1
BINTANG KRISANTI B AGAI sebuah per- tandingan sepak bola yang sangat alot, be- gitulah Konferensi Perubahan Iklim PBB yang berlangsung di Durban, Afrika Selatan (Afsel), yang dimulai 28 November lalu. Penutupan Konferensi Para Pihak ke-17 (COP 17)/Pertemuan Para Pihak untuk Protokol Kyoto ke-7 (CMP-7) Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) itu molor dua hari dari jadwal sebelumnya, yakni 9 Desember 2011. Negara-negara tetap ter- pecah dua dalam hal masa depan Protokol Kyoto (KP). Ke- lompok pertama mendukung kelanjutan KP dan yang kedua menghendaki adanya perjan- jian baru. Indonesia termasuk kelom- pok pertama, sedangkan nega- ra-negara yang menginginkan terbentuknya perjanjian baru adalah Uni Eropa, Norwegia, Australia, dan Selandia Baru. Jepang dan Rusia menya- takan akan meninggalkan Pro- tokol Kyoto, bahkan Kanada akan mengundurkan diri pada 23 Desember mendatang. Ame- rika Serikat, seperti biasa, tak akan setuju dengan keputusan apa pun yang tak sejalan de- ngan kemauan mereka. China dan India belum memberikan ‘sinyal’ akan bergabung dengan kesepakatan yang diusulkan Uni Eropa tentang perjanjian baru ini. Akhirnya, Presiden COP 17 sekaligus Menteri Luar Negeri Afsel Maite Nkoana-Masha- bane pun mendesak para dele- gasi untuk menyetujui Paket Durban. Paket yang diakui ti- dak sempurna ini terdiri dari empat poin, termasuk tentang KP tahap dua yang berlaku hingga 2017. Namun, poin itu pun mengundang keraguan karena komitmen sukarela Uni Eropa untuk memotong emisi sebesar 20% baru ditetapkan tercapai pada 2020. Di antara kelesuan masa depan KP, ada pula isu hangat yang terus merebak di COP 17 ini. Negara-negara berkem- bang, termasuk Indonesia, bersemangat mendorong Green Climate Fund (GCF), yakni sebuah skema pendanaan un- tuk adaptasi perubahan iklim. “GCF dapat dimaknai sebagai perwujudan polluters pay prin- ciple, yang berarti negara maju harus membayar biaya adaptasi negara berkembang akibat emi- si karbon yang dihasilkan oleh negara maju sejak satu abad lalu,” kata Kepala Sekretariat Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) Agus Purnomo melalui rilis yang diterima di Jakarta, Jumat (9/12) lalu. Ketua Harian DNPI sekali- gus Ketua Delegasi RI (Delri) di COP 17, Rachmat Witoelar, mengatakan GCF merupakan salah satu kepentingan nasio- nal RI yang diperjuangkan di forum itu. “Karena sukarnya mencapai kesepakatan soal ke- pentingan global, kami fokus dulu untuk kepentingan nasio- nal,” ujar Rachmat. Total dana yang bisa tersedia dari GCF memang menggiur- kan. Untuk pendanaan jalur ce- pat terdapat total US$30 miliar (2010-2012), sedangkan untuk pendanaan jangka panjang ada US$100 miliar per tahunnya. Menurut rencana, GCF yang akan dilembagakan dan bersifat mengikat secara hukum serta memiliki 25 anggota dewan yang terdiri dari 15 pejabat dari negara-negara maju dan 10 pe- jabat dari negara berkembang, termasuk tujuh anggota nega- ra-negara Asia. Negara-negara diminta mencalonkan anggota badan selambat-lambatnya 31 Maret 2012. Dalam posisi anggota dewan GCF, sebenarnya Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi salah satu anggota dewan yang mewakili tujuh negara berkembang. Indone- sia sudah menyatakan komit- men untuk menurunkan angka emisi sebesar 26% dari business as usual pada 2020. Penurunan itu bahkan bisa mencapai 41% jika dibantu pendanaan inter- nasional. Tidak jelas Meski demikian, pesimisme komentar berlawanan di- layangkan beberapa LSM. Me- reka pesimistis dengan proyek Green Climate Fund. Pasalnya, sumber pendanaan sampai se- karang masih belum jelas. AS, sebagai negara emitter raksasa, justru menarik komit- men mereka untuk memobili- sasi dana US$100 miliar untuk penanggulangan perubahan iklim. Dengan ketidakjelasan sumber pendanaan, Walhi pun berpendapat GCF tidak akan berguna. Dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (8/11), Walhi juga mengkhawatirkan adanya intervensi pasar dan lembaga keuangan internasional yang mendominasi. Hal serupa disuarakan Koalisi Anti Utang. “Tak perlu membentuk perjanjian baru kalau perjanjian di Protokol Kyoto bisa diperpanjang, apa- lagi membahas Green Climate Fund. Mereka terlalu banyak membicarakan pendanaan sampai lupa,” kata Yuyun Har- mono, programme ofcer Koalisi Anti Utang. Para aktivis LSM juga me- nilai ada hal lain yang sering terabaikan dalam perundingan- perundingan iklim tersebut, ya- itu masalah evaluasi. “Evaluasi segala agenda yang sudah ber- jalan, apakah pernah ada? Jika ada, apakah berjalan dengan baik?,” kata Yuyun lagi. Evalu- asi ini dinilai sangat penting untuk menjaga agar komitmen tetap berada dalam jalurnya. (Reuters/AFP/Ant/*/M-3) [email protected] SELASA, 13 DESEMBER 2011 21 P OP LINGKUNGAN Ketika masa depan Protokol Kyoto makin suram, skema pendanaan perubahan iklim menjadi harapan negara berkembang. Sayang, kepastian dana juga tidak jelas. Dilema Pendanaan Perubahan Iklim HUTAN BAKAU GUNDUL: Hamparan hutan bakau yang gundul di pesisir Pantai Oesapa, Nusa Tenggara Timur, beberapa waktu lalu. Keberadaan hutan bakau sangat diperlukan untuk mencegah dampak buruk naiknya permukaan air laut akibat perubahan iklim. Usaha-usaha adaptasi perubahan iklim, termasuk penanaman kembali bakau, di negara- negara berkembang juga membutuhkan pendanaan internasional. MI/PALCE AMALO

SELASA, 13 DESEMBER 2011 Dilema Pendanaan Perubahan Iklim file... Norwegia, Australia, dan Selandia Baru. ... “GCF dapat dimaknai sebagai ... negara-negara maju dan 10 pe-jabat dari

  • Upload
    lammien

  • View
    214

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: SELASA, 13 DESEMBER 2011 Dilema Pendanaan Perubahan Iklim file... Norwegia, Australia, dan Selandia Baru. ... “GCF dapat dimaknai sebagai ... negara-negara maju dan 10 pe-jabat dari

BINTANG KRISANTI

BAGAI sebuah per-tandingan sepak bola yang sangat alot, be-gitulah Konferensi

Perubahan Iklim PBB yang berlangsung di Durban, Afrika Selatan (Afsel), yang dimulai 28 November lalu. Penutupan Konferensi Para Pihak ke-17 (COP 17)/Pertemuan Para Pihak untuk Protokol Kyoto ke-7 (CMP-7) Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) itu molor dua hari dari jadwal sebelumnya, yakni 9 Desember 2011.

Negara-negara tetap ter-pecah dua dalam hal masa depan Protokol Kyoto (KP). Ke-lompok pertama mendukung kelanjutan KP dan yang kedua menghendaki adanya perjan-jian baru.

Indonesia termasuk kelom-pok pertama, sedangkan nega-ra-negara yang menginginkan terbentuknya perjanjian baru adalah Uni Eropa, Norwegia, Australia, dan Selandia Baru.

Jepang dan Rusia menya-takan akan meninggalkan Pro-tokol Kyoto, bahkan Kanada

akan mengundurkan diri pada 23 Desember mendatang. Ame-rika Serikat, seperti biasa, tak akan setuju dengan keputusan apa pun yang tak sejalan de-ngan kemauan mereka. China dan India belum memberikan ‘sinyal’ akan bergabung dengan kesepakatan yang diusulkan Uni Eropa tentang perjanjian baru ini.

Akhirnya, Presiden COP 17 sekaligus Menteri Luar Negeri Afsel Maite Nkoana-Masha-bane pun mendesak para dele-gasi untuk menyetujui Paket Durban. Paket yang diakui ti-dak sempurna ini terdiri dari

empat poin, termasuk tentang KP tahap dua yang berlaku hingga 2017. Namun, poin itu pun mengundang keraguan karena komitmen sukarela Uni Eropa untuk memotong emisi sebesar 20% baru ditetapkan tercapai pada 2020.

Di antara kelesuan masa depan KP, ada pula isu hangat yang terus merebak di COP 17 ini. Negara-negara berkem-bang, termasuk Indonesia, bersemangat mendorong Green Climate Fund (GCF), yakni sebuah skema pendanaan un-tuk adaptasi perubahan iklim.

“GCF dapat dimaknai sebagai

perwujudan polluters pay prin-ciple, yang berarti negara maju harus membayar biaya adaptasi negara berkembang akibat emi-si karbon yang dihasilkan oleh negara maju sejak satu abad lalu,” kata Kepala Sekretariat Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) Agus Purnomo melalui rilis yang diterima di Jakarta, Jumat (9/12) lalu.

Ketua Harian DNPI sekali-gus Ketua Delegasi RI (Delri) di COP 17, Rachmat Witoelar, mengatakan GCF merupakan salah satu kepentingan nasio-nal RI yang diperjuangkan di forum itu. “Karena sukarnya

mencapai kesepakatan soal ke-pentingan global, kami fokus dulu untuk kepentingan nasio-nal,” ujar Rachmat.

Total dana yang bisa tersedia dari GCF memang menggiur-kan. Untuk pendanaan jalur ce-pat terdapat total US$30 miliar (2010-2012), sedangkan untuk pendanaan jangka panjang ada US$100 miliar per tahunnya.

Menurut rencana, GCF yang akan dilembagakan dan bersifat mengikat secara hukum serta memiliki 25 anggota dewan yang terdiri dari 15 pejabat dari negara-negara maju dan 10 pe-jabat dari negara berkembang,

termasuk tujuh anggota nega-ra-negara Asia. Negara-negara diminta mencalonkan anggota badan selambat-lambatnya 31 Maret 2012.

Dalam posisi anggota dewan GCF, sebenarnya Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi salah satu anggota dewan yang mewakili tujuh negara berkembang. Indone-sia sudah menyatakan komit-men untuk menurunkan angka emisi sebesar 26% dari business as usual pada 2020. Penurunan itu bahkan bisa mencapai 41% jika dibantu pendanaan inter-nasional.

Tidak jelasMeski demikian, pesimisme

komentar berlawanan di-layangkan beberapa LSM. Me-reka pesimistis dengan proyek Green Climate Fund. Pasalnya, sumber pendanaan sampai se-karang masih belum jelas.

AS, sebagai negara emitter raksasa, justru menarik komit-men mereka untuk memobili-sasi dana US$100 miliar untuk penanggulangan perubahan iklim. Dengan ketidakjelasan sumber pendanaan, Walhi pun berpendapat GCF tidak akan berguna.

Dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (8/11), Walhi juga mengkhawatirkan adanya intervensi pasar dan lembaga keuangan internasional yang mendominasi.

Hal serupa disuarakan Koalisi Anti Utang. “Tak perlu membentuk perjanjian baru kalau perjanjian di Protokol Kyoto bisa diperpanjang, apa-lagi membahas Green Climate Fund. Mereka terlalu banyak membicarakan pendanaan sampai lupa,” kata Yuyun Har-mono, programme offi cer Koalisi Anti Utang.

Para aktivis LSM juga me-nilai ada hal lain yang sering terabaikan dalam perundingan-perundingan iklim tersebut, ya-itu masalah evaluasi. “Evaluasi segala agenda yang sudah ber-jalan, apakah pernah ada? Jika ada, apakah berjalan dengan baik?,” kata Yuyun lagi. Evalu-asi ini dinilai sangat penting untuk menjaga agar komitmen tetap berada dalam jalurnya. (Reuters/AFP/Ant/*/M-3)

[email protected]

SELASA, 13 DESEMBER 2011 21POP LINGKUNGAN

Ketika masa depan Protokol Kyoto makin suram, skema pendanaan perubahan iklim menjadi harapan negara berkembang. Sayang, kepastian dana juga tidak jelas.

Dilema Pendanaan Perubahan IklimHUTAN BAKAU GUNDUL: Hamparan hutan bakau yang gundul di pesisir Pantai Oesapa, Nusa Tenggara Timur, beberapa waktu lalu. Keberadaan hutan bakau sangat diperlukan untuk mencegah dampak buruk naiknya permukaan air laut akibat perubahan iklim. Usaha-usaha adaptasi perubahan iklim, termasuk penanaman kembali bakau, di negara-negara berkembang juga membutuhkan pendanaan internasional.

MI/PALCE AMALO