Upload
woelanz-loecue
View
627
Download
5
Embed Size (px)
Citation preview
SILA KEMANUSIAN YANG ADIL DAN BERADAB
Kemanusiaan berasal dari kata manusia, yakni makhluk
ciptaAN Tuhan Yang Maha Esa, yang memiliki potensi, pikir,
rasa, karsa dan cipta. Karena potensi ini manusia mempunyai,
menempati kedudukan dan martabat yang tinggi. Kata adil
mengandung makna bahwa suatu keputusan dan tindakan
didasarkan atas ukuran / norma-norma yang obyektif, dan tidak
subyektif, sehingga tidak sewenang-wenang.
Kata beradab berasal dari kata adab, artinya budaya. Jadi adab
mengandung arti berbudaya, yaitu sikap hidup, keputusan dan
tindakan yang selalu dilandasi oleh nilai-nilai budaya, terutama
norma sosial dan kesusilaan / moral.
Kemanusiaan yang adil dan beradab mengandung pengertian
adanya kesadaran sikap dan perbuatan manusia yang
didasarkan kepada potensi budi nurani manusia dalam
hubungannya dengan norma-norma dan kebudayaan
umumnya.
Potensi kemanusiaan dimiliki oleh semua manusia di dunia,
tanpa memandang ras, keturunan dan warna kulit, serta
bersifat universal.
Kemanusiaan yang adil dan beradab bagi bangsa Indonesia
bersumber pada ajaran Tuhan Yang Maha Esa yakni sesuai
dengan kodrat manusia sebagai ciptaanNya. Hal ini selaran
dengan :
a.pembukaan UUD 1945 alinea pertama
b.Pasal 27, 28, 29, 30 dan 31 UUD 1945
2. Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab
(1) Mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan
harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha
Esa.
(2) Mengakui persamaan derajad, persamaan hak dan
kewajiban asasi setiap manusia, tanpa membeda-bedakan
suku, keturrunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin,
kedudukan sosial, warna kulit dan sebagainya.
(3) Mengembangkan sikap saling mencintai sesama manusia.
(4) Mengembangkan sikap saling tenggang rasa dan tepa
selira.
(5) Mengembangkan sikap tidak semena-mena terhadap orang
lain.
(6) Menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
(7) Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.
(8) Berani membela kebenaran dan keadilan.
(9) Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari
seluruh umat manusia.
(10) Mengembangkan sikap hormat menghormati dan
bekerjasama dengan bangsa lain.
Lumpur dan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
Saturday, 20 September 2008 14:29
Franz Magnis Suseno | Salah satu “permainan” ideologis di
negara kita ini adalah pertanyaan: manakah sila paling
mendasar dalam Pancasila sebagaimana disebut dalam
Pembukaan Undang-undang Dasar 1945. Ada yang
mengatakan bahwa itu tentunya sila pertama, Ketuhanan Yang
Maha Esa, karena Tuhan adalah yang tertinggi dari segala yang
ada. Ada yang mengatakan bahwa itu adalah “Persatuan
Indonesia” karena tanpa sila itu, sila-sila lain tidak mempunyai
tempat untuk berpijak, yaitu bumi Indonesia. Begitu pula bagi
“kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan” dan bagi “keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia” bisa ditemukan argumentasi
mengapa harus dianggap sila yang paling mendasar.
Akan tetapi ada argumen kuat untuk mengikuti pendapat alm.
Prof. Dr. Nikolaus Drijarkara. Rama Drijarkara menegaskan
bahwa sila yang paling mendasar, dalam arti etis, adalah sila
kedua, “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”. Mengapa sila
ini? Karena tanpa kemanusiaan yang adil dan beradab, semua
sila lain menjadi cacat. Sebaliknya, meskipun tanpa empat sila
lain, sila kedua belum mengembangkan sepenuhnya dimensi-
dimensi potensial manusia, akan tetapi asal seseorang, dan
begitu pula hubungan antar orang, menjadi adil dan beradab,
dasar situasi yang secara etis benar dan mantap sudah
diletakkan. Dengan kata lain, hanya atas dasar kemanusiaan
yang adil dan beradab empat sila lain bisa bermutu.
Mari kita lihat tempat kunci sila kedua dengan sedikit lebih
rinci. Pertama harus dikatakan bahwa kita memang harus mulai
pada manusia, dan bukan pada Tuhan. Bukan karena manusia
lebih tinggi daripada Tuhan – Tuhan tentu jelas lebih tinggi
daripada manusia – melainkan karena sebagai manusia kita
hanya dapat bertitik tolak dari kemanusiaan. Setiap orang yang
mnengklaim bertolak langsung dari Tuhan otomatis sudah
sesat dan menyesatkan. Ia adalah manusia, dengan pengertian
manusia dan wawasan manusia, dan tidak bisa langsung
mengatasnamakan Tuhan. Maka manusia senang atau tidak
harus mulai dari dirinya sendiri. Tanpa kemanusiaan, tidak ada
dimensi manusia lain. Jadi tanpa kemanusiaan tak ada dimensi
lain, tak ada kebangsaan, tak ada kerakyatan, tak ada
Ketuhanan (tetapi, sekali lagi, Tuhan tentu ada tanpa
kemanusiaan, tetapi bukan Ketuhanan sebagai penghayatan
dan pengakuan manusia terhadap Tuhan).
Tetapi kemanusiaan yang bagaimana? Dimensi hubungan natar
manusia yang menjadi syarat segala hubungan yang baik
adalah keadilan. Adil berarti, mengakui orang lain, mengakui
dia sebegai manusia, dengan martabatnya, dengan
menghormati hak-haknya. Cinta itu mewujudkan hubungan
antar manusia paling mendalam dan berharga, tetapi kalau dia
melanggar keadilan, dia bukan cinta dalam arti yang
sebenarnya. Kejujuran yang tidak adil bukan kejujuran. Dan
kebaikan yang tidak adil kehilangan harkat etisnya.
Tetapi keadilan tidak berdiri sendiri. Memperjuangkan keadilan
hanyalah etis apabila dilakukan dengan cara yang beradab.
Tanpa sikap beradab keadilan menjadi tidak adil. Itulah seninya
sila kedua :”Kemanusiaan yang adil dan beradab” merupakan
salah satu rumusan cita-cita dasar manusia yang paling indah
dan mendalam! Jadi kemanusiaan hanyalah utuh apabila adil
dan beradab.
Dari situ sudah dapat ditarik sebuah kesimpulan. Gasis paling
bawah yang menjamin harkat etis manusia adalah
keberadaban. Bertindak dengan beradab tentu belum cukup
kalau kita menghadap kewajiban kita sebagai manusia dalam
masyarakat dan dunia, akan tetapi sudah merupakan titik
berpijak yang menjamin moralitas pada dasariah. Sebaliknya,
bertindak dengan tidak beradab, demi tujuan baik pun, adalah
tidak mutu dan tidak etis.misalnya orang yang
memperjuangkan keyakinan politik atau keyakinan
keagamaannya dengan cara yang tidak beradab justru
merendahkan etika politik dan menghina agamanya sendiri.
Sebenarnya banyak masalah dalam masyarakat kita sudah
akan terpecahkan asal saja kita bertekad bersama untuk selalu
bertindak secara beradab. Tak perlu dulu icara akhlak mulia,
cukup kalau kita mau membawa diri sebagai makhluk yang
beradab saja. Karena keberadaban itulah yang membedakan
manusia dari binatang. Jadi kita mestinya bertekad untuk tidak
pernag bertindak secara tidak beradab, secara brutal, secara
kejam atau keji, secara beringas, secara kasar tak sopan.
Tekad ini justru perlu dipegang dalam memperjuangkan yang
baik. Begitu misalnya tindakan kasar dan brutal atas nama
agama merupakan penghinaan terhadap agama yang
diperjuangkan sendiri tak mungkin tindakan tak beradab dan
brutal berkenan di hadapan Tuhan.
Karena keadilan dan keberadaban merupakan syarat harkat
etis segala tindakan manusia, kemanusiaan yang adil dan
beradab merupakan inti Pancasila.
Hal itu dapat diperlihatkan pada sila-sila lain. Ketuhanan Yang
Maha Esa yang disertai sikap tak adil atau tindakan tak
beradab dan brutal menjadi tidak mutu dan menyabot makna
Ketuhanan sendiri. Memang selama sejarah umat manusia
sampai hari ini banyak kekasaran, kejahatan, kebrutalan
dilakukan atas nama manusia. Semuanya itu menghina Tuhan.
Orang yang bertindak brutal, kasar dan tidak beradab jangan
berani mengatasnamakan Tuhan atau agama. Begitu pula
nasionalisme yang terungkap dalam sila Persatuan Indonesia,
selalu harus adil dan beradab kalau mempertahankan
harkatnya. Mengaku cinta pada bangsa sendiri tetapi bersikap
arogan dan brutal terhadap bangsa lain merusak harkat
kebangsaan. Kerakyatan pun kalau tidak memperhatikan
keadilan misalnya menjadi kediktatoran mayoritas yang
melanggar hak-hak asasi minoritas – menjadi wahana
kejahatan. Kerakyatan yang mencuat dalam tindakan tak
beradab menjadi keganasan massa – rule of the mob dalam
bahasa Inggris – yang memuakkan karena bisa menjadi brutal
dan sampai ke pembunuhan. Kerakyatan Pancasila adalah
kerakyatan yang adil dan beradab. Keadilan sosial adalah
menarik bahwa kata adil – dan hanya kata adil, muncul dua kali
dalam Pancasila – hanya wajar kalau diusahakan secara
beradab. Keadilan kalau diperjuangkan dengan ancaman dan
cara paksa, secara arogan, brutal, egois tdak beradab bukan
lagi keadilan, melainkan egoisme ideologis. Memperjuangkan
keadilan dengan cara biadab merusak harkat keadilan sendiri
dan dalam kenyataan lalu sering menghasilkan rezim politik di
bawah seorang diktator.
Kalau Lumpur Porong hasil pengeboran Lapindo dilihat dari
sudut kemanusiaan yang adil dan beradab, kelihatan segala
dimensi malapetakanya itu. Fakta yang sangat relevan sangat
sederhana. Lumpur Porong membebani negara kita yang sudah
kekurangan dana dengan biaya tambahan luar biasa. Misalnya
biaya untuk membuat jalan-jalan dan jalur kereta api yang vital
di jantung Jawa Timur tidak sampai tenggelam. Ada bahaya
sungguh-sungguh bahwa sebagian wilayah Jawa Timur, bagian
yang padat penduduk dan sangat produktif bisa untuk
selamanya dibuat tidak dapat dihuni. Tetapi fakta yang paling
memilukan, ada 10.000 orang yang tenggelam rumah,
pekarangan dan tempat kerjanya yang dengan demikian,
hancur seluruh eksistensinya. Dan bahwa dari mereka ada
yang sampai saat tulisan ini ditulis, 17 bulan sesudah bor itu
meledak, belum juga menerima ganti rugi. Dan itu semuanya di
negara yang mendasarkan diri pada kemanusiaan yang adil
dan beradab.
Di sini bukan tempatnya untuk berspekulasi sejauh mana
Lapindo dengan pengeborannya harus dipersalahkan. Hal itu
seharusnya dibikin jelas dalam sebuah perkara pengadilan. Di
sini hanya mau ditunjuk betapa malapetaka yang menimpa
masyarakat yang terkena lumpuyr Lapindo itu menantang
pengakuan kita akan kemanusiaan yang adil dan beradab.
Mereka itu mengalami kehancuran, bukan karena malapetaka
alami murni, melainkan karena tindakan manusia. Itulah inti
ketidakadilan yang mereka rasakan. Bahwa manusia-manusia
yang melakukan operasi pencarian kekayaan dibawah kulit
bumi bertindak dengan ceroboh sampai sekarang tidak
terbantah. Kita menyaksikan sesuatu yang khas dalam dunia
usaha – dan dalam wawasan para pejabat negara yang
bertanggungjawab atas keselamatan masyarakat, - yaitu
kecongkakan sebuah perusahaan besar yang tidak berpikir
pada masyarakat kecil di dekatnya, yang dalam kasus Porong
melakukan pengeboran tanpa memakai casing yang
seharusnya dipakai untuk menjamin bahwa bahan yang keluar
dari perut bumi tidak masuk ke dalam celah-celah tanah. Dan
kali ini kecerobohan itu mempunyai akibat fatal. Masalahnya
bukan bahwa mereka acuh tak acuh terhadap suatu kerugian
masyarakat, melainkan bahwa mereka menganggap enteng
kemungkinan bahwa pengeboran itu bisa gagal. Jadi bukan
pengabaian total terhadap orang kecil, melainkan bahwa orang
kecil, ya massa masyarakat, seakan-akan dilupakan. Bukan
karena jahat, melainka karena sembrono. Itulah yang
mendasari ketidakadilan di negara ini berbeda dengan
beberapa di negara dimana kelas atas kejam terhadap massa
rakyat, di Indonesia ada budaya perhatian terhadap orang
kecil, tetapi dalam kenyataan perhatian itu dipojokkan oleh
suatu wawasan yang hampir seluruhnya dikuasai oleh
pertimbangan keuntungan perusahaan dan akses ke pusat-
pusat kekuasaan. Seakan-akan kita di Indonesia hidup dalam
dua dunia, atau ada dua bangsa di NKRI kita ini, mereka yang
cepat atau lambat terbawa ke atas dalam pusaran naik
akumulasi modal dan kemodernan akibat globalisasi. Dan
mereka yang harus hidup dari dua Dollar US per hari atau
kurang dan yang cita-citanya adalah survival, penjaminan
pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar. Dua-duanya hidup
berdampingan, tetapi bangsa yang kedua oleh bangsa yang
pertama- bangsa dalam angin naik- hampir tidak diperhatikan
lagi. Itulah yang terjadi di Porong dan belakangan, sesudah
terjadi malapetaka terjadi, tentu semua menyesalkan
pengeboran itu. Sebuah penyesalan yang tidak banyak terasa
oleh para korban yang begitu lambat merasakan diberi
perhatian sungguh-sungguh.
Kembali ke wawasan “kamu modal dan kuasa” yang hampir
seluruhnya dipenuhi oleh kepentingan kemajuan ekonomis
dalam rangka globalisasi sehingga perhatian spontan pada
massa masyarakat tidak menembus lagi pengambilan
keputusan. Wawasan yang buta terhadap kenyataan
masyarakat itru tentu ajkan membahayakan masa depan
bangsa. Situasi ini adalah unsustainable secara sosial.
Masyarakat kita tidak senantiasa akan terus menerus
menerima ketidakadilan itu dengan damai dan pasrah. Kita
jangan mengharapkan kekerasan dalam masyarakat berkurang
kalau mereka terus tidak diberi perhatian.
Kadang-kadang kebutaan perusahaan-perusahaan terhadap
masyarakat biasa berbalik menjadi kebrutalan terbuka/ pada
tanggal 11 Oktober 2007 terbaca di sebuah harian Ibukota
bahwa di Tangerang ada developer yang memagari dengan
tembok tinggi sebuah kampong sebesar delapan atau sembilan
rumah yang terletak di tengah-tengah tanah yang mau
dikembangkannya, yang menolak untuk mau pergi, sesudah
sebelumnya memblokir satu demi satu jalan-jalan yang
menghubungkan kampung-kampung itu dengan dunia luar.
Satu-satunya jalan ke luar bagi kampong itu – yang untuk
terdiri ata orang-orang lanjut usia – adalah sebuah celah
selebar 50 cm yang masih terbuka. Semua barang lebih besar
harus diangkut melalui tangga yang naik ke atas tembok tiga
meter itu. Kalau kelakuan semacam itu dibiarkan terus, negara
Indonesia akan menghadapi masa yang berat di masa
mendatang. Kebrutalan dan ketakpedulian terhadap massa
rakyat yang terdiri atas orang kecil tak mungkin akan ditelan
terus.
Yang gawat bahwa ketidakadilan dalam kesempatan rakyat
indonesia bisa maju tidak keluar dari sebuah kebencian atau
rencana jahat khusus, melainkan merupakan akibat
kecerobohan, kelalaian dan kurang perhatian pada
kemungkinan bahwa ada orang yang menderita. Sebuah
rencana yang jahat bisa langsung digugat dan dilawan. Tetapi
ketidakadilan yang karena kurang perhatian, karena katakana,
telinga orang-orang dia tas sudah penuh dengan bunyi keras
ipod, cell phone dan iklan mereka sehingga jeritan mereka
yang ketinggalan tidak kedengaran lagi, bisa menjadi
kebiasaaan, dan kebiasaan hanya akan diubah dengan ledakan.
Akhirnya perhatian pada orang kecil, wawasan yang betul-betul
mau adil juga merupakan tantangan bagi keberadaan bangsa.
Sebagai bangsa yang beradab, apa kita mau menerima bahwa
terjadi perkembangan-perkembangan mengagumkan dan
sebagian-sebagian cukup besar, bangsa tetap teramcam
kemiskinan dan keputusasaan?
Selasa, 12 Oktober 2010
“KEMANUSIAAN YANG ADIL DAN BERADAB UNTUK SIAPA
”
“KEMANUSIAAN YANG ADIL DAN BERADAB UNTUK SIAPA ”
*Yoyarib Mau
Adil dan Beradab adalah dua suku kata yang masing-masing
memiliki makna tersendiri, adil menurut pengertian Kamus
Besar Bahasa Indonesia berarti berimbang, tidak berat sebelah,
tetapi juga memiliki arti berpihak pada yang benar. Sedangkan
kata beradab lebih diartikan bagaimana seseorang mempunyai
budi bahasa yang baik, berlaku sopan dan pada pengertian lain
lebih pada majunya sebuah kehidupan atau tingkat kehidupan.
Pengertian dua kata ini memiliki makna ganda seperti adil pada
kondisi tertentu diharapkan berlaku adil dimana berimbang
tidak berat sebelah tetapi juga menekankan akan keberpihakan
pada yang benar. Demikian juga dengan kata beradab juga
memiliki pengertian ganda yakni harapan akan perilaku yang
baik tetapi juga merujuk pada sebuah tingkat kehidupan.
Adil dan beradab menjadi bermakna apabila di lekatkan pada
sebuah identitas yang menyangkut sebuah asas kehidupan
yang berlaku mutlak bagi semua manusia. Sehingga kedua
kata ini menjadi dua padanan kata yang bermakna ketika di
lekatkan dengan asas tersebut seperti ungkapan,
”kemanusiaan yang adil dan beradab”.
Ungkapan ini merupakan sebuah makna filosofis karena asas
kemanusiaan menyangkut sesuatu nilai (values), cara pandang,
yang terpatri dalam diri setiap insan manusia bahwa manusia
itu adalah ciptaan yang berakal budi, makhluk yang memiliki
kekhusuan atau keunggulan dari makhluk atau ciptaan lainnya.
Keunggulan yang dimiliki manusia inilah yang membuat
manusia itu bermartabat karena keunggulan dan kekhususan.
Keberadan Manusia yang memiliki keunggulan membuat
manusia menjadi manusia bebas, tanpa tekanan tanpa ada
pembatasan menyebabkan manusia manusia bersaing secara
bebas untuk mempertahankan diri, hidup mengikuti naluri
kebebasannya, sehingga menghasilkan pemikiran siapa yang
kuat ia yang akan menang, sebaagaimana kehidupan rimba
berlaku hukum rimba siapa yang kuat ia akan memangsa yang
lemah. Kondisi ini menyebabkan manusia bertanya, siapakah
yang berperan untuk menyatukan dua arus nafsu yang bertolak
belakang tersebut ?
Kenyataan ini merupakan realitas yang mendorong munculnya
konsep yang di tuliskan oleh Thomas Hobbes, dimana dirinya
mampu membangun “sebuah psikologi politik yang
mengajukan sebuah pandangan tentang manusia yang
digerakan oleh gariah-gairah dan nafsu-nafsu untuk
menciptakan, namun meskipun terdapat gairah-gairah yang
mendorong kita masuk ke dalam konflik juga terdapat gairah-
gairah yang membuat kita condong menuju kedamaian karena
takut akan kematian” (Joseph Losco & Leonard Williams –
Rajawali Pers – 2005) .
Naluri kebebasan ini membuat manusia bersikap ingin
menguasai akan komunitas, kelompok ataupun individu
tertentu, kondisi inilah menghadirkan ketidak percayaan antara
manusia, semua hidup didalam kewaspaadaan dan menunggu
waktu untuk saling memaksa. ketidakadilan dan membuat nilai
manusia itu rendah, manusia hanya bernilai jika ia memiliki
kekuatan.
Dalam kebebasan manusia ada dua unsur yang saling tarik
menarik seperti dua kutub magnet utara – selatan atau aliran
listrik positik – negatif, ada nafsu yang menggebu untuk
menguasai orang lain tetapi juga ada kemauan untuk
melakukan kebaikan karena suatu waktu di perhadapkan pada
suatu kondisi yang lemah di mana pasti ada kelompok yang
dulu lemah menjadi kuat akan melakukan pembalasan dan ini
akan tak akan berakhir tetapi akan terus berputar seperti roda
pedati.
Kondisi liar ini membuat Hobbes menelurkan sebuah
kesimpulan bahwa manusia perlu bersatu di bawah sebuh
”kontrak keselamatan dan penjagaan bersama”. Kontrak
keselamatan inilah yang menjadi awal atau cikal-bakal
terbentuknya negara-bangsa dengan pemerintahan yang
didaulat untuk mengatur kehidupan bersama, Karena
masyarakat mau menyerahkan seluruh hak dan
kewenangannya kepada lembaga masyarakat dan kepada
lembaga tersbutlah mereka mau tunduk.
Indonesia merupakan sebuah negara – bangsa berdasarkan
kontrak kesepakatan, kontrak kesepakatan ini bertujuan untuk
menghimpun semua masyarakat dalam aturan-aturan bahkan
pandangan hidup yang dijalankan oleh sebuah pemerintahan.
Pemerintahan di harapkan dalam menjalankan fungsinya
menciptakan kebaikan bagi semua pihak namun kondisi ini
terkadang tidak berimbang, kebaikan itu hanya berpihak bagi
mereka yang mengendalikan kekuasaan, yang memiliki uang
untuk bisa membeli kekuasaan.
Kontrak kesepakatan yang disepakati untuk menciptakan
kebaikan bagi semua pihak tidaklah terwujud sebagaimana
para penguasa yang menikmati uang rakyat sehingga para
penguasa menjadi tetap kaya sedangkan yang miskin tetap
miskin. Padahal tujuan di bentuknya negara adalah untuk
menciptakan kebaikan bersama namun pada kenyataanya
kebaikan (kesejahteraan) hanya di nikmati oleh mereka yang
berada di kota tetapi di desa tetap hidup dalam kemiskinan
kondisi ini sepertinya tidak menciptakan kebaikan bersama
tetapi menambah perlawanan kutub magnet antara kota dan
desa menegang dan meningkat.
Mereka yang di daulat untuk menciptkan kehidupan bersama
malah mencederai hak rakyat dengan mengambil hak rakyat
bahkan di perlakukan khusus oleh negara seperti yang
dilakukan Mantan Kepala Bulog terlibat korupsi sebesar Rp. 20,
2 milyar kemudian di vonis 4 tahun namun karena kasasi maka
bebas bersyarat. Abdulah Puteh Mantan Gubernur NAD terlibat
korupsi Rp. 3.687 milyar di vonis 10 tahun penjara namun
kemudian bebas bersyarat pada tahun 2009 padahal baru
menjalani masa tahanan sebanyak 6 tahun . Syaukani HR yang
adalah Mantan Bupati Kutai Kertanegara terlibat korupsi senilai
Rp. 49,367 milyar di hukum 6 tahun sejak 2007 namun di
bebaskan dengan mendapatkan grasi pada tahun 2010 dengan
alasan sakit padahal masih dua tahun masa tahanannya. Aulia
Pohan yang nota bene besanya SBY, Maman Soemantri,
Bunbunan Hutapea, Aslim Tadjudin dimana keempatnya adalah
Mantan Deputi Gubernur Gubernur Bank Indonesia, mereka
besekongkol melakukan korupsi berjamaah dalam pengucuran
dana Rp.100 milyar dari Yayasan Pengembangan Perbankan
Indonesia (YPPI) di vonis masing-masing 3 tahun penjara pada
tahun 2008, namun pada tahun 2010 mendapatkan grasi
president (sumber : Kompas 04/10/2010).
Kondisi ini berbeda dengan rakyat kecil seperti; Nenek Minah
yang melakukan pencurian 3 buah kakao di kebun PT Rumpun
Sari Antan di vonis hukuman percobaan selama 1 bulan 15 hari.
Sedangkan Rusnoto, Juwono, Manisih dan Sri Suratmi
melakukan pencurian satu karung plastik buah randu sisa
panen hasil perkebunan di hukum 24 hari penjara. Basar
Suyanto dan Kholil melakukan pencurian sebuah semangka di
kebun Gaguk Prambudi di hukum 15 hari namun sebelum
proses hukum sudah di hukum selama 2 bulan 10 hari. Aspuri
yang mencuri sehelai kaus milik tetangganya di hukum 3 bulan
5 hari (sumber : Kompas 04/10/2010).
Jika di bandingkan dengan mereka yang dipercayakan untuk
menjalankan negara keadilan itu tidak berpihak tidak
berimbang nilai sebuah semangka harga Rp. 10.000 harus
menjalani hukuman selama hampir 3 bulan, jika dibandingkan
dengan mencuri uang rakyat sebesar Rp. 100.000. milyar
hanya 3 tahun apabila harga Rp. 10.000 harus menjalani
hukuman 3 bulan sedangkan Rp. 100.000 milyar mendapatkan
hukuam 3 tahun itupun mendapatkan keringanan.
Hukum yang dijalankan harus memenuhi syarat kemanusiaan
yang adil dan beradab apakah sudah sesuai jika makna ”adil”
itu adalah berimbang, tidak berat sebelah, dan berpihak
kepada kebenaran apakah ini sesuai jika Rp. 10.000 : 3 bulan
penjara, sedangkan Rp 100. 000 milyar : 3 tahun. apakah hal
ini memenuhi unsur keadilan ? atau karena pertimbangan
pemerintah yang di percayakan untuk menjalankan negara ini
memakai pertimbangan ”beradab” dalam pengertian karena
memiliki bahasa yang sopan santun serta memiliki tingkat
kehidupan ekonomi yang lebih baik, berpendidikan tinggi,
menikmati fasilitas yang memadai ? sedangkan Nenek Minah
yang tidak dapat berbahasa Indonesia dengan baik, yang
kemungkinan sehari bisa makan hanya 1 (satu) kali makan,
hanya bisa berbahasa Jawa, hanya tamat Sekolah Dasar
dengan tingkat ekonomi yang sangat memprihatinkan.
Seandainya kemanusian yang adil dan beradab adalah sebuah
sebuah filosofis atau cara pandang negara untuk menyatukan
atau menjembatani kehidupan, ibarat arus magnet yang
berlawanan diantara rakyat maka sejatinya penegakan hukum
harus di lakukan berimbang dan tidak mencederai rasa
keadilan, keadaan ini terwujud maka manusia ini akan kembali
kepada kehidupan siapa yang kuat siapa yang kaya siapa yang
memiliki kekuasaan maka dialah yang berkuasa dan layak
hidup. Ketika hal ini di biarkan terus berlarut maka negara yang
di daulat dalam kontrak sosial untuk mewujudkan kehidupan
manusia untuk dapat hidup bersama telah gagal.
Pasal-pasal tentang sila ke-2
8. Pasal 28 I
(1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani,
hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi
dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku
surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.
(2) Setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa
pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat
diskriminatif itu.
Penyiksaan terhadap TKI merupakan salah satu contoh penyimpangan terhadap
pasal ini. Perlakuan ini terjadi diakibatkan oleh adanya diskriminasi antara majikan
dan pembantu. Sehingga majikan bebas melakukan kekerasan terhadap pembantu
mereka.Hal ini bertentangan dengan sila ke-2 Pancasila.
9. Pasal 28J
(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
(2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada
pembatasan yang ditetapkan dengan undang- undang dengan maksud semata-mata
untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan
untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai
agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis
Walaupun HAM telah diatur dalam pasal 28 akan tetapi pelanggaran HAM masih
saja terjadi pelanggaran HAM. Sebagai contoh adalah kasus penggusuran dan konflik
sosial. Secara tidak langsung, pelanggaran hak dasar untuk bertempat tinggal ini
menggeser hak dasar untuk bekerja sebagai warga masyarakat. Pemindahan tempat
tinggal dengan sendirinya mempersulit jangkauan kerja. Malah, tidak sedikit korban
konflik sosial yang terpaksa menganggur gara-gara kehilangan tempat tinggal.
Gangguan pada hak dasar untuk mendapat pekerjaan menimbulkan gangguan-
gangguan dalam bidang lain. Hal ini merupakan penyimpangan terhadap pancasila
sila ke-2 dan ke-5.
11. Pasal 31 (1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. (2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
(3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional,
yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan Undang-Undang.
(4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang- kurangnya dua puluh
persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran
pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan
pendidikan nasional.
(5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi
nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta
kesejahteraan umat manusia.
Dalam pasal ini disebutkan pemerintah telah menjamin pendidikan warga
negaranya akan tetapi dalam pelaksanaannya, pasal ini menyimpang dari Pancasila
sila ke-2 dan ke-5. Walaupun telah ditetapkan dalam UUD 1945 akan tetapi apabila
kita lihat kenyataannya masih begitu banyak anak Indonesia yang belum
mengenyam pendidikan. Bahkan diantara mereka ada yang putus sekolah. Mereka
tidak mendapatkan hak dan keadilan seperti yang telah dijamin dalam pancasila sila
ke-2 dan ke-5. Dalam pasal 31 ayat 2 pemerintah menyatakan akan membiayai
pendidikan, akan tetapi hal tersebut tidak terealisasi. Biaya pendidikan di Indonesia
malah dari tahun ke tahun semakin mahal, sehingga tidak terjangkau oleh kalangan
menengah ke bawah. Hal ini juga merupakan salah satu penyimpangan terhadap
pancasila.
13. Pasal 34 (1) Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.
(2) Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan
memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat
kemanusiaan.
(3) Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan
fasilitas pelayanan umum yang layak.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang
Pada pelaksanaan pasal ini terdapat penyimpangan terhadap pancasila.
Penyimpangan tersebut terdapat dalam Pancasila sila ke- 2 dan ke-5. Pada
kenyataannya fakir miskin dan anak terlantar yang ada di Indonesia belum
semuanya dipelihara oleh negara. Malah semakin lama, begitu banyak orang yang
menjadi gelandangan dan tidak terurus. Hal ini bertentangan dengan Pancasila yaitu
“Kemanusiaan yang adil dan beradab” dan juga “Keadilan bagi seluruh rakyat
Indonesia”. Jaminan sosial yang dijanjikan oleh pemerintah pun hanya tinggal janji
semata. Masyarakat Indonesia belum mendapatkan keadilan. Hak-hak warga negara
juga belum terpenuhi sebagaimana mestinya.
Kemanusian Yang Adil dan Beradab
Dasar pemikiran kenapa Kemanusian Yang Adil dan Beradab
dijadikan sila kedua dari Pancasila dikarenakan pencetus ide
Pancasila – Bung Karno – yang hidup di masa penjajahan
Belanda merasa ada perlakuan yang tidak manusiawi dari
penjajah Belanda terhadap bangsa pribumi atau mayoritas
bangsa Indonesia dari Sabang sampai Merauke dengan satu
dan lain cara. Jadi dalam alam kemerdekaan sudah seharusnya
bangsa Indonesia memperlakukan sesama manusia secara
manusiwi, secara adil, dan tidak meniru model penjajahan
manusia oleh manusia yang berasal dari budaya masa lalu
yang masih biadab. Subtansi ini juga tercermin pada paragrap
awal dari pembukaan UUD ’45 yang berbunyi: Bahwa
sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan
oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus
dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan
perikeadilan.
Dalam masyarakat Jawa ada istilah “tepo slira” yang artinya
kurang lebih bahwa kita sebagai manusia diharapkan
memperlakukan manusia yang lain seperti kita memperlakukan
diri kita sendiri (dalam bahasa yang berbeda masyarakat
bangsa Indonesia dari Sabang sampai Merauke dipastikan
mempunyai sikap hidup seperti ini). Oleh karena itu bisa juga
dikatakan bahwa Kemanusian Yang Adil dan beradab digali dari
budaya bangsa Indonesia sendiri.
Pada bahasa modern-nya Kemanusian Yang Adil dan Beradab
juga bisa diartikan sebagai penghargaan terhadap hak-hak
azasi manusia yaitu bahwa Negara Kesatuan Republik
Indonesia dan bangsa Indonesia sudah seharuskan menghargai
Universal Declaration of Human Rights (UDHR), yang
dideklarasikan oleh PBB pada tanggal 10 December, 1948 dan
Hak Azasi Manusia atau Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab
kemudian secara operational dijabarkan dalam UUD ’45 pasal-
pasal tentang HAM yaitu Bab XA yang secara komprehensif
telah disisipkan pada amandemen ke 2 UUD’45 tahun 2000 dari
Pasal 28A s/d Pasal 28J (yang tertarik untuk melihat lebih detail
apa isi penghargaan HAM yang tercantum didalam UUD’45 bisa
akses ke www.depkunham.go.id)
Penghayatan Bangsa Indonesia Terhadap Sila Kemanusian
Yang Adil dan Beradab
Pelaksanaan sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab yang
diartikan sebagi penghormatan Bangsa dan Negara terhadap
Hak Asasi Manusia harus dibagi dalam dua periode yaitu
periode sebelum amandemen 2 tahun 2000 dan sesudahnya.
Karena penghargaan terhadap Hak Asasi Manusia secara
formal juridis punya kekuatan hukum dalam konstitusi baru
mulai tahun 2000. Walaupun esensi Kemanusian Yang Adil dan
Beradab memang sudah ada sejak ada pada UUD’45 pada
pembukaan UUD’45 dan secara umum di pasal 27 dan 28.
Sebagai anggota PBB tentu Indonesia harus juga patuh pada
deklarasi hak asasi manusia yang dicanangkan oleh PBB. Tapi
realitasnya pada fase pemerintahan Bung Karno dan apalagi
pada masa pemerintahan Soeharto banyak sekali peristiwa
yang baik pemerintah maupun rakyat Indonesia sama sekali
tidak menghiraukan hak asasi manusia. Hal ini disebabkan
sosialiasi deklarasi hak asasi manusia versi PBB tidak pernah
dilakukan oleh pemerintah saat itu, tidak pernah diwajibkan
baik kalangan pemerintah maupun rakyatnya untuk
mempelajari atau mentaati deklarasi hak asasi manusia versi
PBB, yang mempelajari hanya terbatas sebagian kecil praktisi
hukum maupun LSM yang bergerak dibidang perlindungan
HAM. Seolah-olah pemerintah saat itu melakukan pembenaran
melakukan pelanggaran HAM dikarenakan tidak punya
landasan yang kuat yang tercantum di konstitusi atau UUD’45
sebelum amandemen ke 2, tahun 2000.
Sebetulnya setelah amandemen ke-2 UUD’45, tahun 2000,
tidak ada alasan lagi bagi para pejabat pemerintah terutama
para penegak hukumnya maupun rakyat Indonesia secara
keseluruhan untuk tidak mempelajari dan mentaati UUD’45 bab
XA tentang HAM ditambah juga keharusan untuk mempelajari
dan mentaati deklarasi HAM versi PBB. Hal ini sangat
diperlukan karena sifat pelanggaran HAM bisa bersifat vertikal
yang umumnya terjadi antara pemerintah yang punya
kekuasan terhadap rakyat atau sebaliknya dan juga bisa
bersifat horizontal yaitu yang terjadi antara sesama anggota
masyarakat baik secara organisasi atau bersifat pribadi.
Masalahnya apakah pemerintah pernah melakukan sosialisasi
secara luas amandemen ke 2 UUD’45, tahun 2000, baik ke
kalangan para pejabat pemerintah pusat dan pemerintah
daerah maupun ke masyarakat luas? Apakah pemerintah
pernah punya priorotas melakukan sosialisasi? Kalau tidak,
itulah wajah Indonesia, apapun yang ada pada tataran ideal
tidak pernah bisa secara nyata terjadi. Dalam penghayatan
Kemanusian Yang Adil dan Beradab yang paling penting dan
tidak pernah bisa dijalankan oleh pemerintah adalah supremasi
hukum yang tidak pandang bulu seperti diamanatkan oleh UUD
’45 pasal 28D ayat (1) Setiap orang berhak atas pengakuan,
jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama dihadapan hukum.
Pelanggaran sila Kemanusian Yang Adil dan Beradab yang
bersifat vertikal
Seperti juga sila ini ditarik dari pengalaman bangsa yang
dijajah, pelanggaran nilai-nilai HAM paling sering terjadi antara
yang dijajah dengan yang menjajah, yang dikuasai dengan
sang penguasa, rakyat dengan dominasi kekuasaan, rakyat
dengan dominasi pemerintahnya. Ini yang dinamakan
pelanggaran HAM yang bersifat vertical. Dikarenakan
pemerintah dilengkapi dengan sarana pengamanan seperti
militer lengkap dengan senjatanya ataupun penegak hukum
lainya seperti polisi, kejaksaan, kehakiman dll. Sangat mudah
terjadi penyimpangan yang disatu sisi pemerintah dengan
kekuasaan seharusnya mengayomi atau memberi rasa aman
kepada masyarakat justru sebaliknya malahan menjalankan
pemerintahan yang represif dan menghantui rakyatnya dengan
rasa takut apabila berhadapan dengan penegak hukum yang
berlaku sewenang-wenang dalam melakukan penegakan
hukum. Hal ini terjadi sejak jaman kemerdekaan sampai
dengan saat ini, sehingga kemerdekaan yang seharusnya
memberikan kemerdekaan sepenuhnya buat rakyat tetapi yang
terjadi justru penjajahan yang masa lalu dilakukan oleh
Belanda, setelah kemerdekaan bangsa Indonesia dijajah oleh
bangsa sendiri yang kebetulan dipercaya oleh rakyat untuk
duduk dalam posisi sebagai pengelola Negara.
Dalam banyak kasus yang menyangkut pihak aparat keamanan
(terutama militer), penegakan HAM menjadi tumpul di
Indonesia sebagai contoh (ini suatu indikasi bahwa kekuatan
militer masih punya pengaruh yang cukup dominan dalam
pemerintahan Republik Indonesia yang katanya demokratis
saat ini):
1. Tidak tuntasnya siapa sebenarnya penembak mati 4
mahasiswa Trisakti pada tanggal 12 Mei 1998.
2. Tidak pernah terungkapnya siapa sebetulnya yang berada
dibalik kerusuhan 13-14 Mei 1998.
3. Tidak pernah terungkapnya siapa penembak mahasiswa di
peristiwa Semanggi I & II pada periode tanggal 8 – 14
November 1998.
4. Berbeli-belitnya penyelesiaan masalah siapa dibalik skenario
pembunuhan Munir.
5. Yang paling akhir adalah apa yang terjadi dibalik kematian
mahasiswa Unas yang sempat ditahan polisi dalam peristiwa
penyerbuan polisi kedalam kampus Unas pada saat demo
protes kenaikan BBM.
Mungkin masih banyak contoh-contoh lain yang terlewatkan
yang pada hakekatnya masih tipisnya para pejabat NKRI dalam
menghayati atau menjalankan sila 2 dari Pancasila –
Kemanusian Yang Adil dan Beradab.
Pelanggaran sila Kemanusian Yang Adil dan Beradab yang
bersifat horizontal
Rakyat bisa juga mencoba melakukan intimidasi, pemaksaan
kehendak terhadap rakyat yang lain sehingga menimbulkan
keterpaksaan lain pihak dalam melakukan sesuatu atau pada
banyak hal memberikan sesuatu secara terpaksa kepada pihak
lain, apakah itu secara organisasi ataupun secara individu.
Yang paling menonjol saat ini di Indonesia adalah praktek
premanisme dan mafia pengadilan.
Beberapa contoh premanisme yang dibiarkan secara berlarut-
larut oleh oknum penegak hukum karena membawa manfaat
secara pribadi terhadap oknum penegak hukum tersebut
adalah:
1. Adalah pemandangan yang biasa di Jakarta adanya terminal
bayangan di jalan-jalan di Kota Jakarta yang dikuasai
sekelompok preman dan mengharuskan sopir angkot untuk
memberi uang menurut tarif yang mereka tentukan sendiri
apabila melewati terminal bayangan ini. Tidak pernah ada
tindakan penegak hukum untuk praktek pemaksaan kehendak
ini.
2. Praktek pungutan keamanan untuk para pedagang kaki lima,
pasar ataupun toko-toko kecil hampir diseluruh jalan di Jakarta,
mungkin juga terjadi dikota-kota besar lainnya diseluruh
Indonesia. Biasanya ini dilakukan jutru oleh organisasi massa
yang berafiliasi dengan partai politik.
3. Pembiaran praktek “debt collector” yang dipraktekkan oleh
seluruh perbankkan di Indonesia termasuk didalamnya Bank
Asing, Bank Pemerintah maupun perusahaan leasing
mobil/motor yang melakukan intimidasi dan kata-kata yang
kotor bagi para penunggak kredit. Rakyat tidak punya tempat
untuk mengadu, kalaupun mengadu tidak akan mendapat
tanggapan dari pihak yang berwewenang.
4. Pembiaran oleh pemerintah, organisasi preman berkedok
agama yang merusak tempat-tempat usaha hiburan bahkan
yang terakhir peristiwa Monas yang target kekerasan adalah
organisasi massa lainnya.
Pada hakekatnya praktek premanisme merupakan bisnis yang
empuk bagi sebahagian rakyat kepada rakyat yang lain berupa
pemaksaan kehendak dengan tindak kekerasan yang tidak
jarang berujung dengan penganiayan bahkan pembunuhan.
Penegak hukum menutup mata bahkan oleh oknum-oknum
ditubuh militer dan kepolisian dijadikan objek penambahan
penghasilan dengan cara memberikan backing.
Praktek mafia pengadilan bisa juga dikatakan pelanggaran HAM
horizontal karena ada unsur pemerasan kelompok mafia
pengadilan apabila oleh sesuatu hal kita berhubungan dengan
penegak hukum karena terkena kasus hukum baik yang ringan
ataupun yang berat, selalu akan ada makelar pengadilan atau
kelompok mafia pengadilan yang akan mengurus masalah
pembebasan atau paling tidak peringanan hukuman melalui
kelompok ini yang mengenal baik para pejabat penegak
hukum. Bukannya proses hukum yang dilakukan untuk
menegakkan hukum secara adil dan beradab tapi proses
mediasi dengan motif uang gratifikasi yang menjadi fokusnya.
Peristiwa makelar pengadilan dilakukan oleh Artalyta Suryani
yang mempunyai hubungannya yang baik dengan hampir
semua pejabat Kejaksaan Agung adalah hanya satu contoh
yang kebetulan ditemukan pada lembagi tinggi peradilan kita
yang seharusnya melaksanakan supremasi hukum. Hampir
setiap perkara hukum akan terjadi proses mediasi semacam ini
yang bahkan kadang-kadang disponsori atau diinisiasi para
pengacaranya sendiri.
Apakah pemerintah mampu menghilangkan mafia pengadilan
yang sudah pasti terus menggelumbungkan kocek para
penegak hukum yang hampir secara mayoritas terjadi di
Indonesia? Kalau tidak makin jauh bangsa Indonesia maupun
Negara Kesatuan Republik Indonesia bisa menghayati dan
menjalankan sila ke 2 dari Pancasila – Kemanusian Yang Adil
dan Beradab dan masih banyak yang harus dilakukan bangsa
Indonesia maupun Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk
betul-betul bisa menghayati dan menjalankan sila ke 2 dari
Pancasila – Kemanusian Yang Adil dan beradab.
Sangat banyak hal yang terjadi di masyarakat yang berkaitan
dengan intimidasi kelompok masyarakat yang satu terhadap
kelompok mayarakat lainnya. Pada banyak kasus pembebasan
tanah sangat sering terjadi intimidasi terhadap pemilik tanah
agar menjual tanahnya dengan harga yang dipaksakan oleh
pembeli melalui intimidasi. Kemungkinan besar masyarakat
Indonesia banyak yang tidak mengetahui bahwa setiap tindak
pemerasan dan pemaksaan kehendak terhadap pihak lain
adalah salah satu pelanggaran hak azasi manusia. Mungkin
pemerintah juga tidak tahu bahwa pemerintah punya
kewajiban untuk melindunginya warganegaranya yang
dijadikan objek kekerasan dan pemerasan seperti tercermin
pada UUD’45 pasal 28G ayat (1) Setiap orang berhak atas
perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan
harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas
rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk
berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.
Juga pasal Pasal 28J ayat (1) Setiap orang wajib menghormati
hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Sesuai dengan UUD’45 Pasal 28I ayat (4) Perlindungan,
pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia
adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah. Ini
adalah tugas yang sangat berat yang harus dipikul pemerintah
sebagai konsekwensi dan tanggung jawab pemerintah sebagai
kepercayaan pilihan yang dilakukan oleh rakyat dalam proses
demokrasi. Rakyat akan menilai dari waktu ke waktu apakah
kewajiban ini betul-betul akan dijalankan oleh pemerintah yang
dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilu yang demokratis.
Atau pemilu akhirnya – seperti pada masa orde baru – adalah
sekedar formalitas penunjukan pemimpin atau rotasi giliran
pergantian kekuasaan tanpa menyentuh esensi kemampuan
dalam menyelesaikan masalah bangsa secara komprehensip.
Sampai kita bisa menemukan pemimpin yang punya
kemampuan seperti ini, kita bangsa Indonesai hanya bisa
melihat sila ke 2 dari Pancasila – Kemanusian Yang Adil dan
Beradab sebatas formal juridis tanpa mampu menyentuh
realitas hidup berbangsa dan bernegara.
Dengan memasukkan pasal-pasal penghargaan terhadap HAM
didalam amandemen ke-2 UUD’45, tahun 2000, paling tidak
ada sudah ada langkah maju niat dan kehendak Negara dan
masyarakat Indonesia untuk mulai memperhatikan
penghargaan terhadap HAM oleh karena itu walaupun dalam
pelaksanaan sila 2 - Peri Kemanusian Yang Adil dan Beradab
masih mengalami berbagai kendala, bagaimanapun juga kita
perlu memberikan apresiasi ide penggali Pancasila yang punya
pemikiran “forward looking” dimana ide penghargaan terhadap
HAM sudah dicetuskan pada tanggal 1 Juni 1945 oleh pemimpin
bangsa dan dicantumkan sebagai sila ke 2 dari Pancasila yang
akhirnya dijadikan dasar NKRI sedangkan PBB baru
mendeklarasikan Universal Human Right pada tanggal 10
Desember 1948.
menuju kemanusiaan yang adil dan beradab
Submitted by antok on Jum, 13/05/2011 - 16:27
Pernah terdengar dalam sebuah perhelatan pertemuan agak
besar di sebuah kota antara Jogja dan Solo, beberapa tahun
yang lalu, dimana seorang bapak korban tragedi 1965
mengungkapkan harta bendanya yang telah dirampas, sangat
hafal dan dengan santun dia mengungkapkannya, sangat detil
hingga harga kambing, sapi miliknya saat itu, piring, gelas,
bahkan tikar. Meski terdengar tegar, namun rasa perih dan
tanda tanya besar yang tak akan pernah terjawab dan
terpuaskan, sebab tanpa ada alasan jelas mengapa
perampasan harta benda itu bisa terjadi. Kemudian tiba-tiba
dimasukkan dalam sebuah kerangka besar pengkhianatan
negara yang sama sekali tak pernah terbersit dalam benak
kewarasan bermasyarakat.
Reparasi kepada korban kejahatan hak asasi manusia kategori
berat diwajibkan berdasarkan hukum internasional. Reparasi
didalamnya mencakup:
1. Memberi kompensasi kepada korban pelanggaran hak
asasi manusia atas rasa sakit dan deritanya,
2. Melakukan restitusi yaitu semaksimal mungkin
mengembalikan korban pada kondisinya sebelum terjadi
pelanggaran (misalnya, mengembalikan hak korban untuk
berpartisipasi dalam proses politik, mengembalikan hak
milik yang telah diambil atau dirusakkan, mengembalikan
atau memulihkan hak-hak korban sebagai warganegara),
memberikan rehabilitasi terhadap luka dan kesakitan yang
diderita salah satu contoh adalah menjamin akses korban
pada pelayanan seperti akses pelayanan kesehatan atau
pendidikan,
3. Pemenuhan hak untuk kepuasaan korban secara emosi
dan eksistensinya sebagai manusia antara lain yang bisa
dlakukan adalah dengan memberi penghargaan baik
simbolis maupun nyata terhadap korban, pengakuan
terhadap pelanggaran-pelanggaran yang nyata pernah
dialami dan terjadi, pengungkapan kebenaran jalannya
peristiwa, membuat hari-hari peringatan untuk
memelihara dan menghormati ingatan tentang
pelanggaran yang sudah terjadi masa lalu, atau
pernyataan maaf yang resmi dilakukan oleh negara, dan
upaya-upaya pencarian juga setelah itu mengakui orang-
orang yang hilang.
Tersebut dengan jelas dalam Undang-Undang Negara Republik
Indonesia Nomor 26/2000, Pasal 35 ayat (1), “Semua korban
pelanggaran hak asasi manusia dan ahli warisnya harus
menerima kompensasi, restitusi dan rehabilitasi.” Sebuah
rangkaian kata yang memabukkan dan sangat indah namun
dengan berbagai hambatan didalamnya, seperti harus
diputuskan dalam Pengadilan mengenai hal tersebut. Juga
berbagai standar operasional prosedur seperti pengajuan-
pengajuan oleh jaksa untuk mengajukan tuntutannya.
Dukungan Presiden dan DPR agar membentuk pengadilan ad
hoc dan lain sebagainya, bahkan hukum acara belum bisa
dibedakan mana yang urusan Hak Asasi Manusia ataupun delik-
delik yang bersifat Pidana biasa. Sebuah hal yang berat bagi
para korban pemerkosaan yang akan sangat sulit dibuktikan
namun dengan efek pengaruh kehidupan individu yang sangat
mengerikan. Sebagaimana Peraturan Pemerintah No.3 Thn.
2002 mengenai Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi Korban-
korban Pelanggaran HAM Berat yang disahkan negara pada 13
Maret 2002 yang esensinya sangat jauh dengan keinginan
universal kemanusiaan maupun standar internasional tentang
restitusi dan rehabilitasi itu sendiri.
Juga Undang-undang Perlindungan Saksi Korban yang sudah
lama telah disahkan oleh DPR dimana segera akan dibentuk
sebuah lembaga perlindungan korban, yang melapor langsung
pada Presiden. Disebutkan disana bahwa lembaga ini akan
menjamin segala kepentingan perlindungan saksi dan korban
kejahatan misalnya dalam pendampingan hukum, keamanan,
informasi dan lain sebagainya, namun belum terdengar ada
lembaga seperti itu yang berdiri sebagaimana amanat Undang-
Undang tersebut. Tidak menutup mata dengan kualitas
pemikiran ataupun strategi untuk mempertahankan diri dan
keyakinannya tersebut, bahwa hukum di negara kita sangatlah
lemah dan itu dibuktikan dengan semakin sedikitnya warga
yang merasa bisa hidup dengan nyaman dan terlindungi karena
aturan-aturan yang dibuat. Apalagi untuk para korban
pelanggaran hak asasi manusia kategori berat seperti pada
tragedi 1965, dimana survivor semakin bertambah sepuh dan
rentan kesehatannya. Semakin sedikitnya bukti hidup yang bisa
mengatakannya dengan jelas. Bahkan sebuah laporan atas
kejahatan masa lalu berbasis gender yang dirangkum oleh
sebuah lembaga negara bernama Komnas Perempuan pun
taksanggup untuk mengetuk hati para punggawa dan
pengambil keputusan untuk terbuka mata hatinya demi
kebaikan berbangsa dan bernegara untuk menyembuhkan
luka-luka lama perjalanan kemerdekaan, demi sesuatu yang
sangat diperlukan di masa depan.
Perjuangan kaum aborigin atas diskriminasi dan perlakuan
buruk orang kulit putih disana mulai tahun 1770 dan baru
sukses pada 13 Februari 2008, meskipun pada tahun 1998
sudah ada laporan dari Komisi hak asasi dan persamaan
kesempatan yang bertitel "Bringing them home", yang
mencatat kisah-kisah oral history dari para korban. Betapa kata
"maaf' menjadi suatu penyembuh meskipun secara simbolik
bagi para indigenous people bangsa Aborigin pemilik tanah
Australia yang hak, beserta implikasi-implikasi tindak lanjut
setelahnya. Dimana mereka menjadi the stolen generation
karena dicerabut dari tanah dan keluarganya untuk
dimasukkan ke lembaga-lembaga maupun rumah-rumah
tangga untuk dididik menjadi seorang kulit putih, sempat
difilmkan dalam Rabbit-proof fence sebuah kisah dari buku
Follow the Rabbit-Proof Fence oleh Doris Pilkington Garimara.
Bahwa adanya sistem reparasi atau berdirinya Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi bukanlah sebuah akhir dari
perjuangan membangun bangsa namun adalah awal untuk
menjadi sebuah bangsa yang bisa meyakini dirinya untuk selalu
berbuat yang terbaik bagi warga negaranya tanpa pilih kasih
sebagaimana menghargai diri sendiri sebagai insan yang selalu
membutuhkan dan menjaga lingkungan sosial bersama dengan
nilai-nilai keterbukan untuk belajar menuju kemanusiaan yang
adil dan beradab.
2. Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab
1. Mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan
harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha
Esa.
2. Mengakui persamaan derajad, persamaan hak dan kewajiban
asasi setiap manusia, tanpa membeda-bedakan suku,
keturrunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan
sosial, warna kulit dan sebagainya.
3. Mengembangkan sikap saling mencintai sesama manusia.
4. Mengembangkan sikap saling tenggang rasa dan tepa selira.
5. Mengembangkan sikap tidak semena-mena terhadap orang
lain.
6. Menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
7. Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.
8. Berani membela kebenaran dan keadilan.
9. Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh
umat manusia.
10. Mengembangkan sikap hormat menghormati dan
bekerjasama dengan bangsa lain.