Upload
others
View
7
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
KELUARGA SEBAGAI PENGEMBANG PENDIDIKAN
KARAKTER ANAK
Oleh I Nyoman Temon Astawa
Abstrak
Keluarga merupakan wahana pertama dan utama bagi pengembangan
pendidikan karakter anak. Apabila keluarga gagal melakukan pendidikan karakter
pada anak-anaknya, maka akan sulit bagi institusi-institusi lain di luar keluarga
(termasuk sekolah) untuk memperbaikinya. Kegagalan keluarga dalam membentuk
karakter anak akan berakibat pada tumbuhnya masyarakat yang tidak berkarakter.
Oleh karena itu, setiap keluarga harus memiliki kesadaran bahwa karakter bangsa
sangat tergantung pada pendidikan karakter anak di rumah.
Kata Kunci : Keluarga, Pengembang Pendidikan, Karakter Anak.
Abstract
The family is the first and main vehicle for the development of children's
character education. If the family fails to do character education for their children, it
will be difficult for other institutions outside the family (including schools) to improve
it. Failure of the family in forming the character of children will result in the growth of
a society that is not characterized. Therefore, every family must have an awareness
that the nation's character is very dependent on children's character education at home.
Keywords: Family, Educational Developer, Child Character.
I. PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan proses sistematis untuk meningkatkan martabat
manusia secara holistik, yang memungkinkan dimensi kemanusiaan paling elementer
di dapat berkembang secara optimal. Pendidikan seyogianya menjadi wahana strategis
bagi upaya mengembangkan segenap potensi individu, sehingga cita-cita membangun
manusia Indonesia yang cerdas dan kompetitif dapat tercapai.
Selain itu, pembangunan pendidikan nasional juga diarahkan untuk
membangun karakter dan wawasan kebangsaan bagi peserta didik, yang menjadi
landasan penting bagi upaya memelihara persatuan dan kesatuan bangsa dalam
kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam hal ini, pemerintah mempunyai
kewajiban konstitusional untuk memberi pelayanan pendidikan yang dapat dijangkau
oleh seluruh warga negara. Oleh karena itu, upaya peningkatan akses masyarakat
terhadap pendidikan yang lebih berkualitas merupakan mandat yang harus dilakukan
bangsa Indonesia sesuai dengan tujuan negara Indonesia didirikan.
Pendidikan karakter kini memang menjadi isu utama pendidikan, selain
menjadi bagian dari proses pembentukan akhlak anak bangsa, pendidikan karakter ini
pun diharapkan mampu menjadi pondasi utama dalam mensukseskan Indonesia Emas
2025. Di lingkungan Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas) sendiri,
pendidikan karakter menjadi fokus pendidikan di seluruh jenjang pendidikan yang
dibinannya. Pendidikan karakter sangat erat dan dilatarbelakangi oleh keinginan
mewujudkan konsensus nasional yang berparadigma Pancasila dan UUD 1945.
Pada dasarnya pembentukan karakter itu dimulai dari usia dini, bahkan
semasih bayi dalam kandungan yang merupakan potensi anugerah Tuhan, yang
kemudian membentuk jati diri dan perilaku. Dalam prosesnya sendiri potensi anugerah
Tuhan ini sangat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan, sehingga lingkungan memiliki
peranan yang cukup besar dalam membentuk jati diri dan perilaku. Dalam hal
pembentukan karakter, lingkungan keluarga dan lingkungan sekolah memiliki
peranan yang sangat strategis, karena keluarga sebagai lembaga pendidikan yang
pertama dan utama berfungsi mewariskan nilai-nilai agama, budaya, etika, moral, dan
spiritual kepada putra-putrinya. Sementara sekolah sebagai lembaga pendidikan
formal bertugas untuk menstranformasikan sains dan ilmu pengetahuan serta nilai-
nilai sosial-budaya yang dapat menghasilkan sumber daya manusia (SDM) yang
bermutu dan memiliki daya saing tinggi, sehingga unggul dalam persaingan global.
Budaya, pendidikan dan bahkan agama boleh jadi mengalami disorientasi karena
terjadinya perubahan-perubahan cepat berdampak luas, misalnya, industrialisasi,
urbanisasi, modernisasi dan terakhir sekali globalisasi. Kondisi watak atau “karakter”
manusia dewasa ini, mulai dari level internasional sampai kepada tingkat personal
individual, khususnya bangsa kita, kelihatan mengalami disorientasi. Karena itu,
harapan dan seruan dari berbagai kalangan untuk pembangunan kembali watak atau
karakter kemanusiaan menjadi semakin meningkat dan nyaring.
Banyak keluarga mengalami disorientasi bukan hanya karena menghadapi
krisis ekonomi, tetapi juga karena serbuan globalisasi nilai-nilai dan gaya hidup yang
tidak selalu kompatibel dengan nilai-nilai dan norma-norma agama, sosial-budaya
nasional dan lokal Indonesia. Sebagai contoh saja, gaya hidup hedonistik dan
materialistik; dan permisif sebagaimana banyak ditayangkan dalam telenovela dan
sinetron pada berbagai saluran TV Indonesia, hanya mempercepat disorientasi dan
dislokasi keluarga dan rumahtangga. Akibatnya, tidak heran kalau banyak anak-anak
yang keluar dari keluarga dan rumahtangga hampir tidak memiliki watak dan karakter.
Banyak di antara anak-anak yang alim di rumah, tetapi nakal di sekolah, terlibat dalam
tawuran, penggunaan obat-obat terlarang, dan bentuk-bentuk tindakan kriminal
lainnya, seperti perampokan bis kota dan sebagainya. Inilah anak-anak yang bukan
hanya tidak memiliki kebajikan (righteousness) dan inner beauty dalam karakternya,
tetapi sebaliknya mengalami kepribadian terbelah (split personality).
Lembaga pendidikan, utamanya sekolah menjadi seolah tidak berdaya
menghadapi kenyataan ini. Sekolah selalu menjadi kambing hitam dari merosotnya
watak dan karakter bangsa. Padahal, sekolah sendiri menghadapi berbagai masalah
berat menyangkut kurikulum yang overload, fasilitas yang tidak memadai,
kesejahteraan guru dan tenaga kependidikan yang rendah. Menghadapi beragam
masalah ini sekolah seolah kehilangan relevansinya dengan pembentukan karakter.
Sekolah, sebagai konsekuensinya, lebih merupakan sekadar tempat bagi transfer of
knowledge daripada character building, tempat pengajaran daripada pendidikan.
Suyanto (2001:6) mengemukakan, “pendidikan di semua jenjang, sampai saat
ini, lebih mementingkan aspek kognitif. Aspek afektif seperti, sikap, minat, motivasi
berprestasi, empati, toleransi, kecerdasan emosional dan spritual, … sistem nilai
(values system) sangat terlantarkan”. Hal yang senada juga diungkapkan oleh Agustian
(2001:xii), bahwa: pendidikan di Indonesia selama ini, terlalu menekankan arti penting
nilai akademik, kecerdasan otak atau IQ saja. Mulai dari tingkat sekolah dasar sampai
ke bangku kuliah, jarang sekali ditemukan pendidikan tentang kecerdasan emosi yang
mengajarkan tentang: integritas, kejujuran, komitmen, visi, kreativitas, ketahanan
mental, kebijaksanaan, keadilan, prinsip kepercayaan, penguasaan diri atau sinergi;
padahal justru inilah hal yang terpenting.
Dengan demikian, makna pendidikan telah direduksi menjadi pengajaran,
kemudian belajar di ruangan kelas, menjawab soal-soal ujian dan hasilnya berupa
angka-angka dalam raport. Dampak dari hasil sistem pendidikan yang demikian adalah
siswa kurang memiliki ketahanan mental dan iman yang kuat untuk menghadapi
permasalahan kehidupan yang serba kompleks, sehingga terdapat kecenderungan
siswa dalam pengambilan keputusan hidupnya tidak beriorentasi pada nilai-nilai
karakter dalam menyelesaikan masalah yang dihadapinya.
Untuk menanggulangi krisis moral di kalangan siswa remaja, diperlukan solusi
yang cerdas dengan mengidentifikasikan berbagai faktor penyebabnya dan mengkaji
alternatif-alternatif pemecahan masalah, kemudian ditetapkan jalan yang terbaik sesuai
dengan masalah dan karakteristik siswa remaja. Seperti telah disampaikan di depan
bahwa terbentuknya perilaku yang berkarakter sangat dipengaruhi oleh lingkungan
keluarga dan lingkungan sekolah serta lingkungan sekolah yang lebih luas
(masyarakat), di samping potensi dan keyakinan atau sikap percaya diri yang dimiliki
oleh individu tersebut.
Mempertimbangkan berbagai kenyataan pahit yang telah dikemukakan di atas,
pendidikan karakter merupakan langkah penting dan strategis dalam membangun
kembali jati diri bangsa dan menggalang pembentukan masyarakat Indonesia baru.
Tetapi penting untuk segara dikemukakan bahwa pendidikan karakter haruslah
melibatkan semua pihak; rumahtangga dan keluarga; sekolah; dan lingkungan sekolah
lebih luas (masyarakat). Karena itu, langkah pertama yang harus dilakukan adalah
menyambung kembali hubungan dan educational networks yang nyaris terputus antara
ketiga lingkungan pendidikan ini. Pembentukan watak dan pendidikan karakter tidak
akan berhasil selama antara ketiga lingkungan pendidikan tidak ada kesinambungan
dan keharmonisan.
Dengan demikian, rumahtangga dan keluarga sebagai lingkungan
pembentukan watak dan pendidikan karakter pertama dan utama mestilah
diberdayakan kembali. Sebagaimana disarankan Phillips, keluarga hendaklah kembali
menjadi “school of love”, sekolah untuk kasih sayang (Phillips 2000:11). Dalam
perspektif Hindu, “keluarga sebagai ‘school of love’ dapat disebut sebagai ‘keluarga
sukhinah’. Keluarga sukhinah berarti keluarga bahagia tempat belajar yang penuh
cinta sejati dan kasih sayang” (Keluarga Sukinah Dari Perspektif Agama Hindu.
http://diturahindu.blogspot.com/2015/06/keluarga-sukinah-dari-perspektif-
agama.html2015/04/05). Keluarga merupakan basis dari bangsa; dan karena itu
keadaan keluarga sangat menentukan keadaan bangsa itu sendiri. Bangsa terbaik yang
merupakan bangsa yang satu dan bangsa yang moderat, sebagaimana dicita-citakan
oleh umat Hindu hanya dapat terbentuk melalui keluarga yang dibangun dan
dikembangkan atas dasar “saling asah, saling asih, dan saling asuh, paras-paros
sarpanaye, salunglung sabayantake”. Seperti yang dinyatakan oleh Phillips dalam The
Great Learning, (2000:11)“if there is righteousness in the heart, there will be beauty
in the character; if there is beauty in the character, there will be harmony in the
home; if there is harmony in the home, there will be order in the nation; if there is
order in the nation, there will be peace in the world”.
Pembentukan watak dan pendidikan karakter melalui sekolah, tidak bisa
dilakukan semata-mata melalui pembelajaran pengetahuan, tetapi adalah melalui
penanaman atau pendidikan nilai-nilai. Secara umum, kajian-kajian tentang nilai
biasanya mencakup dua bidang pokok, yakni estetika dan etika (akhlak, moral, budi
pekerti).
Estetika mengacu kepada hal-hal apa yang dipandang manusia sebagai
“indah”, apa yang mereka senangi. Sedangkan etika mengacu kepada hal-hal tentang
tingkah laku yang pantas berdasarkan standar-standar yang berlaku dalam masyarakat,
baik yang bersumber dari agama, adat istiadat, konvensi, dan sebagainya. Dan standar-
standar itu adalah nilai-nilai moral atau akhlak tentang tindakan mana yang baik dan
mana yang buruk.
Pembentukan watak melalui sekolah merupakan usaha mulia yang mendesak
untuk dilakukan. Bahkan, kalau berbicara tentang masa depan, sekolah
bertanggungjawab bukan hanya dalam mencetak peserta didik yang unggul dalam
ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi juga dalam jati diri, karakter dan kepribadian.
II. PEMBAHASAN
1. Pentingnya Pendidikan Karakter bagi Anak
Thomas Lickona - seorang profesor pendidikan dari Cortland University -
mengungkapkan bahwa ada sepuluh tanda-tanda zaman yang harus diwaspadai karena
jika tanda-tanda ini sudah ada, maka itu berarti bahwa sebuah bangsa sedang menuju
jurang kehancuran. Tanda-tanda yang dimaksud adalah : (1) meningkatnya kekerasan
di kalangan remaja, (2)penggunaan bahasa dan kata-kata yang memburuk, (3)
pengaruh peer-group yang kuat dalam tindak kekerasan, (4) meningkatnya perilaku
merusak diri, seperti penggunaan narkoba, alkohol dan seks bebas. (5) semakin
kaburnya pedoman moral baik dan buruk, (6) menurunnya etos kerja, (7) semakin
rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru, (8) rendahnya rasa tanggung jawab
individu dan warga negara, (9) membudayanya ketidakjujuran, dan (10) adanya rasa
saling curiga dan kebencian di antara sesama.
Jika dicermati, ternyata kesepuluh tanda jaman tersebut sudah ada di
Indonesia. Selain sepuluh tanda-tanda jaman tersebut, masalah lain yang tengah
dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah sistem pendidikan dini yang ada sekarang ini
terlalu berorientasi pada pengembangan otak kiri (kognitif) dan kurang
memperhatikan pengembangan otak kanan (afektif, empati, dan rasa). Padahal,
pengembangan karakter lebih berkaitan dengan optimalisasi fungsi otak kanan. Mata
pelajaran yang berkaitan dengan pendidikan karakter pun (seperti budi pekerti dan
agama) ternyata pada prakteknya lebih menekankan pada aspek otak kiri (hafalan, atau
hanya sekedar “tahu”).
Padahal, pembentukan karakter harus dilakukan secara sistematis dan
berkesinambungan yang melibatkan aspek “knowledge, feeling, loving, dan acting”.
Pembentukan karakter dapat diibaratkan sebagai pembentukan seseorang menjadi
body builder (binaragawan) yang memerlukan “latihan otot-otot akhlak” secara terus-
menerus agar menjadi kokoh dan kuat.
Pendidikan karakter ini hendaknya dilakukan sejak usia dini, karena usia dini
merupakan masa emas perkembangan (golden age) yang keberhasilannya sangat
menentukan kualitas anak di masa dewasanya. Montessori menyebutnya dengan
periode kepekaan (sensitive period). Penggunaan istilah ini bukan tanpa alasan,
mengingat pada masa ini, seluruh aspek perkembangan pada anak usia dini, memang
memasuki tahap atau periode yang sangat peka. Artinya, jika tahap ini mampu
dioptimalkan dengan memberikan berbagai stimulasi yang produktif, maka
perkembangan anak di masa dewasa, juga akan berlangsung secara produktif.
Menurut Freud kegagalan penanaman kepribadian yang baik di usia dini ini
akan membentuk pribadi yang bermasalah di masa dewasanya kelak. Kesuksesan
orang tua membimbing anaknya dalam mengatasi konflik kepribadian di usia dini
sangat menentukan kesuksesan anak dalam kehidupan sosial di masa dewasanya kelak
(Erikson, 1968).
2. Peran Keluarga dalam Pembentukan Karakter Anak
Keluarga dalam hal ini adalah aktor yang sangat menentukan terhadap masa
depan perkembangan anak. Dari pihak keluarga perkembangan pendidikan sudah
dimulai semenjak masih dalam kandungan. Anak yang belum lahir sebenarnya sudah
bisa menangkap dan merespons apa-apa yang dikerjakan oleh orang tuanya, terutama
kaum ibu. Menurut Megawangi (2004), anak-anak akan tumbuh menjadi pribadi yang
berkarakter apabila dapat tumbuh pada lingkungan yang berkarakter, sehingga fitrah
setiap anak yang dilahirkan suci dapat berkembang segara optimal. Mengingat
lingkungan anak bukan saja lingkungan keluarga yang sifatnya mikro, maka semua
pihak - keluarga, sekolah, media massa, komunitas bisnis, dan sebagainya - turut andil
dalam perkembangan karakter anak. Dengan kata lain, mengembangkan generasi
penerus bangsa yang berkarakter baik adalah tanggung jawab semua pihak. Tentu saja
hal ini tidak mudah, oleh karena itu diperlukan kesadaran dari semua pihak bahwa
pendidikan karakter merupakan ”PR” yang sangat penting untuk dilakukan segera.
Terlebih melihat kondisi karakter bangsa saat ini yang memprihatinkan serta
kenyataan bahwa manusia tidak secara alamiah (spontan) tumbuh menjadi manusia
yang berkarakter baik, sebab menurut Aristoteles (dalam Megawangi, 2004), hal itu
merupakan hasil dari usaha seumur hidup individu dan masyarakat.
a. Keluarga sebagai Tempat Pertama Pendidikan Karakter Anak
Bagi seorang anak, keluarga merupakan tempat pertama dan utama bagi
pertumbuhan dan perkembangannya. Menurut resolusi Majelis Umum PBB (dalam
Megawangi, 2004), fungsi utama keluarga adalah”sebagai wahana untuk mendidik,
mengasuh, dan mensosialisasikan anak, mengembangkan kemampuan seluruh
anggotanya agar dapat menjalankan fungsinya di masyarakat dengan baik, serta
memberikan kepuasan dan lingkungan yang sehat guna tercapainya keluarga,
sejahtera”.
Menurut pakar pendidikan, William Bennett (dalam Megawangi, 2004),
keluarga merupakan tempat yang paling awal dan efektif untuk menjalankan fungsi
Departemen Kesehatan, Pendidikan, dan Kesejahteraan. Apabila keluarga gagal untuk
mengajarkan kejujuran, semangat, keinginan untuk menjadi yang terbaik, dan
kemampuan-kemampuan dasar, maka akan sulit sekali bagi institusi-institusi lain
untuk memperbaiki kegagalan-kegagalannya.
Dari paparan ini dapat disimpulkan bahwa keluarga merupakan wahana
pertama dan utama bagi pendidikan karakter anak. Apabila keluarga gagal melakukan
pendidikan karakter pada anak-anaknya, maka akan sulit bagi institusi-institusi lain di
luar keluarga (termasuk sekolah) untuk memperbaikinya. Kegagalan keluarga dalam
membentuk karakter anak akan berakibat pada tumbuhnya masyarakat yang tidak
berkarakter. Oleh karena itu, setiap keluarga harus memiliki kesadaran bahwa karakter
bangsa sangat tergantung pada pendidikan karakter anak di rumah. (Latifah;2011)
b. Pola Asuh dalam Pendidikan Karakter Anak di Keluarga
Keberhasilan keluarga dalam menanamkan nilai-nilai kebajikan (karakter)
pada anak sangat tergantung pada jenis pola asuh yang diterapkan orang tua pada
anaknya. Pola asuh dapat didefinisikan sebagai pola interaksi antara anak dengan
orangtua yang meliputi pemenuhan kebutuhan fisik (seperti makan, minum dan lain-
lain) dan kebutuhan psikologis (seperti rasa aman, kasih sayang dan lain-lain), serta
sosialisasi norma-norma yang berlaku di masyarakat agar anak dapat hidup selaras
dengan lingkungannya (Latifah; 2011). Dengan kata lain, pola asuh juga meliputi pola
interaksi orang tua dengan anak dalam rangka pendidikan karakter anak. Jadi gaya
yang diprankan orang tua dalam mengembangkan karakter anak sangat penting,
apakah ia otoriter, demokratis atau permisif.
Dari paparan di atas jelas bahwa jenis pola asuh yang diterapkan orang tua
kepada anaknya sangat menentukan keberhasilan pendidikan karakter anak. Kesalahan
dalam pengasuhan anak akan berakibat pada kegagalan dalam pembentukan karakter
yang baik.
c. Nilai Karakter yang Penting Harus Ditanamkan dalam Keluarga
Ruang lingkup nilai karakter yang semestinya dikembangkan di lingkungan
keluarga menurut Megawangi (2004) adalah sebagai berikut :
1. Cinta Tuhan dan segenap ciptaanNya
2. Tanggung jawab, Kedisiplinan dan Kemandirian
3. Kejujuran
4. Hormat dan Santun
5. Dermawan, Suka menolong dan Gotong-royong/Kerjasama
6. Percaya Diri, Kreatif dan Pekerja keras
7. Kepemimpinan dan Keadilan
8. Baik dan Rendah Hati
9. Toleransi, Kedamaian dan Kesatuan
10. 4K ( kebersihan, kesehatan, kerapian dan keamanan)
Sedangkan menurut sumber dari Balitbang, Kementerian Pendidikan Nasional,
bahwa ruang lingkup nilai moral dalam rangka pembentukan karakter yang harus
dikembangkan di lingkungan keluarga adalah sebagai berikut:
1. Religius: Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama
dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun
dengan pemeluk agama lain.
2. Jujur: Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai
orangselalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan.
3. Toleransi: Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis,
pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya.
4. Disiplin: Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai
ketentuan dan peraturan.
5. Kerja Keras: Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam
mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas
dengan sebaik-baiknya.
6. Kreatif: Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil
baru dari sesuatu yang telah dimiliki.
7. Mandiri: Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain
dalam menyelesaikan tugas-tugas.
8. Demokratis: Cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama Hak
dan kewajiban dirinya dan orang lain.
9. Rasa Ingin Tahu: Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui
lebih mendalam dan meluas dari sesuatuyang dipelajarinya, dilihat, dan
didengar.
10. Semangat Kebangsaan: Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang
menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan
kelompoknya.
11. Cinta Tanah Air: Cara berfikir, bersikap, dan berbuat yang
menunjukkankesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap
bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa.
12. Menghargai Prestasi: Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk
menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta
menghormati keberhasilan orang lain.
13. Bersahabat/Komuniktif: Tindakan yang memperlihatkan rasa senang
berbicara,bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain.
14. Cinta Damai: Sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain
merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya.
15. Gemar Membaca: Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai
bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya.
16. Peduli Lingkungan: Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah
kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-
upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi.
17. Peduli Sosial: Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada
orang lain dan masyarakat yang membutuhkan.
18. Tanggung-jawab: Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas
dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri,
masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang
Maha Esa.
III. PENUTUP
Keluarga adalah aktor yang sangat menentukan terhadap masa depan
perkembangan anak. Dari pihak keluarga perkembangan pendidikan sudah dimulai
semenjak masih dalam kandungan. Anak yang belum lahir sebenarnya sudah bisa
menangkap dan merespons apa-apa yang dikerjakan oleh orang tuanya, terutama kaum
ibu. Anak-anak akan tumbuh menjadi pribadi yang berkarakter apabila dapat tumbuh
pada lingkungan yang berkarakter, sehingga fitrah setiap anak yang dilahirkan suci
dapat berkembang segara optimal. Keluarga merupakan wahana pertama dan utama
bagi pendidikan karakter anak. Apabila keluarga gagal melakukan pendidikan karakter
pada anak-anaknya, maka akan sulit bagi institusi-institusi lain di luar keluarga
(termasuk sekolah) untuk memperbaikinya. Kegagalan keluarga dalam membentuk
karakter anak akan berakibat pada tumbuhnya masyarakat yang tidak berkarakter.
Oleh karena itu, setiap keluarga harus memiliki kesadaran bahwa karakter bangsa
sangat tergantung pada pendidikan karakter anak di rumah.
DAFTAR PUSTAKA
Balitbang, Departemen Pendidikan Nasional, III. (2010). Jakarta Erikson, E.H. (1968).
Identity: Youth and Crisis. NewYork: Norton.
Lickona, Thomas. (1991). Educating for Character. How Our School can Teach
Respect and Responsibility. New York: Bantam Books.
Lickona, Thomas. (2004). Character Matters. How To Help Our Children Develop
Good Judgment, Integrity, and Other Essencial Virtues. New York: Bantam
Books.
Megawangi, Ratna. (2010). Pengembangan Program Pendidikan Karakter di Sekolah;
Pengalaman Sekolah Karakter. IHF,JKT .
Melly, Latifah. (2001). Peranan Keluarga Dalam Pendidikan Karakter Anak dari
http://indo2.islamic-world.net
Parenting Research Centre. (2003). Your Family as A Team. Melbourne: Australia.
Suyanto. 2001. “Formula Pendidikan Nasional Era Global”. Malang: Program
Pascasarjana UNM.