122
REWARD DAN PUNISHMENT DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM SKRIPSI Disusun Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.) Oleh : SARIFUL ROHMAN NIM: 111-12-033 JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA 2016

REWARD DAN PUNISHMENT DALAM PERSPEKTIF …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/1432/1/HALAMAN DEPAN FIX DAN... · menyelesaikan skripsi dengan judul “REWARD DAN PUNISHMENT DALAM

  • Upload
    vanhanh

  • View
    228

  • Download
    1

Embed Size (px)

Citation preview

REWARD DAN PUNISHMENT DALAM PERSPEKTIF

PENDIDIKAN ISLAM

SKRIPSI

Disusun Untuk Memperoleh Gelar

Sarjana Pendidikan (S.Pd.)

Oleh :

SARIFUL ROHMAN

NIM: 111-12-033

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

SALATIGA

2016

ii

iii

iv

v

vi

MOTTO

“ Barangsiapa membawa amal yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh

kali lipat amalnya, dan barangsiapa yang membawa perbuatan jahat maka

dia tidak diberi balasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang

mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan) ”. (QS.Al-An‟am : 160)

vii

PERSEMBAHAN

Alhamdulillahirobbil‟alamin dengan rahmat dan hidayah Allah SWT

skripsi ini telah selesai. Skripsi ini saya persembahkan kepada:

1. Kedua orang tua saya, Bapak Solekhan dan Ibu Roviyani yang senantiasa

memberikan nasihat dan telah mendidik saya dari kecil sampai menikmati

kuliah S1 di IAIN Salatiga ini, serta tidak lelah mendoakan tanpa henti untuk

menjadi pribadi yang lebih baik dari hari ke hari.

2. Kakakku Nurwachid beserta istrinya yang telah membantu membimbing proses

perkuliahan saya.

3. Keluarga besar PAI A, Keluarga PPL SMK N 3 Salatiga dan Kelompok KKN

posko 41 yang telah memberikan saya pengalaman hidup yang luar biasa.

4. Seluruh teman-teman yang mengenal saya baik teman sekolah, kuliah, maupun

teman di rumah.

viii

KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah

memberikan banyak rahmat dan hidayah-Nya, sehingga bisa menikmati indahnya

Islam di dunia ini. Sholawat serta salam selalu tercurahkan pada junjungan Nabi

Agung Muhammad SAW yang telah membimbing manusia dari zaman kegelapan

hingga zaman yang terang benderang dan yang selalu dinantikan syafa‟atnya di

hari kiamat kelak. Segala syukur penulis panjatkan sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi dengan judul “REWARD DAN PUNISHMENT DALAM

PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM”

Skripsi ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar S1 Fakultas

Tarbiyah dan Ilmu Keguruan, Jurusan Pendidikan Agama Islam, Institut Agama

Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Dalam penyusunan skripsi ini penulis menyadari

bahwa masih banyak sekali kekurangan di dalamnya. Penulis menyadari bahwa

tanpa bantuan dari berbagai pihak penulis tidak akan bisa menyelesaikan skripsi

ini dengan lancar. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin

mengucapkan terimakasih kepada :

1. Bapak Dr. H. Rahmat Haryadi, M.Pd. selaku Rektor IAIN Salatiga

2. Bapak Suwardi, M.Pd. selaku dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan

3. Ibu Siti Rukhayati, M.Ag. selaku ketua jurusan Pendidikan Agama Islam

4. Bapak Achmad Maimun, M.Ag. selaku dosen pembimbing skripsi yang telah

mencurahkan pikiran, tenaga, dan pengorbanan waktunya dalam upaya

membimbing penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

5. Bapak Agus Suaidi, Lc., M.A. selaku pembimbing akademik.

ix

6. Seluruh dosen dan karyawan IAIN Salatiga yang telah banyak membantu

selama kuliah hingga menyelesaikan skripsi ini.

7. Bapak, ibu, keluarga, dan seluruh pihak yang selalu mendorong dan

memberikan motivasi dalam menyelesaikan kuliah di IAIN Salatiga.

Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis

khususnya dan bagi semua orang pada umumnya. Saran dan kritik yang

membangun sangat diperlukan dalam kesempurnaan skripsi ini.

Salatiga, 22 Agustus 2016

Penulis

Sariful Rohman

NIM. 111-12-033

x

ABSTRAK

Rohman, Sariful. 2016. “Reward dan Punishment dalam Perspektif Pendidikan

Islam” Pembimbing: Achmad Maimun, M.Ag.

Kata kunci: Reward, Punishment, Pendidikan Islam

Pendidikan sekarang ini banyak sekali hal yang dapat menimbulkan pro

dan kontra. Sebagai contoh, kekerasan yang terjadi dalam pendidikan nyatanya

bertentangan dengan Undang-undang perlindungan anak di Indonesia saat ini.

Namun dalam pendidikan Islam, tindakan memukul diperbolehkan sesuai dengan

hadits nabi Muhammad dan dengan beberapa ketentuan yang mengaturnya.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana reward dan

punishment dalam perspektif pendidikan Islam. Dan juga untuk mengetahui

bagaimana relevansinya dalam pendidikan sekarang ini. Penelitian ini

menggunakan kajian kepustakaan atau literatur. Yang mana sumber-sumber data

diambil dari beberapa buku lalu dianalisis dan diambil kesimpulanya.

Temuan penelitian skripsi ini menunjukkan bahwa dalam pendidikan

Islam sebenarnya menghukum seorang anak yang melakukan kesalahan

diperbolehkan namun dengan memperhatikan hal-hal seperti cara memukul anak

yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan. Memukul yang diperbolehkan

adalah pukulan yang tidak menyakitkan atau pukulan ringan untuk mengingatkan

ank akan kesalahanya. Berbeda dengan pendidikan Islam yang memperbolehkan

memberi hukuman memukul anak, pendidikan di Indonesia tidak diperkenankan

melakukan kekerasan terhadap anak, karena akan bertentangan dengan undang-

undang perlindungan anak. Sementara itu guru ataupun pendidik juga memiliki

hak dan kewajiban yang harus dipatuhi. Dalam undang-undang hak dan kewajiban

guru dan dosen juga disinggung bahwasanya seorang guru diberi kuasa untuk

memberikan sanksi kepada peserta didik namun dengan catatan tidak boleh

bertentangan dengan kode etik pendidik.

xi

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................................... i

HALAMAN BERLOGO.......................................................................................ii

HALAMAN NOTA PEMBIMBING...................................................................iii

HALAMAN PENGESAHAN..............................................................................iv

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN.............................................................v

MOTTO...............................................................................................................vi

PERSEMBAHAN................................................................................................vii

KATA PENGANTAR.........................................................................................viii

ABSTRAK..........................................................................................................ix

DAFTAR ISI.......................................................................................................x

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang..................................................................................1

B. Rumusan Masalah.............................................................................4

C. Tujuan Penelitian..............................................................................4

D. Manfaat Penelitian............................................................................5

E. Metodologi Penelitian.......................................................................5

F. Penegasan Istilah..............................................................................7

G. Sistematika Penulisan.......................................................................9

xii

BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. Reward dan Punishment..........................................................................12

1. Pengertian Reward dan Punishment..................................................12

2. Tujuan Reward dan Punishment........................................................15

3. Macam-macam Reward dan Punishment...........................................17

4. Teori-teori Reward dan Punishment..................................................24

5. Prinsip-prinsip Reward dan Punishment..........................................28

B. Pendidikan Islam.....................................................................................31

1. Definisi Pendidikan Islam.................................................................31

2. Dasar Pendidikan Islam.....................................................................32

3. Tujuan Pendidikan Islam...................................................................33

BAB III JANJI DAN ANCAMAN DALAM AJARAN ISLAM

A. Janji dan Ancaman Allah.......................................................................37

1. Konsep Janji dan Ancaman Allah....................................................37

2. Bentuk-bentuk Janji dan Ancaman Allah........................................41

B. Hukuman Dalam Ajaran Islam..............................................................49

1. Hudud..............................................................................................49

2. Qisas................................................................................................50

3. Ta‟zir...............................................................................................50

C. Targhib dan Tarhib...............................................................................52

1. Targhib............................................................................................53

2. Tarhib..............................................................................................58

xiii

BAB IV REWARD DAN PUNISHMENT DALAM PERSPEKTIF

PENDIDIKAN ISLAM

A. Reward dalam Pendidikan Islam..............................................................63

B. Punishment dalam Pendidikan Islam.......................................................70

1. Pendapat Para Tokoh Pendidikan Islam.............................................70

2. Dasar Pmeberian Punishment dalam Islam........................................75

3. Penerapan Punishment dalam Lembaga Pendidikan Islam.............82

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan..............................................................................................98

B. Saran........................................................................................................98

DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................100

RIWAYAT HIDUP PENULIS...........................................................................103

LAMPIRAN LAMPIRAN

DAFTAR LAMPIRAN

1. Daftar SKK

2. Nota Pembimbing Skripsi

3. Lembar Konsultasi

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia hidup di dunia ini mengalami berbagai persoalan kehidupan

yang bermacam-macam. Ada kalanya merasakan kebahagiaan dan ada kalanya

juga merasakan kesedihan. Kebahagiaan dapat diperoleh dari hal-hal kecil

seperti mendapatkan sebuah hadiah dari orang terdekat. Semua orang pada

umumnya akan sangat senang apabila mendapatkan sebuah hadiah tertentu,

kalaupun ada yang tidak senang ketika diberikan sebuah hadiah, itu mungkin

karena suatu alasan tertentu. Sementara itu, kesedihan dapat diperoleh dari

hal-hal yang kecil juga seperti kehilangan suatu barang, atau karena dimarahi

oleh orang tuanya karena suatu kesalahan yang diperbuatnya dan bisa saja

orangtua memberikan hukuman kepada anaknya tersebut.

Mendidik anak memang tidaklah mudah, seorang pendidik tentu harus

mengetahui minat sang anak. Agar mampu memberikan dorongan motivasi

kepada anak. Dalam hal ini, pemberian hadiah (reward) dan pemberian

hukuman (punishment) menjadi sangat penting. Untuk mendidik anak,

hukuman hanyalah salah satu alat atau cara. Orang tua atau guru dapat

menggunakan cara lain dalam mendidik anak, misalnya memberikan teladan,

memberikan hadiah atau pujian terhadap tindakan yang baik, serta

menciptakan situasi dan kondisi yang tanpa disadari mengarahkan anak untuk

melakukan sesuatu yang baik (Susana dkk, 2007: 57).

2

Ada surga, ada neraka. Allah SWT menjanjikan surga sebagai hadiah

bagi orang beriman dan diberikan-Nya neraka sebagai hukuman bagi orang

yang melanggar perintah-Nya. Janji pemberian hadiah dan hukuman itu

banyak difirmankan-Nya dalam Al-Qur‟an, untuk memotivasi manusia agar

mau beriman dan meninggalkan larangan-larangan-Nya (Istadi, 2005: 3).

Dalam hal ini maka jelas bahwa Allah SWT memberikan contoh kepada

manusia pada umumnya untuk memberikan hadiah dan hukuman apabila

seseorang melakukan kebaikan dan keburukan.

Reward dan punishment merupakan metode atau cara untuk mendidik

seorang anak agar menimbulkan perilaku yang baik dari si anak. Hukuman

menunjukkan apa yang tak boleh dilakukan murid atau anak, sedangkan

reward atau hadiah menunjukkan apa yang mesti dilakukan anak (Soemanto,

1987: 204). Ketika melihat ini maka pemberian reward dan punishment itu

tentunya harus ditempatkan pada situasi dan kondisi yang benar dan tepat.

Alternatif bentuk hadiah yang terbaik ternyata bukan berupa materi,

tetapi berupa perhatian baik verbal maupun fisik. Perhatian verbal bisa berupa

komentar-komentar pujian seperti, Subhanallah, Alhamdulillah, dll. Sementara

hadiah perhatian fisik berupa pelukan, elusan di kepala, acungan jempol atau

sekadar terangkatnya alis mata karena ekspresi kagum (Istadi, 2005: 39).

Terkadang seseorang melihat hadiah atau reward hanya berupa barang ataupun

materi, padahal hadiah dapat berupa hal-hal kecil seperti diatas. Hadiah yang

baik adalah hadiah yang dapat menumbuhkan motivasi si anak dan mendorong

anak untuk berperilaku baik.

3

Mengenai punishment atau hukuman ini ternyata pada zaman dahulu

sekitar tahun 1908 di Negara Singapura ada sebuah madrasah yang bernama

Madrasah Al-Iqbal Al-Islamiyah mencantumkan punishment dalam kurikulum

pendidikanya. Madrasah tersebut memberikan hukuman bagi siswa yang

melanggar peraturan yang telah ditetapkan. Hukuman yang diberikan

diantaranya, dicerca oleh seorang teman, dicerca oleh teman sekelas di depan

kelas, dikurung selama setengah hari, dan dibebani dengan tugas yang

menggunakan akal, ditahan selama satu hari, serta dibebani tugas yang

menggunakan akal, diberi makan dengan roti dan air saja, dikeluarkan dari

sekolah bila berbuat salah berulang kali. (Saerozi, 2013: 150)

Apabila dicermati, hukuman yang diberikan tidak nampak ada

kekerasan didalamnya. Berbeda dengan yang terjadi akhir-akhir ini, banyak

sekali berita di media cetak maupun elektronik yang memuat kabar kekerasan

terhadap siswa yang dilakukan oleh oknum guru atau orangtua yang

melakukan kekerasan kepada anaknya dalam mendidik. Seringkali, oknum

guru ataupun orangtua kurang memperhatikan dampak psikologis ataupun

psikis dari pemberian hukuman ini. Sehingga terkadang menimbulkan perilaku

anak yang malah lebih menyimpang sebelum kejadian itu.

Sebagai contoh, pada bulan Februari tahun 2015 seorang guru

berinisial W di SMP Negeri 1 Palasah Kabupaten Majalengka yang

memeberikan hukuman kepada murid-muridnya karena tidak mengerjakan PR

yang diberikan sebelumnya. Hukumanya adalah mengelilingi lapangan basket

sebanyak 10 putaran untuk puteri. Naas bagi Lintang, seorang siswi yang ikut

4

mendapatkan hukuman tersebut. Di putaran kedua, gadis berusia 13 tahun

tersebut terkapar dan akhirnya meninggal dunia di puskesmas terdekat.

(http://m.kompasiana.com/sahrona.lumbanraja)

Kasus di atas tentunya menjadi perhatian yang lebih khususnya bagi

pendidik dan umumnya bagi para orangtua agar tidak melakukan hal-hal yang

dapat membahayakan diri anak. Menghukum seorang anak yang melakukan

sebuah kesalahan memang bentuk atau cara mendidik tanggungjawab anak,

namun yang perlu diperhatikan adalah hukuman tersebut tidak boleh

mengakibatkan dampak yang negatif bagi anak itu sendiri. Berawal dari latar

belakang di atas penulis tertarik untuk mengkaji lebih lanjut melalui skripsi

yang berjudul “Reward dan Punishment dalam Persepektif Pendidikan Islam”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dalam penulisan skrisi ini

dapat kami rumuskan rumusan masalah sebagi berikut :

1. Bagaimana reward dan punishment dalam perspektif pendidikan Islam?

2. Bagaimana relevansi reward dan punishment dalam pendidikan saat ini?

C. Tujuan Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini, ada beberapa tujuan yang dapat

diambil oleh penulis sesuai dengan rumusan masalah diatas, diantaranya :

1. Untuk mengetahui bagaimana reward dan punishment dalam perspektif

pendidikan Islam.

2. Untuk mengetahui relevansi penggunaan reward dan punishment dalam

pendidikan saat ini.

5

D. Manfaat Penelitian

Dari hasil penelitian ini, diharapkan mempunyai kegunaan sebagi

berikut:

1. Manfaat teoritik

Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan

pemikiran serta tambahan wawasan pengetahuan dalam pendidikan Islam

terkait dengan reward dan punishment.

2. Manfaat Praktik

Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menjadi inovasi kepada

guru ataupun orangtua dalam memberikan reward dan punishment kepada

anak dan juga agar para orangtua ataupun guru dapat lebih berhati-hati

dalam memberikan reward dan punishment sehingga tidak menimbulkan

efek negatif terhadap perkembangan anak.

E. Metodologi Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian dalam skripsi ini termasuk jenis penelitian kepustakaan

atau disebut library research. Yaitu penelitian yang dilakukan di

perpustakaan yang objek penelitianya dicari melalui beragam informasi

dari sumber-sumber seperti buku, koran, majalah dan lain sebagainya.

Dimana data-data yang penulis ambil merupakan data yang bersumber dari

buku-buku ilmiah yang masih berhubungan dengan tema skripsi yang

penulis kerjakan.

6

2. Sumber data

Sumber-sumber yang digunakan penulis dalam penelitian ini

adalah berbagi tulisan yang temanya sama dengan judul yang penulis

angkat. Adapun sumber data yang digunakan penulis adalah sebagai

berikut:

a. Sumber data primer

Yaitu sumber data yang langsung berkaitan dengan objek

penelitian skripsi ini. Diantara buku-buku itu adalah sebagai berikut :

1) Buku “Agar Hadiah dan Hukuman Efektif” , penulis Irawati Istadi.

2) Buku “Mempertimbangkan Hukuman pada Anak”, penulis Tim

Pustaka Familia.

3) Buku “Pendidikan Islam Kajian Teoretis dan Pemikiran Tokoh” ,

penulis Heri Gunawan.

4) Dan buku-buku lain yang menunjang penulisan skripsi ini dan

berkenaan langsung dengan judul.

b. Sumber data sekunder

Yaitu suber data yang mengandung dan melengkapi sumber-

sumber data primer. Buku-bukunya diantara lain :

1) Buku “Ilmu Pendidikan Islam“ , penulis Zakiah Daradjat dkk.

2) Buku “Pembaruan Pendidikan Islam“ , penulis Muh Saerozi.

3) Buku “Manajemen Pengajaran secara Manusiawi” , penulis

Suharsimi Arikunto.

7

4) Buku “Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, penulis Mohd.

Athiyah Al-Abrasyi.

5) Dan buku-buku lain yang menunjang penulisan skripsi ini.

6) Serta buku-buku ilmiah lain yang mendukung dalam penulisan

skrisi ini.

c. Metode Analisis Data

Dari data yang diperoleh penulis, maka untuk menganalisis

dipakai metode analisis isi (content analysis). Yaitu menganalisis

semua data yang telah didapatkan sehingga nantinya akan

mendapatkan data yang akurat untuk ditulis dan dapat dikombinasikan

sesuai dengan materi data yang dibutuhkan.

F. Penegasan Istilah

Agar tidak terjadi kesalahan dalam penafsiran dan pengertian

dalam memahami judul diatas, serta untuk membatasi ruang lingkup

pembahasan dalam penelitian ini, maka perlu adanya penjelasan dalam

beberapa pengertian yang terkait dalam judul skripsi ini yaitu :

1. Reward

Reward dalam kamus bahasa Inggris artinya adalah ganjaran,

hadiah (Echols, Shadily, 2010 : 485) . Hadiah adalah sesuatu yang

menyenangkan yang diberikan setelah seseorang melakukan tingkah

laku yang diinginkan (Arikunto, 1980 : 182).

Hadiah dapat juga dikatakan sebagai salah satu motivasi.

Mungkin dengan diberikannya hadiah, anak tersebut akan semakin giat

8

untuk meningkatkan belajarnya ataupun kedisiplinannya. Tujuan

pemberian hadiah hanyalah untuk pembiasaan semata, ketika

pembiasaan telah dicapai maka pemberian hadiah pun harus dikurangi

(Istadi, 2005: 34).

2. Punishment

Dalam bahasa Inggris punishment artinya adalah hukuman atau

siksaan (Echols, Shadily, 2010:456). Hukuman adalah sanksi fisik

maupun psikis atas kesalahan atau pelanggaran yang dilakukan anak.

Hukuman mengajarkan anak tentang apa yang tidak boleh dilakukan,

bukan apa yang harus dilakukan di masa berikutnya (Tim Pustaka

Familia, 2007: 99).

2. Perspektif

Dalam kamus besar Bahasa Indonesia kontemporer, perspektif

diartikan dengan sudut pandang atau pandangan (Depdikbud,

1995:1060).

4. Pendidikan Islam

Menurut bahasa seperti yang dikemukakan Zakiah Daradjat

(2011:25-28) kata pendidikan yang umum digunakan sekarang, dalam

bahasa Arabnya adalah tarbiyah, dengan kata kerja rabba. Kata

pengajaran dalam bahasa Arabnya adalah ta‟lim dengan kata kerjanya

allama. Pendidikan dan pengajaran dalam bahasa Arabnya tarbiyah wa

ta‟lim sedangkan pendidikan Islam dalam bahasa Arabnya adalah

tarbiyah Islamiya”.

9

Pengertian pendidikan seperti yang lazim dipahami pada zaman

sekarang belum terdapat di zaman Nabi.Tetapi usaha dan kegiatan yang

dilakukan oleh Nabi dalam menyampaikan seruan agama dengan

berdakwah,menyampaikan ajaran, memberi contoh dll itu berarti Nabi

telah mendidik. Apa yang beliau lakukan dalam membentuk manusia,

kita rumuskan sekarang dengan pendidikan Islam. Jadi dapat

disimpulkan bahwa Pendidikan Islam adalah pembentukan kepribadian

muslim.

Adapun pengertian pendidikan Islam menurut sumber yang lain

adalah suatu proses yang edukatif yang mengarah kepada pembentukan

akhlak atau kepribadian secara utuh dan menyeluruh, menyangkut

aspek jasmani dan rohani. Secara ringkas, dapat disimpulkan bahwa

pendidikan Islam merupakan usaha sadar dan terencana untuk

membentuk peserta didik agar memiliki keseimbangan jasmani dan

rohani, serta memiliki iman, ilmu, dan amal sekaligus (Gunawan,

2014:9-10 )

G Sistematika Penulisan Skripsi

BAB I PENDAHULUAN

Dalam bab I ini, Pendahuluan adalah bab pertama dari skripsi yang

mengantarkan pembaca untuk dapat menjawab pertanyaan apa yang

diteliti, untuk apa dan mengapa penelitian itu dilakukan.oleh karena itu,

bab pendahuluan ini berisi : (1) latar belakang masalah, (2) rumusan

10

masalah, (3) tujuan penelitian, (4) manfaat Penelitian, (5) metodologi

penelitian, (6) penegasan Istilah.

BAB II KAJIAN PUSTAKA

Dalam bab ini berisi pembahasan mengenai pengertian reward dan

punishment, tujuan reward dan punishment., macam-macam reward dan

punishment, teori-teori reward dan punishment, prinsip-prinsip reward

dan punishment. Pengertian pendidikan Islam, dasar pendidikan Islam.

Tujuan pendidikan Islam.

BAB III JANJI DAN ANCAMAN DALAM AJARAN ISLAM

Dalam bab ini nantinya akan berisi tentang : Konsep janji dan

ancaman Allah (al-wa‟d wa al-wa‟id), bentuk-bentuk janji dan ancaman

Allah yang ada di dunia dan di akhirat. Bentuk-bentuk hukuman dalam

ajaran Islam serta konsep targhib dan tarhib dalam pendidikan Islam.

BAB IV REWARD DAN PUNISHMENT DALAM PERSPEKTIF

PENDIDIKAN ISLAM

Dalam bab ini nantinya akan berisi tentang : reward dan

punishment dalam pendidikan Islam serta penerapanya dalam

pembelajaran. Pendapat para tokoh Pendidikan Islam mengenai reward

dan punishment. Dan yang terakhir berisi tentang relevansi penggunaan

reward dan punishment dalam pendidikan saat ini.

BAB V PENUTUP

11

Dalam bab ini berisi kesimpulan dari skripsi ini, juga berisi saran

dari penulis kepada semua orang mengenai reward dan punishment, dan

juga berisi kata-kata penutup untuk mengakhiri penulisan skripsi ini.

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN-LAMPIRAN

12

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Reward dan Punishment

1. Pengertian Reward dan Punishment

Reward dalam kamus bahasa Inggris mempunyai arti ganjaran,

hadiah (Echols, Shadily, 2010 : 485). Menurut Suharsimi Arikunto, hadiah

adalah sesuatu yang diberikan kepada orang lain karena sudah bertingkah

laku sesuai dengan yang dikehendaki yakni peraturan sekolah dan tata

tertib yang telah ditentukan (Arikunto, 1980: 182). Dalam bahasa arab,

hadiah berasal dari kata ىدية ج ىدايا yang berarti hadiah atau pemberian

(Yunus, 2010: 480).

Ketika membahas teori-teori pembelajaran dikenal efek yang

dirasakan oleh seseorang sebagai sesuatu yang menyenangkan, maka efek

tersebut dikenal sebagai reward atau hadiah (Sriyanti, dkk, 2009:72).

Sementara itu, Abdurrahman Mas‟ud mendefinisikan reward adalah suatu

pemberian penghargaan dalam arti luas dan fleksibel karena prestasi

seseorang (Mas‟ud, 2002: 172). Dengan begitu maka dapat disimpulkan

bahwa reward adalah pemberian ganjaran atau hadiah kepada seseorang

atas prestasinya yang sifatnya menyenangkan.

Punishment dalam bahasa Inggris artinya adalah hukuman atau

siksaan (Echols, Shadily, 2010:456). Dalam bahasa arab hukuman berasal

13

dari kata ج عقبة ابق ع yang berarti siksa (Yunus, 2010: 274). Hukuman

adalah sanksi fisik maupun psikis atas kesalahan atau pelanggaran yang

dilakukan anak. Hukuman mengajarkan anak tentang apa yang tidak boleh

dilakukan, bukan apa yang harus dilakukan di masa berikutnya (Susana

dkk, 2007: 99). Hukuman diberikan ketika seseorang telah melakukan

kesalahan ataupun melanggar peraturan yang telah ditetapkan.

Punishment banyak digunakan oleh orangtua ataupun guru ketika

mendidik anak. Orangtua terkadang memberi hukuman seperti,

mengurangi uang saku, memukul anak dan hukuman-hukuman lainya

yang membuat anak merasa kesakitan baik fisik maupun psikis. Hal ini

sejalan dengan pendapat Ngalim Purwanto, bahwa hukuman adalah

penderitaan yang diberikan atau ditimbulkan dengan sengaja oleh

seseorang (orangtua, guru dan sebagainya) sesudah terjadi suatu

pelanggaran, kejahatan atau kesalahan (Purwanto, 2007: 186). Ketika anak

menerima hukuman tersebut, anak akan merasa bahwa dia menyesal

ataupun menderita. Harapanya adalah anak menjadi menurut kepada

orangtuanya.

Punishment dalam istilah psikologi, terjadi tatkala muncul situasi

deprivation (kehilangan) atau pengalaman tidak enak yang ditimbulkan

oleh satu kelompok atau individu secara sengaja dengan merugikan

kelompok lain yang disebabkan oleh misdeed, pelanggaran atau kejahatan

oleh kelompok pertama (Mas‟ud, 2002: 171). Pada intinya punishment

14

merupakan salah satu metode dalam pendidikan yang dapat digunakan

sebagai salah satu alat dalam mendidik tanggung jawab anak. Sehingga

dapat disimpulkan bahwa punishment adalah sanksi fisik maupun psikis

kepada seseorang, yang mengakibatkan penderitaan sehingga

memunculkan pengalaman yang tidak mengenakkan.

Hukuman dalam pendidikan menurut Ahmad tafsir memiliki

pengertian yang luas, mulai dari hukuman ringan sampai pada hukuman

berat, sejak kerlingan yang menyengat sampai pukulan yang agak

menyakitkan. Sebenarnya, tidak ada ahli pendidikan yang menghendaki

digunakanya hukuman dalam pendidikan kecuali bila terpaksa. Hadiah

atau pujian jauh lebih dipentingkan ketimbang hukuman (Tafsir, 2008:

186)

Ketika menggunakan metode reward perlu dipahami beberapa

strategi agar pemberian reward bisa efektif dan tepat sasaran. Asmaun

Sahlan (2010:60) menjelaskan beberapa strategi dalam memberikan

reward diantaranya yaitu :

a. Menetapkan prosedur pemberian hadiah.

b. Mencari tahu hadiah apa yang menarik.

c. Sesuaikan dengan standar perilaku yang telah dicapai.

d. Mendistribusikan hadiah dengan adil.

e. Berilah hadiah pada waktu yang tepat.

15

Sementara itu penggunaan punishment juga harus dilakukan

dengan hati-hati dan mempertimbangkan beberapa hal. Hal-hal yang harus

diperhatikan ketika memberikan hukuman menurut Ahmad Tafsir sebagai

berikut :

1) Hukuman itu harus adil sesuai dengan kesalahan.

2) Berikan hukuman yang mendidik, tidak menyakiti badan dan jiwa.

3) Anak harus mengetahui mengapa ia dihukum.

4) Hukuman itu harus membawa anak kepada kesadaran akan

kesalahanya.

5) Hukuman jangan sampai meninggalkan dendam pada anak. (Tafsir,

2008: 186)

2. Tujuan Reward dan Punishment

Reward dan punishment tidak dilakukan sembarangan. Perlu

diketahui bahwa Reward dan punishment memiliki tujuan yang ingin

dicapai dengan digunakanya metode ini. Reward adalah pemberian hadiah

ataupun ganjaran yang diberikan kepada anak atau siswa karena telah

melakukan sesuatu yang baik. Pada dasarnya, tujuan pemberian hadiah

hanyalah untuk pembiasaan semata, ketika pembiasaan telah dicapai maka

pemberian hadiah pun harus dikurangi (Istadi, 2005: 34).

Menurut Idris dan Marno (2008:133) ada beberapa tujuan

pemberian reward diantaranya adalah sebagai berikut :

a. Meningkatkan perhatian siswa dalam proses belajar mengajar.

b. Membangkitkan, memelihara dan meningkatkan motivasi belajar siswa.

16

c. Mengarahkan perkembangan berfikir siswa ke arah berfikir divergen.

d. Mengendalikan serta memodifikasi tingkah laku siswa yang kurang

positif serta mendorong munculnya tingkah laku yang produktif.

Sedangkan tujuan pemberian hukuman adalah seperti yang

dikemukakan oleh Ngalim Purwanto (2007:189) , tujuan orang memberi

hukuman itu bermacam-macam. Hal ini sangat bertalian erat dengan

pendapat orang tentang teori-teori hukuman sebagai berikut :

1) Teori pembalasan. Teori inilah yang tertua. Menurut teori ini, hukuman

diadakan sebagai pembalasan dendam terhadap kelainan dan

pelanggaran yang telah dilakukan seseorang. Tentu saja teori ini tidak

boleh dipakai dalam pendidikan di sekolah.

2) Teori perbaikan. Menurut teori ini, hukuman diadakan untuk

membasmi kejahatan. Jadi, tujuan hukuman itu ialah memperbaiki si

pelanggar agar jangan berbuat kesalahan semacam itu lagi.

3) Teori perlindungan. Menurut teori ini, hukuman diadakan untuk

melindungi masyarakat dari perbuatan-perbuatan yang tidak wajar.

Dengan adanya hukuman ini, masyarakat dapat dilindungi dari

kejahatan-kejahatanyang telah dilakukan oleh si pelanggar.

4) Teori ganti kerugian. Menurut teori ini, hukuman diadakan untuk

mengganti kerugian-kerugian (boete) yag telah diderita akibat dari

kejahatan atau pelanggaran itu. Dalam proses pendidikan, teori ini

masih belum cukup kuat, sebab dengan hukuman semacam itu anak

17

mungkin menjadi tidak merasa bersalah karena kesalahanya itu terbayar

denagn hukuman.

5) Teori menakut-nakuti. Menurut teori ini, hukuman diadakan untuk

menimbulkan perasaan takut kepada si pelanggar akan akibat

perbuatanya yang melanggar itu sehingga ia akan selalau takut

melakukan perbuatan itu dan mau meninggalkanya.

3. Macam-macam reward dan punishment

a. Macam-macam reward

Banyak orang beranggapan bahwa reward identik dengan

pemberian sesuatu yang berbentuk barang. Akan tetapi, sebenarnya

reward sangatlah banyak bentuk-bentuknya. Berikut macam-macam

reward yang dapat diberikan kepada anak :

1) Pujian

Pujian memiliki pengaruh yang besar pada seseorang

apabila pujian tersebut memperhatikan porsi yang proporsional.

Terlebih pujian kepada anak dan para pemuda, sebab mereka

membutuhkan penghargaan, penghormatan dan penerimaan sosial

(Al-Qahthani, 2013: 216)

2) Pemberian Hadiah

Suharsimi Arikunto membagi hadiah menjadi beberapa

bagian yaitu:

a) Peringkat dan simbol-simbol lain

18

Bentuk hadiah yang paling lazim digunakan adalah peringkat

huruf atau angka. Meskipun simbul-simbul lain seperti tanda

bintang, centang, tanda benar, dan lain-lain. Kadang-kadang

juga digunakan untuk siswa-siswi sekolah dasar dan

menengah. Pemberian peringkat dengan cara yang betul dan

adil akan merupakan hadiah yang paling tepat jika dikaitkan

langsung dengan usaha siswa, prestasi dan kemampuan

(Arikunto, 1993:160).

b) Penghargaan

Hadiah ini dapat berupa berbagai hal yang mempunyai arti

adanya “perhatian” kepada siswa. Misalnya saja siswa berhasil

membuat pekerjaan tangan atau hasil karya yang lain. Karena

hasil tersebut sangat menonjol dibandingkan dengan hasil

karya siswa lain, maka hasil tersebut dipamerkan di depan

kelas atau dipertontonkan kepada siswa-siswa lain (Arikunto,

1993:161) Dengan begitu maka siswa akan merasa bahwa

kerja keranya membuahkan hail yang baik dan dapat

dibanggakan. Dan untuk siswa lain, harapanya adalah mampu

termotivasi untuk meraih hasil yang lebih baik lagi.

c) Hadiah berupa kegiatan

Hadiah berupa kegiatan adalah bahwa jika guru memberikan

kegiatan kepada siswa sebagai hadiah, ia harus memberikan

petunjuk secara jelas dan rinci bagaimana siswa telah diberi

19

“sesuatu yang istimewa” sebagai ganjaran atas keistimewaan

yang telah dilakukan. Sebelum melakukan kegiatan yang

dihadiahkan kepadanya, siswa harus tahu betul apa yang harus

diperbuat sehingga anak-anak lain dapat menghargai apa yang

diperbuat sehingga anak-anak lain dapat menghargai apa yang

diperoleh temanya sebagai keistimewaan (Arikunto,

1993:164).

d) Hadiah berupa benda

Dalam memberikan hadiah yang berupa benda ini, guru

dituntut pertimbangan yang lebih cermat dibandingkan dengan

pemberian hadiah dalam bentuk-bentuk lain. Hadiah tersebut

antara lain berupa: makanan, uang, alat-alat tulis, buku-buku

dan lain sebagainya (Arikunto, 1993:164).

Reward sangat bermacam-macam bentuknya seperti yang telah

dijelaskan di atas. Namun menurut Irawati Istadi, alternatif bentuk

hadiah yang terbaik ternyata bukan berupa materi, tetapi berupa

perhatian baik verbal maupun fisik. Perhatian verbal bisa berupa

komentar-komentar pujian seperti, Subhanallah, Alhamdulillah, dll.

Sementara hadiah perhatian fisik berupa pelukan, elusan di kepala,

acungan jempol atau sekadar terangkatnya alis mata karena ekspresi

kagum (Istadi, 2005: 39). Pemberian reward yang berbentuk barang

tidak mungkin dilakukan terus menerus, karena akan menimbulkan

20

kebiasaan bagi anak maupun siswa untuk mengharapkan hadiah.

Perhatian dan menghargai anak akan jauh lebih baik akibatnya.

b. Macam-macam punishment

Punishment atau hukuman sangat banyak bentuk-bentuknya.

Orangtua ataupun pendidik seringkali menggunakan hukuman

dengan alasan memperbaiki anak, tidak jarang mereka

menggunakan cara yang sedikit keras. Namun, Suharsimi Arikunto

memberikan beberapa bentuk hukuman yang bisa digunakan

pendidik dalam menghukum anak. Dan berikut diantaranya:

1) Penurunan Skor atau Penurunan Peringkat

Hukuman jenis ini merupakan hukuman yang paling banyak

diterapkan di sekolah. Terutama ketika diterapkan ketika siswa

terlambat datang, tidak ataupun terlambat mengumpulkan

tugas. (Arikunto, 1993: 174)

2) Pengurangan Hak

Hukuman jenis ini merupakan hukuman yang paling efektif

karena dapat digunakan sesuai selera siswa. Dengan demikian,

guru dituntut mengamati dengan teliti supaya dapat dengan

tepat memilihkan pengurangan hak yang tepat bagi setiap siswa

(Arikunto, 1993: 174).

3) Hukuman Berupa denda

Jenis hukuman yang berupa denda ini di Indonesia merupakan

sesuatu yang masih kurang atau tidak lazim. Yang dimaksud

21

dengan “denda” dalam hal ini memnag tidak berupa uang,

tetapi lebih banyak mempunyai makna “pembayaran” dalam

bentuk pada umumnya berupa pengulangan pekerjaan

(Arikunto, 1993: 175).

4) Pemberian Celaan

Pemberian hukuman ini biasanya digabungkan dengan

hukuman lainya. Siswa yang melanggar peraturan penting yang

diperuntukan bagi siswa akan mendapat celaan. Hukuman ini

guru menuliskan kesalahan siswa dalam buku catatan khusus.

Umumnya pemberian hukuman ini hanya untuk siswa yang

melanggar peraturan beberapa kali (Arikunto, 1993: 175).

5) Penahanan Sesudah Sekolah

Hukuman ini hanya dapat diberikan apabila siswa disuruh

tinggal di sekolah setelah jam usai dan ditemani oleh guru.

Hukuman jenis ini biasanya diberikan kepada siswa yang

terlambat datang, absen yang tidak dimaafkan atau melanggar

peraturan sekolah yang dianggap penting atau tata tertib kelas

(Arikunto, 1993: 175).

6) Penyekoresan

Hukuman jenis ini merupakan hukuman yang “berat”, terutama

karena menyangkut aspek administratif siswa. Penyekoresan

merupakan pencabutan hak sebagai siswa untuk sementara

kepada siswa sehingga ia tidak mempunyai hak dan kewajiban

22

sebagaimana siswa lain. Penyekoresan ini sifatnya berat, oleh

karena itu hukuman ini hanya dilakukan apabila memang ada

kesalahan yang sifatnya berat (Arikunto, 1993: 176)

7) Referal

Istilah “referal” ini terkenal dalam bidang bimbingan dan

penyuluhan. Apabila pembimbing tidak mampu, atau merasa

bahwa ia memerlukan bantuan dari pihak lain untuk menangani

klienya, maka pembimbing tersebut dapat “mengirim” klien

yang sedang ditangani orang lain, misalnya dokter, polisi dan

sebagainya (Arikunto, 1993: 176).

Meskipun hukuman bisa saja kehilangan efektifitasnya,

pengalaman dalam penelitian dan dalam pengajaran sama-sama

menyatakan bahwa terkadang bisa saja membantu mengelola beberapa

perilaku bermasalah tertentu. Untuk meminimalisasikan pengaruh negatif

dari hukuman, para guru harus mengikuti beberapa panduan seperti yang

dikemukakan oleh Kelvin Seifert (2010: 256-257) berikut :

a) Gunakan hukuman dengan hemat. Hukuman akan mengalami

peningkatan efektifitas ketika ia mengalami peningkatan frekuensi,

dan dalam berbagai kasus, tidak selalu bersifat etis.

b) Jelaskan alasan mengapa anda memberikan hukuman. Tanpa sebuah

alasan yang rasional, para siswa sangat mungkin akan mengarah pada

kesimpulan yang salah tentang situasi yang mereka alami. Sebagai

23

contoh, mereka bisa jadi menyimpulkan bahwa mereka, dan bukan

perilaku mereka yang buruk.

c) Persiapkan sebuah cara alternatif dalam meraih penguat motivasi

yang positif. Mengingat penguat motivasi positif memiliki pengaruh

negatif yang lebih sedikit, para siswa harus selalu mendapatkan

kesempatan untuk menerima penguat motivasi yang demikian.

d) Jika memungkinkan, anjurkan perilaku yang berkebalikan dari

perilaku buruk yang dilakukan para siswa. Misalnya, jika seorang

anak berlari kesana dalam ruang kelas, temukan sebuah alternatif

konstruktif yang lebih berprluang menghalangi perilaku tersebut

(seperti, membaca dengan tenang), ketimbang perilaku yang mungkin

bisa berkombinasi dengan perilaku buruk sebelumnya.

e) Jika memungkinkan, hindari hukuman fisik. Mengingat para guru

hanya memberikan hukuman dengan hemat (poin a diatas), maka

beberapa bentuk hukuman seharusnya tidak perlu digunakan.

Termasuk hukuman secara fisik.

f) Berikan hukuman pada saat sebuah perilaku buruk dimulai dan bukan

pada saat perilaku tersebut selasai. Secara umum, penelitian terhadap

anak-anak menunjukkan fakta bahwa hukuman akan bekerja lebih

efektif pada saat perilaku tersebut sudah dimulai.

Hukuman pada dasarnya bertindak sebagai pencegah perilaku yang

kurang baik dari anak ataupun kesalahan yang dilakukan oleh anak.

Namun tidak jarang hukuman juga dapat menimbulkan efek negatif atau

24

akibat yang kurang baik dari hukuman tersebut. Menurut Ngalim

Purwanto (2007: 189) ada beberapa efek yang diakibatkan oleh hukuman,

dan berikut diantaranya :

a. Menimbulkan perasaan dendam pada si terhukum.ini adalah akibat dari

hukuman yang sewenang-wenang dan tanpa tanggung jawab. Akibat

semacam inilah yang harus dihindari oleh pendidik.

b. Menyebabkan anak menjadi lebih pandai menyembunyikan

pelanggaran. Ini pun akibat yang tidak baik, bukan yang diharapkanoleh

pendidik.

c. Memperbaiki tingkah laku si pelanggar. Misalnya yang suka bercakap-

cakap di dalam kelas, karena mendapat hukuman, mungkin pada

akhirnya berubah juga kelakuanya.

d. Mengakibatkan si pelanggar menjadi kehilangan perasaan salah. Oleh

karena kesalahanya dianggap telah dibayar dengan hukuman yang telah

dideritanya.

e. Memperkuat kemauan si pelanggar untuk menjalankan kebaikan.

Biasanya ini adalah akibat dari hukuman normatif. Sering hukuman

yang demikian tidak memperlihatkan akibat yang nyata kelihatan.

4. Teori-teori Reward dan Punishment

a. Teori koneksionisme

Teori ini adalah pembentukan atau penguatan hubungan antara

stimulus dan respons. Hubungan stimulus dan respons ini mempunyai

beberapa hukum sebagai berikut:

25

a) Law of readness

1) Bila sudah ada “kecenderungan bertindak” lalu bertindak akan

membawa kepuasan, dan tidak akan ada tindakan-tindakan lain

untuk mengubah kondisi itu.

2) Bila sudah ada “kecenderungan bertindak” tetapi tidak bertindak

akan menimbulkan ketidakpuasan. Hal ini akan menimbulkan

response-response lain untuk mengurangi atau meniadakan

ketidakpuasan.

3) Apabila belum ada “kecenderungan bertindak” dipaksa

bertindak maka akan menimbulkan ketidakpuasan untuk

menghilangkan atau mengurangi ketidakpuasan tersebut akan

muncul tindakan-tindakan lain.

b) Law of exercise atau Law of use Law of disuse

Hubungan antara S dan R akan bertambah kuat atau erat

bila sering digunakan (use) atau sering dilatih (exercise) dan akan

berkurang, bahkan lenyap sama sekali jika jarang digunakan atau

tidak pernah sama sekali. Tetapi perlu diingat ulangan yang akan

membawa hasil adalah ulangan yang disertai reward atau

punishment.

c) Law of effect

Hubungan S dan R akan bertambah kuat, bila hubungan

tersebut akan diikuti oleh keadaan yang memuaskan dan

26

sebaliknya. Oleh karenanya sebaiknya hadiah lebih diutamakan

daripada hukuman.

b. Teori Operant Conditioning

Teori ini dirintis oleh seorang tokoh terkenal yang bernama

Skinner. Ia membuat rincian lebih dalam tentang Stimulus dan Respon.

a) Respondent response/ refleksive response.

Response jenis pertama ini ditimbulkan oleh perangsang-

perangsang tertentu, perangsang-perangsang tersebut pada

umumnya mendahului response. Sedangkan response-response

timbul secara relatif tetap, misalnya makanan yang menimbulkan

air liur.

b) Operant responsive/ instrumental response.

Response jenis kedua ini timbul dan berkembang diikuti

oleh perangsang-perangsang tertentu, perangsang-perangsang

umumnya lebih kemudian atau setelah timbulnya response, ia

bersifat memperkuat. Misalnya, anak melakukan perbuatan belajar

menyanyi setelah selesai lalu diberi hadiah, maka saat-saat

berikutnya ia akan lebih giat menyanyi.

c. Teori Medan

Tokoh teori ini semula adalah penganut aliran psikologi

Gestalt Mazhab Berlin, kemudian menempuh jalur lain terutama

penelitianya tentang motivasi. Tokoh yang nama aslinya Kurt Lewin

ini lahir di Jerman dan menghabiskan hidupnya di Amerika.

27

Beberapa hasil penelitianya adalah meliputi hasil belajar

hukuman dan hadiah, berhasil dan gagal, energi cadangan. Menurut

teori ini, situasi yang mengandung hukuman dapat diilustrasikan

sebagai berikut : Individu dimasukkan dalam lingkaran kanan ditutup

dengan tugas, kiri ditutup dengan ancaman hukuman, atas bawah

ditutup dengan barier (pengawasan). Dalam keadaan seperti ini

individu harus memilih alternatif yang sma-sama tidak disenangi.

Sedangkan situasi yang mengandung hadiah adalah individu lebih

masuk dalam medan terbukasatu sisi, sebelah kanan ada tugas sebagai

pra syarat untuk mencapai hadiah sehingga tidak ada tegangan

(Mustaqim, 2001: 59-60)

Banyak diantara para ahli psikologi diantaranya Good dan Brophy

yang tertarik untuk mempelajari dan mengadakan penelitian mengenai hal-

hal yang berhubungan dengan hukuman. dari penelitian-penelitian tersebut

dilahirkan berbagai teori tentang hukuman sebagai berikut:

a. Teori Kerenggangan

Teori ini mengatakan bahwa dengan diberikanya hukuman

kepada subjek yang melakukan kesalahan tindakan akan menyebabkan

hubungan rangsang-reaksi (S.R bond) antara tindakan salah dengan

hukuman menjadi renggang. Demikian juga individu tersebut akan

menjadi renggang dengan tindakan menyimpang itu (Arikunto, 1993:

168).

b. Teori penurunan

28

Teori ini mengatakan bahwa dengan diberikanya hukuman

kepada subjek yang melakukan kesalahan tindakan, subjek tersebut

akan mengurangi atau menurunkan frekuensi tindakan negatif tersebut

(Arikunto, 1993: 169).

c. Teori penjeraan

Teori ini mengatakan bahwa jika subjek mendapat hukuman,

maka subjek tidak akan mengulangi lagi perbuatan yang menyebabkan

timbulnya hukuman semula (Arikunto, 1993: 170).

d. Teori sistem motivasi

Teori ini mengatakan bahwa jika individu mendapat hukuman

maka akan terjadi perubahan dalam sistem motivasi dalam diri individu.

Perubahan yang terjadi dalam sistem motivasi tersebut mengakibatkan

penurunan pada individu untuk mengurangi atau menurunkan frekuensi

perilaku yang berhubungan dengan timbulnya hukuman yang

bersangkutan (Arikunto, 1993: 170).

e. Teori hukuman alam

Teori ini dikenal juga dengan hukuman model Rousseau karena

diteorikan oleh Rousseau. Rousseau adalah seorang ahli pendidikan

sebelum abad pertengahan. Dia berpendapat bahwa apabila anak

melakukan kesalahan tingkah laku, pendidik tidak perlu memberikan

hukuman, karena alam sendirilah yang akan menghukumnya (Arikunto,

1993: 171).

29

5. Prinsip-prinsip Reward dan Punishment

a. Prinsip-prinsip Pemberian Reward

1) Penilaian didasarkan pada perilaku bukanya pelaku

Bagi yang belum terbiasa, tentunya masih sulit untuk

membedakan antara pelaku dengan perilaku. Perbedaanya adalah.

Perilaku bisa baik dan dan bisa salah, tetapi pelaku senantiasa tetap

baik. (Istadi, 2005: 29)

2) Hadiah harus ada batasanya.

Pemberian hadiah tidak bisa menjadi metode yang

dipergunakan selamanya. Proses ini cukup difungsikan hingga

tahapan menumbuhkan kebiasaan saja. Hal terpenting yang harus

dilakukan adalah memberikan pengertian sedini mungkin kepada

anak tentang pembatasan ini. Sampaikan dalam berbagai

kesempatan, bahwa tujuan pemberian hadiah hanyalah untuk

menumbuhkan pembiasaan semata. Pengertian ini harus disampaikan

seawal mungkin, untuk menghindari tumbuhnya harapan anak yang

terlalu besar terhadap perolehan hadiah ini. (Istadi, 2005: 33)

3) Distandarkan pada proses bukan hasil

Begitu banyak orang lupa, bahwa proses jauh lebih penting

daripada hasil. Proses pembelajaran, yaitu usaha yang dilakukan

anak, adalah merupakan lahan perjuangan yang sebenernya.

Sedangkan hasil yang akan diperoleh nantinya tidak bisa dijadikan

patokan keberhasilanya, karena ada banyak faktor lain yang

30

mempengaruhi selain dari pengaruh proses atau usaha anak saja.

Jadi, ketika memberikan hadiah harus memperhatikan proses anak

dalam mendapatkan hasil tersebut. (Istadi, 2005: 45)

4) Dimusyawarahkan kesepakatanya

Jangan takut untuk bermusyawarah dengan anak, karena

sesungguhnya anak memiliki kemampuan berdialog yang baik.

Tetapi yang lebih penting dari semua itu, jika pendidik berhasil

melibatkan anak dalam keputusan-keputusan yang berkaitan dengan

diri mereka, maka mereka akan lebih termotivasi untuk

melakukanya, dan lebih mudah menjaga serta mematuhinya. (Istadi,

2005: 47)

b. Prinsip-prinsip Pemberian Punishment

1) Menjaga kesetimbangan antara hukuman dan hadiah

Orang tua atupun pendidik terkadang hanya terfokus untuk

memperbaiki perilaku anak yang salah dengan cara memberikan

hukuman. Sebaliknya perbuatan baik anak dibiarkan saja, tidak

diperhatikan, tidak diberikan perhatian positif maupun hadiah,

pujian ataupun yang lainya. Hal inilah yang harus jadi bahan

pertimbangan dan diperhatikan. Bahwasanya, hadiah dan hukuman

haruslah seimbang penggunaanya dan disesuaikan penggunaanya.

(Istadi, 2005: 67)

2) Menghukum tanpa emosi

31

Kesalahan yang paling sering dilakukan orangtua dan

pendidik adalah ketika mereka menghukum anak disertai dengan

emosi kemarahan, atau bahkan emosi kemarahan itulah yang

menjadi penyebab timbulnya keinginan untuk menghukum. Dalam

kondisi ini, tujuan sebenarnya dari pemberian hukuman yang

menginginkan adanya penyadaran agar anak tak lagi melakukan

kesalahan, menjadi tidak lagi efektif. (Istadi, 2005: 81)

3) Menyepakati hukuman

Sama seperti metode pemberian hadiah yang harus

dimusyawarahkan dan didialogkan terlebih dahulu, maka begitu pula

yang harus dilakukan sebelum memberikan hukuman. Inisiatif

orangtua dan pendidik utuk mendialogkan hal ini demi memperoleh

kesepakatan, merupakan tindakan yang menghargai anak sebagai

seorang pribadi. Ketika telah ada kesepakan sebelumnya dengan

anak, maka harapanya adalah sang anak sadar akan konsekuensi

yang harus diterima apabila melakukan kesalahan sesuai dengan

kesepakatan. (Istadi, 2005: 86)

B. Pendidikan Islam

1. Definisi Pendidikan Islam

Banyak sekali para pakar pendidikan yang mendefinisikan

pendidikan Islam. Dari begitu banyak pendapat para pakar tersebut,

maka berikut penjelasan dari pengertian pendidikan Islam tersebut.

Definisi yang pertama, pendidikan Islam merupakan usaha sadar dan

32

terencana untuk membentuk peserta didik agar memiliki keseimbangan

jasmani dan rohani, serta memiliki iman, ilmu, dan amal sekaligus

(Gunawan, 2014:9-10 )

Muhammad Hamid an-Nashir dan Qulah Abd al-Qadir Darwis

mendefinisikan pendidikan Islam sebagai proses pengarahan

perkembangan manusia (ri‟ayah) pada sisi jasmani, akal, bahasa,

tingkahlaku, dan kehidupan sosial keagamaan yang diarahkan pada

kebaikan menuju kesempurnaan. ( Roqib, 2009: 17)

Definisi pendidikan Islam menurut Ahmad Tafsir dalam

bukunya Ilmu Pendidikan da lam Perspektif Islam adalah bimbingan

yang diberikan oleh seseorang kepada seseorang agar ia berkembang

secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam,. Bila disingkat,

pendidikan Islam adalah bimbingan terhadap seseorang agar ia

menjadi muslim semaksimal mungkin (Tafsir, 2008: 32).

Maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan Islam adalah usaha

yang dilakukan oleh seseorang (guru) untuk mengarahkan anak dalam

hal jasmani dan rohani serta tingkah lakunya sehingga dapat menjadi

seorang muslim yang terdidik dengan baik.

2. Dasar Pendidikan Islam

a. Al-Qur‟an

Al-Qur‟an ialah firman Allah berupa wahyu yang

disampaikan oleh Jibril kepada Nabi Muhammad SAW. Di

dalamnya terkandung ajaran pokok yang dapat dikembangkan

33

untuk keperluan seluruh aspek kehidupan melalui ijtihad. Ajaran

yang terkandung dalam Al-Qur‟an itu sendiri dari dua prinsip

besar, yaitu berhubungan dengan masalah keimanan yang disebut

Aqidah. Dan yang berhubungan dengan amal yang disebut syari‟ah

(Departemen Agama RI, 1984: 19)

b. As-Sunnah

As-Sunnah ialah perkataan,perbuatan ataupun pengakuan

Rasul Allah SWT. Yang dimaksud dengan pengakuan itu ialah

kejadian atau perbuatan orang lain yang diketahui Rasulullah dan

beliau membiarkan saja kejadian atau perbuatan itu berjalan.

Sunnah merupakan sumber ajaran ke dua sesudah Al-Qur‟an,

Sunnah juga berisi aqidah dan syari‟ah. Sunnah berisi petunjuk

(pedoman) untuk kemaslahatan hidup manusia dalam segala

aspeknya, untuk membina umat menjadi manusia seutuhnya atau

muslim yang bertaqwa (Departemen Agama RI, 1984: 20).

c. Ijtihad

Ijtihad ialah berpikir dengan menggunakan seluruh ilmu

yang dimiliki oleh ilmuan syari‟at Islam untuk menetapkan atau

menentukan hukum Syari‟at Islam dalam hal-hal yang ternyata

belum ditegaskan hukumnya oleh Al-Qur‟an dan As-sunnah.

Ijtihad dalam hal ini dapat saja meliputi seluruh aspek kehidupan

termasuk aspek pendidikan, tetapi tetap berpedoman pada Al-

Qur‟an dan As-sunnah (Daradjat, 2011:21)

34

3. Tujuan Pendidikan Islam

Berbicara mengenai pendidikan Islam maka yang perlu

diketahui juga adalah tujuan pendidikan Islam tersebut. Seperti halnya

lembaga-lembaga lain, maka pendidikan Islam juga memiliki tujuan

tersendiri yang ingin dicapai. Berikut tujuan-tujuan tersebut menurut

para tokoh intelektual Islam :

a. Menurut Imam al-Ghazali tujuan pendidikan Islam dapat

diklasifikasikan sebagai berikut :

1) Membentuk insan purna yang pada akhirnya dapat

mendekatkan diri kepada Allah Swt.

2) Membentuk insan purna untuk memperoleh kebahagiaan hidup,

baik di dunia maupun akhirat (Arief, 2002: 22).

b. Menurut Zakiah Daradjat (2011:29) tujuan pendidikan Islam terdiri

dari tujuan umum,tujuan akhir, tujuan sementara, dan tujuan

profesional yaitu sebagai berikut :

1) Tujuan Umum

Tujuan umum pendidikan Islam harus dikaitkan pula

dengan tujuan pendidikan nasional negara tempat pendidikan

Islam itu dilaksanakan dan harus dikaitkan pula dengan tujuan

institusional lembaga yang menyelenggarakan pendidikan itu.

Tujuan umum itu tidak dapat dicapai kecuali melalui proses

pengajaran, pengalaman, pembiasaan, penghayatan dan

keyakinan akan kebenaranya.

35

2) Tujuan Akhir

Pendidikan Islam itu berlangsung selama hidup, maka

tujuan akhirnya terdapat pada waktu hidup di dunia ini telah

berakhir pula. Tujuan umum yang berbentuk insan kamil

dengan pola takwa dapat mengalami perubahan naik turun,

bertambah dan berkurang dalam perjalanan hidup seseorang.

Perasaan, pengalaman dan pengalaman dapat

mempengaruhinya. Karena itulah, pendidikan Islam berlaku

selama hidup untuk menumbuhkan, memupuk,

mengembangkan, memelihara, mempertahankan tujuan

pendidikan yang ingin dicapai. Orang yang sudah takwa dalam

bentuk insan kamil, masih perlu mendapatkan pendidikan

dalam rangka pengembangan dan penyempurnaan, sekurang-

kurangnya pemeliharaan supaya tidak luntur dan berkurang,

meskipun pendidikan oleh diri sendiri dan bukan dalam

pendidikan formal.

3) Tujuan Sementara

Pada tujuan sementara bentuk insan kamil dengan pola

takwa sudah kelihatan meskipun dalam ukuran sederhana,

sekurang-kurangnya beberapa ciri pokok sudah kelihatan pada

diri pribadi anak didik. Tujuan pendidikan Islam seolah-olah

merupakan suatu lingkaran yang pada tingkat paling rendah

mungkin merupakan lingkaran kecil. Semakin tinggi tingkat

36

pendidikanya, lingkaran tersebut semakin besar. Tetapi sejak

dari tujuan pendidikan tingkat permulaan, bentuk lingkaranya

sudah harus kelihatan.

4) Tujuan Operasional

Tujuan operasioanal ini lebih banyak dituntut dari anak

didik suatu kemampuan dan keterampilan tertentu. Sifat

operasioanalnya lebih ditonjolkan dari sifat penghayatan dan

kepribadian. Untuk tingkat paling rendah, sifat yang berisi

kemampuan dan keterampilanlah yang ditonjolkan. Misalnya

dapat berbuat, terampil melakukan, lancar mengucapkan,

mengerti, memahami, meyakini dan menghayati adalah soal

kecil. Pada masa permulaan yang penting ialah anak didik

mampu dan terampil berbuat, baik perbuatan itu perbuatan

lidah (ucapan) ataupun perbuatan anggota badan lainya.

Kemampuan dan keterampilan yang dituntut pada anak didik,

merupakan sebagian kemampuan dan keterampilan insan kamil

yang semakin sempurna.

Berdasarkan pendapat-pendapat tokoh di atas, maka dapat

disimpulkan bahwa tujuan pendidikan Islam pada hakikatnya adalah

membentuk manusia yang beriman kepada Allah SWT untuk memperoleh

kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Tujuan pendidikan Islam lainya

adalah agar anak didik mampu berperilaku baik selama hidupnya dengan

nilai-nilai keislamanya.

37

BAB III

JANJI DAN ANCAMAN DALAM AJARAN ISLAM

A. Janji dan Ancaman Allah

1. Konsep Janji dan Ancaman Allah

Agama Islam mengajarkan kepada manusia tentang berbagai hal,

mulai dari sikap manusia, ibadah, sosial dan sebagainya. Islam merupakan

satu-satunya agama yang diridhoi oleh Allah SWT. Seperti yang

dijelaskan Allah SWT dalam surat Ali Imran ayat 19 sebagai berikut :

Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah

hanyalah Islam. tiada berselisih orang-orang yang telah diberi (Al

Kitab) kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka,

karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa

yang kafir terhadap ayat-ayat Allah, maka sesungguhnya Allah

sangat cepat hisab-Nya. (QS.Ali Imran : 19) (Departemen Agama

RI, 2002: 52)

Atas dasar ayat di atas, maka semua aspek kehidupan harus di

kembalikan kepada Islam tentang bagaimana menyikapinya agar tidak

salah jalan. Allah SWT memberikan janji kepada umatnya yang beriman

akan dimasukkan ke dalam surga. Surga menjadi balasan ataupun

ganjaran bagi orang-orang yang beriman.

Janji dan ancaman dalam ajaran Islam dikenal dengan istilah al-

wa‟d wa al-wa‟id. Sementara itu, kata ini berasal dari bahasa arab yaitu

38

عدا-يعد – د ع yang artinya menjanjikan sesuatu (Yunus, 2010: 502).

Istilah ini dipopulerkan oleh aliran Mu‟tazilah sebagai al Usul al-

Khamsah, atau lima ajaran dasar yang menjadi pegangan kaum

Mu‟tazilah . Menurut al-Khayyat seperti yang dikutip oleh Harun

Nasution (1986: 52) orang yang diakui menjadi pengikut atau penganut

Mu‟tazilah, hanyalah orang yang mengakui dan menerima kelima dasar

itu. Orang yang hanya menerima sebagian dasar-dasar tersebut tidak

dipandang sebagai orang Mu‟tazilah. al Usul al-Khamsah sendiri diberi

urutan yaitu, al-Tawhid, al-„Adl, al-wa‟d wa al-Wa‟id, al-Manzilah bain

al-Manzilatain dan al-„Amr bi al-Ma‟ruf wa al-Nahy „an al-Munkar.

Menurut paham Mu‟tazilah, Tuhan tidak akan dapat disebut adil,

jika Ia tidak memberi pahala kepada orang yang berbuat baik dan jika

tidak menghukum orang yang berbuat buruk. Keadilan menghendaki

supaya orang yang bersalah diberi hukuman dan orang yang berbuat baik

diberi upah, sebagaimana yang telah dijanjikan Tuhan (Nasution, 1986:

55). Maka konsep ini bisa menjadi acuan bahwa memberikan upah

kepada anak yang menunjukkan perilaku baik merupakan bentuk

keadilan orang tua kepada anaknya. Sementara itu, pemberian hukuman

kepada anak yang berbuat kesalahan terhadap peraturan yang telah

ditetapkan juga merupakan bentuk keadilan orangtua sesuai dengan

konsep di atas.

39

Bagi kaum Mu‟tazilah dan kaum Maturidiah golongan

Samarkand menganggap bahwa manusia dihukum atas perbuatan yang

dikehendakinya dan yang dilakukanya bukan dengan paksaan tetapi

dengan kebebasan yang diberikan Tuhan kepadanya (Nasution, 1986:

127). Anggapan ini apabila dicermati adalah bentuk keadilan Tuhan

karena Tuhan telah membebaskan manusia untuk melakukan perbuatan

yang dikehendakinya sendiri-sendiri. Manusia dalam hal ini, dibebaskan

akan tetapi juga harus siap menanggung resiko apabila melakukan

perbuatan yang buruk. Resiko itu adalah dihukum oleh Tuhan.

Menurut Mu‟tazilah, Tuhan tidak dapat bersifat zalim dalam

memberi hukuman, tidak dapat menghukum anak orang musyrik lantaran

dosa orangtuanya dan mesti memberi upah kepada orang yang patuh

pada-Nya dan memberi hukuman kepada orang yang menentang

perintah-Nya (Nasution, 1986: 124). Ini artinya bahwa menurut mereka

Tuhan tidak akan melanggar peraturan yang telah dibuat-Nya. Maka

dalam hal ini, berarti Tuhan mengajarkan kepada manusia tentang sikap

bertanggungjawab terhadap hak dan kewajiban masing-masing manusia.

Berbeda dengan Mu‟tazilah, Al-Asy‟ari berpendapat bahwa upah

yang diberikan Tuhan hanyalah merupakan rahmat dan hukuman tetap

merupakan keadilan Tuhan (Nasution, 1986: 126). Jadi, menurut faham

Asy‟ariah, Tuhan memiliki kebebasan dalam memberikan upah dan

hukuman. Tuhan boleh-boleh saja tidak memberikan upah, karena Tuhan

itu Adil. Seperti pendapat Al-Ghazali yang beranggapan bahwa Tuhan

40

memberikan upah kepada manusia, jika yang demikian dikehendaki-Nya,

dan memberi hukuman jika itu pula dikehendaki-Nya (Nasution, 1986:

126). Pendapat Al-Ghazali ini memberikan gambaran bahwa Allah maha

kuasa segala-galanya. Allah memiliki kekuasaan untuk memberikan upah

kepada manusia sesuai dengan kehendak-Nya dan Allah memiliki

kekuasaan untuk memberikan hukuman yang bermacam-macam kepada

manusia sesuai dengan kesalahan manusia itu sendiri.

Menurut kaum Asy‟ariah, Tuhan tidak berkewajiban menjaga

kemaslahatan (al-salah wa al-aslah) manusia, tidak wajib memberi upah

atau ganjaran pada manusia atas perbuatan-perbuatanya (Nasution, 1986:

73). Konsep ini menunjukkan bahwa Tuhan tidak harus memberi upah

atau ganjaran pada manusia, kalaupun Tuhan memberikan upah atau

ganjaran maka semua itu adalah atas kehendak-Nya dan manusia

harusnya tidak mengharapkan apa-apa dari perbuatanya kecuali adalah

keridhaan Allah SWT.

Pada intinya, kaum Asy‟ariah berpendapat bahwa Tuhan memberi

hukuman menurut kehendak mutlaknya, tidak terikat pada suatu

kekuasaan, kecuali kekuasaan-Nya sendiri. Sementara itu kaum

Mu‟tazilah beranggapan bahwa Tuhan mengeluarkan hukuman sesuai

dengan hukum dan bukan dengan sewenang-wenang (Nasution, 1986:

127).

41

Berdasarkan kedua pendapat dari dua aliran di atas yaitu

Mu‟tazilah dan Asy‟ariyah maka penulis dapat menyimpulkan bahwa,

Allah sudah memberikan janji dan ancaman di dalam Al-Qur‟an yang

sangat banyak. Janji yang berupa ganjaran, Surga, kesenangan dunia dan

akhirat dan juga mengancam manusia yang berbuat keburukan selama

hidupnya untuk mendapatkan siksa yang pedih di Neraka. Namun yang

perlu dipahami adalah Allah Swt maha kuasa atas segala sesuatu yang

ada di dunia ini. Seperti yang dijelaskan Allah dalam surat Al-Baqarah

ayat 148 berikut ini:

Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia

menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah (dalam

membuat) kebaikan. di mana saja kamu berada pasti Allah akan

mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya

Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS.Al-Baqarah: 148).

(Departemen Agama RI, 2002: 23)

Banyak sekali ayat dalam Al-Qur‟an yang mengulang kata

“Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”. Ini artinya

bahwa Allah mengisyaratkan bahwa kekuasaan mutlak ada pada Allah

SWT. Begitu juga dengan pemberian upah dan hukuman adalah mutlak

kuasa Tuhan, sehingga manusia hanya bisa melakukan perbuatan baik

yang sesuai perintah-Nya. Kalau manusia sudah melakukan yang terbaik

dan sesuai perintah Allah SWT maka manusia tidak perlu khawatir

42

terhadap janji dan ancaman Allah, biarlah itu menjadi hak dan rahasia

Allah SWT.

2. Bentuk-bentuk Janji dan Ancaman Allah

a. Janji Allah di Dunia

1) Keberuntungan, seperti firman Allah SWT :

“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman,”

(Qs.Al-Mukminun: 1) (Departemen Agama RI, 2002: 342)

2) Petunjuk, seperti firman Allah SWT :

Dan agar orang-orang yang telah diberi ilmu,

meyakini bahwasanya Al-Quran Itulah yang hak dari

Tuhan-mu lalu mereka beriman dan tunduk hati mereka

kepadanya dan Sesungguhnya Allah adalah pemberi

petunjuk bagi orang-orang yang beriman kepada jalan yang

lurus. (QS. Al-Hajj :54) (Departemen Agama RI, 2002:

338)

3) Pertolongan, seperti firman Allah SWT

Dan Sesungguhnya Kami telah mengutus sebelum

kamu beberapa orang Rasul kepada kaumnya, mereka

datang kepadanya dengan membawa keterangan-keterangan

(yang cukup), lalu Kami melakukan pembalasan terhadap

orang-orang yang berdosa dan Kami selalu berkewajiban

43

menolong orang-orang yang beriman. ( QS.Ar-Ruum :47)

(Departemen Agama RI, 2002: 409)

4) Kemuliaan/ketaatan, seperti firman Allah SWT:

Mereka berkata: "Sesungguhnya jika kita telah

kembali ke Madinah, benar-benar orang yang kuat akan

mengusir orang-orang yang lemah dari padanya." Padahal

kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi

orang-orang mukmin, tetapi orang-orang munafik itu tiada

mengetahui. “(QS. Al-Munafiqun: 8) (Departemen Agama

RI, 2002: 555)

5) Kehidupan yang baik, seperti firman Allah SWT :

Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik

laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman,

Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya

kehidupan yang baik[839] dan Sesungguhnya akan Kami

beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik

dari apa yang telah mereka kerjakan. (QS. An-Nahl : 97)

(Departemen Agama RI, 2002: 278)

b. Janji Allah di Akhirat

1) Masuknya orang-orang beriman ke Surga, kekal di dalamnya, dan

keridhaan dari Allah Swt. Sebagaimana firman Allah SWT:

44

Allah menjanjikan kepada orang-orang mukmin,

lelaki dan perempuan, (akan mendapat) surga yang

dibawahnya mengalir sungai-sungai, kekal mereka di

dalamnya, dan (mendapat) tempat-tempat yang bagus di

surga 'Adn. dan keridhaan Allah adalah lebih besar; itu

adalah keberuntungan yang besar. “ (QS.At-Taubah : 72)

(Departemen Agama RI, 2002: 198)

2) Melihat Allah Swt, sebagaimana firman Allah SWT :

“Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-

seri. kepada Tuhannyalah mereka melihat. “ (QS.Al-Qiyamah:22-

23) (Departemen Agama RI, 2002: 578)

Janji-janji Allah SWT sangatlah banyak. Apa yang digambarkan

Allah dalam firman-firman-Nya merupakan balasan bagi orang yang

bertaqwa dan berbuat baik. Janji-janji yang bersifat kesenangan dan

kebahagiaan ini adalah bentuk motivasi dari Allah kepada manusia untuk

senantiasa bertaqwa kepada Allah dan berbuat kebaikan. Dengan motivasi

seperti itu, maka manusia diharapkan untuk berlomba-lomba dalam

beribadah kepada Allah.

Sementara itu, dalam hadits Nabi yang diriwayatkan oleh At-

Tirmidzi berikut ini juga menjelaskan janji Allah Swt kepada makhluknya.

Haditsnya adalah sebagai berikut :

45

من سلك طريق يلتمس فيو علما سيل ا هلل لو طريقا الى الجنة

“Barangsiapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka

Allah memudahkan baginya jalan menuju Surga”. (At-Tirmidzi,

1992: 274)

Hadits di atas menjelaskan janji Allah SWT kepada orang yang

mau menempuh jalan untuk menuntut ilmu. Barangsiapa yang menuntut

ilmu kebaikan (Islam), maka Allah akan memudahkan jalan orang

tersebut menuju Surga. Dengan begitu maka orang yang menuntut ilmu itu

adalah orang yang dimuliakan oleh Allah sehingga Allah memberikan

ganjaran akan dimudahkan dalam perjalananya ke Surga nanti.

Janji Allah tersebut mengisyaratkan pentingnya menuntut ilmu,

karena dengan ilmu maka manusia akan mengetahui mana yang baik dan

mana yang buruk. Dengan mengetahui kedua perkara ini tentunya manusia

akan lebih mudah untuk menjalani kehidupan dan membuat hidupnya

lebih barokah dan ketika telah tiba saatnya nanti jalanya ke Surga akan

sangat mudah seperti yang telah dijanjikan Allah SWT.

Seperti yang disebutkan di atas, janji-janji Allah bisa berupa

ganjaran dunia dan di akhirat. Ganjaran di dunia itu bisa berupa

keberuntungan, petunjuk, pertolongan, keselamatan, kehidupan yang baik

dan sebagainya. Ganjaran di dunia merupakan bentuk perhatian Allah

SWT kepada manusia yang bertaqwa. Sementara itu ganjaran di akhirat

tidak lain adalah Surga. Surga digambarkan Allah sebagai tempat yang

indah, tempat dimana orang-orang beriman dan bertaqwa ditempatkan.

46

Namun sekali lagi bahwa janji-janji Allah tersebut hanya bisa didapat oleh

orang-orang yang beriman dan bertaqwa.

Sir Sayid Amir Ali berpendapat mengenai ajaran tentang akhirat.

Seperti yang dikutip oleh Maunah (2011: 290) umpamanya ia menjelaskan

bahwa keinginan manusia untuk dapat bersatu kembali dengan orang yang

dikasihi dan disayangi, sesudah dipisahkan oleh kematian. Hasrat besar

inilah yang menmbulkan ide adanya kelanjutan hidup sesudah selesainya

hidup di dunia ini. Agama-agama yang datang sebelum Islam pada

umumnya menggambarkan bahwa hidup kedua manusia itu akan

memperoleh upah dan balasan dalam bentuk jasmani dan bukan dalam

bentuk rohani. Pendapat ini tentunya ada alasanya tersendiri. Upah dan

balasan yang berupa jasmani barangkali lebih terasa nyata ketimbang

dengan upah dan balasan rohani. Karena dengan upah dan balasan yang

berupa jasmani akan semakin meyakinkan bahwa upah dan balasan itu

memang nyata ada.

Sir Sayid Amir Ali menambahkan apa yang harus dipercayai orang

Islam ialah bahwa di akhirat nanti tiap orang harus

mempertanggungjawabkan segala perbuatanya di dunia ini. Tetapi, lebih

dari itu Tuhan bersifat pengasih serta rahmatnya akan dilimpahkan secara

adil kepada semua makhluknya. Inilah keyakinan pokok yang harus

diterima dalam Islam mengenai akhirat (Maunah, 2011: 291).

47

Sementara itu, sebagian filosof dan sufi berpendapat bahwa balasan

yang akan diterima di akhirat nanti memanglah balasan spiritual dan

bukanlah balasan jasmaniyah. Selanjutnya mereka beranggapan bahwa

ajaran mengenai akhirat itu amat besar arti dan pengaruhnya dalam

mendorong manusia untuk berbuat baik dan menjauhi berbuat jahat

(Maunah, 2011: 291). Pendapat ini tentu juga mempunyai alasan

tersendiri. Namun yang perlu dipahami sebenarnya adalah upah dan

balasan itu pasti ada, dan tentang permasalahan itu jasmani atau rohani

biarkan itu menjadi rahasia Allah dan suatu saat pasti akan diketahui

kebenaranya.

Dalam Islam, istilah ganjaran (thawab) digunakan di berbagai ayat

Al-Qur‟an yang bermakna sesuatu yang diperoleh seseorang dalam hidup

ini atau di hari akhirat sebab ia telah mengerjakan amal saleh. Kebesaran

ganjaran di akhirat berasal dari kebesaran ganjaran itu yaitu Allah SWT.

Inilah yang menggambarkan kenapa Nabi Muhammad SAW hanya

mengharapkan ganjaran Allah saja. Jadi setiap pelajar dalam sistem

pendidikan Islam seharusnya bermotivasi tinggi oleh ganjaran ini, sebab

guru („alim) dan pelajar (muta‟alim) mendapat ganjaran dari Allah sebab

menuntut ilmu ini. Namun sebab ganjaran hari akhirat itu jauh, terutama

bagi anak-anak yang masih muda, maka ganjaran dalam hidup ini juga

diperlukan. Fakta ini juga ditekankan dalam Al-Qur‟an yang menyatakan

ganjaran di dunia di berbagai keadaan. Inilah yang memestikan pemberian

48

ganjaran kepada anak-anak yang kurang tertarik kepada ganjaran yang

terlalu jauh (Langgulung, 2004: 37-38).

Pemberian ganjaran terkadang dianggap remeh oleh para anak.

Apalagi ketika yang dibicarakan ganjaran di akhirat. Namun berhubungan

dengan pendidikan Islam, maka pendidik harus memberikan pengertian

yang baik tentang perkara ini. Ganjaran akan diberikan apabila seseorang

telah melakukan perilaku yang baik seperti yang diperintahkan. Guru

dalam hal ini bisa memberikan sebuah ganjaran berupa pujian untuk

pertama kali. Pujian merupakan ganjaran yang paling mudah dan kecil,

namun imbasnya bisa jadi adalah yang paling baik

c. Ancaman Allah Swt

“jika mereka berpaling, niscaya Allah akan mengazab mereka

dengan azab yang pedih di dunia dan akhirat; dan mereka sekali-kali

tidaklah mempunyai pelindung dan tidak (pula) penolong di muka bumi. “

(QS.At-Taubah : 74) (Departemen Agama RI, 2002: 199)

“Dan Sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada

(nabi-nabi) yang sebelummu. "Jika kamu mempersekutukan (Tuhan),

niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu Termasuk orang-orang

yang merugi.” (QS.Az-Zumar : 65) (Departemen Agama RI, 2002: 465)

49

“Sesungguhnya orang-orang yang kafir Yakni ahli kitab dan orang-

orang yang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di

dalamnya. mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk. “ (QS.Al-Bayyinah

:6) (Departemen Agama RI, 2002: 598)

“Adapun orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami,

mereka itu penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. “ (QS.Al-

Baqarah : 39) (Departemen Agama RI, 2002: 7)

Ancaman-ancaman Allah kepada manusia adalah bentuk rambu-

rambu atau batas-batas yang mengatur perilaku manusia. Seperti halnya

ancaman yang dilakukan manusia, maka ancaman sudah pasti berbentuk

sesuatu yang harus diperhatikan dengan baik dan dimengerti maksudnya.

Ancaman dari Allah Swt tentu bukanlah ancaman yang main-main karena

ini berhubungan dengan Tuhan sang pencipta alam semesta. Ancaman dari

Allah Swt tentu adalah siksa yang pedih. Siksa yang pedih tersebut

diperuntukkan bagi manusia yang berbuat keburukan selama hidupnya dan

tidak menjalankan perintah-perintah Allah Swt.

Neraka merupakan tempat bagi orang-orang yang tidak patuh

terhadap Allah Swt. Neraka digambarkan sebagai tempat penyiksaan bagi

mereka yang dimasukkan ke dalam neraka, merka itu adalah orang-orang

kafir, kufur, orang-orang yang berbuat keburukan, tidak menjalankan

perintah Allah, melanggar larangan-Nya dan lain sebagainya. siksa yang

50

terus menerus akan diterima selama mereka di neraka merupakan balasan

atas apa yang telah mereka perbuat selama hidup di dunia.

B. Hukuman dalam Ajaran Islam

Agama Islam memiliki tiga kategori hukuman yang harus

dibedakan, seperti yang dikemukakan oleh Hasan Langgulung (2004:39-40)

yaitu :

1. Hudud adalah hukuman-hukuman pasti dijatuhkan kepada seseorang yang

melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak dikehendaki. Hukuman-

hukuman ini tidak boleh dibatalkan dalam keadaan apapun begitu suasana

yang membolehkan penjatuhan hudud telah disetujui. Hukuman-hukuman

hudud dijatuhkan kepada orang-orang yang melakukan salah satu diantara

perbuatan berikut : mencuri, meminum-minuman keras, merampok dengan

senjata, murtad, hubungan seks di luar perkawinan, dan tuduhan palsu

(qadhf). Hukuman yang dijatuhkan melalui hudud berbeda-beda.

Misalnya, hudud pencurian adalah hukuman potong tangan, dan hudud

tuduhan palsu adalah dipukul dengan rotan delapan puluh kali.

2. Qisas serupa dengan hudud dalam hal ia berkaitan dengan kejahatan-

kejahatan yang sudah tentu hukumanya. Bedanya adalah bahwa hudud

adalah khas untuk Allah dan tidak dapat dibatalkan, sedangkan qisas,

walaupun juga diperintahkan oleh Allah, boleh dibatalkan. Kejahatan-

kejahatan yang memustikan qisas adalah dalam keganasan jasmaniah

terhadap seseorang, seumpama melakukan pembunuhan atau

mencederakan orang, dan hukumanya adalah serupa dengan yang telah

51

dilakukanya. Namun orang yang berbuat kejahatan ini boleh

menghindarkan balasan jika yang dianiaya itu memaafkanya.

3. Pada umumnya hukuman ta‟zir lebih ringan daripada hudud dan qisas.

Hukuman ta‟zir diserahkan kepada qadhi menurut keadaan. Dalam hal

dimana larangan sudah cukup, maka tidak dijatuhkan hukuman berat.

Contoh-contoh dimana hukuman ta‟zir dijatuhkan adalah pada penghinaan

kepada orang lain, tidak menunaikan sembahyang fardhu, atau tidak puasa

dalam bulan Ramadhan.

Walaupun ketiga kategori hukuman tersebut berbeda-beda dalam segi

berat ringanya, tetapi mereka dijatuhkan dengan tujuan mengatur tingkahlaku

manusia. Hukuman dalam Islam tidak dijatuhkan sekadar untuk

menyengsarakan. Islam memberi hukuman tidak serta merta hanya

menghukum saja, karena pada dasarnya hukuman tersebut sudah disesuaikan

dengan tingkat pelanggaran tertentu. Jadi, hukuman-hukuman tersebut sudah

disusun rapi sedemikian rupa lengkap dengan sebab akibatnya (Langgulung,

2004:40)

Perbedaan yang mendasar antara ketiga kategori hukuman ini terletak

pada kadar berat dan ringanya hukuman tersebut. Hudud merupakan

hukuman yang tidak bisa dibatalkan dalam keadaan apapun apabila hukuman

hudud itu telah disetujui. Ini artinya bahwa hukuman ini pasti dilakukan

karena yang dijatuhi hukuman atau pelaku telah melakukan tindak kejahatan

yang mengharuskan hukuman hudud itu dilaksanakan. Sementara itu, qisas

merupakan hukuman yang hampir serupa dengan hudud, yang membedakan

52

adalah apabila korban dari kejahatan pelaku tersebut memberikan maaf dan

tidak menghendaki hukuman qisas tersebut maka hukuman ini dapat

dibatalkan. Lalu hukuman ta‟zir adalah hukuman yang paling ringan karena

hukuman ini memungkinkan untuk dibatalkan apabila dengan larangan bagi

pelaku untuk tidak melakukanya lagi sudah cukup, maka hukuman berat bisa

ditiadakan. Hanya saja hukuman ringan tetap diberikan sebagai peringatan

kepada pelaku.

Persamaan dari ketiga kategori hukuman ini adalah sama-sama

digunakan untuk mengatur tingkahlaku manusia agar tidak sembarangan

dalam melakukan tindakan yang dapat merugikan orang lain. Hal ini jelas

karena agama Islam mengatur segala perbuatan yang dilakukan manusia baik

tindakan maupun konsekuensinya. Konsekuensi tersebut berupa hukuman

yang mau tidak mau harus diterima oleh pelaku tindak kejahatan. Sehingga

aturan-aturan dan hukuman yang telah dibuat tersebut dapat menjadi

peringatan bagi seluruh manusia khususnya umat Islam.

C. Targhib dan Tarhib

Konsep janji dan ancaman dalam ajaran Islam apabila dikaitkan dalam

pendidikan maka bisa berarti sama dengan konsep targhib dan tarhib.

Kebanyakan dari janji merupakan sesuatu yang bersifat menyenangkan,

sedangkan ancaman bersifat menakutkan. Konsep ini dimasukkan dalam

pendidikan Islam untuk memberi pemahaman kepada siswa tentang janji dan

ancaman Allah. Janji tersebut menjadi sesuatu yang diharapkan dapat

memotivasi siswa untuk melakukan perbuatan baik dan mendapatkan balasan

53

dari Allah yang berupa Surga dan lain sebagainya. Sedangkan ancaman

digunakan sebagai batas-batas apa saja yang harus dihindari siswa agar

terhindar dari ancaman Allah yang bisa berupa Neraka , siksaan dan lain

sebagainya. Targhib dan tarhib menjadi dua hal yang menarik, karena ada

yang beranggapan bahwa targhib dan tarhib hampir sama dengan konsep

reward dan punishment.

Targhib dan tarhib pertama kali diperkenalkan oleh Abdurrahman al-

Nahwali yang juga seorang guru besar Tarbiyah di Universitas al-Azhar,

Kairo, Mesir (mahmud09-kumpulanmakalah.blogspot.co.id). Targhib dan

tarhib digunakan dalam pendidikan Islam menggunakan konsep janji dan

ancaman untuk mendidik anak. Untuk lebih jelasnya maka berikut

penjelasanya.

1. Targhib

Targhib adalah strategi atau cara untuk meyakinkan seorang murid

terhadap kekuasaan dan kebenaran Allah SWT melalui janji-Nya, disertai

dengan bujukan dan rayuan untuk melakukan amal shalih. Bujukan yang

dimaksud adalah kesenangan duniawi akibat melaksanakan perintah Allah

swt serta menjauhi larangan-Nya (Muchtar, 2008: 221). Sedangkan

menurut Ahmad Tafsir, targhib adalah janji terhadap kesenangan,

kenikmatan akhirat yang disertai bujukan. Targhib bertujuan agar orang

mematuhi aturan Allah swt (Tafsir, 2008: 146). Maka dapat disimpulkan

bahwa targhib adalah strategi atau cara untuk meyakinkan anak tentang

54

janji-janji Allah SWT terhadap kesenangan, kenikmatan akhirat dengan

bujukan untuk melakukan amal kebaikan.

Targhib menjadi model pendidikan yang memberi efek motivasi

untuk beramal dan memercayai sesuatu yang dijanjikan. Misalnya perkara

tentang “kematian”, secara umum manusia takut akan hal kematian.

Awalnya manusia memiliki rasa takut kehilangan, baik ditinggal oleh

seseorang yang dekat ataupun rasa takut pada kematian itu sendiri.

Perasaan takut itu dilandasi oleh beberapa hal, seperti cinta pada dunia dan

enggan meninggalkan kesenangan di dalamnya, takut akan bentuk

kematian itu sendiri. Dalam hal ini, ajaran Islam memberikan penjelasanya

dengan sangat baik terkait hal-hal kematian, utamanya melalui targhib.

Islam memotivasi manusia untuk beriman dan beramal saleh, serta

melakukan perbuatan-perbuatan baik lainya dengan didasari keimanan

sebagai modal untuk memasuki alam kematian. Contoh ini akan

menggambarkan bahwa pada awalnya manusia itu buta akan kematian,

bahkan cenderung takut kematian dengan berbagai alasan (Syafri, 2014:

112-113).

Tujuan yang ingin dicapai metode targhib adalah untuk memotivasi

anak. Hal ini hampir sama dengan tujuan dari meode pemberian reward

yang juga untuk memotivasi siswa agar lebih giat belajar. Namun yang

membedakan barangkali adalah targhib lebih dalam motivasinya karena

berhubungan dengan janji Allah Swt . Sementara itu reward lebih bersifat

janji duniawi ataupun materi. Namun pada dasarnya targhib dan reward

55

sama-sama berusaha untuk memperbaiki tingkah laku anak sehingga dapat

dikontrol dengan baik dengan cara memotivasi.

Melalui pendidikan yang memberi motivasi dengan janji-janji yang

terdapat dalam nash-nash agama, maka sesuatu yang menakutkan bisa

menjadi dirindu dan diharapkan. Dalam Al-Qur‟an, kalimat targhib

berterbaran hampir di setiap surat. Bila dianalisis bagaimana Al-Qur‟an

melakukan proses pendidikan kepada kaum mukmin dengan kalimat

targhib tersebut selalu memberikan janji yang menyebabkan objek

didikanya merasa dimotivasi untuk sampai pada suatu target amal tertentu

(Syafri, 2014: 114).

“Kemudian Kami selamatkan Rasul-rasul Kami dan orang-

orang yang beriman, Demikianlah menjadi kewajiban atas Kami

menyelamatkan orang-orang yang beriman. (Qs.Yunus: 103)

(Departemen Agama RI, 2002: 220)

Ayat di atas menceritakan bahwa Allah Swt akan menyelamatkan

Rasul-rasul dan orang-orang yang beriman. Orang-orang yang beriman

adalah orang-orang yang menjalankan perintah Allah Swt dan mampu

menjauhi larangan-larangan-Nya. Maka sesuai dengan ayat ini, maka anak

diajak untuk beriman kepada Allah Swt dengan cara beribadah dengan

tekun dan menjadi hamba yang patuh terhadap Tuhanya yaitu Allah Swt.

Harapanya adalah Allah Swt menyelamatkan orang-orang yang beriman

dan memasukkanya ke dalam surga.

56

Pada model targhib dalam Al-Qur‟an terdapat janji-janji

keberuntungan, kebahagiaan, kesempurnaaan, pertolongan, keselamatan,

bahkan semua yang menjadi idaman kaum mukmin, baik jangka pendek di

dunia, maupun jangka panjang di akhirat. Pahala di akhirat itulah reward

dari dzat yang maha kaya bagi yang berhasil melakukan amalan-amalan

terbaik selama di dunia (Syafri, 2014: 114).

Targhib merupakan salah satu alternatif metode pendidikan

disamping metode-metode lain yang sudah biasa digunakan. Targhib dapat

digunakan kepada anak untuk memberikan motivasi sekaligus sebagai

bahan pertimbangan bagi anak untuk melakukan sesuatu yang

diperintahkan oleh agama, dalam hal ini agama Islam. Sehingga nantinya

anak akan paham tentang apa yang dijanjikan Allah Swt apabila ia

melakukan amal baik dan berusaha untuk mendapatkan janji tersebut demi

kebahagiaanya di dunia dan akhirat.

Model targhib ini mendorong menghadirkan perasaan penuh rindu

kepada sesuatu yang diinginkan atau sesuatu yang dijanjikan sebagai

reward karena melakukan perintah-Nya. Model targhib juga

memunculkan rasa harap yang besar terhadap janji yang disebutkan.

Tentunya rasa harap itu bukanlah angan-angan, karena rasa harap selalu

diiringi dengan amal, sedangkan anagan-angan tidak diiringi oleh amal

yang mewujudkanya (Syafri, 2014: 117).

Targhib bisa dibilang digunakan untuk membentuk kepribadian

islami dalam diri anak. Dengan kepribadian islami tersebut maka anak

57

akan mudah untuk diajak beribadah karena anak paham akan janji Allah

Swt kepada orang-orang yang beriman. Lalu, dalam pembelajaran anak

akan bersemangat untuk mencari ilmu yang bermanfaat bagi kehidupanya.

Selain itu, pendidikan dengan model targhib akan merangsang kesadaran

anak bahwa semua yang dilakukanya di dunia ini semata-mata untuk Allah

Swt.

Pendidikan yang menggunakan model targhib adalah pendidikan

yang melihat manusia tidak saja pada aspek akal dan jasmani, tapi juga

melihat aspek hati atau jiwa. Keberhasilan suatu pendidikan diukur pada

orientasi pendidikan yang sesuai dengan tujuan pendidikan Islam. Jadi

harus dipastikan pendidikan pada aspek akal, jasmani serta jiwa atau hati.

Ketiganya mesti seimbang, tidak pincang (Syafri, 2014: 117). Dalam

pendidikan modern saat ini dikenal istilah kognitif, afektif dan

psikomotorik. Ketiga hal ini merupakan aspek-aspek yang menjadi sasaran

pendidikan modern. Pada dasarnya, ketiga hal ini juga yang menjadi

sasaran dalam pendidikan Islam. Namun, yang membedakan barangkali

adalah dalam pendidikan Islam lebih memusatkan tujuanya ke dalam sisi

hati atau jiwa anak didik secara islami (kerohanian).

Model targhib ini juga mengakui eksistensi jiwa dan perasaan

dimana hal ini amat penting dalam dunia pendidikan. Model ini mencoba

untuk memberikan porsi pendidikan kepada jiwa dan hati tersebut dengan

kalimat-kalimat yang membangkitkan manusia untuk bergerak. Tidak saja

aspek jiwa atau hati yang digugah, akal pun diberi ruang untuk berpikir,

58

yaitu membedakan antara suatu yang positif dan yang membahayakan

(Syafri, 2014: 117). Jiwa dan perasaan merupakan suatu elemen penting

dalam diri manusia. Ketika jiwa ataupun perasaan manusia tersakiti oleh

sesuatu yang menyakitkan, maka ini akan sangat berbahaya dalam

perkembangan dirinya. Maka dari itu, pendidikan model targhib sangat

menjaga perasaan dan jiwa dengan menawarkan janji-janji Allah Swt yang

berupa kebahagiaan di akhirat.

Banyak kelemahan-kelamahan dalam dunia pendidikan yang

disebabkan kurang diperhatikanya aspek jiwa dan perasaan manusia.

Bahkan meskipun ada pendekatan yang digunakan, belum menggunakan

pendekatan yang tepat sesuai dengan kecenderungan fitrah manusia. Dunia

pendidikan terkesan memperlakukan manusia seperti robot. Olahan otak

dan jasmani amat dominan dalam pendidikan yang berkembang saat ini,

sehingga standar-standar keberhasilan pendidikan seringkali diterjemahkan

dengan angka. Proses pendidikan sudah dianggap berhasil bila kecerdasan

anak didik itu terbukti dengan selembar kertas hasil tes mereka yang lebih

bercorak kemampuan akal. Bentuk pembelajaran yang tidak membangun

keseimbangan antara aspek-aspek yangg ada dalam diri manusia tersebut

sebenarnya bisa disebut sebagai model yang gagal. Yaitu kegagalan

sebuah metode untuk sampai kepada orientasi pendidikan yang

sesungguhnya. Al-Qur‟an melakukan keseimbangan dalam komunikasi

melalui firman-Nya. Sehingga dapat disimpulkan, model pendidikan yang

59

digunakan Al-Qur‟an dalam mendidik manusia melalui ayat-ayatnya

sangat sempurna dan sesuai dengan karakter manusia (Syafri, 2014: 118).

2. Tarhib

Tarhib adalah strategi untuk meyakinkan seorang murid terhadap

kekuasaan dan kebenaran allah melalui ancaman siksaan sebagai akibat

melakukan perbuatan yang dilarang oleh Allah Swt, atau tidak

melaksanakan perintah Allah SWT (Muchtar, 2008: 222). Sedangkan

menurut Ahmad Tafsir, tarhib adalah ancaman karena dosa yang

dilakukan (Tafsir, 2008: 146). Maka dapat disimpulkan bahwa tarhib

adalah strategi untuk meyakinkan seorang murid terhadap ancaman karena

dosa yang dilakukan manusia sebagai akibat melakukan perbuatan yang

dilarang oleh Allah SWT, atau tidak melaksanakan perintah Allah SWT.

Berdasarkan Al-Qur‟an, tarhib adalah upaya menakut-nakuti

manusia agar menjauhi dan meninggalkan suatu perbuatan. Landasan

dasarnya adalah ancaman, hukuman, sanksi, dimana hal tersebut adalah

penjelasan sanksi dari konsekuensi meninggalkan perintah atau

mengerjakan larangan dari ajaran agama. Namun, tarhib bukanlah

hukuman itu sendiri, tarhib berbeda dengan hukuman. Tarhib adalah

proses atau metode dalam menyampaikan hukuman, dan tarhib itu sendiri

ada sebelum suatu peristiwa terjadi. Sedangkan hukuman adalah wujud

dari ancaman yang ada setelah peristiwa itu terjadi. Contoh ketika anak

didik dilarang menggunakan narkoba, kemudian diiringi dengan

penjelasan secara detail suatu gambaran yang dapat menakut-nakuti agar

60

peserta didik tidak menggunakan narkoba. Maka upaya tersebut adalah

model tarhib sedangkan detail wujud dari sesuatu yang berefek mankut-

nakuti tadi adalah hukuman, misalnya dihukum dengan dikeluarkan dari

sekolah. (Syafri, 2014: 118-119)

Ketika dalam dunia pendidikan, model tarhib memberi efek rasa

takut untuk melakukan suatu amal. Pendidikan yang menggunakan model

tarhib adalah pendidikan yang melihat aspek hati atau jiwa manusia tidak

saja pada aspek akal jasman, tapi juga melihat aspek hati atau jiwa

manusia. Model ini memanfaatkan sifat takut yang ada pada diri manusia.

Rasa takut yang ada pada diri manusia tersebut dididik menjadi takut yang

bermakna tidak berani melakukan kesalahan atau pelanggaran, karena ada

sanksi dan hukumanya ( Syafri, 2014: 120).

Tarhib dalam pendidikan Islam memiliki peranan yang penting,

karena dengan metode tarhib ini akan memudahkan pendidik untuk

membuat anak menjadi takut untuk meninggalkan kewajibanya sebagai

muslim. Sehingga anak dengan mudah dididik sesuai arahan dari guru

atau orangtuanya. Tanpa disadari anak akan terbiasa dengan melaksanakan

kewajibanya karena rasa takut yang mendalam terhadap siksa ataupun

azab dari Allah Swt. Maka inilah yang disebut dengan tarhib, yaitu dengan

ancaman dari Allah Swt melalui ayat-ayat Al-Qur‟an.

Bila diteliti, kalimat-kalimat tarhib yang disebut dalam Al-Qur‟an

merupakan ancaman yang amat menakutkan yang berasal dari Dzat Yang

Mahakuasa sehingga bila ancaman ini selalu diulang-ulang

61

penyampaianya tentu akan membawa efek takut yang mendalam. Kalimat-

kalimat yang bernada ancaman seperti siksa, azab, zalim, sesat dan

tersesat, dibiarkan Allah dengan tidak diberi petunjuk, dan semacamnya

akan berimbas positif dalam bentuk ketaatan pada diri seorang mukmin

(Syafri, 2014: 121)

Sebagai contoh, berikut ayat Al-Qur‟an yang mengandung tarhib

didalamnya. Qs. .At-Taubah ayat 39

Jika kamu tidak berangkat untuk berperang, niscaya Allah

menyiksa kamu dengan siksa yang pedih dan digantinya (kamu)

dengan kaum yang lain, dan kamu tidak akan dapat memberi

kemudharatan kepada-Nya sedikitpun. Allah Maha Kuasa atas

segala sesuatu.(Qs.At-Taubah : 39) (Departemen Agama RI, 2002:

193)

Targhib dan tarhib dalam pendidikan Islam berbeda dari metode

ganjaran dan hukuman dalam pendidikan Barat. Perbedaan utamanya

adalah targhib dan tarhib bersandarkan ajaran Allah, sedangkan ganjaran

dan hukuman bersandarkan hukuman dan ganjaran duniawi. Menurut

Tafsir (2009: 147) perbedaan itu mempunyai implikasi yang penting yaitu:

1. Targhib dan tarhib lebih teguh karena akarnya berada di langit

(transenden), sedangkan teori hukuman dan ganjaran hanya

bersandarkan sesuatu yang duniawi. Targhib dan tarhib mengandung

aspek iman, sedangkan metode ganjaran dan hukuman tidak

62

mengandung aspek iman. Oleh karena itu, targhib dan tarhib lebih

kuat pengaruhnya.

2. Secara operasional, targhib dan tarhib lebih mudah dilaksanakan

daripada metode hukuman dan ganjaran karena materi targhib dan

tarhib sudah ada dalam Al-Qur‟an dan hadis Nabi, sedangkan

hukuman dan ganjaran dalam metode barat harus ditemukan sendiri

oleh guru.

3. Targhib dan tarhib lebih universal, dapat digunakan kepada siapa saja

dan diman saja, sedangkan jenis hukuman dan ganjaran harus

disesuaikan dengan orang tertentu dan tempat tertentu.

4. Di pihak lain, targhib dan tarhib lebih lemah daripada hukuman dan

ganjaran, karena hukuman dan ganjaran lebih nyata dan langsung

waktu itu juga, sedangkan pembuktian targhib dan tarhib kebanyakan

gaib dan diterima nanti di akhirat

Berdasarkan perbedaan-perbedaan yang ada di atas, maka dapat

disimpulkan bahwa perbedaan yang mendasar antara targhib dan tarhib

dengan ganjaran dan hukuman adalah Targhib dan tarhib mengandung

aspek iman sedangkan ganjaran dan hukuman tidak mengandung aspek

iman. Materi targhib dan tarhib sudah ada dalam Al-Qur‟an dan hadis

nabi, sedangkan hukuman dan ganjaran ditentukan sendiri oleh guru.

Hukuman dan ganjaran lebih nyata dan langsung waktu itu juga

pemberianya, sedangkan pembuktian targhib dan tarhib kebanyakan gaib

dan diterima nanti di akhirat.

63

BAB IV

REWARD DAN PUNISHMENT DALAM PERSPEKTIF

PENDIDIKAN ISLAM

A. Reward dalam Pendidikan Islam

Reward dalam pendidikan digunakan untuk memberikan perasaan senang

kepada anak didik. Perasaan senang yang muncul memungkinkan membuat

gairah anak untuk giat belajar dan meningkatkan prestasinya. Tujuan utama dari

pemberian reward tidak lain adalah untuk membuat anak merasa dihargai

prestasinya, sehingga anak akan cenderung untuk melakukan yang terbaik dalam

setiap pembelajaran.

Banyak ahli pendidikan yang menyarankan agar reward digunakan dalam

pembelajaran untuk memotivasi siswa atau anak. Seperti Abuddin Nata yang

berpendapat bahwa seorang guru harus memotivasi para siswa agar memanfaatkan

waktu dengan sebaik-baiknya dan menanyakan hal-hal yang penting, dan jika

guru menemukan seorang siswa yang menguasai pelajaran , maka ia segera

memberikan perhatian, pengakuan, penghormatan dan pujian dalam batas-batas

yang tidak membawa sikap sombong pada anak tersebut (Nata, 2001: 94).

Memperhatikan dengan baik perkembangan anak akan membuat pendidik atau

orangtua menjadi paham tingkahlaku anak, sehingga pendidik bisa dengan sabar

dalam menghadapi anak yang sering bertingkah kurang baik, dan tidak perlu

menggunakan hukuman untuk mendidik anak tersebut.

64

Guru bisa memberi memberi hadiah kepada siswa-siswanya yang rajin dan

berprestasi dengan beberapa hadiah yang membawa manfaat kepada dunia dan di

akhirat, misalnya membagikan buku-buku islami kecil yang bertema bagus atau

membagikan kaset islami ataupun barang-barang lainya yang islami. Siswa akan

bangga dengan hadiah dari gurunya, sehingga dia akan berusaha mengambil

manfaat dari hadiah tersebut karena dia telah mendapatkanya dalam kesempatan

yang sangat berharga baginya (Al-Munir, 2003: 55). Ketika siswa mendapatkan

hadiah, harapanya adalah siswa lain termotivasi untuk rajin dan berprestasi.

Namun juga harus dipikirkan secara matang hadiah apa yang pantas diberikan

kepada seorang anak. Dalam pendidikan Islam tentunya hadiah yang diberikan

juga harus bermanfaat bagi anak dalam keislamanya seperti buku panduan shalat,

buku tentang zikir, Al-Qur‟an dan sebagainya.

Pujian mungkin digunakan untuk meneguhkan gerak balas yang

dikehendaki. Guru boleh menyatakan kepuasanya terhadap pencapaian murid-

muridnya dengan ucapan-ucapan seperti “bagus, pelajaranmu cemerlang dan lain

sebagainya. “ oleh karena prestise penyebab ganjaran itu sangat penting, maka

haruslah guru menggunakan segala macam cara untuk menjadikan ganjaran itu

lebih menarik, ganjaran yang diberikan dengan mudah biasanya mudah pula

hilang kesanya (Langgulung, 2004: 38).

Al-Ghazali dalam kitabnya Tahdzib Al-Akhlak wa Mu‟alajat Amradh Al-

Qalub mengemukakan, bahwa setiap kali seorang anak menunjukkan perilaku

mulia atau perbuatan yang baik seyogyanya ia memperoleh pujian dan jika perlu

diberi hadiah atau insentif dengan sesuatu yang menggembirakanya, atau

65

ditujukan pujian kepadanya di depan orang-orang sekitarnya (Majid, 2013: 124).

Dengan demikian, Al-Ghazali yang merupakan tokoh pendidikan Islam dan

pernah menjadi guru besar di Universitas Al-Azhar sangat manganjurkan

penggunaaan reward dalam pendidikan. Tidak lain, tujuanya adalah untuk

mendidik karakter anak sehingga anak menjadi baik dalam segala hal. Dengan

memberikan hadiah secara langsung kepada anak di depan banyak orang,

barangkali dapat menimbulkan efek yang baik dan lebih besar kepada anak-anak

yang melihatnya.

Prinsip “kasih sayang” yang merupakan ekspresi dari reward memang

sudah seharusnya diterapkan dalam proses belajar mengajar, terlebih-lebih ketika

materialisme sering mengalahkan prinsip-prinsip lainya (Mas‟ud, 2002: 189).

Banyak yang beranggapan bahwa reward identik dengan bentuk materi, padahal

sebenarnya reward yang terbaik adalah kasih sayang, perhatian, pujian dan

semacamnya. Maka dari itu, orangtua dan pendidik dalam memberikan reward

tidak harus berupa materi namun cukup dengan hal-hal kecil yang menjadikan

perasaan nyaman seorang anak.

Mahmud Samir Al-Munir mengatakan bahwa dalam pendidikan Islam,

jika guru melihat salah satu siswanya berpegang teguh kepada ajaran Islam, etika-

etika Islam, bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu maka puji dan berilah

hadiah. Lakukan itu di depan teman-temanya sekelas agar mereka semua

termotivasi (Al-Munir, 2003: 55). Hal ini sejalan dengan tujuan pemberian reward

66

dalam pendidikan yaitu untuk memotivasi siswa agar giat belajar dan senantiasa

termotivasi untuk berprestasi.

Reward dan punishment dalam pendidikan Islam tidak bisa dipisahkan dari

konsep tujuan pendidikan Islam itu sendiri. Manusia yang bertakwa selalu

menjadi salah satu kunci dalam rumusan tujuan pendidikan dalam Islam. Nabi

Muhammad SAW sebagai insan kamil dan sekaligus sebagai model paripurna

telah disepakati dalam dunia Islam. Dengan demikian, sikap-sikap Nabi dan cara-

cara beliau mendidik umat Islam merupakan rujukan penting setelah Al-Qur‟an.

Muhammad SAW adalah insan al-kamil, sekaligus guru terbaik (Mas‟ud, 2002:

183). Tidak diragukan lagi bahwa Nabi Muhammad SAW merupakan suri

tauladan yang baik, karena beliau adalah manusia terpilih untuk menjadi nabi

yang terakhir dan pembawa kebenaran sehingga sabda beliau menjadi dasar

hukum dalam Islam setelah Al-Qur‟an.

The mother surat dalam Al-Qur‟an, al-fatihah, memberi isyarat secara

eksplisit bahwa dambaan setiap muslim adalah siratal mustaqim „jalan lurus”,

yakni jalanya orang-orang yang mendapatkan hidayah dari Allah, bukan

golonganya orang yang mendapatkan murka dan sesat. Orang yang memperoleh

nikmat dan petunjuk adalah seperti Nabi Muhammad SAW. Sebaliknya, orang-

orang yang tersesat dan akan mendapatkan punishment dari Allah adalah kaum

kafirin dan munafiqin. Dari ayat penting ini bisa ditekankan bahwa tujuan dari

proses pendidikan Islam identik dengan pencarian hidayah dan kesempurnaan diri

sekaligus dengan menjadikan tokoh-tokoh penting, khususnya Nabi Muhammad,

sebagai model pendidikan. Dengan kata lain, guidance „petunjuk‟, siratal

67

mustaqim adalah sasaran dan sekaligus metode yang seyogianya ditempuh dalam

proses pendidikan Islam (Mas‟ud, 2002: 184-185). Nabi Muhammad tidak hanya

sebagai pembawa kebenaran dalam ajaran Islam, namun beliau juga menjadi

panutan bagi pendidik dalam memilih metode pendidikan Islam saat ini.

Untuk melandasi metode reward dan punishment dalam pendidikan Islam,

prinsip-prinsip yang diperkenalkan Rasulullah perlu ditengok kembali. Prinsip-

prinsip tersebut seperti yang dikemukakan oleh Abdurrahman Mas‟ud diantaranya

sebagai berikut :

1. Kesabaran, keuletan, dan ketegaranya dalam menegakkan ajaran Islam. Tatkala

wajah Nabi bercucuran darah karena diserang musuh dalam perang uhud bulan

Maret 625 M, para Sahabat menjadi geram dan memohon agar Rasulullah

berdoa supaya musuh-musuh dikutuk. Namun, jawaban beliau di luar dugaan

para Sahabat, “Tidak...., aku dijadikan utusan Allah bukan untuk mengutuk,

melainkan untuk mengajak mereka dengan penuh kasih sayang!” (Mas‟ud,

2002: 185). Prinsip kasih sayang merupakan ekspresi dari reward. Karena

mendidik anak harus penuh rasa kasih sayang agar anak menjadi disiplin dalam

melaksanakan tugasnya. Reward yang diberikan bisa bermacam-macam seperti

perhatian, pujian, hadiah dan sebagainya.

2. Pemaaf, tanpa dendam dan dengki kepada orang lain yang berbuat kesalahan

kepadanya. Dalam hal ini, Ibn Hazm menggambarkan Nabi sebagai tokoh yang

tidak berkenan marah dalam urusan pribadi meskipun dihina, tetapi tidak

pernah tinggal diam jika yang dicela adalah agama dan Tuhanya. Dalam jeda

suatu peperangan, Nabi tengah beristirahat di bawah pohon. Tiba-tiba seorang

68

kafir menghunus pedang dan mengacungkanya kepada Nabi serta mengancam,

“Hai Muhammad, siapa yang mampu menghambat pedang ini untuk

menyelamatkanmu?” Jawab Rasul, “Allah‟ mendengar kalimat “Allah”,

jatuhlah pedang orang kafir tersebut. Pedang diambil Nabi dan diacungkanya

pula kepada musuh ini seraya berkata, “Siapakah yang bisa menyelamatkanmu

sekarang?” “Tidak ada seorangpun, “ kata laki-laki itu dalam ketakutan yang

mendalam. “Ampun, kasihanilah aku, Tuan Muhammad,“ pintanya. Ujar Nabi,

“Ucapkanlah la ilaha illa Allah, dan aku Rasulullah.“ “Tidak” kata laki-laki itu.

“Tetapi, saya berjanji tidak akan bergabung dengan para musuhmu lagi.”

Setelah diampuni oleh rasulullah, orang ini pulang ke lingkunganya dengan

gembira dan bercerita kepada keluarganya (Mas‟ud, 2002: 185-186). Nabi

Muhammad saw mengajarkan kepada umat muslim untuk saling memaafkan

kesalahan orang lain. Artinya, dalam proses pendidikan seorang pendidik harus

mampu menahan amarahnya ketika anak telah melakukan sebuah kesalahan.

Lebih baik pendidik memaafkan dan memaklumi kesalahan anak.

3. Mencintai dan menyayangi sesama mukmin. Murid Nabi pada masanaya

mendapatkan panggilan istimewa, yaitu Sahabat. Bahkan, Nabi memberikan

perumpamaan bahwa para Sahabat bagaikan bintang-bintang di langit, ka-l-

nujum. Siapa yang mengikuti mereka akan mendapatkan petunjuk. Nabi bukan

sekadar cinta kepada sesama muslim, melainkan lebih jauh lagi, menyelami

kepribadian mereka. Tidak mengherankan jika kita menyaksikan bahwa para

Sahabat mampu mewarisi kelebihan-kelebihan beliau. Abu Bakar terkenal akan

kesalehanya dan as-shiddiq, Usman terkenal akan kedermawananya dan sebagi

69

ahli beribadah, umar terkenal al-faruq dalam menegakkan keadilan di bumi,

Ali bin Abu Thalib masyhur dengan kecerdikan dan kecendekiawananya

(babul ilmi / the gate of knownledge) (Mas‟ud, 2002: 186-187). Apabila

dicermati, Nabi Muhammad Saw telah memberikan sebuah reward kepada

para sahabat-sahabatnya, yaitu dengan memberikan pujian. Selain itu, Nabi

juga memanggil mereka dengan sebutan sahabat,. Saat ini yang kita pahami

adalah sahabat merupakan teman dekat yang sangat akrab. Maka hal ini adalah

contoh bagaimana seorang Nabi memberikan teladan yang sangat baik dalam

pendidikan.

Apabila prinsip-prinsip tersebut bisa diinterpretasiakan bahwa

meskipun kehadiran Nabi adalah sebagai nadhir, warner, kehadiranya sebagai

bashir dalam proses pendidikan Islam tampak lebih dominan dan signifikan.

Sebagai bashir, yakni tokoh yang membawa berita gembira dan keselamatan

lahir dan batin, Nabi tidak menawarkan reward dalam bentuk materi, tetapi

merangsang kecerdasan para murid, memperhalus budi pekerti, dan

mempertajam spritual keagamaan mereka (Mas‟ud, 2002: 187). Implikasi

status bashir dalam pendidikan Islam adalah bahwa seorang guru, seperti Nabi

Muhammmad, harus bertindak sebagai promotor of learning, baik di dalam

maupun di luar kelas, serta harus mampu berinteraksi dengan siswa secara

antusias dan penuh kasih sayang. Dengan prinsip ini, hukuman fisik bagi siswa

merupakan hal yang tidak populer dalam kamus pendidikan Islam.

70

B. Punishment dalam Pendidikan Islam

Islam mengajarkan cara kepada kita untuk mengarahkan dan berinteraksi

dengan anak, ketika anak melakukan sebuah pelanggaran dan kesalahan. Islam

memberikan pilihan, melarang, mengasingkan, dan menghukumnya (Ulwan,

2009: 120). Mendidik seorang anak memang tidak mudah, terkadang anak sering

meremehkan apabila orangtuanya tidak tegas dalam mendidiknya. Namun

sebaliknya, ketika anak dididik dengan keras maka akan terkesan orangtua itu

kejam, kasar dan sebagainya. Padahal tidak ada yang meragukan bahwa kasih

sayang orangtua adalah kasih sayang terbaik yang diberikan kepada anaknya.

Kalaupun orangtua menghukum seorang anak, maka itu semata-mata untuk

memperbaiki tingkah laku anak. Maka dalam persoalan ini, tidaklah salah apabila

orangtua ataupun pendidik pada umumnya memberikan sebuah punishment

kepada anaknya. Karena terkadang, ada anak yang hanya bisa diperbaiki

tingkahlakunya dengan menggunakan cara yang sedikit keras seperti hukuman.

1. Pendapat Para Tokoh Pendidikan Islam

Para filosof Islam telah memperhatikan sekali mengenai masalah

hukuman kepada anak, baik hukuman mental ataupun hukuman fisik. Mereka

semua sependapat bahwa pencegahan lebih baik dari perawatan. Karena itu

mereka menyerukan supaya dipergunakan segala macam jalan untuk mendidik

anak mulai dari kecil sampai mereka terbiasa dengan adat istiadat yang baik di

waktu telah besar, sehingga tidak lagi memerlukan suatu hukuman. Dan berikut

pendapat para tokoh pendidikan Islam tentang hukuman :

71

a. Ibnu Shina berpendapat bahwa apabila pendidik terpaksa harus

menggunakan hukuman, sebaiknya diberi peringatan dan ancaman lebih

dahulu. Jangan menindak anak dengan kekerasan, tetapi dengan kehalusan

hati, lalu diberi motivasi dan persuasi dan kadang-kadang dengan muka

masam atau dengan cara lain agar ia kembali kepada perbuatan baik seperti

memuji. Mendorong keberanianya untuk berbuat baik. Perbuatan yang

demikian itu merupakan perilaku yang mendahului tindakan khusus. Tetapi

jika sudah terpaksa memukul, cukuplah pukulan sekali yang menimbulkan

rasa sakit, karena pukulan yang cukup banyak menyebabkan anak merasa

ringan, dan memandang hukuman sebagai sesuatu yang remeh.menghukum

dengan pukulan dilakukan setelah diberi peringatan keras (ultimatum) dan

menjadikan sebagai alat penolong untuk menimbulkan pengaruh yang

positif dalam jiwa anak (At-Tuwaanisi, 2004: 125)

b. Al-Ghazali berpendapat bahwa apabila seorang anak melakukan kesalahan,

maka untuk pertama kali sebaiknya orang tua ataupun guru berpura-pura

tidak mengetahui, agar tidak membuka rahasianya. Apabila jika anak sendiri

merahasiakanya. Setelah itu apabila ia mengulangi lagi perbuatanya, maka

sebaiknya ia ditegur secara rahasia (tidak didepan orang lain) dan

memberitahuyaakibat buruk dari perbuatanya. Dan memberi nasehat agar

tidak sekali-kali mengulangi kesalahan yang sama. Akan tetapi, jangan

berlebihan dan mengecamnya setiap saat. Sebab, terlalu sering menerima

kecaman, akan membuatnya menerima hal itu sebagai sesuatu yang biasa

72

dan dapat mendorongnya kearah perbuatan yang lebih buruk lagi. (Majid,

2013: 124)

c. Menurut Al-„Abdari, sifat-sifat anak yang berbuat salh harus diteliti, dan

dengan satu pandangan mata ataupun kerlingan sajaterhadap si anak

mungkin cukup untuk pencegahan dan perbaikan. Sebaliknya, mungkin ada

anak yang memang membutuhkn celaan ataupun ancaman sebagi

hukumanya. Selain itu juga mungkin ada anak yang harus dipukul dan

dicerca baru ia dapat diperbaiki. Seorang pendidik tidak boleh menggunakan

kekerasan kecuali memang sudah terpaksa dan sudah menggunakan cara

halus dan lembut akan tetapi belum merubah si anak.. Jika terpaksa harus

menjatuhkan hukuman , cukuplah kiranya diberi tiga pukulan ringan (Al-

Abrasyi, 1993: 156).

d. Ibnu Khaldun menolak metode al-syiddah wa al-ghizlah (kekerasan dan

kekasaran) di dalam pendidikan. Ibnu khaldun menulis: “Hukuman keras

berupa tindakan fisik di dalam ta‟lim itu berbahaya bagi muta‟alim,

terutama bagi ashagbir al-walad (anak-anak kecil). Alasan yang

dikemukakan Ibnu Khaldun adalah bahwa siapa yang biasa dididik dengan

kekerasan, ia akan selalu dipengaruhi kekerasan itu. Selain itu, ia akan

selalu merasa sempit hati,, kurang aktif bekerja, dan memiliki sifat pemalas,

menyebabkan ia berdusta serta melakukan hal-hal buruk, karena takut akan

dijangkau oleh tangan tangan yang kejam (Suharto, 2006: 246). Meskipun

demikian, Ibnu Khaldun juga membolehkan memberlakukan hukuman

(punishment), tetapi hukuman tersebut bersifat edukatif. Hukuman ini

73

hendaknya diterapkan oleh guru dalam keadaan terpaksa karena tak ada

jalan lain, (sesudah semua cara yang lemah lembut tidak berhasil. Dengan

begitu, hukuman menjadi salah satu alat atau metode dalam pendidikan

Islam. Hal ini dapat diketahui dari tulisanya yang memuat tentang nasihat

Harun al-Rasyid kepada Khalaf bin Ahmar, guru putranya, Muhammad al-

Amin, yang berkata :

Jangan biarkan waktu berlalu kecuali jika anda gunakan untuk

mengajarinya sesuatu yang berguna, tapi bukan dengan cara yang

menjengkelkanya, cara yang dapat mematikan pikiranya. Jangan

pula terlalu lemah lembut, bila umpamanya ia mencoba

membiasakan hidup santai. Sebisa mungkin, perbaiki dia dengan

kasih sayang dan lemah lembut. Jika dia tidak mau dengan cara itu,

anda harus mempergunakan kekerasan dan kekasaran.

Dari kutipan tersebut tampaknya Ibnu Khaldun membenarkan

adanya hukuman kepada peserta didik, tetapi bukan untuk menyakiti atau

merusak mental mereka, melainkan untuk mendidiknya agar lebih baik.

Namun perlu ditegaskan dari dari wasiat Harun al-Rasyid tersebut dapat

disimpulkan bahwa prinsip hukuman (punishment) merupakan alat atau

metode dalam mendidik, akan tetapi jangan dilakukan oleh pendidik atau

guru keculi dalam keadaan terpaksa karena tak ada jalan lain sesudah semua

cara yang lemah lembut tidak berhasil (Kosim, 2012: 103)

e. Ibnu Sahnun lebih menekankan metode pembelajaran yang bersifat

memotivasi siswa agar senantiasa bertukar pikiran dan berdialog dan

berkompetisi dalam meraih prestasi, yaitu metode yang membangkitkan

kesadaran agama dan menjaga tata krama. Selain metode tersebut, Ibnu

Sahnun juga menganjurkan adanya pemberian hukuman (punishment) dalam

74

mengajar, apabila menemukan siswa yang tidak benar dalam belajarnya.

Dengan demikian, menurutnya guru boleh memukul peserta didik, tetapi

hendaknya tidak dilakukan dalam keadaan marah, namun hendaknya dalam

keadaan “main-main”, dan melakukanya pun hanya tiga kali saja. Tidak

boleh lebih dari sepuluh kali, kecuali atas izin dari orangtuanya. Tidak pula

diperbolehkan memukul anak didik pada kepala, muka, atau wajahnya

(Gunawan, 2014: 297).

f. Al-Qabisy juga sependapat dengan Ibnu Sahnun bahwa dalam pembelajaran

diperbolehkan untuk menggunakan metode hukuman (punishment) , yakni

menghukum dengan cara memukul siswa, satu hingga tiga kali, dengan

syarat tidak memukul dalam keadaan marah, dan dalam melakukanya tidak

keluar dari kebiasaan pendidikan. Jika terpaksa menggunakan pukulan,

maka hal tersebut dengan kesepakatan dengan siswa (Gunawan, 2014: 304).

Sementara itu, Al-Haris Al-Muhasibi tidak sependapat dengan Ibnu Sahnun

ataupun Al-Qabisy, Al-Muhasibi lebih menekankan prinsip pahala (reward)

dan prinsip motivasi daripada menggunakan metode hukuman (punishment)

(Gunawan, 2014: 306).

g. Abdullah Nashih Ulwan berpendapat bahwa, apabila anak bisa diarahkan

dengan tutur kata yang lembut dan halus, maka bagi pendidik tidak

diperkenankan untuk melontarkan kata-kata kasar dan kotor. Sebaliknya,

jika anak sudah tidak lagi dapat diberikan arahan dengan cara halus dan

lembut, boleh bagi pendidik untuk mengeluarkan nasihatnya dengan suara

keras, selama itu tidak kotor dan menyakiti anak. Jika sang anak dapat

75

diarahkan dengan perkataan keras, tidak dibolehkan bagi pendidik untuk

memukul dan menyakiti anak, terlebih lagi sampai menganiayanya. Jika

sudah mempergunakan berbagai macam cara kelembutan, namun anak tetap

membandel dan tidak mau diarahkan dengan hal yang baik, boleh bagi

pendidik untuk memukulnya, selama hal itu tidak mencederai sang anak

(Ulwan, 2009: 111).

Pendapat para tokoh pendidikan Islam di atas, semuanya mempunyai cara

tersendiri mengenai bagaimana hukuman itu digunakan. Namun yang perlu

dipahami dengan jelas adalah para pakar tersebut membolehkan punishment

digunakan, akan tetapi dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh pendidik

apabila ingin menggunakan hukuman dalam pembelajaran. Hukuman merupakan

suatu hal yang sensitif di kalangan masyarakat sehingga penggunaanya tidak

boleh sembarangan.

2. Dasar Pemberian Punishment dalam Islam

Sumber hukum dalam Islam adalah Al-Qur‟an dan Hadits. Dengan

begitu maka sudah sepantasnya ketika membahas apapun maka harus

dikembalikan kepada kedua sumber hukum ini. Dalam Al-Qur‟an, Allah

menjelaskan tentang balasan bagi orang yang berbuat kebaikan dan balasan

bagi orang yang berbuat kejahatan seperti dalam surat Al-Zalzalah ayat 7-8 :

“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun,

niscaya Dia akan melihat (balasan)nya. dan Barangsiapa yang

mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat

76

(balasan)nya pula. “ (QS. Al-Zalzalah : 7-8) (Departemen Agama RI,

2002: 599)

Sesuai dengan makna ayat di atas, yang dapat penulis pahami adalah

setiap orang yang berbuat baik sekecil apapun pasti akan mendapat balasan

dari Allah dan setiap orang yang berbuat kejahatan akan mendapat balasanya

juga. Balasan-balasan tersebut adalah hak Allah Swt. Balasan bagi orang yang

berbuat baik dari Allah Swt adalah Surga dan balasan bagi orang yang

mengerjakan kejahatan adalah Neraka.

Ayat ini apabila dikaitkan dengan pendidikan, maka bisa diartikan

ketika seorang anak mendapatkan prestasi sebisa mungkin bagi pendidik

untuk memberikan penghargaan ataupun pujian atas prestasinya tersebut. hal

ini akan memberikan nilai tambahan bagi pendidik yang mampu

menumbuhkan motivasi belajar bagi siswanya. Sementara itu apabila anak

tidak disiplin atau melakukan perilaku yang kurang baik mak tugas guru

ketika di sekolah adalah menegur sang anak dengan baik. Teguran yang baik

paling tidak akan memberikan pemahaman kepada anak bahwa yang

dilakukanya itu adalah perbuatan yang kurang baik sehingga harus diperbaiki

nantinya.

Sementara itu dalam hadits Nabi juga mengajarkan bagaimana

seharusnya sikap orang tua ketika anak tidak menurut dengan apa yang

dikatakan orangtuanya. Haditsnya adalah sebagai berikut :

ه ب ر اض ف ن ي ن س عشر غ ل ا ب ذ ا ن ي ن س ع ب س غ ل ب ا ذ ا ل ا لص ى ب ب لص اار م

ا )ر ا ه اب اداد (ي ي ل ع

77

“Perintahkanlah kepada anak-anakmu untuk melaksanakan shalat,

diwaktu usia mereka meningkat tujuh tahun, dan pukullah (kalau ia tidak

mau shalat) diwaktu mereka berumur sepuluh tahun. (HR. Abu Daud) (Al

Al bani, 2007: 198)

Menurut hadits di atas, Nabi Muhammad SAW memberikan anjuran

kepada orangtua untuk memerintahkan anak-ananya shalat ketika telah

berumur tujuh tahun. Lalu ketika anak-anaknya berusia sepuluh tahun tetapi

tidak mau shalat maka orangtua boleh memukul anaknya. Hadits ini ketika

dihubungkan dalam pendidikan Islam khusunya, maka pemukulan terhadap

anak atau siswa diperbolehkan jika memang anak tidak menjalankan tugasnya

dengan baik. Namun, berbeda dengan kasus yang terjadi akhir-akhir ini.

Seperti yang diberitakan harian7.com, buntut pemukulan yang dilakukan T,

Guru SD Negeri Ledok 2 Salatiga terhadap NSU yang juga anak didiknya di

sekolah tersebut, akhirnya kasus ini dilaporkan ke Polres Salatiga oleh salah

seorang siswa yang menjadi korban. Sebelum resmi melaporkan kasus

pemukulan terhadap siswa, dua orangtua siswa lebih dulu konsultasi ke Unit

PPA Polres Salatiga (www.harian7.com/2016/02/pemukulan-siswa-oleh-guru-

sd-ledok-2_66.html?m=1 diakses, 1 Agustus 2016).

Kasus ini tentunya menjadi perhatian khusus bagi guru maupun

orangtua. Dalam konteks pendidikan sekarang ini, pemukulan ataupun

kekerasan tidak boleh dilakukan dalam pendidikan dengan alasan apapun.

Selain membahayakan anak, pemukulan ataupun kekerasan terhadap anak

hanya akan menimbulkan masalah baru yang muncul dikemudian hari.

Sementara itu, dalam pendidikan Islam khususnya pemukulan terhadap anak

78

diperbolehkan selama masih ada batas-batas yang harus dipahami, terbukti

dengan adanya hadits dari Rasulullah di atas. Dalam hal ini, Rasulullah

memberikan kaidah-kaidah dalam memukul, seperti yang dikutip oleh Hafizh

(1997: 325) diantaranya sebagai berikut :

a. Larangan memukul anak sebelum berumur sepuluh tahun. Tindakan

memukul anak sebelum ia berumur sepuluh tahun dapat berakibat buruk

bagi keadaan fisik maupun mentalnya.

b. Larangan memukul lebih dari sepuluh kali. Cara ini hanya boleh dipakai

dalam keadaan mendesak, karena apabila terlalu sering memukul anak

akan menurunkan wibawa hukuman tersebut dimata anak. Sehingga anak

tidak takut lagi dipukul, karena sudah terbiasa. Akibat buruk lainya adalah

gangguan yang dapat terjadi pada fisik anak.

c. Alat yang boleh dipakai untuk memukul. Alat yang dipakai tidak harus

cemeti, boleh memakai kayu, sandal, atau ujung kain yang sudah diikat.

Alat yang dipakai jangan terlalu besar, sehingga dapat mencelakakan anak.

Alatnya juga jangan terlalu kecil, sehingga tidak cukup membuat anak

kapok.

d. Kaidah tentang cara memukul. Memukul tidak boleh di satu bagian tubuh

saja, melainkan merata di beberapa bagian tubuh. Antara pukulan satu

dengan yang lain harus ada jarak waktu yang cukup, tidak boleh memukul

terus menerus tanpa henti. Tidak boleh mengangkat ketiak ketika

memukul, atau dengan kata lain, tidak boleh memukul terlalu keras.

79

Karena sekali lagi perlu ditekankan bahwa perbaikan untuk anak bukan

untuk menyakitinya.

e. Bagian tubuh yang tidak boleh dipukul. Bagian wajah, atau kepala dan

bagian kemaluan merupakan bagian tubuh yang sangat vital bagi setiapa

manusia. Maka pemukulan dibagian ini dikhawatirkan dapat menyebabkan

kerusakan fisik yang sangat merugikan.

f. Larangan memukul disertai dengan amarah. Memukul disertai dengan

amarah sangat berbahaya bagi anak. Karena dalam keadaan marah dapat

menyebabkan orangtua ataupun pendidik lepas kontrol dan melanggar

kaidah-kaidah memukul yang telah ditentukan oleh agama. Suatu ketika

Khalifah Umar bin Abdul „Aziz hendak menghukum seseorang. Namun

ketika orang itu telah dihadapkan kepadanya, Khalifah Umar bin Abdul

„Aziz malah menyuruh orang itu untuk dilepaskan. Ia berkata, “Aku dapati

diriku menaruh rasa amarah kepada orang itu, dan sesungguhnya aku tidak

mau menghukum dalam keadaan marah. “ Oleh karena itu, hendaknya

para orangtua dan pendidik menjauhkan rasa amarah mereka yang dapat

berakibat sangat buruk kepada anak.

g. Berhentilah memukul bila anakmu mengucapkan nama Allah SWT.

Rasulullah SAW memerintahkan untuk berhenti memukul, apabila anak

telah mengucapkan nama Allah. Karena hal itu merupakan tanda bahwa ia

telah menyadari kesalahanya dan benar-benar ingin memperbaikinya, atau

dia sudah merasakan sakit yang tidak tertahankan lagi, atau sudah

80

merasakan takut. Apabila orangtua terus memukul setelah anak ada dalam

keadaan yang demikian, maka sesungguhnya ia telah melakukan

kezaliman besar terhadap anak. Dan hal itu menandakan bahwa orangtua

itu lebih condong kepada menyakiti anak daripada mendidiknya.

Memukul tidak boleh diartikan sebagai tindakan pukul memukul.

Karena apabila seorang pendidik melakukan pemukulan dengan sembarangan,

tentunya akan membahayakan bagi korban dan dapat menimbulkan masalah

baru lagi dikemudian hari. Menurut Najib Khalid Al-Amir (1994: 42-43)

terdapat kode etik dalam memukul. Kode etik tersebut diantaranya :

1) Seorang pendidik tidak boleh memukul kecuali jika seluruh sarana

peringatan dan ancaman tidak mempan lagi.

2) Tidak boleh memukul dalam keadaan sangat marah karena dikhawatirkan

membahayakan diri anak.

3) Pemukulan tidak boleh dilakukan pada tempat-tempat yang berbahaya,

seperti kepala, dada, perut, atau wajah.

4) Disarankan pemukulan tidak terlalu keras dan tidak menyakitkan. Sasaranya

adalah kedua tangan atau kedua kaki dengan alat pukul yang lunak (tidak

keras). Selain itu, hendaklah pukulan-pukulan itu dimulai dari hitungan satu

sampai tiga jika si anak belum baligh. Tetapi, jika sudah menginjak masa

remaja, sementara sang pendidik melihat bahwa pukulanya tadi tidak

membuat jera si anak, dia boleh menambahnya lagi sampai hitungan

kesepuluh.

81

5) Jika kesalahan itu baru pertama kali dilakukan, si anak harus diberi

kesempatan sampai bertaubat dari perbuatanya.

6) Hukuman harus dilakukan oleh sang pendidik sendiri, tidak boleh

diwakilkan kepada orang lain, agar terhindar dari kedengkian dan

perselisihan.

7) Seorang pendidik harus dapat menepati waktu yang sudah ditetapkan untuk

mulai memukul, yaitu langsung ketika anak melakukan kesalahan. Tidak

dibenarkan apabila seorang pendidik memukul orang bersalah setelah

berselang dua hari dari perbuatan salahnya. Keterlambatan pemukulan

sampai hari kedua ini hampir tidak ada gunanya sama sekali.

8) Jika sang pendidik melihat bahwa dengan cara memukul masih belum

membuahkan hasil yang diinginkan, dia tidak boleh meneruskanya dan

harus mencari jalan pemecah yang lain.

Ibnu Shina berpendapat bahwa jika sudah terpaksa memukul, cukuplah

pukulan sekali yang menimbulkan rasa sakit, karena pukulan yang cukup

banyak menyebabkan anak merasa ringan, dan memandang hukuman sebagai

sesuatu yang remeh. Menghukum dengan pukulan dilakukan setelah diberi

peringatan keras (ultimatum) dan menjadikan sebagai alat penolong untuk

menimbulkan pengaruh yang positif dalam jiwa anak (At-Tuwaanisi, 2004:

125).

Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, sebenarnya dalam pendidikan

Islam memukul itu diperbolehkan akan tetapi dengan memperhatikan hal-hal

yang berkaitan dengan perkembangan anak itu sendiri. Seperti yang telah

82

dijelaskan di atas, memukul tidak boleh terus menerus dilakukan karena akan

berdampak buruk bagi perkembangan fisik dan psikis anak dan pukulan

tersebut tidak boleh dilakukan di daerah vital ataupun bagian yang berbahaya

bagi anak seperti wajah, kemaluan dan lain sebagainya.. Memukul anak

merupakan tindakan yang bisa menimbulkan dampak buruk bagi anak.

Apabila masih ada cara lain yang dapat dipakai untuk mendidik anak maka

sebaiknya memukul anak harus dihindari demi masa depan perkembangan

anak yang lebih baik.

3. Penerapan Punishment dalam Lembaga Pendidikan Islam

Lembaga pendidikan Islam yang memasukkan punishment dalam

kurikulumnya memang tidak terlalu banyak. Hanya ada beberapa lembaga saja

yang mencantumkanya dalam kurikulum. Hal ini bisa diterima dan dipahami

karena apabila semua lembaga pendidikan mencantumkan punishment dalam

kurikulum, maka sudah barang tentu akan menjadi sebuah persoalan yang

penuh dengan pro dan kontra dalam kalangan masyarakat. Maka berikut uraian

tentang penggunaan punishment dalam lembaga-lembaga pendidikan Islam

tersebut.

Sebuah madrasah di negara Singapura yang bernama Madrasah Al-

Iqbal Al-Islamiyah, mencantumkan punishment dalam kurikulum

pendidikanya. Madrasah tersebut memberikan hukuman bagi siswa yang

melanggar peraturan yang telah ditetapkan. Seperti yang dikemukakan Saerozi

(2013:150) hukuman yang diberikan diantaranya :

83

a. Dicerca oleh seorang teman,

b. Dicerca oleh teman sekelas di depan kelas,

c. Dicerca oleh semua murid yang ada di sekolah

d. Dikurung selama setengah hari, dan dibebani dengan tugas yang

menggunakan akal,

e. Ditahan selama satu hari, serta dibebani tugas yang menggunakan akal,

f. Diberi makan dengan roti dan air saja,

g. Dikeluarkan dari sekolah bila berbuat salah berulang kali.

Ma‟had Ihya Assyarif di Malaysia juga menerapkan punishment bagi

siswa yang melanggar aturan madrasah sesuai dengan tingkat pelanggaranya

seperti :

1) Murid yang melakukan kesalahan mendapat pukulan rotan di kaki sebanyak

dua belas kali.

2) Murid yang melakukan kesalahan kecil cukup mendapat pukulan rotan di

tangan.

3) Murid yang ketahuan bermain sepakbola memperoleh hukuman berupa

disuruh menyepak sebuah kelapa (Saerozi, 2013: 167).

Sementara itu, di Madrasah Al-Shalahiyah, Jerussalem, mudarris

bertugas mengawasi mahasiswanya, mendorong mereka yang bekerja baik, dan

memperingatkan yang lalai dan melakukan kesalahan. Setelah diperingatkan

secara terus menerus dan masih melakukan kesalahan maka mudarris berhak

untuk mengeluarkan dan mencabut beasiswanya kecuali mahasiswa tersebut

dapat memperbaiki tingkah lakunya. (Asari, 1994: 81)

84

Lembaga pendidikan Islam Sumatera Thawalib juga menggunakan

hukuman sebagai salah satu cara ataupun metode pendidikan. Seperti yang

dikutip oleh Muh Saerozi (2013: 105) , ketika pembelajaran Hadis Arba‟in

Nawawi di kelas III pelajaran menggunakan metode hafalan. Murid yang tidak

hafal, akan dikenai hukuman berdiri di depan kelas. Hamka sangat mengkritik

cara ini. Beliau yang notabenya adalah alumni Sumatera Thawalib mengatakan

bahwa banyak guru yang bertindak keras dalam mengajar, sehingga banyak

murid yang berkeluh kesah. Banyak pula murid yang gelisah menghadapi

pelajaran. Diantara para guru-guru, ada guru yang bernama Zainuddin Labay

El-Yunusi yang sangat disenangi oleh murid, karena memahami paedagogik. Ia

sering menggunakan metode cerita, tidak bertindak keras, dan pandai

menyelami jiwa murid (Saerozi 2013: 105). Hal ini berarti guru yang tidak

bertindak keras dan pandai mengambil hati anak akan sangat disenangi oleh

para murid sehingga tindak kekerasan dalam pendidikan harus dihindari.

Setelah melihat gambaran punishment di atas, maka paling tidak harus

dipahami bahwa hukuman itu tidak harus berupa hukuman fisik. Hukuman

fisik hanya akan menyakiti seorang anak, namun belum tentu akan mengubah

anak menjadi lebih baik. Namun yang harus diwaspadai adalah apabila anak

merasa sudah terbiasa dengan hukuman yang terlalu sering diberikan. Sehingga

wajib bagi pendidik untuk memahami situasi dalam kelas dan mencari

alternatif metode apabila punishment sudah mulai tidak efektif mendidik anak.

85

C. Relevansi Reward dan Punishment

Menurut pengamatan Abdurrahman Mas‟ud, pendidik di Barat (Amerika)

lebih banyak memberikan reward ketimbang punishment kepada anak didik, baik

di rumah maupun di kelas (Mas‟ud, 2002: 174). Pembahasan masalah reward dan

punishment dalam pendidikan tidak bisa lepas dari masalah tanggung jawab anak

(responsibility). Sangat tidak manusiawi jika hukuman terjadi, sedangkan anak

belum memahami apa yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya (Mas‟ud,

2002: 175). Hal ini penting karena antara pendidik dan anak memiliki hak dan

tanggung jawab masing-masing yang harus dipenuhi oleh masing-masing pihak.

Pendidik memiliki kewajiban untuk mendidik anak dengan baik dan penuh kasih

sayang. Sedangkan anak memiliki kewajiban untuk melaksanakan apa yang

diperintahkan pendidik seperti mengerjakan tugas, membantu orangtua dan

sebagainya.

Emile Durkheim berpandangan bahwa hukuman diperlukan untuk lebih

menaati kaidah peraturan dan menyampaikan kepada anak tentang otoritas yang

inheren, sehingga mereka mematuhi peraturan tersebut secara spontan dan

mempunyai rasa hormat terhadap peraturan (Makmur dkk, 2010: 170). Hukuman

berfungsi sebagai pengokoh solidaritas sosial dengan upaya memperkuat nilai-

nilai sosial yang paling asasi dan sedang dilanggar. Dengan kata lain, dalam

proses hukuman perhatian harus lebih diutamakan pada proses belajar mengambil

hikmah bagi pihak yang benar, bukan pada pihak yang salah (Mas‟ud, 2002 :

178). Maka pada hakekatnya, reward dan punishment sangat berhubungan erat

dengan nilai-nilai sosial yang ada sehingga harus dipikirkan secara matang apabila

86

ingin memberikan reward dan punishment, sehingga anak didik memahami apa

yang menjadi kewajibanya.

Boleh dikatakan bahwa sebagian besar pendidik-pendidik Barat sekarang

ini menentang penggunaan hukuman jasmani di sekolah-sekolah. Untuk hal ini

Hasan Langgulung (2004: 41) berpandangan seperti berikut :

1. Dalam sistem pendidikan Islam hukuman jasmani itu diakui dan dianggap

sebagai suatu cara yang efektif untuk memperbaiki tingkah laku.

2. Apa yang efektif pada suatu masyarakat, masyarakat Barat misalnya, tidak

semestinya efektif dalam masyarakat kita.

3. Sampai sekarang belum ada kajian yang menunjukkan bahwa hukuman

jasmani mempunyai pengaruh yang buruk pada pendidikan dalam masyarakat

yang mengamalkan ajaran Islam.

Bila reward tampak lebih diutamakan dalam pendidikan Barat,

punishment tidak berarti ditiadakan sama sekali. Meskipun demikian, sejauh

pengamatan dan pengalaman Abdurrahman Mas‟ud selama tujuh tahun di

Amerika, belum pernah mendengar ada tindakan semena-mena yang dilakukan

guru atau hukuman secara fisik yang dilakukan terhadap anak didik, baik di dalam

maupun di luar kelas. Hukuman yang paling berat adalah anak tidak boleh masuk

sekolah sehari karena melanggar tata cara sekolah yang bertubi-tubi (Mas‟ud,

2002 : 178-179).

Melihat apa yang terjadi dalam pendidikan Barat di atas, maka tidak salah

apabila hal ini dapat menjadi contoh bagaimana seharusnya pendidikan

87

dilaksanakan. Apabila masih mungkin untuk tidak menggunakan hukuman maka

sebaiknya hukuman itu ditiadakan dan diganti dengan perhatian ataupun

penghargaan sehingga anak didik merasa nyaman ketika dalam mengikuti apa

yang dikatakan oleh pendidik.

Ada sebuah teori umum dalam pendidikan yang perlu dipertimbangkan,

yaitu bahwa sistem reward dan punishment yang paling efektif adalah jika

pelaksanaan punishment dikurangi atau dihindarkan bila memungkinkan dan

konsep reward ditekankan pelaksanaanya. Jika perbuatan reward pada umumnya

terlepas dari konotasi negatif kecuali jika dihubungkan dengan tindakan korup,

perbuatan punishment kadang-kadang berkonotasi negatif. Orangtua secara umum

dibenarkan memberikan punishment kepada anaknya yang tidak patuh

(disobidience) (Mas‟ud, 2002: 172). Orangtua memiliki peranan penting dalam

pendidikan anak. Karena pendidikan yang pertama diperoleh anak adalah

pendidikan keluarga yang bersumber dari orangtua itu sendiri. Dalam mendidik

anak, memang tidak jarang banyak orangtua menggunakan cara-cara yang bisa

dibilang cara kekerasan seperti, memukul, menendang, menjewer telinga dan lain-

lain. Kebanyakan dari orangtua beranggapan bahwa apabila anak tidak dididik

dengan cara-cara seperti diatas, maka anaka akan cenderung membangkang dan

tidak jera untuk melakukan kesalahan yang sama. Namun yang perlu digaris

bawahi adalah ketika anak sudah terbiasa dengan hukuman yang bersifat keras

seperti itu dan menganggap remeh dan cenderung melecehkan hukuman tersebut.

Abdurrahman Mas‟ud (2002: 188) berpandangan bahwa punishment,

khususnya hukuman fisik, pada umumnya tidak akan membawa dampak positif,

88

sebaliknya malah membawa kenangan horor, nightmare, bagi siswa. Penumbuhan

sense of guility dengan cara yang edukatif dan islami adalah bagian dari self

discipline yang perlu dikembangkan dalam dunia pendidikan. Disiplin diri adalah

tujuan sekaligus proses pendidikan kemandirian.

Dapat dipahami bahwa, hukuman yang baik adalah hukuman yang dapat

menimbulkan efek jera bagi anak. Namun sebenarnya disadari ataupun tidak,

semakin sering hukuman diberikan kepada anak, maka sedikit demi sedikit akan

menghilangkan kewibawaan hukuman itu sendiri. Maka yang sebaiknya dilakukan

oleh pendidik adalah mencari alternatif hukuman yang dapat menimbulkan efek

yang baik dari segala sisi. Misalnya, ketika anak tidak mengerjakan PR, maka

hukuman yang diberikan adalah anak disuruh untuk mengerjakan PR tersebut di

depan kelas. Sisi baiknya adalah anak menjadi mengerjakan PR walaupun

dikerjakan di dalam kelas, lalu ketika anak mengerjakan PR di depan kelas

harapanya adalah anak-anak lain tidak melakukan kesalahan yang sama seperti

anak yang dihukum.

Seandainya hukuman perlu diberikan, maka perlu dipikirkan secara

matang agar hukuman tersebut mengandung nilai pendidikan. Artinya, hukuman

itu akan semakin menumbuhkembangkan kepribadian anak. Hukuman,

seandainya perlu diberikan, harus dilandasi oleh cinta kasih dan semata-mata demi

kebaikan anak. Untuk menanamkan perilaku yang baik salah satunya adalah

dengan penanaman disiplin. Untuk menanamkan disiplin diperlukan empat syarat

yaitu adanya aturan, sanksi, hadiah atau peneguhan, dan konsistensi.

89

a. Pertama, perlu disepakati terlebih dahulu aturan yang berlaku bagi semua

orang.

b. Kedua, perlu disepakati sanksi atau hukuman dari suatu pelanggaran.

c. Ketiga, adanya peneguhan apabila anak sudah melakukan tindakan yang benar

(pujian, acungan jempol, dan sebagainya). Orangtua dan pendidik tidak boleh

lupa memberikan tanggapan kalau anak sudah melakukan tindakan yang benar.

d. Keempat, adalah konsistensi dari seluruh anggota keluarga yang terkait.

Apabila suatu tindakan dianggap salah, maka semua pihak harus menganggap

salah dan sanksi perlu diberikan (Susana dkk, 2005:61-62).

Reward dan Punishment memang bisa dibilang lebih familiar di

pendidikan Barat, dengan catatan para pendidik di Barat lebih banyak

menggunakan reward ketimbang punishment. Alasanya pun bisa bermacam-

macam karena anak didik yang dihadapi pun berbeda-beda tingkah lakunya.

Penggunaan punishment terkadang akan menimbulkan perasaan benci dari anak

kepada pendidiknya. Hal ini lah yang paling berbahaya, apabila anak sudah

merasa tidak suka dengan sang pendidik maka anak mungkin akan cenderung

untuk membangkang dengan apa yang dikatakan oleh pendidiknya. Namun jangan

lupa juga bahwa punishment pada dasarnya digunakan untuk mencegah potensi-

potensi buruk yang muncul akibat anak tidak disiplin.

Sementara itu dalam pendidikan Islam sendiri sebenarnya penggunaan

punishment sudah familiar ketimbang reward. Terbukti dengan adanya madrasah-

madrasah yang menggunakan punishment dalam kurikulumnya seperti yang telah

dikemukakan di atas. Selain daripada itu, banyak tokoh-tokoh pendidikan Islam

90

yang membolehkan penggunaan punishment dalam pembelajaran namun dengan

syarat-syarat tertentu.

Ibn Khaldun misalnya, menyebutkan dalam muqaddimahnya bahwa anak-

anak yang dihukum mungkin belajar menipu dan berdusta. Ini memustikan guru

menyesuaikan penggunaan hukuman sehingga akibat negatif tidak melebihi akibat

yang positif (Langgulung, 2004: 41). Tentunya penggunaan punishment

mempunyai dampak positif dan negatif. Mengenai hal itu, maka pendidik harus

pintar-pintar memberikan alternatif hukuman yang baik sehingga dampak yang

muncul nantinya lebih banyak dampak positifnya daripada negatifnya.

Berbeda dengan punishment yang masih menimbulkan banyak pro dan

kontra di kalangan pendidikan Islam. Reward yang notabenya adalah sebuah hal

yang sifatnya menyenangkan tentu tidak begitu menimbulkan pro dan kontra.

Hanya saja, penggunaan reward pun harus disesuaikan dengan kondisi dan

kebutuhan anak. Ketika pendidik memberikan reward tentu harus merangsang

adanya usaha dari anak untuk mendapatkan reward tersebut. Sebagai contoh, anak

yang mendapatkan ranking satu di kelasnya, maka reward yang diberikan

sebaiknya berhubungan dengan kebutuhanya dalam belajar. Misalnya seperti,

meja belajar, buku, dan lain sebagainya. Hal ini tidak lain untuk memberikan

penghargaan setinggi mungkin kepada anak yang telah berprestasi. Sehingga

anak akan merasa bahwa kerja kerasnya membuahkan hasil yang maksimal dan

tidak sia-sia dan membuat orang di sekelilingnya bahagia dengan prestasinya.

91

Pendidikan di Indonesia sendiri juga telah diatur dalam undang-undang,

baik tentang perlindungan terhadap anak, hak dan kewajiban guru dan lain

sebagainya. Membahas mengenai punishment kepada anak tentu saja tidak bisa

lepas dari peraturan perundangan-undangan yang sudah ditetapkan. Sebagai

contoh, Undang-undang Republik Indonesia nomor 35 tahun 2014 tentang

perlindungan anak bab XIA tentang larangan, pasal 76C yang berbunyi “Setiap

orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan,

atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak “ (http//www.ilo.org, diakses

25 Juli 2016).

Pasal di atas memperjelas bahwa kekerasan terhadap anak tidak

diperbolehkan. Bahkan dalam pasal tersebut disebutkan bahwa setiap orang

dilarang menempatkan ataupun membiarkan kekerasan terjadi. Maka jelas, ketika

ada tindak kekerasan yang terjadi seharusnya sesegera mungkin untuk

menghentikanya. Apabila terjadi tindak kekerasan itu maka orang yang

melakukan kekerasan tersebut terancam hukuman dalam pasal 80 ayat 1 butir 1

(satu) yang disebutkan bahwa “Setiap orang yang melanggar ketentuan

sebagaimana dimaksud dalam pasal 76C dipidana dengan pidana penjara paling

lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan atau denda paling banyak

Rp.72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah) (http//www.ilo.org, diakses 25 Juli

2016).

Pidana penjara tiga tahun enam bulan tentunya bukanlah waktu yang

sebentar. Ini adalah bentuk hukuman bagi seseorang yang melakukan kekerasan

terhadap anak. Bahkan dalam pasal yang sama butir ke 4 (empat) disebutkan

92

”Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

ayat (2), dan ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut Orang

Tuanya” (http//www.ilo.org, diakses 25 Juli 2016). Pasal ini semakin memperjelas

larangan tindak kekerasan terhadap anak bahkan yang dilakukan orangtuanya

sekalipun. Apabila orangtuanya sendiri yang melakukan tindak kekerasan

tersebut, hukumanya pun malah ditambah sepertiga dari ketentuanya.

Orang tua dalam mendidik anaknya tidak diperkenankan untuk

menggunakan kekerasan dalam bentuk apapun. Karena pada dasarnya tindak

kekerasan itu hanya akan menimbulkan masalah baru dan mempunyai banyak sisi

negatif. Masalah baru tersebut berkaitan dengan peraturan undang-undang

perlindungan anak di atas. Sehingga, ini harusnya menjadi perhatian yang serius

bagi para orangtua dan umumnya masyarakat untuk tidak melakukan kekerasan

terhadap anak.

Selain pasal di atas, juga ada pasal lain yang memperjelas perlindungan

terhadap anak dari segala bentuk kekerasan. Pasal tersebut adalah pasal 76E yang

berbunyi “Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan,

memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau

membujuk Anak untuk melakukan atau membiarkan dialkukan perbuatan cabul. “

Ancaman hukuman pidana dalam pasal ini dijelaskan dalam pasal 82 ayat 1 dan

ayat 2 yang berbunyi : (1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana

dimaksud dalam pasal 76E dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima)

tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak

Rp.5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah. (2) Dalam hal tindak pidana

93

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Orang Tua, Wali, Pengasuh

Anak, Pendidik, atau tenaga kependidikan, maka pidananya ditambah 1/3

(sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

(http//www.ilo.org, diakses 25 Juli 2016).

Pasal 82 ayat 1 di atas juga menyebutkan kata pendidik atau tenaga

kependidikan. Maka pasal ini juga harus dipahami oleh seorang pendidik agar

tidak melakukan kekerasan terhadap siswa. Ancaman bagi pendidik yang

melakukan kekerasan terhadap anak disebutkan dalam pasal di atas, bahwa

apabila pendidik melakukan kekerasan terhadap anak atau siswa ancaman

pidananya ditambah (sepertiga) dari ancaman pidananya 15 tahun. Sehingga

ditambah sepertiganya menjadi 20 tahun pidana. Maka dengan pasal ini seorang

pendidik tidak boleh melakukan kekerasan dalam bentuk apapun dan dengan

alasan apapun juga karena bertentangan dengan undang-undang perlindungan

anak.

Pasal ini semakin memberatkan pelaku tindak kekerasan terhadap anak.

Sehingga ini patut menjadi perhatian bagi orangtua atau khususnya pendidik

untuk berhati-hati dalam mendidik anak karena ancaman hukumanya tidak main-

main tentunya. Seperti halnya kasus yang terjadi akhir-akhir ini yaitu kasus

tuduhan pencubitan anak yang dilakukanoleh oknum guru salah satu SMP di

daerah Sidoarjo, jawa timur. Kasus ini terjadi pada bulan Februari 2016. Kasus ini

bermula ketika seluruh murid melaksanakan shalat Duha di masjid sekolah.

Namun anak tersebut (korban) justru terlihat duduk-duduk di pinggir sungai.

Sebagai seorang guru dia lantas menegur anak tersebut dan mengajaknya shalat

94

berjamaah dengan mengelus pundak. Namun guru tersebut justru malah

dilaporkan dengan tuduhan menganiaya (mencubit, memukul) korban

(www.regional.kompas.com diakses, 22 Juli 2016).

Kasus ini tentunya sangat memprihatikan, terlepas dari benar tidaknya

penganiayaan yang dilakukan oleh guru tersebut, yang harus disadari dan

dipahami adalah betapa berbahayanya kekerasan terhadap anak. Menurut penulis

pribadi, dalam kasus ini guru menjadi sosok yang sangat tidak diuntungkan.

Mengapa demikian, karena guru tugasnya adalah mendidik anak didik yang

berada di sekolah dan karena guru adalah orangtua murid ketika di sekolah.

Namun lebih dari itu, sekali lagi pendidikan dengan kekerasan memang tidak

dibolehkan. Maka dari itu penulis mengambil sikap bahwa untuk menegur peserta

didik yang tidak disiplin haruslah dengan lemah lembut terlebih dahulu. Apabila

dengan cara ini anak masih tidak disiplin, maka dekati anak tersebut dengan baik.

Pada intinya guru tidak boleh menggunakan teguran berupa hukuma fisik karena

ini bertentangan dengan undang-undang Republik Indonesia.

Anak sangat dilindungi, karena anak adalah tumpuan masa depan bangsa

sehingga tidak mengherankan apabila pemerintah membuat undang-undang

seperti di atas. Berbicara mengenai reward dan punishment dalam pendidikan,

maka guru adalah sosok yang paling disorot dalam pembahasanya. ketika ada

tindakan kekerasan di sekolah, maka guru dianggap sebagai sosok yang paling

bertanggung jawab atas tindakan tersebut. Padahal guru dan murid sama-sama

punya hak dan kewajiban masing-masing. Dalam undang-undang Republik

Indonesia nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen pasal 14 ayat 1butir F

95

tentang hak dan kewajiban guru dan dosen yang berbunyi : “Memiliki kebebasan

dalam memberikan penilaian dan ikut menentukan kelulusan, penghargaan, dan

atau sanksi kepada peserta didik sesuai dengan kaidah pendidikan, kode etik guru,

dan peraturan perundang-undangan” (http//sumberdaya.ristekdikti.go.id/ diakses,

26 Juli 2016). Dalam pasal di atas dapat dipahami bahwa guru memiliki

kebebasan untuk memberikan penilaian,penghargaan, sanksi kepada peserta didik

sesuai dengan kaidah pendidikan, kode etik guru dan peraturan perundang-

undangan. Guru diberi kebebasan untuk memberikan sanksi kepada peserta didik

asalkan sesuai dengan kode etik guru dan peraturan perundang-undangan.

Sehingga menurut pemahaman penulis, guru boleh-boleh saja memberikan sanksi

kepada peserta didik dengan syarat sanksi tersebut tidak melanggar peraturan-

peraturan yang telah ditetapkan sebelumnya walaupun terkadang juga ada saja

oknum guru yang menggunakan cara yang sedikit keras dalam mendidik.

Pemberian sanksi kepada peserta didik merupakan persoalan yang menjadi

pro dan kontra, disatu sisi sanksi tersebut nyatanya diperbolehkan digunakan oleh

guru dan bahkan sudah jelas peraturanya melalui pasal 14 ayat 1 butir F di atas.

Namun, disisi lain perlu dipahami juga bahwa ada undang-undang perlindungan

anak yang dapat melindungi anak dari kekerasan orangtua ataupun pendidik.

Sehingga dalam mendidik, guru juga tidak diperbolehkan menggunakan

kekerasan.

Berbeda dengan undang-undang perlindungan anak yang sangat tidak

membolehkan kekerasan terhadap anak, dalam pendidikan Islam nyatanya

memukul anak diperbolehkan berdasarkan hadits Rasulullah yang telah penulis

96

sampaikan di awal pembahasan. Hal ini menjadi perhatian tersendiri, disaat

undang-undang perlindungan anak tidak membolehkan kekerasan terjadi, hadits

Rasulullah membolehkan memukul anak ketika sudah berumur sepuluh tahun.

Pemukulan merupakan bentuk kekerasan, sehingga ini menjadi kontradiksi dari

kedua sumber hukum ini. Maka dengan melihat dan memahami kedua sumber

hukum ini, penulis berpendapat bahwa dalam pendidikan sekarang ini, kekerasan

ataupun pemukulan sekalipun tidak boleh dilakukan karena ada ancaman pidana

yang dapat menjerat pendidik yang melakukan tindakan ini. Pendidik boleh

memberikan sanksi kepada siswa dalam pembelajaran apabila siswa melakukan

tindakan yang melanggar peraturan yang telah ditetapkan, namun sanksi tersebut

tidak boleh berupa sanksi fisik melainkan sanksi yang dapat mendidik anak tanpa

harus menggunakan kekerasan. Sanksi atau hukuman tersebut haruslah ada

hubunganya dengan kesalahan yang telah dilakukan oleh anak.

Berdasarkan pasal-pasal yang telah disampaikan di atas, maka penulis

dapat menarik kesimpulan bahwa sebenarnya guru boleh memberikan hukuman

kepada peserta didik dengan beberapa syarat. Syarat yang pertama adalah guru

tidak boleh menggunakan kekerasan dalam memberikan sanksi atau hukuman.

Sanksi yang diberikan haruslah sanksi yang mendidik, yaitu sanksi yang apabila

diberikan kepada anak akibatnya lebih baik dan tidak membuat perasaan trauma

pada anak.

Syarat yang kedua adalah ketika guru ataupun orangtua ingin memberikan

hukuman kepada anak, maka sebelumnya harus ada kesepakatan terlebih dahulu

dengan anak. Jadi, anak akan paham bahwa kesalahan yang ia perbuat akan

97

mengakibatkan dirinya dikenai hukuman. Dengan begitu, anak akan belajar

bertanggung jawab atas dirinya sendiri sehingga memungkinkan anak menjaga

sikap dan perilakunya.

Syarat yang ketiga adalah, apabila anak sudah menunjukkan perilaku yang

baik dan cenderung memperbaiki perilakunya setelah diberi hukuman maka guru

ataupun orangtua sudah selayaknya memberikan pujian atau bentuk reward

terhadap anak. Hal ini dilakukan semata-mata untuk semakin meyakinkan anak

bahwa berperilaku baik dan disiplin adalah kewajibanya, sehingga para guru dan

orangtua tidak perlu lagi menerapkan sanksi atau hukuman tertentu dalam

mendidiknya.

Setelah memperhatikan hal-hal di atas, dapat penulis simpulkan bahwa

reward dan punishment masih relevan dengan pendidikan saat ini dengan

beberapa syarat yang harus dipenuhi dan diperhatikan. Salah satu hal yang paling

penting adalah reward dan punishment tersebut tidak boleh bertentangan dengan

undang-undang yang berlaku di Indonesia saat ini. Reward akan sangat berguna

ketika ingin menumbuhkan motivasi dari anak didik menjadi lebih tinggi. Lalu

punishment digunakan sebagai obat pencegah ketidakdisplinan dari anak. Dua hal

ini tidak bisa dipisahkan, ketika pendidik menggunakan reward, maka

punishment juga harus digunakan sebagai pembatas kesalahan dari anak.

Sebaliknya, ketika menggunakan punishment maka reward digunakan sebagai

janji yang akan membuat motivasi anak tinggi untuk tidak melakukan kesalahan.

98

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Reward dan punishment dalam pendidikan Islam diperbolehkan,

terbukti dengan adanya hadits yang menjelaskan bahwa memukul anak

yang tidak melaksanakan shalat ketika sudah berumur sepuluh tahun.

Lebih dari itu, dilihat dari fakta sejarah yang telah penulis dapatkan,

dalam lembaga pendidikan Islam dahulu juga sudah ada yang

mencantumkan hukuman dalam kurikulum pembelajaranya, dengan

catatan hukuman tersebut bukanlah hukuman yang berupa hukuman

fisik yang berlebihan.

2. Meskipun menghukum anak diperbolehkan dalam pendidikan Islam

dan masih relevan penggunaanya, namun pendidik maupun orang tua

juga harus memperhatikan dan memahami bahwa memberi hukuman

kepada anak tidak boleh bertentangan dengan undang-undang yang

berlaku di Indonesia saat ini yaitu undang-undang perlindungan anak.

Ini artinya hukuman yang diberikan tidak boleh bersinggungan dengan

hukuman fisik, akan tetapi tujuan daripada hukuman tersebut adalah

tetap memotivasi anak untuk berbuat baik.

B. Saran

Sebagai bahan pertimbangan bagi pendidik, orang tua ataupun

guru, terlebih bagi anak ataupun siswa. Penulis ingin memberikan

sumbang saran untuk lebih memahami bagaimana proses pembelajaran

99

yang baik menggunakan metode reward dan punishment sebagaimana

berikut :

1. Pemberian reward kepada anak harus ada batasnya, karena semakin

sering digunakan maka akan berkurang efek pemberian reward

tersebut. Pendidik juga haruslah lebih berhati-hati dalam memberikan

hukuman kepada anak. Jangan sampai hukuman yang diberikan

menjadikan anak benci kepada kita karena rasa sakit atau trauma yang

mendalam terhadap hukuman tersebut.

2. Untuk menunjang proses pembelajaran antara pendidik dengan anak

harus ada tanggung jawab dari masing-masing pihak mengenai hak dan

kewajibanya. Hal ini menjadi penting, agar masing-masing pihak

memahami apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak boleh

dilakukan. Sehingga baik pendidik ataupun murid menjadi berhati-hati

dalam bertindak karena mengetahui batas-batas yang harus dipatuhi.

3. Sebaiknya dalam pendidikan Islam digunakan cara-cara yang lebih

islami dalam mendidik karena Islam memiliki sumber hukum utama

yaitu Al-Qur‟an dan Hadits. Kalaupun menghukum anak, maka cara

menghukumnya harus diperhatikan dan disesuaikan dengan ajaran

Rasulullah dan sesuai syari‟at Islam.

100

DAFTAR PUSTAKA

Al Albani, Muhammad Nashiruddin. 2007. Shahih Sunan Abu Daud.

Jakarta : Pustaka Azzam.

Al-Amir, Najib Khalid,1994. Tarbiyah Rasulullah. Jakarta : Gema Insani

Press.

Al-Munir, Mahmud Samir. 2003. Guru Teladan di Bawah Bimbingan

Allah, Jakarta: Gema Insani.

Al-Qahthani, Sa‟id bin Ali bin Wahf. 2013. Panduan Lengkap Tarbiyatul

Aulad, Solo : Zamzam,

Arief, Armai. 2002. Pengantar Ilmu dan metodlogi Pendidikan Islam.

Jakarta: Ciputat press.

Arikunto, Suharsimi, 1993. Manajemen Pengajaran Secara Manusiawi,

Yogyakarta : Rieneka Cipta,.

Asari, Hasan. 1994. Menyingkap Zaman Keemasan Islam Kajian Atas

Lembaga-lembaga Pendidikan. Bandung : Mizan.

At-Tirmidzi, 1992. Terjemah Sunan At Tirmidzi IV. Semarang: CV. Asy-

Syifa‟.

Daradjat, Zakiah dkk. 2010. Ilmu pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara

Departemen Agama RI. 2002. Al-Qur‟an Al-Karim dan Terjemahanya.

Semarang : PT. Karya Toha Putra.

Depdikbud. 1995. Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer. Jakarta

Durkheim, Emile. 1990. Pendidikan Moral, Suatu Studi Teori dan Aplikasi

Sosiologi Pendidikan. Jakarta : Erlangga,

Hafizh, Muhammad Nur Abdul. 1997. Mendidik Anak Bersama

Rasulullah. Bandung : Al-Bayan.

Idris, M dan Marno. 2008. Strategi dan Meode Pengajaran. Yogyakarta :

Ar-ruzz Media.

Istadi, Irawati. 2005. Agar Hadiah dan Hukuman Efektif, Jakarta : Pustaka

Inti.

Jalal, Abdul Fattah. 1988. Asas-Asas Pendidikan Islam, Bandung : CV

Diponegoro.

101

Langgulung, Hasan, 2004. Manusia dan Pendidikan : Suatu Analisa

Psikologi, Filsafat, dan Pendidikan. Jakarta: PT. Pustaka Al

Husna Baru.

Majid, Abdul dkk. 2013. Pendidikan Karakter Perspektif Islam, Bandung

: PT Remaja Rosdakarya.

Makmur, Haris Farhoni dkk. 2010 Pendidikan Islam dan Krisis Moralisme

Masyarakat Modern , Yogyakarta : IRCiSoD.

Mas‟ud Abdurrahman. 2002. Menggagas format pendidikan

nondikotomik(humanisme religius sebagai paradigma pendidikan

islam), Yogyakarta : Gama Media,

Maunah, Binti.2011. Perbandingan Pendidikan Islam, Yogyakarta : Teras.

Muchtar, Heri Jauhari. 2008. Fikih Pendidikan, Bandung : PT Remaja

Rosdakarya.

Mustaqim. 2001 Psikologi Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Offset.

Mustaqim, Abdul. 2005. Menjadi Orangtua Bijak : Solusi Kreatif

Menangani Pelbagai Masalah Pada Anak, Bandung : Al-Bayan.

Nata, Abuddin.2001. Perspektif Islam Tentang Pola Hubungan Guru-

Murid. Jakarta : PT. Raja Grafindo.

Nizar, Samsul.2002. Filsafat Pendidikan Islami, Jakrta : Ciputat Press.

Kosim, Muhammad.2012. Pemikiran Pendidikan Islam Ibn Khaldun :

Kritis, Humanis, dan Religius. Jakarta : Rineka Cipta.

Purwanto, Ngalim.1990. Psikologi Pendidikan, Jakarta : PT Remaja

Rosdakarya.

Quthb, Muhammad.1993. Sistem Pendidikan Islam, Bandung: PT

AlMaarif.

Roqib, Moh.2009. Ilmu Pendidikan Islam Pengembangan Pendidikan

Integratif di Sekolah, Keuarga dan Masyarakat, Yogyakarta :

LkiS.

Saerozi, Muh.2013. Pembaruan Pendidikan Islam, Yogyakarta : Tiara

Wacana.

Sahlan, Asmaun.2009. Mewujudkan Budaya Religius di Sekolah Upaya

Mengembangkan PAI dari Teori ke Aksi, Malang : UIN Maliki

Press.

102

Seifert, Kelvin. 2010. Manajemen Pembelajaran dan Instruksi Pendidikan,

Yogyakarta: IRCiSod.

Suharto, Toto, Filsafat Pendidikan Islam, Yogyakarta : Ar-Ruzz, 2006

Susana, Tjipta dkk.2007. Mempertimbangkan Hukuman Pada Anak,

Yogyakarta :Kanisius.

Syafei, M Sahlan.2006. Bagaimana Anda Mendidik Anak, Bogor: Ghalia

Indonesia.

Syafri, Ulil Amri.2014. Pendidikan Karakter Berbasis Al-Qur‟an, Jakarta

: Rajawali Pers.

Tafsir, Ahmad. 2008 Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Pendidikan Islam,

Bandung : PT Remaja Rosdakarya.

Ulwan, Abdullah Nashih. 2009. Mencintai dan Mendidik Anak secara

Islami. Yogyakarta : Darul Hikmah.

Yunus, Mahmud. 2010. Kamus Arab Indonesia. Jakarta : PT. Mahmud

Yunus Wa Dzurriyyah.

www.harian7.com/2016/02/pemukulan-siswa-oleh-guru-sd-ledok-

2_66.html?m=1

www.ilo.org./dyn/natlex/docs

www.regional.kompas.com

sumberdaya.ristekdikti.go.id

http://m.kompasiana.com/sahrona.lumbanraja

103

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Data Pribadi

Nama : Sariful Rohman

Tempat, Tanggal Lahir : Kab. Semarang, 10 Mei 1993

Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Kewarganegaraan : Indonesia

Alamat : Manggung, Kec.Bandungan, Kab Semarang

Hp : 085 640 494 371

Latar Belakang Pendidikan Formal

1999-2005 :MI Sabilul Huda, Kec.Bandungan, Kab.Semarang

2005-2008 :MTs Jimbaran, Kec.Bandungan, Kab.Semarang

2008-2011 :SMA Wira Usaha, Kec.Bandungan, Kab. Semarang

2012-sekarang :Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga

iv

v

vi

vii

viii

ix