1
K EBERADAAN tenun lurik kian langka da- lam beberapa tahun belakangan. Jumlah perajin tenun yang berbasis di Yogyakarta dan Solo itu makin menyusut tiap tahunnya. Penyebabnya beragam, di antaranya semakin berkurang- nya pasar motif pakaian yang biasa digunakan abdi dalem keraton itu. Di Yogyakarta, selain karena pasar yang berkurang, menyu- sutnya jumlah perajin dise- babkan dampak gempa yang terjadi pada 2006. Sejumlah unit usaha mikro berbasis tenun lurik di bebe- rapa kabupaten, seperti Bantul, Klaten, dan Sukoharjo pun terpaksa gulung tikar akibat peristiwa tersebut. “Bukan hanya rumah yang hancur, peralatan warisan turun-temurun dari nenek moyang saya pun hancur,” ujar Sanikem, pemilik usaha mikro tenun sari lurik alat tenun bu- kan mesin (ATBM) sekaligus Ketua Kelompok Kerja Perajin Tenun Lurik di Desa Grogol, Kecamatan Weru, Kabupaten Sukoharjo, Yogyakarta, saat ditemui di kediamannya Rabu (13/4). Akibatnya, usaha pembuatan tenun lurik yang sudah berjalan puluhan tahun itu harus dihen- tikan karena ketiadaan alat dan modal. Beruntung, setelah vakum selama tiga tahun lebih, pada akhir 2009, Sanikem dan be- berapa perajin lain di desanya mendapatkan bantuan dari lem- baga swadaya masyarakat GIZ Indonesia untuk menghidup- kan industri tenun lurik yang sempat mati suri. “Dari GIZ, kami dapat modal pelatihan dan peralatan untuk memulai kembali usaha tenun lurik. Salah satu pelatihannya, bagaimana membuat kain te- nun lurik yang halus. Dulu kan kainnya kasar karena hanya dipakai untuk gendongan dan serbet. Sekarang karena kami bisa buat yang halus, kainnya bisa untuk pakaian,” jelasnya. Berbekal ilmu dan peralatan baru itu, ia dan sekitar 120 lebih perajin lainnya di Desa Grogol tidak hanya bisa kemba- li membangkitkan usaha mikro tenun lurik di daerah tersebut, tapi juga meningkatkan nilai jualnya. Sebelumnya, harga jual kain tenun lurik dalam bentuk serbet dan gendongan hanya berkisar Rp4.000 per potong. Padahal, pembuatan tenun lurik tidaklah mudah. Prosesnya memakan waktu yang terbilang panjang, sekitar 25-30 hari. Saat ini, dengan mengguna- kan benang yang lebih halus, setiap potong kain lurik beru- kuran 200 x 110 cm memiliki harga jual sekitar Rp55 ribu- Rp65 ribu. “Kalau dulu, mene- nun itu hanya untuk mengisi waktu luang, sekarang Alhamdulillah bisa untuk menambah pemasukan kelu- arga. Bisa untuk bantu suami bayar sekolah anak, kasih sa- ngu juga. Malah sekarang mau beli apa-apa bisa sendiri, dari baju sampai pulsa ha..ha..ha,” BENANG MAHAL: Sanikem memeragakan memintal benang. Harga bahan baku benang yang terus naik turut menghambat produksi kain lurik di Desa Grogol, Yogyakarta. Bangkitkan Usaha Tenun Lurik Gempa bumi yang sempat meluluhlantakkan Desa Grogol, Sukoharjo, Yogyakarta, sempat mematisurikan industri kain lurik tradisional. Namun, kini industri rakyat itu mulai bangkit kembali. CHRISTINA NATALIA SIHITE FOTO-FOTO: MI/CHRISTINA NATALIA 11 E NTRE PRENEUR BAGI Sanikem, tenun lurik selain diharapkan bisa meng- angkat ekonomi warga juga sebagai peninggalan generasi sebelumnya yang patut diles- tarikan. Setiap hari ia juga mengajarkan seluruh proses pembuatan tenun lurik, ter- masuk proses pembuatan ra- gam motif tenun. Dengan begitu, diharapkan akan semakin banyak warga yang memiliki keterampilan tersebut. “Industrinya semakin berkembang. Budayanya juga tetap terjaga. Jangan sampai warisan nenek moyang kami ini punah karena tidak ada yang melanjutkan. Saya ingin seperti orang tua saya, mengajarkan bikin tenun lurik ke anak-anak saya. Semoga citranya juga se- makin terangkat karena sudah dipakai desainer,” jelasnya. Memang membangkitkan industri kecil tenun lurik sen- ungkap perempuan yang su- dah 20 tahun lebih menggeluti tenun lurik ini. Bahkan, Sanikem mengaku usaha tenun luriknya bisa menjadi sumber pendapatan utama rumah tangganya di saat musim paceklik tiba. Perluas pasar Untuk memperluas pasar penjualan tenun lurik, sejak tahun lalu, Sanikem dan perajin lain di desanya pun mulai aktif mengikuti berbagai pameran produk kebudayaan di Yogya- karta, Solo, hingga Jakarta. Hasil karyanya sempat me- jeng bahkan laku keras di pa- meran Inacraft 2010. “Saat ini, kami juga terbantu dengan adanya aturan Pemda Jawa Tengah yang mewajibkan PNS (pegawai negeri sipil) untuk memakai baju dari kain tenun lurik sebanyak dua kali dalam seminggu sejak 2009. Itu benar-benar membantu pen- jualan kami. Semoga langkah itu diikuti pemda-pemda lain di daerah Jawa,” tuturnya. Bahkan, tenun lurik karya Sanikem dan rekan-rekannya sempat digunakan sejumlah desainer Yogyakarta sebagai bahan dasar pembuatan gaun rancangan mereka, salah satu- nya Dina Isfandiary. Di tangan desainer itu, kain lurik yang dulu hanya dipakai masyarakat jelata pun mulai naik kelas. Kain lurik yang khas de- ngan abdi dalem keraton dan masyarakat bawah jadinya bisa dipakai semua kalangan. Karena model baju jadinya sekarang makin bervariasi. “Tapi kalau kami sendiri belum mampu membuat yang bagus seperti desainer. Hanya bisa buat baju yang sederhana, seperti kemeja laki-laki dan blus untuk perempuan.” Beberapa bulan terakhir, Sanikem memang tidak hanya menjual kain tenun lurik da- lam bentuk bahan, tetapi juga pakaian jadi. Dengan menjual- nya sebagai pakaian jadi, nilai jual tenun lurik pun semakin tinggi. Harga kemeja tenun lurik saja dijualnya mulai dari Rp95 ribu per potong. Meskipun hanya menghasil- kan sekitar 40 potong kain tenun lurik setiap bulannya, Sanikem memiliki lima pekerja untuk menjalankan usahanya itu. Setiap pekerja, bertugas se- suai tahapan proses pembuatan tenun lurik tradisional. “Biasanya mereka saya panggil kalau order banyak, misalnya ada pesanan suvenir pernikahan atau pajangan atau seragam,” paparnya. Para pekerja itu direkrutnya dari tetangganya yang tengah menganggur. Sanikem ber- harap, tingkat perekonomian desanya akan ikut terangkat. (M-1) miweekend@ mediaindonesia.com diri bukannya tanpa tantangan. Harga benang yang melam- bung dalam beberapa bulan terakhir berpengaruh pada melonjaknya biaya produksi kain lurik. Otomatis, keuntungan yang diperoleh Sanikem setiap bu- lannya tergerus. “Sekarang benang mahal. Biasanya kami pakai tiga press benang (sekitar 4,5 kilogram) harganya Rp325 ribu. Padahal sebelumnya Rp165 ribu. Itu mungkin masih naik. Benang kita ambil dari Klaten, tapi hampir seminggu ini kosong. Sudah itu, saya harus tetap bayar upah pekerja. Kami maunya naikkan harga jual, tapi susah,” jelasnya. Sulitnya menaikkan harga jual tenun lurik tradisional itu, menurutnya, tidak lepas dari serbuan kain-kain lurik buatan sejumlah pabrik tekstil di dae- rah tersebut yang mengguna- kan alat tenun mesin (ATM). Kain lurik buatan pabrik itu memang dijual jauh lebih mu- rah daripada kain tenun lurik ATBM, yaitu sekitar Rp30 ribu- Rp40 ribu per potong. Selain harga yang murah, stok kain lurik keluaran pabrik pun selalu tersedia di pasaran. Berbeda dengan kain lurik tradisional yang kerap harus menunggu pesanan. Wajar saja, perajin tenun lurik tradisional rata-rata hanya mampu meng- hasilkan 40 potong kain setiap bulannya lantaran proses yang panjang dan sangat tergantung dengan cuaca. Ancaman serius Namun, harus diakui, kain lurik buatan pabrik tidak me- miliki keaslian tekstur seperti yang ada pada kain lurik tra- disional. Kain buatan pabrik cenderung mirip dengan kain katun biasa, bermotif lurik. Meskipun demikian, dari sisi persaingan harga, lurik buatan pabrik tetap menjadi ancaman utama bagi kelangsungan in- dustri tradisional ini. Untuk menyiasati persaingan dengan pabrik-pabrik tekstil itu, kini Sanikem dan sejumlah rekannya pun tengah mengikuti pelatihan membuat tenun ikat. Motif tenun ikat terbilang ru- mit dan tidak bisa diproduksi secara massal oleh mesin. “Motif tenun ikat tidak bisa ditiru mesin. Makanya kami be- lajar, supaya bisa bersaing den- gan pabrik,” kata Sanikem. Selain itu, Sanikem mem- perkaya ragam motif luriknya. Ada motif hujan deras, gerimis, semut gatal mubal merah, yuyu sekandang, kembang bayem, dan pasawah. Kami beri nama sesuai dengan musim pembua- tannya,” imbuhnya. (CS/M-1) Perkaya Motif Hadapi Lurik Pabrik Dengan menjualnya sebagai pakaian jadi, nilai jual tenun lurik pun semakin tinggi.” SABTU, 23 APRIL 2011

SABTU, 23 APRIL 2011 Bangkitkan Usaha Tenun … EBERADAAN tenun lurik kian langka da-lam beberapa tahun belakangan. Jumlah perajin tenun yang berbasis di Yogyakarta dan Solo itu makin

Embed Size (px)

Citation preview

KEBERADAAN tenun lurik kian langka da-lam beberapa tahun belakangan. Jumlah

perajin tenun yang berbasis di Yogyakarta dan Solo itu makin menyusut tiap tahunnya.

Penyebabnya beragam, di antaranya semakin berkurang-nya pasar motif pakaian yang biasa digunakan abdi dalem keraton itu.

Di Yogyakarta, selain karena pasar yang berkurang, menyu-sutnya jumlah perajin dise-babkan dampak gempa yang terjadi pada 2006.

Sejumlah unit usaha mikro berbasis tenun lurik di bebe-rapa kabupaten, seperti Bantul, Klaten, dan Sukoharjo pun terpaksa gulung tikar akibat peristiwa tersebut.

“Bukan hanya rumah yang hancur, peralatan warisan turun-temurun dari nenek moyang saya pun hancur,” ujar Sanikem, pemilik usaha mikro tenun sari lurik alat tenun bu-kan mesin (ATBM) sekaligus Ketua Kelompok Kerja Perajin Tenun Lurik di Desa Grogol, Kecamatan Weru, Kabupaten Sukoharjo, Yogyakarta, saat ditemui di kediamannya Rabu (13/4).

Akibatnya, usaha pembuatan tenun lurik yang sudah berjalan puluhan tahun itu harus dihen-tikan karena ketiadaan alat dan modal.

Beruntung, setelah vakum selama tiga tahun lebih, pada akhir 2009, Sanikem dan be-berapa perajin lain di desanya

mendapatkan bantuan dari lem-baga swadaya masyarakat GIZ Indonesia untuk menghidup-kan industri tenun lurik yang sempat mati suri.

“Dari GIZ, kami dapat modal pelatihan dan peralatan untuk memulai kembali usaha tenun lurik. Salah satu pelatihannya, bagaimana membuat kain te-nun lurik yang halus. Dulu kan kainnya kasar karena hanya dipakai untuk gendongan dan serbet. Sekarang karena kami bisa buat yang halus, kainnya bisa untuk pakaian,” jelasnya.

Berbekal ilmu dan peralatan baru itu, ia dan sekitar 120 lebih perajin lainnya di Desa Grogol tidak hanya bisa kemba-li membangkitkan usaha mikro tenun lurik di daerah tersebut, tapi juga meningkatkan nilai jualnya.

Sebelumnya, harga jual kain tenun lurik dalam bentuk serbet dan gendongan hanya berkisar Rp4.000 per potong. Padahal, pembuatan tenun lurik tidaklah mudah. Prosesnya memakan waktu yang terbilang panjang, sekitar 25-30 hari.

Saat ini, dengan mengguna-kan benang yang lebih halus, setiap potong kain lurik beru-kuran 200 x 110 cm memiliki harga jual sekitar Rp55 ribu-Rp65 ribu. “Kalau dulu, mene-nun itu hanya untuk mengisi waktu luang, sekarang

Alhamdulillah bisa untuk menambah pemasukan kelu-arga. Bisa untuk bantu suami bayar sekolah anak, kasih sa-ngu juga. Malah sekarang mau beli apa-apa bisa sendiri, dari baju sampai pulsa ha..ha..ha,”

BENANG MAHAL: Sanikem memeragakan memintal benang. Harga bahan baku benang yang terus naik turut menghambat produksi kain lurik di Desa Grogol, Yogyakarta.

Bangkitkan Usaha Tenun LurikGempa bumi yang sempat meluluhlantakkan Desa Grogol, Sukoharjo, Yogyakarta, sempat mematisurikan industri kain lurik tradisional. Namun, kini industri rakyat itu mulai bangkit kembali.

CHRISTINA NATALIA SIHITE

FOTO-FOTO: MI/CHRISTINA NATALIA

11ENTREPRENEUR

BAGI Sanikem, tenun lurik selain diharapkan bisa meng-angkat ekonomi warga juga sebagai peninggalan generasi sebelumnya yang patut diles-tarikan. Setiap hari ia juga meng ajarkan seluruh proses pembuatan tenun lurik, ter-masuk proses pembuatan ra-gam motif tenun.

Dengan begitu, diharapkan akan semakin banyak warga yang memiliki keterampilan tersebut. “Industrinya semakin berkembang. Budayanya juga tetap terjaga. Jangan sampai warisan nenek moyang kami ini punah karena tidak ada yang melanjutkan. Saya ingin seperti orang tua saya, mengajarkan bikin tenun lurik ke anak-anak saya. Semoga citranya juga se-makin terangkat karena sudah dipakai desainer,” jelasnya.

Memang membangkitkan industri kecil tenun lurik sen-

ungkap perempuan yang su-dah 20 tahun lebih menggeluti tenun lurik ini.

Bahkan, Sanikem mengaku usaha tenun luriknya bisa menjadi sumber pendapatan utama rumah tangganya di saat musim paceklik tiba.

Perluas pasarUntuk memperluas pasar

penjualan tenun lurik, sejak tahun lalu, Sanikem dan perajin lain di desanya pun mulai aktif mengikuti berbagai pameran produk kebudayaan di Yogya-karta, Solo, hingga Jakarta.

Hasil karyanya sempat me-jeng bahkan laku keras di pa-meran Inacraft 2010.

“Saat ini, kami juga terbantu dengan adanya aturan Pemda Jawa Tengah yang mewajibkan PNS (pegawai negeri sipil) untuk memakai baju dari kain tenun lurik sebanyak dua kali dalam seminggu sejak 2009. Itu benar-benar membantu pen-jualan kami. Semoga langkah itu diikuti pemda-pemda lain di daerah Jawa,” tuturnya.

Bahkan, tenun lurik karya Sanikem dan rekan-rekannya sempat digunakan sejumlah desainer Yogyakarta sebagai bahan dasar pembuatan gaun rancangan mereka, salah satu-nya Dina Isfandiary. Di tangan

desainer itu, kain lurik yang dulu hanya dipakai masyarakat jelata pun mulai naik kelas.

Kain lurik yang khas de-ngan abdi dalem keraton dan masyarakat bawah jadinya bisa dipakai semua kalangan. Karena model baju jadinya sekarang makin bervariasi.

“Tapi kalau kami sendiri belum mampu membuat yang bagus seperti desainer. Hanya bisa buat baju yang sederhana, seperti kemeja laki-laki dan blus untuk perempuan.”

Beberapa bulan terakhir, Sanikem memang tidak hanya menjual kain tenun lurik da-lam bentuk bahan, tetapi juga pakai an jadi. Dengan menjual-nya sebagai pakaian jadi, nilai jual tenun lurik pun semakin tinggi. Harga kemeja tenun lurik saja dijualnya mulai dari Rp95 ribu per potong.

Meskipun hanya menghasil-kan sekitar 40 potong kain tenun lurik setiap bulannya, Sanikem memiliki lima pekerja untuk menjalankan usahanya itu. Setiap pekerja, bertugas se-suai tahapan proses pembuatan tenun lurik tradisional.

“Biasanya mereka saya panggil kalau order banyak, misal nya ada pesanan suvenir pernikahan atau pajangan atau seragam,” paparnya.

Para pekerja itu direkrutnya dari tetangganya yang tengah menganggur. Sanikem ber-harap, tingkat perekonomian desanya akan ikut terangkat. (M-1)

[email protected]

diri bukannya tanpa tantangan. Harga benang yang melam-bung dalam beberapa bulan terakhir berpengaruh pada melonjaknya biaya produksi kain lurik.

Otomatis, keuntungan yang diperoleh Sanikem setiap bu-lannya tergerus. “Sekarang benang mahal. Biasanya kami pakai tiga press benang (sekitar 4,5 kilogram) harganya Rp325 ribu. Padahal sebelumnya Rp165 ribu. Itu mungkin masih naik. Benang kita ambil dari Klaten, tapi hampir seminggu ini kosong. Sudah itu, saya harus tetap bayar upah pekerja. Kami maunya naikkan harga jual, tapi susah,” jelasnya.

Sulitnya menaikkan harga jual tenun lurik tradisional itu, menurutnya, tidak lepas dari serbuan kain-kain lurik buatan sejumlah pabrik tekstil di dae-rah tersebut yang mengguna-

kan alat tenun mesin (ATM). Kain lurik buatan pabrik itu memang dijual jauh lebih mu-rah daripada kain tenun lurik ATBM, yaitu sekitar Rp30 ribu-Rp40 ribu per potong.

Selain harga yang murah, stok kain lurik keluaran pabrik pun selalu tersedia di pasaran. Berbeda dengan kain lurik tra disional yang kerap harus menunggu pesanan. Wajar saja, perajin tenun lurik tradisional rata-rata hanya mampu meng-hasilkan 40 potong kain setiap bulannya lantaran proses yang panjang dan sangat tergantung dengan cuaca.

Ancaman seriusNamun, harus diakui, kain

lurik buatan pabrik tidak me-miliki keaslian tekstur seperti yang ada pada kain lurik tra-disional. Kain buatan pabrik cenderung mirip dengan kain

katun biasa, bermotif lurik.Meskipun demikian, dari sisi

persaingan harga, lurik buatan pabrik tetap menjadi ancaman utama bagi kelangsungan in-dustri tradisional ini.

Untuk menyiasati persaingan dengan pabrik-pabrik tekstil itu, kini Sanikem dan sejumlah rekannya pun tengah mengikuti pelatihan membuat tenun ikat. Motif tenun ikat terbilang ru-mit dan tidak bisa diproduksi secara massal oleh mesin.

“Motif tenun ikat tidak bisa ditiru mesin. Makanya kami be-lajar, supaya bisa bersaing den-gan pabrik,” kata Sanikem.

Selain itu, Sanikem mem-perkaya ragam motif luriknya. Ada motif hujan deras, gerimis, semut gatal mubal merah, yuyu sekandang, kembang bayem, dan pasawah. Kami beri nama sesuai dengan musim pembua-tannya,” imbuhnya. (CS/M-1)

Perkaya Motif Hadapi Lurik Pabrik

Dengan menjualnya

sebagai pakaian jadi, nilai jual tenun lurik pun semakin tinggi.”

SABTU, 23 APRIL 2011