Upload
wellaherliyanti
View
222
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
akut sindrome miokard
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Data WHO menunjukkan 17 juta orang meninggal setiap tahunnya karena penyakit
jantung dan pembuluh darah di seluruh dunia. Terdapat 36 juta penduduk atau sekitar
18% total penduduk Indonesia 80% diantaranya meninggal secara mendadak setiap
tahunnya dan 50% tidak menunjukkan gejala. Data di RS Jantung dan Pembuluh Darah
pasien penyakit jantung koroner baik rawat jalan maupun rawat inap mengalami
peningkatan 10% setiap tahunnya dan di AS 1,5 juta orang mengalami serangan jantung
dan 478.000 orang meninggal karena jantung koroner setiap tahunnya (Hediyani, 2012).
Sindrom koroner akut menurut Kumar, 2007 merupakan spektrum manifestasi
akut dan berat yang merupakan keadaan kegawatdaruratan dari koroner akibat
ketidakseimbangan antara kebutuhan oksigen miokardium dan aliran. Sindrom koroner
akut meliputi berbagai kondisi patologi yang menghambat aliran darah dalam arteri yang
mensuplai jantung. Penyakit aterosklerosis koroner disebabkan kelainan metabolisme
lipid, koagulasi darah, keadaan biofisika, dan biokimia dinding arteri. Sindrom koroner
akut (SKA) meliputi spektrum penyakit dari infark miokard akut (IMA) sampai angina
tak stabil (unstable angina).
SKA membutuhkan penanganan awal yang cepat dan tepat oleh tenaga kesehatan
untuk menurunkan angka morbiditas dan mortalitas. Peran tenaga kesehatan khususnya
perawat adalah upaya pencegahan komplikasi maupun penanganan yang cepat untuk
melakukan penyelamatan jiwa melalui upaya promotif, preventif, kuratif maupun
rehabilitatif. Oleh sebab itu perawat perlu memahami dan mengetahui konsep teoritis dan
keterampilan profesional yang harus dimiliki dalam melaksanakan tugasnya, sehingga
dapat memberikan asuhan keperawatan pasien dengan penyakit jantung, khususnya
SKA. Berdasarkan masalah tersebut, maka kelompok membuat makalah dengan judu
l“Asuhan keperawatan pada pasien dengan Sindrom Koroner Akut.
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 Definisi
Definisi SKA merupakan spektrum manifestasi akut dan berat yang merupakan keadaan
kegawatdaruratan dari koroner akibat ketidakseimbangan antara kebutuhan oksigen (O2)
miokardium dan aliran darah (Kumar, 2007).
Acute Coronary Syndrome meliputi berbagai kondisi patologi yang menghambat
aliran darah dalam arteri yang mensuplai jantung (C. Long, Barbara, 1999).
Acute Coronary Syndrome merupakan suatu istilah atau terminology yang
digunakan untuk menggambarkan spektrum keadaan atau kumpulan proses penyakit
yang meliputi angina pectoris tidak stabil, infark miokard gelombang non Q atau infark
miokard tanpa elevasi segmen ST (Non ST elevation miocard infarction/ NSTEMI ),
infark miokard dengan gelombang Q atau infark miokard dengan elevasi segment ST (ST
elevation miocard infarction/STEMI) (Departemen Kesehatan, 2007). Sheerwood, 2001
menjelaskan bahwa pada keadaan jantung normal, aliran darah koroner meningkat
seiring dengan peningkatan kebutuhan oksigen, namun pada penyakit arteri koroner
aliran darah tidak dapat memenuhi peningkatan kebutuhan oksigen.
2.2 Etiologi
Etiologi terjadinya menurut Kasuari, 2002 yaitu :
1. Tiga faktor yang menyebabkan berkurangnya aliran oksigen ke miokard:
1) Faktor pembuluh darah :
a. Aterosklerosis
b. Spasme
c. Arthritis
2) Faktor sirkulasi:
a Hipotensi
b Stenosis aorta
c Insufisiensi
3) Faktor darah:
a Anemia
b Hipoksemia
c Polisitemia
2. Curah jantung yang meningkat:
a Aktivitas yang berlebihan
b Makan terlalu banyak
c Emosi
d Hipertiroidisme
3. Kebutuhan oksigen miokard meningkat, pada:
a Kerusakan miokard
b Hipertropi miokard
c cHipertensi diastolik
Faktor resiko pada SKA (Muttaqin, 2009) dibagi menjadi :
1. Faktor resiko yang tidak dapat dirubah:
1) Usia
Angka morbiditas dan mortalitas penyakit SKA meningkat seiring pertambahan
usia. Sekitar 55% korban serangan jantung berusia 65 tahun atau lebih dan yang
meninggal empat dari lima orang berusia di atas 65 tahun. Mayoritas berada
dalam resiko pada masa kini merupakan refleksi dari pemeliharaan kesehatan
yang buruk di masa lalu.
2) Jenis kelamin
Pria memiliki resiko yang lebih untuk terserang SKA, sedangkan pada wanita
resiko lebih besar setelah masa menopause. Peningkatan pada wanita setelah
menopause terjadi akibat penurunan kadar estrogen dan peningkatan lipid dalam
darah.
3) Riwayat keluarga
Tingkat faktor genetika dan lingkungan membantu terbentuknya atherosklerosis
belum diketahui secara pasti. Tendensi atherosklerosis pada orang tua atau anak
dibawah usia 50 tahun ada hubungan terjadinya sama dengan anggota keluarga
lain.
4) Suku bangsa
Orang Amerika kulit hitam memiliki resiko lebih tinggi dibandinkan dengan
kulit putih, hal ini dikaitkan dengan penemuan bahwa 33% orang Amerika kulit
hitam menderita hipertensi dibandingkan dengan kulit putih.
2. Faktor resiko yang dapat dirubah:
1) Merokok
Perokok memiliki resiko 2 sampai 3 kali untuk meninggal karena SKA daripada
yang bukan perokok. Resiko juga bergantung dari berapa banyak rokok per hari,
lebih banyak rokok lebih tinggi pula resikonya. Hal ini dikaitkan dengan
pengaruh nikotin dan kandungan tinggi dari monoksida karbon yang terkandung
dalam rokok. Nikotin meningkatkan beban kerja miokardium dan dampak
peningkatan kebutuhan oksigen. Karbon monoksida menganggu pengangkutan
oksigen karena hemoglobin mudah berikatan dengan karbon monoksida
daripada oksigen.
2) Hiperlipidemia
Kadar kolesterol dan trigliserida dalam darah terlibat dalam transportasi, digesti,
dan absorbs lemak. Seseorang yang memiliki kadar kolesterol melebihi 300
ml/dl memiliki resiko 4 kali lipat untuk terkena SKA dibandingkan yang
memiliki kadar 200 mg/dl. Diet yang mengandung lemak jenuh merupakan
faktor utama yang menimbulkan hiperlipidemia.
3) Diabetes mellitus
Aterosklerosis diketahui berisiko 2 sampai 3 kali lipat pada diabetes tanpa
memandang kadar lipid dalam darah. Predisposisi degenerasi vaskuler terjadi
pada diabetes dan metabolisme lipid yang tidak normal memegang peranan
dalam pertumbuhan atheroma.
4) Hipertensi
Peningkatan resisten vaskuler perifer meningkatkan afterload dan kebutuhan
ventrikel, hal ini mengakibatkan kebutuhan oksigen untuk miokard untuk
menghadapi suplai yang berkurang.
5) Obesitas
Berat badan yang berlebihan berhubungan dengan beban kerja yang meningkat
dan juga kebutuhan oksigen untuk jantung. Obesitas berhubungan dengan
peningkatan intake kalori dan kadar low density lipoprotein
6) Inaktifitas
Fisik Kegiatan gerak dapat memperbaiki efisiensi jantung dengan cara
menurunkan kadar kecepatan jantung dan tekanan darah. Dampak terhadap
fisiologis dari kegiatan mampu menurunkan kadar kepekatan rendah dari lipid
protein, menurunkan kadar glukosa darah, dan memperbaiki cardiac output.
7) Stres psikologis berlebihan
Stres merangsang sistem kardiovaskuler melepaskan katekolamin yang
meningkatkan kecepatan jantung dan menimbulkan vasokontriksi
Rilantono (1996) mengatakan sumber masalah sesungguhnya hanya terletak pada
penyempitan pembuluh darah jantung (vasokonstriksi). Penyempitan ini diakibatkan oleh
empat hal, meliputi:
1. Adanya timbunan-lemak (aterosklerosis) dalam pembuluh darah akibat konsumsi
kolesterol tinggi.
2. Sumbatan (trombosis) oleh sel beku darah (trombus).
3. Vasokonstriksi atau penyempitan pembuluh darah akibat kejang yang terus menerus.
4. Infeksi pada pembuluh darah.
Wasid (2007) menambahkan mulai terjadinya Sindrom Koroner Akut (SKA)
dipengaruhi oleh beberapa keadaan, yakni:
1. Aktivitas/latihan fisik yang berlebihan (tak terkondisikan)
2. Stress emosi, terkejut
3. Udara dingin, keadaan-keadaan tersebut ada hubungannya dengan peningkatan
aktivitas simpatis sehingga tekanan darah meningkat, frekuensi debar jantung
meningkat, dan kontraktilitas jantung meningkat.
2.3 Manifestasi Klinis
Nyeri dada merupakan sindrom klinis yang terjadi akibat aliran darah ke arteri koroner
berkurang. Ketidakseimbangan yang terjadi antara suplai dan kebutuhan miokardium
menimbulkan nyeri akibat perubahan metabolisme aerob menjadi anaerob, produk
tambahan dari metabolisme anaerob adalah asam laktat. Pada unstable angina pektoris,
nyeri dada biasanya dirasakan pada area substernal dan retrosternal dapat menjalar ke
leher, rahang, lengan, punggung. Nyeri timbul dirasakan akibat gerakan atau aktivitas,
gangguan emosi, namun dapat berkurang dengan istirahat dan nitrogliserin. Nyeri yang
dirasakan pada infark miocard seperti diremas-remas yang hebat, tidak hilang dengan
istirahat, dan nitrogliserin sering disertai dengan sesak nafas/dispneu, pucat, dingin,
diaporesis berat, pening atau kepala terasa melayang dan mual muntah.
2.4 Patofisiologi
Faktor penyebab utama pada SKA adalah kurangnya aliran darah ke miokard yang
terbanyak sering disebabkan aterosklerosis. Aterosklerosis ditandai dengan adanya
akumulasi bahan lemak/lipid dan jaringan fibrosa pada dinding arteri, pertambahan
aterosklerosis membuat lumen dari pembuluh darah menyempit dan aliran darah
terhambat ke daerah miokardium. Dinding pembuluh darah akan kehilangan elasitasnya
dan menjadi kurang responsif terhadap perubahan volume dan tekanan. Pathogenesis dari
aterosklerosis (C. Long, Barbara, 1999) pada ACS dimulai dengan lesi atherosklerosis
timbul pada permulaan dari arteri koroner utama. Proses perjalanan penyakit pada
awalnya setempat, kemudian menjadi difus dan bertambah. Lesi yang pertama timbul
pada dinding arteri koroner disebut garis lemak. Sel-sel yang mengandung lipid atau sel-
sel busa (foam cells) invasi ke dalam dinding intima dan menimbulkan garis-garis lemak,
karena penyakit berlanjut kemudian timbul sejenis benjolan dengan ukuran yang terus
meningkat sehingga kapasitas lumen pembuluh menjadi terbatas. Lesi tersebut
merupakan jenis karakteristik khas aterosklerosis yang berkembang. Tingkat
aterosklerosis yang lebih berkembang ditandai dengan benjolan fibrosa berkapur.
Deposit kapur dapat ruptur dan meningkatkan resiko spasmus, membentuk thrombus,
dan emboli. Ini adalah jenis lesi aterosklerosis yang menimbulkan gejala coronary artery
disease (CAD). Lumen arteri menjadi begitu sempit, sehingga timbul ketidakseimbangan
suplai oksigen untuk miokardium dibandingkan dengan kebutuhan. Manifestasi iskemik
miokardium biasanya tidak akan terjadi sampai arteri 75% tersumbat. Hal itu bisa
berakibat angina pektoris, infark miokardium dan kematian mendadak. Angina pektoris
merupakan cerminan dari iskemik miokard. Nyeri dada angina biasanya berlokasi
dibawah sternum (retrosternal) dan kadang menjalar ke leher, rahang, bahu dan kadang
lengan kiri atau keduanya. Kadang angina dikeluhkan sebagai tanda tak enak di dada
atau rasa berat di dada, rasa penuh, diremas, dicengkram, dan rasa seperti ditikam
(Muttaqin, 2009). Pada lansia kemungkinan rasa nyeri yang dirasakan nyeri viseral yang
disertai dengan sesak napas, keringat dingin, mual, rasa melayang, dan lemah. Angina
pektoris stabil ditandai dengan nyeri dada yang berakhir 5-15 menit. Hal ini dapat timbul
karena aktivitas, stress, atau kedinginan kemudian menghilang dengan istirahat atau
minum obat. Angina pektoris stabil biasanya disebabkan oleh lesi koroner yang fixed
(plak yang stabil). Pada Unstable Angina Pektoris (UAP) mencerminkan suatu keadaan
klinis diantara angina pektoris stabil dan infark miokardium. Biasanya berhubungan
dengan ruptur plak dan trombosis. Iskemia mengganggu permeabilitas sel-sel
miokardium terhadap elektrolit-elektrolit yang menyebabkan menurunnya kontraktilitas
miokardium. Proses iskemik yang berlangsung lebih dari 35 – 45 menit akan
menyebabkan kerusakan sel-sel yang ireversibel dan nekrosis miokardium. Infark
miokard akut disebabkan oleh penyumbatan yang tiba-tiba pada salah satu cabang dari
arteri koronaria. Penyumbatan ini dapat meluas dan mengganggu fungsi jantung atau
mengakibatkan nekrosis miokardium (Muttaqin, 2009). Infark tidak langsung menjadi
total. Trauma iskemik berkembang dan meluas kemudian baru terjadi infark atau timbul
nekrosis. Pada saat proses iskemik berlangsung, lapisan subendokardium (karena sangat
peka terhadap kekurangan oksigen) mengalami hipoksia kemudian baru seluruh
miokardium. Nyeri dada oleh karena infark biasanya adanya serangan angina pektoris
yang lebih berat 15-30 menit, kecuali pada lansia dan penderita diabetes. Pasien dengan
infark inferior kadang terasa seperti nyeri abdomen, mual, dan muntah. Pasien yang
mengalami infark akut menjadi gelisah, cemas, takut, merasa nyawa terancam, sulit
bernapas, sianosis, dan syok. Ada pula sekitar 5-20 % dari pasien dengan serangan infark
miokard akut tanpa rasa nyeri.
2.5 Klasifikasi
SKA berdasarkan gambaran EKG dibagi menjadi 3 yaitu:
1. Unstable Angina Pektoris (UAP)
Nyeri dada yang timbul pada saat istirahat selama kurang dari 20 menit. Ada
peningkatan dalam frekuensi sakitnya atau ada gejala perburukan dan disertai
perubahan EKG (gelombang T terbalik ≥ 0,2 mV dan atau depresi segmen ST >0,05
mV)
2. Non ST Elevasi Miokard Infark (NSTEMI)
Riwayat nyeri dada yang khas selama lebih dari 20 menit, tidak disertai dengan
perubahan EKG berupa elevasi segmen ST, tidak hilang dengan nitrat dan ditandai
dengan peningkatan enzim jantung (CKMB).
3. ST Elevasi Miokard Infark (STEMI)
Riwayat nyeri dada yang khas selama lebih dari 20 menit, disertai dengan
perubahan EKG berupa elevasi segmen ST, tidak hilang dengan nitrat dan ditandai
peningkatan enzim jantung.
2.6 Komplikasi
Adapun komplikasi dari SKA menurut Price & Wilson, 1995 diantaranya:
1. Gagal Jantung Kongesti
Gagal jantung kongesti sirkulasi akibat sirkulasi disfungsi miokard tempat kongesti
tergantung dari ventrikel yang terlibat. Disfungsi ventrikel kiri atau gagal jantung
kiri menimbulkan kongesti pada vena pulmonalis. Disfungsi ventrikel kanan atau
gagal jantung kanan mengakibatkan kongesti vena sistemik. Kompilkasi mekanis
yang paling sering setelah infark miokard adalah gagal jantung kiri
2. Syok Kardiogenik
Syok kardiogenik adalah darurat medis yang memerlukan tindakan cepat dan tepat
untuk menghindari kerusakan sel yang ireversibel dan kematian, biasanya
diakibatkan oleh kegagalan ventrikel kiri.
3. Regurgitasi mitral akut
Kelainan regurgitasi mitral akut ini dapat relatif ringan dan bersifat sementara bila
disebabkan oleh disfungsi otot papilaris. Ruptur otot papilaris/korda tendinea lebih
jarang dan sering menyebabkan gagal jantung akut dan penurunan tekanan darah.
Inkompetensi katup akibat aliran balik dari ventrikel kiri ke dalam atrium kiri, akibat
yang terjadi adalah pengurangan aliran ke aorta dan peningkatan kongesti atrium kiri
dan vena pulmonalis.
4. Ruptur jantung dan septum
Ruptur ventrikel menyebabkan tamponade karena dinding nekrotik yang tipis
sehinga terjadi perdarahan massif ke dalam jantung perikardium sehingga menekan
jantung.
5. Tromboembolisme
Trombus mural dapat ditemukan di ventrikel kiri pada tempat infark miokard dan
kadang-kadang terjadi dalam 24 jam pertama, bila diketahui ada trombus mural
maka anti koagulan perlu diberikan.
6. Aneurisma Ventrikel
Aneurisma ventrikel dapat timbul setelah terjadi MCI transmural. Nekrosis dan
pembentukan parut membuat dinding miokard menjadi lemah. Ketika sistol, tekanan
tinggi dalam ventrikel membuat bagian miokard yang lemah menonjol keluar. Darah
dapat merembes ke dalam bagian yang lemah itu dan dapat menjadi sumber emboli.
Disamping itu bagian yang lemah dapat mengganggu curah jantung kebanyakan
aneurisma ventrikel terdapat pada apex dan bagian anterior jantung.
7. Perikarditis
Sering ditemukan dan ditandai dengan nyeri dada yang lebih berat pada inspirasi dan
tidur terlentang. Infark transmural membuat lapisan epikardium yang langsung
kontak dengan perikardium kasar, sehingga merangsang permukaan perikard dan
timbul reaksi peradangan. 8.Aritmia
Lazim ditemukan pada fase akut MCI, aritmia perlu diobati bila menyebabkan
gangguan hemodinamik. Aritmia memicu peningkatan kebutuhan O2 miokard yang
mengakibatkan perluasan infark.
2.7 Pemeriksaan penunjang
Diagnosa SKA umumnya diangkat berdasarkan tanda dan gejala, EKG 12 lead, tes
laboratorium yang kemudian dapat dijadikan data untuk menentukan apakah pasien
termasuk UAP, NSTEMI atau STEMI. Prognosis tergantung dari seberapa berat
obstruksi arteri koroner dan seberapa kerusakan yang terjadi pada miokardium.
1. EKG
Merupakan pemeriksaan penunjang yang penting, normal EKG tidak menyingkirkan
tidak adanya iskemik miokard atau memulangkan pasien, pemeriksaan EKG perlu
dilakukan secara berkala.
1) NSTEMI : depresi ST segmen >0,5 mm pada sandapan yang berdekatan atau
inversi gelombang T >2 mm yang dinamik memberikan kecurigaan adanya
suatu sindrom koroner akur non ST elevasi.
2) STEMI: ST elevasi >1 mm pada 2 atau lebih sandapan yang berdekatan pada
limb lead dan atau segment elevasi > 2 mm pada 2 sadapan chest lead , atau
gambaran LBBB baru yang menunjukan adanya suatu sindrom koroner akut
dengan elevasi ST/infark transmural. Gelombang T iskemik biasanya terbalik,
dalam dan simetris. Gelombang Q merupakan tanda kemungkinan terdapat
jaringan yang mati.
Penentuan lokasi infark berdasarkan hasil perekaman EKG (Dharma,
Surya, 2009) adalah:
a. Anterior : V3, V4
b Anteroseptal : V1, V2, V3, V4
c Antero ekstensif : I, AVL, V2 sampai V6
d Anterolateral : I, aVL, V3, V4, V5, V6
e Inferior : II, III, aVF
f Lateral : I, aVL, V5, V6
g Septum : V1, V2
h Posterior : V7, V8, V9
2. Foto thoraks
Foto thoraks biasanya normal pada pasien dengan angina. Pembesaran jantung atau
peningkatan tekanan vena dapat menandakan adanya infark miokard atau disfungsi
ventrikel kiri, namun temuan ini kadang tidak dapat diandalkan.
3. Enzim jantung
Sel otot jantung yang mati akan mengeluarkan enzim, dan enzim tersebut dapat
membantu dalam menegakkan infark miokard.
1) Creatinin Kinase (CK, CKMB) mulai naik dalam 6 jam, memuncak dalam 12-16
jam, normal kembali antara 3-4 hari tanpa terjadi nekrosis baru. Enzim CKMB
sering dijadikan indikator MCI sebab hanya terjadi saat kerusakan jaringan
miokard. Nilai referensi CKMB 0-24 u/l. Kuantitatif Troponin T sebagai kriteria
diagnostik untuk infark miokard akut, baru– baru ini didefinisikan kembali
berdasarkan pengukuran troponin < 0.03 = negative. 0.03 – 0,1 = low. 0,1 – 2 =
MCI. > 2 = massive MCI.
2) LDH: Dapat dideteksi 24-48 jam pasca infark, mencapai puncaknya setelah 3-6
hari, normal setelah mencapai 8-14 hari.
3) Elektrolit: ketidakseimbangan elektrolit dalam darah dapat mempengaruhi
konduksi dan kontraktilitas jantung, misalnya: hipokalemia, hiperkalemia.
4) Sel darah putih: kadar leukosit biasanya tampak mengalami peningkatan pada
hari ke-2 setelah IMA berhubungan dengan proses inflamasi.
5) Kecepatan sedimentasi meningkat pada hari ke-2 dan ke-3 setelah IMA
menunjukkan inflamasi.
6) AGD: dapat menunjukan hipoksia atau proses penyakit paru akut maupun kronis.
7) Kolesterol atau trigliserida serum meningkat, menunjukan arteriosklerosis sebagai
penyebab IMA.
4. Echocardiogram
Dilakukan untuk menentukan dimensi ruang jantung, gerakan katup atau dinding
ventrikel dan konfigurasi atau fungsi katup.
5. Pemeriksaan Pencitraan Nuklir
1) Talium : mengevaluasi aliran darah miokard dan status sel miokard misalnya
lokasi atau luasnya AMI.
2) Technetium : terkumpul dalam sel iskemik disekitar area nekrotik.
6. Pencitraan darah jantung (MUGA) Mengevaluasi penampilan ventrikel khusus dan
umum, gerakan dinding regional dan fraksi ejeksi (aliran darah).
7. Angiografi koroner
Menggambarkan penyempitan atau sumbatan arteri koroner, biasanya dilakukan
untuk mengukur tekanan ruang jantung dan mengkaji fungsi ventrikel kiri (fraksi
ejeksi). Prosedur tidak selalu dilakukan pada fase AMI kecuali mendekati bedah
jantung angioplasty atau bersifat darurat.
8. Nuklear Magnetic Resonance (NMR)
Memungkinkan visualisasi aliran darah, ruang jantung atau katup ventrikel, lesi
vaskuler, pembentukan plak, area nekrosis atau infark dan bekuan darah.
2.8 Penatalaksanaan
Keberhasilan terapi SKA bergantung pada pengenalan dini gejala dan transfer pasien
segera ke unit/instalasi gawat darurat. Terdapat 3 hal yang harus dilakukan pada
penderita dengan infark miokard, yaitu :
1. Memantapkan terbukanya arteri koroner dapat dengan cara fibrinolitik, angioplasti,
atau CABG.
2. Menjaga agar arteri koroner tetap terbuka dengan antikoagulan atau dengan anti
platelet.
3. Mencegah meluasnya kerusakan miokard lebih lanjut dengan mengurangi oksigen
demand atau mencukupi kebutuhan oksigen.
Penatalaksana awal SKA tanpa elevasi segmen ST
1) Oksigen nasal 2-3 L/menit
2) Aspilet kunyah 160-320 mg
3) Clopidogrel loding dose 300 mg atau Ticagrelor 180 mg
4) Nitrat tablet 5 mg SL dapat diulang 3 kali, jika masih nyeri dada diberi Morphin
2,5 – 5 mg IVatau Pethidin 25 mg IV atau Nitrat IV dosis dimulai dari 5
mikrogram/menit atau dititrasi.
5) Cek laboratorium: Hb, Ht, Leukosit, Ureum, Kreatinin, GDS, Elektrolit,
CKMB, hs-Troponin
6) ACE Inhibitor (gagal jantung, DM, hipertensi)
7) Anti iskemik beta bloker (jika tidak ada kontraindikasi) atau kalsium antagonis
8) Statin
9) Anti koagulan:
a CCT > 30 ml/menit berikan pondafarinux atau enoxafarine subkutan, jika
CCT < 30 ml/menit berikan UFH atau enoxafarine (1 mg/KgBB subkutan
sehari sekali).
b Loding dose heparin bolus 60-70 unit maksimal 4000 unit dengan dosis
pemeliharaan 12-15 unit/KgBB/jam maksimal 1000 unit/jam dengan target
APTT 1,5-2 kali nilai kontrol. Dosis enoxafarine 1 mg/KgBB subkutan
setiap 12 jam. Dosis pondafarinux 2,5 mg subkutan sekali sehari. Protokol
Penatalaksana awal SKA dengan elevasi segmen ST:
1. Onset kurang dari 12 jam:
1) Oksigen nasal 2-3 L/menit.
2) Aspilet kunyah 160-320 mg
3) Clopidrogel loading dose 300 mg atau Ticagrelor 180 mg.
4) clopidrogel loading dose 600 mg hanya diberikan pada pasien yang akan
dilakukan PPCI dan tidak diberikan pada pasien usia lebih dari 75 tahun atau
yang rutin mendapat clopidrogel.
5) Nitrat tablet 5 mg SL maksimal 3 kali, jika masih nyeri dada diberikan
Morphin 2,5 – 5 mg IV atau Pethidin 25 mg IV atau Nitrat IV dosis dimulai
dari 10 mikrogram/menit.
6) Cek laboratorium: Hb, Ht, Leukosit, Ureum, Kreatinin, GDS, Elektrolit,
CKMB, hs-Troponin
7) Penatalaksanaan untuk SKA adalah PCI ( Percutaneus Coronary Intervention)
dan fibrinolitik. PCI dapat dikerjakan dalam 60 menit di ruang kateterisasi,
jika PCI tidak bisa dilakukan diberikan fibrinolitik.
a. Indikasi fibrinolitik:
a) Usia kurang dari 75 tahun
b) Nyeri dada khas infark dalam 12 jam
c) Elevasi segmen ST pada perikordial dan ekstremitas lead >1 mm pada
2 lead atau lebih, pada lead yang berdekatan d)LBBB baru
b. Kontraindikasi:
a) Kontraindikasi absolut fibrinolitik:
Riwayat perdarahan intrakranial
Lesi struktural cerebrovaskuler
Tumor intrakranial
Stroke iskemik dalam 3 bulan
Dugaan dalam diseksi aorta
Adanya trauma, pembedahan kepala dalam waktu 3 bulan terakhir
Adanya pendarahan aktif kecuali menstruasi
b) Kontraindikasi relatif fibrinolitik:
Riwayat hipertensi kronik dan berat yang tidak terkontrol
Hipertensi berat yang tidak terkontrol (saat diperiksa sistolik >180
mmHg atau diastolik >110 mmHg)
Riwayat stroke iskemik > 3 bulan
Resusitasi jantung paru traumatik/lebih dari 10 menit atau operasi
besar < 3 minggu
Perdarahan internal dalam 2 – 4 minggu terakhir
Terapi antikoagulan oral
Kehamilan
Ulkus peptikum aktif
2. Onset lebih dari 12 jam
Jika kondisi stabil rawat ICVCU kurang dari 48 jam, rawat ruang intermediate atau
ruang rawat biasa jika onset lebih dari 48 jam, echokardiografi dan angiografi
koroner dalam 24 jam. Pada pasien tidak stabil dilakukan PCI dini. Indikasi PCI
adalah:
1) Persentasi lebih dari 3 jam
2) Tersedia fasilitas PCI
3) Waktu kontak antara pasien tiba sampai dengan inflasi balon kurang dari 90
menit
4) Waktu antara pasien tiba sampai dengan inflasi balon dikurangi waktu antara
pasien tiba sampai dengan fibrinolitik kurang dari 1 jam
5) Terdapat kontraindikasi fibrinolitik f.Resiko tinggi (gagal jantung kongestif
killip III)
Rilantono (1996) mengatakan tahap awal dan cepat pengobatan pasien sindrom
koroner akut (SKA) adalah:
1. Oksigenasi
Langkah ini segera dilakukan karena dapat membatasi kekurangan oksigen pada
miokard yang mengalami cedera serta menurunkan beratnya ST-elevasi. Ini
dilakukan sampai dengan pasien stabil dengan level oksigen 2–3 liter/ menit secara
kanul hidung.
2. Nitrogliserin (NTG)
Digunakan pada pasien yang tidak hipotensi. Mula-mula secara sublingual (SL) (0,3
– 0,6 mg ), atau aerosol spray. Jika sakit dada tetap ada setelah 3x NTG setiap 5
menit dilanjutkan dengan drip intravena 5–10 ug/menit (jangan lebih 200 ug/menit )
dan tekanan darah sistolik jangan kurang dari 100 mmHg. Manfaatnya ialah
memperbaiki pengiriman oksigen ke miokard; menurunkan kebutuhan oksigen di
miokard; menurunkan beban awal (preload) sehingga mengubah tegangan dinding
ventrikel; dilatasi arteri koroner besar dan memperbaiki aliran kolateral; serta
menghambat agregasi platelet (masih menjadi pertanyaan).
3. Morphine
Obat ini bermanfaat untuk mengurangi kecemasan dan kegelisahan; mengurangi rasa
sakit akibat iskemia; meningkatkan venous capacitance; menurunkan tahanan
pembuluh sistemik; serta nadi menurun dan tekanan darah juga menurun, sehingga
preload dan after load menurun, beban miokard berkurang, pasien tenang tidak
kesakitan. Dosis 2 – 4 mg intravena sambil memperhatikan efek samping mual,
bradikardi, dan depresi pernapasan
4. Aspirin
Harus diberikan kepada semua pasien sindrom koroner akut jika tidak ada
kontraindikasi (ulkus gaster, asma bronkial). Efeknya ialah menghambat
siklooksigenase –1 dalam platelet dan mencegah pembentukan tromboksan-A2.
Kedua hal tersebut menyebabkan agregasi platelet dan konstriksi arterial.
Penelitian ISIS-2 (International Study of Infarct Survival) menyatakan bahwa
Aspirin menurunkan mortalitas sebanyak 19%, sedangkan "The Antiplatelet Trialists
Colaboration" melaporkan adanya penurunan kejadian vaskular IMA risiko tinggi
dari 14% menjadi 10% dan nonfatal IMA sebesar 30%. Dosis yang dianjurkan ialah
160–325 mg perhari, dan absorpsinya lebih baik "chewable" dari pada tablet,
terutama pada stadium awal 3,4. Aspirin suppositoria (325 mg) dapat diberikan pada
pasien yang mual atau muntah 4. Aspirin boleh diberikan bersama atau setelah
pemberian GPIIb/IIIa-I atau UFH (unfractioned heparin). Ternyata efektif dalam
menurunkan kematian, infark miokard, dan berulangnya angina pectoris.
5. Antitrombolitik lain
Clopidogrel, Ticlopidine: derivat tinopiridin ini menghambat agregasi platelet,
memperpanjang waktu perdarahan, dan menurunkan viskositas darah dengan cara
menghambat aksi ADP (adenosine diphosphate) pada reseptor platelet., sehingga
menurunkan kejadian iskemi. Ticlopidin bermakna dalam menurunkan 46%
kematian vaskular dan nonfatal infark miokard. Dapat dikombinasi dengan Aspirin
untuk prevensi trombosis dan iskemia berulang pada pasien yang telah mengalami
implantasi stent koroner.
Pada pemasangan stent koroner dapat memicu terjadinya trombosis, tetapi
dapat dicegah dengan pemberian Aspirin dosis rendah (100 mg/hari) bersama
Ticlopidine 2x 250 mg/hari. Colombo dkk. memperoleh hasil yang baik dengan
menurunnya risiko trombosis tersebut dari 4,5% menjadi 1,3%, dan menurunnya
komplikasi perdarahan dari 10–16% menjadi 0,2–5,5%21. Namun, perlu diamati
efek samping netropenia dan trombositopenia (meskipun jarang) sampai dengan
dapat terjadi purpura trombotik trombositopenia sehingga perlu evaluasi hitung sel
darah lengkap pada minggu II – III.
Clopidogrel sama efektifnya dengan Ticlopidine bila dikombinasi dengan
Aspirin, namun tidak ada korelasi dengan netropenia dan lebih rendah komplikasi
gastrointestinalnya bila dibanding Aspirin, meskipun tidak terlepas dari adanya
risiko perdarahan. Didapatkan setiap 1.000 pasien SKA yang diberikan Clopidogrel,
6 orang membutuhkan tranfusi darah 17,22. Clopidogrel 1 x 75 mg/hari peroral,
cepat diabsorbsi dan mulai beraksi sebagai antiplatelet agregasi dalam 2 jam setelah
pemberian obat dan 40–60% inhibisi dicapai dalam 3–7 hari. Penelitian CAPRIE
(Clopidogrel vs ASA in Patients at Risk of Ischemic Events ) menyimpulkan bahwa
Clopidogrel secara bermakna lebih efektif daripada ASA untuk pencegahan kejadian
iskemi pembuluh darah (IMA, stroke) pada aterosklerosis (Product Monograph New
Plavix).
Rilantono (1996) menambahkan penanganan Sindrom Koroner Akut (SKA)
meliputi:
1. Heparin
Obat ini sudah mulai ditinggalkan karena ada preparat-preparat baru yang lebih
aman (tanpa efek samping trombositopenia) dan lebih mudah pemantauannya (tanpa
aPTT). Heparin mempunyai efek menghambat tidak langsung pada pembentukan
trombin, namun dapat merangsang aktivasi platelet. Dosis UFH yang dianjurkan
terakhir (1999) ialah 60 ug/kg bolus, dilanjutkan dengan infus 12 ug/kg/jam
maksimum bolus , yaitu 4.000 ug/kg, dan infus 1.000 ug/jam untuk pasien dengan
berat badan < 70 kg.
2. Low Molecular Heparin Weight Heparin ( LMWH)
Diberikan pada APTS atau NSTEMI dengan risiko tinggi. LMWH mempunyai
kelebihan dibanding dengan UFH, yaitu mempunyai waktu paruh lebih lama; high
bioavailability; dose – independent clearance; mempunyai tahanan yang tinggi untuk
menghambat aktivasi platelet; tidak mengaktivasi platelet; menurunkan faktor von
Willebrand; kejadian trombositopenia sangat rendah; tidak perlu pemantauan aPTT ;
rasio antifaktor Xa / IIa lebih tinggi; lebih banyak menghambat alur faktor jaringan;
dan lebih besar efek hambatan dalam pembentukan trombi dan aktivitasnya.
Termasuk dalam preparat ini ialah Dalteparin, Enoxaparin, dan Fraxi-parin. Dosis
Fraxiparin untuk APTS dan NQMCI: 86 iu antiXa/kg intravena bersama Aspirin
(maksimum 325 mg) kemudian 85 iu antiXa/kg subkutan selama 6 hari: 2 x tiap 12
jam (Technical Brochure of Fraxiparin . Sanofi – Synthelabo).
3. Warfarin
Antikoagulan peroral dapat diberikan dengan pemikiran bahwa pengobatan jangka
panjang dapat memperoleh efek antikoagulan secara dini. Tak ada perbedaan antara
pemberian Warfarin plus Aspirin dengan Aspirin saja (CHAMP Study, CARS Trial)
sehingga tak dianjurkan pemberian kombinasi Warfarin dengan Asparin.
4. Glycoprotein IIb/IIIa Inhibitor (GPIIb/IIIa-I)
Obat ini perlu diberikan pada NSTEMI SKA dengan risiko tinggi, terutama
hubungannya dengan intervensi koroner perkutan (IKP). Pada STEMI, bila
diberikan bersama trombolitik akan meningkatkan efek reperfusi (studi GUSTO V
dan ASSENT-3). GUSTO V membandingkan Reteplase dengan Reteplase dan
Abciximab (GPIIb/IIIa-I) pada IMA, sedangkan ASSENT–3 membandingkan antara
Tenecteplase kombinasi dengan Enoxaparin atau Abciximab dengan Tenecteplase
kombinasi UFH pada IMA , yang ternyata tak ada perbedaan pada mortalitas 4. Efek
GPIIb/IIIa-I ialah menghambat agregasi platelet tersebut dan cukup kuat terhadap
semua tipe stimulan seperti trombin, ADP, kolagen, dan serotonin 17. Ada 3
perparat, yaitu Abciximab, Tirofiban, dan Eptifibatide yang diberikan secara
intravena. Ada juga secara peroral, yakni Orbofiban, Sibrafiban, dan Ximilofiban.
GPIIb/IIIa-I secara intravena jelas menurunkan kejadian koroner dengan segera,
namun pemberian peroral jangka lama tidak menguntungkan, bahkan dapat
meningkatkan mortalitas.
Secara invitro, obat ini lebih kuat daripada Aspirin dan dapat digunakan
untuk mengurangi akibat disrupsi plak. Banyak penelitian besar telah dilakukan,
baik GPIIb/IIIa-I sendiri maupun kombinasi dengan Aspirin, Heparin, maupun pada
saat tindakan angioplasti dengan hasil cukup baik. Namun, tetap perlu diamati
komplikasi perdarahannya dengan menghitung jumlah platelet (trombositopenia)
meskipun ditemukan tidak serius. Disebut trombositopenia berat bila jumlah platelet
< 50.000 ml 4,17,26. Dasgupta dkk. (2000) meneliti efek trombositopenia yang
terjadi pada Abciximab tetapi tidak terjadi pada Eptifibatide atau Tirofiban dengan
sebab yang belum jelas. Diduga karena Abciximab menyebabkan respons antibodi
yang merangsang kombinasi platelet meningkat dan menyokong terjadinya
trombositopenia. Penelitian TARGET menunjukkan superioritas Abciximab
dibanding Agrastat dan tidak ada perbedaan antara intergillin dengan derivat yang
lain. Penelitian ESPRIT memprogram untuk persiapan IKP, ternyata hanya
nenguntungkan pada grup APTS.
5. Direct Trombin Inhibitors:
Hirudin yaitu suatu antikoagulan yang berisi 65 asam amino polipeptida yang
mengikat langsung trombin. GUSTO IIb telah mencoba terapi terhadap 12.142
pasien APTS/NSTEMI dan STEMI, namun tidak menunjukan perbedaan yang
bermakna terhadap mortalitas 17,28.
6. Trombolitik
Dengan trombolitik pada STEMI dan left bundle branch block (LBBB) baru, dapat
menurunkan mortalitas dalam waktu pendek sebesar 18% 29, namun tidak
menguntungkan bagi kasus APTS dan NSTEMI. Walaupun tissue plasminogen
activator (t-PA) kombinasi dengan Aspirin dan dosis penuh UFH adalah superior
dari Streptokinase, hanya 54% pasien mencapai aliran normal pada daerah infark
selama 90 menit 30,31,32,33. Trombolitik terbaru yang diharapkan dapat
memperbaiki patensi arteri koroner dan mortalitas ialah Reteplase (r-PA) dan
Tenecteplase (TNK-t-PA), karena mempunyai waktu paruh lebih panjang daripada t-
PA. Namun, ada 2 penelitian besar membandingkan t-PA dengan r-PA plus TNK-t-
PA, namun ternyata tidak ada perbedaan dan risiko perdarahannya sama saja.
7. Kateterisasi Jantung
Selain pengunaan obat-obatan, teknik kateterisasi jantung saat ini juga semakin
maju. Tindakan memperdarahi (melalui pembuluh darah) daerah yang kekurangan
atau bahkan tidak memperoleh darah bisa dilaksanakan dengan membuka sumbatan
pembuluh darah koroner dengan balon dan lalu dipasang alat yang disebut
stent.Dengan demikian aliran darah akan dengan segera dapat kembali mengalir
menjadi normal.
2.9 Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
1) Data subjektif
Ketika tahap akut infark miokard, termasuk dalam data subjektif adalah persepsi
pasien tentang nyeri dada yang dirasakannya.
a Persepsi pasien tentang nyeri dada yang dialaminya ini menyangkut PQRST,
yaitu :
a) Provocatif/paliatif: nyeri dada yang timbulnya mendadak (dapat atau
tidak berhubungan dengan aktifitas), tidak hilang dengan istirahat atau
nitrogliserin (meskipun kebanyakan nyeri dalam dan visceral).
b) Kualitas/crushing: menyempit, berat, menetap,tertekan.
c) Radiasi/penyebaran: tipikal pada dada anterior, substernal, prekordial,
dapat menyebar ke tangan, rahang, dan wajah. Tidak tertentu lokasinya
seperti epigastrium, siku, rahang, abdomen, punggung, dan leher.
d) Skala/severity: pada skala 1-10, berhubungan dengan pengalaman nyeri
paling buruk yang pernah dialaminya.
a) Waktu/time: lamanya kurang dari 20 menit untuk iskemia, pada infark
miokard, nyeri timbul terus menerus, tidak hilang dengan obat dan
istirahat, dan lamanya lebih dari 20 menit. Catatan nyeri mungkin tidak
ada pada pasien dengan diabetes mellitus, hipertensi, dan pasien pasca
operasi.
b Adanya tanda seperti dispnea, mual, pusing, rasa lemah, dan gangguan tidur.
c Perasaan pasien dan keluarganya: perasaan kurang aman, rasa takut akan
kematian, dan menyangkal/depresi.
d Riwayat penyakit atau pengobatan sebelumnya angina pectoris, infark
miocard , hipertensi, dan diabetes mellitus.
2) Data Objektif
Termasuk dalam data objektif adalah kedaan fisik dan psikologis pasien.
Pemantauan dilakukan secara terus menerus untuk kemungkinan timbulnya
disritmia dan mengantisipasi terjadinya fibrilasi ventrikel yang dapat mengancam
nyawa pasien pada tahap akut MCI.
a Tampilan umum: pasien tampak pucat, berkeringat, gelisah, mungkin
terdapat gangguan pernapasan yang jelas dengan tachipneu dan sesak napas.
b Sinus takikardi (100-120 x/menit) terjadi pada 1/3 pasien. Denyut jantung
rendah mengindikasikan sinus bradikardi atau blok jantung sebagai
komplikasi dari infark. Peningkatan tekanan darah moderat disebabkan oleh
pelepasan katekolamin. Hipotensi timbul merupakan tanda syok kardiogenik.
c Peningkatan aktifitas vagal menyebabkan mual dan muntah dan dikatakan
lebih sering terjadi pada infark inferior.
d Bunyi napas tidak terdengar adanya perubahan kecuali bila timbul edema
paru akan terdengar krackles.
e Bunyi jantung: normal atau terdapat S3/S4/murmur.
f Terdapat faktor-faktor resiko penyakit jantung koroner: hipertensi,
hiperkolesterol, diabetes mellitus, merokok, obesitas, usia, jenis kelamin,
keturunan.
2. Diagnosa Keperawatan
1) Nyeri berhubungan dengan ketidakseimbangan suplai dan demand oksigen.
2) Resiko penurunan curah jantung berhubungan dengan penurunan perfusi
miokard.
3) Intoleransi aktifitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai
oksigen miokard dan kebutuhan, adanya iskemik/nekrosis jaringan miokard.
3. Intervensi Keperawatan
a.Nyeri berhubungan dengan ketidakseimbangan suplai dan demand oksigen
Tujuan:
Nyeri berkurang setelah dilakukan tindakan keperawatan kurang dari 24 jam.
Kriteria Hasil:
Nyeri berkurang bahkan hilang, ekpresi wajah rileks/tenang/tidak tegang, tidak gelisah, nadi
60-100 x/menit, tekanan darah 120/80 mmHg.
Intervensi:
1)
Kaji karakteristik, lokasi, waktu, kualitas, radiasi, dan skala 2)
Anjurkan pada pasien untuk istirahat dan menghentikan aktifitas selama ada serangan. 3)
Bantu pasien melakukan tehnik relaksasi, misalnya nafas dalam, perilaku distraksi,
visualisasi, atau bimbingan imajinasi. 4)
Pertahankan oksigenasi dengan kanul nasal, contohnya 2-4 L/ menit 5)
Monitor tanda-tanda vital (nadi & tekanan darah) tiap dua jam. 6)
Kolaborasi dengan tim kesehatan dalam pemberian analgetik. b.
Resiko penurunan curah jantung berhubungan dengan penurunan perfusi miokard.
Tujuan:
Tidak terjadi penurunan curah jantung setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24
jam.
Kriteria hasil: akral hangat
, capillary refill kurang dari 3 detik, tidak ada disritmia, haluaran urin normal, tanda-tanda
vital dalam batas normal (Nadi: 60-100x/menit, Tekanan darah: sistolik 100-120 mmHg,
diastolik 60-80 mmHg).
Intervensi :
1)
Pertahankan tirah baring selama fase akut 2)
Kaji dan laporkan adanya tanda
–
tanda penurunan cardiac ouput dan tekanan darah 3)
Monitor urin out put 4)
Kaji dan pantau tanda-tanda vital tiap jam
5)
Kaji dan pantau EKG tiap hari 6)
Berikan oksigen sesuai kebutuhan 7)
Auskultasi pernafasan dan jantung tiap jam sesuai indikasi 8)
Pertahankan cairan parenteral dan obat-obatan sesuai terapi 9)
Berikan makanan sesuai diitnya 10)
Hindari valsava manuver, mengejan (gunakan laxan) c.
Intoleransi aktifitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai oksigen miokard
dan kebutuhan, adanya iskemik/nekrosis jaringan miokard ditandai dengan gangguan
frekuensi jantung, tekanan darah dalam aktifitas, terjadinya disritmia.
Tujuan: terjadi peningkatan toleransi aktivitas pada pasien setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 2x24 jam.
Kriteria hasil: pasien
berpartisipasi dalam aktifitas sesuai kemampuan pasien, nadi 60-100 x/menit, tekanan darah
120-80 mmHg.
Intervensi :
1)
Catat frekuensi jantung, irama, dan perubahan TD sebelum, selama dan sesudah aktifitas 2)
Tingkatkan istirahat 3)
Batasi aktifitas dan berikan aktifitas sensori yang tidak berat. 4)
Jelaskan pola peningkatan bertahap dari tingkat aktifitas, contoh bangun dari kursi bila tidak
ada nyeri, ambulasi dan istirahat selama 1 jam setelah makan. 5)
Kaji ulang tanda gangguan yang menunjukan tidak toleran terhadap aktifitas.
DAFTAR PUSTAKA
Bare, Brenda and Smeltzer, Suzanne, dkk. 2002. Buku Ajar Keperwatan Medikal Bedah
Bruner and Suddarth. Jakarta : EGC.
Departemen kesehatan direktorat bidang alat kesehatan. Jakarta. http://binfar.depkes.go.id.
Sindrom Koroner Akut Diambil tanggal 11 Januari 2013 jam 22.30 WIB. Dharma, Surya.
2009.
Pedoman Praktis Sistematika Interpretasi EKG. Jakarta: EGC.
Doengoes E. Marilynn, Moorhouse F. Mary, Geissler C. Alice. (2000).Rencana Asuhan
Keperawatan.Jakarta: EGC.
Hediyani, Novie. 2012.Penyakit Jantung Koroner . www.dokterku-online. Jakarta. Diambil
pada tanggal 19 Januari 2013 jam 11.00 WIB.
Kalim, Harmani. 2009.Sirkulasi Koroner . Id.shvoong.com. Diambil pada tanggal 19 Januari
2013 jam 11.00 WIB.
Long, Barbara C. 1999. Perawatan Medikal Bedah.Bandung: Yayasan Ikatan Alumni
Pendidikan Keperawatan Pajajaran.
Muttaqin, Arif. 2009. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Kardiovaskuler
dan Hematologi. Jakarta: Salemba Medika.
O’Cornnor, Robert E; Brady, William; et al. 2011.Acute Coronary Syndromes American
Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency
Cardiovascular Care. http://circ.ahajournals.org.htm. diambil tanggal 11 Januari 2013 jam
22.30 WIB.
Rokhaeni, Heni dkk. 2001.Buku Ajar Keperawatan Kardiovaskuler . Edisi I. Jakarta: Bidang
Pelatihan dan Pelatihan Pusat Jantung Nasional Harapan Kita.
Universitas Sumatera Utara. 2010.Sirkulasi Koroner . Sumatera Utara.
http://repository.usu.ac.id. Diambil pada tanggal 19 Januari 2013 jam 11 WIB.
Sherwood, Lauralee. 2001.Fisiologi Manusia. Edisi 2. Jakarta: EGC.
Sjahruddin, Harun. 2011.Sindrom Koroner Akut . http://www.majalah-farmacia.com.
Diambil tanggal 11 Januari 2013 jam 22.30 WIB
http://www.academia.edu/5002822/Makalah_seminar
Sylvia A. Price. 2005. Patofisiologi. Jakarta : EGC.
Carpenito. (1998). Diagnosa Keperawata: Aplikasi Pada Praktek Klinis. Edisi VI. Jakarta:
EGC
Rilantono, dkk. (1996). Buku Ajar Kardiologi. Jakarta: Balai Penerbit FKUI