-anak yang tidak dapat mendapat
banyak cinta dari orangtuanya tidak responsif dalam perilaku mereka.
1 John Gottman, Ph.D and Joan DeClaire, Mengembangkan Kecerdasan Emosional Anak (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2008), hlm 2
Psikolog anak Gopalji Mishra, mengemukakan bahwa beberapa
orangtua menerapkan disiplin yang tinggi pada anak-anak mereka dan
memberikan hukuman untuk setiap kesalahan anak.
Menurut Soetjiningsih (1995), kebutuhan dasar anak untuk tumbuh
kembang, secara umum di golongkan menjadi tiga ke selarabutuhan dasar
antara lain :
- Kebutuhan fisik-biomedis (ASUH)
1. Pangan atau gizi merupakan kebutuhan terpenting
2. Perawatan kesehatan dasar antara lain imunisasi, pembaerian ASI,
penimbangan bayi atau anak yang teratur, pengobatan jika anak sakit, dll.
3. Papan atau pemukiman yang layak
4. Higiene perorangan, sanitasi lingkungan
5. Sandang
6. Kesegaran jasmani, rekreasi
- Kebutuhan emosi atau kasih sayang (ASIH)
Pada tahun-tahun pertama kehidupan, hubungan yang erat, mesra
dan selaras antara ibu dengan anak merupakan syarat mutlak untuk menjamin
tumbuh kembang yang selaras baik fisik, mental maupun psikososial. Kasih
sayang orangtua baik dari ayah maupun ibu menciptakan ikatan yang erat dan
kepercayaan dasar (basic trust).
- Kebutuhan akan stimulasi (ASAH)
Stimulasi mental merupakan cikal-bakal dalam proses belajar
(pendidikan dan pelatihan) pada anak. Stimulasi mental (ASAH) ini
mengembangkan perkembangan mental psikososial : kecerdasan, keterampilan,
kemandirian, kreativitas, agama, kepribadian, moral, prokdivitas, dsb. Dapat
membahagiakan dan membanggakan orangtua yang telah susah payah
membesarkannya dengan cinta dan kasih sayang.
Psikologi terkenal Gardner berdasarkan penelitiannya yg
komprehensif, berpendapat bahwa anak-anak yang tidak mendapat banyak cinta
dari orangtuanya menjadi tidak responsif dalam perilaku mereka. Mereka bahkan
lama kelamaan tidak mau menanggapi senyuman yang di tujukan untuk mereka
Psikolog anak Gopalji, mengemukakan bahwa beberapa orangtua
menerapkan disiplin yang tinggi pada anak-anak mereka dan memberikan
hukuman untuk setiap kesalahan anak. Sementara itu, Henry menyimpulkan
bahwa orangtua dengan pendidikan dengan pendidikan tinggi juga memilih
menerapkan cara hit and trial dalam mendidik anak-anak mereka2
Mengabaikan anak
Seorang pakar ternama, Harlak mengatakan bahwa orangtua tidak
boleh begitu saja “melepas” anak-anak mereka. Ini akan berdampak pada
berkurangnya ikatan emosional mereka. Hilangnya ikatan emosional ini akan
semakin terasa ketika anak kedua lahir dan menarik sebagian besar perhatian
2 Arya, P.K, Rahasia Mengasah Talenta Anak (Jogjakarta : Think, Cetakan 1, April 2008), hlm 65
orangtua. Anak yang lebih tua secara alami, akan merasa tertekan dengan hal ini
dan semakin menjauh dari orangtua
Reeze dalam salah satu penelitiannya, menemukan bahwa jika
seorang ibu terlalu mencampuri urusan anaknya, hubungan mereka akan
menjadi tegang. Bukan hanya itu, si anak dapat menjadi mengembangkan rasa
ketidaksukaannya itu kepada wanita secara umum. Banyak orang bermasalah
dengan mentalnya, yang ‘kejam’ terhadap wanita, mempunyai masa kanak-
kanak yang terkotori oleh dominasi ibu nya.
Penyair Balkavi Bairagi berkata : “Anak anda dan anak saya lebih
bijaksana di banding dengan anda dan saya. Apa yang benar-benar
mengganggu anda dan saya adalah bahwa kita yang memetik buah-buahan itu,
padahal benihnya di tanam oleh orang lain, bukan saya dan anda. Anak-anak
bukanlah yang harus di persalahkan dalam hal ini. Kita sendiri yang memilih
tidak mencintai dan bermain dengan anak-anak kita. Ini yang memicu masalah-
masalah yang muncul berikutnya
Kahlil Gibran terkenal dengan syairnya : “Anak-anakmu bukanlah
milikmu. Mereka adalah anak panah kehidupan…..”
Jawaharlal Nehru pernah berkata : “Harta karun terbesar anak-anak
adalah cinta.”
Menurut psikolog anak Dr. Gopalji Mishra, penelitian menunjukkan
bahwa anak laki-laki mempunyai kecakapan di atas anak perempuan. Akan
tetapi, survey yang di lakukan di komunitas orang kulit hitam menunjukkan hasil
sebaliknya. Di sana di ketahui lebih berbakat di bandingkan anak laki-laki.
Terman telah menemukan penelitian yang cukup berharga.
Menurutnya, anak dari keluarga berpendidikan tinggi umumnya lebih berbakat
daripada mereka yang berasal dari keluarga borjuis.
Wilily juga menemukan dalam pengamatannya, bahwa prestasi anak
di sekolah selalu lebih unggul. Yang menyukai mata pelajaran yang sulit dan
mengerjakan tugas-tugas mereka dengan sangat teliti.
Kata Karl Michel, anak yang unggul dalam kecerdasan biasanya juga
unggul dalam fisik dan kesehatan dan mendapatkan perawatan fisik yang sangat
bagus.
Hallingworth berpendapat bahwa anak berbakat unggul dalam
kegiatan akademis seperti halnya dalam kegiatan-kegiatan kokurikuler, seperti
music, drama, melukis, menari, orasi, dsb. Mereka selalu terpacu untuk
menunjukkan kualitas dalam berbagai macam bidang.
Menurut Willy, anak dengan kemampuan rata-rata dan mereka yang
di atas rata-rata bermain dengan cara yang sama, tipis sekali bedanya. Tetapi
dalam penelitian yang lebih jauh, tampak bahwa anak dengan kemampuan di
atas rata-rata bermain dengan lebih hangat, respon yang lebih bagus dan lebih
terampil. Penampilan meeka lebih bagus di banding anak “rata-rata”. Dalam
permainan yang lebih mengutamakan pikiran, mereka juga lebih unggul.
Menurut Gopalji Mishra, anak yang di didik dengan lebih baik
mempunyai cara pandang yang bagus. Kemampuan analatik membantu mereka
mendapatkan kesimpulan yang tepat dan logis.mereka tidak mudah percaya
dengan mitos-mitos. Mereka juga lebih dekat dengan orangtua dan keluarga.
Menurut Dr. Gopalji juga, hal yang sebaliknya terjadi ketika anak tidak
di beri kebebasan untuk mengekspresikan diri mereka. Jika di kekang mereka
akan memberontak dan membuat masalah untuk orangtua dan guru. Menyebut
mereka kutu buku atau sejenisnya dapat menjauhkan mereka dari teman-teman
dan lingkungan mereka.
Swami Vivekanda mengatakan, “Percaya kepada diri sendiri dan
percaya kepada tuhan”. Ini adalah rahasia kesuksesan dalam hidup. Jika anda
percaya kepada tuhan, tapi tidak percaya kepada diri sendiri, kepercayaan anda
tidak akan bermanfaat. Jadi percayalah pada kemampuan anda, tetaplah kukuh
dengan pendirian anda.
Menurut Byren Engled, psikolog terkenal dari Minnesota University,
“Anak-anak yang tumbuh dengan emosi yang terluka, perkembangan mereka
akan lebih lambat di bandingkan yang lain”. Alasannya adalah karena kekerasan
yang terus-menerus akan mengurangi penghargaan diri anak, sehingga anak
mulai meyakini bahwa mereka tidak mempunyai harapan serta tidak mempunyai
harapan serta tidak mempunyai kelebihan apa-apa
B. Kerangka Berpikir
Anak adalah titipan tuhan. Seringkali orangtua menganggap anak itu
adalah milik mereka seperti barang. Memperlakukan sang anak sesuai kehendak
mereka sendiri. Mengendalikan dan menganiaya sang anak demi pelampiasan
emosi mereka sendiri. Dan masih banyak lagi tingkah laku negatif orangtua
terhadap anak.
Kita mengetahui setiap anak memiliki sikap egosentrisme tinggi.
Ketika mereka lahir, pola piker mereka segalanya berpusat kepada diri mereka
sendiri. Segalanya adalah milik mereka, oleh mereka dan untuk mereka. Mereka
hanya berpikir memuaskan dirinya sendiri, membenarkan dirinya sendiri dan
selalu ingin menjadi yang nomor satu. Sifat ini akan berkurang sedikit demi
sedikit seiring dengan usia perkembangan mereka. Tentu saja memerlukan
proses yang tidak sebentar dan tidak juga mudah. Termasuk proses agar dapat
menyedekahkan sebagian barangnya bagi teman lain.
Seiring bertambahnya usia, maka akan mulai tumbuh rasa
kepemilikan dalam diri anak. Orangtua tak perlu heran jika tiba-tiba mereka
menjadi pelit. Inilah masanya seorang anak menjadi dominan terhadap sesuatu
yang mereka miliki atau biasa di sebut serakah.
Tindakan aktif kekerasan emosional dapat berupa perkataan yang dilontarkan
langsung dari orang dewasa kepada anak, seperti :
1. Mengeluarkan kata-kata yang menolak kelahiran atau kehadiran anak dan
menganggap kurang berarti serta suka mengkambinghitamkan si anak
2. Menuntut kesempurnaan anak di luar batas kemampuan yang di milikinya,
padahal si anak jelas-jelas tidak sanggup untuk melakukan hal itu
3. Membentak, memarahi anak secara berlebihan, menakut-nakuti dan
bahkan mengancam kehidupan anak
4. Meremehkan, menghina, mengkritik, mencela prestasi, memberi cap
tertentu (melabel) sehingga anak merasa tidak berharga dan berdaya di
depan orangtuanya. Anak akan berpikir bahwa ia bukanlah orang yang
berguna
5. Merespon anak-anak dengan berteriak, marah, tidak ramah atau malah
mengeluarkan kata-kata kasar dengan suara yang keras pula
6. Mengucilkan anak dengan menyuruhnya tidak boleh bergaul atau
melarangnya mengkuti kegiatan ekstrakurikuler sekolah
Pelatihan Emosi
Seperti kebanyakan orangtua, mereka ingin memperlakukan anak
mereka dengan adil, dengan sabar dan dengan rasa hormat. Mereka tahu bahwa
dunia akan menghadapkan anak-anak mereka dengan banyak tantangan dan di
samping mereka ingin mendampingi anak-anak mereka, member ilham dan
dukungan. Mereka ingin mengajarkan anak mereka bagaimana menangani
masalah secara efektif juga ingin menjalin hubungan yang kuat dan sehat. Tetapi
ada perbedaan besar antara ingin melakukan hal yang tepat bagi anak dengan
benar-benar memiliki sarana untuk mewujudkannya.
Di antara para orangtua yang gagal mengajarkan kecerdasan
emosional kepada anak-anak mereka itu menjadi tiga tipe :
1. Orangtua yang mengabaikan, yang tidak menghiraukan, menganggap sepi
atau meremehkan emosi-emosi negative anak mereka
2. Orangtua yang tidak menyetujui yang bersifat kritis terhadap ungkapan
perasaan-perasaan negative anak mereka dan memarahi atau menghukum
mereka karena mengungkapkan emosinya
3. Orangtua Laissez-Faire yang menerima emosi anak mereka dan berempati
dengan mereka, tetapi tidak memberikan bimbingan atau menentukan batas-
batas pada tingkah laku anak mereka
Proses Pelatihan Emosi terjadi dalam lima langkah :
a. Menyadari emosi anak
b. Mengakui emosi itu sebagai peluang untuk kedekatan dan mengajar
c. Mendengarkan dengan penuh empati dan meneguhkan perasaan anak
tersebut
d. Menolong anaknya menemukan kata-kata untuk memberi nama emosi yang
sedang di alaminya, dan
e. Menentukan batas-batas sambil membantu anak memecahkan masalah yang
di hadapi
Masa Bayi
Pada masa ini, perkembangan sosial seorang anak di tandai dengan :
1. Imitasi
2. ketegantungan
3. iri
4. malu
5. keras kepala
6. persahabatan
7. cari perhatian
8. pertengkaran.
Para ahli psikologi perkembangan berbicara tentang “cerianya” mata
bayi pada usia ini, yang berarti bahwa bayi-bayi tampaknya untuk pertama
kalinya betul-betul memandang orangtua mereka dan mempertahankan
pandangan mereka. Pada usia tiga bulan, bayi sudah banyak sekali belajar
melalui pengamatan dan peniruan bagaimana membaca dan mengungkapkan
emosi. Ini berarti bahwa orangtua, melalui tanggapan dan perhatian mereka,
dapat memulai suatu proses aktif pelatihan emosi terhadap bayi-bayi mereka
sudah pada usia yang amat dini.
Para peneliti memperlihatkan bahwa biasanya orangtua berusaha
mendapatkan dan mempertahankan perhatian bayi mereka selama pertukaran
awal informasi emosional ini. Misalnya seringkali orangtua menggunakan pola
bicara yang di lukiskan sebagai “bahasa ibu” (meskipun ayah dapat juga lancer
berbicara dalam bahasa ini). Bahasa itu mencakup penggunaan suara nada
tinggi dan berbicara perlahan-lahan secara berulang-ulang, sambil melebih-
lebihkan ungkapan wajah. Meskipun “omongan bayi” semacam itu kelihatan lucu
dan berlebihan, orangtua juga menggunakannya dengan alasan yang baik
omongan tersebut berhasil. Lazimnya bayi menjadi ceria dan memberi perhatian
yang lebih besar mereka mendengar dan melihat orangtua mereka berbicara
seperti itu.
Percobaan-percobaan yang di lakukan para ibu dengan bayi-bayi
mereka yang berusia tiga bulan telah memperjelas banyaknya akal serta
kemahiran bayi dalam berkomunikasi secara emosional. Peneliti-peneliti
mengamati bahwa bayi mencoba rata-rata empat strategi yang berbeda dengan
ibu mereka sebelum pada akhirnya mereka menyerah.
Dalam sebuah percobaan untuk mengkaji efek-efek depresi orangtua
terhadap bayi berumur tiga bulan, Tronik meminta para ibu untuk berpura-pura
sedikit sedih atau murung di depan bayi mereka yang berumur tiga bulan itu.
Bahkan perubahan kecil seperti ini dalam suasana hati si ibu memiliki efek yang
besar sekali terhadap bayi-bayi itu. Mereka menjadi lebih negatif secara
emosional, lebih menarik diri dan dalam usia tiga bulan, bayi mempunyai
harapan bahwa orangtua mereka secara emosional akan terlibat dan tanggap.
Penelitian semacam itu mengutarakan dengan jelas bahwa bayi bukanlah tokoh
pasif hubungan orangtua anak. Sebaliknya mereka mengambil peran yang
sangat aktif dalam permainan sosial itu. Mereka berusaha untuk di rangsang,
melucu dan berhubungan secara emosional dengan orangtua mereka.
Periode antara usia tiga bulan dan enam bulan tampaknya
merupakan periode yang sangat penting dalam rangka cara depresi seorang ibu
dapat mempengaruhi perkembangan system saraf bayinya, menurut studi-studi
Field. Ketika Field dan rekan-rekannya membandingkan dua kelompok bayi
berumur tiga bulan (yang satu dengan ibu-ibu yang murung dan yang lainnya
tidak), para peneliti itu menemukan perbedaan. Tetapi ketika mereka meninjau
bayi-bayi usia enam bulan, mereka menemukan bahwa bayi-bayi dengan ibu
yang murung kurang ekspresif secara vokal dan memiliki perolehan lebih rendah
dalam tes-tes fungsi system saraf.
Pada waktu yang sama, bayi-bayi belajar membaca dan menirukan
syarat-syarat emosional orangtua mereka, mengerjakan tonggak perkembangan
penting lainnya serta kemampuan untuk mengatur perangsangan fisiologis yang
timbul dan interaksi social serta emosional mereka.
Orang yang tidak berpengalaman dengan bayi tidak menyadari
bahwa mereka terus menerus membutuhkan saat-saat “istirahat”. Mereka terus-
menerus merangsang bayinya dengan mainan-mainan, omongan bayi dan
dengan sentuhan-sentuhan. Tentu saja kemampuan bayi terbatas, ia tidak dapat
meminta teman mainnya yang maksa itu supaya berhenti. Ia tidak dapat pergi
keruangan yang lain. Ia bahkan tidak memiliki koordinasi fisik serta kekuatan
untuk membenamkan kepalanya dalam sebuah selimut. Oleh karena itu, ia harus
mengandalkan pertahanan yang paling teguh dan paling manjur yang di
milikinya, yaitu dengan menangis.
Contoh-contoh “koordinasi keliru” semacam itu antara bayi dengan
orangtua merupakan hal yang cukup lazim. Sejumlah peneliti memperkirakan
bahwa 70% orangtua gagal membaca isyarat bayi mereka sepanjang waktu.
Namun jangan cemas, masa bayi adalah suatu masa coba dan ralat yang luar
biasa pada pihak orangtua maupun bayi-bayi mereka. Sepanjang orangtua peka
terhadap bayi-bayi mereka, komunikasi emosional lambat laun akan menjadi
lebih baik dan kesalahan-kesalahan isyarat itu akan berkurang.
Bersemangat dan gunakan perasaan bila bermain dengan bayi kita,
dengan mengulangi ungkapan-ungkapan yang aneh dan tindakan-tindakan yang
lembut dan berirama. Dengan demikian, maka sang bayi menjadi sadar akan
kegiatan rutin bermain dan belajar untuk mengantisipasi apa yang akan kita
lakukan. Seolah-olah bayi itu berkata pada dirinya sendiri “wah, sekarang pasti
bermain pegang jari dan putar kaki ke arah yang berlawanan” atau “nah,
sekarang permainan ini ‘ayah akan menggelitik kamu’”. Apabila ia menikmati
permainan itu, ia belajar menyampaikan rasa senangnya dengan tersenyum,
tertawa terkekeh-kekeh, menendang-nendang kegirangan dan berteriak-teriak.
Tanggapan semacam itu mendorong orangtua untuk lebih suka bermain, sambil
menciptakan suatu lingkaran interaksi yang penuh kasih, penuh suka cita dan
bergerak ke atas, yang lebih lanjut memperkuat ikatan emosional antara bayi
dengan orangtuanya.
Umur enam bulan sampai delapan bulan
Ini merupakan penjajakan luar biasa bagi bayi, suatu masa ketika
mereka menemukan dunia benda-benda, manusia-manusia dan tempat-tempat.
Secara serentak mereka juga menemukan cara-cara baru untuk
mengungkapkan dan menyampaikan perasaan-perasaan seperti gembira, rasa
ingin tahu, rasa takut dan kecewa dengan dunia sekitar mereka. Kesadaran yang
berkembang semacam itu akan terus berlanjut sampai membuka peluang-
peluang baru dalam pelatihan emosi.
Di antara lompatan-lompatan perkembangan yang penting yang
lazimnya terjadi pada usia kurang lebih enam bulan adalah kemampuan bayi
untuk memindahkan permainannya sementara tetap mengingat setiap objek atau
orang yang tidak lagi di tatapnya. Di masa sebelumnya, ia hanya mampu
memikirkan benda atau manusia yang di tatapnya pada waktu itu. Tetapi dia
sekarang dapat memandangi sebuah mainan badut, misalnya senang dengan
mainan itu, dan kemudian memandangi orangtuanya, sambil menyampaikan
rasa senangnya atas mainan badut itu. Meskipun prestasi ini kelihatannya
sederhana, prestasi itu merupakan suatu rangkaian dunia baru, kemungkinan-
kemungkinan untuk bermain dan berinteraksi secara emosional. Sekarang ia
dapat mengundang kita untuk bermain dengan banyak benda yang
mengasyikkannya. Ia dapat menyampaikan perasaan-perasaannya tentang
benda-benda itu kepada kita.
Pada umur delapan bulan biasanya bayi mulai merangkak dan
menemukan lingkungan mereka. Namun si penjajah ini juga sekaligus belajar
membedakan orang-orang yang di jumpainya, yang mempesiapkan panggung
untuk tampilnya rasa takut penting yang pertama. Seorang bayi yang tadinya
tersenyum kepada siapa saja di antrian pembayaran pasar swalayan sekarang
menyembunyikan wajahnya di bahu ibunya. Sementara dulu ia condong dengan
senang hati ke tangan pengasuh bayi baru yang menunggunya, ia sekarang
membentuk “ikatan istimewa” dengan orangtuanya, dan mati-matian melekat
kepada orangtuanya bila orangtuanya mencoba untuk menaruhnya di suatu
lingkungan baru dengan orang-orang asing di sekelilingnya.
Pada waktu yang sama, bayi itu jauh lebih terampil dalam memahami
kata-kata yang di ucapkan, yang berguna juga bagi komunikasi emosionalnya.
Meskipun hal itu terjadi beberapa bulan sebelumnya ia sendiri mulai berbicara, ia
dapat mengerti sejumlah besar bahasa dan mampu mematuhi petunjuk-
petunjuk, misalnya “ayo ambil beruang putihmu, berikan pada ibu”.
Semua perkembangan baru ini mobilitas fisik, kemampuan untuk
memindahkan perhatian, keterikatan istimewa si bayi kepada orangtuanya,
pemahamannya akan bahasa yang di ucapkan, serta rasa takutnya kepada
orang yang belum di kenalnya menyatu dalam suatu keterampilan yang oleh
para ahli psikologi di sebut “ rujukan social”. Ini merupakan kecenderungan si
bayi untuk mendekati sebuah benda tertentu atau peristiwa tertentu dan
kemudian berpaling kepada orangtuanya untuk mendapatkan informasi
emosional.
Umur Sembilan bulan sampai dua belas bulan
ini merupakan periode di mana bayi mulai memahami di mana
manusia dapat membagi gagasan-gagasan dan emosi-emosi mereka satu sama
lain. Pada umur Sembilan bulan, bayi mulai memahami bahwa ayahnya tahu
perasaan hatinya. Sebelumnya bila orangtua berempati dengan bayinya, dengan
memantulkan kembali perasaan-perasaan si bayi dengan nada suara, gerak
wajah, bahasa tubuh, bayi itu belajar tentang dunia ungkapan emosional. Tetapi
padi saat itu, bayi belum sadar bahwa orangtua dan anak dapat sungguh-
sungguh mempunyai perasaan-perasaan dan gagasan-gagasan yang sama
tersebut. Sekarang, ia tahu bahwa berbagi rasa semacam itu di mungkinkan,
semuanya itu memperkuat ikatan emosional yang sedang tumbuh antara
orangtua dan anak.
Pemahaman baru ini merupakan suatu lompatan yang sangat penting
dalam rangka pelatihan emosi karena inilah yang membuat mungkin di
lakukannya percakapan-percakapan dua arah tentang perasaan-perasaan.
Pada waktu yang sama, anak mengembangkan suatu pengertian
bahwa objek-objek dan orang-orang dalam hidupnya mempunyai semacam
ketetapan atau keajekan. Sewaktu bayi menjajaki konsep “kemantapan objek”
ini, boleh jadi ia tertarik pada permainan-permainan yang memungkinkannya
mengambil benda-benda kecil masuk dan keluar wadah-wadah,
menyembunyikannya dan kemudian memunculkannya kembali. Atau bisa jadi ia
akan melemparkan sendok keluar dari kursinya yang tinggi dan tidak kelihatan
lagi, kemudian meminta kita untuk mengambilkan baginya berulang kali.
Ahli - ahli psikologi yang mempelajari keterikatan bayi telah
mengamati cara bereaksi anak-anak umur satu tahun bila di asuh oleh orang-
orang dewasa yang belum di kenal, terhadap perginya orangtua mereka dan
terhadap kembalinya orangtua tersebut. Mereka telah menemukan bahwa bayi-
bayi yang merasa aman dapat merasa marah bila orangtuanya kembali, tetapi
mereka membiarkan dirinya di hibur, sambil menempel ke orangtuanya sewaktu
di gendong dan di ajak bicara. Tetapi bayi-bayi yang tidak merasa aman tentang
ketersediaan emosional orangtua mereka menjawab secara berbeda dengan
pertemuan kembali itu. Lazimnya dengan satu diantara dua cara, satu cara ialah
gaya menginginkan atau menjauhi, di mana si anak mengabaikan orangtuanya
bila mereka kembali dan bertindak seolah-olah ia baik-baik saja. Apabila
orangtuanya mencoba untuk menghiburnya, bayi itu mungkin mendorong dirinya
menjauhi tubuhnya bukannya menempel kepada orangtuanya. Gaya yang lain
adalah cemas dan terlampau sibuk, di mana si bayi menempel pada
orangtuanya setelah orangtua itu kembali dan tampaknya sulit di hibur.
Anak-anak umur satu tahun sampai tiga tahun
Masa satu sampai dua tahun ini merupakan saat yang
menyenangkan dan menggairahkan sewaktu anak kita mengembangkan makna
tentang dirinya sendiri dan mulai menjajaki kemandiriannya. Tetapi ada alasan
yang baik bahwa periode ini pun di beri nama dua tahun yang mengerikan. Inilah
saatnya anak-anak menjadi jauh lebih menonjolkan diri dan untuk pertama
kalinya membangkang. Sewaktu anak kita mempraktikkan keterampilan-
keterampilan bahasanya yang sedang berkembang, kata-kata yang paling sering
akan kita dengar antara lain, “tidak!”, “punya aku!” dan “aku yang buat!” atau “aku
saja!”. Pelatihan emosi menjadi sarana yang penting yang dapat di gunakan oleh
orangtua untuk menolong anak-anak usia ini menangani rasa frustasi dan
amarah mereka yang sedang muncul.
Sama dengan semua tahap perkembangan, orangtua akan bertindak
benar bila melihat konflik-konflik dan tantangan-tantangan dari sudut pandang
anak itu. Karena tugas perkembangan pertama anak-anak usia ini adalah untuk
memantapkan dirinya sendiri sebagai makhluk kecil yang mandiri, cobalah untuk
mencegah situasi-situasi yang membuatnya merasa bahwa ia tidak punya daya,
tidak punya kekuasaan. Ada manfaatnya memberi anak banyak pilihan kecil
(namun nyata) sewaktu kita menghabiskan waktu kita bersamanya.
Pada waktu yang sama anak kecil bergulat dengan masalah-masalah
penegasan dirinya, mereka menjadi semakin berminat pada anak-anak lain.
Sungguh sejak usia yang sangat dini, mereka tampaknya sangat sadar akan
perbedaan dan kemiripan di antara orang-orang yang paling mirip dengan diri
mereka sendiri. Ahli psikologi riset T.G.R Bower membuktikan bahwa bayi laki-
laki lebih suka menonton film seorang anak laki-laki kecil yang bergerak dan
bayi-bayi perempuan lebih suka menonton film-film gadis kecil yang bergerak.
Menakjubkannya, ketika Bower menciptakan sebuah film yang hanya
memperlihatkan titik-titik cerah yang di tempatkan pada sendi-sendi anak yang
sedang berjalan (satu titik di lutut, titik lain di suku), ia menemukan bahwa sekali
lagi, bayi laki-laki lebih menyukai film “titik-titik anak laki-laki” sementara bayi
perempuan lebih menyukai film “titik-titik anak perempuan”.
Meskipun anak kecil sering tertarik pada hal lain, namun mereka
belum mempunyai keterampilan sosial yang di butuhkan untuk bermain bersama.
Usaha-usaha untuk melakukan permainan kerja sama dan berbagi rasa sering
kali sulit, mengingat “aturan-aturan kepemilikkan anak kecil”, yaitu :
1. Bila aku melihatnya, barang itu milik aku
2. Bila barang itu milik kamu dan aku menginginkannya, barang itu menjadi
milikku
3. Bila barang itu milikku, barang itu milikku selamanya.
Orangtua harus menyadari bahwa sikap-sikap semacam itu tidak di dasari sikap
kasar, sikap-sikap itu hanya merupakan sebuah ungkapan makna diri yang
sedang berkembang dengan anak tersebut. Anak-anak seusia ini hanya dapat
memikirkan sudut pandang mereka sendiri dan tidak mampu memahami bahwa
orang lain memiliki perasaan yang berbeda. Oleh karena itu konsep berbagi itu
tidak bermakna bagi mereka.
Ada sebuah sisi positif pada konflik anak kecil mengenai permainan-
permainan dan letusan-letusan emosional yang lazimnya menyusul sebagai
akibat. Tahapan-tahapan semacam itu merupakan peluang yang sangat baik
bagi pelatihan emosi. Orangtua dapat menolong anak kecil mereka dengan
menerima dan memberi nama amarah atau kekecewaan anak tersebut. (“kamu
marah bila ada yang mengambil bonekamu” atau “kamu kecewa karena kamu
tidak bisa mendapatkan bola itu sekarang juga”). Orangtua dapat juga mulai
membicarakan penyelesaian masalah dengan anak-anak dengan
memperkenalkan kepada mereka konsep bergantian. Apabila suatu konflik
memburuk menjadi sebuah perkelahian fisik, biarkanlah pelanggaran-
pelanggarannya tahu bahwa “kita tidak main pukul” atau tidak melukai teman-
teman bermain kita dengan cara lain karena marah dan kemudian palingkanlah
perhatian kita kepada para korbannya, dengan menawarkan empati dan
penghiburan.
Ingatlah juga untuk memuji dan mendorong anak kita kapan saja kita
melihat dia membuat bahkan langkah paling kecil menuju bebagi rasa, tetapi
jangan mengharapakannya.
Permainan pararel, di mana setiap anak tetap berada di ruangannya
sendiri dengan bermain secara terpisah, lazimnya lebih berhasil pada usia ini.
Konflik anak-anak mengenai kepemilikan tak pernah akan hilang
sama sekali. Tetapi demi kewajaran, kita meminimalkan peristiwa-peristiwa
semacam itu. Ini dapat di lakukan dengan menjelaskan kepada anak-anak
bahwa mereka hanya boleh membawa mainan ke rumah seorang teman atau ke
tempat penitipan bila mereka berniat untuk membagi permainan tersebut. Dan
bila anak kita menantikan teman bermain di rumahnya, biarlah ia memilih
beberapa milik istimewa yang tidak boleh di pinjamkan kepada tamu-tamu itu.
Lalu dengan suatu teknik permainan tertentu, sembunyikanlah sebelum tamu-
tamu itu tiba. Memberikan anak itu perasaan berkuasa dan memegang kendali,
hal yang di carinya.
Selain kesadaran tentang dirinya yang meningkat sebagai makhluk
terpisah dari yang lain, tonggak sosial lain yang penting adalah tumbuhnya minat
anak itu akan permainan simbolik dan bohong-bohongan. Terkadang antara usia
dua dan tiga tahun, anak-anak mulai mewujudkan tingkah laku yang mereka
amati terlebih dahulu pada anggota keluarga lainnya apa yang baru di sini
adalah kemampuan si anak untuk menyimpan ingatan tentang tindakan-tindakan
dan peristiwa-peristiwa di benaknya dan kemudian mengambilnya kembali untuk
di tirukan di kemudian hari. Sungguh lucu mengamati anak usia dua tahun
berpura-pura memasak, mencukur dan menyapu lantai atau berbicara di telepon.
Dan mengamati seorang anak dengan mesra mencium beruang Teddy-nya
untuk mengucapkan selamat malam atau dengan kasar memarahi boneka-
bonekanya karena nakal, mungkin berfungsi sebagai peringatan tajam bahwa
anak belajar banyak tentang bagaimana menangani emosi dengan mengamati
orang-orang di sekitarnya.
Masa kanak-kanak awal (usia empat sampai tujuh tahun)
Selama kanak-kanak awal ini, perkembangan social anak di tandai
dengan ;
1. Perkelahian
2. Percakapan khayalan
3. Olok-olok
4. Agresi
5. Keluar dari rumah
6. Bekerja sama
7. Rasa iri
8. Rasa kasihan
9. Ketergantungan
10. Pertemanan
11. Simpati, dan
12. Keinginan untuk bersosialisasi
Pada usia empat tahun, anak-anak lazimnya sudah keluar dan pergi
ke mana-mana, bertemu dengan teman-teman baru, menghabiskan waktu dalam
berbagai macam lingkungan, mempelajari banyak hal baru dan menggairahkan.
Bersama dengan pengalaman-pengalaman ini muncullah tantangan-tantangan
baru : sekolah itu menyenangkan, tetapi pak atau ibu guru mengharapkan kita
bisa duduk tenang dalam kelompok dan memperhatikan masalah yang di hadapi.
Kita tahu biasanya bagaimana bergaul dengan teman-teman, tetapi mereka
masih membuat kita marah dan terkadang menyakiti perasaan kita. Sekarang
setelah kita cukup dewasa untuk memahami kengerian-kengerian seperti
kebakaran rumah, peperangan, pencurian dan kematian, kita harus menjaga
jangan sampai di buat kewalahan oleh rasa takut terhadap hal-hal semacam itu.
Menguasai tantangan-tantangan ini membutuhkan kemampuan untuk
mengatur emosi-emosi kita sendiri, salah satu tugas perkembangan yang
penting yang di hadapi oleh anak-anak pada awal masa kanak-kanak.
Tak ada tempat lain di mana anak memiliki kemungkinan besar
mengembangkan keterampilan mengatur emosinya dibandingkan dalam
hubungan-hubungan mereka dengan rekan sebayanya. Di sinilah mereka belajar
bagaimana berkomunikasi dengan jelas, bertukar informasi dan menjelaskan
pesan-pesan mereka bila mereka tidak di pahami. Mereka belajar bagaimana
bergiliran berbicara dan bermain, mereka belajar untuk berbagi. Mereka
mempelajari bagaimana menemukan suatu landasan bersama dalam kegiatan-
kegiatan bermain mereka, untuk menghadapi perselisihan-perselisihan dan
menyelesaikannya. Mereka belajar bersikap penuh pengertian terhadap
perasaan-perasaan, harapan-harapan dan hasrat-hasrat orang lain.
Karena persahabatan merupakan lahan yang begitu subur bagi
perkembangan emosi anak kecil, penulis mendorong orangtua untuk
memastikan agar anak mendapatkan banyak waktu bebas satu lawan satu
dengan masing-masing. Sekarang kita tahu bahkan anak yang sangat kecil
dapat membentuk ikatan kuat dan langgeng dengan anak lain. Dan kita tahu
bahwa hubungan-hubungan ini di anggap serius dan di hormati oleh orangtua.
Sesi-sesi bermain bagi anak-anak usia ini lazimnya berhasil paling
baik bila berpasangan. Itu karena seringkali anak usia empat atau tujuh tahun
mengalami kesulitan untuk memikirkan bagaimana mengelola lebih daripada
satu hubungan sekaligus. Sebagai orangtua mungkin kita merasa bahwa ini
merisaukan, terutama bila kita menyaksikan dua anak menolak anak yang ketiga
yang mencoba bergabung dalam permainan itu. Tetapi ada manfaatnya
mengingat bahwa penolakan anak-anak tidaklah dengan sendirinya di dasarkan
pada sikap kasar. Mereka sekedar ingin meindungi permainan yang telah
berhasil mereka tegakkan sebagai sebuah pasangan.
Apabila anak kita adalah orang yang di singkirkan, kita perlu
menerima perasaan-perasaan anak kita, terutama bila ia merasa sedih atau
marah menghadapi situasi itu. Kita dapat menolong anak untuk memunculkan
cara-cara memecahkan persoalan itu, entah itu mengundang anak lain untuk
bermain atau mencari sesuatu yang dapat di nikmati untuk di kerjakan sendirian.
Selain mengajarkan keterampilan social, persahabatan di antara anak
kecil juga mengundang permainan khayalan, yang memungkinkan anak untuk
terbang tinggi ke puncak kreativitas, sambil menciptakan tokoh-tokoh dan
sekaligus memainkan drama-dramanya. Seringkali teman-teman kecil ini
menggunakan fantasi untuk menolong satu sama lain menempuh masalah-
masalah yang membingungkan dan menghadapi tekanan hidup sehari-hari. Ini
menandakan bahwa permainan bohong-bohongan itu memperlancar
perkembangan emosional anak tersebut dengan cara menolong anak-anak itu
untuk mengakses perasaan-perasaan yang tertekan sama seperti cara orang-
orang dewasa yang mugkin menggunakan visualisasi atau hypnosis.
Setelah tahu bahwa khayalan dapat menyediakan pintu menuju
kecemasan-kecemasan dan gagasan-gagasan seorang anak kecil, orangtua
yang pelatih emosi dapat menggunakan permainan khayalan sebagai cara untuk
berhubungan dengan anak-anak mereka pada usia ini. Anak-anak lazimnya
memproyeksikan ide-ide, harapan-harapan, kekecewaan-kekecewaan dan
perasaan takut ke sebuah benda seperti sebuah boneka atau mainan yang lain.
Orangtua dapat mendorong penjajakan perasaan-perasaan tersebut dan
menawarkan peneguhan dengan sekedar memantulkan kembali kalimat-kalimat
yang di sampaikan oleh mainan si anak itu, dengan mengambil peran mainan
yang lain atau keduanya.
Mendorong anak-anak untuk berkhayal merupakan sebuah
keterampilan yang sulit, tetapi setelah di pelajari keterampilan itu dapat di
praktekkan dengan cara-cara yang sederhana dan bermanfaat. Kedekatan
spontanitas dan permainan khayal itu telah membuatnya merasa aman dan
dekat dengan kita, sehingga ia membiarkan masalah yang peka ini muncul ke
permukaan. Karena ia telah menunda permainan khayalan itu untuk sementara
waktu guna menjajaki emosinya, sangatlah baik bagi kita untuk menunda juga
permainan itu dan melakukan pembicaraan dari hati ke hati tentang rasa takut
yang di alami.
Salah satu alasan permainan khayal itu sedemikian di gemari di
antara anak usia empat hingga tujuh tahun ada kaitannya dengan manfaatnya
untuk menolong anak-anak mengatasi sejumlah besar rasa cemas yang
cenderung memuncak pada awal masa kanak-kanak.
Pada dasarnya perasaan takut itu semuanya berdasarkan pada serangkaian
kecil faktor-faktor :
1. Rasa takut akan ketidakberdayaan
2. Takut di tinggalkan
3. Takut akan kegelapan
4. Takut akan mimpi-mimpi buruk
5. Rasa takut antara pertengkaran orangtua
6. Takut mati
Pertengahan usia anak-anak (usia delapan sampai dua belas tahun)
Selama masa periode masa kanak-kanak ini, anak-anak mulai
berhubungan dengan suatu kelompok sosial yang lebih luas dan memahami
pengaruh sosial. Mereka mungkin menjadi orang yang masuk dan orang yang
keluar di antara rekan-rekan sebayanya. Pada waktu yang sama, anak-anak
mulai tumbuh secara kognitif, dengan mempelajari kekuatan intelek atas emosi.
Karena semakin besarnya kesadaran anak kita akan besarnya
pengaruh rekan sebaya, kita mulai membedakan bahwa salah satu motivasinya
yang utama dalam hidup adalah bagaimanapun menghindari rasa malu. Anak-
anak usia ini seringkali menjadi sangat istimewa dalam hal gaya pakaian yang
mereka kenakan, jenis tas punggung yang mereka bawa, jenis kegiatan yang
akan mereka kerjakan. Mereka akan berusaha keras menghindari menarik
perhatian pada diri mereka sendiri, terutama bila hal itu dapat menjurus pada
ledekan atau kecaman dari teman-teman mereka. Meskipun hal ini dapat
merisaukan bagi orangtua yang ingin agar anak-anaknya menjadi pemimpin,
bukan pengikut, konformitas pada usia ini cukup sehat. Konformitas berarti
bahwa anak kita mulai terampil membaca isyarat-isyarat sosial, suatu
keterampilan yang akan berguna baginya sepanjang hidupnya. Dan pada masa
pertengahan kanak-kanak, konformitas itu sangat penting karena anak seusia ini
dapat sangat kejam dalam ledekan serta hinaan mereka. Ledekan merupakan
sebuah gemblengan yang membentuk banyak patokan tingkah laku pada usia
ini.
Pada waktu yang sama ketika anak usia ini mencoba untuk mencekik
emosi-emosi mereka, mereka menjadi semakin sadar tentang kekuatan intelek.
Pada kurang lebih usia sepuluh tahun, banyak anak mengalami peningkatan
dramatis dalam kemampuan mereka untuk bernalar secara logis.
Penulis ingin membandingkan mereka dengan Mr. Spock dalam film Star Trek
yang mengabaikan emosinya tetapi tetap unggul dalam logika dan penalaran.
Anak-anak itu senang menanggapi dunia seolah-olah pikiran mereka itu
komputer.
Apabila menemukan bahwa anak kita terlibat dalam suatu perlakuan
terhadap anak lain yang kita anggap tidak adil, beritahukanlah kepada anak
bagaiman perasaannya. Gunakanlah peluang itu untuk menyampaikan nilai-nilai
mengenai kebaikan hati dan permainan yang jujur. Tetapi, kecuali bila peristiwa
itu betul-betul keterlaluan, penulis menentang tanggapan yang terlampau kasar
atau hukuman. Di terapakannya tekanan rekan sebaya merupakan tingkah laku
wajar bagi anak-anak seusia ini.
Apabila anak kita mengeluh karena di kucilkan atau di perlakukan
tidak adil oleh teman-teman sebayanya, kita dapat menggunakan teknik-teknik
pelatihan emosi untuk membantunya mengatasi pemecahan-pemecahan
terhadap masalah-masalah yang di hadapi. Bicarakanlah masalah tersebut
misalnya dengan cara-cara yang di tempuh seseorang untuk menjalin dan
mempertahankan teman-teman. Jangan menganggap enteng kehendak seorang
anak untuk menyesuaikan diri, untuk bertindak dan berpakaian seperti anak-
anak lain dalam kelompok usianya. Sebagai gantinya, teguhkanlah keinginannya
untuk di terima dan jadilah sekutunya untuk mewujudkan hal itu.
Mengenai caci maki anak terhadap kaidah-kaidah orang dewasa,
penulis menyarankan kepada orangtua agar tidak memasukkan kecaman anak-
anak mereka itu ke dalam hati. Kekurangajaran, sarkasme dan penghinaan
terhadap nilai-nilai orang dewasa merupakan kecenderungan-kecenderungan
wajar pertengahan masa kanak-kanak. Apabila kita benar-benar merasa bahwa
anak kita telah memperlakukan kita dengan kasar, bagaimanapun juga
katakanlah sesuatu kepadanya dengan istilah-istilah yang tegas (‘Kalau kamu
terus menerus menghina masakan ibu, ibu merasa kamu tidak menghargai
usaha ibu sama sekali. Apa kamu mau ibu tidak pernah memasak setiap hari
untukmu dan ayahmu?”). Sekali lagi, ini merupakan cara untuk menyampaikan
nilai-nilai seperti kebaikan hati dan saling menghormati di dalam keluarga itu.
Seperti biasa anak-anak seusia ini perlu merasa dekat secara emosional dengan
orangtua mereka dan mereka memerlukan bimbingan penuh kasih sayang yang
di timbulkan oleh kedekatan tersebut.
Dr. Gopalji Mishra seorang pakar ternama, meneliti masa kanak-
kanak terakhir dan mengamati bahwa anak pada tahap ini senang jika mereka
bisa “lebih” dari yang lain. Kontes ini muncul dari keinginan mereka untuk
mendapatkan penerimaan dan juga cinta dari orangtua mereka.
Masa Remaja
Tahun-tahun remaja merupakan periode yang di tandai oleh
kepribadian besar terhadap pertanyaan-pertanyaan identitas : Siapakah aku itu?
Aku ini sedang menjadi apa? Oleh karena itu, jangan terperanjat bila anak kita
tampaknya menjadi benar-benar terserap pada dirinya sendiri pada salah satu
tahap di masa remaja itu. Minat terhadap masalah-masalah keluarga akan
lenyap ketika hubungan dengan teman-temannya masuk ke tengah panggung.
Bagaimanapun juga, justru melalui persahabatan seperti inilah ia akan
menemukan jati dirinya di luar batas-batas rumah yang sudah di kenalnya.
Namun, bahkan di dalam hubungan dengan teman sebayanya ini, fokus seorang
remaja lazimnya ada pada dirinya.
Perjalanan mereka tidaklah senantiasa lancar. Perubahan-perubahan
hormon dapat menimbulkan pergeseran-pergeseran suasana hati yang cepat
dan tidak terkendali. Pengaruh yang buruk dalam lingkungan sosial dapat
mengarahkan mereka pada masalah seperti obat terlarang, kekerasan atau
tindakan seksual yang tidak aman. Namun, penjajakan itu berlanjut sebagai
bagian yang wajar dan tak terhindarkan dari perkembangan manusia.
Di antara tugas-tugas penting yang di hadapi kaum remaja dalam
penjajakan ini adalah integrasi nalar dengan perasaan. Seandainya pertengahan
masa kanak-kanak boleh di lambangkan dengan Mr. Spock yang sangat rasional
dalam film Star Trek itu, maka simbol terbaik bagi masa remaja adalah Kapten
Kirk. Dalam perannya sebagai pemimpin tertinggi kapal angkasa Enterpise, Kirk
terus menerus menghadapi keputusan-keputusan di mana segi kemanusiaannya
yang sangat peka di adu dengan kegemarannya akan penalaran yang di
dasarkan pada logika dan pengalaman. Tentu saja, kapten yang baik itu
senantiasa menemukan keseimbangan yang tepat sehingga memberikan
kepemimpinan yang tanpa cela bagi anak buahnya. Ia menggunakan jenis
penilaian yang hanya dapat kita harapkan akan di latih oleh para remaja kita
seandainya mereka di tempatkan dalam situasi-situasi di mana hati
mendengarkan satu panggilan dan kepala mendengarkan panggilan yang lain.
- Terimalah bahwa masa remaja merupakan masa bagi anak-anak untuk
memisahkan diri dari orangtua mereka.
- Tunjukkan rasa hormat kepada remaja anda
- Doronglah pengambilan keputusan secara mandiri sementara tetap menjadi
pelatih emosi bagi anak kita
Pengaruh pola asuh buruk yang lain contohnya : terlalu memanjakan,
terlalu menguasai anak, terlalu protektif, menggunakan pola kekerasan, terlalu
sibuk dan terlalu memberi kebebasan
Dari pengaruh pola asuh yang salah dapat memunculkan akibat
seperti frustasi. Faktor penyebab frustasi yang berdampak stress : perasaan
terancam, kebutuhan anak terhambat dan kurang gizi.
Yang harus di lakukan :
1. Tanamkan rasa percaya diri pada anak (self confidence)
2. Jangan terlalu melindungi (overprotective)
3. Hindari tipe perfeksionis
4. Cegah pola asuh otoritarian
5. Jangan membeda-bedakan anak
6. Penuhi kebutuhan anak
7. Beritahu pertambahan anggota keluarga
8. Hindari pertengkaran atau perceraian
Adapun cara mengatasi gangguan stress pada anak :
a. Jadilah teman atau sahabat bagi anak itu sendiri
b. Ingatlah semboyan “mens sana in corpora sano“ (di dalam tubuh yang
sehat terdapat jiwa yang sehat)
c. Bangkitkan rasa percaya diri anak
d. Ingatlah hal-hal positif
e. Ingat slogan tertawa itu sehat
C. Hipotesis
Jadi, dari hasil kumpulan teori-teori, kerangka berpikir dan penelitian
bahwa emosional seseorang atau seorang anak jika tidak di latih atau di kontrol
dengan baik dan benar, maka akan mengakibatkan dan menghasilkan pribadi
yang kurang baik di masyarakat. Hal ini akan berpengaruh buruk sehingga dapat
melekat pada diri anak hingga dewasa nanti.
BAB III
A. Tempat dan waktu penelitian
Penelitian ini di lakukan di lingkungan Asrama Dinas Kebersihan yang
berlokasi di Jl. Camat Gabun I, Kecamatan Jagakarsa, Kelurahan Lenteng
Agung, provinsi Jakarta Selatan. Pemilihan lokasi di lakukan dengan sengaja
(purposive) karena penulis sudah lama mengamati anak-anak yang ada di
sekitar lingkungan tersebut. Ini merupakan salah satu alasan yang kuat untuk
penelitian ini
.
B. Metode penelitian
Metode yang di gunakan untuk mendapatkan responden yang di
perlukan dengan sengaja, melalui survey, observasi dan pengamatan secara
langsung kepada orangtua dan anaknya.
C. Instrumen penelitian
1. Anak bapak/ibu biasanya lebih sering di bangunkan oleh anda atau
menunggu sampai dia terbangun sendiri?
a. bangun sendiri b. di bangunkan c. tidak keduanya
2. Jika anak bapak/ibu sudah bangun anda biasanya melakukan hal seperti
memberi susu atau menepuk-nepuk agar tidak rewel?
a. salah satunya b. keduanya c. tidak keduanya
3. Jika makan anak bapak/ibu lebih sering anda yang menyuapi atau ada
orang lain (seperti nenek atau babysitter) yang menyuapi?
a. bapak/ibu sendiri b. orang lain c. tidak pernah
4. Seberapa sering mengajak anak bapak/ibu bercanda?
a. sering b. jarang c. tidak pernah
5. Seberapa sering bapak/ibu mengajak anak anda jalan-jalan
(bertamasya)?
a. Sering b. jarang c. tidak pernah
6. Pernahkah bapak/ibu merasa bersalah setelah memarahi anak walaupun
anak tidak melakukan atau melakukan kesalahan
a. Ya b. Biasa saja c. Tidak sama sekali
7. Berapa kali bapak/ibu memberikan hadiah atau surprise kepada anak?
a. Sering b. Jarang c. Tidak pernah
8. Apakah anak bapak/ibu merasa nyaman di dekat bapak/ibu?
a. Ya b. Biasa saja c. Tidak sama sekali
9. Seringkah bapak/ibu jika marah pada anak membentak atau
menggunakan kekerasan?
a. Sering b. Jarang c. Tidak sama sekali
10.Apa yang bapak/ibu lakukan jika anak merasa ketakutan dan menangis?
a. Menenangkan b. Memarahi c. Diam saja
Hasil dari wawancara yang penulis dapatkan dan di teliti :
a = 13
b = 5
c = 0
Emosi Senin Selasa Rabu Kamis Jumat Sabtu Minggu
Bahagia
Mesra
Takut
Bangga
Kikir
Mencintai
Manja
Bersyukur
Tegang
Sakit Hati
Sedih
Tergangg
u
Marah
Kasihan
Sombong
Bersalah
Iri hati
Menyesal
Malu
D. Sumber data
Sumber data yang di peroleh melalui fakta yang sudah di lihat dengan
cara survey dan observasi, juga mengajukan pertanyaan – pertanyaan dengan
wawancara kepada orangtua anak
E. Teknik pengumpulan data
Data yang di gunakan dalam penelitian ini menggunakan data primer
dan data sekunder. Data primer di gunakan melalui observasi dan survey
langsung di tempat yang ingin di teliti. Dalam memperoleh data tersebut dapat di
lakukan dengan melakukan wawancara dengan pengisian angket (kuesioner)
kepada orangtua.
Data sekunder di peroleh melalui studi literature yang di lakukan di
perpustakaan, toko buku dan internet, di mana bahan – bahan tersebut berfungsi
sebagai data - data pendudkung dalam penyusunan penelitian ini.
F. Analisis data dan triangulasi
Analisis data dan triangulasi merupakan proses penyederhanaan data
ke dalam bentuk yang lebih mudah di baca dan di interpretasikan sesuai dengan
permasalahan dan tujuan yang telah di tetapkan dalam penelitian ini, data yang
di peroleh yaitu data primer dan data sekunder serta informasi pendukung
lainnya yang di olah secara manual dan di analisis.
Data primer yang di peroleh dari lapang di kumpulkan lalu di
tabulasikan dan di kelompokkan, di sesuaikan dengan indikator-indikator yang
menjadi ukuran penelitian dan selanjutnya di analisis. Penelitian ini di fokuskan
pada aspek moral dan agama, aspek sosial emosional dan aspek bahasa.
Daftar Pustaka
Arya P.K, Rahasia Mengasah Talenta Anak, Jogjakarta, Think, Cetakan 1 April
2008
Joan DeClaire dan John Gottman, Ph.D, Mengembangkan Kecerdasan
Emosional Anak, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2008
Istadi Irawati, Istimewakan Setiap Anak (seri psikologi anak 2), Jakarta, Pustaka
Inti, Cetakan 4 Mei 2005