25
REVIEW BUKU THE TAO OF ISLAM PEMIKIRAN SACHIKO MURATA TENTANG RELASI GENDER By: Didin Chonyta (SIAI)_14750010_ Judul : The Tao of Islam (Kitab Rujukan tentang Relasi Gender dalam Kosmologi dan Teologi Islam). Pengarang : Prof. Sachiko Murata Jumblah halaman : 461 Halaman Penerbit : Mizan Kota Terbit : Bandung Tahun Terbit : November 1999 A. Biografi Sachiko Murata 1. Profile Sachiko Murata Sachiko Murata adalah Profesor studi-studi agama pada departemen of Comparative Studies di State University of New York at Stony Brook, Amerika Serikat. Mendapat gelar Ph.d di Bidang Hukum Islam dari Fakultas Teologi Universitas Teheran, Iran. 1 1 http://www.stonrybrook.edu/asianandam/murata_sachikohtml# akses internet Friday, 19 desember 2014, Informasi biografi Sachiko murata dapat diakses melalui www.sunysb.edu/complit/new/murata.html.,www.adsense-success guide.com/sachiko_murata.

(Sachiko Murata) the Tao of Islam

Embed Size (px)

DESCRIPTION

resensi buku the TAO of Islam

Citation preview

REVIEW BUKU THE TAO OF ISLAM

PEMIKIRAN SACHIKO MURATA TENTANG RELASI GENDER

By: Didin Chonyta (SIAI)_14750010_

Judul : The Tao of Islam (Kitab Rujukan tentang Relasi Gender dalam

Kosmologi dan Teologi Islam).

Pengarang : Prof. Sachiko Murata

Jumblah halaman : 461 Halaman

Penerbit : Mizan

Kota Terbit : Bandung

Tahun Terbit : November 1999

A. Biografi Sachiko Murata

1. Profile Sachiko Murata

Sachiko Murata adalah Profesor studi-studi agama pada departemen of

Comparative Studies di State University of New York at Stony Brook, Amerika

Serikat. Mendapat gelar Ph.d di Bidang Hukum Islam dari Fakultas Teologi

Universitas Teheran, Iran.1

1http://www.stonrybrook.edu/asianandam/murata_sachikohtml# akses internet Friday, 19 desember

2014, Informasi biografi Sachiko murata dapat diakses melalui

www.sunysb.edu/complit/new/murata.html.,www.adsense-success guide.com/sachiko_murata.

Sachiko Murata dilahirkan di Jepang, sekitar tahun 1940-an. Suaminya

bernama Wiliam chittick. Perkenalannya dengan Islam dimulai semasa menjadi

mahasiswi yang tengah mempelajari hukum keluarga di Universitas Chiba di

pinggiran kota Tokyo.2

Rasa keingintahuan Sachiko Murata tergugah ketika

mengetahui bahwa dalam hukum keluarga, Islam membolehkan seorang pria

mempunyai empat istri, atau yang disebut dengan poligami.

Sachiko Murata tercatat sebagai seorang wanita non muslim pertama yang

mendaftar masuk Fakultas Teologi dalam Program Yurisprudensi (fiqh), dan

berkesempatan secara langsung mempelajari hukum Islam dari beberapa otoritas

terkemuka dibidangnya, diantaranya: Sayyid Hassan Iftikharzada Sabziwari,

seorang ulama terdidik dalam bidang metodologi tradisional yang membantunya

mengkaji beberapa teks tersulit dari Fiqh dan prinsip-prinsip Yurisprudensi (Ushul

Fiqh). Profesor Abu al-Qasim Gurji’ serta Profesor Tashishiko Izutsu,

pembimbingnya, sehingga Sachiko Murata berhasil menerjemahkan teks klasik

abad ke-10 H / 16 M, tentang prinsip-prinsip Yuriprudensi, Mu’allim al-Ushul ke

dalam bahasa Jepang.

2. Riwayat pendidikan Sachiko Murata

Setelah menyelesaikan studinya dan bekerja setahun di sebuah badan hukum

di Tokyo, rasa keingintahuannya semakin mengebu terutama ketika seorang

sahabatnya dari Iran menawarkan mengusahakan beasiswanya untuk mempelajari

hukum Islam di Universitas Teheran, Iran. Segera Sachiko Murata tidak menyia-

nyiakan kesempatan ini. tahun 1967 Sachiko Murata berangkat ke Iran untuk

belajar di Universitas Teheran. Sebelum mempelajari lebih jauh tentang hukum

Islam, dia memutuskan untuk memperdalam bahasa Persia selama tiga tahun.

Tahun 1971,dia berhasil menyelesaikan disertasi PhD dalam bidang sastra Persia

tentang peranan kaum wanita dalam Hayft Paykar, dengan mengkaji sebuah karya

puisi yang ditulis oleh Nizhami.

2

http://diandra.blogs.friendster.com/my_blog/2006/02/index.html akses internet jum’at tanggal 19

desember 2014.

Dalam waktu yang tidak terlalu lama, Sachiko Murata menyadari bahwa

berbagai pra konsepsi dia tentang kedudukan wanita dalam Islam yang dipelajari

orang-orang Jepang dari sumber-sumber Barat, sama sekali tidak berkaitan dengan

realitas masyarakat Iran saat itu sebelum revolusi Iran terjadi. sebagai seorang

wanita pertama dalam program tersebut, dia selalu diperlakukan dengan penuh

sopan dan hormat oleh dosen dan para mahasiswa. Ada kesan mendalam selama

dia mengambil studi di Teheran seperti yang diutarakannya:

“Selama bertahun-tahun bergaul dan bekerjasama dengan para sarjana

seperti Gurji, Iftikharzada dan lainnya, saya tidak pernah merasakan

diperlakukan secara khusus hanya karena saya seorang wanita. Mereka

memperdebatkan berbagai macam persoalan dengan saya sebagaimana

yang mereka lakukan dengan rekan-rekan mereka sendiri. Kadang-

kadang mereka berusaha meyakinkan saya bahwa merekalah yang benar,

dan sesekali saya juga menyakinkan mereka bahwa sayalah yang benar.

seringkali kami ngotot dan bersikukuh dengan pendapat kami masing-

masing, dengan tetap menghormati satu sama lain. Pada tingkat ilmu,

gender bukan masalah. Hanya saja, manakala seorang pria mengunjungi

seseorang bersama istrinya, ada aturan-aturan tertentu yang perlu

diperhatikan”3

Di Iran Sachiko Murata mulai mempelajari tradisi sufisme yang disebutnya

sebagai tradisi kearifan (hikmah) secara serius dan sungguh-sungguh, tentang

beberapa kajian yuridis. Selama beberapa tahun beliau mengikuti beberapa kuliah

professor Izutzu tentang Fushus al-Hikam karya Ibn al-‘Arabi dan kuliah yang

disampaikan oleh Sayyed Hosein Nasr mengenai karya besar klasik Persia yang

menganut mazhab ibn al-‘Arabi, Syarhi Ghulsyani-I raz.

Salah satu kajian yang menjadi kenangan berkesan selama tahun-tahun

studinya adalah ketika dia menelaah dan mengkaji ajaran cemerlang Jalal al-Din

Huma’i, yang kehadirannya cukup meyakinkan Sachiko Murata bahwa Islam

memiliki tardisi spiritual yang dalam dan hidup. Tahun 1975, Sachiko Murata

menyelesaikan tesis M.A-nya di Fakultas Teologi dengan topik pernikahan

sementara (nikah mut’ah).

3 Sachiko Murata, The Tao of Islam: A. Source book on Gender Relationship in Islamic Thought, (New

York : State University of New York, 1992), hlm. 12-16.

Semenjak perjumpaannya dengan berbagai manifestasi peradaban Islam

klasik, baik dalam bidang seni, arsitektur, puisi, ajaran-ajaran hukum, adat-

kebiasaan dan pandangan dunia menyeluruh. Sachiko Murata merasa bahwa

semua itu mempunyai kedekatan yang erat dengan latar belakang ketimurannya.

Pada tahun 1977, wlaupun studinya di Teheran sempat terputus karena revolusi

social yang terjadi di Iran, dia memutuskan untuk menulis disertasi Ph.D yang

membandingkan ajaran-ajaran Islam dan Kong Hu Cu tentang keluarga, tapi

revolusi Iran menyebabkan riset tersebut berhenti.

Selama masa tersebut, bersama professor Izutsu, dia mempelajari I Ching,

yakni tentang ajaran-ajaran dasar filsafat Cina, dan ini membuatnya semakin akrab

dengan kedalaman filosofis eksplisit dalam pemikiran Cina. Tahun 1983, Sachiko

Murata bergabung dengan Fakultas Agama di stony Brook dan diminta untuk

mengajar mata kuliah “spiritualitas feminine dalam agama-agama Dunia’. Tugas

terberat yang harus dihadapinya adalah mengubah pandangan kuno tentang

kedudukan wanita dalam Islam yang hampir tidak pernah berubah. Prasangka

bahwa wanita Timur, khususnya wanita muslim, merupakan kaum yang paling

tertindas dan tertekan di muka bumi tampaknya telah berakar kuat di benak para

mahasiswa dan koleganya.

Walaupun Islam mungkin mempunyai sisi-sisi menarik untuk dikemukakan,

namun sama sekali bukan aspek peran wanitanya dalam masyarakat. Untuk itulah,

beliau menggunakan pendekatan tak langsung, menjelaskan Islam bukan dari

konteks Barat, dengan segala asumsinya mengenai seksualitas dan peran gender

yang tersirat tapi melalui perspektif timur jauh. Sachiko Murta mempunyai alasan

kuat, ajaran-ajaran dasar filsafat cina sudah dikenal para pembaca terdidik Barat.

Popularitas I Ching serta kehadiran symbol Yin dan Yang menyebabkan tak

banyak orang yang mesti diberitahu bahwa pemikiran Cina sangat menekankan

prinsip harmoni dan keseimbangan antara dua peran eksistensi.

Menurut Ratna Megawangi Pengantar buku the Tao of Islam, pendekatan

yang digunakan sachiko murata untuk menjelaskan relasi gender adalah memakai

prespektif kosmologi Islam. Sebaliknya, kosmologi Islam secara praktis tak

dikenal, karena tak banyak cendikiawan Muslim yang mencurahkan perhatian

pada pandangan yang lebih dalam atau makna dibalik institusi Islam. Melalui

pendekatan yang dipilihnya tersebut, menjelang akhir diskusi, ketika melihat

peranan ideal yang dimainkan kaum wanita dalam masyarakat yang sesuai dengan

ajaran-ajaran spiritual Islam, Prof. Murata menemukan para mahasiswanya tidak

lagi sulit menghargai fakta bahwa peranan gender dalam Islam bukan tidak

bertujuan sama sekali dan bukan dimotivasi oleh kepentingan-kepentingan politis.

B. Karya Sachiko Murata

Adapun karya karya dari Sachiko Murata yang telah dihasilkan sampai kurun

waktu sekarang. Beberapa diantaranya ditulis dalam bahasa Inggris, namun tidak

sedikit yang ditulis dalam bahasa ibunya, bahasa Jepang. Buku-Buku Sachiko Murata

yang sudah dipublikasikan, antara lain:

1. Izdiwaji muwaqqat, Teheran Hamdani, 1978

2. Isuramu hooriran Jestsu (principle of Islamic Law, translation with introduction

and commentary of ma’alim al-usiul by Shaykh hasan, Tokyo: Iwanami (Islamic

Classiics, general editor T. Isutzu, 1985)

3. Temporary marriage in Islamic Law, London: Muhammadi Trust, 1987. reprinted

qum: Ansariyan Publications, 1991.

4. The Tao of Islam: A Sourcebook on Gender Relationship in Islamic Thought,

Albany: SUNY Press, 1992. Indonesian translation by Ratna Megawangi,

Bandung, Mizan, 1995.

5. Sachiko Murata and William C. Chittick, The Vision of Islam, New York: Paragon,

1994. Pakistan edition: Lahore: Suhail Academy, 1998.

6. Chinese Gleams of Sufi Light: Wang Tai-yu’s Great Learning of The Pure and

Real liu Chih’s Displaying The Concealment of The Real Realm, Albany: SUNY

Press, in production (2000).

Artikel-artikel yang telah ditulisnya, antara lain:

1. Shiaha isuramu no tokushoku (“characteristic of Shi’ite Islam), Isuramu Pawa no

Kenkyu, vol. 2, Tokyo: Chutoo Choosakai, 1982.

2. Akund Korasani: His importance in Osul, Encylopedia Iranica, London: Routdge

and Kegan Paul, Vol. 1, 1984.

3. Angels on Islmic spirituality: Foundation (vol. 19 of world Spirituality” A

Encyclopedia History of the Religions Quest), New York: Crossroad, 1987.

4. Masculline / feminine Complementaryin Islamic spiritual Psychology, Islamic

Quartely 33, 1989, pp. 165-187.

5. The Tao of Islamic, Sufi 5, 1990, pp. 17-21.

6. Myteries of Marriage: Notes on Sufi Text, the Legacy of Mrdieval Persian Sufism,

edited by Leornard.

7. Kawaranu Hito, (The unchanging Personality).

8. Isuramu to Josei (Islam and women).

9. Witnessing the Rose: Ya’qub Sarfi on the vision of God in Women.

10. Ta’lim-l Islam dar Maghribzamin (Teaching Islam in the West).

C. Pemikiran Sachiko Murata Dalam buku The Tao Islam.

1. Argumen kesetaraan Gender Sachiko murata

Konsep gender dalam Islam berakar pada paradigma bahwa secara teologis,

perempuan dan laki-laki diciptakan dari asal yang sama, karenanya keduanya

memiliki kualitas kemanusiaan yang sederajat. Namun demikian, dalam konstalasi

pemikiran Islam, ada tiga pandangan yang berkembang, pandangan konservatif

yang bernuansa patriarkhis, pandangan moderat yang berbasis pada paradigma

keseimbangan dan keadilan dan pandangan liberal yang mencoba mendekonstruksi

konsep religiusitas yang dipandang merugikan pihak perempuan. Namun jika

merujuk pada sejarah dan filosofi penciptaan, perempuan dengan kualitas

femininitanya dan laki-laki dengan maskulinitasnya memang harus diakui

memiliki kekhasan masing-masing. Justru karena kekhasan tersebut, keduanya

komplementer karena merupakan wujud dualitas makrokosmos yang akhirnya

menciptakan keseimbangan.4

4 Nursyam, Konsep Kesetaraan Gender Dalam Pemikiran Islam (Sebuah Pendekatan Autokritik) ,

Jurnal Musawa, Vol. 4, No. 2, (Desember 2012), Hlm. 2. Lihat Sachiko Murata, The Tao of Islam,

Kitab Rujukan tentang Relasi Gender dalam Kosmologi dan Teologi Islam, (Mizan: Bandung, 2004),

hlm. 32.

Sachiko Murata mencoba menganalisis relasi gender melalui teori kosmologi

dan teologi dalam Islam (mirip dengan kosmologi cina yakni yin yang) dengan

mengedepankan konsep tajaliyat Ibn ‘Araby, yang mirip dengan teori emansipasi

plotenus yakni: mengungkpkan makna kesatuan, makna dualitas yang berasal dari

dualitas menjadi kesatuan kembali. Agar pemahaman lebih mudah difahami, kita

dapat mengklasifikasikanya dalam poin-poin tersebut:

a. Argumen Kosmologi

Konsep dasar dalam pendekatan kosmos5

atau alam yang

diejawantahkan Prof Murata, adalah dengan memunculkan statement bahwa

“semua yang diciptakan Tuhan di alam semesta ini selalu berpasang-

pasangan” seperti yang disebutkan dalam surat Adz-Dzariyat ayat 49:

Dalam ayat inilah prof. Murata mengaplikasikan pemikiranya pada

penciptaan alam yang berpasang-pasangan, seperti diciptakanya langit dan

bumi, pria dan wanita, ada siang dan malam, ada baik dan buruk dan yang

lainya. Namun ada kosmos atau alam tak satupun dapat dikatakan sempurna

tanpa yang lainya. Dan setiap yang diciptakan oleh tuhan memiliki

kekurangan dan kelebihan. Atas dasar inilah muncul relasi untuk saling

melengkapi dan saling membutuhkan satu dengan yang lainya. Misalnya

langit dengan bumi, jika langit mengeluarkan Air untuk menurunkan hujan

maka ia membutuhkan bumi yang menjadi tempat Air yang akan turun, lalu

bumi menggelembung mengeluarkan tumbuh tumbuhan. Relasi yang saling

melengkapi ini memunculkan kesejajaran tanpa ada ketimpangan yang

menunjukan superior ataupun inferior di antara keduanya. Konsep inilah yang

digunakan Prof. murata untuk menjelaskan gender.

5 Kosmos (istilah makrokosmos sinonim dengan dunia atau kosmos) adalah sebuah pola hubungan

yang senantiasa bergeser dan berubah di antara tanda tanda Allah, yang merupakan tempat bagi nama

nama-NYA. Alam semesta diciptakan dan dipelihara melalui aktifitas sifat ilahi yang bertentangan,

yang memperlihatkan aktifitas prinsip tunggal.

Namun ia terpengaruh oleh pemikiran cina ajaran taoisme (Kosmologi

Alam) dalam rangka yin dan yang yang memang menjadi latar belakang

culturenya, yakni Asia Timur. Dalam kosmologi cina menjelaskan alam

semesta dalam batasan batasan kerangka “yin” dan “yang” yang bisa difahami

sebagai prinsip ekssetensi yang bersifat aktif dan resentatif antara pria dan

wanita merangkul satu sama lain dalam keselarasan dan keterpaduan. “yin”

dan “yang” sebagai gerakan perubahan karena ituseluruh alam semesta

berubah setiap saat. Yin menginterpretasikan sebagai sesuatu yang lembut,

pasif dan interior, berwarna gelap, bertemperatur dingin bergerak kebawah,

dimana unsur yin adalah air. Yin bisa disebutkan sebagai jamal, lutf, dan

rahmah. Sedangkan yang diinterpretasikan sebagai sesutu yang bersifat kuasa,

ia berwarna putih, tinggi dan meluas, yang mengacu pada unsur Api dan

panas, bisa disebutkan sebagai jamal, Qahr dan Ghadab.6

Taoisme sering memperlakukan yin lebih baik dari pada yang, namun

pada akhirnya semua terinterpretasi melalui lingkaran kehidupan. Dalam

bagian yin ada beberapa kadar yang dan sebaliknya. Alam pemikiran cina

mengakui mengakui peran suci dan kewahyuan dunia ini merupakan lokus

dimana sifat Tao menunjukan realitasnya. Tao berbicara tentang harmoni

antara langit dan bumi dan keseimbangangan sempurna di antara seluruh

kekuatan yang menggerakan dunia supranatural dan lazimnya.

b. Argumen teologi

Alam menurut bahasa Arab adalah al-‘alam dan tanda adalah ‘alamah.

Al-‘alam dan ‘alamah keduanya berasal dari akar kata yang sama. Manakala

‘ilm pula, berasal dari akar kata yang bermakna ilmu pengetahuan. Alam

semesta, iaitu cermin dan tanda tuhan, tidak ada tanpa tajalli_NYA. Terdapat

288 ayat al-Qur’an yang menghimbau eksistensi kewujudan Allah secara

6 Pembahasan mengenai yin dan yang lebih lanjut dapat dilihat dalam buku, Sachiko murata, kearifan

Sufi dari Cina, Terj. Susilo Adi, cet.I (Yogyakarta; Kreasi wacana, 2003).

metafora termasuk berupa seorang Nabi, risalah Nabi dan pelbagai hal yang

ada di alam semesta.7

Dalam tradisi intelektual, berbicara tentang kosmos sama artinya

berbicara tentang Tuhan. Belajar pemikiran tuhan didasari dari sifat sifat ilahi

yang diwahyukan kepada Al-Qur’an. Keterbandingan sifat sifat Allah yang

terdapat dalam asma’ul husna mencakup dalam “yin” dan “yang” .

Dalam teori ini dikemukakan bahwa pada mulanya “Tao” atau tuhan

(zat esa yang menunjukan makna kesatuan. “Tao” menciptakan kosmos ini

dengan dua kualitas atau dualitas yaitu “kualitas feminim” yang disebut (yin)

dan “kualitas maskulin” yang disebut “yang” tuhan memiliki sifat maskulin

dan feminim yang dipancarkan pada setiap manusia, baik laki laki maupun

perempuan yang dimanefestasikan dalam 99 asma’ul husna. Pemetaan

maskulin feminim pada perbedaan gender identity jika dihubungkan dengan

Tuhan sebagai sumber keberadaan manusia dan alam, maka setiap manusia

memiliki sifat feminim dan maskulin. Artinya laki laki memiliki sifat

maskulin dan perempuan memiliki sifat feminim. Sebagaimana siang dan

malam, gelap dan terang, dan seterusnya (makna dualitas).

Tetapi setelah kita memahami bahwa laki laki adalah manefestasi dari

yang dan perempuan adalah manefestasi dari yin maka seolah-olah laki-laki

memiliki derajat lebih tinggi atas perempuan (terbentuk antara konstruk

budaya yang menjadikan laki laki lebih maskulin dan perempuan lebih

feminim). Padahal kualitas kedua duanya secara potensial adalah sama sama

terbentuk dari ciptaan sifat maskulin dan feminim tuhan. Oleh karena itu,

harus memunculkan reaksi yang harmonis tanpa harus mendiskriminasi salah

satu dari keduanya. Dengan tetap memuliakan keharmonisan antara keduanya,

maka relasi derajat yang sama tersebut berdasarkan kualitas manusia. Sama

dihadapan tuhan, yang membedakan hanyalah ketaqwaan dan pengakuan

keesaanya.

7 Mohd. Syukri Yeoh Abdullah, kosmologi dalam Welstanschaung Ulama sufi Melayu (Cosmology in

Malay Sufi Scholar Welstanschauung), Jurnal Akademika, 67 (Januari: 2006: 5-23). H.8, Mohd Syukri

mengambil Konsep kosmologi Prof murata yang ia tuangkan dalam jurnal.

Prof. murata menjelaskan dari esensi dari realitas tuhan. Tuhan adalah

zat yang maha esa, tuhan adalah realitas tunggal. Sesuatu selain zat adalah

ciptaanya yang disebut kosmos atau alam. Dalam term Islam kosmos

dimaknai sebagai “segala sesuatu selain Allah” (maa siwa Allah). Pengertian

yang lain menyatakan, tuhan secara tak terbatas jauh berada diluar kosmos. Di

sini istilah teologisnya adalah tanzih yang bermakna “menyatakan Allah

sebagai sesuatu yang tak bisa dibandingkan”. Dari sudut pandang ini Allah

benar benar tak bisa di jangkau oleh makhluknya. Al Qur’an menyatakan

bahwa :

Untuk membuktikan bahwa Allah itu ada maka tuhan menciptakan

kosmos sebagai bukti atau tanda keberadaanya dan manusia sebagai subyek

yang mengakui keberadaanya. Maka dari sinilah sachiko murata memberikan

analogi yang dikenal tiga realitas yakni : Allah, Kosmos atau makrokosmos,

Manusia atau mikrokosmos. Menggambarkan ketiganya sebagai tiga sudut

dari segitiga, yang secara khusus memiliki keterkaitan. Allah yang berada

dipuncak merupakan sumber yang menciptakan kedua sudut yang dibawah,

karena baik makrokosmos dan mikrokosmos adalah realitas deriatif.8

8 Murata, The Tao of Islam, Hlm. 23. Lihat dalam penjelasan Cristhoper P. Atwood, customer reviews

The Tao of Islam A Sourcebook on Gender Relationship in Islamic Thought. www.amazon.com. Akses tanggal 28 Desember 2014.

Mikrokosmos

أهلل

Makrokosmos

Di atas, sumbu vertikal menggambarkan dibentuk oleh perbedaan

antara esensi ilahi dan sifat sifat ilahi, sementara sumbu horizontal

mencerminkan antara nama ilahi yang komplementer, seperti nama yang

maha memuliakan dan maha menghinakan. Atau maha menghidupkan dan

maha mematikan. Anggapan bahwa alam sebaga makrokosmos sedangkan

manusia sebagai mikrokosmos, keduanya berasal dari tuhan. Dan ini

berimplikasi pada kesimpulan bahwa ada jejak tuhan di dalam diri manusia

dan di dalam diri alam.

Argumen teologis sachiko murata lebih mudah dimengerti dengan

menjelaskan bahwa: semula zat yang ada (realitas tuhan sebagai sang khalik)

adalah satu. Sang khalik kemudian menciptakan kosmos beserta seluruh

esensi yang melengkapi secara berpasang pasangan. Makhluk ciptaan tuhan

memiliki tugas dan kewenangan yang berbeda yang terbentuk dalam satu

tatanan kosmos. Manusia, bumi, langit, galaksi dan lainya saling melengkapi

menjadi satu tatanan kosmos yang tidak dapat dipisahkan. Apalagi jika satu

dari bagian tersebut timpang atau tidak melakukan pekerjaanya dengan baik,

maka akan terjadi kerusakan dalam tatanan kosmos. Selama makhuk itu

mempunyai etentitas yang sama dalam kosmos semua makhluk mempunyai

kesetaraan dan kesejajaran yang sama dihadapan tuhan.

Dari uraian di atas kita dapat ambil benang merah yang menunjukan

bahwa sachiko menguraikan pendekatan kosmologi dan teologi tersebut

secara sistematis dengan menjelaskan makna kesatuan dan makna dualitas

yang berasal dari kesatuan. Dengan menggunakan nama asma’ul husna. Allah

membagi nama-nama keagungan yang disebut sebagai kualitas maskulin.

Dan nama-nama keindahan atau yang disebut sebagai kualitas feminim. Dari

kualitas korespondensi tersebut muncul pluralitas, keterpisahan yang

dijelaskan dalam proses penciptaan jagad raya sebagai makrokosmos dan

mikrokosmos. Kemudian dualitas akan menjadi kesatuan kembali, ketika ia

mengurai makna dan tujuan dualitas yang ditampakan melalui adanya lawan

kebalikan dari sesuatu. (misalnya: ada langit-bumi, atas-bawah, gelap-terang,

tuhan-hamba, feminim-maskulin) dengan mengembalikan makna dualitas

kepada tuhan yang satu atau tauhid.9

Pendekatan semacam ini, memiliki persamaan dengan kosmologi cina

yang melukiskan alam semesta dan kerangka yin dan yang, yang bisa

difahami sebagai prinsip eksistensi yang bersifat aktif dan reseptif atau pria

dan wanita. Yin yang merangkul satu sama lain dalam keselarasan, persatuan

antara keduanya akan menciptakan banyak hal. Simbol terkenal Tai Chi, atau

Tao, melukiskan yin dan yang sebagai perubahan yang konstan. Dalam

fenomena tertentu, hubungan yin dan yang terus berubah. Karena itu, seluruh

alam bisa berubah setiap saat. Yin dan yang adalah prinsip perubahan dan

simbol bagi kehidupan di alam semesta. Eksistensi berarti perubahan

harmonis dengan berpijak pada tao. Jika harmoni antara yin dan yang hilang,

maka alam semesta akan berhenti mengalir dan tidak ada sesuatu yang

berubah.

2. Pemikiran Sachiko murata tentang TAO

Dalam masyarakat Cina ada tiga nama besar yakni Konfusius, Tao, dan

Budhisme sebagai agama monisme, sebelum mengenal ajaran marx dengan

ideology sosialis dn atheisnya.10

Secara historis Agama Konfusius dikenal di

Cina abad XVI SM pada masa pemerintahan Dinasti Tjaw (1625 – 225 SM) yang

menggantikan dinasti Shang.

Sejarah Tao lahir sekitar abad VI SM, ketika dinasti Tjaw sedang berkuasa

abad itu dikenal dengan abad kekacauan (Can Kuo), yakni adanya perang

saudara.11

Sehingga agama Konfusius ada sebelum Tao ada di Cina. Abad VI

SM, ketika itu merupakan abad proses perubahan fundamental, perubahan tradisi

dari dinasti Shang ke dinasti Thaw dengan memberikan otonomi pada daerah-

9 Ratna megawangi, dalam sekapur sirih the tao of Islam..hlm. 9

10 Bleker, Pertemuan Agama Dunia, terj. Bahrus Siregar, (Bandung: Sumur Bandung, 1985), hlm. 35-

70. 11

Nic Joo Lan, Peradaban Tiong Hoa selayang Pandang Kenpo,( Jakarta: tp, 1973), hlm. 45.

daerah di bawah kekuasaan dinasti Tjaw. Tumbuhlah penguasa ekonomi

sekaligus menjadi penguasa daerah. Masyarakat Cina yang mayoritas petani,

terjadi perebutan kekuasaan tanah antara kayum feodal dan rakyat jelata,

termasuk penguasa otonomi daerah.

Semua berasal dan akan kembali pada Tao, The Reseval of Tao atau gerak

balik Tao. Yang Chu menyebutkan sebagi aliran transformasi dan peradaban

konstan.12

Arti sesungguhnya Tao adalah way, jalan, letuh (path) yang di dalam

al-Quran bisa kita dapati kata sebanding: sabil, thariq, sirath, wasilah, (QS. al-

Maidah: 57, al-Isra’: 57, al-Mulk: 15, al-Ahqat: 30, al-Jasi’at: 18, dll). Tao

merupakan filsafat kehidupan yang nilai-nilainya kemudian dilembagakan dalam

agama Budha dan disederhanakan dlam pemenuhan program spiritual.

Ajaran yang berisi “Yang” setelah mencapai klimaksnya mundur demi

“Yin”, lalu “Yin” setelah mencapai klimaksnya mundur demi “Yang”. yang

puncaknya nirvana, yang dihubungkan dengan mistisisme.13

Di lain pihak unsure

transendal itu memang ada karena adanya unsure immanensi. Sehingga

keduanyya haruslah dipahami sebagai polaritas dari yang tunggal. Taoisme

sendiri tersusun dari tiga pokok yang menjadi inti ajarannya: yakni Tao (jalan

suci, suatu petunjuk bagi manusia dalam mencapai kebahagiaan), Te (kebajikan,

sebagai buah yang didapatkan apabila seseorang menjalankan Tao), dan Wu Wei

(tidak campur tangan, hukum yang kekal, bersikap wajar).

Keterkaitan dari ketiganya adalah Tao sebagai asal mula dan kembali

segala sesuatu, mengingatkan manusia agar selalu berhati-hati dan mengarahkan

diri kepada Te (kebajikan) dengan menerapkan ajaran Wu Wei, sehingga

manusia dapat hidup dengan bahagia dan sejahtera.

Kata Tao secara harfiah berarti “jalan atau jalan setapak” yang

mengandung tiga makna: pertama, tao adalah jalan dari kenyataan terakhir,

sifatnya transenden, maha besar, dan dipahami dengan kesadaran mistik. Kedua,

12

Lasiyo, Taoisme, (Yogjakarta: Proyek PPPT UGM, 1982/1983), hlm. 3-4. 13

Ajaran yang berisi “Yang” setelah mencapai klimaksnya mundur demi “Yin”, lalu “Yin” setelah

mencapai klimaksnya mundur demi “Yang” . Frijjof Capra, Titik balik Peradaban: Sains, Masyarakat,

dan Kebangkitan Kebudayaan, Terj. M. Thayyibi, ( Yogjakarta: bentang Budaya, 1997), hlm. 25.

jalan alam semesta, sebagai kaidah, irama, dan kekuatan pendorong dalam

keseluruhan asas penata dibalik semua yang ada. Ketiga, jalan sebagaimana

seharusnya manusia menata kehidupannya agar selaras dengan tata kerja alam.

Tao bukan satu ajaran tetapi juga dimaksudkan sebagai tenaga kosmik yang

menjadi sumber kehidupan di mana manusia menyesuaikan diri. Tao identik

dengan thariqah jalan spiritual dalam dunia sufisme,14

di lain pihak Konfusius

diidentikkan dengan Syariah.15

Tapi sebenaranya Tao merupakan ungkapan

untuk the way of the Universe work”,16

sebuah kesadaran kosmik yang sekarang

dicari oleh New Age. Oleh karena itu para Taoist adalah orang orang yang

hidupnya menyesuaikan dengan jalan, menyesuaikan diri dengan alam Taoisme

memberikan kepada kita Phlosophy of Duty. Yang ini sulit dipahami dengan cara

berpikir Barat. Dalam sastra Cina Kuno, Tao Te Ching, menjabarkan arti tao

sebagai berikut;

“tao can be talked abaut not the eternal tao, name can be named, but not

the eternal Name. As the origin of heaven and earth it is nameless: as“the

mather” of all thing it is nameable. Ini bias dipahami lewat: “we make

doors and windows for a room: but it is these empaty space that make the

roomliveable. Look at it: but you cannot see it /Its name is formless.Listen

to it, but you cannot here / It name is soundless. Grasp at it, but you

cannot get it / its name is corporeal.

Kata Tao Te Ching Ini mengispirasikan bahwa bentuk yang paling mirip

dengan Tao adalah air dalam dunia alamiah: ia merupakan bentuk pertama dari

Wu Wei.17

Ciri lain dari Taoisme adalah konsepnya mengenai kenisbian semua

nilai, dan sebagai imbalannya adalah adanya persamaan dari hal yang

bertentangan, Yin Yang. Tao mengikuti asas kenisbian dalam batas yang logis,

bahwa hidup dan mati ini dipandang sebagai suatu tahap relatif dari suatu

keseimbangan tao yang mencakup segala-galanya dalam batasan-batasan polar,

14

M. Challab, Falsafah Timur, terj,. Adnan Lubis Syaiful, (Medan: Medan Press, 1950), hlm. 125. 15

Sachiko Murata, “Pengalaman Saya Mengajar Islam Di Barat”, terj. Dewi Nurjulianti dan Budhy

Munawwar Rahman, dalam : Jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulumul Quran, (Jakarta: LSAF. No. 2,

Vol. V, 1994), hlm. 52. 16

M. Wahyuni Nafis, Rekontruksi dan Renungan Religius Islam, (Jakarta: Paramadina, 1996), hlm. 56. 17

Bambang Lim Tji Kay, (ed.), Tao Te Ching Kitab Suci Taoisme, (Jakarta: Sasana, 1991), hlm. 30,

78-79, dan 99.

yakni berbagai hubungan yang melahirkan interpretasi holografis atas dunianya

yang dicirikan oleh keseimbangan, interdependensi, keterbukaan, mutualitas,

komplementaritas, dan korelatifitas yang terus menerus antara yang satu dengan

yang lain secara intrinsik.

Dalam kehidupan religi Cina Tao telah melahirkan tiga aliaran Taoisme.

Pertama, taoisme popular: Taoisme yang hidup di masyarakat yang diciikan penuh

dengan ritus dan berbagai macam praktek magis. Kedua, taoisme Esoterik: aliran

yang menjadikan taoisme sebagai tujuan pengalaman mistik sehingga mereka giat

menrenung (tafafakur) untuk mendapatkan pencerahan bathin. Ketiga, taoisme

filosofis: dalam arti Tao adalah kekauatan yang memasuki kehidupan yang secara

reflektif dan intuitif telah menyatukan dirinya dengan jalan alam. Ia lebih

merupakan sudut pandang dan bukan suatu gerakan. Taoisme popular dan taoisme

telah hancur, sedang Taoisme filosofis masih terus membentuk watak orang Cina

ke arah ketenangan dan kesopanan hingga sekarang.

D. Pemikiran Sachiko Murata tentang Dimensi Teologi Islam dalam Relasi Gender.

Tuhan menciptakan sesuatu berpasang-pasangan untuk membedakan ke-

Esaan Nya dengan kejamakan makhluk-makhlukNya. Ciptaan itu mustahil tanpa

dualitas, sebab hanya Tuhanlah yang tunggal. Tanpa wanita, pria bukanlah seorang

pria, sebab dia didefinisikan oleh wanita. Keberadaan kosmos membuat yang nyata

menjadi Tuhan, dan keberadaan wanita mengubah pria menjadi pria. Tanpa kosmos,

tidak ada Tuhan. Tanpa wanita, tidak ada pria. Maka manusia dijadikan wakil Tuhan

di bumi sebab mereka diciptakan dalam bentuk Ilahi dan mewujudkan apa yang

dimiliki oleh kedua tangan Tuhan dicerminkan dalam tabiat ganda dari dua ruh,

sebagaimana yang diwakili oleh Ruh Terbesar (Akal Pertama) dan jiwa universal.

Melalui jaraknya dari penciptaan, ruh mencerminkan keagungan dan

kekerasan. Sebaliknya, jiwa mencerminkan sifat-sifat pemelihara yaitu kelembutan

dan kebaikan melalui kedekatan relatifnya dengan penciptaan, keserbaragaman, dan

perbedaan. Ruh dan jiwa selanjutnya dicerminkan dalam diri pasangan manusia,

Adam dan Hawa, dan dalam ruh dan jiwa setiap individu manusia. Baik pria maupun

wanita mewujudkan ruh dan jiwa setiap individu manusia. Baik pria maupun wanita

mewujudkan Ruh dan jiwa, namun ruh mendominasi pria sementara jiwa

mendominasi wanita.

Di antara tanda kekuasaan Allah adalah penciptaan manusia (QS. 30: 20), dan

penjelasan tentang penciptaan diulang dalam ayat demi ayat.18

Mengenai kisah

penciptaan Adam, Sachiko Murata mengutip dari Najm al- Din Razi (w. 654 M/ 1256

M), pengarang salah satu karya klasik prosa besar Persi tentang sufisme, mirsâd al-

‘ibâd, dia menuntutkan kembali kisah penciptaan Adam dengan benar-benar

memperhatikan kualitas-kualitas yang dinisbatkan oleh tradisi kepada manusia dan

makhluk lainnya. Dia menjelaskan bagaimana sifat-sifat Ilahi menjadi tampak dalam

diri manusia dan melukiskan hubungan erat antara mikrokosmos dan makrokosmos.

Sebagaimana telah dibahas dalam bab III, bahwa Sachiko Murata berupaya

memahami ayat al-Quran dengan mengacu pada ta’wil, yang mengambil titik

awalnya pada ikatan yang jelas. Menurut Sachiko Murata, mitos Adam adalah sebuah

titik referensi dalam teks-teks ini, namun aspek kesejarahannya memang tidak

dikemukakan, karena yang demikian itu tidak sesuai dengan makna kisah itu, dan

makna kisah itu dapat di jumpai dalam kualitas yang dinisbatkan kepada Adam dan

karakter-karakter lain yang disebut dalam kisah itu.

Sachiko Murata mengemukakan hubungan timbal balik antara Tuhan dan

manusia di satu pihak, dan antara pria dan wanita di pihak lain. Dalam kaitannya

dengan realitas, wanita identik dengan pria, namun dalam kaitannya dengan

entifikasi, masing-masing berbeda satu sama lainnya. Pada akarnya, wanita menjadi

terwujud karena pria, maka dia seperti menjadi bagian darinya. Wanita menjadi

terpisah dan terwujud dalam bentuk feminim.

Dengan mengutip dari Kasyâni, Sachiko Murata menjelaskan bahwa ada

persesuaian dan bentuk antara pria dan wanita, sebagaimana ada persesuaian antara

Tuhan dan manusia: “Bentuk adalah persesuaian yang paling besar, agung dan

18

Misalnya: “Dia menciptakan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari sari

pati air yang hina” (QS. 32: 7-8. QS. 36: 77, QS. 73: 37. QS. 76: 2). “Kemudian dia menyempurnakan

dan menciptakan dan meniupkan ke dalam tubuhnya ruh-Nya….” (QS. 32: 9).“Allah menciptakan kita

semua dari satu orang dan kemudian menciptakan pasangannya” (QS. 75: 75,QS.92: 3). “Manusia

diciptakan manusia dari tanah, debu bumi” (QS. 32: 7, QS. 30: 20) dan keturunannya dari air mani

“Allah menciptakan manusia dari tanah dengan beragam, warna kulit dan bahasa” (QS. 30: 22).

sempurna. Sebab ia adalah “salah satu dari pasangan” (zauj). Dengan kata lain, ia

membuat zat yang nyata menjadi dua. Dengan cara yang sama, wanita membuat pria

menjadi dua melalui eksistensinya. Wanita mengubahnya menjadi salah satu dari

pasangannya”. Dengan kata lain, bentuk manusia membuat bentuk dari Yang Maha

Pengasih menjadi salah satu dari pasangan, sebagaimana bentuk wanita membuat

bentuk pria menjadi salah satu dari pasangan. Di sini, Sachiko Murata memahami

ajaran-ajaran Ibn ‘Arabi, mengenai kebutuhan Tuhan akan seorang pelayan dan

kebutuhan Tuhan akan hamba Ilahi.

Sebaliknya, kaum wanita (sebagai Yin) mempunyai keunggulan dari

kelemahannya yang relatif dan ketidakmampuan di bidang lahiriah. Jadi mereka tidak

begitu berkecenderungan untuk membuat tuntutan-tuntutan yang tidak pada

tempatnya. Mereka mempunyai keuntungan dari semacam sifat bawaannya sebagai

hamba. Dengan kata lain, suami mempunyai kewajiban untuk mengumpulkan

kekayaan demi isterinya, dan isteri berkewajiban untuk antara kosmos dan manusia.

Ini didasarkan atas hubungan antara tiga realitas, yaitu mikrokosmos (individu

manusia), makrokosmos dan metakosmos. melayaninya karena ini. Tetapi karena

suami mempunyai satu tingkat lebih tinggi daripada mereka dalam keunggulan,

sementara kaum wanita mendapatkan manfaat / keistimewaan (maziyyah) dari

kelebihan (da’f) dan ketidakmampuan yang mendasar (‘ajz al-Basyariyyah).

Sehingga menurut Sachiko Murata, dengan menyebut kelemahan wanita sebagai

kelebihan,19

berarti menyinggung suatu pandangan positif dari realitas Yin. Ini adalah

pandangan khas dari suatu pendekatan terhadap al-Quran dengan mencari makna

batinnya.

Sachiko Murata, dengan merujuk pada Ibn ‘Arabi, menjelaskan tentang

keunggulan (derajat) kaum pria di atas kaum wanita dengan mengkaitkannya pada

beberapa “hubungan” yang ada, pertama, dalam hubungan yang ditimbulkan melalui

19

M. Dawam Raharjo, mengupamakannya seperti bayi, di mana ia merupakan lambang manusia yang

tidak berdaya (Yin). Dia tidak bisa apa-apa, biasanya hanya menangis. Tapi justru dalam hubungan

pria-wanita. Kaum wanita, sebagai Yin, dengan kelemahannya, pada akhirnya menuntut perhatian dari

kaum pria (Yang). Nurul Agustina, Nurullah Ali Fauzi (ed), “Perempuan dalam Perbincangan”, Jurnal

Ulumul Quran, NO. V dan VI, Vol. V, 1994, hlm. 50.

penciptaan Hawa melalui Adam. Kedua, Ibn ‘Arabi mengkaitkan ayat mengenai

derajat yang lebih tinggi itu dengan keunggulan dari langit atas bumi. Ketiga, Ibn

‘Arabi menganggap tingkat pria di atas kaum wanita mengingat kenyataan bahwa

kosmis tidak akan pernah mencapai kedudukan Tuhan dikarenakan hubungan khusus

yang terjalin di antara mereka : penerimaan kosmik dan aktivitas Ilahi (QS. 112: 4).

1. Penciptaan Hawa Melalui Adam

Pembahasannya mengenai penciptaan Hawa melalui Adam dimulai dengan

menjelaskan hadis mengenai “tulang rusuk’. Dalam hubungan yang ditimbulkan

melalui penciptaan Hawa melalui Adam, Ketika tubuh Adam terwujud,

sebagaimana yang dikemukakan, dia tidak mempunyai nafsu untuk melakukan

perkawinan, Maka Dia mengeluarkan Hawa dari tulang rusuk Adam yang pendek.

Dengan demikian Hawa tidak mempunyai tingkat yang sama dengan Adam,

sebagaimana difirmankan oleh Tuhan, “kaum pria mempunyai satu tingkat lebih

tinggi daripada kaum wanita’. Karena itu kaum wanita tidak akan pernah mencapai

tingkat kaum pria”. Hawa berasal dari tulang rusuk, tulang rusuk itu bengkok.20

Menurut Sachiko Murata, Ibn ‘Arabi mengemukakan adanya suatu sisi

maskulin pada realitas Hawa yang tidak sering ditemui. Dia menemukan pertalian

antara Hawa dan Yesus, yang keduanya diciptakan melalui perantaraan satu orang

manusia. Bukan berarti keduanya identik bahkan dalam kenyataannya real maupun

konseptual keduanya berbeda- tapi ditujukan untuk mempermudah memahami

perbedaan penciptaan yang lainnya. Perempuan dan laki-laki dianggap sama

kesetaraanya dihadapan tuhan.21

20

Sejalan dengan pemaparan Barbara F. Stowasser, dalam kutipannya, menjelaskan hadis, “wanita

dari tulang rusuk”, ini dengan konteks yang baru, “kebengkokan” dalam hadis itu tidak menunjukkan

kekurangan atau ketidaksempurnaan sifat wanita. Kebengkokan itu memungkinkan wanita untuk

melakukan tugasnya, berhubungan dengan anak-anak yang membutuhkan kasih sayang dan simpati

yang kuat. Kata-kata “bagian tulang rusuk yang paling bengkok adalah bagian atas” menandakan kasih

sayang wanita terhadap wanita terhadap anak dan perasaannya yang melampui rasionalitas. Atas dasar

ini “kebengokaannya” menjadi keistimewaan wanita. Barbara Freyer Stowasser, Reinterpretasi Gender

Wanita dalam al-Quran, Hadis dan Tafsir,terj. HM. Mochtar Zoerni, (Bandung: Pustaka Hidayah,

2001), hlm. 91. Hal inilah, yang menurut penulis, sejalan dengan konsep Sachiko Murata, mengenai

suatu pandangan positif dari realitas Yin, yang memandang kelemahan wanita sebagai kelebihan. 21

Asyhari, Kesetaraan gender menurut Nasharudin Umar dan Ratna megawangi (studi Komperasi

dua tokoh), Skripsi UIN Sunan Kalijaga, 2009, H.2

Tubuh manusia pertama yang terwujud adalah Adam. Dia adalah ayah

pertama jenis makhluk ini, lalu Tuhan memisahkan darinya seorang ayah kedua

bagi kita, yang disebut-Nya ibu, sebab ayah adalah akarnya (ibu) Tuhan

memunculkan Yesus dari Maryam. Maka Maryam menempati kedudukan

sebagaimana Adam, sementara Yesus menempati kedudukan sebagaimana Hawa.

Sebab seperti juga seorang wanita. Jadi Tuhan menyelesaikan dengan cara yang

sama seperti ketika Dia memulainya, dengan jalan memunculkan seorang putra

tanpa ayah, sebagaimana Hawa muncul tanpa seorang ibu. Maka Yesus dan Hawa

adalah dua saudara kandung, sementara Adam dan Maryam adalah kedua orang

tua mereka (QS. 3: 59).

inilah, yang menurut penulis, sejalan dengan konsep Sachiko Murata,

mengenai suatu pandangan positif dari realitas Yin, yang memandang kelemahan

wanita sebagai kelebihan. Penciptaan Hawa dan Isa berbeda dengan masyarakat

pada umumnya, keduanya diciptakan dengan perantaraan seorang manusia.

Bedanya Hawa dari seorang pria dan Isa dari seorang wanita. Jadi proses

penciptaan Hawa dan Isa merupakan salah satu kreativitas Tuhan sebagai sang

Perancang. Di sini Ibn ‘Arabi melihat pada hubungan antara Hawa dan Yesus,

bahwa Hawa dan Yesus merupakan pihak (lokus) yang menerima aktivitas, Hawa

menerima aktivitas Adam, dan Yesus menerima aktivitas Maryam, sebab Yesus

ruh dan firman Tuhan dan salah seorang manusia terbesar tercipta dari Maryam,

tanpa ada perantaraan manusia sama sekali.

2. Keunggulan Langit atas Bumi.

Langit dam bumi bukan hanya mencakup berbagai planet, matahari, dan

galaksi, melainkan juga “langit dan bumi” dalam diri kita sendiri. Bumi

melambangkan wujud material kita tubuh fisik berikut berbagai kebutuhannya,

langit melambangkan aspek-aspek wujud kita lebih tinggi, lebih luas, lebih rumit,

tingkat jiwa kita yang paling spiritual. Kita membawa langit dan bumi dalam diri

kita. Ibn ‘Arabi mengkaitkan ayat mengenai derajat yang lebih tinggi itu dengan

keunggulan dari langit atas bumi. Di sini dia mengemukakan pembenaran logis

bagi keunggulan kaum pria, bukan semata-mata berdasarkan pada teks al-Quran,

meskipun al-Quran juga dibawa-bawa (QS. 40: 57). Namun telah ditetapkan

bahwa “kaum pria mempunyai satu tingkat lebih tinggi” daripada wanita,

sebagaimana telah ditetapkan bahwa “penciptaan langit dan bumi itu lebih hebat

daripada penciptaan manusia” (QS. 40: 57), Tuhan berfirman, “Apakah kamu

yang lebih hebat dalam penciptaan ataukah langit yang Ia bangun ?”, (QS. 79:27)

Semua ini dimaksudkan untuk menunjukkan keunggulan keduanya atas

manusi. Ketinggian derajat langit dan bumi atas manusia persis sama seperti

ketinggian derajat kaum pria atas kaum wanita.22

Itu karena manusia menerima

aktivitas langit dan bumi dan berada di antara keduanya, dan berasal dari mereka.

Pihak yang menerima aktivitas tidak mempunyai kekuatan dari pihak yang

bertindak terhadapnya. Demikian pula, Hawa menerima aktivitas dari Adam dan

dikeluarkan serta dimunculkan dari tulang rusuk yang paling pendek. Karena itu

Hawa tidak dapat mencapai tingkatan Adam yang bertindak kepadanya. Maka, dia

mengetahui tingkat pria sejauh jangkauan asal penciptaannya, yaitu, tulang rusuk.

Jadi persepsinya tidak dapat mencapai realitas pria. Wanita sama dengan alam

dalam hal menjadi lokus yang menerima aktivitas. Itulah sebabnya kaum wanita

tidak mempunyai kecerdasan kaum pria: mereka memahami hanya sampai pada

tingkat bahwa wanita mengambil penciptaan dari pada akar konfigurasi”.

Padanan mikrokosmik bagi pemisahan langit dan bumi adalah penciptaan

Adam dan Hawa dari satu jiwa. Kedua jiwa berasal dari satu jiwa tunggal

primordial yang kemudian menjadi “pasangan” (zaujan) manusia pertama.

Pasangan (zauj) dalam tulisan berikut ini secara harfiah berarti salah satu dari dua

anggota pasangan. “Dialah yang menciptakanmu dari satu jiwa dan darinya

dijadikan- Nya jodohnya, supaya dia dapat menikmati ketentraman hati dengan

isterinya itu (QS. 7: 189). “Dia menciptakanmu dari satu jiwa, lalu darinya

dijadikan-Nya jodohnya (QS. 39: 6).

Gender gramatikal dari kata-kata itu dalam sebagian dari bagian-bagian

tulisan ini menjalin suatu hubungan yang menarik: “jiwa” itu secara Kalangan sufi

22

Muhammad Nur hashiruddin, Peran domestic perempuan menurut KH. Muchith Muzadi,

(Ringkasan desertasi progam doctor IAIN sunan Ampel A-Aly, 2012)

mengupamakan langit dengan suami yang menyimpan air, dan langit

diumpamakan isteri yang menerima limpahan air yang nantinya melahirkan janin

atau berbagai tumbuh-tumbuhan. Dan kedudukan makrokosmos merupakan Yang,

dalam kaitannya dengan mikrokosmos.

gramatikal feminin, sementara “pasangan” itu maskulin. Dalam ayat 7 : 189,

konteksnya tampak secara jelas dan para ahli tafsir sepakat bahwa Adam diacu

sebagai “jiwa tunggal”. Namun kata ganti yang mengacu pada jiwa ini adalah

feminin. Selanjutnya kata ganti itu berubah, sehingga Adam menjadi maskulin dan

“pasangannya” menjadi feminin. Jika kita mau mengamati gender gramatika, kita

dapat menerjemahkan ayat itu sebagai berikut: “Dialah yang menciptakanmu dari

satu jiwa (yaitu Adam) dan menciptakan dirinya (jiwa) pasangannya (Hawa), ayat

ini bagaimana-pun juga mengacu pada cara di mana Yin muncul dari Adam, dan

androgini primordial yang mencakup sekaligus pria dan wanita. Permainan kata

ganti itu dapat dipahami, dalam gaya sufi, sebagai suatu “kiasan” (isyarat) Ilahi

bagi kehadiran Yin dalam Yang dan Yang dalam Yin.

3. Kosmis tidak akan pernah mencapai kedudukan Tuhan

Mengenai hal ini Sachiko Murata, dengan mengutip Ibn ‘Arabi, menganggap

tingkat pria di atas kaum wanita mengingat kenyataan bahwa kosmis tidak akan

pernah mencapai kedudukan Tuhan dikarenakan hubungan khusus yang terjalin di

antara mereka: penerimaan kosmik dan aktivitas Ilahi (QS. 112: 4). Dengan

mengutip dua ayat al-Quran yang menunjukkan adanya kesamaan yang menarik.

Tuhan “berdiri di atas” (qâ’im) (QS. 13: 33) atau menjaga setiap jiwa sebagaimana

kaum pria “berdiri di atas” kaum wanita (qawwâm) (QS. 4: 34). Jika kiat

menyebut-nyebut kosmos dalam nada yang sama dengan Tuhan, maka kita mesti

mempertimbangkan sejumlah hubungan yang terjalin antara Tuhan dan kosmos.

Hubungan-hubungan ini diungkap secara verbal oleh nama-nama Ilahi. Dalam hal

ini, kita bisa mengatakan bahwa Tuhan sama sekali berbeda dari segenap

makhluk-Nya (Tanzih) yang dengan demikian, sekali lagi, menegaskan

ketakterbandingan-Nya. atau, kita bisa juga mengatakan bahwa ada keserupaan

tertentu yang bisa diamati (Tasyih). Atau, kita bisa mengambil kedua posisi ini

sekaligus.

Tanzîh dan tasybîh seringkali disandingkan dengan nama Allah albâtin

(batin, atau non-manifest) dan al-zâhir (lahir, atau manifest). Lantaran Yang Nyata

(the Real) adalah sisi batin, sedang segala sisi luar merupakan ketidaknyataan, dan

keesaan Tuhan hanya terdapat pada “Yang Nyata” (real) saja. Namun lantaran

Allah adalah al-Zahîr (yang Luar), maka segala bentuk lahir adalah nyata (real).

Oleh karena itu alam secara otomatis adalah nyata dan esa melalui kenyataan dan

keesaan Allah. Ketidakterbandingan Allah dan keserupaan-Nya, keduanya,

memerlukan pemahaman secara lebih mendalam dalam pikiran kita. Jika Allah

adalah Jauh. Ia sekaligus dekat. Di tengah tengah kejauhan-Nya ia adalah Maha

Dekat, dan di tengah-tengah persamaan-NYA ia tidak dapat diperbandingkan. Lalu

diulas tentang ayat al-Quran, “tiada sesuatu pun yang ada menyerupai-Nya”, (QS.

112: 4).

Di sini yang dimaksudkan adalah pasangan yang “setara” (shâhibah),

dikarenakan adanya orang-orang yang mengatakan bahwa al-Masih itu adalah

putra Tuhan dan Ezra adalah putra Tuhan. Persamaan itu adalah suatu kemiripan.

Tetapi wanita tidak pernah akan seperti pria, sebab Tuhan berfirman QS. 2: 228.

Karena itu wanita tidak setara dengan pria. Sebab lokus yang menerima aktivitas

tidak sama dengan lokus yang bertindak atasnya. Kosmos adalah lokus yang

menerima aktivitas Tuhan. Maka ia tidak setara dengan Tuhan. Hawa adalah lokus

yang menerima aktivitas Adam, maka Adam mempunyai tingkat aktivitas atas diri

Hawa. Maka Hawa tidak setara dengannya dalam hal ini. Pada ayat , “Laysa ka

misli syay”, menurut Ibn ‘Arabi terkandung pengertian tanzîh dan Tasybîh.

Mengikari adanya misl- Tuhan, itu adalah tanzîh, dalam tanzîh. Misl-Tuhan adalah

sesuatu (alam) yang setara atau semartabat dengan Tuhan, ini harus diingkari.

Sedangkan mengakui adanya misl-Nya adalah tasybîh. Misl-Tuhan yang diakui di

sini adalah alam, terutama alam imateri, yang menyerupai-Nya, tapi tidak setara

dengan-Nya. Maka wujud alam, tidak dapat dipahami sebagai wujud yang setara

dengan Tuhan dan tidak pula dapat dinamakan Tuhan.

Prof. Murata juga menyambung penjelasannya, dengan mengutip dari Ibn

‘Arabi, tentang hakikat dari “derajat” yang dimiliki kaum pria di atas kaum wanita.

Secara khas, Ibn ‘Arabi tidak memberi perhatian besar pada penerapan-penerapan

sosial dari derajat itu, melainkan pada makna kosmologis dan metafikanya.

Sehingga, menurutnya dikemukakannya, “derajat itu bersifat ontologis (wujud)

sehingga ia tidak hilang”, bahkan meskipun “kaum wanita adalah padanan kaum

pria”.

E. Kesimpulan

1. Berdasarkan paparan di atas, Prof. Murata mengambil satu kesimpulan bahwa

setiap kali Ibn ‘Arabi mengambil sudut pandang mengenai suatu sifat dalam diri

kaum pria (maskulin) atau kaum wanita (feminine), dia mencapai satu kesimpulan

yang layak bagi sifat itu. Prof. Murata juga menggunakan pendekatan secara tidak

langsung (de sapieted tradition) yang disebut kearifan local dan spritualitas

(rotibiyah). Prof. Murata dalam analisis terakhirnya menggunakan analisis De

Tao, yakni Dualitas yang menjadi kesatuan exsistensi (tawhid).

2. Seperti yang dikutip dalam buku Prof. murata, dalam kajian ini ia menganggap

bahwa feminine dan maskulin adalah pedang bermata dua, masing-masing

mempunyai nilai negative dan positif. Jika tekanan “parthiarkhal” yang keras dari

beberapa kaum muslim dilunakan, maka ini akan bisa terjadi jika tekanan itu

diperbarui atas kefeminiman sebagai suatu yang positif dan maskulin sebagai

sesuatu yang negative.

3. Tujuan prof Murata mengulas buku ini adalah “agenda feminis” adalah membantu

kaum muslim yang berkecenderungan kuat untuk menegakan kembali pandangan

feminism ilahi yakni esensi tuhan. Yang melahirkan dua kutub yang berbeda

yakni yin dan yang.

4. Prof. Murata juga menjelaskan tentang Konsep kosmologi antara Tuhan,

Makrokosmos dan Mikrokosmos (Antropologi) yang mempelajari Psikologi

ruhani.

Daftar Pustaka

Buku

Bambang Lim Tji Kay, Tao Te Ching Kitab Suci Taoisme, Jakarta: Sasana,

1991

Barbara Freyer Stowasser, Reinterpretasi Gender Wanita dalam al-Quran,

Hadis dan Tafsir, terj. HM. Mochtar Zoerni, Bandung: Pustaka

Hidayah, 2001

Bleker, Pertemuan Agama Dunia, terj. Bahrus Siregar, Bandung: Sumur

Bandung, 1985.

Frijjof Capra, Titik balik Peradaban: Sains, Masyarakat, dan Kebangkitan

Kebudayaan, Terj. M. Thayyibi, Yogjakarta: bentang Budaya, 1997.

Lasiyo, Taoisme, Yogjakarta: Proyek PPT UGM, 1982/1983

M. Challab, Falsafah Timur, terj,. Adnan Lubis Syaiful, Medan: Medan

Press, 1950

M. Wahyuni Nafis, Rekontruksi dan Renungan Religius Islam, Jakarta:

Paramadina, 1996

Nic Joo Lan, Peradaban Tiong Hoa selayang Pandang Kenpo, Jakarta: tp,

1973

Sachiko Murata, The Tao of Islam: A. Source book on Gender Relationship in

Islamic Thought, New York : State University of New York, 1992.

Sachiko murata, kearifan Sufi dari Cina, Terj. Susilo Adi, cet.I Yogyakarta;

Kreasi wacana, 2003

Jurnal dan Thesis

Asyhari, Kesetaraan gender menurut Nasharudin Umar dan Ratna

megawangi (studi Komperasi dua tokoh), Skripsi UIN Sunan

Kalijaga, 2009

Dewi Nurjulianti dan Budhy Munawwar Rahman, dalam : Jurnal Ilmu dan

Kebudayaan Ulumul Quran, Jakarta: LSAF. No. 2, Vol. V, 1994.

Mohd. Syukri Yeoh Abdullah, kosmologi dalam Welstanschaung Ulama sufi

Melayu (Cosmology in Malay Sufi Scholar Welstanschauung), Jurnal

Akademika, 67, Januari: 2006: 5-23

Muhammad Nur hashiruddin, Peran domestic perempuan menurut KH.

Muchith Muzadi, Ringkasan desertasi progam doctor IAIN sunan

Ampel A-Aly, 2012

Nursyam, Konsep Kesetaraan Gender Dalam Pemikiran Islam (Sebuah

Pendekatan Autokritik) , Jurnal Musawa, Vol. 4, No. 2, Desember

2012.

Nurul Agustina, Nurullah Ali Fauzi (ed), “Perempuan dalam Perbincangan”,

Jurnal Ulumul Quran, NO. V dan VI, Vol. V, 1994

Website

http://www.stonrybrook.edu/asianandam/murata_sachikohtml#

www.sunysb.edu/complit/new/murata.html.,www.adsense-success

guide.com/sachiko_murata.

http://diandra.blogs.friendster.com/my_blog/2006/02/index.html