29
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang kebudayaan merupakan kompleks budi dan daya, bukan semata-mata kesenian dan kekriyaan. Kesenian dan kebudayaan dapat mengalami perubahan dan transformasi dari masa ke masa. Semakin meningkatnya apresiasi seni dan budaya telah menunjukkan bahwa seni dan budaya merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Orang Betawi sebagai penduduk asli kota Jakarta, diyakini oleh banyak ahli merupakan perpaduan dari beberapa kelompok etnis budaya yang tinggal bersama-sama selama beberapa abad seperti Sunda, Jawa, Arab, Bali, Bugis, Sumbawa, Ambon, Cina dan Melayu. Oleh karena itu, beberapa produk budayanya termasuk arsitektur juga mencerminkan perpaduan tersebut. Sejak menjadi ibukota, laju pembangunan di kota Jakarta telah membuat orang Betawi tercerabut dari kelompoknya sehingga mempersulit komunikasi di antara mereka. Orang Betawi menjadi semakin terdesak dan tergusur. Akibatnya ribuan orang Betawi pindah dan bercerai berai ke pinggiran kota. Menurut Saidi (1996), orang Betawi telah berusaha untuk memelihara eksistensi budayanya. Namun, pendukung kebudayaan Betawi di Jakarta kian hari kian menipis. Pada dekade I970an, pemerintah berinisiatif untuk membuat konservasi budaya kampung Betawi di wila Condet. Namun pembangunan yang spekulatif ini justru telah meminggirkan orang Betawi Pinggir di Conder dengan dibukanya wilayah ini. Pada dekade I990 an jumlah orang Betawi di Condet yang diperkirakan tinggal 30% merupakan jumlah yang optimistis. Belajar dari pengalaman ini, pada dekade 2000an pemerintah mengembangkan lagi konservasi budaya di Setu Babakan. Dalam upaya ini, arsitektur vernakular baru dibangun untuk menggantikan bangunan tua,

rumah betawi

Embed Size (px)

DESCRIPTION

menjelaskan tetang arsitektur rumah betawi

Citation preview

Page 1: rumah betawi

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

kebudayaan merupakan kompleks budi dan daya, bukan semata-mata kesenian dan

kekriyaan. Kesenian dan kebudayaan dapat mengalami perubahan dan transformasi dari masa

ke masa. Semakin meningkatnya apresiasi seni dan budaya telah menunjukkan bahwa seni

dan budaya merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia.

Orang Betawi sebagai penduduk asli kota Jakarta, diyakini oleh banyak ahli

merupakan perpaduan dari beberapa kelompok etnis budaya yang tinggal bersama-sama

selama beberapa abad seperti Sunda, Jawa, Arab, Bali, Bugis, Sumbawa, Ambon, Cina dan

Melayu. Oleh karena itu, beberapa produk budayanya termasuk arsitektur juga mencerminkan

perpaduan tersebut. Sejak menjadi ibukota, laju pembangunan di kota Jakarta telah membuat

orang Betawi tercerabut dari kelompoknya sehingga mempersulit komunikasi di antara mereka.

Orang Betawi menjadi semakin terdesak dan tergusur. Akibatnya ribuan orang Betawi pindah

dan bercerai berai ke pinggiran kota. Menurut Saidi (1996), orang Betawi telah berusaha untuk

memelihara eksistensi budayanya. Namun, pendukung kebudayaan Betawi di Jakarta kian hari

kian menipis. Pada dekade I970an, pemerintah berinisiatif untuk membuat konservasi budaya

kampung Betawi di wila Condet. Namun pembangunan yang spekulatif ini justru telah

meminggirkan orang Betawi Pinggir di Conder dengan dibukanya wilayah ini. Pada dekade I990

an jumlah orang Betawi di Condet yang diperkirakan tinggal 30% merupakan jumlah yang

optimistis. Belajar dari pengalaman ini, pada dekade 2000an pemerintah mengembangkan lagi

konservasi budaya di Setu Babakan. Dalam upaya ini, arsitektur vernakular baru dibangun

untuk menggantikan bangunan tua, disertai dengan konservasi terhadap pertanian, seni dan

makanan untuk menarik wisatawan. Di wilayah pesisir, orang Betawi Pesisir "bertemu" dengan

orang Cina dan Bugis. Pertemuan ini telah menghasilkan arsitektur vernakular bergaya Cina

pedesaan di wilayah Teluk Naga, Tangerang dan Bugis nelayan di wilayah Kamal

Muara,Jakarta Utara. Sementara di wilayah selatan, orang Betawi Udik "berternu" dengan

orang Sunda yang menghasilkan arsitektur vernakular rumah panggung di wilayah Kranggan,

Bekasi. Makalah ini merupakan kajian terhadap arsitektur vernakular di lima wilayah Jakarta

dan sekitarnya yang meliputi Teluk Naga, Kamal Muara, Condet, Setu Babakan, dan Kranggan.

Beberapa aspek kajian antara lain adalah spasial, aksesibilitas, tampak bangunan, dan

ornamen bangunan.

Page 2: rumah betawi

1.2. Tujuan

Berdasarkan latar belakang yang ada, penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengetahui sejarah arsitektur tradisional/vernakular rumah betawi

2. Memahami dan menganalisis konsep bangunan vernacular rumah betawi yang menjadi

konservasi budaya di daerah jakarta

3. Mengetahui bentukan rumah betawi serta detail dan sirkulasi ruangnya

4. Mengetahui bentuk penerapan/aplikasi/apresiasi (modern/vernakular) dalam bangunan

rumah betawi

5. Memahami dan menganalisis potensi yang ditimbulkan dalam pengembangan

konservasi budaya terhadap daerah rumah betawi

1.3. Metode penulisan

Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode kualitatif. Yang mana

secara garis besar metode yang dipakai digunakan untuk mendapatkan data dan informasi

selengkapnya mengenai kondisi fisik, yaitu metode pengamatan, menentukan variabel

perbandingan karakteristik dan wawancara dengan pemilik bangunan atau masyarakat sekitar.

Data yang terkumpul kemudian dianalisis secara deskriptif dan komparatif.

Page 3: rumah betawi

BAB II

OBYEK STUDI

2.1 Obyek Arsitektur Tradisional/Vernakular

Kota Jakarta terletak pada 106 derajat 49′ 35″ Bujur Timur dan 06 derajat 10′ 37″

Lintang Selatan. Luas Wilayah 650,40 Km2 (termasuk Kepulauan Seribu, 9.20 Km2). Berada di

dataran rendah pantai Utara Bagian Barat Pulau Jawa. Terdapat sekitar 10 buah sungai alam

dan buatan.

a. Lokasi dan Tempat Demografi

Kawasan Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan Kelurahan Srengseng Sawah

Kecamatan Jagakarsa Kota Administrasi Jakarta Selatan luas ±289 Ha.

Batas fisik ; sebelah utara Jl. Mochamad Kahfi II sampai dengan Jl. Desa Putra (Jl. H.

Pangkat), sebelah timur Jl. Desa Putra (H. Pangkat) Jl. Pratama (Wika, Mangga Bolong Timur)

Jl. Lapangan Merah, sebelah selatan batas wilayah Provinsi DKI Jakarta dengan Kota Depok,

sebelah barat Jl. Mohammad Kahfi II

Setu Babakan atau Danau Babakan terletak di Srengseng Sawah, kecamatan

Jagakarsa,  Jakarta Selatan, Indonesia dekat Depok yang berfungsi sebagai pusat

Perkampungan Budaya Betawi, suatu area yang dijaga untuk menjaga warisan budaya Jakarta,

yaitu budaya asli Betawi. Situ atau setu Babakan merupakan danau buatan dengan area 32

hektar (79 akre) dimana airnya berasal dari Sungai Ciliwung dan saat ini digunakan untuk

memancing bagi warga sekitarnya. Danau ini juga merupakan tempat untuk rekreasi air seperti

memancing, sepeda air, atau bersepeda mengelilingi tepian setu.

Page 4: rumah betawi

b. Asal Muasal Sejarah Tempat

Suku Betawi adalah sebuah suku bangsa di Indonesia yang penduduknya umumnya

bertempat tinggal di Jakarta.

Sejumlah pihak berpendapat bahwa Suku Betawi berasal dari hasil kawin-mawin

antaretnis dan bangsa di masa lalu. Secara biologis, mereka yang mengaku sebagai orang

Betawi adalah keturunan kaum berdarah campuran aneka suku dan bangsa yang didatangkan

oleh Belanda ke Batavia. Apa yang disebut dengan orang atau suku Betawi sebenarnya

terhitung pendatang baru di Jakarta. Kelompok etnis ini lahir dari perpaduan berbagai kelompok

etnis lain yang sudah lebih dulu hidup di Jakarta, seperti orang Sunda, Melayu, Jawa, Arab,

Bali, Bugis, Makassar, Ambon, dan Tionghoa.

Dimana semua sketsa sejarahanya dimulai pada tahun 1673 (Pada Akhir Abad ke

17), sketsa inilah yang oleh sebagian ahli lainnya dirasakan kurang lengkap untuk menjelaskan

asal mula Suku Betawi dikarenakan dalam Babad Tanah Jawa yang ada pada abad ke 15

(tahun 1400-an Masehi) sudah ditemukan kata "Negeri Betawi". Suku Betawi secara geografis

terletak di pulau Jawa, namun secara sosiokultural lebih dekat pada budaya Melayu Islam.

Sejak menjadi ibukota, laju pembangunan di kota Jakarta telah membuat orang

Betawi tercerabut dari kelompoknya sehingga mempersulit komunikasi di antara mereka. Orang

Betawi menjadi semakin terdesak dan tergusur. Akibatnya ribuan orang Betawi pindah dan

bercerai berai ke pinggiran kota. Menurut Saidi (1996), orang Betawi telah berusaha untuk

memelihara eksistensi budayanya. Namun, pendukung kebudayaan Betawi di Jakarta kian hari

kian menipis. Pada dekade I970an, pemerintah berinisiatif untuk membuat konservasi budaya

kampung Betawi di wila Condet. Namun pembangunan yang spekulatif ini justru telah

meminggirkan orang Betawi Pinggir di Condet dengan dibukanya wilayah ini. Pada dekade I990

an jumlah orang Betawi di Condet yang diperkirakan tinggal 30% merupakan jumlah yang

optimistis. Belajar dari pengalaman ini, pada dekade 2000an pemerintah mengembangkan lagi

konservasi budaya di Setu Babakan yang kini dikenal dengan Perkampungan Budaya Betawi.

Perkampungan Budaya Betawi adalah satu kawasan di Jakarta Selatan dengan

Komunitas yang ditumbuhkan kembangkan budaya yang meliputi seluruh hasil gagasan dan

karya baik fisik maupun non fisik yaitu : Kesenian, adat istiadat, Foklor, Kesastraan dan

Kebahasaan, Kesejahteraan serta bangunan yang bercirikan kebetawian.

Page 5: rumah betawi

Setu Babakan adalah sebuah kawasan perkampungan yang ditetapkan Pemerintah

Jakarta sebagai tempat pelestarian dan pengembangan budaya Betawi secara

berkesinambungan. Perkampungan yang terletak di selatan Kota Jakarta ini merupakan salah

satu objek wisata yang menarik bagi wisatawan yang ingin menikmati suasana khas pedesaan

atau menyaksikan budaya Betawi asli secara langsung. Di perkampungan ini, masyarakat Setu

Babakan masih mempertahankan budaya dan cara hidup khas Betawi,  memancing, bercocok

tanam, berdagang, membuat kerajinan tangan, dan membuat makanan khas Betawi. Melalui

cara hidup inilah, mereka aktif menjaga lingkungan dan meningkatkan taraf hidupnya.

Setu Babakan adalah kawasan hunian yang memiliki nuansa yang masih kuat dan

murni baik dari sisi budaya, seni pertunjukan, jajanan, busana,, rutinitas keagamaan, maupun

bentuk rumah Betawi. Dari perkampungan yang luasnya 289 Hektar, 65 hektar di antaranya

adalah milik pemerintah di mana yang baru dikelola hanya 32 hektar. Perkampungan  ini

didiami setidaknya 3.000 kepala keluarga. Sebagian besar penduduknya adalah orang asli

Betawi yang sudah turun temurun tinggal di daerah tersebut. Sedangkan sebagian kecil lainnya

adalah para pendatang, seperti pendatang dari Jawa Barat, jawa tengah, Kalimantan, dll yang

sudah tinggal lebih dari 30 tahun di daerah ini.

Page 6: rumah betawi

Setu Babakan, sebagai sebuah kawasan Cagar Budaya Betawi, sebenarnya

merupakan objek wisata yang terbilang baru. Peresmiannya sebagai kawasan cagar budaya

dilakukan pada tahun 2004, yakni bersamaan dengan peringatan HUT DKI Jakarta ke-474.

Perkampungan ini dianggap masih mempertahankan dan melestarikan budaya khas Betawi,

seperti bangunan, dialek bahasa, seni tari, seni musik, dan seni drama.

Dalam sejarahnya, penetapan Setu Babakan sebagai kawasan Cagar Budaya Betawi

sebenarnya sudah direncanakan sejak tahun 1996. Sebelum itu, Pemerintah DKI Jakarta juga

pernah berencana menetapkan kawasan Condet, Jakarta Timur, sebagai kawasan Cagar

Budaya Betawi, namun urung (batal) dilakukan karena seiring perjalanan waktu perkampungan

tersebut semakin luntur dari nuansa budaya Betawi-nya. Dari pengalaman ini, Pemerintah DKI

Jakarta kemudian merencanakan kawasan baru sebagai pengganti kawasan yang sudah

direncanakan tersebut. Melalui SK Gubernur No. 9 tahun 2000 dipilihlah perkampungan Setu

Babakan sebagai kawasan Cagar Budaya Betawi. Sejak tahun penetapan ini, pemerintah dan

masyarakat mulai berusaha merintis dan mengembangkan perkampungan tersebut sebagai

kawasan cagar budaya yang layak didatangi oleh para wisatawan. Setelah persiapan dirasa

cukup, pada tahun 2004, Setu Babakan diresmikan oleh Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso,

sebagai kawasan Cagar Budaya Betawi. Sebelum itu, perkampungan Setu Babakan juga

merupakan salah satu objek yang dipilih Pacifik Asia Travel Association (PATA) sebagai tempat

kunjungan wisata bagi peserta konferensi PATA di Jakarta pada bulan Oktober 2002.

c. Sistem Kepercayaan dan Religi

Sebagian besar Orang Betawi menganut agama Islam, tetapi yang menganut agama

Kristen; Protestan dan Katolik juga ada namun hanya sedikit sekali. Di antara suku Betawi yang

beragama Kristen, ada yang menyatakan bahwa mereka adalah keturunan campuran antara

penduduk lokal dengan bangsa Portugis. Hal ini wajar karena pada awal abad ke-16,

Surawisesa, raja Pajajaran mengadakan perjanjian dengan Portugis yang membolehkan

Page 7: rumah betawi

Portugis membangun benteng dan gudang di pelabuhan Sunda Kalapa sehingga terbentuk

komunitas Portugis di Sunda Kalapa. Komunitas Portugis ini sekarang masih ada dan menetap

di daerah Kampung Tugu, Jakarta Utara.

d. Bahasa

Sifat campur-aduk dalam bahasa Betawi atau Melayu Dialek Jakarta atau Melayu

Batavia adalah cerminan dari kebudayaan Betawi secara umum, yang merupakan hasil dari

asimilasi kebudayaan, baik yang berasal dari daerah-daerah lain di Nusantara maupun

kebudayaan asing.

Ada juga yang berpendapat bahwa suku bangsa yang mendiami daerah sekitar

"Kalapa" (sekarang Jakarta) juga dikelompokkan sebagai suku Betawi awal (proto Betawi).

Menurut sejarah, Kerajaan Tarumanagara, yang berpusat di Sundapura, pernah diserang dan

ditaklukkan oleh kerajaan Sriwijaya dari Sumatera. Oleh karena itu, tidak heran kalau penduduk

asli Betawi yang pada awalnya berbahasa Kawi dan mendiami daerah sekitar pelabuhan Sunda

Kalapa (jauh sebelum Sumpah Pemuda) sudah menggunakan bahasa Melayu, bahkan ada

juga yang mengatakan suku lainnya semisal suku Sunda yang mendiami wilayah inipun juga

ikut menggunakan Bahasa Melayu yang umum digunakan di Sumatera dan Kalimantan Barat,

penggunaan bahasa ini dikarenakan semakin banyaknya pendatang dari wilayah Melayu

lainnya semisal Kalimantan Barat dikarenakan dianggap abainya Syailendra ketika dimintai

tolong oleh Sriwijaya untuk menjaga wilayah perairan laut sebelah barat Sungai Cimanuk

sebagai hasil Perjanjian Damai Sriwijaya - Kediri yang dimediasi oleh China yang kemudian

dijadikan sebagai bahasa nasional.

Karena perbedaan bahasa yang digunakan antara suku Betawi dengan suku Sunda

diwilayah lainnya tersebut maka pada awal abad ke-20, Belanda menganggap orang yang

tinggal di sekitar Batavia sebagai etnis yang berbeda dengan etnis Sunda dan menyebutnya

sebagai etnis Betawi. Walau demikian, masih banyak nama daerah dan nama sungai yang

masih tetap dipertahankan dalam bahasa Sunda seperti kata Ancol, Pancoran, Cilandak,

Ciliwung, Cideng (yang berasal dari Cihideung dan kemudian berubah menjadi Cideung dan

tearkhir menjadi Cideng), dan lain-lain yang masih sesuai dengan penamaan yang digambarkan

dalam naskah kuno Bujangga Manik[8] yang saat ini disimpan di perpustakaan Bodleian, Oxford,

Inggris.

Page 8: rumah betawi

Meskipun bahasa formal yang digunakan di Jakarta adalah Bahasa Indonesia,

bahasa informal atau bahasa percakapan sehari-hari adalah Bahasa Indonesia dialek Betawi.

Dialek Betawi sendiri terbagi atas dua jenis, yaitu dialek Betawi tengah dan dialek Betawi

pinggir. Dialek Betawi tengah umumnya berbunyi "é" sedangkan dialek Betawi pinggir adalah

"a". Dialek Betawi pusat atau tengah seringkali dianggap sebagai dialek Betawi sejati, karena

berasal dari tempat bermulanya kota Jakarta, yakni daerah perkampungan Betawi di sekitar

Jakarta Kota, Sawah Besar, Tugu, Cilincing, Kemayoran, Senen, Kramat, hingga batas paling

selatan di Meester (Jatinegara). Dialek Betawi pinggiran mulai dari Jatinegara ke Selatan,

Condet, Jagakarsa, Depok, Rawa Belong, Ciputat hingga ke pinggir selatan hingga Jawa Barat.

Contoh penutur dialek Betawi tengah adalah Benyamin S., Ida Royani dan Aminah

Cendrakasih, karena mereka memang berasal dari daerah Kemayoran dan Kramat Sentiong.

Sedangkan contoh penutur dialek Betawi pinggiran adalah Mandra dan Pak Tile. Contoh paling

jelas adalah saat mereka mengucapkan kenape/kenapa'' (mengapa). Dialek Betawi tengah

jelas menyebutkan "é", sedangkan Betawi pinggir bernada "a" keras mati seperti "ain" mati

dalam cara baca mengaji Al Quran.

e. Sistem Pemerintahan

Untuk sistem pemerintahannya sendiri mengikuti status sebagai ibu kota negara

Republik Indonesia presidensial yang merupakan suatu kawasan administrative. menjadi pusat

pemerintahan juga dikenal sebagai kota perdagangan dan kebudayaan. Dengan kedudukannya

sebagai ibu kota Republik Indonesia, ia merupakan pusat kegiatan kebudayaan yang

jaringannya meliputi suatu kompleks satuan-satuan administrasi, politik, ekonomi, dan

komunikasi.(Suparlan, 1980)

f. Kesenian

Seni dan Budaya asli Penduduk Jakarta atau Betawi dapat dilihat dari temuan

arkeologis, semisal giwang-giwang yang ditemukan dalam penggalian di Babelan, Kabupaten

Bekasi yang berasal dari abad ke 11 masehi. Selain itu budaya Betawi juga terjadi dari proses

campuran budaya antara suku asli dengan dari beragam etnis pendatang atau yang biasa

dikenal dengan istilah Mestizo . Sejak zaman dahulu, wilayah bekas kerajaan Salakanagara

atau kemudian dikenal dengan "Kalapa" (sekarang Jakarta) merupakan wilayah yang menarik

pendatang dari dalam dan luar Nusantara, Percampuran budaya juga datang pada masa

Kepemimpinan Raja Pajajaran, Prabu Surawisesa dimana Prabu Surawisesa mengadakan

Page 9: rumah betawi

perjanjian dengan Portugal dan dari hasil percampuran budaya antara Penduduk asli dan

Portugal inilah lahir Keroncong Tugu.

Adapun beberapa kesenian yang dilestarikan antara lain:

Musik

Dalam bidang kesenian, misalnya, orang Betawi memiliki seni Gambang Kromong

yang berasal dari seni musik Tionghoa, tetapi juga ada Rebana yang berakar pada tradisi musik

Arab, orkes Samrah berasal dari Melayu, Keroncong Tugu dengan latar belakang Portugis-

Arab, dan Tanjidor yang berlatarbelakang ke-Belanda-an. Saat ini Suku Betawi terkenal dengan

seni Lenong, Gambang Kromong, Rebana Tanjidor dan Keroncong. Betawi juga memiliki lagu

tradisional seperti "Kicir-kicir".

Tari

Seni tari di Jakarta merupakan perpaduan antara unsur-unsur budaya masyarakat

yang ada di dalamnya. Contohnya tari Topeng Betawi, Yapong yang dipengaruhi tari Jaipong

Sunda, Cokek, tari silat dan lain-lain. Pada awalnya, seni tari di Jakarta memiliki pengaruh

Sunda dan Tiongkok, seperti tari Yapong dengan kostum penari khas pemain Opera Beijing.

Namun Jakarta dapat dinamakan daerah yang paling dinamis. Selain seni tari lama juga muncul

seni tari dengan gaya dan koreografi yang dinamis.

Drama

Drama tradisional Betawi antara lain Lenong dan Tonil. Pementasan lakon tradisional

ini biasanya menggambarkan kehidupan sehari-hari rakyat Betawi, dengan diselingi lagu,

pantun, lawak, dan lelucon jenaka. Kadang-kadang pemeran lenong dapat berinteraksi

langsung dengan penonton.

Cerita rakyat

Cerita rakyat yang berkembang di Jakarta selain cerita rakyat yang sudah dikenal

seperti Si Pitung, juga dikenal cerita rakyat lain seperti serial Jagoan Tulen atau si jampang

yang mengisahkan jawara-jawara Betawi baik dalam perjuangan maupun kehidupannya yang

dikenal "keras". Selain mengisahkan jawara atau pendekar dunia persilatan, juga dikenal cerita

Page 10: rumah betawi

Nyai Dasima yang menggambarkan kehidupan zaman kolonial. cerita lainnya ialah Mirah dari

Marunda, Murtado Macan Kemayoran, Juragan Boing dan yang lainnya.

Teater tradisional

Lenong adalah teater tradisional Betawi. Kesenian tradisional ini diiringi musik

gambang kromong dengan alat-alat musik seperti gambang, kromong, gong, kendang, kempor,

suling, dan kecrekan, serta alat musik unsur Tionghoa seperti tehyan, kongahyang, dan sukong.

Lakon atau skenario lenong umumnya mengandung pesan moral,yaitu menolong yang lemah,

membenci kerakusan dan perbuatan tercela. Bahasa yang digunakan dalam lenong adalah

bahasa Melayu (atau kini bahasa Indonesia) dialek Betawi. Sejarah Lenong Lenong

berkembang sejak akhir abad ke-19 atau awal abadke-20. Kesenian teatrikal tersebut mungkin

merupakan adaptasi oleh masyarakat Betawi atas kesenian serupa seperti “komedi

bangsawan” dan “teater stambul” yang sudah ada saat itu. Selain itu, Firman Muntaco, seniman

Betawi, menyebutkan bahwa lenong berkembang dari proses teaterisasi musik gambang

kromong dan sebagai tontonan sudah dikenal sejak tahun 1920-an. Lakon-lakon lenong

berkembang dari lawakan-lawakan tanpa plot cerita yang dirangkai-rangkai hingga menjadi

pertunjukan semalam suntuk dengan lakon panjang dan utuh. Pada mulanya kesenian ini

dipertunjukkan dengan mengamen dari kampung ke kampung. Pertunjukan diadakan di udara

terbuka tanpa panggung. Ketika pertunjukan berlangsung, salah seorang aktor atau aktris

mengitari penonton sambil meminta sumbangan secara sukarela. Selanjutnya, lenong mulai

dipertunjukkan atas permintaan pelanggan dalam acara-acara di panggung hajatan seperti

resepsi pernikahan. Baru di awal kemerdekaan, teater rakyat ini murni menjadi tontonan

panggung. Setelah sempat mengalami masa sulit, pada tahun 1970-an kesenian lenong yang

dimodifikasi mulai dipertunjukkan secara rutin di panggung Taman Ismail Marzuki, Jakarta.

Selain menggunakan unsur teater modern dalam plot dan tata panggungnya, lenong yang

direvitalisasi tersebut menjadi berdurasi dua atau tiga jam dan tidak lagi semalam suntuk.

Selanjutnya, lenong juga menjadi populer lewat pertunjukan melalui televisi, yaitu yang

ditayangkan oleh Televisi Republik Indonesia mulai tahun 1970-an. Beberapa seniman lenong

yang menjadi terkenal sejak saat itu misalnya adalah Bokir, Nasir, Siti, dan Anen. Jenis lenong

Terdapat dua jenis lenong yaitu lenong denes dan lenong preman. Dalam lenong denes (dari

kata denes dalam dialek Betawi yang berarti “dinas” atau “resmi”), aktor dan aktrisnya

umumnya mengenakan busana formal dan kisahnya ber-seting kerajaan atau lingkungan kaum

bangsawan, sedangkan dalam lenong preman busana yang dikenakan tidak ditentukan oleh

sutradara dan umumnya berkisah tentang kehidupan sehari-hari. Lenong denes dapat dianggap

Page 11: rumah betawi

sebagai pekembangan dari beberapa bentuk teater rakyat Betawi yang dewasa ini telah

punah,yaitu wayang sumedar, senggol, dan wayang dermuluk. Sedang lenong preman adalah

perkembangan dari wayang sironda. Selain itu, kedua jenis lenong ini juga dibedakan dari

bahasa yang digunakan; lenong denes umumnya menggunakan bahasa yang halus (bahasa

Melayu tinggi), sedangkan lenong preman menggunakan bahasa percakapan sehari-hari,

sehingga sangat akrab dan komunikatif dengan para penontonya. Kisah yang dilakonkan dalam

lenong preman misalnya adalah kisah rakyat yang ditindas oleh tuan tanah dengan

pemungutan pajak dan munculnya tokoh pendekar taat beribadah yang membela rakyat dan

melawan si tuan tanah jahat. Sementara itu, contoh kisah lenong denes adalah kisah-kisah

1001 malam. Pada perkembangannya, lenong preman lebih populer dan berkembang

dibandingkan lenong denes.

g. Peralatan dan Teknologi

Betawi memiliki perkembangan yang bisa dikatakan paling pesat dari semua daerah

yang tersebar di Indonesia. Begitu juga dengan pesatnya perkembangan teknologi yang dialami

di Jakarta.

Teknologi Suku Betawi didatangkan dari negara asing, seperti senjata api, kapal laut,

kompas, teropong, peralatan pabrik dan bercocok tanam, dan lain sebagainya.

Masyarakat Betawi banyak mengadaptasi perkembangan peralatan teknologi yang di

buat di Jepang. Sayang untuk dikatakan, tetapi masyarakat Betawi merupakan konsumen yang

memiliki sifat ‘konsumtif’ yang secara langsung mempengaruhi negara kita.

h. Mata Pencaharian

Mata pencaharian orang Betawi bisa dibedakan. Antara lain sebagai berikut :

 Mereka yang berada di tengah kota menunjukkan mata pencaharian yang bervariasi,

misalnya sebagai pedagang, pegawai pemerintah, pegawai swasta, buruh, tukang

seperti membuat meubel.

 Mereka yang berada di daerah pinggiran hidup sebagai petani sawah, buah-buahan,

pedagang kecil, memelihara ikan, dan sekarang di antara mereka banyak yang menjadi

buruh pabrik, guru, dan lain-lain.

Page 12: rumah betawi

i. Sistem Pengetahuan

Pada umumnya banyak yang beranggapan bahwa Orang Betawi itu malas bekerja,

berebut warisan, sering berkelahi, dan lain-lain. Sehingga mereka dibilang “Ngontrak di Tanah

Sendiri”.

Sebenarnya banyak orang- orang Betawi yang sudah sangat maju dalam hal

pendidikan dan cara berpikir karena tersentuh modernisasi oleh karena itu  mereka mempunyai

visi yang jelas, tujuan hidup yang pasti dan berpendidikan.

Sayangnya, citra orang Betawi yang terus-menerus ditampilkan di layar televisi

adalah orang Betawi yang malas bekerja, berebut warisan, berkelahi dengan keluarga,

kalaupun sekolah sifatnya mengaji gaya kampung. Karena pada umumnya mereka masih

mempunyai sikap yang sama dengan pendahulunya, seperti tidak kemaruk pangkat, tidak

mempunyai ambisi yang terlalu tinggi, hidup bagaikan mengikuti aliran air atau ke mana angin

berembus.

j. Daur Hidup

Dalam penarikan garis keturunan, mereka mengikuti prinsip bilineal, artinya menarik

garis keturunan kepada pihak ayah dan pihak ibu.

Adat menetap nikah sangat tergantung kepada perjanjian kedua pihak sebelum

perpisahan berlangsung. Ada yang menetap secara patrilokal maupun matrilokal

Masyarakat Betawi atau Jakarta asli dalam hal susunan masyarakat dan sistem

kekerabatanya, pada umumnya menganut sistem patrilineal

Masyarakat Betawi atau Jakarta asli dalam hal susunan masyarakat dan sisitem

kekerabatanya, pada umumnya menganut sisitem patrilineal yaitu menghitung hubungan

kekerabatan melalui garis keturunan laki-laki saja. Karena itu mengakibatkan tiap-tiap individu

dalam masyarakat memasukan semua kaum kerabat ayah dalam hubungan kekerabatannya,

sedangkan semua kaum kerabat ibu diluar garis hubungan kekerabatannya.

Perlu diakui, asumsi masyarakat tentang Suku Betawi memiliki penilaian yang

menganggap bahwa masyarakat Betawi jarang mencapai keberhasilan, baik dalam segi

Page 13: rumah betawi

ekonomi, pendidikan dan teknologi. Padahal, bila kita tinjau lebih jauh, tidak sedikit orang

Betawi yang berhasil. Misalnya saja Muhammad Husni Thamrin, Benyamin S, bahkan hingga

Gubernur Jakarta saat ini, Fauzi Bowo.

Ada beberapa hal yang positif yang dimiliki oleh masyarakat Betawi antara lain, jiwa

sosial mereka tergolong sangat tinggi, walaupun terkadang dalam beberapa hal terlalu berlebih

dan cenderung tendensius atau fanatik. Orang Betawi juga sangat menjaga nilai – nilai agama

yang tercermin dari ajaran orang tua (terutama yang beragama Islam) kepada anak-anaknya.

Masyarakat Betawi sangat menghargai pluralisme. hal ini terlihat dengan hubungan yang baik

antara masyarakat Betawi dan pendatang dari luar Jakarta. Orang Betawi sangat menghormati

budaya yang mereka warisi. terbukti dari perilaku kebanyakan warga yang mesih memainkan

lakon atau kebudayaan yang diwariskan dari masa ke masa seperti lenong, ondel-ondel,

gambang kromong, dan lain-lain.

Memang tidak bisa dipungkiri bahwa keberadaan sebagian besar masyarakat Betawi

masa kini agak terpinggirkan oleh modernisasi yang ironisnya terjadi di daerah atau tanah

masyarakat Betawi sendiri. Namun, tetap ada optimisme dari masyarakat Betawi bahwa

masyarakat generasi mendatang akan mampu menopang modernisasi tersebut.

k. Sandang, Pangan, Papan

Sandang, Pangan, Papan merupakan kebutuhan pokok kehidupan manusia. Sama

halnya dengan kehidupan masyarakat betawipun membutuhkan 3 pokok kebutuhan ini antara

lain:

Pangan untuk masyarakat betawi merupakan kebutuhan pokok yang sama dengan

yang lainnya manusia yang harus terpenuhi untuk dapat bertahan hidup dan melakukan

aktivitas sehari-hari. Kebutuhan pangan disini sebagai kebutuhan makanan dan minuman.

Makanan berasal dari tumbuhan atau hewan yang dimakan oleh makhluk hidup untuk

memberikan tenaga dan nutrisi.

Dalam kebutuhan pangan yang masyarakat betawi ini adalah kebutuhan pangan

yang termasuk kedalam jenis SEMBAKO (Sembilan bahan pokok) dan sayuran. Menurut

keputusan menteri industri dan perdagangan no. 115/mpp/kep/2/1998 tanggal 27 Februari

1998, Kesembilan bahan itu adalah:

Page 14: rumah betawi

1. Beras

2. Gula pasir

3. Minyak goreng dan margarine

4. Daging sapi dan ayam

5. Telur ayam

6. Susu

7. Jagung

8. Minyak tanah

9. Garam beryodium

Untuk Sandang/pakaiannya itu sendiri sama halnya dengan yang lain kebutuhan

pokok manusia selain makanan dan tempat berteduh/tempat tinggal (rumah). Manusia

membutuhkan pakaian untuk melindungi dan menutup dirinya. Namun seiring dengan

perkembangan kehidupan manusia, pakaian juga digunakan sebagai simbol status, jabatan,

ataupun kedudukan seseorang yang memakainya. Perkembangan dan jenis-jenis pakaian

bergantung pada adat-istiadat, kebiasaan, dan budaya dimana masing masing bangsa memiliki

ciri khas masing masing.

Dan tidak lupa untuk papannya Kebudayaan Betawi juga memiliki rumah adat yang

disebut Rumah Kebaya.

l. Peralatan

Bendo atau Golok

Golok merupakan senjata tajam yang umumnya digunakan oleh masyarakat Betawi,

Bagi mereka, keberadaan golok sangat dipengaruhi oleh kebudayaan Jawa Barat, namun

Page 15: rumah betawi

diantara keduanya memiliki perbedaan yang bisa dilihat dari bentuk model dan pemberian

nama.

m. Arsitektur Bangunan

Arsitektur Rumah Betawi: Bentuk tradisional rumah Betawi dengan sifat lebih

terbuka dalam menerima pengaruh dari luar. Hal ini bisa dilihat dari pola tapak, pola tata ruang

dalam, sistem stuktur dan bentuk serta detail dan ragam hiasnya. Rumah tradisional Betawi

tidak memiliki arah mata angin, ke mana rumah harus menghadap dan juga tidak ada bangunan

atau ruang tertentu yang menjadi orientasi/pusat perkampungan. Pada pemukiman Betawi,

orientasi atau arah mata angin rumah dan pekarangan lebih ditentukan oleh alasan praktis

seperti aksesibilitas pekarangan (kemudahan mencapai jalan) juga tergantung pada kebutuhan

pemilik rumah. Di atas tapak rumah (pekarangan rumah) selain didirikan beberapa rumah

tinggal (karena adanya pewarisan atau dibeli orang untuk dibangun rumah) juga dibangun

fungsi-fungsi lain seperti kuburan, lapangan badminton, dsb. Di daerah pesisir, kelampok-

kelompok rumah umumnya menghadap ke darat dan membelakangi muara sungai. Namun

tidak tampak perencanaan tertentu atau keseragaman dalam mengikuti arah mata angin atau

orientasi tertentu.

Berdasarkan tata ruang dan bentuk bangunannya, arsitektur rumah tradisional

Betawi, khususnya di Jakarta Selatan dan Timur, dapat dikelompokkan ke dalam 3 jenis: (1)

Rumah Gudang; (2) Rumah Joglo; (3) Rumah Bapang/Kebaya. Tata letak ketiga rumah itu

hampir sama, terdiri dari ruang depan (serambi depan), ruang tengah (ruang dalam), dan ruang

belakang. Pada rumah gudang, ruang belakang secara abstrak berbaur dengan ruang tengah

dari rumah sehingga terkesan hanya terbagi dalam dua ruang, ruang depan dan tengah. Dahulu

ruang depan berisi balai-balai sedang sekarang umumnya diganti kursi dan meja tamu.  Ruang

tengah merupakan bagian pokok rumah Betawi yang berisi kamar tidur, kamar makan, dan

pendaringan (untuk menyimpan barang-barang keluarga, benih padi dan beras). Kamar tidur

ada yang berbentuk kamar yang tertutup tetapi juga ada kamar tidur terbuka (tanpa dinding

pembatas) yang bercampur fungsi menjadi kamar makan. Kamar tidur terdepan biasanya

Page 16: rumah betawi

diperuntukkan anak perempuan si empunya rumah. Sedang anak laki-laki biasanya tidur di

balai-balai serambi depan atau di masjid. Sedang ruang belakang digunakan untuk memasak

dan menyimpan alat-alat pertanian juga kayu bakar.

Organisasi ruang dan aktivitas dalam rumah tradisional Betawi sebenarnya relatif

sederhana. Tidak ada definisi fungsi ruang berdasarkan jenis kelamin. Kalaupun rumah dibagi

dalam tiga kelompok ruang yang pada rumah Jawa dan Sunda menyimbolkan sifat laki-laki,

netral, dan wanita, pada rumah Betawi hal itu terjadi karena tuntutan-tuntutan kepraktisan saja.

Tata letak ruang rumah tradisional Betawi cenderung bersifat simetris. Dilihat dari letak pintu

masuk ke ruang lain dan letak jendela jendela depan yang membentuk garis sumbu abstrak dari

depan ke belakang. Kesan simetris bertambah kuat karena ruang depan dan belakang dimulai

dari pinggir kiri ke kanan tanpa pembagian ruang lagi. Selain itu rumah tradisional Betawi juga

menganut dua konsep ruang, yang bersifat abstrak dan kongkrit. Konsep ini diterapkan pada

jenis kamar tidur yang tertutup dan terbuka.

n. Arsitektur Bentang Alam

Secara keseluruhan rumah-rumah di Betawi berstruktur rangka kayu, beralas tanah

yang diberi lantai tegel atau semen (rumah Depok). Berdasarkan bentuk dan struktur atapnya,

rumah tradisional Betawi secara garis besarnya dapat dibagi menjadi tiga macam yaitu

potongan gudang, potongan joglo (limasan) dan potongan bapang atau kebaya. Masing-masing

potongan atau bentuk itu berkaitan erat dengan pembagian denahnya.

Secara umum rumah Betawi memiliki serambi bagian depan yang terbuka. Serambi

bagian depan ini ada yang menyebutnya sebagai 'langkan'. Di serambi, jika tidak berkolong,

terdapat bale, semacam balai-balai yang kakinya dipancangkan di tanah. Di bagian kanan dan

kiri serambi terdapat jendela tanpa daun dan kadang-kadang di bagian atas jendela

melengkung menyerupai kubah masjid. Bahan-bahan yang dipergunakan untuk membangun

rumah adalah kayu sawo, kayu kecapi, bambu, ijuk, rumbia, genteng, kapur, pasir, semen, ter,

plitur, dan batu untuk pondasi tiang. Dan sebagai pengisi sebagian besar digunakan kayu

nangka atau bambu bagi orang-orang yang tinggal di daerah pesisir. Ada juga orang yang

sudah menggunakan dinding setengah tembok sebagai pengisi. Penggunaan tembok seperti ini

adalah pengaruh dari Belanda.

Page 17: rumah betawi

Di wilayah Betawi terdapat rumah tradisional yang berkolong tinggi, seperti rumah Si

Pitung di Marunda. Atapnya ada yang berbentuk bapang, joglo, dan lain sebagainya. Di daerah

pinggiran seperti di Kalisari, Pasar Rebo, Jakarta Timur masih dapat dijumpai rumah-rumah

berkolong, tetapi tidak terlalu tinggi seperti rumah Si Pitung. Rumah-rumah yang merupakan

peralihan dari rumah berkolong ke rumah tanpa kolong terdapat di daerah Pondok Rangon,

Keranggan, danTipar. Lebar kolong kurang lebih 20-30 cm.

Rumah tanpa kolong ada yang berlantai tanah, tembok, ubin dan batu pipih atau

semen. Pada rumah yang beralas tanah, pengaruh Belanda dapat dilihat dari penggunaan

Rorag (terbuat dari bata) sebagai penghubung antara struktur tegak (baik setengah tembok

maupun dinding kayu/bambu) dengan lantai. Pada rumah panggung penggunaan alas untuk

lantai adalah papan yang dilapisi anyaman kulit bambu. Pada rumah panggung penggunaan

alas untuk lantai adalah papan yang dilapisi anyaman kulit bambu. Pada rumah yang bukan

panggung dipergunakan tanah sebagai lantai atau menggunakan ubin tembikar (pada orang

kaya setempat), kemudian pada perkembangannya dipergunakan ubin semen. Penggunaan

ubin tembikar dan semen ini merupakan pengaruh Belanda. Rumah petani yang berkecukupan

biasanya terdiri dari tiga bagian, yaitu bagian inti disebut Paseban atau Belandongan atau

dapur.

Struktur atap bangunan tradisional Betawi memiliki variasi-variasi yang dipengaruhi

oleh unsur-unsur dari luar. Sebagai contoh sekor untuk penahan dak (markis) dan struktur

overstek atau penanggap. Untuk sekor penahan dak selain terbuat dari kayu, ada pula yang

terbuat dari logam yang menunjukkan pengaruh Eropa. Juga untuk siku penanggap selain

kedua variasi dilihat dari aspek penggunaan bahan, kita juga melihat adanya pengaruh Cina

seperti adanya konstruksi Tou-Kung, khususnya pada rumah-rumah tradisional Betawi di

Angke.

Bangunan inti berfungsi sebagai tempat tidur keluarga dan letaknya biasanya

berseberangan. Pada rumah tradisional Betawi, di samping jendelanya berdaun biasa, juga

diberi bahan yang kuat seperti batang kelapa atau aren yang sudah tua. Jendela yang ada di

sebelah kanan dan kiri pintu yang menghadap ke paseban atau langkan ada yang dibuat

sedemikian rupa sehingga dapat digeser-geser, membuka, dan menutup. Jendela seperti itu

disebut jendela bujang atau jendela intip. Selain berfungsi sebagai ventilasi dan jalan cahaya,

jendela juga berfungsi sebagai tempat pertemuan perawan yang punya rumah dengan pemuda

yang datang pada malam hari. Si gadis ada di sebelah dalam, sedangkan si pemuda ada di

Page 18: rumah betawi

luar, dibatasi jendela berjeruji. Sebelum sampai pada taraf 'ngelancong' yang agak intim, anak

perawan yang bersangkutan cukup mengintip dari celah-celahnya.

Pada rumah tradisional Betawi tidak dikenal adanya pembagian ruang berdasar jenis

kelamin, namun lebih banyak ditentukan berdasar tuntutan praktis. Rumah tradisional Betawi

ditinjau dari tata letak dan fungsinya, cenderung bersifat simetris, hal ini dapat dilihat dari letak

pintu masuk dan pintu belakang yang sejajar dan membentuk garis lurus.

Kepercayaan mengenai larangan dan aturan yang harus dipatuhi saat pembangunan

rumah. Bertujuan supaya penghuni rumah mendapatkan keselamatan di tempat tinggalnya dan

mendapatkan hal-hal yang baik dalam hidupnya. Beberapa pantangan dan aturan dalam

penggunaan bahan bangunan: Kayu nangka tidak boleh dibuat trampa atau drampol, yaitu

bagian bawah kusen pintu. Sebab ada kepercayaan bahwa orang yang berani melangkahi kayu

nangka bisa terkena penyakit kuning. Kayu cempaka dibuat untuk kusen pintu bagian atas

supaya harum. Ada kepercayaan bahwa penggunaan kayu cempaka akan membuat penghuni

rumah selalu baik-baik dan disenangi tetangga. Kayu asem tidak boleh dipakai untuk bahan

bangunan rumah karena akan menganggu hubungan dengan tetangga.

Ada pula pantangan untuk membuat atap rumah dari tanah karena tanah tempatnya

di bawah. Jadi kalau ditempatkan di atas atap berarti penghuni rumah terkubur tanah. Pemilik

rumah juga dilarang untuk menempati bangunan yang belum dipasangi jendela dan pintu.

Dalam menentukan tempat untuk mendirikan rumah ada beberapa ketentuan yang

bersifat umum, yaitu (1) tidak boleh mendirikan rumah di atas tanah yang dikeramatkan; (2)

tempat rumah untuk anak yang berkeluarga harus berada di sebelah kiri orang tua karena kalau

menantunya mendirikan rumah di sebelah kanan orang tua bakal "tidak kuat", artinya keluarga

anak tersebut akan sakit-sakitan atau susah rejeki.

2.2. Apresiasi Budaya Berarsitektur (Tradisional/Vernakular Indonesia)

a. Bentuk penerapan/aplikasi/ apresiasi dalam bangunan (modern/vernakular)

Dewasa ini orang mulai menengok kembali Rumah Tradisional Betawi karena

menghawatirkan akan keberadaan rumah ini yang sulit ditemukan pada masa kini sehingga

pemerintah juga membuat cagar budaya Betawi di tempat lain (di kawasan setu babakan) dan

beberapa orang yang mencintai kebudayaan Betawi malah dengan sengaja membuat rumah

Page 19: rumah betawi

"Tradisional Betawi", yaitu rumah yang dibangun dengan menggunakan "pakem" Rumah

Tradisional Betawi tetapi dengan memasukkan unsur modern ke dalamnya, seperti penggunaan

material lantai modern (keramik) ataupun material dinding bata.

Bentuk aplikasi dalam bangunan betawi sebelumnya merupakan organisasi ruang

yang dikelompokan antara lain bagian luar / teras (beranda, digunakan untuk menerima tamu,

tidur siang, bersosialisasi dengan tetangga, dsb), bagian dalam (ruang dalam, digunakan untuk

ruang keluarga, ruang makan, dan kamar tidur), dan bagian belakang (dapur yang kadang juga

berfungsi sebagai ruang makan), tanpa KM / WC (KM / WC 'umumnya berada di luar bangunan

rumah).

Berdasarkan bentuknya, rumah Betawi dapat dikelompokkan atas :

a. Rumah Gudang, berdenah empat persegi panjang, dapur hanya merupakan

tambahan, beratap pelana memanjang dari depan kebelakang, sedangkan atap

bagian dapur sering hanya berupa atap tambahan (atap meja), dengan bagian

tertinggi menempel ke dinding ruang dalam, dan miring ke arah belakang

b. Rumah Joglo, denah berbentuk bujur sangkar, bentuk atap dipengaruhi oleh bentuk

atap rumah Jawa, namun tidak seperti Joglo murni, karena pada rumah Betawi

ditambah dengan tekukan (dalam bahasa Sunda dinamakan"sorondoy")

c. Rumah Bapang / Kebaya, denah berbentuk empat persegi panjang, atap rumah

berbentuk pelana yang dilipat (memiliki dua sudut kemiringan)

Material yang digunakan

1) Material Atap :

Material penutup atap digunakan genteng atau atep (daun kiraiyang dianyam),

konstruksi kuda-kuda dan gording menggunakan kayu gowok (Syzygium Polycephalum)

atau kayu kecapi (Sandoricum Koetjape), balok tepi, terutama diatas dinding luar

menggunakan kayu nangka (Artocarpus Heterophyllus Lamk) yang sudah tua,

sedangkan kaso dan reng menggunakan bambu tali (Giganto Chloa Apus). Bambu yang

digunakan sebagai kaso adalah bambu utuh dengan diameter ± 4 cm, sedangkan yang

digunakan untuk reng adalah bambu yang dibelah.

2) Material Dinding

Material yang digunakan untuk dinding depan adalah kayu gowok / kayu nangka

yang terkadang dicat dengan dominasi warna kuning dan hijau.

Dinding rumah lainnya menggunakan bahan anyaman bambu (gedhek) dengan atau

tanpa pasangan bata di bagian bawahnya.

Page 20: rumah betawi

Daun pintu / jendela biasanya terdiri dari rangka kayu dengan jalusi horisontal pada

bagian atasnya atau pada keseluruhan daun pintu / jendela.Bentuk daun pintu / jendela

3) Material Struktur

Bahan yang digunakan untuk pondasi rumah adalah batu kali dengan sistem

pondasi umpak yang diletakkan di bawah setiap kolom, sementara untuk landasan

dinding digunakan pasangan batu bata (rollag) dengan kolon dari kayu nangka yang

sudah tua.

Seiring berkembangnya zaman bentuk penerapan dan aplikasi dalam bangunan

betawi mulai mengikuti era globalisasi dan mengikuti masanya. Dengan masa kini penerapan

aplikasi modern pada rumah betawi mulai muncul dengan menambhakan beberapa ornamen

seperti aplikasi pada jendela dengan menambahkan kaca dan bentukan kusennya. Juga

lantainya yang mengusung lantai era modern dengan menggunakan ubin atau keramik dan

sebagainya. Namun aplikasi pada konsep bangunan modern konsep Betawi, ada beberapa

bagian-bagian yang dapat dipertahankan antara lain adanya beranda di bagian depan, ornamen

atau hiasan, serta penggunaan material alami untuk dinding dan atap.

b. Kritik Arsitektur Terkait Aplikasi

Page 21: rumah betawi

BABIII

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB IV

KESIMPULAN DAN ARAHAN RANCANGAN

DAFTAR PUSTAKA / SUMBER

http://surya-skripsi.blogspot.com/2013/01/arsitektur-vernakular-di-jakarta-dan.html

http://www.jakarta.go.id/web/encyclopedia/detail/2598/Rumah-Betawi

http://lembagakebudayaanbetawi.com/agenda/setu-babakan

http://setubabakan.wordpress.com/about/

http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Betawi

https://adelkudel30.wordpress.com/education/ilmu-pengetahuan-sosial/7-unsur-kebudayaan/7-

unsur-budaya-suku-betawi/

http://nenxgendis.wordpress.com/about/suku-betawi/

https://alyanurhaliza30.wordpress.com/