35
RINITIS ALERGI Disusun oleh: Reinildis Hildegardis Uruk Hane, S.Ked 1008012032 Pembimbing : dr. M. A. Sri Wahyuningsih, Sp.THT-KL DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIK SMF/ BAGIAN ILMU PENYAKIT THT-KL FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS NUSA CENDANA RSUD PROF. DR. W. Z. JOHANNES KUPANG SMF/BAGIAN ILMU PENYAKIT THT-KL FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS NUSA CENDANA REFERAT Desember 2015

RINITIS ALERGI

Embed Size (px)

DESCRIPTION

REFERAT

Citation preview

Page 1: RINITIS ALERGI

RINITIS ALERGI

Disusun oleh:

Reinildis Hildegardis Uruk Hane, S.Ked

1008012032

Pembimbing :

dr. M. A. Sri Wahyuningsih, Sp.THT-KL

DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIK

SMF/ BAGIAN ILMU PENYAKIT THT-KL

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS NUSA CENDANA

RSUD PROF. DR. W. Z. JOHANNES KUPANG

2015

SMF/BAGIAN ILMU PENYAKIT THT-KL

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS NUSA CENDANA

REFERAT

Desember 2015

Page 2: RINITIS ALERGI

HALAMAN PENGESAHAN

Referat ini diajukan oleh :

Nama : Reinildis Hildegardis Uruk Hane, S.Ked

Fakultas : Kedokteran Universitas Nusa Cendana Kupang

Bagian : THT-KL RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang

Referat ini telah disusun dan dilaporkan dalam rangka memenuhi salah satu syarat Kepaniteraan Klinik di Bagian/SMF ILMU PENYAKIT THT-KL RSUD Prof. Dr. W.Z. Johannes Kupang.

PEMBIMBING KLINIK

dr. M. A. Sri Wahyuningsih, Sp.THT-KL ...................................

Ditetapkan di : Kupang

Tanggal : ...... Desember 2015

Referat SMF THT-KL “Rinitis Alergi” | 2

Page 3: RINITIS ALERGI

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa

karena atas berkat, karunia dan anugerah-Nya penulis dapat menyelesaikan referat

dengan judul “Rinitis Alergi” ini sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian

di bagian Ilmu Penyakit THT-KL.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. M. A. Sri Wahyuningsih,

Sp. THT-KL selaku pembimbing klinik yang telah setia membimbing penulis

dalam menyelesaikan referat ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan

kepada teman-teman sesama Dokter Muda yang telah mendukung penulis dalam

menyelesaikan referat ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa referat ini masih jauh dari

kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat penulis

harapkan untuk penyempurnaan referat ini.

Kupang, Desember 2015

Penulis

Referat SMF THT-KL “Rinitis Alergi” | 3

Page 4: RINITIS ALERGI

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL..................................................................................................... 1

HALAMAN PENGESAHAN....................................................................................... 2

KATA PENGANTAR.................................................................................................. 3

DAFTAR ISI................................................................................................................. 4

BAB 1 PENDAHULUAN............................................................................................ 5

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA................................................................................... 7

2.1 Anatomi dan fisiologi hidung........................................................................... 7

2.2 Definisi rinitis alergi......................................................................................... 9

2.3 Patofisiologi rinitis alergi................................................................................. 9

2.4 Klasifikasi rinitis alergi.................................................................................... 13

2.5 Gejala klinik..................................................................................................... 14

2.6 Diagnosis.......................................................................................................... 14

2.6.1 Anamnesis..................................................................................................... 14

2.6.2 Pemeriksaan fisik........................................................................................... 15

2.6.3 Pemeriksaan penunjang................................................................................. 16

2.7 Penatalaksanaan................................................................................................ 17

2.8 Komplikasi........................................................................................................ 19

BAB 3 PENUTUP.........................................................................................................

20

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................... 21

Referat SMF THT-KL “Rinitis Alergi” | 4

Page 5: RINITIS ALERGI

BAB 1

PENDAHULUAN

Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi pada mukosa hidung yang

disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah

tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia

ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut. Rinitis alergi

merupakan penyakit hipersensitifitas tipe 1 (Gell & Coomb) yang diperantarai

oleh IgE pada mukosa hidung. Gejala klinik yang timbul berupa gatal pada

hidung, mata, palatum, bersin-bersin, hidung beringus (rinore), dan hidung

tersumbat sebagai akibat infiltrasi sel-sel inflamasi dan dikeluarkannya mediator

kimia seperti histamin, prostaglandin dan leukotrien. (1)

Hal ini juga dapat didefinisikan sebagai peradangan lapisan dalam hidung

yang terjadi ketika seseorang menghirup alergen, seperti bulu binatang atau

serbuk sari.(2)

Rinitis alergi merupakan masalah kesehatan global yang mempengaruhi 10

sampai 20% dari populasi. Keadaan ini mungkin diremehkan, karena banyak

pasien tidak mengenali rinitis sebagai penyakit dan prevalensinya meningkat.

Meskipun rinitis alergi bukan penyakit yang parah, hal ini mempengaruhi

kehidupan pasien sosial, kinerja sekolah, dan produktivitas kerja.(3)

Prevalensi rinitis alergi di Amerika Utara mencapai 10-20%, di Eropa

sekitar 10 -15%, di Thailand sekitar 20% dan Jepang 10%. Prevalensi rinitis alergi

di Indonesia berdasarkan penelitian yang dilakukan pada tahun 2009 mencapai

1,5-12,4% dan cenderung mengalami peningkatan setiap tahunnya. Aeroalergen

yang tersering menyebabkan rinitis alergi yaitu debu rumah, dan tungau debu

rumah. Rinitis alergi dapat menyebabkan komorbiditas antara lain sinusitis, asma

bronkial, konjungtivitis dan otitis media.(4)

Rinitis alergi dapat diklasifikasikan oleh (1) pola waktu paparan untuk

alergen pemicu, seperti musiman (misalnya, serbuk sari), abadi/sepanjang tahun

Referat SMF THT-KL “Rinitis Alergi” | 5

Page 6: RINITIS ALERGI

(misalnya, tungau debu), atau episodik (lingkungan dari eksposur tidak biasanya

ditemui di lingkungan pasien, misalnya, mengunjungi rumah dengan hewan

peliharaan); (2) frekuensi gejala; dan (3) keparahan gejala. Mengelompokkan

rinitis alergi dengan cara ini mungkin membantu dalam memilih strategi

pengobatan yang paling tepat untuk individu pasien.(2)

Intervensi dini dan tepat dapat memperbaiki kualitas hidup dan

produktifitas pasien dengan rinitis alergi dan juga dapat meningkatkan

kemampuan akademik penderita rinitis alergi anak serta dapat menurunkan

komplikasi pada saluran napas bawah. Tujuan terapi adalah menghambat proses

patofisiologik yang menyebabkan terjadinya inflamasi kronik alergik.

Berdasarkan keadaan tersebut diatas maka diperlukan suatu tahapan

penatalaksanaan yang bersifat holistik berupa edukasi, penghindaran terhadap

alergen, farmakoterapi secara tepat dan rasional dan mungkin imunoterapi. Dalam

hal pemberian terapi, diperlukan pengetahuan yang memadai mengenai

patogenesis, patofisiologi rinitis alergi sebagai landasan dalam pemilihan obat

yang tepat. (1)

Referat SMF THT-KL “Rinitis Alergi” | 6

Page 7: RINITIS ALERGI

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan fisiologi hidung

Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke

bawah : 1) pangkal hidung (bridge), 2) batang hidung (dorsum nasi), 3) puncak

hidung (tip), 4) ala nasi, 5) kolumela dan 6) lubang hidung (nares anterior).

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh

kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau

menyempitkan lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari 1) tulang hidung (os

nasalis), prosesus frontalis os maksila dan prosesus nasalis os frontal, sedangkan

kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di

bagian bawah hidung, yaitu sepasang kartilago nasalis lateralis superior, sepasang

kartilago nasalis inferior yang disebut juga sebagai kartilago ala mayor, beberapa

pasang kartilago ala minor dan tepi anterior kartilago septum.

Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan

ke belakang, dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum

nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut

nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana)

yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.

Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat

di belakang nares anterior, disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit

yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang

disebut vibrise. 

Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding yaitu dinding medial, lateral,

inferior dan superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk

oleh tulang dan tulang rawan. Bagian tulang adalah 1) lamina perpendikularis os

etmoid, 2)vomer, 3)krista nasalis os maksilaris dan 4)krista nasalis os palatina.

Bagian tulang rawan adalah 1) kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan 2)

kolumela.

Referat SMF THT-KL “Rinitis Alergi” | 7

Page 8: RINITIS ALERGI

Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan

periosteum pada bagian tulang, sedangkan diluarnya dilapisi oleh mukosa hidung.

Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya

paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah konka media,

lebih kecil lagi ialah konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka

suprema. Konka suprema ini biasanya rudimenter.

Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit

yang disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus

inferior, medius dan superior. Meatus inferior terletak di antara konka inferior

dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior

terdapat muara (ostium) duktus nasolakrimalis. Meatus medius terletak di antara

konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius, terdapat

muara sinus frontal, sinus maksila dan sinus etmoid anterior. Pada meatus

superior yang merupakan ruang diantara konka superior dan konka media terdapat

muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.

Kompleks osteomeatal (KOM) merupakan celah pada dinding lateral

hidung yang dibatasi oleh konka media dan lamina papirasea. Struktur anatomi

penting yang membentuk KOM adalah prosesus unsinatus, infundibulum etmoid,

hiatus semilunaris, bula etmoid, agger nasi dan resesus frontal. KOM merupakan

unit fungsional yang merupakan tempat ventilasi dan drainase dari sinus-sinus

yang letaknya di anterior yaitu sinus maksila, etmoid anterior, dan frontal. Jika

terjadi obstruksi pada celah yang sempit ini, maka akan terjadi perubahan

patologis yang signifikan pada sinus-sinus terkait.

Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional

dibagi atas mukosa pernapasan (mukosa respiratori) dan mukosa penghidu

(mukosa olfaktorius). Dalam keadaan normal mukosa respiratori berwarna merah

muda dan selalu basah karena diliputi oleh palut lendir (mucous blanket) pada

permukaannya. Di bawah epitel terdapat tunika propria yang banyak mengandung

pembuluh darah, kelenjar mukosa dan jaringan limfoid.

Referat SMF THT-KL “Rinitis Alergi” | 8

Page 9: RINITIS ALERGI

Sistem transpor mukosilier merupakan sistem pertahanan aktif rongga

hidung terhadap virus, bakteri, jamur atau pertikel berbahaya lain yang terhirup

bersama udara. Efektivitas sistem transpor mukosilier dipengaruhi oleh kualitas

silia dan palut lendir. Palut lendir ini dihasilkan oleh sel-sel goblet pada epitel dan

kelenjar seromusinosa submukosa. Bagian bawah dari palut lendir terdiri dari

cairan serosa sedangkan bagian permukaannya terdiri dari mukus yang lebih

elastik dan banyak mengandung protein plasma seperti albumin, IgG, IgM dan

faktor komplemen. Sedangkan cairan serosa mengandung laktoferin, lisozim,

inhibitor lekoprotease sekretorik, dan IgA sekretorik (s-IgA).

Referat SMF THT-KL “Rinitis Alergi” | 9

Page 10: RINITIS ALERGI

Gambar 1. Anatomi hidung

Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional, fungsi

fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah : 1) fungsi respirasi untuk mengatur

kondisi udara (air conditioning), penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang

dalam pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik lokal; 2) fungsi penghidu

karena terdapatnya mukosa olfaktorius dan reservoir udara untuk menampung

stimulus penghidu; 3) fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara,

membantu proses bicara dan mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi

tulang; 4) fungsi statik dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi

terhadap trauma dan pelindung panas; 5) refleks nasal. (5)

Referat SMF THT-KL “Rinitis Alergi” | 10

Page 11: RINITIS ALERGI

2.2 Definisi rinitis alergi

Menurut Von Pirquet, rinitis alergi adalah penyakit inflamasi pada mukosa

hidung yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya

sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator

kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut.(1,5)

Rinitis alergi juga didefinisikan sebagai gejala dari nasal pruritus/gatal

pada hidung, bersin, adanya cairan hidung yang jernih dan sumbatan aliran udara

yang diakibatkan reaksi yang diperantarai IgE dalam melawan alergen yang

diinhalasi dan menyebabkan inflamasi mukosa yang dihasilkan oleh sel T helper

tipe 2 (Th2). (6)

2.3 Patofisiologi rinitis alergi

Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan

tahap sensitisasi dan diikuti dengan tahap provokasi/reaksi alergi. Reaksi alergi

terdiri dari 2 fase yaitu Immediate Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi

Fase Cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam

setelahnya dan Late Phase Allergic Reaction atau Reaksi Alergi Fase Lambat

(RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiper-reaktifitas)

setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam.(5)

Referat SMF THT-KL “Rinitis Alergi” | 11

Gambar 2. Tahap Sensitisasi(6)

Page 12: RINITIS ALERGI

Seperti ditunjukkan pada gambar 2, sensitisasi melibatkan penyerapan

alergen oleh sel antigen (sel dendritik) di situs mukosa, yang menyebabkan

aktivasi sel T antigen spesifik, yang kemungkinan besar dialirkan oleh kelenjar

getah bening. Aktivasi simultan sel epitel oleh jalur nonantigenic (misalnya

protease) dapat menyebabkan pelepasan sitokin epitel (stroma thymus

lymphopoietin [TSLP], interleukin-25, dan interleukin-33), yang dapat

mempolarisasi proses sensitisasi menjadi T-helper tipe 2 (Th2) respon sel.

Polarisasi ini diarahkan menuju sel dendritik dan mungkin melibatkan partisipasi

type 2 innate lymphoid sel (ILC2) dan basofil, yang melepaskan sitokin Th2-

pembawa sitokin (interleukin-13 dan interleukin-4). Hasil dari proses ini adalah

generasi sel Th2, yang pada gilirannya, mendorong sel B menjadi IgE-sel plasma-

alergen tertentu. MHC menunjukkan major histocompatibility kompleks.

Seperti ditunjukkan pada gambar 3, antibodi IgE alergen tertentu memiliki

afinitas tinggi reseptor pada permukaan sel jaringan yang berisi mast sel dan

basofil yang sedang bersirkulasi. Pada paparan ulang, alergen berikatan dengan

IgE pada permukaan sel-sel dan cross-link reseptor IgE, yang mengakibatkan

mast sel dan aktivasi basofil serta pelepasan mediator neuroaktif dan vasoaktif

Referat SMF THT-KL “Rinitis Alergi” | 12

Gambar 3. Tahap Reexposure (6)

Page 13: RINITIS ALERGI

seperti histamin dan cysteinyl leukotrien. Zat-zat ini menghasilkan gejala khas

dari rhinitis alergi. Selain itu, aktivasi lokal limfosit Th2 oleh sel dendritik

menghasilkan pelepasan kemokin dan sitokin yang mengatur masuknya sel-sel

inflamasi (eosinofil, basofil, neutrofil, sel T, dan sel B) pada mukosa, memberikan

lebih banyak target alergen dan meningkat pada organ-organ akhir hidung (saraf,

pembuluh darah, dan kelenjar). Sel Th2 inflamasi membuat mukosa hidung lebih

sensitif terhadap alergen tetapi juga terhadap iritasi lingkungan. Selain itu,

paparan alergen lanjut merangsang produksi IgE.

Seperti ditunjukkan dalam gambar 4, mediator yang dilepaskan oleh sel

mast dan basofil dapat langsung mengaktifkan ujung-ujung saraf sensori,

pembuluh darah, dan kelenjar melalui reseptor spesifik. Histamin tampaknya

memiliki efek langsung pada pembuluh darah (yang mengarah ke permeabilitas

pembuluh darah dan kebocoran plasma) dan saraf sensorik, sedangkan leukotrien

lebih mungkin menyebabkan vasodilatasi. Aktivasi saraf sensorik mengarah ke

gejala pruritus dan berbagai refleks pusat. Ini termasuk refleks motorik untuk

bersin dan refleks parasimpatis yang merangsang sekresi kelenjar hidung dan

menghasilkan vasodilatasi. Selain itu, refleks simpatis mengakibatkan vena

Referat SMF THT-KL “Rinitis Alergi” | 13

Gambar 4. Gejala di hidung yang timbul pada paparan alergen (6)

Page 14: RINITIS ALERGI

sinusoid melebar, dan terjadi pembengkakan pembuluh darah dan obstruksi pada

saluran hidung. Dengan adanya peradangan alergi, respons pada organ akhir ini

meningkat dan lebih berat. Respon yang berlebihan dari saraf sensorik adalah

ciri-ciri umum dari patofisiologi rinitis alergi.(6)

Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas :

1. Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernapasan, misalnya

tungau debu rumah (D.ptrynyssinus, D.farinae, B.Tropicalis), kotoran

kecoa, serpihan epitel kulit binatang (kucing, anjing), rerumputan

(bermuda grass), serta jamur (Aspergillus, Alternaria).

2. Alergen ingestan yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya

susu, sapi, telur, coklat, ikan laut, udang, kepiting dan kacang-kacangan.

3. Alergen injektan, yang melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin

dan sengatan lebah.

4. Alergen kontakan, yang masuk melalui kontak kulit dan jaringan mukosa,

misalnya bahan kosmetik, perhiasan.(5)

Satu macam alergen dapat merangsang lebih dari satu organ sasaran,

sehingga memberi gejala campuran, misalnya tungau debu rumah yang

memberi gejala asma bronkial dan rinitis alergi.(5)

2.4 Klasifikasi rinitis alergi

Berdasarkan durasi berlangsungnya gejala :

1. Intermitten - gejala yang hadir kurang dari 4 hari seminggu atau kurang

dari 4 minggu.

2. Persistent - gejala yang hadir setidaknya 4 hari seminggu dan selama

minimal 4 minggu.

Berdasarkan beratnya penyakit :

1. Mild – tidak ditemukan gangguan

2. Moderate-severe - setidaknya ada salah satu dari gangguan berikut:

Referat SMF THT-KL “Rinitis Alergi” | 14

Page 15: RINITIS ALERGI

Gangguan tidur

Gangguan pada kegiatan sehari-hari, waktu luang dan / atau

olahraga

Gangguan aktivitas belajar atau bekerja

Gejala-gejala lain yang mengganggu (3,5)

2.5 Gejala klinik

Gejala klinis rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin

yang berulang. Bersin merupakan gejala normal, yang merupakan mekanisme

fisiologik, yaitu proses pembersihan diri (self cleaning process). Bersin dianggap

patologik, bila terjadinya lebih dari lima kali setiap serangan, terutama merupakan

gejala pada reaksi alergi fase cepat dan kadang-kadang pada reaksi alergi fase

lambat sebagai akibat pelepasan histamin.

Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung

tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air

mata keluar (lakrimasi).

Sering kali gejala yang timbul tidak lengkap, terutama pada anak. Kadang-

kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-satunya

gejala yang diutarakan oleh pasien.

Gejala spesifik lain pada anak ialah terdapatnya bayangan gelap di daerah

bawah mata yang terjadi karena stasis vena sekunder akibat obstruki hidung.

Gejala ini disebut allergic shiner. Selain itu sering juga tampak anak menggosok-

gosok hidung karena gatal dengan punggung hidung. Keadaan ini disebut allergic

salute. Keadaan menggosok hidung ini lama kelamaan akan mengakibatkan

timbulnya garis melintang di dorsum nasi bagian sepertiga bawah yang disebut

allergic crease.(1,2,5)

2.6 Diagnosis

Referat SMF THT-KL “Rinitis Alergi” | 15

Page 16: RINITIS ALERGI

2.6.1 Anamnesis

Anamnesis sangat penting, karena seringkali serangan tidak terjadi di

hadapan pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari diagnosis saja.

Anamnesis yang dapat ditanyakan yaitu apakah rinitis terjadi pada musim tertentu

ataukah terjadi sepanjang tahun, gejala-gejala yang timbul pada paparan alergen

tertentu (hewan, tanaman tertentu), pengobatan yang dijalani saat ini, riwayat

penyakit atopi keluarga atau penyakit alergi, gejala yang timbul akibat paparan

iritan, gejala dari infeksi saluran pernapasan atas.(2,5)

Gejala yang dapat ditanyakan antara lain :

Gatal di hidung, tenggorokan, langit-langit atau telinga

Gatal di mata, berair dan kemerahan

Adanya bersin-bersin lebih dari lima kali (setiap kali serangan)

Rinore (ingus bening, encer, dan banyak)

Hidung tersumbat (menetap/berganti-ganti)

Hiposmia/anosmia

Sekret di belakang hidung/post nasal drip atau batuk kronik

Adanya variasi diurnal (memburuk pada pagi hari-siang dan membaik

pada saat malam hari)

Penyakit penyerta: sakit kepala berhubungan dengan tekanan hidung dan

sinus akibat sumbatan yang berat, kelelahan, penurunan konsentrasi, gejala

radang tenggorokan, mendengkur, gejala sinusitis, gejala sesak nafas dan

asma.

Frekuensi serangan, lama sakit (intermiten/persisten), beratnya penyakit,

efeknya pada kualitas hidup seperti adanya gangguan pada pekerjaan,

sekolah, berolahraga, bersantai dan melakukan aktifitas sehari-hari. (1)

2.6.2 Pemeriksaan fisik

Referat SMF THT-KL “Rinitis Alergi” | 16

Page 17: RINITIS ALERGI

Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau

livid disertai adanya sekret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa

inferior tampak hipertrofi. Perlu juga dilihat apakah terdapat kelainan septum

(lurus, deviasi, spina, krista), dan polip hidung yang dapat memperberat gejala

hidung tersumbat. Pemeriksaan nasoendoskopi dapat dilakukan bila fasilitas

tersedia, apakah ada gambaran konka bulosa atau polip kecil di daerah meatus

medius serta komplek osteomeatal. Pada anak dapat ditemukan juga allergic

shiner, allergic salute dan allergic crease. Mulut sering terbuka dengan lengkung

langit-langit yang tinggi, sehingga akan menyebabkan gangguan pertumbuhan

gigi-geligi (facies adenoid). Dinding posterior faring tampak granuler dan edema

(cobblestone appearance), serta dinding lateral faring menebal. Lidah tampak

seperti gambaran peta (geographic tongue). (1,2,5)

2.6.3 Pemeriksaan penunjang1. In vitro

Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian

pula pemeriksaan IgE total (prist-paper radio immunosorbent test) seringkali

menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu

macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga menderita asma bronkial atau

urtikaria. Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi kemungkinan alergi pada bayi

atau anak kecil sari suatu keluarga dengan derajat alergi yang tinggi. Lebih

bermakna adalah pemeriksaan IgE spesifik dengan RAST (Radio Immuno Sorbent

Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Assay Test). Pemeriksaan sitologi

hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap berguna sebagai

pemeriksa pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak

menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (> 5sel/lap) mungkin

disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan

adanya infeksi bakteri. (5)

2. In vivo

Referat SMF THT-KL “Rinitis Alergi” | 17

Page 18: RINITIS ALERGI

Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji

intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point

Titration/SET), SET dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan

alergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat kepekatannya. Keuntungan

SET, selain alergen penyebab juga derajat alergi serta dosis inisial untuk

desensitisasi dapat diketahui.

Untuk alergi makanan, uji kulit yang akhir-akhir ini banyak dilakukan adalah

Intracutaneus Provocative Dilutional Food Test (IPDFT), namun sebagai baku

emas dapat dilakukan dengan diet eliminasi dan provokasi (“Challenge Test”).

Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu lima hari.

Karena itu pada “Challenge Test”, makanan yang dicurigai diberikan pada pasien

setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet

eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan dari menu makanan sampai suatu

ketika gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis makanan.

2.7 Penatalaksanaan

2.7.1 Pencegahan

Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak dengan alergen

penyebabnya (avoidance) dan eliminasi.

2.7.2 Medikamentosa

Pilihan pengobatan farmakologis termasuk H1 antihistamin,

glukokortikoid intranasal, dan antagonis leukotriene-reseptor (Gambar 5).(6)

Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamin H-1, yang bekerja

secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan

preparat farmakologik yang paling sering dipakai sebagai lini pertama

pengobatan rinitis alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa

kombinasi dengan dekongestan secara peroral.

Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin

generasi 1 (klasik) dan generasi 2 (non sedatif). Anti histamin generasi 1

Referat SMF THT-KL “Rinitis Alergi” | 18

Page 19: RINITIS ALERGI

bersifat lipofilik, sehingga dapat menembus sawar darah otak (mempunyai

efek pada SSP) dan plasenta serta mempunyai efek kolinergik. Yang

termasuk kelompok ini antara lain adalah difenhidramin, korfeniramin,

prometasin, siproheptadin sedangkan yang dapat diberikan secara topikal

adalah azelastin. Antihistamin generasi 2 bersifat lipofobik, sehingga sulit

menembus sawar darah otak. Bersifat selektif mengikat reseptor H-1 perifer

dan tidak mempunyai efek anti kolinergik, antiadrenergik dan efek pada

SSP minimal (non sedatif). Antihistamin diabsorbsi secara oral dengan

cepat dan mudah serta efektif untuk mengatasi gejala pada respon fase cepat

seperti rinore, bersin, gatal, tetapi tidak efektif untuk mengatasi gejala

obstruksi hidung pada fase lambat. Antihistamin non sedatif dapat dibagi

menjadi 2 golongan menurut keamanannya. Kelompok pertama adalah

astemisol dan terfenadin yang mempunyai efek kardiotoksik. Toksisitas

terhadap jantung tersebut disebabkan repolarisasi jantung yang tertunda dan

dapat menyebabkan aritmia ventrikel, henti jantung dan bahkan kematian

mendadak. (sudah ditarik dari peredaran). Kelompok kedua adalah

loratadin, setirisin, fexofenadin, desloratadin dan levosetirisin.

Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai

sebagai dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan

antihistamin atau topikal.

Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala terutama sumbatan hidung

akibat respons fase lambat tidak berhasil diatasi dengan obat lain. Yang

sering dipakai adalah kortikosteroid topikal (beklometason, budesonid,

flunisolid, flutikason, mometason furoat dan tramsinolon). Kortikosteroid

topikal bekerja untuk mengurangi jumlah sel mastosit pada mukosa hidung,

mencegah pengeluaran protein sitotoksik dari eosinofil, mengurangi

aktivitas limfosit, mencegah bocornya plasma. Hal ini menyebabkan epitel

hidung tidak responsif terhadap rangsangan alergen (bekerja pada fase cepat

dan lambat). Preparat sodium kromoglikat topikal bekerja menstabilkan

mastosit (mungkin menghambat ion kalsium) sehingga penglepasan

mediator dihambat. Pada respon fase lambat, obat ini juga menghambat

Referat SMF THT-KL “Rinitis Alergi” | 19

Page 20: RINITIS ALERGI

proses inflamasi dengan menghambat aktifasi sel netrofil, eosinofil dan

monosit. Hal terbaik dapat dicapai bila diberikan sebagai profilaksis.

Preparat antikolinergik topikal adalah ipratroprium bromida, bermanfaat

untuk mengatasi rinore, karena aktifitas inhibisi reseptor kolinergik pada

permukaan sel efektor. Pengobatan baru lainnya adalah anti leukotrien

(zafirlukast/montelukast), anti IgE, DNA rekombinan.(1,5)

2.7.3 Operatif

Referat SMF THT-KL “Rinitis Alergi” | 20

Gambar 5. Farmakoterapi dan imunoterapi untuk rinitis alergi (6)

Page 21: RINITIS ALERGI

Tindakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka inferior),

konkoplasti atau multiple outfracture, inferior turbinoplasty perlu dipikirkan

bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara

kauterisasi memakai AgNO3 25% atau triklor asetat.(5)

2.7.4 Imunoterapi

Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang berat

dan sudah berlangsung lama serta dengan pengobatan cara lain tidak

memberikan hasil yang memuaskan. Tujuan dari imunoterapi adalah

pembentukan IgG blocking antibody dan penurunan IgE. Ada 2 metode

imunoterapi yang umum dilakukan yaitu intradermal dan sublingual.(5)

2.8 Komplikasi

Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah :

1. Sinusitis paranasal

2. Otitis media efusi yang sering residif, terutama pada anak-anak

3. Polip hidung

Beberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung merupakan salah

satu faktor penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip

hidung.(5)

BAB 3

Referat SMF THT-KL “Rinitis Alergi” | 21

Page 22: RINITIS ALERGI

KESIMPULAN

Rinitis alergi merupakan penyakit hipersenitifitas tipe 1 (Gell & Coomb)

dengan gejala nasal pruritus, bersin, sumbatan aliran udara, dan kebanyakan

adanya cairan hidung yang jernih yang diakibatkan reaksi yang diperantarai IgE

dalam melawan alergen yang diinhalasi dan menyebabkan inflamasi mukosa yang

dihasilkan oleh sel T helper tipe 2 (Th2). Terapi rinitis alergi yang paling ideal

adalah dengan menghindari kontak dengan alergen penyebabnya (avoidance) dan

eliminasi. Terapi lain rinitis alergi dapat melalui medikamentosa (pilihan

pengobatan farmakologis termasuk H1 antihistamin, glukokortikoid intranasal,

dan antagonis leukotriene-reseptor), serta operatif dan imunoterapi.

BAB 4

Referat SMF THT-KL “Rinitis Alergi” | 22

Page 23: RINITIS ALERGI

PENUTUP

Telah dibacakan sebuah referat dengan judul Rinitis Alergi yang

membahas definisi, patofisiologi, gejala, penegakan diagnosis serta

penatalaksanaannya. Semoga referat ini dapat dijadikan sebagai pedoman dalam

proses pendidikan dan pembelajaran.

DAFTAR PUSTAKA

Referat SMF THT-KL “Rinitis Alergi” | 23

Page 24: RINITIS ALERGI

1. Ghanie A. Penatalaksanaan Rhinitis Alergi Terkini. Temu Ilmiah Akbar Lustrum IX Oktober 2007; Palembang. 2011.

2. Seidman M, et al. Clinical Practice Guideline: Allergic Rhinitis. Otolaryngology–Head and Neck Surgery. 2015 20 November 2015;152(1S): S1 –S43.

3. Brozek J ea. Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma (ARIA)2010 Revision Journal of Allergy and Clinical Immunology 2010:22 of 153.

4. Rambe A Y F, Munir D, Haryuna T S, Eyanoer PC. Hubungan rinitis alergi dan disfungsi tuba Eustachius dengan menggunakan timpanometri. ORLI. 2015;43.

5. Buku Ajar Ilmu Kesehatan : Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Six ed. Soepardi E A, editor. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2011.

6. Wheatley L M TA. Allergic Rhinitis. The new england journal of medicine. 2015;372:456-63.

Referat SMF THT-KL “Rinitis Alergi” | 24