Upload
munir-bramanti
View
10
Download
9
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Pengaruh ketinggian tempat tumbuh terhadap mutu citarasa kopi robusta
Citation preview
PENGARUH ELEVASI DAN PENGOLAHAN TERHADAP MUTU CITARASA
KOPI ROBUSTA
ELEVATION AND PROCESSING EFFECT ON THE FLAVOR QUALITY OF ROBUSTA COFFEE
Juniaty Towaha, Asif Aunillah, Eko Heri Purwanto dan Handi Supriadi
Balai Penelitian Tanaman Industri dan Penyegar Jalan Raya Pakuwon km 2 Parungkuda, Sukabumi.
ABSTRAK
Kopi robusta merupakan kopi yang sejauh ini terposisikan sebagai kopi kelas dua
dibanding kopi arabika, karena kopi ini dari citarasa tidak sebaik arabika. Indonesia
memiliki kebun robusta pada agroklimat dan alevasi tempat yang variatif serta lebih luas,
sehingga berpotensi sebagai penghasil kopi spesialti robusta yang bermutu tinggi dengan
citarasa dan aroma khas. Penelitian mengenai mutu dan citarasa kopi robusta pada
beberapa elevasi telah dilaksanakan pada perkebunan rakyat di Provinsi Lampung dari
bulan Januari hingga Desember 2013. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan
kopi robusta spesialti berkualitas tinggi yang mempunyai citarasa dan aroma yang khas
berdasarkan perbedaan elevasi dan pengolahan. Penelitian menggunakan metode
Rancangan Acak Lengkap dengan 3 ulangan dan 2 faktor. Faktor pertama adalah elevasi
yaitu : (1) 200; (2) 400; (3) 600 dan (4) 800 m dpl, faktor kedua adalah teknik pengolahan
yaitu : (1) pengolahan secara basah; dan (2) kering. Pengujian dilakukan terhadap biji kopi
yang diolah secara kering dan basah, meliputi pengujian kadar kafein, protein, lemak dan
abu. Setelah biji kopi diolah menjadi bubuk dilakukan pengujian citarasa seduhan kopi
secara organoleptik (cupping test). Hasil penelitian mendapatkan bahwa perbedaan
elevasi tempat tumbuh dapat mempengaruhi kandungan kimia pada biji kopi, sehingga
dengan adanya perbedaan elevasi tempat tumbuh dapat dihasilkan kopi robusta yang yang
mempunyai citarasa tinggi dan aroma yang khas. Pengolahan biji kopi secara basah pada
kopi robusta menghasilkan mutu kopi yang lebih baik daripada pengolahan biji kopi secara
kering, sehingga menghasilkan juga kopi seduh yang memiliki citarasa yang lebih baik.
Kata kunci : Kopi robusta, elevasi, pengolahan, mutu, citarasa.
ABSTRACT
Robusta coffee is coffee that has so far latches as second-class coffee than arabica coffee, because the coffee flavor is not as good than arabica. Indonesia has a robusta plantations on agro-climatic and alevasi place varied and wider, making it potentially as a specialty coffee robusta producer of high quality with a distinctive flavor and aroma. Research on the quality and flavor of robusta coffee at some elevation has been conducted on smallholder plantations in Lampung Province from January to December 2013. Purpose of this study is to obtain high-quality robusta coffee spesialti that have flavor and distinctive aroma based on differences in elevation and processing. Research using completely randomized design with three replications and two factors. The first factor is the elevation : (1) 200; (2) 400; (3) and 600 (4) 800 m above sea level, the second factor is the processing technique : (1) wet; and (2) dry processing. Tests carried out on the coffee beans are processed in a dry and wet, includes testing levels of caffeine, protein, fat and ash. Once the coffee bean is processed into powder steeping coffee taste test conducted by organoleptic (cupping test). The results of the study found that the difference in elevation where growth can affect the chemical content of the beans, so that with the difference in elevation where grown robusta coffee which can be produced that have a high taste and flavor. Wet processing of coffee beans are better quality than dry processing, so it produce brewed coffee that also have a better flavor .
Keywords : Robusta coffee, elevation, processing, quality, flavor
PENDAHULUAN
Luas lahan perkebunan kopi di Indonesia mencapai 1,3 juta hektar, dari luasan
tersebut sebesar 1 juta hektar merupakan perkebunan kopi robusta, sehingga produksi kopi
Indonesia didominasi oleh jenis robusta (80,4%) (Kemenperin, 2013). Walaupun demikian
Indonesia sudah lama dikenal sebagai negara produsen kopi spesialti arabika di pasar
internasional, seperti kopi gayo, kopi mandheling, kopi lintong, kopi java, kopi java
preanger, kopi toraja, kopi kalosi, kopi bali-kintamani, kopi flores-bajawa, kopi wamena
dan sebagainya (Mawardi, 2007). Adapun kopi spesialti robusta Indonesia baru beberapa
tahun belakangan ini mulai dikenal dipasar internasional seperti Java-dampit robusta, Java
estate robusta, Bali-pupuan robusta, Lampung robusta, Flores robusta (Media Data Riset,
2011), dengan jumlah yang tidak sebanyak kopi spesialti arabika.
Kopi merupakan produk pertanian yang mengandalkan aspek kualitas citarasa,
sehingga sasaran akhir budidaya kopi adalah produk biji yang berkualitas sehingga
menghasilkan kopi seduh yang spesialti (specialty coffee). Menurut SCAA (2009a) kopi
spesialti adalah kopi yang memiliki citarasa tinggi, dengan rasa dan aroma yang khas serta
unik berdasarkan spesifik daerah asal.
Kopi spesialti robusta Indonesia sudah mulai dikenal di dunia internasional, tetapi
tidak sepopuler kopi spesialti arabika, mengingat kopi robusta merupakan kopi yang sejauh
ini terposisikan sebagai kopi kelas dua. Kopi robusta selalu diidentikkan dengan tak
berkelas, kopi murah, pahit, berkafein tinggi, tidak menarik dari segi cita rasa, dan sekadar
pelengkap dari produk coffee blending (Lestari, Anggrahini, Supriyadi & Sri-Mulato,
2005; Ditjen Industri dan Agrokimia, 2009; Klub Kajian Kopi, 2011). Padahal Coffee
Quality Institute mengakui bahwa kopi robusta dari Indonesia memiliki potensi sangat
tinggi dan menjanjikan, mengingat dari setiap daerah penghasil memiliki citarasa yang
berbeda satu dengan lainnya, sehingga ke depan, Indonesia memiliki potensi sebagai salah
satu penghasil kopi robusta terbaik di dunia. (Soetriono, 2009; Klub Kajian Kopi, 2011).
Da-Silva et al. (2005), Geromel et al. (2008), Camargo (2009) dan Joet et al. (2010)
menyatakan bahwa citarasa aroma kopi dipengaruhi oleh klon/varietas kopi, agroekologi
(jenis tanah, ketinggian tempat, iklim, pemupukan), waktu panen, metode pemetikan,
pengolahan dan penyimpanan. Kopi robusta dapat tumbuh baik pada ketinggian tempat
300-700 meter dari permukaan laut, suhu udara harian 24°-30°C, curah hujan rata-rata
1.500-3.000 mm/tahun (Ermawati, Arief & Slamet, 2008; Ditjenbun, 2010), ketinggian
optimal yang dianjurkan untuk penanaman kopi robusta apabila dikaitkan dengan citarasa
adalah 500-700 meter dari permukaan laut (Puslitkoka, 2008).
Pada umumnya, semakin tinggi daerah penanamannya, kopi tumbuh lebih lambat
dan menghasilkan buah kopi yang lebih padat dan lebih beraroma (De Castro &
Marraccini, 2006; Vaast, Bertrand, Perriot, Guyot, & Genard, 2006; Da-Matta, Ronchi,
Maestri & Barros, 2007; Howard, 2011), diharapkan komponen aromatik yang terkandung
didalamnya terbentuk secara perlahan dan membentuk citarasa yang khas. Avelino et al.
(2005) serta Sridevi & Giridhar (2013) menemukan kopi yang tumbuh pada elevasi yang
lebih tinggi mempunyai komponen senyawa kimia yang lebih tinggi dibanding kopi yang
tumbuh pada elevasi yang lebih rendah. Begitupun kopi tersebut mempunyai aroma, body,
acidity dan preference yang lebih baik (Bertrand et al., 2006). Sehingga dapat dikatakan
terdapat korelasi yang positif antara elevasi tempat tumbuh dengan mutu citarasa kopi
(Leonel & Philippe, 2007; Barbosa et al., 2012).
Kopi robusta tumbuh pada agroklimat serta elevasi tempat yang cukup variatif,
sehingga mempunyai potensi sebagai penghasil fine robusta (kopi spesialti) yang
memiliki mutu tinggi dengan citarasa dan aroma khas. Mengingat pangsa pasar kopi
spesialti masih sangat terbuka dan memperlihatkan kecenderungan yang kian meningkat
dimasa mendatang, terutama dengan bergesernya konsumen kopi biasa menjadi konsumen
kopi spesialti seperti yang terjadi pada masyarakat di Amerika Serikat dan Uni Eropa.
Dengan menelusuri karakter citarasa kopi robusta berdasarkan perbedaan elevasi,
akan didapatkan kopi robusta spesialti terbaik untuk pengembangan budidaya maupun
pengembangan pasar kopi kedepan, yang dapat meningkatkan pendapatan petani serta
meningkatkan perekonomian negara. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan kopi
robusta spesialti berkualitas tinggi yang mempunyai citarasa dan aroma yang khas
berdasarkan perbedaan elevasi dan pengolahan.
BAHAN DAN METODE
Penelitian dilaksanakan pada perkebunan rakyat kopi robusta di Provinsi
Lampung, adapun pengujian kadar kafein, protein, lemak dan abu dilakukan di
Laboratorium Balai Penelitian Tanaman Industri dan Penyegar (Balittri), Sukabumi,
pengujian citarasa (cupping test) secara organoleptik dilakukan di Laboratorium Pusat
Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (Puslitkoka) Jember. Penelitian dimulai pada bulan
Januari sampai Desember 2013. Bahan yang digunakan adalah buah kopi petik merah
robusta dari 4 ketinggian tempat yang berbeda yaitu Natar (200 m dpl, jenis tanah Latosol),
Tanjung Baru (400 m dpl, jenis tanah Podsolik), Dwikora (600 m dpl, jenis tanah Podsolik)
dan Sumberjaya (800 m dpl, jenis tanah Latosol).
Penetapan pohon diambil contoh dilakukan dengan menggunakan metode survey,
dengan kriteria keseragaman tumbuh dan jumlah dompolan di atas pohon seragam. Metode
yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap dengan 3
ulangan dan 2 faktor. Faktor pertama adalah elevasi yaitu : (1) 200; (2) 400; (3) 600 dan
(4) 800 m dpl. Faktor kedua adalah teknik pengolahan yaitu : (1) basah; dan (2) kering.
Teknik pengolahan basah dan kering yang dilakukan mengacu kepada Prastowo et al.
(2010) dan Widyotomo (2012a). Pengeringan biji kopi pada pengolahan basah maupun
kering dilakukan dengan metode yang sama yaitu metode pengeringan dengan sinar
matahari hingga kadar air < 12%.
Pengujian kandungan kimia dilakukan terhadap kopi beras yang sudah disortasi
menjadi mutu I menurut SNI 01-2907-2008 (BSN, 2008), meliputi kadar kafein dengan
metode chromatografi-spektrofotometri (AOAC, 1990), kadar protein dengan metode
Kjeldahl (AOAC, 200a), kadar lemak dengan metode Soxhlet (AOAC, 2005) dan kadar
abu dengan metode gravimetri (AOAC, 200b) di laboratorium. Untuk mengetahui
pengaruh perlakuan terhadap parameter yang diamati digunakan uji BNJ dengan tingkat
signifikan 5%.
Kopi beras mutu I yang sudah disangrai tingkat medium diolah menjadi bubuk,
kemudian dilakukan pengujian citarasa seduhan kopi secara organoleptik (cupping test)
yang mengacu kepada standar Speciality Coffee Association of America/SCAA oleh
minimal 3 orang panelis ahli/terlatih (Lingle, 2001; SCAA, 2009b), dengan parameter
citarasa yang dinilai meliputi aroma (bau aroma saat diseduh), flavour (rasa dilidah), body
(kekentalan), acidity (keasaman), aftertaste (rasa yang tertinggal dimulut), sweetness (rasa
manis), balance (aspek keseimbangan rasa), clean cup (kesan rasa umum), uniformity
(adanya keseragaman rasa dari tiap cangkir), dan overall (aspek rasa keseluruhan). Skala
parameter citarasa : 6,00 - <7,00 = bagus; 7,00 - <8,00 = sangat bagus; 8,00 - <9,00 =
unggul; 9,00 - <10,00 = luar biasa; 10 = sempurna. Kalau nilai total skor kualitas citarasa
seduhan kopinya ≥ 80 pada skala 100 berdasarkan cupping test, maka dapat dikategorikan
sebagai kopi spesialti (SCAA, 2009a). Adapun penilaian karakter rasa kopi mengacu
kepada diagram coffee tasters flavor wheel (SCAA, 1995; Caspersen, 2012).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengujian Sifat Kimia
Pengolahan secara keringHasil analisis kopi dari beberapa elevasi di daerah Lampung yang diolah secara
kering (E1 s/d E4) mempunyai kadar protein pada berbagai elevasi berkisar antara 13,31-
15,90% (Tabel 1). Walaupun pada elevasi 600 m dpl memiliki nilai terendah, tetapi
terlihat adanya kenaikan kandungan protein yang nyata dengan kenaikan elevasi dari 200
dan 400 ke elevasi 800 m dpl. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Rodrigues, Maia &
Maguas (2010) bahwa terjadi kenaikan kandungan protein dengan adanya kenaikan
elevasi tempat tumbuh.
Kadar kafein berkisar antara 2,07-2,55%, terjadi perbedaan nyata antara elevasi
200 dan 400 m dpl dengan elevasi 600 dan 800 m dpl. Menurut Figueiredo et al. (2013)
kandungan kafein akan meningkat dengan adanya kenaikan elevasi tempat tumbuh, pada
penelitian ini hal tersebut terlihat pada elevasi 600 dan 800 m dpl. Adapun kadar lemak
berkisar antara 2,19-2,50%, ada perbedaan yang nyata antara elevasi 400 m dpl dengan
elevasi 600 dan 800 m dpl. Pada elevasi tersebut terjadi peningkatan kadar lemak dengan
adanya peningkatan elevasi tempat tumbuh, hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian
Decazy et al. (2003), Leroy et al. (2006) dan Howard (2011), mengingat bahwa pada
elevasi yang lebih tinggi terjadi sintesis lemak yang lebih intensif (Bertrand et al., 2006).
Selanjutnya kadar abu berkisar antara 3,40-3,84%, tidak terlihat perbedaan yang
nyata pada parameter ini. Kadar abu merupakan jumlah mineral yang terdapat pada biji
kopi seperti K, Na, Ca, Mg, P, S, Mn, Fe, Al, Cu dan Zn (Gure, 2006). Mineral ini tidak
disintesis tetapi diserap dari tanah, sehingga keberadaannya dalam biji tidak dipengaruhi
oleh elevasi tempat tumbuh. Oleh karena itu, secara umum sifat kimia dari biji kopi yang
kandungannnya dipengaruhi oleh elevasi tempat tumbuh adalah protein, kafein dan lemak
(Decazy et al., 2003; Avelino et al., 2005; Rodrigues et al., 2010; Howard, 2011;
Figueiredo et al., 2013).
Tabel 1. Rataan kadar protein, kafein, lemak dan abu pada biji kopi beras robusta dari 4 lokasi dengan elevasi berbeda yang diolah secara kering dan basah
Table 1. The mean content of protein, kafeine, lipid and ash of robusta green beans from 4 different elevation with dry and wet processing
Perlakuan Kadar protein(%)
Kadar kafein(%)
Kadar lemak(%)
Kadar abu(%)
Olah KeringE1 (Natar 200 m)
E2 (Tj. Baru 400 m)
E3 (Dwikora 600 m)
E4 (Sumberjaya 800 m)
14,88 bc
14,93 b
13,31 e
15,90 a
2,55 a
2,53 a
2,07 c
2,13 c
2,50c
2,19d
2,48c
2,42c
3,84 bcd
3,76 cde
3,62 de
3,40 e
Olah BasahE5 (Natar 200 m)
E6 (Tj. Baru 400 m)
E7 (Dwikora 600 m)
E8 (Sumberjaya 800 m)
14,39 cd
14,83 bc
15,63 a
13,97 d
2,38 b
1,86 d
1,92 d
1,88 d
1,03e
3,38a
3,09b
3,43a
4,54 a
4,46 ab
4,60 a
4,06 bcKeterangan : - Angka yang diikuti huruf yang sama pada lajur yang sama tidak berbeda nyata pada uji BNJ
taraf 5%.Notes :The numbers followed by the same letters in each coloum are not significantly different at 5%
level of HSD
Pengolahan secara basah Hasil pengolahan secara basah (E5 s/d E8) pada Tabel 1 diperoleh kadar protein
biji kopi dari berbagai elevasi sebesar 13,97-15,63%, kadar kafein berkisar sebesar 1,86-
2,38%, kadar lemak sebesar 1,03-3,43% dan kadar abu sebesar 4,06-4,60%. Hasil
analisis statistik memperlihatkan adanya perbedaan yang nyata antara perbedaan elevasi
dengan sifat kimia kecuali pada kadar kafein dan kadar abu.
Terlihat adanya kenaikan kandungan protein, kafein dan lemak dengan adanya
kenaikan elevasi tempat tumbuh dari 200 hingga 800 m dpl. Hal ini sesuai dengan yang
dikemukakan De Castro & Marraccini (2006), Howard (2011) dan Sridevi & Giridhar
(2013) bahwa semakin tinggi elevasi daerah penanaman, kopi tumbuh lebih lambat dan
menghasilkan buah kopi yang lebih padat dengan kandungan kimia yang lebih tinggi.
Seperti hasil penelitian Avelino et al. (2005), Bertrand et al. (2006), Rodrigues et al.
(2010), Howard (2011) dan Figueiredo et al. (2013) yang mendapatkan kandungan
protein, kafein dan lemak yang semakin tinggi dengan adanya kenaikan elevasi tempat
tumbuh.
Pengolahan secara kering dibanding pengolahan secara basah
Secara umum terdapat perbedaan yang nyata hasil pengujian kimia antara biji kopi
yang diolah kering dan yang diolah basah, dimana pengolahan basah memperlihatkan hasil
sifat kimia yang lebih baik dibanding pengolahan kering. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Subedi (2011), Murthy & Naidu (2011) serta Ferreira, De-Novaes, Malta & De-Souza
(2013) bahwa biji kopi yang dihasilkan dari pengolahan secara basah lebih baik daripada
yang dihasilkan dari pengolahan secara kering. Pada pengolahan secara basah terjadi
proses fermentasi. Fermentasi tidak sekedar untuk menghilangkan lapisan lendir yang
terdapat dipermukaan kulit tanduk biji kopi, tetapi fermentasi merupakan peristiwa
kimiawi yang sangat berguna dalam pembentukan karakter citarasa biji kopi yaitu
pembentukan senyawa prekursor citarasa seperti asam organik, asam amino dan gula
reduksi (Avallone, Brillouet, Guyot, Olguin & Guiraud, 2002; Jackels & Jackels, 2005;
Redgwell & Fischer, 2006; Lin, 2010).
Kandungan protein pada biji kopi hasil pengolahan secara basah lebih rendah
daripada biji kopi hasil pengolahan secara kering (Tabel 1), hal ini disebabkan pada
pengolahan secara basah terjadi penguraian protein menjadi senyawa yang lebih sederhana
seperti peptida dan asam amino (Montavon, Duruz, Rumo & Pratz, 2003; Selmar et al.,
2004; Lin, 2010). Sehingga walaupun mempunyai kandungan protein yang lebih rendah,
tetapi mempunyai kandungan senyawa prekursor asam amino dan peptida yang lebih
banyak, yang sangat berperan dalam reaksi Maillard pada proses penyangraian untuk
membentuk aroma dan citarasa kopi (Flament, 2002; Buffo & Cardelli-Freire, 2004;
Ciampa, Renzi, Taglienti, Sequi & Valentini, 2010).
Kandungan kafein pada biji kopi hasil pengolahan basah lebih rendah daripada biji
kopi hasil pengolahan kering, hal ini sesuai dengan hasil penelitian Ferreira et al. (2013).
Adanya proses fermentasi pada pengolahan basah, menyebabkan terbentuknya asam
organik yaitu asam laktat dan asam asetat akibat terurainya karbohidrat (Silva, Batista,
Abreu, Dias & Schwan, 2008; Lin, 2010; Murthy & Naidu, 2011). Menurut Widyotomo
(2012b) senyawa kafein dapat larut dalam asam organik terutama asam asetat, sehingga
pada biji kopi pengolahan basah mempunyai kandungan kafein yang lebih rendah,
dikarenakan ada sebagian kafein yang terlarut dalam asam asetat.
Kandungan lemak dan abu pada biji kopi hasil pengolahan basah lebih tinggi
daripada biji kopi hasil pengolahan kering, hal ini disebabkan pada pengolahan basah
terjadi penurunan kandungan bahan lain seperti protein, polifenol dan karbohidrat yang
terurai akibat proses fermentasi (Lin, 2010; Murthy & Naidu, 2011). Apalagi selama
proses fermentasi terjadi pembentukan senyawa yang bersifat volatile (mudah menguap)
seperti alkohol, aldehid dan ester (Lee & Shibamoto, 2002; Selmar et al., 2004; Rios et al.,
2007).
Pengujian Citarasa
Pengolahan secara keringHasil pengujian citarasa kopi seduh yang diolah secara kering dapat dilihat pada
Tabel 2, yaitu hanya kopi dari 3 lokasi saja yang dapat dikategorikan sebagai kopi spesialti
dengan mempunyai total skor ≥ 80, sedangkan kopi dari lokasi Natar mempunyai total skor
< 80. Pada pengolahan kering ini kopi yang mempunyai citarasa tertinggi adalah kopi
robusta dari lokasi Sumberjaya yang mempunyai elevasi 800 m dpl, dengan total skor
82,00 yang mempunyai karakter citarasa chocolaty, spicy dan caramelly (berasa cokelat
dan karamel yang agak pedas).
Tabel 2. Skor citarasa kopi robusta dari 4 lokasi dengan elevasi berbeda yang diolah secara kering
Table 2. Flavor score of robusta coffee from 4 different elevation with dry processingParameter Natar
200 m dpl.Tanjung Baru 400 m dpl.
Dwikora600 m dpl.
Sumberjaya800 m dpl.
AromaFlavorAftertasteAciditySweetnessBodyUniformity
7,007,007,007,257,257,0010,00
7,507,507,507,257,258,0010,00
7,757,507,507,257,258,0010,00
7,507,757,757,757,758,0010,00
BalanceClean CupOverallTaints-Faults
7,0010,07,00
-
7,5010,007,50
-
7,7510,007,50
-
7,7510,007,75
-Total skor 76,50 80,00 80,50 82,00Karakter citarasa chocolaty,
spicychocolaty,
spicychocolaty, spicy,
somewhat cereally
chocolaty, spicy,
caramelly
Terjadi kenaikan skor nilai aroma, flavor, aftertaste, body dengan adanya kenaikan
elevasi tempat tumbuh, hal ini sesuai dengan hasil penelitian Avelino et al. (2005) dan
Bertrand et al. (2006) yang mendapatkan terjadinya kenaikan hampir semua parameter
citarasa, kecuali pada parameter bitterness yang menurun. Bertrand et al. (2012)
mengemukakan bahwa semakin tinggi elevasi tempat tumbuh akan menambah kandungan
senyawa volatile etanal dan aseton yang memberi flavor rasa buah (fruity) seperti
chocolaty, lemon, apple dan apricot.
Dari nilai total skor citarasa masing-masing elevasi yang tertera pada Tabel 2 terlihat
adanya korelasi yang positif antara elevasi tempat tumbuh dengan mutu citarasa kopi, hal
ini sesuai dengan pernyataan Vaast et al. (2006), Silva, Pereira, Borem & Silva (2006),
Leonel & Philippe (2007), Barbosa et al. (2012) dan Figueiredo et al. (2013) bahwa
semakin tinggi elevasi akan menghasilkan mutu citarasa kopi yang lebih baik. Untuk lebih
jelas profil citarasa dari kopi robusta yang diolah kering tersebut dapat dilihat pada
Gambar 1.
Aroma
Flavour
Aftertaste
Acidity
Sweetness
Body
Uniformity
Balance
Clean Cup
Overall
55.566.577.588.599.510
Natar (200 m dpl) Tanjung Baru (400 m dpl)Dwikora (600 m dpl) Sumberjaya (800 m dpl)
Gambar 1. Profil citarasa kopi robusta dari 4 lokasi dengan elevasi berbeda yang diolah secara kering
Figure 1. Flavor profile of robusta coffee from 4 different elevation with dry processing
Pengolahan secara basahHasil pengujian citarasa kopi seduh yang diolah basah pada Tabel 3
memperlihatkan bahwa kopi robusta dari semua lokasi mempunyai nilai total skor ≥ 80,
artinya semua kopi dari 4 lokasi yang berbeda ketinggian tersebut dapat dikategorikan
sebagai kopi spesialti (SCAA, 2009b). Kopi yang memiliki total skor citarasa tertinggi
adalah kopi dari Tanjung Baru yang mempunyai elevasi 400 m dpl, dengan total skor
83,25 yang mempunyai karakter citarasa chocolaty spicy (berasa cokelat dan agak pedas).
Adapun total skor citarasa terendah dimiliki oleh kopi dari Sumber Jaya yang mempunyai
elevasi 800 m dpl, dengan total skor 81,25 yang mempunyai karakter citarasa chocolaty,
spicy, somewhat winny (berasa cokelat, agak pedas dan agak seperti anggur).
Tabel 3. Skor citarasa kopi robusta dari 4 lokasi dengan elevasi berbeda yang diolah secara basah
Table 3. Flavor score of robusta coffee from 4 different elevation with wet processingParameter Natar
200 m dpl.Tanjung Baru 400 m dpl.
Dwikora600 m dpl.
Sumberjaya800 m dpl.
Aroma 7,75 8,00 7,75 8,00
FlavorAftertasteAciditySweetnessBodyUniformityBalanceClean CupOverallTaints-Faults
7,757,757,507,508,0010,007,7510,07,75
-
7,758,007,757,758,0010,008,0010,008,00
-
7,758,007,507,508,0010,008,0010,008,00
-
7,507,507,507,508,0010,007,7510,007,50
-Total skor 81,75 83,25 82,50 81,25Karakter citarasa chocolaty, spicy,
caramellychocolaty,
spiccychocolaty,
spicychocolaty, spicy, somewhat winny
Terlihat adanya kecenderungan kenaikan nilai aroma, aftertaste, sweetness,
balance dan overall dengan adanya kenaikan elevasi tempat tumbuh, yang disebabkan
oleh perbedaan bahan kimia yang dikandungnya. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan
Franca, Mendoca & Oliveira (2005), Farah, Monteiro, Calado, Franca & Trugo (2006)
dan Taba (2012) bahwa komposisi bahan kimia yang terkandung dalam biji kopi sangat
mempengaruhi citarasa seduhan kopi. Adapun secara lebih jelas profil citarasa dari
berbagai kopi robusta yang diolah basah dapat dilihat pada Gambar 2, dimana keunggulan
citarasa kopi robusta dari lokasi Tanjung Baru dibandingkan dengan citarasa kopi robusta
dari lokasi lainnya adalah terutama pada parameter aroma, acidity, aftertaste dan overall.
Aroma
Flavour
Aftertaste
Acidity
Sweetness
Body
Uniformity
Balance
Clean Cup
Overall
55.566.577.588.599.510
Natar (200 m dpl) Tanjung Baru (400 m dpl)Dwikora (600 m dpl) Sumberjaya (800 m dpl)
Gambar 2. Profil citarasa kopi robusta dari 4 lokasi dengan elevasi berbeda yang diolah secara basah
Figure 2. Flavor profile of robusta coffee from 4 different elevation with wet processing
Pengolahan secara kering dibanding pengolahan secara basah
Hasil penelitian terlihat bahwa perbedaan pengolahan kopi akan menghasilkan
citarasa yang berbeda, terutama disebabkan oleh perbedaan komposisi bahan kimia yang
dikandungnya (Farah et al., 2006; Bytof et al., 2007; Taba, 2012). Biji kopi yang diolah
secara basah mengandung asam amino, lemak dan abu yang lebih tinggi, serta
mengandung protein dan kafein yang lebih sedikit daripada biji kopi yang diolah secara
kering. Lebih tingginya kandungan asam amino pada biji kopi yang diolah secara basah,
hal ini dibuktikan dengan nilai skor aroma maupun flavor yang lebih tinggi dibanding biji
kopi yang diolah secara kering (Tabel 2 dan 3, Gambar 1 dan 2). Menurut Martins, Jongen
& Van Boekel (2001), Pimenta, Pereira, Correa & Silva (2009) dan Wang (2012) semakin
banyak senyawa asam amino yang bereaksi dengan gula reduksi pada reaksi Maillard saat
proses penyangraian, maka akan semakin banyak senyawa citarasa maupun aroma yang
terbentuk.
Clarke & Vitzthum (2001) serta Marcone (2004) menyatakan bahwa senyawa
protein terkait dengan rasa pahit pada kopi, kian rendah kandungan protein, maka rasa kopi
jadi semakin tidak pahit. Hal ini dibuktikan bahwa biji kopi yang diolah basah dengan
kandungan protein yang lebih rendah mempunyai skor sweetness (manis/tidak pahit) yang
lebih tinggi daripada kopi yang diolah secara kering (Tabel 2 dan 3). Walaupun senyawa
kafein memiliki rasa yang pahit, tetapi senyawa tersebut tidak memberikan pengaruh yang
nyata terhadap citarasa kopi, dan hanya menyumbang rasa pahit (bitterness) sekitar 10%
(Widyotomo & Sri-Mulato, 2007; Erdiansyah & Yusianto, 2012), sehingga perbedaan
kandungan kafein pada kopi yang diolah secara basah dan secara kering tidak memberikan
pengaruh yang nyata terhadap citarasa. Selanjutnya dikemukakan oleh Buffo & Cardelli-
Freire (2004) serta Speer & Kolling-Speer (2006) bahwa kandungan lemak yang lebih
tinggi pada biji kopi yang diolah secara basah dapat meningkatkan body (rasa kental) dan
milky (rasa lemak).
Biji kopi yang diolah secara basah mempunyai citarasa dan aroma yang lebih baik
daripada biji kopi yang diolah secara kering. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian
Mondello et al. (2005) dan Ferreira et al. (2013) yang mendapatkan bahwa pengolahan
secara basah pada kopi robusta di Brazil menghasilkan kualitas citarasa yang lebih baik
dibanding pengolahan secara kering. Mengingat pada pengolahan basah terjadi proses
fermentasi yang intensif yang sangat berguna dalam pembentukan karakter citarasa kopi
yaitu pembentukan senyawa prekursor citarasa seperti asam organik, asam amino dan gula
reduksi (Jackels & Jackels, 2005; Bytop, Knopp, Schieberle, Teutsch & Selmar, 2005;
Redgwell & Fischer, 2006; Lin, 2010).
Biji kopi dengan kandungan senyawa prekursor citarasa yang lebih banyak, maka
hasil penyangraian maupun hasil seduhan kopinya akan mengandung senyawa citarasa
yang lebih banyak pula, sehingga akan mempunyai citarasa serta aroma yang lebih baik
(Assis et al., 2005; Galilea, Fournier, Cid & Guichard, 2006; Bytof et al., 2007; Arruda et
al., 2011). Oleh karena itu, sangat wajar apabila masing-masing biji kopi dari berbagai
elevasi yang diolah secara basah memiliki nilai total skor citarasa yang lebih tinggi
daripada yang diolah secara kering.
KESIMPULAN
Perbedaan elevasi tempat tumbuh dapat mempengaruhi kandungan kimia pada biji
kopi dan mutu citarasanya, sehingga pada kopi robusta dari Provinsi Lampung yang
mempunyai citarasa tinggi dan aroma yang khas dengan skor citarasa yang tertinggi adalah
pada elevasi 800 m dpl (pengolahan kering) dan 400 m dpl (pengolahan basah).
Pengolahan biji kopi secara basah pada kopi robusta menghasilkan mutu kopi yang
lebih baik daripada pengolahan biji kopi secara kering, dengan menghasilkan kopi seduh
yang memiliki citarasa yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
AOAC. (1990). Assosiation of Official Analycal Chemistry (AOAC) Official Method 930.08, Caffeine Content.
AOAC. (2000a). Assosiation of Official Analycal Chemistry (AOAC) Official Method 967.12, Protein Content.
AOAC. (2000b). Assosiation of Official Analycal Chemistry (AOAC) Official Method 972.15, Ash Content.
AOAC. (2005). Assosiation of Official Analycal Chemistry (AOAC) Official Method 963.15, Fat Content.
Avallone, S., Brillouet, J.M., Guyot, B., Olguin, E., & Guiraud, J.P. (2002). Involvement of pectolytic micro-organisms in coffee fermentation. International Journal of Food Science and Technology, 37, 191-198.
Arruda, N.P., Hovell, A.M.c., Rezende, C.M., Freitas, S.P., Couri, S., & Bizzo, H.R. (2011). Arabica coffee discrimination between maturation stages and post-harvesting processing types using solid phase microextraction coupled to gas charomatography and principal components analysis. Quimica Nova, 34(5), 819-824.
Assis, A.R., Saraiva, S.H., Matta, V., Cabral, L.M.C., Bizzo, H.R., Palacio, D.N.M., Souza, A.M., & Borges, C.P. (2005). Recovery of coffe aromatic extracts by pervaporation (p.6). In Mercosur Congress on Chemical Engineering Sao Paolo, Brazil. http://enpromer2005.eq.ufrj.br/ (5 Oktober 2012).
Avallone, S., Brillouet, J.M., Guyot, B., Olguin, E., & Guiraud, J.P. (2002). Involvement of pectolytic micro-organisms in coffee fermentation. International Journal of Food Science and Technology, 37, 191-198.
Avelino, J., Barboza, B., Araya, J.C., Fonseca, C., Davrieux, F., Guyot, B., & Cilas, C. (2005). Effects of slope exposure, altitude and yield on coffee quality in two altitude terroirs of Costa Rica, Orosi and Santa Maria de Dota. Journal of The Science of Food and Agriculture, 85, 1869-1876.
Barbosa, J.N., Borem, F.M., Cirillo, M.A., Malta, M.R., Alvarenga, A.A., & Alves, H.M.R. (2012). Coffee quality and its interactions with environmental factors in Minas Gerais Brazil. Journal of Agricultural Science, 4(5), 181-189.
Bertrand, B., Vaast, P., Alpizar, E., Etienne, H., Davrieux, F., & Charmentant, P., (2006). Comparison of bean biochemical composition and beverage quality of Arabica hybrids involving Sudanese-Ethiopian origins with traditional varieties at various elevations in Central America. Tree Physiology, 26, 1239-1248.
Bertrand, B., Boulanger, R., Dussert, S., Ribeyre, F., Berthiot, L., Descroix, F., & Joet, T. (2012). Climatic factors directly impact the volatile organic compound fingerprint in green Arabica coffee bean as well as coffee beverage quality. Food Chemistry, 135, 2575-2583.
BSN. (2008). Standar Nasional Indonesia Biji Kopi. SNI 01-2907-2008 (p.20). Jakarta : Badan Standardisasi Nasional.
Buffo, R.A., & Cardelli-Freire, C. (2004). Coffee flavour : an overview. Flavour and Fragrance Journal, 19, 99-104.
Bytof, G., Knopp, S.E., Schieberle, P., Teutsch, L., & Selmar, D. (2005). Influence of processing on the generation of gamma-aminobutyric acid in green coffee beans. Eropean Food Research and Technology, 220(3-4), 245-250.
Bytof, G., Knopp, S.E., Kramer, D., Breitenstein, B., Bergervoet, J.H.W., Groot, S.P.C., & Selmar, D. (2007). Transient occurrence of seed germination process during coffee post-harvest treatment. Annals of Botany, 100, 61-66.
Camargo, M.B.P. (2009). The impact of cimatic variability and climate change on arabic coffee crop in Brazil. Bragantia, 69, 239-247.
Caspersen, B. A. (2012). A Well Rounded Palate, A guide to the coffee tasters flavor wheel. http://www.roastedmagazine.com/ (18 Juni 2012).
Ciampa, A., Renzi, G., Taglienti, A., Sequi, P., & Valentini, M. (2010). Studies on coffee roasting progress by means of nuclear magnetic resonance spectroscopy. Journal of Food Quality, 33, 199-211.
Clarke, R.J., & Vitzthum, O.G. (2001). Coffee Recent Development (p.193). London, England : Blackwell Sciences Ltd.
Da-Matta, F.M., Ronchi, C.P., Maestri, M., & Barros, R.S. (2007). Ecophysiology of coffee growth and production. Brazilian Journal of Plant Physiology, 19(4), 485-510.
Da-Silva, E.A., Mazzafera, P., Brunini, O., Sakai, E., Arruda, F.B., Mattoso, L.H.C., Carvalho, C.R.L., & Pires, R.C.M. (2005). The influence of water management and environmental conditions on the chemical composition and beverage quality of coffee beans. Brazilian Journal of Plant Physiology, 17(2), 229-238.
De-Castro, R.D., & Marraccini, P. (2006). Cytology, biochemistry and molecular changes during coffee fruit development. Brazilian Journal of Plant Physiology, 18(1), 175-199.
Decazy, F., Avelino, J., Guyot, B., Perriot, J.J., Pineda, C., & Cilas, C. (2003). Quality of different Honduran coffees in relation to several environments. Journal of Food Science, 68(7), 2356-2361.
Ditjenbun. (2010). Pedoman Umum Pelaksanaan Pengembangan/Rehabilitasi Kopi Organik (Specialty) Tahun 2010. 19p.
Ditjen Industri Agro dan Kimia. (2009). Roadmap Industri Pengolahan Kopi (p.23). Jakarta : Departemen Perindustrian.
Erdiansyah, N.P., & Yusianto. (2012). Hubungan intensitas cahaya di kebun dengan profil citarasa dan kadar kafein beberapa klon kopi Robusta. Pelita Perkebunan, 28(1), 14-22.
Ermawati, R., Arief, R.W., & Slamet. (2008). Teknologi Budidaya Kopi Poliklonal (p.17). Bandar Lampung : Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Lampung.
Farah, A., Monteiro, M.C., Calado, F., Franca, A.S., & Trugo, L.C. (2006). Correlation between cup quality and chemical attributes of Brazilian coffee. Food Chemistry, 98, 373-380.
Ferreira, G.F.P., De-Novaes, Q.S., Malta, M.R., & De-Souza, S.E. (2013). Quality of coffee produced in the Southwest region of Bahia, Brazil subjected to different forms of processing and drying. African Journal of Agricultural Research, 8(20), 2334-2339.
Figueiredo, L.P., Borem, F.M.,.Cirillo, M.A., Ribeiro, F.C., Giomo, G.S., & Salva, T.J.G. (2013). The potential for high quality Bourbon Coffees from different environments. Journal of Agricultural Science, 5(10), 87-97.
Flament, I. (2002). Coffee Flavor Chemistry (p.424). West Susex, England : Jhon Wiley and Sons Ltd.
Franca, A.S., Mendoca, J.C.F., & Oliveira, S.D. (2005). Composition of green and roasted coffees of different cup qualities. LWT-Food Science and Technology, 38, 709-715.
Galilea, I.L., Fournier, N., Cid, C., & Guichard, E. (2006). Changes in headspace volatile concentrations of coffee brews caused by the roasting process and the brewing procedure. Journal of Agricultural and Food Chemistry, 54(22), 8560-8566.
Geromel, C., Ferreira, L.P., Davrieux, F., Guyot, B., Ribeye, F., Scholz, M.B.D.S., Pereira, L.F.P., Vaast, P., Pot, D., Leroy, T., Filho, A.A., Vieira, L.G.E., Mazzafera, P., & Marraccini, P. (2008). Effects of shade on the development and sugar metabolism of coffee fruits. Plant Physiology and Biochemistry, 46, 569-579.
Gure, A. (2006). Investigation of Metals in Raw and Changes in Headspace Volatile Concentrations of Coffee Brews Caused by the Roasted Indigenous Coffee Varieties in Ethiopia (p.49). Addis Abada, Ethiopia : Addis Ababa University Office of Research and Graduate Program.
Howard, B. (2011). Factors Influencing Cup Quality in Coffee (p.30). Rwanda : Global Coffee Quality Research Initiative.
Jackels, S.C., & Jackels, C.H. (2005). Characterization of the coffee mucilage fermentation process using chemical indicator : a field study in Nicaragua. Journal of Food Science, 70(5), 321-325.
Joet, T., Laffargue, A., Descroix, F., Doulbeau, S., Bertrand, B., De Kochko, A., & Dusser, S. (2010). Influence of enviromental factors, wet processing and their interactions on the biochemical composition of green arabica coffee beans. Food Chemistry, 118, 693-701.
Kemenperin. (2013). Produksi kopi nusantara ketiga terbesar di dunia. Siaran Pers. http://www.kemenperin.go.id/ (20 Desember 2013)
Klub Kajian Kopi. (2011). Masa depan kopi robusta di Indonesia. http://philocoffeeproject.files.wordpress.com/ (17 Juni 2012)
Lee, K.G. & Shibamoto, T. (2002). Analysis of volatile components isolated from Hawaiian green coffee beans (Coffeea arabica L.). Flavour and Fragrance Journal, 17, 349-351.
Leonei, L.E. & Philippe, V. (2007). Effects of altitude, shade, yield and fertilization on coffee quality (Coffea arabica L. var. Caturra) produced in agroforestry systems of the Northern Central Zones of Nicaragua. In International Symposium on Multi-Strata Agroforestry Systems with Perennial Crops: Making Ecosystem Services Count for Farmers, Consumers and The Environment. Turrialba, Costa Rica, 17 – 21 September.
Leroy, T., Ribeyre, F., Bertrand, B., Charmetanat, P., Dufour, M., Montagnon, C., Marraccini, P., & Pot, D. (2006). Genetics of coffee quality. Brazilian Journal of Plant Physiology, 18(1), 229-242.
Lestari, H., Anggrahini, S., Supriyadi & Sri-Mulato. (2005). Kadar kafein, asam khlorogenat dan trigonelin biji kopi (Coffea canophera) varietas robusta dalam proses dekafeinasi dengan sistem pengukusan-pelarutan. Jogyakarta : Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan, Sekolah Pascasarjana Universitas Gajah Mada.
Lin, C.C. (2010). Approach of improving coffee industry in Taiwan promote quality of coffee bean by fermentation. The Journal of International Management Studies, 5(1), 154-159.
Marcone, N.F. (2004). Composition and properties of Indonesia palm civet coffee (Kopi Luwak) and Ethopian civet coffee. Food Research International, 37(9), 901-912.
Martins, S.I.F.S., Jongen, W.M.F. & Van Boekel, M.A.J.S. (2001). A review of maillard reaction in food and implications to kinetic modelling. Trends in Food Science and Technology, 11, 364-373.
Mawardi, S. (2007). Promoting specialty coffees from Indonesia to be protected by geographical indication : A case study on Kintamani Bali arabica. In Seminar on Geographical Indication. Phnom Penh, Cambodia, 1-2 October 2007.
Media Data Riset. (2011). Peluang dan Tantangan Industri Kopi Indonesia Dalam Persaingan Pasar Global (p.450). Jakarta : Media Data.
Mondello, L., Costa, F., Tranchida, P.Q., Dugo, P., Presti, M.L., Festa, S., Fazio, A., & Dugo, G. (2005). Reliable characterization of coffee bean aroma profiles by automated headspace solid phase microextraction gas chromatography mass spectrometry with the support of a dual filter mass spectra library. Journal of Separation Science, 28, 1101-1109.
Montavon, P., Duruz, E., Rumo, G., & Pratz, G. (2003). Evolution of green coffee protein profiles with maturation and relationship to coffee cup quality. JournaI of Agricultural and Food Chemistry, 51(8), 2328-2334.
Murthy, P.S. and M.M. Naidu. 2011. Improvement of Robusta coffee fermentation with microbial enzymes. European Journal of Applied Sciences, 3 (4): 130-139.
Pimenta, T.V., Pereira, R.G.F. Correa, J.L.G., & Silva, J.R. (2009). Roasting processing of dry coffee cherry: influence of grain shape and temperature on physical chemical and sensorial grain properties. B.CEPPA Curitiba, 27(1), 97-106.
Prastowo, B., Karmawati, E., Rubiyo, Siswanto, Indrawanto, C., & Munarso, S.J. (2010). Budidaya dan Pascapanen Kopi (p.62). Bogor : Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan.
Puslitkoka. (2008). Klon-klon unggul kopi robusta dan beberapa pilihan komposisi klon berdasarkan kondisi lingkungan. Jember : Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia.
Redgwell, R., & Fischer, M. (2006). Coffee carbohidrates. Brazilian Journal of Plant Physiology, 18(1), 165-174.
Rios, O.G., Quiroz, M.L.S., Boulanger, R., Barel, M., Guyot, B., Guiraud, J.P., & Galindo, S.S. (2007). Impact of ecological post harvest processing on the volatile fraction of coffee beans : I. Green coffee. JournaI of Food Composition and Analysis, 20, 289-296.
Rodrigues, C.I., Maia, R., & Miguas, C. (2010). Comparing total nitrogen and crude protein content of green coffee bens (Coffeea spp.) from different geographical origins. Coffee Science, 5 (3), 197-205.
SCAA. (1995). The coffee tasters flavor wheel. Speciality Coffee Association of America. http://www. scaa .org/ (18 Juni 2012)
SCAA. (2009a). What is specialty coffee?. Speciality Coffee Association of America. http://www. scaa .org/ (18 Juni 2012).
SCAA. (2009b). SCAA Protocols : Cupping Specialty Coffee. Speciality Coffee Association of America. http://www. scaa .org/ (18 Juni 2012).
Selmar, D., Bytof, G., Knopp, S.E., Bradbury, A., Wilkens, J., & Becker, R. (2004). Biochemical insight into coffee processing : quality and nature of green coffees are interconnected with an active seed metabolism. In ASIC 2004. 20th International Conference on Coffee Science (pp. 111-119). Bangalore, India, 11-15 October 2004. http://www.cabdirect.org/ (4 Oktober 2012).
Silva, C.F., Pereira, R.G.F.A., Borem, F.M., & Silva, V.A. (2006). Altitude and quality of hulled berry coffee. Revista Brasileira de Armazenamento, 9, 40-47.
Silva, C.F., Batista, L.R. Abreu, L.M., Dias, E.S., & Schwan, R.F. (2008). Succession of bacterial and fungal communities during natural coffee (Coffea arabica) fermentation. Food Microbiology, 25, 951-957.
Soetriono. (2009). Strategi peningkatan daya saing agribisnis kopi robusta dengan model daya saing tree five. In Seminar Nasional Peningkatan Daya Saing Agribisnis Berorientasi Kesejahteraan Petani. Bogor 14 Oktober 2009.
Speer, K. & Kolling-Speer, I. (2006). The lipid fraction of the coffee bean. Brazilian Journal Plant Physiology, 18(1), 201-216.
Sridevi, V., & Giridhar, P. (2013). Influence of altitude variation on trigonelline content during ontogeny of Coffea canephora fruit. Journal of Food Studies, 2(1), 62-72.
Subedi, R.N. (2011). Comparative analysis of dry and wet processing of coffee with respect to quality and cost in Kavre District, Nepal : A case of Panchkhal village. International Research Journal of Applied and Basic Sciences, 2(5), 181-193.
Taba, J. (2012). Coffee Taste Analysis of An Espresso Coffee Using Nuclear Magnetic Spectroscopy (Bachelor Thesis Central Ostrobothnia University of Applied Sciences, Eindhoven, Holland).
Vaast, P., Bertrand, B., Perriot, J.J., Guyot, B., & Genard, M. (2006). Fruit thining and shade improve bean characteristics and beverage quality of coffee (Coffea arabica L.) under optimal conditions. Journal of the Science of Food and Agriculture, 86(2), 197-204.
Wang, N. (2012). Physicochemical Changes of Coffee Beans During Roasting (Master of Science Thesis, University of Guelph, Ontario, Canada).
Widyotomo, S. (2012a). Pasca Panen Kopi (p.16). Jember : Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia.
Widyotomo, S. (2012b). Optimasi suhu dan konsentrasi pelarut dalam dekafeinasi biji kopi menggunakan response surface methodology. Pelita Perkebunan, 28(3), 184-200.
Widyotomo, S., & Sri-Mulato. (2007). Kafein : senyawa penting pada biji kopi. Warta Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, 23(1), 44-50.