10
SEMINAR NASIONAL PERAGI Yogyckcrtc, 5 Agustus 2006 SEMINAR NASIONAl PERAGI kerJasama PERAGI PUSAT dan KOMDA DIY dengan ,URUSAN BUDIDAYA PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN UGM

SEMINAR NASIONAL PERAGI - IPB University

  • Upload
    others

  • View
    2

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: SEMINAR NASIONAL PERAGI - IPB University

SEMINAR NASIONAL PERAGI Yogyckcrtc, 5 Agustus 2006

SEMINAR NASIONAl PERAGI kerJasama

PERAGI PUSAT dan KOMDA DIY dengan

,URUSAN BUDIDAYA PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN UGM

Page 2: SEMINAR NASIONAL PERAGI - IPB University

ProsidinK Seminar Nasional PERAGI Yogyakarla, 5 Aguslus 1006

MEKANISME PENANGKAPAN DAN PENGGUNAAN INTENSITAS CAHAYA RENDAH PADA KEDELAI

La Muburla', Nurul Kbumalda', Tania June', Dldy Sopandle'

ABSTRAK

Penelitian yang bertujuan untuk mengetahui perubahan morfologi, anatomi, kandungan klorom, dan aspek fotosintcsis pada kedelai sebagai respon terhadap intensitas cahaya rendah telah dilakukan di Kebun Percobaan Balitbiogen Cilc.eumeuh. Bogor. Percobaan disusun dalam rancangan petak terpisah dengan anak pelak tersarang pada pelak utama. Faktor cahaya sebagai petak utama terdiri dari : inlensilas cahaya 100% (IC IlIO) sebagai kontrol dan intensitas cahaya 50% (ICw), scdangkan genolipe kedelai menjadi anak pelak dengan dua genotipe loleran : Pangrango (G,) dan Ceneng (G,) serta dua genotipe peka inlensitas cahaya rcndah : Godek (G,) dan Siamet (G.). Hasil penelilian menunjukkan naungan menyebabkan berkurangnya kepadatan trikoma, lebal daun, lapisan palisade, nisbah klorofil alb, dan beberapa aspek fotosinlesis, scdangkan luas daun serta kandungan klorofil a dan b mengalami peningkalan. Dalam naungan 50%, genolipe toleran memiliki trikoma yang lebih scdikil (344.oo/cm'), daun yang lebih tipis (16.78 I'm), dan lapisan palisade yang lebih pendek (7.08 I'm) dibanding gcnoiipe peka yang masing-m.sing mencapai 20.80 I'm, 9.48 I'm, 350,06icm' <cdangkan klorofil a (2.37 mg/g) dan b (1.0 I mg/g) lebih tinggi dibanding genotipe pek& yang masing-masing hanya mencapai 1.79 dan 0.78 mg/g. Respirasi gelap, titik kompensasi cahaya. dan nisbah klorofil alb pada genotipe toleran juga lebih rendah meskipun lidak berbeda nyala deng.n ge:lotipe peka. SebaHknya. genotipe toleran memiliki laju fotosintesis maksimum dan laju transpor elektron maksimum yang lebih linggi yakni masing-masing sebesar 18.588 I'mol.m-' . .-' dan 62.360 I'mol.m-' . .-' dibanding genolipe peka yang masing-masing hanya mcncapai 14.074 I'moLm·' . .-' dan 48.468 "moLm-' . .-'

Kat. kunci: Intensitas cahaya rendah, Jaju fotosintesis, laju transpor elektron. respirasi gelap. titik kompensasi cahaya.

A. PENDAHULUAN

Kedelai (Glycine max (L) Merrill) merupakan salah satu komodili pangan penling di Indonesia karena kandungan proteinnya sangat tinggi, sekilar 40% (Salisbury dan Ross, 1995) sehingga diharapkan dapat memperbaiki dan meningkatkan gizi masyarakat. Namun demikian, kebutuhan kedelai Indonesia masih diimpor. Dalam periode 2000-2004 impor kedelai Indonesia mencapai rata-rata 1.20 juta Ion per tahun (BPS, 2005).

Impor kedelai yang demikian besar disebabkan oleh berbagai faktor anlara lain tingginya kebutuhan sedangkan produktivitas rendah serta luas tanam dan produksi nasional setiap tahun cenderung menurun. Tahun 1999 luas tanam kedelai mencapai 1.15 juta ha dengan produksi 1.38 juta ton sedangkan tahun 2003 luas tan am hanya mencapai 527 ribu ha dengan produksi 743.96 ribu ton (BPS, 2004). Sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk serta kesadaran masyarakat untuk memperbaiki gizinya, sebaliknya luas tanam dan produksi kedelai Nasional menurun, diyakini bahwa permintaan impor kedelai akan meningkat setiap tahun. Karena itu upaya peningkatan produksi kedelai melalui perbaikan produktivitas dan pcningkatan luas tanam perlu mendapat perhatian serius.

Pemanfaatan lahan tidur di bawah tegakan tanaman perkebunan dan hutan tanaman industri (UTI) menjadi salah satu pilihan dalam peningkatan luas tanam kedelai (Pinem, 2000), karena potensinya cukup besar. Tahun 2002, luas areal perkebunan di Indonesia mencapai 19.90 juta ha dengan luas areal tanaman baru mencapai 597 ribu sampai 796 ribu ha (BPS, 2003) yang masih dapat dimanfaatkan untuk ditanami kedelai sebagai tanaman sela. Meskipun demikian, kondisi penaungan oleh tanaman pokok pada areal tersebut cukup bera!. Pada perkebunan karet umur tiga tahun (Chozin el 01., 2000) dan perkebunan kelapa umur lima tahun (Nelliat el 01., 1974; Magat, 1989), intensitas cahaya di bawah tegakan berkurang sekitar 50%. Karena itu, kedelai yang akan

'Mahasiswa PS Agronomi, Sekolah Pascasaljana, IPB, Bogor , StafPengajar Departemen Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, IPB, Bogor

• 234

I

I

• •

- -

-

Page 3: SEMINAR NASIONAL PERAGI - IPB University

Prosiding Seminar Nasional PERA GI

dikembangkan sebagai tanaman sela harus dapat beradaptasi dengan kondisi naungan yang cukup berat.

Adaptasi terhadap intensitas cahaya rendab dapat dicapai tanaman dengan membangun mekanisme elisiensi penangkapan dan penggunaan cahaya melalui penyesuaian atau modilikasi morfologis, anatomis, maupun lisiologis. Secara morfologis, elisiensi penangkapan cahaya diperoleh melalui peningkatan luas daun untuk mengurangi jumlah cahaya yang ditransmisikan (Hale dan Orchut, 1987) dan mengurangi asesoris daun seperti bulu atau tirikoma untuk mengurangi jumlah cahaya yang direfleksikan (Taiz dan Zeiger, 2002). Modifikasi anatomis \Jntuk elisiensi penangkapan cahaya diperoleh dengan cara mengurangi ketebalan daun dan lapisan palisade. Modifikasi demikian memungkinkan kloroplas terkonsentrasi dan terorientasi pada bidang permukaan secara paralel sehingga penangkapan cahaya lebih efisien karena transmisi cahaya dapat diminimalisir (Taiz dan Zeiger, 2002). Modilikasi lisiologis untuk elisiensi penangkapan cahaya dilakukan dengan meningkatkan kandungan pigmen pemanen cahaya terkait fotosintesis terutama klorofil sekaligus mengurangi kandungan pigmen pemill1en cahaya yang tidak terkait fotosintesis seperti antosianin (Levitt, 1980).

Selain elisiensi penangkapan, penggunaan caha)'a secara elisien juga harus menjadi strategi lana man dalam mengatasi cekaman intensitas cahaya rendah. Hale dan Orchut (19R7\ menyebutkan bahwa kemampuan tanaman dalam mengatasi cekaman intensitas cahaya rendah tergantur.g pada kemampuannya melanjutkan fotosintesis secara efisien. Elisiensi fotosintesis dapat dicapai bila tanaman memiliki aparatus fotosintesis yang memadai termasuk kandungan dan aktivitas enzim­enzim fotosintetik yang tinggi, laju transpor elektron yang ting~i , serta kandung.n enzim-enzim respirasi dan laju respirasi yang rendah. Dalam keadaan ternaungi. laju fOlosir.tesis lebih rendah dibanding cahaya penuh, demikian pula kapasitas transpor elektron (Jones, 1992) sehingga akumulasi karbohidrat lebih rendah (Makino et al., 1997).

Laju respirasi yang rendab merupakan dasar adaptasi tanaman naungan agar tetap dapat tumbuh pada kondisi cahaya rendah (Taiz dan Zeiger, 2002). Bila respirasi lambat, kebutuhan cahaya untuk fotosintesis lebih sedikit untuk mengimbangi CO, yang dilepaskan oleh respirasi, sehingga titik kompensasi cahaya menjadi lebih rendah pula (Salisbury dan Ross, 1995). Jadi respirasi, selain dapat diukur melalui kandungan dan aktivitas enzim-enzimnya, dapat pula diukur secara tidak langsung melalui titik kompensasi cahaya.

Sopandie et al. (2002) telah meneliti dan memperoleh kedelai toleran intensitas cahaya rendah. Sejurnlah aspek morfologis, anatomis, serta fisiologisnya telah diteliti (Khurnaida, 2002; Sopandie et al., 2003; Handayani, 2003), demikian pula aspek pemuliaannya (Trikoesoemaningtyas, 2003; Handayani, 2003). Namun demikian, selain informasi tersebut masih terbatas, masih banyak aspek morfologi, anatomi, dan lisiologi terkait efisiensi penangkapan dan penggunaan cahaya yang belum diungkapkan. Karena itu, penelitian yang bertujuan untuk mengetahui perubahan-perubahan secara morfologis, ana tom is, dan fi siologis Hntuk efisiens; penangkapan dan penggunaan cahaya pada tanaman kedelai masih relevan untuk dilakukan.

B. BAHAN DAN METODE

Penelitian dilaksanakan pada bulan September 2004 sampai Maret 2005 di Kebun Percobaan Balitbiogen Bogor. Faktor yang diuji adalah intensitas cahaya yang terdiri dari : IC I 00 =

intensitas cahaya 100% (kontrol), dan IC50 = intensitas cahaya 50 %. Faktor kedua adalah genotipe yang teridiri dari genotipe toleran (G 1 = Pangrangc, 02 = C'~!,pne) .1an genoti!,e peka (G3 = Godek dan G4 = Siamet). Penataan tanaman di lapang mengikuti rancangan petak terpisah (split plot) dengan anak petak (genotipe) tersarang (nestecf) pada petak utama (intensitas cahaya). Tiap kombinasi perlakuan diulang empat kali dan tiap ulangan menggunakan 50 tanaman.

Variabel diamati setelah tanaman berumur 6 minggu meliputi : luas daun, tebal daun, panjang lapisan palisade, kerapatan trikoma, kandungan klorofil (klorofil a, b, dan nisbah alb), serta aspek fotosintesis (Iaju fotosintesis maksimum, laju transpor elektron maksimum, respirasi gelap, dan titik kompensasi cahaya). Luas daun merupakan totalluas daun trifoliat, diukur menggunakan leaf area meter. Kerapatan trikoma ";iamati dari permukaan atas daun menggunakan mikroskop cahaya pada perbesaran 200 kali . h :lgukuran klorofil mengikuti metode Amon (1949) yang telah

235

I

Page 4: SEMINAR NASIONAL PERAGI - IPB University

Prosiding Seminar Nasional PERAC!

dimodifikasi oleh Yoshida dan Parao (1976). Aspek fotosintesis hanya diukur pada genotipe Ceneng dan Godek menggunakan photosynthetic meter tipe LCA-4.

Data yang diperoleh dianalisis berdasarkan prosedur Anova, dilanjutkan dengan uji DMRT pada taraf 00.o, menggunakan SAS.

• C. HASIL DAN PEMBAHASAN

Luas Daun Intensitas cahaya 50% menyebabkan luas daun trifoliat meningkat, mencapai 129% kontrol

(Tabel I). Dalam intensitas cahaya 50%, genotipe Ceneng memiliki luas daun trifoliat tertinggi dan berbeda nyata dengan genotipe lainnya kecuali dengan genotipe Pangrango. Data tersebut menunjukkan bahwa genotipe toleran terutama Ceneng memiliki kemampuan yang tinggi dalam meningkatkan Iuas daun. Hal ini akan memberikan kemungkinan yang lebih besar pada genotipe toleran untuk dapat menangkap cahaya secara efisien. Indikasi seperti ini juga dilaporkan oleh Bunce et 01. (1977) dalam Patterson (1980), Khumaida (2002; 2004), Sopandie et 01. (2003), serta H""daye.'\! (2003).

Kepadatan Trlko",a Pada intensitas cahaya 50%, kepadatan trikoma hanya mencapai 52% kontrol (Tabel I).

Hesil uji beda anlar genotipe dalam intesitas cahaya 50% menunjukkan bahwa Ceneng memiliki kepadatan trikoma yang lebih sedikit dan berbeda nyata dengan genotipe lainnya, kecuali dengan Siamet. Namun demikian Godek memiliki kemampuan yang paling tinggi untuk mengurangi jumlah trikomanya (35% kontrol) disusul Siamet (47% kontrol) dan Ceneng (52% kontrol).

Tabell. Lua. daun dan kepadatan trlkoma empat genotlpe kedelal yang diuJI pada Intensltas cabaya 100% dan 50%

intensitas Genotipe Rata-Peubah

Cahaya (%) Pangrango Ceneng Godek Siamet rata

Luas daun 100 (kontrol) 16.66 b 22.09 a 20.94 ab 17.93 ab 16.94 b trifoliat (cm') 50 19.38 b 25.96 a 22.31 b 19.80 b 21.86 a

(116) (118) (107) (110) (129) Kepadatan 100 (kontrol) 459.92 c 481.14 c 1044.86 a 697.66 b 666.39 a trikoma (cm') 50 437.19 a 250.80 c 369.00 b 331.1lc 347.02 b

(95} (52} (35} (47} (52} Keterangan : Nilai rata-rata untuk intensitas cahaya yang berbeda dan' nilai genotipe dalam

intensitas cahaya yang sarna dengan huruf yang sarna tidak berbeda nyata menurut uji Duncan 95%; angka dalam kurung merupakan persentase relatif (dibulatkan) terhadap kontrol

Data tersebut di atas, menunjukkan bahwa dalam satuan luas yang sarna, Ceneng memiliki trikoma yang lebih sedikit sehingga memungkinkan genotipe terse but dapat menangkap cahaya lebih efisien. Hal ini dimungkinkan karena dengan trikoma yang sedikit maka jumlah cahaya yang direflekaikan menjadi lebih sedikit. Kondisi tersebut sejalan dengan penemuan Hale dan Orcutt (1987) dan Atwell el 01. (1999) bahwa adanya trikoma akan meningkatkan jumlah cahaya yang direfleksikan. Taiz dan Zciger (2002) juga menjelaskan bahwa cahaya yang diserap oleh daun dengan trikoma yang banyak berkurang 40% dibanding daun tanpa atau trikomanya sedikit.

Ketebalan Daun dan PanJang Laplsan Palisade Intensitas cahaya sangat berpengaruh terhadap ketebalan daun dan panjang lapisan

palisade. Dalam intensitas cahaya 50%, daun menjadi lebih tipis dan palisade menjadi lebih pendek, masing-masing banya mencapai 74% dan 70% kontrol (TabeI2).

Tebalan dauD. Pada inte.lsitas cabaya 50%, Pangrango memiliki daun yang lebib tipis tetapi tidak berbeda nyata dengan Ceneng (Tabel 2). Meskipun demikian, Ceneng memiliki

236

\ ,

Page 5: SEMINAR NASIONAL PERAGI - IPB University

Prosiding Seminar Nasiollal PERA GI

kemampuan yang lebih tinggi dalam mengurangi ketebalan daun yakni mencapai 76% kontrol sedangkan Pangrango hanya mencapai 82% kontrol. Godek memiliki tebal daun yang tidak berbeda nyata dengan Ceneng tetapi kemampuannya untuk mengurangi ketebalan daun hanya mencapai 90%. Siamet memiliki daun yang paling tebal, mencapai 92% kontrol dan berbeda nyata dengan genotipe lainnya.

Tipisnya daun-daun yang terekspos pada intensitas cahaya rendah telah dilaporkan pad. berbagai jenis tanaman (Hale dan Orcutt, 1987; Taiz dan Zeiger, 2002; Bolhar-Nordenkampf dan Draxler, 1993; Atwell et al., 1999; Logan et al., 1999) termasuk pad a tanaman kedelai (Bunce et al., 1977 dalam Patterson, 1980; Sopandie et al., 2003; Handayani, 2003; Khumaida et al., 2004). Tipisnya daun-daun memungkinkan kloroplas lebih terorientasi pada bidang permukaan sehingga elisiensi penangkapan cahaya me.ningkat. Selain itu, daun yang tipis akan mengelisienkan penggunaan metabolit (Hale dan Orcutt, 1987) sehingga diharapkan produk akhir tanaman masih rclatif tinggi. Pada intensitas cahaya 50%, kedelai toleran memiliki daun yang lebih tipis dibanding p,ka, terutama bila ditinjau dari kemampuan relatifnya untuk menurunkan ketebalan daun.

Tabel2 Ketebalan daUD dao paojaog laplsan palisade (J!m) empat gcootlpe kedelai yang diuji pada Inteo.itas cabaya 100% dao 50%

Peubah

Ketebalan daun (~m)

Panjang lapisan palisade (em)

Intensitas Cahaya (%)

100 (kontrol) 50

100 (kontrol) 50

Pangrango

19.56 b 16.00 e (82) 8.57 c 6.67 d (78)

Genotipe

Ceneng

23.02 b 17.56 be (76) 10.22 b 7.48 c (73)

Rata-

Godek Siamet rata

21.20 e 24.41 a 25.31 a 19.07 b 22.52 a 18.79 b (90) (92) (74)

9.80 b 11.5U a 11.77 a 8.48b 10.48 a 8.28 b (86) (91 ) (70)

Keterangan : Nilai rata-rata untuk intensitas cahaya yang berbeda dan nilai genotipe dalam intensitas cahaya yang sarna dengan huruf yang sarna tidak berbeda nyata menurut uji Duncan 95%; angka dalam kurung merupakan persentase relatif (dibulatkan) terhadap kontrol

Panjang Lapisan Palisade. Pangrango memiliki palisade yang lebih pendek dan berbeda nyata dengan genotipe lainnya, tetapi Ceneng memiliki kemampuan yang lebih tinggi dalam mengurangi panjang lapisan pali sade yakni meneapai 73% kontrol sedangkan Pangrango hanya mencapai 78% kontrol. Lapisan palisade tcrpanjang ditemukan pada Siamet dan kemampuan reduksi lapisan palisadenyajllga rendah, mencapai 91% kontrol. Tampilan tebal daun dan panjang lapisan palisade dari beberapa genotipe kedciai yang diuji dalam intensi tas.cahaya 100% dan 50% disajikan dalam Gambar I.

Pada intensitas cahaya tinggi sel-sel palisade lebih panjang dan tersusun atas dua atau tiga lapi san, sedangkan pada intensitas cahaya rendah, palisade Icbih pcndek dan pada umumnya terdiri dari hanya satu lapis (Taiz dan Zeiger, 2002; Logan et al., 1999). Palisade yang pendek dan/atau hanya terdiri dari satu lapis merupakan suatu modilikasi yang paling baik terkait rendahnya intensitas cahaya, sebab dengan demikian kloroplas akan lebih terkonsentrasi ke permukaan adaksial daun sehingga penangkapan cahaya akan lebih elisien. Selain itu, sintesis palisade yang panjang dan beberapa lapis akan membutuhkan banyak fotosintat sehii1gg~ :!::;:~! did!!g~ h.hwa palisade yang pendek dan hanya satu lapis juga merupakan mekanisme untuk mengelisienkan penggunaan fotosintat.

237

Page 6: SEMINAR NASIONAL PERAGI - IPB University

Prosidillg Seminar Nasio"ol PERAG!

Intensitas Cahaya 100% (11 00)

Gam!!ar 1 Ketebalan daun dan panjang iapisan palisade (pm) em pat genotipe kedelai dalam intens,!as .ah&ya 100% (HIlO) dan 50% (ISO)

Kandungan KIorofll

.-c.. '" -

§ .g

Kandungan klorofil a dan klorofil b berbeda antar genotipe baik dalam intensitas cahaya 100% maupun 50% (Tabel 3). Pada intensitas cahaya 50%, kandungan klorofil a dan b lebih tinggi sedangkan nisbah klorofil alb lebih rendah dibandingkan dengan intensitas cahaya 100% tctapi secara statistik tidak berbeda nyata.

Dalam intensitas cahaya 50% Ceneng memiliki klorofil b tertinggi dan berbcda nyata dengan genotipe lainnya, demikian pula klorofil a kecuali dengan Pangrango. Sebaliknya, nisbah klorofil alb menurun skibat perlakuan intensitas cahaya 50%, masing-masing genotipe mencapai 97% kontrol untuk Pangrango dan Ceneng, sedangkan Godek dan Slamet mencapai 94% dan 89% kontrol.

Tabel3 Kandungan k1orofil em pat genotipe kedelai yang diuji pada intensitas eahaya 100% dan 50%

Intensitas Genotipe Rata-Peubah

Cahaya (%) Pangrango Ceneng Godek Siamet rata

klorofil a (mglg) 100 (kontrol) 1,95 be 2,32 a • 2, 14 ac 1,76 c 2,04 a 50 2,19 ab 2,55 a 1,90 b 1,68 b 2,08 a

(112) (115) (89) (96) (102) klorofil b (mglg) 100 (kontrol) 0,78 ab 0,98 a 0,89 ab 0,66 b 0,83 a

50 0,90 b I,ll a 0,84 b 0,71 b 0,89 a (110) (III) (94) (108) (107)

klorofil alb (mglg) 100 (kontrol) 2,50 a 2,37 a 2,40 a 2,67 a 2,46 a 50 2,43 a (97) 2,30 a 2,26 a 2,37 a 2,34 a

(97) (94) (89) (95) Keterangan • Nilai rata-rata untuk intcnsitas cahaya yang berbeda dan nilai genotipe dalam •

intensitas cahaya yang sarna dengan huruf yang sarna tidak berbeda nyata menurut uji Duncan 95%; angka dalam kurung merupakan persentase relatif (dibulatkan) terhadap kontrol

Dalam proses pertumbuhan dan perkembangan tanaman, terjadi sintesis, kerusakan, degradasi, dan perbaikan aparatus fotosintetik termasuk klorofil. Proses sintesis dan perbaikan tergantung cahaya, sehingga kemampuannya akan terbatas bila dinaungi (Richter et al., 1990). Jadi, kemampuan sintesis maupun perbaikan untuk mengimbangi degradasi sangat penting bagi daya adaptasi terhadap naungan. Kemampuan tersebut dicapai antara lain dengan meningkatkan jumlah

238

Page 7: SEMINAR NASIONAL PERAGI - IPB University

Prosidiflg Seminar Nasional PERAG!

klorofil (Okada el 01 .. 1992). Pada peneleitian ini, ditemukan bahwa kemampuan yang lebih tinggi dalam meningkatkan kandungan klorofil, baik klorofil a maupun klorofil b ditunjukkan oleh genotipe toleran terutama Ceneng. Hal yang sarna juga dilaporkan oleh Khumaida (2002), Sopandie el 01. (2003), dan Handayani (2003) bahwa pada intensitas cahaya rendah, kandungan klorofil genotipe toleran lebih tinggi dibanding genotipe peka.

Nisbah klorofil alb menurun oleh perlakuan intensitas cahaya 50% yang berarti bahwa terjadi peningkatan kandungan klorofil b. Hal ini sejalan dengan penjelasan Hidema el 01 (1992) bahwa menurunnya nisbah klorofil alb pada tanaman yang dinaungi disebabkan oleh peningkatan klorofil b; peningkatan ini akan mempertinggi efisiensi pemanenan cahaya (Khumaida el 01., 2003). Pada intensitas cahaya rendah, adanya peningkatan klorofil b yang relatif lebih tinggi dibanding klorofil a menunjukkan bahwa pada kondisi tersebut peranan klorofil b relatif lebih penting. Hal ini dapat dipahami melalui dua hal (Malkin dan Krishna, 2000) : (I) klorofil b :r,r.nyerap cahaya dengan panjang gelombang yang lebih pendek yang kandungan energinya lebih ~,~,ar sehingga sedikit saja peningkatan k1orofil b maka kebutuban energi fotosintesis dapat terpenubi, dan (2) dalam organisasi kompleks fotosistem, k1orofil b berada pada bagian terluar dan uerbubungan langsung dengan membran tilakoid sehingga menjadi pigmen pemanen cahaya yang ,'ertama da:1 lebih penting. Pembentukan k1orofil b dapat melalui sintesis de novo maupun dengan mengkonverisi k1orofil a menjadi k1orofil b. Secara spesifik, Folly dan Engel (1999) meiljelaskar. bahwa konversi klorofil a ke klorofil b memegang peranan penting dalam pembentukan dar. reorganisasi aparatus fotosintetis sehingga memungkinkan tanaman beradaptasi terhadap intensila .. cahaya rendab.

Aspek Fotoslotesls Perbedaan intensitas cahaya dan genotipe menyebabkan perbedaan dalam laju flllosintesis,

laju transpor elektron, respirasi gelap, dan titik kompensasi cahaya. Pada intensitas cahaya 100%, laju fotosintesis dan laju transpor elektron lebih tinggi dibanding pada intensitas cahaya 50% sedangkan respirasi gelap dan titik kompensasi cahaya lebih rendah . Pada intensitas cahaya 50%, Ceneng memiliki laju fotosintesis dan laju transpor elektron lebih tinggi serta respirasi gelap dan titik kompensasi cahaya lebih rendah dibanding Godek. Hasil percobaan tersebut sejalan dengan penjelasan Atwell el al. (1999) dan Taiz dan Zeiger (2002).

Tabel 4. Respoo fotoslotetik kedelal toleran (Ceoeog) dao peka (Godek) terbadap lotensllas cabaya

Peubah

Keterangan :

IC 100% (kontrol) IC 50% Ceneng Godek Ceneng Godek

25,357 a 20,667 b 18,588 a (73) 14,074 b (68) 65,473 a 73,190 a 62,360 a (95) • 48,468 a (66) -2,410 a -1,941 a -1,435 a (60) -1,634 a (84) 60,077 a 62,047 a 38,535 a (64) 42,634 a (69)

IC = intensitas cahaya; Am .. = laju fotosintesis maksimum, Jm .. = transpor elektron maksimum, R.. = respirasi gelap, TKC = tilik kompensasi cahaya; nilai pada kondisi cahaya yang sarna dengan notasi huruf yang sarna tidak berbeda nyata menurut uji t pada "0'." nilai dalam kurung = persentase (dibulatkan) terhadap kontrol.

LaJu fotoslotesls (A). Dalam intensitas cahaya 100% maupun 50%, Ceneng memiliki laju fotosintesis yang lebih tinggi dibanding Godek. Pada intensitas cahaya 100% dan 50%, iaju fotosintesis maksimum (AM,,) pada Ceneng mencapai 25,357 dan 18,588 I1mol.m,2.s"(=73% kontrol), dan berbeda nyata dengan Godek yang hanya mencapai 20,667 dan 14,074 I1mol.m·2.s" (=68% kontrol) (Tabel 4). Ini berarti genotipe toleran (Ceneng) memiliki kapasitas fotosintesis yang lebih mendekati kontrolnya dibanding genotipe peka (Godek). Hasil percobaan ini sejalan dengan temuan Khumaida el al. (2004). Laju fotosintesis genotipe Ceneng dan Godek pada intensitas cahaya 50% disajikan pa~. Gambar 2.

239

Page 8: SEMINAR NASIONAL PERAGI - IPB University

20

,. ;-0 12 •

I · < •

o

• •

Prosid;ng Seminar Nasiollai PERAGI

10

8 8 .,

0 0 ;-050 • • • • • .'" • • ~

~30 ~ ::;,.

400 eoo 800 1000 1200 o 200 400 eoo aoo 1CKX1 1200

MR(~~"" 1 I¥\R (~,." ) •

Gambar 1 LaJu rotoslntesls (A) dan laJu transpor elektron (J) pad a kedelal genotlpe Ceneng (-O-)dan Godek (-.. ) pada Intensltas tahaya 50%

LaJu transpor elektron (J). Dalam intensitas tabaya 100%, Godek memiliki laju transpor elektron yang lebih tinggi dibandil1g Ceneng sedangkan pada intensitas cabaya 50%, Ceneng lebih tinggi (Gambar 2) tetapi perbedaen !e!'Sebu! !id~k herbed. nyata (Tabel 4). Laju transpor elektron maksimum (1"",,) pada Ceneng menc&pai 95% kontrol sedangkan Godek hanya mencapai 66% kontro!. Hal ini mengindikasikan babwa pada intensitas cabaya rendab, genotipe toleran (Ceneng) memiliki kemampuan yang lebih tinggi dalam mempertahankan J""", dibanding genotipe peka (Godek). Kondisi demikian memungkinlcan genotipe toleran untuk melakukan fotosintesis dengan kapasitas yang linggi k~na dengl\l11",.,. yang linggi maka keseimbangan eksitasi dari Photosystem II (PSII) ke Photosystem I lebih stabi!. Hal ini sejalan dengan penjelasan Malkin dan Krishna (2000) babwa untuk menjamin keseimbangan eksitasi antar fotosistem dibutuhkan transpor elektron yang maksimum. Disamping itu, Jow< yang linggi juga mendorong meningkatkan laju regenerasi RuBP (Atwell et 0/., 1999) yang berarti laju fotosintesis juga akan meningkat.

Resplrasl (R.). Pada intensitas cabaya 100%, Ceneng memiliki Rd yang lebih tinggi dibanding Godek, tetapi pada intensitas cabaya 5Q%, Rd pada Ceneng lebih rendab. Meskipun demikian, Rd kedua genotipe tidak berbeda nyata, baik pada intensitas cahaya 100% maupun 50% (TabeI4). Rd pada Ceneng hanya mencapai 60% kontrol sedangkan Godek mencapai 84% kontrol yang berarti babwa pada intensitas cabaya rendah, genotipe toleran (Ceneng) memiliki kemampuan yang lebih linggi dalam menurunkan tingkat Rd dibanding genotipe peka (Godek), dengan kata lain elisiensi respirasi pada genotipe toleran lebih tinggi. Dalam kondisi Rd demikian, genotipe toleran akan memiliki kemampuan yang lebih linggi dalam memelihara serta meningkatkan pertumbuhan dan reproduksi (Atwell et a/., 1999; Taiz dan Zeiger, 2002).

Tltlk kompensasl tahaya (TKC). Dalam intensitas cahaya 100% maupun 50%, Ceneng memiliki TKC yang lebih rendah tetapi tidak berbeda nyata dibanding Godok (Tabel 4). TKC pada Ceneng hanya mencapai 64% kontrol sedangkan Godek mencapai 69% kontrol yang berarti bahwa pada intensitas cahaya rendah, Ceneng memiliki kemampuan yang lebih tinggi dalam menurunkan TKC dibanding Godek. Data tersebut sejalan dengan hipotesis Levit (1980) dan hasil-hasil penelitian terdahulu babwa salah satu keberhasilan tanaman dalam mengatasi cekaman intensitas cabaya rendah adalah dengan menurunkan TKC (Taiz dan Zeiger, 2002).

D. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil percobaan dan pembahasan tersebut di atas, dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut : I. Kedelai genotipe toleran memiliki mekanisme penangkapan dan penggunaan intensitas cahaya

rendab yang lebih baik dibanding genotipe peka. 2. Mekanisme penangkapan intensitas cabaya rendah dilakukan dengan menghasilkan trikoma yang

lebih sedikit, daun yang lebih tip is, dan kandungan klorofil yang lebih tinggi. 3. Menurunnya nisbah klorofil alb dalam intensitas cahaya rendah mengindikasikan bahwa

peningkatan klorofil b relatif lebih penting dibanding klorofil a.

240

Page 9: SEMINAR NASIONAL PERAGI - IPB University

Prosiding Semillar Nasiol/ol PERA GI

4. Mekanisme penggunaan intensitas cahaya rendah dicapai dengan mempertahankan laju fotosintesis dan transpor elektron serta menurunkan laju respirasi gelap dengan cara menurunkan titik kompensasi cahaya.

5. Laju fotosintesis dan transpor elektron dapat menjadi indikator pembeda bagi kedelai toleran dan peka intensitas cahaya rendah.

E. UCAPAN TERIMAKASIH

Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian Hibah Penelitian Tim Pascasarjana (HPTP) 2004-2006 sumber dana Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.

F. DAFTAR PUSTAKA

Atwell, B., P. Kriedeman, C. Turnbull (editors). 1999. Plants in Action; Adaptation in nature, performance in cultivation. Ed ke-l. South Yarra: Macmillan Education Australia PTY LTD. 664 hal.

DadaD Pusa! Statistik [BPS]. 2003. Survei Per/anian, Produksi Tanaman Pangan dan Sayuran di Indonesia Tahun 2002. Jakarta: BPS. p : 184-204.

Badan Pusat Statistik [BPS]. 2005. Statistik Indonesia. Jakarta, BPS. Bohlar-Nordenkampf, H.R., G. Draxler. 1993. Functional leaf anatomy. In D.O. Hall, J,M,O.

Scurlock, H.R. Bohlar-Nordenkampf, L.C. Leegood, and S.P. Long (eds). Photosynthesis and Productioan in a Changing Environmental : A Field and Labora/ory Manlla/. London : Chapman & Hall. p : 91 - 112.

Chozin, M.A., D. Sopandie, S. Sastrosumarjo, Suwarno. 2000. Physiology and genetic of upland rice adaptation to shade. Final Report of Graduate Team Research Grant, URGE Project. Directorate General of Higher Education, Ministry of Education and Culture. 143 hal.

Folly, P. and N. Engel. 1999. Chlorophyll b to chlorophyll a conversion precedes chlorophyll degradation in Hordeum vulgare L. The Journal of Biologycal Chemestry. 274(31) : 21811-21816 .

Hale, M.G., D.M. Orcutt. 1987. The Physiology of Plan/s Under Stress. New York : John Wiley and Sons. 206 hal.

Handayani, T. 2003. Pola Pewarisan Sifat Toleran Terhadap Intenitas Cahaya Rendah pada Kedelai (Glycine max (L) Merill) dengan Penciri Spesifik Karakter Anatomi, Morfologi dan Molekuler. Disertasi Doktor Program Pascasarjana IPB, Bogor.

Hidema, J., A. Makino, Y. Kurita, T. Mae, K.Ohjima. 1992. Changes in the level of chlorophyll and light-harvesting chlorophyl alb protein of PSII in rice leaves agent under different irradiances from full expansion through senescense. Plant Cell Physiol. il3(8): 1209-1214.

Jones HG. 1992. Plant and Microclimate. A Quantitative Approach to Environmental Plant Physiol. 20d. Cambridge: University Press.

Khumaida, N. 2002. Studies on upland ri ce and soybea n to <hade <tre' < nisprlasi Ph!). Tokyo. (tidak dipublikasikan).

Khumaida, N., D. Sopandie, T. Takano. 2004. Adaptation of several soybean genotypes to the shade stress : Regulation of photosynthesis and photosynthetic apparatus acclimation. Proceeding of the 3'" Seminar Toward Harmonization between Development and Environmental Conservation in Biological Production. Bogor Agricultural University, Bogor, December 3-5, 2004.

Levitt, J. 1980. Response of Plants to Environmental Stress. New York: Academic Press. 607 hal. Logan BA, B.Demmig-Adams, and WW.Adams. 1999. Acclimation of photosynthesis to the

environment. In G.S. Singhal, G. Renger, S.K. Sopory, K.D. lrrgang, and Govindjee (eds). Concepts in Photobiology : Photosynthesis and Photomorphogenesis. Boston: Kluwer Academic Publisher. P: 477 - 512.

Magat, S.S. 1989. Growing conditio.1 and growth habits of coconut in relation to coconut based farming system. Procee"-: of the Asian and Pasific Coconut Community XVII COCOTECH meeting. CBFS. Manila, Philippines.

241

Page 10: SEMINAR NASIONAL PERAGI - IPB University

Prosiding Seminar Nasional PERAGI

Malkin R. and N. Krishna. 2000. Photosynthesis. In Biochemestry & Molecular Biology of Plants. American Society of Plant Physiologists, Rockville, Maryland. p : 568-628.

Nelliat, E.V., K.V.Bavappa, P.K.R. Nair. 1974. Multi-storeyed-cropping, a new dimention in multiple cropping for coconut plantation. World Crops 26(6):262-266

Okada, K., I.Yasunori, S. Kazuhiko, M. Tadahiko, I.C. Sakae. 1992. Effect of light on degradation of chlorophyll and proteins during senescence of detaches rice leaves. Plant Cell Physiol. 33(8): 1183-1191.

Patterson, D.T. 1980. Light and temperature adaptation. In J.D. Hesketh and J.W. Jones (eds). Predicting Photosynthesis for Ecosystem Models Volume I. Boca Raton-Florida: CRC Press Inc. p : 205 - 235.

Pinem, R. 2000. Strategi pengemliangan produksi kedelai. Prosiding Lokakarya Penelitian dan Pengembangan Produksi Kedelai Di Indonesia. Jakarta, BPP Teknologi.

Richter, M., W. Ruhle, A. Wild. 1990. Studies on the mechanism of photosystem II photoirthibition. The involvement of toxic oxygen species. Photosyn. Res. 24:237-243.

Salisbury, F.B., C.W. Ross. 1995. Plant Physiology. 4"' edition. Wadsworth Pub. Co. 747 hal. Sopandie D, Trikoesoemaningtyas, Sulistyono E, dan Herylilli N. 2002. Penl!embangan kedelai

sebagai tanaman sela: Fisiologi dan pe.nuliaan untuk to eran.i terh~dap naungan. Laporan Penelitian Hibah Bersaing, Dirjen Dikti.

Sopandie D, Trikoesoemaningtyas, T. Handayani, A. Djufri, T. Takano. 2003. Adaptability of soybean to shade stress: Identification of morphophysiological responses. Proceeding of the 2"" Seminar Toward Harmonization between Development and Environmental Conservation in Biological Production. Tokyo: Tokyo University, February 15-16,2003.

Taiz, L., E. Zeiger. 2002. Plant Physiology. California : The Benjamin/Cummings Pub. Co., Inc. 559 hal.

Trikoesoemaningtyas, Sopandie D, and Takano T. 2003. Genetic and breeding of soybean for adaptation to shade stress. Proceeding of the 2"" Seminar Toward Harmonization between Development and Environmental Conservation in Biological Production. Tokyo : Tokyo University, February 15-16,2003.

Yoshida, S., F.T. Parao. 1976. Climate influence on yield and yield components of low land rice tropics. Proc. of Symposium on Climate and Rice. Los Banos Philippines: IRRl .

242

I

! t i

I I • I (

I I \ ,

} .\ , I • , ) ) I 1 1