13
1 SASTRA PROFETIK DALAM PERKEMBANGAN SASTRA INDONESIA Farida Nugrahani 1 dan Ali Imron Al-Ma‟ruf 2 1 PBSI FKIP & Program Pascasarjana Universitas Veteran Bangun Nusantara Sukoharjo 2 PBSI & MPBI Sekolah Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta Pos-El: [email protected] ; [email protected] 1. Pengantar Sebelum masuk inti permasalahan, lebih dulu kita hayati sebuah puisi berjudul “Sastrawan Sejati” karya Ali Imron Al -Ma‟ruf (1984) yang terinspirasi Q.S. Ali Imran: 110 berikut ini. Di negeri seribu mimpi kalian mengembara mencari kebenaran sejati dari lembah, gunung, dan ngarai dari desa ke kota di bumi pertiwi Kalian adalah umat terbaik dilahirkan untuk kalangan insani menebarkan kebenaran hakiki memerangi kemungkaran yang batil membawa pencerahan dari Ilahi untuk meraih kebahagiaan hidup sejati demikian untaian firman Tuhan dalam kitab suci. Katakan ya akhi….. Islam adalah agama samawi datang dari Rabbil Izzati dengan wahyu melalui Sang Nabi menuju keyakinan kepada Ilahi. Katakan ya akhi….. boleh jadi semua agama itu baik meyakini adanya Tuhan yang Mahaesa mengajarkan kebaikan dan perdamaian tapi menurut firman Tuhan hanya Islam agama yang hakiki hanya Allah Tuhan yang Mahatinggi tiada Tuhan selain Dia yang wajib untuk disembah tempat hamba mengabdikan diri tempat memohon pertolongan segala insani untuk meraih kebahagiaan abadi Katakan ya akhi tak hendak aku menyembah Tuhanmu tak pula engkau menyembah Tuhanku agamaku adalah agamaku agamamu adalah agamamu

SASTRA PROFETIK DALAM PERKEMBANGAN SASTRA INDONESIAlppm.univetbantara.ac.id/data/materi/Farida_Panel UPSI MALAYSIA.pdf · menebarkan kebenaran hakiki memerangi kemungkaran yang batil

  • Upload
    others

  • View
    9

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: SASTRA PROFETIK DALAM PERKEMBANGAN SASTRA INDONESIAlppm.univetbantara.ac.id/data/materi/Farida_Panel UPSI MALAYSIA.pdf · menebarkan kebenaran hakiki memerangi kemungkaran yang batil

1

SASTRA PROFETIK DALAM PERKEMBANGAN SASTRA INDONESIA

Farida Nugrahani1 dan Ali Imron Al-Ma‟ruf

2

1PBSI FKIP & Program Pascasarjana Universitas Veteran Bangun Nusantara Sukoharjo

2PBSI & MPBI Sekolah Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta

Pos-El: [email protected]; [email protected]

1. Pengantar

Sebelum masuk inti permasalahan, lebih dulu kita hayati sebuah puisi berjudul

“Sastrawan Sejati” karya Ali Imron Al-Ma‟ruf (1984) yang terinspirasi Q.S. Ali Imran: 110

berikut ini.

Di negeri seribu mimpi

kalian mengembara mencari

kebenaran sejati

dari lembah, gunung, dan ngarai

dari desa ke kota di bumi pertiwi

Kalian adalah umat terbaik

dilahirkan untuk kalangan insani

menebarkan kebenaran hakiki

memerangi kemungkaran yang batil

membawa pencerahan dari Ilahi

untuk meraih kebahagiaan hidup sejati

demikian untaian firman Tuhan dalam kitab suci.

Katakan ya akhi…..

Islam adalah agama samawi

datang dari Rabbil Izzati

dengan wahyu melalui Sang Nabi

menuju keyakinan kepada Ilahi.

Katakan ya akhi…..

boleh jadi semua agama itu baik

meyakini adanya Tuhan yang Mahaesa

mengajarkan kebaikan dan perdamaian

tapi menurut firman Tuhan hanya Islam agama yang hakiki

hanya Allah Tuhan yang Mahatinggi

tiada Tuhan selain Dia

yang wajib untuk disembah

tempat hamba mengabdikan diri

tempat memohon pertolongan segala insani

untuk meraih kebahagiaan abadi

Katakan ya akhi

tak hendak aku menyembah Tuhanmu

tak pula engkau menyembah Tuhanku

agamaku adalah agamaku

agamamu adalah agamamu

Page 2: SASTRA PROFETIK DALAM PERKEMBANGAN SASTRA INDONESIAlppm.univetbantara.ac.id/data/materi/Farida_Panel UPSI MALAYSIA.pdf · menebarkan kebenaran hakiki memerangi kemungkaran yang batil

2

begitu firman Allah dalam Qur‟an mengajarkanku.

(Solo, 3 April 1998)

Tugas sastrawan sejati sebagai bagian dari umat terbaik adalah melaksanakan amanat

Allah Swt. dalam posisinya sebagai Khalifah Allah di muka bumi. Amanat itu adalah menyeru

kepada kebaikan dan mencegah kejahatan, yang kesemuanya itu dilandasi oleh iman kepada

Sang Khaliq, demi memperoleh ridha-Nya guna menemukan kebahagiaan duniawi dan ukhrawi.

Puisi yang bersumber pada al-Quran itulah yang melandasi tulisan ini.

Karya sastra pada dasarnya melukiskan problema manusia yang bersifat universal, yakni

tentang hakikat kehidupan, masalah moral, sosial dan kultural, kemanusiaan, kematian dan

ketuhanan, namun juga masalah kebencian, ambisi, cita-cita, dan cinta kasih sayang.

Aminuddin (1998) menyatakan bahwa sebagai hasil kreasi manusia, puisi (juga genre sastra

lainnya seperti prosa fiksi dan drama, pen.), mampu mengungkapkan realitas di luar dirinya.

Puisi adalah semacam cermin yang menjadi representasi dari realitas itu sendiri. Tegasnya,

karya sastra mengandung empat masalah besar yakni masalah yang berhubungan dengan (1)

kehidupan, (2) kematian, (3) kemanusiaan, dan (4) ketuhanan. Oleh karena itu, sastra memiliki

hubungan yang erat dengan filsafat dan agama.

Sastra profetik menurut Abdulhadi W.M. (1999) dapat juga disebut sebagai sastra

sufistik, karena pengalaman yang dipaparkan penulisnya ialah pengalaman transenden seperti

ekstase, kerinduan, dan persatuan mistikal dengan Yang Transenden. Pengalaman itu berada di

atas pengalaman keseharian dan bersifat supralogis.

Pengalaman dan penghayataan estetik dalam usaha mencapai Tuhan, termasuk yang

diekpresikan dalam karya sastra, pada puncaknya berimplikasi pada intensitas religiusitas.

Ekspresi religiusitas itu menyentuh dunia spiritual dan profetik. Hal itu sejalan dengan hadits,

"Tuhan itu Maha Indah, dan Dia mencintai keindahan". Adapun pengalaman estetik bertalian

dengan keindahan yang sifatnya spiritual dan supernatural yang pada klimaksnya akan mampu

menghubungkan makhluk dengan Sang Khalik (Al-Ma‟ruf, 1990)

Lebih jauh dapat dinyatakan bahwa pernyataan Iqbal tersebut merupakan gagasan luhur

mengenai missi seorang sastrawan. Puisi --juga genre sastra yang lain yakni cerpen, novel, dan

lakon drama--, dalam kata-katanya sendiri, adalah cahaya dari filsafat sejati dan pengetahuan

yang lengkap. Tujuan sastrawan adalah membantu manusia dalam perjuangan melawan yang

jahat dan jorok dengan menghimbau kepada unsur-unsur yang paling mulia dari kodratnya. Di

atas semuanya, peran seni adalah bersifat sosial. Ia seharusnya merupakan penuntun ketuhanan

dan kemanusiaan. Sastra profetik merupakan manifestasi gagasan sastrawan yang diekspresikan

melalui karyanya guna membawa pencerahan batin bagi pembacanya menuju pada kedekatan

Page 3: SASTRA PROFETIK DALAM PERKEMBANGAN SASTRA INDONESIAlppm.univetbantara.ac.id/data/materi/Farida_Panel UPSI MALAYSIA.pdf · menebarkan kebenaran hakiki memerangi kemungkaran yang batil

3

dengan Sang Pencipta, Allah Swt. sebagai formulasi amal ibadah kepada-Nya dan amal shalih

kepada sesama (hablum minallaah wa hablum minannaas).

Dalam khazanah sastra Indonesia kehadiran sastra profetik yang bermuara pada

intensitas ketuhanan dan kemanusiaan (Ilahiyah dan insaniyah) sudah mulai terlihat pada awal

zaman kesusastraan Melayu misalnya terlihat pada beberapa karya Hamzah Fansuri dan

Syamsuddin Al-Samatrani. Karya sastra termaksud yang menonjol antara lain karya-karya Amir

Hamzah (Raja Penyair Pujangga Baru, Angkatan 1930-an), beberapa karya Chairil Anwar

(Pelopor Angkatan 1945), Taufik Ismail dan Goenawan Mohammad (Penyair Terkemuka

Angkatan 1966), Abdulhadi W.M, Danarto, Kuntowijoyo, Sutardji Calzoum Bachri, Sapardi

Djoko Damono, Chairul Umam, Ikranegara, M. Fudholi Zaini (tokoh-tokoh angkatan 1970-an),

dan masih banyak lagi. Begitu pula, karya-karya sastrawan generasi berikutnya seperti Hamid

Jabbar, D. Zamawi Imron, Afrizal Malna, Emha Ainun Najib dan lain-lain, yang oleh Abdulhadi

W.M (1989:v) dikatakan sebagai sastrawan berkecenderungan sufisfik.

Di antara para sastrawan yang berkecendurungan sifisfik tersebut, Amir Hamzah pantas

dicacat dengan tinta mas. Abdulhadi W.M. menyebutnya sebagai perintis karya-karya

berkecenderungan sufisfik di Indonesia. Hal itu terutama tampak dalam kumpulan puisinya

Nyanyi Sunyi (1978; terbit pertama 1935) dan Buah Rindu (1977). Jika dicermati karya-

karyanya, Amir Hamzah memang dapat disebut sebagai penyair Indonesia yang memiliki

intensitas pemahaman keilahian (ketauhidan) dan intensitas penghayatan religius yang tinggi.

Permasalahannya adalah (1) bagaimana definisi sastra profetik dan derivasinya; (2)

bagaimana kriteria sastra profetik. Adapun tujuan kajian ini adalah untuk mendeskripsikan

definisi sastra profetik dan derivasinya; (2) menjabarkan kriteria sastra profetik.

2. Sastra Profetik dan Sastra Sufistik

Kehadiran sastra profetik (membawa risalah kenabian/kerasulan) sering disebut sebagai

sastra sufistik (mengandung ajaran tasawuf) atau sastra profetik yang bermuara pada intensitas

ketauhidan dalam jagat sastra Indonesia membawa warna tersendiri. Artinya, meskipun jagat

sastra Indonesia kini didominasi oleh prosa fiksi modern yang mengekspresikan budaya global,

karya sastra profetik tetap mampu eksis dengan kekuatannya. Bahkan, sastra profetik makin

mengukuhkan eksistensinya di tengah jagat sastra Indonesia yang kini diramakain oleh sastra

profan yang mengedepankan kesenangan duniawi yang semu.

Berbicara tentang sastra profetik tidak dapat dilepaskan dari pandangan sufistik

Kuntowijoyo. Dapat dikatakan, dialah sastrawan sufistik Indonesia yang menyodorkan gagasan

tentang sastra sufistik yang disebutnya sebagai sastra profetik melalui tulisan-tulisannya.

Page 4: SASTRA PROFETIK DALAM PERKEMBANGAN SASTRA INDONESIAlppm.univetbantara.ac.id/data/materi/Farida_Panel UPSI MALAYSIA.pdf · menebarkan kebenaran hakiki memerangi kemungkaran yang batil

4

Menurut Kuntowijoyo (1982), dalam sastra profetik yang terpenting ialah makna, bukan semata-

mata bentuk, abstrak bukan konkrit, spiritual bukan empiris dan yang di dalam bukan yang di

permukaan. Seorang pengarang menurut Kuntowijoyo tidak hanya seorang pengamat kejadian-

kejadian atau fenomena tetapi juga menjadi saksi dan penjelajah dunia makna-makna. Hanya

dengan kesadaran spiritual dan intelektual yang dalam, dunia semacam ini dapat dijelajah.

Penyerapan secara spiritual dan inteletual inilah yang digunakan oleh penulis-penulis besar

timur. Para sufi menamakannya sebagai jalan cinta (‘isyq) dan makrifat (ma’rifah), atau dalam

bahasa Latin jalan cinta itu diberi nama unio-mystica. Untuk mencapai kesadaran semacam itu

pandangan seorang penulis harus berubah terutama pandangannya terhadap posisi

kepengarangannya, perubahan juga harus diikuti oleh perubahan wawasan estetik.

Sejalan dengan Kuntowijoyo, Seyyed Hossein Nasr menyatakan manusia modern telah

kehilangan visi ketuhanan yaitu aspek atau dimensi profetik daripada kehidupannya. Karena

telah kehilangan visi ketuhanan itulah manusia modern sangat mudah dikuasai oleh perasaan

kosong atau hampa dalam hidupnya. Kehilangan keyakinan yang penuh terhadap Yang

Transenden menurut Nasr memudahkan manusia merasa kehilangan makna dalam hidupnya

yang mengalami perubahan dengan cepatnya. Untuk memulihkan kondisi kejiwaan manusia

modern, Seyyed Hossein Nasr menawarkan tasawuf dan spiritualitas Timur yang lain sebagai

alternatif pembebasan manusia dari pandangan serba rasional dan materialistis.

Kuntowijoyo menyatakan pembebasan pertama yang harus dilakukan oleh pengarang

berhubungan dengan sastra yakni mengenai bahan penulisan. Para pengarang selama ini

menurut dia selalu terikat dan tergantung pada aktualitas. Keterikatan dan ketergantungan

seperti ini harus dilepaskan agar seorang pengarang dapat memperoleh sebuah gagasan murni

tentang dunia dan manusia. Dengan cara yang demikian, menurut Kuntowijoyo, pikiran dan

imajinasi kita sanggup mencipta sebuah “dunia tersendiri” yang tidak dibatasi oleh ruang,

waktu, dan peristiwa keseharian.

Pembebasan kedua, berhubungan dengan pendekatan sastra (literary approach).

Pembebasan seperti ini mendorong kita tidak hanya melihat gejala (fenomena) tangkapan indera,

akan tetapi lebih penting adalah mengungkapkan gejala yang berada di balik gejala tangkapan

indera. Ini berarti kita menjadi wakil dari sebuah dunia yang penuh makna. Cara kita mendekati

objek-objek sastra ialah menangkap hakikat segala sesuatu. Untuk sebuah sastra profetik yang

terpenting ialah makna bukan semata-mata bentuk, abstrak bukan konkrit, spiritual bukan

empiris, dan yang di dalam bukan yang di permukaan.

Jika kita mengutamakan bentuk dan mengabaikan makna, kita akan terperangkap kepada

permainan retorika dan kreasi yang kurang bermakna. Kita hanya akan jadi pemuja bentuk dan

Page 5: SASTRA PROFETIK DALAM PERKEMBANGAN SASTRA INDONESIAlppm.univetbantara.ac.id/data/materi/Farida_Panel UPSI MALAYSIA.pdf · menebarkan kebenaran hakiki memerangi kemungkaran yang batil

5

lupa pada pesan moral dan spiritual yang merupakan kewajiban pengarang untuk

menyampaikannya ketengah dunia yang semakin kehilangan makna. Tampaknya sebagaimana

penulis-penulis sufi lainnya, Kuntowijoyo yakin bahwa realitas keseharian atau peristiwa-

peristiwa yang dialami manusia di alam lahir dapat dijadikan tangga naik untuk menyelami alam

yang lebih tinggi tempatnya dalam tingkatan realiti.

Bagi Abdulhadi W.M. (2004:23), sastra profetik dapat juga disebut sebagai sastra sufistik

karena pengalaman yang dipaparkan penulisnya ialah pengalaman transenden seperti ekstase,

kerinduan, dan persatuan mistikal dengan Yang Transenden, Tuhan Allah Swt. Pengalaman itu

berada di atas pengalaman keseharian dan bersifat supralogis.

Bagi Sutardji Calzoum Bachri (1982), puisi yang ideal untuk menyempurnakan kondisi

kemanusiaan dan memulihkan martabat kemanusiaan adalah puisi profetik. Untuk menjelaskan

sastra profetik, Sutardji mengutip pernyataan Rumi dalam pendahuluan Mathnawi: “Aku tidak

menyanyikan Mathnawi agar orang membacanya dan mengulang-ngulangnya, tetapi agar orang

meletakkan buku itu di telapak kaki dan terbang bersamanya. Mathnawi adalah tangga

pendakian menuju kebenaran.” Perjalanan profetik yang dianjurkan Rumi ialah perjalanan dari

diri (yang rendah) ke diri (yang luhur) dari lower self to higher self . Jadi ia merupakan

perjalanan mendaki atau vertikal, bukan perjalanan horisontal, tetapi perjalanan hati menuju

puncak terdalam batin sendiri. Dengan mengikut Rumi, Sutardji mengatakan bahwa semangat

ketuhanan yang ada dalam diri manusia harus diupayakan lahir kembali dan inilah fungsi sastra

sufi.

Puisi sufistik sebagai sastra profetik menurut Sutardji Calzoum Bachri merupakan

perwujudan seorang penyair yang sadar sebagai makhluk spiritual. Sebagai makhluk spiritual

dia selalu berusaha mengungkapkan kerinduannya akan nilai-nilai spiritual demi menciptakan

keutuhan dirinya. Tanpa dimensi spiritual, manusia takkan pernah dapat menyempurnakan

kemanusiaannya. Bahkan Nasr mengatakan bahwa dalam tradisi Islam, puisi yang dipandang

ideal adalah puisi yang di dalam dirinya memadukan estetika, metafisik, dan logika. Dengan

demikian ia bukan saja memberikan keindahan, tetapi juga kebenaran dan memancarkan

kerohanian.

Sastra profetik sebagai sastra sufi bagi Sutardji merupakan perwujudan dari kerinduan

pulang ke akar tradisi, ke akar pandangan yang mendasari kebudayaan masyarakatnya, yang

tasawuf dan agama memainkan peranan penting dengan pengetahuan sakral (scientia sacra) dan

falsafah abadi (perennial philosophy) sebagaimana yang diistilahkan oleh Seyyed Hossein Nasr

dan A. Coomaraswamy.

Page 6: SASTRA PROFETIK DALAM PERKEMBANGAN SASTRA INDONESIAlppm.univetbantara.ac.id/data/materi/Farida_Panel UPSI MALAYSIA.pdf · menebarkan kebenaran hakiki memerangi kemungkaran yang batil

6

Kuntowojiyo menjelaskan bahwa landasan utama sastra profetik atau sastra profetik

sebagai bagian dari budaya profetik adalah Q.S. Ali Imran ayat 110: “Kalian ialah umat

terbaik yang dilahirkan untuk menyeru kepada kebaikan (amar ma’ruf ) dan mencegah

kemungkaran (nahi mungkar) dan beriman kepada Allah Swt.”. Ayat tersebut menegaskan

bahwa dalam setiap tindakan seorang muslim dimensi sosial dan profetik harus berjalan

bersama-sama seiring sejalan. Kuntowijoyo menafsirkan perkataan amar ma’ruf tersebut

sebagai suatu ikhtiar pemanusiaan (humanisasi) dan nahi mungkar sebagai pembebasan

(liberalisasi) yaitu pembebasan dari keterikatan materialisme dan kezhaliman kuasa dunia,

sedangkan “beriman kepada Allah Swt.” ditafsirkan sebagi ikhtiar transendensi yaitu kenaikan

ke alam profetik atau ketuhanan.

Pengalaman dan penghayataan estetik dalam usaha mencapai Tuhan, termasuk yang

diekpresikan dalam karya sastra, pada puncaknya berimplikasi pada intensitas religiusitas.

Ekspresi religiusitas itu menyentuh dunia spiritual dan profetik. Hal itu dapat dipahami jika

dikaitkan dengan sebuah hadits, "Tuhan itu Maha Indah, dan Dia mencintai keindahan". Adapun

pengalaman estetik bertalian dengan keindahan yang sifatnya spiritual dan supernatural yang

pada klimaksnya akan mampu menghubungkan makhluk dengan Sang Khalik (Al-Ma‟ruf, 1990:

72).

Sastra profetik, sufistik, dan/atau profetik kesemuanya termasuk dalam sastra religius.

Sastra religius merupakan karya sastra percerahan rohani dan medium berkomunikasi antara

manusia/0sastrawan dengan Yang Maha Kuasa. Salah satu tujuan sastra sufi adalah

membawakan pesan pencerahan (enlightenment) dan pesan pengenalan diri (self introductory)

kepada pembacanya. Dengan pencerahan dan pengenalan diri inilah seseorang atau suatu umat

mulai bergerak memperbaiki dirinya.

Sudardi (2001:1) menyatakan bahwa sastra sufistik adalah karya sastra yang di dalamnya

dijabarkan paham-paham, sifat-sifat, dan keyakinan yang diambil dari dunia tasawuf.

Ringkasnya, sastra sufistik adalah karya sastra bermuatan ajaran kesufian. Dilihat dari segi

isinya, menurut

Sudardi (2001: 11) sastra sufistik dibagi menjadi tiga, yakni: (1) Sastra sufistik yang berisi

ajaran atau konsepsi sufistik biasanya dibahas tentang sifat-sifat Tuhan dan asal-usul manusia

dalam hubungannya dengan penciptaan (Jawa: sangkan paraning dumadi: asal ciptaan pada

pusat yang satu, Allah); (2) Sastra sufistik yang berisi ungkapan pengalaman pencarian Tuhan.

Mencari dan menjumpai Tuhan adalah sesuatu yang pelik. Pengalaman itu terkadang tidak dapat

dilukiskan melainkan hanya dengan simbol-simbol. Misal: cerita Dewa Ruci yang mengisahkan

Bima dalam mencari air kehidupan (air pawitra), yang tidak lain simbol pergulatan manusia

Page 7: SASTRA PROFETIK DALAM PERKEMBANGAN SASTRA INDONESIAlppm.univetbantara.ac.id/data/materi/Farida_Panel UPSI MALAYSIA.pdf · menebarkan kebenaran hakiki memerangi kemungkaran yang batil

7

dalam menemukan hakikat hidup; dan (3) Karya sastra sufistik yang berisi ungkapan kesatuan

dengan Tuhan. Peristiwa itu merupakan sesuatu yang sangat dinanti oleh para sufi. Namun,

peristiwa itu merupakan pengalaman sangat pribadi yang sulit dilukiskan dengan kata-kata.

Pengalaman itu sering dilukiskan dengan simbol atau perumpamaan. Misal: perasaan sufi yang

sangat bahagia ketika berjumpa dengan Tuhan diibaratkan sebagai seseorang yang berhasil

menjumpai kekasihnya yang sudah lama dicarinya.

Religiusitas disebut sebagai inti kualitas hidup manusia, karena ia adalah dimensi yang

berada di dalam lubuk hati, sebagai riak getaran nurani pribadi dan menempas intimitas jiwa

(Mangunwijaya 1988:11-15). Religiusitas dalam karya sastra lebih kepada persoalan individu

sastrawan dalam menghasilkan teks-teks sastra yang kental akan nilai-nilai religi dan profetik.

Religiusitas merupakan kodrat manusia yang paling hakiki. Oleh karena itu, sastra religius

merupakan wujud dari kesadaran profetik seorang sastrawan sebagai hamba-Nya.

3. Kriteria Sastra Profetik

Sudardi (2007:1) menyatakan bahwa sastra sufistik adalah karya sastra yang di dalamnya

dijabarkan paham-paham, sifat-sifat, dan keyakinan yang diambil dari dunia tasawuf.

Ringkasnya, sastra sufistik adalah karya sastra bermuatan ajaran kesufian. Dilihat dari segi

isinya, menurut Sudardi (2001:11) sastra sufistik dibagi menjadi tiga, yakni: (1) Sastra sufistik

yang berisi ajaran atau konsepsi sufistik biasanya dibahas tentang sifat-sifat Tuhan dan asal-usul

manusia dalam hubungannya dengan penciptaan (Jawa: sangkan paraning dumadi: asal ciptaan

pada pusat yang satu, Allah); (2) Sastra sufistik yang berisi ungkapan pengalaman pencarian

Tuhan. Mencari dan menjumpai Tuhan adalah sesuatu yang pelik. Pengalaman itu terkadang

tidak dapat dilukiskan melainkan hanya dengan simbol-simbol. Misal: cerita Dewa Ruci yang

mengisahkan Bima dalam mencari air kehidupan (air pawitra), yang tidak lain simbol

pergulatan manusia dalam menemukan hakikat hidup; dan (3) Karya sastra sufistik yang berisi

ungkapan kesatuan dengan Tuhan. Peristiwa itu merupakan sesuatu yang sangat dinanti oleh

para sufi. Namun, peristiwa itu merupakan pengalaman sangat pribadi yang sulit dilukiskan

dengan kata-kata. Pengalaman itu sering dilukiskan dengan simbol atau perumpamaan. Misal:

perasaan sufi yang sangat bahagia ketika berjumpa dengan Tuhan diibaratkan sebagai seseorang

yang berhasil menjumpai kekasihnya yang sudah lama dicarinya.

Dalam dunia sastra Indonesia, sastra profetik memiliki kedudukan strategis dan penting.

Hal itu berdasarkan alasan antara lain: Pertama, mengingat genre sastra ini memiliki kedalaman

makna yang sangat penting bagi pembaca dalam rangka memperkaya khasanah batinnya

terutama yang berkaitan dengan keilahian (ketauhidan) yang menyadarkan manusia akan hakikat

Page 8: SASTRA PROFETIK DALAM PERKEMBANGAN SASTRA INDONESIAlppm.univetbantara.ac.id/data/materi/Farida_Panel UPSI MALAYSIA.pdf · menebarkan kebenaran hakiki memerangi kemungkaran yang batil

8

eksistensinya sebagai makhluk dan Tuhan sebagai Sang Khalik. Sastra profetik juga sering

menyampaikan risalah Ilahi yang dibawakan rasul-Nya sehingga disebut pula sebagai sastra

profetik atau pembawa ajaran kenabian. Kedua, genre sastra ini memiliki kekhasan yakni

pengungkapan perasaan religius –bukan ritual keagamaan yang formal-- yang memadukan

dimensi ketuhanan (Ilahiyah) dengan dimensi kemanusiaan (insaniyah). Dua dimensi yang harus

dikembangkan dalam setiap diri manusia yang bertuhan, yang beragama apa pun. Ketiga, sastra

profetik relatif jarang dibicarakan dalam forum ilmiah sastra Indonesia. Padahal genre sastra ini

eksistensinya penting dalam perkembangan sastra Indonesia.

"Pada awal mula, segala sastra adalah religius" (Mangunwijaya, 1982:11), bukan sekedar

ungkapan klise, melainkan mengandung makna yang dalam. Lebih jauh dapat dikatakan,

"Semua sastra yang bernilai literer selalu religius". Religiusitas bukan berarti hanya sekedar

ketaatan ritual, ibadah formal belaka, melainkan lebih dalam dan mendasar dalam pribadi

manusia. Religiusitas lebih melihat pada aspek batin, dimensi "roh" yang ada di lubuk kalbu,

riak getaran nurani pribadi, sikap personal yang sedikit banyak merupakan misteri bagi orang

lain karena menyangkut batiniah. Singkatnya, religiusitas merupakan cita rasa yang mencakup

totalitas (termasuk rasio dan perasaan manusiawi) kedalaman batin si pribadi manusia. Karena

itu, religiusitas lebih dalam daripada agama yang tampak, lahiriah, formal, dan ritual.

Sekedar ilustrasi, jika seorang Muslim melakukan shalat lima waktu, atau menjalankan

puasa Ramadhan, bahkan melaksanakan ibadah haji tiga kali, hal itu bukanlah religius

melainkan sekedar ketaatan formal. Ketika seorang petani miskin dengan diam-diam meletakkan

kayu jati miliknya di area pembangunan masjid tanpa memberikan identitas, semata-mata

memenuhi panggilan jiwa tauhidnya, itulah religius. Seorang pekerja seks komersial (PSK) di

sebuah kompleks lokalisasi saat menjelang shubuh tiba-tiba terbangun karena mendengar suara

adzan. Kebetulan dia mengetahui maknanya. Tiba-tiba dia seolah-olah tersadar dari ”mimpi

buruk” selama ini sehingga hatinya tergerak pergi ke masjid untuk melaksanakan shalat. Setelah

shalat dia merasakan kedamaian dan ketentraman hati. Dia kemudian bertaubat kepada Allah

atas dosa-dosanya selama ini. Itulah peristiwa religius.

Lagu-lagu padang pasir berbahasa Arab yang syairnya menyeru untuk melaksanakan

rukun Islam, itu agamis. Akan tetapi lagu "Tuhan" karya Taufik Ismail yang dilantunkan oleh

Bimbo dengan syahdu dan banyak dinyanyikan pula oleh orang-orang Kristen, Katolik, Islam,

Hindu, dan Kon Fu Tse, itu religius. Atau, lagu-lagu qasidah modern yang dilantunkan oleh

kelompok musik Nasidaria (Semarang) yang menyerukan agar umat manusia melakukan shalat,

zakat, atau puasa dan haji, tidak terasa religius. Akan tetapi ketika ketika kita mendengarkan

Page 9: SASTRA PROFETIK DALAM PERKEMBANGAN SASTRA INDONESIAlppm.univetbantara.ac.id/data/materi/Farida_Panel UPSI MALAYSIA.pdf · menebarkan kebenaran hakiki memerangi kemungkaran yang batil

9

lagu ”Masih Diberi Waktu” yang disenandungkan oleh Ebiet G. Ade, terasa religiusitas

menyelinap dalam kalbu kita. Terasa ada getaran dalam sanubari kita yang terdalam.

Terasa sekali aspek religiositas pada puisi "Padamu Jua" karya Amir hamzah dan "Doa"

karya Chairil Anwar. Keintiman penyair dengan Tuhan begitu mesra terasa. Keakraban dan

kecintaan kepada Tuhan terasa kental. Tidaklah mengherankan jika menghayati puisi-puisi yang

memiliki kecenderungan sufistik, seolah-olah pembaca diajak mengembara di alam imajinatif

transedental. Abdulhadi W.M. (2004:1; 1989:vi-vii) menyatakan bahwa segi penting dalam

pembicaraan sastra sufistik adalah segi profetiknya. Semangat profetik merupakan segi yang

sentral, pusat bertemunya dimensi sosial dan profetik di dalam penciptaan karya sastra. Dimensi

sosial menunjuk pada kehidupan kemanusiaan yang bersifat profan, sedangkan dimensi profetik

menunjuk pada tujuan kehidupan yang lebih tinggi, kekal, berpuncak pada yang gaib. Dimensi

kedua memberikan kedalaman pada karya, menopangnya dengan nilai-nilai kerohanian,

membuat karya seni bersifat vertikal (simbol hubungan makhluk dengan Sang Khalik).

Sekedar ilustrasi, jika seorang Muslim melakukan shalat lima waktu, atau seorang

Kristiani bersembahyang di gereja, hal itu bukanlah religius melainkan sekedar ketaatan formal.

Itulah sebuah kegiatan ritual keagamaan. Akan tetapi, ketika seorang petani desa pada saat sepi

meletakkan kayu jati miliknya di area pembangunan masjid tanpa memberikan identitas semata-

mata demi memenuhi panggilan jiwa Tauhidnya, itulah religius. Lagu-lagu qasidah atau lagu-

lagu berirama Padang Pasir yang berbahasa Arab yang menyerukan dakwah atau melaksanakan

ajaran Islam, itu agamis. Adapun lagu "Tuhan" karya Taufik Ismail yang dinyanyikan Bimbo,

lagu Ebiet G. Ade ”Hidup IV”, dan puisi ”Pengajuan Dosa” larya Emha Ainun Najib dengan

liriknya yang menyentuh kalbu dan banyak dinyanyikan pula oleh siapa pun dan yang beragama

apa pun, itulah religius. Perhatikan lirik lagu ”Hidup IV” karya Ebiet berikut.

“HIDUP IV”

Ebiet G. Ade

……………………………

Oh hembuskanlah

Nafas iman ke dalam sukma

Agar dapat kuyakini

Hidup dan kehidupan ini

Di gunung kucari kamu

Di sini pun kucari kamu

Di manakah kutemui kamu

Untuk runduk dalam genggamanmu

…………………………….

Page 10: SASTRA PROFETIK DALAM PERKEMBANGAN SASTRA INDONESIAlppm.univetbantara.ac.id/data/materi/Farida_Panel UPSI MALAYSIA.pdf · menebarkan kebenaran hakiki memerangi kemungkaran yang batil

10

Di lenganmu kutemukan cinta

Di matamu memancar makna

Rindu ini tak tertahankan lagi

Untuk menangis di pangkuanmu

Lirik lagu “Hidup IV” karya Ebiet dan “Wirid Pengakuan Dosa” Abu Nawas tersebut

terasa lebih religius. Artinya, lagu tersebut terasa lebih menyentuh hati dan menggelitik pikiran,

mengelus sukma dan menggetarkan kalbu daripada lagu-lagu berirama gambus yang berbahasa

Arab sekalipun. Kedua lirik lagu di atas juga terasa lebih intens dalam mengekspresikan pesan-

pesan ketauhidan daripada lagu-lagu Nasidaria yang kental dengan pesan-pesan keagamaan.

Perasaan tak berdaya atau merasa kecil di hadapan Tuhan tentu akan mendatangkan

sikap untuk hati-hati dan cermat dalam menjalani kehidupan yang penuh tantangan dan godaan.

Kegalauan hati dan pikiran karena perasaan tak berdaya di hadapan Tuhan juga akan

menimbulkan perasaan takut untuk berbuat kejahatan atau kemaksiatan. Hal itu terlukis dalam

puisi “Sejuta Panorama” karya Hamid Jabbar berikut.

“Sejuta Panorama”

Tuhanku

bukalah segala telingaku

hingga aku mengerti

segala bicara mereka ini

dalam menyelami semesta-Mu

di

si

ni

Tuhanku

aku jadi menggigil

aku makin mengecil

dalam kuasa-Mu

Tuhanku

aku semakin menggigil

dalam sejuta panorama suara

i

n

i

(Hamid Jabbar, 1981:9-11)

Perasaan tak berdaya atau merasa kecil di hadapan Tuhan yang Mahaagung terasa pada

baris //Tuhanku/, /aku jadi mengigil/, /aku makin mengecil/, /dalam kuasa-Mu/.

Page 11: SASTRA PROFETIK DALAM PERKEMBANGAN SASTRA INDONESIAlppm.univetbantara.ac.id/data/materi/Farida_Panel UPSI MALAYSIA.pdf · menebarkan kebenaran hakiki memerangi kemungkaran yang batil

11

Tentang pentingnya penghambaan dan kebaktian semata-mata hanya kepada Tuhan

(ibadah secara vertikal) dapat disimak antara lain pada lirik lagu ”Unttuk Kita bRenungkan”

karya Ebiet G. Ade.

Amir Hamzah dalam puisinya ”Padamu Jua” melukiskan bagaimana dia mesti pulang

Demikian pula Ebiet G. Ade pada lirik lagu ”Untuk Kita Renungkan” berikut ini.

“Untuk Kita Renungkan”

Ebiet G. Ade

……………………………………………..

Anugerah dan bencana adalah kehendak-Nya

Kita mesti tabah menjalani

Hanya cambuk kecil agar kita sadar

Adalah Dia di atas segalanya

Oh … adalah Dia di atas segalanya

Tuhan pasti telah memperhitungkan

Amal dan dosa yang kita perbuat

Ke manakah lagi kita „kan sembunyi

Hanya kepada-Nya kita kembali

Tak ada yang bakal bisa menjawab

Mari hanya runduk sujud pada-Nya

Taufik Ismail juga mengalunkan perasaan yang sama dalam puisinya berjudul ”Tuhan”.

Hanya saja Taufik Ismail lebih konkret. Mari kita simak puisi ”Tuhan” berikut ini.

”Tuhan”

Tuhan

Tempat aku berteduh

Di mana aku mengeluh

Dengan segala peluh

Tuhan

Tuhan Yang Maha Esa

Tempat aku memuja

Dengan segala dosa

Aku jauh Engkau jauh

Aku dekat Engkau dekat

Hati adalah cermin

Tempat dosa dan pahala berpadu

...............................

Tuhan tempat untuk bersandar, yang mampu memberikan cahaya dan hidayah juga

disampaikan oleh Ramadhan K.H. dalam novelnya Keluarga Permana. Tokoh Permana, yang

imannya lemah, tidak tahan terhadap cobaan hidup yang datang bertubi-tubi, yang klimaksnya

pada meninggalnya Ida, anak gadisnya. Akibatnya dia kehilangan keseimbangan mental. Pada

kondisi demikian kalut, dia membutuhkan secercah cahaya iman sebagai penerang jiwanya

Page 12: SASTRA PROFETIK DALAM PERKEMBANGAN SASTRA INDONESIAlppm.univetbantara.ac.id/data/materi/Farida_Panel UPSI MALAYSIA.pdf · menebarkan kebenaran hakiki memerangi kemungkaran yang batil

12

yang gelap dan hatinya yang kusut. Hal itu tersirat pada bagian terakhir Keluarga Permana

berikut.

"Akhirnya pada saatnya yang tepat kita sangat memerlukan seekor kunang-

kunang di malam gelap-gelita." (hlm. 170)

5. Simpulan

Berdasarkan analisis di atas dapat dikemukakan simpulan sebagai berikut. (1) Sastra

profetik (sastra profetik) merupakan sastra yang mengekspresikan dimensi Ilahiyah dan

Insaniyah. Dimensi Ilahiyah (perasaan ketuhanan) atau religiusitas yang mengungkapkan

hubungan mesra manusia dengan Tuhan, bukan sekedar ritual peribadatan yang bersifat formal

melainkan lebih pada kedalaman perasaan keagamaan. Dimensi insaniyah (perasaan

seperjuangan dan empati kepada sesama manusia) untuk saling berbagi dan menyayangi; (2)

Kriteria sastra profetik meliputi paling tidak tiga hal yakni sastra yang mengungkapkan: (a)

ajaran atau konsepsi sufistik biasanya dibahas tentang sifat-sifat Tuhan dan asal-usul manusia

dalam hubungannya dengan penciptaan; (b) pengalaman pencarian Tuhan; mencari dan

menjumpai Tuhan adalah sesuatu yang pelik; pengalaman itu terkadang tidak dapat dilukiskan

melainkan hanya dengan simbol-simbol; (c) pengalaman kesatuan dengan Tuhan; peristiwa itu

merupakan sesuatu yang sangat dinanti oleh para sufi; pengalaman sangat pribadi yang sulit

dilukiskan dengan kata-kata.

Daftar Pustaka

Al-Ma‟ruf, Ali Imron. 1990. "Dialog Religius dalam sajak 'Nyala Cintamu' Karya Anshari

(Persia)

dan Sajak Anak Laut, Anak Angin' karya Abdulhadi W.M." dalam Jurnal Rethoric,

Nomor

1 Tahun 1990.

_______. 2008. Dimensi Sosial Keagamaan dalam Fiksi Indonesia Modern. Surakarta:

SmartMedia

Aminuddin, M. 1987. Pengantar Apresiasi Sastra. Bandung: Sinar Baru dan Malang: YA3.

Hamzah, Amir. 1977. Buah Rindu. (Cetakan Kelima). Jakarta: PT Dian Rakyat.

Jassin, H.B. 1978. Al-Qur'anul Karim: Bacaan Mulia. Jakarta: PD Djambatan.

Iqbal, Muhammad. 1982. Membangun Kembali Pikiran Agama dalam Islam. (Penerjemah: Ali

Audh dkk). Jakarta: Tintamas.

Mangunwijayam Y.B. 1982. Sastra dan Religiousitas. Jakarta: Sinar Harapan

Kuntowijoyo. 1982. “Essai Saya Kira Kita Memerlukan Juga Sebuah Sastra Profetik”.

Page 13: SASTRA PROFETIK DALAM PERKEMBANGAN SASTRA INDONESIAlppm.univetbantara.ac.id/data/materi/Farida_Panel UPSI MALAYSIA.pdf · menebarkan kebenaran hakiki memerangi kemungkaran yang batil

13

Makalah dalam Temu Sastra tahun 1982 di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta.

Sudardi, Bani. 2001. Tonggak-Tonggak Sastra Sufistik Indonesia Petualangan Batin Manusia

Indonesia Sepanjang Zaman. Surakarta: Sebelas Maret University Press.

W.M., Abdulhadi. 2004. Sastra Sufi. Jakarta: Pustaka Firdaus.

_____. 1989. "Semangat Profetik dalam Sastra Sufi dan Jejaknya dalam Sastra Modern" dalam

Horison Nomor 6, Juni 1988.

_____. 1999. Kembali ke Akar Kembali ke Tradisi Esai-esai Sastra Profetik dan Sufistik.

Jakarta: Pustaka Firdaus.

ooOoo