Upload
others
View
9
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
SASTRA PROFETIK DALAM PERKEMBANGAN SASTRA INDONESIA
Farida Nugrahani1 dan Ali Imron Al-Ma‟ruf
2
1PBSI FKIP & Program Pascasarjana Universitas Veteran Bangun Nusantara Sukoharjo
2PBSI & MPBI Sekolah Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta
Pos-El: [email protected]; [email protected]
1. Pengantar
Sebelum masuk inti permasalahan, lebih dulu kita hayati sebuah puisi berjudul
“Sastrawan Sejati” karya Ali Imron Al-Ma‟ruf (1984) yang terinspirasi Q.S. Ali Imran: 110
berikut ini.
Di negeri seribu mimpi
kalian mengembara mencari
kebenaran sejati
dari lembah, gunung, dan ngarai
dari desa ke kota di bumi pertiwi
Kalian adalah umat terbaik
dilahirkan untuk kalangan insani
menebarkan kebenaran hakiki
memerangi kemungkaran yang batil
membawa pencerahan dari Ilahi
untuk meraih kebahagiaan hidup sejati
demikian untaian firman Tuhan dalam kitab suci.
Katakan ya akhi…..
Islam adalah agama samawi
datang dari Rabbil Izzati
dengan wahyu melalui Sang Nabi
menuju keyakinan kepada Ilahi.
Katakan ya akhi…..
boleh jadi semua agama itu baik
meyakini adanya Tuhan yang Mahaesa
mengajarkan kebaikan dan perdamaian
tapi menurut firman Tuhan hanya Islam agama yang hakiki
hanya Allah Tuhan yang Mahatinggi
tiada Tuhan selain Dia
yang wajib untuk disembah
tempat hamba mengabdikan diri
tempat memohon pertolongan segala insani
untuk meraih kebahagiaan abadi
Katakan ya akhi
tak hendak aku menyembah Tuhanmu
tak pula engkau menyembah Tuhanku
agamaku adalah agamaku
agamamu adalah agamamu
2
begitu firman Allah dalam Qur‟an mengajarkanku.
(Solo, 3 April 1998)
Tugas sastrawan sejati sebagai bagian dari umat terbaik adalah melaksanakan amanat
Allah Swt. dalam posisinya sebagai Khalifah Allah di muka bumi. Amanat itu adalah menyeru
kepada kebaikan dan mencegah kejahatan, yang kesemuanya itu dilandasi oleh iman kepada
Sang Khaliq, demi memperoleh ridha-Nya guna menemukan kebahagiaan duniawi dan ukhrawi.
Puisi yang bersumber pada al-Quran itulah yang melandasi tulisan ini.
Karya sastra pada dasarnya melukiskan problema manusia yang bersifat universal, yakni
tentang hakikat kehidupan, masalah moral, sosial dan kultural, kemanusiaan, kematian dan
ketuhanan, namun juga masalah kebencian, ambisi, cita-cita, dan cinta kasih sayang.
Aminuddin (1998) menyatakan bahwa sebagai hasil kreasi manusia, puisi (juga genre sastra
lainnya seperti prosa fiksi dan drama, pen.), mampu mengungkapkan realitas di luar dirinya.
Puisi adalah semacam cermin yang menjadi representasi dari realitas itu sendiri. Tegasnya,
karya sastra mengandung empat masalah besar yakni masalah yang berhubungan dengan (1)
kehidupan, (2) kematian, (3) kemanusiaan, dan (4) ketuhanan. Oleh karena itu, sastra memiliki
hubungan yang erat dengan filsafat dan agama.
Sastra profetik menurut Abdulhadi W.M. (1999) dapat juga disebut sebagai sastra
sufistik, karena pengalaman yang dipaparkan penulisnya ialah pengalaman transenden seperti
ekstase, kerinduan, dan persatuan mistikal dengan Yang Transenden. Pengalaman itu berada di
atas pengalaman keseharian dan bersifat supralogis.
Pengalaman dan penghayataan estetik dalam usaha mencapai Tuhan, termasuk yang
diekpresikan dalam karya sastra, pada puncaknya berimplikasi pada intensitas religiusitas.
Ekspresi religiusitas itu menyentuh dunia spiritual dan profetik. Hal itu sejalan dengan hadits,
"Tuhan itu Maha Indah, dan Dia mencintai keindahan". Adapun pengalaman estetik bertalian
dengan keindahan yang sifatnya spiritual dan supernatural yang pada klimaksnya akan mampu
menghubungkan makhluk dengan Sang Khalik (Al-Ma‟ruf, 1990)
Lebih jauh dapat dinyatakan bahwa pernyataan Iqbal tersebut merupakan gagasan luhur
mengenai missi seorang sastrawan. Puisi --juga genre sastra yang lain yakni cerpen, novel, dan
lakon drama--, dalam kata-katanya sendiri, adalah cahaya dari filsafat sejati dan pengetahuan
yang lengkap. Tujuan sastrawan adalah membantu manusia dalam perjuangan melawan yang
jahat dan jorok dengan menghimbau kepada unsur-unsur yang paling mulia dari kodratnya. Di
atas semuanya, peran seni adalah bersifat sosial. Ia seharusnya merupakan penuntun ketuhanan
dan kemanusiaan. Sastra profetik merupakan manifestasi gagasan sastrawan yang diekspresikan
melalui karyanya guna membawa pencerahan batin bagi pembacanya menuju pada kedekatan
3
dengan Sang Pencipta, Allah Swt. sebagai formulasi amal ibadah kepada-Nya dan amal shalih
kepada sesama (hablum minallaah wa hablum minannaas).
Dalam khazanah sastra Indonesia kehadiran sastra profetik yang bermuara pada
intensitas ketuhanan dan kemanusiaan (Ilahiyah dan insaniyah) sudah mulai terlihat pada awal
zaman kesusastraan Melayu misalnya terlihat pada beberapa karya Hamzah Fansuri dan
Syamsuddin Al-Samatrani. Karya sastra termaksud yang menonjol antara lain karya-karya Amir
Hamzah (Raja Penyair Pujangga Baru, Angkatan 1930-an), beberapa karya Chairil Anwar
(Pelopor Angkatan 1945), Taufik Ismail dan Goenawan Mohammad (Penyair Terkemuka
Angkatan 1966), Abdulhadi W.M, Danarto, Kuntowijoyo, Sutardji Calzoum Bachri, Sapardi
Djoko Damono, Chairul Umam, Ikranegara, M. Fudholi Zaini (tokoh-tokoh angkatan 1970-an),
dan masih banyak lagi. Begitu pula, karya-karya sastrawan generasi berikutnya seperti Hamid
Jabbar, D. Zamawi Imron, Afrizal Malna, Emha Ainun Najib dan lain-lain, yang oleh Abdulhadi
W.M (1989:v) dikatakan sebagai sastrawan berkecenderungan sufisfik.
Di antara para sastrawan yang berkecendurungan sifisfik tersebut, Amir Hamzah pantas
dicacat dengan tinta mas. Abdulhadi W.M. menyebutnya sebagai perintis karya-karya
berkecenderungan sufisfik di Indonesia. Hal itu terutama tampak dalam kumpulan puisinya
Nyanyi Sunyi (1978; terbit pertama 1935) dan Buah Rindu (1977). Jika dicermati karya-
karyanya, Amir Hamzah memang dapat disebut sebagai penyair Indonesia yang memiliki
intensitas pemahaman keilahian (ketauhidan) dan intensitas penghayatan religius yang tinggi.
Permasalahannya adalah (1) bagaimana definisi sastra profetik dan derivasinya; (2)
bagaimana kriteria sastra profetik. Adapun tujuan kajian ini adalah untuk mendeskripsikan
definisi sastra profetik dan derivasinya; (2) menjabarkan kriteria sastra profetik.
2. Sastra Profetik dan Sastra Sufistik
Kehadiran sastra profetik (membawa risalah kenabian/kerasulan) sering disebut sebagai
sastra sufistik (mengandung ajaran tasawuf) atau sastra profetik yang bermuara pada intensitas
ketauhidan dalam jagat sastra Indonesia membawa warna tersendiri. Artinya, meskipun jagat
sastra Indonesia kini didominasi oleh prosa fiksi modern yang mengekspresikan budaya global,
karya sastra profetik tetap mampu eksis dengan kekuatannya. Bahkan, sastra profetik makin
mengukuhkan eksistensinya di tengah jagat sastra Indonesia yang kini diramakain oleh sastra
profan yang mengedepankan kesenangan duniawi yang semu.
Berbicara tentang sastra profetik tidak dapat dilepaskan dari pandangan sufistik
Kuntowijoyo. Dapat dikatakan, dialah sastrawan sufistik Indonesia yang menyodorkan gagasan
tentang sastra sufistik yang disebutnya sebagai sastra profetik melalui tulisan-tulisannya.
4
Menurut Kuntowijoyo (1982), dalam sastra profetik yang terpenting ialah makna, bukan semata-
mata bentuk, abstrak bukan konkrit, spiritual bukan empiris dan yang di dalam bukan yang di
permukaan. Seorang pengarang menurut Kuntowijoyo tidak hanya seorang pengamat kejadian-
kejadian atau fenomena tetapi juga menjadi saksi dan penjelajah dunia makna-makna. Hanya
dengan kesadaran spiritual dan intelektual yang dalam, dunia semacam ini dapat dijelajah.
Penyerapan secara spiritual dan inteletual inilah yang digunakan oleh penulis-penulis besar
timur. Para sufi menamakannya sebagai jalan cinta (‘isyq) dan makrifat (ma’rifah), atau dalam
bahasa Latin jalan cinta itu diberi nama unio-mystica. Untuk mencapai kesadaran semacam itu
pandangan seorang penulis harus berubah terutama pandangannya terhadap posisi
kepengarangannya, perubahan juga harus diikuti oleh perubahan wawasan estetik.
Sejalan dengan Kuntowijoyo, Seyyed Hossein Nasr menyatakan manusia modern telah
kehilangan visi ketuhanan yaitu aspek atau dimensi profetik daripada kehidupannya. Karena
telah kehilangan visi ketuhanan itulah manusia modern sangat mudah dikuasai oleh perasaan
kosong atau hampa dalam hidupnya. Kehilangan keyakinan yang penuh terhadap Yang
Transenden menurut Nasr memudahkan manusia merasa kehilangan makna dalam hidupnya
yang mengalami perubahan dengan cepatnya. Untuk memulihkan kondisi kejiwaan manusia
modern, Seyyed Hossein Nasr menawarkan tasawuf dan spiritualitas Timur yang lain sebagai
alternatif pembebasan manusia dari pandangan serba rasional dan materialistis.
Kuntowijoyo menyatakan pembebasan pertama yang harus dilakukan oleh pengarang
berhubungan dengan sastra yakni mengenai bahan penulisan. Para pengarang selama ini
menurut dia selalu terikat dan tergantung pada aktualitas. Keterikatan dan ketergantungan
seperti ini harus dilepaskan agar seorang pengarang dapat memperoleh sebuah gagasan murni
tentang dunia dan manusia. Dengan cara yang demikian, menurut Kuntowijoyo, pikiran dan
imajinasi kita sanggup mencipta sebuah “dunia tersendiri” yang tidak dibatasi oleh ruang,
waktu, dan peristiwa keseharian.
Pembebasan kedua, berhubungan dengan pendekatan sastra (literary approach).
Pembebasan seperti ini mendorong kita tidak hanya melihat gejala (fenomena) tangkapan indera,
akan tetapi lebih penting adalah mengungkapkan gejala yang berada di balik gejala tangkapan
indera. Ini berarti kita menjadi wakil dari sebuah dunia yang penuh makna. Cara kita mendekati
objek-objek sastra ialah menangkap hakikat segala sesuatu. Untuk sebuah sastra profetik yang
terpenting ialah makna bukan semata-mata bentuk, abstrak bukan konkrit, spiritual bukan
empiris, dan yang di dalam bukan yang di permukaan.
Jika kita mengutamakan bentuk dan mengabaikan makna, kita akan terperangkap kepada
permainan retorika dan kreasi yang kurang bermakna. Kita hanya akan jadi pemuja bentuk dan
5
lupa pada pesan moral dan spiritual yang merupakan kewajiban pengarang untuk
menyampaikannya ketengah dunia yang semakin kehilangan makna. Tampaknya sebagaimana
penulis-penulis sufi lainnya, Kuntowijoyo yakin bahwa realitas keseharian atau peristiwa-
peristiwa yang dialami manusia di alam lahir dapat dijadikan tangga naik untuk menyelami alam
yang lebih tinggi tempatnya dalam tingkatan realiti.
Bagi Abdulhadi W.M. (2004:23), sastra profetik dapat juga disebut sebagai sastra sufistik
karena pengalaman yang dipaparkan penulisnya ialah pengalaman transenden seperti ekstase,
kerinduan, dan persatuan mistikal dengan Yang Transenden, Tuhan Allah Swt. Pengalaman itu
berada di atas pengalaman keseharian dan bersifat supralogis.
Bagi Sutardji Calzoum Bachri (1982), puisi yang ideal untuk menyempurnakan kondisi
kemanusiaan dan memulihkan martabat kemanusiaan adalah puisi profetik. Untuk menjelaskan
sastra profetik, Sutardji mengutip pernyataan Rumi dalam pendahuluan Mathnawi: “Aku tidak
menyanyikan Mathnawi agar orang membacanya dan mengulang-ngulangnya, tetapi agar orang
meletakkan buku itu di telapak kaki dan terbang bersamanya. Mathnawi adalah tangga
pendakian menuju kebenaran.” Perjalanan profetik yang dianjurkan Rumi ialah perjalanan dari
diri (yang rendah) ke diri (yang luhur) dari lower self to higher self . Jadi ia merupakan
perjalanan mendaki atau vertikal, bukan perjalanan horisontal, tetapi perjalanan hati menuju
puncak terdalam batin sendiri. Dengan mengikut Rumi, Sutardji mengatakan bahwa semangat
ketuhanan yang ada dalam diri manusia harus diupayakan lahir kembali dan inilah fungsi sastra
sufi.
Puisi sufistik sebagai sastra profetik menurut Sutardji Calzoum Bachri merupakan
perwujudan seorang penyair yang sadar sebagai makhluk spiritual. Sebagai makhluk spiritual
dia selalu berusaha mengungkapkan kerinduannya akan nilai-nilai spiritual demi menciptakan
keutuhan dirinya. Tanpa dimensi spiritual, manusia takkan pernah dapat menyempurnakan
kemanusiaannya. Bahkan Nasr mengatakan bahwa dalam tradisi Islam, puisi yang dipandang
ideal adalah puisi yang di dalam dirinya memadukan estetika, metafisik, dan logika. Dengan
demikian ia bukan saja memberikan keindahan, tetapi juga kebenaran dan memancarkan
kerohanian.
Sastra profetik sebagai sastra sufi bagi Sutardji merupakan perwujudan dari kerinduan
pulang ke akar tradisi, ke akar pandangan yang mendasari kebudayaan masyarakatnya, yang
tasawuf dan agama memainkan peranan penting dengan pengetahuan sakral (scientia sacra) dan
falsafah abadi (perennial philosophy) sebagaimana yang diistilahkan oleh Seyyed Hossein Nasr
dan A. Coomaraswamy.
6
Kuntowojiyo menjelaskan bahwa landasan utama sastra profetik atau sastra profetik
sebagai bagian dari budaya profetik adalah Q.S. Ali Imran ayat 110: “Kalian ialah umat
terbaik yang dilahirkan untuk menyeru kepada kebaikan (amar ma’ruf ) dan mencegah
kemungkaran (nahi mungkar) dan beriman kepada Allah Swt.”. Ayat tersebut menegaskan
bahwa dalam setiap tindakan seorang muslim dimensi sosial dan profetik harus berjalan
bersama-sama seiring sejalan. Kuntowijoyo menafsirkan perkataan amar ma’ruf tersebut
sebagai suatu ikhtiar pemanusiaan (humanisasi) dan nahi mungkar sebagai pembebasan
(liberalisasi) yaitu pembebasan dari keterikatan materialisme dan kezhaliman kuasa dunia,
sedangkan “beriman kepada Allah Swt.” ditafsirkan sebagi ikhtiar transendensi yaitu kenaikan
ke alam profetik atau ketuhanan.
Pengalaman dan penghayataan estetik dalam usaha mencapai Tuhan, termasuk yang
diekpresikan dalam karya sastra, pada puncaknya berimplikasi pada intensitas religiusitas.
Ekspresi religiusitas itu menyentuh dunia spiritual dan profetik. Hal itu dapat dipahami jika
dikaitkan dengan sebuah hadits, "Tuhan itu Maha Indah, dan Dia mencintai keindahan". Adapun
pengalaman estetik bertalian dengan keindahan yang sifatnya spiritual dan supernatural yang
pada klimaksnya akan mampu menghubungkan makhluk dengan Sang Khalik (Al-Ma‟ruf, 1990:
72).
Sastra profetik, sufistik, dan/atau profetik kesemuanya termasuk dalam sastra religius.
Sastra religius merupakan karya sastra percerahan rohani dan medium berkomunikasi antara
manusia/0sastrawan dengan Yang Maha Kuasa. Salah satu tujuan sastra sufi adalah
membawakan pesan pencerahan (enlightenment) dan pesan pengenalan diri (self introductory)
kepada pembacanya. Dengan pencerahan dan pengenalan diri inilah seseorang atau suatu umat
mulai bergerak memperbaiki dirinya.
Sudardi (2001:1) menyatakan bahwa sastra sufistik adalah karya sastra yang di dalamnya
dijabarkan paham-paham, sifat-sifat, dan keyakinan yang diambil dari dunia tasawuf.
Ringkasnya, sastra sufistik adalah karya sastra bermuatan ajaran kesufian. Dilihat dari segi
isinya, menurut
Sudardi (2001: 11) sastra sufistik dibagi menjadi tiga, yakni: (1) Sastra sufistik yang berisi
ajaran atau konsepsi sufistik biasanya dibahas tentang sifat-sifat Tuhan dan asal-usul manusia
dalam hubungannya dengan penciptaan (Jawa: sangkan paraning dumadi: asal ciptaan pada
pusat yang satu, Allah); (2) Sastra sufistik yang berisi ungkapan pengalaman pencarian Tuhan.
Mencari dan menjumpai Tuhan adalah sesuatu yang pelik. Pengalaman itu terkadang tidak dapat
dilukiskan melainkan hanya dengan simbol-simbol. Misal: cerita Dewa Ruci yang mengisahkan
Bima dalam mencari air kehidupan (air pawitra), yang tidak lain simbol pergulatan manusia
7
dalam menemukan hakikat hidup; dan (3) Karya sastra sufistik yang berisi ungkapan kesatuan
dengan Tuhan. Peristiwa itu merupakan sesuatu yang sangat dinanti oleh para sufi. Namun,
peristiwa itu merupakan pengalaman sangat pribadi yang sulit dilukiskan dengan kata-kata.
Pengalaman itu sering dilukiskan dengan simbol atau perumpamaan. Misal: perasaan sufi yang
sangat bahagia ketika berjumpa dengan Tuhan diibaratkan sebagai seseorang yang berhasil
menjumpai kekasihnya yang sudah lama dicarinya.
Religiusitas disebut sebagai inti kualitas hidup manusia, karena ia adalah dimensi yang
berada di dalam lubuk hati, sebagai riak getaran nurani pribadi dan menempas intimitas jiwa
(Mangunwijaya 1988:11-15). Religiusitas dalam karya sastra lebih kepada persoalan individu
sastrawan dalam menghasilkan teks-teks sastra yang kental akan nilai-nilai religi dan profetik.
Religiusitas merupakan kodrat manusia yang paling hakiki. Oleh karena itu, sastra religius
merupakan wujud dari kesadaran profetik seorang sastrawan sebagai hamba-Nya.
3. Kriteria Sastra Profetik
Sudardi (2007:1) menyatakan bahwa sastra sufistik adalah karya sastra yang di dalamnya
dijabarkan paham-paham, sifat-sifat, dan keyakinan yang diambil dari dunia tasawuf.
Ringkasnya, sastra sufistik adalah karya sastra bermuatan ajaran kesufian. Dilihat dari segi
isinya, menurut Sudardi (2001:11) sastra sufistik dibagi menjadi tiga, yakni: (1) Sastra sufistik
yang berisi ajaran atau konsepsi sufistik biasanya dibahas tentang sifat-sifat Tuhan dan asal-usul
manusia dalam hubungannya dengan penciptaan (Jawa: sangkan paraning dumadi: asal ciptaan
pada pusat yang satu, Allah); (2) Sastra sufistik yang berisi ungkapan pengalaman pencarian
Tuhan. Mencari dan menjumpai Tuhan adalah sesuatu yang pelik. Pengalaman itu terkadang
tidak dapat dilukiskan melainkan hanya dengan simbol-simbol. Misal: cerita Dewa Ruci yang
mengisahkan Bima dalam mencari air kehidupan (air pawitra), yang tidak lain simbol
pergulatan manusia dalam menemukan hakikat hidup; dan (3) Karya sastra sufistik yang berisi
ungkapan kesatuan dengan Tuhan. Peristiwa itu merupakan sesuatu yang sangat dinanti oleh
para sufi. Namun, peristiwa itu merupakan pengalaman sangat pribadi yang sulit dilukiskan
dengan kata-kata. Pengalaman itu sering dilukiskan dengan simbol atau perumpamaan. Misal:
perasaan sufi yang sangat bahagia ketika berjumpa dengan Tuhan diibaratkan sebagai seseorang
yang berhasil menjumpai kekasihnya yang sudah lama dicarinya.
Dalam dunia sastra Indonesia, sastra profetik memiliki kedudukan strategis dan penting.
Hal itu berdasarkan alasan antara lain: Pertama, mengingat genre sastra ini memiliki kedalaman
makna yang sangat penting bagi pembaca dalam rangka memperkaya khasanah batinnya
terutama yang berkaitan dengan keilahian (ketauhidan) yang menyadarkan manusia akan hakikat
8
eksistensinya sebagai makhluk dan Tuhan sebagai Sang Khalik. Sastra profetik juga sering
menyampaikan risalah Ilahi yang dibawakan rasul-Nya sehingga disebut pula sebagai sastra
profetik atau pembawa ajaran kenabian. Kedua, genre sastra ini memiliki kekhasan yakni
pengungkapan perasaan religius –bukan ritual keagamaan yang formal-- yang memadukan
dimensi ketuhanan (Ilahiyah) dengan dimensi kemanusiaan (insaniyah). Dua dimensi yang harus
dikembangkan dalam setiap diri manusia yang bertuhan, yang beragama apa pun. Ketiga, sastra
profetik relatif jarang dibicarakan dalam forum ilmiah sastra Indonesia. Padahal genre sastra ini
eksistensinya penting dalam perkembangan sastra Indonesia.
"Pada awal mula, segala sastra adalah religius" (Mangunwijaya, 1982:11), bukan sekedar
ungkapan klise, melainkan mengandung makna yang dalam. Lebih jauh dapat dikatakan,
"Semua sastra yang bernilai literer selalu religius". Religiusitas bukan berarti hanya sekedar
ketaatan ritual, ibadah formal belaka, melainkan lebih dalam dan mendasar dalam pribadi
manusia. Religiusitas lebih melihat pada aspek batin, dimensi "roh" yang ada di lubuk kalbu,
riak getaran nurani pribadi, sikap personal yang sedikit banyak merupakan misteri bagi orang
lain karena menyangkut batiniah. Singkatnya, religiusitas merupakan cita rasa yang mencakup
totalitas (termasuk rasio dan perasaan manusiawi) kedalaman batin si pribadi manusia. Karena
itu, religiusitas lebih dalam daripada agama yang tampak, lahiriah, formal, dan ritual.
Sekedar ilustrasi, jika seorang Muslim melakukan shalat lima waktu, atau menjalankan
puasa Ramadhan, bahkan melaksanakan ibadah haji tiga kali, hal itu bukanlah religius
melainkan sekedar ketaatan formal. Ketika seorang petani miskin dengan diam-diam meletakkan
kayu jati miliknya di area pembangunan masjid tanpa memberikan identitas, semata-mata
memenuhi panggilan jiwa tauhidnya, itulah religius. Seorang pekerja seks komersial (PSK) di
sebuah kompleks lokalisasi saat menjelang shubuh tiba-tiba terbangun karena mendengar suara
adzan. Kebetulan dia mengetahui maknanya. Tiba-tiba dia seolah-olah tersadar dari ”mimpi
buruk” selama ini sehingga hatinya tergerak pergi ke masjid untuk melaksanakan shalat. Setelah
shalat dia merasakan kedamaian dan ketentraman hati. Dia kemudian bertaubat kepada Allah
atas dosa-dosanya selama ini. Itulah peristiwa religius.
Lagu-lagu padang pasir berbahasa Arab yang syairnya menyeru untuk melaksanakan
rukun Islam, itu agamis. Akan tetapi lagu "Tuhan" karya Taufik Ismail yang dilantunkan oleh
Bimbo dengan syahdu dan banyak dinyanyikan pula oleh orang-orang Kristen, Katolik, Islam,
Hindu, dan Kon Fu Tse, itu religius. Atau, lagu-lagu qasidah modern yang dilantunkan oleh
kelompok musik Nasidaria (Semarang) yang menyerukan agar umat manusia melakukan shalat,
zakat, atau puasa dan haji, tidak terasa religius. Akan tetapi ketika ketika kita mendengarkan
9
lagu ”Masih Diberi Waktu” yang disenandungkan oleh Ebiet G. Ade, terasa religiusitas
menyelinap dalam kalbu kita. Terasa ada getaran dalam sanubari kita yang terdalam.
Terasa sekali aspek religiositas pada puisi "Padamu Jua" karya Amir hamzah dan "Doa"
karya Chairil Anwar. Keintiman penyair dengan Tuhan begitu mesra terasa. Keakraban dan
kecintaan kepada Tuhan terasa kental. Tidaklah mengherankan jika menghayati puisi-puisi yang
memiliki kecenderungan sufistik, seolah-olah pembaca diajak mengembara di alam imajinatif
transedental. Abdulhadi W.M. (2004:1; 1989:vi-vii) menyatakan bahwa segi penting dalam
pembicaraan sastra sufistik adalah segi profetiknya. Semangat profetik merupakan segi yang
sentral, pusat bertemunya dimensi sosial dan profetik di dalam penciptaan karya sastra. Dimensi
sosial menunjuk pada kehidupan kemanusiaan yang bersifat profan, sedangkan dimensi profetik
menunjuk pada tujuan kehidupan yang lebih tinggi, kekal, berpuncak pada yang gaib. Dimensi
kedua memberikan kedalaman pada karya, menopangnya dengan nilai-nilai kerohanian,
membuat karya seni bersifat vertikal (simbol hubungan makhluk dengan Sang Khalik).
Sekedar ilustrasi, jika seorang Muslim melakukan shalat lima waktu, atau seorang
Kristiani bersembahyang di gereja, hal itu bukanlah religius melainkan sekedar ketaatan formal.
Itulah sebuah kegiatan ritual keagamaan. Akan tetapi, ketika seorang petani desa pada saat sepi
meletakkan kayu jati miliknya di area pembangunan masjid tanpa memberikan identitas semata-
mata demi memenuhi panggilan jiwa Tauhidnya, itulah religius. Lagu-lagu qasidah atau lagu-
lagu berirama Padang Pasir yang berbahasa Arab yang menyerukan dakwah atau melaksanakan
ajaran Islam, itu agamis. Adapun lagu "Tuhan" karya Taufik Ismail yang dinyanyikan Bimbo,
lagu Ebiet G. Ade ”Hidup IV”, dan puisi ”Pengajuan Dosa” larya Emha Ainun Najib dengan
liriknya yang menyentuh kalbu dan banyak dinyanyikan pula oleh siapa pun dan yang beragama
apa pun, itulah religius. Perhatikan lirik lagu ”Hidup IV” karya Ebiet berikut.
“HIDUP IV”
Ebiet G. Ade
……………………………
Oh hembuskanlah
Nafas iman ke dalam sukma
Agar dapat kuyakini
Hidup dan kehidupan ini
Di gunung kucari kamu
Di sini pun kucari kamu
Di manakah kutemui kamu
Untuk runduk dalam genggamanmu
…………………………….
10
Di lenganmu kutemukan cinta
Di matamu memancar makna
Rindu ini tak tertahankan lagi
Untuk menangis di pangkuanmu
Lirik lagu “Hidup IV” karya Ebiet dan “Wirid Pengakuan Dosa” Abu Nawas tersebut
terasa lebih religius. Artinya, lagu tersebut terasa lebih menyentuh hati dan menggelitik pikiran,
mengelus sukma dan menggetarkan kalbu daripada lagu-lagu berirama gambus yang berbahasa
Arab sekalipun. Kedua lirik lagu di atas juga terasa lebih intens dalam mengekspresikan pesan-
pesan ketauhidan daripada lagu-lagu Nasidaria yang kental dengan pesan-pesan keagamaan.
Perasaan tak berdaya atau merasa kecil di hadapan Tuhan tentu akan mendatangkan
sikap untuk hati-hati dan cermat dalam menjalani kehidupan yang penuh tantangan dan godaan.
Kegalauan hati dan pikiran karena perasaan tak berdaya di hadapan Tuhan juga akan
menimbulkan perasaan takut untuk berbuat kejahatan atau kemaksiatan. Hal itu terlukis dalam
puisi “Sejuta Panorama” karya Hamid Jabbar berikut.
“Sejuta Panorama”
Tuhanku
bukalah segala telingaku
hingga aku mengerti
segala bicara mereka ini
dalam menyelami semesta-Mu
di
si
ni
Tuhanku
aku jadi menggigil
aku makin mengecil
dalam kuasa-Mu
Tuhanku
aku semakin menggigil
dalam sejuta panorama suara
i
n
i
(Hamid Jabbar, 1981:9-11)
Perasaan tak berdaya atau merasa kecil di hadapan Tuhan yang Mahaagung terasa pada
baris //Tuhanku/, /aku jadi mengigil/, /aku makin mengecil/, /dalam kuasa-Mu/.
11
Tentang pentingnya penghambaan dan kebaktian semata-mata hanya kepada Tuhan
(ibadah secara vertikal) dapat disimak antara lain pada lirik lagu ”Unttuk Kita bRenungkan”
karya Ebiet G. Ade.
Amir Hamzah dalam puisinya ”Padamu Jua” melukiskan bagaimana dia mesti pulang
Demikian pula Ebiet G. Ade pada lirik lagu ”Untuk Kita Renungkan” berikut ini.
“Untuk Kita Renungkan”
Ebiet G. Ade
……………………………………………..
Anugerah dan bencana adalah kehendak-Nya
Kita mesti tabah menjalani
Hanya cambuk kecil agar kita sadar
Adalah Dia di atas segalanya
Oh … adalah Dia di atas segalanya
Tuhan pasti telah memperhitungkan
Amal dan dosa yang kita perbuat
Ke manakah lagi kita „kan sembunyi
Hanya kepada-Nya kita kembali
Tak ada yang bakal bisa menjawab
Mari hanya runduk sujud pada-Nya
Taufik Ismail juga mengalunkan perasaan yang sama dalam puisinya berjudul ”Tuhan”.
Hanya saja Taufik Ismail lebih konkret. Mari kita simak puisi ”Tuhan” berikut ini.
”Tuhan”
Tuhan
Tempat aku berteduh
Di mana aku mengeluh
Dengan segala peluh
Tuhan
Tuhan Yang Maha Esa
Tempat aku memuja
Dengan segala dosa
Aku jauh Engkau jauh
Aku dekat Engkau dekat
Hati adalah cermin
Tempat dosa dan pahala berpadu
...............................
Tuhan tempat untuk bersandar, yang mampu memberikan cahaya dan hidayah juga
disampaikan oleh Ramadhan K.H. dalam novelnya Keluarga Permana. Tokoh Permana, yang
imannya lemah, tidak tahan terhadap cobaan hidup yang datang bertubi-tubi, yang klimaksnya
pada meninggalnya Ida, anak gadisnya. Akibatnya dia kehilangan keseimbangan mental. Pada
kondisi demikian kalut, dia membutuhkan secercah cahaya iman sebagai penerang jiwanya
12
yang gelap dan hatinya yang kusut. Hal itu tersirat pada bagian terakhir Keluarga Permana
berikut.
"Akhirnya pada saatnya yang tepat kita sangat memerlukan seekor kunang-
kunang di malam gelap-gelita." (hlm. 170)
5. Simpulan
Berdasarkan analisis di atas dapat dikemukakan simpulan sebagai berikut. (1) Sastra
profetik (sastra profetik) merupakan sastra yang mengekspresikan dimensi Ilahiyah dan
Insaniyah. Dimensi Ilahiyah (perasaan ketuhanan) atau religiusitas yang mengungkapkan
hubungan mesra manusia dengan Tuhan, bukan sekedar ritual peribadatan yang bersifat formal
melainkan lebih pada kedalaman perasaan keagamaan. Dimensi insaniyah (perasaan
seperjuangan dan empati kepada sesama manusia) untuk saling berbagi dan menyayangi; (2)
Kriteria sastra profetik meliputi paling tidak tiga hal yakni sastra yang mengungkapkan: (a)
ajaran atau konsepsi sufistik biasanya dibahas tentang sifat-sifat Tuhan dan asal-usul manusia
dalam hubungannya dengan penciptaan; (b) pengalaman pencarian Tuhan; mencari dan
menjumpai Tuhan adalah sesuatu yang pelik; pengalaman itu terkadang tidak dapat dilukiskan
melainkan hanya dengan simbol-simbol; (c) pengalaman kesatuan dengan Tuhan; peristiwa itu
merupakan sesuatu yang sangat dinanti oleh para sufi; pengalaman sangat pribadi yang sulit
dilukiskan dengan kata-kata.
Daftar Pustaka
Al-Ma‟ruf, Ali Imron. 1990. "Dialog Religius dalam sajak 'Nyala Cintamu' Karya Anshari
(Persia)
dan Sajak Anak Laut, Anak Angin' karya Abdulhadi W.M." dalam Jurnal Rethoric,
Nomor
1 Tahun 1990.
_______. 2008. Dimensi Sosial Keagamaan dalam Fiksi Indonesia Modern. Surakarta:
SmartMedia
Aminuddin, M. 1987. Pengantar Apresiasi Sastra. Bandung: Sinar Baru dan Malang: YA3.
Hamzah, Amir. 1977. Buah Rindu. (Cetakan Kelima). Jakarta: PT Dian Rakyat.
Jassin, H.B. 1978. Al-Qur'anul Karim: Bacaan Mulia. Jakarta: PD Djambatan.
Iqbal, Muhammad. 1982. Membangun Kembali Pikiran Agama dalam Islam. (Penerjemah: Ali
Audh dkk). Jakarta: Tintamas.
Mangunwijayam Y.B. 1982. Sastra dan Religiousitas. Jakarta: Sinar Harapan
Kuntowijoyo. 1982. “Essai Saya Kira Kita Memerlukan Juga Sebuah Sastra Profetik”.
13
Makalah dalam Temu Sastra tahun 1982 di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta.
Sudardi, Bani. 2001. Tonggak-Tonggak Sastra Sufistik Indonesia Petualangan Batin Manusia
Indonesia Sepanjang Zaman. Surakarta: Sebelas Maret University Press.
W.M., Abdulhadi. 2004. Sastra Sufi. Jakarta: Pustaka Firdaus.
_____. 1989. "Semangat Profetik dalam Sastra Sufi dan Jejaknya dalam Sastra Modern" dalam
Horison Nomor 6, Juni 1988.
_____. 1999. Kembali ke Akar Kembali ke Tradisi Esai-esai Sastra Profetik dan Sufistik.
Jakarta: Pustaka Firdaus.
ooOoo