Upload
ridwan-rachid
View
231
Download
5
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Satu Abad Artikulasi Politik Muhammadiyah
Citation preview
Satu Abad Artikulasi Politik Muhammadiyah1
Oleh Sumarno2
Pendahuluan
Ketika menyampaikan khotbah iftitah saat membuka Muktamar Setengah Abad
Muhammadiyah di Jakarta, 21-25 November 1962, Ketua PP Muhammadiyah saat itu, H.M.
Junus Anies antara lain menyatakan:
“Muhammadiyah bukan dan tidak akan menjadi partai politik. Sekali Muhammadiyah tetap Muhammadiyah, selalu melakukan amar ma`ruf dan nahi mungkar untuk kebaikan masyarakat seluruhnya. Kata orang: 'Kalau demikian Muhammadiyah tentu akan dimakan oleh politik sebagaimana kata-kata politikus. Sambutan kami: silahkan kalau memang doyan; tetapi awas kalau nanti kelolodan, ditelan tidak masuk, dilepeh tidak keluar."3
Setengah abad kemudian, menjelang Muktamar Satu Abad Muhammadiyah di Yogyakarta
tahun 2010, Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin menyatakan:
”Bagi Muhammadiyah, terjun dalam ranah politik praktis mustahil. Sebaliknya, meninggalkan politik secara totalitas juga dirasakan berbahaya. Muhammadiyah tidak mungkin allout meninggalkan politik. Sebab, Islam sendiri bersifat universal yang mencakup segala aspek: ekonomi, politik, sosial, dan sebagainya. Kendati demikian, ada sejumlah kendala jika politik ditarik ke ranah nyata. Satu-satunya cara yang strategis adalah menerapkan politik adilihung. Itulah yang tepat bagi Muhammadiyah. Sepanjang sejarah berdirinya hingga sekarang, Muhammadiyah tidak lepas dari dunia politik.”4
Apa yang bisa disimpulkan dari pernyataan dua tokoh puncak Muhammadiyah dari dua
generasi yang berbeda itu? Kedua pernyataan itu substansinya sama: Muhammadiyah bukan
organisasi politik tetapi tidak berwatak apolitis. Sejak awal didirikan oleh KH Ahmad Dahlan
1 Untuk sebuah tulisan singkat, judul ini terkesan bombastis. Pemberian judul ini sebenarnya lebih merujuk pada momentum penulisan buku ini yang didedikasikan untuk Muktamar Satu Abad Muhammadiyah tahun 2010 di Yogyakarta.
2 Dosen Jurusan Ilmu Politik FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Peneliti Politik The Habibie Center (THC), Anggota KPU DKI Jakarta dan mantan anggota Pokja Partisipasi Politik Perempuan di Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan.
3 Asep Purnama Bahtiar, “Bandul Politik Muhammadiyah.” Pernyataan Ketua PP Muhammadiyah (1959-1962) HM Junus Anies itu disampaikan di tengah tarikan kepentingan politik dan ideologi berbagai kekuatan politik di era 1960-an yang dirasakan membahayakan khittah Muhammadiyah saat itu.
4 “Din: Muhammadiyah Kembangkan Politik Adiluhung ,” www.hidayatullah.com. Pernyataan Din Syamsuddin itu disampaikan saat menjadi keynote speaker dalam seminar nasional “Membangun Konstruksi Ideal Relasi Muhammadiyah dengan Politik,” di gedung PWM Jawa Timur Selasa, (16/3/2010), dalam rangkaian menyambut Muktamar Satu Abad Muhammadiyah.
1
pada 18 November 1912, Muhammadiyah memang tidak pernah didesain sebagai organisasi
politik yang akan terlibat dalam pergumulan mengejar-ngejar kekuasaan (struggle for power)
dan aneka kedudukan dalam pemerintahan, sebagaimana partai politik.5 Namun, sebagai
gerakan da’wah amar ma’ruf nahi munkar yang bergerak di tengah-tengah masyarakat dan
sebagai organisasi massa yang menaungi jutaan umat, ribuan amal usaha di bidang
pendidikan, kesehatan, sosial dan sebagainya, Muhammadiyah tidak mungkin
menghindarkan diri dari konstalasi politik nasional dan aneka problema kebangsaan dan
kenegaraan, baik dalam bentuk diskursus pemikiran politik maupun pertautan dengan
aktivitas politik. 6
Itulah sebabnya, dalam lintasan sejarahnya yang kini memasuki satu abad, Muhammadiyah
mencoba mengartikulasikan aspirasi politiknya dengan berbagai model sesuai dengan
dinamika jamannya: dari yang bercorak defensif, akomodatif, sampai yang kritis-kooperatif.
Setiap pimpinan Muhammadiyah memiliki gaya tersendiri dalam memimpin dan
mengartikulasikan aspirasi politik persyarikatan sesuai dengan tuntutan jaman yang
dihadapinya. Namun pada umumnya mereka memiliki sikap yang tidak berhadapan secara
diametral dengan pemerintah. Meskipun demikian bukan berarti Muhammadiyah selalu
beraliansi dengan penguasa. Bahkan tidak jarang mengambil sikap tegas terhadap kebijakan
pemerintah jika hal itu dirasakan bertentangan dengan keyakinan dan ideologi
Muhammadiyah serta nurani kebangsaan. Hal itu menunjukkan meskipun bukan sebagai
organisasi politik, Muhammdiyah tidak bisa menghindarkan diri dari pasang surut kancah
perpolitikan nasional.
5 Dalam berbagai dokumen resmi Muhammadiyah dan pernyataan para tokoh Muhammadiyah (meskipun dengan redaksional yang berbeda) secara konsisten disebutkan Muhammadiyah adalah gerakan dakwah amar ma’ruf nahi mungkar yang berobsesi mewujudkan masayarakat Islam yang sebenar-benarnya.
6 Diskursus pemikiran tentang Islam dan masalah kenegaraan misalnya dapat ditemukan dalam paparan tokoh Muhammadiyah, Abdul Kahar Muzakir yang bertajuk "Konsepsi Negara Islam" tahun 1955. Abdul Kahar Muzakir menyampaikan presentasi tersebut dalam Sidang Tanwir Muhammadiyah tahun 1955 di Pekalongan. "Konsepsi Negara Islam" tersebut pada mulanya berasal dari mandat Muktamar Muhammadiyah ke-32 tahun 1953 di Purwokerto, di mana para muktamirin mendesak agar Muhammadlyah mempunyai konsepsi negara Islam. Pimpinan Pusat Muhammadiyah kemudian membentuk tim yang ditugaskan untuk menyusun masalah tersebut yang kemudian disempurnakan oleh Abdul Kahar Muzakir, tokoh Muhammadiyah yang juga salah seorang anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) (Lihat Syaifullah, “Nalar Negara dan Aktualisasinya: Versi Kyai Haji Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah,” makalah yang dipresentasikan dalam Kajian Tematik III Muhammadiyah di Tengah Pusaran Politik Nasional (kasus pemilu dan pilkada) oleh Lembaga Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah di Universitas Muhammadiyah Magelang tanggal 9 Agustus 2008.)
2
Tulisan ini secara singkat akan menelusuri peran kesejarahan artikulasi politik
Muhammadiyah dari masa ke masa dan kemudian mencoba menariknya sampai era
kontemporer saat ini. Penelusuran akan dibagi dalam beberapa fase yang memiliki
karakteristik artikulasi yang berbeda-beda.
Gerakan Kemerdekaan
Meskipun bukan sebagai organisasi politik, sejak awal berdirinya, Muhammadiyah telah
menunjukkan sikapnya yang tidak alergi terhadap politik. Pendiri Muhammadiyah, KH A
Dahlan (1868-1923), pernah menjadi anggota dan penasehat Syarikat Islam (SI) dan Boedi
Oetomo, meskipun ia tidak berminat menjadi tokoh penting gerakan politik itu karena lebih
memfokuskan untuk membesarkan Muhammadiyah. Pada tahun 1922, SI yang diwakili
H.O.S. Cokroaminoto dan Muhammadiyah yang diwakili KH. Ahmad Dahlan membangun
kekuatan umat Islam melalui penyelenggaraan kongres Islam di Cirebon yang diikuti oleh
seluruh potensi umat Islam Indonesia. Dalam kongres tersebut, Ahmad Dahlan
menyampaikan prasaran tentang pembaruan pemikiran Islam dan konsep pendidikan Islam.
Pada tahun 1925, Muhammadiyah yang diwakili K.H. Mas Mansur ikut membidani lahirnya
Lembaga Tinggi Hukum Islam Indonesia yang bernama Majlis Islam A’la Far’i Hindi
Syarqiyah (MIAHS) di Surabaya. Pada tahun 1926, K.H. Mas Mansur dan H.O.S.
Cokroaminoto, mewakili Indonesia, menghadiri kongres khilafah Islam di Hijaz, Arab Saudi,
sebuah kongres untuk membangun kepemimpinan dunia Islam. K.H. Mas Mansur adalah
tokoh puncak Muhammadiyah (1937-1943) dan pernah menjadi anggota dan penasihat SI.
KH Mas Mansur –bersama Wiwoho Wondoamiseno (wakil SI, yang kemudian berubah
PSII), KH. Ahmad Dahlan dan KH. Abdul Wahab (wakil NU)--adalah tokoh utama di balik
kelahiran MIAI (Majlis Islam A’la Indonesia) pada tahun 1937. Meskipun bukan sebagai
federasi politik umat Islam, saat itu MIAI memiliki bobot politik yang cukup penting. Dalam
MIAI, seluruh potensi Islam tertampung dan tersalurkan. Pada awalnya majlis ini tidak
memiliki kecenderungan politis, tetapi dalam perkembangannya kemudian memasuki arena
politik. Pada zaman Jepang, tepatnya pada 1943, MIAI berubah nama menjadi Masyumi dan
3
nama ini diabadikan oleh pemimpin-pemimpin Islam Indonesia pada 7-8 November 1945
dengan mendirikan Partai Islam Masyumi.7
Setahun setelah berdirinya MIAI, yakni tahun 1938, berdiri Partai Islam Indonesia (PII) di
Surakarta, yang diprakarsai Muhammadiyah dan tokoh-tokoh Islam lainnya. PII lahir pada
satu dasa warsa setelah orang-orang Muhammadiyah dan orang-orang Islam lainnya terkena
peraturan disiplin partai dari SI sebagai hasil kongres SI di Pekalongan pada 1927, yang
isinya melarang anggota-anggotanya merangkap organisasi dan harus memilih salah satu di
antara keduanya. Ini membuat orang-orang Muhammadiyah tetap berada dalam
Muhammadiyah dan keluar dari SI, termasuk K.H. Mas Mansur. Pada masa Jepang, Mas
Mansur—bersama Soekarno, Moh. Hatta dan Ki Hajar Dewantoro—duduk dalam Putera
(Pusat Tenaga Rakyat). Keempat tokoh itu kemudian dikenal dengan Empat Serangkai. 8
Setelah Mas Mansur meninggal, tongkat politik dipegang oleh Ki Bagoes Hadikoesoemo,
Abdul Kahar Muzakkir dan Mr. Kasman Singodimedjo. Mereka tampil pada saat bangsa ini
membentuk negara nasional dan menyusun dasar negara serta konstitusi negara, Pancasila
dan UUD 1945. Para tokoh Muhammadiyah itu, bersama tokoh NU dan tokoh Islam lainnya,
berada di garda depan saat perdebatan di Sidang-sidang BPUPKI dan PPKI saat merumuskan
dasar negara yang akan menjadi falsafah Indonesia merdeka. Mereka mengusulkan Indonesia
merdeka didasarkan pada ajaran Islam sebagai dasar negara. Para tokoh Muhammadiyah
memiliki andil besar dalam meredakan kemarahan umat akibat pengkhianatan kelompok
nasionalis sekuler terhadap konsensus nasional antara kelompok kebangsaan dan Islam yang
berakibat dihapuskannya “tujuh kata” yang terkenal itu (“dengan kewajiban menjalankan
syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”) dalam Piagam Jakarta pada 18 Agustus 1945.9
Dari serangkaian data tersebut dapat disimpulkan bahwa artikulasi politik Muhammadiyah
pada periode ini bersifat akseleratif yang bertujuan untuk mempercepat terwujudnya
kemerdekaan Indonesia terbebas dari kolonialisme Belanda dan Jepang. Keterlibatan tokoh-
7 Ibid. Lihat juga Ahmad Syafii Ma’arif, “Muhammadiyah dan High Politics,” Jurnal Ulumul Qur’an, No. 2, Vol. VI, 1995.
8 Lihat “Kata Pengantar” Syafii Ma’arif dalam Syaifullah, Gerak Politik Muhammadiyah dalam Masyumi. Jakarta: Grafiti Press, 1997, hal. xii.
9 Tentang masalah ini lihat Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945: Sebuah Konsensus Nasional Tentang Dasar Negara Republik Indonesia (1945-1949), Jakarta: GIP, 1997. Lihat juga BJ Boland, Pergumulan Islam di Indonesia, Jakarta: Grafiti, 1985, Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional. Bandung: Mizan, 1996.
4
tokoh Muhammadiyah dalam gerakan kebangsaan pada periode 1912-1945, seperti Boedi
Oetomo, Syarikat Islam, Kongres Umat Islam, MIAI dan lain-lain dimaksudkan untuk
membangun kesadaran kolektif bangsa agar segera bangkit dan bersama-sama mewujudkan
obsesinya tentang Indonesia Merdeka. Keinginan untuk sesegera mungkin mewujudkan
Indonesia Merdeka terlihat dari peran serta tokoh-tokoh Muhammadiyah, seperti Ki Bagoes
Hadikoesomo, Abdul Kahar Muzakkir dan Kasman Singodimedjo, bersama para founding
fathers lainnya dalam sidang-sidang BPUPKI dan PPKI dalam membahas format negara
Indonesia merdeka, dasar negara dan konstitusi negara. Obsesi para tokoh bangsa lintas
agama, suku, bahasa dan budaya itu pada akhirnya berhasil mengantarkan bangsa Indonesia
menuju kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945.
Mendirikan Masyumi
Periode pasca kemerdekaan merupakan era di mana Muhammadiyah dan para tokohnya
banyak terlibat dalam kancah politik praktis, meskipun secara kelembagaan tidak merubah
dirinya menjadi partai politik. Contoh paling nyata adalah keterlibatan Muhammadiyah
dalam mendirikan partai politik Islam Majlis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi).
Masyumi dibentuk dalam Muktamar Islam Indonesia di Gedung Madrasah Mu'allimin
Muhammadiyah, Yogyakarta, tanggal 7-8 November 1945. Dalam muktamar tersebut
diputuskan bahwa Masyumi adalah satu-satunya partai politik Islam di Indonesia, dan
Masyumilah yang akan memperjuangkan nasib politik umat Islam Indonesia. Dengan keputusan
ini, keberadaan partai politik Islam yang lain tidak diakui. Pada mulanya, yang masuk Masyumi
hanya empat organisasi, yaitu Muhammadiyah, NU, Perikatan Umat Islam, dan Persatuan
Umat Islam. Namun, dalam perkembangannya, hampir semua organisasi Islam —kecuali Perti
— baik lokal maupun nasional, menjadi anggotanya. Hanya dalam waktu setahun sejak
didirikan, Masyumi sudah mengungguli PNI dan menjadi parpol terbesar di Indonesia pada
masa itu.10
Dalam Masyumi, Muhammadiyah berstatus sebagai anggota istimewa, bersama NU (keluar
tahun 1952), Persis Bandung, Persatuan Ulama Seluruh Aceh (Pusa), Al Irsyad, Al Jami'ah
10 Abdul Azis Thaba, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru. Jakarta: GIP, 199... Lihat juga PP Muhammadijah Majlis Hikmah, “Hubungan Muhammadijah dengan Masjumi” (Makalah yang disampaikan dalam sidang Majlis Tanwir di Yogyakarta, 1958) hal 1, sebagaimana dikutip dalam Syaifullah (2008).
5
Al Washliyah, Al Ittihadiyah Sumut, Mathla'ul Anwar Banten, dan Nahdlatul Wathan
Lombok NTB.
Keberadaan Muhammadiyah di Masyumi cukup dominan, apalagi setelah SI, Perti dan NU
menyatakan keluar dari Masyumi karena perbedaan kepentingan politik. Sampai partai ini
dibubarkan Soekarno tahun 1960, Muhammadiyah adalah anggota yang setia dan tidak
pernah sekalipun meninggalkan Masyumi. Pada kepengurusan pertama DPP Masyumi,
misalnya, dari 24 pengurus harian partai ini, 11 personal di antaranya adalah tokoh
Muhammadiyah. Mereka antara lain, Dr Sukiman Wirjosandjojo (Ketua), Wali Alfatah
(Ketua Muda II), KH Fakih Usman, M Junus Anis, Mr Mohammad Roem, HM Farid Ma'ruf,
Prawoto Mangkusasmito (Sekretaris II), Mr RA Kasmat (Bendahara), dan lainnya. Ketika
Masyumi dibubarkan Presiden Soekarno tahun 1960 partai ini di bawah pimpinan Ketua
Umum Prawoto Mangkusasmito, Ketua I Dr Sukiman Wirjosandjojo, Ketua II KH Fakih
Usman, dan Sekretaris Umum M Junan Nasution. Para pimpinan puncak Masyumi itu dikenal
sebagai tokoh Muhammadiyah.
Eratnya hubungan Muhammadiyah-Masyumi digambarkan dengan sangat tepat oleh Hamka
(mantan anggota Dewan Konstituante dari Partai Masyumi dan Ketua MUI Pusat era Orde
Baru) yang menyatakan seperti kuku dan daging. Keduanya, kata Hamka, saling
membutuhkan dan sulit dipisahkan. Hamka menambahkan, posisi Muhammadiyah di dalam
Masyumi lebih ditekankan sebagai perekat, penghubung, dan penggerak potensi umat. Pada
kesempatan lainnya, Hamka mengibaratkan posisi Muhammadiyah itu seperti sendi di
bangunan rumah. Yang mana posisinya tak kelihatan, tapi fungsi dan posisinya sangat
penting.11
Selama 15 tahun (1945-1960) Muhammadiyah sebagai anggota istimewa Masyumi telah
menyalurkan aspirasi politiknya melalui partai ini, sampai partai ini diperintahkan bubar oleh
rezim Soekarno pada akhir 1960 karena kebijakan politiknya yang menolak berlakunya
demokrasi terpimpin ala Soekarno dan sejumlah pemimpinnya terlibat gerakan
PRRI/Permesta di Sumatera Barat. Kepergian Masyumi dari pentas politik membawa krisis
politik bagi Muhammadiyah. Selama beberapa tahun Muhammadiyah sering disejajarkan
dengan organisasi terlarang yang anggotanya harus diawasi pemerintah. Periode Demokrasi
Terpimpin merupakan periode yang benar-benar kritis bagi sebagian besar warga
11 “Dinamika Politik Islam Modernis: Dari Masyumi ke PAN,” www.beritajatim.com
6
Muhammadiyah. Rasa takut dan cemas mencekam mereka, di manapun mereka berada.
Penguasa-penguasa lokal memandang Muhammadiyah dengan penuh curiga.12
Krisis politik itu berakhir ketika Bung Karno bersedia hadir dalam penutupan Muktamar
Setengah Abad Muhammadiyah di Jakarta tahun 1962. Tampaknya Bung Karno tidak
terpengaruh provokasi PKI agar organisasi Muhammadiyah dibubarkan. Pada waktu itu Bung
Karno menyatakan bahwa dirinya adalah anggota Muhammadiyah dan makin lama makin
cinta Muhammadiyah. Bung Karno menutup pidatonya dengan mengumandangkan slogan
“Sekali Muhmmadiyah Tetap Muhammadiyah.” Dengan pidato Presiden itu, seolah-olah
kabut tebal yang menutupi wajah Muhammadiyah lenyap seketika, sehingga tampak cerah
kembali.13
Paparan data tersebut memperlihatkan bahwa pada periode 1945-1960 Muhammadiyah
terlibat secara aktif dalam kancah politik praktis, meskipun tidak merubah organisasinya
menjadi partai politik sebagaimana dilakukan NU tahun 1952 yang kemudian menjadi peserta
Pemilu 1955. Keterlibatan aktif dalam politik itu tidak dimaksudkan untuk mengejar kursi di
parlemen atau jabatan di pemerintahan tetapi atas dasar pertimbangan efektifitas perjuangan
mengemban misi dakwah amar ma’ruf nahi munkar. Era pasca kemerdekaan adalah era
multipartai di mana perjuangan dirasakan lebih efektif manakala menggunakan instrumen
kepartaian. Dan itulah yang dilakukan Muhammadiyah saat berperanserta dalam mendirikan
partai politik yang merepresentasikan kepentingan umat saat itu, Masyumi.
Era Kolaborasi
Kepemimpinan Soekarno yang represif di masa Demokrasi Terpimpin, membuat lawan-
lawan politiknya “tiarap” untuk menghindari penangkapan dan penahanan dengan alasan
kontra revolusi. Sejumlah tokoh nasional, termasuk dari kalangan Muhammadiyah yang
dinilai mendukung Masyumi dan tidak pro pemerintah, ditangkap dan dipenjarakan oleh
rezim Soekarno. Tokoh Islam modernis yang ditahan pada umumnya sangat kritis dengan
kebijakan Soekarno yang represif dan anti-demokrasi. Tokoh-tokoh itu antara lain
Mohammad Roem, Prawoto Mangkusasmito, Isa Anshari, Yunan Nasution, Mohammad
Natsir, Sjafroeddin Prawiranegara dan lain-lain. Tahun 1963, tokoh Muhammadiyah dan juga 12 Syafii Ma’arif dalam Syaifullah, op.cit, hal. xiv.13 HS Prodjokusumo, Pemasyarakatan Tradisi, Budaya dan Politik Muhamm adiyah, Jakarta: Perkasa Press, 1995, hal. 99.
7
tokoh Masyumi, Kasman Singodimedjo juga ditahan dengan tuduhan akan menggulingkan
pemerintahan Soekarno. Tahun 1964, dua tokoh Muhammadiyah lainnya, Buya HAMKA dan
Ghazali Sjahlan juga ditangkap dan ditahan Soekarno. Tuduhan pada mereka beragam, tetapi
pada umumnya berkisar pada kontra revolusi dan anti-Nasakom yang dinilai Soekarno
sebagai perwujudan Pancasila dan UUD 1945 dalam politik.14
Konstelasi politik era Demokrasi Terpimpin itu juga berpengaruh besar terhadap artikulasi
politik Muhammadiyah. Menurut catatan Syafii Ma’arif, Muhammadiyah di bawah
kepemimpinan KH A. Badawi (1962-1968), demi untuk survival telah pula menyesuaikan
diri dengan batas tertentu dengan irama politik yang ada. Pada 1962 Pimpinan Pusat
Muhammadiyah hasil Muktamar ke-35 di Jakarta bahkan dilantik oleh Presiden Soekarno di
Istana Bogor, suatu peristiwa yang belum pernah terjadi sepanjang sejarah Muhammadiyah.
Soekarno dijuluki sebagai anggota setia Muhammadiyah dan diberi gelar “Pengayom Agung
Muhammadiyah,” dan diberi “Bintang Muhammadiyah.” Bahkan pada tanggal 3 Agustus
1965, dua bulan sebelum hancurnya Demokrasi Terpimpin, Universitas Muhammadiyah
Jakarta (UMJ) di bawah Rektor Brigjend Sutjipto, SH memberikan gelar Doktor Honoris
Causa dalam Filasafat Ilmu Tauhid kepada Soekarno dengan pertimbangan bahwa Soekarno
“memiliki pengertian, perasaan dan keahlian yang sungguh-sungguh tinggi mutunya dalam
lapangan falsafah ilmu tauhid.”15
Sebagai kompensasi kolaborasi politik Muhammadiyah pada Soekarno, pada tahun-tahun
terakhir Demokrasi Terpimpin, Muhammadiyah diberi status sebagai organisasi sosial politik
dan diberi hak berpoilitik praktis, tanpa harus merubah persyarikatan menjadi partai politik.
Beberapa tokoh puncak Muhmmadiyah seperti HM Junus Anis, Djarnawi Hadikusumo dan
Muhammad Djazman al-Kindi, diangkat Bung Karno sebagai anggota DPRGR (DPR Gotong
Royong), sebuah lembaga perwakilan politik Orde Lama yang masih bertahan di masa awal
Orde Baru, sebagai pengganti DPR hasil Pemilu 1955 yang dibubarkan Soekarno tahun
1960.16
14 A. Syafii Ma’arif, Islam dan Politik di Indonesia pada Masa Demokrasi Terpimpin 1959-1965. (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988), hal. 106-107.15 Ibid, hal. 114. Tentang Piagam Universitas Muhammadiyah Jakarta pemberian gelar doktor honoris causa di bidang ilmu tauhid kepada Soekarno tersebut, dapat dilihat dalam ibid, hal. 191-192.16 Ibid, hal. 115. Lihat juga Ahmad Syafii Ma’arif, “Muhammadiyah dan High Politics,” Jurnal Ulumul Qur’an, No. 2, Vol. VI, 1995.
8
Meskipun Soekarno menyatakan diri sebagai anggota Muhammadiyah, perilaku kolaboratif
PP Muhammadiyah terhadap rezim Demokrasi Terpimpin yang represif itu, jelas
mengundang banyak kontroversi. Apalagi, saat itu, Soekarno juga memerintahkan
penangkapan terhadap sejumlah tokoh Islam eks Masyumi, termasuk tokoh Muhammadiyah,
yang tidak sejalan dengan garis politiknya yang semakin otoriter. Menurut Syafii Ma’arif,
sebagian besar anggota Muhammadiyah saat itu memandang dengan sinis perilaku politik
para pimpinan Muhammadiyah itu yang bersedia berkolaborasi dengan rezim Soekarno demi
mendapatkan perlindungan politik.
Mendukung Parmusi
Hubungan Muhammadiyah dengan Masyumi tampaknya tidak mudah dipisahkan begitu saja.
Itulah sebabnya, ketika terjadi transisi politik dari Orde Lama ke Orde Baru, banyak tokoh
Muhammadiyah yang turut mendesak pemerintah Orde Baru agar merehabilitasi nama baik
Masyumi yang dicitrakan negatif oleh rezim Soekarno. Pada tanggal 16 Desember 1965
dibentuk Badan Kordinasi Amal Muslimin (BKAM) yang terdiri atas enam belas organisasi
Islam, termasuk Muhammadiyah, yang bermaksud mengupayakan rehabilitasi Masyumi.
Dalam berbagai kesempatan, tokoh-tokoh Muhammadiyah sering mengemukakan pentingnya
rehabilitasi Masyumi sebagai representasi politik umat dalam sistem politik baru pasca Orde
Lama.
Memang, dalam periode awal pemerintahan Orde Baru muncul optimisme baru di
kalangan Islam pada khususnya, dan masyarakat luas pada umumnya akan kehidupan
demokrasi karena romantisme perjuangan menumbangkan Orde Lama penuh dengan
retorika demokrasi. Di kalangan Islam timbul harapan untuk kembali memainkan peranannya
seperti pada masa demokrasi parlementer. Akan tetapi, keinginan ini berbenturan dengan
strategi politik Orde Baru yang terobsesi menciptakan stabilitas politik untuk menunjang
pembangunan ekonomi melalui marginalisasi peranan partai-partai politik dan sakralisasi
ideologi Pancasila serta menabukan peran agama dalam kancah politik.
Itulah sebabnya usaha sejumlah tokoh Islam, termasuk Muhmmadiyah, untuk merehabilitasi
Masyumi tersebut tidak menuai hasil. Pemerintah Orde Baru tetap menolak kehadiran
Masyumi yang telah dibubarkan rezim Soekarno. Beberapa tokoh Muhammadiyah lainnya
kemudian menginginkan untuk mengaktifkan kembali Partai Islam Indonesia (PII), parpol yang
9
didirikan oleh tokoh-tokoh Muhammadiyah pada zaman pergerakan. Namun, niat ini urung
direalisasikan karena kondisi internal dan eksternal tidak memungkinkan. Tokoh Islam yang
lain hendak mendirikan partai politik Islam yang baru, yang berlainan dengan Masyumi dan
parpol Islam pada saat itu. Gagasan itu diinisiasi oleh mantan Wapres Mohammad Hatta,
bersama beberapa eksponen HMI dan PII pada tahun 1967. Partai yang hendak mereka dirikan
diberi nama PDII (Partai Demokrasi Islam Indonesia). Usaha itupun juga tidak mendapat
persetujuan Orde Baru.
Setelah gagal merehabilitasi Masyumi dan membentuk partai Islam lainnya, akhirnya BKAM
berhasil melahirkan Parmusi (Partai Muslimin Indonesia) pada tanggal 7 April 1967.
Meskipun belum ideal, Parmusi boleh dikatakan merepresentasikan aspirasi Islam modernis,
khususnya Muhammadiyah, karena saat itu telah ada sejumlah partai politik Islam yang
menjadi wadah kalangan tradisionalis, seperti Partai NU, PSII dan Perti. Itulah sebabnya
Muhammadiyah memberikan dukungan all out terhadap Parmusi. Kelahiran Parmusi
merupakan buah dari Khittah Ponorogo (1969). Dalam rumusan Khittah tahun 1969 ini
disebutkan bahwa dakwah Islam amar ma’ruf nahi munkar dilakukan melalui dua saluran:
politik kenegaraan dan kemasyarakatan. Muhammadiyah sendiri memposisikan diri sebagai
gerakan Islam amar ma’ruf nahi munkar dalam bidang kemasyarakatan. Untuk saluran
politik kekuasaan, Muhammadiyah membentuk partai politik di luar organisasi. Hubungan
antara Muhammadiyah dengan partai yang telah dilahirkan ini hanya sebatas ideologis, tidak
secara organisatoris.
Pada tanggal 5 Februari 1968 Pemerintah menyetujui berdirinya Parmusi dengan syarat tidak ada
seorang pun mantan pemimpin Masyumi yang memegang peranan penting dalam Parmusi.
Namun, dalam Kongres I Parmusi tanggal 4-7 November 1968 di Malang terpilih tokoh
Masyumi Moh. Roem sebagai ketua umum. Hasil kongres itu ditolak secara keras oleh
pemerintah karena dianggap akan menghidupkan kembali aspirasi politik Masyumi. Setelah
melalui berbagai lobi, pemerintahan Soeharto akhirnya menunjuk dua tokoh Muhammadiyah
untuk memimpin Masyumi, yakni H. Djarnawi Hadikoesoemo sebagai Ketua Umum dan
Lukman Harun sebagai Sekretaris Jenderal. Karena dua tokoh Muhammadiyah itu dinilai
cukup kritis dan kurang akomodatif terhadap pemerintah, akhirnya penguasa mendukung
“kudeta” kepemimpinan Masyumi yang dilakukan oleh HJ Naro dan Imran Kadir. Kudeta itu
menimbulkan konflik internal dalam Parmusi. Dengan dalih untuk menyelesaikan konflik,
pemerintah akhirnya menunjuk HMS Mintaredja, anggota Muhammadiyah, untuk memimpin
10
Parmusi. Penunjukan Mintaredja yang pro pemerintah bukan menyelesaikan konflik malah
mempertajam perpecahan di tubuh Parmusi. Penunjukan itu diyakini banyak kalangan saat itu
bukan untuk mengakomodasi aspirasi politik muslim modernis, khususnya Muhammadiyah dan
keluarga besar Bulan Bintang (eks Masyumi), melainkan untuk mengkooptasi mereka melalui
“orang dalam” sendiri.
Melihat intervensi pemerintah dalam Parmusi, Muhammadiyah akhirnya menjaga jarak dengan
partai itu. Minimnya dukungan Muhammadiyah berdampak pada perolehan suara Parmusi ketika
mengikuti Pemilu 1971, pemilu pertama Orde Baru. Parmusi hanya meraih dukungan 7,365
persen. Bandingkan dengan Golkar yang memperoleh suara 62,8 persen suara dan NU di urutan
kedua 18,67 persen, menyusul PNI 6, 94 persen dan Perti 2,39 persen. Muhammadiyah kecewa
dengan kondisi politik saat itu dan berniat “kembali ke khittah” yakni sebagai gerakan dakwah
amar ma’ruf nahi mungkar yang tidak terlibat dalam kancah perpolitikan secara langsung.
Kembali ke Khittah
Peristiwa traumatik dalam dunia politik yang dialami Muhammadiyah pada era Demokrasi
Terpimpin maupun awal Orde Baru menyebabkan organisasi ini dalam muktamarnya tahun
1971 di Ujung Pandang mempertegas sikapnya bukan sebagai organisasi politik dan tidak
berafiliasi dengan kekuatan politik manapun serta tidak akan berubah menjadi partai politik.
Sejak saat itu Muhammadiyah sangat berhati-hati dalam merespon berbagai persoalan politik.
Tentang hal ini, Ketua PP Muhammadiyah (1971-1990) KH AR Fakhruddin pernah
menyatakan:
“....sejak semula Muhammadiyah tegas untuk tidak berpolitik praktis. Sampai sekarang dan kelak, saya yakin prinsip itu akan dipegang oleh generasi baru Muhammadiyah. Bukan berarti politik itu tidak islami. Hanya saja Muhammadiyah berpolitik dalam tataran yang lebih makro. Prinsipnya untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar. Coita-cita Muhammadiyah itu Cuma satu, bagaimana agar umat Islam Indonesia ini menjalankan agamanya sesuai dengan Al Qur’an dan hadits. Adapun mengenai pemerintahan, partai politik dan sebagainya, Muhammadiyah sebagai ormas tidak mencampurinya.”17
Kehati-hatian Muhammadiyah dalam merespon masalah politik nampak jelas ketika
dihadapkan pada isu asas tunggal Pancasila tahun 1985. Muhammadiyah menghindar untuk
17 Wawancara AR Fakhruddin dengan Republika, 8 Juli 1994.
11
mengambil garis konfrontatif dengan pemerintah, namun juga tidak gegabah dalam
mempertahankan sesuatu yang dinilai prinsipil. Dalama merespon persoalan politik,
khususnya yang bersinggungan dengan pemerintahan, Muhammadiyah jarang
mengartikulasikannya secara keras dan mempublikasikan melalui media secara terbuka.
Hal itu misalnya ditunjukkan oleh KH AR Fakhrudin, ketua PP Muhammadiyah. Dalam salah
satu wawancaranya dengan Republika, AR Fakhruddin mengatakan:
“Saya bersama rekan-rekan di PP Muhammadiyah, berusaha menjadi mediator, ke atas dan ke bawah. Kepada umat Muhammadiyah, saya selalu katakan bahwa pemerintah ini adalah pemerintah kita. Yang duduk di pemerintahanm termasuk Presidennya, adalah orang-orang kita. Taruhlah Islam mereka belum baik, ayo kita perbaiki bersama-sama. Kalau belum sempurna, ayo sempurnakan. Tapi jangan kita musuhi, jangan kita apriori...Saya tegaskan begitu, di mana-mana di setiap kesempatan. Umat islam jangan sekali-kali memusuhi pemerintah.”18
Pendirian politik Muhammadiyah yang semacam itu terus berlanjut sampai kepemimpinan
almarhum KH Ahmad Azhar Basyir (1990-1994). Apalagi pada masa itu, pemerintah Orde
Baru mengubah haluan politiknya dari yang bersifat konfrontatif menjadi lebih akomodatif
terhadap kepentingan Islam. Disahkannya UU Peradilan Agama tahun 1988, UU Sistem
Pendidikan Nasional yang memuat aspirasi Islam dengan kewajiban pemberian pelajaran
agama di sekolah dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi tahun 1989, lahirnya Ikatan
Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), Bank Muamalat dan sebagainya, merupakan contoh
bentuk akomodasi negara terhadap aspirasi umat. Itulah sebabnya kepemimpinan
Muhammadiyah saat itu lebih bercorak kooperatif-akomodatif terhadap pemerintah.
Kritis Kooperatif
Artikulasi politik Muhammadiyah yang moderat akomodatif di masa AR Fakhruddin dan
Ahmad Azhar Basyir berubah 180 derajat ketika Amien Rais memimpin Muhammadiyah
menggantikan KH Azhar Basyir yang meninggal dunia, Juni 1994. Di bawah kepemimpinan
Amien, Muhammadiyah bersikap kritis terhadap kekuasaan. Para pengritik Amien di
Muhammadiyah, seperti Lukman Harun, Abdul Munir Mulkhan dan Hajrianto Y Tohari,
bahkan menyebut gaya kepemimpinan Amien cenderung konfrontatif terhadap pemerintah.
18 Ibid
12
Amien meluruskan pendapat itu dengan menyatakan kepemimpinannya adalah kritis
kooperatif.
Amien saat itu memang dikenal sebagai cendekiawan muslim yang vokal dan kritis terhadap
kekuasaan. Dalam Sidang Tanwir Muhammadiyah di Surabaya tahun 1993, misalnya, Amien
sudah menyerukan perlunya suksesi kepemimpinan nasional. Padahal, saat itu tidak ada yang
berani menyuarakan penggantian kekuasaan karena kekuasaan Soeharto masih sangat kuat
sehingga pembicaraan tentang suksesi dinilai sebagai sebuah “kenekatan politik” yang sangat
beresiko. Amien juga sangat lantang menyingggung berbagai ketimpangan sosial,
ketidakadilan, penyalahgunaan wewenang, eksploitasi sumber daya alam di Freeport dan
kawasan lain serta bisnis keluarga penguasa. Menurut Amien, perubahan haluan kepemim
pinan di Muhammadiyah itu perlu dilakukan karena selama ini dakwah Muhammadiyah tidak
berjalan seimbang yakni lebih menekankan amar ma’ruf dan cenderung mengabaikan nahi
mungkar.19
Meskipun mengundang sedikit kontroversi internal di Muhammadiyah, kepemimpinan
Amien yang kritis terhadap kekuasaan mampu mempertegas jati diri ormas Islam itu sebagai
lokomotif pembaruan. Pada masa lalu citra diri pembaruan Muhammadiyah selalu dikaitkan
dengan kegigihan Muhammadiyah memberantas TBC (ejaan lama: tachajoel, bid’ah dan
choerofat). Di masa Amien, bid’ah tidak lagi dikaitkan dengan ibadah ritual seperti qunut dan
tahlil tetapi bid’ah dalam bidang sosial, politik, ekonomi dan hukum. Amien tidak
memformulasikan syirik dengan mengunjungi makam dan bertawasul dengan orang yang
sudah meninggal di masa lalu yang dikeramatkan, tetapi pengertian syirik di tangan Amien
lebih aktual dan kontekstual menjadi syirik politik, yakni melakukan sakralisasi kekuasaan
Presiden Soeharto dan takut mengoreksi berbagai penyimpangan yang terjadi. Tauhid di
tangan Amien juga lebih “hidup” ketika ia membumikannnya di tengah kehidupan sosial
dengan istilah tauhid sosial. Amien mencerahkan pemikiran Muhammadiyah dari kejumudan
mitos pembaruan yang stagnan ketika ia memformulasikan kembali simbol-simbol
Muhammadiyah yang disebutnya dengan lima doktrin Muhammadiyah, yakni tauhid,
pencerahan umat, kerjasama untuk kebajikan dan tidak berpolitik praktis.20
19 Tentang alasan perubahan haluan artikulasi politik Muhammadiyah di masa Amien Rais, lihat Sumarno, “Dinamika Pemikiran dan Aksi Politik Amien Rais.” Tesis S-2 Pascasarjana Ilmu Politik UI, 2000.20 Tentang lima doktrin Muhammadiyah yang digulirkan Amien Rais, lihat bukunya, Visi dan Missi Muhammadiyah (Yogyakarta: Pustaka Suara Muhammadiyah, 1997).
13
Dalam perjalanan selanjutnya seiring dengan perubahan konstelasi politik nasional, Amien
kemudian menjadi tokoh garda depan gerakan reformasi yang didukung berbagai kalangan
lintas agama, lintas generasi dan lintas afiliasi. Bahkan Amien kemudian diwacanakan
berbagai kalangan sebagai kandidat presiden, meskipun saat itu Soeharto belum lengser.
Akibat gelombang gerakan reformasi yang dahsyat itu dan dipicu dengan krisis multidimensi
yang tak tertangani, rezim Orde Baru Soeharto akhirnya runtuh setelah lebih tiga puluh tahun
berkuasa.
Ujian Netralitas Politik
Artikulasi politik Muhammadiyah pasca lengsernya Soeharto 21 Mei 1998, banyak
dipengaruhi oleh ketokohan Amien Rais dalam gerakan reformasi. Kepeloporan Amien Rais
dalam reformasi saat itu menempatkan Muhammadiyah memiliki bobot politik yang cukup
tinggi. Dalam Sidang Tanwir di Semarang pada 5-7 Juli 1998 berkembang wacana agar
Muhammadiyah mendirikan partai tersendiri atau mendirikan Partai Islam Indonesia atau
menghidupkan kembali Masyumi seperti diusulkan delegasi dari Sulawesi Selatan. Dalam
sidang pleno akhirnya diputuskan Muhammadiyah tidak akan berubah menjadi partai politik
dan tidak akan membidani lahirnya partai politik. Meskipun demikian warga Muhammadiyah
tetap diberi kebebasan untuk terlibat dalam partai politik sesuai dengan hati nuraninya
masing-masing. Selain itu, Tanwir juga memutuskan memberi keleluasaan kepada Amien
Rais untuk melakukan ijtihad politik guna melanjutkan kiprahnya dalam gerakan reformasi.
Amien akhirnya memutuskan mendirikan partai politik baru yang dikenal dengan Partai
Amanat Nasional (PAN) yang dideklarasikan pada 23 Agustus 1998, sehari setelah
pengunduran dirinya sebagai Ketua PP Muhammadiyah. PAN adalah cerminan obsesi Amien
Rais tentang Indonesia baru yang dibangun di atas paradigma grand and clean coalition
dengan platform pluralisme yang berpijak pada nilai-nilai moral agama. Amien kemudian
digantikan Ahmad Syafii Ma’arif, tokoh yang selalu setia memberikan dukungan pada
langkah politik Amien Rais selama reformasi.
Meskipun ditegaskan tidak ada hubungan organisatoris dengan PAN, Muhammadiyah banyak
memfasilitasi pembentukan infrastruktur PAN di berbagai wilayah di Indonesia. Jaringan
Muhammadiyah yang sangat luas banyak dimanfaatkan kader-kader Muhammadiyah yang
kemudian bermetamorfosis menjadi kader PAN di berbagai wilayah Indonesia. Tidak heran,
14
saat kampanye PAN dalam Pemilu 1999, banyak amal usaha Muhammadiyah, seperti
perguruan tinggi, sekolah dan sebagainya, yang dimobilisasi untuk menyumbangkan
massanya. Saat itu, sebagian besar warga Muhammadiyah menganggap PAN adalah
representasi politik Muhammadiyah. Dengan kata lain, PAN sesungguhnya memiliki hutang
politik yang cukup besar kepada Muhammadiyah. Di awal beridirnya, tanpa Muhammadiyah,
PAN bukanlah apa-apa.
Netralitas politik Muhammadiyah di bawah kepemimpinan Syafii Ma’arif dinilai sejumlah
kalangan goyah ketika PP Muhammadiyah memberikan dukungan secara implisit terhadap
pencalonan Amien Rais sebagai Presiden RI dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden
tahun 2004. Hal itu tampak jelas terbaca dari hasil Sidang Tanwir di Makasar tahun 2003 dan
dipertegas dalam Sidang Pleno PP Muhammadiyah 2004 yang antara lain menyatakan:
"Presiden Indonesia yang diharapkan terpilih dalam Pemilu 2004 adalah tokoh yang reformis,
bersih dari KKN (korupsi, kolusi, nepotisme), menyelenggarakan tata pemerintahan yang
baik, memiliki visi kebangsaan yang luas, tegas, dan berwibawa dalam membawa bangsa ke
tengah pergaulan internasional, mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat, dan memajukan
kehidupan bangsa menuju masa depan yang lebih baik."
Dukungan Muhammadiyah pada “kader terbaik” Muhammadiyah, menurut Syafi'i,
merupakan langkah untuk menyelamatkan masa depan bangsa. Langkah itu diperlukan,
karena bangsa Indonesia sudah dalam kondisi krisis dan kerusakan moral yang sempurna.
Jika Muhammadiyah tidak ikut memperbaiki kondisi bangsa itu, Syafi'i khawatir
Muhammadiyah dianggap tidak memenuhi kewajiban moralnya. Untuk memperbaiki kondisi
itu, kepemimpinan nasional harus dipegang oleh orang yang relatif bersih dari korupsi.
Seperti diketahui, Amien Rais akhirnya tidak berhasil mendulang suara yang memadai untuk
mengantarkannya menuju istana dan mewujudkan obsesinya membangun Indonesia baru
yang lebih baik.
Dalam hal relasinya dengan PAN, setelah Amien Rais tak lagi memimpin partai, hubungan
dengan Muhammadiyah tak semesra sebelumnya. Bahkan ada kecenderungan PAN ibarat
kacang yang lupa kulitnya. Dengan dalih ingin membangun konstituen yang lebih luas, bukan
hanya warga Muhammadiyah, PAN secara implisit berusaha mengaburkan hubungan moral
dan emosionalnya dengan Muhammadiyah. Dalam Pemilu 2004, muncul ketidakpuasan di
kalangan kader Muhammadiyah, khususnya Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM),
15
bahwa PAN tidak lagi aspiratif dengan kepentingan Muhammadiyah. Hal itu diindikasikan
dengan daftar calon anggota legislatif (caleg) PAN yang dinilai kurang mengakomodir tokoh-
tokoh Muhammadiyah, khususnya tokoh muda Muhammadiyah.
Ketidakpuasan itu akhirnya mengkristal dengan wacana perlunya partai alternatif di luar PAN
yang bisa mengartikulasikan aspirasi politik Muhammadiyah. Para tokoh muda
Muhammadiyah merasa mendapat “lampu hijau” dari para seniornya yang melakukan Sidang
Tanwir di Mataram tahun 2004. Atas dasar “restu” itu, para aktivis muda Muhammadiyah
akhirnya mendeklarasikan Partai Matahari Bangsa (PMB) pada 8 Januari 2006. Sejak awal
berdirinya, PMB selalu mencitrakan diri sebagai partainya Muhammadiyah yang baru.
Berbagai upaya mendekat-dekatkan jarak atau memasukkan diri sebagai bagian dari
Muhammadiyah dilakukan oleh PMB, baik secara simbolis maupun praksis. Simbol PMB
juga nyaris sama dengan lambang Muhammadiyah, matahari bersinar dua belas. PMB bahkan
mendaulat Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin sebagai calon presiden 2009.
Obsesi AMM untuk menyediakan “kendaraan politik” bagi Muhammadiyah, untuk sementara
waktu, tampaknya gagal menjadi kenyataan. Pada Pemilu 2009, PMB bukan saja tidak
mampu menyaingi PAN tetapi juga gagal meraih suara yang signifikan sehingga tidak
berhasil mengantarkan wakilnya untuk duduk di Senayan. Minimnya sumber daya, sumber
dana dan mesin partai yang belum berfungsi maksimal harus diterima sebagai pembelajaran
yang berarti bagi aktivis muda Muhammadiyah untuk kembali membangun partai di masa
yang akan datang. Meskipun secara moral, PP Muhammadiyah, minimal melalui sikap politik
Ketua Umumnya Din Syamsuddin, memberikan dukungan pada PMB, ternyata tidak cukup
untuk menggiring suara warga Muhammadiyah mencontreng matahari bersinar merah yang
menjadi lambang PMB itu. Meskipun belum berhasil, keberadaan PMB secara nasional
memang “berhasil” mengurangi jumlah popular vote PAN yang dinilai tak lagi aspiratif
dengan kepentingan Muhammadiyah.
Artikulasi politik Muhammadiyah kembali diuji dalam Pemilu Presiden 2009. Pada saat itu
terjadi polarisasi politik di kalangan tokoh Muhammadiyah. Meskipun tidak ada keputusan
resmi mendukung kandidat tertentu, secara implisit maupun eksplisit, tokoh-tokoh
Muhammadiyah melabuhkan dukungannya pada pasangan Jusuf Kalla (JK) dan Wiranto.
Dalam berbagai iklan televisi menjelang Pilpres, tokoh Muhammadiyah Syafii Ma’arif
menyebut Jusuf Kalla sebagai the real president. Ketua Umum PP Muhammadiyah Din
16
Syamsuddin juga menunjukkan dukungannya pada Jusuf Kalla. Hal itu berbeda dengan sikap
Amien Rais dengan PAN yang secara terang-terangan mendukung pasangan SBY-
Boediono.21
Dukungan “diam-diam” tokoh sentral Muhammadiyah pada JK dan bukan pada SBY,
memiliki implikasi politik setelah SBY memenangkan Pilpres dengan suara yang cukup
signifikan. Dalam komposisi Kabinet Indonesia Bersatu II, jumlah orang Muhammadiyah
yang duduk di kabinet berkurang jika dibandingkan dengan Kabinet Indonesia Bersatu jilid I.
Jika pada periode pertama pemerintahan SBY mempercayakan kementerian pendidikan dan
kesehatan pada orang Muhammadiyah, yakni Mendiknas Bambang Sudibyo dan Menkes Siti
Fadilah Supari, maka pada periode kedua, posisi itu tidak diberikan pada Muhammadiyah.
Yang paling terasa adalah posisi Mendiknas yang sejak lama dipercayakan pada tokoh
Muhammadiyah, pada kebinet sekarang diberikan kepada Muhammad Nuh dari NU. Hanya
posisi Menkumham yang diberikan pada warga Muhammadiyah, Patrialis Akbar. Sebenarnya
Patrialis lebih merepresentasikan PAN, melalui lobi orang dekat SBY Hatta Rajasa, daripada
mewakili Muhammadiyah.
Muhammadiyah memang tidak mengejar kekuasaan, tetapi hal itu membuktikan bahwa di era
multi partai saat ini, Muhammadiyah kurang berhasil mengartikulasikan politiknya secara
strategis. Sebagai organisasi yang sudah sangat panjang track recordnya bersinggungan
dengan politik, Muhammadiyah seyogyanya bisa menjaga netralitasnya dalam pusaran
perebutan kekuasaan sehingga tidak berdampak serius terhadap kepentingan perserikatan.
Muhammadiyah perlu memposisikan dirinya sebagai tenda bangsa yang dapat digunakan
untuk memayungi berbagai kelompok yang sepaham dalam menegakkan dakwah amar
ma’ruf nahi mungkar dan memajukan umat menuju umat Islam yang sebenar-benarnya.
Kini, Muhammadiyah perlu menyadari bahwa banyak kadernya yang terjun ke arena politik
praktis, seperti PAN, PMB, PPP, PKS, Golkar, Demokrat dan partai lainnya. Muhammadiyah
tidak perlu menganakemaskan partai tertentu dan memperlakukan secara diskriminatif partai
lain. Cukup bagi Muhammadiyah membuat aturan bahwa tidak boleh membawa kepentingan
politik dalam persyarikatan, tidak boleh menjadikan organisasi sebagai komoditas politik dan
tidak boleh membawa-bawa Muhammadiyah untuk memperjuangkan agenda politiknya.
21 Pada awalnya, Amien sangat keberatan dengan sosok Boediono yang dinilai neo-liberal dalam amsalah ekonomi. Melalui berbagai lobi, akhirnya Amien Rais tetap mendukung pasangan SBY-Boediono.
17
Muhammadiyah perlu merumuskan teologi politik yang bisa dijadikan pedoman bagi
kadernya yang berkiprah di lapangan politik praktis agar mereka tetap konsisten dengan
ideologi Muhammadiyah dan memperjuangkan aspirasi Muhammadiyah.
Catatan Akhir
Merujuk pada perjalan sejarahnya, Muhammadiyah tidak mungkin menghindarkan diri dari
arena politik, meskpun harus tetap istiqamah untuk tidak terjun dalam kancah politik praktis,
sebagaimana partai politik. Artikulasi politik Muhammadiyah sangat ditentukan oleh gaya
kepemimpinan tokoh sentralnya dalam merespon dinamika politik nasional yang terjadi pada
masanya. Dalam usianya yang satu abad, sudah selayaknya Muhammadiyah memiliki format
yang jelas bagaimana mengartikulasikan politik yang aspiratif dengan kepentingan
persyarikatan.
Oleh karena itu, Muhammadiyah memerlukan sebuah konstruksi bagaimana membangun
relasinya dengan dunia politik dan kenegaraan pada umumnya sehingga di masa mendatang
Muhammadiyah tidak lagi terbata-bata saat mengeja kompleksitas alfabeta sosial politik yang
mengitarinya. Wallahu a’lam.
18