30
RUPTUR PERINEUM I. DEFINISI Ruptur adalah robekan atau koyaknya jaringan secara paksa (Dorland, 1994). Perineum adalah bagian yang terletak antara vulva dan anus panjangnya rata-rata 4 cm. Robekan perineum terjadi pada hampir semua persalinan dan tak jarang juga pada persalinan berikutnya. Robekan ini dapat dihindarkan atau dikurangi dengan menjaga jangan sampai dasar panggul dilalui oleh kepala janin dengan cepat. Sebaliknya kepala janin yang akan lahir jangan ditahan terlampau kuat dan lama, karena akan menyebabkan asfiksia dan perdarahan dalam tengkorak janin, dan melemahkan otot-otot dan fasia pada dasar panggul karena diregangkan terlalu lama. Robekan perineum umumnya terjadi di garis tengah dan bias menjadi luas apabila kepala janin lahir terlalu cepat, sudut arkus pubis lebih kecil daripada biasa sehingga kepala janin terpaksa lahir lebih ke belakang dari pada biasa, kepala janin melewati pintu bawah panggul dengan ukuran yang lebih besar daripada sirkumferensia suboksipito-bregmatika, atau anak dilahirkan dengan pembedahan vaginal. 1

Ruptur Perineum

Embed Size (px)

DESCRIPTION

obgyn

Citation preview

RUPTUR PERINEUM

I. DEFINISIRuptur adalah robekan atau koyaknya jaringan secara paksa (Dorland, 1994). Perineum adalah bagian yang terletak antara vulva dan anus panjangnya rata-rata 4 cm. Robekan perineum terjadi pada hampir semua persalinan dan tak jarang juga pada persalinan berikutnya. Robekan ini dapat dihindarkan atau dikurangi dengan menjaga jangan sampai dasar panggul dilalui oleh kepala janin dengan cepat. Sebaliknya kepala janin yang akan lahir jangan ditahan terlampau kuat dan lama, karena akan menyebabkan asfiksia dan perdarahan dalam tengkorak janin, dan melemahkan otot-otot dan fasia pada dasar panggul karena diregangkan terlalu lama.Robekan perineum umumnya terjadi di garis tengah dan bias menjadi luas apabila kepala janin lahir terlalu cepat, sudut arkus pubis lebih kecil daripada biasa sehingga kepala janin terpaksa lahir lebih ke belakang dari pada biasa, kepala janin melewati pintu bawah panggul dengan ukuran yang lebih besar daripada sirkumferensia suboksipito-bregmatika, atau anak dilahirkan dengan pembedahan vaginal.

II. PREVALENSILebih dari 85% wanita di UK yang mengalami trauma perineal sewaktu menjalani persalinan pervaginam. Namun angka prevalensi ini tergantung dari variasi tempat obstetrik, termasuk angka tindakan episiotomy. Di Belanda, angka episiotomy 8%, sementara di Inggris angka episiotomy mencapai 14%, 50% di Amerika Serikat, dan 99% di Negara-negara EropaTimur.

III. ANATOMI PERINEUMMenurut para ahli anatomi, perineum adalah wilayah pelvic outlet di ujung diafragma pelvic (levator ani), merupakan bagian permukaan dari pintu bawah panggul, terletak antara vulva dan anus. Perineum terdiri dari otot dan fascia urogenitalis serta diafragma pelvis, batasannya dibentuk oleh pubic rami di depan ligament sacro tuberos di belakang. Perbatasan perineum sebagai berikut:1. Ligamentum arkuata di bagian depan tengah.2. Arkus iskiopubik dan tuber iskii di bagian lateral depan.3. Ligamentum sakrotuberosum di bagian lateral belakang.4. Tulang koksigis di bagian belakang tengah.Pelvic outletnya dibagi 2 regio oleh garis melintang yang menghubungkan bagian depan ischial tuberosities ke dalam segitiga urogenital dan sebuah segitiga belakang anal. Diafragma urogenitalis terletak menyilang arkus pubis diatas fascia superfisialis perinei dan terdiri dari otot-otot transversus perinealis profunda. Diafragma pelvis dibentuk oleh otot-otot koksigis dan levator ani yang terdiri dari 3 otot penting yaitu: M. puborektalis, M. pubokoksigis, dan M. iliokoksigis. Susunan otot tersebut merupakan penyangga dari struktur pelvis, di antaranya lewat urethra, vagina dan rektum.

1. SEGITIGA UROGENITALDisini terdapat M. bulbokavernosus, M. transversus perinealis superfisialis dan M. iskiokavernosus. Otot-otot diwilayah ini dikelompokkan ke dalam kelompok superfisial (dangkal) dan dalam bergantung pada membran perineal. Otot bulbospongiosus melingkari vagina dan masuk melalui bagian depan corpora cavernosa clitoridis. Di bagian belakang, sebagian serabutnya mungkin menyatu dengan otot kontralateral superfisial transverseperineal (otot yang melintang contralateral dipermukaan perineal) juga dengan cincin otot anus (sfingter).Kelenjar bartholini merupakan struktur berbentuk kacang polong dan bagian duktusnya membuka ke arah introitus vagina di permukaan selaput dara pada persimpangan dua pertiga bagian atas dan sepertiga bagian bawah labia minora.Pada wanita, otot perineal profunda melintang antara bagian depan dan belakang fasia membran perineal yang membentuk diafragma urogenital berbentuk tipis dan sukar untuk digambarkan, karena itu kehadirannya tidak diakui oleh sebagian ahli. Di bagian yang sama terletak juga otot cincin external uretra.

2. SEGITIGA ANALWilayah ini mencakup otot luar anus dan lubang ischiorectal. Disini terdapat M. sfingter ani eksterna yang melingkari anus.

3. BADAN PERINEALBagian perineal merupakan wilayah fibromuskular (berotot serabut) antara vagina dan kanal anus. Pada dataran saggita berbentuk segitiga. Pada sudut segitiganya terdapat ruang rectovaginal dan dasarnya dibentuk oleh kulit perineal antara bagian belakang fouchette vulva dan anus. Dalam bagian perineal terdapat lapisan otot fiber bulbospongiosus, dataran perineal melintang dan otot cincin anus bagian luar.Di atas bagian ini terdapat otot dubur membujur dan serat tengah otot puborectalis, karena itu sandaran panggul dan juga sebagian hiatus urogenitalis antara otot levator ani bergantung pada keseluruhan badan perineal. Bagi ahli kesehatan ibu dan anak, istilah perineum merujuk sebagian besar pada wilayah fibromuskular antara vagina dan kanal anus.4. ANOREKTUMAnorektum merupakan bagian yang paling jauh dari traktus gastrointestinalis dan terdiri dari dua bagian yaitu kanal anus dan rektum. Kanal anus berukuran 3.5 cm dan terletak dibawah persambungan anorektal yang dibentuk oleh otot puborectalis. Otot cincin anus terdiri dari tiga bagian (subcutaneus / bawah kulit), superfisial (permukaan) dan bagian profunda (dalam) dan tidak bisa dipisahkan dari permukaan puborectalis. Cincin otot anus bagian dalam merupakan lanjutan menebalnya otot halus yang melingkar. Bagian ini dipisahkan dari bagian luar cincin otot anus oleh otot penyambung yang membujur rectum.

Gambar 1. Diafragma perineum dan urogenital wanita.

Persyarafan perineum berasal dari segmen sakral 2,3,4 dari sumsum tulang belakang (spinal cord) yang bergabung membentuk nervus pudendus. Syaraf ini meninggalkan pelvis melalui foramen sciatic mayor dan melalui lateral ligamentum sakrospinosum, kembali memasuki pelvis melalui foramen sciatic minor dan kemudian lewat sepanjang dinding samping fossa iliorektal dalam suatu ruang fasial yangdisebut kanalis Alcock. Begitu memasuki kanalis Alcock, N. pudendus terbagi menjadi 3 bagian / cabang utama, yaitu: N. hemorrhoidalis inferior di regio anal, N. perinealis yang juga membagi diri menjadi N. labialis posterior dan N. perinealis profunda ke bagian anterior dari dasar pelvis dan diafragma urogenital; dan cabang ketiga adalah N. dorsalis klitoris.Perdarahan ke perineum sama dengan perjalanan syaraf yaitu berasal dari A. pudenda interna yang juga melalui kanalis Alcock dan terbagi menjadi A. hemorrhoidalis inferior, A. perinealis dan A. dorsalis klitoris.

IV. ETIOLOGI RUPTURE PERINEUMRobekan pada perineum umumnya terjadi pada persalinan dimana:1. Kepala janin terlalu cepat lahir2. Persalinan tidak dipimpin sebagaimana mestinya3. Sebelumnya pada perineum terdapat banyak jaringan parut4. Pada persalinan dengan distosia bahuPersalinan seringkali menyebabkan perlukaan pada jalan lahir. Perlukaan pada jalan lahir tersebut terjadi pada dasar panggul/perineum, vulva dan vagina, servik uteri, uterus. Manakala ruptur pada perineum spontan disebabkan oleh perineum kaku, kepala janin terlalu cepat melewati dasar panggul, bayi besar, lebar perineum, paritas.

V. KLASIFIKASI RUPTURE PERINEUMa) RUPTUR PERINEUM SPONTANDefinisi ruptur perineum spontan adalah luka pada perineum yang terjadi karena sebab-sebab tertentu tanpa dilakukan tindakan perobekan atau disengaja. Luka ini terjadi pada saat persalinan dan biasanya tidak teratur. Tingkat robekan perineum dapat dibagi atas 4 tingkatan1. Tingkat I: Robekan hanya terjadi pada selaput lender vagina dengan atau tanpa mengenai kulit perineum sedikit.2. Tingkat II: Robekan yang terjadi lebih dalam yaitu selama mengenai selaput lendir vagina juga juga muskulus perinei transversalis, tapi tidak mengenai sfingter ani.3. Tingkat III: Robekan yang terjadi mengenai seluruh perineum sampai mengenai otot-otot sfingter ani.2,5 Ruptura perinei totalis di beberapa kepustakaan yang berbeda disebut sebagai termasuk dalam robekan derajat III atau IV. Beberapa kepustakaan juga membagi tingkat III menjadi beberapa bagian seperti: Tingkat III a: Robekan < 50 % ketebalan sfingter ani Tingkat III b: Robekan > 50% ketebalan sfinter ani Tingkat III c: Robekan hingga sfingter ani interna4. Tingkat IV: Robekan hingga epitel anus. Robekan mukosa rectum tanpa robekan sfingter ani sangat jarang dan tidak termasuk dalam klasifikasi diatas.

Gambar 3. Tingkat robekan perineum spontan.

b) RUPTUR PERINEUM YANG DISENGAJA ( EPISIOTOMI )Definisi episiotomi adalah suatu tindakan insisi pada perineum yang menyebabkan terpotongnya selaput lendir vagina, cincin selaput dara, jaringan pada septum rektovaginal, otot-otot dan fasia perineum dan kulit sebelah depan perineum.Di masa lalu, dianjurkan untuk melakukan episiotomi secara rutin yang tujuannya adalah untuk mencegah robekan berlebihan pada perineum, membuat tepi luka rata sehingga mudah dilakukan penjahitan (reparasi), mencegah penyulit atau tahanan pada kepala dan infeksi tetapi hal tersebut ternyata tidak didukung oleh bukti-bukti ilmiah yang cukup (Enkin et al, 2000;Wooley, 1995). Tetapi sebaliknya, hal ini tidak boleh diartikan bahwa episiotomi tidak boleh dilakukan karena ada indikasi tertentu untuk melakukan episiotomi. Para penolong persalinan harus cermat membaca kata rutin pada episiotomi karena hal itulah yang tidak dianjurkan, bukan episiotominya. Episiotomi dibahagi kepada 4 jenis berdasarkan tempat insisinya, iaitu episiotomy medialis, mediolateralis, lateralis dan jenis Schuchardt. Pemilihan jenis episiotomy bergantung kepada operator, dimana tiap jenis episiotomy mempunyai keuntungan dan kerugian masing-masing. Gambar 4. Jenis episiotomi.

Episiotomi rutin tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan: 1. Meningkatnya jumlah darah yang hilang dan berisiko hematoma2. Kejadian laserasi derajat tiga atau empat lebih banyak pada episiotomi rutin dibandingkan dengan tanpa episiotomi.3. Meningkatnya nyeri pascapersalinan di daerah perineum4. Meningkatnya resiko infeksi.

Indikasi untuk melakukan episiotomy dapat timbul dari pihak janin atau ibu: 1. Indikasi janin. Sewaktu melahirkan janin episiotom. Tujuannya untuk mencegah terjadinya trauma yang berlebihan pada kepala janin. Sewaktu melahirkan janin letak sungsang, melahirkan janin dengan cunam, ekstraksi vakum, dan janin besar.2. Indikasi ibuApabila terjadi peregangan perineum yang berlebihan sehingga ditakuti akan terjadi robekan perineum, umpama pada primipara, persalinan sungsang, persalinan dengan cunam, ekstraksi vakum, dan anak besar.Namun indikasi sekarang yang digunakan untuk melakukan episiotomy telah banyak berubah. Indikasi untuk melakukan episiotomy untuk mempercepat kelahiran bayi bila didapatkan: 1. Gawat janin dan bayi akan segera dilahirkan dengan tindakan.2. Penyulit kelahiran pervaginam (sungsang, distosia bahu, ekstraksi cunam (forcep) atau ekstraksi vakum).3. Jaringan parut pada perineum atau vagina yang memperlambat kemajuan persalinan.

VI. DIAGNOSIS TRAUMA PERINEALBirmingham Perineal Research Evaluation Group(BPREG) mengembangkan Peri-Rule sebagai alat bantu dalam mendiagnosis robekan derajat dua. Peri-Rule terbuat fleksible dengan skala pada satu sisinya (dengan panjang 105 mm, lebar 10 mm, dan dalam 4 mm). Penggunaan alat ini bertujuan untuk membantu dalam memperkirakan grade dari robekan perineum.Dalam membuat diagnosis klinik yang akurat adalah:1. Informed consentuntuk pemeriksaan vagina dan rectal.2. Harus dapat terlihat dengan baik cedera pada perineal, jika tidak dimungkinkan pasien harus ditempatkan dalam posisi litotomi.3. Pemeriksaan secara visual meliputi dinding vagina untuk menilai sobekan vagina. Jika didapatkan robekan multiple atau dalam, maka sebaiknya diposisikan dalam litotomi. Laserasi vagina pada apeks harus diidentifikasi.4. Pemeriksaan rectal harus dilakukan untuk menilai mukosa rectum dan anal sfingter. Dan dilakukan juga setelah dilakukan penjahitan untuk menghindari luka tersisa yang masih terbuka.5. Untuk menegakkan trauma perineal harus juga dikonfirmasi dengan palpasi. Dengan menempatkan jari telunjuk pada lubang anal dan ibu jari pada vagina. Hal ini bertujuan untuk menilai sfingter anal dengan lebih baik, lalu pasien diminta untuk mengkontraksikan otot daerah perineum, sehingga dapat dinilai fungsinya.Penggunaan anal endosonografi sempat menjadi perdebatan. Faltin et alsempat membandingkan antara tehnik konvensional serta tehnik konvensional disertai dengan anal endosonografi. Dan hasilnya bisa menurunkan angka inkontinensia fekal dari 8,7 % pada kontrol mencapai 3,3 % pada grup eksperimen. Namun, penggunaan anal endosonografi membutuhkan ekpertise spesifik. Sehingga disimpulkan bahwa dengan kemampuan diagnosis klinis yang baik serta pengenalan faktor risiko, bisa secara signifikan mencegah terjadinya ruptur perineum.

VII. PENANGANAN RUPTURE PERINEUMa) PRINSIP DALAM MENANGANI RUPTURA PERINEUM : Jahit secepat mungkin setelah anak lahir. Hal ini untuk mencegah darah keluar yang berlebih dan meminimalkan risiko infeksi. Cek kelengkapan alat dan hitung kapas swab dan spons. Pencahayaan harus cukup Jika dibutuhkan, transfer pasien langsung ke ruang operasi untuk mendapatkan anestesi yang adekuat. Kateterisasi dalam waktu 24 jam, untuk mencegah retensi urin. Tutupdead spacedan pastikan hemostasis tercapai. Untuk mencegah hematoma. Jahitan tidak harus ketat; hal ini bisa menyebabkan jaringan hipoksia yang justru bias menghambat penyembuhan luka. Pastikan tepi luka tertutup secara baik.b) PERSIAPAN UNTUK PENJAHITAN1. Bantu ibu mengambil posisi litotomi shingga bokongnya berada ditepi tempat tidur atau meja. Topang kakinya dengan alat penopang atau minta anggota keluarga untuk memegang kaki ibu. 2. Tempatkan handuk atau kain bersih dibawah bokong ibu.3. Jika mungkin, tempatkan lampu sedemikian rupa sehingga perineum bisa di lihat dengan jelas.4. Gunakan teknik aseptic pada memeriksa robekan atau episiotomi, memberikan anestesi local dan menjahit luka.5. Cuci tangan menggunakan sabun dan air bersih yang mengalir.6. Pakai sarung tangan disinfeksi tingkat tinggi atau steril.7. Dengan teknik aseptic, persiapkan peralatan dan bahan-bahan disinfektan tingkat tinggi untuk penjahitan8. Duduk dengan posisi santai dan nyaman sehingga luka bisa dengan mudah dilihat dan penjahitan bisa dilakukan tanpa kesulitan9. Gunakan kain atau kassa disinfeksi tingkat tinggi atau bersih untuk menyeka vulva, vagina dan perineum ibu dengan lembut, bersihkan darah atau bekuan darah yang ada sambil menilai dalam dan luasnya luka.10. Periksa vagina, serviks dan perineum secara lengkap. Pastikan bahwa laserasi / sayatan perineum hanya merupakan derajat satu atau dua. Jika laserasinya dalam atau episiotomi telah meluas, periksa lebih jauh untuk memeriksa bahwa tidak terjadi robekan derajat tiga atau empat. Masukkan jari yang bersarung tangan ke dalam anus dengan hati-hati dan angkat jari tersebut perlahan-lahan untuk mengidentifikasikan sfingter ani. Raba tonus atau ketegangan sfingter. Jika sfingter terluka, ibu mengalami laserasi derajat tiga atau empat dan harus dirujuk segera. Ibu juga dirujuk jika mengalami laserasi serviks.11. Ganti sarung tangan dengan sarung tangan disinfeksi tingkat tinggi atau steril yang baru setelah melakukan rectum.12. Berikan anestesi lokal.13. Siapkan jarum dan benang. Gunakan benang kromik 2-0 atau 3-0. Benang kromik bersifat lentur, kuat, tahan lama, dan paling sedikit menimbulkan reaksi jaringan.14. Tempatkan jarum pada pemegang jarum dengan sudut 90 derajat, jepit dan jepit jarum tersebut.

c) PEMBERIAN ANESTESI LOKALBerikan anestesi kepada setiap ibu yang memerlukan penjahitan laserasi atau episiotomi. Penjahitan sangat menyakitkan dan menggunakan anestesi lokal merupakan asuhan sayang ibu. Berikut merupakan prosedur untuk pemberian anestesi lokal:1. Jelaskan pada ibu apa yang akan dianda lakukan dan bantu ibu merasa santai.2. Hisap 10 ml larutan lidokain 1% ke dalam alat suntik sekali pakai ukuran 10 ml (tabung suntik yang lebih besar boleh digunakan jika diperlukan). Jika lidokain 1% tidak tersedia, larutkan 1 bagian 2% dengan 1 bagian normal salin atau air steril yang sudah disuling dengan perbandingan 1:1..3. Tempelkan jarum ukuran 22 sepanjang 4 cm ke tabung suntik tersebut.4. Tusukkan jarum ke ujung atau pojok laserasi atau sayatan lalu tarik jarum sepanjang tepi luka (ke arah bawah ke arah mukosa dan kulit perineum).5. Aspirasi (tarik pendorong tabung suntik) untuk memastikan bahwa jarum tidak berada di dalam pembuluh darah. Jika darah masuk ke dalam tabung suntik, jangan masukkan lidokain dan tarik jarum seluruhnya. Pindahkan posisi jarum dan suntikkan kembali. Alasan: ibu bisa mengalami kejang dan kematian bisa terjadi jika lidokain disuntikkan ke dalam pembuluh darah6. Suntikan anesthesia sejajar dengan permukaan luka pada saat jarum suntik ditarik perlahan-lahan. Tarik jarum hingga sampai ke bawah tempat dimana jarum tersebut disuntikkan.7. Arahkan lagi jarum ke daerah di atas tengah luka dan ulangi langkah ke-4, dan sekalilagi ulangi langkah ke-4 sehingga tiga garis di satu sisi luka mendapatkan anestesilokal. Ulangi proses proses ini di sisi lain dari luka tersebut. Setiap sisi luka akan memerlukan kurang lebih 5 ml lidokain 1% untuk mendapatkan anestesi yang cukup.8. Tunggu selama 2 menit dan biarkan anestesi tersebut bekerja dan kemudian uji daerah yang dianastesi dengan cara dicubit dengan forcep atau disentuh dengan jarum yang tajam. Jika ibu merakan jarum atau cubitan tersebut, tunggu 2 menit lagi dan kemudian uji kembali sebelum menjahit luka.

VIII. TEKNIK EPISIOTOMI DAN PENJAHITAN Tujuan menjahit laserari atau episiotomi adalah untuk menyatukan kembali jaringan dan mencegah kehilangan darah yang tidak perlu (memastikan haemostasis). Ingat bahwa setiap kali jarum masuk ke dalam jaringan tubuh, jaringan akan terluka dan menjadi tempat yang potensial untuk timbulnya infeksi. Oleh sebab itu pada saat menjahit laserasi atau episiotomi gunakan benang yang cukup panjang dan gunakan sesedikit mungkin jahitan untuk mencapai tujuan pendekatan dan haemostasis. Keuntungan teknik penjahitan jelujur:1. Mudah dipelajari, hanya perlu satu jenis penjahitan dan satu atau dua jenis simpul2. Tidak terlalu nyeri karena lebih sedikit benang yang digunakan3. Menggunakan lebih sedikit jahitan.a) PENJAHITN LASERASI PADA PERINEUM1. Cuci tangan dengan cara seksama dan gunakan sarung tangan disinfeksi tingkat tinggi atau steril. Ganti sarung tangan jika sudah terkontaminasi atau tertusuk jarum maupun peralatan tajam lainnya.2. Pastikan bahwa perlatan dan bahan-bahan yang digunakan sudah steril.3. Setelah memberikan anestesi lokal dan memastikan bahwa daerah tersebut sudah dianatesi, telusuri dengan hati-hati menggunakan satu jari untuk secara jelas menentukan batas-batas luka. Nilai kedalaman luka dan lapisan jaringan mana yang terluka. Dekatkan tepi laserasi untuk menentukan bagaimana cara menjahitnya menjadi satu dengan mudah.4. Buat jahitan pertama kurang lebih 1 cm di atas ujung laserasi di bagian dalam vagina. Setelah membuat tusukan pertama, buat ikatan dan potong pendek benang yang lebih pendek dari ikatan.5. Tutup mukosa vagina dengan jahitan jelujur, jahit ke bawah ke arah cincin hymen.6. Tepat sebelum cincin hymen, masukkan jarum ke dalam mukosa vagina lalu ke bawah cincin hymen sampai jarum berada di bawah laserasi. Periksa bagian antara jarum di perineum dan bagian atas laserasi. Perhatikan seberapa dekat jarum kepuncak luka.7. Teruskan ke arah bawah tapi tetap pada luka, menggunakan jahitan jelujur, hingga mencapai bagian bawah laserasi. Pastikan bahwa jarak setiap jahitan sama dan otot yang terluka telah dijahit. Jika laserasi meluas ke dalam otot, mungkin perlu melakukan satu atau dua lapis jahitan terputus-putus untuk menghentikan perdarahan dan atau mendekatkan jaringan tubuh secara efektif. 8. Setelah mencapai ujung laserasi, arahkan jarum ke atas dan teruskan penjahitan menggunakan jahitan jelujur untuk menutup lapisan subkutikuler. Jahitan ini akan menjadi jahitan lapis kedua. Periksa lubang bekas jarum tetap terbuka berukuran 0,5 cm atau kurang. Luka ini akan menutup dengan sendirinya pada saat penyembuhan luka.9. Tusukkan jarum dari robekan perineum ke dalam vagina. Jarum harus keluar dari belakang cincin hymen.10. Ikat benang dengan membuat simpul di dalam vagina. Potong ujung benang dan sisakan sekitar 1,5 cm. Jika ujung benang dipotong terlalu pendek, simpul akan longgar dan laserasi akan membuka.11. Ulangi pemeriksaan vagina dengan lembut untuk memastikan bahwa tidak ada kasa atau peralatan yang tertinggal di dalamnya. 12. Dengan lembut masukkan jari yang paling kecil ke anus. Raba apakah ada jahitan pada rectum. Jika ada jahitan yang teraba, ulangi pemeriksaan rectum 6 minggu pasca persalinan. Jika penyembuhan belum sempurna (misalkan jika ada fistula rektovaginal atau ibu melaporkan inkontinesia alvi atau feses), ibu segera dirujuk ke fasilitas kesehatan rujukan.13. Cuci daerah genital dengan lembut dengan sabun dan air disinfeksi tinggkat tinggi, kemudian keringkan. Bantu ibu mencari posisi yang aman.Gambar 5. Episiotomy mediolateralis.

b) TEKNIK MENJAHIT BERDASARKAN TINGKAT RUPTURA1. Tingkat I: Penjahitan robekan perineum tingkat I dapat dilakukan hanya dengan memakai catgut yang dijahitkan secara jelujur (continuous suture) atau dengan cara angka delapan (figure of eight).2. Tingkat II: Sebelum dilakukan penjahitan pada robekan perineum tingkat II maupun tingkat III, jika dijumpai pinggir yang tidak rata atau bergerigi, maka pinggir bergerigi tersebut harus diratakan terlebih dahulu. Pinggir robekan sebelah kiri dan kanan masing-masing diklem terlebih dahulu, kemudian digunting. Setelah pinggir robekan rata, baru dilakukan penjahitan luka robekan. Mula-mula otot-otot dijahit dengan catgut. Kemudian selaput lendir vagina dijahit dengan catgut secara terputus-putus atau jelujur. Penjahitan selaput lendir vagina dimulai dari puncak robekan. Terakhir kulit perineum dijahit dengan benang sutera secara terputus-putus.3. Tingkat III: Mula-mula dinding depan rectum yang robek dijahit. Kemudian fasia perirektal dan fasia septum rektovaginal dijahit dengan catgut kromik, sehingga bertemu kembali. Ujung-ujung otot sfingter ani yang terpisah oleh karena robekan diklem dengan klem pen lurus. Kemudian dijahit dengan 2-3 jahitan catgut kromik sehingga bertemu kembali. Selanjutnya robekan dijahit lapis demi lapis seperti menjahit robekan perineum tingkatII.4. Tingkat IV: Pasien dirujuk ke fasilitas dan tenaga kesehatan yang memadai.

c) TEKNIK EPISIOTOMI DAN PENJAHITANNYA1. Episiotomi medialisPada teknik ini insisi dimulai dari ujung terbawah introitus vagina sampai batas atas otot-otot sfingter ani. Cara anestesi yang dipakai adalah cara anestesi infiltrasi antara lain dengan larutan procaine 1%-2%; atau larutan lidonest 1%-2%; atau larutan xylocaine 1%-2%. Setelah pemberian anestesi dilakukan insisi dengan mempergunakan gunting yang tajam dimulai dari bagian terbawah introitus vagina menuju anus, tetapi sampai tidak memotong pinggir atas sfingter ani, hingga kepala dapat dilahirkan. Bila kurang lebar disambung ke lateral (episiotomi mediolateralis).Untuk menjahit luka episiotomi medialis mula-mula otot perineum kiri dan kanan dirapatkan dengan beberapa jahitan. Kemudian fasia dijahit dengan beberapa jahitan. Lalu selaput lendir vagina dijahit dengan empat atau lima jahitan. Jahitan dapat dilakukan secara terputius-putus (interupted suture) atau secara jelujur (continuous suture). Benang yang dipakai untuk menjahit otot, fasia dan selaput lendir adalah catgut chromic, sedang untuk kulit perineum dipakai benang sutera.2. Episiotomi mediolateralisPada teknik ini insisi dimulai dari bagian belakang introitus vagina menuju kearah belakang dan samping. Arah insisi ini dapat dilakukan ke arah kanan atau pun kiri, tergantung pada kebiasaan orang yang melakukannya. Panjang insisi kira-kira 4 cm.Teknik menjahit luka pada episiotomi mediolateralis hampir sama dengan tekhnik menjahit episiotomi medialis. Penjahitan dilakukan sedemikian rupa sehingga setelah penjahitan luka selesai hasilnya harus simetris3. Episiotomi lateralisPada tekhnik ini insisi dilakukan kearah lateral mulai dari kira-kira pada jam 3 atau 9 menurut arah jarum jam.Tekhnik ini sekarang tidak dilakukan lagi oleh karena banyak menimbulkan komplikasi. Luka insisi ini dapat melebar kearah dimana terdapat pembuluh darah pudendal interna, sehingga dapat menimbulkan perdarahan yang banyak. Selain itu parut yang terjadi dapat menimbulkan rasa nyeri yang mengganggu penderita.

IX. SARANNasehati ibu untuk:1. Menjaga perineumnya selalu bersih dan kering.2. Hindari penggunaan obat-obatan tradisional pada perineumnya.3. Cuci perineumnya dengan sabun dan air bersih yang mengalir 3 sampai 4 kali perhari.4. Kembali dalam seminggu untuk memeriksa penyembuhan lukanya. Ibu harus kembali lebih awal jika ia mengalami demam atau mengeluarkan cairan yang berbau busuk dari daerah lukanya atau jika daerah tersebut menjadi lebih nyeri.

X. DAFTAR PUSTAKA1. Mc Candlish R, Bowler U, van AstenHet al. A randomized controlled trial of care of the perineum during second stage of normal labour. Br J Obstet Gynaecol 1998;105:126272.2. Wagner M. Pursuing the birth machine: the search for appropriate technology. Camperdown: ACE Graphics, 1994, pp 16574.3. Statistical Bulletin NHS Maternity Services.London: Department ofHealth, 2003.4. Bonica, John J.Principles and Practice of Obstetric Analgesia and Anesthesia, FA Davis Co. Philadelphia, 2nd ed, 1995;501-5135. Sultan AH. Obstetric perineal injury and anal incontinence. Clinical Risk 1999;5:1936.6. Faltin DL, Boulvain M, Floris LA, Irion O. Diagnosis of anal sphincter tears to prevent fecal incontinence: a randomized controlled trial. Obstet Gynecol 2005;106(1):613.7. Metcalfe A, Tohill S, Williams A, Haldon V, Brown L, Henry L. A pragmatic tool for the measurement of perineal tears. Br J Midwifery 2002;10(7):4127.8. Wood T. Not suturing is safe. Pract Midwife 1999; 2(7):15.9. Head M. Dropping stitches. Nursing Times 1993; 89(33):645.10. Clement S, Reed B. To stitch or not to stitch? A long-term follow-up study of women with unsutured perineal tears. Pract Midwife 1999;2(4):208. Lundquist M, Olsson A,Nissen E, Norman M. Is it necessary to suture all lacerations after a vaginal delivery? Birth 2000;27(2):7985.11. Pretorius GP. Episiotomy. Br Med J 1982;284:1322.

3