16

sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-192007112445...lingkungan anak bukan saj a lingkungan keluarga yang sifatnya mikro, maka semua pihak - keluarga, sekolah, media

  • Upload
    others

  • View
    7

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

  • KELUARGA SEBAGAI PENGEMBANG PENDIDIKAN

    KARAKTER ANAK

    Oleh I Nyoman Temon Astawa

    Abstrak

    Keluarga merupakan wahana pertama dan utama bagi pengembangan

    pendidikan karakter anak. Apabila keluarga gagal melakukan pendidikan karakter

    pada anak-anaknya, maka akan sulit bagi institusi-institusi lain di luar keluarga

    (termasuk sekolah) untuk memperbaikinya. Kegagalan keluarga dalam membentuk

    karakter anak akan berakibat pada tumbuhnya masyarakat yang tidak berkarakter.

    Oleh karena itu, setiap keluarga harus memiliki kesadaran bahwa karakter bangsa

    sangat tergantung pada pendidikan karakter anak di rumah.

    Kata Kunci : Keluarga, Pengembang Pendidikan, Karakter Anak.

    Abstract

    The family is the first and main vehicle for the development of children's

    character education. If the family fails to do character education for their children, it

    will be difficult for other institutions outside the family (including schools) to improve

    it. Failure of the family in forming the character of children will result in the growth of

    a society that is not characterized. Therefore, every family must have an awareness

    that the nation's character is very dependent on children's character education at home.

    Keywords: Family, Educational Developer, Child Character.

    I. PENDAHULUAN

    Pendidikan merupakan proses sistematis untuk meningkatkan martabat

    manusia secara holistik, yang memungkinkan dimensi kemanusiaan paling elementer

    di dapat berkembang secara optimal. Pendidikan seyogianya menjadi wahana strategis

    bagi upaya mengembangkan segenap potensi individu, sehingga cita-cita membangun

    manusia Indonesia yang cerdas dan kompetitif dapat tercapai.

    Selain itu, pembangunan pendidikan nasional juga diarahkan untuk

    membangun karakter dan wawasan kebangsaan bagi peserta didik, yang menjadi

    landasan penting bagi upaya memelihara persatuan dan kesatuan bangsa dalam

    kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam hal ini, pemerintah mempunyai

    kewajiban konstitusional untuk memberi pelayanan pendidikan yang dapat dijangkau

  • oleh seluruh warga negara. Oleh karena itu, upaya peningkatan akses masyarakat

    terhadap pendidikan yang lebih berkualitas merupakan mandat yang harus dilakukan

    bangsa Indonesia sesuai dengan tujuan negara Indonesia didirikan.

    Pendidikan karakter kini memang menjadi isu utama pendidikan, selain

    menjadi bagian dari proses pembentukan akhlak anak bangsa, pendidikan karakter ini

    pun diharapkan mampu menjadi pondasi utama dalam mensukseskan Indonesia Emas

    2025. Di lingkungan Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) sendiri,

    pendidikan karakter menjadi fokus pendidikan di seluruh jenjang pendidikan yang

    dibinannya. Pendidikan karakter sangat erat dan dilatarbelakangi oleh keinginan

    mewujudkan konsensus nasional yang berparadigma Pancasila dan UUD 1945.

    Pada dasarnya pembentukan karakter itu dimulai dari usia dini, bahkan

    semasih bayi dalam kandungan yang merupakan potensi anugerah Tuhan, yang

    kemudian membentuk jati diri dan perilaku. Dalam prosesnya sendiri potensi anugerah

    Tuhan ini sangat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan, sehingga lingkungan memiliki

    peranan yang cukup besar dalam membentuk jati diri dan perilaku. Dalam hal

    pembentukan karakter, lingkungan keluarga dan lingkungan sekolah memiliki

    peranan yang sangat strategis, karena keluarga sebagai lembaga pendidikan yang

    pertama dan utama berfungsi mewariskan nilai-nilai agama, budaya, etika, moral, dan

    spiritual kepada putra-putrinya. Sementara sekolah sebagai lembaga pendidikan

    formal bertugas untuk menstranformasikan sains dan ilmu pengetahuan serta nilai-

    nilai sosial-budaya yang dapat menghasilkan sumber daya manusia (SDM) yang

    bermutu dan memiliki daya saing tinggi, sehingga unggul dalam persaingan global.

    Budaya, pendidikan dan bahkan agama boleh jadi mengalami disorientasi karena

    terjadinya perubahan-perubahan cepat berdampak luas, misalnya, industrialisasi,

    urbanisasi, modernisasi dan terakhir sekali globalisasi. Kondisi watak atau “karakter”

    manusia dewasa ini, mulai dari level internasional sampai kepada tingkat personal

    individual, khususnya bangsa kita, kelihatan mengalami disorientasi. Karena itu,

    harapan dan seruan dari berbagai kalangan untuk pembangunan kembali watak atau

    karakter kemanusiaan menjadi semakin meningkat dan nyaring.

  • Banyak keluarga mengalami disorientasi bukan hanya karena menghadapi

    krisis ekonomi, tetapi juga karena serbuan globalisasi nilai-nilai dan gaya hidup yang

    tidak selalu kompatibel dengan nilai-nilai dan norma-norma agama, sosial-budaya

    nasional dan lokal Indonesia. Sebagai contoh saja, gaya hidup hedonistik dan

    materialistik; dan permisif sebagaimana banyak ditayangkan dalam telenovela dan

    sinetron pada berbagai saluran TV Indonesia, hanya mempercepat disorientasi dan

    dislokasi keluarga dan rumahtangga. Akibatnya, tidak heran kalau banyak anak-anak

    yang keluar dari keluarga dan rumahtangga hampir tidak memiliki watak dan karakter.

    Banyak di antara anak-anak yang alim di rumah, tetapi nakal di sekolah, terlibat dalam

    tawuran, penggunaan obat-obat terlarang, dan bentuk-bentuk tindakan kriminal

    lainnya, seperti perampokan bis kota dan sebagainya. Inilah anak-anak yang bukan

    hanya tidak memiliki kebajikan (righteousness) dan inner beauty dalam karakternya,

    tetapi sebaliknya mengalami kepribadian terbelah (split personality).

    Lembaga pendidikan, utamanya sekolah menjadi seolah tidak berdaya

    menghadapi kenyataan ini. Sekolah selalu menjadi kambing hitam dari merosotnya

    watak dan karakter bangsa. Padahal, sekolah sendiri menghadapi berbagai masalah

    berat menyangkut kurikulum yang overload, fasilitas yang tidak memadai,

    kesejahteraan guru dan tenaga kependidikan yang rendah. Menghadapi beragam

    masalah ini sekolah seolah kehilangan relevansinya dengan pembentukan karakter.

    Sekolah, sebagai konsekuensinya, lebih merupakan sekadar tempat bagi transfer of

    knowledge daripada character building, tempat pengajaran daripada pendidikan.

    Suyanto (2001:6) mengemukakan, “pendidikan di semua jenjang, sampai saat

    ini, lebih mementingkan aspek kognitif. Aspek afektif seperti, sikap, minat, motivasi

    berprestasi, empati, toleransi, kecerdasan emosional dan spritual, … sistem nilai

    (values system) sangat terlantarkan”. Hal yang senada juga diungkapkan oleh Agustian

    (2001:xii), bahwa: pendidikan di Indonesia selama ini, terlalu menekankan arti penting

    nilai akademik, kecerdasan otak atau IQ saja. Mulai dari tingkat sekolah dasar sampai

    ke bangku kuliah, jarang sekali ditemukan pendidikan tentang kecerdasan emosi yang

    mengajarkan tentang: integritas, kejujuran, komitmen, visi, kreativitas, ketahanan

  • mental, kebijaksanaan, keadilan, prinsip kepercayaan, penguasaan diri atau sinergi;

    padahal justru inilah hal yang terpenting.

    Dengan demikian, makna pendidikan telah direduksi menjadi pengajaran,

    kemudian belajar di ruangan kelas, menjawab soal-soal ujian dan hasilnya berupa

    angka-angka dalam raport. Dampak dari hasil sistem pendidikan yang demikian adalah

    siswa kurang memiliki ketahanan mental dan iman yang kuat untuk menghadapi

    permasalahan kehidupan yang serba kompleks, sehingga terdapat kecenderungan

    siswa dalam pengambilan keputusan hidupnya tidak beriorentasi pada nilai-nilai

    karakter dalam menyelesaikan masalah yang dihadapinya.

    Untuk menanggulangi krisis moral di kalangan siswa remaja, diperlukan solusi

    yang cerdas dengan mengidentifikasikan berbagai faktor penyebabnya dan mengkaji

    alternatif-alternatif pemecahan masalah, kemudian ditetapkan jalan yang terbaik sesuai

    dengan masalah dan karakteristik siswa remaja. Seperti telah disampaikan di depan

    bahwa terbentuknya perilaku yang berkarakter sangat dipengaruhi oleh lingkungan

    keluarga dan lingkungan sekolah serta lingkungan sekolah yang lebih luas

    (masyarakat), di samping potensi dan keyakinan atau sikap percaya diri yang dimiliki

    oleh individu tersebut.

    Mempertimbangkan berbagai kenyataan pahit yang telah dikemukakan di atas,

    pendidikan karakter merupakan langkah penting dan strategis dalam membangun

    kembali jati diri bangsa dan menggalang pembentukan masyarakat Indonesia baru.

    Tetapi penting untuk segara dikemukakan bahwa pendidikan karakter haruslah

    melibatkan semua pihak; rumahtangga dan keluarga; sekolah; dan lingkungan sekolah

    lebih luas (masyarakat). Karena itu, langkah pertama yang harus dilakukan adalah

    menyambung kembali hubungan dan educational networks yang nyaris terputus antara

    ketiga lingkungan pendidikan ini. Pembentukan watak dan pendidikan karakter tidak

    akan berhasil selama antara ketiga lingkungan pendidikan tidak ada kesinambungan

    dan keharmonisan.

    Dengan demikian, rumahtangga dan keluarga sebagai lingkungan

    pembentukan watak dan pendidikan karakter pertama dan utama mestilah

    diberdayakan kembali. Sebagaimana disarankan Phillips, keluarga hendaklah kembali

  • menjadi “school of love”, sekolah untuk kasih sayang (Phillips 2000:11). Dalam

    perspektif Hindu, “keluarga sebagai ‘school of love’ dapat disebut sebagai ‘keluarga

    sukhinah’. Keluarga sukhinah berarti keluarga bahagia tempat belajar yang penuh

    cinta sejati dan kasih sayang” (Keluarga Sukinah Dari Perspektif Agama Hindu.

    http://diturahindu.blogspot.com/2015/06/keluarga-sukinah-dari-perspektif-

    agama.html2015/04/05). Keluarga merupakan basis dari bangsa; dan karena itu

    keadaan keluarga sangat menentukan keadaan bangsa itu sendiri. Bangsa terbaik yang

    merupakan bangsa yang satu dan bangsa yang moderat, sebagaimana dicita-citakan

    oleh umat Hindu hanya dapat terbentuk melalui keluarga yang dibangun dan

    dikembangkan atas dasar “saling asah, saling asih, dan saling asuh, paras-paros

    sarpanaye, salunglung sabayantake”. Seperti yang dinyatakan oleh Phillips dalam The

    Great Learning, (2000:11)“if there is righteousness in the heart, there will be beauty

    in the character; if there is beauty in the character, there will be harmony in the

    home; if there is harmony in the home, there will be order in the nation; if there is

    order in the nation, there will be peace in the world”.

    Pembentukan watak dan pendidikan karakter melalui sekolah, tidak bisa

    dilakukan semata-mata melalui pembelajaran pengetahuan, tetapi adalah melalui

    penanaman atau pendidikan nilai-nilai. Secara umum, kajian-kajian tentang nilai

    biasanya mencakup dua bidang pokok, yakni estetika dan etika (akhlak, moral, budi

    pekerti).

    Estetika mengacu kepada hal-hal apa yang dipandang manusia sebagai

    “indah”, apa yang mereka senangi. Sedangkan etika mengacu kepada hal-hal tentang

    tingkah laku yang pantas berdasarkan standar-standar yang berlaku dalam masyarakat,

    baik yang bersumber dari agama, adat istiadat, konvensi, dan sebagainya. Dan standar-

    standar itu adalah nilai-nilai moral atau akhlak tentang tindakan mana yang baik dan

    mana yang buruk.

    Pembentukan watak melalui sekolah merupakan usaha mulia yang mendesak

    untuk dilakukan. Bahkan, kalau berbicara tentang masa depan, sekolah

    bertanggungjawab bukan hanya dalam mencetak peserta didik yang unggul dalam

    ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi juga dalam jati diri, karakter dan kepribadian.

  • II. PEMBAHASAN

    1. Pentingnya Pendidikan Karakter bagi Anak

    Thomas Lickona - seorang profesor pendidikan dari Cortland University -

    mengungkapkan bahwa ada sepuluh tanda-tanda zaman yang harus diwaspadai karena

    jika tanda-tanda ini sudah ada, maka itu berarti bahwa sebuah bangsa sedang menuju

    jurang kehancuran. Tanda-tanda yang dimaksud adalah : (1) meningkatnya kekerasan

    di kalangan remaja, (2)penggunaan bahasa dan kata-kata yang memburuk, (3)

    pengaruh peer-group yang kuat dalam tindak kekerasan, (4) meningkatnya perilaku

    merusak diri, seperti penggunaan narkoba, alkohol dan seks bebas. (5) semakin

    kaburnya pedoman moral baik dan buruk, (6) menurunnya etos kerja, (7) semakin

    rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru, (8) rendahnya rasa tanggung jawab

    individu dan warga negara, (9) membudayanya ketidakjujuran, dan (10) adanya rasa

    saling curiga dan kebencian di antara sesama.

    Jika dicermati, ternyata kesepuluh tanda jaman tersebut sudah ada di

    Indonesia. Selain sepuluh tanda-tanda jaman tersebut, masalah lain yang tengah

    dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah sistem pendidikan dini yang ada sekarang ini

    terlalu berorientasi pada pengembangan otak kiri (kognitif) dan kurang

    memperhatikan pengembangan otak kanan (afektif, empati, dan rasa). Padahal,

    pengembangan karakter lebih berkaitan dengan optimalisasi fungsi otak kanan. Mata

    pelajaran yang berkaitan dengan pendidikan karakter pun (seperti budi pekerti dan

    agama) ternyata pada prakteknya lebih menekankan pada aspek otak kiri (hafalan, atau

    hanya sekedar “tahu”).

    Padahal, pembentukan karakter harus dilakukan secara sistematis dan

    berkesinambungan yang melibatkan aspek “knowledge, feeling, loving, dan acting”.

    Pembentukan karakter dapat diibaratkan sebagai pembentukan seseorang menjadi

    body builder (binaragawan) yang memerlukan “latihan otot-otot akhlak” secara terus-

    menerus agar menjadi kokoh dan kuat.

  • Pendidikan karakter ini hendaknya dilakukan sejak usia dini, karena usia dini

    merupakan masa emas perkembangan (golden age) yang keberhasilannya sangat

    menentukan kualitas anak di masa dewasanya. Montessori menyebutnya dengan

    periode kepekaan (sensitive period). Penggunaan istilah ini bukan tanpa alasan,

    mengingat pada masa ini, seluruh aspek perkembangan pada anak usia dini, memang

    memasuki tahap atau periode yang sangat peka. Artinya, jika tahap ini mampu

    dioptimalkan dengan memberikan berbagai stimulasi yang produktif, maka

    perkembangan anak di masa dewasa, juga akan berlangsung secara produktif.

    Menurut Freud kegagalan penanaman kepribadian yang baik di usia dini ini

    akan membentuk pribadi yang bermasalah di masa dewasanya kelak. Kesuksesan

    orang tua membimbing anaknya dalam mengatasi konflik kepribadian di usia dini

    sangat menentukan kesuksesan anak dalam kehidupan sosial di masa dewasanya kelak

    (Erikson, 1968).

    2. Peran Keluarga dalam Pembentukan Karakter Anak

    Keluarga dalam hal ini adalah aktor yang sangat menentukan terhadap masa

    depan perkembangan anak. Dari pihak keluarga perkembangan pendidikan sudah

    dimulai semenjak masih dalam kandungan. Anak yang belum lahir sebenarnya sudah

    bisa menangkap dan merespons apa-apa yang dikerjakan oleh orang tuanya, terutama

    kaum ibu. Menurut Megawangi (2004), anak-anak akan tumbuh menjadi pribadi yang

    berkarakter apabila dapat tumbuh pada lingkungan yang berkarakter, sehingga fitrah

    setiap anak yang dilahirkan suci dapat berkembang segara optimal. Mengingat

    lingkungan anak bukan saja lingkungan keluarga yang sifatnya mikro, maka semua

    pihak - keluarga, sekolah, media massa, komunitas bisnis, dan sebagainya - turut andil

    dalam perkembangan karakter anak. Dengan kata lain, mengembangkan generasi

    penerus bangsa yang berkarakter baik adalah tanggung jawab semua pihak. Tentu saja

    hal ini tidak mudah, oleh karena itu diperlukan kesadaran dari semua pihak bahwa

  • pendidikan karakter merupakan ”PR” yang sangat penting untuk dilakukan segera.

    Terlebih melihat kondisi karakter bangsa saat ini yang memprihatinkan serta

    kenyataan bahwa manusia tidak secara alamiah (spontan) tumbuh menjadi manusia

    yang berkarakter baik, sebab menurut Aristoteles (dalam Megawangi, 2004), hal itu

    merupakan hasil dari usaha seumur hidup individu dan masyarakat.

    a. Keluarga sebagai Tempat Pertama Pendidikan Karakter Anak

    Bagi seorang anak, keluarga merupakan tempat pertama dan utama bagi

    pertumbuhan dan perkembangannya. Menurut resolusi Majelis Umum PBB (dalam

    Megawangi, 2004), fungsi utama keluarga adalah”sebagai wahana untuk mendidik,

    mengasuh, dan mensosialisasikan anak, mengembangkan kemampuan seluruh

    anggotanya agar dapat menjalankan fungsinya di masyarakat dengan baik, serta

    memberikan kepuasan dan lingkungan yang sehat guna tercapainya keluarga,

    sejahtera”.

    Menurut pakar pendidikan, William Bennett (dalam Megawangi, 2004),

    keluarga merupakan tempat yang paling awal dan efektif untuk menjalankan fungsi

    Departemen Kesehatan, Pendidikan, dan Kesejahteraan. Apabila keluarga gagal untuk

    mengajarkan kejujuran, semangat, keinginan untuk menjadi yang terbaik, dan

    kemampuan-kemampuan dasar, maka akan sulit sekali bagi institusi-institusi lain

    untuk memperbaiki kegagalan-kegagalannya.

    Dari paparan ini dapat disimpulkan bahwa keluarga merupakan wahana

    pertama dan utama bagi pendidikan karakter anak. Apabila keluarga gagal melakukan

    pendidikan karakter pada anak-anaknya, maka akan sulit bagi institusi-institusi lain di

    luar keluarga (termasuk sekolah) untuk memperbaikinya. Kegagalan keluarga dalam

    membentuk karakter anak akan berakibat pada tumbuhnya masyarakat yang tidak

    berkarakter. Oleh karena itu, setiap keluarga harus memiliki kesadaran bahwa karakter

    bangsa sangat tergantung pada pendidikan karakter anak di rumah. (Latifah;2011)

    b. Pola Asuh dalam Pendidikan Karakter Anak di Keluarga

  • Keberhasilan keluarga dalam menanamkan nilai-nilai kebajikan (karakter)

    pada anak sangat tergantung pada jenis pola asuh yang diterapkan orang tua pada

    anaknya. Pola asuh dapat didefinisikan sebagai pola interaksi antara anak dengan

    orangtua yang meliputi pemenuhan kebutuhan fisik (seperti makan, minum dan lain-

    lain) dan kebutuhan psikologis (seperti rasa aman, kasih sayang dan lain-lain), serta

    sosialisasi norma-norma yang berlaku di masyarakat agar anak dapat hidup selaras

    dengan lingkungannya (Latifah; 2011). Dengan kata lain, pola asuh juga meliputi pola

    interaksi orang tua dengan anak dalam rangka pendidikan karakter anak. Jadi gaya

    yang diprankan orang tua dalam mengembangkan karakter anak sangat penting,

    apakah ia otoriter, demokratis atau permisif.

    Dari paparan di atas jelas bahwa jenis pola asuh yang diterapkan orang tua

    kepada anaknya sangat menentukan keberhasilan pendidikan karakter anak. Kesalahan

    dalam pengasuhan anak akan berakibat pada kegagalan dalam pembentukan karakter

    yang baik.

    c. Nilai Karakter yang Penting Harus Ditanamkan dalam Keluarga

    Ruang lingkup nilai karakter yang semestinya dikembangkan di lingkungan

    keluarga menurut Megawangi (2004) adalah sebagai berikut :

    1. Cinta Tuhan dan segenap ciptaanNya

    2. Tanggung jawab, Kedisiplinan dan Kemandirian

    3. Kejujuran

    4. Hormat dan Santun

    5. Dermawan, Suka menolong dan Gotong-royong/Kerjasama

    6. Percaya Diri, Kreatif dan Pekerja keras

    7. Kepemimpinan dan Keadilan

    8. Baik dan Rendah Hati

    9. Toleransi, Kedamaian dan Kesatuan

    10. 4K ( kebersihan, kesehatan, kerapian dan keamanan)

  • Sedangkan menurut sumber dari Balitbang, Kementerian Pendidikan Nasional,

    bahwa ruang lingkup nilai moral dalam rangka pembentukan karakter yang harus

    dikembangkan di lingkungan keluarga adalah sebagai berikut:

    1. Religius: Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama

    dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun

    dengan pemeluk agama lain.

    2. Jujur: Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai

    orangselalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan.

    3. Toleransi: Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis,

    pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya.

    4. Disiplin: Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai

    ketentuan dan peraturan.

    5. Kerja Keras: Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam

    mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas

    dengan sebaik-baiknya.

    6. Kreatif: Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil

    baru dari sesuatu yang telah dimiliki.

    7. Mandiri: Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain

    dalam menyelesaikan tugas-tugas.

    8. Demokratis: Cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama Hak

    dan kewajiban dirinya dan orang lain.

    9. Rasa Ingin Tahu: Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui

    lebih mendalam dan meluas dari sesuatuyang dipelajarinya, dilihat, dan

    didengar.

    10. Semangat Kebangsaan: Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang

    menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan

    kelompoknya.

    11. Cinta Tanah Air: Cara berfikir, bersikap, dan berbuat yang

    menunjukkankesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap

    bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa.

  • 12. Menghargai Prestasi: Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk

    menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta

    menghormati keberhasilan orang lain.

    13. Bersahabat/Komuniktif: Tindakan yang memperlihatkan rasa senang

    berbicara,bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain.

    14. Cinta Damai: Sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain

    merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya.

    15. Gemar Membaca: Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai

    bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya.

    16. Peduli Lingkungan: Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah

    kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-

    upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi.

    17. Peduli Sosial: Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada

    orang lain dan masyarakat yang membutuhkan.

    18. Tanggung-jawab: Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas

    dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri,

    masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang

    Maha Esa.

    III. PENUTUP

    Keluarga adalah aktor yang sangat menentukan terhadap masa depan

    perkembangan anak. Dari pihak keluarga perkembangan pendidikan sudah dimulai

    semenjak masih dalam kandungan. Anak yang belum lahir sebenarnya sudah bisa

    menangkap dan merespons apa-apa yang dikerjakan oleh orang tuanya, terutama kaum

    ibu. Anak-anak akan tumbuh menjadi pribadi yang berkarakter apabila dapat tumbuh

    pada lingkungan yang berkarakter, sehingga fitrah setiap anak yang dilahirkan suci

    dapat berkembang segara optimal. Keluarga merupakan wahana pertama dan utama

    bagi pendidikan karakter anak. Apabila keluarga gagal melakukan pendidikan karakter

    pada anak-anaknya, maka akan sulit bagi institusi-institusi lain di luar keluarga

    (termasuk sekolah) untuk memperbaikinya. Kegagalan keluarga dalam membentuk

  • karakter anak akan berakibat pada tumbuhnya masyarakat yang tidak berkarakter.

    Oleh karena itu, setiap keluarga harus memiliki kesadaran bahwa karakter bangsa

    sangat tergantung pada pendidikan karakter anak di rumah.

    DAFTAR PUSTAKA

    Balitbang, Departemen Pendidikan Nasional, III. (2010). Jakarta Erikson, E.H. (1968).

    Identity: Youth and Crisis. NewYork: Norton.

    Lickona, Thomas. (1991). Educating for Character. How Our School can Teach

    Respect and Responsibility. New York: Bantam Books.

    Lickona, Thomas. (2004). Character Matters. How To Help Our Children Develop

    Good Judgment, Integrity, and Other Essencial Virtues. New York: Bantam

    Books.

    Megawangi, Ratna. (2010). Pengembangan Program Pendidikan Karakter di Sekolah;

    Pengalaman Sekolah Karakter. IHF,JKT .

    Melly, Latifah. (2001). Peranan Keluarga Dalam Pendidikan Karakter Anak dari

    http://indo2.islamic-world.net

    Parenting Research Centre. (2003). Your Family as A Team. Melbourne: Australia.

    Suyanto. 2001. “Formula Pendidikan Nasional Era Global”. Malang: Program

    Pascasarjana UNM.