Upload
carlos-johnson
View
90
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
sindrom down, deteksi dini
Citation preview
Tinjauan Pustaka
Kecurigaan Sindrom Down pada Masa Gestasi 6 Minggu
Ricky Johnatan (102010174/E7)
Universitas Kristen Krida Wacana, Jl. Arjuna Utara No.6, Jakarta, 11510
Pendahuluan
Sindrom down atau disebut juga mongolisma adalah sebuah gangguan genetik yang
disebabkan oleh trisomi kromosom 21. Gangguan ini adalah ggangguan kromosom tersering
yang dijumpai dalam kelahiran hidup, yaitu 1 dari 800 kelahiran hidup. Penyebab lain
sindrom down adalah translokasi total atau sebagian dari salah satu duplikat kromosom 21
normal menjadi kromosom yang berbeda, biasanya menjadi kromosom 13,14,15 atau 22.
Tujuan pembuatan makalah ini adalah menjelaskan bagaimana cara melakukan anamnesis,
khususnya konseling genetik, pemeriksaan fisik maupun penunjang serta patofisiologi sampai
penatalaksanaan dari sindrom down.
Anamnesis
Anamnesis merupakan suatu teknik pemeriksaan yang dilakukan lewat suatu percakapan atau
komunikasi dua arah antara dokter dan pasien. Anamnesis yang baik disertai dengan empati
dari dokter terhadap pasien. Perpaduan keahlian mewawancarai dan pengetahuan yang
mendalam tentang gejala (simtom) dan tanda (sign) dari suatu penyakit akan memberikan
hasil yang memuaskan dalam menentukan diagnosis kemungkinan sehingga dapat membantu
menentukan langkah pemeriksaan selanjutnya, termasuk pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang. Anamnesis dapat dilakukan dengan dua cara yaitu, autoanamnesis dan
aloanamnesis.1 Autoanamnesis dilakukan langsung pada pasien, sedangkan aloanamnesis
dilakukan dengan keluarga atau wali dari pasien tersebut. Aloanamnesis dilakukan jika pasien
tidak dapat memberikan informasi kepada kita (koma, cacat, dan bayi atau anak-anak).1
Pada tahap pertama anamnesis kita harus menanyakan identitas pasien secara jelas, yaitu
sebagai berikut : Nama, Jenis kelamin, Tempat / tanggal lahir, Status perkawinan Pekerjaan,
Alamat, Pendidikan, dan Agama. Pada tahap berikutnya, kita menanyakan keluhan utama, 1
keluhan penyerta, riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit
keluarga dan sosial.
Saat mengumpulkan riwayat penyakit dari orang tua pengidap Sindrom Down, hal-hal berikut
dapat diperhatikan:
- Berapa usia ibu saat mengandung?
- Apakah ada kelainan atau infeksi yang dialamin ibu sewaktu mengandung?
- Apa yang orang tua sadari sehubungan dengan pendengarannya, penglihatannya,
keterlambatan dalam perkembangan, infeksi saluran napas, dan masalah lainnya.
- Riwayat makan untuk memastikan masukan kalori yang adekuat.
- Apakah ada diagnosis prenatal sehubungan dengan Sindrom Down.
- Apakah ada muntah karena blokade saluran cerna yang mungkin dikarenakan
duodenal web atau atresia.
- Ada tidaknya kotoran yang keluar untuk mempertimbangkan kemungkinan adanya
penyakit Hirschsprung.
- Keterlambatan kemampuan kognitif, perkembangan motorik, perkembangan bahasa
(terutama keterampilan ekspresif), dan kompetensi sosial.
- Adakah aritmia, pingsan, berdebar, atau sakit dada akibat lesi pada jantung.
- Gejala-gejala ketidakstabilan daerah atlantoaksial yang mencakup:
o Mudah lelah, sakit daerah leher, gerakan leher atau memiringkan kepala terbatas,
torticollis (distonia otot leher sehingga tidak dapat menopang kepala), kesulitan
berjalan, perubahan pola berjalan, hilangnya kemampuan motorik, inkoordinasi,
kekakuan, defisit sensoris, spastisitas, hiperrefleksia, klonus, refleks ekstensor-
plantar, hilangnya kekuatan tubuh bagian atas, refleks neurologis abnormal,
perubahan pada fungsi usus dan kandung kemih, peningkatan tonus otot kaki, dan
perubahan sensasi di tangan dan kaki.
o Gejala-gejala di atas sering menetap dengan stabil selama berbulan-bulan atau
bertahun-tahun. Pada kasus yang jarang, gejala-gejala tersebut dapat berlanjut
menjadi paraplegia, hemiplegia, quadriplegia, atau bahkan kematian.
- Adakah anggota keluarga lain yang mengidap Sindrom Down ?
2
Pemeriksaan Fisik
Seperti pada pemeriksaan fisik pada umumnya, pengamatan dilakukan mulai dari pasien masuk ke dalam ruang pemeriksaan. Keadaan umum, sikap dan kesadaran pasien harus diamati dengan cermat.
1. Keadaan umum
2. Pemeriksaan TTV
3. Pemeriksaan keadaan alat-alat vital pada organ lain yang mungkin berhubungan dengan anemia dan kelainan alat-alat lain dari kepala sampai kaki.
4. Pemeriksaan obstetrik
a. Inspeksi
Pada inspeksi dilihat bentuk perut, bekas luka/operasi, perubahan warna (linea nigra, striae gravidarum), tumor.
b. Palpasi
- Leopold 1 untuk menentukan tinggi fundus uteri dan menentukan bagian apa dari anak yang terletak dalam fundus.
- Leopold 2 untuk menentukan dimana letak punggung anak (kanan atau kiri).
- Leopold 3 untuk menentukan apa yang menjadi bagian bawah (kepala atau bokong), serta menentukan apakah kepala sudah masuk ke pintu atas panggul (pada presentasi kepala).
- Leopold 4 dilakukan jika kepala sudah masuk ke pintu atas panggul dan dilakukan untuk menentukan seberapa besar bagian kepala yang sudah masuk panggul.
c. Auskultasi
Pada auskultasi bisa didengar bermacam bunyi dari pihak anak (BJJ, bising tali pusat, gerakan anak) dan pihak ibu (bising a. uterina, bising aorta, bising usus). Bisa dilakukan dengan stetoskop kebidanan atau dengan fetal heart detector (Doppler). Pada auskultasi ditentukan frekuensi denyut jantung janin dan tentukan apakah teratur atau tidak.
d. Pemeriksaan edema, diperiksa apakah ada pitting edema di bagian kaki, tangan atau muka.
3
Pemeriksaan Penunjang
Resiko trisomi janin meningkat seiring dengan peningkatan usia ibu, dan paling pesat
terutama dimulai pada usia 35 tahun. Secara tradisional, usia 35 tahun dipilih sebagai ambang
untuk “usia ibu lanjut”. Karena itu sampai pertengahan tahun 1980an, uji diagnosis prenatal
untuk aneuploidy janin hanya ditawarkan kepada wanita yang akan berusia 35 tahun atau
lebih saat melahirkan. Setelah Merkatz dkk., (1984) melaporkan bahwa kehamilan dengan
sindrom Down janin ditandai oleh kadar AFP serum ibu yang rendah pada usia 15 sampai 20
minggu, pemeriksaan penapisan untuk sindrom Down mulai ditawarkan bagi wanita yang
lebih muda. Jika uji penapisan serum menyatakan bahwa seorang wanita memiliki resiko
untuk trisomy 21 janin, maka dianjurkan untuk menjalani amniosentesis.2
Dalam dua dekade terakhir, bidang diagnosis prenatal telah mengalami banyak kemajuan
besar. Penambahan analisis serum lain ke penapisan trimester kedua telah meningkatkan
kemampuan deteksi trisomy 21 tiga sampai empat kali lipat. Uji ini bahkan memiliki angka
deteksi yang lebih besar pada wanita yang lebih tua karena prevalensi aneuploidy yang lebih
tinggi.Setiap pemeriksaan penapisan mempunyai keunggulan tersendiri, sehingga bergantung
pada tes yang tersedia, dan para dokter yang menentukan cara mana yang paling sesuai
dengan kebutuhan pasiennya. Uji penapisan serum ini biasanya memiliki angka positif palsu
sekitar lima persen.2
Uji Penapisan Trimester Pertama
Uji penapisan trimester pertama dilakukan antara usia kehamilan 11 sampai 14 minggu.
Protokol yang saat ini digunakan mencakup screening analit serum ibu, evaluasi sonografik
(USG), atau kombinasi keduanya. Dua analit serum ibu diperiksa hCG (atau β-hCG bebas)
dan protein plasma terkait kehamilan A (PAPP-A). Pada trimester pertama, kadar hCG serum
lebih tinggi sekitar 2,0 MoM, dan kadar PAPP-A lebih rendah sekitar 0,4 MoM pada janin
dengan sindrom Down.2
Protokol penapisan trimester pertama yang tersering memadukan kedua penanda serum
dengan translusensi nukal sonografik. Dengan menggunakan protocol ini, deteksi sindrom
Down pada uji klinik prospektif besar, berkisar dari 79 sampai 87 persen dengan angka positif
palsu lima persen. Semua uji penapisan untuk aneuploidy janin kurang sensitive pada wanita
yang lebih muda karena angka prevalensi yang lebih rendah. Usia gestasi juga mempengaruhi
keakuratan deteksi sindrom Down.2
4
Uji Penapisan Trimester Kedua
Pada usia kehamilan 15-20 minggu, kehamilan sindrom Down ditandai oleh kadar AFP
sekitar 0,7 MoM, kadar hCG sekitar 2,0 MoM, dan konsentrasi estriol tidak terkonjugasi
(uE3) sekitar 0,8 MoM. Uji triple ini dapat mendeteksi hingga 65 sampai 70 persen kasus
trisomy 21. Penanda keempat, alfa inhibin dimerik kemudain ditambahkan untuk
menghasilkan uji quadruple atau “quad” dengan nilai sekitar 1,8 MoM pada kehamilan
sindrom Down. Uji penapisan yang positif menunjukkan peningkatan resiko, tetapi tidak
diagnostic untuk sindrom Down atau aneuploidy lainnya. Sebaliknya, uji penapisan yang
negative menunjukkan bahwa resiko tidak meningkat, tetapi tidak menjamin bahwa janin
normal. Setelah usia gestasi dipastikan dengan USG, wanita dengan hasil uji penapisan positif
perlu ditawari amniosentesis atau pengambilan sampel darah janin untuk penentuan kariotipe
janin.2
Penapisan Sonografik
Ada pemeriksaan sonografi rutin tidak jarang ditemukan anomaly struktur mayor.Suatu
malformasi terisolasi mungkin bersifat multifaktoral, seperti cacat jantung atau NTD, atau
mungkin merupakan bagian dari suatu sindrom genetic. Meskipun penemuan anomaly mayor
sering meningkatkan resiko aneuploidy, jangan diharapkan bahwa janin aneuploidy akan
memperlihatkan malformasi maor yang dapat terdeteksi dengan sonografi.2
Selama lebih dari dua decade, para peneliti telah mengetahui bahwa deteksi sonografik
aneuploidy, terutama sindrom Down, dapat ditingkatkan dengan penambahan beberapa
penanda sonografi minor yang secara kolektif disebut sebagai soft sign. Kelainan minor ini
biasanya tidak secara signifikan mempengaruhi prognosis janin. Penanda trimester kedua atau
soft sign yang berkaitan dengan sebagian janin sindrom Down antara lain:2
Penebalan lipatan nukal
Tidak adanya atau hypoplasia tulang hidung
Brakisefalus atau memendeknya lobus frontalis
Panjang telinga kurang
Fokus intrakardiak ekogenik
Usus ekogenik
Dilatasi pelvis ringan
Sudut iliaka memlebar
5
Celah antara jari kaki pertama dan kedua melebat (sandal gap)
Klinodaktili, hypoplasia falang tengah jari tangan ke lima
Alur palmar transversal tunggal
Femur pendek
Humerus pendek
Gambar 1: USG Janin Sindrom Down
Diunduh dari : http://www.doctortipster.com/wp-content/uploads/2011/07/Down-syndrome-
ultrasound.jpg?fc953a)
Teknik umum yang digunakan untuk diagnosis prenatal adalah amniosentesis trisemester
kedua, amniosentesis trisemester pertama, pengambilan sampel vilus korion, dan pengambilan
sampel darah tali pusat.2
Amniosentesis trisemester kedua
Amniosentesis adalah metode yang aman dan akurat untuk diagnosis prenatal dan biasanya
dilakukan antara 15 hingga 20 minggu gestasi. Ultrasound digunakan sebagai penuntun untuk
memasukkan jarum spinal ukuran 20 atau 22 ke dalam kantong amnion, sembari menghindari
plasenta, tali pusat, dan janin. Aspirat awal 1 sampai 2 ml cairan dibuang untuk mengurangi
kemungkinan pencemaran oleh sel-sel ibu, kemudian diambil sekitar 20 ml cairan untuk
analisis, dan jarum dikeluarkan. Tempat pungsi diamati apakah ada perdarahan dan pasien
diperlihatkan denyut jantung janinnya. Angka kematian janin setelah amniosentesis adalah 0,5
persen atau kurang (1 dari 200). Komplikasi minor jarang terjadi dan mencakup kebocoran
6
air ketuban dan bercak perdarahan per vaginam yang sifatnya sementara pada 1 hingga 2
persen dan korioamnionitis pada kurang dari 1 per 1000 wanita yang diperiksa. Cedera akibat
jarum pada janin jarang terjadi.2
Amniosentesis dini (trisemester pertama)
Amniosentesis disebut dini jika dilakukan antara 11 dan 14 minggu. Tekniknya sama dengan
teknik amniosentesis tradisional, meskipun tidak adanya fusi membran ke dinding uterus
menyebabkan pungsi kantong amnion menjadi lebih sulit dan lebih sedikit cairan yang dapat
dikeluarkan (biasanya 1 ml untuk setiap minggu gestasi). Karena sebab-sebab yang belum
sepenuhnya dipahami, amniosentesis dini menimbulkan angka kematian janin dan angka
penyulit yang secara bermakna lebih tinggi dari amniosentesis biasa. Pada sebuah uji coba
acak multisentra baru-baru ini, angka abortus spontan setelah amniosentesis dini adalah 2,5
persen dibandingkan dengan 0,7 persen pada amniosentesis trisemester kedua. Komplikasi
lainnya adalah clubfoot (talipes) janin, yang terjadi pada 1 hingga 1,4 persen dibandingkan
dengan 0,1 persen setelah amniosentesis tradisional. Oleh karena itu, banyak sentra tidak lagi
menawarkan amniosentesis sebelum 15 minggu. Kontraindikasi dari amniosentesis adalah
oligohidramnion. Hasil kultur sel membutuhkan waktu 2-4 minggu, tergantung teknik kultu
ryang dipakai.2
Corion vilus sampling
Keuntungan CVS adalah bahwa hasil tersedia lebih dini pada kehamilan yang mengurangi
rasa cemas orang tua jika hasil normal, dan memungkinkan metode penghentian kehamilan
yang lebih dini dan aman jika hasil abnormal. Indikasi CVS pada dasarnya sama dengan
indikasi amniosentesis, dengan pengecualian bahwa terdapat beberapa kondisi spesifik yang
menunjukkan amniosentesis lebih disukai (seperti sindrom X rapuh). Pengambilan sampel
vilus korion umumnya dilakukan pada usia gestasi 10 hingga 13 minggu. Vilus plasenta
diambil melalui akses transabdomen atau trans serviks ke plasenta. Komplikasi CVS serupa
dengan amniosentesis. Terdapat laporan yang menunjukkan adanya keterkaitan antara CVS
dan cacat reduksi tungkai. Akan tetapi, akumulasi pengalaman CVS terhadap hampir 139.000
pasien dilaporkan ke international Registry dari World Health Organization menyangkal hal
ini. CVS transabdomen yang dilakukan setelah 9 minggu tampaknya sama amannya seperti
amniosentesis trisemester kedua. Resiko abortus spontan pada CVS adalah 1 persen, dan hasil
pemeriksaan membutuhkan waktu 2 minggu untuk prosedur kultur.2
7
Kordosentesis
Kordosentesis terutama dilakukan untuk menilai dan mengobati aloimunisasi sel darah merah
atau trombosit yang sudah dipastikan dan untuk analisis hidrops non imun. Tindakan ini juga
dilakukan untuk memperoleh sel darah janin untuk analisis genetik jika hasil CVS atau
amniosentesis membingungkan atau jika diperlukan diagnosis cepat. Sebagai contoh,
pengambilan sampel darah tali pusat dapat dilakukan jika terdeteksi adanya malformasi janin
atau hambatan pertumbuhan yang berat pada akhir kehamilan, dan jika diagnosis janin
mungkin mengubah penatalaksanaan persalinan dan kelahiran. Analisis kariotipe terhadap sel
darah janin biasanya selesai dalam 24 hingga 48 jam setelah spesimen diperoleh. Sampel
darah janin juga dapat dikirim jika diperlukan untuk pemeriksaan metabolik dan hematologis
analsis asam basa biakan virus dan pemeriksaan imunologik. Vena umbilikalis dipungsi di
bawah bimbingan ultrasonografi langsung, biasanya di atau dekat dengan pangkalnya di
plasenta, dan darah disedot. Sebagian besar komplikasi serupa dengan yang terjadi pada
amniosentesis. Komplikasi lainnya adalah perdarahan atau hematoma pembuluh tali pusat,
perdarahan janin ibu dan bradikardi janin.2
Estriol tak terkonjugasi (uE3)
uE3 diproduksi oleh plasenta. Kadarnya menurun sekitar 25 persen dalam serum ibu yang
kehamilannya disertai sindrom down dibandingkan kehamilan tanpa sindrom down.3
Alfafetoprotein (AFP)
AFP adalah protein serum utama dari janin. AFP berpindah dari sirkulasi janin ke sirkulasi
maternal. Kadar AFP menurun pada serum maternal ibu yang mengandung janin sindrom
down. Kadar AFP juga digunakan untuk mendeteksi defek neural tube janin dan anensefali,
dan AFP meningkat pada kedua defek tersebut.3
Human chorionic gonadotropin (HCG)
HCG diproduksi selama kehamilan, awalnya oleh trfofoblas dan kemudian oleh plasenta.
Kadarnya dalam serum maternal lebih tinggi pada kehamilan dengan sindrom down
dibandingkan tanpa sindrom down.3
Inhibin A Inhibin A adalah suatu glikoprotein yang dibentuk selama kehamilan terutama oleh
plasenta. Inhibin A meningkat pada ibu yang mengandung janin sindrom down. 3
8
Diagnosis kerja
Sindrom Down
Sindrom Down adalah sebuah gangguan genetik yang disebabkan oleh trisomi kromosom
21.Gangguan ini adalah gangguan kromosom tersering yang dijumpai dalam kelahiran hidup,
yaitu satu dari 800 kelahiran hidup. Pada 95% kasus, sindrom Down disebabkan oleh
nondisjunction kromosom ibu nomor 21 selama meiosis. Insidens sindrom Down yang
berhubungan dengan nondisjunction meningkat seiring dengan peningkatan usia ibu. Kurang
dari lima persen kasus sindrom Down yang dapat dilacak berasal dari kromosom ekstra ayah.
Penyebab sindrom Down yang lain adalah translokasi total atau sebagian dari salah satu
duplikat kromosom 21 normal menjadi kromosom yang berbeda. Diagnosis Sindrom down
dapat dilakukan sebelum atau setelah kehamilan.3
Diagnosis banding
Hipotiroidisme
Hipotiroidisme adalah kondisi yang ditandai dengan produksi hormone tiroid yang kadarnya
rendah tidak normal. Hal ini dapat disebabkan berbagai faktor, termasuk Sindrom Down itu
sendiri. Karena hormon tiroid mempengaruhi pertumbuhan, perkembangan, dan banyak
proses seluler, hormon tiroid yang inadekuat memiliki konsekuensi yang luas bagi tubuh.
Gejala hipotiroid bisa jadi tidak jelas karena gejalanya tidak spesifik dan mirip dengan banyak
kelainan lain. Beberapa tanda awal hipotiroidisme adalah masa kehamilan yang memanjang,
berat badan lahir yang tinggi, terlambatnya buang air besar setelah lahir, susah makan,
hipotermia, aktivitas menurun, pernapasannya berbunyi, tangisan serak. Pertumbuhan lambat,
pematangan tulang yang tertunda, peningkatan berat badan meskipun nafsu makan menurun
juga bisa menandakan adanya gangguan hormon tiroid pada anak. Anak juga tidak tahan
dingin, energinya berkurang, kulitnya kering dan bengkak. Anak hipotiroid juga punya
kecenderungan mengalami obesitas ringan dan ekspresi wajah seperti orang bodoh, lidahnya
menonjol, tonus otot kurang, tidur berlebihan. jika keadaan tidak segera diperbaiki dapat
mengarah pada retardasi fisik maupun mental yang berat, antara lain: pertumbuhan terganggu
menyebabkan si anak berperawakan pendek, perkembangan gigi permanen menjadi terlambat,
tertundanya pubertas, dan perkembangan mental yang tidak normal.4
9
Trisomi 18
Anak dengan trisomi 18 memiliki tiga buah kromosom 18 dengan kondisi malformasi ganda
dan retardasi mental yang dikarenakan kromosom tambahan tersebut. Anak ini juga memiliki
berat badan lahir rendah, mikrosefali, micrognathia (rahang yang kecil), malformasi jantung
dan ginjal, tangan yang mencengkeram dengan posisi jari yang tidak normal, dan malformasi
kaki. Retardasi mental ditemukan dengan nilai IQ yang bahkan terlalu rendah untuk dinilai.
Sembilan puluh lima persen pasien ini meninggal sebelum usia mereka mencapai satu tahun.
Keadaan ini juga disebut Sindrom Edward.4
Etiologi
Sindroma Down dapat terjadi karena kelianan pada kromosom, dengan kemungkinan-
kemungkinan seperti 95% terjadi karena nondisjunction pada kromosom nomor 21 sewaktu
osteogenesis (trisomi). Sisanya memiliki sebuah translokasi Robertsonian (kromosom 21
melekat pada kromosom lain yang serupa, biasanya kromosom 14 dan 15) atau mosaik
(Beberapa sel dengan trisomi 21 dan beberapa dengan karyotipe normal). Setengah dari kasus
translokasi diwarisi dari orang tua, sehingga kromosom orangtua harus diperiksa hanya jika
ada suatu translokasi. semua mewarisi dikaitkan dengan meningkatkan risiko kekambuhan. 5
Kurang dari 5% kasus sindrom Down yang dapat dilacak berasal dari kromosom ekstra ayah.
Faktor resiko yang menyebabkan lahirnya anak dengan sindroma Down antara lain:
Usia ibu yang agak lanjut (melebihi 35 tahun) biasanya akan menghadapi risiko lebih besar
untuk mendapatkan anak sindroma Down trisomi 21. Hal ini mungkin dikarenakan suatu
ketidakseimbangan hormononal. Seorang ibu yang carier sindroma Down yakni ibu yang
hanya memiliki 45 kromosom, termasuk satu autosom 21, satu autosom 14, dan satu autosom
translokasi 14q21q. Kelainan endokrin pada ibu: pada usia tua dapat terjadi infertilitas relatif,
kelainan tiroid atau ovarium.6
Epidemiologi
Sindroma down ditemukan di seluruh dunia, pada semua suku bangsa. Pada saat ini sindroma
Down merupakan cacat (abnormalitas) kelahiran yang paling banyak dijumpai dengan
frekuensi satu dalam 600 kelahiran hidup. Secara statistik ditermukan lebih banyak dilahirkan
oleh ibu yang berusia lebih dari 35 tahun, walaupun tidak jarang juga ditemukan pada bayi
yang dilahirkan ibu yang masih muda. Insiden sindrom Down yang berhubungan dengan usia
ibu meningkat seiring dengan usia ibu. Sindrom Down terjadi pada 1 dari 1350 bayi yang
10
lahir dari ibu yang berusia kurang dari 24 tahun, dan 1 dari 65 bayi yang lahir dari ibu yang
berusia 41-45 tahun.5
Patofisiologi
Sel-sel dengan komplemen kromosom yang normal disebut kariotipe euploidi (Yunani, eu:
baik, ploid: set/perangkat). Bentuk euploidi pada manusia disebut haploid (23 kromosom)sel
kelamin (gamet) dan diploid (46 kromosom) sel somatik. Sel-sel aneuploidi memiliki
komplemen kromosom yang tidak lengkap atau tidak seimbang akibat kekurangan atau
kelebihan kromosom individual. Sebuah sel yang kekurangan satu kromosom dari komplemen
diploid disebut monosomi (46 - 1). Sel trisomi memiliki komplemen kromosom yang lengkap
ditambah dengan sebuah kromosom tambahan (46 + 1). Tetrasomi (46 + 2) membawa
kromosom khusus yang rangkap empat (quadruplicate); kromosom lebihnya muncul dua kali
sebagai pasangan homolognya. Poliploidi menggambarkan kondisi di mana terdapat sebuah
perangkat kromosom tambahan yang lengkap, misalnya, 69 atau 92 kromosom. Hanya
aneuploidi yang dapat bertahan hidup sampai dilahirkan, karena poliploidi tidak cocok untuk
hidup.6,7
Penyebab dan kejadian aneuploidi.
Sindrom Down yang merupakan suatu bentuk trisomi 21, menggambarkan prinsip dari
aneuploidi. Penderita Sindrom Down, yang memiliki tambahan kromosom 21 pada sel
somatiknya, menderita suatu bentuk kelainan kromosom bawaan yang berhubungan dengan
retardasi mental berat. Gejala klinis sindrom ini cukup khas dan mudah dikenali saat lahir.
Tampilan yang khas mencakup dahi yang menonjol, hidung datar, kebiasaan membuka mulut,
bibir bawah mengarah ke luar, lidah menonjol keluar, mata tidak sejajar, dan lipatan kelopak
mata bagian dalam yang mencolok (epicanthic folds). Gejala lainnya antara lain hipotonia,
perawakan pendek, prematuritas, berat badan lahir rendah, brakisefali (kepala yang relatif
pendek), maksila dan mandibula kecil, penebalan kulit di daerah tengkuk, garis tangan yang
menyatu, bercak Brushfield (bercak putih atau kuning muda seperti awan yang seolah member
batas pada iris), alat gerak yang kecil dengan tangan yang kecil dan lebar. Terdapat juga
kelainan pada organ dalam seperti saluran cerna berupa atresia esophagus dan atresia
duodenal, pada jantung berupa kelainan jantung bawaan, dan banyak terdapat kejadian
leukemia.6,7
11
Banyak dari gejala-gejala tersebut muncul secara bervariasi dan tidak muncul pada semua
penderita. Konfirmasi pasti untuk diagnosis Sindrom Down harus berasal dari analisis
komplemen kromosom. Individu dengan Sindrom Down memiliki 47 kromosom bukan 46
kromosom. Tingginya angka kejadian pada ibu di atas usia 35 tahun menimbulkan dugaan
bahwa kromosom tambahan pada bayi Sindrom Down didapatkan selama masa pembentukan
sel telur ibu. Namun, perlu diperhatikan bahwa semua sel telur wanita yang dihasilkan selama
usia suburnya telah ada bahkan saat ia lahir, di mana pada awalnya ovarium mengandung satu
hingga dua juta bakal sel yang kemudian berkurang menjadi 300.000 – 400.000 pada saat
pubertas melalui proses atresia folikuler yang normal. Pengurangan jumlah sel telur secara
progresif juga terjadi seraya usia seorang wanita bertambah, hingga usia 50 tahun produksi sel
telur fungsional akan secara drastis menghilang (menopause).6,7
Selama bertahun-tahun, para ilmuwan percaya bahwa sel-sel telur dari wanita terpapar pada
bahaya penuaan dan proses penuaan itu sendiri bertanggung jawab pada kebanyakan kasus
trisomi. Namun semakin banyaknya kasus Sindrom Down pada bayi yang lahir dari ibu
dengan usia kurang dari 35 tahun menunjukkan ada beberapa faktor yang masih belum
diketahui yang mungkin merupakan penyebab dari sindrom ini. Data juga menunjukkan
bahwa sel telur tidak selalu yang menjadi penyebabnya karena sekitar 5-15% kasus Sindrom
Down mendapatkan kromosom ekstra dari pihak ayah.6,7
Asal mula trisomi 21: gagal pisah pada meiosis
Proses pembelahan secara meiosis adalah proses yang kompleks dan mudah terjadi kesalahan.
Proses pembelahan ini tidak selalu berjalan dengan normal. Banyak kecelakaan yang terjadi
yang mempengaruhi fungsi normal dari benang spindel dan mengganggu perpindahan yang
seharusnya pada satu atau lebih kromosom. Selama pembelahan meiosis I, pasangan homolog
dari kromosom dapat gagal berpisah satu sama lain. Kegagalan ini, yang disebut gagal pisah
(nondisjunction), dapatberujung pada sel gamet yang mengandung sepasang kromosom dari
salah satu orang tuanya, bukan satu buah kromosom homolog. Dengan kata lain, gagal pisah
dari kromosom 21 selama masa oogenesis menghasilkan sebuah sel telur yang memiliki dua
salinan dari kromosom 21. Pembuahan oleh sperma yang normal memberi kesempatan
berkembangnya seseorang dengan trisomi 21.6,7
Perhatikan bahwa kejadian gagal pisah dari satu pasang kromosom pada fase meiosis I
menghasilkan dua jenis sel yang seimbang pembagiannya, satu sel mengandung kedua bagian
12
kromosom sedangkan yang lain tidak memiliki kromosom tersebut. Pada meiosis normal
gamet yang terbentuk pada akhir meiosis II mengandung sebuah bagian homolog tunggal dari
tiap kromosom dan pembuahan membuat zigot kembali ke keadaan diploid dengan adanya
pasangan kromosom yang homolog. Jika sperma normal membuahi sel telur yang tidak
mendapat kromosom hasilnya ialah monosomi. Secara teori, monosomi autosomal harus sama
banyaknya dengan trisomi autosomal. Namun, monosomi, ketika terjadi pada autosom, pada
umumnya tidak cocok untuk hidup. Faktanya, bayi yang dapat bertahan hingga lahir dalam
keadaan di mana satu autosomnya benar-benar tidak ada hanya dapat hidup untuk waktu yang
singkat. Sebaliknya, seseorang dapat bertahan dengan satu kromosom X yang hilang; keadaan
ini, 45 X, dikenal sebagai Sindrom Turner. Sebenarnya, dari semua kelainan yang melibatkan
hilang atau bertambahnya kromosom, kelainan yang berhubungan dengan kromosom seks
tampaknya memperlihatkan kelangsungan hidup yang lebih besar selama beberapa hari atau
bulan di awal kehidupan.6,7
Gagal pisah pada proses meiosis dapat terjadi baik selama pembelahan meiosis I maupun II.
Jika gagal pisah (nondisjunction) terjadi pada spermatosit primer selama meiosis I, maka
semua sperma yang terbentuk dari spermatosit tersebut akan menjadi tidak normal dan zigot
akan memiliki komplemen kromosom aberrant. Jika gagal pisah terjadi pada spermatosit
sekunder yang mengalami meiosis II, hanya dua dari empat sperma yang terbentuk yang akan
menjadi abnormal dan dua sperma lainnya akan menjadi euploid yang normal. Ada juga
perbedaan pada kromatid, dan oleh karena itu juga ada perbedaan pada alel yang ada pada
kromatid, bergantung pada apakah gagal pisah terjadi pada meiosis I atau II. Jika terjadi pada
meiosis I, ketiga kromatid pada telur yang dibuahi memiliki asal mula parental yang unik.
Jika terjadi pada meiosis II, hasilnya ialah dua kromatid yang berasal dari replikasi rantai
DNA yang sama dan satu kromatid unik terdapat pada telur yang telah dibuahi.6,7
Kromosom 21 tambahan mempengaruhi hampir setiap sistem organ dan berdampak pada
konsekuensi fenotipe yang mencakup banyak hal. Hal ini mencakup komplikasi-komplikasi
yang mengancam nyawa, gangguan secara klinis yang signifikan terhadap kehidupan sehari-
hari (misalnya, retardasi mental), dan tampilan fisik yang abnormal. Sindrom Down
menurunkan kelangsungan hidup prenatal dan meningkatkan kejadian sakit baik pada
sebelum maupun sesudah lahir. Anak-anak yang menderita sindrom ini memiliki
keterlambatan dalam pertumbuhan fisiknya, pematangan, perkembangan tulang, dan
pertumbuhan gigi.6,7
13
Salinan ekstra dari bagian proksimal pada 21q22.3 memperlihatkan hasil dalam tampilan fisik
fenotip yang khas: retardasi mental, tampilan wajah yang karakteristik, anomali tangan, dan
kelainan jantung bawaan. Analisis molekular menunjukkan bahwa pada region 21q22.1-
q22.3, atau disebut Down syndrome critical region (DSCR), tampak mengandung satu atau
banyak gen yang bertanggung jawab terhadap penyakit jantung bawaan yang ditemukan pada
Sindrom Down. Sebuah gen baru, DSCR1, diidentifikasi pada region 21q22.1-q22.2, banyak
diekspresikan pada otak dan jantung dan diduga terlibat dalam patogenesis Sindrom Down,
khususnya, dalam hal retardasi mental dan/atau kelainan jantung.6
Fungsi fisiologis yang abnormal mempengaruhi metabolism tiroid dan malabsorpsi di usus.
Infeksi berulang diduga dikarenakan respons imun yang terganggu, dan kejadian
autoimunitas, termasuk hipotiroidisme, dan Hashimoto tiroiditis yang jarang terjadi, juga
meningkat. Pasien-pasien Sindrom Down mengalami penurunan pada mekanisme penyangga
(buffering/dapar) yang normal, yang berakibat pada hipersensitivitas terhadap pilokarpin dan
respons abnormal terhadap elektroensefalografi (sensory-evoked electroencephalography
tracings). Anak dengan leukemia akibat Sindrom Down juga mengalami hiperaktivitas
terhadap metotreksat. Penurunan reaksi penyangga (buffering) dalam proses metabolisme
merupakan predisposisi hiperurisemia dan peningkatan resistensi insulin. Diabetes mellitus
berkembang pada banyak pasien Sindrom Down. Penuaan dini menyebabkan katarak dan
penyakit Alzheimer. Reaksi leukemoid pada bayi dan peningkatan resiko leukemia akut
menunjukkan disgfungsi sumsum tulang.6,7
Anak-anak dengan Sindrom Down cenderung mengalami leukemia, khususnya kelainan
mieloproliferatif yang transien dan leukemia megakariositik akut. Hampir seluruh anak
dengan Sindrom Down yang mengalami leukemia jenis ini mengalami mutasi dalam gen
faktor transkripsi hematopoietik, GATA1. Leukemia pada anak-anak Sindrom Down
membutuhkan paling sedikit tiga hal: trisomi 21, mutasi GATA 1, dan gangguan genetik
ketiga yang belum terdefinisi.6,7
Translokasi Robertsonian
Ibu berusia di bawah 30 tahun yang memiliki anak pertama mengidap Sindrom Down akan
memiliki tingkat rekurensi yang rendah jika Sindrom Down terjadi akibat gagal pisah pada
meiosis maupun mitosis. Namun, resiko rekurensi jauh lebih tinggi jika anak mengidap
Sindrom Down akibat translokasi Robertsonian. Translokasi Robertsonian ini terbatas pada
kromosom akrosentrik yaitu kromosom 13,14, 15, 21, dan 22. Kromosom-kromosom ini
14
mempunyai lengan pendek, lengan p, yang terbuat dari gen-gen untuk RNA ribosom. Lengan
pendek ini biasanya disebut satelit. Gen-gen ini mempunyai banyak salinan dan seseorang
dapat berfungsi dengan normal jika beberapa gen ini hilang. Satelit ini mempunyai banyak
homolog dari kromosom ke kromosom, dan mereka cenderung berhubungan saat interfase
dan pembelahan mitosis. Kadang-kadang, mereka bertukar bagian, dan lengan yang panjang,
lengan q dari satu kromosom akan menempel dengan lengan q kromosom yang lain, dengan
hilangnya dua lengan p atau satelit.6,7
Gambar 2. Robertsonian Translocation
Diunduh dari : http://www.uic.edu/classes/bms/bms655/lesson9.html
Tidak ada efek pada individu di mana peristiwa pada mitosis ini terjadi. Ia akan memiliki
fenotip yang normal pada semua segi. Namun, jika translokasi terjadi pada sel yang akan
menjadi sel gamet, masalah dapat muncul ketika sel tersebut akan menjalani meiosis. Proses
pairing (berpasangan) kromosom yang homolog saat metafase meiosis I dapat menyebabkan
masalah seperti terlihat pada gambar berikut.6,7
Gambar 3. Robertsonian Translocation
Diunduh dari : http://www.rationalskepticism.org/pseudoscience/were-humans-genetically-
engineered-t25452-40.html
15
Gambar di atas memperlihatkan bahwa proses pairing dapat menghasilkan beberapa
kemungkinan, dengan peluang yang sama besar untuk semuanya. Kemungkinan-
kemungkinan yang dapat terjadi adalah sebagai berikut:
Satu oosit atau spermatosit sekunder memperoleh kromosom translokasi 14q21q (sel A),
dan sel yang lainnya akan memperoleh kromosom 14 dan 21 yang normal (sel B). Ketika
pembuahan terjadi, dengan sel gamet normal dari pasangannya yang mengandung
kromosom 14 dan 21 yang normal, sel (A) akan membentuk sel dengan genotip 45, XX
atau XY, -14, -21, +t(14q21q) dengan fenotip normal karier Robertsonian translocation
yang seimbang (balanced), sedangkan sel (B) akan membentuk individu normal dengan
genotip 46, XX atau XY.6,7
Jika satu oosit atau spermatosit sekunder memperoleh hanya kromosom 14 tanpa
kromosom 21 (sel C), maka sel gamet lainnya memperoleh kromosom 14q21q dan
kromosom 21 (sel D). Jika dibuahi dengan sel gamet yang normal, sel (C) akan
menghasilkan monosomi 21 yang tidak sanggup bertahan hidup dan berakhir dengan
abortus spontan, sedangkan sel (D) akan menghasilkan sel dengan jumlah kromosom 14
yang tepat tetapi memperoleh tiga salinan kromosom 21 (21 dari gamet normal, dan 21
normal dan 21q dari sel yang mengalami translokasi), dan inilah yang menghasilkan anak
dengan Sindrom Down.6,7
Jika satu oosit atau spermatosit sekunder memperoleh satu kromosom 21 tanpa
kromosom 14 (sel E) dan sel yang lainnya memperoleh kromosom 14 disertai kromosom
14q21q (sel F), keduanya tidak akan sanggup bertahan hidup. Sel (E) menghasilkan
monosomi 14 sedangkan sel (F) menghasilkan trisomi 14. Kedua keadaan ini letal.
Keenam kemungkinan sel gamet di atas terbentuk dari sebuah gamet carrier Robertonian
translocation, dengan tiga sel yang dapat menghasilkan fetus yang mampu bertahan hidup.
Dari ketiga kombinasi yang bertahan ini, satu akan menjadi anak normal, satu menjadi
pembawa translokasi dengan fenotip yang normal, dan satu lagi akan menjadi anak dengan
Sindrom Down.7
Gejala klinis
16
Penderita sindroma Down biasanya memiliki gejala klinis antara lain:5,6
Tubuh pendek, lengan atau kaki kadang-kadang bengkok. Pertumbuhan pada masa bayi
kadang-kadang baik, tetapi kemudian menjadi lambat.
Kepala lebar, wajah membulat, mulut selalu terbuka, ujung lidah besar, hidung lebar dan
datar, kedua lubang hidung terpisah lebar, jarah antara kedua mata lebar, kelopak mata
memiliki lipatan epikantus sehingga mirip dengan orang oriental.
Kulit halus dan longgar, tetapi warnanya normal. Di leher terdapat lipatan-lipatan yang
berlebihan.
Pada kulit dapat terjadi folikulitis, vitiligo, alopesia.
Iris mata kadang-kadang berbintik yang disebur bintik-bintik “Brushfield”.
Pada telinga dapat terjadi gangguan pendengaran konduktif dan sensorineural.
Pada mata dapat terjadi katarak, glaukoma, nistagmus, dan blefaritis.
Tangan dan kaki kelihatan lebar dan tumpul.
Otot hipotonia dan pergerakan sendi berlebihan.
Telapak tangan memiliki garis tangan yang khas abnormal, yaitu hanya mempunyai
sebuah garis mendatar saja (simian crease).
Jarak antara jari I dan II, baik tangan maupun kaki agak besar.
Pada pemeriksaan radiologis sering ditemukan falang tengah dan distal rudimenter.
Mulut biasanya tampak kotor serta gigi rusak. Hal ini disebabkan karena ia tidak sadar
untuk menjaga kebersihan dirinya sendiri.
Alat kelamin biasanya kecil.
Dapat terjadi malformasi ginjal, hipospasia, dan kriptokismus.
Gastrointestinal: malformasi kongenital biasanya atreasia duodenalis, morro refleks yang
buruk, gastroesofageal refluks, penyakit celiac.
Apnea obstruktif saat tidur.
Kelainan tulang seperti dislokasi patela, sublukasio pangkal paha, atau ketidakstabilan
atlantoaksial.
Tingkat prevalensi ganguan tiroid seperti hipotiroid dilaporkan 3-54% pada individu
dengan sindrom Down dan meningkat dengan bertambahanya usia.
IQ rendah, yaitu antara 25-75, kebanyakan kurang dari 40.
Biasanya mempunyai kelainan pada jantung dan tidak resisten terhadap penyakit.
Kelainan jantung bawaan seperti defek septum ventrikel sering ditemukan. Karena itu
17
dahulu penderita biasanya berumur maksimal 20 tahun, akan tetapi dengan tersedianya
berbagai macam antibiotika, maka usia mereka kini dapat diperpanjang.
Penyakit infeksi terutama saluran pernafasan sering menenai anak dengan kelainan ini.
Angka kejadian leukemia tinggi.
Pada umumnya penderita sindrom Down selalu tampak gembira, mereka tidak sadar akan
cacat yang dideritanya. Gambaran tampaknya berubah pada masa remaja yang mungkin
mengalami berbagai kesulitan emosional, gangguan perilaku, dan (jarang) gangguan
psikotik.
Orang dengan sindrom Down cenderung menunjukan perburukan yang jelas dalam
bahasa, daya ingat, keterampilan merawat diri sendiri, dan memecahkan masalah pada
usia 30 tahunan.
Penderita pria biasanya steril, namun mereka masih mempunyai kesadaran seksual.
Sementara wanita dilaporkan dapat melahirkan anak.
Kejang.
Gambar 4. Gambaran Klinis Penderita Sindrom Down
Diunduh dari : http://bookbing.org/downs-syndrome-powerpoint-presentations/down-
syndrome-head-to-toe-defects/
18
Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada penyakit ini antara lain:8
- Defek kongenital jantung atau organ lain sering terjadi berkaitan dengan sindrom Down.
Kejadian ini terjadi pada 30-50%. Sekitar sepertiga lsi berupa defek bantalan
endokardium, sekitar sepertiga adalah defek septum ventrikel; terjadi defek septum atrium
tipe sekundum dan juga terdapat tetralogi Fallot
- Mudah terjadi infeksi seperti pneumonia. Alasan kerentanan ini tidak semuanya diketahui,
tetapi terdapat bukti abnormalitas fungsi limfosit T
- Resiko leukemia pada masa kanak-kanak dapat meningkat pada anak sindrom Down.
- Penderita sindrom Down juga biasanya menderita penyakit alzheimer selama empat atau
lima dekade kehidupannya. Hal ini berkaitan dengan hasil pengamatan bahwa penyakit
alzheimer dapat muncul sebagaian karena defek kromososm 21
- Orang yang lebih tua dengan sindrom Down memiliki resiko besar terhadap beberapa
masalah medis, termasuk sublukasi atlantoaksial, katarak, diabetes, gangguan tiroid
didapat, leukimia, dan kejang
- Depresi medula spinalis karena kelainan tulang belakang
- Mata: katarak dan glaukoma. Jika tidak diobati dapat menyebabkan kebutaan
- Infertilitas
- Obstruksi jalan nafas atas
- Gastrointetinal: refluk gastroesofageal dan penyakit celiac
- Epilepsi
Penatalaksanaan
Medika Mentosa
Pengobatan secara medika mentosa diladasarkan secara simtomatis, sesuai dengan gejala yang
dialami pasien. Secara medika mentosa, penatalaksanaan sindrom Down ini antara lain:
Profilaksis endokarditis subakut bakteri yang dibutuhkan pada anak-anak yang rentan
dengan penyakit jantung ketika mereka menjalani perawatan gigi atau prosedur invasif
lainnya.9
Digitalis dan diuretik yang biasanya dibutuhkan untuk manajemen jantung.
Perawatan segera apabila terjadi infeksi saluran pernapasan dan otitis media.
Anak-anak dengan penyakit jantung dan pernapasan kronis adalah kandidat untuk
vaksinasi influenza dan pneumokokus.
19
Hormon tiroid untuk hipotiroidisme diperlukan untuk mencegah kerusakan intelektual
dan meningkatkan fungsi individu secara keseluruhan.
Antikonvulsan untuk tonik-klonik atau untuk kejang infantil (mengobati dengan steroid).
Mengobati gangguan kulit seperti folikulitis, xerosis, dermatitis atopik, dermatitis
seboroik, infeksi jamur pada kulit dan kuku, vitiligo dengan penerapan salep antibiotik,
atau terapi antibiotik sistemik.9,10
Mencegah karies gigi dan penyakit periodontal melalui kebersihan gigi yang tepat,
pengobatan fluoride, kebiasaan makan yang baik, dan perawatan restoratif.
Anak-anak dengan sindrom Down dan leukemia lebih sensitif terhadap beberapa agen
kemoterapi (misalnya, metotreksat) dibanding anak lain. Jadi, mereka membutuhkan
pemantauan secara cermat untuk toksisitas.9,10
Non Medika Mentosa
Penatalaksanaan secara non medika mentosa pada sindrom ini antara lain:
Penyuluhan kepada orang tua langsung setelah diangnosis ditegakan untuk menentukan
adaptasi dan sikap orang tua selanjutnya.9,10
Anjurkan untuk menerapkan kebersihan badan untuk mencegah terjadinya gangguan
kulit.
Tekankan pentingnya diet yang seimbang dan olahraga rutin.
Pasien dengan gejala aritmia, episode pingsan, temuan abnormal pada EKG, dan palpitasi
atau nyeri dada harus menahan diri dari berpartisipasi dalam olahraga dan latihan berat.9
Lakukan evaluasi tahunan:
Telinga
Mata: kekeruhan ophthalmologic keratoconus atau kornea dan / atau katarak, dan
tumbuh kembang anak
Pemeriksaan tiroid
Kelainan tulang juga dapat terjadi pada sindrom Down, yang mencakup dislokasi patela,
sublukasio pangkal paha, atau ketidakstabilan atlantoaksial. Bila keadaan yang terkahir
ini sampai menimbulkan depresi medula spinalis, maka diperlukan pemeriksaan
radiologis untuk memeriksa spina servikal dan konsultasineurologis.
Transplantasi sumsum tulang bila terjadi leukemia.10
Program pendidikan khusus (SLB-C) pada anak dengan sindrom Down akan membantu
anakmelihat suatu dunia sebagaisuatu tempat yang menarik dan mengembangkan diri dan
20
bekerja. Pengalaman yang diperoleh di sekolah akan membantuk mereka memperoleh
perasaan tentang identitas personal, harga diri, dan kesenangan.
Lanjutkan terapi bicara dan bahasa, dengan fokus pada bahasa ekspresif dan dimengerti.
Lakukan tindak lanjut apabila perjadi masalah dalam perilaku seperti cemas, depresi.6
Pencegahan
Pencegahan yang dapat dilakukan untuk menurunkan angka kejadian ini antara lain:
Melahirkan anak di usia kurang dari 35 tahun, akan menurunkan resiko lahirnya anak
dengan sindrom Down.
Pada keluarga yang mempunyai riwayat sindrom Down dianjurkan untuk melakukan
konsultasi genetik.
Prognosis
4% kasus dengan sindrom Down hidup sampai 60 tahun, dan 14% sampai umur 68 tahun.
Berbagai faktor berpengaruh terhadap harapan hidup penderita sindrom Down ini. Tingginya
angka kejadian penyakit jantung bawaan pada penderita ini, mengakibatkan 80% kematian.
Namun, saat ini dengan tersedianya berbagai macam antibiotika, maka usia mereka kini dapat
diperpanjang.
Kesimpulan
Pada kecurigaan kehamilan bayi sindrom down dapat dilakukan anamnesis atau konseling
genetik terlebih dahulu. Pemeriksaan kromosom yang dapat dilakukan adalah CVS,
amniosentesis, dan kordosentesis. Selaini itu kita dapat melakukan pemeriksaan AFP, HCG,
dan uE3. Sindrom down merupakan gangguan genetik yang disebabkan oleh trisomi
kromosom 21, dan translokasi kromosom 21.
Daftar Pustaka
1. Supartondo, Setiyohadi B. Buku ajar ilmu penyakit dalam : anamnesis. Ed.5. Vol.1.
Jakarta. Interna Publishing, 2009. H. 25-7.
2. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Rouse DJ, Spong CY. Obstetri
Williams. Vol 1. Edisi 23. Jakarta. EGC, 2013. H. 282-3, 307-17.
3. Corwin EJ. Buku saku patofisiologi. Edisi 3. Jakarta. EGC, 2009. H. 61-63.
4. Hassan R, Alatas H. Ilmu kesehatan anak. Vol. 1. Jakarta. Infomedika Jakarta, 2007. H.
217-9.
21
5. Suryo. Genetika manusia. Yogyakakrta. Gajah Mada Press, 2008. H.259-72.
6. Behrman RE, Kliegman R, Arvin AM. Nelson ilmu kesehatan anak. Volume 3. Edisi ke
15. Jakarta:EGC;2002.h.1938-43,1970-77.
7. Clarke A. Genetika manusia & kedokteran. Jakarta. Widya Medika, 1996. H. 75-9.
8. Adkison LR, Brown MD. Elsevier’s integrated genetics. Philadephia. Mosby Elsevier,
2007.p.17-24.
9. Zaotis LB, Chiang VW. Comprehensive pediatric hospital medicine. Philadelphia.
Mosby Elsevier, 2007. P.821-7.
10. Bickley LS. Buku saku pemeriksaan fisik dan riwayat kesehatan bates. Jakarta. EGC,
2008. H.300-50.
22