23
TUGAS HUKUM OTONOMI DAERAH PERKEMBANGAN PEMERINTAH DAERAH DI INDONESIA NAMA : Sarwo Edy NPM : 1012011396 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG 2012/201 1

Sarwo Edy Otda

Embed Size (px)

DESCRIPTION

das

Citation preview

Page 1: Sarwo Edy Otda

TUGAS

HUKUM OTONOMI DAERAH

PERKEMBANGAN PEMERINTAH DAERAH DI INDONESIA

NAMA : Sarwo Edy

NPM : 1012011396

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS LAMPUNG

2012/201

1

Page 2: Sarwo Edy Otda

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, penyusunan

makalah Mata kuliah hukum otonomi daerah dengan judul “pemberdayaan

masyarakat miskin” dapat penulis selesaikan sesuai dengan waktu yang telah

ditetapkan oleh Dosen pembimbing. Makalah ini merupakan tugas perkuliahan

Hukum Otonomi Daerah pada Fakultas Hukum Universitas Lampung. Penulis

menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini, oleh sebab

itu sumbangan pemikiran yang bersifat koreksi untuk penyempurnaannya sangat

di harapkan, akhirnya penulis mengharapkan semoga makalah ini dapat

bermamfaat dalam menunjang pelaksanaan perkuliahan yang sedang kita

laksanakan bersama.

Bandar lampung, 19 maret 2012

penyusun

2

Page 3: Sarwo Edy Otda

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................... 1

DAFTAR ISI .....................................................................................................2

BAB I PENDAHULUAN

1.1 latar belakang.............................................................................................3

1.2 rumusan masalah.......................................................................................4

1.3 landasan teori...............................................................................................5

BAB II PEMBAHASAN

2.1 program pemberdayaan kurang maksimal.............................................6

2.2 harapan di otonomi daerah.......................................................................9

BAB III PENUTUP

3.1 kesimpulan.................................................................................................15

3.2 saran...........................................................................................................15

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................16

3

Page 4: Sarwo Edy Otda

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar belakang

Indonesia adalah sebuah negara yang penuh paradoks. Negara ini subur dan kekayaan alamnya melimpah, namun sebagian cukup besar rakyat tergolong miskin. Ketika angka kemiskinan menunjukkan tingkat terendah, justru tak lama setelah itu terjadi krisis ekonomi yang dahsyat, yang ternyata tak segera bisa diatasi. Dampak dari krisis tersebut masih terasa dan terlihat sampai sekarang. Kita lihat saja, jumlah pengemis melonjak tajam sejak tahun 1999. Para pengemis ini beroperasi dalam berbagai cara. Banyak yang menjadi pengamen dadakan, penodong di bis kota dan di persimpangan-persimpangan jalan raya, dan lain-lain. Dibandingkan tahun sebelumnya, situasi pada saat ini sudah menjadi lebih baik, namun jumlah pengemis yang beroperasi di masyarakat belum kembali ke keadaan sebelum krisis.

Akar kemiskinan di Indonesia tidak hanya harus dicari dalam budaya malas bekerja keras. Keseluruhan situasi yang menyebabkan seseorang tidak dapat melaksanakan kegiatan produktifnya secara penuh harus diperhitungkan. Faktor-faktor kemiskinan adalah gabungan antara faktor internal dan faktor eksternal. Kebijakan pembangunan yang keliru termasuk dalam faktor eksternal. Korupsi yang menyebabkan berkurangnya alokasi anggaran untuk suatu kegiatan pembangunan bagi kesejahteraan masyarakat miskin juga termasuk faktor eksternal.

Sementara itu, keterbatasan wawasan, kurangnya ketrampilan, kesehatan yang buruk, serta dipicu munculnya oleh faktor-faktor eksternal juga. Kesehatan masyarakat yang buruk adalah pertanda rendahnya gizi masyarakat. Rendahnya gizi masyarakat adalah akibat dari rendahnya pendapatan dan terbatasnya sumber daya alam. Selanjutnya, rendahnya penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) adalah akibat dari kurangnya pendidikan. Hal yang terakhir ini juga pada gilirannya merupakan akibat dari kurangnya pendapatan. Kurangnya pendapatan merupakan akibat langsung dari keterbatasan lapangan kerja. Dan seterusnya begitu, berputar-putar dalam proses saling terkait.

4

Page 5: Sarwo Edy Otda

1.2 Rumusan masalah

a. Bagaimana menerangkan bangunan ekonomi Indonesia ?

b. Bagaimana mengatasi masalah keterbatasan wawasan dan ketrampilan ?

5

Page 6: Sarwo Edy Otda

Landasan teori

a. pengertian otonomi daerah

Otonomi daerah adalah keatuan kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah, yang brwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri, berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem NKRI.1

Pengertian "otonom" secara bahasa adalah "berdiri sendiri" atau "dengan pemerintahan sendiri". Sedangkan "daerah" adalah suatu "wilayah" atau "lingkungan pemerintah". Dengan demikian pengertian secara istilah "otonomi daerah" adalah "wewenang/kekuasaan pada suatu wilayah/daerah yang mengatur dan mengelola untuk kepentingan wilayah/daerah masyarakat itu sendiri." Pengertian yang lebih luas lagi adalah wewenang/kekuasaan pada suatu wilayah/daerah yang mengatur dan mengelola untuk kepentingan wilayah/daerah masyarakat itu sendiri mulai dari ekonomi, politik, dan pengaturan perimbangan keuangan termasuk pengaturan sosial, budaya, dan ideologi yang sesuai dengan tradisi adat istiadat daerah lingkungannya

1 Dr. H. Siswanto sunarno, SH,.M.H. ;hukum pemerintahan daerah di indonesia, sinar grafika, jakarta, 2009, hal 6

6

Page 7: Sarwo Edy Otda

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. program pemberdayaan kurang maksimal

Upaya-upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia telah dilakukan sejak awal kemerdekaan. Misalnya, di bidang pendidikan, pemerintah melancarkan pemberantasan buta huruf tak terbatas di sekolah formal saja, namun juga secara non-formal. Di era Bung Karno, anak-anak usia sekolah bahkan “dikejar” agar mau masuk sekolah. Di era Pak Harto, dicanangkan wajib belajar sembilan tahun, dan hasilnya luar biasa. Hal ini ditunjukkan pada peningkatan peserta pendidikan dasar dari 62 persen anak-anak pada tahun 1973 menjadi lebih dari 90 persen pada tahun 1983. Namun, sampai saat ini tingkat buta huruf dilaporkan masih cukup tinggi di Indonesia, yaitu meliputi sekitar 5,9 juta orang yang berumur antara 10-44 tahun. 2

Di bidang kesehatan, pemerintah meluncurkan berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia dan memperkenalkan sistem santunan sosial. Di era Orde Baru, sejak 1970-an, dikenalkan pusat pelayanan kesehatan di tingkat kecamatan (Puskesmas) agar lebih mudah terjangkau oleh masyarakat desa. Belakangan dibentuk Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) di setiap desa. Pada awal 1990-an pembangunan pusat kesehatan masyarakat meningkat lebih tinggi daripada rumah sakit. Penempatan bidan di desa yang mendidik kader-kader dari kalangan penduduk desa sendiri, dan mendampingi kader dalam kegiatan rutin posyandu, menunjukkan upaya-upaya pemberdayaan masyarakat. Kaderisasi semacam ini meningkatkan peluang keberlanjutan program yang berkaitan dengan penanggulangan kemiskinan. Program Keluarga Berencana juga merupakan program strategis untuk mengurangi tingkat kemiskinan keluarga. 3

Melalui program transmigrasi, penduduk miskin dari daerah padat diberi peluang yang lebih baik untuk meningkatkan kesejahteraan ekonominya. Pembukaan dan pengembangan tanah pertanian baru diharapkan dapat meningkatkan kesempatan kerja para transmigran.

Selanjutnya, melalui Small Enterprise Development Project (SEDP I-III) dari Bank Dunia dilaksanakanlah program kredit likuiditas Bank Indonesia berupa Kredit Investasi Kecil (KIK) dan Kredit Modal Kerja Permanen (KMKP) pada tahun 1974 sampai awal 1990-an. Melalui paket 29 Januari 1990, pola kredit usaha kecil diwujudkan dalam KUK (Kredit Usaha Kecil) yang merupakan kredit komersial. KUK ditetapkan sebesar 20 persen dari portofolio kredit bank yang 2 Amal, ichlasul dan nasikun, desentralisasi dan prospeknya. P3pk. Yogyakarta, 1988, hal 132

3 Munandar, A.S, pembangunan sumber daya manusia dalam rangka pembanagunan nasional, jakarta, 1981 hal 34

7

Page 8: Sarwo Edy Otda

menyalurkannya. Melalui Surat Keputusan Menteri Keuangan No. 1232/1989, BUMN diwajibkan untuk menyisihkan 1-5 persen labanya bagi pembinaan usaha kecil dan koperasi (PUKK). Fasilitas lainnya lagi adalah kredit usaha tani (KUT) yang mulai dilaksanakan tahun 1985 dan merupakan bantuan modal kerja bagi petani untuk meningkatkan produktivitas dan pendapatan.4

Dalam rangka penanggulangan kemiskinan pula diluncurkan berbagai Inpres, seperti Inpres Kesehatan, Inpres Perhubungan, Inpres Pasar, Bangdes, dan yang agak belakangan namun cukup terkenal adalah Inpres Desa Tertinggal (IDT). Dapat dicatat juga program-program pemberdayaan lainnya seperti Program Pembinaan dan Peningkatan Pendapatan Petani dan Nelayan Kecil (P4K), Program Tabungan dan Kredit Usaha Kesejahteraan Rakyat (Takesra-Kukesra), Program Pengembangan Kecamatan (PPK), Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP), Program Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal (P3DT), dan seterusnya. Hampir semua departemen mempunyai program penanggulangan kemiskinan, dan dana yang telah dikeluarkan pemerintah untuk pelaksanaan program-program tersebut telah mencapai puluhan trilyun rupiah.5

Pertanyaannya kini adalah seberapa besar efek pemberdayaan yang telah ditimbulkan berbagai program tersebut pada lapisan masyarakat miskin yang menjadi sasarannya? Jawabannya adalah suatu pertanyaan, yaitu mengapa perekonomian Indonesia ambruk dan tidak tahan menghadapi krisis moneter pada tahun 1997?

Sebagaimana dikemukan di atas, struktur perekonomian Indonesia dengan mudah ambruk karena berat di atas rapuh di bawah. Hal itu terjadi karena kurang seimbangnya perhatian yang diberikan pemerintah Indonesia sejak awal kemerdekaan sampai kini pada pengembangan ekonomi kelompok-kelompok usaha mikro, kecil, dan menengah dibandingkan dengan kelompok-kelompok usaha besar. Kelompok-kelompok usaha besar ini dalam perkembangannya kurang menjalin hubungan yang sifatnya saling memperkuat dengan kelompok-kelompok usaha mikro, kecil, dan menengah. 6

Apa yang dikatakan HS Dillon, pengamat masalah-masalah kemiskinan yang senantiasa menukik analisisnya, mungkin perlu disimak dengan baik. Dikatakan bahwa strategi pertumbuhan ekonomi yang cepat yang tidak dibarengi pemerataan merupakan kesalahan besar yang dilakukan para pemimpin negara-negara sedang berkembang, termasuk Indonesia. Dalam menjalankan strategi tersebut, pinjaman luar negeri telah memainkan peran besar sebagai sumber pembiayaan. Padahal, sering terjadi adanya ketidaksesuaian antara paket pembangunan yang dianjurkan donor dengan kebutuhan riil masyarakat. Kebijakan fiskal dan moneter juga tidak pro kaum miskin, pengelolaan sumber daya alam kurang hati-hati dan tidak

4 Syukur abdullah, birokrasi dan pembanagunan nasional, jakarta, 2000, hal 69

5 Prof. Amrah muslimin S.H., aspek-aspek hukum otonomi daerah palembang 1982, hal 142

6 Abdul wahab, solichin. Analisa kebijaksanaan, jakarta, hal 888

Page 9: Sarwo Edy Otda

bertanggung jawab, perencanaan pembangunan bersifat top-down, pelaksanaan program berorientasi keproyekan, misleading industrialisasi, liberalisasi perekonomian terlalu dini tanpa persiapan yang memadai untuk melindungi kemungkinan terpinggirkannya kelompok-kelompok miskin di dalam masyarakat. Selanjutnya berkembang budaya materialisme, praktek KKzN.

Jika dapat disimpulkan, maka penyebab kemiskinan di Indonesia bukanlah kurangnya sumber daya alam, melainkan karena faktor non-alamiah, yaitu kesalahan dalam kebijakan ekonomi. Khusus pada era Orde Baru, kelompok-kelompok usaha yang telah memiliki sistem manajemen modern dengan jaringan koneksi internasional yang sudah cukup baik dapat memanfaatkan situasi yang tercipta dengan lebih baik karena telah lebih siap secara teknis. Tugas yang diberikan kepada kelompok-kelompok usaha tersebut adalah memperbesar kue ekonomi yang kecil untuk kemudian dapat dilakukan pemerataan dalam pola trickle-down effect. Dalam perkembangannya, pertumbuhan untuk pemerataan tidak terjadi dengan mulus, bahkan kesenjangan sosial-ekonomi makin dirasakan melebar, dan akhirnya terjadi kerusuhan sosial yang memuncak pada tahun 1998.

2.2. Harapan di era otonomi daerah

Setelah terjadi pergantian rejim dari Orde Baru ke Orde Reformasi, kemampuan masyarakat dan pemerintah untuk segera dapat mengatasi akibat-akibat krisis

9

Page 10: Sarwo Edy Otda

multi-dimensi tidak segera dapat bangkit lagi karena adanya tekanan-tekanan situasi dalam dan luar negeri. Namun, suasana pembangunan sudah sangat berubah. Partisipasi masyarakat dalam berbagai matra kehidupan, khususnya di bidang politik, meningkat tajam. Pemerintah mulai menyadari bahwa pendekatan yang top-down dan sentralistik dalam pengambilan keputusan tidak dapat menghasilkan percepatan pembangunan yang sekaligus memadukan antara pertumbuhan dan pemerataan. Jadi, jalan lebar harus dibuka untuk partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan.

Pembahasan perihal penanggulangan kemiskinan di era otonomi daerah mengandung pelajaran tentang peluang-peluang penanggulangan kemiskinan, baik dari bentuk lama yang disusun di pusat pemerintahan, maupun pola baru hasil susunan pemerintah daerah, mungkin disertai dukungan pemerintah pusat atau swasta di daerah. Otonomi Daerah memungkinkan peningkatan penanggulangan kemiskinan karena menghadapi jarak spasial maupun temporal yang lebih dekat dengan penduduk miskin itu sendiri. Selain itu peluang tanggung jawab atas kegiatan tersebut berada di tangan pemerintah di aras kabupaten dan kota, serta pemerintah desa.

Problem yang kemudian muncul ialah bagaimana upaya-upaya mengadaptasi perubahan dari struktur pemerintahan sentralistis menjadi struktur desentralistis di mana desa akhirnya memiliki kemandirian untuk menghidupi masyarakatnya sendiri.7 Problem tersebut berkaitan dengan telah mengakarnya pola-pola pendekatan sentralistis dalam pembangunan.

Otonomi komunitas, pada tingkat desa atau yang lebih tinggi, memiliki pengertian yang lebih luas dari sekedar pengambilan keputusan. Akan tetapi di antara ciri-ciri komunitas lainnya, fungsi pengambilan keputusan dianggap sebagai ciri paling elementer bagi sebuah otonomi yang berkaitan dengan pemberdayaan. Pengambilan keputusan merupakan manifestasi terpenting dari kekuasaan, sementara kekuasaan merupakan wacana inti dari keberdayaan.8 Dengan kata lain, keberdayaan suatu komunitas dapat dicirikan oleh peranannya dalam pengambilan keputusan.

Melalui perspektif tersebut otonomi berkaitan dengan upaya menggerakkan demokratisasi. Demokrasi didasarkan pada prinsip kedaulatan rakyat yang mengandung pengertian bahwa semua manusia pada dasarnya memiliki kebebasan dan hak serta kewajiban yang sama. Di sini demokrasi lebih menekankan pada partisipasi dan artikulasi kepentingan rakyat dalam keputusan-keputusan publik. Pemerintah seharusnya memperhatikan kepentingan rakyat ke dalam sistem pemerintahannya.

7 Soewarno handayaningrat, Administrasi Pemerintahan dalam Pemnbangunan Nasional, jakarta, 1991

8 Ali faried, Huku Tata pemerintahan dan proses legislatif indonesia, raja gerafindo persada, jakarta. 1995.,hal 108.

10

Page 11: Sarwo Edy Otda

Konteks pengembangan demokrasi di pedesaan Indonesia terbangun dari dimulainya pelaksanaan aturan normatif tentang otonomi desa dalam UU 22/99 tentang Pemerintahan Daerah dan UU 25/99 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah (Agusta, 2001). Dalam aturan tersebut otonomi desa ditegakkan di atas penetapan batas desa secara “tradisional”, penggunaan lembaga-lembaga “tradisional” dalam kehidupan sehari-hari, serta penetapan lembaga-lembaga perwakilan suara rakyat seperti BPD (Badan Perwakilan Desa). Terdapat dua asumsi yang digunakan di sini, yaitu struktur masyarakat desa tidaklah homogen melainkan minimal terdiri atas dua lapisan sosial: rakyat dan pemerintah.

Setidaknya ada lima kemungkinan yang bisa terjadi dari suatu proses transisi demokrasi melalui pemberian otonomi daerah. Pertama, terbentuknya sistem otoriter dalam bentuk baru. Kedua, terjadi revolusi sosial yang disebabkan oleh menajamnya konflik-konflik kepentingan di tengah masyarakat. Ketiga, liberalisasi terhadap sistem otoriter, yang dilakukan oleh penguasa pasca masa transisi, dengan tujuan untuk mendapat dukungan politis dan mengurangi tekanan-tekanan masyarakat. Keempat, merupakan kebalikan dari yang ketiga, yaitu penyempitan proses demokrasi dari sistem liberal kepada demokrasi limitatif. Dan kelima, terbentuknya sistem pemerintahan yang demokratis (Guillermo O’Donnell, Philippe C. Schmitter, dan Laurence Whitehead (ed.), 1993). Sangat penting untuk mengarahkan kebutuhan kita menuju terbentuknya pemerintahan demokratis. Oleh sebab itu otonomi daerah menjadi penting.

Proses ke arah otonomi masyarakat memerlukan waktu panjang. Namun, tanda-tanda bahwa otonomi telah mengarah pada tujuan pemberdayaan masyarakat dapat ditemukan dalam observasi ke lima propinsi. Gejala awal adalah, kekurangtahuan atau pemahaman yang simpang-siur, keragu-raguan, kemudian pada akhirnya muncul keyakinan bahwa jalan otonomi adalah yang terbaik untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan.

Masyarakat pedesaan/pedalaman sebenarnya belum terlibat jauh dalam wacana/praksis berotonomi. Unsur Pemerintah Daerah sendiri mengalami keraguan terkait dengan ketidakpastian acuan normatif berotonomi. Di satu sisi terdapat sejumlah Peraturan Pemerintah (PP) berotonomi (UU 22/1999) yang belum dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat, di sisi lain terdapat Kebijakan Pemerintahan setaraf Keputusan Menteri (Kepmen) misalnya, yang mesti diikuti. Dalam konteks birokrasi Pemerintah Daerah, proses berotonomi terfokus pada konsolidasi internal organisasi dan mencari sumber-sumber baru bagi penguatan pendapatan daerah (PAD). Struktur APBD Kabupaten/Kota pada umumnya didominasi oleh Belanja Rutin (Gaji Pegawai dan Non Pegawai) dan Dana Perimbangan lebih besar dari Pendapatan Asli Daerah (PAD). Pemerintah Daerah menafsirkan keadaan ini sebagai bentuk otonomi yang minimal. Otonomi dianggap lebih nyata apabila Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota berhasil meningkatkan porsi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam APBD, sehingga berkesempatan membiayai program-program prakarsa sendiri.

11

Page 12: Sarwo Edy Otda

Dalam jangka pendek, kegamangan berotonomi di daerah belum akan segera meningkatkan kemampuan pemerintah daerah untuk mengatasi kemiskinan di daerahnya masing-masing.

Apabila pemberlakuan UU Nomor 5 Tahun 1979 tentang pemerintahan desa berimplikasi kepada penyeragaman desa-desa secara formal, maka UU Nomor 22 Tahun 1999 mengembalikan aturan-aturan adat pada tempatnya. Pada era otonomi daerah, komunitas “pra desa” memiliki hak hidupnya kembali. Bahkan masyarakat desapun dapat mengacu kepada hukum-hukum adat di desa tersebut dalam menentukan perkembangan desa selanjutnya. Arti penting pembentukan desa yang sesuai dengan aturan adatnya sendiri ialah terbentuknya suatu komunitas, yaitu masyarakat desa yang memiliki ikatan kesatuan yang kuat atau mendasar karena bersifat kultural. Kekuatan ini menjadi landasan bagi otonomi dan bangkitnya keberdayaan mereka. Selain itu masyarakat adat lazimnya juga mengatur pola-pola akses atau alokasi terhadap sumberdaya alam. Hal ini menunjukkan peluang untuk bekerja atau berusaha, sebagai salah satu jalan untuk menanggulangi kemiskinan di lingkungan mereka.

Di antara faktor-faktor yang menghambat proses otonomi ialah terdapat aparat pemerintah kabupaten yang tidak yakin otonomi daerah akan berjalan –minimal sesuai dengan peraturan yang telah ada. Sulit bagi mereka untuk yakin bahwa pemerintah pusat bersedia menyerahkan urusan pemerintahan, dan terutama keuangan, kepada daerah.

Selama ini peraturan daerah (Perda) tentang otonomi desa dibuat oleh aparat pemerintah kabupaten untuk mengisi kekosongan hukum sebagai akibat dicabutnya berbagai peraturan oleh Mendagri. Pengalaman dalam pembuatan peraturan daerah selama ini serta interpretasi mengenai hubungan daerah dan pusat secara hirarkis mengakibatkan pembuatan peraturan daerah tersebut tidak mengikutsertakan aspirasi warga desa sendiri. Padahal warga desalah yang menjadi subyek peraturan daerah tersebut. Peraturan daerah itu mengacu kepada peraturan Mendagri, tanpa menyertakan adaptasi sesuai konteks wilayah masing-masing.

Acapkali diperoleh kenyataan bahwa kebijakan publik di suatu aras pemerintahan tidak sesuai dengan kebutuhan dari aras pemerintahan di bawahnya. Hal ini disebabkan oleh ketiadaan komunikasi antararas dari pemerintah pusat hingga desa. Komunikasi antar peranpun sering tidak berjalan sehingga beragam kegiatan dari berbagai pihak, baik instansi pemerintah, antarLSM, antarperguruan tinggi, pada satu aras yang sama seringkali tidak sinergis, bahkan tidak jarang saling mencederai. Hal itu menunjukkan belum adanya kesiapan atau tanda-tanda kemunculan demokrasi

Bentuk-bentuk resistensi lainnya juga muncul dari upaya membentuk semacam asosiasi LKMD, terutama atas dukungan pemerintah juga. Dengan cara demikian hendak dikekalkan struktur hubungan hierarkis dari pemerintah pusat ke desa. LKMD atau badan lain semacamnya berpeluang untuk tetap memonopoli jalan masuk proyek-proyek pembangunan pedesaan.

12

Page 13: Sarwo Edy Otda

Selain bersumber dari sikap resistensi terhadap otonomi, faktor penghambat lainnya muncul secara faktual dari kemampuan pendanaan pembangunan. Dalam konteks penanggulangan kemiskinan, diperlukan perimbangan keuangan pusat dan daerah.

Dalam observasinya di lapangan, Pusat P3R-YAE menemukan bahwa kesangsian aparat pemerintah pusat mengenai otonomi daerah telah menyebabkan pemerintah kabupaten tidak menetapkan peraturan daerah mengenai pembagian keuangan – padahal item inilah yang menurut mereka paling penting diputuskan dalam rangka otonomi daerah. Aparat pemerintah kabupaten masih yakin bahwa pemerintah pusat akan menguasai sebagian besar pendapatan daerah. Dengan demikian diperkirakan aparat pemerintah kabupaten juga akan berupaya untuk menguasai sebagian besar pendapatan desa dalam bentuk pajak-pajak.

Dalam kaitannya dengan otonomi desa, aparat pemerintah kabupaten memandang masyarakat desa belum mampu menjalankan pemerintahan sendiri. Oleh sebab itu diperlukan bantuan dari aparat pemerintah kabupaten. Bantuan tersebut dapat besar kalau pendapatan kabupaten besar pula. Hal ini diperoleh dari pembagian keuangan dari pusat, dan alokasi pajak-pajak usaha di desa-desa yang disetor kepada pemerintah kabupaten. 9

Yang menggembirakan adalah faktor pendorong otonomi ke arah demokratisasi juga mulai terbentuk. Hubungan pihak-pihak pemerintah daerah, LSM dan perguruan tinggi setempat sudah dibuka peluangnya oleh Menteri Dalam Negeri pada tahun 2001 berupa kebijakan nasional “percepatan pelaksanaan otonomi daerah di tahun 2002”. Beberapa butir uraian Mendagri yang penting ialah upaya peningkatan kapasitas daerah dalam segala aspek, yaitu aspek kelembagaan, personil, keuangan, dan partisipasi masyarakat. Butir lainnya menunjukkan bahwa otonomi daerah dilaksanakan dalam derap kerja terkoordinasi (vertikal/horizontal) dan diupayakan dengan partisipasi penuh dari masyarakat melalui kegiatan LSM dan elemen masyarakat lainnya. Butir lainnya menjelaskan bahwa otonomi daerah dilaksanakan dengan mendorong pengembangan jaringan kerja (networking) dan optimalisasi dukungan kerjasama teknik luar negeri secara sistematis dan terencana.

Dalam program prioritas peningkatan kapasitas daerah dan masyarakat, terdapat berkali-kali rujukan pada istilah di lapangan dan aplikasi lapangan. Hal ini menunjukkan pentingnya otonomi daerah terlaksana sampai di tingkat desa dan kelurahan serta melibatkan masyarakat, baik perorangan (laki-laki dan perempuan), keluarga, kelompok kecil, komunitas kecil, sampai komunitas lebih besar antar-desa maupun antar-kecamatan.

Apabila semangat dan pola baru dalam pemerintahan sampai desa ini dipertahankan dan dilaksanakan, maka telah tercipta lingkungan yang kondusif bagi upaya-upaya penanggulangan kemiskinan yang self-sustained.

9 Jedawi, mortir. 2001. Desentralisasi dan implementasi di indonesia. Makasar, 2001, hal 19013

Page 14: Sarwo Edy Otda

Ke depan, masih diperlukan upaya dialog yang mempertemukan aparat Pemda, masyarakat, swasta serta pihak lain yang berminat menanggulangi kemiskinan. Keberhasilan aparat Pemda dalam belajar menerapkan asas-asas pembangunan partisipatif akan membuka peluang yang besar dalam pemberdayaan rakyat. Indikator penting dalam melihat tanda-tanda keberlanjutan keberdayaan ialah terbukanya akses-akses sumberdaya di daerah yang mendukung pola nafkah penduduk miskin secara berkelanjutan.

Upaya penanggulangan kemiskinan yang paling strategis dalam era otonomi daerah dapat dirumuskan dalam satu kalimat yaitu “berikan peluang kepada keluarga miskin dan komunitasnya untuk mengatasi masalah mereka secara mandiri”. Ini berarti pihak luar harus mereposisi peran mereka, dari agen pemberdayaan menjadi fasilitator pemberdayaan. Input yang berasal dari luar yang masuk dalam proses pemberdayaan harus mengacu sepenuhnya pada kebutuhan dan desain aksi yang dibuat oleh keluarga miskin itu sendiri bersama komunitasnya melalui proses dialog yang produktif agar sesuai dengan konteks setempat. Upaya-upaya menyeragamkan penanggulangan kemiskinan menurut model tertentu hanya akan menemukan kemungkinan yang lebih besar untuk gagal dalam mencapai sasarannya. Hal-hal yang perlu ditinggalkan oleh para pembuat kebijakan adalah melakukan kontrol yang mematikan insiatif maupun partisipasi penduduk miskin.

Yang perlu segera dilaksanakan adalah membangun suatu paradigma pembangunan yang memihak kepada penduduk miskin. Dalam membangun paradigma golongan miskin perlu diikutsertakan, misalnya melalui perwakilan mereka. Pemerintah daerah dan pemerintah desa sebaiknya hanya melakukan pekerjaan yang benar-benar mampu mereka kelola. Untuk mencapai kemampuan manajemen tersebut, Pemerintah Daerah dan pemerintah desa perlu bekerjasama dengan pihak-pihak lain yang berminat dalam program penanggulangan kemiskinan. 10

Dalam jangka panjang pemerintah bersama pihak-pihak lain yang berminat harus menanggulangi permasalahan tekanan donor menyangkut liberalisasi ekonomi agar tidak lebih jauh merugikan penduduk miskin. Otonomi daerah dan desa hendaknya diarahkan terutama untuk menanggulangi kemiskinan lokal. Dengan hilangnya kemiskinan, maka akan berkembang aspirasi demokrasi yang lebih besar dan lebih dewasa.

Dalam proses ke arah itu dibutuhkan pendampingan yang akan membantu mendorong tumbuhnya partisipasi penduduk miskin dalam proses pembangunan di lingkungannya. Juga perlu menguatkan kemampuan kelembagaan penduduk miskin dengan pelatihan dalam satuan kelompok-kelompok penduduk miskin bentukan mereka. Di dalam kelompok, mereka menjadi sadar akan posisi dan apa penyebab kemiskinan mereka, dan membuka peluang menggalang pemecahan masalah kemiskinan bersama.

10 Joseph, eaton w (ed). Pembangunan lembaga dan pembangunnan nasional dari konsep ke aplikasi. Jakarta, 122

14

Page 15: Sarwo Edy Otda

BAB III

PENUTUP

3.1. KESIMPULAN

15

Page 16: Sarwo Edy Otda

Kesimpulan utama dari kajian ini adalah Perkembangan Pemerintah Daerah dapat dilakukan dengan mengubah paradigma pemberdayaan masyarakat dari yang bersifat top-down menjadi partisipatif, dengan bertumpu pada kekuatan dan sumber-sumber daya lokal. Penanggulangan kemiskinan yang tidak berbasis komunitas dan keluarga miskin itu sendiri akan sulit berhasil.

Proses otonomi daerah yang sedang berlangsung di Indonesia saat ini, meskipun gamang pada awalnya, diyakini nanti akan berada pada jalur yang pas. Yang diperlukan adalah konsistensi dari pemerintah pusat untuk membimbing ke arah otonomi yang memberdayakan tersebut. Maka disarankan agar program-program penanggulangan kemiskinan ke depan mengarah pada penciptaan lingkungan lokal yang kondusif bagi keluarga miskin bersama komunitasnya dalam menolong diri sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

Dr. H. Siswanto sunarno, SH,.M.H.,2009, hukum pemerintahan daerah di indonesia, sinar grafika, jakarta

16

Page 17: Sarwo Edy Otda

Amal, ichlasul dan nasikun, 1988, desentralisasi dan prospeknya. P3pk. Yogyakarta

Munandar, A.S,1981, pembangunan sumber daya manusia dalam rangka pembanagunan nasional, jakarta

Syukur abdullah, birokrasi dan pembanagunan nasional, jakarta, 2000, hal 69

Prof. Amrah muslimin S.H.,1982, aspek-aspek hukum otonomi daerah palembang

Abdul wahab, solichin. 1988, Analisa kebijaksanaan, jakarta

Soewarno handayaningrat,1991 Administrasi Pemerintahan dalam Pemnbangunan Nasional, jakarta

Ali faried, 1995Huku Tata pemerintahan dan proses legislatif indonesia, raja gerafindo persada, jakart Jedawi, mortir. 2001. Desentralisasi dan implementasi di indonesia. Makasa.

Joseph, eaton w (ed). Pembangunan lembaga dan pembangunnan nasional dari konsep ke aplikasi. Jakarta.

17