65
Sarung Tenun Asal Desa Masalili, Kec. Kontunaga, Kab. Muna BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Kesenian merupakan salah satu unsur universal dalam kebudayaan manusia, yang berfungsi untuk memberikan ketenangan jiwa pada manusia. Kesenian itu sendiri terbagi atas dua rumpun besar yaitu seni rupa (kesenian yang dinikmati dengan mata) dan seni suara (kesenian yang dinikmati manusia dengan telinga). Keduanya adalah suatu hasil karya manusia yang diciptakan untuk dinikmati dan memenuhi kebutuhan manusia akan keindahan rasa setetika. Dengan demikian kesenian muncul dan berkembang karena dibutuhkan oleh manusia, yang ditunjang oleh pengetahuan masyarakat yang bersangkutan. Salah satu bentuk kesenian yang masuk rumpun seni rupa adalah seni kerajinan tenun yang merupakan wujud kebudayaan dari hasil karya manusia. Kerajinan tenun pada berbagai suku bangsa di Indonesia cukup beragam, ada yang menonjolkan sarung seperti di Muna, tenun ikat lungsin di Toraja dan tenun ikat di Sumba, dan berbagai bentuk tenunan yang merupakan aset kebudayaan bangsa Indonesia. Tenun ikat pada masyarakat Sumba, dipahami sebagai suatu karya simbolis yang berdimensi teknologi dan kesenian. Simbolis diartikan sebagai pemberian dan penangkapan makna sebagai orientasi manusia. Makna tersebut lebih merupakan rangkaian ungkapan rasa seperti harapan, keserasian,

Sarung tenun asal desa masalili

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Sarung tenun asal desa masalili

Sarung Tenun Asal Desa Masalili, Kec. Kontunaga, Kab. Muna

BAB I

PENDAHULUAN

A.      Latar belakang

Kesenian merupakan salah satu unsur universal dalam kebudayaan manusia, yang

berfungsi untuk memberikan ketenangan jiwa pada manusia. Kesenian itu sendiri terbagi

atas dua rumpun besar yaitu seni rupa (kesenian yang dinikmati dengan mata) dan seni suara

(kesenian yang dinikmati manusia dengan telinga). Keduanya adalah suatu hasil karya

manusia yang diciptakan untuk dinikmati dan memenuhi kebutuhan manusia akan keindahan

rasa setetika. Dengan demikian kesenian muncul dan berkembang karena dibutuhkan oleh

manusia, yang ditunjang oleh pengetahuan masyarakat yang bersangkutan.

Salah satu bentuk kesenian yang masuk rumpun seni rupa adalah seni kerajinan tenun

yang merupakan wujud kebudayaan dari hasil karya manusia. Kerajinan tenun pada berbagai

suku bangsa di Indonesia cukup beragam, ada yang menonjolkan sarung seperti di Muna,

tenun ikat lungsin di Toraja dan tenun ikat di Sumba, dan berbagai bentuk tenunan yang

merupakan aset kebudayaan bangsa Indonesia.

Tenun ikat pada masyarakat Sumba, dipahami sebagai suatu karya simbolis yang

berdimensi teknologi dan kesenian. Simbolis diartikan sebagai pemberian dan penangkapan

makna sebagai orientasi manusia. Makna tersebut lebih merupakan rangkaian ungkapan rasa

seperti harapan, keserasian, kepedihan, ironi, dan kecerian yang ditopang gagasan tertentu.

Rasa gagasan menunggu perwujudannya yang sekaligus merupakan pemantapan nilai-nilai

(Mealalatoa dan Sri Murni, 1977:52).

Sejarah kebudayaan manusia menunjukkan bahwa kepandaian bertenun merupakan

aktivitas budaya manusia yang sudah dimulai dari zaman prasejarah, yang ditandai dengan

adanya kemampuan manusia membuat pakaian dari serat kayu. Kerajinan tenun yang

menyangkut aktivitas dan hasil kerajinan berupa bahan kain yang dibuat dari benang serat

kayu, kapas, sutra, dan lain-lain (Mealalatoa dan Sri Murni, 1977:52).

Pengetahuan bertenun telah lama dikenal di daerah Muna. Pengetahuan bertenun ini

dimiliki secara merata diseluruh daerah Muna. Namun sekarang ini, pengetahuan bertenun ini

mulai memudar dan ditinggal pendukungnya. Sedangkan yang masih aktif menenun tinggal

beberapa desa. Salah satunya adalah masyarakat di Desa Masalili Kecamatan Kontunaga

Page 2: Sarung tenun asal desa masalili

Kabupaten Muna. Kepandaian menenun di Desa Masalili yang diperoleh secara turun

temurun sejak zaman dahulu, sampai sekarang masih diwariskan dari generasi ke generasi.

Sarung tenun pada masyarakat Muna khusunya di Desa Masalili Kecamatan

Kontunaga Kabupaten Muna, memiliki corak dan warna dasar yang berbeda-beda. Sarung

tenun pada masayarakat Muna walaupun berbeda warna dasar namun mempunyai jalur corak

yang sama yaitu jalaur-jalur yang pada umumnya memanjang horizontal.

Sarung tenun pada masyarakat Muna atau biasa dikenal dengan nama sarung Muna

(bheta wuna). Sarung tenun ini dijadikan sebagai simbol status di dalam kehidupan

masyarakat. Sarung tenun pada masyarakat Muna di Desa Masalili, memiliki berbagai

macam corak nama dan fungsinya yang berbeda. Setiap perbedaan corak dan nama sarung

tersebut mempunyai makna dan fungsi yang berbeda pula. Menurut studi awal yang

dilakukan oleh peneliti didapatkan bahwa pada masyarakat Muna terdapat stratifikasi atau

tingkatan masyarakat yaitu golongan kaomu (golongan bangsawan), golongan walaka

(golongan adat), golongan sara (pemuka adat). Pada setiap tingkatan itu ada corak dan makna

sarung tenun untuk stratifikasinya. Demikian juga individu-individu dalam setiap stratifikasi

ada perbedaan corak dan makna sarung yang digunakan misalnya warna dan corak untuk

anak gadis, anak laki-laki, untuk orang tua, untuk janda, atau duda berbeda. Berdasarkan

fenomena di atas sehingga calon peneliti tertarik untuk meneliti mengenai “Corak dan Makna

Sarung Tenun pada Masyarakat Muna di Desa Masalili Kecamatan Kontunaga Kabupaten

Muna”.

B. Rumusan Masalah

Sarung tenun merupakan salah satu hasil karya manusia yang memiliki nilai penting

bagi masyarakat, hal ini disebabkan karena sarung sebagai karya seni yang bernilai estetika

juga memiliki fungsi penting dalam kehidupan bermasyarakat. Secara umum sarung tenun

orang Muna sudah dikenal dan digunakan oleh berbagai kalangan untuk menunjukkan

identitas kelompok atau berdasarkan stratifikasi. Untuk mengetahui mengapa sarung tenun

Muna dapat bertahan dikalangan masyarakat, maka perlu dilakukan penelitian secara

mendalam mengenai proses pembuatan, fungsi sarung tenun bagi masyarakat Muna.

Berdasarkan fenomena tersebut maka masalah penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut:

1.      Bagaimana proses pembuatan sarung tenun Muna di desa Masalili Kecamatan Kontunaga

Kabupaten Muna.

2.      Bagaimana fungsi sarung tenun Muna dalam kehidupan sehari-hari masyarakat di Desa

Masilili Kecamatan Kontunaga Kabupaten Muna.

Page 3: Sarung tenun asal desa masalili

3.      Bagaimana cara orang Muna di Desa Masalili Kecamatan Kontunaga Kabupaten Muna

mempertahankan tradisi menenun di kalangan perempuan

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini difokuskan pada masalah sarung tenun Muna di Desa Masalili

Kecamatan Kontunaga Kabupaten Muna. Tujuan khusus yang diharapkan dari penelitian ini

adalah:

1.      Untuk mengetahui dan mendeskripsikan proses pembuatan sarung tenun Muna di desa

Masalili Kecamatan Kontunaga Kabupaten Muna.

2.      Untuk mengetahui fungsi sarung tenun Muna dalam kehidupan sehari-hari masyarakat di

Desa Masilili Kecamatan Kontunaga Kabupaten Muna.

3.      Untuk mengetahui bagaimana cara orang Muna di Desa Masalili Kecamatan Kontunaga

Kabupaten Muna mempertahankan tradisi menenun di kalangan perempua.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:

1.      Untuk memberikan informasi tentang cara pembuatan, fungsi, dan cara orang Muna

mempertahankan sarung tenun bagi pelestarian seni tenun Muna sebagai satu unsur

kebudayaan yang bernilai tinggi.

2.      Sebagai bahan informasi bagi pemerintah setempat agar senantiasa melestarikan nilai-nilai

budaya masyarakat.

3.      Memberi informasi kepada pembaca tentang bagaimana cara pembuatan sarung tenun Muna

di Desa Masalili Kecamatan Kontunaga kabupaten Muna.

Page 4: Sarung tenun asal desa masalili

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Penelitian tentang sarung tenun yang merupakan bagian dari rumpun seni rupa telah

banyak dilakukan pakar antropologi, misalnya Suhardini dan Sulaiman Jusuf (1984), Sri

Murni dan M. Jusuf Melalatoa (1997) serta Fisher (1979). Di Sulawesi Tenggara, penelitian

tentang sarung tenun masih kurang. Oleh karena itu, calon peneliti akan meneliti tentang

“Corak dan Makna Sarung Tenun pada Masyarakat Muna di Desa Masalili Kecamatan

Kontunaga Kabupaten Muna, maka pada tinjauan pustaka ini akan membahas hasil-hasil

penelitian tentang sarung tenun yang terkait dengan corak dan makna yang terkandung dalam

sebuah kain sarung.

Tenun merupakan salah satu perlengkapan hidup manusia yang telah dikenal sejak

zaman prasejarah yang diperoleh dari perkembangan pakaian penutup badan setelah rumput-

rumput dan kulit kayu. Dewasa ini mempunyai fungsi dalam berbagai aspek sosial, ekonomi,

religi, etika dan lain-lain (Kartiwa dalam Difinubun, 2001:9).

Tuti Soeharto pada Majalah Dharma Wanita No. 98 Oktober 1994 dalam Silalahi

(1995:98), menjelaskan kespesifikan batik tulis Banyumas, antara lain motif, warna dasar dan

sabagainya. Batik merupakan hasil karya seni diatas kain ciptaan asli nenek moyang kita

yang bernilai tinggi. Batik memiliki suatu keunikan. Pengungkapan keunikan batik selalu

mengandung kerepotan tersendiri, karena diperlukan alasan yang sangat luas. Baik dari segi

pembuatan bahan pola, pewarnaan, penggunaan dan daerah asal.

Di Indonesia sendiri kepandaian bertenun rupanya sudah dikenal sejak beberapa abad

sebelum masehi. Kepandaian ini merupakan kelanjutan pengalaman dan pengetahuan

membuat barang-barang anyaman daun-daunan dan serat-serat kayu yang digunakan sebagai

wadah busana. Pengetahuan baru dari luar, yang terkait dari tenun itu, cepat diterima dan

berkembang. Perkembangan itu menyangkut mutu bahan, keindahan tata warna, dan motif-

motif hiasan. Motif-motif hiasan Indonesia mendapat pengaruh dari Cina, India, Arab, dan

lain-lain (Melalatoa, 1991:242). Barangkali itulah sebebnya Fisher (1979) menyatakan bahwa

seni tenun yang paling kaya dan canggih yang pernah ada di dunia dihasilkan di Indonesia.

Sebagai salah satu produk kebudayaan, tenunan dapat menjadi salah saran untuk

pembangunan. Hal ini dimungkinkan karena karya tenun dapat / mempunyai aspk ekonomi,

yang dapat member nilai tambah kepada penenun. Seperti yang dikemukakan oleh Nat J.

Colletta dan Umar Kayam dalam Atiru (1992:4) bahwa “kebudayaan asli dapat dan harus

dijadikan sebagai media atau alat untuk pembangunan”. Hal ini karena tiga alasan yakni

Page 5: Sarung tenun asal desa masalili

1)      Unsur-unsur budaya mempunyai legitimasi tradisional dimata orang-orang yang menjadi

sasaran prongram pembangunan.

2)      Unsur-unsur budaya secara symbol merupakan bentuk komunikasi paling berharga dari

produk stempat.

3)      Unsur-unsur budaya mempunyai aneka ragam fungsi (baik yang terwujud maupun yang

terpendam) yang sering dinyatakan sebagai sarana yang paling berguna untuk perubahan

dibanding dengan yang tampak dipermukaan jika hanya dilihat dalam kaitan dengan

fungsinya yang terwujud saja.

Hasil tenun seolah sudah menjadi salah satu cirri budaya Indonesia yang dapat

dibanggakan karena mutunya yang tinggi. Dalam pameran kerajinan Internasional

(Internastional) and National Craft Conference and Exhibition yang diikuti 12 negara di

Jakarta tahun 1985. Tenun ikat sumba dinilai dan disahkan sebagai tenun terbaik serta diberi

penghargaan tertinggi. Tenun-ikat sendiri adalah kain tenun yang cara pembuat motifnya

menggunakan tenun ikat. Tenun ikat sebagai bagian teknik menenun sudah di kenal di Eropa

sejak abad ke-19, lewat Hindia-Belanda, sehingga kata ikat terdapat dalam kamus bahasa

Belanda maupun Inggris dengan pengertian seperti tersebut di atas. Tenun ikat lungsin

dikenal sejak zaman kebudayaan Dongso dan di Indonesia tersebar di berbagai daerah

(Wibawanto dalam Melalatoa dan Srimurni, 1997 : 53).

Di luar ekspresi jiwa manusia akan keindahan, kesenian dari suatu masyarakat

memang bermaksud menjawab dan menginterpretasikan prmasalahan kehidupan sosialnya,

mengisi kebutuhan atau mencapai tujuan bersama, seperti kemakmuran, persatuan,

kemuliaan, kebahagiaan, dan rasa aman yang berhubungan dengan yang gaib (supernatural),

dan lain-lain. Semuanya itu tertuang dalam betuk kesenian atau kesenian tradisional,

misalnya seni tari, seni lukis, seni rias, seni sastra, music dan lain-lain (melalatoa, 1989 : 26).

Sementara itu Levi-Strauss mengemukakan, bahwa kesenian dapat, menjadi satuan-satuan

integrasi menyeluruh secara organik di mana gaya-gaya, kaidah-kaidah estetik, organisasi

sosial, dan agama secara struktural saling berkaitan. Dalam hubungan sosial itulah

penampilan gaya dan organisasi sosial saling berkaitan.

Sistem kesenian merupakan salah satu perwujudan budaya manusia akan rasa seni

dan keindahan. Pada berbagai suku bangsa di Indonesia dikenal berbagai ragam secara

tradisional.

(1)   Seni gerabah atau tembikar pada orang Jawa.

(2)   Seni pahat atau seni ukir pada orang Bali, Jawa dang orang Asmat.

(3)   Seni tenun pada orang Bugis, Minangkabau dan Timor.

Page 6: Sarung tenun asal desa masalili

Begitu banyak ragam seni tradisional dan seni budaya yang dimiliki oleh setiap suku

bangsa Indonesia. Sistem kesenian tradisional erat sekali hubungannya dengan unsur budaya

lain, terutama unsur religi atau keagamaan.

(1)   Seni tenun “ulos” pada orang Batak erat sekali hubungannya dengan berbagai upacara adat,

seperti pada upacara perkawinan atau kematian.

(2)   Seni pahat dalam bentuk dalam bentuk seni patung pada orang Dayak dan Asmat

melambangkan Totemisme.

(3)   Seni pertunjukan wayang kulit yang menggelar cerita atau “lakon” Murwokolo, sering

dipertunjukan dalam upacara adat “ngeruwat” pada orang Jawa.

Menurut ilmu antropologi, “kebudayaan” adalah : keseluruhan gagasan, tindakan dan

hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri mnusia

dengan belajar (Koentjaraningrat, 1990:180). Kebudayaan juga dapat dilihat sebagai

berfungsi untuk mengorganisasi simbol-simbol (simbol adalah setiap benda, tindakan dan

peristiwa yang mempunyai arti yang terwujud dalam tingkah laku manusia).

Koentjaraningrat (1974:19) dalam bukunya kebudayaan, mentalitas dan

pembangunan, bahwa kebudayaan manusia mempunyai tiga dimensi, pertama, kebudayaan

sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan-gagasan, nilai-nilai norma-norma, peraturan

dan sebagainya. Eksistensi kebudayaan ini pada alam pikiran warga masyarakat, namun dapat

pula berupa tulisan-tulisan serta karangan-karangan. Kedua, kebudayaan sebagai suatu

kompleks aktivitas yang sudah dipola dalam masyarakat. Wujud kebudayaan ini berupa

system sosial dalam masyarakat yang bersangkutan. Ketiga, kebudayaan sebagai benda-

benda hasil karya manusia. Ia bisa berupa kebudayaan nyata, tampak fisiknya karena

merupakan hasil karya masyarakat yang bersangkutan.

Dari wujud kebudayaan itu jelas bahwa wujud pertama dan kedua merupakan hasil

dari akal dan budi manusia, sedangkan yang ketiga adalah karya manusia. Kemudian

Koentjarangrat menganalisis budaya manusia yang terdiri dari unsur-unsur universal itu,

merupakan isi dari semua kebudayaan di dunia ini yakni : (a) sistem religi dan upacara

keagamaan; (b) system organisasi dan kemasyarakatan; (c) system pengetahuan; (d) system

bahasa; (e) system kesenian (f) system mata pencaharian hidup; dan (g) system teknologi

serta peralatan.

Konsepsi Alfred dan Clyde Kluckhohn dalam Herusatoto (2001:9) tentang

kebudayaan cenderung menganggap gagasan-gagasan, symbol-simbol dan nilai-nilai sebagai

inti kebudayaan. Begitu erat hubungan antara manusia dengan kebudayaan, sampai ia disebut

Page 7: Sarung tenun asal desa masalili

makhluk budaya. Kebudayaan sendiri terdiri atas gagasan-gagasan, symbol-simbol, dan nilai-

nilai sebagai hasil karya dari tindakan manusia.

Michael Landmann dalam Herusatoto (2001:9) menyatakan bahwa, setiap karya

manusia niscaya mempunyai tujuan. Setiap benda alam sekitar yang disentuh dan

dibudidayakan manusia mengandung suatu nilai. Nilai yang diperoleh manusia bermacam-

macam, misalnya nilai sosial, ekonomis, keindahan, kegunaan dan lain sebagainya. Dengan

demikian, berkarya berarti menciptakan nilai. Dengan kata lain, setiap hasil karya manusia

menyimpan bentuk dan isi kemanusiaan. Oleh karena setiap benda budaya menunjukkan

maksud, nilai, serta gagasan-gagasan penciptannya.

Salah satu wujud budaya manusia ialah alam seni. Alam seni ini terdiri atas beberapa

unsur yaitu seni rupa, seni sastra, seni tari, seni music, dan seni drama. Alam seni merupakan

salah satu dari aktivitas kelakuan berpola dari manusia yang dalam pengungkapannya penuh

dengan tindakan-tindakan simbolis. Melalui alam seni ini, rasa budaya manusia yang tidak

dapat diungkapkan dalam pergaulan sehari-hari, dicurahkan dalam bentuk symbol.

Turner (1990:18) mendefinisikan symbol sebagai sesuatu yang doanggap dengan

persetujuan bersama, sebagai sesuatu yang memberikan sifat alamiah atau mewakili atau

meningkatkan kembali dengan memiliki kualitas yang sama atau dengan membanyangkan

dalam kenyataan atau pikiran. Perubahan seseorang dalam status dan peran baru dapat dilihat

didalam ritus. Pertama, tahap pemisahan dari keadaan masyarakat sehari-hari; kedua, tahap

luminal (tahap transisi) dan ketiga, tahap pengintegrasian kembali. Melalui simbol-simbol

orang dapat mengungkapkan dan mengalalmi sesuatu yang transenden (Turner, 1990:67-68).

Tenun ikat pada masyarakat Sumba, dipahami sebagai suatu karya simbolis yang

berdimensi teknologi dan kesenian. Simbolis diartikan sebagai pemberian dan penangkapan

makna sebagai kehadiran otentik manusia. Gagasan yang menjadi suatu wawasan karya seni

mencangkup bermacam makna yang terbaca dalam berbagai bentuk seni. Makna tersebut

lebih merupakan rangkaian ungkapan rasa seperti harapan, keserasian, keresahan, kepedihan,

ironi, semangat dan keceriaan yang ditopang gagasan tertentu. Rasa gagasan menunggu

perwujudannya yang sekaligus merupakan pemantapan nilai-nilai (Melalatoa dan Sri Murni,

1997:52).

Tenun, selain sebagai busana, pertenunan itu terkait dengan aspek estetis, upacara

adat; religi, dan symbol status dalam kehidupan masyrakat. Jenis kain dan motif hiasan

tertentu dipakai oleh orang-orang dari lapisan tertentu atau yang memegang peranan tertentu.

Hasil pertenunan terkait dengan berbagai latar belakang budaya dan lingkungan tadi

melahirkan aneka ragam tenun-ikat, tenun songket, dan batik (Melalatoa, 1991:242-243).

Page 8: Sarung tenun asal desa masalili

Terkait dengan symbol status dalam kehidupan masyarakat, pada masyarakat Sumba,

status tinggi rendah ini akan tampak dalam kehidupan sehari-hari dan dalam upacara, serta

tampak dalam hak dan kewajibannya. Untuk memperjelas status itu digunakan sejumlah

benda dan hewan baik dalam acara adat, upacara kematian, atau dalam kehidupan sehari-hari.

Kebudayaan Sumba membagi beberapa benda (banda) mencangkup mas, perak, hewan kuda,

dan kerbau; dan bersifat feminism (ngau) adalh kain (hinggi), sarung (lau), manic-manik

(mutisalak), dan gading (Melalatoa dan Sri Murni, 1997).

Pada masyrakat Sumba, bagi wanita dari kalangan bangsawan atau raja-raja yang

menghadiri pesta perkawinan akan mengenakan Lau Utu amahu (sarung jahitan yang

memakai uang emas/perak), atau Lau Utu hada (sarung jahitan yang diberi muti berkarang),

atau Lau Utu kau (sarung jahitan dengan hiasan siput). (Melalatoa dan Sri Murni, 1997:51).

Pada masyarakat Tolaki, desain pada sarung khususnya sawu ulu (sarung berkepala)

terdiri atas dua garis besar yang diantarai oleh tiga garis sehingga tampak menjadi lima garis.

Lima garis vertical yang berpotongan dengan garis lima horizontal adalah symbol yang

menggambarkan bobot tubuh manusia yang dibatasi dengan sisi kanan-kiri dan atas-bawah

yang diselubungi oleh empat penjuru ruang: Timur-Barat dan Uatara-Selatan. Dalam

hubungan ini ada ungkpan orang Tolaki yang berbunyi : Sawundo Wotolundo (sarung kita

adalah bobot tubuh kita). (Tarimana, 1989:248-249).

Kain yang terbuat dari benang (kapas dan sutera) yang pada umumnya berfungsi

sebagai pakaian atau busana, tetapi sebuah kain sarung dapat menunjukkan symbol status

dalam kehidupan masayarakat. Sarung tenun yang dijadikan simbol status di dalam

kehidupan masyarakat, bukan saja pada masyarakat Sumba tetapi, pada masyarakat Muna

sarung tenun dijadikan sebagai symbol satatus didalam kehidupan masayarakat Muna sarung

tenun dijadikan symbol status didalam kehidupan masyarakat dilihat dari jenis sarung yang

dipakai.

Page 9: Sarung tenun asal desa masalili

BAB III

METODE PENELITIAN

Penelitian ini akan dilakukan di Desa Masalili yang merupakan salah satu desa di

Kecamatan Kontunaga Kabupaten Muna. Penentuan lokasi ini didasarkan dengan

pertimbangan bahwa di desa ini penduduknya sebagian besar masih mempertahan tradisi

menenun sarung Muna. Oleh karena itu penelitian ini difokuskan pada bagaimana Cara

pembuatan sarung tenun Muna dan bagaimana corak dan makna sarung tenun masyarakat

Muna di Desa Masalili sebagai warisan budaya yang bersumber leluhur mereka. Teknik

pengumpulan data yang akan digunakan adalah teknik participation observation atau

pengamatan terlibat dan indepth interview atau wawancara mendalam. Teknik pengamatan

terlibat digunakan untuk melihat bagaimana keterlibatan anggota keluarga dalam berbagai

aktivitas menenun, mulai menentukan warna/corak, bahan, pelaksanaan menenun sampai

pada bagaimana cara memasarkan. Sedangkan teknik wawancara mendalam digunakan

menjaring data mengenai Adapun data yang digali lewat wawacara adalah mengenai

lingkungan alam (ketersediaan bahan baku tenun), demografi (kelompok-kelompok yang

menenun, siapa-siapa yang menenun, dimana melakukan aktivitas menenun), asal sejarah

sarung tenun, pengetahuan masyarakat tentang mnenun, sarung tenun sebagai mata

pencaharian hidup, bagaimana corak, makna serta jenis-jenis dari sarung tenun, dan

bagaimana proses pembuatan sarung tenun (bahan-bahan dan alat-alat yang digunakan pada

saat melakukan aktivitas menenun), berapa lama membuat sarung tenun, bagaimana motif

sarung yang digunakan perempuan dan laki-laki serta motif sarung apa yang diminati.

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif-deskriptif, yaitu suatu bentuk penelitian yang

berusaha menghasilkan data deskriptif, gambaran yang sistematis, faktual, dan akurat

mengenai fakta-fakta di lapangan, dengan menggunakan etnografi sebagai metode utama

dalam pengumpulan data. Untuk itu, informan akan dipilih secara purposive sampling dengan

pertimbangan dianggap mengetahui dan bersedia memberikan informasi yang berkaitan

dengan masalah penelitian, yang terdiri dari informan kunci dan informan biasa. Informan

kunci adalah kepala desa, karena selain dapat menunjukkan informasi tentang orang-orang

yang akan dijadikan informan biasa, yang bersangkutan juga memiliki usaha sarung tenun

Muna. Sedangkan informan biasa yang akan dipilih adalah para keluarga penenun yang ada

di desa ini. 

Data akan dianalisis secara deskriptif kualitatif, yaitu dengan menggambarkan hasil penelitian secara deskripsi untuk menjawab permasalahan yang diteliti. Analisis dilaksanakan dengan menyusun data-data yang diperoleh, kemudian diinterprestasikan dengan mengacu

Page 10: Sarung tenun asal desa masalili

pada keterkaitan antara berbagai konsep dan kenyataan yang ada di lapangan. Data yang dikumpulkan dari pengamatan dan wawancara selanjutnya dikelompokkan menurut bagian-bagiannya. Hal ini mengacu kepada Endraswara (2003), bahwa dengan melakukan analisa data secara terus menerus, maka peneliti akan memperoleh penalaran yang utuh mengenai hasil penelitian yang dicapai dari permasalahan yang diteliti.

BAB IV

GAMBARAN UMUM DESA MASALILI

KECAMATAN KONTUNAGA KABUPATEN MUNA

A. Lokasi dan Letak Desa

Penelitian ini dilaksanakan di Desa Masalili Kecamatan Kontunaga Kabupaten Muna

lebih kurang delapan kilometer dari Kota Raha, ibu kota Kabupaten Muna. Dari Kota Raha

agar bisa sampai ke Desa Masalili terdapat dua jalur yang dapat dilalui yaitu melalui jalur

Jompi langsung kearah Desa Masalili dan jalur lainnya yaitu melalui jalan propinsi Raha -

Bau-Bau. Setelah menempuh sekitar delapan kilometer, akan ada lorong yang langsung

menuju ke Desa Masalili. Meskipun wilayahnya yang berada cukup jauh dari jalan propinsi

namun Desa Masalili bukanlah Desa yang tertinggal karena jalannya cukup baik untuk

dilalui. Desa Masalili terdiri atas dua dusun yaitu Dusun Ladontani dan Dusun Kamali.

Bentuk wilayahnya berbukit-bukit dengan tanahnya yang merah serta alamnya yang masih

alami. Secara keseluruhan jumlah penduduk Desa Masalili adalah 1217 jiwa. Jumlah

penduduk tersebut termasuk diantaranya adalah anak-anak, orang dewasa dan orang lanjut

usia.

Penelitian ini dilaksanakan di Desa Masalili dengan pertimbangan bahwa Desa

Masalili merupakan desa yang sebagain besar masyarakatnya merupakan pengrajin sarung

tenun adat muna. Bahkan hampir seluruh perempuan yang berada di Desa Masalilli

berprofesi sebagai penenun sarung adat muna. Hal ini berdasarkan dari pengamatan yang

dilakukan oleh peneliti bahwa dapat dikatakan setiap rumah warga mempunyai alat meng-

hani dan menenun. Berdasarkan informasi yang diperoleh bahwa Desa Masalili merupakan

tempat pertama kali dilakukannya pembuatan sarung tenun adat muna di Kabupaten Muna.

Setelah pemuda atau wanitanya kawin dengan orang dari luar desa, barulah kemudian

pembuatan sarung tenun adat muna ini menyebar ke wilayah-wilayah yang lainnya.

Pernyataan tersebut didukung dengan adanya alat manual yang digunakan untuk membuat

atau memintal benang dari kapas yang masih sangat sederhana dan masih tersedia di rumah-

rumah warga setempat. Alat tersebut digunakan pada zaman dahulu sebelum tersedianya

benang-benang hasil produksi pabrik di daerah tersebut. Bukti lain juga adalah masih adanya

hasil tenunan sarung yang bahan dasarnya kapas yang kemudian dipintal dijadikan benang

Page 11: Sarung tenun asal desa masalili

oleh masyarakat setempat dan ditenun sehingga menjadi selembar sarung tenun. Berdasarkan

hal inilah masyarakat setempat menyatakan bahwa Desa Masalili merupakan desa yang

pertama kali dan sebagai tempat asal mula pembuatan sarung tenun di Kabupaten Muna.

B. Sumberdaya Alam yang mendukung Usaha tenun sarung Muna

C. Mata pencaharian Masyarakat Desa Masalili

Masyarakat Desa Masalili merupakan masyarakat yang tingkat ekonominya masih

sangat sederhana dengan profesi yang beraneka ragam. Sebagian besar masyarakat Desa

Masalili merupakan pengrajin sarung tenun adat muna, khususnya para wanita. Mereka

menenun sarung adat muna, secara berkelanjutan sesuai dengan ada atau tidaknya pesanan,

namun ada pula yang menjualnya ke pasar atau kepada para pengumpul atau penada. Selain

sebagai penenun kaum perempuan juga sebagai petani. Tanaman yang mereka tanam

bermacam-macam, mulai dari jambu mete, tanaman sayur-sayuran dan tanaman yang dapat

dijadikan sebagai makanan pokok seperti jagung dan padi. Hasil dari pertanian dan

perkebunan tersebut sebagian mereka pakai untuk dikonsumsi sendiri dan sebagian lagi

mereka jual di pasar-pasar terdekat. Pada saat berbuah jambu mete, selain sebagai penenun

dalam aktifitas kesehariannya, mereka juga mengolah jambu mete tersebut sehingga harganya

lebih mahal dari sebelumnya.

Wilayah Desa Masalili tidak terlalu jauh dari ibu kota Kabupaten Muna sehingga

sebagian masyarakatnya ada yang berprofesi sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang

bertugas di Kota Raha. Sebagian lagi ada yang berprofesi sebagai tukang kayu. Kayu yang

mereka olah dijadikan berbagai macam perabot seperti kursi dan meja, ranjang dan berbagai

macam perabot yang lain. Perabot-perabot tersebut kemudian mereka jual dan kepada

masyarakat setempat maupun orang dari luar desa. Selain itu, para tukang kayu ini juga

biasanya menerima pesanan dari para pembeli yang kemudian mereka kerjakan berdasarkan

pesanan tersebut. Salah satu yang biasanya di pesan untuk dibuatkan oleh masyarakat

setempat kepada para tukang kayu ini adalah alat-alat meng-hani/ kasoro dan peralatan

penenunan. Berdasarkan wawancara yang telah dilakukan oleh peneliti, harga satu set alat

meng-hani/kasoro dan alat menenun adalah sekitar tujuh ratus lima puluh ribu rupiah sampai

delapan ratus ribu rupiah. Pada dasarnya, peralatan yang digunakan untuk meng-hani dan

menenun adalah bahan-bahan yang sudah tersedia di alam namun bagi orang yang tidak mau

repot, mereka biasanya langsung memesan kepada para tukang kayu. Waktu yang

dibutuhkanpun untuk membuat peralatan tersebut pun tudaklah terlalu lama, hanya sekitar

satu minggu pesanannya sudah bisa diambil.

Page 12: Sarung tenun asal desa masalili

Ada pula yang mempunyai profesi sebagai pedagang. Mereka menjual berbagai

macam barang dagangan, mulai dari sembako sampai dengan kain sarung tenun. Mereka

menjual barang dagangannya ke pasar-pasar terdekat, bahkan ada yang sampai ke Pasar

Laino di Kota Raha. Namun ada pula yang hanya membuka warung di rumahnya masing-

masing dengan barang dagangan berupa makanan cemilan sampai dengan bahan pokok.

Menurut beberapa informan, meskipun banyak profesi yang mereka geluti saat ini, namun

pembuatan sarung tenun adat muna tetap terus mereka lakuakan pula. Hal ini melakukan

karena sarung tenun adat muna merupakan adat-istiadat yang sudah turun-temurun mereka

geluti atau mereka lakukan sejak dahulu.

BAB V

SARUNG TENUN MUNA DI DESA MASALILI

A. Proses pembuatan sarung tenun Muna

Berdasarkan wawancara yang dilakukan oleh peneliti rata-rata masyarakat yang

berprofesi sebagai penenum sarung mulai belajar membuat sarung tenun sejak umur 12-14

tahun. Demikian pula dari hasil pengamatan yang dilakukan oleh peneliti di Desa Masalili

sudah banyak anak-anak yang telah pintar membuat sarung meskipun masih pada tahap-tahap

yang masih sangat awal seperti meng-hani/ kasori. Rata-rata anak-anak ini masih duduk pada

sekolah dasar yang ketika pulang dari sekolah mereka membantu orang tua mereka

melakukan pembuatan sarung tenun. Sedangkan proses menenun mulai dilakukan sejak umur

17 tahun atau telah menginjak pada sekolah menengah pertama. Adanya perbedaan umur

tersebut dalam mempelajari pembuatan sarung tenun karena didasarkan pada tingginya badan

atau pertumbuhan si anak tersebut.

Dalam melakukan proses penenunan, kaki penenun harus sampai pada kayu atau

balok yang disebut dengan kafetadaha. Jika kaki si penenun tidak sampai pada alat tersebut,

maka proses penenunan tidak akan dapat dilakukan karena untuk melakukan penenunan

benang hasil dari meng-huni/ kasoro yang telah dipindahkan pada alat penenunan harus

kencang. Sedangkan alasan utama mengapa kaki si penenun harus sampai pada balok atau

papan kafetadaha tersebut yaitu agar benangnya kencang. Hal inilah yang menjadi alasan

mengapa anak-anak belum bisa melakukan proses menenun.

Proses belajar meng-hani/ kasoro dan menenun hanya dilakukan dengan cara melihat

dan langsung mempraktekkan. Sudah menjadi kebiasaan dan adat dalam masyarakat Desa

Masalili bahwa seorang perempuan harus bisa menenun sarung karena pada setiap acara adat

Page 13: Sarung tenun asal desa masalili

yang akan dilakukan atau dilaksanakannya nanti tidak terlepas dari pakaian adat yang salah

satunya yaitu sarung tenun adat muna. Proses beajar meng-hani/ kasoro dan menenun ini

telah berlangsung turun-temurun dari zaman dahulu. Pada kenyataannya, bukan hanya wanita

atau perempuannya saja yang pandai dalam meng-hani atau menenun sarung namun laki-laki

atau prianya juga sebenarnya bisa meng-hani dan menenun tetapi pada masyarakat Desa

Masalili sudah terpola dalam pikirannya bahwa meng-hani/ kasoro dan menenun merupakan

pekerjaan wanita atau perempuan sehingga laki-laki atau prianya merasa tidak layak

melakukan pekerjaan tersebut atau mereka merasa malu apabila dilihat oleh orang lain.

Proses Pembuatan Sarung Tenun Muna Desa Masalili Kecamatan Kontunaga

Kabupaten Muna.

Proses pembuatan sarung tenun adat muna ada dua bagian yaitu :

1. Proses meng-hani/ kasoro

Proses meng-hani/kasoro adalah suatu proses awal yang dilakukan dalam pembuatan

sarung tenun adat muna dengan cara menyusun setiap helai lembaran benang pada alat yang

telah disiapkan sebelumnya dan dengan cara-cara tertentu pula. Bahan dasar utama yang

digunakan dalam pembuatan sarung muna yaitu benang biasa dan benang mamilon atau

benang nilon dengan warna yang berbeda sesuai dengan warna sarung yang akan dibuat.

Benang biasa yaitu benang yang biasa digunakan oleh masyarakat pada umumnya untuk

menjahit, sedangkan benang mamilon atau benang nilon yaitu benang yang khusus digunakan

untuk membuat sarung tenun adat dengan ciri mengkilap. Alat-alat yang digunakan dalam

proses meng-hani/ kasoro ini adalah sebagai berikut:

 

Page 14: Sarung tenun asal desa masalili

Gambar 1. Langku

  Langku yaitu dua batang kayu balok atau bambu dengan ukuran

sedang yang dibaringkan sejajar dengan jarak sekitar 1 meter dan panjangnya sekitar 2 meter.

  Jhangka yaitu bambu yang dibentuk seperti sisir yang bagian atas dan bawahnya dihimpiykan

dengan dua batang bambu kecil dengan panjang sekitar 1,4 meter. Jhangka ditempatkan pada

bagian tengah langku dan diikat pada kedua batang langku tersebut.

Gambar 2. Jhangka

Page 15: Sarung tenun asal desa masalili

 

  Kae yaitu sebatang bambu yang berukuran sedang dengan panjang sekitar 1,4 meter yang

diikatkan pada kedua ujung langku dan berfungsi untuk mengencangkan benang.

Gambar 3. Kae

Page 16: Sarung tenun asal desa masalili

 

  Ati yaitu sebatang kayu yang dibentuk sedemikian rupa dengan bagian tengahnya mengecil

dengan panjang sekitar 1,4 meter yang dipasang pada ujung langku dan berfungsi untuk

mengencangkan benang.

Gambar 4. Ati

Page 17: Sarung tenun asal desa masalili

 

  Kaju yaitu sebatang bambu kecil dengan panjang sekitar 1,4 meter yang dipasang pada langku

dan berfungsi membatasi benang bagian atas dan bagian bawa agar tidak bercampur.

Gambar 5. Kaju

Page 18: Sarung tenun asal desa masalili

 

Parambhibhita yaitu ssebatang bambu kecil yang panjangnya lebih kurang 1 meter dan

digunakan sebagai tempat untuk memisahkan benang bagian atas dan bagian bawah serta

sebagai tempat menggulungkan benang nilon.

Gambar 6. Parambhibhita

Page 19: Sarung tenun asal desa masalili

 

  Bhibhita yaitu seutas benang nilon yang digulungkan pada parambhibhita sekaligus juga

berfungsi sebagai pemisah antara benang yang satu dengan benang yang lainnya.

Gambar 7. Bhibhita

 

Page 20: Sarung tenun asal desa masalili

  Kaghua yaitu berupa tempat sabun colek lengkap dengan penutupnya yang kemudian diisikan

dengan segulung benang dan pada bagian atas penutupnya dilubangi sebagai tempat

keluarnya benang. Dahulu sebelum ada pengetahuan untuk menggunakan tempat sabun

colek, masyarakat setmpat menggunakan tempurung kepala. Tempurung kelapa yang

digunakan ahanya sebelah saja. Kemudian tempurung kelapa tersebut dilubangi pada kedua

belah sisinya dan pada gulungan benang dumasukkan sebatang kayu yang diperkirakan bisa

masuk di dalam lubang segulung benang tersebut. Selanjutnya kayu yang sudah dimasukkan

ke dalam gulungan benang tersebut, kedua ujungnya dimasukkan pada kedua belah sisi

lubang tempurung kelapa sehingga benang tersebut bisa berputar dengan sendirinya apabila

ditarik.

Gambar 8. Kaghua

 

  Kangkai yaitu selembar tulang tipis yang biasanya diambil dari tulang rusuk sapi yang

panjangnya lebih kurang sekitar 50 cm dengan bagian ujungnya berbentuk seperti mata

pancing yang berfungsi sebagai pengait benang melalui sela-sela jhangka. Kangkai ini juga

Page 21: Sarung tenun asal desa masalili

bisa terbuat dari kayu, namun kayu teresebut harus dihaluskan karena jika kayu tersebut kasar

bisa saja benang-benang yang akan dibuat menjadi sarung ketika dalam proses meng-hani/

kasoro maupun proses menenun terkait atau tersangkut pada kayu tersebut sehingga benang

bisa saja putus.

Gambar 9. Kangkai

 

Perlu diketahui bahwa proses meng-hani/ kasoro harus dilakukan oleh dua orang baik

itu anak-anak maupun untuk orang dewasa. Dalam melakukan proses meng-hani/ kasoro

harus dengan sangat hati-hati dan dengan ketelitian yang sangat tinggi karena setiap lembaran

benang harus ditempatkan pada posisinya msing-masing. Selain itu, proses meng-hani/

kasoro juga harus dilakukan dengan penuh kesabaran dan kecermatan karena seutas demi

seutas benang harus disusun dan dirapikan sehingga tidak ada yang saling bertindisan

sehingga menyebabkan benang tersebut kusut. Setelah mengetahui alat-alat yang akan

digunakan dalam proses meng-hani/ kasoro, maka selanjutnya langkah-langkah yang

dilakukan dalam proses meng-hani/ kasosro adalah sebagai berikut: Meng-hani/ kasoro harus

dilakukan oleh dua orang sehingga dua orang yang akan meng-hani/ kasoro ini harus

Page 22: Sarung tenun asal desa masalili

menempati posisinya msing-masing yaitu satu orang berada disebelah kanan dan yang satu

lagi berada di sebelah kiri. Mereka berada di tengah-tengah antara dua batang langku dan

yang memisahkan mereka atau yang menjadi pembatas diantara kedua orang yang akan

melakukan proses meng-hani ini adalah sebuah jhangka. Selain itu, kaju, parambhibhita dan

bhibhita juga terletak diantara kedua orang yang akan melakukan proses meng-hani. Kaju

berada pada bagian sebelah langku sedangkan parambhibhita dan bhibhita berada pada

sebelah lainnya dari langku sehingga masing-masing kedua orang yang melakukan proses

meng-hani mempunyai pekerjaan yang hampir sama karena mereka sama-sama harus

mempunyai tingkat ketelitian yang baik untuk dapat menghasilkan sarung yang berkualitas.

Langkah selanjutnya yaitu memasukkan benang ke dalam kaghua. Warna benang

yang di masukkan ke dalam kaghua harus disesuaikan dengan warna sarung yang akan

dibuat. Dalam hal ini seseorang yang melakukan proses meng-hani/ kasoro harus dapat

memperkirakan dan mengetahui seberapa lebar dalam satu warna benang yang digunakan

sehingga warna yang terdapat pada sarung tenun adat muna sesuai dengan warna yang

sesungghunya. Sarung tenun adat muna mempunyai warna dasar yang beraneka ragam,

namun pada umumnya hanya berupa garis-garis lurus yang melingkari sarung tenun tersebut.

Kemudian ada pula yang disebut dengan bunga yaitu corak dari sebuah sarung tenun selain

dari garis-garis yang terdapat pada sarung tersebut. Warna benang yang digunakan dalam

proses meng-hani/ kasoro harus dimasukkan satu persatu ke dalam kaghua sehingga apabila

telah selesai warna benang yang satu, maka benang yang terdapat dalam kaghua harus

diganti. Kemudian apabila dirasa telah cukup untuk satu satu warna benang, maka warna

benang yang lain akan menggantikan warna benang yang ada dalam kaghua tersebut.

Kemudian langkah-langkah yang dilakukan dalam proses menghani/ kasoro setelah

alat yang akan digunakan sudah disiapkan dan telah dirangkai menjadi satu rangkaian utuh

dan benang telah berada dalam kaghua, serta dua orang yang akan melakukan proses meng-

hani/ kasoro telah berada pada tempatnya masing-masing yaitu benang yang terdapat pada

kaghua ditarik keluar yang bermula dari bagian ujung yaitu pada kae bagian atas dan dibawa

melewati bagian bawah daripada parambhibhita dan bhibhita. Kemudian ditarik lagi

benangnya dan dibelokkan ke atas, dan langsung menuju ke kae bagian atas kembali.

Selanjutnya yaitu benang yang terdapat dalam kaghua tadi yang sudah sampai pada kae

ditarik lagi kemudian melewati bagian atas parambhibhita dan diselingkan dengan bhibhita

agar benang yang satu dengan benang yang lainnya tidak saling bercampur dan tidak tindih-

menindih.

Page 23: Sarung tenun asal desa masalili

Selanjutnya dengan menggunakan kangkai, teman yang berada pada bagian

sebelahnya menarik benang melalui sela-sela jhangka dan dikaitkan atau dimasukkan pada

kaju. Kemudian, teman yang berada pada bagian sebelah kiri melakukan seperti yang pertama

tadi yaitu benang ditarik lagi dari ujung kae bagian atas sampai teman sebelah kanjanya lagi

menarik benang tersebut menggunakan kangkai melalui jhangka melewati kaju serta

langsung ditarik ke ujung hingga sampai pada ati. Setelah itu benang ditarik lagi melalui

bagian atas ati dan benang dibelokkan ke bawah menuju ke kaju. Pada kaju, benang

selanjutnya dimasukkan ke kaju. Proses ini berulang terus-menerus hingga mencukupi lebar

selembar sarung tenun adat.

Permasalahan yang biasanya dialami oleh mereka yang melakukan proses meng-hani/

kasoro yaitu apabila kualitas benang yang digunakan tidak baik atau kurang baik. Dalam hal

ini bisa saja benang yang mereka beli dipasar atau pada toko-toko yang menjual benang

tersebut telah lama atau terkena air. Hal-hal seperti di atas bisa saja mengurangi kualitas

benang yang akan digunakan untuk membuat sarung tenun adat sehingga pada saat

menggunakan benang tersebut akan mudah putus. Hal ini pula yang merupakan salah satu

faktor yang menentukan kualitas daripada sarung yang akan dihasilkan. Semakin baik

kualitas benang yang digunakan, maka semakin baik pula kualitas sarung tenun adat yang

dihasilkan. Faktor lain yang juga turut menentukan kualitas sarung yang digunakan yaitu dari

si penenun. Dalam hal ini faktor kehati-hatian dan kesabaran serta keuletan dari penenun juga

merupakan faktor yang sangat menentukan kualitas sarung yang akan dihasilkan. Semakin

terampil si penenun tersebut dalam membuat sarung tenun, maka semakin baik pula kualitas

sarung yang akan dihasilkannya.

Setelah proses meng-hani/ kasoro selesai, maka selanjutnya untuk mengahasilkan

selembar sarung dilanjutkan lagi dengan proses menenun. Proses menenun inilah merupakan

proses yang sangat menentukan sarung apa yang akan dibuat atau dihasilkan. Pada proses

menenun ini, akan ditentukan apakah sarung yang akan dibuat memiliki bunga atau corak

atau mungkin saja hanya merupakan sarung polos tanpa bunga atau corak. Pada masyarakat

Desa Masalili yang mereka maksud dengan sarung polos yaitu sarung yang tidak mempunyai

bunga atau corak bukan dilihat dari warnanya sebagaimana yang diketahui masyarakat lain

yang beranggapan bahwa sarung polos merupakan sarung yang sama warnanya dari atas ke

bawah.

Pada proses meng-hani/ kasoro tadi telah dikatakan bahwa proses tersebut bisa

dilakukan oleh anak-anak maupun dewasa. Namun pada proses menenun, memerlukan

keahlian khusus terutama dalam pembuatan bunga atau coraknya. Sehingga anak-anak

Page 24: Sarung tenun asal desa masalili

biasanya belum bisa melakukan proses menenun. Corak yang akan dibuat telah ada

sebelumnya dalam pikiran penenun sehingga prosesnya akan berjalan terus-menerus tanpa

ada selembar atau sehelai benang yang terlupakan untuk disisipkan. Hal lain yang juga

menjadi hambatan sehingga anak-anak belum dapat melakukan proses menenun yaitu terkait

dengan tinggi badan. Karena dalam melakukan proses menenun ada salah satu alat yang

digunakan dalam proses tersebut yang harus sesuai dengan tinggi orang dewasa. Hal ini bila

tidak dilakukan, maka proses menenun bisa saja menjadi terhambat.

2. Proses Menenun

Proses menenun adalah suatu proses lanjutan setelah melakukan poses meng-hani/

kasoro yang merupakan penentu apakah sarung yang dihasilkan akan memiliki bunga atau

corak atau hanya sarung polos biasa saja. Proses menenun harus dilakukan oleh orang-orang

yang telah mahir karena dalam proses ini kualitas sarung akan ditentukan sehingga perlu pula

keahlian khusus dalam pengerjaannya. Biasanya orang-orang yang melakukan proses

menenun ini merupakan orang-orang yang telah berumur yang dalam hal ini ia telah lama

menekuni pembuatan sarung tenun adat ini. Seseorang yang melakukan proses menenun

harus telah mengetahui atau telah memiliki bayangan dalam pikirannya sarung apa yanga

akan dibuat dan modelnya seperti apa sehingga prosesnya akan berjalan terus-menerus tanpa

putus.

Telah diketahui bahwa proses meng-hani/ kasoro harus dilakuakn oleh dua orang,

namun pada proses menenun yang terjadi malah sebaliknya. Proses menenun tidak boleh

dilakukan oleh dua orang akan tetapi hanya dapat dilakukan oleh satu orang saja.

Langkah-langkah yang dilakukan dalam proses menenun yaitu menyiapkan peralatan

yang akan digunakan dalam proses penenunan seperti:

  Katai yaitu dua lembar papan yang panjangnya sekitar 1,6 meter dan lebarnya sekitar 15-20

cm. Papan ini diletakkan pada dinding dan berfungsi sebagai tiang atau penyangga.

  Selanjutnya adalah memindahkan bagian-bagian alat dari proses menghani/ kasoro kepada

prpses menenun. Alat-alat yang dipindahkan tersebut adalah sebagai berikut:

  Kae yang semula berada pada proses meng-hani/ kasoro yaitu terletak pada ujung langku

sebelah kanan, kenudian dipindahkan pada proses menenun yang dipasang pada ujung katai

bagian atas. Ati tidak mengalami perubahan fungsi yaitu sebagai alat yang digunakan

mengencangkan benang.

  Ati yang semula berada pada proses meng-hani/ kasoro yaitu terletak pada ujung dua batang

langku sebelah kiri, kemudian dipindahkan pada alat menenun yang dipasangkan dengan

Page 25: Sarung tenun asal desa masalili

sebatang kayu berhimpitan agar benang yang sudah tersusun tidak bergeser lagi. Dalam hal

ini, ati mengalami perubahan fungsi yang semula ketika berada pada proses menghani hanya

berfungsi sebagai pengencang benang agar tidak longgar atau kendur, setelah berada pada

proses menenun ati berfungsi sebagai alat yang menjepit atau alat yang dapat merapikan

benang sehingga benang tidak bergeser lagi.

  Demikian pula kaju, bhibhita dan parambhibhita dipindahkan dari proses meng-hani/ kasoro ke

proses menenun yang diletakkan diatas kaki si penenun, namun letak asalnya tidak berubah

atau tidak bergeser.

  Kafetadaha yaitu sebatang kayu yang dijadikan tempat menginjakkan kaki agar si penenun

dapat menarik benang-benang yang sudah terpasang pada alatnya sehingga lebih kencang.

Gambar 10. Kafetadaha

 

  Lobu yaitu sebatang bambu yang berukuran sedang dengan panjang lebih kurang 25-30 cm dan

pada salah satu ujungnya dipotong sehingga berlubang dan ujung lainnya tertutup.

Selanjutnya ada sebatang kayu kecil yang digulungkan dengan segulung benang. Semakin

Page 26: Sarung tenun asal desa masalili

banyak fariasi bunga atau corak dan fariasi warna yang akandibuat pada selembar sarung,

maka akan semakin banyak pula gulungan benang pada kayu kecil tersebut yang digunakan.

Hal ini dimaksudkan karena setiap gulungan benang sebatang kayu kecil tersebut

digulungkan dengan warna benang yang berbeda dan masing-masing gulungan mempunyai

fungsi tersendiri sesuai dengan fariasi bunga atau corak dan fariasi warna yang akan dibuat

pada selembar sarung.

Gambar 11. Lobu

 

  Katokano bunga yaitu bambu kecil yang berada di atas benang tenunan dengan beberapa utas

benang nilon yang membatasi kumpulan benang tenunan.katokano bunga sebenarnya

merupakan bahasa muna yang apabila diartikan ke dalam bahasa Indonesia yaitu

“perlengkapan bunga”, sehingga fungsinya yaitu sebagai alat yang digunakan untuk

membentuk bunga atau corak pada sarung tenun. Lebih banyak fariasi bunga atau corak yang

Page 27: Sarung tenun asal desa masalili

akan dibuat pada selembar sarung tenun, maka akan semakin banyak pula jumlah dari

katokano bunga tersebut.

Gambar 12. Katokano Bunga

 

  Kadanda yaitu sebatang kayu yang berada diatas benang tenunan dan berfungsi untuk menindi

benang agar tidak terhambur. Kadanda ini tidak terlalu banyak difungsikan tetapi merupakan

juga salah satu yang harus tetap ada dalam proses penenunan.

Page 28: Sarung tenun asal desa masalili

Gambar 13. Kadanda

 

  Bhalida yaitu sebatang kayu tipis yang panjangnya sekitar 1,4 meter dan berfungsi merapatkan

benang-benang yang telah disusun sebelumnya selembar demi selembar benang. Cara kerja

dari alat bhalida ini yaitu dengan cara memukul-mukul jhangka sehingga jhangka yang sudah

berisikan benang tergeser merapatkan benang yang telah dimasukkan sebelumnya dengan

menggunakan lobu.

Gambar 14. Bhalida

Page 29: Sarung tenun asal desa masalili

 

  Kabuntuluha yaitu sebatang kayu tebal yang digunakan untuk menahan atau menopang agar

bhalida pada saat penggunaannya tidak langsung kelantai karena apabila bhalida tidak

tertopang maka akan menyulitkan si penenun ketika memasukkannya kembali di sela-sela

benang.

Gambar 15. Kabuntuluha

  

  Tetere yaitu selembar papan yang agak tebal yang dipasang pada katai bagian bawah sehingga

pada saat melakukan penenunan benang akan berbentuk huruf L.

Page 30: Sarung tenun asal desa masalili

Gambar 16. Tetere

 

  Talikundo yaitu kayu yang diukir atau yang dibentuk sedemikian rupa agar sipenenun lebih

nyaman dalam melakukan penenunan. Talikundo ini berfungsi sebagai alat untuk

mengencangkan benang yang dipasang di belakang si penenun dengan tali yang diikat antar

talikundo dengan ati yang berada didepannya.

Gambar 17. Talikundo

Page 31: Sarung tenun asal desa masalili

 

Setelah selesai menyiapkan dan memindahkan alat dari proses meng-hani/ kasoro

kepada proses menenun, maka selanjutnya yaitu langkah-langkah yang dilakukan dalam

proses menenun yaitu diawali dengan si penenun mengambil posisi pada alat penenunan

dengan duduk terlentang. Kaki dari si penenun harus dipanjangkan atau diluruskan hingga

sampai pada kafetadaha. Selanjutnya dengan menggunakan lobu, seutas demi seutas benang

dimasukkan ke dalam sela-sela benang hasil dari proses meng-hani/ kasoro melalui kaju dan

kadanda serta parambhibhita dan bhibhita yang kemudian untuk merapatkannya

digunakanlah bhalida untuk memukul-mukul jhangka sehingga benang tersebut benar-benar

rapat. Setelah beberapa lama, maka kain yang dihasilkan akan bertambah panjang, sehingga

untuk tidak menyulitkan penenun, ati harus dibuka dan benang hasil dari proses meng-hani/

kasoro ditarik lagi dan kemudian dijepit kembali dengan munggunakan ati agar benang yang

sudah ditarik tersebut tidak bergeser lagi. Demikianlah secara terus menerus prosesnya akan

berlangsung.

Membuat bunga atau corak pada selembar sarung tenun memerlukan keahlian khusus

karena pengerjaannya cukup sulit. Beda corak atau bunga yang akan dibuat, maka beda pula

cara yang akan dilakukan dalam pembuatannya. Biasanya orang-orang yang membuat bunga

atau corak ini merupakan penenun yang telah berusia lanjut atau penenun yang benar-benar

menekuni usaha penenunan sarung ini karena selain pembuatannya yang memakan waktu

yang cukup lama juga tingkat kesulitannya yang sangat tinggi. Dari hasil pengamatan peneliti

di lapangan, rata-rata yang membuat sarung tenun dengan bunganya atau dengan coraknya

berumur diatas 35 tahun. Sedangkan penenun yang berumur di bawah 35 tahun biasanya

Page 32: Sarung tenun asal desa masalili

hanya mampu menenun sarung polos yang tanpa corak atau bunga atau mereka hanya bisa

menenun sarung yang menggunakan benang mamilon sebagai hiasan untuk lebih

memperindah sarung hasil buatannya.

Setelah selesai, maka benang hasil proses meng-hani/ kasoro pasti akan ada yang

tersisa pada ujungnya sehingga benang ini akan digunting dan jadila selembar kain.

Kemudian kain yang telah jadi tersebut untuk menjadikannya selembar sarung, maka terlebih

dahulu harus diukur disesuaikan dengan panjang selembar sarung dan dijahit sehingga jadilah

selembar sarung tenun adat muna.

Waktu yang dibutuhkan dalam proses meng-hani/ kasoro yaitu kurang lebih 3 jam

untuk selembar sarung. Saat ini benang yang digunakan tidak ada lagi yang dibuat sendiri

oleh si penenun, tetapi sudah merupakan benang hasil produksi pabrik. Benang tersebut dibeli

di pasar atau di toko-toko yang menjual benang tersebut. Sedangkan proses menenun

dibutuhkan waktu sekitar satu minggu untuk menyelesaikan selembar sarung. Namun waktu

yang dibutuhkan untuk penyelesaian proses menenun ini relatif. Hal ini dikarenakan

tergantung pada pada keuletan dari si penenun tersebut. Selain itu, waktu penyelesaiannya

juga tergantung dari ketekunan penenun dan banyak atau tidaknya corak atau bunga yang

akan dibuat pada selembar sarung tenun ini. Pada benang biasa pembelian dilakukan per dos

yang berisi 12 gulung dalam satu dos dengan harga 13 hingga 14 rubu rupiah per dosnya.

Sedangkan untuk benang mamilin atau benang nilon, pembelian dilakukan per gulung dengan

harga 16 ribu rupiah per gulungnya.

Dalam pembuatan selembar sarung, dibutuhkan benang sebanyak 3 dos atau ditambah

lagi dengan benang mamilon apabila pembuatan sarung tenun tersebut juga menggunakan

benang mamilon. Biaya yang digunakan untuk membuat selembar sarung tenun secara

keseluruhan yaitu sebesar 42 ribu rupiah hingga 70 ribu rupiah yang disesuaikan dengan jenis

sarung yang akan dibuat. Semakin banyak benang mamilon yang digunakan, maka akan

semakin banyak pula biaya yang akan dikeluarkan karena harga benang mamilon yang cukup

mahal. Hal ini karena ada sarung tenun yang hanya menggunakan benang biasa saja namun

ada pula yang menggunakan benang mamilon sehingga biayanya lebih mahal.

Sarung tenun yang telah jadi selain untuk dipakai sendiri, juga untuk dijual ke pasar-

pasar atau kepada para pembeli yang langsung datang ke tempat penenunan sarung warga.

Selain itu juga sebagian warga menjual sarung hasil tenunannya kepada para pengumpul atau

penada yang juga merupakan warga di daerah tersebut. Saat ini menurut salah seorang

informan menyatakan bahwa masyarakat setempat masih menjalin kerjasama dengan

Dekranas Propinsi namun tidak terlalu intens lagi. Kegiatan-kegiatan yang pernah dilakukan

Page 33: Sarung tenun asal desa masalili

yaitu seperti pelatihan pembuatan zat pewarna dan pameran sarung tenun adat muna yang

diselenggarakan oleh Dekranas propinsi kerjasama dengan pengumpul dan masyarakat

setmpat. Pada beberpa jenis sarung yang telah lama yang dibuat oleh masyarakat Desa

Masalili yang sampai saat ini masih dilestarikan. Berikut adalah tabel nama sarung dan harga

jualnya:

NO JENIS SARUNG TENUN HARGA SARUNG TENUN

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

13

14

15

16

Bhotu + Salenda

Samasili+ Salenda

Bharalu

Jhalima

Gunung-Gunung

Kambeano Bhanggai

Lejha

Kaparanggigi

Bhia-Bhia

Paghino Toghe

Katamba Gawu

Manggo-Manggopa

Kapododo

Lante-Lante

Koburino

Finding Konini

Rp 300.000,-

Rp 300.000,-

Rp 175.000,-

Rp 175.000,-

Rp 250.000,-

Rp 175.000,-

Rp 150.000,-

Rp 200.000,-

Rp 150.000,-

Rp 175.000,-

Rp 175.000,-

Rp 175.000,-

-

-

-

-

Dari semua jenis sarung tenun diatas, terdapat delapan jenis sarung tenun adat yang

telah dipatenkan yaitu sebagai berikut:

1.      Bhotu 5. Lejha

2.      Samasili 6. Findang Konini

3.      Bharalu 7. Kaso-Kasopa

4.      Manggo-Manggopa 8. Bhia-Bhia

Berdasarkan tingkat kesulitan pembuatan sarung tenun, berikut ini berturut-turut dari

yang sulit ke yang mudah pembuatannya yaitu bhotu, samasili, bharalu, gunung-gunung,

jhalima, kambeano bhanggai, lejha, kaparanggigi, bhia-bhia, paghino toghe, katamba gawu

dan manggo-manggopa. Tingkat kesulitan pembuatan sarung tenun tersebut diukur dari

seberapa banyak bunga atau corak yang terdapat pada jenis sarung tenun. Demikian pula

dengan fariasi warna yang digunakan. Semakin banyak fariasi bunga atau corak yang terdapat

Page 34: Sarung tenun asal desa masalili

pada jenis sarung tersebut, semakin tinggi pula tingkat kesulitannya. Satu jenis sarung bisa

saja diubah warna dan coraknya namun pola yang telah ada pada sarung tenun tersebut tidak

dapat diubah karena akan menyebabkan terjadinyapengubahan bentuk pada jenis sarung yang

telah ada.

Sarung Bhotu (bheta bhotu) yaitu sarung yang khusus digunakan oleh para golongan

Kaomu sebagai salah satu pakaian yang wajib digunakan dalam resepsi-resepsi atau acara-

acara adat. Hal ini juga sebagai salah satu cara menunjukkan identitas mereka di masyarakat

sebagai seorang bangsawan karena gelar seorang bangsawan dalam masyarakat sangat

dihormati dan dihargai. Ciri-ciri khas yang terdapat pada sarung tenun bhotu yaitu warnanya

yang keemasan dengan warna dasar biru tua dan bagian atasnya terdapat garis berwarna

keemasan. Selain itu, sarung tenun bhotu juga memiliki corak atau bunga yang berwarna

keemasan dengan garis-garisnya yang vertical.

Gambar 18. Sarung Bhotu (bheta bhotu)

 

Demikian pula sarung tenun Samasili (bheta samasili) yang juga merupakan sarung

yang digunakan oleh golongan Kaomu dalam acara-acara atau resepsi-resepsi adat yang

Page 35: Sarung tenun asal desa masalili

memiliki ciri-ciri garis mendatar berwarna keemasan dengan warna dasar biru tua. Kemudian

ciri lain yang dimiliki oleh sarung Samasili yaitu garis-garis vertikal yang berwarna biru tua.

Warna keemasan yang tegak ke atas berpotongan dengan warna biru tua yang mendatar

dengan bagian belakang atau kepalanya yang memiliki garis-garis kecil vertikal yang

berwarna biru tua pula.

Gambar 19. Sarung Samasili (bheta samasili)

 

Sarung Bharalu (bheta bharalu) yaitu sarung yang khusus digunakan atau dipakai oleh

para golongan Sara. Ciri-ciri yang terdapat pada sarung tenun Bharalu yaitu pada bagian

atasnya terdapat garis yang berwarna silver kemudian pada bagian bawahnya terdapat warna

hitam. Selanjutnya yaitu pada bagian bawah setelah warna hitam terdapat lagi warna merah

maron dan pada bagian tengahnya terdapat warna kehitam-hitaman yang dihiasi dengan

garis-garis kecil berwarna keemasan. Selanjutnya pada bagian bawahnya lagi berturut-turut

sebagaimana warna yang ada di atas tadi. Sedangkan sarung tenun Manggo-Manggopa (bheta

Page 36: Sarung tenun asal desa masalili

mango-manggopa) yang juga merupakan sarung tenun adat muna yang digunakan atau

dipakai oleh para golongan Sara memiliki ciri-ciri warna yang cerah dengan permukaannya

memiliki garis-garis melingkar. Sarung ini cukup mudah dalam proses pembuatannya kerena

hanya merupakan garis-garis melingkar yang ada pada sarung tersebut.

Gambar 20. Sarung Bharalu (bheta bharalu)

 

Sarung tenun Kaso-Kasopa (bheta kaso-kasopa) yaitu sarung tenun yang digunakan

atau dipakai khusus oleh golongan Walaka. Ciri-ciri yang terdapat pada sarung Kaso-Kasopa

ini yaitu pada bagian atasnya ada garis warna silver melingkat yang agak tebal dan kemudian

diikuti pada bagian bawah warna silver tersebut dengan warna biru tua. Selanjutnya secara

selang seling sampai kebawah setelah warna biru tua diikuti dengan garis kecil melingkar

berwarna silver.

Page 37: Sarung tenun asal desa masalili

Gambar 21. Sarung Kaso-Kasopa (bheta kaso-kasopa)

 

Kemudian sarung tenun Lejha (bheta lejha) juga merupakan sarung yang khusus

digunakan oleh golongan Walaka dalam urusan-urusan yang terkait dengan adat-istiadat.

Ciri-ciri yang terdapat pada sarung tenun Lejha yaitu benang yang digunakan secara

keseluruhan hanya merupakan benang biasa dengan berbagai macam warna yang berbeda

tanpa menggunakan benang mamilon atau benang nilon. Pada bagian atasnya terdapat warna

biru tua yang diikuti bagian bawahnya terdapat garis-garis kecil melingkar yang berwarna

kuning, merah maron, dan warna putih. Selanjutanya terdapat lagi warna biru tua pada bagian

bawahnya yag diikuti dengan merah, putih dan kuning. Demikian secara selang seling warna

biru tua dengan garis-garis kecil yang berwarna kuning, merah maron dan putih sampai ke

bawah.

Gambar 22. Sarung Lejha (bheta lejha)

Page 38: Sarung tenun asal desa masalili

 

Sarung tenun yang juga menjadi pakaian khusus oleh para golongan Walaka yaitu

sarung tenun Bhia-Bhia (bheta bhia-bhia). Sebagaimana ciri-ciri yang terdapat pada sarung

tenun Lejha, pada sarung tenun Bhia-Bhia juga tidak menggunakan benang mamilon atau

benang nilon namun bahan dasarnya hanya menggunakan benang biasa dengan fariasi warna

yang berbeda-beda. Ciri-ciri utama yang terdapat pada sarung tenun Bhia-Bhia ini yaitu

berupa garis-garis melingkar dengan ukuran kecil dari atas sampai ke bawah dan yang

menjadi pembeda antara garis yang satu dengan garis yang lainnya hanya pada warnanya

saja. Warna yang terdapat pada sarung tenun Bhia-Bhia ini yaitu berupa warna hitam, kuning,

hijau dan merah maron. Warna-warna tersebut secara selang-seling dari atas sampai ke bawa.

Gambar 23. Sarung Bhia-Bhia (bheta bhia-bhia)

Page 39: Sarung tenun asal desa masalili

 

Selanjutanya yang menjadi sarung khusus golongan Walaka yaitu sarung tenun

Findang Konini (bheta findang konini). Ciri-ciri utama yang terdapat pada sarung tenun

Findang Koniniini yaitu pada bagian atas sarungnya terdapat garis yang agak tebal berwarna

silver dan keemasan saling tindih-menindih. Sedangkan pada bagian bawahnya setelah warna

silver dan keemasan tersebut terdapat bentuk kotak-kotak kecil persegi empat berwarna hitam

yang bagian pinggir dari kotak-kotak kecil persegi empat tersebut dihiasi dengan warna

keemasan. Kemudian setelah itu, tedapat garis melingkar yang berwarna merah muda atau

merah jambu. Pola di atas secara berturut-turut tersusun sampai ke bawah dan pada bagian

sarung tenun Findang Konini ini terdapat lagi warna silver dan keemasan. Pola-pola seperti di

atas dalam pembuatan sarung tenun adat akan membutuhkan keahlian khusus dari

penenunnya.

Gambar 24. Sarung Findang Konini (bheta findang konini)

Page 40: Sarung tenun asal desa masalili

 

Sebagai catatan yang berkaitan dengan corak atau bunga dan warna sarung tenun yang

dibuat di Desa Masalili bahwa warna sarung bisa saja berubah atau berganti warna namun

pola yang telah ada tidak dapat diubah. Pola tersebut merupakan ciri khusus atau pembeda

antara jenis sarung yang satu dengan jenis sarung yang lain sehingga pola ini tidak akan dapat

diubah lagi.

Sarung tenun adat muna dipakai pada saat ada acara-acara atau resepsi-resepsi adat

seperti pelamaran dan pernikahan. Jenis corak sarung yang dugunakan tergantung pada

stratifkasi sosial orang yang memakainya dalam masyarakat. Biasanya para penenun ketika

ada yang akan membeli hasil sarung tenunan mereka, terlebih dahulu para penenun bertanya

kepada para pembeli tentang stratifikasinya, tentunya dengan bahasa yang sangat sopan agar

pembelinya tidak merasa tersinggung. Hal ini dilakukan agar pada saat pemakaian sarung

tenun adat muna tersebut tidak terjadi kesalahan pemakainya sehingga dalam masyarakat

akan ada cemoohan. Namun saat ini, stratifikasi sosial bagi sebagian masyarakat yang lain

sudah mulai memudar seiring dengan perkembangan wilayah tersebut. Orang-orang membeli

sarung tenun adat muna tidak lagi melihat stratifikasi sosialnya, tetapi mereka membeli atau

memakai sesuai dengan selera dan yang mereka inginkan terutama orang-orang yang berasal

dari daerah lain.

Pada masyarakat muna, terdapat stratifikasi sosial yang berlaku dalam masyarakat.

Stratifikasi sosial tersebut terbagi menjadi tiga tingkatan. Tingkatan yang pertama disebut

dengan Golongan Kaomu . Golongan Kaomu merupakan golongan bangsawan yang berhak

untuk menjadi raja dalam struktur sosial atau stratifikasi sosial masyarakat pada kerajaan

Page 41: Sarung tenun asal desa masalili

Muna. Golongan ini di tandai dengan kata ‘La Ode’ bagi laki-laki atau ‘Wa Ode’ bagi

perempuan pada awal namanya.

Tingkatan yang kedua disebut dengan Golongan Sara. Golongan Sara adalah orang-

orang yang duduk dalam pemerintahan kerajaan yaitu seperti lembaga yang berhak

menetapkan hukum, mengangkat dan memberhentikan Raja pada sistem pemerintahan

Kerajaan Muna. Golongan ini tidak mempunyai ciri-ciri tertentu pada namanya namun yang

membedakan dengan golongan di bawahnya hanya pada struktur jabatan yang dipegangnya.

Kemudian tingkatan yang ketiga yaitu golongan Walaka. Golongan Walaka

merupakan golongan yang berhak menjabat pada jabatan legislatif, yudikatif dan

pemerintahan di bawah Raja pada struktur sosial kerajaan Muna. Stratifikasi sosial

masyarakat muna tersebut kemudian tergambar atau terlihat pada jenis sarung tenun adat

yang digunakan atau yang dipakai oleh masing-masing golongan. Berdasarkan stratifikasi

sosial pemakainya, maka berikut ini tabel jenis sarung tenun adat muna berdasarkan

stratifikasi sosial pemakainya:

NO

.

STRATIFIKASI SOSIAL JENIS SARUNG YANG DIPAKAI

1 Kaomu

1. Bhotu

2. Samasili

2 Sara

1. Bharalu

2. Manggo-Manggopa

3 Walaka

1. Kaso-Kasopa

2. Lejha

3. Bhia-Bhia

4. Findang Konini

Page 42: Sarung tenun asal desa masalili

Kemudian ada pula jenis sarung tenun adat muna yang biasa digunakan oleh kaum

perempuan yang masih muda yaitu:

1. Kaso-Kasopa

2. Bhia-Bhia

Jenis sarung tenun ini lebih disukai oleh kaum perempuan muda karena warnanya

yang cerah dan sangat sederhana coraknya yaitu hanya berbentuk garis-garis tanpa ada

bunga. Selain menggunakan benang biasa yang lebih cerah warnanya, jenis sarung tenun ini

juga menggunakan benang mamilon sebagai salah satu bahan pembuatannya sehingga lebih

menambah kecemerlangan warnanya.

Selain terdapat pembagian jenis sarung tenun berdasarkan stratifikasi sosialnya, ada

pula cara pemakaiannya yang juga berdasarkan stratifikasi masyarakat muna yaitu:

1.      Golongan Kaomu, cara pemakaian sarungnya yaitu kain sarungnya berada diatas lutut.

Dalam masyarakat muna semakin keatas pemakaian sarungnya disebutkan semakin dalam

pemakaiannya. Sebaliknya semakin ke bawah pemakaian sarungnya disebutkan semakin

dangkal pemakaiannya.

2.      Pada golongan Sara, cara pemakaian sarungnya yaitu kain sarungnya berada di bawah lutut.

Panjang kain sarung yang berada di bawah lutut tersebut lebih kurang 2 cm.

3.      Kemudian pada golongan Walaka, cara pemakaian sarungnya yaitu kain sarungnya berada di

bawah lutut lebih dangkal lagi. Panjang kain sarung yang berada di bawah lututnya yaitu

lebih kurang 40 cm atau satu jengkal tangan.

Pemakaian kain sarung tenun adat saat ini sudah tidak lagi sesuai dengan ketentuan

stratifikasi sosial masyarakatnya karena kurangnya pengetahuan generasi masa kini terhadap

adat-istiadat yang telah terlupakan. Pada saat ini, hanya sebagian orang-orang tua atau tetua-

tetua adat yang masih memegang teguh adat tersebut sehingga tidak jarang pula ditemukan

para tetua adat ketika pergi ke acara-acara atau resepsi-resepsi adat tertentu masih memegang

kuat adat-istiadat cara pemakaian sarung tenun adat tersebut.

Pada masyarakat Desa Masalili ada kepercayaan yang terkait dengan cara pembuatan

sarung tenun adat muna. Cara pembuatan sarung tenun adat muna yang dimaksud yaitu pada

sambungan jahitannya. Ada ukuran tertentu yang harus disesuaikan dengan ukuran tubuh

pemakainya. Sehingga pada saat memakai sarung tenun tersebut, diusahakan tidak terlihat

sambungan jahitannya serta kepala sarungnya juga harus benar-benar berada di belakang

pemakainya. Kepercayaan yang dimaksud yaitu apabila sambungan jahitan pada sarung tenun

Page 43: Sarung tenun asal desa masalili

tersebut terlihat pada saat pemakaiannya dan bepergian untuk resepsi-resepsi atau acara-acara

adat, maka dipercaya atau diyakini bahwa akan ada hambatan-hambatan dalam pelaksanaan

acara atau resepsi adat tersebut. Hal ini juga terkait dengan penghargaan kepada orang lain

yang akan melaksanakan resepsi adat tersebut. Dimana ketika seseorang yang mempunyai

urusan adat dengan orang lain maka orang yang mempunyai urusan adat tersebut harus

sebaiknya datang dengan berpakaian adat karena hal itu akan menunjukkan rasa hormat atau

penghargaan kepada orang lain yang menjadi tempat berurusan adatnya tersebut.

Sudah sering terjadi seseorang tidak diterima urusan adatnya bahkan disuruh pulang

untuk mengganti pakaiannya dengan pakaian adat muna. Hal ini terjadi karena ketika mereka

datang ke rumah seseorang dengan keperluan adatnya, mereka tidak memakai pakaian adat

sehingga mereka harus harus pulang untuk mengganti pakaian mereka dengan pakaian adat

muna. Salah satu contoh kasus yang pernah terjadi Berdasarkan informasi dari salah seorang

warga di Desa Masalili yaitu pernah ada seorang pria yang akan menikah. Maka, keluarga si

pria ini pun pergilah ke rumah orang tua dari si gadis yang akan dilamarnya tersebut.

Sesampainya di rumah orang tua gadis tersebut, maka merekapun bersalam dan langsung

disambut oleh si tuan rumah. Setelah beberapa lama bercerita, maka keluarga dari si pria ini

mulai menyampaikan maksud kedatangan mereka. Setelah mendengar maksud dari

kedatangan keluarga si pria tersebut, maka orang tua si gadis langsung menyampaikan

permohonan maafnya agar dalam urusan adat, maka sebaiknya menggunakan tata cara adat

dan berpakaian adat. Maka pada saat itu, lamaran keluarga pria tadi belum diterima sehingga

mereka harus pulang terlebih dahulu untuk mengganti pakaian mereka dengan pakaian adat

muna. Berdasarka contoh kasus tersebut, maka tampak bahwa pakaian adat muna yang salah

satunya adalah sarung tenun adat muna sangat memiliki makna yang mendalam bagi suku

muna itu sendiri.

B. Fungsi sarung tenun Muna dalam kehidupan sehari-hari masyarakat.

C. Cara orang Muna mempertahankan tradisi menenun di kalangan perempuan Muna

Page 44: Sarung tenun asal desa masalili

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

B. Saran-saran

Page 45: Sarung tenun asal desa masalili

DAFTAR PUSTAKA

Atiru, Nur Rachma

1992 Mekanisme Pembuatan Sarung Buton dan Masalah-Masalahnya,

Di Kelurahan Melai Kecamatan Betoambari Kabupaten Buton, Skripsi Sosialogi Fisip

Unhalu, Kendari.

Colleta, Nat J., Umar Kayam

1987 Kebudayaan dan Pembangunan, Sebuah Pendekatan Terhadap Antroplogi Terapan di

Indonesia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

Difinubun, Mujuna

2001 Deskripsi Tentang Kain Tenun Tradisional Masyarakat Buton (Studi di Kelurahan Melai

Kecamatan Betoambari Kota Bau-Bau), Skripsi Pendidikan Sejarah FKIP Unhalu, Kendari.

Endraswara, Suwardi

2003 Metode Penelitian Kebudayaan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Herusatoto, Budiono

2001 Simbolisme Dalam Budaya Jawa, Hanindita Graha Widia, Yogyakarta.

Page 46: Sarung tenun asal desa masalili

Kartiwa, Suwati

1983 Tenun Ikat Indonesia, djambatan, Jakarta.

Koentjaraningrat

1974 Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan, Gramedia, Jakarta.

1990 Pengantar Ilmu Antroplogi, Rineka Cipta, Jakarta.

Melalatoa, M.J

1988 Pesan Budaya dalam Kesenian, Berita Antroplogi, No. 45 XII Januari-Maret.

1991 Tenun, Ensiklopedi Nasional Indonesia, Cipta Adi Pusaka, Jakarta.

Melalatoa, M.J & Sri Murni

1997 “Kebudayaan Sumba dalam Tenun Ikat” Dalam Sistem Budaya Indonesia, Pemator, Jakarta.

Mulyadi, Yad

1999 Antropologi : untuk Sekolah Menengah Umum Kelas 3, Program Studi Ilmu Pengetahuan

Nasional, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta.

Peursen, C.A Van

1975 Strategi Kebudayaan, Kanisius, Yogyakarta.

Silalahi, B

1995 “Isen Batik” dalam Majalah Dharma Wanita No. 102.

Spradley, James P

1997 Metode Etnografi (Terjemahan oleh Misbah Zulfa Elizabeth), Tiara Wacana Yogya,

Yogyakarta.

Tarimana Abdurrauf

1988 Kebudayaan Tolaki, Balai Pustaka, Jakarta.

Turner, Victor

Page 47: Sarung tenun asal desa masalili

1989 Masyarakat Bebas Struktur, Liminalitas dan Komunitas (Terjemahan) oleh Wartaya

Winangun), Kanisius Yogyakarta.