21
Sejarah Perkembangan Sekolah Saat ini, “sekolah” dapat diartikan sebagai tempat berkumpulnya sekelompok manusia yang ingin mendapatkan ilmu dari seseorang yang disebut guru, yang dipercaya memiliki pengetahuan lebih berdasarkan tingkat pendidikannya. Berdasarkan kamus besar Bahasa Indonesia, sekolah diartikan sebagai bangunan atau lembaga untuk belajar dan mengajar serta tempat menerima dan memberi pelajaran (menurut tingkat - annya, ada ). Padahal, dalam bahasa aslinya, yakni kata skhole, scola, scolae atau schola (Latin), kata itu secara harfiah berarti “waktu luang” atau “waktu senggang”. Berdasarkan keberadaan sekolah dari waktu ke waktu telah mengalami pergeseran makna yang mempengaruhi sistem dan pelaksanaannya. Sekolah pada masa Yunani kuno, masyarakat memanfaatkan waktu luangnya untuk mendatangi suatu tempat atau mengunjungi seseorang yang pandai dalam hal tertentu. Mereka berbagi ilmu pengetahuan yang menurut mereka penting dan dibutuhkan. Dalam jangka waktu yang lama, kegiatan tersebut bertahan dan menjadi tradisi bagi putra-putri mereka. Sampai pada seorang yang bernama John Amos Comenius, melalui mahakaryanya yang kemudian dianggap sebagai fons et erigo nya ilmu pendidikan (tepatnya : teori pengajaran), yakni kitab Didactica Magma, melontarkan gagasan pelembagaan pola proses pengasuhan anak-anak itu secara sistematis dan metodis, terutama karena kenyataan memang adanya keragaman latar belakang dan proses perkembangan anak-anak asuhan tersebut yang memerlukan penanganan khusus. Di tempat lain, kegiatan yang dikenal dengan “sekolah” juga berlangsung dalam bungkusan berbeda. Di India, seorang pendeta mengajarkan kitab Veda, ilmu pengetahuan, tata bahasa, dan filsafat di sekitar tahun 1200 sebelum Masehi. Di Indonesia sendiri, pada abad ke -11, pada pemerintahan Raja Udayana, di Bali, dikenal istilah Banjar atau Babanjaran, yang secara fungsional merupakan tempat warga berkumpul untuk membicarakan hal-hal yang menyangkut kepentinngan bersama, melalui proses pembelajaran yan terjadi sehari-hari. Penggunaan kata “sekolah” kemudian berkembang berdasarkan kebutuhan pada masa tertentu. Socrates melakukan pendekatan dengan mengjukan pertanyaan – pertanyaan pengglian untukmemicu pikiran – pikiran muridnya guna memahami makna kehidupan, kebenaran, dan keadilan lebih mendalam. Kemudian, Isocrates mengembangkan metode pendididkan untuk mempersiapkan para orator yang bekerja dikantor – kantor pemerintah. Pada sekitar abad 11 samapi abad 15, perkembangan pendidikan semakin maju. Adanya Unirversity of Paris pada abad ke 11, kemudian pada abad 14 dan 15 dikenal tokoh – tokoh penulis yang memberikan pengaruh besar dalam pendidikan terutama pada bidang ilmu arkeologi, mitologi, sejarah, dan kitab Suci.

Sejarah Perkembangan Sekolah

  • Upload
    fufu2

  • View
    185

  • Download
    12

Embed Size (px)

DESCRIPTION

sejarah sekolah

Citation preview

Page 1: Sejarah Perkembangan Sekolah

Sejarah Perkembangan SekolahSaat ini, “sekolah” dapat diartikan sebagai tempat berkumpulnya sekelompok manusia yang ingin

mendapatkan ilmu dari seseorang yang disebut guru, yang dipercaya memiliki pengetahuan lebih berdasarkan tingkat pendidikannya. Berdasarkan kamus besar Bahasa Indonesia, sekolah diartikan sebagai bangunan atau lembaga untuk belajar dan mengajar serta tempat menerima dan memberi pelajaran (menurut tingkat-annya, ada).

Padahal, dalam bahasa aslinya, yakni kata skhole, scola, scolae atau schola (Latin), kata itu secara harfiah berarti “waktu luang” atau “waktu senggang”.

Berdasarkan keberadaan sekolah dari waktu ke waktu telah mengalami pergeseran makna yang mempengaruhi sistem dan pelaksanaannya. Sekolah pada masa Yunani kuno, masyarakat memanfaatkan waktu luangnya untuk mendatangi suatu tempat atau mengunjungi seseorang yang pandai dalam hal tertentu. Mereka berbagi ilmu pengetahuan yang menurut mereka penting dan dibutuhkan. Dalam jangka waktu yang lama, kegiatan tersebut bertahan dan menjadi tradisi bagi putra-putri mereka. Sampai pada seorang yang bernama John Amos Comenius, melalui mahakaryanya yang kemudian dianggap sebagai fons et erigo nya ilmu pendidikan (tepatnya : teori pengajaran), yakni kitab Didactica Magma, melontarkan gagasan pelembagaan pola proses pengasuhan anak-anak itu secara sistematis dan metodis, terutama karena kenyataan memang adanya keragaman latar belakang dan proses perkembangan anak-anak asuhan tersebut yang memerlukan penanganan khusus.

Di tempat lain, kegiatan yang dikenal dengan “sekolah” juga berlangsung dalam bungkusan berbeda. Di India, seorang pendeta mengajarkan kitab Veda, ilmu pengetahuan, tata bahasa, dan filsafat di sekitar tahun 1200 sebelum Masehi. Di Indonesia sendiri, pada abad ke -11, pada pemerintahan Raja Udayana, di Bali, dikenal istilah Banjar atau Babanjaran, yang secara fungsional merupakan tempat warga berkumpul untuk membicarakan hal-hal yang menyangkut kepentinngan bersama, melalui proses pembelajaran yan terjadi sehari-hari.

Penggunaan kata “sekolah” kemudian berkembang berdasarkan kebutuhan pada masa tertentu. Socrates melakukan pendekatan dengan mengjukan pertanyaan – pertanyaan pengglian untukmemicu pikiran – pikiran muridnya guna memahami makna kehidupan, kebenaran, dan keadilan lebih mendalam. Kemudian, Isocrates mengembangkan metode pendididkan untuk mempersiapkan para orator yang bekerja dikantor – kantor pemerintah. Pada sekitar abad 11 samapi abad 15, perkembangan pendidikan semakin maju. Adanya Unirversity of Paris pada abad ke 11, kemudian pada abad 14 dan 15 dikenal tokoh – tokoh penulis yang memberikan pengaruh besar dalam pendidikan terutama pada bidang ilmu arkeologi, mitologi, sejarah, dan kitab Suci.

Di Sulawesi Selatan, berdiri sekolah rakyat yang memanfaatkan gedung tua peninggalan Belanda. Belajar dengan sistem yang teratur,mencakup semua bidang ilmu. Interaksi antara guru dan murid tidak hanya terjadi di dalam kelas, melainkan di halaman, di hutan, dengan bermodal keterampilan dan pengatahuan umum. Seketika semua berubah, bangunan hancur, digantikan dengan banyak banguan sekolah yang membuat murid – murid kini terpisah dibeberapa sekolah. Mereka pun bersekolah dengan penampilan yang lain, diikat oleh aturan seragam, sepatu, dan tas sekolah.interaksi yang monoton, dalam kelas, penuh keteraturan.

Sekarang ini, sekolah telah bergeser maknanya. Tempat dengan ukuran tertentu dan memiliki batasan – batasan yang membuat masyarakat berpikir bahwa salah satu alat keberhasilan seseorang adalah bersekolah.

Page 2: Sejarah Perkembangan Sekolah

PENDIDIKAN YANG HUMANIS

Pendidikan bukanlah persiapan untuk hidup,Pendidikan adalah hidup itu sendiri.(John Dewey, Filsuf)

Menarik jika kita kaji terlebih dahulu arti kata sekolah dalam bahasa aslinya, bahasa latin, yaitu schola. Kata itu secara hurufiah berarti “waktu luang”. Alkisah orang Yunani kuno menghabiskan waktu luangnya untuk bertemu orang yang pintar dan bijaksana. Mereka mengajukan pertanyaan, berdiskusi, atau sekedar meminta pendapat, lalu selanjutnya mereka kembali pada pekerjaan dan kehidupannya masing-masing. Kebiasaan dalam mengisi waktu luang pada masayarakat Yunani itu lama-lama berkembang dan menjadi lembaga sekolah dimana orang tua mempercayakan anaknya untuk dididik di sana.

Ada pengertian dasar lain tentang pendidikan yang bisa melengkapi pemahaman kita. Kata “pendidikan” diambil dari kata “educare”, yang berarti “menarik keluar dari”. Pengertian ini menunjukkan bahwa pengetahuan dan pemahaman itu sudah ada dalam diri setiap orang. Pendidik hanya perlu menarik dan mengangkatnya keluar dari pintu pemahaman si pelajar sendiri.

Revolusi PendidikanDalam The Accelerated Lerning Hand Book, Dave Meier menyebutkan bahwa pada abad ke-19, sekolah mulai mengalami penyempitan makna sebagai lembaga yang mengajarkan teori-teori yang bersifat “pasti” bagi murid. Hal ini sudah jauh dari pengertian dasar awal tentang sekolah dan pendidikan. Tugas dari sekolah abad ke-19 adalah mempersiapkan orang untuk menghadapi dunia yang statis dan dapat diramalkan. Win Wenger mengatakan bahwa sekolah abad ke-19 lebih menekankan pada “mengajar”, bukan “mendidik”. Dalam ungkapan Alexander Sutherland Neill, pendiri Summerhill School, “mereka diajari untuk mengetahui, tetapi sayangnya tidak diperkenankan untuk merasa”. Inti pendidikan yang diabaikan adalah keterlibatan akan pemahaman mengenai cara-cara untuk memahami. Malangnya sebagian besar dunia sekolah kita masih dipengaruhi cara pendidikan “mengajar” semacam ini.

Yang menjadi masalah utama bahwa dunia yang statis dan tidak berubah –yang diasumsikan pendidikan abad ke-19—itu adalah tidak ada. Pada penghujung abad ke-21 mulai disadari bahwa tujuan pendidikan adalah mempersiapkan orang untuk hidup di dunia yang pasang surut, yang sama sekali tidak statis. Orang harus hidup dengan mendayakan segala upaya dan kreativitasnya untuk mengenali masalah dan mengatasi permasalahan.

Ada sebuah statistik.Menurut data Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi DI Yogyakarta1, tahun 2008 jumlah penganggur yang bergelar sarjana sekitar 21.000 dan 663 di antara mereka bergelar S2. Jumlah itu berasal dari sekitar 148.696 penganggur di seluruh provinsi ini.

Tampak jelas, proses belajar di sekolah itu belum cukup. Penyempitan makna pendidikan bukan hanya abad ke-19 tapi juga dirasakan hingga sekarang.

Yang paling dilupakan bahwa proses belajar adalah seumur hidup. Robert T. Kiyosaki, seorang pendidik finansial dari Amerika, menyebutkan, “untuk pertama kalinya dalam sejarah, mereka yang berhasil baik di sekolah mungkin menghadapi tantangan ekonomi yang sama seperti mereka yang tidak berhasil dengan baik”. Bukan hanya di negara maju, di Indonesia semakin terasa bahwa keberhasilan dalam pekerjaan sering tidak ada kaitannya dengan nilai akademis yang baik. Dunia yang selalu berubah membuat tidak ada resep tunggal yang bisa diterapkan, yang bisa menjamin suatu keberhasilan. Satu-satunya yang menjadi dasar bagi menghadapi tantangan hidup adalah sifat pembelajar.Belajar adalah untuk memecahkan masalah. Kini revolusi pendidikan sudah menyadari pada kenyataan hidup yang seperti ini.

Page 3: Sejarah Perkembangan Sekolah

Belajar bukanlah mengkonsumsi ide, namunmenciptakan dan terus menciptakan ide.(Paulo Freire, Filsuf Pendidikan)

Kreatif dan MemahamiSaya memiliki definisi sederhana tentang Sifat Pembelajar:“Sifat pembelajar adalah sifat yang melekat pada semua aktivitas yang membawa pada pemahaman. Belajar bukan hanya pada aktivitas sekolah, tapi mencakup segala aspek kehidupan. Belajar adalah kehidupan. Selama kita memperoleh pemahaman, maka pada waktu itu kita sedang belajar“.

Apa kaitan antara sifat pembelajar dengan kreativitas?Dalam keseharian, masalah adalah subyek dari pelajaran. Kreatif adalah proses alami yang ada dalam diri kita semua. Jika kita memiliki kreativitas, maka “masalah” bukan menjadi masalah tetapi sesuatu yang bisa ditingkatkan. Dalam proses pembelajaran yang sesungguhnya, masalah adalah pertanda ada sesuatu yang bisa dipahami dan dipecahkan. Karena itu kreativitas itu bukan hanya mengenai menciptakan alat, menjadi penemu, memiliki nilai yang bagus, dan lain-lain. Pengertian kreativitas adalah kemampuan untuk memecahkan masalah. Memahami dan menjadi kreatif adalah sama. Mengerti adalah menjadi sesuatu yang lebih “baru” --mendapat pemahaman baru. Proses ini berulang terus. Semakin banyak tahu akan menghasilkan pengetahuan baru, dan seterusnya. Sifat pembelajar adalah sifat kreatif itu sendiri.

Anda tidak akan pernah menaklukkan gunung;anda hanya menaklukkan diri sendiri(Jim Walker, pendaki Mount Everest)

Pendidikan SosialAkan lebih menarik jika kita memahami pendidikan pada masalah sosial.Dalam Kompas 29 Juni 2008, Wapres Jusuf Kalla mengatakan “Marilah kita menghindari kepemimpinan yang membawa bangsa ini menjadi bangsa pemarah”. Inilah cerminan yang terjadi di Indonesia yang diwarnai banyak kekerasan di tengah kondisi perekonomian yang tidak kunjung membaik. Pada waktu itu Kalla resah dengan situasi masyarakat yang serba marah. “Mahasiswa ingin sesuatu, marah; guru ingin sesuatu, ikutan marah; buruh marah; kepala desa marah, murid marah. Dengan falsafah kalbu, tentu ini dapat diredam”, lanjutnya.

Jika daya pikir dan semangat eksploratif dan kreatif berantakan dariakar-akarnya, maka apapun yang kita perbuat tidak akanberbobot dan situasi sosial budaya menjadi sangat rawan.(YB. Mangunwijaya)

Apakah bisa dikatakan pendidikan sosial kita rapuh?Jika melihat situasi masyarakat yang marah, sepertinya memang “ya”.Pendidikan sosial tidak akan berhasil jika tanpa memperhatikan pendidikan individu. Di negara maju seperti Amerika, kekerasanpun masih terjadi sehingga di sana ada yang namanya Resolving Conflict Creatively Program (RCCP), sebagai upaya yang memperhatikan masalah konflik. Fokus dari RCCP ini adalah untuk mencegah adanya tindak kekerasan, namun Linda Lantieri, pendirinya, memandang lebih jauh. Lantieri melihat bahwa keterampilan yang digunakan untuk mencegah tindak kekerasan tak mungkin dipisahkan dengan keterampilan emosional. Mengetahui apa yang dirasakan, atau bagaimana menangani dorongan hati atau rasa sedih untuk mengatasi tindak kekerasan itu sama pentingnya dengan mengatasi amarah.

Pendidikan EmosiTampaknya kemarahan bukan masalah sosial melainkan individu. Kemarahan adalah wujud ketidakberdayaan. Dengan marah solusi tidak pernah akan ditemukan. Dibutuhkan kecakapan emosi, kemampuan kreatif dalam mengartikulasikan seluruh kemampuan –daripada marah.

Page 4: Sejarah Perkembangan Sekolah

Setelah muncul teori Kecerdasan Majemuk pada tahun 1983 selanjutnya pada tahun 1995 muncul Teori Kecerdasan Emosi (Emotial Intelligence) yang dikemukakan oleh Daniel Goleman. Pada dasarnya teori ini menegaskan kembali bahwa ada kecerdasan non-intelektual, yang memberikan kontribusi bagi keberhasilan. Teori Kecerdasan Emosi ini semakin melengkapi apa yang kita butuhkan tentang pendidikan yang sebenarnya.

Menurut Daniel Goleman, Kecerdasan Intelektual (IQ) hanya menyumbangkan kira-kira 20% bagi faktor-faktor penentuan kesuksesan dalam hidup. Seorang peneliti menyebutkan bahwa 80% sisanya ditentukan oleh kekuatan-kekuatan lain termasuk kelas sosial dan nasib baik. Goleman lebih menyoroti Kecerdasan Emosi sebagai faktor penentu yang dicirikan dengan: kemampuan memotivasi diri sendiri, mengendalikan dorongan hati, berempati, berdoa, dan lain-lain. Jika membandingkannya dengan Kecerdasan Majemuk yang dicetuskan Howard Gardner, Kecerdasan Emosi mencakup Kecerdasan Interpersonal, Kecerdasan Intrapersonal, dan Kecerdasan Eksistensial.

Sekolah formal sering memberikan soal-soal yang hanya memiliki satu jawaban yang benar, yang sudah bisa diketahui bagaimana cara pemecahannya. Hal seperti ini tidak bisa diterapkan dalam kehidupan. Apa yang kita hadapi adalah masalah yang belum terpecahkan.

Karen Arnold, seorang profesor pendidikan di Boston University, menyebutkan bahwa predikat juara tidak memberikan gambaran apapun tentang bagaimana mereka beraksi terhadap kesulitan-kesulitan hidup. Disinilah kita akan masuk pada Kecerdasaan Emosi, yang termasuk mengenai keterampilan menggunakan keterampilan-keterampilan lain yang kita miliki. Kecerdasan emosi bukanlah mengabaikan kecerdasan yang lain. Kecerdasan emosi adalah sesuatu yang membuat perkembangan diri lebih fokus pada pengenalan masalah dan pemecahannya. Emosi yang terarah dengan baik, akan mengarahkan pada pemahaman, dan kreativitas, itu semua adalah proses pembelajaran yang terbaik.

Sesungguhnya bukan pekerjaan yang membunuh manusia, tetapirasa takutlah pembunuh yang kejam(Ir. Soekarno, Presiden RI Pertama)

Masa kanak-kanak merupakan peluang terbuka yang penting untuk mengarahkan kebiasan-kebiasaan emosional yang mendasar. Golemen menyebutkan sebagai “kesempatan emas”. Perlakuan emosional yang buruk pada anak, tidak jarang menjadi trauma masa kecil yang berdampak pada perkembangan pribadinya kelak. Jika orang tua mengajarkan kasih sayang, kepedulian, cara mengatasi kendala, kerjasama, dan sifat-sifat positif lainnya, maka anak akan hidup dalam kepribadian yang lebih bahagia, lebih terbuka, kooperatif, dan lebih diterima dalam kehidupan sosialnya.

Dalam Sumerhill School, Neill secara tidak langsung juga menyinggung tentang kecerdasan emosi. Dia mengatakan: “Saya percaya bahwa anak yang bermasalah hampir selalu dikarenakan oleh perlakukan yang salah terhadap mereka di rumah dan di sekolah, sehingga saya berani menunjuk para orangtua dan guru sebagai pihak-pihak yang bertanggungjawab atas persoalan ini.”

Nasib BaikApakah ada faktor penentu lain? Nasib baik?Saya perlu menyisipkan pembahasan tentang nasib baik.Ada sebuah riset tentang “nasib baik” yang dilakukan oleh Ricard Wiseman, seorang psikolog dari University of Hertfordshire, Inggris.

Kisahnya, Wiseman mengundang para peserta yang merasa dirinya beruntung atau merasa sial. Para peserta diminta menghitung jumlah foto yang ada dalam surat kabar. Namun diam-diam ternyata Wiseman memasang bantuan berupa sebuah iklan tersamar setengah halaman disela-sela surat kabar. Iklan itu tertulis “Berhentilah menghitung, ada 43 foto di surat kabar ini”. Ternyata orang yang merasa dirinya tidak beruntung membutuh waktu sekitar 2 menit untuk menghitung foto di surat kabar itu. Sementara orang yang merasa dirinya beruntung hanya butuh waktu beberapa detik.

Penelitian Ricard Wiseman menunjukkan bahwa keberuntungan tergantung pada pikiran dan kebiasaan.

Page 5: Sejarah Perkembangan Sekolah

Untuk nasib baik yang tidak bisa dikondisikan, seperti mendapat undian misalnya, itu memang tidak bisa diapa-apakan lagi. Namun sangat jarang kisah sukses yang hanya didasari keberuntungan semacam itu.

Mereka memberi maka mereka bisa hidup, sebab tidak memberi berarti binasa.(Kahlil Gibran)

Hasil dari PendidikanKita telah cukup banyak membahas teori-teori pendidikan kontemporer. Pada intinya menegaskan bahwa belajar adalah memahami. Namun, apa yang dipahami itu untuk apa? Untuk bekal masa depan! Itu sudah jelas. Tidak ada seorangpun yang ingin belajar hanya untuk tidak memiliki masa depan. Masa depan yang seperti apa? Apakah hanya cukup makan dan hidup layak?

Paulo Freire merumuskan bahwa pendidikan haruslah berorientasi pada pengenalan realitas dirinya sendiri. Bagi Freire, pendidikan yang terbaik harus menjadi kekuatan penyadar ke arah perubahan yang lebih baik. Pendidikan bukan membuat anak didik menjadi orang yang terasing dan tercerabut dari realitas dirinya –dan menjadi korban atas ketidakberdayaannya.Saya ingin mengulangi Filosofi Rumah yang telah disebutkan pada bagian awal buku ini untuk memperjelas hal ini.

Filosofi ini meletakkan Cinta Kasih sebagai Fondasi Bangunan, pemberian informasi yang tepat sebagai Tiang Utamanya, dan pendekatan yang sesuai kecenderungan sebagai bahan bakar untuk Membangun Rumah. Dan Penemuan Jati Diri sebagai Atapnya, yang membuat segala hal yang telah dibangunnya menjadi berharga.

Menjadi pembaharu adalah dengan berbagi. Penemuan jati diri adalah berbagi, membuat potensi yang ada dalam diri kita menjadi lebih berguna bagi orang lain. Ungkapan bagi YB Mangunwijaya adalah menjadi homo ludens –manusia yang memiliki budi pekerti yang baik, berkemanusiaan tinggi, bukan homo homini lupus –manusia serigala yang memangsa manusia lainnya. Kebahagiaan adalah penemuan jati diri. Penemuan jati diri adalah cinta kasih yang mengejawantah.

Page 6: Sejarah Perkembangan Sekolah

Sejarah Sekolah

Arti sekolah pada mulanya Mendengar kata “sekolah” pada umumnya seseorang akan membayangkan suatu tempat dimana orang-orangnya melewatkan sebagian dari masa hidupnya untuk belajar atau mengkaji sesuatu. Kata itu unmumnya memang diacukan pada suatu system, suatu lembaga, suatu organisasi besar, dengan segenap kelengkapan perangkatnya: sejumlah orang yang belajar dan atau mengajar, sekawanan bangunan gedung, secakupan peralatan, serangkaian kegiatan terjadwal, selingkupan aturan, dan sebagainya, dan seterusnya. Padahal, dalam bahasa aslinya, yakni kata skhole, scola, scolae atau schola (Latin), kata itu secara harfiah berarti “waktu luang” atau “waktu senggang”. Nah, apa dulunya tak terjadi Si Jan atau Si Jack, yang menyebut kata itu dalam bahasa ibu mereka dengan ejaan school, yakni asal mula kata sekolah dalam bahasa kita sekarang? Sebenarnya tak ada yang keliru. Pangkal perkaranya bisa dilacak kembali jauh ke belakang ke zaman Yunani Kuno, zaman dan tempat asal-muasal kata tersebut. Alkisah, orang Yunani tempo dulu bisaanya mengisi waktu luang mereka dengan cara mengunjungi suatu tempat atau seseorang pandai tertentu untuk mempertanyakan dan mempelajari hal-ikhwal yang mereka rasakan memang perlu dan butuh untuk mereka ketahui. Mereka perlu butuh untuk mereka ketahui. Mereka menyebut kegiatan itu dengan kata atau istilah skhole, scola, scolae atau schola. Keempatnya punya arti sama : “waktu luang yang digunakan secara khusus untuk belajar” (leisure devoted to learning). Lama kelamaan, kebisaaan mengisi waktu luang mempelajari sesuatu itu akhirnya tidak lagi semata-mata jadi kebisaaan kaum lelaki dewasa atau sang ayah dalam susunan keluarga pati masyarakat Yunani Kuno. Kebisaaan itu juga kemudian diberlakukan bagi para putra-putri mereka, terutama anak laki-laki, yang diharapkan nantinya dapat menjadi pengganti sang ayah. Karena desakan perkembangan kehidupan yang kian beragam dan kian menyita waktu, sang ayah dan sang ibu merasa bahwa mereka pun tak lagi punya waktu untuk mengajarkan banyak hal kepada putra-putrinya. Karena itu, mereka kemudian mengisi waktu luang anak-anak mereka dengan cara menyerahkannya pada seseorang yang dianggap tahu atau pandai di suatu tempat dimana mereka juga dulunya pernah ber-skhole. Di tempat itulah anak-anak bisa bermain, berlatih melakukan sesuatu, belajar apa saja yang mereka anggap memang patut untuk dipelajari, sampai tiba saatnya kelak mereka harus pulang kembali ke rumah menjalankan kehidupan orang dewasa sebagaimana lazimnya. Maka, sejak saat itulah beralih sebagian dari fungsi scola matterna (pengasuhan ibu sampai usia tertentu), yang merupakan proses dan lembaga sosialisasi tertua umat manusia, menjadi scola in loco parentis (lembaga pengasuhan anak pada waktu senggang di luar rumah, sebagai pengganti ayah dan ibu). Itulah pula sebab mengapa lembaga pengasuhan ini kemudian bisaa juga disebut “ibu asuh” atau “ibu yang memberikan ilmu” (alma mater). Waktu terus berlalu. Para orangtua makin terbisaa saja mempercayakan kepada orang-orang atau lembaga-lembaga pengasuh pengganti mereka di luar rumah tersebut, dalam jangka waktu yang semakin lama dan dengan pola yang semakin teratur pula. Karena makin banyak anak yang harus diasuh, maka mulai pula diperlukan lebih banyak pengasuh yang bersedia meluangkan waktunya secara khusus untuk mengasuh anak-anak di suatu tempat tertentu yang telah disediakan, dengan peraturan yang lebih tertib dan dengan imbalan jasa berupa upah dari para orang tua anak-anak itu. Adalah seorang John Amos Comenius, melalui mahakaryanya yang kemudian dianggap sebagai fons et erigo nya ilmu pendidikan (tepatnya: teori pengajaran), yakni kitab Didactica Magma, melontarkan gagasan pelembagaan pola proses pengasuhan anak-anak itu secara sistematis dan metodis, terutama karena kenyataan memang adanya keragaman latar belakang dan proses perkembangan anak-anak asuhan tersebut yang memerlukan penanganan khusus. Melanjutkan tradisi Comenius, adalah seorang berkebangsaan Swiss, Johann Heinrich Pestalozzi, pada abad-18, tampil dengan gagasan yang lebih terinci. Orang ini melangkah lebih jauh dengan mengatur pengelompokan anak-anak asuhannya secara berjenjang, termasuk perjenjangan urutan kegiatan (kemudian disebut “pelajaran”) yang harus mereka lalui secara betahap. Juga pengaturan tentang cara-cara mereka harus melalui pelajaran tersebut pada setiap tahapan menurut batasan-batasan khas dan terbaku. Upaya yang kemudian dikenal dengan nama “Sistem Klasikal Pestalozzi” ini, akhirnya menjadi cikal-bakal pola pengajaran sekolah-sekolah modern yang kita kenal sekarang dengan perjenjangan kelas dan tingkatannya. Sebegitu jauh, skhole nya masyarakat Yunani Kuno pun menjadi suatu tradisi mendunia dengan berbagai keragaman bentuk pengembangan

Page 7: Sejarah Perkembangan Sekolah

dan penyesuaiannya di berbagai tempat. Memang, orang-orang Yunani Kuno bukanlah bangsa pertama dan satu-satunya yang memulai tradisi sekolah. Konon, bahkan sebelum Socrates dan muridnya, Plato, menyelenggarakan academia atau lyceum di Athena, bangsa Cina Purba kabarnya juga sudah memulainya pada 2000 tahun sebelum Jesus lahir. Dan, konon, itulah lembaga sekolah tertua di dunia yang pernah diketahui sampai saat ini. Juga, kaum Brahmin India sudah membangun Sekolah-sekolah Veda mereka setengah abad sesudahnya. Sejarah pin mencatat bahwa hamper semua bangsa di dunia ini sesungguhnya memiliki tradisi pola pengasuhan anak dan lembaga peresekolahannya sendiri-sendiri, tentu saja dalam ragam bentuk, sifat dan sebutan yang berbeda-beda. Pun, nenek moyang kita di Nusantara memiliki tradisi serupa yang diwarisi dari tradisi anak benua India dan kemudian juga dari tradisi jazirah Arab. Tetapi, untuk menjelaskan pengertian sekolah seperti yang kenal dan fahami dalam bentuknya yang umum saat ini, maka akar keberadaan dan alur kesejarahannya yang berpangkal pada zaman dan tradisi Yunani Kuno itulah yang mesti ditelusuri, yang kemudian kita warisi melalui tradisi sekolah-sekolah klonial, berkat kebijaksanaan “politik balas-budi” (etische politiek) kaum sosialis-humanis, Belanda dan Inggris, kala itu. Ah, kalau begitu, mudah saja menerangkan bagaimana kiranya kata sekolah yang semula cuma berarti pengisian waktu luang, kini bermakna dan mewujudkan diri sebagai suatu sitem kelembagaan pendidikan yang kadangkala dan celakanya sekaligus, diartikan sebagai wujud hakekat pendidikan yang kadangkala dan celakanya sekaligus, diartikan sebagai wujud hakekat pendidikan itu sendiri. Kata itu mestinya memang difahami dalam konteks kesejarahannya sebagai bagian dari keseluruhan perkembangan peradaban umat manusia dimana lembaga itu mewujudkan diri. Kesadaran kesejarahan kontekstual inilah yang teramat penting untuk memahami hakekat dinamika semua lembaga kemasyarakatan kita, termasuk lembaga sekolah: bagaimana sebenarnya ia mewujud pada saat ini, sebagai hasil dari suatu perjalanan panjang di masa lalu, dank e arah mana mestinya ia ditujukan untuk menghadapi masa depan yang sangat boleh jadi akan berbeda sama sekali. Copy and WIN : http://bit.ly/copynwin

Page 8: Sejarah Perkembangan Sekolah

Sejarah Terciptanya Pendidikan Di Sekolah

Sebagian para ahli percaya, bahwa pendidikan berasal dari beberapa akar peradaban. Satu diantaranya adalah peradaban Mesir Sumer, dimana muncul pertama kali berupa ruang kelas orang-orang Mesir Sumer yang dibangun untuk menampung sekitar 30 orang anak. Penemuan ini membawa orang kepada spekulasi bahwa ukuran ruang kelas umum di zaman modern mungkin didasarkan atas ruang-ruang kelas dari batu merah dan arsitektur orang-orang Sumer.

Meskipun demikian, Plato dan Aristophanes adalah orang pertama yang meninggalkan catatan tertulis mengenai ruang kelas dan sekolah. Sekolah pertama orang Athena Kuno memang sederhana. Sekolah itu hanya merupakan tambahan dari suatu program pendidikan yang dititikberatkan pada latihan kemiliteran, atletik, musik, dan puisi. Pengajaran membaca, menulis dan berhitung boleh dikatakan hanya sebagai pertimbangan sampingan. Aslinya pendidikan di Athena bersifat tutorial, suatu aspek hubungan perorangan yang seringkali juga bersifat erotik. Ketika Athena menjadi lebih demokratis dan jumlah muridnya mulai lebih banyak dari gurunya, maka secara berangsur-angsur hubungan tutorial digantikan dengan pengajaran kelompok/klasikal, urai Everett Reimer.

Jadi pemahaman mengenai masa-masa awal pendidikan dapat dimulai dari Mesir Kuno, yakni sekitar tahun 3000 hingga 5000 sebelum Masehi. Sementara di India, pada pendeta mengajarkan Kitab Veda, ilmu pengetahuan, tata bahasa, dan filsafat di sekitar tahun 1200 sebelum Masehi. Di Cina, pendidikan formal (pengajaran) diperkirakan muncul pada masa Dinasti Zhou berkuasa, yakni antara tahun 770-256 sebelum Masehi. Konfusius, Mensius, Laotzu, termasuk di antara guru-guru pertama di Cina Kuno.

Di Yunani Kuno, tempat asal Filsafat Barat, kaum Shopis mulai mengajar di Athena sekitar tahun 400 sebelum Masehi. Socrates, yang meninggal tahun 399 sebelum Masehi, boleh jadi orang pertama yang mengatakan bahwa "true knowledge existed within everyone and needed to be brought to consciousness"

(Pengetahuan sejati ada di dalam setiap orang dan perlu disadari). Dengan dalil ini pendekatan Socrates adalah mengajukan pertanyaan-pertanyaan penggalian untuk memicu pikiran-pikiran murid-muridnya guna memahami makna kehidupan, kebenaran, dan keadilan secara lebih mendalam.

Sepeninggal Socrates, Plato mendirikan Academy di tahun 387 sebelum Masehi, dan 52 tahun berikutnya Aristoteles mendirikan sekolahnya sendiri bernama Lyceum, juga di Athena. Lalu di abad yang sama, Isocrates mengembangan metode pendidikan untuk mempersiapkan para orator yang bekerja di kantor-kantor pemerintah. Ia diyakini ikut mempengaruhi secara langsung para ahli pendidikan Romawi seperti Cicero, penulis De Oratore, dan Quintillian, yang membagi pelajaran-pelajaran secara khusus berdasarkan pentahapan di awal tahun Masehi.

Pada masa awal Masehi, orang-orang Yahudi juga telah memberikan pengajaran di tempat yang disebut Sinagoga. Utamanya yang diajarkan adalah Kitab Taurat Musa. Dan ketika kekristenan telah berkembang, maka Gereja Romawi kemudian juga menggunakan bangunan yang di sebut gereja sebagai tempat pengajaran yang utamanya mengajarkan hal-hal yang berkaitan dengan Kitab Suci serta mempersiapkan pemimpin-pemimpin agama yang mengajar di gereja. Pada masa itu wanita masih sangat sedikit memperoleh kesempatan untuk ikut belajar bersama anak-anak laki-laki sebayanya.

Sekitar abad X-XI, pendidikan Islam dari Arab mulai mempengaruhi sistem pendidikan Barat. Melalui interaksi kaum Muslimin dengan pendidik-pendidik Barat, terutama di Afrika Utara dan Spanyol, dunia Barat mulai belajar dari kaum Muslimin tentang matematika, ilmu alam, ilmu

Page 9: Sejarah Perkembangan Sekolah

pengobatan, dan filsafat. Sistem angka yang menjadi fondasi dari aritmetika di dunia Barat diyakini sebagian orang sebagai kontribusi terpenting dari pendidikan Islam dari Arab itu.

Penemuan mesin cetak Gutenberg di pertengahan Abad XV membuat buku makin mudah tersedia dan pada gilirannya mengakselerasi proses pembelajaran di dunia. Selanjutnya abad XVII hingga XIX tercatat beberapa nama tokoh yang berpengaruh dalam pendidikan Barat seperti antara lain: Comenius atau Jan Komensky, John Locke di Inggris, Benyamin Franklin dan Thomas Jefferson di Amerika, Johann Heinrich Pestalozzi di Swiss, Jean Jacques Rousseau di Perancis, dan lainnya.

Yang menarik untuk disebutkan secara khusus adalah peran Fiedrich Froebel yang pertama kali membuka kindergarten (Taman Kanak-kanak) di Blankenburg, Jerman, dengan kurikulum berisi pelajaran menyanyi, cerita, permainan, hadiah, dan occupations, di tahun 1837. Konsep kinderganten Froebel ini kemudian dibawa ke Amerika oleh Margarethe Meyer Schurz dengan membuka taman kanak-kanak berbahasa Jerman di Watertown, Wisconsin, tahun 1855. Tahun 1860 Elizabeth Peabody melanjutkan hal ini dengan membuka sekolah sejenis berbahasa Inggris dan juga mengajar serta melatih para pengajar taman-kanak-kanak di Boston. William Torrey Harris memberikan kontribusi ketika memasukkan taman kanak-kanak sebagai bagian dari sekolah umum di Amerika.

Pada awal abad XX, Ellen Key, seorang feminis, penulis, dan ahli pendidikan Swedia, ikut mempengaruhi sejarah pendidikan dunia. Bukunya The Century of the Child (1909) menawarkan pendekatan pendidikan yang menekankan kebutuhan dan potensi anak ketimbang kebutuhan masyarakat atau prinsip-prinsip agama. Ia antara lain diikuti oleh ahli pendidikan Jerman Herman Liets dan Georg Michael Kerschensteiner, ahli pendidikan dan filosof Inggis Bertrand Russel, dan Maria Montessori dari Italia. Konsep pendidikan anak yang dikembangkan Montessori kemudian mempengaruhi Amerika dan kembali menarik perhatian ahli pendidikan di sana pada tahun 1950-an.

Namun, dalam arti yang lebih luas pendidikan mungkin telah dimulai sejak manusia ada di muka bumi. Dalam bentuknya yang informal dan nonformal (pelatihan), pendidikan diberikan oleh orangtua dan masyarakat setempat kepada kaum mudanya dalam bentuk berbagi informasi tentang cara mendapatkan makanan, membuat tempat berteduh, membuat senjata dan perlengkapan hidup lainnya, belajar bahasa, dan nilai-nilai serta perilaku yang mengekspresikan ritus-ritus dalam budaya mereka masing-masing.

Page 10: Sejarah Perkembangan Sekolah

Sejarah Pendidikan Indonesia

Sejarah pendidikan di Indonesia. Dalam masyarakat Indonesia sebelum masuk kebudayaan Hindu, pendidikan diberikan langsung oleh orang tua atau orang tua-orang tua dari masyarakat setempat mengenai kehidupan spiritual moralnya dan cara hidup untuk memenuhi perekonomian mereka. Masuknya dan meluasnya kebudayaan asing yang dibawa ke Indonesia telah diserap oleh Bangsa Indonesia melalui masyarakat pendidikannya. Lembaga Pendidikan itu telah menyampaikan kebudayaan tertulis dan banyak unsur-unsur kebudayaan lainnya.Sejarah pendidikan di Indonesia dimulai pada zaman berkembangnya satu agama di Indonesia. Kerajaan-kerajaan  Hindu di Pulau Jawa, Bali dan Sumatera yang mulai pada abad ke-4 sesudah masehi itulah tempat mula-mula ada pendidikan yang terdapat di daerah-daerah itu. Dapat dikatakan, bahwa lembaga-lembaga pendidikan dilahirkan oleh lembaga-lembaga agama dan  mata pelajaran yang tertua adalah pelajaran tentang agama. Tanda-tanda mengenai adanya kebudayaan dan peradaban Hindu tertua ditemukan pada abad ke-5 di daerah Kutai (Kalimantan). Namun demikian gambaran tentang pendidikan dan ilmu pengetahuan di Indonesia didapatkan dari sumber-sumber Cina kurang lebih satu abad kemudian.

Ada 2 macam sistem pendidikan dan pengajaran Islam di Indonesia :

Pendidikan di LanggarDi setiap desa di Pulau Jawa terdapat tempat beribadah dimana umat Islam dapat melakukan ibadanya sesuai dengan perintah agamanya. Tempat tersebut dikelola oleh seorang petugas yang disebut amil, modin atau lebai (di Sumatera). Petugas tersebut berfungsi ganda, disamping memberikan do’a pada waktu ada upacara keluarga atau desa, dapat pula berfungsi sebagai guru agama.

Pendidikan di PesantrenDimana murid-muridnya yang belajar diasramakan yang dinamakan pondok-pondok tersebut dibiayai oleh guru yang bersangkutan ataupun atas biaya bersama dari masyarakat pemeluk agama Islam. Para santri belajar pada bilik-bilik terpisah tetapi sebagian besar waktunya digunakan untuk keluar ruangan baik untuk membersihkan ruangan maupun bercocok tanam.

Pendidikan Pada Abad Ke Dua Puluh Jaman Pemerintahan Hindia Belanda dan Pendudukan. Di kalangan orang-orang Belanda timbul aliran-aliran untuk memberikan kepada pendudukan asli bagian dari keuntungan yang diperoleh orang Eropa (Belanda) selama mereka menguasai Indonesia. Aliran ini mempunyai pendapat bahwa kepada orang-orang Bumiputera harus diperkenalkan kebudayaan dan pengetahuan barat yang telah menjadikan Belanda bangsa yang besar. Aliran atau paham ini dikenal sebagai Politik Etis (Etische Politiek). Gagasan tersebut dicetuskan semula olah Van Deventer pada tahun 1899 dengan mottonya “Hutang Kehormatan” (de Eereschuld). Politik etis ini diarahkan untuk kepentingan penduduk Bumiputera dengan cara memajukan penduduk asli secepat-cepatnya melalui pendidikan secara Barat.

Dalam dua dasawarsa semenjak tahun 1900 pemerintah Hindia Belanda banyak mendirikan sekolah-sekolah berorientasi Barat. Berbeda dengan Snouck Hurgronje yang mendukung pemberian pendidikan kepada golongan aristokrat Bumiputera, maka Van Deventer menganjurkan pemberian pendidikan Barat kepada orang-orang golongan bawah. Tokoh ini tidak secara tegas menyatakan bahwa orang dari golongan rakyat biasa yang harus didahulukan tetapi menganjurkan supaya rakyat biasa tidak terabaikan. Oleh karena itu banyak didirikan sekolah-sekolah desa yang berbahasa pengantar bahasa daerah, disamping sekolah-sekolah yang berorientasi dan berbahasa pengantar bahasa Belanda. Yang menjadi landasan dari langkah-langkah dalam pendidikan di Hindia Belanda, maka pemerintah mendasarkan kebijaksanaannya pada pokok-pokok pikiran sebagai berikut :

Pendidikan dan pengetahuan barat diterapkan sebanyak mungkin bagi golongan penduduk Bumiputera untuk itu bahasa Belanda diharapkan dapat menjadi bahasa pengantar di sekolah-sekolah

Page 11: Sejarah Perkembangan Sekolah

Pemberian pendidikan rendah bagi golongan Bumiputera disesuaikan dengan kebutuhan mereka

Atas dasar itu maka corak dan sistem pendidikan dan persekolahan di Hindia Belanda pada abad ke-20 dapat ditempuh melalui 2 jalur tersebut. Di satu pihak melalui jalur pertama diharapkan dapat terpenuhi kebutuhan akan unsur-unsur dari lapisan atas serta tenaga didik bermutu tinggi bagi keperluan industri dan ekonomi dan di lain pihak terpenuhi kebutuhan tenaga menengah dan rendah yang berpendidikan.

Tujuan pendidikan selama periode kolonial tidak pernah dinyatakan secara tegas. Tujuan pendidikan antara lain adalah untuk memenuhi keperluan tenaga buruh untuk kepentingan kaum modal Belanda. Dengan demikian penduduk setempat dididik untuk menjadi buruh-buruh tingkat rendahan (buruh kasar). Ada juga sebagian yang dilatih dan dididik untuk menjadi tenaga administrasi, tenaga teknik, tenaga pertanian dan lain-lainnya yang diangkat sebagai pekerja-pekerja kelas dua atau tiga. Secara singkat tujuan pendidikan ialah untuk memperoleh tenaga-tenaga kerja yang murah. Suatu fakta menurut hasil Komisi Pendidikan Indonesia Belanda yang dibentuk pada tahun 1928 – 1929 menunjukkan bahwa 2 % dari orang-orang Indonesia yang mendapat pendidikan barat berdiri sendiri dan lebih dari  83% menjadi pekerja bayaran serta selebihnya menganggur. Diantara yang 83% itu 45% bekerja sebagai pegawai negeri. Pada umumnya gaji pegawai negeri dan pekerja adalah jauh lebih rendah dibandingkan dengan gaji-gaji Barat mengenai pekerjaan yang sama.

Page 12: Sejarah Perkembangan Sekolah

Pendidikan karakterpendidikanPendidikan Karakter merupakan bentuk kegiatan manusia yang di dalamnya terdapat suatu tindakan yang mendidik diperuntukkan bagi generasi selanjutnya. [1] Tujuan pendidikan karakter adalah untuk membentuk penyempurnaan diri individu secara terus-menerus dan melatih kemampuan diri demi menuju kearah hidup yang lebih baik. [1]

Sejarah

Istilah karakter dalam konteks pendidikan baru muncul pada akhir abad ke 18. [1] Berikut ini adalah gambaran perkembangan pendidikan karakter dalam kehidupan manusia. [1]

Perang Melawan Lupa

Aktivitas pendidikan sejak awal telah dijadikan sebagai cara bertindak dari masyarakat.[1] Manusia mewariskan nilai yang menjadi bagian penting dari budaya masyarakat dimana tempat mereka hidup dan mewariskan nilai kepada generasi selanjutnya.[1] Pendidikan memiliki peran penting karena pendidikan tidak hanya menentukan keberlangsungan masyarakat namun juga menguatkan identitas individu dalam masyarakat [1] Dalam prosesnya berjuang melawan lupa dan berusaha membuat kenangan akan harta warisan kebudayaan merupakan awal kegiatan pendidikan.[1]

Pendidikan Karakter Ala Romawi

Pendidikan karakter ala Romawi lebih menekankan pada pentingnya aspek keluarga dalam hal pemberian nilai karakter.[1] Bentuk nyata dari pembentukan karakter itu dimulai dengan memberikan nilai moral seperti memberikan rasa hormat kepada tradisi leluhur kepada setiap generasi penerus.[1] Unsur dasar pendidikan karakter ala Romawi ialah memberikan nilai seperti mengutamakan kebaikan, kesetiaan, dan berperilaku sesuai dengan norma dalam masyarakat.[1]

Pendidikan Karakter di Indonesia

Pendidikan karakter bukan hal baru dalam tradisi pendidikan di Indonesia.[1] Beberapa pendidik Indonesia modern yang kita kenal seperti Soekarno telah mencoba menerapkan semangat pendidikan karakter sebagai pembentuk kepribadian dan identitas bangsa yang bertujuan menjadikan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang berkarakter.[1]

Kelemahan Pendidikan Karakter di Indonesia

Persoalan pendidikan karakter di Indonesia sejauh ini menyangkut pendidikan moral dan dalam aplikasinya terlalu membentuk satu arah pembelajaran khusus sehingga melupakan mata pelajaran lainnya, dalam pembelajaran terlalu membentuk satu sudut kurikulum yang diringkas kedalam formula menu siap saji tanpa melihat hasil dari proses yang dijalani.[2] Guru/dosen pun cenderung mengarahkan prinsip moral umun secara satu arah, tanpa melibatkan partisipasi siswa untuk bertanya dan mengajukan pengalaman empiriknya.[2] Sejauh ini dalam proses pendidikan di Indonesia yang berorientasi pada Pembentukan karakter individu belum dapat dikatakan tercapai karena dalam prosesnya pendidikan di Indonesia terlalu mengedepankan penilian pencapaian individu dengan tolak ukur tertentu terutama logik-matematik sebagai ukuran utama yang menempatkan seseorang sebagai warga kelas satu. [2] Dalam prosesnya pendidikan karakter yang berorientasi pada moral dikesampingkan dan akibatnya banyak kegagalan nyata pada dimensi pembentukan karakter individu contohnya Indonesia terkenal di pentas dunia karena kisah yang buruk seperti korupsi dengan moralitas yang lembek.[2]

006. PendiPendidikan Karakter di Sekolah

Page 13: Sejarah Perkembangan Sekolah

Pendidikan karakter merupakan aspek yang penting bagi generasi penerus.[1] Seorang individu tidak cukup hanya diberi bekal pembelajaran dalam hal intelektual belaka tetapi juga harus diberi hal dalam segi moral dan spiritualnya, seharusnya pendidikan karakter harus diberi seiring dengan perkembangan intelektualnya yang dalam hal ini harus dimulai sejak dini khususnya dilembaga pendidikan.[3]</nowiki> Pendidikan karakter di sekolah dapat dimulai dengan memberikan contoh yang dapat dijadikan teladan bagi murid dengan diiringi pemberian pembelajaran seperti keagamaan dan kewarganegaraan sehingga dapat membentuk individu yang berjiwa sosial, berpikir kritis, memiliki dan mengembangkan cita-cita luhur, mencintai dan menghormati orang lain, serta adil dalam segala hal.[4]</nowiki>

Tujuan Pendidikan Karakter

Lahirnya pendidikan karakter bisa dikatakan sebagai sebuah usaha untuk menghidupkan spiritual yang ideal.[1] Foerster seorang ilmuan pernah mengatakan bahwa tujuan utama dari pendidikan adalah untuk membentuk karakter karena karakter merupakan suatu evaluasi seorang pribadi atau individu serta karakter pun dapat memberi kesatuan atas kekuatan dalam mengambil sikap di setiap situasi.[1] Pendidikan karakter pun dapat dijadikan sebagai strategi untuk mengatasi pengalaman yang selalu berubah sehingga mampu membentuk identitas yang kokoh dari setiap individu dalam hal ini dapat dilihat bahwa tujuan pendidikan karakter ialah untuk membentuk sikap yang dapat membawa kita kearah kemajuan tanpa harus bertentangan dengan norma yang berlaku.[1] Pendidikan karakter pun dijadikan sebagai wahana sosialisasi karakter yang patut dimiliki setiap individu agar menjadikan mereka sebagai individu yang bermanfaat seluas-luasnya bagi lingkungan sekitar.[5] Pendidikan karakter bagi individu bertujuan agar :[5]

Mengetahui berbagai karakter baik manusia. Dapat mengartikan dan menjelaskan berbagai karakter.

Menunjukkan contoh prilaku berkarakter dalam kehidupan sehari-hari.

Memahami sisi baik menjalankan prilaku berkarakter.

Page 14: Sejarah Perkembangan Sekolah

Mewujudkan Pendidikan Karakter Yang Berkualitas

Dalam tataran teori, pendidikan karakter sangat menjanjikan bagi menjawab persoalan pendidikan di Indonesia. Namun dalam tataran praktik, seringkali terjadi bias dalam penerapannya. Tetapi sebagai sebuah upaya, pendidikan karakter haruslah sebuah program yang terukur pencapaiannya. Bicara mengenai pengukuran artinya harus ada alat ukurnya, kalo alat ukur pendidikan matematika jelas, kasih soal ujian jika nilainya diatas strandard kelulusan artinya dia bisa. Nah, bagaimana dengan pendidikan karakter?

Jika diberi soal mengenai pendidikan karakter maka soal tersebut tidak benar-benar mengukur keadaan sebenarnya. Misalnya, jika anda bertemu orang yang tersesat ditengah jalan dan tidak memiliki uang untuk melanjutkan perjalananya apa yang anda lakukan? Untuk hasil nilai ujian yang baik maka jawabannya adalah menolong orang tersebut, entah memberikan uang ataupun mengantarnya ke tujuannya. Pertanyaan saya, apabila hal ini benar-benar terjadi apakah akan terjadi seperti teorinya? Seperti jawaban ujian? Lalu apa alat ukur pendidikan karakter? Observasi atau pengamatan yang disertai dengan indikator perilaku yang dikehendaki. Misalnya, mengamati seorang siswa di kelas selama pelajaran tertentu, tentunya siswa tersebut tidak tahu saat dia sedang di observasi. Nah, kita dapat menentukan indikator jika dia memiliki perilaku yang baik saat guru menjelaskan, anggaplah mendengarkan dengan seksama, tidak ribut dan adanya catatan yang lengkap. Mudah bukan? Dan ini harus dibandingkan dengan beberapa situasi, bukan hanya didalam kelas saja. Ada banyak cara untuk mengukur hal ini, gunakan kreativitas anda serta kerendahan hati untuk belajar lebih maksimal agar pengukuran ini lebih sempurna.

Membentuk siswa yang berkarakter bukan suatu upaya mudah dan cepat. Hal tersebut memerlukan upaya terus menerus dan refleksi mendalam untuk membuat rentetan Moral Choice (keputusan moral) yang harus ditindaklanjuti dengan aksi nyata, sehingga menjadi hal yang praktis dan reflektif. Diperlukan sejumlah waktu untuk membuat semua itu menjadi custom (kebiasaan) dan membentuk watak atau tabiat seseorang. Menurut Helen Keller (manusia buta-tuli pertama yang lulus cum laude dari Radcliffe College di tahun 1904) “Character cannot be develop in ease and quite. Only through experience of trial and suffering can the soul be strengthened, vision cleared, ambition inspired, and success achieved”.

Selain itu pencanangan pendidikan karakter tentunya dimaksudkan untuk menjadi salah satu jawaban terhadap beragam persoalan bangsa yang saat ini banyak dilihat, didengar dan dirasakan, yang mana banyak persoalan muncul yang di indentifikasi bersumber dari gagalnya pendidikan dalam menyuntikkan nilai-nilai moral terhadap peserta didiknya. Hal ini tentunya sangat tepat, karena tujuan pendidikan bukan hanya melahirkan insan yang cerdas, namun juga menciptakan insan yang berkarakter kuat. Seperti yang dikatakan Dr. Martin Luther King, yakni “intelligence plus character that is the goal of true education” (kecerdasan yang berkarakter adalah tujuan akhir pendidikan yang sebenarnya).

Banyak hal yang dapat dilakukan untuk merealisasikan pendidikan karakter di sekolah. Konsep karakter tidak cukup dijadikan sebagai suatu poin dalam silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran di sekolah, namun harus lebih dari itu, dijalankan dan dipraktekan. Mulailah dengan belajar taat dengan peraturan sekolah, dan tegakkan itu secara disiplin. Sekolah harus menjadikan pendidikan karakter sebagai sebuah tatanan nilai yang berkembang dengan baik di sekolah yang diwujudkan dalam contoh dan seruan nyata yang dipertontonkan oleh tenaga pendidik dan kependidikan di sekolah dalam keseharian kegiatan di sekolah.

Di sisi lain, pendidikan karakter merupakan upaya yang harus melibatkan semua pemangku kepentingan dalam pendidikan, baik pihak keluarga, sekolah dan lingkungan sekolah dan juga masyarakat luas. Oleh karena itu, langkah awal yang perlu dilakukan adalah membangun kembali kemitraan dan jejaring pendidikan yang kelihatannya mulai terputus diantara ketiga stakeholders terdekat dalam lingkungan sekolah yaitu guru, keluarga dan masyarakat. Pembentukan dan pendidikan karakter tidak akan berhasil selama antara stakeholder lingkungan

Page 15: Sejarah Perkembangan Sekolah

pendidikan tidak ada kesinambungan dan keharmonisan. Dengan demikian, rumah tangga dan keluarga sebagai lingkungan pembentukan dan pendidikan karakter pertama dan utama harus lebih diberdayakan yang kemudian didukung oleh lingkungan dan kondisi pembelajaran di sekolah yang memperkuat siklus pembentukan tersebut. Di samping itu tidak kalah pentingnya pendidikan di masyarakat. Lingkungan masyarakat juga sangat mempengaruhi terhadap karakter dan watak seseorang. Lingkungan masyarakat luas sangat mempengaruhi terhadap keberhasilan penanaman nilai-nilai etika, estetika untuk pembentukan karakter. Menurut Qurais Shihab (1996; 321), situasi kemasyarakatan dengan sistem nilai yang dianutnya, mempengaruhi sikap dan cara pandang masyarakat secara keseluruhan. Jika sistem nilai dan pandangan mereka terbatas pada kini dan disini, maka upaya dan ambisinya terbatas pada hal yang sama.

Ingin mewujudkan pendidikan karakter yang berkualitas? Maka kuncinya sudah dipaparkan diatas, ada alat ukur yang benar sehingga ada evaluasi dan tahu apa yang harus diperbaiki, adanya tiga komponen penting (guru, keluarga dan masyarakat) dalam upaya merelaisasikan pendidikan karakter berlangsung secara nyata bukan hanya wacana saja tanpa aksi. Ingat, Pendidikan karakter melalui sekolah, tidak semata-mata pembelajaran pengetahuan semata, tetapi lebih dari itu, yaitu penanaman moral, nilai-nilai etika, estetika, budi pekerti yang luhur. Dan yang terpenting adalah praktekan setelah informasi tersebut di berikan dan lakukan dengan disiplin oleh setiap elemen sekolah.