Upload
penerbit-matahari
View
256
Download
3
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Â
Citation preview
5
SEKARANG...1 Muharram 1435 H/ 5 November 2013
Tiap bulan Sura, sambutlah Kumara,
yang sudah terlihat menebus dosanya, di
hadapan Yang Maha Kuasa.
Masih muda sudah dipanggil orangtua,
warisannya Gatotkaca sejuta.
Ludahnya ludah api, ucapannya sakti, yang
membantah pasti mati.
Pada mulanya, segalanya kosong. Hingga mata yang terpejam
perlahan-lahan terbuka. Saat kesadaran berangsur kembali,
kudapati diriku terhuyung-huyung. Setelah bangkit pun,
aku hanya berdiri mematung, bagai orang linglung. Sesaat
hilang ingatan, aku mencoba mengingat apa yang baru
terjadi. Samar-samar, bayangan beberapa detik sebelum
SATRIO PNINGIT EDIT BUDHI OK.indd 5 18/03/2014 12:29:58
6
kejadian mengerjap dalam benakku. Potongan-potongan
memori berlesatan di dalam kepalaku. Gadis kecil cantik
berkuncir dua tertawa menggamit tangan hangat ibunya. Ayah
memanggul putra yang ceria, didudukkan di tengkuknya. Dua
sejoli bertukar tatapan saling mencinta. Ribuan pengunjung
menonton pertunjukan meriah di tempat lapang terbuka.
Pesta rakyat! Pesta ceria bagi semua orang! Perhelatan akbar
yang semestinya menjadikan semua yang mengunjungi larut
dalam kegembiraan....
Tapi mendadak, semua terenggut! Dalam satu gelombang
kejut! Dan aku terlempar!
Kepalaku berpusing. Denyutnya membuatku pening.
Aku mencoba bertahan tidak limbung, namun kedua kakiku
gemetar, nyaris tak kuasa menopang. Aku bahkan tak dapat
merasakan kakiku ada! Dan telingaku mendadak seperti
kedap suara! Aku berseru, tapi tidak terdengar! Kulihat
orang menjerit, tapi hanya hampa yang terlontar dari bibir
yang bersandiwara. Lalu datang gelombang dan segalanya
jadi gelap! Aku meraba-raba dalam kepulan pekat, mencari
pegangan. Terbatuk-batuk dalam lautan asap menyesakkan,
kakiku terantuk sesuatu. Terjerembap, kujatuh terduduk.
Perlahan kebul memudar… Seiring angin menggiring...
Campur aduk kurasakan. Beribuan pertanyaan. Kecamuk
ini tak dapat kulukiskan. Hati ini tidak tenang. Bukan gelisah
yang membuat perut keras mengejan. Ada sesuatu yang
salah. Ada yang belum datang! Ya, aku tahu... Semestinya
memang aku bersyukur, karena aku selamat! Tapi, tidak!
SATRIO PNINGIT EDIT BUDHI OK.indd 6 18/03/2014 12:29:59
7
Untuk menghela napas lega, masih terlalu cepat! Keadaan
gawat itu belum lewat!
Desau angin dingin yang lewat menusuk tulang meng-
gidikkan kuduk, bagai mengisyaratkan, badai memang belum
selesai! Hanya reda yang berjeda. Gemuruh menggentar
langit. Deru angin yang lewat mengibar kembali pucuk-pucuk
bendera, menerbangkan bau bakar, bagai mengabarkan,
lanjutan mencekam dari drama ini masih ada. Spanduk itu
tak hendak bergoyang, hanya pasrah diombang-ambingkan,
lemah bergelombang. Umbul-umbul berkelebat. Aku ber-
geming, tercekat.
Desir semilir yang menjauh masih terdengar lirih.
Sementara awan mendung hitam tebal bergulung-gulung
menggayut dalam senyap di langit yang hampir hujan,
berarak di rentang jarak. Merayap, lamban mendekat, tapi
belum hendak turun, hanya menambah getir suasana yang
beraroma darah anyir. Perubahan aliran udara menyengat
pembuluh kewaspadaanku. Refleks, saat sebuah tangan terulur
dari belakang dan menepuk bahuku, aku berjengit, menoleh!
“Kau tak apa-apa?” Orang itu berseru di dalam deru.
“APAAA?!… Oh, maaf! Terima kasih... Aku tidak
apa-apa, tapi orang-orang di sana…”
“Mereka bergeletakan di mana-mana! Ya, Tuhaaan!”
Mendadak kupingku yang semula seperti tersumpal
kembali dapat mendengar. Seperti tuli kala pesawat terbang
melesat, hingga mendaki ketinggian ribuan kaki, lalu… PLOP!
Aku menelan ludah! Dan sumbat pun pecah! Gangguan
pendengaran selama beberapa detik adalah imbas dari hempas
SATRIO PNINGIT EDIT BUDHI OK.indd 7 18/03/2014 12:29:59
8
suara dentuman dahsyat dari jarak cukup dekat! Beruntung,
tubuhku saat itu terlindungi pilar. Meski denyar terasa nyeri
dan dengung dalam kepala tak berhenti berdenging, sepasang
indraku tak sampai rusak karenanya. Kini dunia kembali
bersuara. Dan mendadak, jadi riuh sekali kedengarannya!
“Pak Gubernur…! Di mana Bapak Gubernur?! Apakah
beliau selamat?”
Lelaki berseragam putih tenaga medis itu berlari me-
ninggalkanku, bergabung dengan teman-temannya yang
sibuk menolong berjatuhan korban jiwa dan terluka. Lima
perwira tentara sigap menghalau warga yang berjejalan,
berdesakan, melongok penasaran dari pembatas terluar,
memaksa menghambur masuk. Satpol PP dan polisi turut
menghalangi agar pengunjung tidak mendekat. Tampak jelas
kecemasan warga mengkhawatirkan keselamatan pemimpin
ibukota yang bersahaja.
Lengkingan sirine yang meraung-raung menyayat udara
parau. Kepulan asap tebal masih menggumpal dari balik
reruntuhan bangunan utama di tengah lapang yang hancur
lebur, porak poranda, luluh lantak oleh guncang ledakan
sebuah megabom dalam skala besar tak terkira! Sangat
dahsyat! Aku langsung menandai…
Ini pasti ulahnya! Ini pemenuhan sabdanya yang gagal!
Akhirnya terlaksana juga…
Inikah... BRAHMASTRA?!… Inikah... BHARADAH
KEDUA?!!
Bangsat! Bajingan! Biadab! Bahkan setan pun tidak
sekeji ini! Makiku di dalam hati! Tapi aku sadar, tak ada
SATRIO PNINGIT EDIT BUDHI OK.indd 8 18/03/2014 12:29:59
9
gunanya merutuk dan menyerapah. Sudah jelas! Kami telah
kecolongan! Kali ini kami gagal mencegah amuk prahara
yang berkobar dan menggila di puncak pementasannya!
Jerit dan tangis begitu pilu, menyayat, memekakkan telinga.
Tajam mengoyak sembilu yang tercacah hingga kelu. Di
tengah hiruk-pihuk dan pekik orang-orang kalut mencari
kerabat atau siapa saja yang dikenalnya, aku memperhatikan
seliweran wajah-wajah panik, berlari berserabutan. Segalanya
kacau balau! Semuanya karut marut! Sekusut gumpal benang
tebal semrawut.
Ratusan jasad bergelimpangan, beberapa tidak utuh lagi.
Serpihan kulit tersebar, potongan anggota badan tergolek dan
berserakan. Darah segar lagi kental berceceran, bermuncratan,
hingga bercipratan di jalan, di gundukan puing, di mana-mana!
Sungguh pemandangan yang mengiris hati. Aku menatap
pakaianku sendiri. Terkoyak dan compang-camping, baju
dan celana sobek jadi perca. Meski selamat dari lesatan
gotri, paku, baut, dan entah apalagi isi perut bom laknat
itu, tak ayal tubuhku penuh goresan di sana-sini, bak
tercabik-cabik, walau hanya disebabkan oleh hawa panas
gelombang ledakan! Sungguh bukan main, gelar aksi orang
gila itu, kali ini!
Aku mendengus lewat hidung, menghela napas berat.
Kulit masih terasa panas terbakar. Menyaksikan sekeliling,
aku berusaha mencerna kembali yang terjadi, sambil merunut
barangkali ada selintas hal yang terlihat tapi kulewatkan.
Sesuatu yang bisa menjadi kelumit petunjuk...
Sampai kapan?!...
SATRIO PNINGIT EDIT BUDHI OK.indd 9 18/03/2014 12:29:59
10
Sampai kapan kegilaan dan teror keji ini baru berakhir?
Sampai kapan sandiwara degil ini dipentaskan? Apakah
sampai kau puas bermain?... HAHHH?!!... Ataukah sampai
mimpi di siang bolongmu terwujud?!... Sampai cita-cita
sintingmu tercapai?!
Terus terang, aku lelah! Sungguh, amat sangat lelah!
Semuanya juga pasti sudah lelah…
Tapi cerita ini belum berakhir…[]
*
SATRIO PNINGIT EDIT BUDHI OK.indd 10 18/03/2014 12:29:59
11
KILAS BALIK...27 November 2009 13:50 WIB
SEPULUH menit. Hanya itu sisa waktu yang mereka miliki.
Tik! Jam digital itu berganti menit. Dua digit detiknya terus
berlari. Ditingkah detak jantung berdebar kencang, degup
gugup naluri memacu cepat adrenalin, menyembur deras
dalam denyut kalut pembuluh nadi.
Derap langkah demi langkah susul-menyusul berebut
menuruni tangga batu, mengejar milidetik meluncur laju.
Hitung mundur bergulir! Sisa sembilan menit lagi!
Drang! Drang! Drang! Brang!!!
Gerendel itu pun hancur dirusak popor senapan. Rantai
besi bergembok yang menjerat gerbang menuju lorong terbawah
bangunan tua itu direnggut, urai cepat, lepas, terbuka!
“Cari! Berpencar!! Temukan!!!”
Gaung seruan itu memekik, memecahkan sunyi. Bunyi
tapak-tapak langkah di atas kecipak menyebar, menjauh,
SATRIO PNINGIT EDIT BUDHI OK.indd 11 18/03/2014 12:29:59
12
berlari, menyusuri kelam suram penjara bawah tanah yang
menyimpan beribu kisah pilu korban pembantaian dan
kebiadaban yang jauh dari manusiawi, lebih setengah abad
lalu, di sini!
Penjara bawah tanah itu sejatinya adalah bekas saluran
pembuangan air, terletak di dasar gedung bersejarah bertingkat
tiga peninggalan pemerintah kolonial Belanda. Bangunan yang
angker dan bergeming angkuh di simpang kota itu adalah
saksi bisu kekejaman tentara penjajah Jepang, sekaligus aksi
heroik dan patriotik para pemuda dan pejuang Indonesia.
Dinding lorong yang sempit dan langit-langit rendah
terasa menghimpit. Satu regu kecil pasukan elit menyebar
dalam perut bumi, mengabaikan kuduk yang bergidik ngeri.
Dalam ilusi, mereka bagai tengah berhadapan dengan ratusan
makhluk gaib yang bersarang di sana. Setan penasaran,
lelembut, hantu jejadian, memedi, arwah gentayangan,
penampakan bayangan.
Tidak! Kini bukan waktunya untuk takut pada sesuatu
yang semestinya sudah mati. Justru, sudah tidak ada waktu
lagi! Jika mereka gagal mengemban misi, akan jatuh korban
lebih banyak lagi. Nasib semua orang, bahkan penduduk
dari seluruh negeri, kini bergantung pada mereka yang ada
di bawah sini, saat ini! Jika hidup terlalu berharga untuk
diakhiri, dan peluang bertahan hidup dalam sempitnya waktu
menjadi begitu berarti, maka ini saatnya berjudi dengan
waktu, bertaruh untuk bertahan tetap hidup... Atau mati!
Delapan menit lagi, atau tak ada esok hari.
“Di siniiii!!”
SATRIO PNINGIT EDIT BUDHI OK.indd 12 18/03/2014 12:29:59
13
Spontan, anggota pasukan khusus lainnya yang
tengah berjibaku dengan kegelapan berhenti dan tergopoh
menghampiri sumber seruan. Lima orang tiba nyaris
bertabrakan. Kelimanya berkerumun di depan salah satu
sel jongkok setinggi satu meter yang pengap, becek, lembap,
digenangi air keruh yang berbau busuk tajam oleh bangkai
tikus teronggok di sudut. Aroma anyir darah peninggalan
kesadisan masa silam bagai turut tercium, bercampur
mengocok perut, bergolak menjadi satu.
Seperti sang pemanggil, yang lain pun turut menggigil.
Di hadapan mereka kini, sebuah peti mati terbuat dari kayu
jati teronggok dalam remang seram, bergeming dalam bisu di
pojok ruang! Dalam hening yang mencekam, bunyi detikan
itu nyaring menggema di seantero dinding lapuk bawah
bumi. Merayap jauh hingga ke lubuk hati, menggetarkan
tiap lapis membran tipis sanubari.
Tinggal tujuh menit sepuluh detik waktu yang mereka
miliki. Dua orang mengerahkan tenaga untuk menyingkirkan
tutup peti yang berat hingga tersibak. Terbaring dalam peti,
dua buah tabung lonjong dan besar berketinggian orang
dewasa, dengan rangkaian kabel ruwet melilit, memangku
kotak hitam berjendela yang memendarkan pulas warna merah
darah, dari empat digit angka penunjuk waktu tersisa…
06:59
Menuju tamat riwayat Republik Indonesia![]
*
SATRIO PNINGIT EDIT BUDHI OK.indd 13 18/03/2014 12:29:59
14
Indonesia bersiaga menyambut pesta akbar di panggung politik bangsa.
Tatkala negara bersiap menyongsong suksesi kepemimpinan yang niscaya,
Di saat itu pula memuncak pementasan gelombang prahara!
Ini adalah kisah tentang tujuh pemuda ksatria,yang bersahabat dan pernah saling bersumpah
Satya Bela Negara.Saat negara berada di ambang malapetaka,
mereka akan bangkit untuk membela!Beranjak dari impian dan cita-cita mulia,
dari kelompok bermain masa kecil, lahirlah sebuah Saga!
SAPTA SATRIA BANGKIT NO-TO-NO-GO-RO!MUNCULNYA SATRIO PININGIT
SETELAH GORO-GORO!
SATRIO PNINGIT EDIT BUDHI OK.indd 14 18/03/2014 12:29:59
15
PURWACARITA
Awal Mei 2009. Museum Radya Pustaka, Surakarta, gempar!
Tak kurang dari 42 naskah kuno dipastikan hilang dari
museum paling tua di Indonesia itu. Adalah Nancy K.
Florida, anggota tim pembuatan mikrofilm dari lembaga
pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan Perserikatan
Bangsa-Bangsa, UNESCO, yang 25 tahun silam datang ke
museum itu untuk meneliti lalu membuat daftar koleksi naskah
kuno warisan budaya luhur para leluhur bangsa. Museum
yang mulai dibangun 28 Oktober 1890 oleh Kanjeng Adipati
Sosroningrat IV, pepatih dalem pemerintahan Pakubuwono
IX dan X itu, diresmikan pembukaannya setelah Indonesia
merdeka oleh Presiden Soekarno pada 11 November 1953.
Ketika Nancy berkunjung kembali pada Februari 2009, ia
menyempatkan untuk melakukan inventarisasi dan verifikasi.
Tak dinyana, setelah dilakukan cross-check data dengan
petugas perpustakaan, banyak karya agung pujangga itu yang
SATRIO PNINGIT EDIT BUDHI OK.indd 15 18/03/2014 12:29:59
16
raib, tak tentu rimbanya! Entah terselip, tercecer, dipinjam,
atau dicuri! Maka diusutlah perkara itu oleh polisi. Di
antara karya agung yang tak terhingga nilainya dan turut
menghilang adalah naskah tulisan tangan asli dari pujangga
besar keraton Surakarta, Raden Ngabehi Ronggowarsito1.
Naskah versi adaptasi dari Kakawin Bharatayudha adikarya
Mpu Panuluh dan Mpu Sedah dari zaman kejayaan Prabu
Jayabaya, Raja Kediri abad ke-12, itu penuh dengan ilustrasi
dan beriluminasi prada emas!
Ternyata pencurian itu bukanlah kasus yang pertama.
Jika sebuah patung dapat menangis, patung dada Ronggo-
warsito yang dipajang di halaman museum itu mungkin
akan menjerit sekeras-kerasnya, tatkala pada 2007 menjadi
saksi bisu dipalsukannya lima buah arca klasik, dan yang
asli dicuri. Kelak diketahui, pencurian itu merupakan hasil
konspirasi dari “orang dalam” museum dengan pialang
tenar serta agen barang antik. Lima arca utama yang hilang
adalah Ciwa Mahadewa, Durga Mahisasuramardhini, Durga
Mahisasuramardhini II, Agastya, dan Mahakala. Meski
kelimanya berhasil ditemukan kembali dan dapat diselamatkan
oleh anak bangsa yang peduli, dibeli dari tangan kurator
asing di balai lelang Amsterdam, Belanda, apa yang terjadi
1 Raden Ngabehi Ronggowarsito bernama asli Bagus Burham. Putra Raden Mas Pajangswara ini adalah pujangga besar Keraton Surakarta abad ke-19. Sebagai cucu kandung Yosodipuro II, tokoh pujangga generasi sebelumnya, Ronggowarsito aktif menulis beragam karya abadi yang sarat nilai humaniora, dari falsafah, sejarah, lakon wayang, primbon, kisah raja-raja, ilmu kebatinan, dongeng, syair, adat kesusilaan, hingga serat-serat yang konon mengandung ramalan masa depan negara yang kini dinamakan Indonesia. Karyanya yang terkenal antara lain adalah Serat Kalatidha, Jayabaya, Joko Lodhang, Sabdatama, Sabdajati, Paramayoga, Nitisruti, Candrarini, Cemporet, dan Pustaka Raja.
SATRIO PNINGIT EDIT BUDHI OK.indd 16 18/03/2014 12:29:59
17
pada arca tersebut sebelum kembali, mungkin tak ada yang
benar-benar mengetahui.
Hanya bergelintir orang yang memiliki mata batin yang
lebih jernih dapat awas menyadari, dua kejadian di tempat
yang sama pada waktu yang berbeda, pencurian naskah serta
arca kuno, itu adalah percik pemicu rentetan kegemparan
yang akan mengguncang Tanah Air dalam waktu tidak
lama lagi! Fajar merah berdarah pun menyingsing di ufuk
timur. Tirai kisah ini perlahan tersibak.[]
*
SATRIO PNINGIT EDIT BUDHI OK.indd 17 18/03/2014 12:29:59
18
PAMBUKANINGGAPURA 1986
“Aku cinta… kamu cinta… semua cinta… buatan
Indonesia…”
Lamat-lamat, terdengar alunan nada dari luar kamar yang
penuh dengan mainan berserakan. Suara merdu kelompok
musik Bimbo membuka acara Apresiasi Film Nasional di
stasiun televisi kebanggaan dan satu-satunya milik pemerintah,
Televisi Republik Indonesia (TVRI).
Siaran warta tiga puluh menit itu, Dunia Dalam Berita,
baru saja usai. Jam dinding bundar bergambar Semar
tambun, bertengger tenang dan anggun. Bilah jarum yang
diserupakan sepasang tangan Ki Lurah Badranaya itu yang
panjang tepat menunjuk arah bawah dan yang pendek
menuding ke kiri sedikit ke atas. Pukul dua puluh satu
lewat tiga puluh menit.
SATRIO PNINGIT EDIT BUDHI OK.indd 18 18/03/2014 12:29:59
19
Tirai merah tebal di panggung perlahan terbelah kian
melebar. Laki-laki lanjut usia bertubuh kurus tinggi itu
menguap kemudian bangkit beringsut dari sofa tua butut.
Tertatih-tatih ia berjalan bertumpu tongkat mendekati
boks berlayar hitam-putih. Diputarnya kenop ke kiri dan
mematikan televisi. Dia menghampiri pintu kamar setengah
terbuka. Lampu di dalam kamar itu masih terang menyala.
“Jadi, Nak, sudah siap untuk mendengarkan kisah baru
lagi malam ini?”
“Oh! Iya donk! Siapppp, Eyang!”
Bocah lelaki tampan, gemuk, sehat, dan berkulit putih
bersih itu tersenyum lebar, tatapannya polos berbinar,
kepala mengangguk semangat! Spontan dilemparkannya
kepingan-kepingan Lego hingga berserakan di lantai marmer.
Melompat sigap ke atas kasur berseprai warna biru muda,
ditariknya selimut tebal ke atas pangkuan. Duduk bersila,
dada anak kecil berusia sepuluh tahun itu bergemuruh
kencang, menanti lanjutan dongeng sang kakek yang selalu
mampu menakjubkannya!
Wajah tirus, mata sipit, dengan sorot teduh ramah itu
mendekati kasur, mengulas senyum tipis di bibir hangat
yang tak sepucat kerut garis tua di raut senjanya. Sejumput
rambut putih menyembul dari balik topi pet lusuh kelabu
yang baru saja dilepas dari kepala lelaki berusia tujuh puluh
tahun itu. Sejenak, topi kumal itu ditepuk-tepuk sebelum
diletakkan di atas bantal. Tongkat disandarkan di sebelah
dipan. Laki-laki renta menyisir gemetar rambut jarang ke
belakang, lalu duduk di hadapan anak kecil bersenyum lebar
SATRIO PNINGIT EDIT BUDHI OK.indd 19 18/03/2014 12:29:59
20
terkembang, sambil mengusap lembut rambut berponi lebat
dengan penuh curah kasih sayang.
“Hari ini kita akan berkenalan dengan Abimanyu! Kau
tahu siapa itu, Abimanyu?”
“Putra kesayangan Arjuna, Eyang!”
“ANAK PINTAR!!! Bagaimana kamu tahu?”
Si bocah menyeringai dengan lebarnya. Dia memang
menggemari kisah wayang.
“Kau benar, Nak! Abimanyu adalah putra dari Raden
Arjuna dengan Dewi Wara Subadra alias Rara Ireng, yang
tak lain adalah adik kandung Prabu Kresna, Raja Dwarawati
yang menjadi penasihat Pandawa dalam perang Bharatayudha.
Sesuai namanya, ‘abhi’ dalam bahasa Sansekerta bermakna
‘berani’, ‘man’yu’ artinya ‘tabiat’. Watak Abimanyu pemberani,
tapi juga halus, baik tingkah laku dan budi bahasa, terang
dalam ucapan, berhati keras, besar tanggung jawab dan
tak pernah gentar atau takut. Abimanyu mewarisi tak
hanya kecakapan raga, tapi juga olah keprajuritan dan ilmu
kanuragan dari ayahnya. Dia juga dididik kebijaksanaan
dan seni ketatanegaraan oleh pamannya, Sri Kresna, serta
digembleng dalam olah kebatinan oleh kakeknya, Begawan
Abiyasa alias Kresna Dwipayana.”
“Kenapa Kakek ingin bercerita tentang Abimanyu?”
“Karena dia seorang pemuda istimewa! Seperti kamu!
Abimanyu walau masih amat muda dikagumi lantaran
keberanian dan kesetiaannya kepada Tanah Air. Segala
kecintaan dan baktinya tercurah kepada keluarga Pandawa.
Sejak masih dalam kandungan ibunya, Abimanyu telah
SATRIO PNINGIT EDIT BUDHI OK.indd 20 18/03/2014 12:29:59
21
dianugerahi Wahyu Hidayat oleh Dewata, yang membuatnya
mampu memahami segala hal dengan mudah. Pada usia
remaja, berkat kecerdasan yang di atas rata-rata dan
kesungguhannya dalam bertapa brata, Abimanyu ‘kejatuhan’
Wahyu Makutha Raja sekaligus Wahyu Cakraningrat, yang
seolah menegaskan bahwa hanya dari garis keturunannyalah
kelak dilahirkan raja-raja besar, penerus takhta kerajaan
agung leluhur: HASTINAPURA!!!”[]
*
SATRIO PNINGIT EDIT BUDHI OK.indd 21 18/03/2014 12:29:59
22
EKA
Mangkya darajating praja, kawuryan wus sunyaruriRurah pangrehing ukara, karana tanpa palupi
Atilar silastuti, sujana sarjana keluKalulun Kala Tidha, tidhem tandhaning dumadi
Ardeyengrat dene karoban rubeda
Keadaan negara waktu sekarang sudah semakin merosotSegalanya rusak karena tak ada yang dapat dijadikan panutan
Banyak orang meninggalkan petuah atau aturan lamaCerdik cendekia terbawa arus zaman Kala Tidha
Dunia mencekam penuh keraguan serta kerepotan
(Serat Kalatidha, Pupuh Sinom 1)
SATRIO PNINGIT EDIT BUDHI OK.indd 22 18/03/2014 12:29:59
23
NO
Mula den titenana, Samangsa tanah Jawa mengku, ratu wis ora bapaTitikane nganggo kethu bengi, asesirih Ratu Bengi
Pangapesane perempuan ayu ngiwi-iwi Ajejuluk sarwo agung edi
Karena itu simak dan perhatikanlah,Saat tanah Jawa mempunyai raja tak berayah,
tandanya memakai peci malam, bergelar Raja Malam,kelemahannya perempuan cantik yang merayu-rayu,
bergelar serba agung dan mulia…
(Jangka Jayabaya, bait 120)
SATRIO PNINGIT EDIT BUDHI OK.indd 23 18/03/2014 12:29:59