5
4. Dialog dan Kerjasama Antar Komunitas 4.1. Makna Kebersamaan Dalam Kepelbagaian Motto bangsa Indonesia yang mengatakan “Bhineka Tunggal Ika”, yang dapat diartikan dengan “berbeda-beda, tetapi tetap satu” mencerminkan realita bahwa bangsa Indonesia yang terdiri dari aneka suku, agama dan latar belakang sosial budaya yang berbeda, merupakan satu bangsa, satu bahasa dan satu tanah air. Realita geografis wilayah Indonesia yang terdiri dari beribu-ribu pulau dan yang terletak dalam posisi silang antara tiga benua merupakan wawasan nusantara yang utuh sebagai wawasan nasional bangsa Indonesia. Ditinjau dari sudut geopolitik, kepelbagaian Indonesia mempunyai posisi strategis dalam perimbangan kekuatan dunia. Dengan dasar ini, nasionalisme Indonesia sebaiknya bertumbuh subur dalam taman Internasionalisme. Di dalam kepelbagaian suku, agama, ras, dan asal-usul bangsa Indonesia hidup bersama sebagai satu bangsa yang mempunyai satu bahasa, yaitu bahasa Indonesia, satu tanah air, yaitu tanah air Indonesia. Dengan inilah dapat dipahami bahwa motto “Bhineka Tunggal Ika” sebagai “unity in diversity” (Kesatuan Dalam Kepelbagaian), bukan sebagai “diversity in unity” (Kepelbagaian Dalam Kesatuan). Seorang teolog Kristen dari Amerika Serikat, Diana Eck, dengan tegas membedakan “plurality” (kemajemukan) dengan “diversity” (kepelbagaian). Menurutnya, pluralitas atau kemajemukan merujuk pada adanya ketergantungan, keterpaduan dan keterhubungan dalam berbagai kenyataan yang berbeda beda. Sedangkan diversitas merujuk pada keadaan yang sebaliknya, yaitu ketiadaan keterkaitan, keterpaduan dan keterhubungan antara berbagai kenyataan yang berbeda-beda. Dengan pemahaman inilah mungkin arti kepelbagaian seperti yang telah dikemukakan di atas sebaiknya diubah menjadi “kemajemukan”. Jadi istilah yang lebih baik digunakan adalah “unity in plurality” (kesatuan dalam kemajemukan). 4.2. Dialog Antar Umat Beragama

Ringkasan Etika Politik No. 4 (Dorkas)

Embed Size (px)

DESCRIPTION

nvksfd

Citation preview

Page 1: Ringkasan Etika Politik No. 4 (Dorkas)

4. Dialog dan Kerjasama Antar Komunitas

4.1. Makna Kebersamaan Dalam Kepelbagaian

Motto bangsa Indonesia yang mengatakan “Bhineka Tunggal Ika”, yang dapat diartikan dengan “berbeda-beda, tetapi tetap satu” mencerminkan realita bahwa bangsa Indonesia yang terdiri dari aneka suku, agama dan latar belakang sosial budaya yang berbeda, merupakan satu bangsa, satu bahasa dan satu tanah air. Realita geografis wilayah Indonesia yang terdiri dari beribu-ribu pulau dan yang terletak dalam posisi silang antara tiga benua merupakan wawasan nusantara yang utuh sebagai wawasan nasional bangsa Indonesia. Ditinjau dari sudut geopolitik, kepelbagaian Indonesia mempunyai posisi strategis dalam perimbangan kekuatan dunia. Dengan dasar ini, nasionalisme Indonesia sebaiknya bertumbuh subur dalam taman Internasionalisme. Di dalam kepelbagaian suku, agama, ras, dan asal-usul bangsa Indonesia hidup bersama sebagai satu bangsa yang mempunyai satu bahasa, yaitu bahasa Indonesia, satu tanah air, yaitu tanah air Indonesia. Dengan inilah dapat dipahami bahwa motto “Bhineka Tunggal Ika” sebagai “unity in diversity” (Kesatuan Dalam Kepelbagaian), bukan sebagai “diversity in unity” (Kepelbagaian Dalam Kesatuan).

Seorang teolog Kristen dari Amerika Serikat, Diana Eck, dengan tegas membedakan “plurality” (kemajemukan) dengan “diversity” (kepelbagaian). Menurutnya, pluralitas atau kemajemukan merujuk pada adanya ketergantungan, keterpaduan dan keterhubungan dalam berbagai kenyataan yang berbeda beda. Sedangkan diversitas merujuk pada keadaan yang sebaliknya, yaitu ketiadaan keterkaitan, keterpaduan dan keterhubungan antara berbagai kenyataan yang berbeda-beda. Dengan pemahaman inilah mungkin arti kepelbagaian seperti yang telah dikemukakan di atas sebaiknya diubah menjadi “kemajemukan”. Jadi istilah yang lebih baik digunakan adalah “unity in plurality” (kesatuan dalam kemajemukan).

4.2. Dialog Antar Umat Beragama

Dalam konteks politik bangsa Indonesia, agama yang di akui di bumi Indonesia hanya lima, yaitu Agama Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu dan Budha. Kelima agama ini di akui di Indonesia karena kelimanya telah memenuhi kriteria yang ditentukan bangsa Indonesia yakni : bersifat universal, mempunyai nabi atau tokoh utama, mempunyai kitab suci, mempunyai penganut dan mempunyai rumah ibadat. Agama-agama suku atau agama-agama asli tidak dikategorikan sebagai agama karena belum memenuhi kelima kriteria yang disebut di atas. Seluruh agama suku tersebut dikategorikan sebagao budaya spritual bangsa yang diasuh oleh Departemen Agama Pendidikan Dan Kebudayaan RI. Untuk menanggulangi berbagai problema kemajemukan agama dan kepercayaan yang terdapat di Indonesia, dalam konteks politik Indonesia yang ber-Pancasila, maka bangsa Indonesia harus selalu berpedoman kepada sila pertama dari Pancasila, sebagi satu-satunya azas berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat di Indonesia. Sila pertama yaitu, Ketuhanan Yang Maha Esa tidaklah dipahami sebagai suatu gagasan teologis, melainkan suatu gagasan politis.

Sebagai konteks politis, gagasan ini dipahami bahwa semua agama dan kepercayaan yang ada, secara bersama-sama percaya dan mengakui adanya satu Tuhan YME sesuai agama dan

Page 2: Ringkasan Etika Politik No. 4 (Dorkas)

kepercayaan masing-masing. Dengan pemahaman di atas dapat dipahami bahwa “dialog” tidak dilaksanakan antar agama, melainkan antar umat beragama. Dengan kata lain antar umat beragama harus dilaksanakan dalam rangka “dialog akhlak” bukan “dialog doktrin”. Dari arti dialog yang paling hakiki, yaitu percakapan antar dua orang atau lebih mengenai berbagai permasalahan yang mereka hadapi bersama.

Alkitab tidak memuat kata “dialog” secara langsung. Namun dari hidup dan tindakan Tuhan Yesus yang disaksikan Alkitab dapat diketahui bahwa sebelum Tuhan Yesus mengajak seseorang bertobat dan mengikuti Dia, Tuhan Yesus selalu terlebih dahulu berdialog dengan mereka sebelumnya. Dari sini dipahami bahwa dialog adalah misi. Misi yang benar dalam rangka dialog antar umat beragama adalah misi yang dialogis. Misi seperti ini dapat dipahami dengan melihat tindakan Allah dalam hidup dan karya Tuhan Yesus, yang lazim disebut dengan istilah “Misio Dei”. Dalam konteks Indonesia, dialog antar umat beragama tercermin dalam sikap hidup yang mengajak dan menjadi teladan, bagaimana menjadi penganut agama yang baik, mampu bersamaa agama lain membicarakan dan mengerjakan masalah-masalah penting demi tercapainya kesejahteraan bersama. Dari segi iman Kristen, dialog antar umat beragama memberikaan kesempatan bersama untuk memuliakan Tuhan bersama-sama dengan penganut berbagai agama dan kepercayaan lainnya.

4.3. Kerjasama Antar Umat Beragama

Dialog menurut konsepsi Alkitab adalah dialog yang mewujudnyatakan kemitraan Tuhan Yesus dengan manusia dalam usaha mensejahterakan hidup semua orang sebagai ungkapan syukur untuk memuliakan Allah. Dari sini dipahami bahwa antar umat beragama belum merupakan tujuan final dari upaya mewujudkan untuk memperoleh kerukunan antar umat beragama. Dialog harus ditindak-lanjuti dengan upaya kerjasama yang bertujuan merealisir kerukunan yang mensejahterakan masyarakat. Jika dialog dipahami sebagai suatu pembicaraan antara orang-orang yang pada dasarnya adalah berkeluarga, maka kemitraan lebih merujuk pada kerjasama antara berbagai kelompok agama yang berbeda, namun di dalam kesetaraan antara agama yang satu dengan yang lain.

Pada tahun 1933 diadakan suatu pertemuan parlemen agama-agama di Chicago yang dihadiri oleh berbagai penganut agama dan kepercayaan sedunia. Mereka berkumpul menyepakati bahwa mereka datang untuk saling mendengar secara baik, bukan sekedar ingin tahu, melainkan untuk saling mempedulikan dan rela bertindak bersama untuk mencapai kebaikan bersama. Dari antara peserta terdapat seorang Uskup Gereja Ortodoks Syria dari India menurutnya, kebersamaan akan menciptakan sebuah hidup yang berkelimpahan bagaikan sebuah aliran sungai yang memberi kesuburan pada tanah tandus yang di atasnya tinggal orang-orang dari aneka ras, suku, agama, dan asal-usul yang mendambakan nikmat hidup damai sejahtera. Demikian juga Dr. Anis Ahmad, penganut Islam dari Malaysia menatakan bahwa untuk menopang pluralisme agama hendaknya pusat perhatian keagamaan beralih dari apa yang ia katakan “regio-centric” (berpusat pada agama) dan “theo-centric”.

Page 3: Ringkasan Etika Politik No. 4 (Dorkas)

Dalam kebersamaan agama-agama, yang besar harus rela memberi kesempatan yang sama kepada yang kecil untuk tumbuh dan berkembang secara wajar dan bertanggung jawab.dengan sikap ini agama yang besar tidak dianggap sebagai ancaman bagi kelangsungan hidup yang kecil, melainkan sebagai agama yang manusiawi. Sebaliknya agama yang kecil harus tahu diri, bahwa pertumbuhan dan perkembangan yang besar dalam menanggulangi permasalahan-permasalahan bersama yang akan menciptakan suatu komunitas baru, bukan ditandai oleh sikap hidup yang ingin menguasai dan saling mematikan.