229
PENGANTAR DIREKTUR JENDERAL PENATAAN RUANG DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM There is little in the architecture of a city that is more beautifully designed than a tree (Jaime Lerner – Mayor of Curitiba 1971). A. Latar Belakang 1. Dewasa ini pengelolaan ruang di kawasan perkotaan cenderung mengalami tantangan yang cukup berat akibat tingginya arus urbanisasi. Sementara di sisi lain, daya dukung lingkungan dan sosial yang ada juga menurun, sehingga tidak dapat mengimbangi kebutuhan akibat tekanan kependudukan. 2. Tantangan lainnya berkaitan dengan tingginya tingkat konversi atau alih guna lahan dari lahan (terutama lahan-lahan pertanian menjadi daerah terbangun) yang menimbulkan dampak terhadap rendahnya kualitas lingkungan perkotaan. Data yang ada menunjukkan tingkat konversi lahan pertanian di Indonesia rata-rata mencapai 150 ribu hektar setiap tahunnya (BPS, 2003). 3. Hal-hal tersebut diperburuk oleh lemahnya penegakan hukum dan penyadaran masyarakat terhadap aspek penataan ruang kota sehingga menyebabkan munculnya permukiman kumuh di beberapa ruang kota dan menimbulkan masalah kemacetan akibat tingginya hambatan samping di ruas-ruas jalan tertentu. Gambar 1. Perkembangan Penduduk Kota 4. Data tentang kependudukan yang ada menunjukkan bahwa jumlah penduduk perkotaan di Indonesia menunjukkan perkembangan yang cukup pesat. Pada 1980 jumlah penduduk perkotaan baru mencapai 32,8 juta jiwa atau 22,3 persen dari total penduduk nasional. Pada tahun 1990 angka tersebut meningkat menjadi 55,4 juta jiwa atau 30,9 persen, dan menjadi 90 juta jiwa atau 44 persen pada tahun 2002. Terakhir berdasarkan perhitungan BPS dan Bappenas persentasi penduduk perkotaan pada 2005 telah mencapai 48,3 persen. Angka tersebut diperkirakan akan mencapai 150 juta atau 60 persen dari penduduk Indonesia pada tahun 2015 (lihat Gambar 1). 0 20 40 60 80 100 Tokyo Jakarta Paris London Vancouver Berlin New York Curitiba Vienna Stockholm RTH per kapita, m 2 /pddk Urbanisasi d Gambar 2. Luas RTH di Beberapa Kota Dunia 5. Jumlah penduduk perkotaan yang terus meningkat dari waktu ke waktu tersebut akan memberikan implikasi pada tingginya tekanan terhadap pemanfaatan ruang kota, sehingga penataan ruang kawasan perkotaan perlu mendapat perhatian yang khusus, terutama yang terkait dengan penyediaan kawasan hunian, fasilitas umum dan sosial serta ruang- ruang terbuka publik (open spaces) di perkotaan. i Indonesia 0.0% 10.0% 20.0% 30.0% 40.0% 50.0% 60.0% 70.0% 80.0% 1960 1970 1980 1990 2000 2005 2015 2025 Ta un Persen Pddk Kota, % 0.0% 0.5% 1.0% 1.5% 2.0% 2.5% 3.0% 3.5% Pertumbuhan, % h Pertumbuhan Penduduk Kota 1

Rth kota

Embed Size (px)

Citation preview

PENGANTAR DIREKTUR JENDERAL PENATAAN RUANG

DEPARTEMEN PEKERJAAN UMUM There is little in the architecture of a city that is more beautifully designed than a tree (Jaime Lerner – Mayor of Curitiba 1971).

A. Latar Belakang 1. Dewasa ini pengelolaan ruang di kawasan perkotaan cenderung

mengalami tantangan yang cukup berat akibat tingginya arus urbanisasi. Sementara di sisi lain, daya dukung lingkungan dan sosial yang ada juga menurun, sehingga tidak dapat mengimbangi kebutuhan akibat tekanan kependudukan.

2. Tantangan lainnya berkaitan dengan tingginya tingkat konversi atau alih guna lahan dari lahan (terutama lahan-lahan pertanian menjadi daerah terbangun) yang menimbulkan dampak terhadap rendahnya kualitas lingkungan perkotaan. Data yang ada menunjukkan tingkat konversi lahan pertanian di Indonesia rata-rata mencapai 150 ribu hektar setiap tahunnya (BPS, 2003).

3. Hal-hal tersebut diperburuk oleh lemahnya penegakan hukum dan penyadaran masyarakat terhadap aspek penataan ruang kota sehingga menyebabkan munculnya permukiman kumuh di beberapa ruang kota dan menimbulkan masalah kemacetan akibat tingginya hambatan samping di ruas-ruas jalan tertentu.

Gambar 1. Perkembangan Penduduk Kota

4. Data tentang kependudukan yang ada menunjukkan bahwa jumlah

penduduk perkotaan di Indonesia menunjukkan perkembangan yang cukup pesat. Pada 1980 jumlah penduduk perkotaan baru mencapai 32,8 juta jiwa atau 22,3 persen dari total penduduk nasional. Pada tahun 1990 angka tersebut meningkat menjadi 55,4 juta jiwa atau 30,9 persen, dan menjadi 90 juta jiwa atau 44 persen pada tahun 2002. Terakhir berdasarkan perhitungan BPS dan Bappenas persentasi penduduk perkotaan pada 2005 telah mencapai 48,3 persen. Angka tersebut diperkirakan akan mencapai 150 juta atau 60 persen dari penduduk Indonesia pada tahun 2015 (lihat Gambar 1).

0 20 40 60 80 100

Tokyo

Jakarta

Paris

London

Vancouver

Berlin

New York

Curitiba

Vienna

Stockholm

RTH per kapita, m2/pddk

Urbanisasi d

Gambar 2. Luas RTH di Beberapa Kota Dunia

5. Jumlah penduduk perkotaan yang terus meningkat dari waktu ke waktu tersebut akan memberikan implikasi pada tingginya tekanan terhadap pemanfaatan ruang kota, sehingga penataan ruang kawasan perkotaan perlu mendapat perhatian yang khusus, terutama yang terkait dengan penyediaan kawasan hunian, fasilitas umum dan sosial serta ruang-ruang terbuka publik (open spaces) di perkotaan.

i Indonesia

0.0%

10.0%

20.0%

30.0%

40.0%

50.0%

60.0%

70.0%

80.0%

1960 1970 1980 1990 2000 2005 2015 2025

Ta un

Pers

en P

ddk

Kot

a, %

0.0%

0.5%

1.0%

1.5%

2.0%

2.5%

3.0%

3.5%

Pert

umbu

han,

%

h

Pertumbuhan Penduduk Kota

1

6. Menurunnya kuantitas dan kualitas ruang terbuka publik yang ada di perkotaan, baik berupa ruang terbuka hijau (RTH) dan ruang terbuka non-hijau telah mengakibatkan menurunnya kualitas lingkungan perkotaan seperti seringnya terjadi banjir di perkotaan, tingginya polusi udara, dan meningkatnya kerawanan sosial (kriminalitas dan krisis social), menurunnya produktivitas masyarakat akibat stress karena terbatasnya ruang public yang tersedia untuk interaksi sosial.

7. Kecenderungan terjadinya penurunan kualitas ruang terbuka public, terutama ruang terbuka hijau (RTH) pada 30 tahun terakhir sangat signifikan. Di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Medan dan Bandung, luasan RTH telah berkurang dari 35% pada awal tahun 1970an menjadi kurang dari 10% pada saat ini. RTH yang ada sebagian bersar telah dikonversi menjadi infrastruktur perkotaan seperti jaringan jalan, gedung-gedung perkantoran, pusat perbelanjaan, dan kawasan permukiman baru. Jakarta dengan luas RTH sekitar 9 persen, saat memiliki rasio RTH per kapita sekitar 7,08 m2, relatif masih lebih rendah dari kota-kota lain di dunia (lihat Gambar 2).

8. Dalam upaya mewujudkan ruang yang nyaman, produktif dan berkelanjutan, maka sudah saatnya kita memberikan perhatian yang cukup terhadap keberadaan ruang terbuka public, khususnya RTH. Untuk itu, Pemerintah, dalam hal ini Direktorat Jenderal Penataan Ruang, Departemen PU, telah merencanakan untuk memasukkan klausul pengaturan tentang RTH ini di dalam revisi UU 24/ 1992 tentang Penataan Ruang yang saat ini sedang dalam proses pembahasan.

B. Konsep Ruang Terbuka Hijau Perkotaan 9. Secara umum ruang terbuka publik (open spaces) di perkotaan terdiri

dari ruang terbuka hijau dan ruang terbuka non-hijau. Ruang Terbuka Hijau (RTH) perkotaan adalah bagian dari ruang-ruang terbuka (open spaces) suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman dan vegetasi (endemik maupun introduksi) guna mendukung manfaat ekologis, sosial-budaya dan arsitektural yang dapat memberikan manfaat ekonomi (kesejahteraan) bagi masyarakatnya (Lokakarya RTH, 30 November 2005).

Gambar 3. Ruang Terbuka Publik (Open Space)

10. Sementara itu ruang terbuka non-hijau dapat berupa ruang terbuka yang diperkeras (paved) maupun ruang terbuka biru (RTB) yang berupa permukaan sungai, danau, maupun areal-areal yang diperuntukkan sebagai genangan retensi.

11. Secara fisik RTH dapat dibedakan menjadi RTH alami yang berupa habitat liar alami, kawasan lindung dan taman-taman nasional, maupun RTH non-alami atau binaan yang seperti taman, lapangan olah raga, dan kebun bunga.

Gambar 4. Tipologi Ruang Terbuka Hijau

2

12. Sedangkan dari segi fungsi RTH dapat berfungsi secara ekologis, sosial/budaya, arsitektural, dan ekonomi. Secara ekologis RTH dapat meningkatkan kualitas air tanah, mencegah banjir, mengurangi polusi udara, dan menurunkan temperatur kota. Bentuk-bentuk RTH perkotaan yang berfungsi ekologis antara lain seperti sabuk hijau kota, hutan kota, taman botani, sempadan sungai dll. Secara sosial-budaya keberadaan RTH dapat memberikan fungsi sebagai ruang interaksi sosial, sarana rekreasi, dan sebagai tetenger kota yang berbudaya. Bentuk RTH yang berfungsi sosial-budaya antara lain taman-taman kota, lapangan olah raga, kebun raya, TPU dsb.

Gambar 5. Tanaman Endemik sebagai Tetenger

13. Sedangkan secara arsitektural RTH dapat meningkatkan nilai keindahan dan kenyamanan kota melalui keberadaan taman-taman kota, kebun-kebun bunga, dan jalur-jalur hijau di jalan-jalan kota. Sementara itu RTH juga dapat memiliki fungsi ekonomi, baik secara langsung seperti pengusahaan lahan-lahan kosong menjadi lahan pertanian/ perkebunan (urban agriculture) dan pengembangan sarana wisata hijau perkotaan yang dapat mendatangkan wisatawan.

14. Sementara itu secara struktur, bentuk dan susunan RTH dapat merupakan konfigurasi ekologis dan konfigurasi planologis. RTH dengan konfigurasi ekologis merupakan RTH yang berbasis bentang alam seperti, kawasan lindung, perbukitan, sempadan sungai, sempadan danau, pesisir dsb. Sedangkan RTH dengan konfigurasi planologis dapat berupa ruang-ruang yang dibentuk mengikuti pola struktur kota seperti RTH perumahan, RTH kelurahan, RTH kecamatan, RTH kota maupun taman-taman regional/ nasional.

Gambar 6. Struktur RTH Perkotaan

15. Sedangkan dari segi kepemilikan RTH dapat berupa RTH public yang dimiliki oleh umum dan terbuka bagi masyarakat luas, atau RTH privat (pribadi) yang berupa taman-taman yang berada pada lahan-lahan pribadi.

C. Peran Penataan Ruang Perkotaan 16. Perencanaan tata ruang wilayah perkotaan berperan sangat penting

dalam pembentukan ruang-ruang publik terutama RTH di perkotaan.

Gambar 7. Sistem Perencanaan Tata Ruang

3

Perencanaan tata ruang perkotaan perkotaan seyogyanya dimulai dengan mengidentifikasi kawasan-kawasan yang secara alami harus diselamatkan (kawasan lindung) untuk menjamin kelestarian lingkungan, dan kawasan-kawasan yang secara alami rentan terhadap bencana (prone to natural hazards) seperti gempa, longsor, banjir maupun bencana alam lainnya. Kawasan-kawasan inilah yang harus kita kembangkan sebagai ruang terbuka, baik hijau maupun non-hijau.

17. Dengan demikian perencanaan tata ruang harus dimulai dengan pertanyaan dimana kita tidak boleh membangun?

Gambar 8. Interaksi Tata Ruang & Transportasi

Sehingga rencana tata ruang perkotaan secara ekologis dan planologis terlebih dahulu mempertimbangkan komponen-komponen RTH maupun ruang terbuka publik lainnya dalam pola pemanfaatan ruang kota. Secara hirarkis, struktur pelayanan tipikal kota sebagaimana tercantum dalam Gambar 8 dapat menggambarkan bentuk akomodasi ruang terbuka publik dalam perencanaan tata ruang di perkotaan.

Gambar 9. RTH Publik dalam Tata Ruang Kota

D. Issue dan Tantangan 18. Issue yang berkaitan dengan ruang terbuka publik atau ruang terbuka

hijau secara umum terkait dengan beberapa tantangan tipikal perkotaan, seperti menurunnya kualitas lingkungan hidup perkotaan, bencana banjir/ longsor dan perubahan perilaku sosial masyarakat yang cenderung kontra-produktif dan destruktif seperti kriminalitas dan vandalisme.

19. Dari aspek kondisi lingkungan hidup, rendahnya kualitas air tanah, tingginya polusi udara dan kebisingan di perkotaan, merupakan hal-hal yang secara langsung maupun tidak langsung terkait dengan keberadaan RTH secara ekologis. Di samping itu tingginya frekuensi bencana banjir dan tanah longsor di perkotaan dewasa ini juga diakibatkan karena terganggunya sistem tata air karena terbatasnya daerah resapan air dan tingginya volume air permukaan (run-off). Kondisi tersebut secara ekonomis juga dapat menurunkan tingkat

4

produktivitas, dan menurunkan tingkat kesehatan dan tingkat harapan hidup masyarakat. Di sisi lain, exposure terhadap polusi udara yang berlebihan dan terus-menerus dapat menyebabkan kelainan genetik dan menurunkan tingkat kecerdasan anak-anak di masa mendatang.

20. Secara sosial, tingginya tingkat kriminalitas dan konflik horizontal di antara kelompok masyarakat perkotaan secara tidak langsung juga dapat disebabkan oleh kurangnya ruang-ruang kota yang dapat menyalurkan kebutuhan interaksi sosial untuk pelepas ketegangan yang dialami oleh masyarakat perkotaan. Rendahnya kualitas lingkungan perumahan dan penyediaan ruang terbuka publik, secara psikologis telah menyebabkan kondisi mental dan kualitas sosial masyarakat yang makin buruk dan tertekan.

21. Sementara itu secara teknis, issue yang berkaitan dengan penyelenggaraan RTH di perkotaan antara lain menyangkut terjadinya sub-optimalisasi penyediaan RTH baik secara kuantitatif maupun kualitatif, lemahnya kelembagaan dan SDM, kurangnya keterlibatan stakeholder dalam penyelenggaraan RTH, serta terbatasnya ruang/ lahan di perkotaan yang dapat digunakan sebagai RTH.

22. Sub-optimalisasi ketersediaan RTH terkait dengan kenyataan masih dari kurang memadainya proporsi wilayah yang dialokasikan untuk ruang terbuka, maupun rendahnya rasio jumlah ruang terbuka per kapita yang tersedia. Hal ini menyebabkan rendahnya tingkat kenyamanan kota, menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat dan secara tidak langsung menyebabkan hilangnya nilai-nilai budaya lokal (artefak alami dan nilai sejarah) akibat tergusur oleh kepentingan ekonomi yang pragmatis.

23. Sedangkan secara kelembagaan, masalah RTH juga terkait dengan belum adanya aturan perundangan yang memadai tentang RTH, serta pedoman teknis dalam penyelenggaraan RTH sehingga keberadaan RTH masih bersifat marjinal. Di samping itu, kualitas SDM yang tersedia juga harus ditingkatkan untuk dapat memelihara dan mengelola RTh secara lebih professional. Di sisi lain, keterlibatan swasta dan masyarakat masih sangat rendah dalam penyelenggaraan RTH. Potensi pihak swasta dalam penyelenggaraan RTH masih belum banyak dimanfaatkan, sehingga pemerintah selalu terbentur pada masalah keterbatasan biaya dan anggaran.

24. Di sisi lain, walaupun secara teoritis ruang perkotaan yang tersedia makin terbatas, dalam kenyataannya banyak lahan-lahan tidur di perkotaan yang cenderung ditelantarkan dan kurang dimanfaatkan. Sementara ruang-ruang terbuka yang memang secara legal

diperuntukkan sebagai RTH, kondisinya kurang terawatt dan tidak dikelola secara optimal.

25. Untuk meningkatkan keberadaan ruang publik, khususnya RTH di perkotaan, perlu dilakukan beberapa hal terutama yang terkait dengan penyediaan perangkat hukum, NSPM, pembinaan masyarakat dan keterlibatan para pemangku kepentingan dalam pengembangan ruang kota.

26. Beberapa upaya yang akan dilakukan oleh Pemerintah ke depan antara lain adalah: Melakukan revisi UU 24/1992 tentang penataan ruang untuk dapat

lebih mengakomodasikan kebutuhan pengembangan RTH; Menyusun pedoman-pedoman pelaksanaan (NSPM) untuk

peyelenggaraan dan pengelolaan RTH; Menetapkan kebutuhan luas minimum RTH sesuai dengan

karakteristik kota, dan indikator keberhasilan pengembangan RTH suatu kota;

Meningkatkan kampanye dan sosialisasi tentangnya pentingnya RTH melalui gerakan kota hijau (green cities);

Mengembangkan mekanisme insentif dan disinsentif yang dapat lebih meningkatkan peran swasta dan masyarakat melalui bentuk-bentuk kerjasama yang saling menguntungkan;

Mengembangkan proyek-proyek percontohan RTH untuk berbagai jenis dan bentuk yang ada di beberapa wilayah kota.

Dirjen Penataan Ruang Departemen PU A. Hermanto Dardak

5

6

6

MENTERI PEKERJAAN UMUM

REPUBLIK INDONESIA

KATA SAMBUTAN Seraya memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, saya menyambut baik penerbitan buku yang berjudul “Ruang Terbuka Hijau sebagai Unsur Utama Pembentuk Kota Taman” oleh Direktorat Jenderal Penataan Ruang. Menurut hemat saya, buku bertema ruang terbuka hijau (RTH) ini hadir pada saat yang tepat, yakni di tengah kecenderungan berkurangnya luasan RTH di kota-kota besar di Indonesia akibat telah dikonversi menjadi infrastruktur perkotaan lainnya, seperti pusat perbelanjaan dan sarana komersial, kawasan permukiman termasuk apartemen, maupun infrastruktur jalan. Dalam kurun waktu 30 tahun terakhir ini, proporsi luasan RTH di kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Medan, telah berkurang dari 35% awal tahun 1970-an menjadi kurang dari 10% terhadap luas kota secara keseluruhan. Kondisi ini tentunya masih di luar standar ideal luasan minimal ruang terbuka hijau pada suatu kota sebagaimana disepakati dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio De Janeiro (1992) dan ditegaskan kembali di Johannesburg (2002), yakni minimal 30 % dari total luas kota. Sementara, berbagai kota besar di dunia, seperti New York, Manchester, Singapura, Beijing, Shanghai, dan Melbourne, telah menerapkan konsep ’green cities’ dengan meningkatkan proporsi luasan RTH hingga mencapai lebih 20% dari total luas kota, demi kesehatan, kenyamanan dan kesegaran warga kotanya. Penerapan konsep tersebut secara konsisten dan didukung persepsi serta kerjasama semua pemangku kepentingan di kota-kota tersebut, ternyata telah mampu memberi manfaat ekonomi sebagai akibat meningkatnya citra kota yang ramah lingkungan, dan ruang visual yang indah sehingga memiliki ’nilai jual’ tersendiri bagi pengembangan pariwisata. RTH sebagai unsur utama pembentuk kota yang dirancang dengan baik dan benar sesuai dengan rencana tata ruang kotanya diharapkan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat akan ruang terbuka, meningkatkan kualitas kehidupan, membentuk identitas komunitas, melindungi kualitas lingkungan dan meningkatkan nilai ekonomi bangunan-bangunan atau

properti-properti pada lokasi yang berdekatan dengan RTH tersebut. Di samping itu, RTH juga berfungsi memberikan nilai tambah bagi fungsi lingkungan, misalnya segi estetika kota, pengendalian pencemaran udara, pengendalian iklim mikro, serta membentuk “image” suatu kota. Dalam konteks itu, saya mendorong agar dalam Rancangan Undang-Undang pengganti Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang memuat pengaturan tentang standar minimal bentuk dan ukuran RTH yang wajib disediakan oleh suatu kota. Melalui pengaturan ini, pemerintah daerah memiliki kewajiban untuk mengalokasikan ruang terbuka hijau secara tegas dalam RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) Kota yang dijabarkan secara lebih rinci dalam ketentuan tentang aturan intensitas kegiatan-kegiatan di sekitar RTH tersebut. Selain itu, pengaturan yang tegas ini juga memberikan peluang bagi masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya untuk turut berperan secara lebih aktif dalam mengendalikan pencapaian standar minimal tersebut. Akhirnya, saya berharap bahwa keberadaan buku ini tidak sebatas memperkaya khasanah pengetahuan kita, namun juga dapat menjadi sumber inspirasi dan pedoman bagi pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya dalam mewujudkan ruang yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan. Untuk itu, saya mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada tim penyusun dan penyunting, terutama kepada saudara Ning Purnomohadi yang telah mencurahkan tenaga dan pikirannya, serta kepada seluruh pihak yang telah mendukung penerbitan buku ini. Menteri Pekerjaan Umum Republik Indonesia DJOKO KIRMANTO

v

6

DAFTAR ISI Cover Daftar Isi i Daftar Tabel iv Daftar Gambar iv Sambutan Menteri v Pengantar/Acknowledgement Dirjen PR vi BAB I PENDAHULUAN I-1 1.1. Latar Belakang Pembangunan RTH Kota I-1 1.2. Penghijauan kembali Lingkungan Perkotaan I-3 1.3. Alur Pemikiran dalam Mewujudkan RTH sebagai Unsur Utama Pembentuk Kota Taman I-4 BAB II RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) KOTA II-1 2.1. Pengertian Umum RTH II-1 2.2. Masalah Urbanisasi dan Keperi-adaan RTH dalam Penataan Ruang (Dardak, 2005) II-3 2.2.1 Konsep Ruang Terbuka Hijau (RTH) Perkotaan II-4 2.2.2 Peran Penataan Ruang Perkotaan II-5 2.2.3 Peran dan Fungsi RTH II-6 2.2.4 Issue dan Tantangan II-7 2.3. Manfaat RTH II-8 2.3.1 Manfaat Bagi Kesehatan II-9 2.3.2 Ameliorasi Iklim II-9 2.4. RTH dan Pertamanan (Land-Scape Architecture) Perkotaan II-10 2.5. Pengelompokan Jenis dan Luas RTH Pembentuk Kota II-11 2.5.1 Kelompok RTH Berkenaan dengan Peran dan Fungsinya II-11 2.5.2 Jenis RTH Kota II-12 2.5.3 Pengelompokkan RTH Kota II-12 2.6. Pentahapan Pengembangan RTH II-13 2.6.1 Pengembangan RTH Kota Jangka Pendek II-13 2.6.2 Pengembangan RTH Kota Jangka Panjang II-13 2.6.3 Perencanaan dan Pengendalian RTH Kota II-13 2.6.4 Pola Penyelenggaraan RTH II-14

i

BAB III PERMASALAHAN DEGRADASI LINGKUNGAN HIDUP PERKOTAAN III-1 3.1. Masalah-masalah Utama dan Konservasi di Bidang Lingkungan Hidup III-1 3.2. Keselarasan Hubungan Manusia dengan Lingkungan III-3 3.3. Pencemaran Udara III-3 3.4. Pencemaran Air dan Tanah III-6 3.4.1 RTH Kota dan Upaya Pengendalian Pencemaran Air, banjir dan Kekeringan III-6 3.4.2 Tiga Tingkatan Perubahan Lingkungan Akibat Bencana Banjir III-8 3.4.3 Pencemaran dan Kerusakan Tanah (Abrasi Pantai, Intrusi Air Laut, Amblasan Tanah, Pencemaran Air Tanah III-9 3.5. Rawan Kejadian (Bencana) Kebakaran III-10 3.6. Karakteristik Air Limbah dan Dampak terhadap Kesehatan III-11 III-11 BAB IV RTH SEBAGAI UNSUR UTAMA PEMBENTUK KOTA YANG NYAMAN, PRODUKTIF, DAN BERKELANJUTAN IV-1 4.1. Konservasi Lingkungan Hidup Kota IV-1 4.2. Lingkungan Perkotaan Permasalahan dan Pembangunan Kota Berkelanjutan IV-1 4.2.1 Pengertian Hubungan Strategis Pembangunan Kota dan Perencanaan Kota IV-2 4.2.2 Membangun Kota yang Bersih, Aman, Nyaman, dan Sehat IV-2 4.2.3 Model Kabupaten dan Kota Sehat IV-3 4.3. Pengelolaan Kota Taman Tropis IV-4 4.3.1 Peran RTH Kota (Khusus Hutan Kota) terhadap Kenyamanan Lingkungan IV-5 4.3.2 RTH Kota sebagai Penunjang Pembangunan Berkelanjutan IV-5 4.4. RTH Kota dan Perencanaan Kota IV-6 4.5. RTH dan RTRW Kota IV-6 4.5.1 Strategi Pembangunan dan Perencanaan Kota IV-7 4.5.2 Perkembangan Pola Permukiman Terhadap Konsepsi Hijau IV-7 4.5.3 Pemilihan Beberapa Jenis Tanaman Sesuai Fungsinya IV-10 BAB V BAGIAN-BAGIAN (ANATOMI) RTH KOTA V-1 5.1. Perkembangan dan Pembangunan RTH Kota V-1 5.2. Taman lingkungan Perumahan V-3 5.3. Taman Kota (Umum, Alun-alun, Kebon Raja,Taman Pemakaman Umum/Khusus) V-4 5.4. Taman Rekreasi (Aktif & Pasif: Stadion OR, Kebun Raya/Aboretum/Binatang: Umum atau Satwa, Khusus: Buaya, Unggas, dll) V-5 5.5. RTH Konservasi dan Pengamanan Sarana/Prasarana Kota V-5 5.5.1 Jalur Hijau (Pedestrian, Lalu-Lintas/Jalan, Kolong Jembatan/Jalan Layang, Jalur Tegangan Tinggi Bantaran Rel Kereta Api) V-6 5.5.2 Jalur Biru (Bantaran Sungai, Rawa-rawa, Pantai, Situ, Waduk, Telaga, Danau, ’Retention Basin’) V-7 5.5.3 Daerah Penyangga/Pengaman (buffer Zone/Corridor Hijau) Kawasan Industri Pabrik, Pengolahan Limbah, dan Tempat Pembuangan

Sampah (TPS/TPA) V-8

5.6. Best Practices di Dalam Negeri V-10 5.6.1 Provinsi DKI Jakarta V-11 5.6.2 Kota Surabaya V-12 5.7. Best Practices di Luar Negeri V-14

ii

5.7.1 Rehabilitasi dengan Sistem Insentif Bagi Pemilik Lahan, Belajar dari Kasus Kota Osaka: ’Osaka Bussiness Park’ (OBP) V-14 5.7.2 Rehabilitasi Sungai Singapura dalam Waktu 10 Tahun, Bagian dari Semboyan ’Clean and Green Planned City’ V-16 5.7.3 Curitiba V-17 BAB VI MEMBANGUN DAN MENGELOLA KOTA TAMAN VI-1 6.1. Program Tata Praja Lingkungan VI-1 6.1.1 Otonomi Daerah VI-1 6.1.2 Pengembangan Sistem Penataan Hukum VI-1 6.1.3 Program Pendukung VI-1 6.2. Kegiatan Pokok dan Pola Penyenggaraan RTH Kota VI-3 6.2.1 Permasalahan Pengelolaan RTH Kota VI-3 6.2.2 Dilema Nilai Ekonomi, Sosial dan Budaya RTH-Kota VI-4 6.3. Kebijakan dan Strategi Pembangunan RTH Kota VI-4 6.3.1 Kebijakan Pembangunan RTH Kota VI-5 6.3.2 Strategi Pembangunan RTH Kota VI-6 6.4. Permasalahan Pengelolaan RTH Kota VI-8 6.4.1 Menentukan Luas RTH Kota VI-8 6.4.2 Standar Luasan dan Kebutuhan RTH Kota VI-9 6.5. Pengelolaan RTH Kota Taman Tropis VI-10 6.5.1 Mekanisme Perencanaan Kota VI-12 6.5.2 Area Perencanaan Kota dan Kebijaksanaan VI-13 6.5.3 Pembatasan Tata Guna Tanah dan Sarana Pembangunan Utama VI-13 6.5.4 Proyek Pembangunan Kota dan Batasan-batasannya VI-13 6.5.5 Peran Pengawasan pada Tiap Bagian Kota VI-13 6.6. Perencanaan dan Realisasi RTH Kota dalam Perencanaan Kota VI-14 BAB VII PANDANGAN PRAKTISI TENTANG RTH KOTA VII-1 7.1. (P. Iman) 7.2. (P. Maman) BAB VIII PENUTUP VIII-1 LAMPIRAN Lampiran 1 : Perhitungan Luas RTH Kota L-1 Lampiran 2 : Kompilasi Dasar Hukum (Peraturan Perundang-undangan) RTH dan Perda Terkait RTH L-3 Lampiran 3 : Pustaka Lanjutan L-6

iii

DAFTAR TABEL Tabel 1 Konsep Dasar Pengelolaan Lahan II-13 Tabel 2 Kriteria Jenis Tanaman untuk RTH III-5 Tabel 3 Luas Keteduhan Beberapa Jenis Tumbuhan III-6 Tabel 4 Parameter Air Limbah III-12 Tabel 5 Logan dan Sifat Racunnya III-12 Tabel 6 Jenis, Fungsi, dan Tujuan Pembangunan RTH V-2 Tabel 7 Pengelolaan RTH Rumah Tinggal V-13 Tabel 8 Standar RTH Kota: Kriteria Unit-unit Lingkungan VI-9 Tabel 9 Kebutuhan akan RTH VI-9

DAFTAR GAMBAR Gambar 1 Perkembangan Penduduk Kota II-3 Gambar 2 Luas RTH di Beberapa Kota Dunia II-3 Gambar 3 Ruang Terbuka Publik (Open Space) II-4 Gambar 4 Tipologi Ruang Terbuka Hijau II-5 Gambar 5 Tanaman Endemik sebagai Tetenger II-5 Gambar 6 Struktur RTH Perkotaan II-5 Gambar 7 Sistem Perencanaan Tata Ruang II-6 Gambar 8 Interaksi Tata Ruang dan Transportasi II-6 Gambar 9 RTH Publik dalam Tata Ruang Kota II-7 Gambar 10 Roman House at Pompeii, Italia V-4 Gambar 11 Cluster Development V-4 Gambar 12 Vaux-le-Vicomte V-4 Gambar 13 Plan of Versailles (1662-1665) V-5 Gambar 14 Konsep Penatan Ruang Kota Curitiba V-17 Gambar 15 Pengembangan RTH pada Areal Kepadatan Rendah V-17 Gambar 16 Zona Pedestrian di Pusat Kota V-18 Gambar 17 Kolan-kotan Retensi Banjir V-18 Gambar 18 Penataan TPA Sanitary Land-fill V-19

iv

RUANG TERBUKA HIJAU (RTH)

SEBAGAI UNSUR UTAMA PEMBENTUK KOTA TAMAN

versi 8 Februari 2006

v

15Pendahuluan

BAB I PENDAHULUAN

16 Pendahuluan

I PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG Pada jaman pra-sejarah, konsepsi hijau belum nam-

pak nyata, mungkin disebabkan karena cara hidup dan

berpikir yang masih sangat sederhana. Kehidupan ma-

sih sangat tergantung pada alam sehingga muncul ke-

biasaan bertahan untuk sekedar hidup. Alam merupakan

suatu misteri yang ditakuti, maka mereka tinggal di dalam

gua-gua atau di pohon agar aman.

Kemudian manusia mulai menyadari kemampuan

berpikirnya untuk dapat menguasai alam, kebudayaan

pertanian dan peternakan mulai berkembang, pemujaan

berganti kepada dewa-dewi di langit yang dianggap telah

memberi kehidupan. ’Rumah’ mulai dikenal, turun dari

atas pohon dan keluar dari gua-gua. Dalam kehidupan

berkelompok mulai timbul persaingan dan permusuhan

antar kelompok, sehingga bahaya timbul dari manusia

lain. Pada situasi seperti ini, diperlukan perlindungan

bagi kelompok. Konsepsi hijau, lebih dari sekadar hanya

tanaman pagar berduri di sekeliling permukiman, tetapi

permukiman sudah merupakan benteng berparit, yang

tertutup dari alam bebas.

Dengan ditemukannya bubuk mesiu, senjata kimiawi,

nuklir dan toksin biologis, maka cara perlindungan men-

jadi lebih terbuka, demikian terus menerus merobah kon-

sep kehidupan manusia di dunia ini.

Manusia mulai membuka diri dari ‘dunia’ mistik de-

ngan pemikiran rohaniah dan pengaruh kuat agama,

menjadi lebih memikirkan keduniawian dan status hidup

sebagai pribadi. Konsep tata hijau berkembang menjadi

ilmu arsitektur baru, ingin menguasai alam (antropo-

sentris), meneruskan garis-garis arsitektur alam sekitar,

sedemikian rupa hingga hubungan antara hijau dengan

manusia menjadi lebih harmonis.

Kini fungsi hijau menjadi lebih kompleks akibat

pencemaran dan perusakan lingkungan, hasil penerap-

an teknologi dan industri secara serampangan, telah

merusak hubungan timbal-balik antara manusia dengan

lingkungan. Perusakan dan pencemaran semakin parah,

sehingga tak ada lagi kemampuan regeneratif alam un-

tuk merehabilitasi diri sendiri, karena daya dukung lingku-

ngan telah terlampaui atau telah melebihi ambang batas.

Sementara itu penduduk dunia terus bertambah, sedang-

kan sumber daya alam (SDA) terbatas terutama yang tak

bisa diperbaharui. Di negara-negara maju pencemaran

disebabkan oleh teknologi tinggi, sedangkan di negara

sedang berkembang, sebagian besar adalah akibat ke-

terbelakangan, kemiskinan dan kebodohan.

Konsepsi hijau lebih berkembang, selaras keinginan

penguasaan akan alam dan menjadikan tata hijau sebagai

penerus gaya arsitektur, dengan meningkatkan hubungan

antar bangsa. Kemudian pemikiran Dunia Timur masuk,

yaitu timbul adanya penghargaan terhadap fungsi hijau

sebagai sesuatu yang diperlukan (integrated landscape).

Bidang arsitektur lansekap sendiri mulai berkembang

di benua Eropa, sesuai dengan kebutuhan sekitar 200

tahun lalu, dimulai dari keperluan manusia akan suatu

17Pendahuluan

ruang ‘rekreatif’ di sekitar tempat tinggal, seperti Taman

Inggris (English Garden). Pengaruh ini menyebar ke be-

nua Amerika dan mencapai puncak dengan dibangunnya

Central Park (1858) di New York, karya Frederick Law Ol-

msted dan Calvert Vaux.

Fungsi hijau dalam ruang terbuka hijau (RTH) kota

sebagai ‘paru-paru’ kota, sebenarnya hanya merupa-

kan salah satu aspek berlangsungnya fungsi daur ulang,

antara gas karbondioksida (CO2) dan oksigen (O2), hasil

fotosintesis khususnya pada dedaunan. Sistem tata hi-

jau ini berfungsi sebagai semacam ventilasi udara dalam

rumah (bangunan). Lebih dari itu, masih banyak fungsi

RTH termasuk fungsi estetika yang bermanfaat sebagai

sumber rekreasi publik, secara aktif maupun pasif, yang

diwujudkan dalam sistem koridor hijau sebagai alat pe-

ngendali tata ruang/lahan dalam suatu sistem RTH kota

(urban green open space system). RTH juga berfungsi se-

bagai sumber penampungan air dan pengatur iklim tropis

yang terik dan lembab.

Perkembangan teknologi yang amat pesat tanpa

mengindahkan kelestarian fungsi lingkungan, memper-

buruk kualitas hidup kota-kota metropolitan, bahkan se-

bagian besar kota-kota pun telah mengalami krisis ling-

kungan. Para arsitek lansekap diharapkan dapat berlaku

dan bertindak secara (lebih) bijaksana dalam ikut serta

mengembangkan dan menjaga fungsí lingkungan secara

lestari untuk mencapai keseimbangan lingkungan, yang

tidak hanya sekedar indah.

Pemahaman tentang profesi arsitektur lansekap itu

mungkin lebih tepat bila disebut “arsitektur lingkungan”.

Arsitek lansekap dapat berperan menjadi ‘polisi’ terha-

dap pembangunan fisik, yang harus menguasai masalah

Gambar 1.1: Sempadan Sungai Pesanggrahan, Jakarta

Sungai menjadi keranjang sampah, sebuah potret tentang bagaimana

sikap kita memperlakukan lingkungan.

(Dokumen Yayasan Kirai, 2006)

18 Pendahuluan

Gambar 1.2 (paling kiri):

Karet kebo (Ficus elastica), dengan tajuk

lebar dipandang efektif menjadi pengisi RTH

luas (lokasi: Istana Bogor).

(Dok. Yayasan Kirai, 2006)

Gambar 1.3 (kiri): Alam mempunyai

keterbatasan. Dibutuhkan pengetahuan dan

kepekaan dalam melakukan perancangan,

sehingga tidak perlu terjadi bencana seperti

foto di samping ini terjadi di lereng bukit

Pacific Palisades, CA, Amerika Serikat.

(Cunningham & Saigo, 1997, halaman 358

dalam M. Amin, 2005)

ekosistem secara cermat dan bertanggungjawab dalam

upaya mengembalikan dan melestarikan kembali fungsi

lingkungan, seperti kawasan budidaya, termasuk ling-

kungan perkotaan pada ekosistem pesisir pantai yang

penting diperhatikan, sebagaimana layaknya suatu nega-

ra kepulauan terbesar di dunia.

Arsitek lansekap mampu bekerjasama dalam suatu

perencanaan dan perancangan kota yang akan mero-

bah wajah lingkungan lansekap kota secara terintegrasi

dengan profesi lain terkait. Pembangunan kota yang

berkelanjutan tidak sekedar berorientasi pada keuntungan

ekonomis jangka pendek dan mengorbankan kebutuhan

warga akan RTH, sehingga fenomena krisis lingkungan

udara-air-tanah, bencana banjir, tanah longsor, amblas-

an tanah, intrusi air laut, penebangan pohon secara se-

rampangan, dan penggusuran RTH dapat diminimalkan.

Banyak orang lupa, bahwa manusia adalah bagian dari

alam itu sendiri, kalau alam rusak maka dapat dipastikan

manusia akan rusak pula.

Konsep lingkungan yang dinamis, selalu berada

dalam proses perobahan yang mendukung kehidupan

manusia, flora dan fauna secara selaras, seimbang, dan

dalam hubungan yang lestari antar sesama, alam dan

Tuhan. Pemahaman proses pembentukan muka bumi

secara alami, harus berdasar pada kesadaran, bahwa

karya perencanaan maupun perancangan harus berpi-

jak pada ekotipe dasar karakteristik fisik bentang alam,

apakah pada ekosistem tropis kepulauan yang terik dan

basah (lembab), ekosistem pegunungan, atau pada eko-

tipe lain, serta sadar akan pengaruh perubahan iklim.

Hasilnya adalah karya arsitektur lansekap berkelanjutan

(sustainable landscape), yang tetap mempertimbangkan

etika atau norma-norma lingkungan yang bersifat dinamis

tersebut.

Para perencana dan perancang, lambat atau cepat

menyadari bahwa alat perencanaan dan perancangan itu

tidak hanya terbatas pada adanya tanah, ruang, bahan-

bahan, naluri dan perasaan saja, tetapi yang lebih penting

adalah adanya pengertian dan imajinasi dari perencana

itu sendiri, karena para perencana itu bukan saja turut

19Pendahuluan

serta mengatur sebagian kecil bentuk rupa dari alam,

tetapi juga kegiatan manusia di dalamnya. Jadi alamlah

yang menjadi landasan, dan manusia adalah tujuannya

(Wirasondjaya, 1975).

Tetapi untuk menarik garis batas antara alam berikut

kegaiban dan kekuasaannya dengan manusia sangatlah

sukar. Alam, adalah ibarat suatu alat yang sangat peka,

di mana kita bisa dengan mudah menarik kegunaan-

nya. Jika demikian, maka manusia itu sendiri harus tahu

akan kedudukannya serta tata cara yang benar dalam

mengambil bagiannya serta kedudukannya dalam alam.

Seandainya si perencana dengan cerdas mampu menye-

suaikan dirinya dengan alam, maka masyarakat umumlah

yang akan merasakan manfaatnya, tetapi sebaliknya jika

melawan alam, maka kesukaran-kesukaran dan masalah

yang akan terjadi harus dirasakan oleh masyarakat umum

pula.

Perobahan bentuk alam adalah cermin dari perobahan

pandangan manusia terhadap keadaan sekelilingnya dan

dari pertumbuhan penguasaan alam yang memudahkan

manusia untuk memanfaatkannya dalam keadaan ekono-

mi dan sosial baru. Caranya pun berbeda-beda dan ter-

gantung dari pandangan manusia masing-masing terha-

dap alam, tergantung pula dari besarnya persoalan dan

watak, serta kecenderungan sosial dan ekonomi yang

bersangkutan. Karenanya tiap-tiap tahap perkembangan

kemajuan manusia terhadap keadaan sekelilingnya akan

disertai oleh rangsangan jiwa dan semangat. Perasaan

pertama pada manusia adalah kehadiran skala-skala

baru, sesudah itu mulai mengerti, dan kemudian imajinasi

diterapkan dan disempurnakan.

Dalam proses pembentukan ini, manusia dan alam

tidak bisa dipisahkan. Pembentukan dan penjelmaan

yang terus-menerus dalam pikiran manusia, jelas sekali

digambarkan dalam alam yang terus tumbuh, yang bisa

dipandang sebagai catatan sejarah yang terus merekam

perobahan-perobahan dalam menaikkan derajat kebu-

dayaan. Karenanya bukan hanya seni sastra, seni musik,

seni pahat, seni lukis, dan seni bangunan saja yang dapat

mengabadikan perobahan-perobahan aliran dan kekuat-

an dari hasil kerja manusia dengan kecerdikan, dan ke-

pandaiannya, tetapi juga dari sikap pandangan manusia

terhadap alam.

Alam merupakan sesuatu yang abadi, tetapi hidup,

yang mempunyai dasar-dasar kefaedahan dan sumber

ilham, merupakan landasan bagi setiap perencana. Alam

merupakan suatu obyek yang belum ditentukan, tempat

di mana kebebasan terbuka seluas-luasnya dalam pemilih-

an, penegasan, dan penyatuan unsur-unsur, karenanya

merangsang perasaan untuk mengatur agar setiap orang

dapat melihat apa yang ia lihat, turut merasakan apa yang

ia rasa.

Di alam, kita menggubah bidang datar, menempatkan

massa, mengadakan penutupan maupun pembukaan,

manusia ada dalam pusat perencanaan. Dalam seni lu-

kis, manusia ada di luar bidang lukisannya dan memper-

hatikan lukisan tersebut di mana ruang-ruang digubah

dalam bidang datar yang terjadi dari sesuatu yang asal-

nya kosong. Dalam seni patung, manusia melihat obyek

tiga dimensional, berhadapan dengan patung tersebut

dan mengelilinginya. Tetapi dalam taman, manusia ada di

dalamnya, bergerak dan menikmati ruang, yang terbentuk

karena obyek di dalamnya. Ruang dan waktu membentuk

suatu kesatuan yang tak dapat dipisahkan lagi. Pemikir-

20 Pendahuluan

an ini berjalan terus melalui seluruh perkembangan ilmu-

ilmu modern. Ini berarti, bahwa tak ada bentuk alam yang

tetap atau tahan terhadap pengaruh sekitarnya. Penak-

lukan sukses terhadap ruang dan waktu dengan jalan

penyatuan terhadap keperluan manusia adalah karya dari

tiap zaman, dasar kekuatan utama yang diperlukan un-

tuk membentuk lingkungan dengan peradabannya (Wira-

sondjaya, 1975).

Ilmu pengetahuan tentang ruang sama juga persoal-

annya dengan ilmu-ilmu pengetahuan lain, yakni secara

sadar menyelidiki baik-tidaknya sesuatu yang bersang-

kutan dengan kebutuhan manusia, mendapatkan ciri-ciri

yang kurang baik, dan kemudian dengan sadar pula men-

cari jalan untuk mengatasi dan memperbaiki, bahwa yang

dijalankan tidak sekedar kebetulan saja.

Pengertian ruang tidak begitu saja bisa dilukiskan

dengan kata-kata, karena ruang bukan perkara akal

tetapi perkara perasaan. Sulit sekali untuk menetapkan

sebab-sebab dari perasaan itu, tapi kita harus mempu-

nyai angan-angan mengenai hal itu dan jeli mengenali,

supaya kita sendiri bisa menciptakan ruang dalam suasa-

na yang diinginkan. Terwujudnya ruang yang diraih oleh

tangan manusia, di mana dia bisa bergerak bebas dengan

leluasa adalah salah satu karya manusia guna mencapai

keseimbangan antara kehidupan jasmani dan rohani.

Salah satu cara untuk dapat mengerti lebih baik ten-

tang ruang adalah dengan mempelajari ruang-ruang

yang sudah terwujud, hasil warisan nenek moyang. Ke-

sabaran mempelajari segala keindahan alam agar bisa

diterjemahkan dalam pengertian ruang buatan manusia,

akan menjadi pegangan bagi setiap perencana, di mana

angan-angan yang diilhami dari batasan-batasan organik

tidak akan menyesatkannya. Bentuk benar itu adalah or-

ganik dalam wataknya dan merupakan pola dari alam

atau ekologi lansekap.

Kadangkala alam tak selalu cocok untuk dinikmati se-

bagai panorama, tetapi para perencana perlu menyadari

bahwa belajar dari alam dengan sendirinya akan diilhami

oleh imajinasi yang tak pernah padam. Tujuan peren-

canaan adalah meringankan cara-cara berencana, dan

bukan mencari atau ‘meminjam’ bentuk-bentuk baru.

Membuat falsafah baru bukanlah pekerjaan yang mudah,

sebab nilai keberhasilan suatu perencanaan ditentukan

oleh daya tahannya.

Orang Yunani dan Romawi tak mempedulikan masa

yang akan datang, dengan mencoba membuat surga di

atas dunia. Kemudian pada abad pertengahan, manusia

membuat dirinya surga di atas awan, dan membalikkan

dunia ini menjadi dunia yang fana baik bagi si kaya mau-

pun si miskin. Di zaman Renaisans, suatu jaman yang

lahir bukan karena suatu gerakan politik atau agama,

tetapi dari pernyataan pikiran, orang tidak lagi memu-

satkan pikiran dan kegiatannya namun menunggu keha-

diran surga. Mereka mencoba membangun surga di sini,

di atas tanah, dan ternyata dalam pencarian kebenaran

pada derajat tertentu, mereka berhasil.

Nilai Kebudayaan Timur yang sudah tinggi dan tua

adalah hasil suatu falsafah yang dinamis dan tradisi yang

tidak hilang selama berabad-abad. Seni dan ilmu peng-

gunaan tanah, dengan tata letak dan tata ruang telah

berkembang mencapai derajat yang sangat tinggi, yang

jarang didapatkan dan sukar dipahami oleh orang-orang

Barat. Falsafah ditekankan pada caranya, melalui apa ke-

sempurnaan yang dicari. Seni hidupnya, terletak dalam

21Pendahuluan

kelanggengan dan selalu belajar beradaptasi dengan

alam sekitar, suatu seni menyadarkan diri, seni bagaima-

na hidup di dunia ini. Hal ini dapat ditemui pada kebudaya-

an Cina, Jepang, dan Indonesia seperti Suku Bali, Suku

Badui, dan Suku Dani. Mereka tahu dan mengerti alam.

Kini dunia Barat mulai sadar, bahkan akhir-akhir ini sudah

berhasil merintisnya dalam perkembangan kemajuan ling-

kungan global setelah menyadari kesalahan terdahulu.

Prof. Sumitro (1971) mensinyalir akan adanya bahaya

lingkungan perkotaan di Indonesia. Sinyalemen sektor

kependudukan Indonesia dari 120 juta jiwa diperkirakan

berkembang menjadi 250 juta jiwa (2000-an), dimana 146

juta jiwa di antaranya menetap di Pulau Jawa dan Madura

dengan tingkat kepadatan penduduk 1105 jiwa/km2. Na-

mun untuk mencegah ledakan jumlah penduduk terse-

but, antara lain diupayakan melalui pendekatan Program

Keluarga Berencana (KB) dianggap telah cukup berhasil.

Bila angka ini bisa ‘agak’ ditekan, maka penduduk Indo-

nesia “hanya” mencapai kurang dari 200 juta jiwa (2002).

Perencanaan ruang yang efektif sangat penting dilakukan

melalui Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) yang menga-

tur keseimbangan lingkungan antara berbagai ruang dise-

diakan untuk menampung aneka kegiatan penduduknya.

Perkembangan pembangunan perkotaan di Indone-

sia sebagaimana terjadi di kota-kota lain dunia, sangat

dipengaruhi oleh pertumbuhan populasi (manusia) aki-

bat urbanisasi. Sejak tahun 1970-an, khususnya pada

dekade pertama, sampai tahun 1980-an, 35% dari per-

tumbuhan total di semua sektor pembangunan lingkun-

gan perkotaan, adalah akibat gelombang urbanisasi yang

dipacu oleh pembangunan fisik sarana dan prasarana

kota yang merupakan daya tarik sekaligus daya dorong

bagi para warga yang ingin memperoleh peluang kehidup-

an lebih baik, termasuk sarana pendidikan dari daerah

asalnya. Laju pembangunan itu pula yang menyebabkan

perkembangan kota seolah tanpa arah (urban sprawl).

Akibat lanjut pembangunan yang tak terkontrol ini, telah

membentuk ’kantong-kantong’ permukiman yang selalu

nampak kumuh-padat, dan kumuh-miskin (kupat, kumis)

di seluruh bagian kota.

Hasil analisis dari berbagai sumber, menunjukkan ka-

wasan perkotaan (terutama Jakarta) yang mau tak mau

harus menampung sekitar 2,2 juta pemukim pendatang

’baru’ setiap tahun. Sepanjang 20 tahun (1980-2000),

terjadi dua kali lipat pertumbuhan absolut dibanding ke-

mampuan adaptif kota dalam menyerap pertambahan

penduduk dibanding antara tahun 1960-1980. Perhitung-

an berdasar kenyataan tentang pertumbuhan populasi

Gambar 1.4: Rumah Suku Ume

Tempat berlindung pada iklim setempat, memanfaatkan bahan dari

lingkungan setempat (lokasi: Timor/NTT).

Foto: Kanwil Sosial Provinsi NTT, 22 Juli 1989

22 Pendahuluan

penduduk perkotaan di Indonesia tersebut angka pe-

ningkatan dari 33 juta (22% dari jumlah penduduk) tahun

1980 meningkat menjadi sekitar 76 juta (36%) atau lebih

pada tahun 2000 lalu.

Jumlah penduduk di Indonesia tahun 2005 lalu, sudah

mencapai lebih dari 200 juta jiwa, di mana sekitar 60%-

nya, adalah penduduk perkotaan. Penduduk ibukota

Jakarta yang beraktivitas pada siang hari di dalam kota

telah mencapai sekitar 12 juta, belum lagi di kota-kota

besar lain di seluruh Indonesia, yang tentu jumlah pen-

duduk di masing-masing kotanya telah mencapai lebih

dari satu-dua juta orang.

Kondisi pertumbuhan penduduk dengan segala

macam kebutuhan hidupnya, memaksa para pengelola

kota untuk beberapa kali merevisi pengaturan dan pe-

nataan ruang kota, namun selalu tak pernah bisa tuntas,

seolah-olah berkejaran dengan ketersediaan waktu yang

cukup untuk mengejar ’ketertinggalan pelayanan publik’.

Walau standar pelayanan minimal (SPM) sudah ditetap-

kan, namun warga terus bertambah dengan cepat, baik

secara alami (melalui kelahiran) maupun dari pendatang.

Peraturan perundang-undangan (PUU) pun terus

disesuaikan agar lingkungan perkotaan tetap layak huni

(manusiawi), namun tentu saja antara lain akibat urbanisa-

si tak terkendali tersebut tak akan mampu mengejar tun-

tutan kebutuhan, bukan saja karena jumlah yang dilayani

terus meningkat, juga karena perilaku hidup yang seolah

apa adanya, bahkan cenderung sekenanya (semau gue?)

saja, seolah tanpa menghiraukan peraturan yang ada.

Latar belakang pendatang yang beraneka ragam pun

cukup menyulitkan pemahaman akan perlunya menerap-

kan tata cara hidup sehat, karena keterpaksaan menghuni

dan okupansi pada lahan-lahan ’kosong’ yang ada seperti

pada jalur jalan kereta api, bantaran sungai, atau di seki-

tar dan di antara struktur bangunan yang ada tentu saja

’melawan hukum’. Mungkin dalam pikiran mereka, yang

penting adalah sudah ’mendapatkan’ ruang untuk hidup

walau pasti tidak memenuhi syarat hunian yang layak,

apalagi bila sebagian mereka menyatakan bahwa ’squat-

ter’ itu (selalu) hanya sebagai tempat tinggal sementara.

Pola pembangunan perkotaan menetapkan tugas

pengelola kota untuk melayani kebutuhan warganya akan

ruang tinggal, energi, air bersih, transportasi umum, fasili-

tas ruang terbuka dan rekreasi, dan seterusnya. Namun

keterbatasan ruang dan waktu pulalah yang tak mampu

menampung dan mendukung penduduk yang terus

mengalir masuk kota. Tentu diperlukan pendekatan khu-

sus seperti prinsip pembangunan struktural bagi sarana

hunian ke arah vertikal, didukung oleh penerapan pelak-

sanaan hukum yang rasional dan perlu pengertian warga

kota yang bermodal seadanya, dibantu pula oleh kerja

sama dari mereka-mereka yang istilahnya sudah ’mapan’

untuk mau membantu dengan segala kemampuan yang

ada, demi mencapai lingkungan kota yang aman, sehat,

nyaman dan produktif.

Dalam kondisi urbanisasi yang terus berlangsung

cepat ini, maka pemerintahan kota mana pun tak akan

mampu menyediakan prasarana dan sarana meski yang

paling minimal pun, tanpa kerja sama dan pengertian dari

seluruh warga kotanya. Pemerintah kota pun wajib terus

mengawasi dan membenahi pertumbuhan kotanya di se-

gala sudut (lokasi) maupun di segala sektor pelayanan

publik yang memadai dengan menjalankan PUU secara

tegas dan konsisten.

23Pendahuluan

Dalam jangka panjang, karena SDA dan SD-buatan

(manusia) di lingkungan perkotaan pasti amat terbatas,

maka ’kesemrawutan’ (catastrophy) mudah timbul seperti

yang kita rasakan saat ini. Rentannya kondisi kota ter-

hadap bahaya berbagai penyakit akibat degradasi fungsi

lingkungan dan akibat ketidak-seimbangan/’imbalanced

spatial implementation’ ini, akan langsung diikuti oleh

terus menurunnya mutu kehidupan secara fisik, ekonomi

dan sosial budayanya yang biasa disebut dengan ’urban

disaster’.

Kondisi perekonomian dunia saat ini, berpengaruh

besar pada perkembangan negatif perkotaan akibat

konsentrasi pembangunan penataan di sektor usaha (ke-

giatan industri), juga terkait dengan upaya menampung

arus urbanisasi melalui sebanyak mungkin penyediaan

barang dan jasa perkotaan. Mekanisme pemenuhan ke-

butuhan warga kota ini selalu dimaksudkan agar dapat

memenuhi target pelayanan masyarakat akan sarana

dasar, yaitu: pangan, sandang dan papan, termasuk la-

yanan kesehatan, pendidikan, kebersihan dan kenya-

manan lingkungan perkotaan.

Pembangunan berbagai sektor tersebut relatif mu-

dah menekan ruang-ruang ’terbuka’ yang ada, karena

penilaian keuntungan sesaat, sedang keuntungan dari

segi lain tidak mendapat penghargaan yang layak. Se-

bagian besar akibat ketidak-sadaran, bahwa ruang-ruang

terbuka (termasuk RTH) ini justru bernilai ekonomis dan

sekaligus ekologis tinggi yang sangat vital bagi keberlan-

jutan kehidupan warga penghuni lingkungan perkotaan.

Perhitungan ekonomi dari transfer biaya atas hilangnya

produktivitas manusia yang sakit akibat tekanan kondisi

negatif pencemaran dan atau kerusakan lingkungan ini

terutama meningkatnya vektor pembawa penyakit, cukup

tinggi. Belum lagi akibat pencemaran dan kerusakan ling-

kungan itu terhadap benda-benda lain yang ada di ling-

kungan kota.

Pembangunan di berbagai tingkat dan sektor hen-

daknya selalu menyadari kemungkinan akan timbulnya

dampak negatif. Pertimbangan pada konsep dasar un-

tuk menghindar dari fenomena perusakan atau turun-

nya fungsi pelestarian lingkungan perkotaan yang selalu

terjadi, hanya bisa ditempuh melalui penjagaan atau

pemeliharaan keseimbangan fungsi antara wilayah (zona)

terbangun dan alami (tidak terbangun) yang rasional

sedemikian rupa, sehingga proses asimilasi alami masih

bisa berlangsung.

Konflik antar kegiatan penduduk kota dalam meman-

faatkan ruang yang terbatas dapat diatasi dengan pemba-

gian alokasi ruang yang dituangkan dalam Rencana Tata

Ruang Kota (RTRK) yang disahkan dalam UU. Di dalam

RTRK tersebut juga tertuang dengan jelas alokasi ruang

yang diperuntukkan bagi perlindungan dan konservasi.

Peruntukan ruang untuk perlindungan dan konservasi

merupakan upaya pengamanan bagi nilai alami suatu

Gambar 1.5:

Karikatur tentang kecenderungan

umum yang menomor duakan

ruang terbuka – termasuk sarana

RTH – dan mengutamakan

pembangunan fasilitas usaha.

Sumber: Harian Kompas, 3

Desember 2005, dari karikatur

Hosblock di Washington Port,

1999

24 Pendahuluan

bentang alam di wilayah kota. Penting dan tingginya nilai

lansekap alami semacam ini dalam jangka panjang telah

diakui sebagai suatu harta yang harganya justru tak terni-

lai bagi suatu kota. Banyak manfaat dihasilkan dari ruang

lansekap alami kota semacam ini (seperti diuraikan pada

bab-bab selanjutnya) bagi warga kota, maupun bagi

pemerintahan kotanya sendiri, karena sebagian besar

urusan pelayanan publik dapat berlangsung sebagaima-

na mestinya.

Pemahaman akan pentingnya pengamanan bentang

alam (lansekap) perlu dituangkan dalam perencanaan

pembangunan jangka panjang dan dijabarkan lebih lan-

jut dalam pembangunan jangka menengah dan pendek.

Selanjutnya, dalam berbagai proyek-proyek pembangun,

selalu didahului oleh semacam Kerangka Acuan Kerja

(Term of Reference) yang didalamnya perlu mengandung

prinsip-prinsip keseimbangan fungsi lingkungan.

Semua pihak terkait hendaknya menyadari, bahwa

’sejak saat ini’ aspek-aspek ekologis dalam suatu ke-

giatan pembangunan, adalah sama pentingnya dengan

pertimbangan-pertimbangan lain baik teknis, ekonomis

maupun sosial-budaya.

Di dalam siklus pembangunan dikenal tahapan evaluasi

manfaat hasil pembangunan (Project Benefit Monitoring

and Evaluation – PBME) yang di dalamnya menetapkan

indikator-indikator pencapaian hasil pembangunan seka-

ligus mencegah dampak negatif yang mungkin timbul.

Dengan indikator tersebut setiap tahapan pembangunan

perlu dievaluasi.

Pendekatan apapun dalam rangka mempertanggung-

jawabkan pembangunan umumnya berdasar pada in-

strumen PUU sebagai upaya pengamanan bagi wilayah

alami kota. Pada bagian tertentu wilayah kota, mestinya

dapat disisihkan suatu ruang untuk tetap pada kondisi

sebagaimana awalnya (present state), dimana secara pe-

riodik dan menyeluruh, maka pada zona-zona alami ini

perlu dilakukan pula pengukuran, pelaksanaan dan pen-

gawasan pembangunan. Harapannya adalah agar setiap

tahapan pembangunan sesuai dengan perkembangan

kebutuhan warga (berdasar kebutuhan fisik, ekonomi,

sosial dan budaya), dengan memanfaatkan perkemban-

gan ilmu pengetahuan dan teknologi, akan tetap berpijak

pada latar belakang sejarah serta kekhasan lokasi (local

genius). Di sisi lain, kondisi bio-geografi lingkungan dan

kondisi lingkungan wilayah kota diusahakan agar tetap

berada dalam keseimbangan rasional tersebut.

1.2 PENTINGNYA PENGHIJAUAN KEMBALI LINGKUNGAN PERKOTAAN

Kecenderungan yang terjadi pada kota-kota dunia

sampai saat ini adalah menata kembali kotanya agar lebih

menuju ke arah keseimbangan antara daerah ’hijau’ de-

ngan ’non hijau’, sehingga tercapai lingkungan perkotaan

yang ’layak huni’, yaitu kondisi kehidupan yang sehat,

nyaman dan terus berkelanjutan. Kota Beijing misalnya,

dengan ambisi pemerintahan yang telah ditunjuk oleh In-

ternational Olympic Committee (IOC) sebagai penyeleng-

gara Olympiade 2008, ingin meningkatkan jatidirinya se-

bagai sebuah kota yang tidak kotor atau semrawut lagi,

tetapi menjadi kota hijau yang ’bergengsi’.

Sebagai kota tuan rumah pertemuan olahraga (OR)

akbar dunia tertinggi, maka pemerintah tak hanya mem-

bangun kompleks OR yang megah, mewah dan asri,

tetapi seluruh sarana dan prasarana kota ditata kembali

25Pendahuluan

Gambar 1.7: Taman air di

sekeliling Istana Kaisar

Tokyo dengan dominasi ‘sakura’

di musim semi di antara gedung

pencakar langit. Upaya untuk tetap

mempertahankan penciri negeri

”bunga sakura” di tengah-tengah

lajunya perkembangan kota.

(Dok. Taka-san, Fukiage, 2006)

Gambar 1.6: Penataan RTH Perkotaan

di Suzhou, Cina

Keberadaan zona hijau dipakai sebagai

pertimbangan dalam pengembangan

kawasan perkotaan.

(lokasi Suzhuo, Cina 2004)

26 Pendahuluan

berdasar pada Urban Park Metropolitan System. Selain

membenahi taman-taman tradisional yang mengandung

nilai sejarah tinggi, ruang kota secara keseluruhan ditata

kembali berdasar teknologi sistem perkotaan yang cang-

gih. Di segala sudut kota, taman-taman yang ada ditata

kembali dan ditambah dengan taman ’modern’. Penghi-

jauan di sepanjang jalur jalan utama dengan sistem bou-

levard yang amat lebar menciptakan ruang dengan arsi-

tektur lanskap yang hijau, teduh, dan asri.

Sebagian kota-kota besar dunia berusaha terus mem-

benahi lingkungan kotanya, termasuk ibukota Negara Re-

publik Indonesia, ’Jakarta Metropolitan City’. Sebelumnya,

lebih dari tiga dekade lalu, Jakarta dibangun condong

ke arah industrialisasi, antara lain untuk menyediakan

lapangan kerja bagi para buruh atau tenaga kerja yang

seiring dengan perkembangan pembangunan, berbon-

dong-bondong ber-urbanisasi datang dari segala arah,

tak hanya dari pulau Jawa tetapi juga dari seluruh pulau

nusantara. Peningkatan urbanisasi yang semakin cepat

ini, tidak mampu diimbangi oleh penyediaan sarana dan

prasarana dasar, agar penduduk kota bisa hidup layak.

Kebutuhan akan ruang menjadi tidak seimbang dengan

jumlah penduduk yang terus bertambah tersebut.

Disayangkan, bahwa secara langsung maupun tidak,

ruang yang semula berupa ’zona hijau’ paling banyak

dikorbankan untuk memenuhi kebutuhan ruang hidup

dengan segala isinya di kota metropolitan ini. Hal itu

adalah sebagai akibat penilaian sebagian besar masyara-

kat termasuk para pengelola kota bahwa ruang terbuka

(hijau maupun tidak) semacam ini ’tidaklah ada atau

kurang bermanfaat’ atau hanya sebagai tempat hidup

vektor penyakit, tempat dimana para pengemis dan ge-

landangan hidup, dan seterusnya. Hukum pun menjadi

sulit diterapkan, pada ruang-ruang terbuka yang cukup

bisa membahayakan, seperti bantaran sungai dan pan-

tai, jalur kereta api bahkan di bawah saluran listrik atau

saluran utama tegangan ekstra tinggi (SUTET) pun penuh

bangunan permukiman dari yang mewah hingga kumuh.

Rencana Tata Ruang Kota (RTRK) sudah berkali-kali di-

revisi, sebab selalu tidak bisa ’mengejar’ ketertinggalan

penyediaan sarana dan prasarana (sarpras) kota.

Akibat langsung dari ketidakseimbangan antara ling-

kungan terbangun (binaan) dengan lingkungan perlin-

dungan (alam) menyebabkan penurunan mutu lingkungan

kota (environmental degradation). Tentu saja kesehatan

lingkungan juga tidak bisa dijaga seoptimal mungkin,

berbagai penyakit akibat bakteri e-coli (utamanya berasal

dari buangan manusia), seperti tipus, disentri dan diare

sudah biasa terjadi sehari-hari, demikian pula penyakit

yang penularannya berasal dari media air (sungai) tanah

maupun udara, telah banyak diuraikan di berbagai media

(cetak maupun elektronik). Penyakit Demam Berdarah

Dengue (DBD) akibat gigitan nyamuk aedes agepti serta

malaria dan polio sudah merebak ke mana-mana. Masih

banyak lagi jenis penyakit yang kemudian timbul beran-

tai akibat degradasi lingkungan semacam ini, termasuk

akibat kongesti (menumpuknya) kendaraan bermotor di

jalanan umum.

Untuk mencapai lingkungan perkotaan yang aman,

nyaman, produktif, dan berkelanjutan, diperlukan Pena-

taan Ruang Wilayah (Kota dan Kabupaten) di seluruh In-

donesia yang sejauh mungkin harus disesuaikan dengan

kondisi bio-geografi lingkungan alaminya.

Keadaan alam tersebut menuntut Penataan Ruang

27Pendahuluan

Kota untuk ’disesuaikan’ dengan alam sekitar, apabila

tidak ingin menuai bencana. Penataan Ruang Wilayah

perlu tetap memperhatikan peningkatan bidang ekonomi

(economical advantage), menyediakan ruang-ruang ter-

buka hijau di segala penjuru kota secara merata, yang

dijalin dalam suatu sistem perkotaan sehingga Tropical

Park System dan dapat ’mencapai’ seluruh sudut kota.

Dalam kebijakan penataan ruang perlu ditegaskan pula

tentang pentingnya RTH pada skala nasional, provinsi,

dan kabupaten/kota, serta pada kawasan permukiman.

Singapura dan Kuala Lumpur adalah dua kota tropis

yang terus membenahi tata ruang lingkungan kotanya,

antara lain dengan penataan kembali permukiman dan

dengan cara membangun struktur sedapat mungkin ke

arah vertikal dilengkapi ’sarpras’ kota yang mendasar,

seperti: berbagai moda transportasi umum yang ’aksesi-

bel’ dan relatif murah, taman-taman rekreasi tersebar di

seluruh bagian kota sebagian besar gratis sebagai wu-

jud pelayanan bagi penduduknya. Dalam suasana kota

yang bersih dan teduh dengan banyak memakai pohon

pelindung bertajuk lebar, khususnya trembesi atau ki hu-

jan (Samanea saman), ketapang (Terminalia catappa), dan

bolingan (Jawa) atau Cannon Ball: (Courupita gaevensi).

Profil demografi sebagian besar kota-kota di Indonesia

mengikuti pula pola bio-geografi alami lingkungan kepu-

lauan tropis, berkembang dari muara-muara sungai dan

rawan banjir di musim penghujan, sebab letaknya relatif

rendah, bahkan beberapa berada di bawah permukaan air

laut pasang (seperti: Semarang, Jakarta, Surabaya), dan

panas akibat teriknya sinar matahari sepanjang tahun.

Pengaturan yang lebih operasional diperlukan untuk

kota-kota di Indonesia, khususnya yang terletak di tepian

badan air untuk dapat menata secara komprehensif per-

mukiman dan peruntukan di sepanjang badan air terse-

but, antara lain melalui restorasi tepian badan air dan re-

lokasi pemukim.

Kreativitas dalam menata kawasan permukiman dapat

diarahkan dalam pengaturan pemintakatan (Zoning Re-

gulation) melalui pembangunan ’ke atas’, memanfaatkan

sungai dalam kota sebagai salah satu moda transportasi

untuk mengurangi kepadatan lalu-lintas di darat (teres-

trial), memanfaatkan sempadan sungai untuk green belt

yang secara langsung merupakan upaya pembersihan

badan air dari berbagai sedimen dan zat pencemar, serta

penyediaan RTH di kawasan permukiman.

Banyaknya kejadian kebakaran, akibat amat padat-

nya permukiman mengharuskan pengaturan yang lebih

operasional bidang penataan ruang seperti peraturan pe-

mintakatan dimaksud di atas. Penataan kembali kawasan

pemukiman padat dapat dilakukan antara lain dengan

Gambar 1.8: Wringin Kurung (Ficus benyamina)

Menjadi penciri ‘alun-alun’ di setiap halaman kantor kabupaten di

Jawa. Tajuknya yang lebar mampu membentuk ‘ruang’ di bawahnya,

sehingga jenis ini banyak ditanam di tempat-tempat umum lain seperti

pasar tradisional dan tempat lain.

(----- 2003. Weerzien met Indie, No. 21. Bouwen en Wonen)

28 Pendahuluan

Gambar kiri 1.9: Sungai Code, Yogyakarta

Rona pemukiman di penggal sempadan kali.

(Dok. KLH, 2004)

Gambar atas 1.10: Sempadan Sungai

Negara di Amuntai. Sungai sebagai media

transportasi dan niaga yang penting.

(Dok. Adipura, KLH, 2003)

membuat kawasan penyangga, berupa jajaran tanaman

tahan kebakaran (’ilalar api’), atau ruang kosong (dikenal

dengan ’brand gang’) di antara struktur bangunan ter-

tentu.

1.2.1 Keadaan sekarang: Penghijauan kota

dan ruang terbuka hijau (RTH)

Secara umum, penghijauan kota (urban greeneries)

bisa didekati melalui dua pendekatan, dan dipilah-pilah

yang disesuaikan dengan penetapan pada UU No. 24 ta-

hun 1992, tentang Penataan Ruang, sebagai berikut;

• Pendekatan pertama: RTH-kota yang dibangun pada

lokasi-lokasi tertentu saja. Pada pendekatan ini RTH-

kota merupakan bagian pemanfaatan lahan suatu kota

(urban land use). Penentuan fungsi dan luasannya dulu

didasarkan RTRK yang berlaku tak hanya untuk sek-

tor/dinas Pertamanan dan atau Keindahan Kota, tetapi

juga bagi unit-unit lain terkait, seperti Pertanian dan

Perhutanan Kota, Kebersihan Kota, Taman Permakam-

an Umum dan Khusus (Taman Makam Pahlawan), Unit

Pekerjaan Umum (untuk Sarana dan Prasarana Kota),

Lapangan Olahraga dan Rekreasi (aktif dan pasif), dan

seterusnya. Pengelolaannya didasarkan pada tiga (3)

kawasan, yaitu: (1) Kawasan Konservasi, (2) Kawasan

Budidaya, dan (3) Kawasan Khusus. Misalnya: agar

dapat memenuhi persyaratan keseimbangan propor-

sional antara ruang terbangun dan ruang terbuka pada

suatu kawasan lingkungan kota, maka untuk menghi-

tung luas RTH-kota dapat dihitung berdasar tujuan pe-

menuhan kebutuhan akan udara bersih (oksigen), air,

dan kebutuhan lain, seperti nilai produktivitas dari ke-

peri-adaan (eksistensi) RTH-Kota tersebut.

• Pendekatan kedua: Semua areal penghijauan yang

ada dan yang akan ada (direncanakan) di dalam suatu

29Pendahuluan

kota pada dasarnya adalah areal untuk RTH-kota.

Pada pendekatan ini komponen (zonation) yang ada

dalam kota seperti zona-zona: permukiman baik indi-

vidu maupun kompleks, kantor dan perkantoran, in-

dustri serta kawasan industri, dipandang sebagai suatu

bagian (enclave) yang ada dalam kawasan penghijauan

suatu kota yang amat luas.

RTH, dinyatakan sebagai ruang-ruang dalam kota

atau wilayah yang lebih luas, baik dalam bentuk mem-

bulat maupun dalam bentuk memanjang/jalur di mana

dalam penggunaannya lebih bersifat terbuka, yang pada

dasarnya tanpa bangunan (Instruksi Menteri Dalam Nege-

ri No. 14 tahun 1988). Pelaksanaan pengembangan RTH

dilakukan dengan pengisian hijau tumbuhan secara alami

ataupun dengan tanaman budidaya, seperti tanaman

komoditi usaha pertanian dalam arti luas (dalam hal ini

penekanan pada nilai produktivitasnya, termasuk perke-

bunan, perhutanan/Hutan Kota, maupun peternakan dan

usaha perikanan), hijau pertamanan dan olahraga (bia-

sanya lebih ditekankan pada nilai rekreatifnya baik pasif

maupun aktif, serta keindahannya), dan seterusnya.

Namun demikian ditinjau dari kondisi ekosistem pada

umumnya, maka apa pun sebutan bagian-bagian RTH-

kota tersebut, hendaknya semua selalu mengandung tiga

(3) fungsi pokok RTH, yaitu: (1) Fisik-ekologis (termasuk

perkayaan jenis dan plasma nutfahnya); (2) Ekonomis (ni-

lai produktif/finansial dan penyeimbang untuk kesehatan

lingkungan); dan (3) Sosial-Budaya (termasuk pendidik-

an, dan nilai budaya dan psikologisnya). Di samping

fungsi-fungsi umum tersebut, maka RTH, khususnya dari

berbagai jenis tanaman pengisi, secara rinci mempunyai

multi-fungsi antara lain, sebagai: penghasil oksigen, ba-

han baku pangan, sandang, papan, bahan baku industri,

atau disebut sebagai: fungsi ekologis, melalui pemilihan

jenis dan sistem pengelolaannya (rencana, pelaksanaan,

pemeliharaan dan pengawasan/pengaturan) yang tepat

dan baik, maka tanaman atau kumpulannya secara rinci

maka dapat berfungsi pula sebagai: Pengatur iklim mi-

kro, penyerap dan penjerap polusi media udara, air dan

tanah, jalur pergerakan satwa, penciri (maskot) daerah,

pengontrol suara, pandangan dan lain-lain (uraian rinci

pada sub-bab 1.3.3)

Gambar 1.11: Proyek Rehabilitasi Hutan Mangrove,

di Daerah Suwung, Denpasar, Bali.

Jalur hijau tepian air sangat diperlukan sebagai penahan angin,

gelombang, dan kikisan air, di samping sebagai habitat satwa dan

pengatur iklim mikro bagi pemukiman di belakangnya.

30 Pendahuluan

1.2.2 Pentingnya Pembangunan RTH-Kota di

Negara Kepulauan R.I.

Negara Kesatuan Republik Indonesia, adalah negara

kepulauan terbesar di dunia dengan panjang pantai seki-

tar 81.000 km, dan jumlah pulau lebih dari 17.500, yang

sudah bernama maupun yang belum (1992, Gazetteer

Nama-nama Kepulauan di Indonesia).

Habitat mangrove, terumbu karang, padang lamun

yang sangat penting bagi pelestarian kota pesisir dengan

ekosistem unik karena mencakup tiga kawasan sekaligus

daratan, pantai, dan laut, yang masing-masing memiliki

fungsi dan ekosistem berbeda, serta keanekaragaman

hayati beragam.

Sehubungan dengan relatif seringnya kejadian ben-

cana (tanah longsor, gempa bumi yang kebetulan ter-

jadi di perairan laut sehingga menimbulkan gelombang

pasang/tsunami ke arah pantai di mana sebagian besar

menjadi pusat-pusat pertumbuhan penduduk, terutama

pada negara kepulauan Republik Indonesia ini, maka

pemerintahan (pusat dan daerah) perlu segera menyiap-

kan berbagai sarana dan prasarana baik untuk menganti-

sipasi terjadinya musibah (alam maupun buatan manusia)

maupun menyiapkan seperangkat pedoman pasca ben-

cana tentang tata-cara penanggulangan masing-masing

jenis bencana tersebut. Indonesia disebut sebagai nega-

ra yang termasuk banyak memiliki gunung berapi atau

terletak pada lingkaran api dunia ’ring of fire’ dan berada

pada ’tubir’ palung lautan Hindia dan Pacific, sehingga

bencana meletusnya gunung api ataupun gempa bumi

tercatat dengan kekuatan (skala richter) yang tinggi sering

sekali terjadi.

Dengan kondisi geografis semacam itu maka, Joga

Gambar 1.13 Hutan Bakau (mangrove)

Kaya akan bahan organik berperan memasok detritus untuk

mendukung ”detrital food web” dan kesuburan di daerah pantai.

(Dahuri, 2003, halaman 59. Foto koleksi PKSPL/IPB)

Gambar 1.12

Ekosistem pantai dengan formasi pescaprae di Provinsi Bengkulu.

(Arifin dalam Dahuri, 2003, hal 85)

31Pendahuluan

(2006) dalam artikel di harian Kompas (31 Mei 2006) me-

nulis tentang pentingnya menyiapkan kota-kota yang le-

bih waspada terhadap gempa, mengingat panjangnya

daftar kota-kota yang rawan gempa. Kejadian alam terse-

but nampaknya juga telah sering dialami dan difahami

oleh nenek moyang kita khususnya yang rawan gempa

dan derasnya air bah. Karena itu secara tradisional mere-

ka membangun permukimannya di atas tiang dan terdiri

dari bahan yang lentur (fleksibel). Rentetan bencana yang

terjadi kembali memberikan pelajaran berharga bagi kita

untuk merefleksi diri, seberapa serius kota kita dibangun

dalam mengantisipasi dan memitigasi terutama korban

akibat bencana alam. Selanjutnya disampaikan perlunya

’membudayakan’ warga kota agar selalu waspada sebab

bencana bisa terjadi kapan pun dan menimpa siapa pun.

Bahwa kota yang terkonsep seharusnya berdasarkan

pada pengalaman/kejadian bencana yang terus terjadi.

Kejadian di titik-titik rawan bencana dianalisis dan dija-

dikan bahan penyusunan rencana strategis dan program

kegiatan pembangunan yang terarah tepat sasaran un-

tuk rencana mitigasi bencana. Kota dibangun kembali de-

ngan mengalokasikan lebih banyak ruang terbuka hijau

(RTH), mengakomodasi kepentingan perlindungan, seba-

gai ruang untuk evakuasi, atau pertahanan hidup atas

bencana. Ini sama halnya dengan membangun sistem

peringatan dini secara alami untuk mengantisipasi ben-

cana alam yang penting bagi kota dan paling murah un-

tuk dibangun.

Perencanaan kota waspada bencana mensyaratkan

perencanaan rasional, aplikatif, dan berorientasi pada

hasil (feasible, implementable, and achievable). Sistem

peringatan dini bencana dibangun secara menyeluruh

di bidang fisik kota (pembangunan peralatan mutakhir

pendeteksi dini, bangunan antigempa), dan psikis kota

(pendidikan dan pelatihan tanggap serta evakuasi ben-

cana). Kepada warga kota ditumbuhkan budaya ramah

dan peduli lingkungan, serta tanggap bencana sebagai

bagian fenomena alam kehidupan sehari-hari melalui ke-

sadaran dan pemahaman dalam kondisi bio-geografinya.

Membangun Kota ”waspada bencana” berarti memba-

ngun jejaring RTH-kota taman menyatu tak terputus,

mulai dari alun-alun, taman kota dan lapangan olahraga

(ruang evakuasi), taman makam (pemakaman massal),

jalur hijau jalan raya dan bantaran sungai (jalur evakuasi),

hingga tepi pantai (hutan mangrove) dihubungkan oleh ta-

man-taman penghubung (connector parks) dengan domi-

nasi pepohonan besar dan hamparan padang dan/atau

bukit rumput (Joga, 2006 dimodifikasi).

Kini setelah 10 tahun pascagempa, Kota Kobe (1995,

Gambar 1.14

Interaksi antara tiga habitat utama di kawasan pesisir dan laut tropis.

(UNESCO, 1983 dalam Dahuri 2003, hal 316)

FisikNutrisi TerlarutPartikel OrganikMigrasi SatwaDampak Kegiatan Manusia

32 Pendahuluan

Gambar 1.15 (peta): Gambar menunjukkan

Negara Kesatuan Republik Indonesia yang luas

terbentang di antara dua samudera Pasifik dan

Hindia, serta berada pada ‘ujung’ benua yang

pada jaman es mungkin berupa bagian daratan

benua tersebut. (Gray, 1993, halaman 154)

Gambar 1.16 (kiri): Selama terjadi angin topan yang merusak, terumbu

karang kemungkinan besar akan rusak, seperti nampak dalam gambar

ini gelombang kuat yang disebabkan oleh angin topan yang amat kuat.

Meskipun demikian bila dibiarkan saja akibat bencana alam tersebut

suatu saat terumbu karang muda akan bisa tumbuh kembali.

(Gray, 1993, halaman 39)

33Pendahuluan

7,2 skala Richter) dan kota-kota lain di Jepang telah ber-

hasil membangun kota taman waspada bencana. Instruk-

sinya jelas, jika terjadi bencana warga diperintahkan lari

ke taman-taman kota. Taman kota diefektifkan sebagai

ruang evakuasi, suplai logistik dari udara, dilengkapi

tangki air minum, toilet portabel, papan petunjuk, alat

komunikasi, dan bungker gudang makanan serta obat-

obatan (untuk pertahanan minimal selama 10 hari). Taman

dilengkapi pompa hidran untuk pemenuhan kebutuhan

air bersih atau cadangan untuk pemadaman kebakaran

di musim kemarau. Pohon-pohon terpilih (jenis tertentu)

ditanam di sepanjang jalur evakuasi bencana (rute pe-

nyelamatan yang harus bebas hambatan) menuju taman

atau bangunan penyelamatan lain.

Kota pantai dilengkapi RTH pesisir pantai berupa ’sa-

buk hijau’ atau hutan lindung (mangrove bila memung-

kinkan atau vegetasi alam jenis lain biasa tumbuh endemik

di daerah tertentu), bahkan gumuk pasir (sand dunes).

Tegakan pepohonan yang memagari tepian pantai hing-

ga menyusup ke jantung kota juga berfungsi mencegah

intrusi air laut, menahan abrasi pantai, menahan angin

dan gelombang besar dari lautan lepas (tsunami), me-

nyerap limpahan air dari daratan, termasuk di saat banjir,

dan menetralisasi pencemaran air laut. RTH-kota berupa

alun-alun dan lapangan bola, misalnya sangat ideal bagi

ruang evaluasi korban bencana. Membangun kota taman

waspada bencana tentu butuh waktu puluhan tahun, RTH

dan pemilihan tanaman yang lentur bencana, untuk ba-

ngunan hidup (tumbuh, kembang) membutuhkan peme-

liharaan rutin yang harus direncanakan dengan matang

dan berjangka panjang. Untuk efisiensi dan optimalisasi

biaya, prioritas pemeliharaan RTH dapat dibagi menjadi

RTH dengan pemeliharaan penuh (alun-alun, taman kota,

lapangan olahraga, jalur hijau jalan), pemeliharaan se-

dang (taman makam, jalur hijau bantaran sungai), tidak

dipelihara atau dibiarkan tumbuh alami (hutan kota, hutan

lindung, hutan mangrove).

1.2.3 Pembangunan Kota Versus Penghijauan Kota

Peningkatan upaya ‘penghijauan kota-kota’ Indonesia

umumnya sering dikalahkan karena beratnya pertimbang-

an ke arah pada lebih pentingnya peningkatan pemba-

ngunan fisik berbagai sarana dan prasarana perkotaan

lain, seperti pembangunan jalan dalam sistem transpor-

tasi, perindustrian, bangunan permukiman (tunggal mau-

pun perumahan seperti ’real estates’) dan kegiatan pem-

bangunan fisik lain, seringkali mengakibatkan luasan RTH

semakin menurun, yang disadari atau pun tidak sering di-

sertai oleh semakin menurunnya mutu lingkungan hidup.

Hal ini akan mengakibatkan kota menjadi “sakit”, kotor,

tercemar dan “rusak” yang sering dikemukakan oleh

Budihardjo (1993) dalam berbagai kesempatan sebagai:

”kota yang sakit” atau ”bunuh diri ekologis”. Dalam ke-

adaan yang menyedihkan seperti ini, para pejabat peme-

rintah mungkin tidak lagi dapat berpikir tenang, tajam dan

terarah, sehingga kemampuannya dalam memecahkan

masalah yang kompleks dan perlu lebih memandang ke

depan (bersifat futuristik), akan menurun.

Penduduk kota berkemungkinan besar terpapar dan

keracunan gas CO, CO2, NOX, SOX, O3, CH, partikel Pb

dan TSP (total suspended particulate dan/atau debu),

berasal dari emisi kendaraan bermotor dan industri. Aki-

batnya, tingkat kesehatan menurun, bahkan pada tingkat

yang lebih parah lagi, dapat memamatikan. Kemungkinan

34 Pendahuluan

besar terjadinya bencana seperti telah ditulis dalam ”The

Silent Spring” oleh Rachel Carson (1962) Purnomohadi

(2002) secara garis besar menggambarkan betapa sepin-

ya musim semi yang lazimnya ramai-meriah dengan ane-

ka-warna tanaman serta hewan-hewan terutama burung,

tidak terjadi lagi karena lingkungan sudah demikian rusak

dan tercemar, sehingga tak ada lagi kehidupan di musim

semi yang biasanya ’ceria’ itu. Gejala seperti ini mung-

kin sudah mulai merambah dan menghantui kota besar

seperti Jakarta, antara lain ditandai oleh udara kota yang

semakin panas serta udara yang terasa menyesakkan

dada dan memedihkan mata di sekitar terminal-terminal

kendaraan umum, dan seterusnya. Untuk menghindari

keadaan tersebut, maka pada waktu-waktu tertentu,

penduduk kota yang mampu merasa perlu untuk sesekali

bepergian ke luar kota yang sejuk, bersih dan tidak bis-

ing, seperti: Puncak, Cipanas, Cisarua, Gadog dan Ciawi

sampai ke luar negeri, atau rekreasi dan pertemuan bila

kegiatan tersebut dilakukan di Jakarta pada ruangan

yang ber-Air Condition.

Pada keadaan ”kota yang sakit” tersebut, maka unjuk

tampil (performance) dan unjuk kerja (productivity) dari

subjek penting perkotaan, seperti yang telah disebutkan

di atas menjadi buruk, akhirnya kekuatan dan masa de-

pan bangsa dan negara pun akan menjadi semakin lemah

dan suram. Lain halnya dengan kota yang kualitas ling-

kungannya yang dikelola dan ditata dengan baik, mem-

pertimbangkan perlunya pembangunan RTH-Kota yang

akan mengurangi monotonitas, meningkatkan keindahan,

membersihkan lingkungan dari pencemaran, meredam

kebisingan, menjadi lebih alami dan beberapa keuntung-

an lainnya yang akan dijabarkan secara rinci pada bab

selanjutnya, sehingga semua warga kota dan tamu kota

dan negara akan betah, karena lingkungannya yang ber-

sih, nyaman dan indah. Mereka hidup dalam kesehatan,

keceriaan dan kecerahan dengan unjuk tampil dan unjuk

kerja yang tinggi. Dengan demikian negara akan menjadi

kuat dengan masa depan yang baik dan cerah.

1.3 RTH SEBAGAI UNSUR UTAMA TATA RUANG KOTA

Buku ini disusun untuk siapa saja yang memerlukan

informasi umum tentang RTH Kota. Di dalamnya dijelas-

kan pengertian umum, peran dan fungsi serta manfaat

RTH ditinjau dari berbagai segi pengamatan berdasar

Gambar 1.17: Hubungan antara ekosistem darat dan laut.

(Bengen, 2006, halaman 77)

35Pendahuluan

pada data dan informasi primer berupa hasil-hasil pene-

litian, maupun dari data dan informasi sekunder, umum-

nya merupakan kompilasi dari berbagai makalah yang

disusun penulis-penulis sebelumnya, sebagai materi ajar

atau sekedar informasi umum yang telah dimuat dalam

berbagai media komunikasi, termasuk jurnal dalam dan

luar negeri, surat kabar, majalah dan seterusnya. Sejak

diterbitkannya Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 14,

tahun 1988 tentang Pengelolaan RTH Kota, sampai kini

tak kunjung diikuti oleh semacam pedoman teknis dan

atau pedoman pelaksanaan yang lebih rinci dalam me-

nyambut dan mendukung pola swadaya kepemerintahan

di daerah sebagaimana diharapkan

Pada awalnya (sejak tahun 1965-an) melalui berbagai

upaya sosialisasi dan peningkatan kesadaran masyara-

kat akan pentingnya eksistensi RTH, mengingat fungsi

pokoknya sebagai pendukung utama keberlanjutan peri-

kehidupan warga kota, maka berbagai program peles-

tarian fungsi lingkungan perkotaan (program-program

penghargaan kebersihan lingkungan kota, pentingnya

penataan RTH, semacam taman lingkungan atau taman

kota) sebenarnya adalah demi kemaslahatan hidup warga

kota itu sendiri.

Berbagai media sosialisasi RTH kota telah lama dilak-

sanakan, ’resmi’ oleh pemerintah, maupun oleh lembaga

swadaya masyarakat (LSM) dan berbagai Yayasan terkait,

sadar ataupun tidak telah semakin mampu meningkatkan

kepedulian pengelola dan warga kota untuk mendorong

dan mendukung eksistensi (keberadaan) RTH berapa-

pun luasannya. Semakin disadari, bahwa RTH perlu ada

di antara struktur bangunan (hutan) beton sebagai pelu-

nak dan penyejuk lingkungan. Bahkan pemerintah kota

propinsi DKI Jakarta, telah menetapkan beberapa Per-

aturan Daerah (Perda) sejak tahun 1970-an untuk men-

dukung eksistensi RTH ini demi penyeimbang kondisi

lingkungan terbangun di perkotaan yang kemudian diikuti

pula oleh kota-kota besar lain di seluruh Indonesia.

Permasalahan degradasi lingkungan hidup perkota-

an digambarkan dari semakin mewabahnya penyakit-

penyakit akibat kualitas lingkungan yang semakin mem-

buruk bahkan sulit diatasi, sebagai akibat tidak adanya

ruang bagi penampung buangan kegiatan manusia

berupa limbah padat maupun limbah cair yang semakin

menumpuk dan mengalir tidak terkendali yang menjadi

wadah yang subur bagi media pertumbuhan penyakit.

Pencemaran berbagai media lingkungan, apakah itu

badan air, tanah ataupun udara telah terjadi secara nyata,

sedangkan Undang-undang No. 24, Tahun 1992 tentang

Penataan Ruang, telah mengatur bahwa pada hakekat-

nya ruang terbagi ke dalam dua kategori, yaitu kawasan

budidaya atau terbangun, dan kawasan lindung (alami,

konservasi). Walau telah ada peraturannya, namun pada

kenyataannya telah terjadi degradasi kualitas lingkungan

air, udara dan tanah di hampir seluruh wilayah kota, kare-

na lemahnya penegakan hukum.

Berbagai kondisi lingkungan yang negatif tersebut,

memacu kejadian kerusakan lingkungan kota menjadi

berantai dan kait mengkait. Pada kawasan permukim-

an kota tepi air misalnya, masalah klasik adalah ben-

cana banjir, pada kawasan pesisir terjadi kerusakan dan

pencemaran pantai. Adanya ’ROB’ atau genangan air laut

ke arah darat, seperti di muara kali Semarang misalnya,

tentunya membawa kerusakan akibat pengaruh air asin,

atau intrusi air laut yang mengisi kantong-kantong air ta-

36 Pendahuluan

nah (aquifer). Pada kota-kota di daerah lereng pegunung-

an terjadi tanah longsor dan juga banjir (lumpur) antara

lain akibat kurang atau tidak adanya tanaman yang bisa

mengikat atau menahan air hujan yang terakumulasi, ter-

utama bila terjadi curah air hujan tinggi.

Upaya-upaya pelestarian fungsi lingkungan dengan

menyisihkan sebagian ruang kota, terutama di wilayah-

wilayah yang rawan bencana, harus segera dilaksanakan.

Artinya ruang-ruang yang rawan tersebut bukan diproyek-

sikan untuk permukiman, seperti tepian badan air (sungai,

danau/dam atau laut), atau mendirikan bangunan pada

lereng yang relatif curam. Ruang untuk menampung keg-

iatan konservasi lingkungan kota harus dikaitkan dengan

RTRWK dan Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTR).

Perlu adanya pengertian dari seluruh warga penghuni

kota, bahwa terdapat hubungan sangat strategis an-

tara Pembangunan Kota dan RTRWK (yang di dalamnya

mengandung rencana RTH) merupakan rencana pem-

bangunan kota-kota layak huni (Eco-cities). Rencana

pembangunan kota yang layak huni tersebut harus terus

disebar-luaskan sehingga sebab akibat dari perkembang-

an kota yang baik atau yang buruk dapat diketahui selu-

ruh warga kota.

Pola konsepsi hijau, di mana sebaiknya jenis atau tipe

RTH itu harus ditempatkan, serta ketergantungan pada

pentingnya pemilihan jenis tanaman pembentuknya di-

uraikan dalam pemilihan beberapa jenis tanaman con-

toh serta fungsi-fungsi khusus berbagai jenis tanaman

pembentuk RTH. Perkembangan pengelolaan RTH, serta

hubungannya satu sama lain diterangkan ke dalam bab-

bab ’anatomi’ kota, seperti sesosok tubuh manusia, yang

juga terdiri dari berbagai anggota badan seperti kaki, ta-

ngan, dan yang penting menjaga agar ’tetap bisa hidup’.

Kota juga mempunyai alat bernapas seperti paru-paru

dan jantung, kemudian alat pencernaan dengan bagian-

bagiannya, sebagai instrumen metabolisme kota yang

layak huni itu (liveable city).

Berbagai skala kebutuhan RTH hendaknya disesuai-

kan dengan standar-standar pengelolaan RTH kota, yang

sesuai pula dengan fungsinya, serta pendekatan partisi-

patif harus pula dilakukan secara terus-menerus.

Secara umum diinformasikan pula beberapa peng-

alaman, baik dalam pengelolaan RTH di dalam negeri

maupun di negara lain, khususnya di kota-kota negara

tropis, seperti di Propinsi DKI Jakarta sendiri, di Suraba-

ya, sedikit disinggung penataan sampah dan pengelolaan

air limbah di Kuala Lumpur, Malaysia, dan ’Negara Kota

Taman’ Singapura. Untuk negara maju telah dipilih kota

Osaka yang terletak di negara empat musim, dimana

tiap-tiap musim mempunyai nilai fungsi lingkungan dan

panorama lansekap kota yang khas, dengan bunga na-

sionalnya ’sakura’, serta secara konsisten mempertah-

ankan kekayaan budaya lokal.

Membangun dan mengelola Kota Taman Tropis ter-

masuk persebaran serta sifat dan tipologinya, hendaknya

mengikuti kaidah-kaidah dasar pengelolaan lingkungan

hidup (PLH) dalam sistem jaringan perencanaan arsitek-

tur lansekap bagi RTH kota umumnya, termasuk juga apa

yang disebut taman kota metropolitan (A Metropolitan

Park System).

Dalam membangun dan mengelola taman tropis se-

layaknya disesuaikan pula dengan iklim setempat dan

kekayaan SDA-tropis Indonesia yang sangat beragam

dari barat, kota Sabang di propinsi Nangroe Aceh Darus-

37Pendahuluan

salam sampai kota Merauke di ujung timur Irian Barat ba-

gian timur, masing-masing kota tersebut perlu berusaha

untuk mempertahankan nilai-nilai ethno-bio-geografi

lingkungan lokalnya, misalnya melalui pengkayaan jenis

tanaman dalam RTH serta kegiatan-kegiatan yang sesuai

dengan peruntukkannya.

Pembentukan kota taman di Indonesia bertujuan

untuk mencapai ”Lingkungan Kota Taman Tropis” yang

aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan, dengan ber-

bagai kebhinekaan namun menyatu dalam Negara Kepu-

lauan Republik Indonesia.

Gray dan Cullen (1981), dalam makalahnya: ”Res-

ponding to Change in A Park System”, mengatakan bah-

wa sistem ruang terbuka (RT) di Kota Canberra, ibukota

Australia sengaja direncanakan dan dirancang sedemiki-

an rupa sehingga memberi peluang yang fleksibel apabila

suatu saat dibutuhkan perubahan pemanfaatan ruang.

Melalui sistem perencanaan dan perancangan dalam

20 tahun, Pemerintah Kota Canberra dianggap berhasil

karena mengikuti beberapa prinsip:

(1) Dipeliharanya sistem RT melalui hubungan kuat dan

saling dukung dalam diskusi yang matang di antara

para perencana, perancang dan pengelola kota, se-

belum ada keputusan bersama antar ketiga kelompok

disiplin tersebut ;

(2) Perencanaan RT didasarkan pada pelayanan sesuai

jumlah penduduk, melalui pertimbangan bahwa yang

penting bukan luasnya, tetapi arti dan kreasi sebuah

RT yang efisien dalam segala hal, antara lain dari segi

biaya pemeliharaan;

(3) Sistem RT dapat lebih berhasil bila ada korelasinya

antar satu RT dengan lain RT yang berdekatan, sebab

dapat dimulti-fungsikan;

(4) Dalam perencanaan, perancangan dan pengelolaan RT

dibutuhkan konsep pendekatan ’spektrum’, artinya

berbagai variabel fungsi dan standar lokal untuk peme-

liharaan, misalnya dapat diadopsi sebagai bagian dari

sistem yang komprehensif.

Adanya kolaborasi dalam sistem pengelolaan lim-

bah padat atau sampah (organik dan an-organik) skala

lingkungan perumahan dengan RTH, misalnya dengan

meletakkan TPS (Tempat Pembuangan Sementara) pada

suatu sudut Taman Hutan Kota atau jalur hijau (green belt)

kota yang cukup luas dengan jarak tertentu dari permu-

kiman sedemikian rupa sehingga tidak mencemari atau

menimbulkan bau serta pemandangan yang tidak sedap

namun dapat dijangkau oleh warga setempat. Sistem ini

telah diterapkan di kota-kota Provinsi Wurtenberg, di Jer-

man Selatan.

Penulisan buku bertujuan agar setiap perencanaan,

perancangan dan pengelolaan RTH kota, dapat selalu

didasarkan pertama-tama pada pertimbangan perlunya

menyisihkan sebagian ’ruang hidup’ sebagaimana aslinya

agar apabila terjadi perubahan ’alam’ yang merugikan,

apakah akibat perilaku manusia ataupun akibat proses

alam yang terus bergerak dinamis, masih ada ”sepenggal

ruang asli tinggalan masa lalu” dimana kita semua dapat

belajar dari padanya.

Sambutan Emil Salim dalam Gunadi (2005)1, diberi

judul ’Alam Terkembang Jadi Guru’, adalah pepatah suku

Minangkabau yang menasehati agar kita semua patut

berguru kepada alam lingkungan yang terkembang luas

di sekeliling kita. Alam adalah ciptaan Tuhan dan memberi

kehidupan kepada semua makhluk. Apabila dapat kita

38 Pendahuluan

kembangkan pola hidup ’di mana pun’ manusia berada,

berdasar pada kearifan alam, maka akan langgenglah ke-

hidupan di dunia.

Selanjutnya dikatakan, bahwa manusia yang semula

hidup selaras bersama alam, maka dengan mengandal-

kan kemampuan berpikir dan inovasi serta kreativitasnya,

manusia mengembangkan ciptaan hasil pemikirannya

berupa kota dengan segala perangkat ’buatan manusia’

yang bisa memenuhi kebutuhan hidupnya, seperti per-

mukiman, energi (listrik, makanan), alat transportasi agar

bisa bergerak, berpindah-pindah (mobile), fasilitas air mi-

num, dan seterusnya. Makin lama manusia menjadikan

alam berjarak semakin ’jauh’ dengan dirinya karena lebih

mengejar pada pemenuhan kebutuhan diri sendiri, ma-

nusia lupa bahwa sebagai salah satu biota akan hidup

tergantung pada biota lain, seperti tanaman dan hewan

misalnya.

Karena kodrat alaminya yang sedemikian rupa itulah

maka pada suatu saat seperti pada saat ini, manusia

yang hidup dalam lingkungan perkotaan yang serba buat-

an ini, tetap akan merindukan suasana kehidupan yang

’kembali ke alam’ (back to nature) yang sudah tentu jauh

lebih sehat.

Gunadi (2005) selanjutnya mengutip gurunya itu pula,

dengan menuliskan uraian kata-kata dalam kalimat seba-

gai berikut: ”Yang cocok (suitable) akan menjadi sehat

(fit), yang sehat akan menjadi subur, yang sehat dan subur

akan menjadi kreatif, yang kreatif akan produktif, yang

produktif akan menjamin kelangsungan hidup”. Selanjut-

nya, kata McHarg : ”Lingkungan akan memberikan segala

apa yang diinginkan dan dibutuhkan manusia, apabila

manusia mengerti, menghormati dan menyayanginya”.

Ditutup oleh kata-kata Gunadi sendiri: ”Hanya di tangan

orang-orang yang arif, bijak dan peduli, lingkungan ini

akan selamat dan hidup ini akan berlanjut”.

RTH baik di kawasan perkotaan maupun perdesaan

adalah ”sepenggal alam” yang masih tersisa atau sengaja

disisakan guna mengimbangi lingkungan buatan (kota)

baik yang sengaja dirancang dan direncanakan melalui

kreativitas arsitektur lansekap maupun karena ’warisan’

wajah alami yang sengaja dibiarkan sedemikian agar kita

semua suatu saat masih memperoleh kesempatan untuk

dapat menikmatinya, langsung maupun tidak.

1.3.1 Kecenderungan dan Prediksi di Masa Depan

Tentang Penghijauan (RTH)-Kota.

Penghijauan (RTH)-kota masih menjadi hal yang perlu

diperhatikan secara serius terutama di kota-kota besar.

Di wilayah Jakarta Pusat, Provinsi DKI Jakarta, misal-

nya dengan pertambahan penduduk yang tidak pernah

turun, hingga saat ini sekitar 21,84 persen dari seluruh

luas wilayah (48,19 km2) ternyata masih tergolong lahan

kritis, kenyataannya, yang berhasil dihijaukan baru men-

capai 8,16 persen dari luas wilayah (Purnomohadi, 1994).

Idealnya, 30 persen dari luas wilayah seharusnya berupa

lahan (ruang) alami atau terbuka hijau. Untuk Jakarta dan

kota-kota besar lain yang pembangunan fisiknya sudah

amat pesat, disadari bahwa angka sebesar itu sungguh

tidak mungkin dicapai, atau harus ada upaya khusus un-

tuk pembebasan lahan yang tentu biayanya akan sangat

mahal.

Upaya penghijauan pernah dilakukan, antara lain

melalui program penanaman sejuta pohon atau kampa-

nye penghijauan yang gerakannya masih sporadis dan

39Pendahuluan

sewaktu-waktu, misalnya hanya pada Hari Lingkungan

HidupSedunia, atau Hari Cinta Puspa dan Satwa, Hari

Habitat, dan hari-hari peringatan lain yang sebagain be-

sar masih bersifat seremonial. Selama rentang waktu

lima tahun (1994-1997) pelaksanaan gerakan penanaman

sejuta pohon di kodya Bogor, misalnya, menghabiskan

swadaya murni dari masyarakat sebesar Rp 243.834.000

ditambah dana APBD (Tingkat II) Kodya Bogor untuk

gerakan yang sama dalam kurun waktu 1993-1997 sebe-

sar Rp 226.703.000 tentu saja dirasakan masih sangat

kurang.

Berdasar foto-foto satelit yang ada diketahui bahwa,

luas hutan di Jawa pada waktu itu (termasuk hutan-hutan

jatinya) hanya mencapai 12 persen dari seluruh pulau.

Sebelum perang dunia kedua luas hutan tersebut adalah

kurang lebih 30 persen, berarti eksploitasi hutan di pulau

Jawa telah banyak mengikis keseimbangan ekologis di

Pulau Jawa itu sendiri. Akibat yang nampak adalah erosi

atau tanah longsor yang berkepanjaangan dan terjadi di

mana-mana di Pulau Jawa ini (di Jember, Banjarnegara/

Batu Raden, dan lain-lain), polusi udara, kenaikkan suhu

udara dan masih banyak lagi dampak negatif yang tim-

bul. Dan yang menonjol akhir-akhir ini adalah timbul dan

semakin tumbuh-suburnya vektor penyakit (nyamuk,

lalat, unggas) yang sangat merugikan. Dengan semakin

tipisnya RTH sebagai ”paru-paru” kota di seluruh dunia

secara akumulatif, tentu akan berakibat fatal, dicirikan

dengan naiknya suhu bumi dan perobahan cuaca karena

kenaikan suhu bumi tidak hanya dialami oleh satu pulau

saja, tetapi akan terus merembet kepulau-pulau lain bah-

kan ke manca negara melampaui batas administratifnya

masing-masing.

Sekarang banyak pohon-pohon di daerah perkotaan

yang dipotong habis oleh Pemerintah Kota dengan alasan

mengganggu lalu lintas jalan dan instalasi listrik atau me-

nambah lebar jalur lalu lintas kendaraan bermotor. Bila

diamati lebih cermat, penebangan pohon-pohon tersebut

tidak diikuti dengan konservasi/upaya penanaman kem-

bali dengan pohon yang baru. Kepekaan para penentu

kebijakkan pembangunan kota termasuk masyarakat

umumnya sudah sangat kurang atau bahkan sama sekali

tidak ada akibat terbatasnya ruang gerak manusia kota,

namun terhadap pentingnya keberadaan pepohonan di

dalam kota tetap belum menjadi bahan pertimbangan

utama. Betapa ironisnya jika pepohonan itu justru diganti

dengan pohon buatan yang dihiasi dengan lampu ber-

warna-warni, ataupun terus ditebang dan dipindahkannya

pepohonan yang telah tumbuh sehat optimal ke tempat

lain, hanya dengan alasan untuk memperlebar jaringan

jalur jalan tertentu karena kemacetan yang semakin men-

Tabel 1.1 Konsep Dasar Pengelolaan Lahan

Konsep

Dasar

Kewilayahan

Karakteristik

Tipe-tipe Pengelolaan Lahan

Konservasi

Alami

Konservasi

Lansekap

Sistem

‘Ruang Hijau’

Daerah (wilayah)

terbuka

Konservatif

Daerah

Permukiman

Konstruktif

Lansekap, BENTANG ALAM (landscape), adalah suatu keadaan ‘ruang’

di ‘atas’ lahan, yang karena budi daya manusia kemudian dirobah

menjadi kawasan terbangun atau dibiarkan saja sebagai kawasan

lindung, dapat dikelompokkan pada tipe-tipe pengelolaan lahan.

(Takahashi, 1989)

40 Pendahuluan

jadi-jadi, bukan penyelesaian pada akar masalahnya,

misalnya peningkatan kuantitas dan kualitas serta moda

transportasi umum. Penataan ruang kota yang lebih bi-

jaksana melalui kebijakan kepemilikan kendaraan, pemba-

ngunan sarana dan prasarana yang menyebar ke seluruh

penjuru kota, termasuk dibangunnya area transit dari satu

moda ke moda transportasi lain. Dengan demikian maka

penduduk kota pun pasti mempertimbangkan kalau tidak

perlu benar, tidak perlu pergi dengan berkendaraan motor

(terutama pribadi) ke pinggiran kota untuk suatu keper-

luan dan sebaliknya. Commuter, bisa dikurangi melalui

pembangunan sarana dan prasarana kota (complex city)

yang memadai dan tersebar di seluruh wilayah Program

Bank Pohon. (Tabel 1.2)

Dalam upaya mempercepat terjadinya pemulihan

kerusakan ekologis seperti perbaikan siklus hidrologis,

Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) melalui Program

Bank Pohon membuat terobosan dan inovasi dalam

merehabilitasi lahan kritis, baik di wilayah perdesaan

maupun perkotaan wilayah di antaranya, mengingat se-

Tabel 1.2: Program Bank Pohon KLH tahun 2004, dimulai di akhir tahun 2002, menghasilkan:

*laporan Program bank Pohon, 2003

Initial

Planting

19-3-2004

10-6-2004

14-7-2004

27-7-2004

27-9-2004

Total*

Lokasi

penanaman

Kabupaten

Temanggung

DAS Kali

Pesanggrahan Jakarta

Kabupaten

Temanggung

Banjaran Wetan Kab.

Bandung

Kec. Mundu Kab.

Cirebon

Donatur

PT. Indah Kiat Pulp

and Paper

PT. Astra Agro

Lestari

PT. Riau Andalan

Pulp & Paper

PT. Kaltim Prima

Coal

PT. Indocement

Jumlah

bibit

40.000

500

200.000

30.000

35.000

305.829

Luas

lahan

160 ha

1.5 ha

2.000 ha

55 ha

36 ha

2.215

Jumlah

masyarakat

terlibat

387

200

1.771

103

91

2.552

Para pihak

- PEMDA Kab.

- Temanggung

- Kel. Tani & penduduk

Kel. Tani Sangga-buana

- PEMDA Tmg

- Penduduk

- UGM

- WPL Bojong

- PEMDA Kab. Bandung

- PEMDA Kab. Cirebon

- Yayasan Buruh & LH

41Pendahuluan

makin banyaknya perobahan tata guna lahan yang tidak

sesuai peruntukannya, maraknya penebangan hutan se-

cara liar serta menyusutnya RTH khususnya di lingkungan

perkotaan (KLH, 2003).

Program BANK POHON KLH merupakan program

penghijauan di lahan kritis dengan melibatkan kemi-

traan antara donatur (swasta), Pemerintah Daerah serta

masyarakat setempat. Program ini berbeda dengan pro-

gram-program penghijauan pemerintah yang pernah ada,

sehingga diharapkan tidak mengulang kekeliruan yang

telah dilakukan sebelumnya.

Tujuan dibentuknya program Bank Pohon adalah: (1)

menggalang aliansi, kemitraan dan kerjasama untuk me-

ningkatkan kegiatan penanaman pohon secara swadana

dan swadaya; (2) Menyediakan bibit pohon dan dana

untuk menggerakan penghijauan pada lahan kritis dan

daerah perkotaan (sementara ini) di pulau Jawa, Madura

dan Bali; (3) Mendukung pelaksanaan gerakan penghi-

jauan untuk memperbaiki lingkungan pada 16 Daerah

Aliran Sungai (DAS) dan atau beberapa Wilayah Sungai

dan perkotaan di Pulau Jawa, Madura dan Bali, yang di-

lakukan secara bertahap dan berkesinambungan. Lokasi

pelaksanaan penghijauan program Bank Pohon di luar

wilayah penanaman Program Gerakan Nasional Rehabili-

tasi Hutan dan Lahan (GNRHL).

Masyarakat yang diharapkan berpartisipasi menjadi

‘nasabah’ Program Bank Pohon adalah: Dunia usaha,

Asosiasi Profesi dan Bisnis, Organisasi Sosial, Perkum-

pulan Pencinta Tanaman (PPT), Lembaga Swadaya Ma-

syarakat (LSM), Lembaga Donor, serta perorangan yang

peduli lingkungan. Dengan demikian, kepedulian pihak

swasta dalam upaya merehabilitasi lahan kritis melalui

pemberdayaan masyarakat setempat dapat terfasilitasi

dalam program ini.

Penanaman perdana atau Initial Planting merupakan

tanda bahwa pada lokasi tersebut akan dilaksanakan

gerakan penghijauan oleh masyarakat yang tinggal pada

lahan kritis atas bantuan pihak swasta selaku donatur.

Keterlibatan para pemuka masyarakat peduli lingkungan

pada Initial Planting diharapkan dapat memberikan pu-

blikasi yang baik bagi masyarakat dan calon donatur lain

sebagai upaya sosialisasi pentingnya rehabilitasi lahan

kritis.

Pada tahap awal, kegiatan survei lokasi, kesediaan

masyarakat memelihara pohon, serta bimbingan pihak

PEMDA atau LSM setempat menjadi hal penting dalam

tahap persiapan sebelum penanaman. Penyesuaian pe-

nyumbangan donasi dengan kondisi tertentu menjadi

hal penting lain. Kesiapan masyarakat akseptor, menjadi

penentu kesuksesan penghijauan, dan perlu disampai-

kan kepada donatur sehingga dapat menjaga keperca-

yaan yang diberikan kepada Program Bank Pohon kantor

KLH.

Tahap penanaman diserahkan sepenuhnya kepada

masyarakat setempat dengan bimbingan LSM atau Pem-

da setempat menyesuaikan waktu tanam terbaik. Dana

terbatas untuk penanaman dan pemeliharaan awal dialo-

kasikan dari donasi penyumbang. Pada tahap ini, KLH

dan Pemda setempat memantau perkembangan pertum-

buhannya. Tahap evaluasi merupakan tahap akhir yang

penting dalam upaya pencatatan angka keberhasilan

maupun presentasi kegagalan penanaman. Hal ini diper-

lukan, mengingat KLH mempunyai kewajiban untuk me-

laporkan hasil kegiatan yang menuntut transparansi dan

42 Pendahuluan

akuntabilitas penggunaan dana dari donatur.

Program Bank Pohon KLH bukan satu-satunya upaya

penghijauan oleh dan untuk masyarakat, dalam Program

Warga Madani, Program Sejuta Pohon, dan program-

program lain terkait, seperti Adipura, Langit Bersih (Biru),

Prokasih, KLH juga selalu mengajak masyarakat untuk

menanam pohon. Selain itu bentuk kemitraan seperti

dalam program Bank Pohon KLH sudah diinisiasi juga

oleh beberapa stasiun radio dan harian berita, serta be-

berapa lembaga pemerintahan daerah (2004).

1.3. 2 Dampak Kurangnya Kehijauan dalam Kota

Terhadap Kesehatan

(1) Tidak terserap dan terjerapnya partikel timbal:

Kendaraan bermotor merupakan sumber utama timbal

yang mencemari udara di daerah perkotaan) (Goldmisth

dan Hexter, 1967; Krishnaya dan Bedi, 1986 dalam

Purnomohadi, 2002), diperkirakan sekitar 60-70%

partikel timbal di udara perkotaan berasal dari kenda-

raan bermotor. Hasil penelitian oleh: Dahlan(1989),

kemudian oleh Fakuara, Dahlan, Husin, Ekarelawan,

Danur, Pringgodigdo dan Sigit (1990) dalam Purnomo-

hadi 2002: dinyatakan, bahwa: damar (Agathis alba),

mahoni (Swietenia macrophylla), jamuju (Podocarpus

imbricatus) dan pala (Mirystica fragrans), asam landi

(Pithecelobiumdulce), johar (Cassia siamea), mempu-

nyai kemampuan yang sedang dan tinggi dalam menu-

runkan kandungan timbal dari udara. Untuk beberapa

tanaman berikut ini: glodogan (Polyalthea longifolia),

keben (Barringtonia asiatica) dan tanjung (Mimusops

elengi), walaupun kemampuan serapannya terhadap

timbal rendah, namun tanaman tersebut tidak peka

terhadap pencemar udara. Sedangkan untuk tanaman

daun kupu-kupu (Bauhinia purpurea) dan kesumba

(Bixa orellana) mempunyai kemampuan yang sangat

rendah dan sangat tidak tahan terhadap pencemar

yang dikeluarkan oleh kendaraan bermotor.

(2) Tidak terserap dan terjerapnya debu semen:

Debu semen merupakan debu yang sangat berbahaya

bagi kesehatan, karena dapat mengakibatkan penyakit

sementosis. Oleh karena itu debu semen yang terdapat

di udara bebas harus diturunkan kadarnya. Ketahanan

dan kemampuan dari jenis-jenis tanaman, antara lain:

mahoni (Swietenia macrophylla), bisbul (Diospyrosdis-

color), tanjung (Mimusops elengi), kenari (Canarium

commune), meranti merah (Shorealeprosula), kirai pa-

yung (Filicium decipiens), kayu hitam (Diospyros clebica),

duwet (Eugenia cuminii), medang lilin (Litsea roxburghii)

dan sempur (Dillenia ovata) akan berbeda-beda pula.

(Studi Irawati 1990 dalam Purnomohadi, 2002). Ha-

sil penelitian menunjukkan bahwa tanaman yang baik

dan dapat dipergunakan dalam program pengemban-

gan RTH-(taman hutan) kota di kawasan pabrik semen,

karena memiliki ketahanan yang tinggi terhadap pence-

maran debu semen dan kemampuan yang tinggi dalam

menjerap (adsorbsi) dan menyerap (absorbsi) debu se-

men adalah: mahoni, bisbul, tanjung, kenari, meranti

merah, kere payung dan kayu hitam. Sedangkan duwet,

medang lilin dan sempur kurang baik digunakan sebagai

tanaman untuk penghijauan di kawasan industri pabrik

semen. Ketiga jenis tanaman ini selain agak peka ter-

hadap debu semen, juga mempunyai kemampuan yang

rendah dalam menjerap dan menyerap partikel semen.

43Pendahuluan

(3) Tidak ternetralisirnya bahaya hujan asam:

Menurut Smith (1985), pohon dapat membantu dalam

mengatasi dampak negatif hujan asam melalui proses

fisiologis tanaman yang disebut proses gutasi. Proses

gutasi akan memberikan beberapa unsur di antaranya

ialah: Ca, Na, Mg, K dan bahan organik seperti glu-

matin dan gula (Smith, 1985). Menurut Henderson et.

Al, 1977 (dalam Purnomohadi 2002), bahan an-organik

yang diturunkan ke lantai hutan dari tajuk melalui pro-

ses throughfall dengan urutan K>Ca> Mg>Na baik un-

tuk tajuk dari tegakan daun lebar maupun dari daun

jarum. Hujan yang mengandung H2SO4 atau HNO3

apabila tiba di permukaan daun akan mengalami reak-

si. Pada saat permukaan daun mulai dibasahi, maka

asam seperti H2SO4 akan bereaksi dengan Ca yang

terdapat pada daun membentuk garam CaSO4 yang

bersifat netral. Dengan demikian pH air dari pada pH

air hujan asam itu sendiri. Dengan demikian adanya

proses intersepsi dan gutasi oleh permukaan daun

akan sangat membantu dalam menaikkan pH, se-

hingga air hujan menjadi tidak begitu berbahaya lagi

bagi lingkungan. Hasil penelitian Hoffman et al.,1980

(dalam Purnomohadi 2002), menunjukkan bahwa pH

air hujan yang telah melewati tajuk pohon lebih tinggi,

jika dibandingkan dengan pH air hujan yang tidak me-

lewati tajuk pohon.

(4) Tidak terserapnya Karbon-monoksida (CO)

Bidwell dan Fraser dalam Smith (1985) mengemukakan,

kacang merah (Phaseolus vulgaris) dapat menyerap gas

ini sebesar 12-120 kg/km2/hari. Mikro organisme serta

tanah pada lantai hutan mempunyai peranan yang baik

dalam menyerap gas ini (Bennet dan Hill,1975 dalam

Purnomohadi 2002). Tanah dengan mikro-organisme-

nya (Inman et.al dalam Smith, 1981) dapat menyerap

gas ini dari udara yang semula konsentrasinya sebesar

120 ppm (13,8x104 ug/m3) menjadi hampir mendekati

nol hanya dalam waktu 3 jam saja.

(5) Tidak terserapnya karbon-dioksida (CO2):

Hutan merupakan penyerap gas CO2 yang cukup pen-

ting, selain dari fito-plankton, ganggang dan rumput

laut di samudra. Dengan berkurangnya kemampuan

hutan dalam menyerap gas ini sebagai akibat menu-

runnya luasan hutan akibat perladangan, pembalakan

dan kebakaran, maka perlu dibangun RTH-(hutan)-

kota untuk membantu mengatasi penurunan fungsi

hutan tersebut. Cahaya matahari akan dimanfaatkan

oleh semua tumbuhan baik hutan kota, hutan alami,

tanaman pertanian dan lainnya dalam proses fotosin-

tesis yang berfungsi untuk mengubah gas CO2 dan air

menjadi karbohidrat dan oksigen. Dengan demikian

proses ini sangat bermanfaat bagi manusia, karena

dapat menyerap gas yang bila konsentrasinya mening-

kat akan beracun bagi manusia dan hewan serta akan

mengakibatkan efek rumah kaca. Di lain pihak proses

ini menghasilkan gas oksigen yang sangat diperlukan

oleh manusia dan hewan. Tanaman yang baik seba-

gai penyerap gas CO2 dan penghasil oksigen adalah:

damar (Agathis alba), daun kupu-kupu (Bauhinia pur-

purea), lamtoro gung (Leucaena leucocephala), akasia

(Acacia auriculiformis) dan beringin (Ficus benyamina)

(Widyastama, 1991 dalam Purnomohadi, 2002).

44 Pendahuluan

(6) Tidak teredamnya kebisingan:

Pohon dapat meredam suara melalui absorpsi gelom-

bang suara oleh daun, cabang dan ranting. Jenis tum-

buhan paling efektif sebagai peredam suara ialah yang

mempunyai karakteristik tertentu, seperti yang bertajuk

(kanopi) yang tebal, susunan cabang dan ranting yang

bertingkat-tingkat, serta dengan susunan daun yang

lebat dan rindang (Grey dan Deneke, 1978). Dengan

menanam berbagai jenis tanaman dalam berbagai

strata yang cukup rapat dan tinggi akan dapat mengu-

rangi kebisingan, khususnya sumber suara bising yang

berasal dari bawah, dedaunan tanaman dapat menye-

rap kebisingan sampai 95%.

(7) Tidak tertahannya hembusan angin:

Panfilov dalam Robinette (1983) mengemukakan, angin

kencang dapat dikurangi sampai sebesar 75-80% oleh

suatu penahan angin berupa struktur suatu RTH-(hu-

tan) kota. Dalam merancang RTH-kota untuk menahan

angin, faktor-faktor yang harus diperhatikan adalah:

1. Jenis tanaman yang ditanam adalah tanaman yang

memiliki dahan yang kuat.

2. Daunnya tidak mudah gugur oleh terpaan angin (ke-

cepatan sedang).

3. Akarnya menghunjam masuk ke dalam tanah. Jenis

ini lebih tahan terhadap hembusan angin yang besar

daripada tanaman yang akarnya bertebaran hanya di

sekitar permukaan tanah.

4. Memiliki kerapatan yang cukup (50-60%).

5. Tinggi dan lebar jalur RTH-(hutan) kota relatif cukup

besar, sehingga dapat melindungi wilayah sebaik mung-

kin sesuai yang diinginkan (Grey dan Deneke, 1978).

(8) Tidak terserap dan tertapisnya bau:

Daerah yang merupakan tempat penimbunan sampah

sementara (TPS) atau permanen (TPA), akan menge-

luarkan bau yang tidak sedap. Selain perlu upaya

untuk mengurangi timbulan (volume) sampah dari

sumbernya, maka tanaman tertentu dapat digunakan

untuk mengurangi bau. Tanaman dapat menyerap bau

secara langsung, atau tanaman pun dapat menahan

gerakan angin yang berasal dari sumber bau (Grey dan

Deneke, 1978). Hasilnya akan lebih baik lagi jika tana-

man yang ditanam dapat mengeluarkan bau harum

yang dapat menetralisir bau busuk baik dari bunga,

daun maupun tanaman secara keseluruhan tanaman

yang dapat menghasilkan bau harum antara lain tana-

man: bunga cempaka (Michelia champaka), tanjung

(Mimusops elengi), melati (Jasminum sambac), dan

masih banyak lagi jenis-jenis tanaman yang mampu

menahan atau menetralisir bau busuk.

Gambar 1.18: Menggunakan tanaman untuk mengurangi zat pencemar

udara, jenis tanaman dengan karakteristik fisik tertentu yang diatur

dengan cara tertentu pula, akan lebih efektif sebagai ”penyaring” zat

pencemar udara. (Spirn, 1947, hal 72)

45Pendahuluan

1.3.3 Contoh Penyelenggaraan yang Baik tentang

RTH-(Penghijauan)-Kota

Penyelenggaraan RTH-kota bertujuan untuk menjaga

kelestarian, keserasian dan keseimbangan ekosistem

perkotaan yang meliputi unsur-unsur lingkungan, sosial

dan budaya, sehingga diharapkan bahwa RTH-kota dapat

berfungsi untuk mencapai:

(1) Identitas Kota

Jenis tanaman dan hewan yang merupakan simbol

atau lambang suatu kota dapat dikoleksi pada areal

RTH-kota. Propinsi Sumatera Barat misalnya, flora

yang dipertimbangkan untuk tujuan tersebut di atas

adalah enau (Arenga pinnata) dengan alasan pohon

ini serba guna. Serta istilah pagar-ruyung menyiratkan

makna pagar enau. Jenis pilihan lainnya adalah kayu

manis (Cinnamomum burmanii), karena potensinya be-

sar dan banyak diekspor dari daerah ini (PKBSI, 1989).

Sedangkan untuk fauna yang diusulkan adalah: Trulek

kayu, pelatuk jambul jingga dan kambing gunung (Cap-

ricornis sumatranensis). Pilihan ini berdasar pada per-

timbangan-pertimbangan khas dan sedapat mungkin

berasal dari lingkungan lokal (endemik, PKBSI, 1989).

(2) Upaya Pelestari Plasma Nutfah

Plasma nutfah merupakan bahan baku yang penting

untuk pembangunan di masa depan, terutama di bi-

dang pangan, sandang, papan, obat-obatan dan in-

dustri. Penguasaannya merupakan keuntungan kom-

paratif yang besar bagi Indonesia di masa depan.

Oleh karena itu, plasma nutfah perlu terus dilestarikan

dan dikembangkan bersama untuk mempertahankan

keanekaragaman hayati. RTH-kota dapat dijadikan

sebagai tempat koleksi keanekaragaman hayati yang

tersebar di seluruh wilayah tanah air kita. Kawasan

RTH-kota dapat dipandang sebagai areal pelestari-

an di luar kawasan konservasi, karena pada areal ini

dapat dilestarikan flora dan fauna secara exsitu. Salah

satu tanaman langka yang dapat disebutkan adalah

nam-nam (Cynometra cauliflora), namun sudah dita-

nam kembali di kawasan ”Kebun Botani” Puspiptek

Serpong, serta telah tumbuh dengan baik (optimal).

(3) Penahan dan Penyaring Partikel Padat dari Udara

Udara alami yang bersih sering dikotori oleh debu, baik

yang dihasilkan oleh kegiatan alami maupun kegiatan

manusia. Dengan adanya RTH-kota, partikel padat yang

tersuspensi pada lapisan biosfer bumi akan dapat diber-

sihkan oleh tajuk pohon melalui proses jerapan dan sera-

pan. Dengan adanya mekanisme ini jumlah debu yang

melayang-layang di udara akan menurun. Partikel yang

melayang-layang di permukaan bumi sebagian akan

terjerap (menempel) pada permukaan daun, khususnya

daun yang berbulu dan yang mempunyai permukaan

yang kasar dan sebagian lagi terserap masuk ke dalam

ruang stomata daun. Ada juga partikel yang menempel

pada kulit pohon, cabang dan ranting. Daun yang berbu-

lu dan berlekuk seperti halnya daun Bunga Matahari dan

Kersen mempunyai kemampuan yang tinggi dalam men-

jerap partikel dari pada daun dengan permukaan yang

halus (Wedding et.al dalam Smith, 1981). Manfaat dari

adanya tajuk pada RTH-kota ini adalah menjadikan udara

yang lebih bersih dan sehat, jika dibandingkan dengan

kondisi udara pada kondisi tanpa tajuk di RTH-kota.

46 Pendahuluan

(4) Mengatasi genangan air

Daerah bawah yang sering digenangi air perlu ditanami

jenis tanaman yang mempunyai kemampuan evapo-

transpirasi tinggi. Jenis tanaman yang memenuhi kri-

teria ini adalah tanaman yang mempunyai jumlah daun

yang banyak, sehingga mempunyai stomata (mulut

daun) yang banyak pula. Menurut Manan (1976) tana-

man penguap yang sedang tinggi diantaranya adalah:

nangka (Artocarpus integra), albizia (Paraserianthes

falcataria), Acacia vilosa, Indigofera galegoides, Dal-

bergia spp., mahoni (Swietenia spp), jati (Tectona gran-

dis), ki hujan (Samanea saman) dan lamtoro (Leucanea

glauca).

(5) Produksi Terbatas

Penanaman dengan tanaman yang menghasilkan biji

atau buah dapat dipergunakan untuk berbagai macam

keperluan warga masyarakat dapat pula meningkatkan

taraf gizi/kesehatan dan penambah penghasilan ma-

syarakat. Buah kenari untuk kerajinan tangan. Tana-

man tanjung diambil bunganya. Buah sawo, kawista,

pala, lengkeng, duku, asem, menteng dan lain-lain

dapat dimanfaatkan oleh masyarakat guna meningkat-

kan gizi dan kesehatan warga kota.

(6) Ameliorasi Iklim

Salah satu masalah penting yang cukup merisaukan

penduduk perkotaan adalah berkurangnya rasa ke-

nyamanan sebagai akibat meningkatnya suhu udara di

perkotaan. RTH-kota dapat dibangun untuk mengelola

lingkungan perkotaan agar pada saat siang hari tidak

terlalu panas, sebagai akibat banyaknya permukaan

yang diperkeras, misal: jalan (beraspal maupun dari

beton), gedung bertingkat, jembatan layang, papan

reklame, menara, antene pemancar radio, televisi dan

lain-lain. Sebaliknya pada malam hari dapat lebih ha-

ngat karena tajuk pepohonan dapat menahan radiasi

balik (re-radiasi) dari bumi (Grey dan Deneke, 1978 dan

Robinette, 1983). Robinette (1983) lebih jauh menjelas-

kan, bahwa jumlah pantulan radiasi surya suatu RTH

sangat dipengaruhi oleh: panjang gelombang, jenis

tanaman, umur tanaman, posisi jatuhnya sinar surya,

keadaan cuaca dan posisi lintang. Suhu udara pada

daerah hijau lebih nyaman dari pada daerah tidak di-

tumbuhi oleh tanaman. Wenda (1991) telah melakukan

pengukuran suhu dan kelembaban udara pada lahan

yang bervegetasi dengan berbagai kerapatan, tinggi

dan luasan dari RTH-kota di Bogor yang dibandingkan

dengan lahan pemukiman yang didominasi oleh tem-

bok dan jalan aspal, hasilnya yaitu bahwa:

1. Pada areal bervegetasi suhu hanya berkisar 25,5-

31,0° C dengan kelembaban 66-92%.

2. Pada areal yang kurang bervegetasi dan didominasi

oleh tembok dan jalan aspal suhu yang terjadi 27,7-

33,1° C dengan kelembaban 62-78%.

3. Areal padang rumput mempunyai suhu 27,3-32,1° C

dengan kelembaban 62-78%. Bahkan pada musim

panas tahun 2006 ini (bulan September-Oktober) be-

berapa hari suhu di perkotaan telah mencapai antara

36-17 derajat Celsius.

Koto (1991) juga telah melakukan penelitian di bebe-

rapa tipe vegetasi di sekitar Gedung Manggala Wana-

bakti. Dari penelitian ini dapat dinyatakan, RTH berupa

Taman Hutan Kota di kawasan tersebut, terjadi suhu

47Pendahuluan

udara paling rendah, jika dibandingkan dengan suhu

udara di taman parkir, padang rumput dan beton di ka-

wasan lain.

(7) Pengelolaan Sampah

RTH-kota dapat diarahkan untuk pengelolaan sam-

pah, yaitu dapat berfungsi sebagai: (1) penyekat bau;

(2) penyerap bau; (3) pelindung tanah hasil bentukan

dekomposisi dari sampah, dan (4) penyerap zat yang

berbahaya (dan beracun/B3) yang mungkin terkan-

dung dalam sampah seperti logam berat, pestisida

serta B3 lain.

(8) Pelestarian Air Tanah

Sistem perakaran tanaman dan serasah yang berobah

menjadi humus akan memperbesar jumlah pori-pori ta-

nah. Karena humus bersifat lebih higroskopis dengan

kemampuan menyerap air yang besar (Bernatzky,

1978). Maka kadar air tanah hutan akan meningkat.

Pada daerah hulu yang berfungsi sebagai daerah re-

sapan air, hendaknya ditanami dengan tanaman yang

mempunyai daya evapotranspirasi rendah. Di samping

itu sistem perakaran dan serasahnya dapat memper-

besar porositas tanah, sehingga air hujan banyak yang

meresap masuk ke dalam tanah sebagai air infiltrasi

dan hanya sedikit yang menjadi air limpasan (surface

run off). Jika hujan lebat terjadi, maka air hujan akan

turun masuk meresap ke lapisan tanah yang lebih

dalam menjadi air infiltrasi dan air tanah (aquifer). De-

ngan demikian RTH-kota yang dibangun pada daerah

resapan air dari kota yang bersangkutan akan dapat

membantu mengatasi masalah kekurangan air baku

(air dengan kualitas yang baik). Menurut Manan (1976)

tanaman yang mempunyai daya evapotranspirasi yang

rendah antara lain: cemara laut (Casuarina equisetifo-

lia), Ficus elastica, karet (Hevea brasiliensis), manggis

(Garcinia mangostana), bungur (Lagerstroemia specio-

sa), Fragraea fragrans dan kelapa (Cocos nucifera).

(9) Penapis Cahaya Silau

Manusia sering dikelilingi oleh benda-benda yang

dapat memantulkan cahaya seperti kaca, aluminium,

baja, beton dan air. Apabila permukaan yang halus

dari benda-benda tersebut memantulkan cahaya dari

depan, akan terasa sangat menyilaukan, dan akan

mengurangi daya pandang pengendara. Oleh sebab

itu, cahaya silau tersebut perlu untuk dikurangi bahkan

kalau mungkin dapat sama sekali dihilangkan. Keefek-

tifan pohon dalam meredam dan melunakkan cahaya

tersebut bergantung pada ukuran dan kerapatannya.

Pohon dapat dipilih berdasar ketinggian optimal mau-

pun kerimbunan tajuknya.

(10) Meningkatkan Keindahan

Manusia dalam hidupnya tidak saja membutuhkan

tersedianya makanan, minuman, udara bersih dan

sejuk, namun juga membutuhkan keindahan. Keindah-

an merupakan pelengkap kebutuhan rohani. Benda-

benda di sekeliling manusia dapat ditata dengan indah

menurut garis, bentuk, warna, ukuran dan teksturnya

(Grey dan Deneke, 1978), sehingga dapat diperoleh

suatu bentuk komposisi yang menarik. Benda-benda

buatan manusia, walaupun mempunyai bentuk, war-

na dan tekstur yang sudah dirancang sedemikian

48 Pendahuluan

rupa tetap masih mempunyai kekurangan yaitu tidak

alami, sehingga boleh jadi tidak segar tampaknya di

depan mata. Akan tetapi dengan menghadirkan po-

hon ke dalam sistem tersebut, maka keindahan yang

telah ada akan lebih sempurna, karena lebih bersifat

alami yang baik sadar maupun tidak sangat disukai

setiap manusia. Tanaman dalam bentuk, warna dan

tekstur tertentu dapat dipadu dengan benda-benda

buatan seperti gedung, jalan dan sebagainya untuk

mendapatkan komposisi yang baik. Peletakan dan

pemilihan jenis tanaman harus sedemikian rupa, se-

hingga pada saat pohon tersebut telah dewasa akan

sesuai dengan kondisi yang diharapkan. Warna daun,

bunga atau buah dapat dipilih sebagai komponen

yang kontras atau untuk memenuhi rancangan yang

bernuansa (bergradasi) lembut. Komposisi tanaman

dapat diatur dan diletakkan sedemikian rupa, sehingga

pemandangan yang kurang enak dilihat seperti: tem-

pat pembuangan sampah, pemukiman kumuh, rumah

susun dengan jemuran yang beraneka bentuk dan

warna, pabrik dengan kesan yang kaku dapat sedikit

ditingkatkan citranya menjadi lebih indah, sopan, ma-

nusiawi dan akrab dengan hadirnya RTH-kota di sana

sebagai tabir penyekat.

(11) Sebagai Habitat Burung

Masyarakat modern kini cenderung kembali ke alam

(back to nature). Desiran angin, kicauan burung dan

atraksi satwa lainnya di kota diharapkan dapat meng-

halau kejenuhan dan stress yang banyak dialami pen-

duduk perkotaan. Salah satu jenis satwa liar yang

dapat dikembangkan di perkotaan adalah burung. Bu-

rung perlu dilestarikan, mengingat mempunyai man-

faat yang tidak kecil artinya bagi masyarakat, antara

lain (Hernowo dan Prasetyo, 1989) :

• Membantu mengendalikan serangga hama,

• Membantu proses penyerbukan bunga,

• Mempunyai nilai ekonomi yang lumayan tinggi,

• Burung memiliki suara yang khas yang dapat me-

nimbulkan suasana yang menyenangkan,

• Burung dapat dipergunakan untuk berbagai atraksi

rekreasi,

• Sebagai sumber plasma nutfah,

• Objek untuk pendidikan dan penelitian.

Beberapa jenis burung sangat membutuhkan pohon

sebagai tempat mencari makan maupun sebagai tem-

pat bersarang dan bertelur. Pohon Kaliandra di anta-

ranya disenangi burung pengisap madu. Pohon jenis

lain disenangi oleh burung, adalah juga karena berulat

yang dapat dimakan oleh jenis burung lainnya. Namun

demikian, akibat negatif yang timbul dengan berlang-

sung ketidakseimbangan antara daerah terbangun dan

tidak terbangun ini antara lain, burung akhirnya bisa

menjadi salah satu pembawa (vektor) penyakit ‘avian

flu’ yang cukup mengkhawatirkan dan telah menimbul-

kan kematian akibat virus H5N1 yang dibawanya.

Menurut Ballen (1989), beberapa jenis tumbuhan yang

banyak didatangi burung antara lain :

• Kiara, caringin dan loa (Ficus spp.) F. benjamina, F.

variegata, dan F. glaberrima buahnya banyak dimak-

an oleh burung seperti punai (Treron sp.).

• Dadap (Erythrina variegata). Bunganya menghasil-

kan nektar. Beberapa jenis burung yang banyak di-

49Pendahuluan

jumpai pada tanaman dadap yang tengah berbunga

antara lain: betet (Psittacula alexandri), serindit (Lo-

riculus pusillus), jalak (Sturnidae) dan beberapa jenis

burung madu.

• Dangdeur (Gossampinus heptaphylla). Bunganya

yang berwarna merah menarik burung ungkut-ung-

kut dan srigunting.

• Aren (Arenga pinnata). Ijuk dari batangnya sering di-

manfaatkan oleh burung sebagai bahan untuk pem-

buatan sarangnya.

• Bambu (Bambusa spp.). Burung blekok (Ardeola spe-

ciosa) dan manyar (Ploceus sp.) bersarang di pucuk

bambu. Sedangkan jenis burung lainnya seperti:

burung cacing (Cyornis banyumas), celepuk (Otus

bakkamoena), sikatan (Rhipidura javanica), kepala

tebal bakau (Pachycephala cinerea) dan perenjak

kuning (Abroscopus superciliaris) bertelur pada pang-

kal cabangnya, di antara dedaunan dan di dalam

batangnya.

(12) Mengurangi Stress (tekanan mental)

Kehidupan masyarakat di kota besar menuntut aktivitas,

mobilitas dan persaingan yang tinggi. Namun di lain pi-

hak Lingkungan Hidup-kota mempunyai kemungkinan

yang sangat tinggi untuk tercemar, baik oleh kendara-

an bermotor, industri maupun permukiman yang tidak

“berwawasan lingkungan”. Petugas lalu lintas sering

bertindak galak serta pengemudi dan pemakai jalan

lainnya sering mempunyai temperamen yang tinggi

diakibatkan oleh cemaran timbal dan karbon-monok-

sida (Soemarwoto, 1975). Oleh sebab itu gejala stress

(tekanan psikologis) dan tindakan ugal-ugalan sangat

mudah ditemukan pada anggota masyarakat yang

tinggal dan berusaha di kota atau mereka yang hanya

bekerja untuk memenuhi keperluannya saja di kota.

Program pembangunan dan pengembangan RTH-kota

dapat membantu mengurangi sifat yang negatif terse-

but. Kesejukan dan kesegaran yang diberikannya akan

menghilangkan kejenuhan dan kepenatan. Cemaran

timbal, CO, SOX, NOX dan lainnya dapat dikurangi oleh

tajuk dan lantai RTH-kota. Kicauan dan tarian burung

akan menghilangkan kejemuan. RTH-kota juga dapat

mengurangi kekakuan dan monotonitas.

(13) Mengamankan Pantai Terhadap Abrasi

RTH-kota berupa formasi tanaman (hutan) mangrove

dapat bekerja meredam gempuran ombak dan dapat

membantu proses pengendapan lumpur di pantai. Den-

gan demikian hutan kota selain dapat mengurangi ba-

haya abrasi pantai, juga dapat berperan dalam proses

pembentukan daratan. Dalam antisipasi terjadinya ba-

haya gelombang pasang (tsunami, misalnya) tak hanya

tegakan mangrove saja yang mampu menahan terjangan

tenaga gelombang pasang yang kuat itu, namun hutan

mangrove di perairan pesisir sebaiknya dikombinasi den-

gan tanaman pantai lain, seperti: keben (Barringtonia asi-

atica), Nyamplung (Callophyllum innophyllum), Ketapang

(Terminalia catappa), cemara Angin (Cassuarina equiseti-

folia), kelapa (Cocos nucifera), waru (Hibiscus tiliaceus)

dan berbagai jenis-jenis semak dan rumput, seperti ka-

tang-katang Kangkung laut (Ipomoea pescaprae), Rum-

put lari-lari (Spinifex litoralis) dan Turnafortea argentea,

dan masih banyak lagi, saling bertautan dan membentuk

daerah penyangga (pelindung dari hantaman ombak).

50 Pendahuluan

(14) Meningkatkan Industri Pariwisata

Bunga bangkai (Amorphophallus titanum) di Kebun

Raya Bogor yang berbunga setiap 2-3 tahun dan

tingginya dapat mencapai 1,6 m, dan bunga Raflesia

Arnoldi di Bengkulu merupakan salah satu daya tarik

bagi turis domestik maupun manca-negara. Tamu-

tamu asing pun akan mempunyai kesan tersendiri, jika

berkunjung atau singgah pada suatu kota yang dileng-

kapi dengan RTH-kota yang unik, indah dan menawan,

baik itu di kawasan pantai, bukit atau pegunungan

maupun daerah di antaranya.

Gambar 1.19: Contoh-contoh beberapa Taman

Nasional “Sea-scape” atau pemandangan

lingkungan pesisir dan laut yang menyatu dan

dekat menempel dengan lingkungan daratan.

Foto-foto dari: TNL Bunaken, TNL Wakarabi,

TNL Takabonerate

BAB II RUANG TERBUKA HIJAU (RTH) KOTA 2.1. PENGERTIAN UMUM RTH Sebagai salah satu unsur kota yang penting khususnya dilihat dari fungsi ekologis, maka betapa sempit atau kecilnya ukuran RTH Kota (Urban Green Open Space) yang ada, termasuk halaman rumah/bangunan pribadi, seyogyanya dapat dimanfaatkan sebagai ruang hijau yang ditanami tetumbuhan. Dari berbagai referensi dan pengertian tentang eksistensi nyata sehari-hari, maka RTH dapat dijabarkan dalam pengertian, sebagai: Pengertian RTH, (1) adalah suatu lapang yang ditumbuhi berbagai tetumbuhan, pada berbagai strata, mulai dari penutup tanah, semak, perdu dan pohon (tanaman tinggi berkayu); (2) “Sebentang lahan terbuka tanpa bangunan yang mempunyai ukuran, bentuk dan batas geografis tertentu dengan status penguasaan apapun, yang di dalamnya terdapat tetumbuhan hijau berkayu dan tahunan (perennial woody plants), dengan pepohonan sebagai tumbuhan penciri utama dan tumbuhan lainnya (perdu, semak, rerumputan, dan tumbuhan penutup tanah lainnya), sebagai tumbuhan pelengkap, serta benda-benda lain yang juga sebagai pelengkap dan penunjang fungsi RTH yang bersangkutan” (Purnomohadi, 1995). Sedang Ruang Terbuka (RT), tak harus ditanami tetumbuhan, atau hanya sedikit terdapat tetumbuhan, namun mampu berfungsi sebagai unsur ventilasi kota, seperti plaza dan alun-alun. Tanpa RT, apalagi RTH, maka lingkungan kota akan menjadi ‘Hutan Beton’ yang gersang, kota menjadi sebuah pulau panas (heat island) yang tidak sehat, tidak nyaman, tidak manusiawi, sebab tak layak huni. Secara hukum (hak atas tanah), RTH bisa berstatus sebagai hak milik pribadi (halaman rumah), atau badan usaha (lingkungan skala permukiman/neighborhood), seperti: sekolah, rumah sakit, perkantoran,

bangunan peribadatan, tempat rekreasi, lahan pertanian kota, dan sebagainya), maupun milik umum, seperti: Taman-taman Kota, Kebun Raja, Kebun Botani, Kebun Binatang, Taman Hutan Kota/Urban Forest Park, Lapangan Olahraga (umum), Jalur-jalur Hijau (green belts dan/atau koridor hijau): lalu-lintas, kereta api, tepian laut/pesisir pantai/sungai, jaringan tenaga listrik: saluran utama tegangan ekstra tinggi/SUTET, Taman Pemakaman Umum (TPU), dan daerah cadangan perkembangan kota (bila ada). Lebih jelasnya, bila berdasar pada status penguasaan lahan, RTH kota dapat terletak di: • Lahan Kawasan Kehutanan, yurisdiksinya diatur oleh UU Nomor:

5/1967, tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan dan PP No. 63/2002, tentang Pengelolaan Hutan Kota. Berdasarkan fungsi hutannya, RTH Kawasan Hutan Kota dapat berupa Hutan Lindung, Hutan Wisata, Cagar Alam, dan Kebun Bibit Kehutanan.

• Lahan Non-Kawasan Hutan, yurisdiksinya diatur oleh UU No.5/1960, tentang Peraturan-peraturan Pokok Agraria. Menurut kewenangan pengelolaannya berada di bawah unit-unit tertentu, seperti: Dinas Pertamanan, Dinas Pertanian dan Kehutanan, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Pemakaman, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, dan lain-lain atau bentuk kewenangan lahan lain yang dimiliki atau dikelola penduduk.

Menurut Gunadi (1995) dalam perencanaan ruang kota (townscapes) dikenal istilah Ruang Terbuka (open space), yakni daerah atau tempat terbuka di lingkungan perkotaan. RT berbeda dengan istilah ruang luar (exterior space), yang ada di sekitar bangunan dan merupakan kebalikan ruang dalam (interior space) di dalam bangunan. Definisi ruang luar, adalah ruang terbuka yang sengaja dirancang secara khusus untuk kegiatan tertentu, dan digunakan secara intensif, seperti halaman sekolah, lapangan olahraga, termasuk plaza (piazza) atau square.

Sedang: ‘zona hijau’ bisa berbentuk jalur (path), seperti jalur hijau jalan, tepian air waduk atau danau dan bantaran sungai, bantaran rel kereta api, saluran/ jejaring listrik tegangan tinggi, dan simpul kota (nodes), berupa ruang taman rumah, taman lingkungan, taman kota, taman pemakaman, taman pertanian kota, dan seterusnya, sebagai Ruang Terbuka (Hijau).

II - 1

Ruang terbuka yang disebut Taman Kota (park), yang berada di luar atau di antara beberapa bangunan di lingkungan perkotaan, semula dimaksudkan pula sebagai halaman atau ruang luar, yang kemudian berkembang menjadi istilah Ruang Terbuka Hijau (RTH) kota, karena umumnya berupa ruang terbuka yang sengaja ditanami pepohonan maupun tanaman, sebagai penutup permukaan tanah. Tanaman produktif berupa pohon bebuahan dan tanaman sayuran pun kini hadir sebagai bagian dari RTH berupa lahan pertanian kota atau lahan perhutanan kota yang amat penting bagi pemeliharaan fungsi keseimbangan ekologis kota. Berdasar batasan umum, maupun kewenangan pengelolaan, meskipun sudah ada beberapa peraturan daerah khusus RTH kota dan peraturan lain terkait, namun tetap masih diperlukan pengaturan lebih lanjut, yang dikaitkan dengan terbitnya beberapa undang-undang lain, seperti: UU No. 4/1982 yang telah disempurnakan menjadi UU No. 23/1997 tentang Pokok-pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, UU No. 4/1992 tentang Perumahan dan Permukiman, UU No. 5/1992 tentang Benda Cagar Budaya, UU No. 24/1992 tentang Penataan Ruang, UU No. 18/1999 tentang Jasa Konstruksi, dan UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah. Keterbatasan lahan hijau dan masih kuatnya egoisme sektoral menuntut perlunya peraturan daerah tersendiri yang mengatur kebijakan, seperti perlunya penggantian tembok pembatas antar gedung bertingkat yang masif dengan pepohonan dan taman berfungsi peneduh khususnya pada iklim tropis seperti kota-kota di Indonesia, hingga dapat menyatu dengan trotoar yang berada di tepian badan jalan. Untuk menjaga ketertiban, maka peraturan tersebut antara lain juga akan menyangkut pembayaran biaya parkir di halaman gedung. Berdasarkan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio de Janeiro, Brazil (1992) dan dipertegas lagi pada KTT Johannesburg, Afrika Selatan 10 tahun kemudian (2002, Rio + 10), disepakati bersama bahwa sebuah kota idealnya memiliki luas RTH minimal 30 persen dari total luas kota. Tentu saja ‘angka’ ini bukan merupakan patokan mati. Penetapan luas RTH kota harus berdasar pula pada studi eksistensi sumber daya alam dan manusia penghuninya. Penetapan besaran luas RTH ini bisa juga disebut sebagai bagian dari pengembangan RTH kota. Disayangkan, bahwa dalam hal pengelolaan

RTH Kota agar tetap bisa eksis, bahkan kualitas maupun kuantitas RTH-nya bisa terus meningkat, nampak kurang konsistennya Pemerintah Daerah DKI-Jakarta. Hal ini dapat dilihat dari pengamatan sebagai berikut: jika target luas RTH dalam Rencana Induk Djakarta 1965-1985 adalah 37,2 persen (sangat ideal), maka dalam Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) Jakarta 1985-2005, target tersebut turun menjadi 25,85 persen (masih cukup ideal). Namun, dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Jakarta 2000-2010, target luas RTH menyusut hanya sebesar 13,94 persen (9.545 hektar, tidak ideal). Sementara luas RTH di lapangan, hanya berkisar 9.04 persen (6.190 hektar, atau ‘kritis’) dari total luas kota Jakarta yang 66.152 hektar tersebut. Target yang ‘semakin menyempit’ itu pun, konon sulit direalisasikan, akibat terus adanya tekanan pertumbuhan dan kebutuhan sarana dan prasarana kota, seperti struktur fisik bangunan dan panjang jalur jalan yang semakin meningkat yang sejalan pula dengan peningkatan jumlah penduduk. Hal ini merupakan salah satu bukti kurang dihargainya eksistensi RTH yang sering di’korbankan’ padahal sebenarnya bernilai ekologis dan ekonomis tinggi, bagi terwujudnya lingkungan kota yang sehat, secara fisik maupun psikologis. Pada kenyataannya, formula rumusan penentuan luas RTH kota yang memenuhi syarat lingkungan kota yang ‘berkelanjutan’ ini, masih bersifat kuantitatif dan tergantung dari banyak faktor penentu, antara lain: geografis, iklim, jumlah dan kepadatan penduduk, luas kota, kebutuhan akan oksigen, rekreasi, dan banyak faktor lain. Dapat disimpulkan, bahwa sehubungan dengan tuntutan waktu dan meningkatnya jumlah penduduk dengan segala aktivitas dan keperluan, seperti cukup tersedianya ‘ruang rekreasi’ gratis, maka sebuah kota dimanapun dan bagaimanapun ukuran dan kondisinya, pasti semakin memerlukan RTH yang memenuhi persyaratan, terutama kualitas keseimbangan pendukung keberlangsungan fungsi kehidupan, adanya pengelolaan dan pengaturan sebaik mungkin, serta konsistensi penegakan hukumnya.

II - 2

2.2. MASALAH URBANISASI DAN KEPERI-ADAAN RTH DALAM PENATAAN RUANG PERKOTAAN (Dardak, 2005)

Dewasa ini pengelolaan ruang di kawasan perkotaan cenderung mengalami tantangan yang cukup berat akibat tingginya arus urbanisasi. Sementara di sisi lain, daya dukung lingkungan dan sosial yang ada juga menurun, sehingga tidak dapat mengimbangi kebutuhan akibat tekanan kependudukan. Tantangan lainnya berkaitan dengan tingginya tingkat konversi atau alih guna lahan dari lahan (terutama lahan-lahan pertanian menjadi daerah terbangun) yang menimbulkan dampak terhadap rendahnya kualitas lingkungan perkotaan. Data yang ada menunjukkan tingkat konversi lahan pertanian di Indonesia rata-rata mencapai 150 ribu hektar setiap tahunnya (BPS, 2003). Hal-hal tersebut diperburuk oleh lemahnya penegakan hukum dan penyadaran masyarakat terhadap aspek penataan ruang kota sehingga menyebabkan munculnya permukiman kumuh di beberapa ruang kota dan menimbulkan masalah kemacetan akibat tingginya hambatan samping di ruas-ruas jalan tertentu.

Gambar 1. Perkembangan Penduduk Kota

Data tentang kependudukan yang ada menunjukkan bahwa jumlah penduduk perkotaan di Indonesia menunjukkan perkembangan yang cukup pesat. Pada 1980 jumlah penduduk perkotaan baru mencapai 32,8 juta jiwa atau 22,3 persen dari total penduduk nasional. Pada tahun 1990 angka tersebut meningkat menjadi 55,4 juta jiwa atau 30,9 persen, dan menjadi 90 juta jiwa atau 44 persen pada tahun 2002. Terakhir berdasarkan perhitungan BPS dan Bappenas persentasi penduduk perkotaan pada 2005 telah mencapai 48,3 persen. Angka tersebut diperkirakan akan mencapai 150 juta atau 60 persen dari penduduk Indonesia pada tahun 2015 (lihat Gambar 1).

0 20 40 60 80 100

Tokyo

Jakarta

Paris

London

Vancouver

Berlin

New York

Curitiba

Vienna

Stockholm

RTH per kapita, m2/pddk

Urbanisasi di Indonesia

0.0%

10.0%

20.0%

30.0%

40.0%

50.0%

60.0%

70.0%

80.0%

1960 1970 1980 1990 2000 2005 2015 2025

Tahun

Pers

en P

ddk

Kot

a, %

0.0%

0.5%

1.0%

1.5%

2.0%

2.5%

3.0%

3.5%

Pert

umbu

han,

%

Pertumbuhan Penduduk Kota

Gambar 2. Luas RTH di Beberapa Kota Dunia

Jumlah penduduk perkotaan yang terus meningkat dari waktu ke waktu tersebut akan memberikan implikasi pada tingginya tekanan terhadap pemanfaatan ruang kota, sehingga penataan ruang kawasan perkotaan perlu mendapat perhatian yang khusus, terutama yang terkait dengan penyediaan kawasan hunian, fasilitas umum dan sosial serta ruang-ruang terbuka publik (open spaces) di perkotaan. Menurunnya kuantitas dan kualitas ruang terbuka publik yang ada di perkotaan, baik berupa ruang terbuka hijau (RTH) dan ruang terbuka non-hijau telah mengakibatkan menurunnya kualitas lingkungan perkotaan seperti seringnya terjadi banjir di perkotaan, tingginya polusi udara, dan meningkatnya kerawanan sosial (kriminalitas dan krisis social), menurunnya

II - 3

produktivitas masyarakat akibat stress karena terbatasnya ruang public yang tersedia untuk interaksi sosial. Kecenderungan terjadinya penurunan kualitas ruang terbuka public, terutama ruang terbuka hijau (RTH) pada 30 tahun terakhir sangat signifikan. Di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Medan dan Bandung, luasan RTH telah berkurang dari 35% pada awal tahun 1970an menjadi kurang dari 10% pada saat ini. RTH yang ada sebagian bersar telah dikonversi menjadi infrastruktur perkotaan seperti jaringan jalan, gedung-gedung perkantoran, pusat perbelanjaan, dan kawasan permukiman baru. Jakarta dengan luas RTH sekitar 9 persen, saat memiliki rasio RTH per kapita sekitar 7,08 m2, relatif masih lebih rendah dari kota-kota lain di dunia (lihat Gambar 2). Dalam upaya mewujudkan ruang yang nyaman, produktif dan berkelanjutan, maka sudah saatnya kita memberikan perhatian yang cukup terhadap keberadaan ruang terbuka public, khususnya RTH. Untuk itu, Pemerintah, dalam hal ini Direktorat Jenderal Penataan Ruang, Departemen PU, telah merencanakan untuk memasukkan klausul pengaturan tentang RTH ini di dalam revisi UU 24/ 1992 tentang Penataan Ruang yang saat ini sedang dalam proses pembahasan. 2.2.1 Konsep Ruang Terbuka Hijau (RTH) Perkotaan Secara umum ruang terbuka publik (open spaces) di perkotaan terdiri dari ruang terbuka hijau dan ruang terbuka non-hijau. Ruang Terbuka Hijau (RTH) perkotaan adalah bagian dari ruang-ruang terbuka (open spaces) suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman dan vegetasi (endemik maupun introduksi) guna mendukung manfaat ekologis, sosial-budaya dan arsitektural yang dapat memberikan manfaat ekonomi (kesejahteraan) bagi masyarakatnya (Lokakarya RTH, 30 November 2005).

Gambar 3. Ruang Terbuka Publik (Open Space)

Sementara itu ruang terbuka non-hijau dapat berupa ruang terbuka yang diperkeras (paved) maupun ruang terbuka biru (RTB) yang berupa permukaan sungai, danau, maupun areal-areal yang diperuntukkan khusus sebagai area genangan (retensi/retention basin). Secara fisik RTH dapat dibedakan menjadi RTH alami yang berupa habitat liar alami, kawasan lindung dan taman-taman nasional, maupun RTH non-alami atau binaan yang seperti taman, lapangan olah raga, dan kebun bunga. Multi fungsi penting RTH ini sangat lebar spektrumnya, yaitu dari aspek fungsi ekologis, sosial/budaya, arsitektural, dan ekonomi. Secara ekologis RTH dapat meningkatkan kualitas air tanah, mencegah banjir, mengurangi polusi udara, dan enurunkan suhu kota tropis yang panas terik. Bentuk-bentuk RTH perkotaan yang berfungsi ekologis antara lain seperti sabuk hijau kota, taman hutan kota, taman botani, jalur sempadan sungai dan lain-lain. Secara sosial-budaya keberadaan RTH dapat memberikan fungsi sebagai ruang interaksi sosial, sarana rekreasi, dan sebagai tetenger (landmark) kota yang berbudaya. Bentuk RTH yang berfungsi sosial-budaya antara lain taman-taman kota, lapangan olah raga, kebun raya, TPU, dan sebagainya.

II - 4

Gambar 4. Tipologi Ruang Terbuka Hijau Secara arsitektural RTH dapat meningkatkan nilai keindahan dan kenyamanan kota melalui keberadaan taman-taman kota, kebun-kebun bunga, dan jalur-jalur hijau di jalan-jalan kota. Sementara itu RTH juga dapat memiliki fungsi ekonomi, baik secara langsung seperti pengusahaan lahan-lahan kosong menjadi lahan pertanian/ perkebunan (urban agriculture) dan pengembangan sarana wisata hijau perkotaan yang dapat mendatangkan wisatawan.

Gambar 5. Tanaman Endemik sebagai Tetenger

Sementara itu secara struktur, bentuk dan susunan RTH dapat merupakan konfigurasi ekologis dan konfigurasi planologis. RTH dengan konfigurasi ekologis merupakan RTH yang berbasis bentang alam seperti, kawasan lindung, perbukitan, sempadan sungai, sempadan danau, pesisir dsb. RTH dengan konfigurasi planologis dapat berupa ruang-ruang yang dibentuk mengikuti pola struktur kota seperti RTH perumahan, RTH kelurahan, RTH kecamatan, RTH kota maupun taman-taman regional/ nasional. Sedangkan dari segi kepemilikan RTH dapat berupa RTH public yang dimiliki oleh umum dan terbuka bagi masyarakat luas, atau RTH privat (pribadi) yang berupa taman-taman yang berada pada lahan-lahan pribadi.

Gambar 6. Struktur RTH Perkotaan 2.2.2 Peran Penataan Ruang Perkotaan Perencanaan tata ruang wilayah perkotaan berperan sangat penting dalam pembentukan ruang-ruang publik terutama RTH di perkotaan.

II - 5

Gambar 7. Sistem Perencanaan Tata Ruang Perencanaan tata ruang perkotaan perkotaan seyogyanya dimulai dengan mengidentifikasi kawasan-kawasan yang secara alami harus diselamatkan (kawasan lindung) untuk menjamin kelestarian lingkungan, dan kawasan-kawasan yang secara alami rentan terhadap bencana (prone to natural hazards) seperti gempa, longsor, banjir maupun bencana alam lainnya. Kawasan-kawasan inilah yang harus kita kembangkan sebagai ruang terbuka, baik hijau maupun non-hijau. Dengan demikian perencanaan tata ruang harus dimulai dengan pertanyaan dimana kita tidak boleh membangun?

Gambar 8. Interaksi Tata Ruang & Transportasi

Rencana tata ruang perkotaan secara ekologis dan planologis terlebih dahulu mempertimbangkan komponen-komponen RTH maupun ruang terbuka publik lainnya dalam pola pemanfaatan ruang kota. Secara hirarkis, struktur pelayanan tipikal kota sebagaimana tercantum dalam Gambar 8 dapat menggambarkan bentuk akomodasi ruang terbuka publik dalam perencanaan tata ruang di perkotaan. 2.2.3 Peran dan Fungsi RTH Dalam masalah perkotaan, RTH merupakan bagian atau salah satu sub-sistem dari sistem kota secara keseluruhan. RTH sengaja dibangun secara merata di seluruh wilayah kota untuk memenuhi berbagai fungsi dasar yang secara umum dibedakan menjadi: Fungsi bio-ekologis (fisik), yang memberi jaminan pengadaan RTH

menjadi bagian dari sistem sirkulasi udara (’paru-paru kota’), pengatur iklim mikro, agar sistem sirkulasi udara dan air secara alami dapat berlangsung lancar, sebagai peneduh, produsen oksigen, penyerap air hujan, penyedia habitat satwa, penyerap (pengolah) polutan media udara, air dan tanah, serta penahan angin;

Fungsi sosial, ekonomi (produktif) dan budaya yang mampu menggambarkan ekspresi budaya lokal, RTH merupakan media komunikasi warga kota, tempat rekreasi, tempat pendidikan, dan penelitian;

Ekosistem perkotaan; produsen oksigen, tanaman berbunga, berbuah dan berdaun indah, serta bisa mejadi bagian dari usaha pertanian, kehutanan, dan lain-lain;

Fungsi estetis, meningkatkan kenyamanan, memperindah lingkungan kota baik (dari skala mikro: halaman rumah, lingkungan permukiman, maupun makro: lansekap kota secara keseluruhan). Mampu menstimulasi kreativitas dan produktivitas warga kota. Juga bisa berekreasi secara aktif maupun pasif, seperti: bermain, berolahraga, atau kegiatan sosialisasi lain, yang sekaligus menghasilkan ’keseimbangan kehidupan fisik dan psikis’. Dapat tercipta suasana serasi, dan seimbang antara berbagai bangunan gedung, infrastruktur jalan dengan pepohonan hutan kota, taman kota, taman kota pertanian dan perhutanan, taman gedung, jalur hijau jalan, bantaran rel kereta api, serta jalur biru bantaran kali.

II - 6

Gambar 9. RTH Publik dalam Tata Ruang Kota 2.2.4 Issue dan Tantangan Issue yang berkaitan dengan ruang terbuka publik antara lain RTH secara umum, terkait dengan beberapa tantangan tipikal perkotaan, seperti menurunnya kualitas lingkungan hidup perkotaan, bencana banjir/ longsor dan perubahan perilaku sosial masyarakat yang cenderung kontra-produktif dan destruktif seperti kriminalitas dan vandalisme. Dari aspek kondisi lingkungan hidup (LH), rendahnya kualitas air tanah, tingginya polusi udara dan kebisingan di perkotaan, merupakan hal-hal yang secara langsung maupun tidak langsung terkait dengan keberadaan RTH secara ekologis. Tingginya frekuensi bencana banjir dan tanah longsor di perkotaan dewasa ini juga diakibatkan karena terganggunya sistem tata air karena terbatasnya daerah resapan air dan tingginya volume air permukaan (run-off). Kondisi tersebut secara ekonomis juga dapat menurunkan tingkat produktivitas, dan menurunkan tingkat kesehatan dan tingkat harapan hidup

masyarakat. Di sisi lain, exposure terhadap polusi udara yang berlebihan dan terus-menerus dapat menyebabkan kelainan genetik dan menurunkan tingkat kecerdasan anak-anak di masa mendatang. Secara sosial, tingginya tingkat kriminalitas dan konflik horizontal di antara kelompok masyarakat perkotaan secara tidak langsung juga dapat disebabkan oleh kurangnya ruang-ruang kota yang dapat menyalurkan kebutuhan interaksi sosial untuk pelepas ketegangan (stress) yang relatif banyak dialami oleh masyarakat perkotaan. Rendahnya kualitas lingkungan perumahan dan penyediaan ruang terbuka publik, secara psikologis telah menyebabkan kondisi mental dan kualitas sosial masyarakat yang semakin memburuk dan menekan. Secara teknis, issue yang berkaitan dengan keperi-adaan RTH di perkotaan antara lain menyangkut terjadinya sub-optimalisasi penyediaan RTH baik secara kuantitatif maupun kualitatif, lemahnya kelembagaan dan SDM, kurangnya keterlibatan stakeholder dalam pengelolaan RTH, serta ’selalu’ terbatasnya ruang/lahan di perkotaan yang dapat digunakan sebagai RTH. Pada kenyataannya, sub-optimalisasi ketersediaan RTH terkait dengan kenyataan pada masih dari kurang memadainya proporsi wilayah yang dialokasikan untuk ruang terbuka, maupun rendahnya rasio jumlah ruang terbuka per kapita yang tersedia. Mengakibatkan semakin rendahnya tingkat kenyamanan kota, menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat dan secara tidak langsung menyebabkan hilangnya nilai-nilai budaya lokal (artefak alami dan nilai sejarah) akibat tergusur oleh kepentingan ekonomi yang pragmatis. Secara kelembagaan, masalah RTH terkait juga oleh belum adanya peraturan perundang-undangan (PUU) yang memadai tentang RTH, serta pedoman teknis pelaksanaan dalam pengelolaan RTH sehingga keberadaan RTH masih bersifat marjinal. Di samping itu, kualitas SDM yang tersedia juga harus ditingkatkan untuk dapat secara optimal dan lebih profesional mampu memelihara dan mengelola RTH. Di sisi lain, keterlibatan swasta dan masyarakat umumnya masih sangat rendah. Potensi pihak swasta dalam penyelenggaraan RTH masih belum banyak dimanfaatkan, sehingga pemerintah sering dan bahkan selalu terbentur pada masalah keterbatasan biaya dan anggaran.

II - 7

Walaupun secara teoritis dikatakan, bahwa ruang perkotaan yang tersedia makin terbatas, namun dalam kenyataannya banyak lahan-lahan tidur di perkotaan yang cenderung ditelantarkan dan kurang dimanfaatkan. Sementara ruang-ruang terbuka yang memang secara legal diperuntukkan sebagai RTH, kondisinya kurang terawat dan tidak dikelola secara optimal. Untuk meningkatkan keberadaan ruang publik, khususnya RTH di perkotaan, perlu dilakukan beberapa hal terutama yang terkait dengan penyediaan perangkat hukum, NSPM, pembinaan masyarakat dan keterlibatan para pemangku kepentingan dalam pengembangan ruang kota. Beberapa upaya yang akan dilakukan oleh Pemerintah ke depan antara lain adalah: Melakukan revisi UU 24/1992 tentang penataan ruang untuk dapat lebih

mengakomodasikan kebutuhan pengembangan RTH; Menyusun pedoman-pedoman pelaksanaan (NSPM) untuk

peyelenggaraan dan pengelolaan RTH; Menetapkan kebutuhan luas minimum RTH sesuai dengan karakteristik

kota, dan indikator keberhasilan pengembangan RTH suatu kota; Meningkatkan kampanye dan sosialisasi tentangnya pentingnya RTH

melalui gerakan kota hijau (green cities); Mengembangkan mekanisme insentif dan disinsentif yang dapat lebih

meningkatkan peran swasta dan masyarakat melalui bentuk-bentuk kerjasama yang saling menguntungkan;

Mengembangkan proyek-proyek percontohan RTH untuk berbagai jenis dan bentuk yang ada di beberapa wilayah kota.

RTH merupakan kebutuhan pokok kota, demi manfaat masa kini dan harapan untuk masa depan lingkungan kota yang manusiawi untuk kesehatan dan kesejahteraan penghuninya. Perencanaan pertamanan perkotaan (urban landscape planning) adalah bagian perencanaan lahan yang dinamis dalam tata ruang kota. Merencana kota pada hakekatnya ialah mengatur tempat untuk semuanya dan semua pada tempatnya. Guna menampung keinginan-keinginan semacam itu, secara garis besar telah tertuang dalam Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) dan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Sektor RTH meliputi kawasan industri, perumahan, perdagangan dan jasa, infrastruktur jalan, sistem drainase, dan prasarana lain seperti penanggulangan banjir.

Selanjutnya, peran, fungsi dan manfaat RTH tersebut di atas diuraikan secara rinci, sebagai berikut: Terjaminnya ketersediaan oksigen dalam jumlah yang cukup dan

menerus; Terciptanya iklim yang sehat, udara bersih bebas polusi; Terciptanya suasana teduh, nyaman, bersih dan indah; Terkendalinya sistem tata-air (hidrologi) optimal dan memungkinkan

adanya hasil sampingan berasal dari tanaman produktif yang sengaja ditanam di lokasi yang aman dari polusi pada media tanah, air dan udara;

Tersedianya sarana rekreasi dan wisata kota, yang sekaligus berfungsi sebagai habitat satwa;

Sebagai lokasi cadangan untuk keperluan sanitasi kota dan pemekaran kota;

Sebagai sarana penunjang pendidikan dan penelitian, serta jalur pengaman dalam penataan ruang kota.

2.3. MANFAAT RTH

Manfaat RTH kota secara langsung dan tidak langsung, sebagian besar dihasilkan dari adanya fungsi ekologis, atau kondisi ’alami’ ini dapat dipertimbangkan sebagai pembentuk berbagai faktor. Berlangsungnya fungsi ekologis alami dalam lingkungan perkotaan secara seimbang dan lestari akan membentuk kota yang sehat dan manusiawi. Manfaat tanaman sebagai komponen kehidupan (biotik) dan produsen primer dalam rantai makanan, bagi lingkungan dan sebagai sumber pendapatan masyarakat, semua orang sudah mengetahuinya. Proses fotosintesis telah diajarkan sejak sekolah dasar, di mana zat hijau (khlorofil) yang banyak terdapat dalam daun dengan bantuan energi matahari dan air, menghasilkan makanan, berupa karbohidrat, protein, lemak juga vitamin dan mineral, sangat berguna bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup lain. Tanaman adalah pabrik tanpa butuh bahan bakar fosil, bahkan dia adalah sumber karbon itu, sama juga tidak membutuhkan energi listrik atau api untuk memasak makanannya agar bisa terus tumbuh. Pabrik ini tidak mencemari media lingkungan, bahkan membantu ’membersihkan’ media

II - 8

udara yang kotor serta ’menyegarkan’ udara. Akar pohon berfungsi untuk menarik bahan baku dari dalam media tanah, antara lain berbagai macam mineral yang larut dalam air. Zat-zat tersebut ’dimasak’ dalam ’pabrik’ daun menghasilkan karbohidrat (tepung, gula, selulosa/serat), oksigen, yang seringkali disimpan dalam gudang berbentuk buah dan biji untuk sebagai agen pertumbuhan selanjutnya. 2.3.1 Manfaat bagi Kesehatan Tanaman sebagai penghasil oksigen (O2) terbesar dan penyerap karbon dioksida (CO2) dan zat pencemar udara lain, khusus di siang hari, merupakan pembersih udara yang sangat efektif melalui mekanisme penyerapan (absorbsi) dan penjerapan (adsorbsi) dalam proses fisiologis, yang terjadi terutama pada daun, dan permukaan tumbuhan (batang, bunga, dan buah).

Pembuktian, bahwa tumbuhan dapat efektif membentuk udara bersih, dapat dicermati dari hasil studi penelitian Bernatzky (1978: 21-24), yang menunjukkan bahwa setiap 1 hektar RTH, yang ditanami pepohonan, perdu, semak dan penutup tanah, dengan jumlah permukaan daun seluas 5 hektar, maka sekitar 900 Kg CO2 akan dihisap dari udara, dan melepaskan sekitar 600 Kg O2 dalam waktu 12 jam.

Hasil penelitian Hennebo (1955) menyimpulkan, bahwa terjadi pengendapan debu (aerosol) pada lahan terbuka dan khususnya pada hutan kota. Pengendapan debu dipengaruhi jarak RTH terhadap sumber debu, jenis dan konsentrasi debu, kondisi iklim, topografi, jenis, dan kelompok tanaman, serta struktur arsitektural RTH. 2.3.2 Ameliorasi Iklim Dengan adanya RTH sebagai ‘paru-paru’ kota, maka dengan sendirinya akan terbentuk iklim yang sejuk dan nyaman. Kenyamanan ini ditentukan oleh adanya saling keterkaitan antara faktor-faktor suhu udara, kelembaban udara, cahaya, dan pergerakan angin. Hasil penelitian di Jakarta, membuktikan bahwa suhu di sekitar kawasan RTH (di bawah pohon teduh), dibanding dengan suhu di ‘luar’nya, bisa

mencapai perbedaan angka sampai 2-4 derajat celcius (Purnomohadi, 1995). RTH membantu sirkulasi udara. Pada siang hari dengan adanya RTH, maka secara alami udara panas akan terdorong ke atas, dan sebaliknya pada malam hari, udara dingin akan turun di bawah tajuk pepohonan. Pohon, adalah pelindung yang paling tepat dari terik sinar matahari, di samping sebagai penahan angin kencang, peredam kebisingan dan bencana alam lain, termasuk erosi tanah. Bila terjadi tiupan angin kencang di ‘atas’ kota tanpa tanaman, maka polusi udara akan menyebar lebih luas dan kadarnya pun akan semakin meningkat. Namun demikian, cara penanaman tetumbuhan yang terlalu rapat pun, menyebabkan daya perlindungannya menjadi kurang efektif. Angin berputar di ’belakang’ kelompok tanaman, sehingga dapat meningkatkan polusi di wilayah ini. Penanaman sekelompok tumbuhan dengan berbagai karakteristik fisik, di mana perletakkan dan ketinggiannya pun bervariasi, merupakan faktor perlindungan yang lebih efektif. Carpenter (1975), mengatakan bahwa RTH Kota dengan ukuran ideal (0,4 Ha), mampu meredam 25-80% kebisingan. Ukuran seluas 2.500 m2 ini kemudian diambil sebagai patokan luas minimal sebuah Hutan Kota. Besaran daya peredaman yang merupakan proses fisika dan kimiawi yang dinamis tersebut, tentu saja sangat tergantung pula kepada besaran daya serap, daya jerap dan daya akumulatif tetumbuhan yang diatur memiliki beberapa strata ketinggian tersebut. Misal: Besaran daya peredaman, tergantung dari beberapa faktor, sebagai berikut: (1) Tipe tingkat intensitas kekuatan asal suara, (2) Tipe tinggi, kerapatan dan jarak RTH dari sumber suara, (3) Kecepatan dan arah angin, (4) Suhu dan kelembaban udara.

Ciri-ciri jenis tanaman yang dapat efektif meredam suara (kebisingan), ialah yang mempunyai karakteristik fisik umum di antara ciri-ciri kombinasi bertajuk rapat dan tebal, berdaun ringan serta mempunyai tangkai-tangkai daun. RTH sebagai pemelihara akan kelangsungan persediaan air tanah. Akar-akar tanaman yang bersifat penghisap, dapat menyerap dan

II - 9

mempertahankan air dalam tanah di sekitarnya, serta berfungsi sebagai filter biologis limbah cair maupun sampah organik. Salah satu referensi menyebutkan, bahwa untuk setiap 100.000 penduduk yang menghasilkan sekitar 4,5 juta liter limbah per hari, diperlukan RTH seluas 522 hektar. RTH sebagai penjamin terjadinya keseimbangan alami, secara ekologis dapat menampung kebutuhan hidup manusia itu sendiri, termasuk sebagai habitat alami flora, fauna dan mikroba yang diperlukan dalam siklus hidup manusia. RTH sebagai pembentuk faktor keindahan arsitektural. Tanaman mempunyai daya tarik bagi mahluk hidup, melalui bunga, buah maupun bentuk fisik tegakan pepohonannya secara menyeluruh. Kelompok tetumbuhan yang ada di antara struktur bangunan-kota, apabila diamati akan membentuk perspektif dan efek visual yang indah dan teduh menyegarkan (khususnya di kota beriklim tropis). RTH sebagai wadah dan obyek pendidikan, penelitian, dan pelatihan dalam mempelajari alam. Keanekaragaman hayati flora dan fauna dalam RTH kota, menyumbangkan apresiasi warga kota terhadap lingkungan alam, melalui pendidikan lingkungan yang bisa dibaca dari tanda-tanda (signage, keterangan) bertuliskan nama yang ditempelkan pada masing-masing tanaman yang dapat dilihat sehari-hari, serta informasi lain terkait. Dengan demikian, pengelolaan RTH kota akan lebih dimengerti kepentingannya (apresiatif) sehingga tertib. RTH sekaligus merupakan fasilitas rekreasi yang lokasinya merata di seluruh bagian kota, dan amat penting bagi perkembangan kejiwaan penduduknya. RTH sebagai jalur pembatas yang memisahkan antara suatu lokasi kegiatan, misal antara zona permukiman dengan lingkungan sekitar atau di ’luar’nya. RTH sebagai cadangan lahan (ruang). Dalam Rencana Induk Tata Ruang Kota, pengembangan daerah yang belum terbangun bisa dimanfaatkan untuk sementara sebagai RTH (lahan cadangan) dengan tetap dilandasi kesadaran, bahwa lahan cadangan ini suatu saat akan dikembangkan sesuai kebutuhan yang juga terus berkembang. Manfaat eksistensi RTH secara langsung membentuk keindahan dan kenyamanan, maka bila ditinjau dari segi-segi sosial-politik dan ekonomi,

dapat berfungsi penting bagi perkembangan pariwisata yang pada saatnya juga akan kembali berpengaruh terhadap kesehatan perkembangan sosial, politik dan ekonomi suatu hubungan antara wilayah perdesaan-perkotaan tertentu. 2.4. RTH DAN PERTAMANAN (LAND-SCAPE ARCHITECTURE)

PERKOTAAN Pembangunan bidang pertamanan (landscape architecture) di kota metropolitan, atau biasa disebut ’Metropolitan Park System” sebaiknya berorientasi pula kepada sumber yang telah ditetapkan pemerintah sebagai dasar kebijaksanaan pembangunan atau Rencana Induk Kota (RIK). Umumnya pembangunan ’lingkungan’ perkotaan adalah pembangunannya sebagian besar ’hanya’ merupakan perbaikan atau penambahan sarana dan prasarana kota yang semula ’sudah’ ada, namun tetap harus dilakukan secara berencana, dengan lebih memperhatikan keserasian hubungan antara kota terbangun dengan lingkungan alaminya, dan antara kota dengan daerah perdesaan sekitar atau kota pendukung (hinterland), serta keserasian dalam pertumbuhan kota itu sendiri. Kota sebagai konsentrasi permukiman dan kegiatan manusia, telah berkembang sangat pesat berikut dampaknya pada banyak kota di Indonesia. Kota dalam keterbatasan kemampuan, tetap menuntut adanya suatu kondisi fisik dan lingkungan yang sehat bagi warga kotanya. Pertambahan penduduk yang pesat senantiasa diiringi tuntutan ketersediaan prasarana, sarana, fasilitas pelayanan bagi kehidupan dan kegiatannya. Keterbatasan dana dan teknologi, penanganan dan pengelolaan kota yang kurang tepat, serta pertambahan penduduk kota yang pesat sebagai akibat kelahiran maupun urbanisasi, telah menimbulkan banyak masalah perkotaan yang seringkali menjadi berlarut-larut. Pengembangan dan pembangunan kota sangat bergantung pada faktor kuantitas dan kualitas penduduk, keluasan dan daya dukung lahan, serta keterbatasan kemampuan daerah itu sendiri. Gejala pembangunan, perkembangan dan pemekaran kota untuk memenuhi tuntutan dan pelayanan terhadap penduduk kota yang jumlahnya terus membengkak tersebut, seringkali menimbulkan kecenderungan menuju pembangunan

II - 10

maksimal struktur kota, ruang terbuka kota, dengan mudah menghilangkan atau mengorbankan eksistensi dan wajah alam. Lahan kota semakin tertutup oleh struktur (perkerasan/hard materials), dan permukaan air (sungai, rawa, pantai, dan lain-lain) yang berubah fungsi dan kualitasnya. Andalan kemampuan teknologi modern, telah mengembangkan pemikiran membangun kota yang seringkali mengabaikan sistem ekologi kota, bahkan berusaha merobah seluas mungkin eskosistem alam menjadi ekosistem buatan (artificial ecosystem). Maka, muncul dampak negatif pembangunan akibat perlakuan kurang wajar terhadap norma-norma dan kaidah-kaidah alam tersebut, seperti perubahan suhu kota, krisis air bersih, penurunan air tanah, amblasan tanah, banjir, intrusi air laut, abrasi pantai, kualitas udara memburuk, sungai mengering, dan berbagai polusi terhadap media lingkungan. Perencanaan RTH kota yang matang, dapat menjaga keseimbangan dan keharmonisan antara ruang terbangun dan ruang terbuka. Keselarasan antara struktur kota dengan wajah-wajah alami, mampu mengurangi berbagai dampak negatif akibat degradasi lingkungan kota dan menjaga keseimbangan, kelestarian, kesehatan, kenyamanan dan peningkatan kualitas lingkungan hidup kota. 2.5. PENGELOMPOKAN JENIS DAN LUAS RTH PEMBENTUK

KOTA Klasifikasi RTH sesuai pemanfaatannya dikelompokkan ke dalam kategori ruang-ruang terbuka, untuk: (1) Kesehatan, kesejahteraan, dan rekreasi umum (2) Preservasi sumber daya alam (SDA) dan lingkungan kehidupan (biota) (3) Keamananan umum (4) Produksi (5) Koridor (lorong) (6) Cadangan perluasan areal kota

Dalam pengelolaan RTH kota terkait pula sektor kehutanan, pertanian, peternakan, perikanan, tata pengairan, dan lain-lain, yang harus terencana terpadu, dalam suatu sistem RTH kota, sesuai dengan potensi dan daya dukung serta daya tampung lingkungan kota. RTH menentukan pola, bentuk

dan tata ruang kota sebagai sebuah kota yang dibangun dengan wawasan lingkungan. Bila kita memproyeksikan kebutuhan RTH berdasar jumlah penduduk, maka perlu dipakai suatu standar tertentu tentang kebutuhan hijau per kapita. Di berbagai kota dunia, standar semacam ini mempunyai varian atau spesifikasi tertentu, sesuai dengan kebutuhan, situasi dan kondisi, maupun sistem pembangunan dan pengembangan perkotaan. Kota-kota besar di Negeri Belanda mempergunakan standar 35-40 m2 hijau/kapita. Kondisi ini bisa dicapai karena pembangunan yang pesat setiap tahun hanya disertai pertambahan penduduk yang relatif sangat kecil. Pertamanan perkotaan merupakan salah satu bentuk dari arsitektur lansekap perkotaan, yang saling mengisi dan saling menunjang dengan disiplin terkait dalam satu kesatuan pengelolaan lingkungan perkotaan. Bersama disiplin lain, seperti arsitektur bangunan, perencanaan kota, teknik sipil, senirupa, sosial, budaya, ekonomi, psikologi dan pendidikan dan sebagainya, di mana masing-masing mempunyai peran dan fungsi yang jelas, harus bisa bekerjasama secara erat dalam membentuk lingkungan kota yang berwawasan lingkungan. Peranan arsitek lansekap secara profesional diakui oleh International Labour Organization (ILO), bersama disiplin sejenis yang tercantum dalam kode: 0-21. Architect and Town Planners 0-21.20 Building Architect 0-21.30 Town Planner 0-21.40 Landscape Architect Pengelompokan jenis dan penetapan luas RTH pembentuk lingkungan kota ini amat penting diperhatikan oleh disiplin atau unit pengelola lain dalam administrasi pemerintahan perkotaan yang saling mendukung, karena peran satu-sama lain merupakan kekuatan sinergis dalam upaya membentuk lingkungan kota yang layak huni (“manusiawi”). 2.5.1 Kelompok RTH Berkenaan dengan Peran dan Fungsinya Perencanaan kota berwawasan lingkungan (environmental city planning), dikelompokkan dalam berbagai jenis sesuai aspek fungsi ekologis, di mana

II - 11

terdapat zona (mintakat) terbangun: zona-zona permukiman/perumahan, industri, lalu-lintas, perdagangan, pariwisata, dan lain-lain, dan zona tidak terbangun berupa RTH. Untuk mempertahankan eksistensi RTH dalam lingkungan perkotaan, diperlukan unit khusus pengelola RTH. Keputusan membangun unit khusus ini, harus didasarkan pada kemauan politis (political will) pemerintah daerah secara bersama, tidak hanya institusi pemerintah saja. Kesadaran dan kearifan para pengelola atau pengambil kebijakan pembangunan lingkungan kota dalam unit khusus ini, akan sangat menentukan peningkatan kualitas dan fungsi lingkungan secara berkelanjutan, terutama dengan tetap mempertahankan keseimbangan antara daerah terbangun dan tidak terbangun, serta dapat bersinergi saling mendukung dengan unit pengelola lingkungan perkotaan lain, secara selaras, serasi dan seimbang. Pembahasan khusus tentang seluk-beluk pentingnya mempertahankan keberadaan RTH kota dalam pengelolaan lingkungan perkotaan, sudah sering dilakukan, namun sampai saat ini masih merupakan pertimbangan dan keputusan politis terakhir. Penyebab utama, adalah dasar kebijakan perlu dipertahankannya RTH itu, hanya pertimbangan nilai ekonomis jangka pendek, sehingga RTH justru seringkali tergusur. Padahal bila memperhitungkan biaya manfaat sumberdaya hayati RTH ditransfer ke dalam nilai ekonomis jangka panjang, berupa nilai keuntungan dari kemungkinan tetap dapat dimanfaatkan sumberdaya hayati secara berkelanjutan, maka kebijakan mempertahankan keberadaan RTH kota pasti akan dipilih. Krisis lingkungan hidup kota yang semakin parah, seperti kekurangan air bersih di musim kemarau semakin melebar ke skala regional di wilayah kota-kota kecil dan perdesaan, terutama di pulau Jawa. Penyebab pokok ketidak-seimbangan penataan antara ruang hijau dan ‘ruang abu-abu’, adalah peningkatan jumlah penduduk dengan keaneka-ragaman kegiatan, dan akibat kurang dipertimbangkannya kebijakan politis penataan ruang nasional dan kota untuk mempertahankan keberadaan manusia dan kemanusiaan. Perancangan kota lebih menitikberatkan pada struktur reorganisasi, berupa penataan fisik spasial, sedangkan berbagai organisasi sosial tidak mudah

mengikuti perubahan fisik spasial tersebut dan sebaliknya, sehingga menimbulkan konflik persepsi, nilai dan perilaku manusia terhadap lingkungan perkotaan. Dalam upaya memenuhi kebutuhan kota sehat sebagai tempat bermukim penduduknya dalam kondisi lingkungan yang ideal, maka jenis dan luas RTH perlu dijabarkan dan diperjelas masing-masing unit pembentuk RTH kota. 2.5.2 Jenis RTH Kota

Ditinjau dari sudut kepemilikan dan tanggung jawab, maka RTH dibagi ke dalam dua jenis : (1) RTH milik pribadi atau badan hukum, misal: halaman rumah tinggal,

perkantoran, tempat ibadah, sekolah atau kampus, hotel, rumah sakit, kawasan perdagangan (pertokoan, rumah makan), kawasan industri, stasiun, bandara, pelabuhan, dan lahan pertanian kota.

(2) RTH milik umum, yaitu lahan dengan tujuan penggunaan utamanya adalah ditanami berbagai jenis tetumbuhan untuk memelihara fungsi lingkungan, yang dikelola pemerintah daerah, dan dapat dipergunakan masyarakat umum, seperti taman rekreasi, taman olahraga, taman kota, taman pemakaman umum, jalur hijau jalan; bantaran rel kereta api, saluran umum tegangan ekstra tinggi (SUTET), bantaran kali, serta hutan kota (HK) konservasi, HK wisata, HK zona industri, HK antar-zona permukiman, HK tempat koleksi dan penangkaran flora dan fauna.

2.5.3 Pengelompokan RTH Kota Pada kasus kota Jakarta, RTH kota adalah sebagai bagian dari sektor lingkungan hidup dengan maksud agar pengelolaannya dapat lebih terencana, efektif dan terkoordinasi. Perincian RTH kota dibagi atas sub sektor pengelolaan pertamanan, kehutanan dan pertanian, pemakaman, perikanan, peternakan, olahraga, kebersihan dan pekerjaan umum (jalan, pengairan dan prasarana umum lain). Tipe-tipe pengelolaan lahan umumnya, termasuk RTH kota, dapat dibedakan berdasar perbedaan konsep perancangan sesuai kebutuhan, di mana manfaatnya pun bisa jadi

II - 12

tumpang tindih (UU No. 24/1992 Tentang Penataan Ruang), digambarkan sebagai berikut (Purnomohadi, 2002), dalam skala makro nasional, RTH alami sejak 200 tahun terakhir dibangun, sering disebut Taman Nasional (national park), dimulai di Amerika Serikat, adalah merupakan taman terbuka yang relatif luas, terletak jauh di luar wilayah perkotaan dan merupakan suatu daerah alami, sebagai tempat kehidupan flora dan fauna secara bebas, di mana sebagian wilayahnya sengaja ditata khusus, untuk kebutuhan rekreasi (intensive used area). Konsep dasar umum tentang pengelolaan lahan di Jepang mengikuti tabel 1 di bawah ini:

Tabel 1 : Konsep Dasar Pengelolaan Lahan (Takahashi, 1989) Tipe-Tipe Pengelolaan Lahan

Konsep Dasar Konservasi Alami Konservasi Lansekap

Sistem ‘Ruang Hijau’

Kewilayahan Daerah ‘Terbuka’ Daerah Permukiman Karakteristik Konservatif Konstruktif 2.6. PENTAHAPAN PENGEMBANGAN RTH

Pengadaan RTH bagi kota yang sudah terbangun tentu membutuhkan pemikiran-pemikiran yang dapat dipertanggung-jawabkan di kemudian hari. Relatif masih rendahnya kepedulian dan kesadaran perlunya eksistensi RTH, bahwa RTH Kota tak hanya berfungsi sebagai pengisi ruang-ruang di antara bangunan saja, namun adalah lebih luas dari itu. Dalam pembangunan kota berkelanjutan mutlak dipertimbangkan ada pembangunan RTH secara khusus, berdasar pada serangkaian fungsi penting RTH dalam Rencana Induk Kota baik dalam jangka pendek maupun panjang. 2.6.1 Pengembangan RTH Kota Jangka Pendek Refungsionalisasi dan pengamanan jalur-jalur hijau alami, seperti di sepanjang tepian jalan raya, jalan tol, bawah jalan layang (fly-over), bantaran kali, saluran teknis irigasi, tepian pantai, bantaran rel kereta api, jalur SUTET, Tempat Pemakaman Umum (TPU, makam), dan lapangan olahraga, dari okupasi permukiman liar. Mengisi dan memelihara taman-taman kota yang sudah ada, sebaik-baiknya dan berdasar pada prinsip fungsi pokok RTH (identifikasi dan keindahan) masing-masing lokasi.

Memberikan ciri-ciri khusus pada tempat-tempat strategis, seperti batas-batas kota, dan alun-alun kota. Memotivasi dan memberikan insentif secara material (subsidi) dan moral terhadap peran serta masyarakat dalam pengembangan dan pemeliharaan RTH secara optimal, baik melalui proses perencanaan kota, maupun gerakan-gerakan penghijauan. Prasarana penunjang dalam pengembangan RTH yang dibutuhkan, adalah tenaga-tenaga teknisi yang bisa menyampaikan konsep, ide serta pengalamannya dalam mengelola RTH, misal pada acara penyelenggaraan pelatihan dan pendidikan pada Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pusdiklat). Dibutuhkan sosialisasi dan penyuluhan secara berkala kepada pihak-pihak yang berkepentingan, maupun masyarakat umum secara luas. 2.6.2 Pengembangan RTH Kota Jangka Panjang Penyuluhan pengembangan RTH dapat dilakukan melalui instansi pemerintah daerah yang secara resmi ditunjuk dan erat kaitannya dengan penghijauan kota, mulai dari tingkat kota/kabupaten, camat, lurah/kepala desa, hingga lingkungan RT/RW, dewan legislasi, organisasi-organisasi kemasyarakatan, sekolah, pramuka, rumah sakit, perkantoran, dan berbagai bentuk media massa cetak (surat kabar, majalah, buletin) serta media elektronik (radio, televisi, internet). (Mas Yudhi mungkin bisa membentu menambahkan paragraf/kalimat?) 2.6.3 Perencanaan dan Pengendalian RTH Kota Inventarisasi potensi alam merupakan dasar kelayakan pembangunan RTH, khususnya sebagai dasar untuk menentukan letak dan jenis tanaman. Inventarisasi ini sangat diperlukan berdasar pada keterkaitan kondisi fisik, sosial dan ekonomi, meliputi pendataan keadaan iklim (curah hujan, arah angin, suhu dan kelembaban udara); data topografi dan konfigurasi kondisi alam adalah untuk menentukan tipe RTH kota; kemudian geologi, jenis tanah dan erodibilitas untuk penentuan jenis RTH; jaringan sungai, potensi dan pelestarian jenis, jumlah, dan kondisi fauna dan flora lokal. Umumnya keberadaan dan jenis fauna sangat berkaitan erat pula dengan jenis flora yang ada (existing, biota endemic).

II - 13

Penggunaan tanah (land use) dan keadaan yang mempengaruhinya perlu dikompilasi melalui pengumpulan data mengenai kedua hal tersebut, yaitu: meliputi penggunaan tanah serta penyebaran bangunan, daerah permukiman, perdagangan, industri, pusat pemerintahan, pusat perbelanjaan, tempat rekreasi, dan jaringan transportasi. Keadaan yang mempengaruhi penggunaan tanah adalah demografi jumlah dan persebaran penduduk, prosentase pertambahan jumlah, komposisi penduduk, dan keadaan sosial ekonomi. Kedua data ini dipergunakan untuk menentukan tipe, lokasi, dan jumlah RTH. Inventarisasi aktivitas dan permasalahannya meliputi data aktivitas yang dikumpulkan, terutama kegiatan-kegiatan yang bisa menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan. Tingkat atau besaran aktivitas akan menentukan luas RTH yang dibutuhkan dalam upaya menetralisir pengaruh negatif yang ditimbulkannya tersebut. Pengumpulan data fisik (utama), meliputi: • Jumlah dan laju pertambahan kebutuhan air dan oksigen; • Jumlah dan tingkat pertambahan penggunaan bahan bakar; • Jumlah dan laju pertambahan kendaraan bermotor; • Jumlah dan laju pembuangan limbah industri/rumah tangga; • Nilai kualitatif dan kuantitatif dari permasalahan lain yang sering timbul,

seperti banjir, intrusi air laut, abrasi, erosi amblasan tanah, dan tingkat pencemaran lain.

Kemudian, perlu disusun Rencana Kerja Berkala, meliputi Rencana Jangka Pendek, (Menegah), dan Panjang. Kebijakan umum pengembangan RTH, yang dilengkapi langkah-langkah pelaksanaan menurut waktu dan skala prioritas. Monitoring dan Evaluasi secara berkala dan terus menerus, guna mendapat data akurat yang dapat dipergunakan sebagai dasar perbaikan dan pengembangan di masa datang.

2.6.4 Pola Penyelenggaraan RTH Pelaksanaan pembangunan RTH sebaiknya dapat dilakukan sendiri oleh unit instansi pemerintah daerah yang ditunjuk sebagai pengelola RTH, berdasar tugas pokok dan fungsi serta bentuk dan kriteria unit tersebut,

atau, mungkin karena ada berbagai keterbatasan, mungkin pula untuk dikontrakkan sebagian atau seluruh pekerjaannya kepada pihak lain yang tentu harus bisa mengelola secara bertanggung jawab sampai dengan monitoring dan evaluasinya. Selaras dengan semangat otonomi daerah yang berdasar azas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas perbantuan, maka Organisasi Pengelolaan dan Pengembangan RTH kota dapat disusun sebagai berikut: Penanggungjawab: Kepala Wilayah (Bupati / Walikota). Perencana & Pengendali: Bappeda / Bapedalda / BLH / Unit PLH. Pelaksana: Dinas-dinas Tata Kota, Pertamanan, Pemakaman, Pertanian, Kehutanan, dan pemilik lahan (individu/swasta).

II - 14

BAB III PERMASALAHAN DEGRADASI LINGKUNGAN HIDUP PERKOTAAN 3.1. MASALAH-MASALAH UTAMA DAN KONSERVASI DI

BIDANG LINGKUNGAN HIDUP Sejak dimulainya era reformasi akhir 1997, pelaksanaan UU No. 22/1999 tentang Otonomi Daerah di tingkat Kabupaten atau Kota, ternyata semakin memperberat pembangunan di bidang lingkungan hidup. Perubahan kewenangan kepemerintahan yang mensyaratkan kesiapan berbagai pihak untuk dapat lebih meningkatkan kepemerintahan yang lebih baik, transparan, dan demokratis tidak berjalan mulus. Permasalahan pengelolaan lingkungan hidup (PLH), justru semakin banyak menghadapi kendala, sehubungan dengan semakin meningkatnya persepsi sebagian besar penentu kebijakan yang menganggap bahwa sudah tiba saatnya bagi semua orang untuk bisa mengeksplorasi SDA seluas-luasnya demi mendapatkan keuntungan dan manfaat (pendapatan asli daerah/PAD) yang lebih besar dalam waktu singkat, tanpa memperhitungkan keberlanjutan eksistensi SDA tersebut. Dalam lingkungan alam: terdapat empat komponen besar yang dalam jaringan kehidupan alamnya, yang saling mempengaruhi: (1) Udara (atmosfir): isi udara ini terpengaruh pembangunan, misalnya

pencemaran udara, akhirnya kembali mempengaruhi kualitas pembangunan itu sendiri. Udara sebagai wahana penyalur: energi matahari, gelombang suara dan listrik, udara bersih dan kotor, dan sebagainya;

(2) Air (hidrosfir): putaran tata air (siklus hidrologi), sangat berpengaruh kepada alam;

(3) Tanah dan mineral (geosfir): terdiri dari berbagai macam bahan hasil proses alamiah, termasuk berbagai macam mineral; dan

(4) Flora, Fauna dan mikroba (biomassa): sumber kehidupan biomassa, isinya beraneka-ragam, maka sistem lingkungan alam dalam keanekaragaman hayati (biodiversity) ini akan semakin stabil karena kekayaan keanekaragamannya (heterogenitas).

Namun demikian, teori tentang menjaga keseimbangan antara unsur alam dengan unsur binaan, tidak sungguh-sungguh diterapkan, sehingga beberapa permasalahan klasik masih ada, bahkan semakin meluas dan kompleks, yang diuraikan sebagai berikut: (1) Sebagai negara agraris (berbasis pertanian) dan (pernah) sebagai

penghasil utama beras, lingkungan kota telah menghadapi tekanan transformasi lahan, khususnya lahan subur di ’pinggiran/perbatasan’ kota, untuk kegiatan non pertanian. Tekanan terutama dari sektor industri yang penting bagi penyerapan tenaga kerja. Dengan sendirinya membutuhkan areal permukiman yang semakin luas pula. Keberadaan pertanian perkotaan di dalam lingkungan kota sebagai komponen utama RTH kota juga semakin tergusur.

(2) Sumber energi utama skala nasional, ternyata masih bertumpu pada kayu bakar, terutama bagi masyarakat yang saat ini (sekitar 60 persen) hidup di perdesaan, yang mengancam kelestarian kawasan hutan, di samping maraknya penebangan kayu ilegal, dan kebakaran hutan.

(3) Sedang sektor modern di perkotaan butuh energi yang terkonsentrasi dalam jumlah sangat besar, hingga pernah timbul pemikiran penggunaan tenaga nuklir sebagai peningkatan teknologi penyediaan energi. Pembangunan yang berbasis hemat energi, pemakaian energi terbarukan, dan ramah lingkungan, harus segera dilakukan di segala lini. Kebutuhan akan pangan dan energi kayu bakar menyebabkan tekanan pada sumber daya alam, hutan, tanah, air, dan udara.

Maka PLH kota, memerlukan: • Rasionalisasi penggunaan SDA, melalui upaya minimalisasi kerusakan

ekosistem, misalnya upaya perlindungan ekosistem, penggalakan pemanfaatan ulang dari sumber daya, yang biasa disebut: 7-RE yaitu serba daur-ulang dalam berbagai kegiatan dalam menggunakan bahan,

III - 11

yaitu: pemanfaatan ulang (reuse), mengurangi (reduce), mengganti (replace), mendesain (redesign), memfabrikasi (refactory), memperbaiki (recovery), dan mendaur ulang sumber daya (recycle) yang tersedia di lingkungan sekitar;

• Meningkatkan produksi pangan dengan pola pertanian se-efisien mungkin, serba hemat akan: ruang (lahan) dan SDA (air, lahan, dan hutan beserta isinya), serta peningkatan kualitas dan kuantitas keaneka-ragaman pangan;

• Mengusahakan penggunaan alternatif sumber energi kayu bakar, misal, briket arang dari sampah, tenaga matahari, tenaga angin dan bio-fuel.

Sedang pola perencanaan pemanfaatan ruang di luar Jawa, hendaknya dapat dikembangkan dengan sistem variabel lingkungan, yaitu melalui identifikasi potensi, mengkaitkan variabel lingkungan dalam proses perencanaannya, dan memperkirakan dampak positif maupun negatif.

Sebenarnya, struktur perekonomian tahun 1980-an dan sebelumnya, telah menitik-beratkan pada pentingnya pembangunan pertanian, khususnya pangan. Namun sehubungan dengan keyakinan akan ampuhnya sektor perindustrian, yang diterapkan tanpa mempertimbangkan keseimbangan pembangunan dengan sektor pendukung lain, maka pada akhir tahun 1997/awal tahun 1998, terjadilah krisis perekonomian yang memperburuk kondisi lingkungan Indonesia, dan yang hingga kini masih belum teratasi. Pemanfaatan SDA dan ruang secara rasional, lalu menerapkan kebijakan dan perimbangan pembangunan lebih ke arah sektor industri dan jasa yang seharusnya tetap berdasar pada pemilihan teknologi ramah lingkungan. Kebijakan pembangunan berkelanjutan yang menekan dampak negatif pencemaran sekecil mungkin, dan pertimbangan pada konsistensi perencanaan, penerapan dan evaluasi ‘Tata Ruang Terpadu’ di kalangan pemerintahan pusat dan daerah-daerah hendaknya terus diterapkan. Setelah penerapan pembangunan yang lebih mengarah pada jasa konstruksi dan pelayanan masyarakat, menimbulkan hal-hal berikut: (1) Urbanisasi meningkat dimana-mana dan konsentrasi penduduk akibat

proses industrialisasi melahirkan kota-kota baru yang seolah tak terencana. Padahal perkembangan perkotaan seharusnya seirama dengan kebutuhan dan pertumbuhannya pun harus direncanakan secara tepat demi tetap tercapainya kenyamanan hidup dalam

lingkungan yang sehat, misalnya terbentuknya keseimbangan antara ruang terbangun dan RTH secara proporsional, baik di wilayah perkotaan, perdesaan maupun pada daerah pendukung. Demi efisiensi ruang, pembangunan permukiman dan prasarana fisik diarahkan vertikal (rumah susun, jalan layang, optimalnya transportasi umum dalam berbagai moda);

(2) Sebagai negara kepulauan di mana tiga per empat wilayahnya berupa perairan, maka sudah saatnya bila sumber daya kelautan dijajaki sebagai sumber kehidupan alternatif, terutama didasarkan pada pertimbangan akan terbatasnya lahan (ruang) daratan, namun harus tetap mempertimbangkan dan menerapkan sistem pemanfaatan yang rasional dan bertanggung jawab;

(3) Akibat tekanan berbagai kegiatan pembangunan maka, media lingkungan (tanah, air, dan udara), untuk kelangsungan kehidupan manusia itu sendiri, kualitas fungsinya akan menurun, bila proses pemanfaatan SDA-nya tetap tidak/belum mempertimbangkan pemeliharaan demi kelangsungan keberadaannya.

Tanaman dan hewan semakin langka, baik jenis maupun jumlahnya antara lain akibat ruang hidup (habitat) yang semakin menyempit, maka perlu direncanakan ‘kantong-kantong hidup’ sebagai habitat ’baru’ mereka, sehingga keberadaannya dapat dipertahankan karena eksistensi manusia pun sangat tergantung pada biota lain. Dampak pembangunan akan mempengaruhi kualitas lingkungan, karena itu harus selalu diperhitungkan, baik dampak positif (ditingkatkan), atau dampak negatifnya (dikendalikan). Dampak dapat diukur dan dikendalikan, antara lain menggunakan standar ambang batas, sebagai alat ukur, baik dalam baku mutu lingkungan binaan, maupun baku mutu lingkungan alam. Sebagai contoh, pencemaran yang terjadi dalam lingkungan binaan (negatif) terwujud, misalnya dalam pencemaran terhadap badan sungai, daratan, lautan ataupun udara, berakibat pada pergeseran tata nilai perubahan budaya dan komponen lingkungan sosialnya. SDA mendapat tekanan dari pertambahan penduduk dan tingkat pendapatan yang selalu diusahakan semakin tinggi. Hal ini berakibat akan memperluas dan memperbesar lingkungan binaan yang ditentukan oleh kendala teknologi dan budaya dengan kemampuan substitusi fungsi alam melalui hukum buatan manusia. Apabila teknologi dan budaya manusia

III - 11

tidak sanggup lagi mensubtitusikan hukum alam, maka ruang lingkup alam akan semakin menciut. Oleh karena itu, perlu pelestarian fungsi lingkungan alam, sebab teknologi dan budaya belum sepenuhnya mampu menggantikan fungsi lingkungan alam dalam lingkungan binaannya. Usahakan keseimbangan antara perkembangan lingkungan alam dan lingkungan binaan. Adanya kendala perkembangan konsumsi terhadap SDA oleh etika kehidupan dalam menopang pola hidup yang selaras antara kemajuan material dan spiritual, sebagai pencerminan hubungan manusia dengan Sang Pencipta. Jadi, orientasi pembangunan seharusnya menyelaraskan kemajuan lingkungan sosial dengan lingkungan alam, kemajuan material dan spiritual, tanpa merusak pola pembangunan berwawasan lingkungan dan pertimbangan kependudukan. Pola pengelolaan kependudukan dan lingkungan ini yang perlu disadari, diketahui, dan dilaksanakan oleh kita semua.

3.2. KESELARASAN HUBUNGAN MANUSIA DENGAN

LINGKUNGAN Dalam usaha menyelaraskan hubungan antara manusia dengan lingkungan, perlu diketahui apa ‘isi’ lingkungan itu sendiri, yakni manusia dan alam sekitar, beserta segala isinya. Laju pembangunan ditentukan oleh adanya sumber daya manusia (SDM) dengan akal-budinya SDA. Secara alami, antara keduanya terjadi hubungan timbal balik, dan faktor-faktor yang mempengaruhi dan menentukan perkembangan pembangunan adalah lingkungan sosial (jumlah, kepadatan, persebaran, dan kualitas penduduk), dan pengaruh kehidupan sosial budaya, ekonomi, politik, teknologi, dan sebagainya. ( insert diagram Tujuh unsur yang berpengaruh pada ‘kualitas kehidupan’ manusia di antara halaman-2 lampiran/akhir )

3.3. PENCEMARAN UDARA Manusia diperkirakan membutuhkan 0,5 kg oksigen/hari, bila ditinjau dari kondisi lingkungan hidup alami yang masih relatif baik atau dalam keadaan keseimbangan antara daerah terbangun dan tidak terbangun. Berdasarkan perkiraan kenaikan jumlah penduduk Indonesia tahun 2005, maka kebutuhan akan ketersediaan oksigen (O2) akan meningkat menjadi 4,5 kg/jam. Salah satu pemasok utama ketersediaan udara bersih adalah pepohonan di RTH kota sebagai ‘paru-paru’ kota yang merupakan produsen oksigen (O2), penyerap karbondioksida (CO2) dan gas polutan lain, serta sebagai daerah resapan air, yang belum tergantikan fungsinya.

Namun distribusi RTH kota seringkali tidak merata, di mana kawasan yang seharusnya memiliki RTH cukup, justru tidak memiliki RTH yang memadai, seperti di kawasan permukiman padat, industri, terminal atau tempat pembuangan sampah. RTH untuk ruang bermain anak-anak, ruang bersosialisasi dan berolah-raga sudah lama hilang.

Hasil penelitian Purnomohadi (1994) yang dilakukan untuk mengetahui eksistensi RTH kota dengan potensi redaman dan jerapan terhadap terhadap tujuh zat pencemar udara, menunjukan korelasi yang nyata. Fungsi RTH kota yang ditata secara estetis fungsional dapat digolongkan sesuai kegunaannya sebagai pembatas/pengaman; kawasan konservasi terletak antara dua wilayah jalur lalu lintas dan kereta api, sempadan sungai, listrik tegangan tinggi, dan hutan kota; kawasan rekreasi aktif: lapangan olahraga atau taman bermain; kawasan rekreasi pasif taman relaksasi dan kawasan produktif pertanian kota, pekarangan/halaman rumah; dan lahan yang sengaja disisihkan untuk kegunaan khusus atau lahan cadangan. Sifat alami organisme tanaman dalam RTH melalui mekanisme rekayasa lingkungan, mampu memperbaiki kualitas lingkungan, sehingga dapat menjadi pedoman dalam memilih jenis tanaman pengisi RTH dari berbagai fungsi. Dari segi efektivitas menekan pencemaran udara, menyerap dan menjerap debu, mengurangi bau, meredam kebisingan, mengurangi erosi tanah, penahan angin dan hujan secara menyeluruh, maka fungsi tanaman antara lain sebagai berikut:

III - 11

• Dedaunan berair dapat meredam suara. • Cabang-cabang tanaman yang bergerak dan bergetar dapat menyerap

dan menyelubungi suara, demikian pula daun yang tebal menghalangi suara dan daun yang tipis, dapat mengurangi suara.

• Trikoma daun dapat menyerap butir-butir debu, melalui gerakan elektrostatik dan elektromagnetik.

• Pertukaran gas melalui mulut daun. • Aroma bunga dan daun mengurangi bau. • Percabangan (dan ranting) beserta dedaunannya dapat menahan angin

dan curah hujan. • Penyebaran akar dapat mengikat tanah dari bahaya erosi. • Cabang yang melilit dan berduri menghalangi gangguan manusia. • Bentuk dan tekstur daun berpengaruh terhadap daya serap sinar/hujan,

dan daya ikat cemaran. • Bentuk kanopi tajuk pohon berpengaruh terhadap arus dan arah angin

turbulensi lokal dan peredaman bunyi. Kemampuan tanaman menyerap dan menjerap (intersepsi) debu dan unsur pencemar udara lain (TSP: total suspended particulate), dipengaruhi oleh: (1) Jenis tanaman berkaitan dengan sifat-sifatnya sebagai berikut :

• Kekasaran permukaan daun, potensi pengendapan timbal akan semakin besar, sebab kemampuan mengakumulasi timbal (Pb) dan seng (Zn) pada daun berstruktur kasar, semakin tinggi dibanding yang licin terutama untuk zarah timbal (Pb) bisa tujuh kali lebih banyak.

• Struktur ranting dan batang yang berbulu, akan mampu lebih banyak menjerap dan mengintersepsi zarah timbal (Pb) dan seng (Zn), dibanding ranting/batang yang berkulit licin atau berlilin.

• Arsitektur dan morfologi pohon (Halle dan Oldeman, 1975 dalam Purnomohadi, 1994), mempengaruhi kemampuan tanaman untuk mengintersepsi berbagai zarah dan unsur cemaran udara.

(2) Perancangan maupun perencanaan arsitektur lansekap yang sesuai

permasalahan lokal akan mampu meredam berbagai zarah dan unsur cemaran udara secara lebih efektif, yaitu dengan menggunakan berbagai jenis tanaman yang mempunyai sifat dan kemampuan berbeda dalam meredam pencemaran udara, menerapkan pola multi tajuk dan campuran berlapis-lapis.

(3) Sebaran komunitas tumbuhan dalam berbagai fungsi dan bentuk RTH kota yang menyebar merata di seluruh bagian kota, akan lebih efektif, dalam meredam pencemaran lingkungan dibandingkan dengan RTH yang luas tetapi hanya pada lokasi tertentu.

Sedang kenaikan laju pengurangan SO2 pada jarak antara tepian taman di atas, tenyata berhubungan langsung dengan kenaikan waktu, dan bukan pada kecepatan angin. Bila tak ada angin, maka efek pengurangan zarah, khususnya debu, maka debu tersebut akan menempel pada tanaman, misalkan melalui gerak elektromagnetik. Lebar sabuk hijau (green belt) berukuran lebih dari dua meter tanpa mengabaikan fungsi padang rumput akan mampu mengurangi debu sampai 75 persen. Pepohonan pun mampu menurunkan konsentrasi partikel timbal (Pb) yang melayang di udara, karena kemampuannya untuk dapat meningkatkan turbulensi dan mengurangi kecepatan angin. Celah stomata mulut daun yang berkisar antara 2-4 μm atau 10 μm dengan lebar 2-7 μm, maka ukuran partikel timbal yang demikian kecil, rata-rata 2 μm, akan dapat masuk ke dalam daun dengan mudah, serta akan menetap dalam jaringan daun, menumpuk di antara sel jaringan pagar (palisade), dan atau jaringan bunga karang (spongious tissue). Sedang zarah yang lebih besar ukurannya akan terakumulasi pada permukaan kulit luar tanaman. Cemaran yang terakumulasi ini sebagian kecil dapat terjerap secara kimiawi (chemically adsorbed) dan akhirnya terserap (absorbed) oleh jaringan hijau, dan sebagian lagi akan tersapu oleh angin atau air hujan, yang kemudian dibawa aliran angin/air dan atau diendapkan ke dalam tanah. Partikel berukuran sub-mikron akan terdifusi ke dalam jaringan tanaman melalui stomata dan akhirnya terbawa ke dalam sistem metabolisme tanaman. Menurut Dahlan (Purnomohadi, 1994), yang menggolongkan ketahanan tanaman terhadap cemaran udara dari kendaraan bermotor, berdasar kemampuan dan kepekaan tanaman, khususnya terhadap unsur timbal (Pb), dapat dibedakan menjadi lima kategori, yaitu: • Sangat peka: Kesumba (Bixa Orellana), Cempaka (Michelia champaka),

Glodogan (Polyalthea longifolia) • Kurang peka, kemampuan menyerap timbal rendah: Tanjung

(Mimusops elengii)

III - 11

• Kurang peka, kemampuan menyerap timbal tinggi: Johar (Casia siamea) dan Mahoni (Swietenia macrophylla)

• Tidak peka, kemampuan tinggi menyerap timbal: Kirai payung (Filicium decipiens), Keben (Barringtonia asiatica), Asam landi (Pithecellobium dulce), tanaman berdaun jarum serta bambu.

• Tidak peka, kemampuan rendah menyerap timbale: Jamuju (Podocarpus imbricatus)

Instruksi Menteri Dalam Negeri (Inmendagri) No. 14/1988 tentang Penataan RTH di Wilayah Perkotaan, memuat kriteria jenis tanaman yang disesuaikan peruntukkan lahan, perlu perhatian pada kepekaan pengaruh berbagai zat cemaran. Pemilihan jenis tanaman pelindung bagi RTH kota tentu akan berlainan antar berbagai kota di Indonesia, tergantung ekosistem setempat. Masih banyak fungsi ekologis RTH terhadap kualitas udara kota yang perlu diteliti dan dikembangkan lebih jauh lagi. Bagaimanapun juga keberadaan pohon dan RTH sangat menentukan kualitas dan ketersediaan udara bersih bagi kelangsungan hidup kota dan warga kota.

Tabel 2: Kriteria Jenis Tanaman Untuk RTH (Purnomohadi, 1994)

Kriteria Tumbuhan Status Vegetasi I II III IV V A. RTH-PERTAMANAN (1) Taman 1, 2, 3, 4, 7, 8 1 1, 2 1, 2 1 (2) Jalur Hijau Jalan 1, 2, 3, 6, 7 1, 2, 3 2 2 2, 3 (3) Jalur Hijau Kota 1, 2, 3, 5, 7, 8 2 2 2 2 B. RTH – LAIN 7, 8 3 1, 2 1, 2 3

NOTASI:

I. Karakteristik Umum 1. Tidak bergetah/beracun 5. Struktur daun setengah rapat 2. Dahan tidak mudah patah 6. Struktur daun rapat 3. Perakaran tidak mengganggu fondasi 7. Ketinggian tumbuhan bervariasi 4. Struktur daun, setengah rapat hingga rapat 8 Warna dominan hijau, warna lain seimbang II. Kecepatan Tumbuh III. Habitat 1. Sedang 1. Tumbuhan hijau local 2. Cepat 2. Tumbuhan hijau budidaya 3. Bervariasi V. Kerapatan Tanam IV. Tipe Tumbuhan 1. Setengah rapat 1. Musiman 2. Rapat 2. Tahunan 3. Setengah rapat hingga rapat

III - 11

Tanaman dengan berbagai ukuran dapat berfungsi sebagai pembersih atau penyaring udara, melalui proses oksigenasi dan menghilangkan partikel gas dan bau di atmosfir. Manfaat cahaya matahari langsung diketahui dari mekanisme proses fotosintesis. Klorofil yang sebagian besar ada di dalam daun membutuhkan karbondioksida (CO2) dan menghasilkan oksigen (O2)

untuk bernafas. Demikian pula kemampuan tanaman dalam beberapa jenis tanaman pelindung yang lazim ditemukan dalam RTH kota dengan berbagai ukuran daun akan menghasilkan besaran luas area teduh yang berbeda pula.

Tabel 3: Luas Keteduhan Beberapa Jenis Tumbuhan

(hasil penelitian, Kuswata dalam Purnomohadi, 1994)

Jenis Tumbuhan Nama Lokal Nama Latin

Ukuran Daun

Luas Keteduhan (m2)

Ki Hujan Samanea saman Kecil 1224,36 Beringin Ficus benjamina Kecil 940,37Saga Adenanthera pavovina Kecil 53,07Soga Peltophorum pterocarpus Kecil 301,75Gelam Melaleuca leucadendron Kecil 18,06Sengon Paraserianthes falcataria Kecil 945,81Bintaro Cerbera odollam Sedang 23,34Tembesu Fragraea fragrans Sedang 207,17Cempaka Michelia champaca Sedang 34,22Angsana Pterocarpus indicus Sedang 361,08Tanjung Mimusops elingii Sedang 102,80Randu Ceiba petandra Sedang 402,62Jambu laut Eugenia grandis Besar 264,21Mangium Acacia mangium Besar 302,37

3.4. PENCEMARAN AIR DAN TANAH

3.4.1 RTH Kota dan Upaya Pengendalian Pencemaran Air, Banjir

dan Kekeringan

Pembangunan kota yang tidak mempertimbangkan pengelolaan lingkungan secara komprehensif telah terbukti mengancam kelangsungan hidup kota dan warga kota. Fenomena hubungan antar manfaat RTH kota terhadap pengendalian banjir merupakan salah satu upaya pengendalian kerusakan dan pencemaran dalam bidang pengelolaan lingkungan hidup kota. Di Inggris, begitu dirasa amat melimpahnya air yang terdapat dimana-mana, sampai Wells (hal 9 dalam Jellicoe, 1971) mengatakan, bahwa kita pun,

manusia dan juga semua unsur yang hidup termasuk flora dan fauna, asal mulanya adalah ’benda cair’. Anggapan ini beralasan sebab tanpa air memang kita tak dapat hidup untuk beberapa hari. Panjang garis pantai wilayah pesisir nusantara diperkirakan mencapai 81.000 km atau kedua terpanjang di dunia setelah Canada, sesuai PP No. 47/1987 tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah Nasional mengenai usulan 516 kota-kota strategis di Indonesia, di mana telah dibangun 22 buah Ibukota Propinsi (kota besar) dari 216 kota yang terletak di tepian perairan, termasuk tepian sungai dan danau yang umum disebut Waterfront City (Purnomohadi, 1999).

III - 11

Bencana banjir di Jakarta sebenarnya sudah diketahui sejak dulu dan disadari akan selalu terjadi, terlebih pengelolaan ruang di Jakarta tidak mengikuti pola geografis lingkungan alami. Empat puluh persen atau sekitar 26.000 hektar, khususnya di wilayah Jakarta Utara, memang terletak di bawah permukaan air laut. Jakarta merupakan muara dari 13 sungai besar dari arah hilir menuju ke laut. Banyak kota-kota di Indonesia dan dunia mengarahkan pembangunan dari hilir (pelabuhan) menuju ke hulu (terrestrial), seperti Semarang, Surabaya, Manado, atau Bangkok di Thailand dan kota-kota sungai dekat pantai di Bangladesh. Menyadari kondisi geografi Jakarta, pemerintah kolonial Belanda telah membangun beberapa kanal dalam kota Batavia yang tegak lurus ke arah garis pantai, untuk menanggulangi naiknya permukaan air pada saat pasang, dan sebagai sarana transportasi air dan rekreasi, seperti di kota Amsterdam atau Venice. Pada awalnya, perencanaan Kota Jakarta bisa dikatakan meniru pembangunan kota Amsterdam, dengan kanalnya yang hingga kini masih aman dari bencana banjir dan justru digunakan untuk kegiatan pariwisata yang sangat menguntungkan.

Sebaliknya yang terjadi di Jakarta, akibat urbanisasi penduduk, lemahnya penegakan hukum dan ketidakkonsistenan pemerintah daerah terhadap Rencana Umum Tata Ruang telah megakibatkan RTH kota terus tergusur. Para stakeholders seringkali ditinggalkan dalam pengambilan keputusan yang lebih mementingkan para pengembang yang mengurug rawa, situ, danau, dan lembah, atau membangun di sepanjang aliran sungai. Padahal RTH sebagai salah satu komponen penting dalam mempertahankan kualitas fungsi alami lingkungan dan menjamin tetap berlangsungnya siklus air, udara dan mineral yang amat dibutuhkan oleh warga kota. Kota Jakarta sadar atau tidak sadar sebenarnya tengah mengalami bunuh diri ekologis (ecological suicide) yang ironisnya sudah diperingatkan sejak tahun 1960an. RTH penting dalam memelihara keseimbangan fisik, sosiologis, ekonomi dan budaya suatu lingkungan kota. Bagi Jakarta, banjir memang selalu terjadi tiap tahun, tetapi frekuensi dan kuantitasnya ternyata semakin meningkat, bahkan, terjadi pula hampir di seluruh Indonesia, terutama di pulau Jawa. Pemerintah melalui Kantor KLH telah mengajukan beberapa prinsip pemikiran yang harus dipenuhi, agar pemerintah daerah berpenduduk padat dapat secara efektif mengatasi permasalahan

mendasar, realistis dapat dilaksanakan melalui pertimbangan fisik teknologis, ekonomis, sosial budaya dan administrasi kepemerintahan secara konsisten, serta harus tidak menimbulkan dampak lain yang lebih besar dan meluas. Banjir adalah suatu fenomena alam, bila curah hujan telah melampaui kapasitas daya tampung lingkungan, alami maupun buatan, seperti saluran drainase, dan bentuk penampungan badan air lain, seperti sungai, kanal, danau, situ, rawa, daerah resapan air. Sebaliknya kekeringan akan terjadi jika tak ada atau kurang pasokan (recharge) air secara berkala sebagai bagian alami siklus hidrologi yang seharusnya dapat tetap berlangsung.

Pada jenis tanah dengan permeabilitas rendah, hanya sebagian kecil air saja yang meresap, sebagian besar merupakan limpasan air (surface runoff). Faktor geomorfologi sangat berkaitan dengan keadaan lansekap kota. Pada badan air dikenal morfologi yang terdiri dari badan air itu sendiri, tanggul alam (buatan), bantaran sempadan air, dan meluas ke luar disebut bantaran banjir, yang seringkali dipenuhi oleh perumahan liar. Hutan diketahui hanya mempunyai koefisien limpasan relatif kecil (0,01-0,1), jadi hutan tidak mencegah banjir, namun hanya dapat mengurangi resiko terhadap banjir banding dan penyaring zat pencemar udara.

Faktor perilaku negatif dalam pembangunan wilayah banjir seringkali menganggap sungai, pantai, danau, waduk atau badan air lain sebagai tempat pembuangan sampah yang sangat berpengaruh terhadap peningkatan bencana banjir. Badan air menyempit akibat tumpukan limbah padat yang sulit terurai. Daerah hulu seharusnya merupakan wilayah konservasi, karena sangat potensial meningkatkan sedimentasi atau pendangkalan sungai dan badan air lain. RTH termasuk wilayah yang positif meresapkan air hujan dengan toleransi tertentu, khususnya di wilayah perkotaan.

Dampak negatif banjir sangat berpengaruh pada kemaslahatan hidup orang banyak, termasuk penurunan tingkat kesehatan, perekonomian dan produktivitas warga kota. Kerugian akibat bencana banjir di Jakarta (2002) diperkirakan mencapai satu trilyun, dari terendamnya wilayah pertanian, sawah, empang dan rumah, kerusakan 70 persen sarana dan prasarana fisik kota, krisis energi listrik dan bahan bakar minyak, yang dampaknya masih terasa sampai kini.

III - 11

3.4.2 Tiga Tingkatan Perubahan Lingkungan Akibat Bencana Banjir

Secara Global, perubahan lingkungan diindikasikan dengan penyimpangan cuaca awal tahun 2002. Hasil pemantauan pengembangan atmosfir bumi sejak akhir tahun 2001, terlihat kecenderungan penyimpangan kondisi atmosfir, seperti turunnya salju di kawasan Arab Saudi, badai tropis yang biasa terjadi di Filipina malah berkurang dalam 30 tahun terakhir, sedang di Australia Utara timur hingga barat yang biasanya terjadi antara Desember-Maret, baru muncul awal Januari dengan waktu yang lebih pendek. Selain itu terjadi pula perubahan jumlah dan kualitas curah hujan di berbagai tempat, penyimpangan kondisi awan termasuk pasang naik yang tinggi (catatan Dishidros-TNI-AL). Secara Regional, berkurangnya wilayah hutan di daerah hulu dan berbagai tegakan di dalamnya, khususnya 20 tahun terakhir ini, di mana luas hutan kawasan Puncak, tinggal 10 persen dan tinggi erosi mencapai 400 (jauh di atas toleransi 39 ton/ha/tahun). Secara Lokal, pemanfaatan liar bantaran sungai, badan air atau daerah resapan air yang lain, pembuangan limbah padat dan cair ke dalam badan air, pengurugan rawa-rawa dan situ untuk perumahan atau infrastruktur jalan.

Dari berbagai kenyataan di atas, maka upaya pengelolaan lingkungan hidup (PLH) mencakup upaya rehabilitasi dan antisipasi, serta mengurangi bencana secara bertahap. Alasan pemerintah daerah tentang sulitnya membebaskan tanah untuk pembangunan RTH baru terasa naïf, karena pada saat bersamaan pemerintah daerah justru mempelopori penggusuran RTH berupa makam, hutan kota, hutan lindung, waduk, situ, kawasan olah raga, serta jalur jalan. Penetapan target luasan RTH hanya merupakan kesepakatan pihak terkait para pengambil kebijakan tanpa melibatkan masyarakat. Restrukturisasi institusi kepemerintahan di pusat dan daerah, yang terkait dalam koordinasi RTH, mengefektifkan Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional, penetapan rencana pembangunan yang berdasar pada keseimbangan antara ruang terbangun dan tidak terbangun, dan

mensyaratkan kajian analisa dampak lingkungan dan sosial, terhadap setiap proyek pembangunan kota secara ketat dan dapat dipertanggungjawabkan. Lingkungan hidup yang rusak atau keseimbangannya terganggu, perlu direhabilitasi agar kembali berfungsi sebagai penyangga kehidupan dan memberi manfaat bagi kesejahteraan masyarakat. Pembinaan dan penegakkan hukum terus ditingkatkan terhadap kegiatan pencemaran dan kerusakan lingkungan. Penggunaan teknologi canggih dan ramah lingkungan untuk pengendalian pencemaran dan pengelolaan limbah padat, cair dan gas, secara komprehensif dan terus-menerus. Pola pengelolaan tata ruang yang serasi dalam konsep pembangunan RTH berbasis masyarakat melalui peningkatan upaya kemitraan dengan seluruh stakeholders yang ada di masyarakat. Para pengelola RTH kota harus lebih memperhatikan dan mempertimbangkan eksistensi fisik geografis lingkungan. Perlu disadari bahwa sebagian besar permukiman penduduk perkotaan, terutama ibukota propinsi, terletak di tepian badan air. Penerapan praktek pembangunan kota di wilayah tepian air (waterfront city) memerlukan kajian khusus yang lebih mendalam. Berbagai masalah lingkungan kota timbul akibat pencemaran dan kerusakan yang meningkat, tekanan kepadatan penduduk, berkurangnya daerah resapan air, ketidakkonsistenan penataan ruang, daya tampung badan air mengecil, pendangkalan dan penyempitan alur sungai dan prasarana drainase kota, kesadaran hukum dan tingkat pemberdayaan masyarakat rendah, serta perlunya perencanaan ruang kehidupan yang seimbang dan merata di seluruh wilayah kota. Penerapan tata ruang kota yang tidak konsisten, kurang antisipasi terhadap kecenderungan perkembangan fisik pembangunan kota, dan jumlah kendaraan yang melebihi kapasitas jalan telah mengakibatkan kemacetan jalan yang semakin parah dan merajalelanya kebakaran. Untuk masalah pengatasan banjir rutin, Kantor KLH, Departemen Kimpraswil dan DPR telah mengusulkan suatu konsep kebijakan nasional pengendalian bencana banjir, berdasar empat hal pokok, yakni penataan ruang terkait pengembangan wilayah keseimbangan antara kawasan lindung dan kawasan budidaya; pengelolaan sumber daya air secara komprehensif dan menyeluruh dengan konsep satu sungai, satu rencana

III - 11

dan satu pengelolaan terpadu; pengembangan sarana dan prasarana perkotaan khususnya menyangkut sinergisitas pengelolaan fungsi lingkungan, termasuk sistem jaringan jalan, drainase, RTH, pengelolaan sampah dan limbah cair perkotaan; serta pengendalian pembangunan perumahan, khususnya di wilayah bantaran sungai dan daerah resapan air. Kebijakan tersebut harus dilaksanakan secara komprehensif, tidak parsial, didukung oleh penerapan dan pelaksanaan hukum yang kuat dan kebijakan pengambil keputusan yang konsisten, serta melibatkan seluruh stakeholder terkait, sejak dari perencanaan, pelaksanaan, hingga pengendalian dan pengawasannya secara tuntas dan berkelanjutan. Pengendalian bencana banjir dan antisipasi berbagai masalah lingkungan hidup tidak terlepas dari derasnya arus urbanisasi, karena ketidak berimbangan pembangunan dan kegiatan ekonomi. Untuk itu pembangunan pusat-pusat kegiatan ekonomi harus disebar merata di berbagai kota, daerah dan pulau lain. Penanggung-jawab pengelolaan lingkungan hidup harus melibatkan para stakeholder terkait sesuai dengan pembangunan RTH berbasis masyarakat demi kelangsungan fungsi ekosistem perkotaan. Perencanaan, pelaksanaan dan pemeliharaan RTH kota harus dikelola dengan lebih kreatif dan efisien. Pembahasan teknis paradigma baru sistem pengelolaan sampah bersama masyarakat, pengelolaan RTH, dan pengendalian pencemaran air merupakan langkah awal menuju sistem pembangunan kota yang berkelanjutan.

3.4.3 Pencemaran dan Kerusakan Tanah (Abrasi Pantai, Intrusi Air Laut, Amblasan Tanah, Pencemaran Air Tanah)

Perasaan was-was (insecure) menghinggapi sebagian besar masyarakat Jakarta, di samping angka kriminalitas yang terus meningkat, yang nyata selalu berulang tiap tahun pada musim penghujan adalah ’datangnya air bah’ atau banjir baik berasal dari akumulasi curah hujan dari langit maupun akibat deras dan debit aliran permukaan yang mencari daerah-daerah rendah tak peduli siapa pun akan diterjangnya di luar ataupun dalam saluran air (got, kali, sungai sampai ke perairan laut).

Pembangunan kota tepi air, merupakan bagian dari pembangunan perkotaan menyeluruh, sebenarnya tidak berbeda jauh dengan pembangunan kota umumnya, hanya pada kota tepian air, harus lebih mempertimbangkan tiga faktor utama, yaitu: (1) Rekayasa teknik (engineering), berkaitan dengan situasi dataran rendah

atau pesisir pantai, sedang pemecahan masalah pada pesisir pantai yang lebih tinggi, curam, tepian sungai, danau juga sebenarnya tak berbeda juah dengan pembangunan perkotaan di daerah perbukitan umumnya;

(2) Perancangan (design), cakupannya lebih luas, termasuk daera tepian air yang lebih tinggi tersebut;

(3) Lingkungan (environment), lagi-lagi perlu konsentrasi khusus pada lingkungan dataran rendah, karena sifat rentan daerah ini, apalagi bila dikaitkan dengan skema upaya ’reklamasi lahan’ (Buijs, 1998).

Permasalahan rekayasa teknis bagi pembangunan perkotaan tepian air memang khas, di mana sebagian masalah adalah akibat proses geologi yang terjadi, sebagian juga akibat kegiatan manusia itu sendiri. Tentu saja proses geologis tidak bisa dikontrol, namun kontrol kegiatan manusia juga tidak mudah. Amblasan lapisan tanah (dalam), dan naiknya arus laut terjadinya karena proses geologis akibat gerakan tektonik, dan akibat perubahan cuaca alami yang berkepanjangan. Pada situasi di mana tidak ada intervensi manusia, maka kombinasi antar kedua kejadian tersebut bisa dikompensasi oleh sedimentasi, di mana masih terdapat hutan bakau (mangroves) dan adanya pertumbuhan lapisan gambut pada lahan basah di daerah rawa darat (marshes) di ’belakang’ garis pantai, Namun yang biasanya terjadi, akibat manusia membuka permukiman di tepian air tersebut, maka mekanisme kompensasi alami tersebut tidak bisa berlangsung, akibat pembabatan hutan bakau serta rawa-rawa yang telah ’terpaksa’ berubah fungsi tersebut. Demikian juga di atas daerah permukiman kota, aras air tanah semakin turun, agar lahan hunian cukup kering serta dampak dari perlunya persediaan sumber air baku (air minum) yang memadai bagi para pemukim tersebut. Proses perobahan lapisan permukaan di atas lahan permukiman, akan mempercepat pula proses turunnya lahan (amblasan) karena tekanan dan

III - 11

oksidasi yang terjadi pada permukaan, sehingga menyebabkan masuknya air laut (intrusi) ke dalam rongga-rongga di dalam tanah, bekas lokasi air tanah tersebut. Akibat akselerasi kegiatan manusia ditambah dengan meningkatnya aras air laut, meski kadang tak hanya akibat permukiman tepian air saja, namun pada skala global, dampak emisi gas-gas rumah kaca juga membentuk pemanasan udara secara alami. Bersamaan dengan proses ’alami’ yang saling berkait tersebut, dan akibat kurang atau bahkan tidak adanya jalinan alami dari tanaman-tanaman pelindung pantai, maka terjadinya penggerusan tepian akibat gerakan arus air tanpa penghalang tersebut. Masuknya air asin ke dalam lapisan tanah tentu saja akan mencemari struktur tanah asli. Terjadinya genangan akibat pasang yang berkombinasi dengan terjadinya curah hujan, bahkan aliran permukaan berupa air bah dari arah hulu, yang membawa benda apa saja yang dilaluinya, pasti menimbulkan berbagai pencemaran air tanah, di samping kerusakan lingkungan tanah tersebut di atas. Pada akhirnya, kembali diperlukan energi khusus untuk merehabilitasi lingkungan, seperti pembuatan pemecah ombak, penguat tanggul pesisir atau tepian (bantaran) sungai, membangun ’polder’ (tempat parkir air sementara), dan pengelolaan wilayah aliran sungai yang baik. Di negara kepulauan Indonesia, seperti juga di negara-negara yang acapkali mempunyai kemungkinan kejadian gempa, relatif punya masalah khusus, yaitu kejadian gelombang pasang tsunami, yang terbesar terjadi pada tanggal 26 Desember 2004, kemudian disusul oleh gempa yang terjadi pada 28 maret 2005, telah memporak-porandakan hampir seluruh wilayah pesisir di propinsi Nanggro Aceh Darussalam, dan sebagain wilayah Sumatra, terutama di pulau Nias dan kabupaten Sibolga. Demikian pula tsunami di daerah pantai lain, seperti di Ende dan sekitarnya (provinsi NTT), beberapa tahun lalu, meskipun akibatnya relatif kecil dibanding Karena itu, pada daerah-daerah rawan gempa, hendaknya kota-kota tidak dibangun dekat atau langung pada garis pantai, tapi agar dibangun pada lokasi dengan jarak aman yang cukup memadai, berdasar hasil-hasil penelitian dan pengamatan yang komprehensif. Jarak aman ini memang sulit diprediksi mengingat pola kejadian gempa yang tidak teratur pula. Tetapi paling tidak bisa disusun metoda untuk mengatasi akibat gempa bumi yang ketepatannya tidak dapat diduga ini, dibanding dengan kasus curah hujan dan induksi angin di atas permukaan laut yang dapat menyebabkan

gelombang pasang yang amat tinggi, dan yang kejadiannya jauh lebih dapat diduga (seperti dampak badai ”El Nino” dan ”La Nina”). 3.5. RAWAN KEJADIAN (BENCANA) KEBAKARAN Perasaan was-was lain yang juga selalu menghantui masyarakat (terutama di kawasan permukiman padat), khusus di musim kemarau adalah terjadinya ’bahaya’ kebakaran. Akibat terbatasnya ruang, maka permukiman. Masalah bahaya kebakaran di permukiman padat dapat dikatakan kurang sekali dibahas dan diantisipasi kejadiannya. Seringkali setelah terjadi barulah orang beramai-ramai memadamkan, namun upaya preventif maupun sosialisasi untuk meningkatkan kesadaran masyarakat bahwa, hakekatnya masalah kebakaran tak berbeda dengan masalah perkotaan yang lain, seperti banjir atau berbagai permasalahan, termasuk tindak kriminal akibat tekanan psikologis pada penduduk umumnya. Pada permukiman padat, kumuh dan liar, maka bahan bangunan yang digunakan biasanya dari bahan-bahan ’sementara’ yang amat mudah terbakar, seperti kayu bekas boks atau tripleks, karton tebal, atau bilik (dari bambu atau gedek: Jawa) dan seng, pada umumnya barang-barang bekas. Sedang lantainya hanya tanah yang dilapisi oleh lembar ’karpet’ plastik, sedang atap terbuat dari seng, asbes bekas, hanya sedikit saja mampu menggunakan genting. Selain rentan terhadap terjadinya kebakaran tentu saja berjangkitnya wabah penyakit (endemik) juga sangat mudah terjadi, di samping tindak kejahatan dan penyalah-gunaan obat psikotropika justru sangat mudah berjangkit di lingkungan permukiman kumuh ini. Dinas Museum dan Sejarah DKI Jakarta (1997) mengelompokkan permukiman padat di Jakarta, berdasar pada tingkat kemampuan pemukim, yang terjadi dalam beberapa jenis, yaitu: Permukiman liar, kumuh, Inpres Desa/Daerah Tertinggal (IDT) perumnas dan realestat, serta permukinam rumah susun (apartments), pemukimanya berbeda sesuai dengan karakteristik fisik, bahkan dalam pengaturan administrasi dan organisasi kemasyarakatannya.

III - 11

Ditinjau dari sudut perencanaan kota, maka pada jaman kolonial (Belanda, khususnya) di mana lahan yang tersedia relatif cukup, jumlah penghuni kota relatif masih sedikit, khusus kaum minoritas elite mereka. ’Brand gang’ di antara masing-masing ’rumah gedong’, beberapa di antaranya dilengkapi saluran air domestik (sarana penampung limbah cair/sewerage) yang airnya pun bisa dimanfaatkan untuk melawan api bila perlu, Selain itu dimaksudkan pula agar bila terjadi kebakaran pada satu unit rumah, karena ada ruang antara tersebut, maka nyala api tidak sampai melebar ke unit rumah tetangganya, dan seterusnya. Keamanan dijaga seketat mungkin demi keselamatan penghuninya, melalui pemeriksaan apakah brand gang tersebut masih terpelihara atau tidak. Pemerintahan kolonial sadar benar akan bahaya kebakaran yang perlu diatasi secepat mungkin. Kondisi saat ini sangat berbeda dengan perkembangan kota-kota di kemudian hari, sebab utamanya adalah kebutuhan akan ruang untuk permukiman, sehingga seringkali ruang terbuka, berupa brand gang yang sudah ada ini, didirikan tempat tinggal (legal maupun tidak), atau ditutup untuk keperluan lain. Sedang pada pembangunan permukiman baru (termasuk realestat), nampaknya belum ada kesadaran atau kewajiban menyisihkan ruang antar bangunan untuk ’brand gang’ ini. Saat ini, bila ada kebakaran, yang terjadi adalah justru mobil pemadam kebakaran tidak bisa cepat mencapai sasaran, melalui gang-gang sempit karena padatnya permukiman yang tak beraturan, belum lagi dipertimbangkannya sumber air (hidran) juga jarang ada di permukiman padat dan kumuh tersebut. Melalui kebijakan pemerintah daerah, penataan kembali permukiman kumuh ini seharusnya menjadi prioritas utama, dalam menjaga keamanan umumnya, terutama terhadap relatif sering terjadinya kebakaran, sebagian besar juga akibat kelalaian penghuninya. Saat ini akibat derasnya urbanisasi, percepatan perkembangan perkotaan jauh lebih cepat dari perencanaan perbaikan lingkungan. Perkembangan ilmu pengetahuan juga lamban, ditambah kemauan politis para pengambil keputusan khusus pada tingkat pemerintahan daerah yang kurang atau bahkan tidak bijaksana, sesuai tuntutan dalam skala ruang dan waktu.

3.6. KARAKTERISTIK AIR LIMBAH DAN DAMPAK TERHADAP KESEHATAN

Alur terjadinya limbah, akibat adanya proses pembuatan suatu barang (industri) tertentu yang menggunakaan bahan baku tertentu ditambah bahan penolong tertentu yang dengan melalui teknologi tertentu menghasilkan produk sekaligus limbah, yang bentuknya bisa berupa gas, cairan, dan padatan ke lingkungan di sekitarnya. Jenis-jenis industri tersebut ditetapkan pada suatu mintakan (zona) tertentu yang mungkin merupakan bagian dari lingkungan perkotaan, di mana perletakkannya bisa di tengah atau (biasanya) di pinggiran kota demi kemudahan transportasi. Berbagai jenis industri tersebut mungkin pula terletak relatif jauh dari kota, namun biasanya tak jauh dari sarana transportasi seperti jalur jalan maupun badan air (terutama sungai), sebab SD-air adalah bahan baku utamanya. Kegiatan perumahan, Industri dan berbagai kegiatan pelayanan, seperti klinik, rumahsakit, pasar, penginapan dan sebagainya, yang umumnya terletak di dalam atau dekat wilayah perkotaan, yang akan menghasilkan limbah, misalnya: limbah rumahtangga (domestic) dan pabrik-pabrik susu dan makanan (tahu, tempe, bakso, dan masih banyak lagi), pabrik tekstil, farmasi, pabrik kendaraan, dan masih banyak lagi. Fahmi (1990), menyampaikan tentang adanya ‘teori simpul’, di mana dampak terhadap kesehatan (manusia) tergantung dari keterkaitan hubungan antara simpul-simpul: sumber dampak (source), media lingkungan (transmission), lingkungan beresiko (high risk), dan dampak (impact) itu sendiri. Bila terjadi ‘outbreak’ (wabah) penyakit, upaya pengatasan pertama hendaknya mempelajari dan meneliti keterkaitan dari keempat simpul-simpul tersebut, agar pengatasan permasalahan dapat segera dilakukan. Penyakit-penyakit menular yang terjadi pada komunitas manusia dan periode (masa) inkubasinya pun berbeda-beda, tergantung pada penyebab kasus dan tergantung pula pada lokasi (tempat), waktu dan kondisi atau daya tahan tubuh orang per orang. Hasyim (2005) mengutip pendapat para ahli, bahwa agen-agen (pembawa) penyakit tersebut dalam ilmu kesehatan masyarakat, digolongkan, pada: arboviroses (A), bacteria (B), ectoparasites

III - 11

(C), enteroviruses (E), fungi (F), helminthes (H) but not nematodes, nematodes (N), protozoa (P), rickettsiae (R), spirochaetes (S), toxins (T), dan berbagai macam virus (V) lain, seperti kita jumpai akhir-akhir ini pada penyakit avian-flu. Di kota-kota besar, diketahui bahwa pencemaran pada badan air, sebagian besar juga berkaitan erat dengan pencemaran yang terjadi pada media tanah. Secara umum pencemaran media tanah maupun air tersebut adalah akibat akumulasi dari buangan (faekal) manusia, sampah (padat dan cair maupun udara), pupuk dan limbah industri. Zat-zat pencemar tersebut masuk ke dalam tubuh manusia melalui mata rantai makanan atau bahkan juga terpapar secara langsung, menyebabkan gangguan metabolisme yang secara akumulatif menimbulkan penyakit serius. Akibat kepadatan penduduk, seringkali kita temukan letak lobang-lobang pembuangan (WC) sangat berdekatan dengan sumber air (misal: sumur), yang tentu saja tak memenuhi syarat kebersihan dan kesehatan bagi masyarakat penghuninya. Beberapa penelitian membuktikan banyaknya kandungan bakteri E-coli yang berasal dari kotoran manusia telah mencemari badan air (terutama permukaan) dan media tanah, penyebab pokok penyakit-penyakit amoebiasis. Pengaturan ruang (tata ruang) dengan menyisihkan ruang (terbuka maupun RTH) untuk kepentingan proses asimilasi lingkungan inilah yang sering kali kurang diperhatikan oleh para pengambil kebijakan yang seharusnya didasarkan hanya pada penting terjaganya keseimbangan lingkungan. Di berbagai kota, seperti Kuala Lumpur dan Singapore, sudah diterapkan sistem pengelolaan air limbah khusus (sewerage system), yang tentu berbeda pengelolaan dengan penyediaan air bersih. Data lama (1997-1998) hasil penelitian Kantor Pengendalian dan Pengelolaan Lingkungan (KP2L), menunjukkan tingginya biaya kesehatan akibat air tercemar di DKI Jakarta, sudah mencapai sekitar US$ 302 juta/tahun Pemerintah menetapkan Baku Mutu Air Limbah (BML) dengan berbagai parameternya (Hasyim, 2005 & Fahmi, 1990):

Tabel 4: Parameter Air Limbah

Parameter BML Keterangan Suhu 30 C Reviasi alami Zar terendap 1.0 mg/l Bakteri 30-80% Aluminium/Al 10 mg/l Bau & warna Arsen/As 1 mg/l Kanker hati, kulit Barium/Ba 1 mg/l Syaraf, hati, diare Besi/Fe 1 mg/l Warna air Chroom/Cr 0.1 mg/l Karsinogen, nafas, kulit Cadmium/Cd 1 mg/l Hati, ginjal, tulang Nikel/Ni 2 mg/l Kanker Perak/Ag 0.1 mg/l Mata Merkuri.Hg 0.1 mg/l Syaraf, ginjal, IQ menurun Seng/Zn 1 mg/l Rasa tak enak, diare Tembaga/Cu 1 mg/l Hati Timbel/Pb 1 mg/l Akumulasi, syaraf keracunan Amonia 0.05 mg/l Bau tak sedap Chlor 0.05 mg/l Iritas, bau, biota air Fluorida/F 2 mg/l Kerusakan gigi Cuprium/Cu 0.1 mg/l Kejang, muntah, diare Nitrit/NO2 1 mg/l Methaemoglobin Phosphat/PO4 2 mg/l Gangguan tulang Sulfida/S 0.1 mg/l Korosif, rasa & bau tak enak BOD 30 mg/l Sakit perut, mikro-ba meningkat, COD 80 mg/l Sakit perut pH 6.5-8.5 Kehidupan air, korosif Minyak& lemak 10 mg/l Rasa & bau tutupi air permukaan Phenal 0.1 mg/l Rasa, bau, racun Cyanida/Cn 0.1 mg/l Racun

Tabel 5: Logam dan Sifat Racunnya

Sifat racun Jenis logam Keterangan Kuat Pb, Hg, Cd. Cr, As, Sb, Ti,

U, Be Kematian, gangguan kesehatan, lama pulih

Sedang Ba.Bo, Cu, Au, Li, Mn, Se, Te,Va, Go, Rb

Gangguan kese-hatan, dapat pulih / tidak dlm waktu lama

Ringan Bi, Co, Fe, Ga, Mg, Ni, K, Ag, Ti, Zvn

Dalam jumlah besar menyebab-kan gangguan kesehatan

Tak beracun Al, Na, Sr, Ca Tak menimbulkan gangguan

III - 11

BAB IV RTH SEBAGAI UNSUR UTAMA PEMBENTUK KOTA YANG NYAMAN, PRODUKTIF DAN BERKELANJUTAN 4.1. KONSERVASI LINGKUNGAN HIDUP KOTA Tahun 1980-an, dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), konsep tujuan pembangunan jangka panjang ditetapkan tercapainya hasil pembangunan yang merata bagi seluruh rakyat Indonesia dan terbentuk manusia Indonesia seutuhnya. Melihat dan merasakan keadaan negara di era reformasi yang masih mencari bentuk, rasanya cita-cita mulia tersebut belum tercapai, kalau tak bisa dikatakan gagal. Pembentukan manusia Indonesia seutuhnya, memiliki ciri-ciri keselarasan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa, manusia dalam sistem kemasyarakatannya, dan lingkungan alam. Tujuan pembangunan berkelanjutan seyogyanya menjadi tujuan kepemerintahan pada era apa pun, yaitu pada setiap pentahapan pembangunan menuju kepada peningkatan nilai-nilai kehidupan, hendaknya dapat: (1) Meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan seluruh rakyat; (2) Tercapainya cita-cita hidup sejahtera di dunia dan mengejar

kebahagiaan hidup di akherat; (3) Keselarasan hubungan Bangsa Indonesia dengan bangsa-bangsa lain

di dunia, dan; (4) Guna peletakkan landasan kuat untuk pembangunan berikutnya.

Dalam cara membangun, terutama sejak berdirinya Kantor Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup (PPLH, 1978) hingga kini Kantor KLH, maka sifat kelingkungan-hidupannya dengan sendirinya

sudah tersurat maupun tersirat dalam penetapan kebijakan-kebijakan kepemerintahan yang dijabarkan dalam suatu sistem sinergitas dengan sektor-sektor pembangunan lain, sesuai tuntutan pembangunan demi pemenuhan kebutuhan yang disesuaikan dengan ruang dan waktu. Prinsip utama upaya pembangunan berkelanjutan adalah mengusahakan agar kegiatan apapun harus selalu didasarkan atas prinsip landasan pelestarian fungsi SDA, agar bisa menopang pembangunan jangka panjang. Semula diharapkan, bahwa melalui Rencana Pentahapan Lima Tahunan (REPELITA), diharapkan pelaksanaan pembangunan selalu berwawasan lingkungan atau ramah lingkungan sosial maupun alam. Telah disadari pula sejak awal pembangunan, bahwa pemanfaatan sumber daya di masa depan diperkirakan akan menjadi semakin langka, terutama disebabkan oleh pertambahan jumlah penduduk yang semakin meningkat. 4.2. LINGKUNGAN PERKOTAAN PERMASALAHAN DAN

PEMBANGUNAN KOTA BERKELANJUTAN Tuhan menciptakan dunia ini tak ada yang kekal, kecuali proses alami yang mendukung siklus kehidupan makhluk hidup itu sendiri. Semua berputar datang silih berganti atau berubah wujud, seperti air, dari cair menjadi gas (uap air) atau padat (es). Demikian pula proses alami lain, sehingga kondisi lingkungan yang bisa tetap menampung berbagai proses tersebut, haruslah dijaga sedemikian rupa, supaya proses alami tetap berlangsung, sehingga tetap dapat mendukung kehidupan secara lokal, nasional, regional, dan global. Salah satu bentuk komitmen itu adalah pembangunan lingkungan kota secara berkelanjutan.

Bumi, planet tempat manusia berdiam kini telah mengalami perubahan menuju krisis lingkungan yang telah mengancam kelestarian bumi dan kehidupan manusia, demikian pula di Indonesia ini. Ironisnya hampir semua kerusakan dan pencemaran lingkungan tersebut adalah akibat kegiatan manusia yang mengabaikan fungsi lestari lingkungan. Kebangkitan kesadaran manusia untuk menyelamatkan bumi dilakukan dengan berbagai cara, kata-kata Lingkungan Hidup (LH) dan Hijau menjadi kata-kata sakti. Maka menjamurlah istilah kota berwawasan lingkungan, kota ramah lingkungan, kota berkelanjutan, kota hijau, kota taman, kota sehat, dan seterusnya.

IV - 1

Namun, bagaimana seharusnya manusia mampu menyesuaikan diri dengan alam sekitar sebagai bagian dari kehidupan budaya manusia? Konsep Tri Hita Karana di Bali merupakan contoh bagaimana manusia mengedepankan hubungan keselarasan antara manusia dengan Tuhan, dengan sesama makhluk hidup dan dengan lingkungan. Sikap ini melahirkan persepsi, bahwa segala sesuatu di bumi ini bernyawa, sehingga manusia tak boleh semena-mena mematikan atau merusaknya. Dengan demikian, mereka akan sangat berhati-hati menggubah alam ini, itu pun hanya bila betul-betul diperlukan, yaitu untuk mendukung keberlanjutan kehidupan. Para pengelola lingkungan perkotaan sudah seharusnya menetapkan kebijakan dan strategi penataan ruang kotanya masing-masing secara menyeluruh, sehingga dapat dicapai suatu keadaan lingkungan sebagaimana diharapkan, dan di mana antara satu dengan lain kota, (terutama yang relatif berdekatan) bisa saling menjaga pemekaran wilayah kotanya serta mendukung wilayah perlindungan masing-masing secara sinergis. 4.2.1 Pengertian Hubungan Strategis Pembangunan Kota dan

Perencanaan Kota

Sebuah kota adalah sebuah area dimana ‘garis perbatasannya’ selalu tumbuh, suatu tempat dimana manusia berkerumun (berkongregasi) dan mengerjakan aktivitas yang terpusat di sekitar wilayah produksi. Kota adalah sebuah tempat dimana manusia hidup, menikmati waktu luang, dan berkomunikasi dan bersosialisasi dengan manusia lain, baik secara material maupun spiritual. Meskipun demikian, batasan kota juga termasuk komuniti perkampungan pertanian dan nelayan (perikanan) khususnya bagi kota-kota yang terletak di tepi pesisir pantai. Pada tempat yang benar-benar kota, tidak terdapat produksi makanan primer, namun sebuah tempat di mana terdapat produksi sekunder, tersier serta distribusinya, yang menyediakan sumber kehidupan bagi masyarakat kota. Pada masa modern, pembangunan kota-kota meningkat menjadi lebih kompleks, sementara itu pada setiap langkah pembangunan, permasalahan yang harus diatasi telah berubah dan terus meningkat, sesuai berjalannya

waktu, sehingga permasalahan seolah-olah berkejaran dengan waktu dan menjadi semakin menumpuk. 4.2.2 Membangun Kota yang Bersih, Aman, Nyaman, dan Sehat Pembangunan Kabupaten dan Kota yang sehat merupakan upaya strategik di era desentralisasi atau otonomi daerah. Pendekatan ini dilaksanakan untuk mendorong masyarakat sebagai pelaku utama dalam mewujudkan peningkatan dan perbaikan kualitas lingkungan fisik, sosial dan budaya secara berkesinambungan, sehingga mampu mengatasi berbagai masalah lingkungan dan memberikan dampak positif terhadap kesehatan masyarakat. Sesuai pengaturan dalam UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999, tiap-tiap wilayah mempunyai kesempatan yang sangat luas untuk mengembangkan kualitas lingkungan fisik, sosial dan budaya sesuai dengan masalah dan potensi yang ada di kabupaten dan kota, sehingga tercipta keseimbangan pembangunan baik di kota maupun kabupaten, sehingga sekaligus akan dapat mengurangi arus urbanisasi. Setiap warga negara berhak mendapat kesehatan dan kesejahteraan sosial, dan hidup dalam lingkungan fisik, sosial dan budaya yang sehat, serta mendapatkan kesempatan untuk meningkatkan ekonominya, di mana mereka bertempat tinggal dan mencari kehidupan. Perilaku masyarakat telah proaktif untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah resiko terjadinya penyakit, melindungi diri dari ancaman penyakit, serta berpartisipasi aktif dalam gerakan kesehatan masyarakat. Perwujudan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat merupakan resultan dari berbagai upaya yang dilakukan oleh masyarakat, swasta, sektor pembangunan, dan pemerintah daerah. Sektor kesehatan tidak akan dapat meningkatkan derajat kesehatan masyarakat tanpa keterlibatan berbagai sektor pembangunan dan masyarakat itu sendiri. Untuk itu perlu dipahami beberapa pengertian tentang program Kabupaten/ Kota Sehat. Kabupaten Sehat adalah suatu kondisi dari suatu wilayah yang aman, nyaman, bersih dan sehat untuk dihuni penduduknya dengan mengoptimalkan potensi sosial ekonomi masyarakat desa yang saling

IV - 2

mendukung, melalui koordinasi forum kecamatan dan difasilitasi oleh sektor terkait, serta sinkron dengan perencanaan masing-masing desa. Kota Sehat adalah suatu kondisi dari suatu kota yang aman, nyaman, bersih, dan sehat untuk dihuni penduduknya dengan mengoptimalkan potensi sosial ekonomi masyarakat melalui pemberdayaan forum masyarakat, difasilitasi oleh sektor terkait dan sinkron dengan perencanaan kota. Agar dapat tercipta kota yang bersih, aman, nyaman, dan sehat, diperlukan usaha dari setiap individu anggota masyarakat dan semua pihak terkait (stakeholders) dalam mewujudkannya. Pencapaian Kabupaten/Kota Sehat merupakan suatu proses yang berjalan terus-menerus untuk menciptakan dan meningkatkan kualitas lingkungan, baik fisik, sosial dan budaya, mengembangkan ekonomi masyarakat dengan cara memberdayakan mereka agar saling mendukung dalam menerapkan fungsi-fungsi kehidupan untuk membangun potensi maksimal suatu kota. Untuk mencapai ’Kota Sehat’, keseimbangan untuk mengoptimalkan potensi yang dimiliki oleh setiap Kabupaten/Kota perlu dijaga. Setiap warga mempunyai hak sekaligus kewajiban dalam pemenuhan kebutuhannya, secara jasmani mapun rohani, di mana salah satunya adalah hak untuk menikmati kenyamanan lingkungan hidup tropis perkotaan yang sejuk, nyaman, teduh, dan sehat. Agar dapat terwujud, diperlukan perencanaan tata kota yang baik, sehingga terdapat keseimbangan antara ruang terbangun dan tidak terbangun. Ruang tidak terbangun (RTH) merupakan wilayah yang amat potensial dan dapat dikembangkan sebagai kawasan hijau kota, jua sebagai tempat pemenuhan kebutuhan masyarakat akan sarana rekreatif dan estetika lingkungan, selain sebagai kawasan penyangga ekosistem perkotaan. 4.2.3 Model Kabupaten dan Kota Sehat Menyongsong terwujudnya Indonesia Sehat 2010, penerapan pembangunan berwawasan kesehatan perlu diintegrasikan dan disinkronkan dengan berbagai program pemerintah (sektor) dan masyarakat, melalui pendekatan Kabupaten/Kota Sehat.

Model Kabupaten/Kota Sehat dapat dikelompokan atas beberapa tatanan, sebagai Kawasan Permukiman Sehat, Kawasan Industri dan Perkantoran Sehat, Kawasan Pariwisata Sehat, Kawasan Pertambangan Sehat, Kawasan Kehutanan yang Sehat, Prasarana Umum Perkotaan Sehat, Budaya dan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat, Kehidupan Sosial yang Sehat, dan Ketersedian Pangan dan Gizi. Sebagai contoh, salah satu bidang kegiatan dalam prasarana umum Kota Sehat adalah pengelolaan RTH di bidang pertamanan dan hutan kota yang dicirikan oleh beberapa indikator, yaitu tersedianya taman-taman kota, adanya pengaturan pemeliharaan hutan kota, penanaman pohon, dan pengendalian hutan yang tidak menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan, dan lain-lain. Pemilihan kawasan kegiatan sebaiknya dikaitkan dengan potensi ekonomi sesuai dengan semangat otonomi daerah, terutama di dalam peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) dan peningkatan pendapatan stakeholder, seperti kawasan pariwisata, industri dan perkantoran, pertanian dan kehutanan, pertambangan, lingkungan permukiman, serta lingkungan pesisir pantai. Kawasan yang menjadi pilihan masyarakat tersebut merupakan titik masuk (entry point) masuknya program kesehatan dan sektor lain. Salah satu contohnya adalah sektor Ruang Terbuka Hijau dan Lingkungan Hidup. Dengan semakin luasnya permukaan lahan dan ruang kota berupa perkerasan, maka udara kota tersebut menjadi semakin tidak nyaman, panas, buruk, kotor, dan tidak menarik lagi, sehingga ekologi perkotaan harus didasarkan terutama pada tujuan kesehatan dan kesejahteraan penduduk kota. Keberadaan hutan kota sebagai salah satu bagian RTH di kawasan perkotaan, menjadi semakin penting akibat tekanan kebutuhan lahan komersial di perkotaan, meningkatnya suhu udara, dan semakin tumbuhnya kesadaran masyarakat akan lingkungan serta ruang-ruang publik di perkotaan. Paradigma kota sehat dapat menjadi pilihan kontekstual untuk pembangunan hutan kota di Indonesia. Pada area pinggiran kota, dengan jarak 15-20 kilometer dari pusat kota, pengembangan pembangunan kota baru dimulai. Tetapi pada tahun 1960-

IV - 3

an, lalu-lintas kendaraan pada area di tengah-tengah kota telah meningkat sedemikian rupa sehingga telah membahayakan. Maka dilakukanlah rehabilitasi jalan dan sarana lain yang satu sama lain yang bagai ‘lingkaran setan’, merupakan permasalahan yang tak ada putus-putusnya. Hal ini menyebabkan kota-kota tetap selalu tertinggal dalam menyelesaikan masalah, yang juga selalu meningkat. Pada area pantai, dibangun industri-industri baru. Kemudian timbul masalah pencemaran lingkungan yang terkenal, antara lain dengan kasus Minimata dan Itai-itai, akibat akumulasi air raksa pada tubuh manusia, yang merusak sistem syaraf. Seperti telah diketahui, ekspansi dan pembangunan kota serta permasalahan yang melekat, selalu teralihkan (tertutup) oleh permasalahan perumahan, lingkungan, lalu-lintas, dan lain-lain yang harus segera diatasi. Sehingga seolah-olah masalah perencanaan, pelaksanaan, dan pemeliharaan RTH tidak atau kurang mendapat perhatian, bahkan terjadi pengalihan fungsi RTH. Meski sebenarnya masyarakat kota tidak menolak perlunya RTH, tapi seolah-olah tak berdaya menghadapi tekanan lainnya. Hal semacam inilah yang sedang terjadi di sebagian kota-kota besar di Indonesia masih berlangsung hingga saat ini, seperti di Kota Jakarta. 4.3. PENGELOLAAN KOTA TAMAN TROPIS Belajar dari contoh-contoh pengelolaan RTH, terutama kota-kota tropis yang baik, memang menguntungkan asalkan tidak meniru mentah-mentah, sehingga menimbulkan keseragaman yang membosankan dan menurunkan nilai tinggi kelangkaan sebuah wujud lansekap kota. Dalam berbagai Lomba Taman Tingkat Nasional (LTTN) yang pernah dilaksanakan beberapa tahun antara 1985-1995, pada berbagai kategori dan dari berbagai ukuran RTH, sejak halaman rumah tinggal, halaman bangunan umum, seperti: perkantoran, komplek hotel, rumah sakit, dan halaman pendidikan termasuk kampus perguruan tinggi, serta taman kota, nampak bahwa seni arsitektur lansekap kota Jakarta telah dijiplak mentah-mentah ke daerah-daerah penilaian. Dari segi kepeloporan dan usaha peningkatan mutu lingkungan memang ada nilainya, tetapi ditinjau dari ciri kedaerahan sama sekali hampir tak nampak. Padahal perbedaan alam yang kasat mata masih nampak jelas,

seperti warna tanah yang berbeda karena jenisnya berbeda, atau jenis tanaman asli yang masih tersisa di sana-sini. Sedangkan nilai-nilai kebudayaan asli daerah harus tetap dipertahankan. Jangan sampai Kebun Raja (bukan Kebun Raya) yang mirip alun-alun berukuran lebih kecil, yang masih ada di Kota Blitar, misalnya akan diubah fungsinya menjadi bangunan masif (seperti mal dan semacamnya). Pergeseran makna dan fungsi alun-alun sebagai tengeran (landmark) taman pusat kota, dan masih banyak sekali fungsi lain yang sangat mendukung keberlanjutan lingkungan hidup kota, merupakan alasan kuat untuk mempertahankan salah satu RTH tropis khas Pulau Jawa, misalnya yang diakui pula sebagian merupakan karya pemerintahan kolonial Belanda yang telah menyesuaikan perancangan kota dengan kondisi iklim tropis. Tanaman tertentu yang mempunyai tajuk lebar, berbentuk payung atau pun hampir merata ke seluruh batang, seperti Ki Hujan, Trembesi (Samanea saman), Flamboyan (Delonix regia), Ketapang (Terminalia catapa), Johar (..............................), Mahoni (Swietenia mahagoni sp. Macrophylla dan microphylla), dan Asam (Tamarindus indica). Pohon Matoa (..............................) di Papua Barat dan Majegau (.............................) yang menjadi maskot Provinsi Bali misalnya, rasanya sudah mulai menghilang? Atau sudah tidak banyak terlihat lagi? Pohon Leci di daerah lereng pegunungan daerah Ubud, atau sekitar Pura Besakih di Bali, yang indah dilihat pada waktu berbunga dan berbuah pun sudah jarang terlihat. Di Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur juga sudah sulit ditemui Pohon Cendana (Santalum album). Sebenarnya masih banyak lagi sumber daya plasma nutfah flora maupun fauna, yang bisa dikembangkan dan diangkat menjadi ciri khas suatu daerah. Akan kemanakah pengelolaan RTH kota di Indonesia, seperti Singapura, Kuala Lumpur, kota-kota besar lainnya yang telah terkotak-kotak dalam blok-blok, atau dalam lingkaran siput seperti kota-kota di Benua Amerika, atau seperti kota-kota di Eropa? Pada akhirnya, pelestarian fungsi penting unsur-unsur pembentuk lingkungan, akan sangat menentukan keberlanjutan kualitas dan kuantitas SDA dan LH kota dan warga kota. Terjadinya krisis ekonomi dan peningkatan pengangguran yang melanda Indonesia telah menimbulkan okupasi besar-besaran terhadap RTH kota, baik untuk tempat berdagang atau bercocok tanam pada ‘lahan tidur’. Dari pengamatan pertanian perkotaan tak terstruktur terhadap kegiatan ini,

IV - 4

diketahui bahwa secara langsung kegiatan ini dapat menyelamatkan kehidupan beberapa petani kota dadakan, dengan bentuk organisasi pengelola khusus sejak pembibitan, penanaman, pemanenan, sampai pencarian pasar dan seluk beluk bisnis perdagangan. Namun demikian, tetap diperlukan perangkat hukum yang mengatur kegiatan ini. 4.3.1 Peran RTH Kota (khusus Hutan Kota) Terhadap

Kenyamanan Lingkungan Hijaunya kota tidak hanya menjadikan kota itu indah dan sejuk, namun aspek kelestarian, keserasian, keselarasan, dan keseimbangan sumberdaya alam, yang pada giliran selanjutnya akan menciptakan lingkungan kota yang kondusif berupa kenyamanan, kesegaran, terbebasnya kota dari polusi dan kebisingan, serta sehat dan cerdasnya warga kota. Tujuan penyelenggaraan RTH kota, khususnya hutan kota adalah untuk kelestarian keserasian dan keseimbangan ekosistem perkotaan yang meliputi unsur lingkungan sosial dan budaya. Fungsi RTH kota adalah untuk memperbaiki, menjaga iklim mikro, nilai estetika, meresapkan air, menciptakan keseimbangan dan keserasian lingkungan fisik kota, dan mendukung pelestarian keanekaragaman hayati Indonesia (PP No. 63 Tahun 2002). Untuk mewujudkan keempat hal tersebut di atas, maka pada setiap wilayah perkotaan perlu ditetapkan kawasan RTH sesuai dengan tata guna lahan dan sektor tertentu, dalam rangka penyelenggaraan RTH kota secara menyeluruh (Metropolitan Park System). Pengelolaan RTH kota sejak awal, yaitu dari proses penunjukan, pembangunan, penetapan, pemeliharaan merupakan pengelolaan menyeluruh (integratif) yang disesuaikan dengan fungsi pokok RTH kota tersebut yaitu antara lain untuk perlindungan lingkungan kota. 4.3.2 RTH Kota Sebagai Penunjang Pembangunan Berkelanjutan RTH kota, khususnya pada salah satu unsur konservasi penting dalam LH kota, yaitu RTH berupa hutan kota yang dibangun sebagai daerah penyangga (buffer zone) kebutuhan akan air bersih, lingkungan alami, serta pelindung flora dan fauna di perkotaan. Kota sebagai pusat aktivitas

manusia termasuk permukimannya telah terganggu kestabilan ekologisnya, di lain pihak kebutuhan masyarakat akan lingkungan yang bersih, indah, dan nyaman serta terbebas dari polusi semakin mendesak. Pada kenyataannya pertumbuhan kota-kota di Indonesia mengesankan kurang terakomodasikannya dan terintegrasinya perencanaan. Kota seakan-akan berkembang tanpa kendali. Gedung perkantoran, perumahan, pusat perbelanjaan, sekolah, tempat ibadah, bahkan pabrik, ‘berebut ruang’. Masing-masing berusaha mencari lokasi yang paling strategis. Akibatnya semua jenis bangunan berbaur dengan fungsinya sendiri-sendiri dan menyebabkan berbagai benturan kepentingan. Tahun 2002-2003 KLH mulai melaksanakan program kegiatan ‘Bangun Praja’ yang difokuskan pada aspek: pengelolaan sampah, RTH, fasilitas publik, dan pengendalian kualitas air, yang bertujuan mendorong pemerintah daerah mewujudkan kepemerintahan yang baik di bidang lingkungan hidup (Tata Praja Lingkungan). Dengan semangat otonomi daerah, pembangunan kota menjadi tanggungjawab pemerintah daerah, termasuk pembangunan hutan kota sebagai salah satu upaya menciptakan wilayah perkotaan yang sehat, indah, dan nyaman. Dengan pembangunan kota yang berwawasan kesehatan maka akan tercipta masyarakat yang sehat, produktif, serta bahagia lahir dan batin.

Pencemaran udara merupakan salah satu permasalahan kompleks yang timbul di lingkungan perkotaan terutama pada kota-kota metropolitan. Tingginya tingkat pencemaran udara juga semakin dipicu oleh peningkatan jumlah kendaraan bermotor dan industri yang menghasilkan asap, partikel padat dan gas berbahaya lainnya. Studi tentang pengendalian kualitas udara telah banyak dilakukan tetapi pengkajian secara sistematis tentang hubungan fungsional antara data hasil pemantauan dengan faktor-faktor yang berperan dalam transformasi emisi cemaran udara dari sumbernya, belum terealisir sebagaimana mestinya (Purnomohadi, 1995).

IV - 5

4.4. RTH KOTA DAN PERENCANAAN KOTA Di Indonesia, dulu dikenal Proyek Perkampungan MHT (Mohammad Husni Thamrin), yang cukup berhasil dan membantu masyarakat golongan pendapatan rendah, untuk bisa hidup dalam lingkungan yang jauh lebih bersih dan sehat. Namun sayangnya kelanjutan proyek MHT kini tak jelas. Orientasi yang telah berubah untuk membangun rumah susun sederhana, merupakan salah satu penyelesaian menuju pembangunan kota yang ramah lingkungan (environmentally sound), di mana akan tersedia RTH yang relatif lebih luas dan lega untuk sosialisasi penghuni rumah susun. Secara tradisi sebenarnya penduduk kota mudah diatur, asalkan mereka yakin bahwa pembangunan kota berkelanjutan itu dapat mereka mengerti. Bahkan bagi mereka yang kebetulan mempunyai lahan luas, kemungkinan besar akan bersedia menyumbangkan sebagian lahannya untuk kepentingan umum, misalkan trotoar, parkir, lapangan olah-raga, dan taman kota. Pendekatan terakhir ini mungkin dimaksudkan guna memetik hasil dari tanaman produktif dari halaman pribadi penduduk kota, seperti bebuahan dan sayuran, baik yang bersifat tahunan maupun yang semusim. Bila ini dijalankan, maka sebagian besar wilayah kota akan menjadi hijau, sejuk, dan produktif, seperti kota Singapura, kota Curitiba, Brazil dan kota Canberra, Australia. 4.5. RTH DAN RTRW KOTA Krisis ekonomi yang berdampak besar terhadap lingkungan hidup di perkotaan telah merambah ke seluruh wilayah kota tanpa terkecuali, mulai dari kawasan padat penduduk sampai kawasan elite. Masalah sanitasi kota di wilayah marjinal tradisional, seperti daerah perkampungan kumuh, permukiman nelayan tradisional, krisis air bersih dan udara bersih, serta wilayah banjir yang semakin meluas. Timbulnya penyakit (epidemi) serempak, semacam tifus, demam berdarah, lepterospirosis, antara lain adalah akibat buruknya sanitasi kota.

Ketidakpedulian terhadap fungsi penyeimbang lingkungan dari RTH kota secara nasional, termasuk di daerah lansekap alami seperti taman nasional, wisata alam, hutan lindung, hutan produksi, dan lain-lain), hingga ke daerah

lansekap binaan, seperti perkebunan, pertanian, taman kota, kebun raya, hutan kota dan jalur hijau, telah terbukti mengakibatkan krisis lingkungan yang mengancam kelangsungan hidup warga kota dan kota itu sendiri. Faktor-faktor dasar pengelolaan lingkungan hidup di wilayah perkotaan perlu mempertimbangkan keteraturan, efisiensi, keindahan, stimulasi, kesenangan, dan pembangunan fisik lingkungan, serta pengembangan sumberdaya manusia, sesuai daya tampung dan daya dukung lingkungan. Hal ini dapat digambarkan melalui suatu diagram kota yang kohesif dan komprehensif, jalur pejalan kaki dan sepeda yang manusiawi, harus terpisah dari jalur sirkulasi kendaraan bermotor, dan lokasi tujuan yang mudah dicapai guna pemenuhan kebutuhan sosialisasi masyarakat. Klasifikasi dan optimalisasi penggunaan fasilitas umum, seperti penghijauan jalur lalu-lintas dan pemanfaatan kolong jembatan jalan layang, membentuk suatu tatanan organisasi komprehensif dan bersifat menyebar, sehingga dimungkinkan adanya stimulan tanpa ketegangan, memuaskan, dengan terbentuknya keserasian antara ruang dan bentuk. Suasana alami harus diciptakan tersebar merata di seluruh kawasan kota. Sistem perencanaan dan perancangan RTH kota yang didasarkan pertimbangan berbagai segi, sesuai tujuan dan karakter lansekap lokal, maka akan tercipta lingkungan kota yang sehat, nyaman, aman, dan lestari. Faktor-faktor dasar lingkungan alami kota harus memperhatikan antara lain: • Pengelolaan kualitas udara yang amat dipengaruhi oleh jaringan

transportasi pola lalu-lntas kota dan RTH yang optimal dengan penanaman pohon besar-besaran, sehingga memungkinkan terjadinya sirkulasi udara segar di antara setiap kelompok bangunan dan ketersediaan udara bersih.

• Pengelolaan dan konservasi kuantitas dan kualitas sumber daya air sungai, kanal, waduk, rawa atau kolam buatan, diatur dalam suatu sistem pengelolaan sumber air bersih, serta disediakan penampungan khusus air limbah yang dapat diproses melalui sistem pemurnian.

• Pengelolaan sampah padat, sedapat mungkin dijadikan sumber bahan mentah untuk proses produksi selanjutnya dengan konsep tiga R, daur ulang (recycle), pakai lagi (reuse), dan kurangi pemakaian (reduce), serta sebagai bahan organik penyubur tanah. Kawasan penyangga di

IV - 6

tempat penampungan sampah akhir, sebagai upaya konservasi RTH dan peredam pencemaran udara, bau, dan limbah cair.

• Meredam kebisingan serendah mungkin, melalui kawasan peyangga (buffer zone), dan membangun taman kota, jalur hijau dan taman rumah, sehingga tersedia ruang optimal untuk meredam suara dan pencemar udara.

• Dengan ketersediaan RTH yang optimal, maka kehidupan yang selalu mengikuti siklus alami masih tetap dapat berlangsung dan krisis lingkunganpun dapat diminimalkan.

• Pengembangan dan konservasi RTH sebagai fasilitas umum, menjamin peningkatan keselamatan umum jalur pedestrian dan sepeda, penataan lokasi pedagang kaki lima (K-5) disertai upaya penegakkan hukum yang konsisten.

4.5.1 Strategi Pembangunan dan Perencanaan Kota

Estetika pun bisa dihitung dengan nilai kuantitatif, seperti pemandangan alam berupa daerah perbukitan, aliran air, sisa-sisa hutan alam maupun perkebunan. Kota Semarang, Jambi, Balikpapan, Jayapura, Ambon, dan masih banyak lagi, seyogyanya tidak meniru begitu saja konsep perencanaan pembangunan RTH kota Jakarta, namun akan lebih sesuai bila yang dipakai adalah tanaman atau jenis yang sesuai dengan habitat lokal. Para perencana kota harus mampu menyelesaikan permasalahan perkotaan secara komprehensif. Pemerintah daerah harus memiliki komitmen yang jelas dan konsisten terhadap kebijakan tata ruang yang telah ditetapkan bersama dalam peraturan daerah.

Di negara dengan kesadaran hukum yang relatif sudah tinggi, seperti Amerika dan Jepang, perencanaan kota secara menyeluruh tak langsung diterapkan melalui perangkat hukum, yang dipakai sebagai penunjang, namun tiap distriknya diputuskan agar melalui pendekatan, sosialisasi, dan peran masyarakat, sejak awal perencanaan sampai dengan monitoring maupun evaluasi, melalui dengar pendapat publik (public hearing).

Bahkan, dalam perencanaan beberapa kota telah dicadangkan pula area khusus untuk menampung urbanisasi (re-ajustment land), sehingga ada area yang berada di bawah pengawasan ketat, misalnya karena sering

terjadi bencana alam, di mana secara administratif akan diberlakukan aturan tersendiri sebagai kawasan lindung. 4.5.2 Perkembangan Pola Permukiman Terhadap Konsepsi Hijau Pada jaman pra-sejarah, konsepsi hijau belum nampak nyata, mungkin disebabkan karena cara hidup dan berpikir yang masih sangat sederhana. Kehidupan masih sangat tergantung pada alam, bertahan untuk sekedar hidup. Alam merupakan sesuatu misteri yang ditakuti, maka mereka tinggal di dalam gua-gua atau di pohon. Kemudian manusia mulai menyadari kemampuan berpikirnya untuk dapat menguasai alam, kebudayaan pertanian dan peternakan mulai berkembang, pemujaan berganti kepada dewa-dewi di langit yang dianggap telah memberi kehidupan. Rumah ‘turun’ dari atas pohon dan ‘keluar’ dari gua-gua. Dalam kehidupan berkelompok mulai timbul persaingan dan permusuhan antar kelompok, sehingga bahaya timbul dari manusia lain. Konsepsi hijau, lebih dari sekadar hanya tanaman pagar berduri di sekeliling permukiman, tetapi permukiman sudah merupakan benteng berparit, yang tertutup dari alam bebas. Dengan ditemukannya bubuk mesiu, senjata kimiawi, nuklir dan toksin biologis, maka cara perlindungan menjadi lebih terbuka, demikian terus menerus dan telah mengubah konsep kehidupan manusia di dunia ini.

Manusia mulai membuka diri dari ‘dunia’ mistik dengan pemikiran rohaniah dan pengaruh kuat agama, menjadi lebih memikirkan keduniawian dan status hidup sebagai pribadi. Konsep tata hijau berkembang menjadi ilmu arsitektur baru, ingin menguasai alam, dan meneruskan garis-garis arsitektur. Hubungan antara hijau dengan manusia menjadi lebih harmonis.

Kini fungsi hijau menjadi lebih kompleks akibat pencemaran dan perusakan lingkungan, hasil penerapan teknologi dan industri secara serampangan, yang merusak hubungan timbal-balik antara manusia dengan lingkungan. Perusakan dan pencemaran semakin parah, sehingga tak ada lagi kemampuan regeneratif alam untuk merehabilitasi diri sendiri, karena daya dukung lingkungan telah terlampaui di luar ambang batas. Sementara itu penduduk dunia terus bertambah, sedangkan sumberdaya alam terbatas, terutama yang tak bisa diperbaharui. Di negara-negara maju pencemaran

IV - 7

disebabkan oleh teknologi tinggi, sedangkan di negara sedang berkembang, sebagian besar adalah akibat keterbelakangan, kemiskinan dan kebodohan.

Konsepsi hijau lebih berkembang, selaras keinginan penguasaan akan alam dan menjadikan tata hijau sebagai penerus gaya arsirtektur, dengan meningkatkan hubungan antar bangsa. Kemudian pemikiran Dunia Timur masuk, yaitu timbul adanya penghargaan terhadap fungsi hijau sebagai sesuatu yang diperlukan (integrated landscape).

Prof. Sumitro telah mensinyalir akan adanya bahaya lingkungan perkotaan di Indonesia. Sinyalemen sektor kependudukan misalnya, dari 120 juta jiwa (1971) diperkirakan berkembang mencapai 250 juta jiwa (2000-an), dimana 146 juta jiwa diantaranya menetap di Pulau Jawa dan Madura dengan tingkat kepadatan penduduk 1105 jiwa/km2. Untuk menanggulangi ini maka perlu usaha perencanaan efektif di mana penataan Ruang Terbuka Hijau (RTH) seharusnya memegang peranan yang amat penting sebagai penyeimbang ruang terbangun.

Melalui berbagai pendekatan untuk mencegah peledakan jumlah penduduk, terutama melalui program Keluarga Berencana (KB) yang dianggap berhasil, penduduk Indonesia hanya mencapai + 200 juta jiwa (2002). Fungsi hijau dalam RTH kota sebagai ‘paru-paru kota’, sebenarnya hanya merupakan salah satu aspek berlangsungnya fungsi daur ulang, antara gas karbondioksida (CO2) dan oksigen (O2), hasil fotosintesis khususnya pada dedaunan. Sistem tata hijau ini adalah seperti fungsi ventilasi udara dalam sebuah rumah. Lebih dari itu, masih banyak fungsi RTH termasuk fungsi estetika yang bermanfaat sebagai sumber rekreasi publik yang aktif maupun pasif, yang diwujudkan dalam sistem koridor hijau sebagai alat pengendali tata ruang lahan dalam suatu sistem RTH kota (urban park system). RTH juga berfungsi sebagai sumber penampungan air dan pengatur iklim tropis yang terik dan lembab (peneduh). Bidang arsitektur lansekap sendiri mulai berkembang di benua Eropa, sesuai dengan kebutuhan sekitar 200 tahun lalu, dimulai dari keperluan manusia akan suatu ruang ‘rekreatif’ di sekitar tempat tinggal, seperti taman Inggris (English garden). Pengaruh ini menyebar ke benua Amerika dan mencapai puncak dengan dibangunnya Central Park di New York, karya Frederick Law Olmsted dan Calvert Vaux (1858).

Perkembangan teknologi yang begitu pesat tanpa mengindahkan kelestarian lingkungan telah memperburuk kualitas hidup kota-kota metropolitan, sehingga kota mengalami krisis lingkungan. Peran arsitek lansekap diharapkan dapat bertindak lebih bijaksana dalam ikut serta mengembangkan lingkungan yang seimbang dan lestari yang tidak sekedar indah, sehingga pemahaman arsitektur lansekap itu mungkin lebih tepat disebut dengan arsitektur lingkungan. Arsitek lansekap dapat berperan menjadi ‘polisi’ terhadap pembangunan fisik, yang harus menguasai masalah ekosistem secara cermat dan bertanggungjawab dalam upaya mengembalikan dan melestarikan kembali fungsi lingkungan perkotaan, seperti kawasan budidaya, termasuk ekosistem pesisir pantai yang penting diperhatikan sebagai layaknya suatu negara kepulauan terbesar di dunia. Arsitek lansekap mampu bekerjasama dalam suatu perencanaan dan perancangan kota yang akan mengubah wajah lingkungan lansekap kota secara terintegrasi dengan profesi lain terkait. Pembangunan kota yang berkelanjutan tidak sekedar berorientasi pada keuntungan ekonomis jangka pendek dan mengorbankan kebutuhan warga akan RTH, sehingga fenomena krisis lingkungan udara-air-tanah, bencana banjir, tanah longsor, amblasan tanah, intrusi air laut, penebangan pohon, dan penggusuran RTH dapat diminimalkan. Banyak orang lupa, bahwa manusia adalah bagian dari alam itu sendiri, kalau alam rusak maka dapat dipastikan manusia akan rusak pula. Konsep lingkungan yang dinamis, selalu berada dalam proses perubahan yang mendukung kehidupan manusia, flora dan fauna secara selaras, seimbang, dan dalam hubungan yang lestari antar sesama, alam dan Tuhan. Pemahaman proses pembentukan muka bumi secara alami, dan sadar bahwa karya perencanaan maupun perancangan harus berpijak pada ekotipe dasar karakteristik fisik bentang alam, apakah pada ekosistem tropis kepulauan yang terik dan basah (lembab), ekosistem pegunungan, atau pada ekotipe lain serta pengaruh perubahan iklim. Hasilnya adalah karya arsitektur lansekap yang berkelanjutan (sustainable landscape), yang tetap mempertimbangkan etika atau norma-norma lingkungan yang bersifat dinamis tersebut. Para perencana dan perancang, lambat atau cepat akan menyadari bahwa alat perencanaan dan perancangan itu tak hanya terbatas pada adanya tanah, ruang, bahan-bahan, naluri dan perasaan saja, tetapi yang lebih penting adalah adanya pengertian dan imajinasi dari perencana itu sendiri,

IV - 8

karena kita bukan saja turut serta mengatur sebagian kecil bentuk rupa dari alam, tetapi juga kegiatan manusia di dalamnya. Jadi alamlah yang menjadi landasan, dan manusia adalah tujuannya (Wirasondjaya, 1975). Tetapi untuk menarik garis batas antara alam berikut kegaiban dan kekuasaannya dengan manusia sangatlah sukar. Alam, ibarat suatu alat yang sangat peka, di mana kita bisa dengan mudah menarik kegunaannya. Jika demikian, maka manusia itu sendiri harus mengambil bagiannya. Seandainya si perencana dengan cerdas menyesuaikan diri dengan alam, maka masyarakatlah yang akan merasakan manfaatnya, tetapi jika melawan alam, maka kesukaran-kesukaran yang akan terjadi. Perubahan bentuk alam adalah cermin dari perubahan pandangan manusia terhadap keadaan sekelilingnya dan dari pertumbuhan penguasaan alam yang memudahkan manusia untuk memanfaatkannya terhadap keadaan ekonomi dan sosial baru. Caranya pun berbeda-beda dan tergantung dari pandangan manusia terhadap alam, tergantung pula dari besarnya persoalan dan watak, serta kecenderungan sosial dan ekonomi yang bersangkutan. Karenanya tiap-tiap tahap dari perkembangan kemajuan manusia terhadap keadaan sekelilingnya akan disertai oleh rangsangan jiwa dan semangat. Perasaan pertama pada manusia adalah kehadiran skala-skala baru, sesudah itu mulai mengerti, dan kemudian imajinasi diterapkan dan disempurnakan. Dalam proses pembentukan ini manusia dan alam tidak bisa dipisahkan. Pembentukan dan penjelmaan yang terus-menerus dalam pikiran manusia, jelas sekali digambarkan dalam alam yang terus tumbuh, yang bisa dipandang sebagai catatan sejarah yang secara terus merekam perubahan-perubahan dalam menaikkan derajat kebudayaan. Karenanya bukan hanya seni sastra, seni musik, seni pahat, seni lukis, dan seni bangunan saja yang dapat mengabadikan perubahan-perubahan aliran dan kekuatan dari hasil kerja manusia dengan kecerdikan, dan kepandaiannya, tetapi juga dari sikap pandangan manusia terhadap alam. Alam merupakan sesuatu yang abadi, tetapi hidup, yang mempunyai dasar-dasar kefaedahan dan sumber ilham, merupakan landasan bagi setiap perencana. Alam merupakan suatu obyek yang belum ditentukan, tempat di mana kebebasan terbuka seluas-luasnya dalam pemilihan, penegasan, dan penyatuan unsur-unsur, karenanya merangsang perasaan untuk mengatur

agar setiap orang dapat melihat apa yang ia lihat, turut merasakan apa yang ia rasa. Di alam, kita menggubah bidang datar, menempatkan massa, mengadakan penutupan dan pembukaan, dan manusianya ada dalam pusat perencanaan. Dalam seni lukis, manusia ada di luar bidang lukisannya dan memperhatikan lukisan tersebut di mana ruang-ruang digubah dalam bidang datar yang terjadi dari sesuatu yang asalnya kosong. Dalam seni patung, manusia melihat obyek tiga dimensi. Manusia berhadapan dengan patung tersebut dan mengelilinginya. Tetapi dalam taman, manusia ada di dalamnya, bergerak dan menikmati ruang, yang terbentuk karena obyek di dalamnya. Ruang dan waktu membentuk suatu kesatuan yang tak dapat dipisahkan lagi. Pemikiran ini berjalan terus melalui seluruh perkembangan ilmu-ilmu modern. Ini juga berarti, bahwa tak ada bentuk alam yang tetap atau tahan terhadap pengaruh sekitarnya. Penaklukan yang sukses terhadap ruang dan waktu dengan jalan penyatuan terhadap keperluan manusia adalah karya dari tiap zaman, dasar kekuatan utama yang diperlukan untuk membentuk lingkungan dengan peradabannya (Wirasondjaya, 1975). Ilmu pengetahuan tentang ruang sama juga persoalannya dengan ilmu-ilmu pengetahuan lainnya, yakni secara sadar menyelidiki baik-tidaknya sesuatu yang bersangkutan dengan kebutuhan manusia, mendapatkan ciri-ciri yang kurang baik, dan kemudian dengan sadar pula mencari jalan untuk mengatasi dan memperbaiki bahwa yang dijalankan tidak sekedar kebetulan saja. Pengertian ruang tidak begitu saja bisa dilukiskan dengan kata-kata, karena ruang bukan perkara akal tetapi perkara perasaan. Sulit sekali untuk menetapkan sebab-sebab dari perasaan itu, tapi kita harus mempunyai angan-angan mengenai hal itu dan jeli mengenali supaya kita sendiri bisa menciptakan ruang dalam suasana yang diinginkan. Terwujudnya ruang yang diraih oleh tangan manusia, di mana dia bisa bergerak bebas dengan leluasa adalah salah satu karya manusia guna mencapai keseimbangan antara hidup jasmani dan rohani. Salah satu cara untuk mengerti lebih baik tentang ruang adalah dengan mempelajari ruang-ruang yang sudah terwujud, hasil warisan nenek moyang. Kesabaran mempelajari segala keindahan alam untuk bisa diterjemahkan dalam pengertian ruang buatan manusia, akan menjadi pegangan bagi setiap perencana, dimana angan-angan yang diilhami dari batasan-batasan organik tidak akan menyesatkannya. Bentuk benar itu,

IV - 9

adalah organik dalam wataknya dan merupakan pola dari alam atau ekologi lansekap.

Kadangkala alam tak selalu cocok untuk dinikmati sebagai panorama, tetapi para perencana perlu menyadari bahwa belajar dari alam dengan sendirinya akan diilhami oleh imajinasi yang tak pernah padam. Tujuan perencanaan adalah meringankan cara-cara berencana, dan bukan mencari atau ‘meminjam’ bentuk-bentuk baru. Membuat falsafah baru bukanlah pekerjaan yang mudah, sebab nilai keberhasilan suatu perencanaan ditentukan oleh daya tahannya. Orang Yunani dan Romawi tak mempedulikan masa yang akan datang, dengan mencoba membuat surga di atas dunia. Kemudian pada abad pertengahan, manusia membuat dirinya surga di atas awan, dan membalikkan dunia ini menjadi dunia yang fana baik bagi si kaya maupun si miskin. Di zaman Renaisans, suatu jaman yang lahir bukan karena suatu gerakan politik atau agama, tetapi dari pernyataan pikiran, di mana orang tidak lagi memusatkan pikiran dan kegiatannya pada kehadiran berkat yang akan menunggunya nanti di surga, maka mereka mencoba membangun surga di sini, di atas tanah, dan dalam pencarian kebenaran, di mana dalam suatu derajat tertentu, mereka berhasil.

Nilai kebudayaan Timur yang sudah tinggi dan tua adalah hasil suatu falsafah yang dinamis dan selama berabad-abad tradisinya tidak hilang. Seni dan ilmu penggunaan tanah, dengan tata letak dan tata ruang telah berkembang mencapai derajat yang sangat tinggi, yang jarang didapatkan dan sukar dipahami oleh orang-orang Barat. Falsafah ditekankan pada caranya, melalui apa kesempurnaan yang dicari, dan seni hidupnya, terletak dalam kelanggengan dan selalu belajar beradaptasi dengan alam sekitar, suatu seni menyadarkan diri, seni bagaimana hidup di dunia ini. Hal ini dapat ditemui pada kebudyaan Cina, Jepang, dan Indonesia seperti Suku Bali, Suku Badui, dan Suku Dani. Mereka tahu dan mengerti alam. Kini dunia Barat mulai sadar, bahkan sudah berhasil merintisnya dalam perkembangan kemajuan lingkungan global akhir-akhir ini setelah menyadari kesalahan terdahulu.

4.5.3 Pemilihan Beberapa Jenis Tanaman Sesuai Fungsinya Sebenarnya tidak ada apa yang dinamakan dalil khusus dalam pemilihan jenis tanaman yang sesuai pada suatu lokasi. Namun demikian, kondisi bio-geografi lingkungan secara alami telah menunjukkan habitat berbagai jenis-jenis tanaman (keaneka-ragaman hayati endemic/existing) yang paling tepat sebagai acuan pemilihan tanaman untuk RTH sesuai tapak masing-masing. Kemudian barulah pertimbangan berdasar pada pengalaman akan kesesuaian bentuk dan fungsi (form follows function) wujud arsitektural tanaman-tanaman tersebut, hendaknya dijadikan dasar pemilihan selanjutnya. Tanaman sebagai salah satu elemen alam yang dipergunakan dalam penataan lansekap kota tidak henti-hentinya mengalami perubahan. Di samping itu tanaman juga membutuhkan iklim tertentu, teknik penanaman dan perawatan, mempunyai bentuk arsitektural dan kesan visual yang berbeda. Tanaman juga membantu mengendalikan radiasi cahaya matahari, kekuatan angin dan mengurangi pantulan cahaya, membersihkan udara melalui proses fotosintesa, menyaring debu, meredam kebisingan suara, menahan dan menyimpan air tanah, mengurangi erosi, dan memperbaiki kesuburan tanah. Dalam konsepsi arsitektural dan penggunaan keindahan visual, tanaman dapat memberikan rasa akrab, keteduhan, mengendalikan pandangan, dan keleluasaan bagi setiap individu untuk melaksanakan kegiatannya. Pohon dan perdu memberikan kesan lansekap dalam berbagai bentuk, warna, dan pola. Kesan ini akan selalu berubah sesuai dengan iklim atau musim. Hal ini sangat nyata terlihat pada negara-negara yang mempunyai empat musim. Berbagai jenis tumbuhan dapat hidup di hutan kota, dari stratifikasi atas (pepohonan), tengah (perdu) dan rendah (penutup tanah), sehingga membentuk satu komunitas yang berfungsi menahan erosi. Sebagaimana fungsinya pada hutan alam, maka pemilihan jenis tanaman diarahkan pada upaya: Meningkatkan fungsi tanaman untuk penyelamatan tanah dan air,

mencegah terjadinya banjir dan erosi;

IV - 10

Memperbaiki dan memelihara agar kondisi hidrologis daerah aliran sungai tetap terjaga, sehingga menjamin sistem tata air yang mantap sepanjang masa;

Memperbaiki dan mempertahankan kelangsungan produktivitas lahan, serta;

Meningkatkan kesejahteraan sosial-ekonomi masyarakat, berarti prospek ekonomis dari tanaman terpilih sudah dapat dijamin cepat berproduksi dan disukai oleh masyarakat setempat.

Beberapa jenis tanaman yang memenuhi persyaratan tersebut di atas, antara lain: Sengon (Albizzia falcataria), Kemin (Aleurites moluccana), Rasamala (Altingia excelsa), Keluwih (Artocarpus altilis), Benda (Artocarpus elasticus), Nangka (Artocarpus heterophyllus), Kemang (Mangifera caesia), Limus (Mangifera foetida), Kweni (Mangifera odorata), Rambutan (Nephelium lappaceum), Petai (Parkia speciosa), Alpokat (Persea amaricana), Pinus (Pinus merkusii), dan Kesambi (Schleicera oleosa) (Sulistami, 1995). Dari berbagai uraian di atas, dapat disimpulkan, bahwa pengelolaan RTH kota, terutama hutan kota harus terintegrasi dan berdasar pada pemikiran serta pertimbangan keseimbangan antara daerah terbangun dan tidak terbangun, sehingga nyaman ditinjau dari segi kesehatan, aman, dan dapat dipakai sebagai tempat rekreasi untuk meningkatkan produktivitas manusia warga kota, dan dapat mensejahterakan kehidupan manusia secara adil dan merata. Dari berbagai penelitian (Dahlan, 1992 dalam Purnomohadi 1995, 2002) yang sebagian besar didasarkan pada penerapan pelaksanaan RTH Kota yang disesuaikan dengan fungsinya tersebut, maka pemilihan jenis tanaman yang sesuai pada umumnya dapat diuraikan sebagai: • Pengidentitas (mascot / landmark) Kota

Berbagai jenis flora dan fauna dapat dijadikan maskot kota, antara lain: Pohon Pinang (Arenga pinnata) yang menjadi mascot Kota ’Pagar Ruyung’, Kayu Manis (Cinnamomum burmanii) sebagai mascot Provinsi NTT (?), dan seterusnya.

• Upaya untuk Melestarikan Plasma Nutfah Secara ex-situ dari berbagai tanaman langka bernilai tinggi, seperti Nam-nam (Cynometra cauliflora), Kepel (.....................), Majegau (..................), Jati (Tecona grandis), dan seterusnya masih banyak lagi.

• Penahan dan Penyaring Partikel Padat di Udara

Tanaman dengan daun berbulu atau permukaan yang kasar, secara mekanistis-fungsional sangat baik dalam menyerap polutan debu. Demikian pula jumlah stomata daun yang relatif banyak akan mudah menyerap dan menjerap partikel padat yang melayang-layang di udara bebas.

• Penyerap dan Penjerap Partikel Timbal (Dahlan et.al., 1990)

a. Tanaman yang mempunyai kemampuan sedang-tinggi dalam menurunkan kandungan timbal di udara, seperti Damar (Agathis alba), Mahoni (Swietenia microphylla dan S. macrophylla), Jamuju (Podocarpus imbricatus), Pala (Myristica fragrans), Asam Landi (Pithecelebium dulce), dan Johar (Cassia siamea)

b. Yang berkemampuan sedang dan rendah adalah Glodogan (Polyalthea longifolia), Keben (Baringtonia asiatica), dan Tanjung (Mimusops elengi).

c. Tanaman yang berkemampuan rendah dan tak tahan terhadap zat pencemar dari kendaraan bermotor, antara lain adalah Bunga Kupu-kupu (Bauhinia purpurea), dan Kesumba (Bixa orellana).

• Penyerap (absorbsi) dan Penjerap (adsorbsi) Debu Semen (Irawati,

1990 dalam Dahlan, 1992) Tanaman yang tahan dan mampu mengendalikan sekaligus sebagai penjerap (adsorpsi) dan penyerap (absorbsi) zat pencemar (debu semen), antara lain adalah Mahoni (Swietenia macrophylla), Bisbul (Diospyros discolor), Tanjung (Mimusops elengi), Kenari (Canarium commune), Meranti Merah (Shorea leprosula), Kirai Payung (Filicium decipiens), Kayu Hitam (Diospyros celebica), Duwet/Jamblang (Eugenia cuminii), Medang Lilin (Litsea roxburghii), dan Sempur (Dillenia ovata).

• Peredam Kebisingan

Tanaman dapat meredam suara dengan cara mengabsorpsi gelombang suara oleh daun, cabang, dan ranting dari berbagai strata tanaman. Pohon yang paling efektif meredam suara ialah yang bertajuk tebal,

IV - 11

karena dedaunan tanaman dapat menyerap kebisingan sampai 95 persen (Grey dan Deneke, 1978).

• Mengurangi Bahaya atau Dampak Hujan Asam

Melalui proses fisiologis tanaman disebut ‘proses gutasi’, akan menghasilkan beberapa unsur Ca, Na dan Mg, serta bahan organik seperti glutamine dan gula (Smith, 1985 dalam Dahlan 1992). Bahan in-organik yang diturunkan ke lantai hutan dan tajuk melalui proses throughfall dengan urutan K>Ca>Mg>Na, baik untuk tajuk dari tegakan daun lebar maupun dari daun jarum (Henderson et.al, 1977 dalam Dahlan, 1992). Hujan yang mengandung H2SO4 atau HNO3, bila sampai di permukaan daun akan mengalami reaksi, antara lain H2SO4 dengan Ca, membentuk garam Ca2SO4 yang bersifat netral, dibanding kadar asam dari air hujan itu sendiri. Karena itu dengan adanya proses intersepsi dan gutasi oleh permukaan daun, akan sangat membantu dalam menaikkan pH, sehingga air hujan menjadi tidak begitu berbahaya lagi bagi lingkungan. Penelitian Hoffman et.al, (1980) menunjukkan bahwa pH air hujan yang telah melewati tajuk pohon lebih tinggi, jika dibandingkan dengan pH air hujan yang tidak melewati tajuk pohon.

• Penyerap Karbon monoksida (CO) Kacang merah (Phaseolus vulgaris) dapat menyerap gas karbon monoksida (CO) sebesar 12-120 kg/km2/hari. Mikro-organisme dalam tanah berperan baik, dalam menyerap gas ini dari udara dari yang semula konsentrasinya sebesar 120 ppm (13,8X104 ug/m3) menjadi hampir mendekati nol, hanya dalam waktu tiga jam saja (Smith, 1981, Bidwell & Fraser dalam Smith, 1981 dalam Dahlan, 1992).

• Penyerap Karbon dioksida (CO2) dan Penghasil Oksigen (O2)

Tanaman pada ekosistem daratan, termasuk hutan alam, tanaman pertanian, termasuk mangrove dan tanaman pada ekosistem lahan basah lain, selain fitoplankton, ganggang dan rumput laut, dan tumbuhan lain dalam perairan laut, seperti padang lamun, mampu menyerap karbondioksida dan penghasil oksigen dalam proses fotosintesis, menggunakan cahaya matahari. Dalam ekosistem daratan jumlah luasan hutan sudah sangat jauh berkurang, maka pembangunan dan penataan hutan kota sebagai bagian RTH kota, sudah sangat mendesak. Salah satu dampak negatif bertambahnya gas karbon monoksida (CO) ini adalah meningkatkan efek gas rumah kaca, sedang

di lain pihak proses asimilasi tersebut akan menghasilkan oksigen yang penting bagi kehidupan biota di dunia, terutama bagi manusia. Tanaman yang baik dalam menyerap gas karbon dioksida (CO2) dan menghasilkan oksigen (O2), antara lain: Damar (Agathis alba), Kupu-kupu (Bauhinia purpurea), Lamtoro Gung (Leucena leucocephala), Akasia (Acacia auriculiformis), dan Beringin (Ficus benyamina).

• Penahan Angin

Faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam merancang suatu hutan kota, khususnya untuk menahan angin, (Grey & Deneke, 1978) dengan memperhatikan jenis tanaman yang ditanam harus memiliki dahan yang kuat, daun tak mudah gugur oleh terpaan angin yang berkecepatan sedang, akar pohon yang dapat menghujam ke dalam tanah sehingga lebih tahan terhadap hembusan angin yang cukup kuat ketimbang tanaman berakar menyebar di sekitar atau dekat dengan permukaan tanah, memiliki kerapatan cukup (50-60 persen), serta tinggi dan lebar jalur hutan kota yang cukup luas, sehingga dengan baik dapat melindungi wilayah sesuai dengan yang diinginkan. Menurut Panfilov dalam Robinette (1983), dikemukakan, bahwa angin kencang dapat dikurangi sampai b75-80 oleh su.....

• Penyerap dan Penapis Bau Tanaman dapat menyerap bau secara langsung atau menahan gerak angin dari sumber bau (Grey & Deneke, 1978) seperti dari tempat pembuangan sampah yang terbuka (open dumping), apakah itu TPS atau pun TPA. Akan lebih efektif bila tanaman tersebut berbunga atau berdaun harum, seperti Cempaka (Michelia champaka), Pandan (Pandanus sp.), kemuning (Murraya paniculata) atau tanjung (Mimusops elengi).

• Mengatasi Penggenangan

Daerah yang topografinya relatif rendah sering menjadi genangan air, karena itu perlu ditanami dengan jenis tanaman dengan kemampuan evaporasi tinggi. Kriteria tanaman ini biasanya berdaun lebat, sehingga jumlah permukaan daunnya relatif luas dan jumlah stomatanya pun banyak. Jenis tanaman dengan penguapan relatif besar ini, antara lain Nangka (Artocarpus integra), Albazia (Paraserianthes falcataria), Acacia vilosa, Indigofera galegoides, Dalbergia sp., Mahoni (Swietenia mahagoni), Jati (Tectona grandis), Ki Hujan/Trembesi (Samanea saman), dan Lamtoro Gung (Leucena glauca).

IV - 12

• Mengatasi Intrusi Air Laut Kasus ini terjadi terutama pada kota-kota yang terletak di jalur pantai, sehingga rawan terhadap intrusi air laut. Pemilihan tanaman harus benar-benar diperhatikan, sebab penanaman tanaman yang kurang tahan terhadap kandungan garam yang sedang agak tinggi, akan mengakibatkan tanaman tak dapat tumbuh baik, bahkan mungkin sampai mati. Penanaman tanaman yang mempunyai daya evapotranspirasi tinggi akan menguras air dalam tanah, sehingga konsentrasi garam dalam tanah akan meningkat. Dengan demikian penghijauan semacam ini justru akan mendatangkan masalah bukan mengatasi intrusi air asin, karena itu diperlukan penghijauan kota di kawasan semacam ini, namun dengan memakai jenis tanaman dengan daya evapotranspirasi rendah. Berbagai jenis tanaman bakau (mangrove), termasuk tegakan Nipah (Nypha fruticaus), dan asosiasi dalam ekosistem mangrove lain akan sangat sesuai untuk daerah pesisir pantai ini. Jenis-jenis tanaman Ketapang (Terminalia catappa), Nyamplung (Callophyllum innophyllum), dan Keben (Barringtonia asiatica) sangat sesuai terutama sebagai pohon peneduh dan pelindung di sepanjang pantai yang umumnya mendapat sengatan sinar matahari paling tinggi.

• Produksi Terbatas Sudah dapat dibuktikan, secara ekonomis bahwa fungsi produksi hutan kota sangat signifikan. Hasil pokok kayu maupun hasil sampingan lain bisa dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, tentu saja tidak sebanyak jumlah dari hutan alam maupun hutan produksi. Dahlan (1992) menyebutkan bahwa 740 pokok mahoni di kota Sukabumi, dilelang seharga Rp. 74.000.000,00 juta saja. Padahal tanaman tersebut secara nominal harusnya lebih berharga dari nilai tangible tersebut, apabila ditinjau dari nilai intangible-nya, misalnya dari bentukan iklim mikro yang nyaman dengan adanya pohon-pohon tersebut. Manfaat lain, masih banyak lagi, dari bunga dan buah yang melengkapi susunan gizi warga masyarakat sekitar, buah dan biji kenari yang bisa digunakan untuk makanan dan kerajinan tangan, dan tanaman lain, seperti Pala, Kawista, Sawo, Kelengkeng, Menteng, Kersen, Duku (Lancium domesticum), Asem (Tamarindus indica), Melinjo (Gnetum gnemon), Buni (Antidenua bunius), atau Mangga (Mangifera indica). Buah mangga madu yang di tanam di sepanjang jalur hijau jalan, pada musimnya warga dapat memetik buah cuma-cuma, untuk dimakan di

tempat atau diolah menjadi sari buah (juice) atau buah kalengan yang berorientasi ekspor, contoh di Kota Chandigarh, India tersebut.

• Ameliorasi Iklim

Meningkatnya suhu dan debu di wilayah perkotaan dan kemacetan lalu-lintas yang semakin parah, terutama di musim kemarau, sangat berpengaruh terhadap kesehatan warga kota. Kondisi ini sangat memprihatinkan dan mengancam kesehatan anak kecil dan balita yang sangat rentan terhadap penyakit sesak nafas, batuk, dan infeksi saluran pernapasan atas (ISPA). Kota Singapura dan Kuala Lumpur dengan iklim relatif sama, telah berhasil membangun hutan kota dengan memelihara pepohonan besar yang dapat menahan sinar matahari dan pada malam hari sebaliknya dapat menahan radiasi cahaya matahari yang diserap permukaan bumi pada siang hari, sehingga udara tetap nyaman dan hangat. Penelitian Wenda (Dahlan, 1992) tentang pengukuran suhu dan kelembaban udara wilayah yang bervegetasi dengan berbagai kerapatan, lebih tinggi dibandingan dengan wilayah yang lebih didominasi perkerasan jalan (aspal), dan bangunan (tembok), yang menghasilkan beberapa angka perbandingan wilayah bervegetasi suhu: 25,5–31,0° celcius, kelembaban 66-92 persen; yang kurang bervegetasi: suhu 27,7–33,1, kelembaban 62-78 persen, dan areal padang rumput, mencapai suhu: 27,3–32,1, kelembaban 62-78 persen. Demikian pula penelitian Koto (Dahlan, 1992), di dalam komplek Manggala Wana Bhakti, Jakarta, ditemukan pula, bahwa suhu di dalam ‘hutan buatan’ lebih nyaman (terendah) dibandingkan dengan areal parkir maupun padang rumput dan di sekitar bangunan di perkantoran yang sama.

• Pengelolaan Sampah

RTH sudah seringkali dinyatakan mampu sebagai peredam kebisingan, bau, silau, dan pelindung struktur tanah. Di Provinsi Wurtenberg di Jerman Selatan, di mana pada setiap kota hanya dihuni maksimal dua juta jiwa, mewajibkan adanya hutan kota pada lokasi tempat pembuangan sampah, sebagai peredam buangan sampah warga kota, baik berupa sampah padat maupun limbah cair. Kedua jenis sampah itu ditampung dalam kontainer khusus yang secara berkala di semprotkan atau diletakkan ke dalam hutan kota tersebut di mana telah ‘ditanam’ sejenis mikroba tertentu yang kembali mengasimilasi sampah dan limbah tersebut, sehingga bisa keluar sebagai material padat (humus)

IV - 13

dan cair yang bersih atau netral yang dapat dimanfaatkan kembali (Purnomohadi, 2002).

• Pelestarian Air Tanah

Sistem perakaran dan serasah yang berubah menjadi humus akan memperbesar pori-pori tanah, karena bersifat higroskopis, maka jumlah air tanah akan meningkat. Daerah hulu harus dilindungi dan ditetapkan sebagai daerah resapan air, sebagai penahan air hujan agar mengurangi larian air permukaan. Menurut Manan (Dahlan, 1992) tanaman dengan evapotranspirasi rendah adalah jenis Cemara Laut (Casuarina equisetifolia), Karet (Ficus elastica), Hevea brasiliensis, Manggis (Garcinia mangostana), Bungur (Lagerstroemia speciosa), Fragraea fragans, dan Kelapa (Cocos nucifera).

• Sebagai Habitat Burung

Di wilayah perkotaan dikenal berbagai ‘hewan kota’ seperti burung, tupai, dan berbagai serangga yang menjadi bagian dari keanekaragaman hayati dan sumber plasma nutfah untuk keseimbangan ekosistem perkotaan. Burung sangat diperlukan sebagai pengendali serangga hama, membantu proses penyerbukan, bernilai ekonomi tinggi, fauna penghibur (warna-warni bulu, suara merdu), dan obyek penelitian. Sedangkan berbagai tanaman yang disukai untuk habitat burung adalah Kiara, Caringin, dan Loa ( Ficus, spp), Beringin (Ficus benjamina), Ficus variegata, Ficus glaberrima yang buahnya disukai burung, Dadap (Erythrina variegate) yang bunganya menghasilkan nectar, Betet (Psittacula akexandri), Serindit (Loriculus pussilus), Jalak (Sturnidae), dan beberapa jenis burung madu. Bunga Dangduer (Gossampinus heptaphylla) yang berwarna merah menarik Burung Ungkut-ungkut dan Srigunting, Aren (Arenga pinnata) (ijuk batang aren sering dimanfaatkan burung untuk membuat sarang), Pucuk Bambu (Bambusa spp) sering digunakan sebagai tempat bersarang Burung Blekok (Ardeola speciosa), dan Manyar (Ploceus sp.). Sedang jenis lain, seperti Burung Cacing (Cyornis banyumas), Celepuk (Otus bakkamoena), Sikatan (Rhipidura javanica), Kepala Tebal Bakau (Pachycephala cinerea), dan Prenjak Kuning (Abroscopus superciliaris) bertelur pada pangkal cabang antara dedaunan dan di dalam batangnya.

• Meningkatkan Keindahan Mengurangi tekanan kejiwaan. Dalam suasana sejuk, tenang, dan indah karena ada tetumbuhan di taman rumah, taman lingkungan, dan taman kota, sudah pasti akan menyejukkan perasaan secara psikologis maupun fisik. Oleh karena itu, kini rumah sakit dilengkapi Taman Terapi, untuk penyembuhan rohani dan jasmani pasien. Tidak ada orang yang tidak menyukai suasana alami yang diciptakan RTH kota, termasuk kehadiran hutan kota. Dari berbagai referensi diketahui, bahwa sikap negatif warga kota, seperti stres, depresi, hingga bunuh diri, diketahui sebagian besar akibat pengaruh beberapa zat kimia yang masuk ke dalam peredaran darah dan sistem pencernaan manusia, seperti Pb, SOx, Nox, dan CO.

• Mengamankan Pantai terhadap Abrasi

Berbagai jenis tegakan hutan bakau atau mangrove, dari Avicinnea di tepi pantai sampai Bruguiera dan Nipah di sebelah darat, sangat bermanfaat mencegah erosi pantai (abrasi). Sudah relatif banyak penelitian yang menyatakan bahwa hutan bakau sangat penting sebagai ruaya (spawning ground) tempat bertelur dan membesarkan juveniles berbagai jenis ikan, udang dan moluska. Pengelolaan daerah pesisir dan laut terintegrasi (Integrated Coastal and Marine Environmental Management) di kota pesisir mendesak dilaksanakan, bersama seluruh stakeholders masyarakat pesisir, sebab ternyata 60 persen lebih permukiman terletak di wilayah pesisir Indonesia yang terpanjang kedua setelah pantai Canada yang terpanjang di dunia.

• Meningkatkan Industri Pariwisata Taman-taman rekreasi, mulai dari taman kota hingga hutan kota, berbagai skala di wilayah perkotaan, sudah pasti menjadi area rekreasi dan hiburan bagi warga kota. Berbagai jenis flora dan fauna, terutama yang langka, sangat menarik perhatian bagi pengunjung taman dan hutan kota, selain sebagai obyek pendidikan dan penelitian.

• Sebagai Hobi dan Pengisi Waktu Luang

Halaman pekarangan pribadi dan taman lingkungan perumahan, serta lahan cadangan untuk rencana pembangunan selanjutnya, merupakan komponen RTH, yang menjadikan kota indah dan sejuk, di mana aspek kelestarian, keserasian, keselarasan, dan keseimbangan sumberdaya alam, akan menciptakan lingkungan kota yang kondusif, nyaman, segar, meredam pencemaran dan kebisingan, sehingga warga dan kota menjadi sehat.

IV - 14

IV - 15

BAB V BAGIAN-BAGIAN (ANATOMI) RTH KOTA 5.1. PERKEMBANGAN DAN PEMBANGUNAN RTH KOTA

Akibat pembangunan tidak berwawasan lingkungan, luas RTH kota di berbagai kota semakin berkurang, jauh dari luas optimal 30 persen dari total luas kota. Secara umum, permasalahan ketidaktersediaan RTH kota secara ideal disebabkan oleh (Purnomohadi, 1994 dan KLH, 2001) : (1) Inkonsistensi kebijakan dan strategi penataan ruang kota, kurangnya

pengertian dan perhatian akan urgensi eksistensi RTH dalam kesatuan wilayah perkotaan. Perencanaan strategis pembangunan RTH di daerah belum memadai, karena dianggap sebagai ruang publik (common property) yang secara ekonomis tidak menguntungkan sehingga saling melepas tanggungjawab;

(2) Pemeliharaan RTH tidak konsisten dan tidak rutin. RTH sering dianggap sebagai tempat sampah, gubug liar dan sarang vektor pembawa penyakit, sehingga cenderung lebih menjadi ‘masalah’ dibanding ‘manfaat’;

(3) Kurangnya pemahaman (butir 1), berakibat tidak tersedianya RTH yang memadai, semakin mengurangi peluang bagi warga kota, terutama anak-anak, remaja, wanita, manusia usia lanjut dan penyandang cacat, untuk mendapat pendidikan dan pelajaran tentang kehidupan langsung dari alam sekitar, serta fasilitas olahraga, berekreasi dan bermain;

(4) Pencemaran ekosistem perkotaan terhadap media tanah, air dan udara semakin meningkat dan menimbulkan penyakit fisik dan psikis yang serius.

Pernyataan ‘hidup sehat itu mahal’ telah dibuktikan oleh para pakar kesehatan maupun para penderita penyakit. Hubungan antara pencemaran pada media lingkungan udara, air dan tanah dengan kesehatan sangat terkait erat, sebab warga kota akan menghirup udara tercemar yang sama,

makan dari hasil produksi bahan mentah dari sumberdaya buatan maupun alami yang relatif sama, di mana siklus rantai makanan (nutrient), terpaksa atau tumbuh melalui media tanam yang sudah tercemar. Sebagaimana kehidupan tubuh manusia yang sehat jasmani dan rohani, maka tubuh kota pun dapat selalu dijaga kesehatannya. RTH kota sebagai paru-paru kota, mampu menghasilkan udara bersih dan iklim mikro. Alur sungai yang ada dalam tubuh kota diumpamakan sebagai aliran darah yang harus selalu bersih dan lancar. Ketersediaan RTH digunakan sebagai salah satu kriteria pengembangan Kota Sehat, di mana warga kotanya dapat hidup sehat pula.

Perencanaan RTH kota harus dapat memenuhi kebutuhan warga kota dengan berbagai aktivitasnya. Kepmen PU No. 387 tahun 1987, menetapkan kebutuhan RTH kota yang dibagi atas: fasilitas hijau umum 2,3 m2/jiwa, sedang untuk penyangga lingkungan kota (ruang hijau) 15 m2/jiwa.

Dengan demikian, secara menyeluruh kebutuhan akan RTH kota adalah sekitar 17,3 m2/jiwa. RTH tersebut harus dapat memenuhi fungsi kawasan penyeimbang, konservasi ekosistem dan pencipta iklim mikro (ekologis), sarana rekreasi, olahraga dan pelayanan umum (ekonomis), pembibitan, penelitian (edukatif), dan keindahan lansekap kota (estetis). Semua jenis RTH harus diusahakan dapat berfungsi estetis, karena secara alami manusia membutuhkan hidup dekat dengan alam yang asri, nyaman dan sehat, sehingga terjadi siklus kehidupan penunjang fungsi ekosistem alam.

V-1

Tabel 6: Jenis, Fungsi, dan Tujuan Pembangunan RTH (Purnomohadi, 2001)

JENIS RTH FUNGSI LAHAN TUJUAN KETERANGAN TAMAN KOTA (termasuk: Taman Bermain Anak / Balita), Taman Bunga, (Lansia)

Ekologis, Rekreatif, Estetis, Olahraga (terbatas)

Keindahan (tajuk, tegakan pengarah, pengaman, pengisi dan pengalas), kurangi cemaran, meredam bising, perbaiki iklim mikro, daerah resapan, penyangga sistem kehidupan, kenyamanan.

Mutlak dibutuhkan bagi kota, keserasian, rekreasi aktif dan pasif, nuansa rekreatif, terjadinya keseimbangan mental (psikologis) dan fisik manusia, habitat, keseimbangan eko-sistem.

JALUR (tepian) SEMPADAN SU-NGAI dan PANTAI

Konservasi, Pencegah Erosi, Penelitian

Perlindungan, mencegah okupansi penduduk, mudah menyebabkan erosi, iklim mikro, penahan ‘badai’.

Perlindungan total tepi kiri-kanan bantaran sungai (+/- 25-50 meter) rawan erosi. Taman Laut.

TAMAN – OLAH RAGA, BERMAIN, RELAKSASI

Kesehatan, Rekreasi Kenikmatan, pendidikan, kesenangan, kesehatan, interaksi, kenyamanan.

Rekreasi aktif, sosialisasi, mencapai prestasi, menumbuhkan kepercayaan diri.

TAMAN PEMAKAMAN (UMUM) Pelayanan Publik (umum), Keindahan

Pelindung, pendukung ekosistem makro, ‘ventilasi’ dan ‘pemersatu’ ruang kota.

Dibutuhkan seluruh anggota masyarakat, menghilangkan rasa ‘angker’.

PERTANIAN KOTA

Produksi, Estetika, Pelayanan Public (umum)

Kenyamanan spasial, visual, audial dan thermal, ekonomi.

Peningkatan produktivitas budidaya tanaman pertanian.

TAMAN (HUTAN) KOTA/ PERHUTANAN

Konservasi, Pendidikan, Produksi

Pelayanan masyarakat dan penyangga lingkungan kota, wisata alam, rekreasi, produksi hasil ‘hutan’: iklim mikro, oksigen, ekonomi.

Pelestarian, perlindungan, dan pemanfaatan plasma nutfah, keanekaragaman hayati, pendidikan penelitian.

TAMAN SITU, DANAU, WADUK, EMPANG

Konservasi, Keamanan Keseimbangan ekosistem, rekreasi (pemancingan).

Pelestarian SD-air, flora & fauna (budidaya ikan air tawar).

KEBUN RAYA, KEBUN BINATANG (Nursery)

Konservasi, Pendidikan, Penelitian

Keseimbangan ekosistem, rekreasi, ekonomi. Pelestarian plasma nutfah, elemen khusus Kota Besar, Kota Madya.

TAMAN PURBAKALA Konservasi, Preservasi, Rekreasi

Reservasi, perlindungan situs, sejarah – national character building.

‘Bangunan’ sebagai elemen taman.

JALUR HIJAU PENGAMANAN Keamanan Penunjang iklim mikro, thermal, estetika. Pengaman: Jalur lalu-lintas, Rel KA, jalur listrik tegangan tinggi, kawasan industri, dan ‘lokasi berbahaya’ lain.

TAMAN RUMAH sekitar bangunan Gedung - tingkat ‘PEKARANGAN’

Keindahan, Produksi Penunjang iklim mikro, ‘pertanian subsistem’: TOGA (tanaman obat keluarga)/Apotik Hidup, Karangkitri (sayur dan buah-buahan).

Pemenuhan kebutuhan pribadi (privacy), penyaluran ‘hobby’ pada lahan terbatas, mampu memenuhi kebutuhan keluarga secara berkala dan ‘subsistent’’.

V-2

Kota identik dengan deretan beranekaragam bangunan-bangunan yang dibuat oleh manusia. Bangunan perumahan, perkantoran, sarana umum seperti pasar atau pusat perbelanjaan, rumah sakit, terminal, jalan raya, tempat hiburan, dan lain-lain dibangun demi kepentingan manusia (Nazarudin, 1996). Sebagian besar wilayah perkotaan di Indonesia mengalami kemunduran secara ekologis yang diakibatkan oleh ketidakharmonisan hubungan manusia dengan lingkungan hidup. Hal ini ditandai dengan meningkatnya suhu udara di perkotaan, penurunan air tanah, banjir/ genangan, penurunan permukaan tanah, intrusi air laut, abrasi pantai, pencemaran air oleh bakteri dan unsur logam, pencemaran udara seperti peningkatan debu, kadar karbon monoksida (CO), ozon (O3), karbon-dioksida (CO2), oksida nitrogen (NO) dan belerang (SO), serta suasana yang gersang, monoton, bising, dan kotor (Endes, N. Dahlan, 1992). Menimbang hal tersebut, maka pembangunan hutan kota sebagai salah satu alternatif pemecahan permasalah lingkungan perkotaan yang kompleks, sangat diperlukan. Hutan kota yang dibangun dan dikembangkan dapat mengurangi monotonitas, meningkatkan keindahan, membersihkan lingkungan dari pencemaran dan perusakan, meredam kebisingan, dan beberapa keuntungan lain. Pada dasarnya hutan kota merupakan bagian Ruang Terbuka Hijau (RTH) kota. Pembangunan hutan kota memiliki makna mengamankan ekosistem alam yang besar pengaruhnya terhadap eksistensi dan kelangsungan hidup kota itu sendiri. Hal ini perlu disadari oleh warga kota itu sendiri, sebab sudah menjadi kenyataan, bahwa potensi masyarakat merupakan hal utama dalam membentuk wajah kota yang hijau dan indah. Oleh karena itu, peran masyarakat sangat dibutuhkan dalam pembangunan dan pengembangan hutan kota. Hutan Kota adalah lahan yang bertumbuhan pohon-pohon yang kompak dan rapat di dalam wilayah perkotaan baik pada tanah negara maupun tanah hak, yang ditetapkan sebagai Hutan Kota oleh pejabat yang berwenang (PP No. 63 Tahun 2002). Pengertian Kota yang nyaman dan menyehatkan adalah kota dengan lingkungan yang kondusif bagi terwujudnya lingkungan yang bebas polusi,

tersedianya air bersih, sanitasi lingkungan yang memadai, perumahan dan permukiman yang sehat, perencanaan kawasan yang berwawasan lingkungan, serta terwujudnya kehidupan dalam suasana kemasyarakatan yang akrab dan saling tolong menolong, dan dengan upaya untuk tetap memelihara nilai-nilai budaya bangsa. Salah satu metode paling efektif dalam mengendalikan pencemaran udara adalah pengendalian pada sumbernya, tetapi metode ini belum menjamin 100 persen efektif dan efisien, karena keterbatasan teknologi dan dukungan finansial. Salah satu alternatifnya adalah penggunaan metode pengendali pencemaran udara bukan pada sumber pencemar, salah satunya yaitu dengan mempertimbangkan peran RTH (Warren, 1973). 5.2. TAMAN LINGKUNGAN PERUMAHAN (neighborhood Park), Taman

Bermain/ CPG, Manula /terbatas, OR skala perumahan) Menurut sejarah di negeri barat, rumah atau tempat tinggal, yang kemudian disebut perumahan bila berkumpul menjadi kelompok dari rumah-rumah adalah tidak merupakan rangkaian suatu kelompok yang terdiri dari lahan perumahan individual, atau jajaran perumahan, kondominium atau kompleks apartment. Hubungan antara ruang terbuka (RT), baik untuk kepentingan pribadi-pribadi (dalam masing-masing unit rumah) atau untuk kepentingan umum (publik), namun bila tertata (direncanakan) disebut sebagai: suatu sistem permukiman dengan berbagai sarana penunjang, bentuk arsitekturnya bisa beranekaragam, dimana masing-masing masih bisa mempunyai ciri khas tertentu. Sejarah transformasi adanya bentuk dan letak RT, menunjukkan bahwa RT tersebut, semula berada di dalam kawasan terbatas, yang dipagari tembok tinggi di sekeliling unit kelompok rumah tersebut, menjadi suatu komplek pembangunan permukiman berbentuk ‘cluster’ dimana RT dibangun bersama. Kemudian RT ini bisa menjadi lebih luas dan ‘dikeluarkan’ dari rumah-rumah individual yang berada dalam suatu lingkaran tertutup (cul de Sac), menjadi RT Hijau (RTH)-permukiman untuk keperluan pemanfaatan secara kolektif pula. Dua konsep ini maupun implementasinya saling bertolak belakang, yang semula privacy dijaga ketat, yang lain menjadi lebih ‘terbuka’. Hal ini tentu akan mempengaruhi, atau menggambarkan pula hubungan sosial antar penghuninya maupun konsep pandangan dasar, dilihat dari segi ekologi (lingkungan) binaan.

V-3

Pemelihara Taman Lingkungan Perumahan ini sebenarnya lebih diharapkan dilakukan oleh para penghuni atau masyarakat setempat. Sedang kegiatan pemeliharaan yang perlu, meliputi: penyiraman, pemangkasan, pembersihan, dan pemeliharaan hortikultural lain seperti penggantian tanaman yang rusak atau mati, ’penyulaman’, dan penananam kembali. Pada ruang terbatas, perlu perletakan wadah (pot) tanaman secara baik dan artistik, perlunya perbandingan proporsional antara tanaman pelindung dan tanaman perdu, semak dan penutup tanah dari unsur peteduh, hias, dan produktivitasnya. Pembangunan jalan setapak dan unit Taman Bermain, pelengkap pendukung bisa dengan sistem kerjasama antar lingkungan permukiman atau mencari dukungan swasta tertentu.

Gambar 1: Roman house at Pompeii, Italia. Penjelasan “ Ruang Terbuka” berada di dalam halaman dikelilingi tembok tinggi

Gambar 2: Cluster development, Kompleks permukiman di mana Ruang Terbukanya “keluar”

dari rumah–rumah individu, berupa suatu lingkungan tertutup “cul de sac”

5.3. TAMAN KOTA (UMUM, ALUN-ALUN, KEBON RAJA, TAMAN PEMAKAMAN UMUM/KHUSUS)

(Tambahan: Taman Kota (Umum: Alun-alun, Kebon Raja, Taman Pemakaman Umum/khusus (Yudhi?) Perkembangan RT(H) kota di Indonesia, sedikit banyak sangat dipengaruhi oleh pola perencanaan kota jaman kolonial, seperti ”Kebon Raja” yang sampai saat ini terdapat di Blitar. Namun demikian menurut sejarahnya alun-alun yang hampir selalu terdapat di kota-kota, khususnya di pulau Jawa, merupakan gambaran akan demokrasi pada era kerajaan Jawa, yang memerlukan sebuah area terbuka tempat raja berdialog dengan rakyatnya, sehingga RT semacam alun-alun tersebut. Dalam perkembangan kemanusiaan selanjutnya maka kota pada Abad Pertengahan, di mana lahan pertanian terbuka melingkari ‘organisme kota’, di dalamnya terdapat RT bersama (courtyard), jalan umum, dan ‘alun-alun’ (squares), yang sangat berdekatan satu sama lain, sehingga terkesan keakraban antar penghuninya. Pada abad ke-17 (dimulai di Perancis), diketahui adanya pemikiran secara sadar akan perlunya mengatur (perencanaan dan perancangan) secara khusus, suatu perumahan majemuk atau permukiman dalam skala yang luas, yang akhirnya akan mempengaruhi perkembangan bentuk-bentuk kota seperti yang kita saksikan sekarang ini. Di Kota Paris, biasanya di perumahan-perumahan kelas menengah (dianggap sudah mempunyai aspirasi khusus) dianggap perlu membangun suatu RTH dari suatu ‘halaman’ istana yang megah terletak di lokasi yang relatif lebih tinggi sebagai ‘simbol kekuasaan feodal’, dimana Taman Istana tersebut merupakan suatu poros menerus menuju ke bawah menembus kota (Versailles).

Gambar 3: Vaux-le-Vicomte

V-4

Gambar 4: Plan of Versailles (1662-1665), Citra RTH kota tropis tentunya berbeda antara negara-negara tropis maupun sub tropis, apalagi dengan negara beriklim dingin

5.4. TAMAN REKREASI (Aktif & Pasif: Stadion OR, Kebun

Raya/ Arboretum/Binatang: umum atau satwa, khusus: buaya, unggas, dll)

Taman-taman rekreasi seperti disebutkan di atas khusus dirancang untuk menampung kegiatan rekreatif penduduk kota yang mungkin bisa mencapai skala lebih luas dari batas kota. Taman-taman rekreasi semacam ini umumnya terletak di pinggiran atau perbatasan wilayah antar kota atau kabupaten, dimana diperlukan ruang yang relatif cukup luas untuk berbagai kegiatan pemenuhan kebutuhan rekreasi sesuai target yang terkandung dari namanya. Karakteristik pemilihan tanaman penghijauan untuk Taman Rekreasi ini pun disesuaikan dengan tujuan pembangunannya, kecuali Taman Botani (Kebun Raya atau Arboretum) tentu dipilih karaketer tanaman yang tidak membahayakan pengunjung ataupun penghuninya, misalnya tidak bergetah atau beracun, dahan tak mudah patah, perakaran yang tak mengganggu pondasi atau struktur bangunan taman, pengaturan tingkat pertumbuhan optimal masing-masing tanaman yang merupakan kombinasi tanaman, dan

seterusnya. Sedang persentase lahan yang dihijaukan, sebaiknya tidak kurang atau melebihi sebaran antara 40-60% luas keseluruhan tapak. Taman-taman rekreasi ini, selain untuk kegiatan fisik yang menyehatkan adalah amat bermanfaat bagi pendidikan anak-anak maupun generasi muda untuk mencintai dan menghargai lingkungan hijau, karena secara nyata mereka dapat memperoleh manfaat langsung dari eksistensi Taman Rekreasi ini. Pendidikan di usia dini, seperti pendidikan dan pelatihan untuk menjaga kebersihan lingkungan, memang merupakan satu syarat penting dalam membentuk orang dewasa yang bertanggung jawab dengan kondisi kejiwaan dan raga yang sehat. Modul-modul pentahapan kategori kegiatan pada pendidikan LH bagi kelompok usia balita sampai usia remaja (sekitar 18 tahun) sudah disiapkan oleh kantor KLH dan juga oleh Departemen Pendidikan Taman-taman lingkungan di Kota Taman Melbourne, Australia, seperti Albert Park yang menjadi taman rekreasi kota disediakan fasilitas yang tidak sekedar memenuhi unsur hijau, teduh dan asri, tetapi disediakan pula tempat khusus untuk berolahraga, seperti ’jogging track’ selebar 1-1,5 meter, mengelilingi kolam yang khusus dibangun untuk menambah unsur kesejukan alami. Bahkan pada taman rekreasi yang tersebar hampir di seluruh bagian kota, karena luasannya cukup sebagian khusus dipakai warga kota untuk melakukan olahraga dari jalankaki biasa, lari-lari kecil atau jogging, sepakbola, bahkan sampai disediakan fasilitas untuk bermain golf. (Yudhi harap menambahkan sedikit uraian lebih lanjut tentang taman rekreasi ini)

5.5. RTH KONSERVASI DAN PENGAMAN SARANA/ PRASARANA KOTA

Kawasan RTH, sebagaimana ditetapkan dalam UU No. 24/1992 tentang Penataan Ruang, maka konsep panataan ruang wilayah baik di luar maupun di lingkungan perkotaan, dikelompokkan ke dalam dua karakter utama, yaitu (1) Kawasan Lindung dan (2) Kawasan Budidaya. Di lingkungan perkotaan dunia, telah dikenal istilah ’hutan kota’ (urban forest), di mana tentu saja kondisi dan fungsinya tidak tepat benar dengan hutan konservasi ’asli’ atau ’alami’ yang letaknya di daerah ’remote areas’, seperti: hutan tropis dataran rendah atau hutan hujan pegunungan, dan seterusnya. Istilah kawasan untuk proteksi atau perlindungan, seperti: Taman Nasional, Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Hutan Bakau/Lahan

V-5

Basah, dan semacamnya lebih dimaksudkan bagi kawasan hutan-hutan yang fungsi pokoknya dipertahankan sebagaimana adanya secara alami. Termasuk juga di kawasan perairan, seperti Taman Nasional Laut, dan sebagainya. Namun, Taman Hutan Raya seperti yang terdapat di Bandung (Tahura Juanda) dan yang terdapat di ranah Minagkabau, Tahura Moh. Hatta misalnya, menurut penataan ekosistemnya bisa disebut sebagai salah satu tipe ”Hutan Kota”. Fungsi perlindungan pada hutan kota memang merupakan bobot nilai tertinggi di dalam kesepakatan asosiasi hutan kota dunia dibanding dengan bagian ruang terbuka kota tipe lain. Kawasan hijau buatan manusia yang dibangun di wilayah perkotaan, seperti: Taman Umum (Park), Kebun Binatang, Kebun Raya Botani, dan sebagainya meskipun bobot fungsi lain tetap sama dan sebangun, sebagaimana diuraikan secara rinci pada bab dan sub-bab sebelumnya seperti fungsi perlindungan terhadap sistem tata air, cahaya (terik) matahari, udara bersih, dan sebagainya. Pada hakekatnya selama daya dukung lingkungan alam tidak terlampaui, maka semua sistem ekologis yang seharusnya tetap bisa berlangsung secara alami tidak akan menimbulkan bencana. Daya dukung lingkungan alami ini adalah suatu kemampuan alam untuk memenuhi kebutuhan konsumsi makhluk hidup (termasuk manusia) pada suatu wilayah tertentu, sedemikian rupa sehingga alam masih bisa melakukan proses asimilasi (pencernaan kembali), misalnya mencerna limbah hasil kegiatan semua makhluk hidup yang ada pada wilayah tertentu tersebut hingga bisa dimanfaatkan kembali. 5.5.1 Jalur Hijau (Pedestrian, Lalu-Lintas/Jalan, Kolong

Jembatan/Jalan Layang, Jalur Tegangan Tinggi Bantaran Rel Kereta Api)

Urbanisasi yang terus terjadi bahkan meningkat di hampir semua wilayah lingkungan perkotaan akibat daya tarik kegiatan pembangunan yang memikat, ditambah pula dengan terjadinya kemiskinan di perdesaan akibat semakin terbatasnya lahan usaha, ’memaksa’ pendatang membangun permukiman sekenanya, yaitu mencari ruang atau lahan-lahan, yang menurut mereka nampaknya masih memungkinkan untuk lokasi hunian sementara, bahkan di sekitar lokasi pembuangan sampah. Tujuan pokok mereka, umumnya adalah untuk tinggal sementara dalam keperluan mencari uang, yang secara periodik dibawa pulang ke kampung halaman

mereka masing-masing, sebagai modal usaha atau biaya pendidikan anak-anak mereka dan penunjang kehidupan keluarga di kampung. Maka ’lahan-lahan terbuka’ (hijau) seperti jalur hijau lalu lintas, bantaran sungai, danau atau pantai, bantaran jalur rel KA, lahan ’kosong’ dan semacamnya, menjadi sasaran empuk akhirnya menjadi daerah permukiman liar yang terdapat di seluruh bagian kota. Semakin lama lahan-lahan yang dimaksudkan sebagai sarana pengaman atau pelindung berbagai prasarana fisik kota tersebut tertutup oleh permukiman liar. Pengawasan rutin aparat pemerintahan kota yang berkewajiban menjaga ketertiban dan kelestarian fungsi lingkungan prasarana dan sarana kota yang sebenarnya berbahaya bagi permukiman tersebut, tak mampu diterapkan secara menyeluruh bahkan mengakibatkan permukiman liar semacam itu semakin meluas dan menjamur di seluruh ’sudut’ kota tanpa mampu dicegah. Upaya pengelolaan dengan pendekatan ’manusiawi’ maupun melalui tindakan hukum bahkan terkesan kasar telah sering dilakukan, namun upaya tersebut tak mampu melawan kenekatan para pendatang untuk terus bertahan hidup di lokasi permukiman darurat yang sebenarnya terlarang tersebut. Luas RTH khusus bagi upaya pengamanan sarana dan prasarana kota tersebut menjadi amat kurang, dan kualitasnya fungsi lingkungan pun sulit dipertahankan. Bahkan, menurut perkiraan (Dinas Museum dan Sejarah DKI, 1997) di majalah Properti Juni 1995, permukiman kumuh diproyeksi dari data yang ada, telah mencapai menyebar ke seluruh wilayah kota dengan luas sekitar 2,700 hektar. Permukiman kumuh (dan liar) ini tentu saja tidak mendukung suatu konsep penataan lingkungan hijau kota, disebut: ”Metropolitan Park System” dan yang sudah dicanangkan sejak tahun 1967. Pada prinsipnya setiap jengkal lahan di wilayah perkotaan, dapat dikatakan amat sangat berharga di samping juga selalu mempunyai masalah yang kompleks. Pemerintahan kota dimanapun telah berusaha mengatasi dengan berbagai cara, meskipun selalu terbentur pada ’masalah kemanusiaan’ yaitu kebutuhan penduduk akan permukiman yang terus meningkat. Maka, satu-satunya jalan rasional, bila pemerintahan kota sudah mampu, ditinjau dari berbagai segi baik kelayakan finansial, sosial, dan terpenting adalah kemampuan para SDM aparat pengelola kota, antara lain untuk menerapkan pembangunan sarana permukiman vertikal (bersusun) beserta

V-6

kelengkapannya, yang harus ditunjang oleh penegakan peraturan dan pengawasan yang ketat. Sosialisasi penataan ruang kembali perlu dimusyawarahkan dengan penduduk kota, agar rasa tanggungjawab dalam ikut membentuk suasana lingkungan kota yang sehat dan produktif dapat dimulai dari ’bawah’ tanpa dipaksakan dan dilaksanakan secara sinergis dan total di suatu atau beberapa lokasi percontohan secara tuntas, sampai mencapai hasil nyata yang optimal, berdasar pada kebutuhan dan tanggungjawab bersama, dan secara legal mendapat dukungan pemerintahan kota. Sarana RTH (atau ruang terbuka) untuk menampung berbagai kegiatan warga pun bisa dibangun dan dipelihara bersama dalam kantong-kantong hijau ’milik’ bersama pula, termasuk pemanfaatan ruang terbuka pada lahan atau jalur-jalur (koridor hijau) pengaman prasarana kota secara terbatas, dengan mengutamakan keamanan bagi penggunanya, seperti yang disebutkan di atas. 5.5.2 Jalur Biru (Bantaran Sungai, Rawa-Rawa, Pantai, Situ,

Waduk, Telaga, Danau, ’Retention Basin’) Perjuangan Melawan Air: peradaban manusia biasanya ditemukan di daerah pantai. Sekitar 80% dari kota-kota metropolitan dunia berlokasi di pantai, seperti Shanghai, Hong Kong, Tokyo, Manila, Jakarta, Sidney, Singapura, Bombay, Calcutta, Kairo, Rio de Janeiro, Buenos Aires, New York, Los Angeles, dan lain-lain. Nederland yang juga berlokasi di pantai, saking kecil negaranya bisa kita sebut saja sebagai ”kota pantai”, sejajar dengan kota-kota metropolitan di atas. Luas seluruh wilayah Nederland hanyalah 41.500 km2. Bandingkan dengan luas Indonesia yang 5,2 juta km2 (luas daratan 2 juta km2 dan luas lautan 3,2 juta km2). Posisi geografis Jakarta semacam kota-kota lain seperti disebutkan di atas, menjadikan Jakarta termasuk salah satu kota pantai yang harus terus menerus berjuang melawan air (Hagen, dan Lim, 2005 Departemen Transportasi dan Perairan, Belanda). Putra Mahkota Nederland, Pangeran William Alexander, seorang ahli Water Management, berujar: “Problem air cuma ada tiga, yaitu “TERLALU BANYAK, TERLALU SEDIKIT, dan/atau TERLALU KOTOR”. Namun Nederland sudah berhasil menjinakkan air. Semua teknik yang menyangkut air sudah dikuasai oleh Nederland, seperti membendung laut, mengatur ketinggian air tanah, menjernihkan air untuk minum, menetralisir air limbah,

membuat perairan untuk irigasi, mengeringkan rawa-rawa dan menjadikannya tempat pemukiman. Air di dalam tanah adalah musuh sekaligus teman, bisa sebagai reserve air minum, namun apabila terlalu deras alirannya akan menyebabkan tanah longsor di sana-sini. Maka pemerintah Nederland telah membangun sistim drainage dan riolering di bawah tanah, sedemikian rupa sehingga gerak-gerik air tanah dapat diatur sesukanya. Bila kekeringan akan dipompakan air ke dalam tanah, bila kebasahan akan disedot air tanahnya (Hagen, dan Lim, 2005 Departemen Transportasi dan Perairan, Belanda). Lalu bagaimana dengan pengelolaan kota-kota yang terletak di pesisir pantai, terutama kota-kota besar seperti Jakarta dan Semarang yang sampai saat ini masih ’berkutat’ dengan air banjir atau ’air genangan’? Pemerintah harus berani mengambil kebijakan berupa perubahan sistem pengelolaan DAS terutama di lingkungan perkotaan, secara drastis termasuk PLH di kota-kota rawan banjir dan genangan ini. Pada ’jalur biru’ (antara lain di bantaran sungai, rawa-rawa, pantai, situ, waduk, telaga, danau, ’retention basin’. Perancangan Retention Basin Meningkatnya urbanisasi yang mengakibatkan pula meningkatnya volume air permukaan ditambah pula dengan semakin menurunnya sumberdaya dan kualitas air bersih, menimbulkan pemikiran akan perlunya sebanyak mungkin ’menahan’ air permukaan khususnya pada musim penghujan pada suatu atau beberapa lokasi yang tersebar merata di seluruh wilayah kota, dalam suatu wadah salah satunya adalah yang populer disebut ’wet retention basin’ (WRB). WRB ini telah ada di wilayah Jakarta, namun belum berfungsi sebagaimana maksud pengadaannya. Contoh nyata adalah WRB di ’pulau lalu-lintas’ Taman Ayodya di sekitar Jalan Barito, Jakarta Selatan, dimana di sekelilingnya sudah dipenuhi oleh para pedagang bunga potong, ikan hias, burung dan segala kelengkapannya. Tapak tersebut semula direncanakan untuk menampung limpasan air hujan dari wilayah dan jalan di sekelilingnya yang memang letaknya lebih tinggi. Demikian pula ’Taman Lembang’ yang terletak di Jalan Lembang yang sudah dikelola sesuai fungsinya, yaitu untuk memenuhi kebutuhan penghuni di sekitarnya, atau disebut pula sebagai ”Taman Lingkungan”. Fasilitas di Taman Lembang ini sudah memadai, bila

V-7

digunakan untuk rekreasi terbatas, apalagi dengan dibangunnya air mancur penambah daya tarik dan mampu pula berfungsi untuk menyejukkan lingkungan. WRB ini, hendaknya dikelola dengan ”sistem engineering” khususnya untuk mengakomodasi debit air permukaan terbesar dan perlu ditingkatkan kualitas air simpanannya tersebut, sehingga dapat menghasilkan nilai tambah khusus. Penggunaan tanaman tertentu sebagai penyaring zat-zat polutan (terutama nitrogen dan fosfor) dan sedimen yang terbawa oleh aliran permukaan, termasuk garam-garam tanah, pestisida, logam berat, bakteri dan virus. Tanaman tidak hanya berfungsi untuk penambah keindahan dan peningkatan kualitas keanekaragaman hayati, namun juga bisa menjadi habitat satwa kota, dan yang terpenting adalah memperbesar fungsinya sebagai simpanan SD-Air berkualitas. Besar kemungkinan, bahwa apabila WRB ini disediakan di seluruh wilayah kota yang menjadi langganan genangan air, terutama di lokasi berelevasi rendah akan menjadi ’penangkal banjir alami’ yang sangat berguna. Kembali lagi kita semua diingatkan, bahwa penataan ruang yang ’seimbang’ dilanjutkan perancangan arsitektur lansekap dimana diterapkan pula sistem engineering lansekap yang sesuai sekaligus akan ’membersihkan’ media udara, air dan tanah. Bentuk kolam retensi yang bulat telor (ellips), ternyata paling sesuai, karena rekayasa teknik sirkulasi air yang tidak terhambat oleh sudut-sudut atau hambatan yang tidak perlu. Oksigenasi juga merupakan hal penting, apabila kualitas air memang amat rendah. Demikian pula ’dinding’ kolam yang tidak terlalu curam akan mampu menahan ’fluktuasi’ gelombang yang timbul akibat aliran ataupun angin kencang yang mungkin timbul, sehingga mengeliminasi erosi tepian kolam. Menurut Emmerling-Dinovo (1988), ukuran ideal suatu WRB adalah kolam retensi dengan perbandingan panjang/lebar lebih besar dari 2:1. Sedang dua kutub aliran masuk (inlet) dan keluar (outlet) terletak kira-kira di ujung kolam berbentuk bulat telor itulah terdapat kedua ”mulut” masuk dan keluarnya (aliran) air. Keuntungan yang diperoleh adalah bahwa dengan bentuk kolam yang memanjang semacam itu, ternyata sedimen relatif lebih cepat mengendap dan interaksi antar kehidupan (proses aktivitas biologis) di dalamnya juga menjadi lebih aktif karena terbentuknya air yang ’terus bergerak, namun tetap dalam kondisi tenang, pada saatnya tanaman dapat pula menstabilkan dinding kolam dan mendapat makanan (nutrient) yang larut dalam air.

Persyaratan pemilihan tanaman adalah yang secara fisiologis spesifik tanaman air, mampu menyerap dan menjerap polutan, dan menahan erosi, penting dipertimbangkan. Diperlukan penelitian dan beberapa percobaan dalam pemilihan tanaman yang memenuhi berbagai persyaratan ini.

5.5.3 Daerah Penyangga/Pengaman (Buffer Zone/Corridor Hijau) Kawasan Industri Pabrik, Pengolahan Limbah, dan Tempat Pembuangan Sampah (TPS/TPA)

Definisi Sistem Koridor Lingkungan (Environmental Corridor System): ”A connected and integrated system of mostly linear, near-natural areas which, for various reasons, have remained as almost undeveloped green belts passing through the man-altered landscape, and which have a prime value to man and/or nature by remaining in their closest to natural state.” Mempertimbangkan akan adanya unsur-unsur koridor kota yang umumnya selalu berasosiasi dengan ‘nilai-nilai lingkungan’. Menyebut koridor lingkungan, maka yang pertama kali sering terpikir adalah adanya saluran air kota. Terdapatnya berbagai unsur penunjang yang sangat bermanfaat sebagai suatu keanekaan, sesuai tujuan perencanaan semula bagi suatu wilayah rekreasi, yaitu adanya perencanaan beberapa aktivitas yang satu sama lain sangat tergantung pada adanya media air, seperti kegiatan olahraga, semacam renang, pancing, kano, dan berperahu. Di samping itu termasuk pemenuhan kebutuhan lain yang tak kalah pentingnya, yaitu sebagai sumber air bersih, air minum, maupun untuk penunjang penting kegiatan industri. Sebenarnya, setiap orang baik sadar maupun tidak, telah mendapat pengalaman kehidupan alami dari lingkungan sekitar, berupa panorama pegunungan yang menjulang ke langit, kumpulan pepohonan yang rindang, maupun pemandangan tepi laut yang seolah tanpa batas. Semuanya merupakan bagian integral dari serangkaian nilai-nilai alami yang seringkali menjadi sumber inspirasi manusia dalam menjalankan hidupnya. Demikian pula, kehidupan bebas (liar) yang merupakan bagian lingkungan alami, bukan saja sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia kini dan masa datang, tetapi mengandung juga nilai-nilai rekreasional yang sangat

V-8

dibutuhkan dalam siklus kehidupan makhluk hidup di dunia. Seringkali kondisi lingkungan alami beserta segala isinya ini mampu menghadirkan suasana misterius, terutama bila posisi manusia itu sudah jauh dari alam. Kreasi seorang arsitek lansekap sangat diperlukan untuk mengembalikan kedekatan alami antara manusia dengan lingkungannya. Bila diamati, maka berbagai bentuk peninggalan sejarah yang ada di sudut mana pun di dunia akan memberi perasaan tertentu dan pengetahuan akan asal-usul kebudayaan manusia yang tak pernah lepas dari nilai-nilai lingkungan, baik hubungan dengan Tuhan, sesama manusia, maupun dengan makhluk hidup lain (bio-geografis lingkungan flora, fauna), serta wadah fisik berupa media air, tanah, dan udara. Semuanya merupakan kondisi lingkungan alami maupun buatan yang dapat terus menopang kehidupan manusia. Bila keberadaan lingkungan beserta seluruh isinya ditelusuri dengan cermat, maka akan ditemukan banyak sekali kebetulan-kebetulan kondisi eksisting yang mempunyai nilai khusus. Suatu aliran misalnya, mengandung air sebagai salah satu dasar sumber daya yang sangat vital bagi kehidupan. Selain itu, bila pada suatu saat aliran bertemu suatu patahan permukaan tanah atau yang berbeda ketinggian, maka aliran air tersebut, akan berubah menjadi air terjun ataupun sebuah ‘tangga air’ (cascade), yang indah dipandang. Sedang pada daratan yang rata, maka dataran genangan air akan mendukung hamparan hutan yang penuh dengan tegakan pokok kayu yang sekaligus berperan sebagai habitat kehidupan flora dan fauna air (ecotone zones for wildlife and fisheries). Karakter kehidupan bebas lebih banyak terdapat pada wilayah-wilayah yang secara realtif tidak sesuai untuk penggunaan intensif oleh manusia, sebab agar manusia dapat hidup dengan aman dan nyaman, dia harus mampu merubah alam asli pada tingkat sedemikian rupa (man made), sehingga dapat dihuni. Manusia akan menghindar untuk terlalu dekat hidup di wilayah/daratan banjir atau terlalu dekat dengan garis pantai, karena bahaya alam yang relatif mudah terjadi, seperti banjir atau badai tsunami, juga pada wilayah yang kondisi geografisnya terlalu terjal. Namun demikian dilain pihak, ternyata karena unsur bahaya itulah maka tapak-tapak peninggalan

arkeologi justru banyak terdapat di daerah bahaya semacam ini, sebab akan menambah nilai mistik untuk menghormati alam yang sengaja diciptakan. Dari berbagai ilustrasi dari kenyataan bahwa lingkungan alami sangat diperlukan bagi kemaslahatan kehidupan manusia itulah, maka di mana pun manusia bermukim, perlu dipikirkan adanya koridor alami yang akan selalu mampu menyediakan berbagai kebutuhan manusia, misalnya akan udara dan air bersih, bahan makanan nabati maupun hewani, serta kebutuhan psikologis akan rekreasi alami, agar manusia dapat tetap hidup sehat. Koridor alami ini harus ada di sekitar atau masuk ke dalam di sela-sela antara lingkungan padat manusia, seperti permukiman kota, yang satu sama lain saling berhubungan dalam sistem koridor alami. Perencanaan makro maupun mikro dari koridor alami ini mutlak atau harus ada dalam pembangunan kota, maupun dalam upaya perbaikan (rehabilitasi) lingkungan kota secara umum. Koridor alami merupakan bagian RTH kota yang mempunyai fungsi pokok perlindungan dengan karakter memanjang, seperti di sepanjang jalur hijau jalan, bantaran sungai, rel kereta api, saluran tegangan tinggi (sutet). Sedang fungsi pengaman berupa hutan kota, sesuai dengan karakterisitik fisik (fisiografi). Pada suatu lingkungan kota yang sehat, mutlak diperlukan suatu ‘Peta Hijau’ yang memuat aliran air (waterways), bantaran banjir, peta topografi pembatas hutan lindung pegunungan dengan pembangunan fisik intensif, dan daerah-daerah kritis (tanah labil, mudah tererosi). Kombinasi dari karakteristik fisik lingkungan yang rapuh ini harus benar-benar dikenali baik letak maupun kondisinya sebagai daerah-daerah tidak dibangun (kawasan lindung) yang sangat bernilai bagi keseimbangan lingkungan kota secara menyeluruh. Sistem koridor lingkungan semacam ini dapat diterapkan baik di kota-kota yang sudah terbangun, maupun yang belum, bahkan mendekati kota-kota ‘alami’ seperti kota Palangkaraya, Kuala Kencana atau Pekanbaru, agar kota tidak semrawut. Secara fundamental, melalui pengetahuan akan kondisi fisik karakterisitk aliran air serta topografi suatu wilayah kota dapat direncanakan secara bijak kota ramah lingkungan, aman dan nyaman bagi penduduk kota.

V-9

Pola koridor hijau yang berbentuk linear (memanjang) semacam ini, akan meningkatkan nilai kualitas lingkungan ke seluruh wilayah kota, sebagai penyeimbang lingkungan kota yang telah terbangun padat di bagian kota yang lain. Pertemuan antara lahan dengan laut, misalnya dapat membentuk ‘garis tulang belakang’ sebagai kawasan lindung pantai, dengan berbagai kehidupan liar yang lengkap, sekaligus menjadi identitas lokasi. Dalam koridor lingkungan diharapkan terbentuk habitat flora dan fauna yang sesuai, sehingga dapat berkembang dengan baik (tangible and intangible values). Kawasan ini dapat menjadi area untuk kepentingan pendidikan, penelitian, dan pelatihan di lingkungan alami bagi warga kota. Koridor hijau juga bertindak sebagai pengaturan keseimbangan neraca air, yang bisa menyediakan ketersediaan air di musim kemarau, meresapkan air, dan menampung air di musim hujan. Koridor lingkungan, mampu memenuhi kebutuhan alami manusia yaitu kedekatannya dengan alam, sebab wujud dan fungsi sistem alami yang terbentuk, baik di wilayah perdesaan maupun perkotaan, sebagai konglomerasi permukiman manusia dalam skala mikro maupun makro. Demikian pula, demi esensi dan eksistensi kehidupan maka manusia harus memelihara lingkungan alami melalui cara-cara fisik, biologis maupun psikologis. Dalam zona alami yang penting ini, juga potensial sebagai area rekreasi dan pariwisata pemandangan serta sejarah tanpa upaya khusus. Artinya, biaya pemeliharaan relatif tidak tinggi, sebab tidak memerlukan upaya khusus, bahkan bila lingkar alami yang telah terjalin di dalam sistem koridor yang telah terbentuk dengan baik ini akan diubah, sudah pasti diperlukan biaya yang tinggi akibat kerusakan lingkungan yang timbul, terutama berdampak kepada kesehatan manusianya sendiri. Sistem koridor lingkungan ini berfungsi pula sebagai penyeimbang wilayah terbangun kawasan pertanian, industri, dan pembangunan wilayah perkotaan. Bagi negara tropis kepulauan seperti Indonesia koridor lingkungan alami ini sangat diperlukan eksistensinya di sepanjang garis pantai dengan bukaan-bukaan berupa area-area terbangun, pada lokasi-lokasi yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kegiatan penduduk, sarana dan prasarana permukiman.

5.6. BEST PRACTICES DI DALAM NEGERI

Masalah klasik yang akan terus mengancam pembangunan kota berkelanjutan adalah tantangan yang harus dihadapi agar pemerintah daerah, pengusaha, dan masyarakat umum, mau menghargai sebidang lahan hijau terbuka, sebagai komponen utama ruang terbuka hijau (RTH) kota terhadap tekanan ekonomi dan tingginya spekulasi nilai tanah. Dalam arsitektur lansekap kota, yang terpenting adalah bagaimana menjaga agar dalam memenuhi kebutuhan penduduk kota akan RTH yang aman, nyaman, sehat, indah, dan asri, RTH kota dapat berfungsi optimal, yaitu bila fungsi-fungsi alami LH dapat terus berlangsung, dan keseimbangan harmonis antara lingkungan buatan dan lingkungan alami dapat terus terbentuk. Peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan RTH dirasakan telah mencukupi, baik di bidang LH maupun dari sektor lain, seperti kesehatan, pekerjaan umum, kehutanan, pertanian, perikanan, perkebunan, dan perindustrian. Salah satunya adalah Inmendagri No. 14/1988 Tentang Penataan RTH di Wilayah Perkotaan, yang sayangnya belum didukung petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis). Akibatnya adalah kiblatisasi pembangunan dan pengelolaan RTH kota Jakarta, tanpa mempertimbangkan potensi dan identitas daerah, terutama dalam pemilihan materi tanaman yang belum tentu sesuai dengan kondisi geografis dan eko-tipe masing-masing kota atau lokasi tertentu. Kota (metropolitan) Jakarta bisa dijadikan panutan, di bidang pengelolaan RTH, tetapi hanyalah terbatas pada semangat perintisan dan usaha keras pengelola kotanya sejak 1963, yaitu dalam mewujudkan RTH menjadi nyata, sehingga nampak hasil upaya penghijauan di mana-mana. Perlu pula peningkatan kesadaran warga kota untuk mempertahankan, atau mau menyisihkan sebagian halaman rumah untuk dialokasikan sebagai halaman hijau pekarangan dalam bentuk: taman rumah, taman sari, kebun buah-buahan, apotik hidup atau sayuran. Jika tak tersedia ruang lagi, masih dapat diupayakan sistem tanaman bunga/buah dalam pot (tabulampot), atau sistem tanam bertingkat (vertikultur), sehingga tercipta suasana alami. Pelaksanaan aturan secara konsisten, seperti persyaratan pada Koefisien Dasar Bangunan (KDB) dan Koefisien Dasar Hijau (KDH) secara ketat, akan sangat membantu tetap tersedianya lahan hijau di perkotaan.

V-10

5.6.1 Provinsi DKI Jakarta Persentase dan bentuk RTH di berbagai kota di Jawa sangat bervariasi dan dipengaruhi oleh pola warisan kolonial. Alun-alun berfungsi sebagai tempat pertemuan Raja dengan rakyat, karena itu terletak di pusat kota dan dikelilingi oleh bangunan pusat pemerintahan. Kebun Raja atau Taman Sari sebagai tempat para Raja atau Gubernur Jenderal bertemu atau berekreasi, mirip dengan karakter kota-kota tua di Eropa abad XIX. Pola grid dengan kombinasi kurva linier di tempat tertentu, seperti sepanjang sungai, dan di pusat kota terdapat square (Gunadi, 1995). Contoh RTH warisan kolonial di Jakarta adalah Taman Fatahillah, Taman Lapangan Banteng (Parade Plaats/Waterlooplein, 1799), Taman Silang Monas (Koningsplein,1809), Taman Surapati (Bisschoplein, 1926) dan Taman Situ Lembang (1926), serta eks Makam Kebon Jahe yang telah dipugar menjadi Museum Prasasti. Untuk Kota Jakarta, yang fungsi utamanya adalah sebagai Ibukota Negara, mau tak mau harus berusaha mensejajarkan diri dengan kota-kota besar dunia yang secara terus-menerus meningkatkan kualitas lingkungan kotanya, yang tidak saja bersih, tetapi juga secara fisik dan sosial dapat berfungsi optimal. Proyeksi kebutuhan RTH hendaknya diarahkan pada: Preservasi pada zona pesisir (coastal zone) di Jakarta Utara sebagai

wilayah tepian air terbuka (waterfront) yang dilindungi, karena tanah yang labil sebagai hasil sedimentasi sungai-sungai, tanah rendah dan langganan banjir.

Preservasi daerah aquifer recharge area perlu memelihara daerah selatan Jakarta sebagai wilayah RTH untuk peresapan air.

Aliran sungai-sungai yang mengalir dari selatan ke utara Jakarta perlu dijadikan koridor preservasi hijau.

Program banjir kanal dengan waduk-waduknya perlu ditunjang dengan program penghijauan dan rekreasi air.

Koridor hijau di bawah kabel udara tegangan tinggi (SUTET) sesuai peraturan yang ada sebagai daerah pengaman.

Koridor jalur hijau jalan raya dan bantaran kereta api. Area-area rekreasi lingkungan dapat diintegrasikan pada jalur-jalur

preservasi hijau seperti tepi sungai, waduk, aquifer recharge area, pantai, dan lain-lain, serta diusahakan perencanaan penyebaran secara merata.

Adanya peraturan perundangan yang menunjang program RTH, baik makro maupun mikro.

Adanya pendanaan yang memadai untuk program RTH dan rekreasi. Selain banyak kerjasama telah dilakukan dengan pihak swasta (pengusaha), maka Pemda DKI Jakarta melalui Dinas Pertamanan dan Keindahan Kota. Pada akhir Desember 2005 lebih meningkatkan upaya pembangunan penghijauan dan keindahan kota bersama masyarakat mulai dari tingkat kelurahan. Kerjasama dalam mengelola RTH di tingkat kelurahan masing-masing, diharapkan agar (Dinas Pertamanan, 2005): • Sesuai dengan kebutuhan warga secara nyata di tingkat yang paling

dasar, yaitu pentingnya hidup sehat. RTH diyakini merupakan salah satu faktor penting mempertahankan fungsi lestari LH.

• Terlaksananya penghijauan memakai tanaman yang lebih berkualitas di seluruh ruang terbuka Kota Jakarta bersama masyarakat.

• Meningkatkan keindahan kota melalui penataan elemen sarana dan ornamen kota.

• Peran aktif masyarakat kota di bidang pertamanan dan keindahan paling tidak di sekitar rumah dan kelurahan masing-masing, dapat lebih tergalang, termasuk generasi muda.

• Tumbuhnya rasa memiliki yang penting demi menjaga keutuhan areal penghijauan karena semakin meningkatnya kesadaran untuk tidak merusak miliknya sendiri didasarkan pada kebutuhan hakiki untuk hidup sehat dan sejahtera.

Dinas Pertamanan DKI mengingatkan bahwa bila bagian rumah kita ada yang rusak, misalnya akan mudah mengganti dengan yang baru, tetapi bila sebuah pohon hilang, rusak atau mati, maka butuh waktu tahunan agar tanaman tersebut dapat hidup tumbuh dan dapat berfungsi kembali yang justru adalah untuk kepentingan manusia itu sendiri. Perda Provinsi DKI Jakarta No. 2/2005 Tentang Pengendalian Pencemaran Udara, merupakan salah satu cara penting PLH, khususnya agar kota Jakarta, khususnya untuk pemulihan kualitas udara yang sudah lama ditunggu-tunggu.

V-11

5.6.2 Kota Surabaya (foto-2 taman Kota Sby), diselingi oleh foto-foto yang ada Data Dinas Pertamanan Kota Surabaya, (1990), kondisi topografi wilayah kota pantai Surabaya relatif datar, dengan sebaran ketinggian antara 3-6 meter dpl, di sepanjang dataran pesisir dari Utara ke arah Timur, sampai 25-30 meter dpl di bagian Barat Daya yang membujur dari Timur ke Barat. Luas wilayah Kota Surabaya, sekitar 290,44 km2 terbagi ke dalam tiga wilayah Pembantu Kotamadya: Surabaya Utara, Timur, dan Selatan. Luas pusat kota yang padat berada dalam administrasi 11 kecamatan yang luasnya, sekitar 67,20 km2 sedang delapan kecamatan tersebar di pinggiran kota, sekitar 224,58 km2. Jumlah penduduk (1990) itu adalah sekitar 2, 6 juta jiwa yang sebagian besar terkonsentrasi di wilayah pusat kota, sehingga tingkat kenyamanan penghuninya pun tidak memadai. Pencemaran udara sudah nyata telah meningkatkan perbedaan suhu kota amat tajam antara daerah terbangun dan tidak terbangun, yaitu mencapai 10ºC. Di sinilah kemudian timbul peningkatan kesadaran akan pentingnya eksistensi dan fungsi RTH kota, sehingga sudah perlu dibentuk suatu unit khusus yang berdiri sendiri. Cikal-bakal terbentuknya Dinas Pertamanan Kota Surabaya, dimulai sebagai salah satu seksi Dinas Pekerjaan Umum (SK Walikotamadya Kepala daerah Kotamadya Dati II, No. 476/K, tanggal 5 April 1972), kemudian susunan organisasi dan tata kerja dinas PU ditingkatkan diperbarui kembali dengan SK No. 290/1985, di mana Seksi Pertamanan dan Makam (P&M) masih nerada dalam lingkup Dinas PU. Sehubungan dengan peningkatan kebutuhan pengelolaan yang lebih khusus, status Seksi P & M ini ditingkatkan menjadi Dinas Teknis yang berdiri sendiri, disebut: ”Dinas Pertamanan Kota” (SK Pemerintah Kodya Daerah Tk II No. 22/1987). Pelaksanaan pengelolaan RTH yang dikelola Pemerintah kota (cq. Dinas Pertamanan) tahun 1987, meliputi sekitar 388 hektar, berupa: Taman (107 Ha), Lapangan Olahraga (32 Ha) dan Makam (250 Ha), diharapkan pada tahun 2005 akan terjadi penambahan luas RTH sebesar 3% dari total luas yang 388 Ha tersebut.

Pemerintah Kota Surabaya, telah melaksanakan pembahasan (Raperda) Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dengan proyeksi penggunaan, sebagai berikut: • 17,6 Ha untuk perumahan (54%) • 0.1 Ha untuk perniagaan (3%) • 4 Ha untuk industri dan pergudangan (12,5%) • 0.9 Ha untuk sarana RTH (3%: OR, Makam, Taman) • 4 Ha untuk jalur hijau sekitar 12,5% (RTH, tambak dan konservasi) • 5,5 Ha untuk fasum dan jasa (15%) Rancangan tersebut berdasar pada asumsi jumlah penduduk Kota Surabaya tahun 2000 sekitar 2,6 jiwa, di pusat kota seluas sekitar 32,650 Ha. Dengan perkiraan pertumbuhan per tahun sekitar 1%, maka pada tahun 2005 jumlah penduduk akan mencapai sekitar 2,7 jiwa. Pemerintahan kota, kembali menerbitkan Perda No. 7/2002 Tentang Pengelolaan RTH yang dimaksudkan untuk meningkatkan mutu kehidupan bagi generasi masa kini dan yang akan datang. Mengingat pula bahwa PLH itu amat penting, termasuk peningkatan kesadaran bahwa, tanggungjawab akan upaya pelestarian fungsi LH, merupakan tanggung jawab bersama antar Pemda dan masyarakat Kota Surabaya. Pelaksanaan, Pemanfaatan dan Pengendalian RTH, diatur sebagai berikut: (a) Pemda berwenang memanfaatkan RTH milik.dikuasai daerah; (b) Setiap orang/badan dapat melakukan pengelolaan dan pemanfaatan RTH pada (a) atas ijin Kepala Daerah; (c) Sebaliknya terhadap RTH milik perorangan/badan, Pemda berwenang mengatur pemanfaatannya dengan Perda; (d) Pengelolaan RTH oleh setiap badan/perorangan dapat dilaksanakan secara terpadu oleh instansi Pemda, masyarakat dan pelaku pembangunan lain sesuai bidang tugas dan tanggung jawab masing-masing atas ijin Kepala Daerah, dan (e) Setiap penghuni atau pihak yang bertanggung jawab atas rumah/bangunan atau persil yang terbangun, wajib menghijaukan halaman/pekarangan dimaksud dengan menanam pohon pelindung, perdu, semak hias, penutup tanah/rumput, serta memeliharanya dengan baik.

V-12

Tabel 7: Pengelolaan RTH Rumah Tinggal

UKURAN JENIS KAVLING

SYARAT/KEWAJIBAN PENANAMAN MINIMAL

KOMPOSISI JENIS YANG CUKUP DENGAN

> 120 m2 satu pohon pelindung penutup tanah/rumput 120–240 m2 satu pohon pelindung, perdu &

semak hias penutup tanah/rumput

240-500 m2 dua pohon pelindung, perdu & semak hias

penutup tanah/rumput

500 m2 tiga pohon pelindung, perdu & semak hias

penutup tanah/rumput

Relatif sempit pakai sistem pot dan tanaman gantung lain

manfaatkan ruang di atas saluran got

Sedang di luar rumah tinggal pribadi atau tunggal, diperlukan pula peran para: • Pengembang perumahan wajib menwujudkan pertamanan/penghijauan

pada lokasi jalur hijau sesuai rencana tapak yang disahkan. • Bangunan kantor, hotel, industri, pabrik, bangunan perdagangan, dan

bangunan lain, diberlakukan persyaratan penanaman mirip Tabel 5 di atas, namun untuk kavling >240 m2 wajib ditanami tiga pohon pelindung.

• Tiap jalur jalan hijau di seluruh bagian kota sedapat mungkin diusahakan untuk ditanami tanaman peneduh.

• Tiap pemilik atau yang bertanggung jawab atas lahan terbuka berupa lereng dengan kemiringan >15º wajib ditanami dengan satu pohon penghijauan pada setiap 15 m2 dan penutup tanah/rumput dalam jumlah memadai.

• Pemanfaatan RTH perlu dikendalikan sesuai fungsinya, melalui ijin dari Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuk, serta sanksi hukum yang mengikat.

• Diterapkan pula persyaratan (tarif) retribusi pemotongan pohon (Perda No. 2/1978 dan No. 8/1993), di mana tercantum berbagai tarif untuk pemotongan berbagai ukuran pohon serta persyaratan penggantian (peremajaan) dengan tanaman baru secara seimbang.

Semboyan ”Kota Pahlawan Surabaya” dengan motto (2000), sebagai kota INDAMARDI (industri, perdagangan, maritim, pendidikan), maka umumnya ”Taman kota” Surabaya digolongkan pula menurut fungsi dan kegiatannya sebagai berikut (1990):

(1) Taman Monumen, dimana terdapat patung-patung perjuangan yang akhirnya nampak menonjol di antara taman kota yang ada, misalnya: Taman Monumen Tugu Pahlawan dengan patung setinggi 45 meter, dibangun tahun 1952 sebagai peringatan pertempuran tanggal 10 November 1945, berkaitan dengan ”Taman Wira Surya Agung” di ujung Jembatan Wonokromo, Taman-taman Monumen lain adalah: TM Mayangkara, TM Ronggolawe dan TM Bahari;

(2) Taman Lingkungan, meliputi RTH yang umumnya dikelilingi oleh jalan lingkungan dalam bentuk persegi, bundar dan oval. Taman ini sering dimanfaatkan untuk menampung aktivitas warga kota, seperti: bersantai, bermain bagi anak-anak dan berolahraga, yang seringkali menjadi rusak karena minimnya sarana lapangan olahraga yang memadai;

(3) Taman Jalur Hijau Jalan, biasanya terletak pada median jalan yang cukup lebar, bersifat pasif, namun karena kadang cukup luas sesekali bisa dimanfaatkan pula untuk olahraga terbatas, namun tentu saja tidak dianjurkan karena pasti membahayakan;

(4) Taman ’Rotonde’, yang bersifat pasif pula dan letaknya biasa ada di persimpangan jalur lalu lintas, atau ’Taman ’traffic islands’;

(5) Taman Bermain, di mana lokasi maupun bentuknya amat mirip dengan Taman Lingkungan namun dibangun elemen khusus sebagai sarana bermain anak-anak;

(6) Taman Kantor, biasanya merupakan ’halaman’ kantor pemerintahan yang sangat luas, di mana masyrakat umum pun bisa memanfaatkan, seperti Taman Kantor Balai Kota;

(7) Taman Tepi Jalan, Viaduct, bersifat pasif untuk pengamanan prasarana; (8) Taman Stren (bantaran sungai), juga bisa merupakan ruang yang cukup

luas dan panjang, bahkan dipakai sebagai Taman Rekreasi, seperti Taman Kayun yang dimanfaatkan sebagai ’food court’ khas Jawa Timur. Pemanfaatan Kali Mas atau kali Surabaya, dulu dikenal sebagai salah satu atraksi rekreatif penelusuran sungai bagi warga Surabaya khususnya.

Dari berbagai ’jenis’ RTH tersebut, diakui bahwa pengelolaannya belum maksimal, karena berbagai kendala klasik, misalnya keterbatasan biaya dan SDM yang handal sebagai sarana pokok peningkatan kualitas RTH kota Surabaya, karena itu sampai tulisan ini disusun, peningkatan kualitas pengelolaannya masih terus dilaksanakan.

V-13

Materi tanamam penghijauan, sedapat mungkin menggunakan tanaman ’lokal’ melalui seleksi dengan kriteria tanaman yang relatif kuat, cepat tumbuh sehingga cepat mengesankan kehijauan dan keteduhan terutama di pusat kota. Tanaman terpilih dan telah disiapkan dalam kebun pembibitan kota, untuk program jangka panjang ini, misalnya (Distam Surabaya, 2000): (1) Sembirit (Blighia sapida), tak terlalu cepat tumbuh, hijau sepanjang

tahun, tajuk dapat diatur. Ciri khas: buah mirip buah jambu monyet, namun tak dapat dimakan, perbanyakan generatif melalui biji;

(2) Tabebuya (Tabebuia rosea), bentuk bunga seperti terompet, pertumbuhan tak terlalu cepat, bentuk tajuk dapat diatur, rekomendasi untuk penghijauan di bawah kawat listrik penghantar udara. Warna daun hijau sepanjang daun dan mengkilat. Perbanyakan generatif melalui serpihan-serpihan biji;

(3) Sono Banyu (Milethia sp), bentuk tajuk membulat, hijau sepanjang tahun, mampu tumbuh di daerah relatif kering atau kurang subur;

(4) Maja (Cresencia cujeta/Aegle marmeos), tanaman bernilai historis pada jaman kerajaan Majapahit, ciri khas: buah bulat mengkilat dan keras, sebesar jeruk Bali. Baik berfungsi peneduh, sebab karakter batangnya yang menjurai dengan ukuran daun relatif besar dan lebar, serta tak mudah rontok. Perbanyakan bisa secara vegetatif: (cangkok), maupun generatif melalui biji, serta mampu tumbuh baik pada lahan basah, atau pada daerah yang relatif sering terendam;

(5) Tanjung (Mimusops elengi), bentuk pohon priamidal dan menarik, berbunga harum, warna buah merah mencolok (seperti buah melinjo, Gnetum gnemon), baik untuk peneduh di sepanjang pedestrian (trotoir), di mana media (ruang)-nya relatif terbatas;

(6) Jambu air (Eugenia aquea L.), tidak dianjurkan ditanam pada jalur lalu lintas, yang pencemaran udaranya tinggi, namun lebih sesuai untuk lingkungan permukiman/kampung sebab buah segarnya (di musim kemarau).

Selain tanaman khas di atas, dibudidayakan pula material ’soft landscape’ yang lazim digunakan di lingkungan perkotaan, seperti: Asam Jawa (Tamarindus indica), Glodokan (Polyalthea longifolia), Bungur (Lagerstroemia speciosa), Dadap Merah (Erythrina cristagalli), Sawo Kecik (Manilkara kauki), dan lain-lain. (Gambar/foto di insert oleh Yudhi, dari pemaparan Ka Dinas pertamanan Kota Surabaya ?, Haryoso Rishadi, 2000)

5.7. BEST PRACTICES DI LUAR NEGERI 5.7.1 Rehabiltasi dengan Sistem Insentif Bagi Pemilik Lahan,

Belajar dari Kasus Kota Osaka: ’Osaka Business Park’ (OBP)

Bila ingin melihat ‘kota masa depan’, maka dapat dilihat perencanaan kota Osaka yang sedang gencar-gencarnya membangun, antara lain lapangan terbang termodern di dunia yang dibangun di atas permukaan laut. Belum lagi alat transportasi kota yang semakin lama semakin canggih demi kenyamanan hidup manusia kota. Orang tidak lagi kehujanan atau kepanasan, meski dia memakai kendaraan umum, tetapi merasa aman dan nyaman. Kota dirancang baik untuk bekerja maupun untuk tempat tinggal, telah digunakan pula pendekatan menyeluruh di dalam lingkungan terbangun. Di Kairo, Mesir, telah dibangun pula sebuah wilayah yang disebut dengan Kota Taman yang ternyata tidak terlalu jauh dari pusat kota. Bagian kota ini memang hijau, dan di beberapa tempat hanya terletak titik-titik bangunan, di antara keteduhan pohon hijau yang pekat. Meskipun tidak seperti di Kairo, Osaka juga terdiri dari bangunan-bangunan tinggi. Perencanaannya semula dimaksudkan agar, cahaya matahari dan penghijauan adalah sebagai dasar pelayanan dan menjadi bagian dari Osaka Castle Park. Tempat-tempat tersebut dirancang sebagai pusat baru bagian kota yang dilengkapi dengan fungsi yang berbeda-beda.

Pemilik lahan pribadi, mewakili empat badan hukum (tahun 1989, sudah ada sembilan yang terkait), telah mengorganisasikan sebuah Dewan Pembangunan, di bawah pengarahan dari Pemerintahan Kota Osaka. Dewan ini telah melaksanakan proyek persesuaian lahan dan telah mempersiapkan lembaganya. Karakteristik proyek persesuaian lahan adalah: • Sepanjang pinggiran perairan di sekeliling area, sebuah tempat untuk

berjalan-jalan dibangun, dimana penghijauan diatur sedemikian rupa, sehingga saling sinambung, misal: di antara jalur-jalur sungai, dimana pada musim panas atau musim lain sering digunakan untuk festival.

V-14

Jenis pohon khas Osaka adalah Ginko biloba, namun di sepanjang jalur transportasi (termasuk sungai tersebut), ditanam pula Pohon Sakura.

• Pada sumbu utara-selatan dibangun garis jalan selebar 7.5 meter yang ditanami Pohon Zelkova Jepang.

• Kemudian di wilayah kota, dibagi-bagi ke dalam kotak-kotak berukuran besar untuk meyakinkan agar terdapat ruang terbuka yang mencukupi bagi tiap blok tersebut.

Untuk mempromosikan formasi unsur-unsur pembentuk suasana harmonis dalam ruang kota dan untuk membentuk lingkungan yang baik, semua pemilik lahan telah menandatangani peraturan bangunan. Perancangan dari garis permukaan pagar yang berupa dinding tembok merupakan peletakan bangunan yang letaknya lebih ke belakang dari batas jalan; mengawasi agar terdapat lahan kosong cukup, dan terintegrasi pemanfaatan/ penggunaannya; mengkoordinasikan pemanfaatan bangunan, bentuk, dan warnanya; perimbangan perancangan sarana; dan pemeliharaan lahan hijau (sebuah perjanjian terpisah yang disisihkan khusus untuk promosi RTH). Osaka, sebagai kota terbesar kedua setelah Tokyo di Jepang juga telah menghadapi berbagai tekanan penduduk akibat segala aktivitas yang ditimbulkannya, maupun akibat urbanisasi dari daerah perdesaan di sekitar pinggiran Kota Osaka. Dengan kesadaran sebagian penduduk, terutama para pemilik lahan pribadi, telah dibentuk suatu lembaga untuk mengatasi keterbatasan lahan, dengan meningkatkan daya dukung lingkungan kota, melalui pengaturan bangunan (bertingkat), khususnya di pusat kota. Dengan garis besar petunjuk dan pengarahan Pemerintahan Kota Osaka, secara bersama-sama, mereka mengatur kembali ruang kota melalui perbandingan rasional antara ruang terbangun dan RTH. Dengan penanggulangan biaya bersama-sama, maka rehabilitasi bangunan yang ada dapat ditanggulangi melalui intensif yang diberikan oleh pemerintah. Pemerintah Kota Osaka telah memberikan bonus berupa pengurangan dari persentase persyaratan ruang terbuka bagi bangunan, dengan melalui pengelompokan dan perancangan kembali yang terbuka hijau bersama yang menjadi milik umum. Kasus di wilayah Kota Osaka dan sekitarnya adalah ternyata bahwa sebagian besar pembangunan dan perubahan terjadi pada daerah perkotaan. Pada separuh bagian akhir abad ke-19, orang Jepang berada dalam apa yang dikenal sebagai Periode Meiji, yaitu pada waktu Jepang

mulai dengan seperangkat usaha ‘modernisasi’, dimana sebagian besar area terbangun berupa kota perdagangan dan pabrik-pabrik. Tempat kerja dan permukiman tidak terpisah. Tak lama kemudian, pabrik-pabrik modern mulai dibangun di sepanjang jalur sungai di bagian pinggiran wilayah kota. Akibatnya, para pekerja kota mulai bergerak pindah di sekitar pabrik-pabrik tersebut, yang pada akhirnya menyebabkan penurunan (deteriorisasi) lingkungan. Pada tahap ini, para pedagang yang mampu dan berkelimpahan dapat pindah dan memisahkan tempat-tempat kerja dari tempat tinggal, pindah ke tempat yang relatif lebih tenang, jauh dari kota. Kemajuan modernisasi merupakan awal pengembangan perusahaan-perusahaan skala nasional maupun internasional. Pembangunan ini memungkinkan para pekerja berdasi atau kelas menengah mampu memisahkan tempat kerja dengan kediaman, kemudian mereka mulai membangun permukiman di daerah pinggir kota (sub-urb). Pada tahap ini, jaringan kereta api ke daerah pinggiran kota akan dibangun dan area permukiman sepanjang jalur kereta juga berkembang. Wilayah kota yang ada menjadi penerima dari meningkatnya aliran manusia yang masuk dari daerah (urbanisasi), menjadikan wilayah kota melebar menuju area-area di luarnya. Pada tahap ini (sejak tahun 1920-an), sama seperti juga kota-kota lain, pemerintahan Kota Osaka telah menerapkan sebuah program modern perencanaan kota. Proyek persesuaian lahan dilakukan simultan dengan pengembangan wilayah-wilayah pinggiran. Kemudian, tahun 1940-an, beberapa perluasan taman, direncanakan pada area-area pinggiran, tidak terlalu jauh dari wilayah kota. Tsurumi Park, salah satu diantaranya, semula adalah merupakan tempat pembuangan akhir (TPA) sampah kota, yang dikelola dengan metode konsolidasi lahan melalui sistem ’sanitary landfill’. Jadi, sudah sejak lama diproyeksikan menjadi semacam taman kota dan ternyata berhasil dilaksanakan pada tahun 1990 (setelah sekitar 50 tahun ’pematangan lahan’ TPA), awalnya sebagai tapak untuk kegiatan International Garden and Greenery Exposition tingkat dunia yang sekarang sudah menjadi lokasi atraksi wisata lokal, nasional maupun internasional, kebanggaan Kota Osaka. Taman yang dibangun dari bekas lokasi TPA, dan lain-lain, semacam yang ada di Tsurumi ini, menjadi sangat terkenal dan kemudian banyak ditiru

V-15

oleh kota-kota lain, karena mendatangkan banyak uang, misal dari segi pariwisata saja. Kini taman Tsurumi di Osaka tersebut telah menjadi semaam ‘Museum Taman’ yang banyak dikunjungi wisatawan dalam dan luar negeri, serta tentu saja menjadi andalan pendapatan asli daerah setempat. Investasi yang ditanamkan untuk membangun taman tersebut, tidak saja sudah kembali, bahkan sudah dapat mensubsidi silang pembangunan taman-taman kota baru yang bisa dipakai secara cuma-cuma bagi penduduk Kota Osaka. Sistem pengelolaannya pun berada di bawah satu instansi, bahkan dengan modal swasta. Pemerintah Daerah hanya mengawasi secara administratif atau bila ada masalah-masalah yang prinsip saja. Kasus lain, seperti kota-kota besar di Jepang yang perlu diperhatikan, misalnya mengapa sawah-sawah dan daerah pertanian lahan kering masih relatif banyak terdapat di tengah-tengah kepadatan dan kesibukan kota? Kawasan hijau tersebut dapat tetap bertahan, di samping atas permintaan pemerintah kota melalui sistem insentif pembebasan pajak atau subsidi, mereka sendiri juga dapat menikmati sebidang lahan pertanian tersebut, karena pada dasarnya pemilik lahan adalah petani tradisional yang kotanya sudah berkembang menjadi lebih luas. Ada suatu kebanggaan tersendiri baginya, meskipun hanya mendapatkan sedikit dari hasil pertanian, namun petani merasa cukup mendapatkan kompensasi dari pemerintah kota untuk tetap mengelola lahan pertanian kota (urban agriculture) yang menjadi haknya. Serangan udara yang melanda Kota Osaka selama Perang Dunia II, merusak sebagian besar pembangunan wilayah kota. Setelah perang, kota mulai dengan proyek persesuaian lahan. Meskipun demikian, untuk dapat memenuhi kebutuhan akan perumahan dari manusia yang berbondong-bondong masuk dari luar kota, pemerintah kota membangun kelompok-kelompok unit perumahan yang sempit dan berdesakkan pada daerah pinggiran. Kasus Kota Osaka dapat diterapkan di Indonesia, melalui sistem insentif, di kota-kota Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan, Makassar, Balikpapan, Banjarmasin, Pontianak, dan Samarinda. Melalui penyesuaian keadaan sosio-budaya masyarakat Indonesia, masih dimungkinkan adanya pendekatan yang mirip pendekatan di atas, didasarkan pada kebutuhan

ekonomi warga kota, sekaligus melestarikan karakteristik fisik dan budaya lokal. 5.7.2 Rehabilitasi Sungai Singapura dalam Waktu 10 Tahun,

Bagian dari Semboyan ’Clean And Green Planned City’ Pemerintahan Negara Kota Singapura sejak semula (1980-an) telah bertekad, untuk menata tata ruang kotanya sebagai kota tropis yang bersih dan teduh. Rehabilitasi dan revitalisasi melalui pembangunan kota Singapura ini, merupakan contoh baik penataan RTH kota tropis. Kebijakan pemerintah yang bertekad membenahi penataan kota tropis sejalan dengan fungsi ekologis alami, sehingga tercipta lingkungan kota yang sehat, nyaman, aman dan indah bagi penduduknya. Luas negara kota Singapura hanya 625 km2, berpenduduk 2.7 juta jiwa (1991) dan perkiraan 4 juta jiwa (2001), dengan kepadatan 4.300 orang/km2 (1991), menjadi 5.500 orang/km2 (2001). Dalam perencanaan kota, daerah padat hanya terbatas sampai 53 persen saja dari total luas kota, sementara kota Jakarta yang berpenduduk antara 10 juta jiwa (2003), daerah perkotaannya telah lebih dari 90 persen dari total luas kota 650 km2. Kombinasi perancangan kotanya, kelak akan menyediakan 2,4 hektar RT untuk 1,000 orang (1991: 0,7 hektar).

Pemerintah Singapura menetapkan 6 (enam) kategori RTH, didasarkan pada hierarki ruang terbuka yang saling berkaitan (interwoven), sebagai berikut : 1. Ruang terbuka alami (natural open space) berupa hutan bakau, daerah

hutan kota dan daerah lindung. 2. Taman kota dan halaman yang relatif besar dan luas, seperti taman

wilayah, dan taman lingkungan. 3. Lapangan olahraga dan rekreasi, seperti stadion, lapangan golf, bumi

perkemahan, dan kebun binatang. 4. Jalur hijau (green belts) pembatas dan penghubung taman-taman luas,

dan pengaman prasarana. 5. Jalur hijau (greenways) penghubung antar permukiman dengan batas

penduduk antara 200-300 ribu orang saja, bisa alami, dengan rancangan informal, atau berupa ‘pedestrian malls and plaza’.

6. Lain-lain, termasuk area pelatihan militer dan lahan pertanian.

V-16

Originalitas sungai Singapura di masa lalu hampir tidak nampak, sebab fisik sungai sebagian besar sudah direhabilitasi. Legenda bahwa Sang Nila Utama mendarat di Kuala Temasek yang adalah sungai Singapura sekarang. Tahun 1819 Sir Stamford Raffles dan anak buahnya mulai masuk ke arah hulu dan permukiman pertama dibangun di sepanjang tepian sungai. Perdagangan lalu berkembang di atas sungai dan Singapore dinyatakan sebagai pelabuhan bebas, sungai menjadi titik utama (focal point). Banyak gudang dibangun berdekatan dengan rumah toko (ruko) di sepanjang sungai termasuk bengkel kapal dan pabrik pembuatan kapal. Pabrik pengalengan makan bercampur dengan parik sagu, pabrik penggilingan beras, dan masih banyak lagi. Semua kegiatan tersebut telah mengotori sungai selama beratus-ratus tahun, pencemaranpun nyata dirasakan, telah membunuh kehidupan perairan sungai, muara (dan laut), sedang di pihak lain penduduk yang terus bertambah mendambakan pula air bersih berkualitas tinggi. Maka pada tanggal 27 Februari 1977, pada acara pembukaan reservoir di daerah hulu, PM Lee kuan Yew menantang Singapura untuk bersama-sama membersihkan sungai, dalam 10 tahun diharapkan orang bisa memancing ikan kembali di sungai Singapore dan sungai Kallang. Pada bulan September 1987, Menteri LH Singapore mencanangkan keberhasilan 10 tahun proyek kegiatan membersihkan sungai-sungai tersebut, seperti kita lihat pada gambar di bawah ini. (scanned foto-2 dari buku Singapore River Development guide plan, URA) 5.7.3 Curitiba Curitiba adalah ibukota Propinsi Parana di Brazil, yang sering dijadikan contoh tentang keberhasilan pengelolaan perkotaan dan pengembangan ruang terbuka publik di Negara berkembang. Curitiba merupakan kota yang penduduknya tumbuh sangat pesat dari 150.000 pada tahun 1950-an menjadi kota dengan 1,6 juta jiwa pada saat ini.

Gambar 5: Konsep Penataan Ruang Kota Curitiba

Tidak ubahnya seperti kota-kota lain di Amerika Latin, pada awal 1970-an Curitiba mengalami banyak masalah tipikal seperti permukiman kumuh, kemacetan lalulintas yang sangat buruk, pedagang kaki lima di segala penjuru, penduduk miskin dengan literasi kurang dari 50%, ruang kota yang sumpek, banjir dan ruang terbuka yang sangat terbatas (hanya 1 m2 per kapita).

Gambar 6: Pengembangan RTH pada Areal Kepadatan Rendah

V-17

Lalu Jaime Lerner, seorang arsitek yang terpilih menjadi walikota Curitiba pada tahun 1971, mencoba melakukan langkah-langkah perbaikan melalui penataan kembali dan reorientasi kota. Beberapa hal utama yang dilakukan antara lain adalah: Mendorong pembangunan dengan kepadatan tinggi di sepanjang lima

jalur arteri utama yang menyebar secara radial dari pusat kota ke arah luar. Dengan demikian pusat perdagangan yang ada tersebar ke segala dan beban lalulintas di pusat kota menjadi lebih ringan

Gambar 7: Zona Pedestrian di Pusat Kota

Membangun jaringan transportasi umum dari pinggiran kota ke arah pusat dan jalur-jalur sirkuler yang mengelilingi kota, dengan sistem busway yang memiliki frekuensi operasi dan daya angkut yang tinggi.

Meningkatkan penghijauan kota dengan membagikan 1,5 juta bibit tanaman kepada para penduduk di seluruh kawasan permukiman untuk ditanam dan dipelihara.

Mengembangkan danau-danau buatan di taman-taman kota yang baru untuk mengatasi masalah banjir.

Gambar 8: Kolam-kolam Retensi Banjir

Merekrut para remaja dan anak-anak jalanan untuk menjaga kebersihan taman-taman, dan meminta para pengusaha untuk mengadopsi mereka dengan imbalan sekedarnya untuk pemeliharaan taman dan kebersihan gedung-gedung perkantoran.

Menyalurkan PKL dengan mengadakan bazaar keliling pada setiap perumahan yang ada di kota Curitiba.

Mengembangkan zona-zona pejalan kaki di pusat kota yang mencakup kurang lebih 50 blok.

Membangun jaringan jalur sepeda sepanjang 150 km yang dapat menjangkau seluruh penjuru kota; dan

Memberikan keringanan pajak dan insentif lainnya kepada para pengembang jika mereka membangun ruang terbuka hijau.

Walaupun awalnya rencana-rencana tersebut banyak ditentang oleh para pengusaha di pusat kota, namun akhirnya mereka mengakui bahwa dengan lebih banyaknya ruang publik yang tersedia bagi pejalan kaki, lingkungan belanja menjadi jauh lebih nyaman, dan orang memiliki waktu lebih banyak untuk berbelanja karena tidak harus mengemudi dan memarkir kendaraannya sendiri. Di kawasan pusat perdagangan (CBD) Curitiba, saat ini jauh lebih banyak pejalan kaki daripada kendaraan yang lalu lalang. Saat ini Curitiba berkembang menjadi kota yang nyaman dengan 17 taman-taman baru, dimana tingkat ruang terbuka hijaunya meningkat dari 1m2 per kapita (1970) menjadi 55 m2 per kapita (2002), yang merupakan ukuran yang sangat tinggi untuk suatu kota. Tingkat pendapatan penduduknya pun

V-18

saat ini telah meningkat menjadi dua kali lipat pendapatan rata-rata penduduk Brazil.

Gambar 9: Penataan TPA Sanitary Land-fill

Dalam hal persampahan, saat ini Curitiba mendaur ulang dua per tiga sampah yang ada di kotanya. Angka tersebut merupakan tingkat daur ulang sampah tertinggi, bahkan dibanding negara maju sekalipun. Hal-hal yang dilakukan Curitiba dalam hal penanganan sampah ini antara lain: Masyarakat Curitiba membuang sampah organik dan anorganik secara

terpisah yang dikumpulkan oleh 2 jenis truk sampah; Orang-orang miskin yang tinggal di gang-gang sempit yang tidak dilalui

truk sampah, dapat membawa kantong sampahnya ke pusat pengumpulan dengan imbalan berupa tiket bus, telur, susu, jeruk atau kentang yang dibeli pemerintah dari kebun-kebun petani di pinggir kota.

Sampah-sampah yang ada didaur ulang di pusat pengolahan sampah yang mempekerjakan para penyandang cacat, imigran, dan pecandu alkohol.

Program penanganan sampah tersebut tidak lebih mahal dari model sanitary landfill, tapi kota yang ada menjadi lebih bersih, lapangan pekerjaan bertambah, petani terbantu, dan penduduk miskin memperoleh makanan dan tiket transportasi.

V-19

179Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman

BAB VIPENYELENGGARAAN RTH UNTUK

MEWUJUDKAN KOTA TAMAN

180 Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman

VI PENYELENGGARAAN RTH UNTUK MEWUJUDKAN KOTA TAMAN

6.1 KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENYELENGGARAAN RTH

Selaras dengan pelaksanaan Undang-Undang (UU)

No. 32 Tahun 2004, tentang Pemerintah Daerah, komit-

men untuk mewujudkan pembangunan kota secara

berkelanjutan, antara lain telah mensyaratkan pemba-

ngunan dan pengelolaan RTH secara konsisten dan

profesional. Otonomi Daerah harus bermuara pada pe-

ningkatan kesejahteraan masyarakat dan upaya menerus

untuk mendekatkan fungsi-fungsi pelayanan masyarakat.

Sistem, mekanisme, prosedur penyelenggaraan otonomi

daerah (baik UU maupun Peraturan Pemerintah/PP-nya)

harus jelas dan aplikatif untuk menghindarkan distorsi

kontra produktif. Otonomi Daerah dalam jangka panjang

harus mampu mewujudkan kemandirian daerah, dilak-

sanakan dalam wadah NKRI dan harus mampu meman-

tapkan demokrasi dalam semangat persatuan dan kes-

atuan.

Demikian pula Undang-Undang N0. 24 Tahun 1992

tentang Penataan Ruang di dalam revisinya telah men-

syaratkan ketentuan-ketentuan yang terkait dengan

RTH, antara lain bahwa rencana pengelolaan RTH ha-

rus merupakan bagian integral dari rencana tata ruang

wilayah sesuai dengan tingkatan dan skala perencanaan

(RTRWN, RTRWP, RTRWK, RDTR, RTR).

Penyesuaian perkembangan paradigma reformasi

pembangunan kota berkelanjutan, mensyaratkan pelak-

sanaan transparansi semua kegiatan, baik oleh pemerin-

tah maupun swasta (pengusaha dan lembaga masyara-

kat umum). Kesadaran akan hak dan tanggung jawab

pembangunan dan pengelolaan RTH tidak hanya meru-

pakan dominasi pemerintah, tetapi juga masyarakat,

dan penyesuaian program-program pembangunan yang

inovatif, kreatif, dan mutakhir. Sampai saat ini kebijakan

dan strategi penyelenggaraan RTH masih berdasarkan

pendekatan sektoral dan partial, yang selanjutnya di-

jabarkan ke dalam program-program sektoral secara

sendiri-sendiri. Di lingkungan Kementrian Lingkungan

Hidup misalnya, Program Bangun Praja, Super Prokasih,

Langit Biru, sampai kini masih dianggap sebagai gerakan

parsial lingkungan perkotaan saja.

Pembangunan lingkungan berkelanjutan sangat mem-

butuhkan peran sentral para arsitek lansekap yang sangat

berpengaruh dalam menggubah wajah alam, menjadi

suatu lingkungan kota yang layak huni, aman, nyaman,

sehat dan indah bagi manusia. Apalagi di era otonomi

daerah, dimana ternyata pembangunan daerah memer-

lukan bantuan, yaitu dalam mengarahkan pembangunan

kota berkelanjutan.

Perlunya pengelolaan RTH secara khusus diindikasi

oleh Departemen Dalam Negeri sejak tahun 1980-an ter-

indikasi dengan dikeluarkannya Instruksi Menteri Dalam

Negeri (Inmendagri) No. 14 Tahun 1988 tentang Penataan

Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Wilayah Perkotaan, yang

kemudian dijabarkan ke dalam konsep kebijakan dan

strategi pembangunan serta pengelolaan RTH secara

181Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman

umum. Inmendagri No. 14 Tahun 1988 hingga kini belum

didukung oleh perangkat Petunjuk Pelaksanaan (Juklak)

maupun Petunjuk Teknis (Juknis), menyangkut pengelo-

laan RTH yang sesuai kebutuhan masing-masing daerah,

utamanya Pemerintahan Kota dan Kabupaten.

Keterpurukan keadaan ekonomi, sosial dan politik,

telah menyita perhatian semua pihak agar bisa bertahan

hidup dan berusaha bangun untuk mengatasinya. Ironis-

nya pembangunan kota berkelanjutan, menjadi terabai-

kan dan krisis lingkungan semakin bertambah parah.

Untuk itu, perlu desakan segera mengkonsolidasikan diri

dengan masing-masing pihak terkait, agar lebih memper-

hatikan pembangunan lingkungan kota melalui pengelo-

laan RTH yang juga berkelanjutan.

Di era reformasi, hampir di semua sektor pemerin-

tah melakukan pembenahan struktur manajemen kerja

kembali sesuai tuntutan perkembangan kebijakan poli-

tik kepemerintahan. Sebagai contoh, Kementerian Ling-

kungan Hidup (KLH), mengalami perubahan struktural,

dengan demikian bahwa pengelolaan lingkungan hidup,

termasuk di wilayah perkotaan, dapat lebih mempertim-

bangkan keselarasan dan kesimbangan dengan alam

sekitar dan keseimbangan antar sektor.

Pemerintah telah menetapkan berbagai peraturan pe-

rundangan di bidang pengelolaan lingkungan hidup, dari

’pucuk’ gunung sampai ke ‘ujung’ laut. Tak hanya Kantor

KLH saja yang memang langsung diberi wewenang men-

gatur pengelolaan lingkungan hidup ini, berdasar pada

kemampuan dan tanggung jawab. Dalam pengelolaan

lingkungan hidup, yang penting adalah adanya kesadar-

an dan keterpaduan kerja untuk bersama-sama meles-

tarikan fungsi lingkungan dengan berbagai pihak, seperti

kerjasama antar sektor terkait, antara lain Departemen

Dalam Negeri, Departemen Pekerjaan Umum, Kantor Ke-

mentrian Kebudayaan dan Pariwisata, Departemen Per-

tanian dan Kehutanan, akademisi, praktisi profesional,

dan masyarakat umum.

Kantor KLH telah mencanangkan beberapa program

dan proyek, yang sebagian besar mencoba kembali mere-

habilitasi atau menata kembali lingkungan, khususnya

lingkungan perkotaan, dan membantu mempertahankan

lingkungan yang masih baik. Salah satunya adalah Pro-

gram Tata Praja Lingkungan (Good Environmental Govern­

ance/GEG), yang terdiri dari dua sub program, yaitu Pro-

gram Bangun Praja dan Program Masyarakat Madani.

6.1.1 Issue dan Tantangan dalam

Penyelenggaraan RTH

Isu yang berkaitan dengan ruang terbuka publik an-

Gambar 6.1 RPH (Rumah Pemotongan Hewan/Abatoir)

Pertanian Kotat memanfaatkan halaman ‘abatoir’ di Jakarta.

182 Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman

tara lain RTH secara umum, terkait dengan beberapa

tantangan tipikal perkotaan, seperti menurunnya kualitas

lingkungan hidup perkotaan, bencana banjir, longsor dan

perubahan perilaku sosial masyarakat yang cenderung

kontra-produktif dan destruktif seperti kriminalitas dan

vandalisme.

Dari aspek kondisi lingkungan hidup (LH), rendahnya

kualitas air tanah, tingginya polusi udara dan kebisingan

di perkotaan, merupakan hal-hal yang secara langsung

maupun tidak langsung terkait dengan keberadaan RTH

secara ekologis. Tingginya frekuensi bencana banjir dan

tanah longsor di perkotaan dewasa ini juga diakibatkan

karena terganggunya sistem tata air karena terbatasnya

daerah resapan air dan tingginya volume air permukaan

(run­off). Kondisi tersebut secara ekonomis juga dapat

menurunkan tingkat produktivitas, dan menurunkan

tingkat kesehatan dan tingkat harapan hidup masyara-

kat. Di sisi lain, exposure terhadap polusi udara yang ber-

lebihan dan terus-menerus dapat menyebabkan kelainan

genetik dan menurunkan tingkat kecerdasan anak-anak

di masa mendatang.

Secara sosial, tingginya tingkat kriminalitas dan konflik

horizontal di antara kelompok masyarakat perkotaan se-

cara tidak langsung juga dapat disebabkan oleh kurang-

nya ruang-ruang kota yang dapat menyalurkan kebutuh-

an interaksi sosial untuk pelepas ketegangan (stress)

yang relatif banyak dialami oleh masyarakat perkotaan.

Rendahnya kualitas lingkungan perumahan dan penye-

diaan ruang terbuka publik, secara psikologis telah me-

nyebabkan kondisi mental dan kualitas sosial masyarakat

yang semakin memburuk dan menekan.

Secara teknis, isu yang berkaitan dengan keperi-

adaan RTH di perkotaan antara lain menyangkut terjadi-

nya sub-optimalisasi penyediaan RTH baik secara kuanti-

tatif maupun kualitatif, lemahnya kelembagaan dan SDM,

kurangnya keterlibatan stakeholder dalam pengelolaan

RTH, serta ’selalu’ terbatasnya ruang/lahan di perkotaan

yang dapat digunakan sebagai RTH.

Pada kenyataannya, sub-optimalisasi ketersediaan

RTH terkait dengan kenyataan pada masih dari kurang

memadainya proporsi wilayah yang dialokasikan untuk

ruang terbuka, maupun rendahnya rasio jumlah ruang ter-

buka per kapita yang tersedia. Mengakibatkan semakin

rendahnya tingkat kenyamanan kota, menurunnya tingkat

kesejahteraan masyarakat dan secara tidak langsung

menyebabkan hilangnya nilai-nilai budaya lokal (artefak

alami dan nilai sejarah) akibat tergusur oleh kepentingan

ekonomi yang pragmatis.

Secara kelembagaan, masalah RTH terkait juga oleh

Gambar 6.2

Taman Umum (Public Park) di antara Gedung Permukiman Bertingkat

(apartment) di Singapura.

183Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman

belum adanya peraturan perundang-undangan yang

memadai tentang RTH, serta pedoman teknis pelaksa-

naan dalam pengelolaan RTH sehingga keberadaan RTH

masih bersifat marjinal. Di samping itu, kualitas SDM

yang tersedia juga harus ditingkatkan untuk dapat se-

cara optimal dan lebih profesional mampu memelihara

dan mengelola RTH. Di sisi lain, keterlibatan swasta dan

masyarakat umumnya masih sangat rendah. Potensi pi-

hak swasta dalam penyelenggaraan RTH masih belum

banyak dimanfaatkan, sehingga pemerintah sering dan

bahkan selalu terbentur pada masalah keterbatasan bia-

ya dan anggaran.

Walaupun secara teoritis dikatakan, bahwa ruang

perkotaan yang tersedia makin terbatas, namun dalam

kenyataannya banyak lahan-lahan tidur di perkotaan

yang cenderung ditelantarkan dan kurang dimanfaatkan.

Sementara ruang-ruang terbuka yang memang secara

legal diperuntukkan sebagai RTH, kondisinya kurang te-

rawat dan tidak dikelola secara optimal.

Untuk meningkatkan keberadaan ruang publik, khu-

susnya RTH di perkotaan, perlu dilakukan beberapa hal

terutama yang terkait dengan penyediaan perangkat hu-

kum, NSPM, pembinaan masyarakat dan keterlibatan

para pemangku kepentingan dalam pengembangan ru-

ang kota.

Beberapa upaya yang akan dilakukan oleh Pemerin-

tah ke depan antara lain adalah:

• Melakukan revisi UU 24/1992 tentang Penataan Ruang

untuk dapat lebih mengakomodasikan kebutuhan

pengembangan RTH;

• Menyusun pedoman-pedoman pelaksanaan (NSPM)

untuk peyelenggaraan dan pengelolaan RTH;

• Menetapkan kebutuhan luas minimum RTH sesuai de-

ngan karakteristik kota, dan indikator keberhasilan

pengembangan RTH suatu kota;

• Meningkatkan kampanye dan sosialisasi tentang pen-

pentingnya RTH melalui gerakan kota hijau (green

cities);

• Mengembangkan mekanisme insentif dan disinsentif

yang dapat lebih meningkatkan peran swasta dan ma-

syarakat melalui bentuk-bentuk kerjasama yang saling

menguntungkan;

• Mengembangkan proyek-proyek percontohan RTH un-

tuk berbagai jenis dan bentuk yang ada di beberapa

wilayah kota.

RTH merupakan kebutuhan pokok kota, demi man-

faat masa kini dan harapan untuk masa depan lingkungan

kota yang manusiawi untuk kesehatan dan kesejahteraan

penghuninya. Perencanaan pertamanan perkotaan (ur­

ban landscape planning) adalah bagian perencanaan la-

han yang dinamis dalam tata ruang kota. Merencana kota

pada hakekatnya ialah mengatur tempat untuk semuanya

dan semua pada tempatnya.

Guna menampung keinginan-keinginan semacam

itu, secara garis besar telah tertuang dalam rencana tata

ruang dari yang bersifat umum (RTRWN, RTRW Pulau,

RTRW Propinsi, Kabupaten dan RTRW Kota) hingga ren-

cana tata ruang yang bersifat detail dan rinci (RDTR Ka-

wasan dan RTR Kawasan). Besaran dan jenis RTH-nya

sendiri berdasarkan skala perencanaan dan tingkat ke-

pentingan/kebutuhannya.

Selanjutnya, peran, fungsi dan manfaat RTH tersebut

di atas diuraikan secara rinci, sebagai berikut:

184 Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman

• Terjaminnya ketersediaan oksigen dalam jumlah

yang cukup dan menerus;

• Terciptanya iklim yang sehat, udara bersih bebas

polusi;

• Terciptanya suasana teduh, nyaman, bersih dan

indah;

• Terkendalinya sistem tata-air (hidrologi) secara opti-

mal dan memungkinkan adanya hasil sampingan

berasal dari tanaman produktif yang sengaja dita-

nam di lokasi yang aman dari polusi pada media

tanah, air dan udara;

• Tersedianya sarana rekreasi dan wisata kota, yang

sekaligus berfungsi sebagai habitat satwa;

• Sebagai lokasi cadangan untuk keperluan sanitasi

kota dan pemekaran kota;

• Sebagai sarana penunjang pendidikan dan pene-

litian, serta jalur pengaman dalam penataan ruang

kota.

6.1.1.1 Permasalahan Pengelolaan RTH Kota

Menurut Dahlan (1992) dan Purnomohadi (1995), de-

gradasi lingkungan di sebagian wilayah perkotaan Indo-

nesia semakin parah. Hal ini ditandai oleh makin mening-

katnya suhu udara di atas kawasan perkotaan, penurunan

muka air tanah, pencemaran air tanah, udara, dan suara

(bising), amblasan permukaan tanah, intrusi air laut, abra-

si pantai, suasana gersang, monoton, membosankan dan

terjadinya tekanan psikologis penghuninya.

Kurangnya apresiasi akan pentingnya RTH, inkon-

sistensi kebijakan dan strategi Tata Ruang Kota yang

sudah ditetapkan dalam Rencana Induk Kota, serta le-

mahnya fungsi pengawasan (kontrol) dalam pelaksanaan

pembangunan kota, menyebabkan kuantitas dan kuali-

tas RTH semakin menurun. Hal ini lebih diperberat lagi

dengan adanya: pertentangan kepentingan antara nilai

ekonomi dengan nilai ekologis; keterbatasan luas lahan

akibat benturan kepentingan dalam fenomena pemba-

ngunan perkotaan, lebih ditekankan pada pentingnya

pembangunan sektor perindustrian dan perdagangan

yang dianggap mampu menyerap banyak tenaga kerja

(atau demi kepentingan ekonomi jangka pendek).

Masalah klasik pengelolaan RTH, dianggap sebagai

akibat keterbatasan dana dan SDM profesional, peme-

liharaan RTH yang tidak konsisten, dan pemilihan jenis

tanaman yang tidak sesuai persyaratan ekologis bagi

masing-masing lokasi, termasuk langkanya lahan pem-

bibitan tanaman penghijauan. Keterbatasan dana pem-

bangunan dan pengelolaan RTH memerlukan terobosan

pengembangan pola kemitraan hijau.

RTH sering dianggap sebagai lahan tidak berguna,

tempat sampah, atau sumber dan atau sarang vektor ber-

bagai penyakit. Pemahaman serta kesadaran masyarakat

akan arti dan fungsi hakiki RTH, umumnya masih sangat

kurang. Minimnya fasilitas RTH khususnya bagi kelompok

usia tertentu, seperti lapangan olahraga, taman bermain

anak, maupun taman lansia, apalagi taman khusus bagi

penyandang cacat. Penyediaan lahan untuk pemakaman

umum belum sesuai dengan harapan masyarakat umum

(Haryoso, 2003). Dalam penataan lansekap kota, etika,

dan estetika, khusus penempatan iklan/papan reklame

belum ditata menurut kaidah penataan ruang yang lebih

sesuai.

Bentuk kelembagaan yang sesuai dan efektif un-

tuk pengelolaan, penyelenggaraan dan pengembangan

185Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman

Dua gambar 6.3

Pemandangan teduh di Pulau Lombok, terletak pelabuhan transit

menuju Tiga Gili yang terkenal dengan wisata baharinya.

186 Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman

(dari tingkat perencanaan, pelaksanaan, pengawasan,

pengendalian) RTH masih sangat kurang, karena terbagi

ke sekitar paling tidak sembilan sektor yang bekerja tum-

pang tindih dan kurang terkoordinasi. Hal ini disebabkan

karena tugas pokok dan fungsi yang hampir sama, seperti

Dinas Pertamanan, Dinas Pertanian dan Kehutanan; Di-

nas Kebersihan, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Pendidik-

an dan Keolahragaan, Dinas Pemakaman, Dinas Pariwi-

sata, Dinas Kebudayaan, dan Dinas Kebersihan. Rencana

penggabungan berbagai dinas terkait menjadi Dinas Tata

Hijau atau Dinas Lansekap Kota, atau nama lain dalam

satu atap agar mampu meningkatkan pelayanan pemban-

gunan dan pengelolaan RTH, mungkin tetap perlu dikaji

ulang. Perlu ada semacam Pedoman Pembangunan dan

Pengelolaan RTH di Kawasan Perkotaan yang transparan

dan akuntabel, sesuai dengan paradigma tata pemerin-

tahan yang baik (good governance).

6.1.1.2 Dilema Nilai Ekonomi, Sosial dan

Budaya RTH-Kota

RTH merupakan komponen utama lingkungan hidup

kota sehat, yaitu terhadap keberlanjutan hidup kota dan

warga kotanya, yang sampai saat ini tak tergantikan

fungsi dan manfaatnya, sekali pun dengan pendekatan

teknologi canggih. Ironisnya, Jakarta sebagai ibukota

Negara, justru banyak memberikan contoh buruk dalam

pengelolaan lingkungan hidup, terutama RTH kota, se-

bagai akibat penataan ruang yang selalu terlalu mudah

berubah sesuai kepentingan pengambil kebijakan, serta

penerapan rencana sektor tanpa berkonsultasi dengan

pihak lain, terutama warga kota.

Di Jakarta dan sekitarnya telah banyak berdiri pabrik-

pabrik yang dibangun di sepanjang aliran sungai, se-

hingga terjadi deteriorasi lingkungan. Para nelayan dan

pembudi-daya kerang hijau, maupun rumput laut di Teluk

Jakarta melaporkan kepada Menteri Penerangan dalam

pencanangan Kelompencapir Bahari (8/6/1996) bahwa

budidaya kedua komoditi pertanian tersebut sudah ter-

ancam tutup. Dugaan keras adalah akibat konsentrasi

pencemaran air di muara-muara sungai dari hulunya (land

based pollution). Kejadian ini mengingatkan kita pada pe-

nyakit ‘Itai-itai’ dan kasus ‘Minamata’ di Jepang akibat

akumulasi air raksa (merkuri) pada tubuh manusia yang

merusak sistem susunan syaraf.

Belum lagi, bila diperhitungkan nilai ameliorasi iklim,

angin dan suara dari RTH kota, yaitu kenyamanan iklim

mikro yang sejuk dan bersih, yang sekaligus dapat

mencegah penyakit fisik dan psikis. Implikasi ekonomis

untuk mengetahui besar biaya yang sebenarnya, akibat

dari peningkatan jumlah orang sakit, misalnya penyakit

infeksi saluran pernafasan atas (ISPA) dan semacamnya,

perlu memperhitungkan biaya eksternalitas lingkungan,

sehingga pernyataan tentang perlu adanya RTH sebagai

penyeimbang lingkungan binaan tak hanya dinilai meng-

ada-ada, namun berdasar pada perhitungan budaya-

sosial-ekonomi yang nyata, seperti besaran kualitatif nilai

tukar uang bila seseorang jatuh sakit, dan bila produk-

tivitas SDM menjadi hilang atau berkurang, khususnya

semakin rentannya tubuh anak di wilayah perkotaan aki-

bat pencemaran lingkungan yang mempengaruhi tingkat

kecerdasan anak.

Sebagai negara yang ’dulu’ berbasis sektor agraris,

akan sulit bagi penduduk kota yang sebagian besar me-

mang para pendatang dari perdesaan atau kota-kota

187Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman

kecil. Kebijakan pemerintah dalam mendukung konsep

pembangunan industri berbasis pertanian, di mana bu-

daya agraris dengan lahan ekstensif ini bisa diintensifkan,

namun tetap produktif. Teknologi yang menunjang sudah

banyak kita kenal, di samping teknologi kultur jaringan

dan hidroponik, ada pula yang disebut vertikultur, dan

permikultur. Pemanfaatan ruang-ruang sisa, seperti teras

dan atap rumah pun sudah lama dikenal dengan taman

gantung (roof top garden).

Teknologi penghitungan ‘indeks luas daun’ (Leaf Area

Indeks=LAI), sudah biasa dipakai untuk menghitung

besaran cemaran air dan udara (gas dan partikel) yang

bisa diserap dan dijerap oleh permukaan daun. Berbagai

penelitian tentang bagaimana tanda-tanda biologis tana-

man, apabila terjadi ketidak-seimbangan fisiologis, aki-

bat pekatnya gradasi pencemaran juga telah dilakukan.

(Lampiran 2: Penentuan luas RTH-Kota)

Masyarakat sekitar lokasi pembangunan seringkali

tidak pernah diberi informasi tentang rencana pemba-

ngunan fisik bangunan. Padahal masyarakat tersebut

akan merasakan langsung dampak konstruksi pemba-

ngunan, terlebih dampak negatif berupa debu, lumpur,

kekeringan sumber air tanah, keamanan dan kenyaman

hunian. Jadi, masih adakah yang memandang RTH kota

tidak bernilai ekonomis, dibandingkan bangunan hotel,

mal atau hipermarket?

6.1.2 Kebijakan Penyelenggaraan RTH dalam

Perencanaan Tata Ruang Kota

Kebijakan pembangunan harus diterapkan melalui

peraturan pengelolaan yang konsisten mengacu pada

tata ruang aplikatif dan operasional dengan pengendalian

peruntukan sesuai dengan daya dukung lingkungan me-

lalui tertib administrasi pertanahan, mengurangi kesen-

jangan kesejahteraan (poverty alleviation), konflik sosial,

dan kriminalitas. Adanya sarana transportasi multi-moda

yang terpadu, termasuk ruang untuk para pejalan kaki

dan sepeda, dan peningkatan jenis dan kualitas angkutan

publik secara massal.

RTH kota merupakan sub-ordinat ruang terbuka yang

ada dalam konstelasi perencanaan ruang kota secara

keseluruhan. Ditinjau dari sudut manusia, maka kon-

sepsi pengelolaan LH menjadi kompleks. Di satu pihak,

dengan berbagai pandangan dan latar belakang, manu-

sia itu berbudaya (cultural contemplation), berperilaku so-

sial (social behaviour), pertimbangan ekonomi (economic

considerations), dan bersikap politik (political attitudes),

semua terpadu sebagai salah satu komponen pendu-

kung pengembangan lingkungan hidup (Haeruman, et.al.

1980).

Manusia akan selalu memandang, bahwa sumber

daya itu akan menghasilkan barang dan jasa berupa

materi, informasi dan energi, dalam siklusnya masing-

masing, termasuk perhitungan antara daya dukung atau

kemampuan asimilasi serta dampak negatif lingkungan.

Sekarang, tergantung pada diri kita masing-masing,

bagaimana menyadari eksistensi sumberdaya itu dan

pemanfaatannya, terutama di lingkungan perkotaan, se-

hingga dapat bermanfaat bagi kehidupan warga kota se-

cara berkelanjutan. Dilihat dari sebuah unit sosial terkecil

yaitu keluarga, maka ruang luar yang ada sebenarnya

dapat dimanfaatkan secara optimal, dengan tanaman pot

bunga, buah, sayuran, apotik hidup minimal untuk kebu-

tuhan keluarga.

188 Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman

Gambar 6.4

Sungai sebagai alternatif moda transportasi di samping untuk rekreasi.

Sepeda umum digunakan, sangat bermanfaat guna mengurangi

pencemaran udara kota.

Kota akan selalu menghadapi perobahan akibat akse-

lerasi pembangunan secara menyeluruh, sehingga terjadi

degradasi kualitas fungsi alami lingkungan. Kemacetan

lalu-lintas yang semakin parah di seluruh bagian kota,

pencemaran udara, air, tanah dan suara, banjir, keba-

karan, dan krisis air bersih, berakibat penurunan kualitas

kesehatan, produktivitas, dan kinerja warga kota.

Perencanaan tata ruang kota selalu tertinggal dengan

laju kebutuhan fisik dan psikis penduduk yang semakin

meningkat, baik dalam jumlah maupun kualitas. Ekspansi

ruang kota ke segala penjuru tanpa terkendali. Penangan-

an masalah lingkungan hidup kota, termasuk eksistensi

RTH, masih bersifat parsial dan temporal.

Berdasarkan beberapa fenomena sebagaimana

diutarakan di atas, maka seyogyanya dalam merumus-

kan kebijakan penyelenggaraan RTH dalam perencanaan

tata ruang kota perlu dipahami betul latar belakang ar-

gumentatif mengenai kebutuhan RTH dalam konteks

pengembangan wilayah/kawasan dalam kaitannya de-

ngan pemanfaatan/penggunaan (utility) ruang dan sum-

ber daya alam, produtifitas (productivity), dan kelestarian

(conservation) lingkungan dan sumber daya alam, sehing-

ga rumusan-rumusan kebijakan tersebut tidak terdeviasi

(bias) dari visi, misi dan tujuan semula dari pengemban-

gan wilayah/kawasan yang telah ditetapkan.

6.1.3 Strategi Penyelenggaraan RTH

Akibat negatif pembangunan struktur bertingkat dan

meningkatnya intensitas transportasi tak beraturan tanpa

pertimbangan pengelolaan lingkungan yang bijaksana

akan berpengaruh pada pengurangan kapasitas kemam-

puan RTH.

Dari beberapa penelitian kota-kota di luar negeri dike-

tahui, bahwa setiap satu hektar RTH efektif mampu me-

netralisir 736.000 liter limbah cair hasil buangan 16.355

penduduk, dan mampu menghasilkan 0,6 ton oksigen

guna dikonsumsi 1.500 penduduk/hari. RTH mampu me-

nyimpan 900 m3 air tanah/tahun, mentransfer air 4.000

liter/hari, setara dengan pengurangan suhu 5-8° Celcius,

setara dengan kemampuan lima unit alat pendingin uda-

ra berkapasitas 2,500 Kcal/20 jam, meredam kebisingan

25-80 persen dan mengurangi kekuatan angin sebanyak

75-80 persen, tergantung pada jenis tanaman, iklim dan

jenis tanah. Sebatang pohon dapat mendinginkan udara

setara dengan kapasitas lima buah mesin pendingin uda-

ra yang dioperasikan selama 20 jam/hari terus-menerus.

Pada kawasan industri, jalur hijau pengaman selebar

50 meter yang dibangun di sekelilingnya, akan mampu

189Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman

menurunkan pencemaran akibat meningkatnya konsen-

trasi SO2 sebesar 70 persen, dan NO2 sebesar 67 persen

(Konstruksi, 1995). Bila angka-angka tersebut ditransfer

ke dalam hitungan biaya lingkungan tanpa RTH, jumlah-

nya pasti akan melebihi biaya ekonomi jangka pendek,

sebagaimana selalu dilansir para pengembang kota, se-

perti hotel, plaza, mal, hipermarket dan semacamnya.

Hasil penelitian dari luar negeri tersebut hanya bisa

menjadi referensi saja, di mana sebaiknya dilakukan

penelitian, senada sesuai dengan keadaan ekosistem

kota tropis di Indonesia.

Pencemaran udara di Jakarta sudah melampaui am-

bang batas. Penelitian hubungan antara RTH terhadap

pengelolaan kualitas udara di Jakarta membuktikan,

bahwa dalam jangka waktu 10 tahun (1981-1991) terjadi

peningkatan tujuh zat pencemar utama CO, CO2, NOX,

SOX, TSP/zarah, HC, dan Pb secara signifikan. Meski ter-

dapat angka peningkatan yang berbeda di antara ketu-

juhnya, ternyata beberapa zat tersebut secara variatif

sudah melampai standar baku mutu. Sedang sumber

pencemar diteliti dari empat kegiatan utama, yaitu dari

kegiatan industri, transportasi, rumah tangga, dan pe-

musnahan sampah (Purnomohadi, 1994).

Keberadaan air tanah yang semakin dalam dan terce-

mar pun menyebabkan intrusi air laut, amblasan tanah dan

krisis air bersih. Sementara biaya penjernihan sumberdaya

air melalui intake langsung dari alam sumur atau sungai

meningkat tajam, akibatnya selain menjadi semakin lang-

ka, harga air PAM pun semakin meningkat mahal dengan

kualitas air yang belum tentu terjamin bersih dan sehat.

Upaya untuk mengatasi masalah kelangkaan keterse-

diaan RTH kota dapat dilakukan melalui pemanfaatan

sisa-sisa lahan yang ada secara optimal. Penanaman

ruang luar halaman pekarangan rumah atau di atas ba-

ngunan bertingkat secara efektif memanfaatkan teras

atau puncak gedung (rooftop garden), dengan tanaman

aerofonik atau hidrofonik, dan semacamnya.

Akibat keterbatasan lahan, pengembangan RTH di-

mungkinkan mengarah ke atas. Lansekap vertikal (verti­

cal landscape) tengah dikembangkan di kota Singapura,

New York, Chicago, dan kota-kota berpenduduk padat

di Amerika Serikat, Eropa Barat, dan Jepang. Pengem-

bangan lansekap vertikal berupa taman atap (roof deck

gardens), taman gantung (sky terraces greenery), taman

balkoni (landscape balconies), lapangan golf mini, atau

taman kafe, ibarat oase di atas langit. Kehadirannya akan

meningkatkan keindahan gedung dan melindungi bangun-

an dari sengatan matahari yang berlebihan. Untuk mem-

buktikan keseriusan komitmen tersebut, pemerintah dae-

rah harus memelopori pembangunan lansekap vertikal di

gedung-gedung pemerintah dan rumah susun.

Konsep kembali ke alam merupakan upaya menuju

ke hidupan alam asli ke dalam lingkungan kehidupan

kota dan menyatukan dengan sumber-sumber kehidup-

an alaminya. Pemahaman akan pentingnya upaya men-

jaga fungsi lingkungan melalui keseimbangan antara

RTH dengan ruang kota lain, akan sangat menentukan

keberhasilan pembangunan kota berkelanjutan. Penge-

lolaan lingkungan perkotaan, khususnya RTH tak lepas

dari kebijakan dan strategi pengelolaan lingkungan hidup

terpadu seperti program Tata Praja Lingkungan, yang

difokuskan pada empat aspek pengelolaan, yaitu per-

masalahan sampah, RTH, kualitas air, dan fasilitas umum

lain yang terkait erat.

190 Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman

Pengembangan perancangan keempat aspek terse-

but seyogyanya dirancang agar masing-masing bagian

infrastruktur dapat berfungsi optimal, tanpa menimbulkan

masalah dan bisa saling mendukung bagi masing-masing

kota maupun dalam hubungan kemitraan antar berbagai

pihak secara menyeluruh. Teknik-teknik pemecahan di-

pelajari, direncanakan dan disesuaikan secara terbuka

melalui pembangunan berbasis masyarakat, sehingga

dapat menghindari kesalahan serupa dan hasilnya sema-

kin sempurna.

Niat baik mewujudkan kepemerintahan yang baik

dalam pengelolaan lingkungan hidup, seperti program

Bangun Praja (good environmental governance, GEG) se-

benarnya bukan barang baru, dulu dikenal dengan pro-

gram Adipura yang dilaksanakan secara terpusat. Selaras

dengan semangat otonomi daerah untuk mendorong dan

meningkatkan kapasitas pengelolaan lingkungan hidup

pemerintahan di daerah, perlu disadari bersama akan

perlunya peninjauan berbagai kebijakan dan strategi pe-

ngelolaan lingkungan hidup yang sesuai dengan tuntutan

zaman.

Sesuai dengan laju pembangunannya, maka kota-

kota selalu menghadapi masalah. Terutama pada ta-

hun terakhir ini telah terjadi suksesi permasalahan yang

segera membutuhkan penyelesaian, sedangkan perma-

salahan yang baru sudah mulai, dan timbul lagi. Masalah

yang terjadi dimana-mana adalah akibat berlebihannya

konsentrasi penduduk dan aktivitas di kota-kota besar.

Permasalahan ini diperbesar oleh karakteristik sosial,

akibat internasionalisasi, pentingnya pertumbuhan infor-

masi dan teknologi tinggi yang harus dipertimbangkan.

Pemerintah harus mengambil langkah-langkah untuk siap

menghadapi perkembangan masalah masyarakat yang

semakin menua ini. Meningkatnya kondisi lingkungan

dan keindahan, serta memastikan bahwa pengukuran-

pengukuran perlu ditetapkan untuk memenuhi kebutuhan

akan rekreasi di ruang terbuka. Jadi perlu disadari, bahwa

kota selalu menghadapi masalah-masalah penting baru.

Untuk mengatasi hal seperti ini, pemerintahan kota

harus melihat bahwa permasalahan tidak hanya dari segi

perangkat keras (fisik) saja, tetapi juga pada masalah

perangkat lunak, seperti ekonomi, sosial dan budaya.

Dengan demikian, strategi pembangunan menyeluruh ini

akan meningkat.

Di Jepang, perencanaan kota harus mampu meme-

rankan diri sebagai suatu alat yang dapat menyelesaikan

masalah secara menyeluruh, melalui pedoman untuk

kota yang bersangkutan, seiring dan melalui konsultasi

dengan Perencanaan Nasional Pembangunan Menye-

luruh, dan Rencana Induk Pembangunan Wilayah, serta

Strategi Rehabilitasi Lahan.

Selanjutnya, perencanaan Kota Menyeluruh di Je-

pang, tidak langsung diterapkan melalui hukum, karena

kedisiplinan dan kesadaran hukum penduduk yang su-

dah relatif tinggi. Perencanaan kota tetap dikombinasikan

dengan peraturan hukum sebagai petunjuk yang kuat dan

dapat dipertimbangkan, serta menyadari akan keterba-

tasan aspek-aspek lain, seperti penata-gunaan tanah dan

pembangunan prasarana perkotaan, serta proyek-proyek

pembangunan kota. Jadi, tetap ada semacam kekuatan

hukum sebagai penunjangnya.

191Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman

6.2 PROGRAM DAN PENTAHAPAN PENGADAAN RTH

Pengadaan RTH bagi kota yang sudah terbangun

tentu membutuhkan pemikiran-pemikiran yang dapat di-

pertanggung-jawabkan di kemudian hari. Relatif masih

rendahnya kepedulian dan kesadaran perlunya eksistensi

RTH, bahwa RTH Kota tak hanya berfungsi sebagai peng-

isi ruang-ruang di antara bangunan saja, namun adalah

lebih luas dari itu. Dalam pembangunan kota berkelan-

jutan mutlak dipertimbangkan ada pembangunan RTH

secara khusus, berdasar pada serangkaian fungsi pen-

ting RTH dalam Rencana Induk Kota baik dalam jangka

pendek maupun panjang.

6.2.1 Pengembangan RTH Kota Jangka Pendek

Kegiatan pengembangan Kota Jangka Pendek, an-

tara lain:

• Refungsionalisasi dan pengamanan jalur-jalur hijau

alami, seperti di sepanjang tepian jalan raya, jalan tol,

bawah jalan layang (fly-over), bantaran kali, saluran

teknis irigasi, tepian pantai, bantaran rel kereta api,

jalur SUTET, tempat pemakaman umum (TPU), dan

lapangan olahraga, dari okupasi permukiman liar.

• Mengisi dan memelihara taman-taman kota yang sudah

ada, sebaik-baiknya dan berdasar pada prinsip fungsi

pokok RTH (identifikasi dan keindahan) masing-masing

lokasi.

• Memberikan ciri-ciri khusus pada tempat-tempat stra-

tegis, seperti batas-batas kota dan alun-alun kota.

• Memotivasi dan memberikan insentif secara material

(subsidi) dan moral terhadap peran serta masyarakat

dalam pengembangan dan pemeliharaan RTH secara

optimal, baik melalui proses perencanaan kota, mau-

pun gerakan-gerakan penghijauan.

• Prasarana penunjang dalam pengembangan RTH yang

dibutuhkan, adalah tenaga-tenaga teknisi yang bisa me-

nyampaikan konsep, ide serta pengalamannya dalam

mengelola RTH, misal pada acara penyelenggaraan

pelatihan dan pendidikan pada Pusat Pendidikan dan

Pelatihan Pusdiklat). Dibutuhkan sosialisasi dan pe-

nyuluhan secara berkala kepada pihak-pihak yang

berkepentingan, maupun masyarakat umum secara

luas.

6.2.2 Pengembangan RTH Kota Jangka Panjang

Penyuluhan pengembangan RTH dapat dilakukan

melalui instansi pemerintah daerah yang secara resmi

ditunjuk dan erat kaitannya dengan penghijauan kota,

mulai dari tingkat kota/kabupaten, camat, lurah/kepala

desa, hingga lingkungan RT/RW, dewan legislasi, or-

ganisasi-organisasi kemasyarakatan, sekolah, pramuka,

rumah sakit, perkantoran, dan berbagai bentuk media

massa cetak (surat kabar, majalah, buletin) serta media

elektronik (radio, televisi, internet). Program pengemba-

ngan RTH, seperti umumnya pengelolaan sumberdaya

alam dan lingkungan, bukan hanya merupakan tanggung

jawab pemerintah saja, tetapi seluruh unsur kemasyara-

katan bersama dengan pemerintah hendaknya dapat

mengelola RTH dalam sistem kepemerintahan yang baik

(good governance) demi kepentingan bersama pula.

Pendapat beberapa pakar, antara lain Pope (2003)1,

mengatakan bahwa, bila ingin mengetahui beraneka-

ragam budaya dapat ‘mengerti’ dunia alami, pergilah ke

kota-kota mereka, amati konstruksi terbaru dengan baik,

192 Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman

lakukan observasi transformasi stratejik yang ada, maka

tanpa pertimbangan proses urbanisasinya, kenyataan

yang terjadi adalah bahwa pergerakan dari alam ke ling-

kungan kota ini tak bisa diprediksi, sebab horizon perkota-

an yang bagaimana pun adalah dimana keberadaan alam

dan kotanya selalu berhubungan, artinya eksistensi kota

tak akan ada tanpa unsur alam. Dengan melihat kota,

maka dapat difikirkan bagaimana dunia alaminya.

Sistem transformasi yang terjadi dari tahun 1950-an,

dimana masih banyak dianut sistem kota berbentuk ‘grid­

iron’ sampai abad ke 19, menuju kepada sistem ‘cul de

sac’ abad ke 20, dan seterusnya, merupakan gambaran

kejadian fragmentasi kerja yang radikal pada baik kota

maupun lingkungan alami, menjabarkan keberlanjutan

tunggal, atau dunia dalam perobahan kota-kota yang

terus meluas, menduduki (ekspansi) suatu kota.

Dalam perkembangan kota-kota di Indonesia, apa

yang kita saksikan saat ini (tahun 2005-2006) merupakan

dampak dari terjadinya krisis multi dimensional sejak ta-

hun 1997-1998 yang sampai kini ternyata belum dapat

diselesaikan secaa tuntas. Penyebab utamanya adalah

tidak konsistennya pengelolaan kota pada umumnya un-

tuk secara hati-hati mengikuti Rencana Induk kota (RTH

di dalamnya) agar fungsi RTH betul-betul dapat dirasakan

manfaatnya secara menerus (continuity).

Moda Ekspansi: untuk dapat mengerti ‘batas’ antar

kawasan kota dan alam, perlu diketahui sesuatu tentang

mekanisme ekspansi kota. Pola kota yang berbentuk ko-

tak (grid), maupun pola ‘radial’, berkembang sampai akhir

abad ke 19, yang menerus dan kemudian tumbuh pola

‘cul de sac’ yang terputus-putus, ketiganya terus tum-

buh berkembang pada jalan yang berbeda. Tiap moda

ekspansi merupakan kepastian yang juga telah memper-

timbangkan bagaimana lingkungan kota dan lingkungan

alam itu saling eksis dan bagaimana keduanya berhasil

atau tidak membentuk suatu batas luar suatu kota (urban

frontiers). Dapat dilihat dari melebarnya kota-kota secara

horisontal dan ke semua arah dari waktu ke waktu.

Karena itu diperlukan suatu rencana pengembangan

kota jangka panjang, termasuk perteletakan dan penge-

lolaan RTH-nya, yang kemudian implementasinya pun ha-

rus diikuti secara konsisten. Walau ada perubahan dalam

letak atau luas kawasan karena tuntutan waktu (jaman),

namun sedapat mungkin RTRK yang telah direncana dan

ditetapkan untuk paling tidak 25 tahun mendatang bisa

tetap dijadikan pedoman, karena hal tersebut merupakan

hasil pemikiran komprehensif, holistik secara koordinatif

dari unsur-unsur perencanaan pembangunan kota yang

tentu sudah mempertimbangkan segala aspek pertum-

buhan berbagai bidang (kependudukan, IPTEK, kese-

imbangan fungsi lingkungan, dan seterusnya).

Ide pola pengembangan kota berbentuk kotak ini

abad ke 19 ini, karena keinginan untuk ‘membuka ru-

ang kota’ dengan meletakkan jalur lalu-lintas semacam

urat nadi dalam tubuh. Contoh-contoh kota berpola grid

tersebut: The Cerda Plan of Barcelona, The By­law Street

of London, The Massive Kreuzberg District of Berlin, The

Comissioner’s Plan Manhattan. Semua berkembang

menjadi kota-kota besar tetap berdasar pola kotak-kotak

tersebut. Bentuk RTH nya pun lalu mengikuti jalur, um-

umnya berbentuk persegi empat, termasuk lahan yang

khusus diperuntukkan bagi ‘agricultural allotments’ atau

mengikuti bentuk topografi yang ada.

Mengingat pertumbuhan RTH di kota-kota Indonesia

193Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman

dapat dikatakan ‘baru’ disadari sekitar tahun 1965-an di

Jakarta, dimulai oleh perlu adanya pendidikan SDM bi-

dang profesi arsitektur lansekap tahun 1963 oleh Pemda

DCI Djakarta, maka pola pengembangan RTH-nya pun

sudah berkembang meski pun relatif lambat. Kota-kota

terutama di pulau Jawa, sebagian besar direncanakan

kembali oleh pemerintah kolonial Belanda berdasar pada

pola tata ruang kerajaan di mana di pusat kota disediakan

ruang terbuka yang disebut alun-alun, atau di negara

barat biasa disebut square. Di ke empat sisi terletak kan-

tor-kantor pusat pemerintahan. Mulai dari istana (Balai-

kota), kemudian rumahsakit, lembaga pemasyarakatan,

pengadilan, kejaksaan dan lembaga pelayanan masyara-

kat lain. Pola semacam ini diaplikasikan juga pada be-

berapa kota lain di luar pulau Jawa.

Yang patut dipertimbangkan dalam pengelolaan RTH

jangka panjang, adalah agar kawasan pinggiran kota (hin­

terland) tidak sampai semakin terlalu melebar sehingga

‘memakan’ daerah luar kota, sehingga jarak pelayanan

menjadi terlalu panjang, sehingga sulit pelaksanaannya.

Selain itu tanah-tanah yang biasanya relatif lebih subur di

luar kawasan kota, berubah fungsi menjadi kawasan ter-

bangun yang tak beraturan (urban sprawl), seolah tanpa

perencanaan matang. Dapat dikatakan bahwa kejadian

semacam ini disebut kegagalan perencanaan ruang se-

cara total.

6.2.3 Perencanaan dan Pengendalian RTH Kota

Inventarisasi potensi alam merupakan dasar kela-

yakan pembangunan RTH, khususnya sebagai dasar un-

tuk menentukan letak dan jenis tanaman. Inventarisasi ini

sangat diperlukan berdasar pada keterkaitan kondisi fisik,

sosial dan ekonomi, meliputi pendataan keadaan iklim

(curah hujan, arah angin, suhu dan kelembaban udara);

data topografi dan konfigurasi kondisi alam adalah untuk

menentukan tipe RTH kota; kemudian geologi, jenis ta-

nah dan erodibilitas untuk penentuan jenis RTH; jaringan

sungai, potensi dan pelestarian jenis, jumlah, dan kondisi

fauna dan flora lokal. Umumnya keberadaan dan jenis

fauna sangat berkaitan erat pula dengan jenis flora yang

ada (existing, biota endemic).

Penggunaan lahan (land use) dan keadaan yang mem-

pengaruhinya perlu dikompilasi melalui pengumpulan data

mengenai kedua hal tersebut, yaitu: meliputi penggunaan

tanah serta penyebaran bangunan, daerah permukiman,

perdagangan, industri, pusat pemerintahan, pusat per-

belanjaan, tempat rekreasi, dan jaringan transportasi.

Keadaan yang mempengaruhi penggunaan tanah adalah

demografi jumlah dan persebaran penduduk, prosentase

Gambar 6.5

Rumah menghadap kali dan lansekapnya ditata secara sederhana.

194 Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman

pertambahan jumlah, komposisi penduduk, dan keadaan

sosial ekonomi. Kedua data ini dipergunakan untuk me-

nentukan tipe, lokasi, dan jumlah RTH.

Inventarisasi aktivitas dan permasalahannya meliputi

data aktivitas yang dikumpulkan, terutama kegiatan-

kegiatan yang bisa menimbulkan dampak negatif ter-

hadap lingkungan. Tingkat atau besaran aktivitas akan

menentukan luas RTH yang dibutuhkan dalam upaya

menetralisir pengaruh negatif yang ditimbulkannya terse-

but. Pengumpulan data fisik (utama), meliputi:

• Jumlah dan laju pertambahan kebutuhan air dan

oksigen;

• Jumlah dan tingkat pertambahan penggunaan bahan

bakar;

• Jumlah dan laju pertambahan kendaraan bermotor;

• Jumlah dan laju pembuangan limbah industri/rumah

tangga;

• Nilai kualitatif dan kuantitatif dari permasalahan lain

yang sering timbul, seperti banjir, intrusi air laut, abrasi,

erosi amblasan tanah, dan tingkat pencemaran lain.

Kemudian, perlu disusun Rencana Kerja Berkala, me-

liputi Rencana Jangka Pendek, (Menegah), dan Panjang.

Kebijakan umum pengembangan RTH, yang dilengkapi

langkah-langkah pelaksanaan menurut waktu dan skala

prioritas.

Monitoring dan Evaluasi secara berkala dan terus

menerus, guna mendapat data akurat yang dapat diper-

gunakan sebagai dasar perbaikan dan pengembangan di

masa datang.

6.2.4 Pola Penyelenggaraan RTH

Pelaksanaan pembangunan RTH sebaiknya dapat di-

lakukan sendiri oleh unit instansi pemerintah daerah yang

ditunjuk sebagai pengelola RTH, berdasar tugas pokok

dan fungsi serta bentuk dan kriteria unit tersebut, atau,

mungkin karena ada berbagai keterbatasan, mungkin

pula untuk dikontrakkan sebagian atau seluruh peker-

jaannya kepada pihak lain yang tentu harus bisa menge-

lola secara bertanggung jawab sampai dengan monitor-

ing dan evaluasinya.

Selaras dengan semangat otonomi daerah yang ber-

dasar azas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas per-

bantuan, maka organisasi pengelolaan dan pengembang-

an RTH kota dapat disusun sebagai berikut:

Penanggungjawab: Kepala Wilayah (Bupati/Walikota).

Perencana & Pengendali: Bappeda/Bapedalda/ BLH/

Unit PLH.

Pelaksana: Dinas-dinas Tata Kota, Pertamanan, Pe-

makaman, Pertanian, Kehutanan, dan pemilik lahan

(individu/swasta).

6.2.5 Perkembangan dan Pembangunan RTH

Akibat pembangunan tidak berwawasan lingkungan,

luas RTH kota di berbagai kota semakin berkurang, jauh

dari luas optimal 30 persen dari total luas kota. Secara

umum, permasalahan ketidaktersediaan RTH kota secara

ideal disebabkan oleh (Purnomohadi, 1994 dan KLH,

2001):

(1) Inkonsistensi kebijakan dan strategi penataan ruang

kota, kurangnya pengertian dan perhatian akan ur-

gensi eksistensi RTH dalam kesatuan wilayah/kawasan

perkotaan. Perencanaan strategis pembangunan RTH

195Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman

di daerah belum memadai, karena dianggap sebagai

ruang publik (common property) yang secara ekonomis

tidak menguntungkan sehingga saling melepas tang-

gungjawab;

(2) Pemeliharaan RTH tidak konsisten dan tidak rutin.

RTH sering dianggap sebagai tempat sampah, gubug

liar dan sarang vektor pembawa penyakit, sehingga cen-

derung lebih menjadi ‘masalah’ dibanding ‘manfaat’;

(3) Kurangnya pemahaman (butir 1), berakibat tidak ter-

sedianya RTH yang memadai, semakin mengurangi

peluang bagi warga kota, terutama anak-anak, remaja,

wanita, manusia usia lanjut dan penyandang cacat,

untuk mendapat pendidikan dan pelajaran tentang ke-

hidupan langsung dari alam sekitar, serta fasilitas olah

raga, berekreasi dan bermain;

(4) Pencemaran ekosistem perkotaan terhadap media

tanah, air dan udara semakin meningkat dan menim-

bulkan penyakit fisik dan psikis yang serius.

Pernyataan ‘hidup sehat itu mahal’ telah dibuktikan

oleh para pakar kesehatan maupun para penderita pe-

nyakit. Hubungan antara pencemaran pada media ling-

kungan udara, air dan tanah dengan kesehatan sangat

terkait erat, sebab warga kota akan menghirup udara ter-

cemar yang sama, makan dari hasil produksi bahan men-

tah dari sumberdaya buatan maupun alami yang relatif

sama, di mana siklus rantai makanan (nutrient), terpaksa

atau tumbuh melalui media tanam yang sudah tercemar.

Sebagaimana kehidupan tubuh manusia yang sehat

jasmani dan rohani, maka tubuh kota pun dapat selalu

dijaga kesehatannya. RTH kota sebagai paru-paru kota,

mampu menghasilkan udara bersih dan iklim mikro. Alur

sungai yang ada dalam tubuh kota diumpamakan se-

bagai aliran darah yang harus selalu bersih dan lancar.

Ketersediaan RTH digunakan sebagai salah satu krite-

ria pengembangan Kota Sehat, di mana warga kotanya

dapat hidup sehat pula.

Perencanaan RTH kota harus dapat memenuhi kebu-

tuhan warga kota dengan berbagai aktivitasnya. Kepmen

PU No. 387 tahun 1987, menetapkan kebutuhan RTH

kota yang dibagi atas: fasilitas hijau umum 2,3 m2/jiwa,

sedang untuk penyangga lingkungan kota (ruang hijau)

15 m2/jiwa.

Dengan demikian, secara menyeluruh kebutuhan akan

RTH kota adalah sekitar 17,3 m2/jiwa. RTH tersebut harus

dapat memenuhi fungsi kawasan penyeimbang, konser-

vasi ekosistem dan pencipta iklim mikro (ekologis), sa-

rana rekreasi, olahraga dan pelayanan umum (ekonomis),

pembibitan, penelitian (edukatif), dan keindahan lansekap

kota (estetis).

Semua jenis RTH harus diusahakan dapat berfungsi

estetis, karena secara alami manusia membutuhkan

hidup dekat dengan alam yang asri, nyaman dan sehat,

sehingga terjadi siklus kehidupan penunjang fungsi eko-

sistem alam.

Kota identik dengan deretan beranekaragam bangun-

an-bangunan yang dibuat oleh manusia. Bangunan pe-

rumahan, perkantoran, sarana umum seperti pasar atau

pusat perbelanjaan, rumah sakit, terminal, jalan raya,

tempat hiburan, dan lain-lain dibangun demi kepentingan

manusia (Nazarudin, 1996).

Sebagian besar wilayah/kawasan perkotaan di In-

donesia mengalami kemunduran secara ekologis yang

diakibatkan oleh ketidakharmonisan hubungan manusia

196 Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman

Tabel 6.1: Standar RTH Kota, Kriteria Unit-unit Lingkungan

Sumber: Direktorat Jenderal Cipta Karya Departemen PU (1987)

UNIT LINGKUNGAN

PERENCANAAN

Lingkungan I

Lingkungan II

Lingkungan III

Lingkungan IV

Lingkungan V

UNIT LINGKUNGAN

ADMINISTRASI

Rukun Tetangga

Rukun Warga

Kelurahan

Kecamatan

Wilayah Kota

JUMLAH PENDUDUK

YANG MENDUKUNG

250 jiwa

3.000 jiwa

30.000 jiwa

200.000 jiwa

1 juta jiwa

Tabel 6.2: Kebutuhan akan RTH

Sumber: Petunjuk Perencanaan Kawasan Perumahan Kota, Direktorat Jenderal Cipta Karya Departemen PU (1987)

Unit Lingkungan

L-I

(250 jiwa)

L-II

(3000 jiwa)

L-III

(30.000 jiwa)

L-IV

(200.000 jiwa)

L-V

(1 juta jiwa)

Penyempurnaan

Jenis Ruang Terbuka

yang Dibutuhkan

Tempat bermain

anak-anak

Taman +

Lapangan Olahraga

Taman +

Lapangan Olahraga

Taman +

Stadion Kecil

Taman Kota +

Kompleks Stadion

Pemakaman

Hutan Kota

Jalur Hijau

Jumlah

Luas/Unit

(m2)

250

1.500

10.000

40.000

150.000

Standar/

Kapita

(m2/kapita)

1,0

0,5

0,33

0,2

1,5

0,58

6,0

15,0

Lokasi

Di tengah kelompok pemukiman

Di pusat kegiatan RW

Dikelompokkan dengan sekolah

Dikelompokkan dengan sekolah

Di puast wilayah/tersendiri

Di luar pusat wilayah (pinggir kota)

Di gabung dalam kesatuan yang kompak

Tersebar

197Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman

dengan lingkungan hidup. Hal ini ditandai dengan mening-

katnya suhu udara di perkotaan, penurunan air tanah,

banjir/genangan, penurunan permukaan tanah, intrusi air

laut, abrasi pantai, pencemaran air oleh bakteri dan unsur

logam, pencemaran udara seperti peningkatan debu, ka-

dar karbon monoksida (CO), ozon (O3), karbon-dioksida

(CO2), oksida nitrogen (NO) dan belerang (SO), serta sua-

sana yang gersang, monoton, bising, dan kotor (Dahlan,

1992).

Menimbang hal tersebut, maka pembangunan RTH

berupa hutan kota sebagai salah satu alternatif pemecah-

an permasalah lingkungan perkotaan yang kompleks,

sangat diperlukan. Hutan kota yang dibangun dan dikem-

bangkan dapat mengurangi monotonitas, meningkatkan

keindahan, membersihkan lingkungan dari pencemaran

dan perusakan, meredam kebisingan, dan beberapa

keuntungan lain.

Pada dasarnya hutan kota merupakan bagian Ruang

Terbuka Hijau (RTH) kota. Pembangunan hutan kota me-

miliki makna mengamankan ekosistem alam yang besar

pengaruhnya terhadap eksistensi dan kelangsungan

hidup kota itu sendiri. Hal ini perlu disadari oleh warga

kota itu sendiri, sebab sudah menjadi kenyataan, bahwa

potensi masyarakat merupakan hal utama dalam mem-

bentuk wajah kota yang hijau dan indah. Oleh karena itu,

peran masyarakat sangat dibutuhkan dalam pembangun-

an dan pengembangan hutan kota.

Hutan Kota adalah lahan yang bertumbuhan po-

hon-pohon yang kompak dan rapat di dalam wilayah

perkotaan baik pada tanah negara maupun tanah hak,

yang ditetapkan sebagai Hutan Kota oleh pejabat yang

berwenang (PP No. 63 Tahun 2002).

Pengertian Kota yang nyaman dan menyehatkan

adalah kota dengan lingkungan yang kondusif bagi ter-

wujudnya lingkungan yang bebas polusi, tersedianya air

bersih, sanitasi lingkungan yang memadai, perumahan

dan permukiman yang sehat, perencanaan kawasan yang

berwawasan lingkungan, serta terwujudnya kehidupan

dalam suasana kemasyarakatan yang akrab dan saling

tolong menolong, dan dengan upaya untuk tetap meme-

lihara nilai-nilai budaya bangsa.

Salah satu metode paling efektif dalam mengenda-

likan pencemaran udara adalah pengendalian pada sum-

bernya, tetapi metode ini belum menjamin 100 persen

efektif dan efisien, karena keterbatasan teknologi serta

dukungan finansial. Salah satu alternatifnya adalah peng-

gunaan metode pengendalian pencemaran udara bukan

pada sumber pencemar, salah satunya yaitu dengan

mempertimbangkan peran RTH.

6.3 STANDAR DAN KEBUTUHAN RTH KOTASecara selintas standar dan kebutuhan kota telah se-

dikit diuraikan pada Bab II, namun standar itu mengacu

pada pembangunan kembali (renovasi) kota Rotterdam

di negeri Belanda, yang hampir rata tanah akibat Perang

Dunia ke II. Standar semacam itu memang sangat ideal

apalagi bila jumlah pendudukya relatif tetap.

Bagaimana untuk kota-kota di Indonesia? Banyak

pertimbangan perlu didiskusikan sebab Negara Kepulau-

an terbesar di dunia ini, mempunyai ciri-ciri khusus, baik

dari lingkungan terestrial apalagi lingkungan kelautannya.

Dari segi kondisi iklim (tropis) saja, sebarannya pun sa-

ngat luas dan beragam, dari iklim tropis basah, sedang

sampai kering. Iklim tropis pegunungan dataran tinggi,

198 Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman

sampai ke kawasan perairan dari hulu samai hilir (sungai,

danau, lahan basah) sampai ke kawasan pesisir dengan

sumberdaya hayati yang juga beranekaragam, berupa

kawasan mangrove, terumbu karang dan padang lamun

yang tersebar di seluruh kawasan NKRI.

Menyadari akan keanekaragaman di berbagai lokasi

di seluruh penjuru tanah air ini, maka menjadi tugas kita,

terutama arsitek lansekap untuk sedapat mungkin beru-

saha menjaga keanekaragaman tipe ekosistem yang ada,

sebab sesuai prinsip ‘hetereogenitas dalam stabilitas’

fungsi kingkungan pendukung kehidupan manusia dan

makhluk hidup lain.

Standar RTH Kota telah diterbitkan oleh Departe-

men Pekerjaan Umum, Direktorat Jenderal Cipta Karya,

disesuaikan dengan hierarkhi unit lingkungan adminsitra-

tif sesuai dengan jumlah penduduknya (tabel). Sedangkan

tabel selanjutnya, adalah tentang kebutuhan akan jenis

RTH kota, dari masing-masing unit lingkungan dari sum-

ber yang sama, memperlihatkan perkiraan luasan RTH

yang dibutuhkan mencakup jenis pelayanan RTH dan

luasan per unit lingkungan. Kedua tabel tersebut, tentu

dapat berubah secara dinamis karena kondisi lingkungan

pun tak pernah tetap. Jadi bukan merupakan pedoman

yang mati, namun disesuaikan dengan tuntutan pemenu-

han kebutuhan masyarakat sesuai kondisi geografisnya.

6.3.1 Standar RTH Kota

Sebagaimana telah disebutkan, beberapa pakar meng-

acu pada para peneliti negara lain yang telah dituangkan

dalam berbagai literatur, yang mengemukakan bahwa

luas RTH Kota yang akan dibangun ditetapkan menurut

persentase dari luas kota. Ada yang menyatakan 10, 20,

25, 30, 40, 50, hingga 60 persen dari total luas kota.

Dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri (Inmendagri)

No. 14 Tahun 1988 Tentang Penataan RTH di Wilayah

Perkotaan, setiap kota dianjurkan untuk menyediakan

area sebagai kawasan RTH; sebesar 40-60 persen dari

total luas wilayah kota, hal ini didasarkan pada pertim-

bangan keamanan khusus yang ditinjau dari segi kese-

imbangan alami lingkungan hidup perkotaan.

Penentuan luas lahan RTH kota umumnya dihitung

berdasar pada jumlah penduduk. Luasan RTH kota di

Malaysia ditetapkan sebesar 1,9 m2/penduduk, sedang-

kan di Jepang 5,0 m2/penduduk (Tong Yiew, 1991). De-

wan kota Lancashire, Inggris menentukan 11,5 m2/pen-

duduk, dan Amerika 60 m2/penduduk, sedangkan di DKI

Jakarta taman untuk bermain dan berolahraga diusulkan

1,5 m2/penduduk (Rifai, 1991).

Standar penentuan RTH berdasarkan jumlah pen-

duduk juga telah ditentukan oleh Direktorat Jenderal Cip-

ta Karya, Departemen Pekerjaan Umum (DPU, 1987) ber-

dasar pada kriteria unit-unit lingkungan sebagai berikut:

Di dalam total peredaman cemaran udara oleh ling-

kungan terdapat komponen peredaman cemaran udara

vegetasi hijau, termasuk hutan kota. Kemampuan hu-

tan kota dalam memberikan sumbangan kepada proses

peredaman cemaran didekati dengan menggunakan

peubah-peubah yang menyangkut keragaan dan kinerja

kelompok tumbuhan pembentuk hutan kota, mencakup

sifat-sifat fisik dan sifat-sifat fisiologis serta metabolistik

tumbuhan yang secara ringkas dapat diuraikan sebagai

berikut:

• Luas hutan kota (dalam satuan hektar), yang menca-

kup luas liputan lahan hutan kota dan prakiraan luas

199Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman

Gambar 6.6: Central Park New York 1858.

Michael Laurie, An Introduction to Landscape Architecture

efektif penutupan tajuk hutan kota, untuk setiap jenis

hutan kota.

• Indeks Luas Daun (Leaf Area Index/LAI)-(dalam satuan

ha/ha), berdasar prapendugaan untuk semua kelom-

pok tumbuhan di dalam setiap jenis hutan kota. Peubah

penciri hutan kota ini dinyatakan dalam satuan rata-

rata tertimbang terhadap sebaran luas masing-masing

kelompok tumbuhan setiap jenis hutan kota.

• Biomassa (B satuan ton), untuk semua kelompok tum-

buhan di dalam setiap jenis hutan kota, diduga berdasar-

kan peredaman CO2 oleh hutan kota, yang pada hakekat-

nya merupakan penggunaan konsumtif CO2 oleh veg-

etasi pembentuk hutan kota dalam proses fotosintesis.

• Indeks kesempurnaan Arsitektur Lansekap (dimension­

less), yang merupakan gabungan (komposit) dari In-

deks Kesempurnaan Disain Pertamanan dan Indeks

Kesempurnaan Komposisi Jenis Tanaman.

6.3.2 Penentuan Luas RTH

Wilayah Kota (kawasan perkotaan) adalah kawasan

yang sengaja dibangun sebagai pusat-pusat permukim-

an, beserta segala sarana umumnya (perkantoran, pasar,

sekolah, rumah sakit, industri terbatas, tempat-tempat

rekreasi), yang berkembang secara dinamis dan meru-

pakan simpul-simpul jasa pelayanan, serta mempunyai

ciri khusus kehidupan perkotaan. Kegiatan utamanya

200 Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman

sesuai dengan susunan fungsi kawasan perkotaan terse-

but, adalah sebagai pemusatan dan distribusi berbagai

pelayanan, seperti jasa kepemerintahan, pelayanan sosial

(sarana pendidikan, rumah sakit), dan kegiatan ekonomi

(perdagangan, pasar, industri terbatas).

Nazaruddin (1996), mengatakan bahwa kota identik

dengan bangunan-bangunan yang dibangun oleh manu-

sia untuk memenuhi kebutuhannya, seperti perumahan,

perkantoran, sarana umum (pasar, rumah sakit, terminal,

jalan raya, tempat hiburan, termasuk juga sarana RTH

kota. Akibat krisis moneter berkepanjangan, yang diikuti

oleh krisis manajemen kepemerintahan, maka sebagian

besar wilayah perkotaan Indonesia, semakin mengalami

degradasi lingkungan (kemunduran secara ekologis) di-

tandai oleh ketidakharmonisan hubungan antara manu-

sia dengan lingkungan hidupnya, seperti meningkatnya

suhu udara, terbentuk pulau panas (heat island) di atas

media udara kawasan perkotaan; peningkatan pencema-

ran udara, seperti karbon monoksida (CO), ozon (O3), kar-

bon-dioksida (CO2), oksida nitrogen (NO), belerang (SO)

dan debu; penurunan muka air tanah, pencemaran air ta-

nah dan air permukaan, sehingga air baku air minum pun

menjadi kotor, berbau, mengandung logam berat; terjadi

pula amblasan tanah, intrusi air laut, dan abrasi pantai.

Akhirnya, terbentuklah suasana yang gersang, monoton,

bising dan kotor, sebagaimana dirasakan saat ini (Purno-

mohadi, 1995, Dahlan,1992).

Berdasarkan kondisi tersebut, maka pengelolaan

RTH kota secara menyeluruh (rehabilitasi, rekonstruksi,

dan peningkatan upaya pemeliharaannya), merupakan

hal mutlak yang harus segera dilakukan, sebagai alter-

natif penting dalam pemecahan permasalah lingkungan

perkotaan yang sudah amat kompleks dan tidak seim-

bang ini.

Melalui pembangunan sistem RTH kota (Urban Park

System) sebagai penyeimbang kondisi lingkungan, akan

mengurangi monotonitas, meningkatkan keindahan,

membersihkan lingkungan, meredam kebisingan, peng-

hasil produksi tetumbuhan, intangible maupun tangible,

bagi kemaslahatan hidup warga kota.

Saat ini, di kota-kota besar terutama yang sudah

bersifat ‘metropolis’, akibat kurangnya apresiasi akan

pentingnya eksistensi RTH ini telah menyebabkan lua-

san RTH semakin berkurang. RTH adalah salah satu milik

umum (common property) yang mungkin keberadaannya

tak terlalu dipentingkan, sehingga pemerintahan kota

mengikuti kebutuhan dasar para ‘urbanis’ yang terus me-

ningkat, serta tak sebanding dengan ruang yang ada. Hal

itu menimbulkan hal-hal sebagai berikut:

• Inkonsistensi kebijakan dan strategi penataan RTH

dalam tata ruang kota yang sudah ditetapkan, dan

yang sudah diakomodasi secara menyeluruh dalam

Rencana Induk Kota atau Rencana Umum Tata Ruang

(RUTR).

• Pemeliharaan RTH tidak konsisten dan tidak rutin,

menyangkut pula pemilihan jenis tanaman yang tidak

sesuai secara ekologis kondisi bio-geografisnya pada

masing-masing lokasi.

• RTH sering dianggap sebagai tempat sampah dan

sarang vector berbagai penyakit.

• Pemahaman masyarakat pada umumnya sangat

kurang, khususnya amat terbatasnya pendidikan prak-

tis yang langsung berhubungan dengan alam sekitar.

• Minimnya fasilitas RTH, berupa lapangan olahraga

201Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman

dan tempat bermain anak, maupun taman rekreasi

untuk para lansia, padahal telah diketahui amat pen-

ting dalam mendukung perkembangan (proses) moto-

rik pada anak-anak serta keseimbangan mental bagi

orang dewasa.

• Pencemaran media lingkungan (tanah, air, dan uda-

ra) secara fisik pasti menimbulkan masalah kesehatan

yang serius, khususnya bagi manusia yang rentan ter-

hadap penyakit, para lansia dan balita (Purnomohadi,

2003).

6.4 PEMBANGUNAN RTH KOTAManusia, dalam ‘membangun’ kota telah mengubah

tapak alami secara drastis. Awal teknik pembangunan

memang mengajarkan ‘land clearing’ terutama bersih

dari berbagai macam vegetasi, apalagi pepohonan, pa-

dahal dengan hilangnya vegetasi, maka hilang pula biota

lain yang hidup tergantung padanya. Vegetasi, kecuali

‘yang produknya bisa dimakan’ dianggap sebagai suatu

“barang” tak penting. Air hujan yang mampu mengalir

dengan perlahan melalui daun dan batang menguatkan

akar dan tetumbuhan lain menjadi akuifer, lalu terpaksa

mengalir langsung menuju tempat/lokasi yang lebih ren-

dah (dengan membawa sedimen) menuju selokan atau

pipa sewerage, lebih cepat menuju perairan akhirnya ke

laut. Tanah menjadi keras (kompak) dan miskin hara (aki-

bat erosi).

Pembangunan RTH sebagai unsur alam di kota mam-

pu menjadi pusat, dan mengalirkan energi bagi kehidup-

an penghuni kotanya, serta menimbulkan rasa tenang,

nyaman dan sejuk. Bentuknya pun bermacam-macam

dari skala besar, seperti taman-taman rekreasi berskala

nasional, provinsi maupun taman formal di depan gedung

resmi atau perkantoran, taman dan kolam yang diren-

canakan mengikuti karakter geografis, sampai ke taman-

taman lingkungan yang berukuran relatif kecil, termasuk

halaman rumah, ‘taman atap, balkon dan teras bangu-

nan’, taman dalam rumah (indoor), sampai sekedar tana-

man rumput di sekitar kita, semuanya merupakan unsur

alam.

Central Park di Kota New York, berukuran sekitar 341

ha terbukti mampu mengencerkan konsentrasi gas-gas

polutan. Dengan ukuran yang sama, maka satu garis jaja-

ran dedaunan, kemampuan penjerapan/penyerapan debu

bisa menjadi tiga sampai empat kali dibanding alat beru-

pa bahan berpermukaan halus dengan ukuran sama dan

dipasang di lokasi yang sama. Studi di Hyde Park (295 ha)

di London membuktikan 25% reduksi konsentrasi asap

yang kebetulan dihembuskan angin melalui Taman terse-

but. Banyak lagi hasil-hasil penelitian kota-kota dunia

yang kira-kira membuktikan pentingnya eksistensi RTH

dalam Kota. Karena itu RTH-kota mutlak ada sebagai

komponen penting syarat pembangunan lingkungan kota

yang nyaman (Hal 150, Modul pelatihan UNESCO-UNEP

seri ke-4, 1987).

6.4.1 Perancangan, Bentuk dan Konfigurasi RTH

(Arsitektur Lansekap)

Pembangunan bidang pertamanan (landscape archi­

tecture) di kota metropolitan, atau biasa disebut “Metro­

politan Park System” sebaiknya berorientasi pula kepada

sumber yang telah ditetapkan pemerintah sebagai dasar

kebijakan pembangunan atau RTRK.

Umumnya pembangunan ’lingkungan’ perkotaan se-

202 Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman

bagian besar ’hanya’ merupakan perbaikan atau penam-

bahan sarana dan prasarana kota yang semula ’sudah’

ada (urban renewal, revitalisasi), namun tetap harus di-

lakukan secara berencana, dengan lebih memperhatikan

keserasian hubungan antara kota terbangun dengan ling-

kungan alaminya, dan antara kota dengan daerah perde-

saan sekitar atau kota pendukung (hinterland), serta ke-

serasian dalam pertumbuhan kota itu sendiri.

Kota sebagai konsentrasi permukiman dan kegiatan

manusia, telah berkembang sangat pesat berikut dam-

paknya pada banyak kota di Indonesia. Kota dalam keter-

batasan kemampuan, tetap menuntut adanya suatu kon-

disi fisik dan lingkungan yang sehat bagi warga kotanya.

Pertambahan penduduk yang pesat senantiasa di-

iringi tuntutan ketersediaan prasarana, sarana, fasilitas

pelayanan bagi kehidupan dan kegiatannya. Keterba-

tasan dana dan teknologi, penanganan dan pengelolaan

kota yang kurang tepat, serta pertambahan penduduk

kota yang pesat sebagai akibat kelahiran maupun ur-

banisasi, telah menimbulkan banyak masalah perkotaan

yang seringkali menjadi berlarut-larut.

Pengembangan dan pembangunan kota sangat ber-

gantung pada faktor kuantitas dan kualitas penduduk,

keluasan dan daya dukung lahan, serta keterbatasan ke-

mampuan itu sendiri. Gejala pembangunan, perkembang-

an dan pemekaran kota untuk memenuhi tuntutan dan

pelayanan terhadap penduduk kota yang jumlahnya terus

membengkak tersebut, seringkali menimbulkan kecende-

rungan menuju pembangunan maksimal struktur kota,

ruang terbuka kota, dengan mudah menghilangkan atau

mengorbankan eksistensi dan wajah alam.

Lahan kota semakin tertutup oleh struktur (perkerasan/

hard materials), dan permukaan air (sungai, rawa, pantai,

dan lain-lain) yang berubah fungsi dan kualitasnya. Anda-

lan kemampuan teknologi modern, telah mengembang-

kan pemikiran membangun kota yang seringkali meng-

abaikan sistem ekologi kota, bahkan berusaha merobah

seluas mungkin eskosistem alam menjadi ekosistem buat-

an (artificial ecosystem). Maka, muncul dampak negatif

pembangunan akibat perlakuan kurang wajar terhadap

norma-norma dan kaidah-kaidah alam tersebut, seperti

perubahan suhu kota, krisis air bersih, penurunan air ta-

nah, amblasan tanah, banjir, intrusi air laut, abrasi pantai,

kualitas udara memburuk, sungai mengering, dan ber-

bagai polusi terhadap media lingkungan.

Perencanaan RTH kota yang matang, dapat menjaga

keseimbangan dan keharmonisan antara ruang terba-

ngun dan ruang terbuka. Keselarasan antara struktur kota

dengan wajah-wajah alami, mampu mengurangi berbagai

dampak negatif akibat degradasi lingkungan kota dan

menjaga keseimbangan, kelestarian, kesehatan, kenya-

manan dan peningkatan kualitas lingkungan hidup kota.

6.4.2 Pemilihan Jenis Tanaman

Sebenarnya tidak ada apa yang dinamakan dalil khu-

sus dalam pemilihan jenis tanaman yang sesuai pada

suatu lokasi. Namun demikian, kondisi bio-geografi ling-

kungan secara alami telah menunjukkan habitat berbagai

jenis-jenis tanaman (keaneka-ragaman hayati endemic/

existing) yang paling tepat sebagai acuan pemilihan tana-

man untuk RTH sesuai tapak masing-masing. Kemudian

barulah pertimbangan berdasar pada pengalaman akan

kesesuaian bentuk dan fungsi (form follows function) wu-

jud arsitektural tanaman-tanaman tersebut, hendaknya

203Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman

dijadikan dasar pemilihan selanjutnya.

Tanaman sebagai salah satu elemen alam yang diper-

gunakan dalam penataan lansekap kota tidak henti-henti-

nya mengalami perubahan. Di samping itu tanaman juga

membutuhkan iklim tertentu, teknik penanaman dan pe-

rawatan, mempunyai bentuk arsitektural dan kesan visual

yang berbeda.

Tanaman juga membantu mengendalikan radiasi ca-

haya matahari, kekuatan angin dan mengurangi pantulan

cahaya, membersihkan udara melalui proses fotosintesa,

menyaring debu, meredam kebisingan suara, menahan

dan menyimpan air tanah, mengurangi erosi, dan mem-

perbaiki kesuburan tanah.

Dalam konsepsi arsitektural dan penggunaan kein-

dahan visual, tanaman dapat memberikan rasa akrab,

keteduhan, mengendalikan pandangan, dan keleluasaan

bagi setiap individu untuk melaksanakan kegiatannya.

Pohon dan perdu memberikan kesan lansekap dalam

berbagai bentuk, struktur, tekstur, warna, dan pola. Ke-

san ini akan selalu berubah sesuai dengan iklim atau

musim. Hal ini sangat nyata terlihat pada negara-negara

yang mempunyai empat musim.

Berbagai jenis tumbuhan dapat hidup di hutan kota,

dari stratifikasi atas (pepohonan), tengah (perdu) dan ren-

dah (penutup tanah), sehingga membentuk satu komuni-

tas yang berfungsi menahan erosi. Sebagaimana fung-

sinya pada hutan alam, maka pemilihan jenis tanaman

diarahkan pada upaya:

• Meningkatkan fungsi tanaman untuk penyelamatan

tanah dan air, mencegah terjadinya banjir dan erosi;

• Memperbaiki dan memelihara agar kondisi hidrologis

daerah aliran sungai tetap terjaga, sehingga menjamin

sistem tata air yang mantap sepanjang masa;

• Memperbaiki dan mempertahankan kelangsungan pro-

duktivitas lahan, serta;

• Meningkatkan kesejahteraan sosial-ekonomi masya-

rakat, berarti prospek ekonomis dari tanaman terpilih

sudah dapat dijamin cepat berproduksi dan disukai

oleh masyarakat setempat.

Beberapa jenis tanaman yang memenuhi persyaratan

tersebut di atas, antara lain: Sengon (Albizzia falcataria),

Kemin (Aleurites moluccana), Rasamala (Altingia excelsa),

Keluwih (Artocarpus altilis), Benda (Artocarpus elasticus),

Nangka (Artocarpus heterophyllus), Kemang (Mangifera

caesia), Limus (Mangifera foetida), Kweni (Mangifera odo­

rata), Rambutan (Nephelium lappaceum), Petai (Parkia

speciosa), Alpokat (Persea amaricana), Pinus (Pinus

merkusii), dan Kesambi (Schleicera oleosa) (Sulistami,

1995).

Dari berbagai uraian di atas, dapat disimpulkan,

bahwa pengelolaan RTH kota, terutama hutan kota ha-

rus terintegrasi dan berdasar pada pemikiran serta per-

timbangan keseimbangan antara daerah terbangun dan

tidak terbangun, sehingga nyaman ditinjau dari segi kese-

hatan, aman, dan dapat dipakai sebagai tempat rekreasi

untuk meningkatkan produktivitas manusia warga kota,

dan dapat mensejahterakan kehidupan manusia secara

adil dan merata.

Dari berbagai penelitian (Dahlan, 1992 dalam Purno-

mohadi 1995, 2002) yang sebagian besar didasarkan

pada penerapan pelaksanaan RTH Kota yang disesuaikan

dengan fungsinya tersebut, maka pemilihan jenis tanaman

yang sesuai pada umumnya dapat diuraikan sebagai:

204 Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman

• Pengidentitas (mascot/landmark) Kota

Berbagai jenis flora dan fauna dapat dijadikan maskot

kota, antara lain: Pohon Pinang (Arenga pinnata) yang

menjadi mascot Kota ’Pagar Ruyung’, Kayu Manis (Cin­

namomum burmanii) sebagai maskot Provinsi NTT, dan

seterusnya.

• Upaya untuk Melestarikan Plasma Nutfah

Secara ex-situ dari berbagai tanaman langka bernilai

tinggi, seperti Nam-nam (Cynometra cauliflora), Kepel

(Stelechocarpus burahol), Majegau (Dysoxylum den­

siflorum), Jati (Tecona grandis), dan seterusnya masih

banyak lagi.

• Penahan dan Penyaring Partikel Padat di Udara

Tanaman dengan daun berbulu atau permukaan yang

kasar, secara mekanistis-fungsional sangat baik dalam

menyerap polutan debu. Demikian pula jumlah stomata

daun yang relatif banyak akan mudah menyerap dan

menjerap partikel padat yang melayang-layang di uda-

ra bebas.

• Penyerap dan Penjerap Partikel Timbal

(Dahlan et.al., 1990)

a. Tanaman yang mempunyai kemampuan sedang-

tinggi dalam menurunkan kandungan timbal di udara,

seperti Damar (Agathis alba), Mahoni (Swietenia mi­

crophylla dan S. macrophylla), Jamuju (Podocarpus

imbricatus), Pala (Myristica fragrans), Asam Landi

(Pithecelebium dulce), dan Johar (Cassia siamea).

b. Yang berkemampuan sedang dan rendah adalah Glo-

dogan (Polyalthea longifolia), Keben (Baringtonia asia­

tica), dan Tanjung (Mimusops elengi).

c. Tanaman yang berkemampuan rendah dan tak tahan

terhadap zat pencemar dari kendaraan bermotor,

antara lain adalah Bunga Kupu-kupu (Bauhinia pur­

purea), dan Kesumba (Bixa orellana).

• Penyerap (absorbsi) dan Penjerap (adsorbsi) Debu

Semen (Irawati, 1990 dalam Dahlan, 1992)

Tanaman yang tahan dan mampu mengendalikan seka-

ligus sebagai penjerap (adsorbsi) dan penyerap (ab­

sorbsi) zat pencemar (debu semen), antara lain adalah

Mahoni (Swietenia macrophylla), Bisbul (Diospyros dis­

color), Tanjung (Mimusops elengi), Kenari (Canarium

commune), Meranti Merah (Shorea leprosula), Kirai Pa-

yung (Filicium decipiens), Kayu Hitam (Diospyros cele­

bica), Duwet/Jamblang (Eugenia cuminii), Medang Lilin

(Litsea roxburghii), dan Sempur (Dillenia ovata).

• Peredam Kebisingan

Tanaman dapat meredam suara dengan cara mengab-

sorpsi gelombang suara oleh daun, cabang, dan ran-

ting dari berbagai strata tanaman. Pohon yang paling

efektif meredam suara ialah yang bertajuk tebal, karena

dedaunan tanaman dapat menyerap kebisingan sam-

pai 95 persen (Grey dan Deneke, 1978).

• Mengurangi Bahaya atau Dampak Hujan Asam

Melalui proses fisiologis tanaman yang disebut ‘pro-

ses gutasi’, akan menghasilkan beberapa unsur Ca,

Na dan Mg, serta bahan organik seperti glutamine dan

gula (Smith, 1985 dalam Dahlan 1992). Bahan in-or-

ganik yang diturunkan ke lantai hutan dan tajuk melalui

205Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman

proses throughfall dengan urutan K>Ca>Mg>Na, baik

untuk tajuk dari tegakan daun lebar maupun dari daun

jarum (Henderson et.al, 1977 dalam Dahlan, 1992). Hu-

jan yang mengandung H2SO4 atau HNO3, bila sampai

di permukaan daun akan mengalami reaksi, antara lain

H2SO4 dengan Ca, membentuk garam Ca2SO4 yang

bersifat netral, dibanding kadar asam dari air hujan itu

sendiri. Karena itu dengan adanya proses intersepsi

dan gutasi oleh permukaan daun, akan sangat mem-

bantu dalam menaikkan pH, sehingga air hujan menjadi

tidak begitu berbahaya lagi bagi lingkungan. Penelitian

Hoffman et.al, (1980) menunjukkan bahwa pH air hu-

jan yang telah melewati tajuk pohon lebih tinggi, jika

dibandingkan dengan pH air hujan yang tidak melewati

tajuk pohon.

• Penyerap Karbon monoksida (CO)

Kacang merah (Phaseolus vulgaris) dapat menyerap

gas karbon monoksida (CO) sebesar 12-120 kg/km2/

hari. Mikro-organisme dalam tanah berperan baik,

dalam menyerap gas ini dari udara dari yang semula

konsentrasinya sebesar 120 ppm (13,8X104 ug/m3)

menjadi hampir mendekati nol, hanya dalam waktu tiga

jam saja (Smith, 1981, Bidwell & Fraser dalam Smith,

1981 dalam Dahlan, 1992).

• Penyerap Karbon dioksida (CO2) dan Penghasil Ok-

sigen (O2)

Tanaman pada ekosistem daratan, termasuk hutan alam,

tanaman pertanian, termasuk mangrove dan tanaman

pada ekosistem lahan basah lain, selain fitoplankton,

ganggang dan rumput laut, dan tumbuhan lain dalam

perairan laut, seperti padang lamun, mampu menyerap

karbondioksida dan penghasil oksigen dalam proses

fotosintesis, menggunakan cahaya matahari. Dalam

ekosistem daratan jumlah luasan hutan sudah sangat

jauh berkurang, maka pembangunan dan penataan

hutan kota sebagai bagian RTH kota, sudah sangat

mendesak. Salah satu dampak negatif bertambahnya

gas karbon monoksida (CO) ini adalah meningkatkan

efek gas rumah kaca, sedang di lain pihak proses asim-

ilasi tersebut akan menghasilkan oksigen yang penting

bagi kehidupan biota di dunia, terutama bagi manusia.

Tanaman yang baik dalam menyerap gas karbon diok-

sida (CO2) dan menghasilkan oksigen (O2), antara lain:

Damar (Agathis alba), Kupu-kupu (Bauhinia purpurea),

Lamtoro Gung (Leucena leucocephala), Akasia (Acacia

auriculiformis), dan Beringin (Ficus benyamina).

• Penahan Angin

Panfilov dalam Robinette (1983), mengemukakan,

bahwa angin kencang dapat dikurangi sampai 75-80

desibel oleh suatu penahan angin yang berupa RTH

(hutan) Kota. Faktor-faktor yang harus diperhatikan

dalam merancang suatu hutan kota, khususnya untuk

menahan angin, (Grey & Deneke, 1978) dengan mem-

perhatikan jenis tanaman yang ditanam harus memiliki

dahan yang kuat, daun tak mudah gugur oleh terpaan

angin yang berkecepatan sedang, akar pohon yang

dapat menghujam ke dalam tanah sehingga lebih tahan

terhadap hembusan angin yang cukup kuat ketimbang

tanaman berakar menyebar di sekitar atau dekat de-

ngan permukaan tanah, memiliki kerapatan cukup (50-

60 persen), serta tinggi dan lebar jalur hutan kota yang

206 Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman

cukup luas, sehingga dengan baik dapat melindungi

wilayah sesuai dengan yang diinginkan.

• Penyerap dan Penapis Bau

Tanaman dapat menyerap bau secara langsung atau

menahan gerak angin dari sumber bau (Grey & Deneke,

1978) seperti dari tempat pembuangan sampah yang

terbuka (open dumping), apakah itu TPS atau pun TPA.

Akan lebih efektif bila tanaman tersebut berbunga atau

berdaun harum, seperti Cempaka (Michelia champaka),

Pandan (Pandanus sp.), kemuning (Murraya paniculata)

atau Tanjung (Mimusops elengi).

• Mengatasi Penggenangan

Daerah yang topografinya relatif rendah sering menjadi

genangan air, karena itu perlu ditanami dengan jenis

tanaman dengan kemampuan evapotranspirasi tinggi.

Kriteria tanaman ini biasanya berdaun lebat, sehingga

jumlah permukaan daunnya relatif luas dan jumlah sto-

matanya pun banyak. Jenis tanaman dengan penguap-

an relatif besar ini, antara lain Nangka (Artocarpus in­

tegra), Albazia (Paraserianthes falcataria), Acacia vilosa,

Indigofera galegoides, Dalbergia sp., Mahoni (Swiete­

nia mahagoni), Jati (Tectona grandis), Ki Hujan/Trem-

besi (Samanea saman), dan Lamtoro Gung (Leucena

glauca).

• Mengatasi Intrusi Air Laut

Kasus ini terjadi terutama pada kota-kota yang terletak

di jalur pantai, sehingga rawan terhadap intrusi air laut.

Pemilihan tanaman harus benar-benar diperhatikan,

sebab penanaman tanaman yang kurang tahan terha-

dap kandungan garam yang sedang agak tinggi, akan

mengakibatkan tanaman tak dapat tumbuh baik, bah-

kan mungkin sampai mati. Penanaman tanaman yang

mempunyai daya evapotranspirasi tinggi akan mengu-

ras air dalam tanah, sehingga konsentrasi garam dalam

tanah akan meningkat. Dengan demikian penghijauan

semacam ini justru akan mendatangkan masalah bukan

mengatasi intrusi air asin, karena itu diperlukan peng-

hijauan kota di kawasan semacam ini, namun dengan

memakai jenis tanaman dengan daya evapotranspirasi

rendah. Berbagai jenis tanaman bakau (mangrove), ter-

masuk tegakan Nipah (Nypha fruticaus), dan asosiasi

dalam ekosistem mangrove lain akan sangat sesuai un-

tuk daerah pesisir pantai ini. Jenis-jenis tanaman Keta-

pang (Terminalia catappa), Nyamplung (Callophyllum

innophyllum), dan Keben (Barringtonia asiatica) sangat

sesuai terutama sebagai pohon peneduh dan pelin-

dung di sepanjang pantai yang umumnya mendapat

sengatan sinar matahari paling tinggi.

• Produksi Terbatas

Sudah dapat dibuktikan, secara ekonomis bahwa fungsi

produksi hutan kota sangat signifikan. Hasil pokok kayu

maupun hasil sampingan lain bisa dimanfaatkan untuk

berbagai keperluan, tentu saja tidak sebanyak jumlah

dari hutan alam maupun hutan produksi. Dahlan (1992)

menyebutkan bahwa 740 pohon mahoni di kota Suka-

bumi, dilelang seharga Rp. 74.000.000,00 juta saja. Pa-

dahal tanaman tersebut secara nominal harusnya lebih

berharga dari nilai tangible tersebut, apabila ditinjau dari

nilai intangible-nya, misalnya dari bentukan iklim mi-

kro yang nyaman dengan adanya pohon-pohon terse-

207Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman

but. Manfaat lain, masih banyak lagi, dari bunga dan

buah yang melengkapi susunan gizi warga masyarakat

sekitar, buah dan biji kenari yang bisa digunakan un-

tuk makanan dan kerajinan tangan, dan tanaman lain,

seperti Pala, Kawista, Sawo, Kelengkeng, Menteng,

Kersen, Duku (Lancium domesticum), Asem (Tamarin­

dus indica), Melinjo (Gnetum gnemon), Buni (Antidenua

bunius), atau Mangga (Mangifera indica). Buah mangga

madu yang ditanam di sepanjang jalur hijau jalan, pada

musimnya warga dapat memetik buah cuma-cuma, un-

tuk dimakan di tempat atau diolah menjadi sari buah

(juice) atau buah kalengan yang berorientasi ekspor,

contoh di Kota Chandigarh, India tersebut.

• Ameliorasi Iklim

Meningkatnya suhu dan debu di wilayah perkotaan dan

kemacetan lalu-lintas yang semakin parah, terutama di

musim kemarau, sangat berpengaruh terhadap kes-

ehatan warga kota. Kondisi ini sangat memprihatinkan

dan mengancam kesehatan anak kecil dan balita yang

sangat rentan terhadap penyakit sesak nafas, batuk,

dan infeksi saluran pernapasan atas (ISPA). Kota Singa-

pura dan Kuala Lumpur dengan iklim relatif sama, telah

berhasil membangun hutan kota dengan memelihara

pepohonan besar yang dapat menahan sinar matahari

dan pada malam hari sebaliknya dapat menahan radiasi

cahaya matahari yang diserap permukaan bumi pada

siang hari, sehingga udara tetap nyaman dan hangat.

Penelitian Wenda (Dahlan, 1992) tentang pengukuran

Gambar 6.7

Jalur sepeda khusus

dibangun pada dua

jalur ROW (right of way),

disamping jalur pedestrian

bagi pejalan kaki.

208 Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman

suhu dan kelembaban udara wilayah yang bervegetasi

dengan berbagai kerapatan, lebih tinggi dibandingan

dengan wilayah yang lebih didominasi perkerasan jalan

(aspal), dan bangunan (tembok), yang menghasilkan be-

berapa angka perbandingan wilayah bervegetasi suhu:

25,5–31,0° celcius, kelembaban 66-92 persen; yang

kurang bervegetasi: suhu 27,7–33,1, kelembaban 62-

78 persen, dan areal padang rumput, mencapai suhu:

27,3–32,1, kelembaban 62-78 persen. Demikian pula

penelitian Koto (Dahlan, 1992), di dalam komplek Mang-

gala Wana Bhakti, Jakarta, ditemukan pula, bahwa suhu

di dalam ‘hutan buatan’ lebih nyaman (terendah) diban-

dingkan dengan areal parkir maupun padang rumput

dan di sekitar bangunan di perkantoran yang sama.

• Pengelolaan Sampah

RTH sudah seringkali dinyatakan mampu sebagai pere-

dam kebisingan, bau, silau, dan pelindung struktur ta-

nah. Di Provinsi Wurtenberg di Jerman Selatan, di mana

pada setiap kota hanya dihuni maksimal dua juta jiwa,

mewajibkan adanya hutan kota pada lokasi tempat

pembuangan sampah, sebagai peredam buangan sam-

pah warga kota, baik berupa sampah padat maupun

limbah cair. Kedua jenis sampah itu ditampung dalam

kontainer khusus yang secara berkala di semprotkan

atau diletakkan ke dalam hutan kota tersebut di mana

telah ‘ditanam’ sejenis mikroba tertentu yang kembali

mengasimilasi sampah dan limbah tersebut, sehingga

bisa keluar sebagai material padat (humus) dan cair

yang bersih atau netral yang dapat dimanfaatkan kem-

bali (Purnomohadi, 2002).

• Pelestarian Air Tanah

Sistem perakaran dan serasah yang berubah menjadi

humus akan memperbesar pori-pori tanah, karena

bersifat higroskopis, maka jumlah air tanah akan me-

ningkat. Daerah hulu harus dilindungi dan ditetapkan

sebagai daerah resapan air, sebagai penahan air hujan

agar mengurangi larian air permukaan. Menurut Manan

(Dahlan, 1992) tanaman dengan evapotranspirasi ren-

dah adalah jenis Cemara Laut (Casuarina equisetifolia),

Karet (Ficus elastica), Hevea brasiliensis, Manggis (Gar­

cinia mangostana), Bungur (Lagerstroemia speciosa),

Fragraea fragans, dan Kelapa (Cocos nucifera).

• Sebagai Habitat Burung

Di wilayah perkotaan dikenal berbagai ‘hewan kota’

seperti burung, tupai, dan berbagai serangga yang

menjadi bagian dari keanekaragaman hayati dan sum-

ber plasma nutfah untuk keseimbangan ekosistem

perkotaan. Burung sangat diperlukan sebagai pengen-

dali serangga hama, membantu proses penyerbukan,

bernilai ekonomi tinggi, fauna penghibur (warna-warni

bulu, suara merdu), dan obyek penelitian. Sedangkan

berbagai tanaman yang disukai untuk habitat burung

adalah Kiara, Caringin, dan Loa (Ficus, spp), Beringin

(Ficus benjamina), Jejawi (Ficus microcarpa), Gondang

(Ficus variegata), Ficus glaberrima yang buahnya disu-

kai burung, Dadap (Erythrina variegate) yang bunganya

menghasilkan nectar, Betet (Psittacula akexandri), Serin-

dit (Loriculus pussilus), Jalak (Sturnidae), dan beberapa

jenis burung madu. Bunga Dangduer (Gossampinus

heptaphylla) yang berwarna merah menarik Burung Ung-

kut-ungkut dan Srigunting, Aren (Arenga pinnata) (ijuk

209Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman

batang aren sering dimanfaatkan burung untuk mem-

buat sarang), Pucuk Bambu (Bambusa spp) sering di-

gunakan sebagai tempat bersarang Burung Blekok (Ar­

deola speciosa), dan Manyar (Ploceus sp.). Sedang jenis

lain, seperti Burung Cacing (Cyornis banyumas), Celepuk

(Otus bakkamoena), Sikatan (Rhipidura javanica), Kepala

Tebal Bakau (Pachycephala cinerea), dan Prenjak Kun-

ing (Abroscopus superciliaris) bertelur pada pangkal ca-

bang antara dedaunan dan di dalam batangnya.

• Meningkatkan Keindahan

Mengurangi tekanan kejiwaan. Dalam suasana sejuk,

tenang, dan indah karena ada tetumbuhan di taman

rumah, taman lingkungan, dan taman kota, sudah pasti

akan menyejukkan perasaan secara psikologis maupun

fisik. Oleh karena itu, kini rumah sakit dilengkapi Taman

Terapi, untuk penyembuhan rohani dan jasmani pasien.

Tidak ada orang yang tidak menyukai suasana alami yang

diciptakan RTH kota, termasuk kehadiran hutan kota. Dari

berbagai referensi diketahui, bahwa sikap negatif warga

kota, seperti stres, depresi, hingga bunuh diri, diketahui

sebagian besar akibat pengaruh beberapa zat kimia yang

masuk ke dalam peredaran darah dan sistem pencernaan

manusia, seperti Pb, SOX, NOX, dan CO.

• Mengamankan Pantai terhadap Abrasi

Berbagai jenis tegakan hutan bakau atau mangrove,

dari Avicinnea di tepi pantai sampai Bruguiera dan

Nipah di sebelah darat, sangat bermanfaat mencegah

erosi pantai (abrasi). Sudah relatif banyak penelitian

yang menyatakan bahwa hutan bakau sangat pent-

ing sebagai ruaya (spawning ground) tempat bertelur

dan membesarkan juveniles berbagai jenis ikan, udang

dan moluska. Pengelolaan daerah pesisir dan laut ter-

integrasi (Integrated Coastal and Marine Environmental

Management) di kota pesisir mendesak dilaksanakan,

bersama seluruh stakeholders masyarakat pesisir,

sebab ternyata 60 persen lebih permukiman terletak

di wilayah pesisir Indonesia yang terpanjang kedua

setelah pantai Canada yang terpanjang di dunia.

• Meningkatkan Industri Pariwisata

Taman-taman rekreasi, mulai dari taman kota hingga

hutan kota, berbagai skala di wilayah perkotaan, su-

dah pasti menjadi area rekreasi dan hiburan bagi warga

kota. Berbagai jenis flora dan fauna, terutama yang

langka, sangat menarik perhatian bagi pengunjung ta-

man dan hutan kota, selain sebagai obyek pendidikan

dan penelitian.

• Sebagai Hobi dan Pengisi Waktu Luang

Halaman pekarangan pribadi dan taman lingkungan

perumahan, serta lahan cadangan untuk rencana pem-

bangunan selanjutnya, merupakan komponen RTH,

yang menjadikan kota indah dan sejuk, di mana aspek

kelestarian, keserasian, keselarasan, dan keseimbang-

an sumberdaya alam, akan menciptakan lingkungan

kota yang kondusif, nyaman, segar, meredam pence-

maran dan kebisingan, sehingga warga dan kota men-

jadi sehat.

Beberapa foto di bawah dan di dua halaman berikut

ini, adalah tanaman (pepohonan) yang disebutkan di atas,

sebagai berikut:

210 Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman

Gambar 6.8

Paling atas kiri: Ketapang (Terminalia catappa), paling atas

kanan: Buni (Antidesma bunius), paling kiri atas: Tanjung

(Memusops elengi), paling kiri tengah: Kemuning (Muraya

paniculata), paling kiri bawah: Jejawi (Ficus microcarpa), kiri:

Gondang (Ficus variegata), atas: Jamblang (Syzygium cumini).

211Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman

Gambar 6.9

Paling atas: Melinjo (Gnetum gnemon), atas kiri: Sukun (Artocarpus

altilis), atas kanan: Limus/bacang (Mangifera caesia).

212 Penyelenggaraan RTH untuk Mewujudkan Kota Taman

213Pengelolaan RTH

BAB VIIPENGELOLAAN RTH

214 Pengelolaan RTH

VII PENGELOLAAN RTH

Belajar dari contoh-contoh pengelolaan RTH, terutama

kota-kota tropis yang baik, memang menguntungkan asal-

kan tidak meniru mentah-mentah, sehingga menimbulkan

keseragaman yang membosankan dan menurunkan nilai

tinggi kelangkaan sebuah wujud lansekap kota.

Dalam berbagai Lomba Taman Tingkat Nasional (LTTN)

yang pernah dilaksanakan beberapa tahun antara 1985-

1995, pada berbagai kategori dan dari berbagai ukuran

RTH, sejak halaman rumah tinggal, halaman bangunan

umum, seperti: perkantoran, komplek hotel, rumah sakit,

dan halaman pendidikan termasuk kampus perguruan

tinggi, serta taman kota, nampak bahwa seni arsitektur

lansekap Kota Jakarta telah dijiplak mentah-mentah oleh

daerah-daerah penilaian.

Dari segi kepeloporan dan usaha peningkatan mutu

lingkungan memang ada nilainya, tetapi ditinjau dari

ciri kedaerahan sama sekali hampir tak nampak. Pa-

dahal perbedaan alam yang kasat mata masih nampak

jelas, seperti warna tanah yang berbeda karena jenisnya

berbeda, atau jenis tanaman asli yang masih tersisa di

sana-sini. Sedangkan nilai-nilai kebudayaan asli daerah

harus tetap dipertahankan. Jangan sampai Kebun Raja

(bukan Kebun Raya) yang mirip alun-alun berukuran lebih

kecil, yang masih ada di Kota Blitar, misalnya akan di-

ubah fungsinya menjadi bangunan masif (seperti mal dan

semacamnya).

Pergeseran makna dan fungsi alun-alun sebagai

tengeran (landmark) taman pusat kota, dan masih ba-

nyak sekali fungsi lain yang sangat mendukung keber-

lanjutan lingkungan hidup kota, merupakan alasan kuat

untuk mempertahankan salah satu RTH tropis khas Pulau

Jawa, misalnya yang diakui pula sebagian merupakan

karya pemerintahan kolonial Belanda yang telah menye-

suaikan perancangan kota dengan kondisi iklim tropis.

Tanaman tertentu yang mempunyai tajuk lebar, berben-

tuk payung atau pun hampir merata ke seluruh batang,

seperti Ki Hujan, Trembesi (Samanea saman), Flamboyan

(Delonix regia), Ketapang (Terminalia catapa), Johar (Cas-

sia multijuga Rich, Cassia siamea Lmk), Mahoni (Swi-

etenia mahagoni sp. macrophylla dan microphylla), dan

Asam (Tamarindus indica).

Pohon Matoa (Pometia pinnata Forst) di Papua Barat

dan Majegau (Dysoxylum densiflorum) yang menjadi mas-

kot Provinsi Bali misalnya, rasanya sudah mulai meng-

hilang? Atau sudah tidak banyak terlihat lagi? Pohon Leci

di daerah lereng pegunungan daerah Ubud, atau sekitar

Pura Besakih di Bali, yang indah dilihat pada waktu ber-

bunga dan berbuah pun sudah jarang terlihat. Di Kabu-

paten Belu, Nusa Tenggara Timur juga sudah sulit ditemui

Pohon Cendana (Santalum album). Sebenarnya masih

banyak lagi sumber daya plasma nutfah flora maupun

fauna, yang bisa dikembangkan dan diangkat menjadi

ciri khas suatu daerah.

Akan kemanakah pengelolaan RTH kota di Indonesia,

seperti Singapura, Kuala Lumpur, kota-kota besar lainnya

yang telah terkotak-kotak dalam blok-blok, atau dalam

215Pengelolaan RTH

lingkaran siput seperti kota-kota di Benua Amerika, atau

seperti kota-kota di Eropa? Pada akhirnya, pelestarian

fungsi penting unsur-unsur pembentuk lingkungan, akan

sangat menentukan keberlanjutan kualitas dan kuantitas

sumber daya alam dan lingkungan hidup kota dan warga

kota.

Terjadinya krisis ekonomi dan peningkatan pengang-

guran yang melanda Indonesia telah menimbulkan oku-

pasi besar-besaran terhadap RTH kota, baik untuk tem-

pat berdagang atau bercocok tanam pada ‘lahan tidur’.

Dari pengamatan pertanian perkotaan tak terstruktur

terhadap kegiatan ini, diketahui bahwa secara langsung

kegiatan ini dapat menyelamatkan kehidupan beberapa

petani kota dadakan, dengan bentuk organisasi penge-

lola khusus sejak pembibitan, penanaman, pemanenan,

sampai pencarian pasar dan seluk beluk bisnis perda-

gangan. Namun demikian, tetap diperlukan perangkat

hukum yang mengatur kegiatan ini.

7.1 SDM DALAM PENGELOLAAN RTHAgar perencanaan pembangunan perkotaan dapat

mencapai hasil dimana mampu dipertahankannya fungsi

lingkungan kota yang berkelanjutan, sebagaimana di-

harapkan dalam prinsip “good environmental gover-

nance”, diperlukan minimal tiga modal dasar pembangun-

an, yaitu:

(1) tersedianya pengelola kota yang handal, berupa sum-

berdaya manusia (SDM) baik pejabat pemerintah mau-

pun masyarakat umum pada skala nasional dan lokal

yang mampu bersama-sama memelihara fungsi dan

kondisi lingkungan perkotaan, sesuai kaidah pelestari-

an fungsi lingkungan hidup yang ada.

(2) tersedianya dukungan sumber daya finansial yang

berkelanjutan pula untuk mendukung kegiatan pemeli-

haraan dan pengawasan RTH-kota, dan

(3) tersedianya Rencana Induk Kota yang komprehensif

dan dinamis, yang artinya terus berkembang sejalan

dengan proses kehidupan lingkungan perkotaan yang

dinamis.

Konsep kebijakan dan strategi pembangunan dan

pengelolaan RTH, sebagaimana diuraikan oleh Sasong-

ko, 2005, diselarasakan dengan UU No. 22/1999 tentang

Otonomi Daerah (sudah direvisi menjadi Undang-Undang

No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah), di-

mana komitmen untuk mewujudukan pembangunan

berkelanjutan mensyaratkan pembangunan dan penge-

lolaan RTH secara konsisten dan profesional. Otonomi

daerah harus bermuara pada peningkatan kesejahteraan

masyatakat dan mendekatkan fungsi-fungsi pelayanan

kepada masyarakat.

Penyesuaian pengembangan paradigma reformasi

pembangunan kota berkelanjutan mensyaratkan pelak-

sanaan transparansi kegiatan, baik oleh pemerintah mau-

pun swasta (pengusaha dan lembaga masyarakat umum).

Kesadaran akan hak dan tanggung jawab pembangunan

dan pengelolaan RTH tidak hanya merupakan dominasi

pemerintah, tetapi jugamasyarakat melalui penyesuaian

program-program pembangunan yang inovatif, kreatif

dan mutakhir.

7.1.1 Latar Belakang

Sesuai dengan misi pokok paradigma reformasi saat

ini, yaitu agar pengelolaan kepemerintahan di daerah dapat

216 Pengelolaan RTH

semakin mandiri dalam memenuhi tujuan sebagaimana

dimaksud dalam pelaksanaan Undang-Undang (UU) No.

32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Diharapkan

agar pembangunan kota berkelanjutan dapat segera ter-

wujud, dan telah merupakan komitmen seluruh pelaku-

nya, yaitu segenap unsur pemerintahan yang mutlak me-

merlukan dukungan dan peranserta masyarakat, baik di

tingkat nasional maupun di tingkat wilayah atau daerah.

Pembangunan berkelanjutan mensyaratkan dan meng-

upayakan kerjasama antar‚ para ‘pemangku kepentingan’

(stakeholders) agar tetap terbentuknya lingkungan (kota)

yang selaras, serasi dan seimbang. Dalam menata keter-

paduan antar berbagai pihak tersebut, selayaknya disu-

sun lebih dahulu suatu pedoman penataan ruang RTH‚

dengan mengacu kepada pedoman penyusunan RTRK

yang merupakan turunan dari penyusunan rencana tata

ruangnya atau, Perencanaan Ruang Terbuka Hijau (RTH)

merupakan salah satu faktor utama sebuah‚ Rencana In-

duk Kota’, yaitu agar proses alami guna menopang ke-

berlangsungan seluruh kehidupan lingkungan kota, dapat

terus berlangsung. Karena itu RTH harus dikelola secara

profesional dan konsisten dari waktu ke waktu.

Otonomi Daerah harus bermuara pada peningkatan

kesejahteraan masyarakat dan mendekatkan fungsi-

fungsi pelayanan terhadap masyarakat. Sistem, me-

kanisme dan prosedur penyelenggaraan otonomi daerah

(UU dan Peraturan Pelaksanaan) harus jelas dan aplika-

tif untuk menghindarkan distorsi yang kontra produktif.

Otonomi Daerah Jangka Panjang harus mampu mewu-

judkan kemandirian daerah, dilaksanakan dalam wadah

NKRI dan harus mampu memantapkan demokrasi dalam

semangat Persatuan dan Kesatuan.

Penyesuaian perkembangan paradigma reformasi

pembangunan kota yang berkelanjutan mensyaratkan

pula, pelaksanaan transparansi kegiatan, baik oleh pemer-

intah maupun swasta (pengusaha dan lembaga masyara-

kat umum), kesadaran akan hak dan tanggung jawab

pembangunan serta pengelolaan RTH, misalnya tak hanya

merupakan dominasi pemerintah, tetapi juga masyarakat

kota, dan melalui penyesuaian program-program pem-

bangunan yang inovatif, kreatif, dan mutakhir. Program-

program untuk peningkatan fungsi lingkungan hidup (LH),

seperti Bangun Praja, Super Prokasih atau Langit Biru,

masih ‘dirasakan’ sebagai “gerakan parsial“ lingkungan

perkotaan yang masih belum sepenuhnya menopang

suatu sistem pengelolaan lingkungan hidup (PLH) kota.

Berbagai program tersebut, hendaknya merupakan suatu

kesatuan progam yang saling mendukung sebagai suatu

sistem PLH (media air, udara dan tanah).

7.1.2 Maksud dan Tujuan

Maksud: Adanya kebijakan dan strategi dalam pem-

bangunan dan pengelolaan RTH di wilayah perkotaan.

Tujuan: Pedoman Pembangunan dan Pengelolaan

RTH Di Wilayah Perkotaan.

7.1.3 Ruang Lingkup

Penyusunan Kebijakan dan Strategi Pembangunan

Perkotaan dalam Bidang Pembangunan dan Pengelolaan

Ruang Terbuka Hijau (RTH) berdasarkan pada Inmendagri

Nomor 14 Tahun 1988 tentang Penataan RTH di Wilayah

Perkotaan. Kebijakan dan Strategi Pembangunan

Perkotaan Bidang Pembangunan dan Pengelolaan RTH

ini dalam pelaksanaannya kelak, diharapkan tetap meru-

217Pengelolaan RTH

pakan suatu sinergitas PLH, yang disesuaikan dengan

sistem bio-geografi lingkungan NKRI. Sebagaimana

diketahui, negara kita merupakan Negara Kepulauan di

daerah tropis, dengan karakteristik alam sangat beraneka-

ragam, ditandai oleh iklim yang panas (cahaya matahari

penuh), kelembaban tinggi dengan keanekaragaman

hayati flora dan fauna yang tinggi namun sangat rentan

terhadap adanya gangguan kerusakan dan pencemaran

lingkungan.

Kondisi lingkungan khas negara kita ini pun sangat

dipengaruhi oleh keanekaragaman ekosistem dataran

tinggi, pegunungan (bergunung-api/vulkano yang seba-

gian besar masih aktif), jajaran perbukitan serta dataran

rendah serta perairan yang juga merupakan habitat flora

dan fauna perairan yang khas pula. Apabila diamati lebih

rinci, maka kondisi fisik lingkungan maupun sosial dan bu-

dayanya pun amat sangat beragam. Telah banyak peneli-

tian menunjukkan keanekaragaman yang tinggi tersebut,

terutama khasanah budaya yang timbul dari lebih 300

suku bangsa pendukungnya, dari propinsi Nangroe Aceh

Darussalam (NAD) sampai ke Papua Barat.

Didasari oleh kenyataan akan luas dan beragamnya

kondisi lingkungan baik yang alami, lingkungan perde-

saan, lingkungan perkotaan, baik daratan dan lautan,

maka ruang lingkup pembahasan Kebijakan dan Strategi

ini pun dibatasi hanya untuk diterapkan di lingkungan

perkotaan. Pokok-pokok pemikiran yang akan mempen-

garuhi hasil pembahasannya kemudian adalah bahwa:

1. NKRI adalah negara kepulauan di mana sebagian be-

sar permukiman terletak di sepanjang wilayah pesisir/

pantai;

2. Terjadi kecenderungan aglomerasi penduduk dari wi-

layah perdesaan ke wilayah perkotaan (urbanisasi) se-

makin meningkat, terutama akibat kebutuhan akan la-

pangan pekerjaan;

3. Bertambahnya jumlah penduduk, secara langsung mau-

pun tidak akan mempengaruhi meningkatnya penetrasi

terhadap alam lingkungannya, terutama di lingkungan

perkotaan, sehingga daya dukung lingkungannya se-

bagian sudah terlampaui. Kondisi lingkungan semacam

ini tentu menimbulkan ketidaknyamanan lingkungan

bagi manusia yang hidup di dalamnya;

4. Kebijakan dan Strategi Pembangunan Daerah di bidang

Perkotaan, khususnya untuk pengelolaan RTH ini pun

akan disusun bersama-sama dengan para pihak terkait,

dan sedapat mungkin mewakili berbagai macam eko-

sistem seperti disebut sebelumnya. Hasilnya diperki-

rakan semacam model Pengelolaan Pembangunan RTH

Lingkungan Perkotaan, paling tidak diharapkan bisa

mewakili beberapa (tiga) tipe ekosistem (ekotipe) khas

dari ekosistem pegunungan dan daratan yang relatif

jauh dari wilayah pesisir, kemudian ekotipe lingkungan

perkotaan di sepanjang pantai (dataran rendah), serta

ekotipe wilayah di antara kedua ekotipe sebelumnya

(lingkungan dengan ketinggian ‘sedang’);

5. Ketiga ekotipe-ekotipe ‘khas’ tersebut, tentu mensya-

ratkan jenis (species) biota (khususnya dalam hal ini

jenis vegetasi atau tetumbuhan), sesuai dengan habi-

tusnya tsb., apakah tipe tanaman tropis dataran tinggi,

sedang atau pun rendah;

6. Dari pertimbangan-pertimbangan lain, seperti kemam-

puan dan kondisi daerah masing-masing, khususnya

dukungan finansial (ekonomi) serta kesiapan SDM un-

tuk kebijakan pembangunan di daerah masing-masing

218 Pengelolaan RTH

juga perlu dipertimbangkan masak-masak;

7. Perlu dipertimbangkan adanya: subsidi silang antara

satu daerah dengan daerah lain, yang paling tidak me-

nyangkut tiga hal, yaitu pertimbangan-pertimbangan:

kelembagaan, fisik, ekonomi dan sosial budaya ma-

syarakat lokal.

7.2 PERMASALAHAN KEBIJAKAN, STRATEGI DAN PROSPEK PEMBANGUNAN DAN PENGELOLAAN RTH

Perlu dipertimbangkan suatu sistem penerapan (ino-

vasi) pelaksanaan pengelolaan RTH dikaitkan dengan

kegiatan-kegiatan PLH di wilayah perkotaan. Seba-

gaimana telah dilakukan di negara-negara lain dan telah

menunjukkan keberhasilan dari hasil sinergitas penerap-

an PLH di kota-kota tersebut. Sebagai contoh, dikutip-

kan beberapa keberhasilan PLH di wilayah perkotaan di

negara-negara:

1. Jerman, khususnya di Provinsi Wurtenberg, Jerman

Selatan: di mana sampah domestik, baik padat (khu-

susnya sampah organik) maupun cair (sewerage), di-

integrasikan dalam sistem ‘Zwartwald’ atau ‘Hutan Hi-

tam’, di mana di antara dua atau lebih bagian kota yang

berbatasan (misalnya antara Kebayoran Baru dan Pon-

dok Indah) yang berpenduduk dengan jumlah tak lebih

dari dua juta jiwa, dibangun semacam‚ hutan kota’ (se-

bagian bentuk RTH-Kota) yang fungsinya ‘hanya’ untuk

‘penyaring’ atau filter dari sampah padat dan limbah

cair tersebut. Kedua produk sampingan hasil kegiatan

manusia kota berjumlah sekitar dua juta, secara berkala

di tampung (dibuang) ke dalam Hutan Kota. Teknologi

Gambar 7.1

Sebuah rumah tradisional di luar benteng ‘Jakarta’ berada di

sebuah lingkungan kampung yang teduh. Rumah ini biasa disebut

‘Makassaarch huis’.

Sumber: Oud Batavia, gambar B 34.

219Pengelolaan RTH

lain?), sistem daur ulang dari kotoran manusia dan he-

wan (termasuk urin) sengaja ‘ditambang’ (dikumpul-

kan) kemudian diproses menjadi pupuk organik untuk

kawasan pertanian di sekitarnya. Hasilnya memang

mengagumkan, hasil bebuahan (jeruk, anggur, dan lain-

lain) China memang terkenal kualitasnya bahkan meru-

pakan komoditi eskport yang penting.

Demikian beberapa contoh yang juga banyak dilaku-

kan di negera-negara di Benua Afrika dan Amerika Latin

yang konon masih dijalankan sampai saat ini, dari pada

di kota-kota kita yang sebagian besar masih membuang

sampah dan limbah langsung ke ‘alam’, tanpa melalui

proses daur-ulang sederhana seperti telah dipraktekkan

sampai kini.

Gambar 7.2: A Self Sufficient Commune.

(Myers, 1985)

sederhana diterapkan sedemikian rupa sehingga mi-

kroba yang sengaja ‘ditanam’ di dalam “Zwartwald”

tersebut. mengurai (‘memakan’) sampah dan limbah

organik tersebut, sehingga suatu saat air limbah yang

keluar menjadi bersih kembali. Demikian pula ‘lantai

hutan’ akan menghasilkan berlapis-lapis pupuk buatan

(kompos) tanpa zat kimiawi yang dapat dimanfaatkan

kembali oleh warga masing-masing kota tsb.

2. India, di suatu bagian Kota Madras menerapkan sis-

tem energi bio-gas dari hasil buangan kegiatan mereka

sendiri (diterapkan juga di beberapa kota lain khusus-

nya yang berpenduduk padat). Dengan hanya memakai

suatu sistem permukiman yang kompleks, di mana

masing-masing kelompok permukiman yang sengaja

dibentuk melingkar, mempunyai suatu unit sistem pem-

buangan limbah cair dan padat, dan biogas yang keluar

dari unit pembuangan tersebut dipakai kembali seba-

gai sumber energi dikembalikan ke perumahan yang

melingkarinya. Demikian pula di daerah ‘Pearl River’

delta ‘a self-sufficient commune’, China yang sudah

lama memanfaatkan biogas sebagai sumber energi un-

tuk melakukan berbagai kegiatan, yang pada akhirnya

mampu memasok berbagai hasil produksi pertanian ke

provinsi tetangga.

Di India pula, yaitu daerah pertanian kota di pinggiran

Kota Calcutta, yang kebetulan hidup di daerah lahan

basah (wetland), sampah padat organik dibuang ke

dalam lahan tersebut, kemudian setelah agak/mulai

padat lahan tersebut mulai ditanami berbagai jenis

tanaman sayur-mayur dan buah-buahan, hasilnya pun

kembali untuk suplai penduduk di sekitarnya.

3. China, di Beijing (mungkin di kota-kota/permukiman

220 Pengelolaan RTH

7.3 PENETAPAN STRATEGI, FOKUS STRATEGI DAN UKURAN KINERJA PEMBANGUNAN DAN PENGELOLAAN RTH DI WILAYAH PERKOTAAN (Sasongko, 2005)

7.3.1 Perubahan Paradigma Pemerintah dan Pengaruhnya Pada Manajemen Pembangunan Perkotaan:

Pembangunan dan Pengelolaan RTH

PERUBAHAN PARADIGMA

Bupati/Wali Kota dan staf inti sebagai: Pemberdaya Pelayan

Pelaksana yang transparan dan

akuntabel

MISIUkuran utama sektor Pemerintahan adalah

keberhasilan mencapai misi

KEUANGANmemenuhi harapan

pemberi dana

PELANGGANmemenuhi harapan penerima manfaat

PROSES INTERNALmelakukan proses yang

baik dan benar

PENGEMBANGAN SDMpengembangan organisasi

dan SDM yang tepat

STRATEGITujuan Srategis

Program Proritas Ukuran Strategis

Perkotaan

Terfasilitasinya Pengembangan

Perkotaan yang layak huni, inovatif/dinamis,

kompetitif dan terciptanya pelayanan jasa perkotaan prima

Tertatanya ruang kota yang menyediakan

fungsi kawasan lindung, hutan kota, hijau rekreasi kota,

hijau kegiatan olahraga, hijau pemakaman, hijau

pertanian, hijau jalur hijau, hijau pekarangan

221Pengelolaan RTH

7.3.2 Strategi Pembangunan Perkotaan

PERSPEKTIF PELANGGAN

PERSPEKTIF KEUANGAN

PERSPEKTIF PROSES INTERNAL

PERSPEKTIF PEMBELAJARAN

Meningkatkan Kepuasan Pelanggan

melalui pelayanan

Meningkatkan kapabilitas

kelembagaan perkotaan

Meningkatkan Kemandirian Perkotaan

Meningkatkan

Efisiensi Anggaran

Memperluas Sumber

Pendanaan

Memahami siapa

‘pelanggan’

Memberi

masukan/advis

Meningkatkan

koordinasi

Meminimalkan masalah

di daerah (fasilitasi)

Memberikan tanggapan

dengan cepat

PEMBANGUNAN PERKOTAAN

Meningkatkan Produktifitas SDM

Memelihara suasana positifMeningkatkan kompetensi SDM

Memberikan tanggapan

dengan cepat

222 Pengelolaan RTH

TEMA STRATEGIK

Kehidupan perkotaan yang layak, dinamis, optimal, berwawasan lingkungan,

berkualitas serta menunjang nilai-nilai budaya

ATertatanya

Kawasan

(kumuh)

ETerselenggaranya

Pelayanan jasa

perkotaan

DTerciptanya keserasian

kerjasama Pembangunan

Perkotaan

CBerkembangnya Potensi

dan Pertumbuhan

perkotaan

BTersedianya Sarana

dan prasarana

perkotaan

PERSPEKTIF PELANGGAN

PERSPEKTIF FINANSIAL

PERSPEKTIF PROSES INTERNAL

PERSPEKTIF PEMBELAJARAN

Lihat halaman 10 dan 14

Lihat halaman 11 dan 14

Lihat halaman 12 dan 15

Lihat halaman 13 dan 16

PERSPEKTIF PELANGGAN

Ruang Terbuka Hijau Aman,

nyaman, sehat dan bermanfaat

BTersedianya Sarana dan

prasarana perkotaan

Sistem transportasi

perkotaan

Air bersih Air limbah Persampahan Pasar Drainase

Perhubungan

Pengembangan

Kimpraswil/

Pekerjaan Umum

Lingkungan

Hidup

Pemanfaatan

Lingkungan

Hidup

Analisa Dampak

Lingkungan

223Pengelolaan RTH

PERSPEKTIF FINANSIAL

PENINGKATAN

KEUANGAN

Efesiensi dan Efektivitas

Pengelolaan Keuangan/anggaran

Anggaran BAPPENAS AsosiasiInput vs

Output

Tertib

Administrasi

KemitraanBLNAPBN

PERSPEKTIF PROSES

INTERNAL

Peningkatan kepuasan

pengguna dan donor melalui

efisiensi Proses/biaya

Peningkatan kualitas

layanan “pelanggan”

Cepat

tanggap

Up to Date/

mutakhirBenar Komunikasi dan

Koordinasi

Tertib

AdministrasiSIM/TI

Fasilitas

Infrastruktur

224 Pengelolaan RTH

PERSPEKTIF PEMBELAJARAN

PENINGKATAN PRODUKTIFITAS

DAN KOMITMEN SDM

SIM dan Pengembangan

Teknologi Informasi

Kompetensi

SDM

Kemitraan dan

Nara sumber

Program

Inovasi

Diklat dan

seminar

Reward &

Punishment

Asosiasi Profesi/

Perguruan Tinggi/

Konsultan

Diklat

7.3.3 Fokus Strategi Pembangunan Perkotaan

FOKUS/­

PERSPEKTIF

Pelanggan:

• Meningkatkan

kemandirian

Perkotaan

• Meningkat-

kan kepuasan

‘pelanggan’ melalui

pelayanan

• Meningkatkan

kapabilitas kelem-

bagaan perkotaan

Finansial

• Meningkatkan

efisiensi peng-

gunaan anggaran

• Memperluas sum-

ber pendanaan

Pembelajaran

• Meningkatkan

Produktivitas SDM

• Meningkatkan

Kompetensi SDM

• Memelihara sua-

sana kerja positif

Proses Internal

• Memahami

pelanggan

• Memberi

masukan/advis

• Meningkatkan

koordinasi

• Meminimalisasi

masalah di daerah/

fasilitasi

• Memberikan tang-

gapan dengan cepat

225Pengelolaan RTH

Penataan Kawasan

(kumuh):

• Interior dan

arsitektur kota

• Pemeliharaan

kota dan bangunan

bersejarah

• RTH dan taman

kota

• Kebersihan Kota

TPU

Pengembangan

Perumahan dan

Permukiman

Sistem Transportasi

Perkotaan:

• Transportasi

umum (trayek)

• Jalan dan

jembatan

• Terminal

Air Bersih

• Sumur dan PAM

• Air limbah

• Persampahan

• Pasar

• Rumah Sakit

• Sekolah

• Drainase

• RTH

PENATAAN

KAWASAN

SARANA DAN

PRASARANA

• Peningkatan

Sumber APBN

• Bantuan Luar

Negeri

• Kemitraan

• Tertib Administrasi

dan Keuangan

• Peningkatan Sum-

ber APBN

• Bantuan Luar

Negeri

• Kemitraan

• Tertib Administrasi

dan Keuangan

Mempercepat

proses interaksi

dgn masyarakat,

Pemda dan sektor

• Promosi peme-

cahan masalah

berbasis masyarakat

• Tingkatkan

produktivitas

• Tingkatkan kontak

positif

• Tingkatkan fasili-

tas infrastuktur

• Tertib administrasi

• SIM dan TI

Mempercepat

proses interaksi

dgn masyarakat,

Pemda dan sektor

(Tata Ruang. Kim-

praswil, KLH, LSM,

dsb.)

• Promosi solusi

masalah berbasis

masyarakat

• Tingkatkan

produktivitas

• Tingkatlan kontak

positif

• Tingkatkan

fasilitas infrastuktur

• Kompetensi SDM

• Reward &

punishment

• Kemiteraan &

nara sumber

• Program Inovasi

• Diklat & seminar

• Sarana & prasa-

rana pembelajaran

• Kompetensi SDM

• Reward &

punishment

• Kemiteraan &

nara sumber

• Program Inovasi

• Diklat & seminar

• Sarana & prasa-

rana pembelajaran

226 Pengelolaan RTH

POTENSI DAN

PERTUMBUHAN

KESERASIAN

DAN KERJASAMA

PEMBANGUNAN

Kemiteraan

• Pemerintah

BUMN/BUMD

• Dunia Usaha/

swasta

• LSM

• Sektor Informal

* Urbanisasi terk-

endali

*Kemiskinan Kota

Sistem Kota

• Sehat

• Aman

• Nyaman

Tipologi Kota

Kota Baru

Dampak Ketimpang-

an Desa dan Kota:

• Eksistensi kota-

desa (rural-urban

linkages)

• Keserasian bangu-

nan sepanjang kota-

desa (conurbation)

Sister/Twinning

cities

• Dalam Negeri

• Luar Negeri

• Peningkatan Sum-

ber APBN

• Bantuan Luar

Negeri

• Kemitraan

• Tertib Administrasi

dan Keuangan

• Peningkatan Sum-

ber APBN

• Bantuan Luar

Negeri

• Kemitraan

• Tertib Administrasi

dan Keuangan

• Tertib administrasi

• SIM dan TI

Mempercepat

proses interaksi

degan masyarakat,

Pemda dan sektor

• Promosi solusi

masalah berbasis

masyarakat

• Tingkatkan

produktivitas

• Tingkatlan kontak

positif

• Tingkatkan fasili-

tas infrastuktur

• Tertib administrasi

• SIM dan TI

Mempercepat

proses interaksi

dgn masyarakat,

Pemda dan sektor

• Promosi solusi

masalah berbasis

masyarakat

• Tingkatkan

produktivitas

• Tingkatlan kontak

positif

• Tingkatkan

fasilitas infrastuktur

• Kompetensi SDM

• Reward &

punishment

• Kemiteraan &

nara sumber

• Program Inovasi

• Diklat & seminar

• Sarana & prasa-

rana pembelajaran

• Kompetensi SDM

• Reward &

punishment

• Kemiteraan &

nara sumber

• Program Inovasi

• Diklat & seminar

• Sarana & prasa-

rana pembelajaran

227Pengelolaan RTH

Pelayanan Satu Atap:

• Fasilitas sosial

• Fasilitas umum

• Sistem Jasa

Pelayanan

• Fasilitas jasa ka-

wasan tertentu

• Pengendalian

mutu pelayanan

(pengembangan dari

inisiasi sarana dan

prasarana

• Tertib administrasi

• SIM dan TI

Mempercepat

proses interaksi

dgn masyarakat,

Pemda dan sektor

• Promosi solusi

masalah berbasis

masyarakat

• Tingkatkan

produktivitas

• Tingkatlan kontak

positif

• Tingkatkan

fasilitas infrastuktur

• Tertib administrasi

• SIM dan TI

• Peningkatan Sum-

ber APBN

• Bantuan Luar

Negeri

• Kemitraan

• Tertib Administrasi

dan Keuangan

• Kompetensi SDM

• Reward &

punishment

• Kemiteraan &

nara sumber

• Program Inovasi

• Diklat & seminar

• Sarana & prasa-

rana pembelajaran

PELAYANAN JASA

228 Pengelolaan RTH

7.3.4 Tujuan Strategi/­Kra > Ukuran Keberhasilan/­KPI: Fokus Strategi Sarpras Kota > RTH

PERSPEKTIF

PELANGGAN

Pelanggan

• Meningkatkan

kemandirian

perkotaan

• Meningkatkan

kepuasan

pelanggan

• Meningkatkan

kapabilitas

kelembagaan

perkotaan

UKURAN KEBERHASILAN/­

KEY PERFORMANCE INDICATORS (KPI)

• Konsep kebijakan RTH yang dipergunakan

sebagai referensi dalam pembangunan dan

pengelola-an RTH

• Jumlah, luas dan kualitas fasilitas RTH yang

digunakan secara efefktif

• Tingkat kepuasan masyarakat

• Jumlah keluhan (complaint) masyarakat

terhadap kondisi RTH dan lingkungan minimal

• Perolehan penghargaan (program Bangun

Praja/Adipura, Kalpataru, dsb.)

TUJUAN STRATEGI/­

KEY RESULT AREA (KRA)

Sistem transportasi perkotaan

• Transportasi umum

• Jalan & Jembatan

• Terminal

Air bersih

• Sumur & PAM

• Air limbah

• Persampahan

• Pasar

• Rumah Sakit

• Sekolah

• Drainase

Ruang Terbuka Hijau

Tertatanya ruang kota yang menyediakan

fungsi kawasan lindung (hijau alami-sekeliling

situ/danau/waduk, sepanjang tepian pantai/

pesisir), hutan kota, hijau rekreasi kota, hijau

kegiatan olahraga, hijau pemakaman, hijau

pertanian, hijau jalur hijau (green belt), hijau

pengaman sar-pras (sutet, jalur KA, lalu-

lintas, dsb), hijau pekarangan

229Pengelolaan RTH

URAIAN KEGIATAN-INDIKATOR KINERJA-

TARGET PEMBANGUNAN & PENGELOLAAN SARPRAS KOTA > RTH

URAIAN

KEGIATAN

Workshop RTH

(BANGDA)

Penyusunan Konsep

Kebijakan (BANGDA)

Perencanaan sosial-

isasi (BANGDA)

Sosialisasi (BANGDA)

Workshop dengan

para pakar lansekap

dan lingkungan untuk

penyusunan stan-

dard/ukuran RTH

(BANGDA)

Workshop dengan

para pakar lansekap

dan lingkungan untuk

Penetapan Kriteria

Pembangunan RTH:

Letak lokasi dan jenis

vegetasi (BANGDA)

INDIKATOR

KINERJA

Teridentifikasinya

permasalahan RTH

dan pemecahannya

bagi daerah

Kebijakan pemba-

ngunan dan pengelo-

laan RTH

Tersosialisasinya

Kebijakan Pemban-

gunan dan Pengelo-

laan RTH

Tersusunnya stan-

dard/ukuran RTH

Tersusunnya Kriteria

Pembangunan RTH:

Letak dan Jenis

Vegetasi

SATUAN

Waktu/hari

Kepmen, Inmen,

Ditandatangani

Waktu/hari dan

jumlah daerah

Kepmen, Inmen

Ditandatangani

Kepmen, Inmen

Ditandatangani

RENCANA TINGKAT

CAPAIAN (TARGET)

3 (tiga) hari workshop

Akhir 2004

Akhir 2005

90% Kawasan

perkotaan

Akhir 2004

Akhir 2004

KETERANGAN

230 Pengelolaan RTH

TUJUAN STRATEGI/­KRA > UKURAN KEBERHASILAN/­KPI

FOKUS STRATEGI SARPRAS KOTA > RTH

PERSPEKTIF

PROSES

Proses internal

• Memahami

Pelanggan

• Memberi

masukan/advis

• Meningkatkan

koordinasi

• Meminimalkan

masalah di daerah/

fasilitasi

• Memberikan tang-

gapan dengan cepat

TUJUAN STRATEGI

(KEY RESULT AREA)

• Mempercepat proses interaksi dengan

masyarakat, Pemda dan Sektor (Tata Ru-

ang, Kimpraswil, KLH, BAPPENAS, LSM,

dsb.)

• Mempromosikan solusi masalah berba-

sis masyarakat

• Meningkatkan produktivitas

• Meningkatkan Kontak Positif

• Tertib Adminstrasi

UKURAN KEBERHASILAN

(KEY PERFORMANCE INDICATORS)

• Jumlah dan frekuensi interaksi dengan

Pemda, sektor, dan masyarakat,

• Tersebarnya referensi solusi atau inovasi

pembangunan dan pengelolaan RTH dari

keberhasilan daerah

• Jumlah permasalahan pembangunan dan

pengelolaan RTH daerah yang dikonsultasi-

kan berhasil diselesaikan

• Kontak positif dan data based dengan

Pemda, asosiasi profesi (arsitek lansekap,

perencana, perancang, akhli lingkungan),

LSM/pemerhati lingkungan flora dan fauna

(kota)

• Dokumentasi pelaporan

231Pengelolaan RTH

PERSPEKTIF PROSES SASARAN DAN URAIAN KEGIATAN PEMBANGUNAN

& PENGELOLAAN SARPRAS KOTA > RTH

UKURAN

KEBERHASILAN

• Jumlah dan frekuensi

interaksi dengan

Pemda, Sektor dan

masyarakat

• Kontak positif dan

data based dengan

Pemda, asosiasi profesi

(arsitek lansekap,

perencana, perancang,

akhli lingkungan), LSM/

pemerhati lingkungan

flora dan fauna (kota)

• Tersebarnya referensi

solusi atau inovasi pem-

bangunan dan penge-

lolaan RTH dari keber-

hasilan daerah

• Jumlah permasalahan

pembangunan dan pe-

ngelolaan RTH daerah

yang dikonsultasikan

berhasil diselesaikan

URAIAN KEGIATAN

• Rapat Koordinasi bula-

nan atau Triwulanan

• Pertemuan dan Komu-

nikasi rutin, pencatatan

data (data based), insti-

tusi, atau pejabat yang

relevan (terkait) dengan

pengelolaan RTH

• Sosialisasi inovasi

pembangunan dan pe-

ngelolaan RTH melalui

media informasi ke

daerah-daerah

• Menanggapi

konsultasi/asistensi atau

fasilitasi permasalahan

RTH

TARGET (RENCANA

PENCAPAIAN)

• Bulanan

• Terus menerus

• Terus menerus

• Setiap masalah

yang dikonsultasikan

ditanggapi segera >

respon tidak lebih dari

1 minggu

PROGRAM

• Koordinasi dgn Departemen

sektoral (Kimpraswil, KLH,

BAPPENAS, Kehutanan,

Pertanian, dsb)

• Penyusunan data based

dan komunikasi, serta

informasi

• Sosialisasi

• Konsultasi, asistensi, atau

fasilitasi

232 Pengelolaan RTH

URAIAN KEGIATAN-INDIKATOR KINERJA-TARGET PEMBANGUNAN

DAN PENGELOLAAN SARPRAS KOTA > RTH

UKURAN

KEGIATAN

• Rapat Koordi-

nasi bulanan atau

Triwulanan

• Pertemuan dan

Komunikasi rutin,

pencatatan data

(data based), insti-

tusi, atau pejabat

yang relevan

(terkait) dengan

pengelolaan RTH

• Sosialisasi ino-

vasi pembangunan

dan pengelolaan

RTH melalui media

informasi ke

daerah-daerah

• Menanggapi

konsultasi/asis-

tensi atau fasilitasi

permasalahan RTH

TARGET (RENCANA

TINGKAT CAPAIAN)

• Setiap bulan atau

triwulanan

• Seluruh nama dan

data pakar yang

relevan dengan RTH

terhimpun dalam 3

(tiga) bulan

• Setiap 3 bulanan

me masukkan artikel

ten tang inovasi

pembangunan dan

pengelolaan RTH

• Setiap permasalah-

an masuk langsung

ditanggapi (tidak

lebih dari 1 minggu)

INDIKATOR

KERJA

• Terbentuknya

forum komunikasi

• Jumlah data

terhimpun

• Jumlah inovasi

pembangunan dan

pengelolaan RTH

daerah yang terdata

dan tersosialisikan

• Jumlah konsultasi

SATUAN

• Jumlah pertemuan

dan frekuensinya

• Jumlah dan bulan

• Jumlah dan bulan

serta sebaran sosia-

lisasi

• Jumlah dan waktu

tanggap

KETERANGAN

233Pengelolaan RTH

TUJUAN STRATEGI/­KRA > UKURAN KEBERHASILAN/­KPI

FOKUS STRATEGI SARPRAS KOTA > RTH

PERSPEKTIF FINANSIAL

Finansial

• Meningkatkan efisiensi

peggunaan anggaran

• Memperluas sumber pendanaan

TUJUAN STRATEGI

(KEY RESULT AREA)

• Peningkatan sumber APBN

• Bantuan Luar Negeri

• Kemiteraan/Kontak Positif

• Tertib Adminstrasi dan

keuangan

UKURAN KEBERHASILAN

(KEY PERFORMANCE INDICATORS)

• Jumlah dana dari APBN meningkat

• Jumlah dana bantuan luar negeri

meningkat, misalnya melalui proyek-

proyek kerjasama LN)

• Jumlah partisipasi sponsorship

meningkat

• Laporan administrasi akuntabel

PERSPEKTIF FINANSIAL

SASARAN DAN URAIAN KEGIATAN PEMBANGUNAN & PENGELOLAAN SARPRAS KOTA > RTH

UKURAN

KEBERHASILAN

• Jumlah dana dari APBN

meningkat

• Jumlah dana bantuan dari

luarnegeri meningkat (misal-

nya melalui proyek-proyek

kerjasama luar negeri

• Jumlah partisipasi/

sponsorship masyarakat

meningkat

• Laporan administrasi

akuntabel

TARGET

(RENCANA CAPAIAN)

• Anggaran pembinaan pem-

bangunan dan pengelolaan RTH

meningkat 00%

• Anggaran proyek bantuan LN

untuk tema RTH meningkat 00%

• Jumlah partisipasi meingkat 00%

• Laporan administrasi akuntabel/

tidak terdapat temuan BPKP

URAIAN

KEGIATAN

• Pemanfaatan

anggaran

• Pengelolaan

Proyek bantuan LN

• Kegiatan

kemiteraan/

sponsorship

• Transparansi

administrasi

PROGRAM

• Efektivitas

anggaran

• Proyek bantuan

LH untuk RTH

• Kemiteraan/

sponsorship

• Transparansi

234 Pengelolaan RTH

URAIAN KEGIATAN-INDIKATOR KINERJA-TARGET PEMBANGUNAN

DAN PENGELOLAAN SARPRAS KOTA > RTH

UKURAN

KEGIATAN

• Pemanfaatan

anggaran

• Pengelolaan

proyek Bantuan LN

• Kegiatan

kemiteraan/

sponsorship

• Transparanasi

administrasi

RENCANA TINGKAT

CAPAIAN (TARGET)

• Rp

• Rp.............untuk

.........bulan

• Rp

• Tidak ada temuan

(0)

INDIKATOR

KINERJA

• Tepat guna

• Tepat waktu dan

biaya

• Tepat guna

• Tidak ada temuan

BPKP

SATUAN

• Jumlah Rp

• Jumlah Rp dan

waktu

• Jumlah Rp

• 0 temuan

KETERANGAN

TUJUAN STRATEGI/­KRA > UKURAN KEBERHASILAN/­KPI

FOKUS STRATEGI SARPRAS KOTA > RTH

PERSPEKTIF PEMBELAJARAN

Pembelajaran

• Peningkatan produktivitas SDM

• Meningkatkan kompetensi SDM

• Memelihara suasana kerja positif

TUJUAN STRATEGI

(KEY RESULT AREA)

• Kompetensi SDM

• Kemiteraan dan narasumber

• Diklat dan seminar

• Sarana dan prasarana

pembelajaran

UKURAN KEBERHASILAN

(KEY PERFORMANCE INDICATORS)

• Jumlah SDM Bangda yang

memahami RTH

• Banyaknya back up pakar RTH

• Jumlah dan frekuensi seminar RTH

yang dihadiri oleh SDM Bangda

• Jumlah buku, artikel dan referensi

tentang RTH

235Pengelolaan RTH

PERSPEKTIF PEMBELAJARAN

SASARAN DAN URAIAN KEGIATAN PEMBANGUNAN & PENGELOLAAN SARPRAS KOTA > RTH

UKURAN

KEBERHASILAN

• Jumlah SDM Bangda

yang memahami RTH

• Banyaknya ‘back up’

pakar RTH

• Jumlah dan frekuensi

Pertemuan Ilmiah

(seminar) RTH yang

dihadiri oleh SDM Bangda

• Jumlah buku, artikel dan

referensi tentang RTH

URAIAN KEGIATAN

• Peningkatan penge-

tahuan dan kompetensi

SDM Bangda

• Konsultasi dengan

Nara Sumber tetap

• Pertemuan Ilmiah di

dalam maupun di luar

negeri

• Perpustakaan

TARGET

(RENCANA PENCAPAIAN)

• Seluruh Subdit Sarana

dan Prasarana Kota

• Minimal tiga orang pakar

Tetap untuk s

• Seluruh Subdir Sarana

dan Prasarana Kota

• Tersedianya buku-buku,

dan referensi tentang RTH

di Bangda

PROGRAM

• Pelatihan

• Konsultasi Nara Sumber

• Pertemuan Ilmiah

(Seminar, Loka Karya,

Semi Loka), tentang RTH

• Tersedianya buku-buku,

dan referensi tentang RTH

di Bangda

236 Pengelolaan RTH

7.3.5 Perspektif Pelanggan Sasaran & Uraian Kegiatan Pembangunan & Pengelolaan Sarpras Kota > RTH

UKURAN

KEBERHASILAN

1. Konsep Kebijakan

RTH yang dipergunakan

sebagai referensi

dalam pembangunan

pengelolaan RTH

2. Jumlah dan kualitas

fasilitas RTH yang diper-

gunakan dengan efektif

URAIAN KEGIATAN

• Workshop RTH

• Pembentukan Team

Penyusun Konsep

Kebijakan

• Perencanaan sosialisasi

• Sosialisasi

• Workshop dengan

para pakar lansekap dan

lingkungan

• Workshop dengan

para pakar lansekap dan

lingkungan

• Kerjasama dalam

kampanye tentang RTH

dengan pengembang

dan pemerhati bidang

arsitektur lansekap dan

taman, akhli fasilitas

dan kesehatan olahraga,

anak-anak dan lansia

• Kerjasama dalam

pemanfaatan RTH dengan

LSM lingkungan, PLN,

DLLAJR, PJKA, Pengem-

bang (Developer), dst.

TARGET (RENCANA

PENCAPAIAN)

Konsep selesai akhir 2004

dan selesai disosialisasi-

kan kepada Pemda/

Pemkot pada Juni 2005

(BANGDA)

• Diterapkannya standard

RTH-Kota sesuai dengan

DPU (BANGDA)

• Terjaganya vegetasi

• Tersedianya taman

rekreasi aktif: Kebon

Raya, Kebon Binatang,

Arboretum, Olah-raga,

Taman Bermain Anak, dan

Taman Lansia

• RTH untuk pengaman

fasi-litas kota: koridor

hijau, sepanjang badan

perairan, jalur PLN

(SUTET), jalur lalu-lintas,

PROGRAM

• Penyusunan Konsep

Kebijakan (BANGDA)

• Sosialisasi kebijakan

(BANGDA)

• Penetapan standard/

ukuran RTH (BANGDA)

• Penetapan kriteria

pembangunan RTH-letak

lokasi & jenis vegetasi

(BANGDA)

• Kampanye RTH

• Persuasi kemiteraan

dengan pihak terkait

237Pengelolaan RTH

jalur KA, dst.

• RTH-Permukiman: pada

halaman dan Kompleks

• RTH-Pertanian

• RTH-Hutan Kota

• RTH-Fasilitas Umum

• Jumlah pengguna/

penikmat taman kota

meningkat 00%

• Kepedulian masyarakat

terhadap penghijauan

meningkat …………..

kegiatan

• Kepedulian masyarakat

terhadap pemeliharaan

taman/ hutan kota

meningkat, dengan

indikator taman/hutan

kota yang tertata, sesuai

fungsinya, subur, indah/

estetis, bersih, habitat

satwa/pelindung

• Kerjasama dengan

masyarakat dan

pengembang

• Kerjasama dengan

masyarakat penggarap

• Kerjasama dengan PT

• Kerjasama dengan

masyarakat, LSM,

tokoh-tokoh, pelajar,

pengembang dan

pertokoan

• Kerjasama dengan

pemakaman umum

untuk pembenahan TPU

• Olahraga/bermain

bersama di taman kota

• Pembibitan gratis atau

murah

• Multi fungsi tanaman

(manfaat untuk pangan,

obat-obatan, industri, dll)

• Sosialisasi hijau dan

bersih kota

• Perencanaan &

Pengawasan

• Sosialisasi Pertanian

Kota

• Sosialisasi Hutan Kota

• Penghijauan, Perindang,

Tanaman pelindung

• Sosialisasi pemanfaatan

taman/hutan kota

• Penghijauan kota

• Pemeliharaan taman

dan hutan kota serta

lingkungan flora/fauna

3. Tingkat Kepuasan

Masyarakat

238 Pengelolaan RTH

• Taman kota ‘bersih’ dari

PKL

• Taman kota ‘bersih’ dari

kegiatan asusila (PSK, judi,

dsb.)

Memperoleh penghargaan

.......apa saja..kapan..., dst.

(prestasi)

4. Jumlah pengaduan

(complaint) masyarakat

terhadap RTH dan

lingkungan minimal

5. Perolehan

penghargaan (Bangun

Praja/Adipura, Kalpataru,

Prokasih, Langit Biru, dll)

• Sosialisasi dan relokasi

PKL

• Penerangan taman dan

patroli

Pembangunan lingkungan

dan RTH

• Kerjasama dengan

Tramtib dan masyarakat

tentang PKL

• Kerjasama dengan

Tamtib dan Pol/PP,

pemeliharaan penerangan

Pembangunan kesadaran

lingkungan dan RTH

Catatan: Selanjutnya masing-masing kegiatan akan diuraikan lebih rinci, sekaligus dengan mencantumkan Indikator Kinerja, Satuan Rencana,

Tingkat Capaian (Target), dan keterangan yang menyertainya.

7.4 CONTOH PENYELENGGARAAN RTHMasalah klasik yang akan terus mengancam pemba-

ngunan kota berkelanjutan adalah tantangan yang harus

dihadapi agar pemerintah daerah, pengusaha, dan ma-

syarakat umum, mau menghargai sebidang lahan hijau

terbuka sebagai komponen utama RTH kota terhadap

tekanan ekonomi dan tingginya spekulasi nilai tanah.

Dalam arsitektur lansekap kota, yang terpenting

adalah bagaimana menjaga agar dalam memenuhi ke-

butuhan penduduk kota akan RTH yang aman, nyaman,

sehat, indah, dan asri, RTH kota dapat berfungsi optimal,

yaitu bila fungsi-fungsi alami LH dapat terus berlangsung,

dan keseimbangan harmonis antara lingkungan buatan

dan lingkungan alami dapat terus terbentuk.

Peraturan perundang-undangan di bidang pengelo-

laan RTH dirasakan telah mencukupi, baik di bidang LH

maupun dari sektor lain, seperti kesehatan, pekerjaan

umum, kehutanan, pertanian, perikanan, perkebunan,

dan perindustrian. Salah satunya adalah Inmendagri No.

14/1988 tentang Penataan RTH di Wilayah Perkotaan,

yang sayangnya belum didukung petunjuk pelaksanaan

(juklak) dan petunjuk teknis (juknis). Akibatnya adalah

kiblatisasi pembangunan dan pengelolaan RTH kota Ja-

karta, tanpa mempertimbangkan potensi dan identitas

daerah, terutama dalam pemilihan materi tanaman yang

belum tentu sesuai dengan kondisi geografis dan eko-

tipe masing-masing kota atau lokasi tertentu.

Kota (metropolitan) Jakarta bisa dijadikan panutan, di

bidang pengelolaan RTH, tetapi hanyalah terbatas pada

semangat perintisan dan usaha keras pengelola kotanya

sejak 1963, yaitu dalam mewujudkan RTH menjadi nyata,

sehingga nampak hasil upaya penghijauan dimana-mana.

Perlu pula peningkatan kesadaran warga kota untuk

mempertahankan atau mau menyisihkan sebagian hala-

man rumah untuk dialokasikan sebagai halaman hijau pe-

karangan dalam bentuk: taman rumah, taman sari, kebun

239Pengelolaan RTH

buah-buahan, apotik hidup atau sayuran. Jika tak terse-

dia ruang lagi, masih dapat diupayakan sistem tanaman

bunga/buah dalam pot (tabulampot), atau sistem tanam

bertingkat (vertikultur), sehingga tercipta suasana alami.

Pelaksanaan aturan secara konsisten, seperti per-

syaratan pada Koefisien Dasar Bangunan (KDB) dan

Koefisien Dasar Hijau (KDH) secara ketat, akan sangat

membantu tetap tersedianya lahan hijau di perkotaan.

7.4.1 Provinsi DKI Jakarta

Persentase dan bentuk RTH di berbagai kota di

Jawa sangat bervariasi dan dipengaruhi oleh pola wari-

san kolonial. Alun-alun berfungsi sebagai tempat perte-

muan Raja dengan rakyat, karena itu terletak di pusat

kota dan dikelilingi oleh bangunan pusat pemerintahan.

Kebun Raja atau Taman Sari sebagai tempat para Raja

atau Gubernur Jenderal bertemu atau berekreasi, mirip

dengan karakter kota-kota tua di Eropa abad XIX. Pola

grid dengan kombinasi kurva linier di tempat tertentu, se-

perti sepanjang sungai, dan di pusat kota terdapat square

(Gunadi, 1995). Contoh RTH warisan kolonial di Jakarta

adalah Taman Fatahillah, Taman Lapangan Banteng (Pa-

rade Plaats/Waterlooplein, 1799), Taman Silang Monas

(Koningsplein,1809), Taman Surapati (Bisschoplein, 1926)

dan Taman Situ Lembang (1926), serta eks Makam Ke-

bon Jahe yang telah dipugar menjadi Museum Prasasti.

Untuk Kota Jakarta yang fungsi utamanya adalah

sebagai Ibukota Negara, mau tak mau harus berusaha

mensejajarkan diri dengan kota-kota besar dunia yang

secara terus-menerus meningkatkan kualitas lingkungan

kotanya, yang tidak saja bersih tetapi juga secara fisik

dan sosial dapat berfungsi optimal. Proyeksi kebutuhan

RTH hendaknya diarahkan pada:

• Preservasi pada zona pesisir (coastal zone) di Jakarta

Utara sebagai wilayah tepian air terbuka (waterfront)

yang dilindungi, karena tanah yang labil sebagai hasil

sedimentasi sungai-sungai, tanah rendah dan langga-

nan banjir.

• Preservasi daerah aquifer recharge area perlu memeli-

hara daerah selatan Jakarta sebagai wilayah RTH untuk

peresapan air.

• Aliran sungai-sungai yang mengalir dari selatan ke utara

Jakarta perlu dijadikan koridor preservasi hijau.

• Program banjir kanal dengan waduk-waduknya perlu

ditunjang dengan program penghijauan dan rekreasi

air.

• Koridor hijau di bawah SUTET sesuai peraturan yang

ada sebagai daerah pengaman.

• Koridor jalur hijau jalan raya dan bantaran kereta api.

• Area-area rekreasi lingkungan dapat diintegrasikan pada

jalur-jalur preservasi hijau seperti tepi sungai, waduk,

aquifer recharge area, pantai, dan lain-lain, serta diusa-

hakan perencanaan penyebaran secara merata.

• Adanya peraturan perundangan yang menunjang pro-

gram RTH, baik makro maupun mikro.

• Adanya pendanaan yang memadai untuk program RTH

dan rekreasi.

Selain banyak kerjasama telah dilakukan dengan pi-

hak swasta (pengusaha), maka Pemda DKI Jakarta me-

lalui Dinas Pertamanan dan Keindahan Kota, pada akhir

Desember 2005 lebih meningkatkan upaya pembangun-

an penghijauan dan keindahan kota bersama masyarakat

mulai dari tingkat kelurahan.

240 Pengelolaan RTH

241Pengelolaan RTH

Gambar 7.3 (halaman sebelum dan halaman ini:

Menunjukkan kondisi dan situasi Kota Jakarta

yang sebenarnya terletak di lahan basah (rawa)

sehingga sejak dulu memang rawan banjir. Banyak

tanaman peneduh guna mengatasi iklim tropis

yang lembab dan panas.

(-----, de Haan “Oud Batavia Platen Album”

dan Majalah ‘Indie’)

242 Pengelolaan RTH

Kerjasama dalam mengelola RTH di tingkat kelurahan

masing-masing, diharapkan agar (Dinas Pertamanan,

2005):

• Sesuai dengan kebutuhan warga secara nyata di tingkat

yang paling dasar, yaitu pentingnya hidup sehat. RTH

diyakini merupakan salah satu faktor penting memper-

tahankan fungsi lestari LH.

• Terlaksananya penghijauan memakai tanaman yang le-

bih berkualitas di seluruh ruang terbuka Kota Jakarta

bersama masyarakat.

• Meningkatkan keindahan kota melalui penataan elemen

sarana dan ornamen kota.

• Peran aktif masyarakat kota termasuk generasi muda di

bidang pertamanan dan keindahan paling tidak di seki-

tar rumah dan kelurahan masing-masing, dapat lebih

tergalang.

• Tumbuhnya rasa memiliki yang penting demi menjaga

keutuhan areal penghijauan karena semakin mening-

katnya kesadaran untuk tidak merusak miliknya sendiri

didasarkan pada kebutuhan hakiki untuk hidup sehat

dan sejahtera.

Dinas Pertamanan DKI Jakarta mengingatkan bahwa

bila bagian rumah kita ada yang rusak, misalnya akan

mudah mengganti dengan yang baru, tetapi bila sebuah

pohon hilang, rusak atau mati, maka butuh waktu tahunan

agar tanaman tersebut dapat hidup tumbuh dan dapat

berfungsi kembali yang justru adalah untuk kepentingan

manusia itu sendiri.

Perda Provinsi DKI Jakarta No. 2/2005 tentang Pe-

ngendalian Pencemaran Udara, merupakan salah satu cara

penting PLH bagi Kota Jakarta, khususnya untuk pemuli-

han kualitas udara yang sudah lama ditunggu-tunggu.

7.4.2 Kota Surabaya

Data Dinas Pertamanan Kota Surabaya, (1990), kon-

disi topografi wilayah kota pantai Surabaya relatif da-

tar, dengan sebaran ketinggian antara 3-6 meter dpl, di

sepanjang dataran pesisir dari Utara ke arah Timur, sam-

pai 25-30 meter dpl di bagian Barat Daya yang membujur

dari Timur ke Barat. Luas wilayah Kota Surabaya, seki-

tar 290,44 km2 terbagi ke dalam tiga wilayah Pembantu

Kota: Surabaya Utara, Timur, dan Selatan.

Luas pusat kota yang padat berada dalam adminis-

trasi 11 (sebelas) kecamatan yang luasnya sekitar 67,20

km2 sedang 8 (delapan) kecamatan tersebar di pinggiran

kota, sekitar 224,58 km2. Jumlah penduduk 1990 adalah

Gambar 7.4: Taman Tugu Pahlawan, sebelum dipagar dan dilengkapi

Museum. (Rishadi, 1990)

243Pengelolaan RTH

sekitar 2,6 juta jiwa yang sebagian besar terkonsentra-

si di wilayah pusat kota, sehingga tingkat kenyamanan

penghuninyapun tidak memadai. Pencemaran udara su-

dah nyata telah meningkatkan perbedaan suhu kota amat

tajam antara daerah terbangun dan tidak terbangun, yaitu

mencapai 10ºC. Disinilah kemudian timbul peningkatan

kesadaran akan pentingnya eksistensi dan fungsi RTH

kota, sehingga sudah perlu dibentuk suatu unit khusus

yang berdiri sendiri.

Cikal-bakal terbentuknya Dinas Pertamanan Kota

Surabaya, dimulai sebagai salah satu seksi Dinas Peker-

jaan Umum (SK Walikotamadya Kepala daerah Kotama-

dya Dati II, No. 476/K, tanggal 5 April 1972), kemudian

susunan organisasi dan tata kerja Dinas PU ditingkat-

kan dan diperbaharui kembali dengan SK No. 290/1985,

dimana Seksi Pertamanan dan Makam (P&M) masih

berada dalam lingkup Dinas PU. Sehubungan dengan

peningkatan kebutuhan pengelolaan yang lebih khusus,

status Seksi P&M ini ditingkatkan menjadi Dinas Teknis

yang berdiri sendiri, disebut: ”Dinas Pertamanan Kota”

(SK Pemerintah Kodya Daerah Tk II No. 22/1987).

Pelaksanaan pengelolaan RTH yang dikelola Peme-

rintah kota (cq. Dinas Pertamanan) tahun 1987, meliputi

sekitar 388 hektar, berupa: Taman (107 Ha), Lapangan

Olahraga (32 Ha) dan Makam (250 Ha), diharapkan pada

tahun 2005 akan terjadi penambahan luas RTH sebesar

Gambar 7.5: (1) Bangunan rumah dalam kompleks perumahan mewah menyediakan halaman untuk hijau dan teduh menambah prosentase

luasan RTH Kota Surabaya, (2) Halaman perkantoran yang cukup luas, mungkin lebih nyaman bila lebih banyak ditanami pohon peneduh yang

rindang untuk udara kota Surabaya yang cukup terik, (3) Taman Suro ing Boyo di depan Kebun Binatang Surabaya. (Rishadi, 1990)

1

2

3

244 Pengelolaan RTH

3% dari total luas yang 388 Ha tersebut.

Pemerintah Kota Surabaya, telah melaksanakan pem-

bahasan (Raperda) Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)

dengan proyeksi penggunaan, sebagai berikut:

• 17,6 Ha untuk perumahan (54%)

• 0.1 Ha untuk perniagaan (3%)

• 4 Ha untuk industri dan pergudangan (12,5%)

• 0.9 Ha untuk sarana RTH (3%: OR, Makam, Taman)

• 4 Ha untuk jalur hijau sekitar 12,5% (RTH, tambak dan

konservasi)

• 5,5 Ha untuk fasum dan jasa (15%)

Rancangan tersebut berdasar pada asumsi jumlah

penduduk Kota Surabaya tahun 2000 sekitar 2,6 jiwa, di

pusat kota seluas sekitar 32,650 Ha. Dengan perkiraan

pertumbuhan per tahun sekitar 1%, maka pada tahun

2005 jumlah penduduk akan mencapai sekitar 2,7 jiwa.

Pemerintah kota kembali menerbitkan Perda No.

7/2002 Tentang Pengelolaan RTH yang dimaksudkan un-

tuk meningkatkan mutu kehidupan bagi generasi masa

kini dan yang akan datang. Mengingat pula bahwa PLH

itu amat penting, termasuk peningkatan kesadaran bah-

wa tanggung jawab akan upaya pelestarian fungsi LH,

merupakan tanggung jawab bersama antar Pemda dan

masyarakat Kota Surabaya.

Pelaksanaan, Pemanfaatan dan Pengendalian RTH,

diatur sebagai berikut: (a) Pemda berwenang meman-

faatkan RTH milik daerah; (b) Setiap orang/badan dapat

melakukan pengelolaan dan pemanfaatan RTH atas ijin

Kepala Daerah; (c) Sebaliknya terhadap RTH milik per-

orangan/badan, Pemda berwenang mengatur peman-

faatannya dengan Perda; (d) Pengelolaan RTH oleh setiap

badan/perorangan dapat dilaksanakan secara terpadu Gambar 7.6: (1) Jalur lalu lintas, (2) Taman untuk lapangan upacara, (3)

Pengaturan kembali tepian sungai. (Kota Surabaya, 1990)

1

2

3

245Pengelolaan RTH

oleh instansi Pemda, masyarakat dan pelaku pembangun-

an lain sesuai bidang tugas dan tanggung jawab masing-

masing atas ijin Kepala Daerah, dan (e) Setiap penghuni

atau pihak yang bertanggung jawab atas rumah/bangun-

an atau persil yang terbangun, wajib menghijaukan hala-

man/pekarangan dimaksud dengan menanam pohon pe-

lindung, perdu, semak hias, penutup tanah/rumput, serta

memeliharanya dengan baik.

Sedang di luar rumah tinggal pribadi atau tunggal, di-

perlukan pula peran para:

• Pengembang perumahan wajib mewujudkan pertaman-

an/penghijauan pada lokasi jalur hijau sesuai rencana

tapak yang disahkan.

• Bangunan kantor, hotel, industri, pabrik, bangunan per-

dagangan, dan bangunan lain, diberlakukan persyaratan

penanaman mirip Tabel 8 di atas, namun untuk kavling

>240 m2 wajib ditanami tiga pohon pelindung.

• Tiap jalur jalan hijau di seluruh bagian kota sedapat mung-

kin diusahakan untuk ditanami tanaman peneduh.

• Tiap pemilik atau yang bertanggung jawab atas lahan

terbuka berupa lereng dengan kemiringan >15º wajib

ditanami dengan satu pohon penghijauan pada se-

tiap 15 m2 dan penutup tanah/rumput dalam jumlah

memadai.

• Pemanfaatan RTH perlu dikendalikan sesuai fungsi-

nya, melalui ijin dari Kepala Daerah atau pejabat yang

ditunjuk, serta sanksi hukum yang mengikat.

• Diterapkan pula persyaratan (tarif) retribusi pemotongan

pohon (Perda No. 2/1978 dan No. 8/1993), dimana ter-

cantum berbagai tarif untuk pemotongan berbagai ukur-

an pohon serta persyaratan penggantian (peremajaan)

dengan tanaman baru secara seimbang.

Tabel 7.1 Pengelolaan RTH Rumah Tinggal

UKURAN

JENIS

KAVLING

> 120 m2

120-140 m2

240-500 m2

500 m2

Relatif sempit

SYARAT/­

KEWAJIBAN

PENANAMAN

MINIMAL

satu pohon

pelindung

satu pohon

pelindung, perdu

& semak hias

dua pohon

pelindung, perdu

& semak hias

tiga pohon

pelindung, perdu

& semak hias

pakai sistem pot

dan tanaman

gantung lain

KOMPOSISI

JENIS YANG

CUKUP

DENGAN

penutup tanah/

rumput

penutup tanah/

rumput

penutup tanah/

rumput

penutup tanah/

rumput

manfaatkan

ruang di atas

saluran got

Gambar 7.7: Penataan tepian kali (Surabaya) sangat memberi

pengaruh pada kualitas kebersihan lingkungan kota. (KLH, 2004)

246 Pengelolaan RTH

Semboyan ”Kota Pahlawan Surabaya” dengan motto

(2000), sebagai kota INDAMARDI (industri, perdagan-

gan, maritim, pendidikan), maka umumnya ”Taman kota”

Surabaya digolongkan pula menurut fungsi dan kegiatan-

nya sebagai berikut (1990):

(1) Taman Monumen, dimana terdapat patung-patung

perjuangan yang akhirnya nampak menonjol diantara

taman kota yang ada, misalnya: Taman Monumen Tugu

Pahlawan dengan patung setinggi 45 meter, dibangun

tahun 1952 sebagai peringatan pertempuran tang-

gal 10 November 1945. Sejarah dibangunnya ”Taman

Wira Surya Agung” di ujung Jembatan Wonokromo, Ta-

man-taman Monumen lain adalah TM Mayangkara, TM

Ronggolawe dan TM Bahari;

(2) Taman Lingkungan, meliputi RTH yang umumnya di-

kelilingi oleh jalan lingkungan dalam bentuk persegi,

bundar dan oval. Taman ini sering dimanfaatkan untuk

menampung aktivitas warga kota, seperti: bersantai,

bermain bagi anak-anak dan berolahraga, yang sering-

kali menjadi rusak karena minimnya sarana lapangan

olahraga yang memadai;

(3) Taman Jalur Hijau Jalan, biasanya terletak pada me-

dian jalan yang cukup lebar, bersifat pasif, namun kare-

na kadang cukup luas sesekali bisa dimanfaatkan pula

untuk olahraga terbatas, namun tentu saja tidak dian-

jurkan karena pasti membahayakan;

(4) Taman ’Rotonde’, yang bersifat pasif pula dan letak-

nya biasa ada di persimpangan jalur lalu lintas, atau Ta-

man ’traffic islands’;

(5) Taman Bermain, dimana lokasi maupun bentuknya

amat mirip dengan Taman Lingkungan namun dibangun

elemen khusus sebagai sarana bermain anak-anak;

(6) Taman Kantor, biasanya merupakan ’halaman’ kantor

pemerintahan yang sangat luas, dimana masyarakat

umumpun bisa memanfaatkan, seperti Taman Kantor

Balai Kota;

(7) Taman Tepi Jalan, Viaduct, bersifat pasif untuk peng-

amanan prasarana;

(8) Taman Stren (bantaran sungai), juga bisa merupakan

ruang yang cukup luas dan panjang, bahkan dipakai

sebagai Taman Rekreasi, seperti Taman Kayun yang

dimanfaatkan sebagai ’food court’ khas Jawa Timur.

Pemanfaatan Kali Mas atau kali Surabaya, dulu dikenal

sebagai salah satu atraksi rekreatif penelusuran sungai

bagi warga Surabaya khususnya.

Dari berbagai ’jenis’ RTH tersebut, diakui bahwa pe-

ngelolaannya belum maksimal karena berbagai kendala

klasik, misalnya keterbatasan biaya dan SDM yang han-

dal sebagai sarana pokok peningkatan kualitas RTH kota

Surabaya, karena itu sampai tulisan ini disusun, pening-

katan kualitas pengelolaannya masih terus dilaksanakan.

Materi tanaman penghijauan, sedapat mungkin meng-

gunakan tanaman ’lokal’ melalui seleksi dengan kriteria

tanaman yang relatif kuat, cepat tumbuh sehingga cepat

mengesankan kehijauan dan keteduhan terutama di pu-

sat kota. Tanaman terpilih dan telah disiapkan dalam ke-

bun pembibitan kota, untuk program jangka panjang ini,

misalnya (Dinas Pertamanan Surabaya, 2000):

(1) Sembirit (Blighia sapida), tak terlalu cepat tumbuh, hijau

sepanjang tahun, tajuk dapat diatur. Ciri khas: buah

mirip buah jambu monyet, namun tak dapat dimakan,

perbanyakan generatif melalui biji;

247Pengelolaan RTH

(2) Tabebuya (Tabebuia rosea), bentuk bunga seperti te-

rompet, pertumbuhan tak terlalu cepat, bentuk tajuk

dapat diatur, rekomendasi untuk penghijauan di bawah

kawat listrik penghantar udara. Warna daun hijau

sepanjang daun dan mengkilat. Perbanyakan generatif

melalui serpihan-serpihan biji;

(3) Sono Banyu (Milethia sp), bentuk tajuk membulat,

hijau sepanjang tahun, mampu tumbuh di daerah relatif

kering atau kurang subur;

(4) Maja (Cresencia cujeta/Aegle marmeos), tanaman ber-

nilai historis pada jaman kerajaan Majapahit, ciri khas:

buah bulat mengkilat dan keras, sebesar jeruk Bali. Baik

untuk peneduh, sebab karakter batangnya yang men-

jurai dengan ukuran daun relatif besar dan lebar, serta

tak mudah rontok. Perbanyakan bisa secara vegetatif

(cangkok), maupun generatif melalui biji, serta mampu

tumbuh baik pada lahan basah, atau pada daerah yang

relatif sering terendam;

(5) Tanjung (Mimusops elengi), bentuk pohon priamidal

dan menarik, berbunga harum, warna buah merah

mencolok (seperti buah melinjo, Gnetum gnemon), baik

untuk peneduh di sepanjang pedestrian (trotoir), dima-

na media (ruang)-nya relatif terbatas;

(6) Jambu air (Eugenia aquea L.), tidak dianjurkan dita-

nam pada jalur lalu lintas yang pencemaran udaranya

tinggi, namun lebih sesuai untuk lingkungan permukim-

Gambar 7.8: (1) Pohon Peteduh yang terletak di sepanjang bantaran kali bisa membentuk iklim mikro yang 1-2 derajad lebih rendah dari

lingkungan di luarnya, (2) Taman Lalu-lintas sebagai unsur ‘pelemah’ bangunan gedung di sepanjang jalur jalan, (3) Penataan bantaran sungai

meskipun cukup baik, tapi pemilihan jenis tanaman mungkin bisa lebih baik lagi. Jenis pohon flamboyan (Delonix regia) bunganya indah tapi

sering menggugurkan daun.

1

2 3

248 Pengelolaan RTH

an/kampung karena buah segarnya (di musim

kemarau).

Selain tanaman khas di atas, dibudidayakan pula ma-

terial ’soft landscape’ yang lazim digunakan di lingkungan

perkotaan, seperti: Asam Jawa (Tamarindus indica), Glo-

dokan (Polyalthea longifolia), Bungur (Lagerstroemia spe-

ciosa), Dadap Merah (Erythrina cristagalli), Sawo Kecik

(Manilkara kauki), dan lain-lain.

7.4.3 Osaka: ’Osaka Business Park’ (OBP)

Bila ingin melihat ‘kota masa depan’, maka dapat

dilihat perencanaan kota Osaka yang sedang gencar-

gencarnya membangun, antara lain lapangan terbang

termodern di dunia yang dibangun di atas permukaan

laut. Belum lagi alat transportasi kota yang semakin lama

semakin canggih demi kenyamanan hidup manusia kota.

Orang tidak lagi kehujanan atau kepanasan, meski dia

memakai kendaraan umum, tetapi merasa aman dan

nyaman.

Kota dirancang baik untuk bekerja maupun untuk tem-

pat tinggal, telah digunakan pula pendekatan menyeluruh

di dalam lingkungan terbangun. Di Kairo, Mesir, telah

dibangun pula sebuah wilayah yang disebut dengan Kota

Taman yang ternyata tidak terlalu jauh dari pusat kota.

Bagian kota ini memang hijau, dan di beberapa tempat

hanya terletak titik-titik bangunan, diantara keteduhan

pohon hijau yang pekat.

Meskipun tidak seperti di Kairo, Osaka juga terdiri

dari bangunan-bangunan tinggi. Perencanaannya semula

dimaksudkan agar cahaya matahari dan penghijauan

adalah sebagai dasar pelayanan dan menjadi bagian dari

Osaka Castle Park. Tempat-tempat tersebut dirancang

sebagai pusat baru bagian kota yang dilengkapi dengan

fungsi yang berbeda-beda.

Pemilik lahan pribadi, mewakili empat badan hukum

(tahun 1989, sudah ada sembilan yang terkait), telah

mengorganisasikan sebuah Dewan Pembangunan, di

bawah pengarahan dari Pemerintahan Kota Osaka. De-

wan ini telah melaksanakan proyek persesuaian lahan

dan telah mempersiapkan lembaganya.

Karakteristik proyek persesuaian lahan adalah:

• Sepanjang pinggiran perairan di sekeliling area, sebu-

ah tempat untuk berjalan-jalan dibangun, dimana

penghijauan diatur sedemikian rupa sehingga saling

sinambung, misal: di antara jalur-jalur sungai, dimana

pada musim panas atau musim lain sering digunakan

untuk festival. Jenis pohon khas Osaka adalah Ginko

biloba, namun di sepanjang jalur transportasi (termasuk

sungai tersebut) ditanam pula Pohon Sakura.

• Pada sumbu utara-selatan dibangun garis jalan selebar

7.5 meter yang ditanami Pohon Zelkova Jepang.

Gambar 7.9: New City-Core

Osaka Twin office Tower dan

Taman bunganya.

(----- 1989, Osaka Business

Park/OBP, hal 7)

249Pengelolaan RTH

• Kemudian di wilayah kota, dibagi-bagi ke dalam kotak-

kotak berukuran besar untuk meyakinkan agar terdapat

ruang terbuka yang mencukupi bagi tiap blok tersebut.

Untuk mempromosikan formasi unsur-unsur pemben-

tuk suasana harmonis dalam ruang kota dan untuk mem-

bentuk lingkungan yang baik, semua pemilik lahan telah

menandatangani peraturan bangunan. Perancangan dari

garis permukaan pagar yang berupa dinding tembok

merupakan peletakan bangunan yang letaknya lebih ke

belakang dari batas jalan; mengawasi agar terdapat la-

han kosong cukup, dan terintegrasi pemanfaatan/peng-

gunaannya; mengkoordinasikan pemanfaatan bangun-

an, bentuk, dan warnanya; perimbangan perancangan

sarana; dan pemeliharaan lahan hijau (sebuah perjanjian

terpisah yang disisihkan khusus untuk promosi RTH).

Osaka, sebagai kota terbesar kedua setelah Tokyo di

Jepang juga telah menghadapi berbagai tekanan pen-

duduk akibat segala aktivitas yang ditimbulkannya, mau-

pun akibat urbanisasi dari daerah perdesaan di sekitar

pinggiran Kota Osaka. Dengan kesadaran sebagian pen-

duduk, terutama para pemilik lahan pribadi, telah diben-

tuk suatu lembaga untuk mengatasi keterbatasan lahan,

dengan meningkatkan daya dukung lingkungan kota

melalui pengaturan bangunan (bertingkat), khususnya di

pusat kota.

Dengan garis besar petunjuk dan pengarahan Peme-

rintahan Kota Osaka, secara bersama-sama mereka

Gambar 7.10 (paling kiri):

Matsushita IMP Building.

(----- 1989, Osaka Business Park, hal 13)

Gambar 7.11 (atas dan kiri):

The Pedestrian Deck Osaka-jo Kyobashi

promenade. (----- 1989, Osaka Business Park,

hal 17 dan 18)

250 Pengelolaan RTH

mengatur kembali ruang kota melalui perbandingan ra-

sional antara ruang terbangun dan RTH. Dengan penang-

gulangan biaya bersama-sama, maka rehabilitasi bangun-

an yang ada dapat ditanggulangi melalui insentif yang

diberikan oleh pemerintah. Pemerintah Kota Osaka telah

memberikan bonus berupa pengurangan dari persentase

persyaratan ruang terbuka bagi bangunan dengan melalui

pengelompokan dan perancangan kembali RTH bersama

yang menjadi milik umum.

Kasus di wilayah Kota Osaka dan sekitarnya ternyata

bahwa sebagian besar pembangunan dan perubahan

terjadi pada daerah perkotaan. Pada separuh bagian

akhir abad ke-19, orang Jepang berada dalam apa yang

dikenal sebagai Periode Meiji, yaitu pada waktu Jepang

mulai dengan seperangkat usaha ‘modernisasi’, dimana

sebagian besar area terbangun berupa kota perdaga-

ngan dan pabrik-pabrik. Tempat kerja dan permukiman

tidak terpisah. Tak lama kemudian, pabrik-pabrik modern

mulai dibangun di sepanjang jalur sungai di bagian ping-

giran wilayah kota.

Akibatnya, para pekerja kota mulai bergerak pindah di

sekitar pabrik-pabrik tersebut, yang pada akhirnya me-

nyebabkan penurunan (deteriorisasi) lingkungan. Pada

tahap ini, para pedagang yang mampu dan berkelimpah-

an dapat pindah dan memisahkan tempat-tempat kerja

dari tempat tinggal, pindah ke tempat yang relatif lebih

tenang, jauh dari kota.

Kemajuan modernisasi merupakan awal pengem-

bangan perusahaan-perusahaan skala nasional maupun

internasional. Pembangunan ini memungkinkan para pe-

kerja berdasi atau kelas menengah mampu memisahkan

tempat kerja dengan kediaman, kemudian mereka mulai

Gambar 7.12 (paling kiri):

Taman Kota Kobe yang indah.

(----- 1985, The Greening of

Kobe)

Gambar kiri atas 7.13:

Rikyu Koen Park, Kobe.

(----- 1985, The Greening of

Kobe)

Gambar kiri bawah 7.14:

Takao Thorough Fare

Jalur lalu lintas lamban,

dipenuhi oleh pohon

peteduh yang sudah bertaut

membentuk lorong yang

nyaman. (----- 1985, The

Greening of Kobe)

251Pengelolaan RTH

membangun permukiman di daerah pinggir kota (sub-

urb). Pada tahap ini, jaringan kereta api ke daerah pinggir-

an kota akan dibangun dan area permukiman sepanjang

jalur kereta juga berkembang.

Wilayah kota yang ada menjadi penerima dari mening-

katnya aliran manusia yang masuk dari daerah (urbanisa-

si), menjadikan wilayah kota melebar menuju area-area

di luarnya. Pada tahap ini (sejak tahun 1920-an), sama

seperti juga kota-kota lain, pemerintahan Kota Osaka

telah menerapkan sebuah program modern perencanaan

kota.

Proyek persesuaian lahan dilakukan simultan dengan

pengembangan wilayah-wilayah pinggiran. Kemudian ta-

hun 1940-an, beberapa perluasan taman direncanakan

pada area-area pinggiran tidak terlalu jauh dari wilayah

kota. Tsurumi Park, salah satu diantaranya, semula adalah

merupakan tempat pembuangan akhir (TPA) sampah kota

yang dikelola dengan metode konsolidasi lahan melalui

sistem ’sanitary landfill’. Jadi sudah sejak lama diproyek-

sikan menjadi semacam taman kota dan ternyata berhasil

dilaksanakan pada tahun 1990 (setelah sekitar 50 tahun

’pematangan lahan’ TPA), awalnya sebagai tapak untuk

kegiatan International Garden and Greenery Exposition

(IGGE-1990) tingkat dunia yang sekarang sudah menjadi

lokasi atraksi wisata lokal, nasional maupun internasional,

kebanggaan Kota Osaka.

Taman yang dibangun dari bekas lokasi TPA, dan lain-

lain, semacam yang ada di Tsurumi ini, menjadi sangat

terkenal dan kemudian banyak ditiru oleh kota-kota lain

karena mendatangkan banyak uang, misal dari segi pari-

wisata. Kini taman Tsurumi di Osaka tersebut telah men-

jadi semacam ‘Museum Taman’ yang banyak dikunjungi

Dua gambar 7.15 (paling kiri): Masyarakat (orang

tua dan anak-anak) bersukarela merawat taman

Gambar 7.16 (kiri dan atas): Bunga Hydrangea

masyarakat sebagai lambang kota dan pohon

Sasanqua ditanam oleh masyarakat.

(----- 1985, The Greening of Kobe)

252 Pengelolaan RTH

wisatawan dalam dan luar negeri, serta tentu saja men-

jadi andalan pendapatan asli daerah setempat.

Investasi yang ditanamkan untuk membangun taman

tersebut, tidak saja sudah kembali, bahkan sudah dapat

mensubsidi silang pembangunan taman-taman kota baru

yang bisa dipakai secara cuma-cuma bagi penduduk Kota

Osaka. Sistem pengelolaannya pun berada di bawah satu

instansi, bahkan dengan modal swasta. Pemerintah Dae-

rah hanya mengawasi secara administratif atau bila ada

masalah-masalah yang prinsip saja.

Kasus lain seperti kota-kota besar di Jepang yang

perlu diperhatikan, misalnya mengapa sawah-sawah dan

daerah pertanian lahan kering masih relatif banyak ter-

dapat di tengah-tengah kepadatan dan kesibukan kota?

Kawasan hijau tersebut dapat tetap bertahan, disamping

atas permintaan pemerintah kota melalui sistem insen-

tif pembebasan pajak atau subsidi, mereka sendiri juga

dapat menikmati sebidang lahan pertanian tersebut,

karena pada dasarnya pemilik lahan adalah petani tra-

disional yang kotanya sudah berkembang menjadi lebih

luas. Ada suatu kebanggaan tersendiri baginya, meski-

pun hanya mendapatkan sedikit dari hasil pertanian, na-

mun petani merasa cukup mendapatkan kompensasi dari

pemerintah kota untuk tetap mengelola lahan pertanian

kota (urban agriculture) yang menjadi haknya.

Serangan udara yang melanda Kota Osaka selama

Perang Dunia II, merusak sebagian besar pembangunan

wilayah kota. Setelah perang, kota mulai dengan proyek

persesuaian lahan. Meskipun demikian, untuk dapat me-

menuhi kebutuhan akan perumahan dari manusia yang

berbondong-bondong masuk dari luar kota, pemerintah

kota membangun kelompok-kelompok unit perumahan

yang sempit dan berdesakan pada daerah pinggiran.

Kasus Kota Osaka dapat diterapkan di Indonesia,

melalui sistem insentif, di kota-kota Jakarta, Bandung,

Semarang, Surabaya, Medan, Makassar, Balikpapan,

Banjarmasin, Pontianak, dan Samarinda. Melalui pe-

nyesuaian keadaan sosio-budaya masyarakat Indone-

sia, masih dimungkinkan adanya pendekatan yang mirip

pendekatan di atas, didasarkan pada kebutuhan ekonomi

warga kota, sekaligus melestarikan karakteristik fisik dan

budaya lokal.

7.4.4 Singapura

Pemerintahan Negara Kota Singapura sejak semula

(1980-an) telah bertekad untuk menata tata ruang kota-

nya sebagai kota tropis yang bersih dan teduh. Rehabili-

tasi dan revitalisasi melalui pembangunan kota Singapura

ini, merupakan contoh baik penataan RTH kota tropis.

Kebijakan pemerintah yang bertekad membenahi pena-

taan kota tropis sejalan dengan fungsi ekologis alami,

sehingga tercipta lingkungan kota yang sehat, nyaman,

Gambar 7.17: Jalur lalu lintas, jalur pedestrian dan jalur penghijauan

Taman Kota. (----- 1985, Green Kobe)

253Pengelolaan RTH

Gambar 7.18: Pemanfaatan sungai intensif

Letak Kota San Antonio yang bagaikan oasis di tengah padang

pasir di daerah Texas, sehingga sangat menghargai Sumber Daya

Air, yaitu melalui upaya pemeliharaan yang benar-benar ketat, yang

akhirnya menyejukkan kota dan dapat dimanfaatkan untuk rekreasi.

(----- 1992, Urban Development Authority, Singapore)

254 Pengelolaan RTH

aman dan indah bagi penduduknya.

Luas negara kota Singapura hanya 625 km2, berpen-

duduk 2.7 juta jiwa (1991) dan perkiraan 4 juta jiwa (2001),

dengan kepadatan 4.300 orang/km2 (1991), menjadi 5.500

orang/km2 (2001). Dalam perencanaan kota, daerah pa-

dat hanya terbatas sampai 53 persen saja dari total luas

kota, sementara Kota Jakarta yang berpenduduk antara

10 juta jiwa (2003), daerah perkotaannya telah lebih dari

90 persen dari total luas kota 650 km2. Kombinasi peran-

cangan kotanya, kelak akan menyediakan 2,4 hektar RT

untuk 1,000 orang (1991: 0,7 hektar).

Pemerintah Singapura menetapkan 6 (enam) kategori

RTH, didasarkan pada hierarki ruang terbuka yang saling

berkaitan (interwoven), sebagai berikut :

1. Ruang terbuka alami (natural open space) berupa hutan

bakau, daerah hutan kota dan daerah lindung.

2. Taman kota dan halaman yang relatif besar dan luas,

seperti taman wilayah dan taman lingkungan.

3. Lapangan olahraga dan rekreasi, seperti stadion, la-

pangan golf, bumi perkemahan dan kebun binatang.

4. Jalur hijau (green belts) pembatas dan penghubung

taman-taman luas, dan pengaman prasarana.

5. Jalur hijau (greenways) penghubung antar permukim-

an dengan batas penduduk antara 200-300 ribu orang

saja, bisa alami, dengan rancangan informal, atau beru-

pa ‘pedestrian malls and plaza’.

6. Area pelatihan militer, lahan pertanian, dana lain-lain.

Originalitas sungai Singapura di masa lalu hampir ti-

dak nampak, sebab fisik sungai sebagian besar sudah

direhabilitasi. Legenda bahwa Sang Nila Utama mendarat

di Kuala Temasek yang adalah sungai Singapura seka-

Gambar-gambar 7.19 a:

Kondisi sungai Singapore sekitar tahun 1977. Dengan pencanangan

‘Singapore Clean and Green’ oleh pemerintah (Urban Redevelopment

Authority) maka dalam waktu 10 tahun kemudian (1987) Kota

Singapura telah menjadi bersih, indah dan nyaman.

(----- 1992, URA)

255Pengelolaan RTH

Gambar 7.19 b (atas): Potongan dari sungai San Antonio, Texas, yang ‘ditiru’ oleh

pemerintah Kota Negara pulau Singapura. (----- 1992, URA)

Dua gambar 7.20 (kanan): Pembersihan Sungai di Singapore

Diilhami antara lain oleh kota Ran Antonio yang dilalui oleh sungai Paseo (del Rio),

maka muncul tekad untuk membersihkan sungai Singapore ‘hanya’ dalam waktu

10 tahun, dua gambar kanan ternyata berhasil, tentu dengan kemauan sungguh-

sungguh para pengelola kotanya dan juga penerapan penegakan hukun yang tanpa

pilih bulu. (----- 1992, URA)

256 Pengelolaan RTH

rang. Tahun 1819 Sir Stamford Raffles dan anak buah-

nya mulai masuk ke arah hulu dan permukiman pertama

dibangun di sepanjang tepian sungai. Perdagangan lalu

berkembang di atas sungai dan Singapore dinyatakan

sebagai pelabuhan bebas, sungai menjadi titik utama (fo-

cal point). Banyak gudang dibangun berdekatan dengan

rumah toko (ruko) di sepanjang sungai termasuk bengkel

kapal dan pabrik pembuatan kapal. Pabrik pengalengan

makan bercampur dengan parik sagu, pabrik penggiling-

an beras, dan masih banyak lagi.

Semua kegiatan tersebut telah mengotori sungai sela-

ma beratus-ratus tahun, pencemaranpun nyata dirasakan

telah membunuh kehidupan perairan sungai, muara (dan

laut), sedang di pihak lain penduduk yang terus ber-

tambah mendambakan pula air bersih berkualitas tinggi.

Maka pada tanggal 27 Februari 1977, pada acara pem-

bukaan reservoir di daerah hulu, Perdana Menteri Lee

Kuan Yew menantang Singapura untuk bersama-sama

membersihkan sungai, dalam 10 tahun diharapkan orang

bisa memancing ikan kembali di Sungai Singapore dan

Sungai Kallang. Pada bulan September 1987, Menteri LH

Singapore mencanangkan keberhasilan 10 tahun proyek

kegiatan membersihkan sungai-sungai tersebut.

257Peran Arsitektur Lansekap dalam Pengembangan Kawasan yang Ramah Lingkungan

BAB VIIIPERAN ARSITEKTUR LANSEKAP

DALAM PENGEMBANGAN KAWASAN YANG RAMAH LINGKUNGAN

258 Peran Arsitektur Lansekap dalam Pengembangan Kawasan yang Ramah Lingkungan

VIII peran arsitektur lansekap dalam pengembangan kawasan yang ramah lingkungan

8.1 PENDAHULUAN Selama empat dasawarsa (sejak 1963) terakhir ini,

bidang arsitektur lansekap (Landscape Architecture/LA)

berkembang pesat di Indonesia. Di samping banyak yang

menyambut gembira, banyak pula yang skeptik, terutama

pada awal diperkenalkannya, yaitu sekitar 1960-an. Mere-

ka berpendapat bahwa kegiatan bidang ini hanya dapat

dinikmati sekelompok masyarakat tertentu dan hanya

merupakan kemewahan/pemborosan. Hal ini mudah di-

mengerti bila diingat perwujudan hasilnya berupa taman-

taman indah di hotel-hotel megah dan rumah-rumah

mewah serta pusat rekreasi dan taman di kota-kota

besar yang penggunaannya untuk umum sering terlalu

terbatas.

Menurut sejarah perkembangan arsitektur lansekap

memang telah ada sebelum direncanakan kemudian

dibangunnya Central Park (1880-an) di kota New York,

kemudian Prospect Park, di Brooklyn, dan perancangan-

perancangan arsitektur lansekap sebagai (RTH)-kota se-

terusnya. Apa yang disebut ‘modern landscape’ mulai

berkembang pada abad ke sembilan belas itu, kemudian

diakui sebagai awal kebangkitan disiplin ilmu arsitektur

lansekap, sekaligus suatu karya seni di mana sebagian

besar RTH (Taman) yang dibangun semula hanya di seki-

tar istana raja-raja dan, bersifat feodalistik, dimaksudkan

sebagai bagian yang menyatu dengan bangunan istana.

Karena itu taman lebih merupakan unsur dekoratif sangat

terbatas untuk kalangan tertentu, seperti untuk kesenang-

an para Raja dan anggota keluarga dekat kerajaan se-

tempat saja.

Jellicoe, Geoffrey dan Susan (1975, dalam buku mere-

ka “The Landscape of Man”) dijelaskan hubungan an-

tara peradaban manusia (civilization) dengan lansekap

(landscape) sejak jaman pra-sejarah di mana bumi dibagi

dalam beberapa tahap, sejak awal terbentuknya, Ja-

man Batu (antara lain, adanya ‘tetenger’ peninggalan

berupa barisan dan tumpukan batu ‘Stone of Sacrifice

dan Stonehenge’ di Whiltshire, Inggris), sampai ke tahap

kebudayaan kemanusiaan: mulai dari bagian “Tengah

Gambar 8.1 atas: Stones of Sacrifice

Gambar 8.2 bawah: Stonehenge

(Jellicoe, 1975, hal 16 & 17)

259Peran Arsitektur Lansekap dalam Pengembangan Kawasan yang Ramah Lingkungan

Bumi” (Asia Barat sampai ke Wilayah Ur–Babylon–Perse-

polis–Ctesiphon), Islam di Asia Barat (Baghdad–Samar-

ra–Bursa–Constantinople–isfahan), Wilayah Ekspansi

Islam ke arah Barat (Spanyol, Cordova, Granada), dan

ke Timur (Moghul, India–Delhi–Kashmir–Agra). Dilanjut-

kan ke Kebudayaan Timur: India–Kuno (Sanchi–Barabu-

dur–Ellura–Mamallapuram–Angkor), China (Soochow/

Suzhou–Hangcho–Beijing–The Great Wall), Jepang (Gu-

nung Fuji–Nara dan Kyoto), dan Pre-Columbian America

(Teotihuacan–Copan–Palenque–Machu Picchu). Kemu-

dian ke kebudayaan Barat dari Mesir sampai ke Ren-

naisance: meliputi Mesir (Gizeh–Karnak–Luxor), Yunani

(Mycenae–Delos–Delphi–Olympia–Athena), Kerajaan Ro-

mawi (Roman Empire: Tivoli–Pont Du Gard–Pompeii–Per-

gamum–Jerash–Baalbek), Abad Pertengahan Eropa (St

Gall–Rievaulx–Assisi–Vezelay–Bruges–Cambridge), Italy:

Mannerism dan Baroque (Bomarzo–Capponi–Gaberaia–

Isola Bella–Garzoni), Perancis: Abad ke Enambelas dan

Tujuhbelas (Chenonceau–Vaux-Le-Vicomte–Chantilly–

Versailles), Spanyol, Jerman, Inggris, Belanda, Abad ke

Enambelas dan tujuhbelas (Seville–Hellbrunn–Heidel-

berg–Hampton Court–Greenwich.

Bagian kedua buku tersebut meliputi uraian perkem-

bangan (evolusi) yang disebut dengan lansekap modern.

Dimulai pada abad ke Delapanbelas, yang disebut ‘Ke-

budayaan Barat’ (Western Civilization: Vienna–Karisruhe–

Wilhelmshohe–St. Petresburg–Postdam–Washington).

The Chinese School (The Summer palace–Beijing–Ver-

sailles–Drottiningholm–Tsarkoe Selo), The English School

(Castle Howard–Chriswick–Rousham–Stowe–Stour-

head–Painshill–Bath). Abad ke Sembilanbelas: The Eu-

ropean Mainland (Puckler–Muskau–Neushwanstein–Vi-

enna–Paris), The British Isles (Regent’s Park–Isles of

Scilly–Scotney–Biddulph Grange–Holland Park–Mun-

stead Wood–Bodnani), America (USA): Central Park,

New York–Prospect Park, Chicago Worlds’s Fair. Abad

ke Duapuluh Pertama (1900-1945): Eropa (Marshcourt–

Barcelona–Stockholm–Welwyn–Aarhus–Bos Park), The

Americas (Washington–Westchester Park System–Falling

Water Tennessee Valley–Everglades). Abad ke Duapuluh

Kedua (1945-1986): The Western Hemisphere–1975: The

New World (Rio de Janiero–Brasilia–kota Mexico–At-

lanta–Boston–Los Angeles–Buffalo). The Eastern Hemi-

sphere–1975: The Old World (Harlow–Tapiola–Chandi-

garh–Brondsby Strand Urbino–Glostrup–Rinchamps).

Kecenderungan Dunia dalam Perancangan Lansekap:

Gambar 8.3: Teras-teras Kebun Anggur

Aliran arsitektur Sans-Souci (1744) karya

arsitek G.W. von Knobelsdorff yang khas

pada aliran Barat Klasik dan merupakan titik

awal ke masa depan.

(Jellicoe, 1975, hal 218)

260 Peran Arsitektur Lansekap dalam Pengembangan Kawasan yang Ramah Lingkungan

Sultan Qaboos University–Store-On-Trend; La Villette

Milton Keynes–Guggenheim Museum, Lisbon–Victoria

Park–Toronto Zoo–Luuganga–Brion–Earthworks–Can-

berra Sutton Place–Modena–Brescia–Calveston.

Dari ‘perjalanan kebudayaan manusia’ yang dikait-

kan dengan perkembangan lansekap baik alami maupun

binaan, di mana nampak jelas nama-nama tempat yang

menunjukkan masing-masing perkembangan kebudaya-

an lokal namun bersifat universal ini memang ditulis oleh

‘Orang Barat’, karena itu tentu saja lebih condong kepa-

da penulisan sejarah perkembangan lansekap yang lebih

banyak mengupas di bagian barat. Namun demikian,

meraka mengakui pula nilai kekayaan Kebudayaan Timur

yang ditilik dari waktunya sebagian besar justru sudah

berkembang relatif lebih lama dari perkembangan Kebu-

dayaan Barat.Menjadi tantangan bagi kita di Indonesia

ini, khususnya para arsitek lansekap yang terkenal de-

ngan kekayaan keanekaragaman baik budaya lokal mau-

pun keanekaragaman kekayaan sumber daya lamnya di

seluruh nusantara, untuk mampu menggali dan merekam

peninggalan sejarah arsitektur lansekap (landscape heri-

tage) yang masih bisa dipelajari sebelum akhirnya punah

antara lain akibat tidak adanya penghargaan terhadap

nilai-nilai budaya lokal yang merupakan puncak-puncak

kebudayaan dalam kesatuan negara Republik Indonesia

(NKRI) “Bhinneka Tunggal Ika” bersatu dalam kekayaan

keanekaragaman budaya dan sumberdaya alami.

Selanjutnya Jellicoe, menguraikan dengan jelas se-

jarah perkembangan arsitektur lansekap menjadi dua

bagian besar, yaitu: pertama: From Pre-history to The

End of The Seventeenth Century, dan bagian kedua: The

Evolution of Modern Landscape. Adanya perancangan

‘ruang lansekap’ diawali oleh seorang arsitek F.L Olm-

sted bekerjasama dengan aristek Inggris, Calver Vaux,

berkembang dalam lima tingkatan (di halaman 281), se-

jak bentuk umumnya yang biasanya ‘hanya’ berupa kotak

karena mengikuti perencanaan kota-kota di negeri barat

yang saat itu umumnya juga berbentuk kotak-kotak (grid-

iron), sampai ke bentuk bulat atau lebih mengikuti pro-

fil alam sebagaimana kondisi geografis lingkungannya,

yaitu dalam tingkatan:

Pertama: Central Park, New York (1857);

Kedua: Porspect Park, Brooklyn (1866)

Ketiga: Riverside Estate, Chicago (1869)

Keempat: The Parkway, Boston (1880)

Kelima: The World’s Columbian Exposition,

Chicago (1893)

Olmsted dan kawan-kawan (dalam Jellicoe, 1975)

memulai konsep ‘baru’ perancangan arsitektur lansekap

(1857) yang waktu itu memperkenalkan lansekap ruang

terbuka perkotaan yang sebenarnya masih ‘melihat ke

dalam’, yaitu meskipun luas-luas ukurannya secara ke-

seluruhan, namun sengaja dibagi-bagi ke dalam banyak

ruang-ruang dengan ukuran yang kecil-kecil namun pada

tiap-tiap bagian tersebut arsitektur lansekapnya diran-

cang secara rinci sehingga menjadi kaya akan keaneka-

ragaman unsur-unsur untuk bisa memenuhi kebutuhuan

rekreatif masyarakat penggunanya, yaitu melalui pem-

bangunan sarana dan prasarana berbagai kegiatan seba-

gaimana layaknya sebuah taman kota.

Teknik-teknik perencanaan arsitektur lansekap yang

baru termasuk jalur-jalur jalan penting yang berpotongan

(underpasses), sebagian karena adanya rintangan-rintang-

261Peran Arsitektur Lansekap dalam Pengembangan Kawasan yang Ramah Lingkungan

an pada tapak, seperti sarana penyimpanan air (reservoir,

retention basin atau ‘jebakan pasokan air’ untuk mengum-

pulkan dan menyimpan sumberdaya air) dan sarana taman

lain yang diperlukan, sebenarnya teknik perancangan arsi-

tektur lansekapnya secara rinci belumlah semantap (ma-

ture) seperti perencanaan RTH–kota berikutnya, misalnya

seperti Prospect Park yang lebih menyatu dalam sebuah

konsep tunggal dan bersifat klasik akademik. Sedangkan

perencanaan Riverside Estate adalah merupakan perkem-

bangan teori suatu perancangan taman (park) yang san-

gat mempertimbangkan kebutuhan kehidupan domestik

warganya, satu dari pemikiran paling awal yang berusaha

mematahkan konsep gridiron (bentuk kotak) yang kaku

pada sebagian besar perencanaan kota di Amerika.

Upaya untuk lebih mengikuti alur alami, dapat dibaca

ringkasan laporan arsiteknya, sebagai berikut: “In the

highways, celerity will be of less importance than comfort

and convinience of movement; and as ordinary directness

of lines in town-streets, with it’s resultant regularity of

plan, would suggest eagerness to press forward, without

looking to the right or the left, we shuld recommend the

general adoption, in the design of your roads, of grace-

fully curved lines, generous spaces, and the absence of

sharp corners, the ideabeing to suggest and imply leisure,

contemplativeness, and happy tranquillity”.

Jika pembangunan ditujukan untuk bangsa Indonesia

maka seyogyanya mengikutsertakan juga masyarakat

berpenghasilan rendah.

Tulisan dalam bab ini bertujuan untuk menyoroti se-

jauh mana peran bidang/disiplin Landscape Architecture

(LA) ini dalam perencanaan pengembangan kawasan

yang ramah lingkungan sebagai pendekatan dalam pena-

taan ruang kawasan, yakni bagaimana LA dapat dijadikan

suatu pendekatan ekologis-estetis dalam penatan ruang

kawasan.

Diharapkan mereka yang semula skeptik dapat lebih

mudah menerima dan mendukungnya. Sebaliknya, yang

telah berkecimpung dalam dunia ini akan memahami lebih

jauh tugas yang diembannya untuk menciptakan ling-

kungan yang sesuai bagi semua lapisan masyarakat In-

donesia agar berprestasi lebih dan menjalankan hakekat

kemanusiaannya. Agar bidang ini jangan merupakan ke-

mewahan/pemborosan saja, bahkan bisa membantu pele-

starian lingkungan serta penghematan ruang dan sumber

daya alam di hari esok, untuk menyelamatkan perenca-

naan yang keliru tersebut, diperlukan perencanaan sehat.

Tujuan yang ingin dicapai dalam pengembangan

kawasan adalah peningkatan kesejahteraan masyara-

kat di kawasan yang bersangkutan; karena itu, seluruh

kom¬ponen kehidupan dan penghidupan masyarakat

tersebut di atas harus dibina sesuai dengan fungsinya

masing-masing, dan salah satu pembinaannya adalah

melalui penataan ruang.

Dalam pengertian umum, ruang (space) adalah seluruh

permukaan bumi yang merupakan lapisan biosfera: tempat

Gambar 8.4: Central Park

(Jellicoe, 1975, hal 280)

262 Peran Arsitektur Lansekap dalam Pengembangan Kawasan yang Ramah Lingkungan

hidup tumbuhan, hewan dan manusia. Menurut regional

geography, ruang dapat merupakan suatu kawasan (area)

atau wilayah (region) yang mempunyai batasan geografis

yaitu batas menurut fisik, sosial, atau pemerintahan, yang

terjadi dari sebagian permukaan bumi serta lapisan ta-

nah (soil) di bawahnya (sampai kedalaman tertentu) dan

lapisan udara (atmosphere) di atasnya (sampai ketinggian

tertentu). Jadi penggunaan lahan (land use) dapat berarti

pula pemanfaatan ruang di daratan. Menurut UU No. 4

tahun 1982, tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang

sudah direvisi menjadi UU No. 23/1997 dan pada saat

sekarang pun sedang dalam taraf revisi kembali, penger-

tian ruang di sini belum termasuk isinya yang berupa

benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup. Sedangkan

menurut UU No. 24/1992 tentang Penataan Ruang, ruang

adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan

dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah, tempat

manusia dan makhluk lainnya hidup dan melakukan ke-

giatan serta memelihara kelangsungan hidupnya.

Kawasan/wilayah sendiri merupakan kesatuan alam

yang serba-sama (homogen) atau seragam (uniform) dan

kesatuan manusia yang mempunyai ciri yang khas se-

hingga kawasan/wilayah tersebut dapat dibedakan dari

yang lainnya. Kita dapat mengelompokkan kawasan/

wilayah berdasarkan titik pandang tertentu misalnya: ge-

ologi (geological region), tubuh tanah (soil region), tum-

buh-tumbuhan (vegetatic region), kegiatan ekonomi (eco-

nomic region), sejarah (historical region), dan sebagainya;

sedangkan berdasarkan lokasi, luas dan struktur menurut

batasan ruang-lingkup peninjauan tertentu, dapat pula

dibedakan menjadi kawasan perkotaan, kawasan perde-

saan, kawasan tertentu/kawasan khusus.

8.2 PENATAAN RUANG DAN PERMASALAHANNYA

Penataan ruang sudah menjadi sine-qua-non di

dalam pengembangan kawasan karena adanya penga-

ruh timbal-balik antara ruang dan semua kegiatan ma-

nusia. Ruang mempunyai arti tertentu bagi kehidupan

dan penghidupan karena adanya suatu bentuk kegiatan

manusia. Misalnya bagi masyarakat perkotaan, ruang da-

ratan (baca: lahan) di pusat kota (central-bussines-distric)

dianggap sebagai sarana kegiatan ekonomi. Sedangkan

di kawasan perdesaan, lahan lebih utama dipandang se-

bagai faktor produksi yang tak pernah habis. Juga semua

kegiatan manusia membutuhkan ruang terkait kepada

pengembangan kawasan melalui lokasi dan besaran ke-

giatan tersebut.

Apa yang terjadi di Indonesia dewasa ini antara lain

adalah terjadinya tingkat ketidakseimbangan yang meng-

khawatirkan dalam pemanfaatan ruang. Misalnya, per-

mukiman di area-area jarang penduduk semakin sulit

berkembang meski mempunyai sumber daya alam yang

besar, 67% penduduk Indonesia berdiam hanya pada 7%

ruang wilayah daratan Indonesia, kecepatan perkembang-

an kegiatan masyarakat cenderung semakin meningkat,

sedangkan ketersediaan ruang itu sendiri terbatas, baik

dalam pengertian mutlak maupun nisbi. Hal lain yang dih-

adapi dalam masalah penataan ruang adalah adanya ke-

nyataan bahwa suatu ruang tertentu dapat dimanfaatkan

untuk berbagai alternatif kegiatan, sebaliknya kegiatan

tertentu dapat berlokasi pada berbagai alternatif ruang.

Berdasarkan uraian di atas maka dalam usaha pe-

nataan ruang harus mempertimbangkan keseimbangan

antara: kemampuan ruang (batas toleransi terhadap

263Peran Arsitektur Lansekap dalam Pengembangan Kawasan yang Ramah Lingkungan

pollutant, carrying-capacity, land-capability, dsb), dan

kegiatan manusia dalam memanfaatkan ruang dengan

meningkatnya kebutuhan ruang tersebut (pengembang-

an masyarakat, modal, sumber daya alam, lingkungan

kehidupan dan sebagainya). Keseimbangan, kelestarian

dan keserasian pemanfaatan diantara kawasan satu dan

lainnya di dalam suatu wilayah juga perlu diperhitung-

kan. Dapat disimpulkan bahwa penataan ruang melalui

pengembangan berbagai kawasan: perkotaan, perde-

saan, tertentu/khusus, lindung, dan budi daya, bertujuan

meningkatkan kesejahteran sosial-ekonomi masyarakat

melalui pengoptimalan penggunaan ruang (lahan) dalam

hubungannya dengan pemanfaatan (utility) peningkat-

an produksi (productivity) dan konservasi (conservation)

bagi kelestarian lingkungan. Karena itu proses/kegiatan

penataan ruang menyangkut berbagai aspek; karenanya

melibatkan berbagai disiplin yang saling berkaitan, di an-

taranya: para perencana kota, wilayah, fisik, sosial dan

ekonomi regional, ahli teknik, arsitek, arsitek landscape,

pengambil kebijakan, ahli hukum, kelembagaan, admi-

nistrasi publik, politicians, dan sebagainya.

8.3 KEDUDUKAN BIDANG ARSITEKTUR LANSEKAP

Malthus membuat teori perbandingan antara perlipat-

gandaan kelahiran manusia dengan pertambahan pangan

sebenarnya bukan untuk menakut-nakuti manusia, tetapi

sebagai peringatan untuk menghadapi hari esok sebijak-

sana mungkin. Kemudian berbagai inspirasi muncul aki-

bat teori tersebut, diantaranya teori untuk menghubung-

kan pertambahan kelahiran dengan keadaan gizi, dengan

pengelolaan sumber daya alam, carrying-capacity, family-

planning, dan berbagai inspirasi lain. Berkaitan dengan

hal ini, pada tahun 1983 WCED (World Commision on

Enviroment and Development) telah menghasilkan suatu

kesimpulan tentang perlu dikembangkannya pola pem-

bangunan berkelanjutan (sustainable development). Se-

lanjutnya, memasuki tahap Repelita V, sidang kabinet

terbatas Ekuin menerima konsep tersebut dan sebagai

implikasinya antara lain diperlukan: pengembangan in-

stitusional bagi pola pembangunan berkelanjutan, usaha

peningkatan pembangunan dan kualitasnya untuk meng-

halau kemiskinan, terpenuhinya kebutuhan pokok (basic-

needs), segi ekonomi dalam pemantapan tingkat kepen-

dudukan yang tertopangkan kehidupannya, orientasi

teknologi dengan resiko terkendali, serta perpaduan segi

lingkungan dan segi ekonomi dalam pengambilan kepu-

tusan.

Penataan ruang yang bercirikan comprehensive and

integrated planning, sangat relevan dengan pola pem-

bangunan berkelanjutan (sustainable development) yang

mencakup penggunaan lahan, hutan, laut, daerah aliran

sungai, dan sumber daya alam lainnya, untuk optimasi

penggunaan sumber daya alam bagi pembangunan

tanpa merusak. Pada skala regional/wilayah (provinsi,

metropolitan area, kabupaten atau kota) penataan ruang

berada pada tingkat rencana tata ruang wilayah (RTRW)

dimana analisis ekonomi-regional selayaknya lebih me-

nonjol. Pada skala mandala (kecamatan atau bagian

dari kota) berada pada tingkat rencana detail tata ruang

(RDTR) dimana analisis sosial dan fisik sudah memegang

peranan dalam perencanaan. Dan pada skala lokal-terba-

tas berada pada tingkat recana teknik ruang (RTR), yang

lebih terfokus pada aspek fisik dan lingkungan.

Penataan ruang adalah upaya terpadu dalam rangka

264 Peran Arsitektur Lansekap dalam Pengembangan Kawasan yang Ramah Lingkungan

memanfaatkan ruang. Perencanaan tata ruang (bagian dari

penataan ruang) akan menghasilkan rencana tata ruang

berupa pengaturan/alokasi pemanfaatan ruang, lokasi ke-

giatan dan keterkaitan fungsi antar kegiatan. Sedangkan

perencanaan pengembangan wilayah/kawasan adalah

suatu perencanaan melalui pendekatan terpadu–tidak

sektoral dan tidak partial terhadap segenap unsur yang

terkait dalam batasan wilayah/kawasan yang kita amati.

Batasan wilayah/kawasan itu bisa terbatas pada fungsi

kota (pusat pelayanan) dan burilokanya (hinterland).

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka penu-

lis berpendapat bahwa perencanaan (pengembangan)

wilayah/kawasan digunakan sebagai pendekatan dalam

penataan ruang wilayah/kawasan. Analog dengan uraian

di atas, Landscape Architecture (LA) juga merupakan di-

siplin/pendekatan terpadu untuk mencapai keselarasan

unsur-unsur landscape agar dapat tercapai hasil optimum.

RTRW, RDTR, dan RTR satuan permukiman (sebagai ba-

gian dari penataan ruang) seyogyanya dapat memanfaat-

kan disiplin/pendekatan Landscape Architecture (LA) ini,

agar dapat mencapai tujuan penataan ruang (terpadu,

serasi, efisien, optimal, dan sebagainya).

Menunjuk adanya kenyataan bahwa ruang tertentu

dapat dimanfaatkan untuk berbagai alternatif kegiatan

dan kegiatan tertentu dapat berlokasi pada berbagai al-

ternatif ruang, maka bidang landscape architecture mem-

punyai tugas untuk menentukan alternatif terbaik, paling

optimal dari segi pemanfaatan, produktivitas dan konser-

vasi sesuai dengan azas-azas landscaping. Diharapkan

bidang ini lebih banyak berperan pada tingkat RTR dan

RDTR.

8.4 TANTANGAN BAGI PARA ARSITEK LANSEKAP

Mahalnya bidang arsitektur lansekap dimulai dengan

mahalnya sebidang lahan yang harus dikelolanya untuk

menciptakan ruang gerak yang serasi dengan kegiatan

atau kebutuhan manusia Indonesia masa kini. Kalau

dalam perkembangan kawasan, lahan biasanya menjadi

langka, maka pengorbanan finansial yang diberikan men-

jadi sangat besar. Sampai saat ini makin banyak kota-

kota memadat dan melebar. Sementara di burilokanya

(hinterland) banyak bangunan villa-type, rumah mewah

bergaya spanyol, ancient greek, renaisance, dan seb-

againya bermunculan di antara sawah-sawah subsisten

dan gubuk/rumah sedekala (tradisional) yang asli. Dua

situasi kontras ini perlu segera ditangani secara serius

dan akan sangat mahal bila terlambat.

Hasil pembangunan (fisik) sampai saat ini mudah kita

lihat dengan bertambah banyaknya jalan-jalan besar, li-

cin, hotmix, bertambah pesatnya kendaraan, bertambah

banyaknya kawasan industrial estate, real estate, aparte-

men, hotel, dan restoran di kiri-kanan jalan. Di balik

bangunan-bangunan tersebut umumnya keadaan lam-

bat/kurang banyak perubahan. Perkembangan dengan

pola memanjang (corridor pattern) ini sebetulnya tidak

cocok untuk sekitar jalan bypass dan freeway. Gambar

8.5 & 8.6 memperlihatkan dua alternatif penggunaan

lahan. Dikhawatirkan bahwa pola koridorlah yang akan

dominan, sehingga persoalan lalu-lintas akan tidak ada

habis-habisnya dari masa ke masa.

Sementara itu kita lihat meningkatnya jumlah restoran

yang muncul dimana-mana, tetapi tidak banyak dibangun

taman-taman untuk piknik atau murak timbel (makan di luar

265Peran Arsitektur Lansekap dalam Pengembangan Kawasan yang Ramah Lingkungan

Gambar 8.7: Prospect Park

Gambar 8.8: Riverside Estate

(Jellicoe, 1975, hal 281)

Dua Alternatif Penggunaan Lahan

di Kiri-Kanan Jalan Raya

Gambar 8.5 (paling kiri): Jalan raya

dan penggunaan lahan di dekatnya.

Paling umum dijumpai di mana-

mana: 50 jalan simpang permil, tak

terencana, tidak disonansi, tidak

inteligent, suatu studi dalam geseran,

kebingungan, ketidakefisienan dan

chaos.

Gambar 8.6 (kiri): Penggunaan

lahan di kiri-kanan jalan raya yang

terencana, disonansi dan inteligent,

lalu-lintas jalan raya lancar dan bebas:

fungsi dikelompokkan: rumah-rumah

mengarah ke taman: sekolah, gereja

dan area perbelanjaan mempunyai

pintu keluar.

(Simonds, 1969, dalam Djumantri,

2006, hal 2.1.2)

266 Peran Arsitektur Lansekap dalam Pengembangan Kawasan yang Ramah Lingkungan

dengan bawa makanan dari rumah) dan tempat-tempat

camping. Oleh karena situasi ini dapat mencerminkan pola

konsumsi, mungkin dapat diterima adanya pendapat orang

yang mengatakan bahwa kita bertabiat boros.

Kita lihat juga pembangunan kompleks perumahan

instansi yang cukup mewah tetapi tidak dihuni seluruh

keluarga karena alasan masalah sekolah anak-anak, se-

mentara beberapa keluarga berpenghasilan rendah kare-

na alasan ekonomi berdesak-desakan mendiami ruangan

sempit dibatasi batako yang mereka sebut rumah-murah,

rumah-efisien, dan sebutan lainnya yang memikat.

Di kawasan perdesaan/kawasan pertanian masih ba-

nyak dijumpai penggunaan lahan seperti pada gambar

2a: rumah yang salah letak, fasilitas sosial-ekonomi yang

terlampau jauh, petak-petak sawah yang terpecah-pecah,

tidak teratur bentuknya, tidak terlayani seluruhnya oleh

jaringan jalan dan jaringan irigasi, merupakan pemanda-

ngan yang lumrah. Ini mengakibatkan produktivitas yang

rendah karena input-input pertanian sulit diefisienkan.

Keadaan seperti ini juga perlu mendapat perhatian seri-

us, bila tidak, dikhawatirkan akan menimbulkan dampak

negatif berupa penurunan gairah kerja petani yang men-

dorong urbanisasi ke kota.

Beberapa kepincangan seperti telah diuraikan di atas

mungkin dapat dihindari, kalau kita memahami perenca-

naan wilayah dan kota (urban and regional planning) yang

sempurna.

Berikut ini hanya akan dibahas perencanaan wilayah

dan kota yang didasarkan azas-azas landscaping yaitu

azas kesatuan dan keselarasan (unity and harmony) se-

hingga dapat memberikan manfaat maksimum pada ma-

nusia yang menggunakan ruang tersebut.

8.5 AZAS-AZAS ARSITEKTUR LANSEKAP

8.5.1 Keindahan

Dalam pemandangan alam (panoramic landscape)

sering kita temui sifat-sifat landscape alami yang nyata

mewujudkan kesatuan (unity) dan keselarasan (harmony)

diantara seluruh unsur-unsur alaminya (bangun-tanah/

morphology, bentukan batuan/lithology dan bahkan ke-

hidupan hewan-tumbuhannya/wildlife). Makin sempurna

kesatuan dan keselarasan ini, makin sempurna pula ke-

nikmatan yang diperoleh si pemirsa. Derajat keselarasan

dan kesatuan yang menimbulkan kesenangan pada kita

ini disebut keindahan. Lawannya adalah kejelekan yang

menunjukkan kurangnya kesatuan antara unsur-unsur

atau adanya satu/lebih dari satu unsur yang tidak serasi.

Keselarasan visual dari semua unsur-unsur landscape

sangatlah diinginkan. Karena itu dengan mengingat as-

pek visual saja dari sifat-sifat tempat, rupanya dalam

mengembangkan kawasan alami kita harus sudah ber-

usaha untuk memelihara atau mengintensifkan sifat-sifat

landscape aslinya. Juga harus menyingkirkan semua

obyek lain untuk menambah atau menekankan sifatnya.

Sebagai contoh kalau kita melihat bunga-bunga Zinnia di

tepian Danau Telagawarna mudah kita menganggap itu

kurang tepat, karena menurut pengalaman kita bunga-

bunga Zinnia itu selalu ditanam di bedeng bunga. Sebaik-

nya dalam alam semacam itu, tanaman bunga Tephrosia

ungu atau bunga Impatiens liar yang ditanam.

8.5.2 Kagunan (Kegunaan/Manfaat)

Umumnya bila kita berbicara mengenai lahan dan

tanah, selalu menyangkut kegunaannya. Jadi apa guna

267Peran Arsitektur Lansekap dalam Pengembangan Kawasan yang Ramah Lingkungan

semua pembicaraan mengenai keindahan tadi? lebih baik

dihentikan saja dan kita bersikap praktis dan melupakan

seluk-beluk sifat-sifat landscape. Lebih baik diperbin-

cangkan bagaimanakah lahan dan tanah itu dapat diper-

gunakan/dimanfaatkan.

Sesungguhnya, kalau kita mengerti semua sifat-sifat

landscape secara luas, yaitu pertama memahami ciri-ciri

fisiknya dan tabiat dari tempatnya, sebelum salah letak/

canggung/jelek, akan lebih baik untuk:

(1) Mengenal kegunaan terbaik dari tempat tersebut, un-

tuk dapat mengeksploit sepenuh daya;

(2) Menggunakan dan mengembangkan kegunaan seca-

ra inteligent dalam hubungannya dengan ciri-ciri land-

scape yang telah dipelajari;

(3) Penggunaan terintegrasi untuk menghasilkan land-

scape yang telah diubah, yang secara visual dan fung-

sional tampak indah. Dalam hal ini berlaku pernyataan:

“It looks good, It works well, I like it”.

8.5.3 Pengaturan Lansekap

Jika kegiatan manusia di suatu kawasan bertambah,

landscape menjadi semakin sulit diatur. Pengaturan yang

baik bila menunjukkan hubungan yang serasi/cocok di-

antara unsur-unsur landscape, pengaturan yang jelek

bila tampak hubungan yang kacau atau tidak logis di an-

tara unsur-unsur landscape. Dalam pengaturan ini perlu

diletakkan prinsip-prinsip design yang mencakup: tema

(theme), gradasi (gradation), kejutan (contrast) dan pe-

ngendali diri (control, restrain).

Tema (theme) merupakan unsur penyatu, pengikat,

pengenal (unifying factor). Misalnya suasana serba san-

tai, suasana serba halus, serba bulat, serba hijau, dan se-

bagainya. Gradation sebagai unsur pentahap/penjenjang,

pemberi ketenangan dalam variasi, bernilai variasi lem-

but. Misalnya berbagai nuansa warna merah, berbagai

corak bulat dan kehalusan. Contrast sebagai unsur pe-

nyegar, bumbu yang memberikan nilai variasi tertinggi.

Misalnya munculnya secercah warna merah di tengah-

tengah suasana serba hijau, atau bentuk segi-empat di

tengah-tengah suasana serba bulat, atau tekstur kasar

di tengah-tengah suasana serba halus. Control/restrain

sebagai unsur pengendali diri pemelihara keseimbangan.

Theme, gradation maupun contrast diperlukan dalam se-

tiap kreasi, namun agar jangan berlebihan, perlu pengen-

dalian (Rachman, 1977).

Gambar 8.9: Perobahan wajah lansekap abad XVII di China

Salah satu istana dalam kompleks ‘Summer Palace’, yaitu: Fang Hu

Sheng Ching. Merupakan perancangan geometris yang secara total

merupakan bagian (sub-ordinat) dari lansekap alami.

(Jellicoe, 1975, hal 224)

268 Peran Arsitektur Lansekap dalam Pengembangan Kawasan yang Ramah Lingkungan

Secara umum keindahan dapat dicapai dengan

menerapkan ke empat prinsip design tersebut di atas

yang diekspresikan ke segenap unsur-unsur design an-

tara lain: garis, bentuk, ukuran, tekstur, warna, rasa, bau,

bunyi, ruang dan waktu. Unsur-unsur landscape sendiri

dapat dikelompokkan ke dalam unsur landscape yang

major dan yang minor. Unsur landscape yang major

merupakan bentuk-bentuk landscape, roman dan gaya

yang dapat diubah sedikit saja, yakni bentuk-bentuk

batas pegunungan, lembah sungai, dataran pantai, per-

mukaan air, aliran air, pasang, laut, gaya, gravitasi, angin,

hujan, halilintar, cahaya matahari, sinar bulan, dan erosi.

Unsur landscape minor (dapat diubah) antara lain bukit,

hutan, aliran sungai, rawa, hewan, tanaman, sinar lampu,

dan sebagainya.

8.5.4 Pengembangan Wajah Lansekap Alami

Dapat dilihat pada ilustrasi gambar/foto berikut usaha

pengubahan wajah landscape yaitu: (1) Pemeliharaan dari

bentuk alamnya (lansekap di China) tak hanya perkemban-

gan permukiman perkotaan tetapi juag di wilayah alami,

seperti misalnya: cagar-cagar alam, park, hutan-pelind-

ung; (2) Penekanan bentuk alamnya misalnya sebuah

bukit kecil lebih dipertegas menjadi menggunung; (3) Pe-

rubahan bentuk alamnya. Misalnya perataan, pengambi-

lan pohon-pohon penutup yang alami, penanaman dan

pembuatan teras-teras. Perubahan begini dapat memba-

hayakan (penggundulan, erosi, longsor) atau dapat meru-

pakan suatu perbaikan (sawah-sawah pegunungan di Bali,

Parahyangan, dan lain lain); (4) Perusakan bentuk alamnya.

Misalnya sebuah bukit dapat dimusnahkan, dipindahkan,

dikubur untuk dikonstruksi, digenangi air, dan sebagainya.

Hasil dari usaha-usaha yang serasi dapat kita nikmati

misalnya kalau kita berlayar sepanjang sungai Rhein: ke-

bun anggur, kebun desa, pabrik-pabrik kecil, klab perahu,

semuanya berorientasi dan direncanakan pada jiwa yang

sesuai dengan mengalirnya sungai. Juga hal yang indah

ini dapat disaksikan di desa-desa di Swiss, yang cocok

dengan sisi gunungnya, padangnya, dan jalannya yang

sederhana.

Keindahan tidak harus berisi struktur landscape yang

mahal. Sebagai contoh menjulangnya rumah-rumah me-

wah dengan tamannya yang serasi di sekelilingnya, ka-

lau terletak di antara gubug-gubug di pedalaman di alam

luas sangat mengganggu. Dapat dikemukakan seperti

tampak dalam gambar 8.4, aksioma yang biasa dianut

golongan besar dalam pembangunan di Amerika Serikat

dan tampak juga gambar yang seharusnya merupakan

impian arsitek landscape. Sesedikit mungkin mengubah

landscape, tetapi didapatkan hasil yang optimum. Hal

itu tampak juga dalam gambar 8.9. Jadi jelaslah analisis

tapak (site analysis) sangat memegang peranan, untuk

membangun secara serasi.

Sari landscape yang indah sebenarnya bukan pada

mahalnya biaya yang diberikan atau banyaknya perubah-

an yang ditimbulkan. Menurut Eckbo (1964) yang selalu

dicari di setiap landscape adalah dua nilai: yang satu peng-

ungkapan mutu landscape yang asli, yang lain pengembang-

an maksimum dari kehidupan manusia. Juga dikemukakan

bahwa esensi (sari) fisik karakter landscape terletak dalam

hubungan-hubungan yang telah ada atau yang didirikan

antara struktur (jalan, bangunan, utilitas, engineering, arsi-

tektur) dengan alam (ruang terbuka hijau, atmosfera, iklim,

topografi, tumbuhan, air, hewan, batu dan karang).

269Peran Arsitektur Lansekap dalam Pengembangan Kawasan yang Ramah Lingkungan

Gambar 8.10: Tapak di ‘hutan bambu’

Bambu sebagai tanaman endemik (lokal) banyak dimanfaatkan dalam

kehidupan keseharian bangsa China, yang di jaman sebelum politik

membuka diri, Negara China disebut “Negeri Tirai Bambu’

(Zhu, 1992, hal 62)

Gambar 8.11: Perancangan bak-bak bunga (flower beds)

Terutama di musim semi dan musim panas, negeri China merupakan

‘kesenian’ khas di RTH rekreasi (taman-taman kota) di China yang juga

terdapat saling pengaruh dengan seni perancangan taman di Negara

Barat. Di dominasi oleh merah, warna bendera kebangsaan China.

(Zhu, 1992, hal 134 & 135)

270 Peran Arsitektur Lansekap dalam Pengembangan Kawasan yang Ramah Lingkungan

Gambar 8.12: Pekerjaan ‘Seni Batu’ di Taman Ryoan-ji

Merupakan simbol penganut Buddha di mana wujud Maya dari Sang Buddha dipercaya tetap hadir dan dihormati. Taman ini merupakan suatu

tempat yang sangat mistis. Digambarkan dengan memakai batu berbagai bentuk dan ukuran serta pasir sebagai dasar (lantai)-nya. Dibangun

pada abad ke XVII di Kyoto dengan luas sekitar 9.000 m2. Dan gambar Taman Batu Jepang Sampo-in, Daikako-ji, Kyoto.

(Fukuda, 1970, hal 41 & 105)

271Peran Arsitektur Lansekap dalam Pengembangan Kawasan yang Ramah Lingkungan

8.6 ASPEK KREATIF DARI PERENCANAANDalam landscaping yang utama adalah keahlian bagai-

mana mengorganisasikan ruang dan massa yang tersedia

agar diperoleh suatu lingkungan hidup yang ideal, yakni

lingkungan hidup dimana seluruh individu yang berada

di dalamnya dapat mengkreasikan seluruh aktivitas ke-

hidupannya baik jasmani maupun rokhani secara maksi-

mum. Kehidupan ideal tidak saja diukur dari tambahan

pendapatan dan perabotan ataupun kenikmatan lahiriah/

fisik; yang lebih penting yaitu hal-hal yang dapat memberi

semangat dan pemupukan jiwa. Karena itu, memberi jalan

teduh berpohon di sekitar menara Eiffel bagi penduduk

miskin kota Paris jauh lebih penting daripada perbaikan

satu persen rumah-rumahnya (kampong improvement)

yang di bawah standar itu. Seperti halnya Jakarta, hanya

memberi kelap-kelip lampu hias di jalan-jalan protokol

telah memberi kesempatan penduduk miskin di daerah

kumuh menikmati panorama indah Jakarta, hanya den-

gan empat ribu lima ratus rupiah naik bis-kota/busway

dari suatu ujung kota ke ujung kota lainnya.

Dalam pembangunan kota, perlu dipelajari seni me-

letakkan bangunan-bangunan untuk menciptakan ruang

yang berbeda-beda: ruang yang tenang, teduh, penuh

daya hidup, ruang yang luas, megah dan mewah, hebat,

ruang yang hiruk-pikuk, ruang yang misterius, ruang-ru-

ang transisi yang membatasi, memisahkan ruang-ruang

yang memiliki sifat kontras ini, tetapi masih saling meng-

hubungkannya. Dapat dikemukakan masyhurnya taman

Ryoan-Ji, taman untuk merenung karena kesederhanaan-

nya, kesempurnaan detailnya, sugesti yang diberikan

mengenai ruang yang luas dan daya kekuatannya untuk

membebaskan pikiran dan jiwa manusia. Karena dalam

landscape architecture aspek sirkulasi (lalu-lintas) harus

dipikirkan baik-baik, maka dalam pengaturan kembali el-

emen-elemen secara visual, kita harus dapat menerima

bukannya benda-benda terisolir dalam ruang, melainkan

struktur, tatanan dan kait-mengaitnya peristiwa dan ke-

jadian dalam ruang dan waktu. Perencanaan yang tulen

menurut Simonds (1969) adalah suatu usaha, tidak hanya

mengganti realita, tetapi untuk mempertegasnya, dan

untuk memahami dengan kuat semua unsur-unsur pent-

ing untuk membawa fakta geografis dan fakta ekonomi

dalam keadaan serasi dengan tujuan manusia.

Menurut Mumford, pengujian terakhir dari sistem eko-

nomi bukanlah pada jumlah ton besi, jumlah tangki min-

yaknya, atau jumlah meter kain yang diproduksinya. Ujian

terakhir terletak pada hasil akhirnya: jenis manusia yang

diasuhnya dan tatanan serta keindahan dan kesehatan

jasmani-rohani dari masyarakatnya. Suatu rencana mulai

dengan pengetahuan mengenai keadaan sekarang (ex-

isting condition) dan kesempatannya; untuk membangun

secara inteligent hari ini adalah untuk meletakkan dasar

bagi kebudayaan baru yang akan datang.

8.7 PENGEMBANGAN KAWASAN

8.7.1 Sejarah Perencanaan

Lahirnya bidang arsitektur lansekap dilatarbelakangi

oleh munculnya konsep kota-baru (new-town) yang di-

cetuskan oleh para “pemikir ke arah perbaikan hidup”

sebagai reaksi dari proses degradasi mutu lingkungan

hidup dan kehidupan di kalangan penduduk kota yang

sedang mengalami revolusi industri. Perry (1929) misalnya

mengembangkan konsep ini ke dalam sistem satuan ling-

272 Peran Arsitektur Lansekap dalam Pengembangan Kawasan yang Ramah Lingkungan

Gambar 8.13 (kiri)

Diagram Dasar yang benar menurut Ebenezer Howard untuk

Pertumbuhan Kota-Perdesaan disertai lalu-lintas yang baik.

(Howard, Ebenezer, 1964)

Gambar 8.14 (bawah)

Organisasi Wilayah di DKI Jakarta. Mengikuti Konsep Satuan

Lingkungan (Neighborhood Unit Concept).

(Simonds, 1964, dalam Djumantri, 2006)

273Peran Arsitektur Lansekap dalam Pengembangan Kawasan yang Ramah Lingkungan

kungan, ia merencanakan kota menjadi unit lingkungan

pusat kota dan beberapa unit lingkungan permukiman

lainnya yang masing-masing dilengkapi prasarana sosial-

ekonomi. Tiap unit lingkungan dibatasi oleh pola-hijau

(green-pattern) yang terdiri atas taman, lapangan olah-raga

dan sebagainya. Seluruh kota dibatasi jalur hijau (green

belt) yang tidak boleh digunakan untuk permukiman tetapi

harus merupakan hutan atau dapat juga perkebunan be-

sar, bendungan, situ/embung dan sebagainya, yang tidak

menyebabkan tumbuhnya perkampungan yang meluas.

Ini adalah suatu pencetusan ke arah usaha memperbaiki

kehidupan kota yang semakin menurun tersebut, yang se-

lanjutnya diikuti di negara-negara lainnya.

Pengembangan konsep tersebut di antaranya di Ing-

gris yakni impian tentang kota-taman (garden-city) dari

Howard E. 1964 (diikuti Geddes, Unwin, dkk) seperti ter-

lihat pada gambar 8.13. Garden-city direncanakan untuk

sebuah kota yang kawasan perumahannya dibangun

rapat dan dikelilingi zona lahan-usaha tani milik pen-

duduk perdesaan. Garden-city dapat diartikan, kota di

dalam taman yang penduduknya dibatasi supaya jarang.

Dengan pertumbuhan kota taman, di luar lahan usaha

tani di sekelilingnya terbentuk beberapa kota kecil (yang

juga dikelilingi lahan usaha tani). Dengan demikian kota

mendapat keuntungan berupa kesegaran/kesehatan dari

kawasan perdesaan dan desa mendapat keuntungan

berupa kegiatan kota, pengetahuan dan efisiensi kota.

Berdasarkan pengaruh konsep tersebut, seorang arsi-

tek Belanda bernama Thomas Karsten (1938) mengecam

beberapa kotapraja yang dirancang pemerintah Hindia

Belanda seperti Batavia di Sunda Kelapa (dibentuk tahun

1890 oleh Jan Pieterzoen Coen), Samarang, Bandoeng,

Soerabaya dan Medan (antara 1895 s/d 1915). Kota-kota

tersebut hanyalah fotokopi Holland-style yang disesuai-

kan dengan budaya western. Bangunan-bangunan rumah

berpilar berskala luas dikelilingi kanal dan jalur hijau; ba-

tas kota dipertegas dengan tembok-benteng (citadel)

dilengkapi meriam di pintu gerbang dimana di dalamnya

terdapat rumah-rumah gubemur jenderal, burgemeester,

anggota volksraad dan gemeente raad. Kemudian pada

tahun 1938 Karsten menerapkan konsep tuinstad (gar-

den-city) untuk kota-kota Bandoeng, Buitenzorg (Bogor),

dan Malang. (Contoh Gambar 8.14, Organisasi Wilayah)

Sayangnya, tuinstad Karsten hanya terbatas di kota

saja, masih terdapat garis pemisah antara kawasan

perdesaan yang umumnya tempat hidup Inlander (boe-

miputra) dan kawasan perkotaan yang umumnya tem-

pat kehidupan bangsa Eropa, bangsa Asia non-pribumi

(Arab, Cina, India, dsb) dan para Dalem. Kalaupun ada

perhatian pada kawasan perdesaan, hanya terbatas

pada kawasan perkebunan (plantation-estate) untuk ke-

pentingan ekonomi-kolonial, misalnya di Lampung dan

Sumatera Selatan dimana para pekerjanya diambil dari

penduduk Jawa melalui program transmigrasi paksaan.

Dan untuk memperbaiki kehidupan penduduk pribumi di

kawasan pinggiran kota dilakukan Kampoong Verbeeter-

ing (Kampoong Improvement), itupun hasil perjuangan

gigih dari Mohammad Husni Thamrin sebagai anggota

Gemeenteraad (dewan-kota).

Baru sekitar tahun empat puluhan terjadi penyempur-

naan peraturan/perundang-undangan dan kelembagaan

menuju ke sistem perencanaan yang lebih matang. Di

sinilah lahir Stadsvorming Ordonantie (SVO), Staatblad

1948 no. 1681 dan Stadsvormlng Verordenlng (SVV),

274 Peran Arsitektur Lansekap dalam Pengembangan Kawasan yang Ramah Lingkungan

Staatblad 1949 no. 40. Kemudian dengan metoda pe-

rencanaan kota yang lebih modern tahun enam puluhan

Kenneth Watts membuat Master Plan Djakarta dan diikuti

dengan Pembangunan Nasional Semesta Berencana.

Tahun tujuh-puluhan teori-teori/pendekatan dalam

pengembangan wilayah semakin berkembang pesat di

antaranya: teori ketergantungan sepihak (dependency

theory), sistem pusat-pinggiran (centre-periphery-system),

teori saling ketergantungan (interdependency theory).

Setelah itu, timbul suatu perkembangan yang memusat-

kan perhatian pada persoalan yang urgen seperti kebu-

tuhan pokok bagi manusia (basic-needs), kepentingan

lokal bagi tiap masyarakat, pengembangan lingkungan

(ecodevelopment) dan teknologi kecil (small-technology),

pendekatan dari bawah ke atas (bottom-up-approach),

dan dari atas ke bawah (top down approach), pendekat-

an sektoral dan regional, dan sebagainya, dan terakhir

standar pelayanan minimum. Berbagai teori/pendekatan

di atas dicoba diterapkan di Indonesia.

Beberapa tahun setelah diundangkannya SVO-SVV,

Pemerintah Indonesia berupaya untuk menggantinya

dengan menyusun RUU Bina Kota yang dalam proses

perkembangannya diganti menjadi RUU Tata Ruang Kota.

Selama lebih-kurang 40 tahun memperjuangkan RUU ini di

depan DPR, telah mengalami perluasan substansi sejalan

dengan berkembangnya teori/pendekatan wilayah dan ke-

sadaran akan kelestarian lingkungan hidup. Akhirnya pada

tahun 1992 disahkanlah UU No. 24/1992 tentang Pena-

taan Ruang (tidak terbatas hanya pada lingkup kota).

8.7.2 Permasalahan Pengembangan Kawasan

Dari pengalamannya, Simonds (1983) menyadari ma-

sih ada kebiasaan pandangan para perencana dalam

mempertentangkan kota lawan desa, urban lawan sub-

urban, urban versus rural. Karenanya banyak tegangan

dan gesekan berulang-kali yang sesungguhnya tidak

perlu terjadi. Barangkali ini timbul karena kurangnya in-

tegrasi dan koordinasi antar sektor, kurangnya koordinasi

perkembangan yang direncanakan mengenai satuan-

satuan wilayah. Banyak tampak duplikasi biaya adminis-

trasi dan fasilitas-fasilitasnya.

Dalam menghadapi situasi ini, muncul kecenderungan

yang bijaksana di antara para perencana untuk meman-

dang kota dan burilokanya (hinterland) dalam pengertian

wilayah ekonomi dan wilayah sosial-budaya. Keuntungan

pengkajian dan perencanaan wilayah/regionalisasi ini san-

gat nyata dilihat secara ekonomik dan keefektifannya.

Keinginan manusia yang laten dalam suatu kehidupan

yang saling menghargai dan saling menolong, harus di-

upayakan agar terus bersemi dan berkembang dengan

edukasi, tetapi kondisi luar yang dituntut untuk menca-

pai itu haruslah diciptakan. Arsitek-arsitek harus diberi

tugas untuk membangun tempat kontak antara manusia

dengan manusia, membangun lingkungan yang mengun-

dang pertemuan-pertemuan dan pusat-pusat yang mem-

berikan pertemuan-pertemuan semacam ini sesuatu yang

berarti dan membuatnya produktif (Gutkind).

Simonds (1983) dan ahli-ahli arsitektur landscape

mengecam keadaan kota-kota besar di Amerika Serikat

sekarang dan menganggapnya sebagai gurun pasir. Ini

karena dulu dipakai prinsip asal menumpuk sebanyak-

banyaknya struktur atau sebanyak-banyaknya kota-kota

275Peran Arsitektur Lansekap dalam Pengembangan Kawasan yang Ramah Lingkungan

dalam satu tempat. Kota yang biasa ditunjuk secara

bangga hanya yang paling tinggi, paling luas dan paling

padat, dengan hasil-hasil karya arsitekturnya. Belum di-

pastikan manusia-manusia yang tinggal di dalamnya teril-

hami, terangsang oleh lingkungan kotanya. Bagaimana

dengan Jakarta sekarang?

Masalah yang dihadapi arsitek-arsitek landscape seka-

rang dan meningkat di masa mendatang adalah pengem-

bangan cara-cara dan jalan untuk menjembatani jurang

pemisah (gap) antara kota dan desa, antara growth pole

(pusat-pertumbuhan/pelayanan) dan burilokanya (hinter-

land). Suatu antitesis antara perkotaan (urban) dan perde-

saan (rural); dan lebih khusus, antara gedung bertingkat,

aspalt-hotmix, fly-over (jalan-layang) dan konstruksi kota

yang ribut dan bising, dengan hijaunya palawija yang te-

nang, gemulainya padi yang menguning, gemerciknya air

sungai, romantisnya hutan dan pantai. Bagaimana untuk

membuka kota ke desa, membawa budaya positif kota

ke desa, akan merupakan permasalahan utama. Ini akan

diungkapkan dalam jumlah, jenis dan mutu vegetasi yang

ada.

Selama kegiatan manusia masih dalam hubungan

simpati dengan alam, atau hanya sedemikian kecil ska-

lanya sehingga tidak mengganggu siklus proses-proses

alami, landscape akan survive, baik dalam bentuk alam-

nya yang menonjol atau dalam hasil yang seimbang dari

kerja sama manusia-alam. Akan tetapi, segera setelah

pertumbuhan populasi atau kegiatan kotanya meng-

ganggu keseimbangan alam, lansekap akan menderita,

dan obat satu-satunya hanyalah bila manusia mengambil

bagian dalam evolusi lansekap.

Dalam hal ini perlu diingat bahwa dalam kota yang

baru, ruang sama pentingnya dengan gedung-gedung.

Dapatlah dilihat bila orang kota/pusat dipindah ke dae-

rah, walau dalam lingkungan yang indah dan mewah,

merasa tidak kerasan. Ada yang dikangeni dan dibutuh-

kannya: ingin hiruk-pikuknya kota, bau keringat dalam

bis kota, robekan poster, boneka etalase, toko buku, kios

serba ada, warung tenda, berjajamya pedagang kaki lima

dengan seribu-satu propaganda, dan sebagainya. Sebe-

tulnya, yang sesungguhnya menjadi keperluannya adalah

kompresi, minat, keanekaragaman dan kejutan-kejutan.

Manusia membutuhkan dan harus memilikinya sekali

lagi dalam kotanya ruang-ruang yang kaya variasi, mas-

ing-masing direncanakan dengan kehalusan dan dapat

memperlengkapi fungsinya: ruang dimana mereka dapat

bergerak dengan aman, dan kesenangan dimana dapat

berkumpul dan bermasyarakat. Mereka benar-benar perlu

memiliki kesehatan dan kenikmatan, dan harus mempu-

nyai tatanan. Dalam kotanya manusia memerlukan sum-

ber ilham, rangsangan, penyegaran, keindahan dan kesu-

kaan. Singkatnya mereka harus memiliki lingkungan kota

yang mengarahkannya ke segenap hidup yang utuh.

8.7.3 Perencanaan Pengembangan Kawasan

Dapat dikemukakan tempat-tempat yang tidak cocok

untuk tujuannya, sebelum kita melangkah pada perenca-

naan kawasan yang baik:

• Pusat perbelanjaan tanpa tempat parkir yang cukup;

• Farm (daerah pertanian) tanpa cukup air;

• Losmen dekat gereja, atau dekat mesjid, atau dekat

pura;

• Pabrik baru tanpa ruang cukup untuk gudang dan per-

luasan;

276 Peran Arsitektur Lansekap dalam Pengembangan Kawasan yang Ramah Lingkungan

• Sekolah menghadap ke pangkalan lalu-lintas utama;

• Restoran di tepi jalan yang hanya dapat dilihat dari

dekat;

• Sebuah rumah baru di dekat bandar-udara;

• Pabrik yang menimbulkan asap/bau di atas aliran

angin.

Di Amerika Serikat sejalan dengan kecenderungan

untuk memperluas bidang perencanaan dari dasar urban

ke dasar wilayah, adalah kecenderungan untuk mengu-

rangi tekanan pada perencanaan kota sebagai satu-sa-

tunya yang utuh dan segala-galanya dan lebih memu-

satkan perhatian pada perencanaan suatu lingkungan

(neighborhood) yang berswadaya. Suatu lingkungan

dengan populasi 1000 sampai 1500 keluarga, suatu jum-

lah yang kira-kira membutuhkan dan dapat mendukung

sekolah-dasarnya, toko lingkungan dan bengkelnya, pu-

sat sosialnya, tempat bermain dan taman lingkungannya.

Kemudian menghidupkan dan merencanakan kembali

lingkungan-lingkungan tersebut, mengelilinginya dengan

jalur-hijau dan menghubungkannya dengan jalan-jalan

raya ke kompleks-kompleks industri, pusat kerja, atau

inti kota. Kawasan begini memberikan harapan untuk ter-

ciptanya suatu ibu-kota baru yang lebih berperikemanu-

siaan, lebih organik.

Suatu komunitas yang dapat dibedakan dari suatu

lingkungan (neighborhood) tadi, akan terdiri dari dua atau

lebih lingkungan terpisah oleh suatu jalur-hijau atau ruang

terbuka hijau tetapi dihubungkan dengan jalan sekunder

mengarah ke unsur vital untuk interest kelompok (commu-

nal interest), biasanya kelompok sekolah lanjutan dan sa-

rana-sarananya. Komunitas demikian tidak perlu terletak

di batas kota, tetapi cukup untuk melancarkan tekanan

lalu lintas, lebih baik dipisah dalam kawasan yang menge-

lilinginya sebagai komunitas-komunitas satelit kira-kira

terdiri dari 30.000 sampai dengan 40.000 orang dengan

kompleks industrinya, dengan sarana-sarana bisnisnya,

pertokoan dan sarana bermasyarakat termasuk seko-

lah-sekolah, lapangan bermain, gereja-gereja, gedung

hiburan dan rumah sakit komunitas.

Kota pusat, dengan intinya, akan melayani kota-kota

satelitnya yang demikian lebih atas dasar regional, se-

bagai pusat yang dominan perdagangan, keuangan,

pemerintahan, budaya dan pendidikan tinggi. Di sinilah

tempat kantor-kantor pusat negara-bagian dan wilayah,

kantor koperasi dan perusahaan-perusahaan, gedung-

gedung bank dan dewan perdagangan. Di sinilah letak

gereja-gereja besar, universitas dan rumah-sakit wilayah.

Di sinilah letak auditorium, stadium, park untuk menari,

perpustakaan, kebun-binatang, akuarium, oseanori-

um, planetarium dan kebun umum. Di sinilah restoran-

restoran, gedung untuk simponi dan pertunjukan balet

dan toko-toko kota yang semuanya akan menarik dan

melayani lebih baik pada wilayah.

Di dalam menetapkan kebijakan perlahanan, dalam

kaitannya dengan pembangunan kota, dulu pemerintah

daerah DKI Jakarta telah mengikuti konsep seperti dike-

mukakan di atas dengan beberapa modifikasi. Demikian

pula dalam sistem panca wilayah (Five Division System)

dalam perencanaan PlR (perkebunan inti rakyat) atau

NES (nucleus estate and smallholding) adalah modifikasi

dari konsep tersebut di atas.

Dapatkah perencanaan yang pernah populer itu diper-

luas penerapannya di kawasan lain di Indonesia? Dengan

277Peran Arsitektur Lansekap dalam Pengembangan Kawasan yang Ramah Lingkungan

melihat bentuk-bentuk keluarga, RT, RW, lingkungan/ke-

lurahan, kecamatan dan seterusnya meningkat ke pusat

administrasi atau melihat kawasan-kawasan seperti tem-

pat satuan kegiatan? Di bidang pertanian lebih dimulai

membina wilayah unit desa (Wilud), unit daerah kerja

pembangunan (UDKP), yang lepas dari daerah adminis-

trasi. Mungkinkah ini diikuti bidang kegiatan lain, seperti

pembangunan kompleks baru misalnya perumahan in-

stansi, Perumnas, kampus, balai penelitian, pemukiman

kembali (resettlement), real estate, lokasi transmigrasi,

pemugaran kota (urban renewal), program perbaikan

kampung (kampoong improvement), pemekaran desa/

kecamatan/kota/kabupaten dan sebagainya. Kekurangan

kehidupan kawasan, karena tidak memikirkan kebutuhan

lengkap lingkungan hidup yang utuh (pendidikan anak-

anak, rekreasi, pertolongan kesehatan, dan sebagainya).

Suatu perencanaan yang baik menurut Gropious

haruslah mencakup dua segi yakni ilmiah dan seni. Se-

bagai ilmu, akan menganalisis hubungan kemanusiaan;

sebagai seni akan mengkoordinasikan kegiatan manusia

ke dalam sintesa budaya. Mulai diakui adanya pengertian

bahwa merencanakan lingkungan fisik tidak hanya berarti

memberikan suatu gugus keindahan tetapi lebih berwu-

jud suatu pertumbuhan dari dalam yang kontinu, suatu

pengakuan yang menciptakan kebenaran terus menerus

dalam melayani kemanusiaan.

Yang penting adalah seperti yang dikemukakan Mum-

ford, yaitu untuk melihat saling ketergantungan antara kota

dan buriloka, untuk menyadari bahwa pertumbuhan dan

konsentrasi pada salah satunya berkaitan dengan kemun-

duran dan pemiskinan yang lainnya. Untuk menghargai

adanya keseimbangan yang selaras dan adil antara kota

dan buriloka, sesuatu yang menurut Mumford kurang dis-

adari sebelumnya oleh banyak orang/pihak. Menurutnya,

sangatlah diperlukan untuk mengembangkan suatu seni

regional planning, suatu seni yang akan menghubungkan

kota dan buriloka, urban dan rural, dalam pola baru yang

berbeda dengan pola yang lama; yang merupakan pencip-

taan membabibuta kawasan industri dan kawasan ping-

giran. Tidak memandang lagi daerah pedalaman sebagai

sesuatu yang akan binasa ke dalam lindasan arus buldozer

metropolitan. Kita dan generasi mendatang harus meren-

canakan untuk memelihara dan mengembangkan semua

sumber daya alam sampai batasnya.

Akhirnya tulisan ini ditutup dengan sebuah kalimat:

Perencanaan adalah kecakapan mengangan-angankan

yang harus menyarankan cara dan usaha untuk memin-

dahkan kemungkinan dan kemokalan hari ini ke dalam

kenyataan hari esok.

Semoga tulisan ini berguna bagi para arsitek lansekap

dan perencana pengembangan kawasan sebagai salah

satu pendekatan dalam penataan ruang kawasan.

278 Peran Arsitektur Lansekap dalam Pengembangan Kawasan yang Ramah Lingkungan

279Penutup

BAB IXPENUTUP

280 Penutup

RTH sudah menjadi bagian tidak terpisahkan dari

rencana pengembangan kota, sehingga diperlukan ke­

sungguhan para pihak yang terlibat dan berwenang untuk

mengiring penataan RTH pada aras terapan. Dukungan

perangkat peraturan perundangan­undangan, keberanian

pengambilan keputusan, dan konsisten dalam penerap­

annya, semuanya itu dipandang sebagai kunci keber­

hasilan penataan RTH ke depan. Didukung oleh sema­

kin meningkatnya kesadaran dan kebutuhan masyarakat

umum karena telah faham akan fungsi penting eksistensi

RTH, maka keinginan untuk pengelolaan RTH yang se­

makin baik sudah merata ke seluruh wilayah perkotaan

di Indonesia.

Yang masih perlu terus disosialisaikan adalah perlu­

nya membangun RTH­Kota oleh masing­masing kepe­

merintahan di daerah atau wilayah tersebut hendaknya

juga mau membangun lingkungannya berdasar pada ciri

budaya khasnya, agar keanekaragaman kekayaan bu­

daya dan keanekaragaman hayati flora dan fauna dapat

terus terpelihara.

9.1 LANGKAH-LANGKAH PENATAAN RTH KOTA KE DEPAN

9.1.1 Penghijauan Kota yang Lalu

Pada masa lalu, pada waktu jumlah penduduk kota

banyak, di mana urbanisasi juga belum terlalu ’marak’ di

semua kota­kota RTH­Kota terutama taman­taman kota­

IX PENUTUP

nya hanya nampak dibangun apa adanya, artinya, pem­

bangunan RTH­kota (dalam hal ini ruang terbuka) hanya

penting dilakukan pada halaman istana saja. Salah satu

buktinya adalah pembangunan alun­alun atau Kebon Raja

yang dimaksudkan hanya bagi kenyamanan para pejabat

pemerintah. Pola kota yang ada hampir semuanya wari­

san jaman kolonial yang juga mementingkan kenyamanan

hanya bagi para pejabat pemerintahan kolonial saja.

Namun demikian, mereka sudah menerapkan peran­

cangan ’lansekap kota’ berdasar pada kondisi iklim tropis

panas dan lembab yang nampaknya amat mengganggu

kenyamanan mereka yang biasa hidup di negara beriklim

sedang oleh karena itu mereka pun banyak menanam

pepohonan peteduh, jarang atau sedikit menanam tana­

man hias berupa tanaman­tanaman bunga yang relatif

pendek serta relatif sulit pemeliharaannya.

Kondisi demikian tetap bertahan, sampai akhirnya di­

awali oleh pemerintahan Ibu Kota ”Djakarta” yang sem­

pat berkunjung pada kota­kota besar dunia yang telah

maju pesat setelah masa Revolusi Industri, ingin pula

membangun kota (Jakarta) seindah dan senyaman kota­

kota besar di luar negeri. Namun ’kesadaran’ itu juga

baru muncul pada tahun 60­an, sekitar 10 tahun sebelum

dimulainya gerakan penataan lingkungan hidup dunia

(pertemuan dimulai di Stockholm, Swedia, tahun 1972).

Pemda DKI Jakarta kemudian secara cepat dan ber­

tahap menyusun pola perencanaan dan perancangan

penataan kota, agar ’pantas’ kedudukannya sebagai ibu­

281Penutup

kota negara. Sekolah khusus agar mahir dalam menge­

lola RTH­Kota pun didirikan demikian juga kursus­kursus

penataan halaman rumah. Secara tradisional sebenarnya

para orang tua (nenek moyang) kita sebenarnya sudah

mempunyai pengetahuan yang holistik (menyeluruh) dan

komprehensif (lengkap) tentang upaya penghijauan, pa­

ling tidak disekeliling rumah masing­masing. Namun se­

hubungan dengan semakin banyaknya penduduk kota

dampak (negatif) dari urbanisasi (mulai pesat sejak tahun

1960­an). Menanam juga menjadi satu persoalan tersen­

diri akibat semakin kurangnya ruang kota.

Perkembangan RTH­Kota dan lingkungan pada be­

berapa kota yang lain, sebagian dibiarkan tumbuh alami,

namun sebagian (besar) mengikuti pola perkembangan

ibukota, sehingga terjadi keanekaragaman kota, yang se­

benarnya baik saja sebab akan memperkaya khasanah

lingkungan kota. Sekali lagi disayangkan bahwa seba­

gian besar kota, justru memilih tanaman seperti apa yang

banyak ditanam di ibukota dari jenis akasia, palem raja

dan akhir­akhir ini ashoka, serta masih banyak lagi.

Penunjukan RTH kota meliputi tindakan penunjukan

lokasi dan penetapan luasan. Penunjukan lokasi dan

penetapan luas RTH kota dilakukan oleh Walikota atau

Bupati yang dituangkan dalam Rencana Tata Ruang

Wilayah (RTRW) Perkotaan. Untuk Daerah Khusus Ibu­

kota Jakarta, penunjukan lokasi dan penetapan luas RTH

kota dilakukan oleh Gubernur, yang dituangkan dalam

RTRW Propinsi DKI Jakarta.

Penunjukan lokasi dan penetapan luas RTH kota di­

dasarkan pada pertimbangan kota setempat, sehingga

dijumpai jumlah dan luas RTH beragam untuk kota ber­

beda. Batasan umum yang dapat dijadikan pertimbang­

an adalah: i) luas wilayah, ii) jumlah penduduk, iii) tingkat

pencemaran, dan iv) kondisi fisik kota. Rinci cara penetap­

an luas RTH kota dengan berbagai pertimbangan kondisi

lingkungan kota setempat dapat dilihat pada Lampiran.

9.1.2 Penetapan Tanah Hak sebagai RTH Kota

Tanah hak yang karena keberadaannya, dapat di­

mintakan peruntukannya menjadi RTH oleh pemegang

hak tanpa pelepasan hak atas tanah, selanjutnya pe­

megang hak memperoleh insentif atas tanah hak yang

ditetapkan sebagai RTH­kota dalam jangka waktu paling

sedikit 15 tahun antara lain dengan dasar pertimbangan

cukupnya waktu bagi sebagian tanaman untuk tumbuh

optimal.

Penetapan tanah hak ini dapat dilakukan tanpa me­

lalui proses penunjukan dan pembangunan. Untuk dapat

ditetapkan, tanah hak tersebut harus memenuhi kriteria

antara lain:

• Terletak di wilayah perkotaan dari satu kota, kabupaten,

atau provinsi,

• Merupakan RTH yang didominasi pepohonan,

• Mempunyai luas sedikitnya 0,25 ha dan mampu mem­

perbaiki iklim mikro, meningkatkan keindahan lingku­

ngan (estetika), dan berfungsi sebagai daerah resapan

air,

• Penetapan dan perubahan peruntukan tanah hak seba­

gai RTH kota dilakukan dengan Keputusan Bupati/Wa­

likota,

• Untuk DKI Jakarta, penetapan dan perobahan perun­

tukan tanah hak sebagai RTH kota dilakukan melalui

Keputusan Gubernur Propinsi Daerah Khusus Ibukota

Jakarta,

282 Penutup

• Penetapan dan perubahan peruntukan tanah hak di­

lakukan berdasarkan permohonan dari pemegang hak.

• Perubahan peruntukan RTH kota yang berada di atas

tanah negara disesuaikan dengan Rencana Tata Ruang

Wilayah (RTRW) Perkotaan, karena itu harus ditetapkan

dengan Peraturan Daerah.

9.1.3 Pengelolaan RTH Kota

Dijumpai beberapa contoh pengelolaan RTH kota di

Indonesia yang dapat dipakai sebagai acuan dalam pe­

ngelolaan RTH, seperti pada Program Penghijauan Kota

‘Penghematan air serta menabung air Kota Bandung’ di­

lakukan melalui:

• Pendekatan aspek peraturan perundang­undanganan

• Pendekatan insentif dan disinsentif yang dikembangkan

• Penggunaan alat­alat pasar

• Penegakan sanksi­sanksi

• Pengembangan keterlibatan masyarakat

Program penghijauan Kota Pagar Ruyung di Sumatera

Barat misalnya, juga dilakukan melalui butir­butir penge­

lolaan seperti berlaku di Kota Bandung tersebut.

Berdasar kesesuaian tipe dan bentuk maka pengelo­

laan RTH kota dapat ditempuh melalui beberapa tahap

kegiatan berikut:

(1) Penyusunan Rencana Pengelolaan

Dalam proses perencanaan beberapa aspek awal

perlu diteliti yaitu meliputi: lokasi, fungsi dan peman­

faatan, aspek tehnik silvikultur dan arboriculture, ar­

sitektur lansekap, sarana dan prasarana, dan teknik­

teknik dasar pengelolaan lingkungan umumnya. Bahan

informasi yang dibutuhkan dalam studi meliputi: data

fisik (letak, wilayah, tanah, iklim dan lain­lain); sosial

ekonomi (aktifitas di wilayah bersangkutan dan kon­

disinya); keadaan lingkungan (lokasi dan sekitarnya);

rencana pembangunan wilayah (RUTR, RTRW, RDTR),

dan bahan­bahan penunjang lain.

Hasil prosesnya berupa Rencana Pembangunan

RTH­Kota yang terdiri dari tiga bagian, yaitu:

• Rencana jangka panjang, memuat gambaran tentang

RTH­kota yang dibangun, serta target dan tahapan

pelaksanaannya,

• Rencana rinci yang memuat rancangan fisik atau ran­

cang bangun untuk masing­masing komponen

fisik hutan kota yang hendak dibangun serta tata

letaknya,

• Rencana tahun pertama kegiatan, meliputi rencana

fisik dan biaya.

(2) Pemeliharaan

Pemeliharaan dilakukan dalam rangka menjaga

dan mengoptimalkan fungsi dan manfaat RTH kota,

melalui optimalisasi ruang tumbuh, diversifikasi tana­

man dan peningkatan kualitas tempat tumbuh.

(3) Perlindungan dan Pengamanan

Perlindungan dan pengamanan RTH kota bertu­

juan untuk menjaga keberadaan dan kondisi RTH kota

agar tetap mampu berfungsi optimal, melalui upaya­

upaya:

• Pencegahan dan penanggulangan kerusakan lahan,

• Pencegahan dan penanggulangan pencurian keka­

yaan ‘plasma nutfah’ fauna dan flora,

283Penutup

• Pencegahan dan penanggulangan kebakaran,

• Pengendalian dan penanggulangan hama penyakit.

Oleh karena itu, setiap orang dilarang melakukan

kegiatan yang bisa berakibat pada perobahan dan

atau penurunan fungsi RTH­kota, yaitu:

• Membakar tanaman di dalam RTH kota,

• Merambah kawasan RTH kota,

• Menebang, memotong, mengambil, apalagi memus­

nahkan tanaman dalam RTH kota, tanpa izin dari

pejabat yang berwenang

• Membuang benda­benda yang dapat mengakibatkan

kebakaran atau membuang limbah cair dan sam­

pah padat yang juga membahayakan kelangsungan

fungsi RTH kota,

• Mengerjakan, menggunakan, atau menduduki

RTH kota secara tidak sah.

(4) Pemanfaatan

RTH kota antara lain dapat dimanfaatkan untuk

kegiatan pariwisata alami, rekreasi dan atau olah raga,

penelitian dan pengembangan, pendidikan, pelestari­

an plasma nutfah; dan budidaya hasil tanaman bukan

kayu.

(5) Pemilihan Jenis Tanaman

Jenis tanaman dalam program pembangunan dan

pengembangan RTH kota hendaknya dipilih berdasar­

kan kriteria tertentu, sehingga tanaman dapat tumbuh

baik dan dapat berperan memperbaiki kondisi ling­

kungan setempat.

Untuk mendapat hasil pertumbuhan tanaman serta

manfaat RTH kota optimal, beberapa informasi perlu

diperhatikan dan dikumpulkan antara lain:

• Persyaratan edaphis: pH, jenis tanah, tekstur, keting­

gian dari muka tanah (altitude),kondisi salinitas dan

lain­lain,

• Persyaratan meteorologis: suhu, kelembaban udara,

kecepatan angin, radiasi matahari,

• Persyaratan silvikultur; kemudahan dalam hal penye­

diaan benih dan bibit dan kemudahan dalam tingkat

pemeliharaan,

• Persyaratan umum tanaman: tahan terhadap hama

dan penyakit, cepat tumbuh, kelengkapan jenis

dan penyebaran jenis, berumur relatif panjang, ber­

bentuk indah, dan ketika dewasa (tumbuh optimal)

dapat sesuai dengan ruang yang ada, serasi dengan

tanaman lain, serbuk sarinya tidak bersifat alergis,

atau daun dan akarnya tidak bersifat alelopatis (me­

matikan tanaman lain di sekitarnya, seperti misalnya

tanaman jambu air terhadap rerumputan di bawah­

nya) dan lain­lain.

• Persyaratan pemanfaatan khusus. Pertimbangan ini

harus disesuaikan dengan tujuannya, sehingga me­

menuhi salah satu criteria seperti: tahan terhadap

kadar garam yang relatif tinggi, tahan terhadap zat

pencemar dari industri dan kendaraan bermotor,

berkemampuan tinggi dalam menyerap gas, ber­

ketahanan tinggi terhadap hujan asam, berkemam­

puan tinggi dalam pengelolaan tata air, dan biasanya

dapat menjadi habitat satwa (burung, dan lain­lain),

• Persyaratan untuk pohon peteduh jalan: mudah

tumbuh pada tanah yang padat, tidak mempunyai

akar yang tumbuh besar di permukaan tanah, tahan

284 Penutup

terhadap hembusan angin kuat, dahan dan ranting

tidak mudah patah, pohon tidak mudah tumbang,

buah tidak terlalu besar, daun tak mudah rontok dan

lain­lain,

• Persyaratan estetis: mempunyai tajuk dan bentuk

percabangan yang indah, bunga dan buahnya me­

miliki warna dan bentuk yang indah, dan lain­lain.

• Dua kotak berikut adalah data tanaman yang perlu

diketahui cirri­cirinya yang sesuai sebagai materi

tanaman untuk lingkungan perkotaan serta tata cara

praktis pengelolaannya

9.2 PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN DALAM PENGELOLAAN RTH KOTA

9.2.1 Koordinasi Kelembagaan untuk Mendukung

Upaya Pengembangan RTH Kota

Organisasi pembangunan dan pengelolaan RTH kota

sangat bergantung kepada perangkat yang ada dan

keperluannya. Sistem pengorganisasian di suatu daerah

mungkin saja akan berbeda dengan daerah lain. Salah

satu bentuk pengorganisasian pembangunan dan penge­

lolaan RTH kota adalah:

• Walikota atau Bupati sebagai kepala wilayah yang ber­

tanggung jawab atas pembangunan dan pengembang­

an RTH kota di wilayahnya. Bidang perencanaan dan

pengendalian dilaksanakan oleh Badan Perencanaan

Pembangunan Daerah (Bappeda), dibantu oleh tim

pembina yang terdiri dari sektor terkait, seperti: Ling­

kungan Hidup, Kehutanan, Pertanian dan Perkebunan,

Pekerjaan Umum, Kelautan dan Perikanan, Kesehatan,

Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Regional

dan Daerah (Bapedalda), dan lain­lain menurut kebu­

tuhan berdasar kondisi dan situasi sesuai ruang dan

waktu pada masing­masing kota atau daerah. Sedang

pelaksanaannya dapat dikoordinasi oleh dinas terkait

secara mandiri atau bekerjasama dengan suatu atau

beberapa kelompok pengelola RTH Kota secara profe­

sional (kelompok swasta dan masyarakat umum),

• Pengelolaan RTH kota pada areal yang dibebani hak

milik diserahkan kepada pemiliknya, namun dalam

pelaksanaannya harus memperhatikan rambu­rambu

pengelolaan dalam Rencana induk Kota (RIK) misal­

nya yang sudah ditetapkan dan disetujui sebelumnya

dalam peraturan­peraturan tertentu, dan dipandu oleh

lembaga yang berwenang dalam bidang perencanaan

dan pengendalian. Agar pelaksanaan di lapangan

dapat berlangsung lancar, perlu dipikirkan juga adanya

jasa atau imbalan untuk merangsang para pelaku dan

penanggungjawab pengelolaan RTH Kota.

9.2.2 Peningkatan Peran Masyarakat dalam Upaya

Pengembangan RTH Kota

Pemerintah Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota

seharusnya mendorong peran masyarakat dalam penye­

lenggaraan RTH kota pada keseluruhan tahap; sejak

penunjukan, pembangunan, penetapan, pengelolaan,

pembinaan dan pengawasan.

Peningkatan peran masyarakat dilakukan antara lain

melalui;

• Pendidikan dan pelatihan

• Penyuluhan

• Bantuan teknis dan insentif.

285Penutup

Peran masyarakat dalam penyelenggaraan RTH­kota

tersebut dapat berbentuk :

• Penyediaan lahan untuk penyelenggaraan RTH­kota

• Penyandang dana dalam rangka penyelenggaraan

RTH­kota

• Pemberian masukan dalam penentuan lokasi RTH­kota

• Pemberian bantuan dalam mengidentifikasi berbagai

potensi dalam masalah penyelenggaraan hutan kota

• Kerjasama dalam penelitian dan pengembangan

• Pemberian informasi, saran, pertimbangan atau pen­

dapat dalam penyelenggaraan RTH­kota

• Pemanfaatan hutan kota berdasarkan peraturan perun­

dang­undangan yang berlaku

• Bantuan pelaksanaan pembangunan

• Bantuan keahlian dalam penyelenggaraan RTH­kota

• Bantuan dalam perumusan rencana pembangunan dan

pengelolaan

• Menjaga, memelihara dan meningkatkan fungsi RTH­

kota.

9.2.3 Keperluan Peraturan Daerah untuk

Pengembangan RTH Kota

Diperlukan Peraturan Daerah yang secara khusus

mengatur tentang pengelolaan menyeluruh dari RTH

kota, ini di mana didalamnya antara lain mencakup;

• Tata cara penunjukkan lokasi dan luas lahan;

• Penentuan tipe RTH kota

• Tata cara pembangunan RTH kota

• Pemberian insentif bagi pemegang hak tanah hak yang

ditetapkan sebagai RTH kota;

• Pengelolaan RTH kota

• Perlibatan masyarakat

• Insentif disinsentif

• Penetapan sanksi.

Di dalam sebuah “Surat Keputusan Walikota” dapat

diterapkan misalnya;

• Penetapan dan perubahan hak peruntukan tanah seba­

gai RTH kota.

• Untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta maka penetapan

dan perobahan peruntukan hak pengelolaan atas tanah

sebagai RTH kota dilakukan dengan keputusan Guber­

nur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.

9.2.4 Peran Legislatif dalam Pengembangan

RTH Kota

Fungsi legislasi menempatkan DPRD untuk memenuhi

harapan masyarakat yang diwakilinya sebagai pelaku

utama pembangunan sehingga tata pemerintahan dapat

terpenuhi. DPRD dapat berinisiatif dalam penyusunan

peraturan daerah yang mengatur penyelenggaraan RTH

kota, misalnya tentang penyelenggaraan RTH Kota telah

banyak dilaksanakan oleh hampir semua pemerintahan

kota di daerah­daerah. Dalam program nasional penghi­

jauan kota yang dikaitkan dengan pelaksanaan program

penghargaan kota bersih sehat dan teduh, seperti pro­

gram Adipura, Kalpataru dan lomba­lomba perencanaan

dan perancangan RTH Kota khususnya pada taman­

taman umum kota dan kegiatan­kegiatan peingkatan

kualitas fungsi lingkungan semacam, dapat dijadikan

contoh­contoh aktivitas positif yang dimaksudkan bagi

kemaslahatan orang banyak.

Penyelenggaraan hutan kota khususnya telah diatur

dalam Peraturan Pemerintah No. 62 Tahun 2003 tentang

286 Penutup

Hutan Kota. Maka, peraturan daerah secara minimal khu­

susnya yang menyangkut pengaturan hutan­kota terse­

but, secara minimal dapat meliputi antara lain hal­hal se­

bagai berikut:

• Tata cara penunjukkan lokasi dan luas lahan,

• Penentuan fungsi, tipe, dan bentuk hutan kota,

• Tata cara pembangunan hutan kota,

• Pemberian intensif bagi pemegang hak atas tanah, ya­

itu hak yang ditetapkan sebagai hutan kota,

• Pengelolaan hutan kota,

• Penanggung jawab dan keterkaitan antar sektor

• Perlibatan masyarakat; dan

• Penetapan sanksi.

Dalam proses penyusunan peraturan daerah, terdapat

tiga kelemahan umum yang dirasakan oleh DPRD Kota

(Djojosoekarto, 2004 dalam Seri Buku Panduan DPRD,

2005) yaitu analisis kebijakan, advokasi kebijakan dan

dukungan Sekretariat. Oleh karena itu perlu diperhatikan

beberapa pertanyaan (issues) dalam proses penyusun­

an dan penetapan Peraturan Daerah (Perda), sebagai

berikut:

• Bagaimana tata cara penunjukkan lokasi dan luas RTH­

kota?,

• Apakah penunjukan lokasi dan luas RTH­kota berdasar­

kan Rencana Tata Ruang Wilayah Perkotaan?,

• Apakah penunjukan lokasi dan luas Hutan Kota se­

bagai bagian dari Ruang Terbuka Hijau (RTH) Wilayah

Perkotaan?,

• Apakah sudah tersedia komponen­komponen pendu­

kung penyelenggaraan RTH­kota yang meliputi: terse­

dianya kebun pembibitan yang dapat menyediakan bi­

bit secara massal?; iImu dan teknologi yang memadai?;

pelayanan jasa konsultasi untuk umum?; dukungan dari

para penentu kebijakan?; serta dukungan masyarakat,

tenaga ahli, dan para pihak terkait lain,

• Bagaimana status lokasi yang ditunjuk sebagai RTH­

kota? Pada tanah negara atau tanah hak?,

• Sejauh apakah luas wilayah, jumlah penduduk, tingkat

pencemaran, dan kondisi fisik kota menjadi pertimbang­

an dalam penunjukkan lokasi dan luas lahan RTH­

kota?,

• Bagaimana tata­cara pengelolaan RTH­kota direncana­

kan? (meliputi: penyusunan rencana pengelolaan,

pemeliharaan, perlindungan dan pengamanan, peman­

faatan, pemantauan dan evaluasi),

• Bagaimana peran dan keterlibatan masyarakat dalam

setiap proses penyelenggaraan RTH­kota?,

• Bagaimana tata­cara bila akan diberikan kompensasi

(sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­undang­

an yang berlaku)?,

• Bagaimana koordinasi secara horisontal dan vertikal

akan dikembangkan?,

• Bagaimana konsistensi dan sinkronisasi dalam Raperda

tentang penyelenggaraan RTH ini terhadap Perda yang

lain?,

• Selain perda, dalam penyelenggaraan RTH kota juga

dibutuhkan Surat Keputusan Walikota mengenai:

­ Penetapan dan perobahan peruntukan tanah hak se­

bagai RTH kota,

­ Untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta, penetapan dan

perobahan peruntukan tanah hak sebagai RTH kota

dilakukan dengan keputusan Gubernur Propinsi Dae­

rah Khusus Ibukota Jakarta.

287Penutup

Berbagai fungsi penting dalam pengelolaan RTH

sebagai unsur utama tata ruang perkotaan, mau tidak

mau harus menjadi bahan pertimbangan penting bagi

kepemerintahan lingkungan perkotaan, artinya bagi se­

luruh penduduk kota, yang terdiri dari lembaga­lembaga

pemerintahan yang resmi (eksekutif, judikatif dan legisla­

tif) namun tanpa peran aktif masyarakat umum maupun

swasta, perwujudan lingkungan kota yang bersih, hijau,

asri dan produktif pasti akan amat sulit terwujud. Apabila

lingkungan perkotaan dapat tertata dengan baik, maka

produktivitas manusia penduduknya pun akan menin­

gkat, sebab penyakit­penyakit akibat degradasi lingku­

ngan akan sangat jarang terjadi, demikian juga penyakit

akibat tidak adanya pengelolaan secara menyeluruh yang

sekali lagi menjadi tanggung jawab kita semua.

288 Penutup

Kotak 1 Data Tanaman

Setiap jenis tanaman yang akan ditanam harus diketahui informasi awalnya, meliputi:

• Nama lokal dan nama botani

• Bentuk tajuk: oval/vase/round/irregular/fastigiate/pyramidal

• Tanah: kisaran pH, tekstur, jenis tanah, elevasi (di atas permukaan laut).

• Kebutuhan akan naungan: butuh/tidak

• Kerindangan tajuk: sangat rindang/sedang/kurang rindang

• Ketahanan terhadap pangkasan: kuat/sedang/tidak tahan

• Kelas Tinggi: pendek (< 3 m), sedang (3­7 m), tinggi (> 7 m)

• Kelas diameter lebar naungan: sempit (< 3 m),sedang (3­6 m),tinggi (> 6 m)

• Kecepatan Tumbuh: rendah/menengah/cepat

• Kekuatan terhadap angin (dilihat dari kekuatan kayunya): kuat/sedang/rapuh

• Ketahanan terhadap robohan oleh angin (dilihat dari sistem perakarannya)

• Sifat pengguguran daun: Deciduous/evergreen

• Ketahanan terhadap gas (NOX, SOX, Ozon, CO, Hidrokarbon dan lain­lain): tinggi/sedang/rendah

• Kemampuan dalam menyerap gas (NOX, SOX, Ozon, CO, Hidrokarbon dan lain­lain): tinggi/sedang/rendah

• Ketahanan terhadap partikel padat (debu tanah, silikat, semen, asbes dan lain­lain): tinggi/sedang/rendah

• Ketahanan terhadap genangan air: tinggi/sedang/rendah

• Kemampuan dalam menguapkan air: tinggi/sedang/rendah

• Ketahanan terhadap cahaya buatan: tinggi/sedang/rendah

• Fungsi lansekap: hiasan rumah dan kantor/peteduh jalan/kebun/hutan

Kotak 2 Pemeliharaan Pohon

Penanaman

Pohon­pohon yang kecil mempunyai ketahanan yang tinggi terhadap gangguan akibat pemindahan dibanding

dengan pepohonan besar. Oleh sebab itu untuk menanam pepohonan yang besar perlu para akhli yang berpeng­

alaman, alat­alat, kendaraan dan biaya yang relatif mahal. Ukuran pohon optimum agar dapat dipindah sangat

bervariasi tegantung pada jenis. Walau demikian ukuran pohon yang banyak ditanam adalah yang mempunyai

ukuran diameter batang antara 5­10 mm dengan tinggi antara 30­100 cm.

Perawatan Luka pada Batang

Pohon redwood di Piercy, California, mempunyai tinggi 76 m berumur 2000 tahun masih hidup dan terus tum­

buh walaupun mempunyai luka bekas kebakaran lebih dari seratus tahun yang lalu (Haller, 1986), karena luka

pada pohon tersebut secara terus menerus telah dirawat dengan baik. Pohon yang sempurna memiliki per­

mukaan kulit yang mulus mulai dari akar sampai ujung batang. Namun jika pohon tersebut dikuliti, terpotong,

dipukul atau dibakar, maka akan dapat terbentuk luka yang kemudian akan berobah menjadi lubang.

Pemangkasan

Pemangkasan dimaksudkan untuk membuang bagian dahan/ranting tertentu agar didapat bentuk­bentuk ter­

tentu (topiary, apakah ingin bentuk seperti binatang atau bentuk lain), mengendalikan pertumbuhan tinggi po­

hon, membuang bagian yang terkena penyakit, untuk keselamatan (jika patah dapat mengancam keselamatan

pemakai jalan raya dan terbukti telah terjadi baik di Jakarta maupun di Bogor pada saat ada angina kencang,

atau karena dahan dapat mengganggu kabel listrik dan telepon), untuk memberi kesempatan pohon lain agar

mampu tumbuh lebih baik, atau misalnya untuk mempercepat munculnya bunga, dan seterusnya. Beberapa

jenis pohon buah yang daunnya terlalu lebat akhirnya sulit menghasilkan buah sebagaimana diharapkan (ram­

butan, mangga, dan sebagainya)

Penebangan

Pohon­pohon yang harus dihilangkan adalah pohon­pohon yang dengan beberapa kriteria yang perlu dipertim­

bangkan, yaitu: sudah mati, membahayakan, saling berhimpitan, pohon terkena penyakit dan dapat mengan­

cam pohon­pohon lain, pepohonan pada jalur jalan dan bangunan, mengganggu jalur listrik dan telepon.

289Penutup

Kotak 1 Data Tanaman

Setiap jenis tanaman yang akan ditanam harus diketahui informasi awalnya, meliputi:

• Nama lokal dan nama botani

• Bentuk tajuk: oval/vase/round/irregular/fastigiate/pyramidal

• Tanah: kisaran pH, tekstur, jenis tanah, elevasi (di atas permukaan laut).

• Kebutuhan akan naungan: butuh/tidak

• Kerindangan tajuk: sangat rindang/sedang/kurang rindang

• Ketahanan terhadap pangkasan: kuat/sedang/tidak tahan

• Kelas Tinggi: pendek (< 3 m), sedang (3­7 m), tinggi (> 7 m)

• Kelas diameter lebar naungan: sempit (< 3 m),sedang (3­6 m),tinggi (> 6 m)

• Kecepatan Tumbuh: rendah/menengah/cepat

• Kekuatan terhadap angin (dilihat dari kekuatan kayunya): kuat/sedang/rapuh

• Ketahanan terhadap robohan oleh angin (dilihat dari sistem perakarannya)

• Sifat pengguguran daun: Deciduous/evergreen

• Ketahanan terhadap gas (NOX, SOX, Ozon, CO, Hidrokarbon dan lain­lain): tinggi/sedang/rendah

• Kemampuan dalam menyerap gas (NOX, SOX, Ozon, CO, Hidrokarbon dan lain­lain): tinggi/sedang/rendah

• Ketahanan terhadap partikel padat (debu tanah, silikat, semen, asbes dan lain­lain): tinggi/sedang/rendah

• Ketahanan terhadap genangan air: tinggi/sedang/rendah

• Kemampuan dalam menguapkan air: tinggi/sedang/rendah

• Ketahanan terhadap cahaya buatan: tinggi/sedang/rendah

• Fungsi lansekap: hiasan rumah dan kantor/peteduh jalan/kebun/hutan

Kotak 2 Pemeliharaan Pohon

Penanaman

Pohon­pohon yang kecil mempunyai ketahanan yang tinggi terhadap gangguan akibat pemindahan dibanding

dengan pepohonan besar. Oleh sebab itu untuk menanam pepohonan yang besar perlu para akhli yang berpeng­

alaman, alat­alat, kendaraan dan biaya yang relatif mahal. Ukuran pohon optimum agar dapat dipindah sangat

bervariasi tegantung pada jenis. Walau demikian ukuran pohon yang banyak ditanam adalah yang mempunyai

ukuran diameter batang antara 5­10 mm dengan tinggi antara 30­100 cm.

Perawatan Luka pada Batang

Pohon redwood di Piercy, California, mempunyai tinggi 76 m berumur 2000 tahun masih hidup dan terus tum­

buh walaupun mempunyai luka bekas kebakaran lebih dari seratus tahun yang lalu (Haller, 1986), karena luka

pada pohon tersebut secara terus menerus telah dirawat dengan baik. Pohon yang sempurna memiliki per­

mukaan kulit yang mulus mulai dari akar sampai ujung batang. Namun jika pohon tersebut dikuliti, terpotong,

dipukul atau dibakar, maka akan dapat terbentuk luka yang kemudian akan berobah menjadi lubang.

Pemangkasan

Pemangkasan dimaksudkan untuk membuang bagian dahan/ranting tertentu agar didapat bentuk­bentuk ter­

tentu (topiary, apakah ingin bentuk seperti binatang atau bentuk lain), mengendalikan pertumbuhan tinggi po­

hon, membuang bagian yang terkena penyakit, untuk keselamatan (jika patah dapat mengancam keselamatan

pemakai jalan raya dan terbukti telah terjadi baik di Jakarta maupun di Bogor pada saat ada angina kencang,

atau karena dahan dapat mengganggu kabel listrik dan telepon), untuk memberi kesempatan pohon lain agar

mampu tumbuh lebih baik, atau misalnya untuk mempercepat munculnya bunga, dan seterusnya. Beberapa

jenis pohon buah yang daunnya terlalu lebat akhirnya sulit menghasilkan buah sebagaimana diharapkan (ram­

butan, mangga, dan sebagainya)

Penebangan

Pohon­pohon yang harus dihilangkan adalah pohon­pohon yang dengan beberapa kriteria yang perlu dipertim­

bangkan, yaitu: sudah mati, membahayakan, saling berhimpitan, pohon terkena penyakit dan dapat mengan­

cam pohon­pohon lain, pepohonan pada jalur jalan dan bangunan, mengganggu jalur listrik dan telepon.

290 Penutup

Lampiran 1 PERHITUNGAN LUAS RTH KOTA

Terdapat beberapa macam cara untuk menetapkan keluasan RTH kota, ditinjau dari berbagai kebutuhan penduduk kota sebagai berikut: (1). Pendekatan Gerakis melalui Perhitungan Kebutuhan Oksigen (O2):

Sebagai contoh, hasil penelitian di sebuah kota dengan luas 431 km2, jumlah penduduk 2,6 juta jiwa, jumlah kendaraan bermotor 200.000, maka: Kebutuhan O2 = 5,352 X 10 gram atau setara 5.709 X 10 gram berat

kering tanaman,

Untuk memproduksi oksigen oleh kelompok tanaman sebesar jumlah tersebut perlu dibuat:

(5.709 X 10) : 24 = 105.7 km2 atau 24.6% luas kota adalah RTH

Dengan catatan asumsi bahwa setiap meter persegi (m2) tanaman menghasilkan 54 gram bahan kering.

(2). Perhitungan Berdasar Kebutuhan Air:

Kebutuhan air dalam kota tergantung dari faktor: a. Kebutuhan air bersih per tahun b. Jumlah air yang dapat disediakan oleh PAM c. Potensi air saat ini d. Kemampuan hutan menyimpan air

Faktor-faktor di atas dapat ditulis dalam persamaan :

Po.K (1 + r - c) t - PAM - PaL = z

Keterangan: L = Luas hutan yang diperlukan untuk mencukupi kebutuhan air

(dalam Ha) Po = Jumlah penduduk kota pada tahun ke O K = Konsumsi air per kapita (liter/hari)

r = Laju kebutuhan air bersih (biasanya seiring dengan laju pertambahan penduduk kota setempat

t = tahun c = faktor koreksi (besarnya tergantung dari upaya pemerintah

dalam penurunan laju pertumbuhan penduduk) PAM = kapasitas suplai air oleh PAM (dalam M3/tahun) Pa = potensi air tanah saat ini z = kemampuan lahan menyimpan air (M3/Ha/tahun)

LAI diduga dengan menggunakan rumus:

LAI = CT [Ls - 0,27 x EXP ⎨0,035 CS 0.15 / (π(CS / 1,25) 2)⎬]

Keterangan: LS = Koefisien Bentuk Daun Rata-Rata (Mean Leaf-Shape

Coefficient) untuk masing-masing kelompok tumbuhan pembentuk hutan kota yang merupakan nisbah antara lebar daun dan panjang daun rata-rata.

CS = Koefisen Bentuk Tajuk Rata-Rata (Mean Crown-Shape Coefficient) untuk masing-masing kelompok tumbuhan pembentuk hutan kota, yang merupakan nisbah antara lebar tajuk dan tinggi tajuk rata-rata.

CT = Koefisien Model Arsitektur Tumbuhan (Plant Architectural Mode Coefficient), yang diperhitungkan berkisar antara 10-25, dengan rata-rata sebesar 19,72. LS, CS dan CT tidak diukur secara langsung di lapangan, melainkan dianaslisis (dirisalah) berdasarkan Model Arsitektur Pohon yang diperkenalkan pada tahun 1975 oleh Halle & Oldeman (Purnomohadi, 1995).

Berdasarkan pertimbangan isu-isu penting, luas RTH yang harus dibangun, khususnya pada kota-kota yang memiliki masalah kekurangan air bersih, sebaiknya ditetapkan berdasarkan pemenuhan kebutuhan akan air seperti rumus berikut (Sutisna et.al, 1987 dalam Dahlan, 1992) :

Po.K (1 + r - c) t – PAM . PaLa = z

L - 1

Keterangan: La = luas RTH kota yang harus dibangun Po = jumlah penduduk K = konsumsi air per kapita r = Laju peningkatan pemakaian air C = faktor pengendali PAM = kapasitas Suplai Perusahaan Air Minum t = tahun Pa = potensi air tanah z = kemampuan hutan kota dalam menyimpan air

Lain halnya pada kota berpenduduk padat, dengan jumlah kendaraan bermotor dan industri yang tinggi, maka luas RTH kota yang dibangun dapat dihitung berdasar pendekatan pemenuhan oksigen (Kunto, 1986), dengan rumus:

A . v + b . WL = 20

Keterangan: L = luas RTH kota (m2) a = kebutuhan oksigen per orang (kg/jam) b = rerataan kebutuhan oksigen per kendaraan bermotor

(Kg/jam) V = jumlah Penduduk W = jumlah kendaraan bermotor 20 = tetapan (kg/jam/Ha)

Kemudian dimodifikasi oleh Dahlan (2003) sebagai berikut:

Σ A.i. Vi + Σ Bi. WI + Σ Ci .ZiL = 20

Keterangan: L = Luas Hutan Kota (Ha) Ai = Kebutuhan Oksigen (O2) per orang (ug/jam) Bi = Kebutuhan Oksigen (O2) per satuan kendaraan bermotor

(kg/jam) Ci = Kebutuhan Oksigen (O2) per satuan industri (kg/jam) Vi = jumlah Penduduk

Wi = jumlah kendaraan bernotor dari berbagai jenis Zi = jumlah industri dari berbagai jenis 20 = konstanta (rerataan oksigen/O2) yang dihasilkan

(20kg/jam/Ha)

Selain menggunakan pendekatan Metode Kunto, penentuan luasan RTH berdasarkan kebutuhan oksigen, juga dapat dilakukan dengan Metode Gerakis (1974) yang dimodifikasi dalam Wisesa (1988) dengan rumus :

Pt + Kt + TtLt = (54)(0,9375)

Keterangan: Lt = luas RTH Kota pada Tahun ke-t (m2) Pt = jumlah kebutuhan oksigen bagi penduduk pada tahun ke-t Kt = jumlah kebutuhan oksigen bagi kendaraan bermotor pada

tahun ke–t Tt = jumlah Kebutuhan oksigen bagi ternak pada tahun ke-t 54 = tetapan yang menunjukan bahwa 1 m2 luas lahan

menghasilkan 54 gram berat kering tanaman per hari 0,9375 = tetapan yang menunjukan bahwa 1 gram berat kering

tanaman adalah setara dengan produksi oksigen 0,9375

L - 2

Lampiran 2 Kompilasi Dasar Hukum (Peraturan Perundang-undangan) RTH dan Perda Terkait RTH: UNDANG-UNDANG DASAR (UUD): UUD 1945, terutama Bab VI Pemerintahan Daerah Pasal 18A tentang wewenang dan pemanfaatan SDA, Bab XA HAM Pasal 28A, 28B (2), 28C (1), 28H (1), tentang hak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, Bab XIV Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial Pasal 33 (3) tentang pengelolaan bumi dan air dan kekayaan alam dikuasai negara untuk kemakmuran rakyat. UNDANG-UNDANG (UU): 1. UU No. 168 Staatsblad 1948 tentang Pembentukan Kota (UU Zaman

Kolonial Belanda) 2. UU No. 4/1982 yang disempurnakan dalam UU No. 23/1997 tentang

Ketentutan-ketenutan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup. 3. UU No. 11/1990 tentang Susunan Pemerintahan Daerah Khusus

Ibukota Negara Republik Indonesia yang disempurnakan dalam UU No. 34/1999 tentang Pemerintahan Khusus Ibu Kota Negara Jakarta.

4. UU No. 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

5. UU No. 4/1992 tentang Perumahan dan Pemukiman. 6. UU No. 5/1992 tentang Benda Cagar Budaya. 7. UU No. 24/1992 tentang Penataan Ruang. 8. UU No. 5/1994 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-

Bangsa Mengenai Keanekaragaman Hayati. 9. UU No. 6/1994 tentang Pengesahan Konvensi Kerangka Kerja

Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Perubahan Iklim. 10. UU No. 47/1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. 11. UU No. 18/1999 tentang Jasa Konstruksi. 12. UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah. 13. UU No. 28/2002 tentang Bangunan Gedung. 14. UU No. 63/2002 tentang Hutan Kota.

PERATURAN PEMERINTAH (PP): 1. PP No.18/1953 tentang Pelaksanaan Penyerahan sebagian Urusan

Pemerintah Pusat mengenai Pekerjaan Umum kepada Provinsi-provinsi serta Penegasan Tugas Mengenai Pekerjaan Umum dari Daerah Otonom Kabupaten, Kota Besar dan Kota Kecil di Jawa.

2. PP No. 69/1996 tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban, serta Bentuk dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang.

3. PP No. 41/1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara. 4. PP No. 4/2000 tentang Pengendalian Kerusakan dan/atau Pencemaran

Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan/atau Lahan.

5. PP No. 28/2000 tentang Usaha dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi. 6. PP No. 29/2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi. 7. PP No. 30/2000 tentang Pembinaan Jasa Konstruksi. 8. PP No. 82/2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian

Pencemaran Air. 9. PP No. 63/2002 tentang Hutan Kota. KEPUTUSAN PRESIDEN (KEPPRES): 1. Keppres RI No. 23/1979 tentang Peningkatan Peran Serta Generasi

Muda dalam Pelestarian Sumber Daya Alam. 2. Keppres No. 1/1987 tentang Pengesahan Amandemen 1979 atas

Konvensi Perdagangan Internasional Flora Fauna Langka (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna, 1973).

3. Keppres No 23/1992 tentang Pengesahan Konvensi Viena dan Protokol Motreal tentang Lapisan Ozon (Vienna Convention for the Ozone Layer, dan Montreal Protocol on Substances That Deplete The Ozone Layer As Adjusted and Amanded by The Second Meeting of Parties London, 27-29 June 1990).

KEPUTUSAN MENTERI (KEPMEN): 1. SKB Menhut dan Mendikbud No. 967A/Menhut-V/90 dan No.

0387/U/1990 tentang Peningkatan Peran Serta Pelajar, Mahasiswa dan

L - 3

Generasi Muda dalam Melestarikan Hutan, Tanah dan Air serta Lingkungan Hidup melalui Pendidikan Nasional.

2. Kepmendagri No. 363/1977 tentang Pedoman Pembentukan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah.

3. Kepmen PU No. 640/KPTS/1986 tentang Perencanaan Tata Ruang Kota.

4. Kepmen PU No. 378/KPTS/1987 tentang Pengesahan 33 Standar Konstruksi Bangunan Indonesia, khususnya pada lampiran 22 mengenai Petunjuk Perencanaan Kawasan Perumahan Kota. Dengan Permen PU No. 41/PRT/89 maka Standar Konstruksi ini telah disahkan menjadi Standar Nasional Indonesia (SNI) 1733-1989-F (Kebijaksanaan Teknis Menyangkut Ruang Terbuka Hijau, seperti Standar Perencanaan Sarana Olahraga dan Daerah Terbuka).

5. Kepmendagri No. 39/1992 tentang Organisasi Dinas Daerah. 6. Kepmendagri No. 80/1994 tentang Pedoman Organisasi dan tata Kerja

Dinas Lingkup Pekerjaan Umum Daerah. PERATURAN MENTERI (PERMEN): 1. Permendagri No. 2/1987 tentang Rencana Tata Ruang Kota. 2. Permendagri No. 4/1996 tentang Pedoman Perubahan Pemanfaatan

Lahan Perkotaan. INSTRUKSI MENTERI (INMEN): 1. Inmendagri No. 14/1988 tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau di

Wilayah Perkotaan. 2. Inmen PU No. 31/IN/N/1991 tentang Penghijauan dan Penanaman

Pohon di Sepanjang Jalan di Seluruh Indonesia. PERATURAN DAERAH (PERDA): 1. Keputusan DPR Gotong Royong DKI Jakarta No. 9/P/DPR-GR/1967

tentang Rencana Induk Djakarta 1965-1985, Perda DKI Jakarta No. 5/1984 tentang Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) Jakarta 1985-2005, dan Perda DKI Jakarta No. 6/1999 tentang Rencana Tata Ruang wilayah (RTRW) Jakarta 2000-2010.

2. Perda DKI Jakarta No.3/1972 yang diperbaharui dengan Perda DKI Jakarta No. 11/1988 tentang Ketertiban Umum di WilayahDKI Jakarta, termasuk didalamnya ketertiban umum di Ruang Terbuka Kota.

3. Perda DKI Jakarta No. 9/1982 tentang Pembentukan Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas Pertamanan DKI Jakarta, dimana Dinas Pertamanan DKI Jakarta adalah instansi pelaksana daerah dalam mengemban tugas pengelolaan Ruang Terbuka Hijau Kota Jakarta. Perda DKI Jakarta No. 7/1997 tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas Pertamanan dan Keindahan Kota DKI Jakarta, yang diperbaharui dengan Perda No. 3/2001 tentang Struktur Organisasi dan Tata Kerja Dinas Pertamanan DKI Jakarta.

4. Perda DKI Jakarta No. 9/1985 tentang Retribusi yang dipungut oleh dinas-dinas daerah, dimana Dinas Pertamanan DKI Jakarta adalah instansi pelaksana daerah pemungut retribusi di bidang pertamanan sesuai dengan Pasal 45. Perda ini diganti Perda No. 11/1996 tentang Retribusi Daerah Bidang Pembangunan DKI Jakarta.

5. Perda DKI Jakarta No. 9/1999 tentang Pelestarian dan Pemanfaatan Lingkungan dan Bangunan Cagar Budaya.

KEPUTUSAN GUBERNUR (SK GUB): 1. SK Gub. KDKI Jakarta No. 651/1979 tentang Kewajiban Para Pelajar

Sekolah Dasar dan Sekolah Lanjutan untuk Membiakkan Tanaman dan Menghijaukan Lingkungan Sekolah pada Sekolah-sekolah di Wilayah DKI Jakarta.

2. SK Gub. KDKI Jakarta No. 1885/1987 tentang Penyempurnaan SK Gub KDKI Jakarta No. 3498/1984 tentang Perluasan Penguasaan Peruntukan di bidang Tanah Proyek Nasional TMII di wilayah Jakarta Timur.

3. SK Gub. KDKI Jakarta No. 884/1989 tentang Penetapan Penguasaan Perencanaan/Peruntukan Bidang tanah seluas + 87.510 m2 untuk pembangunan bangunan kepentingan umum (sebagai kebun bibit pertamanan dan fasilitasnya) Dinas Pertamanan DKI Jakarta, yang terletak di Jl. Pos Pengumben, Kelurahan Srengseng, Kecamatan Kebon Jeruk, Jakarta barat.

4. SK Gub. KDKI Jakarta No. 1554/1989 tentang Gerakan Penghijauan Sepanjang Tahun.

L - 4

5. SK Gub. KDKI Jakarta No. 522/1991 tentang penggunaan Bidang tanah (eks Taman Ria Monas) seluas + 3,5 ha untuk taman parkir yang sifatnya sementara.

6. SK Gub. KDKI Jakarta No. 71/1993 tentang Pelimpahan Wewenang kepada Pemerintah Kotamadya di DKI Jakarta untuk melaksanakan sebagian tugas di bidang Pertamanan.

7. SK Gub. KDKI Jakarta No. 606/1993 tentang Pemberlakuan Tim Pelaksanaan Gerakan Penghijauan Sejuta Pohon di DKI Jakarta.

8. SK Gub. KDKI Jakarta No. 811/1993 tentang Rencana Strategis (Renstra) Pemda DKI Jakarta 1992-1997, yang diperbaharui Perda No…../2002 tentang Renstra Pemprov DKI Jakarta 2002-2007, yang diikuti penyusunan Renstra Dinas Pertamanan DKI Jakarta 2003-2007.

9. SK Gub. KDKI Jakarta No. 941/1993 tentang Pedoman Penyelenggaraan Renstra.

10. SK Gub. KDKI Jakarta No. 757/1993 tentang Juklak Pemungutan Retribusi Daerah di wilayah DKI Jakarta dan SK Gub KDKI Jakarta No. 1561/1997 tentang Juknis Pelayanan Pertamanan di DKI Jakarta.

INSTRUKSI GUBERNUR (INGUB): 1. Ingub KDKI Jakarta No. 1952/A/Inst/BKD/1975 tentang Masalah

Koordinasi Antar Instansi yang Berkaitan dengan Penghijauan. 2. Ingub KDKI Jakarta No. D.IV-104/c/1/76 tentang Pengaturan

Pemanfaatan Lahan yang Ditelantarkan oleh Para Pemiliknya. 3. Ingub KDKI Jakarta No. 110/1989 tentang Penertiban Taman-taman di

Wilayah DKI Jakarta. LAIN-LAIN: Surat Kanwil Dep. PU No. Ap.01.02.w10/220 tanggal 26 Agustus 1991 perihal Pengelolaan Taman pada Lahan di Lokasi-lokasi Proyek Sektoral Nasional Pekerjaan Umum di DKI Jakarta.

L - 5

Lampiran 3 Berbagai Pedoman, Standard RTH PUSTAKA LANJUTAN Achmadi, Umar Fahmi. 2004. Masalah dan Upaya Pemecahan Masalah

Kesehatan Lingkungan di Indonesia. Makalah disampaikan dalam rangka Pertemuan Nasional Pengembangan Program Kabupaten/ Kota Sehat di Indonesia. Dirjen PPM & PL, Departemen Kesehatan R.I. Atma Jaya.

Buijs, Steef. 1998. Engineering, Design and Environmental Aspects of Urban Waterfronts. Makalah presentasi Menteri Perumahan, Penataan Ruang dan Lingkungan Negeri Belanda pada Seminar Penataan Ruang Kawasan Perkotaan Tepi Air di Indonesia (tidak dipublikasikan).

Carpenter, Philip L., et.al. 1975. Plants in The Landscape. W.H Foreman & Company, San Francisco.

Charles Suryadi, 2004. Program Kota Sehat di Indonesia sebagai Bagian dari Pembangunan Kota yang Berkelanjutan. Pusat Penelitian Kesehatan UNIKA ATMAJAYA, Staf Bagian Kesehatan Masyarakat, FK Unika.

Chiara, Joseph De & Lee Koppelman. 1982. Urban Planning and Design Criteria. Van Nostrand Reinhold Company, NY.

Chiara, Joseph De & Lee Koppelman. 1978. Site Planning Standard. McGraw-Hill Book Company, NY.

Dinas Museum dan Sejarah DKI Jakarta, 1997. Pemukim dan Pemukiman di Wilayah DKI Jakarta.

Emmerling-Dinovo, Carol, 1988. “Retention Basin design: An Alternative Approach Based on Ecological Principles”. Conference Proceedings. Paper presented at: Council of Educators in Landscape Architecture’ (CELA) Yearly Conference in 1988, with the theme ’Sustainable Landscape” in California State Polytechnic University, Pomona. USA.

Frick, Heinz dan FX Bambang Suskiyatno. 1998. Dasar-Dasar Ako-Arsitektur, Konsep Arsitektur Berwawasan Lingkungan serta Kualitas Konstruksi dan Bahan Bangunan untuk Rumah Sehat dan Dampaknya Atas Kesehatan Manusia. Penerbit Kanisius, Soegijapranata University Press. ISBN 979-672-127-9, cetakan ke-5.

Grey, Jane W. & Frederick C. Deneke: 1978. Urban Forestry. John Wiley & Sons Book Company, Inc.,

Gunadi, Sugeng. 1995. Arti RTH Bagi Sebuah Kota. Makalah pada Buku: “Pemanfaatan RTH di Surabaya”, bahan bacaan bagi masyarakat serta para pengambil keputusan Pemerintahan Kota.

Haeruman, Herman dan Ning Purnomohadi, 1980. Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup dalam Kerangka Strategi Pengembangan Wilayah. Bahan Kuliah FPS-IPB, Bogor. (Tidak dipublikasikan).

Haeruman, Herman. 1995. Pembangunan Kota yang Berwawasan Lingkungan. Bahan dipersiapkan untuk artikel di majalah SERASI, diterbitkan sebagai majalah berkala oleh kantor KLH.

Jellicoe, Geoffrey and Susan. 1971. WATER, The Use of Water in Landscape Architecture. Published by: Adams & Charles Black, London.

Laurie, Michael. 1975. An Introduction to Landscape Architecture, Department of Landscape Architecture University of California. Berkeley, American Elsevier Publishing Company, Inc. Vanderbilt Avenue, New York 10017.

Lynch, Kevin. 1967. Site Planning. Houghton Mifflin Company, Boston. Murdiyarso, Daniel. 1988. Hubungan Air – Tanaman, bahan kuliah di

Jurusan Geofisika dan Meteorologi, Institut Pertanian Bogor (tidak dipublikasikan).

Purnomohadi, Ning. 2002. Pengendalian Bencana Banjir di Jakarta. Makalah untuk Memperingati Hari Air Sedunia, 22 Maret 2002. Artikel untuk Jurnal Arsitektur Lansekap Indonesia (JALI).

Purnomohadi, Ning. 2002. Pengelolaan RTH Kota dalam Tatanan Program BANGUN PRAJA Lingkungan Perkotaan yang Lestari di NKRI. Widyaiswara LH, Bidang Manajemen SDA dan Lingkungan. KLH.

Purnomohadi, Ning. 1999. Pembangunan yang Berwawasan Lingkungan Jangka Panjang bagi Kota-kota Pantai dan Kehidupan Lingkungan Perairan di Depannya (Kasus Jakarta dan Perairan Kepulauan Seribu). Makalah dipresentasikan Diskusi Panel Pengelolaan Dampak Kota Besar Terhadap Perairan di Depannya, Jakarta, 7-8 April 1999.

Purnomohadi, Srihartiningsih. 1994. Ruang Terbuka Hijau dan Pengelolaan Kualitas Udara di Metropolitan Jakarta. Disertasi (tidak dipublikasikan), Program Pasca Sarjana IPB, Jurusan Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL). Bogor.

Rishadi, Haryoso. ----. Pengembangan Runag Terbuka Hijau Pemerintahan Kota Surabaya. Pemaparan Dinas Pertamanan, dalam rangka Rakor Fasilitasi Perkembangan Perkotaan. PemKot Surabaya. Jl. Menur 31-C, Surabaya.

L - 6

Salfifi, Atje Dimjati. 1980. Sebuah Studi Menuju Konsepsi Perencanaan Landscape untuk Perumusan Rencana Induk Jakarta 1985-2005, Fakultas Arsitektur Lansekap Trisakti, Jakarta.

Salim, Emil, 1982. Membangun Tanpa Kerusakan Lingkungan. Makalah pada Pembukaan Penataran Analisis Dampak Lingkungan, PSL IPB dan UI, Jakarta.

Smith, Maf et.al , 1998. Greening The Built Environment. Steele, James. 2005. “Ecological Architecture, a Critical History” Thames

and Hudson Ltd, London, UK. Takahshi, Rikio. 1989. Parks and Open Space Planning. Makalah diskusi

persiapan ‘International Garden and Greenery Exposition, 2000’, Osaka International Training Centre, Japan International Cooperation Acengy (JICA). Urban Redevelopment Authority, 1992. Towards A tropical City of Excellence. Singapore River Development Guuide Plan, Draft-Augus 1992.

Van der Hagen Harrie and Ir Danny Lim, 2005. Perjuangan Melawan Air, Departemen Transport dan Perairan, Harrie van der Hagen dan Ir. Danny Lim/Prima Score, 28 November 2005.

Vale, Brenda and Robert. 1991. Green Architecture: Design for A Sustainable Future. Thames & Hudson Ltd, London. Printed and bound in Singapore by Toppan.

Van Stenis, Dr.C.G.G.J. 1875. Flora. PT Pradnya Paramita, Jakarta Pusat Wiliam, Eduard A., et.al, 1969. The Urban Metropolitan Open Space Study,

Diablo Press, San Francicso, 1969. Wirasonjaya, Slamet, 1982. Prospek Tata Ruang DKI Jakarta. Makalah

pada Simposium Penyusunan Rencana Induk Pembangunan DKI 1985-2005, Jakarta 1982.

Wirakusumah, Sambas. 1987. Suatu Pemikiran Program Hutan Kota untuk Jakarta. Makalah untuk Seminar Hutan Kota DKI Jakarta.

----------, 1990. Proceeding Seminar: “Pembinaan dan Aktualisasi Ruang Terbuka HIjau di Wilayah Perkotaan”, dalam rangkaian acara Pekan Seni Flora, Fauna dan Lingkungan, Ruang Pola Bappeda DKI Jakarta, bali Kota Blok G lantai 2, Jakarta 1990.

----------, 1979. Landscape Towards 2000, Conservation or Desolation, The andscape Institute, London, 1979.

----------, 1981. Perencanaan Landscape dalam Penataan Bentuk dan Ruang Kota. Makalah pada Simposium Ikatan Arsitek Indonesia (IAI), Jakarta.

----------, 1982. Laporan Sektor Ruang Terbuka Hijau dan Rekreasi, Team Penyusunan Rencana Induk DKI Jakarta 1985-2005, 1982.

----------, 1983. Perencanaan Landscape dalam Tata Ruang Kota, Makalah pada Temu Wicara HIPEL, Jakarta, 1983.

-----------, 1985. Dampak Estetika pada Bentang Alam. Makalah pada kursus Dasar-Dasar Analisis Dampak Lingkungan. Universitas Indonesia, Jakarta 1985.

----------, Departemen Dalam Negeri, 1987. Instruksi Menteri Dalam Negeri (Inmendagri) No. 14, Tahun 1987, tentang Penataan RTH di Wilayah Perkotaan.

----------, Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL), 1992. Gazetteer Nama-nama Pulau & Kepulauan di Indonesia. Dok. No.: 26/1992. ISSN : 0216–4982. Kerjasama BAKOSURTANAL dengan Fakultas Matematika Ilmu Pasti Alam, Jurusan Geografi, Universitas Indonesia.

----------, Konstruksi, 1995. RTH Kota – Jakarta. Majalah Konstruksi, Maret 1995, Rubrik Lingkungan.

----------, Kementerian Lingkungan Hidup. 2001. Pedoman Kebijakan dan Strategi Pengembangan RTH dan Penghijauan Kota (Draft 3). 15 November 2001. (Tidak dipublikasikan).

----------, 1997. Buku Panduan: Wall Chart Hubungan Timbal-Balik Antara Manusia dan Lingkungan. Penerbit: PPPGT/VEDC, Jl. Teluk Mandar, Arjosari. Tromol Pos 5, Malang 65102. Bekerja sama dengan Swisscontact, atas dukungan biaya Swiss Agency for Development and’ Cooperation (SDC), Edisi Pertama, Malang 1997; dan Validasi dari BAPEDAL, Direktorat Pengembangan Kelembagaan/SDM. Percetakan offset, Surabaya.

L - 7

Gambar 10: Tujuh unsur yang berpengaruh pada ‘kualitas kehidupan’ manusia.

Kualitas

Kehidupan

Arsitektur tempat tinggal, dan mobilitas

Lingkungan alam, pencemaran air &

Makanan dan kesehatan

Re- kreasi & Li- buran

Pendidikan dan

Keluarga, teman-teman, komunikasi,

Pendapatan, keu-angan, dan ekonomi

L - 8