Click here to load reader
Upload
erika-angelika
View
711
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Erika . 0706291243 . Jurusan Ilmu Hubungan Internasional . Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
Universitas Indonesia.
Page | 1
ESSAY DIPLOMASI MODERN
Nama : Erika
NPM : 0706291243
Jurusan : Ilmu Hubungan Internasional
Singapura,
Power, Foreign Policy, dan Diplomasinya
Singapura, sebuah negara pulau yang terletak di kawasan Asia Tenggara, merupakan
sebuah negara dengan wilayah yang relatif kecil jika dibandingkan dengan negara-negara
tetangganya. Dengan luas wilayah hanya 704 km2 dan jumlah penduduk hanya 4.588.600
jiwa (atau kira-kira hanya 2% dari total penduduk Indonesia), wajar saja bila Singapura
khawatir keberadaannya akan diacuhkan oleh masyarakat internasional. Namun terlepas dari
kondisi fisiknya, Singapura ternyata bisa menonjolkan aspek-aspek lain dari dirinya sehingga
ia bisa diterima dan dihargai layaknya negara-negara besar oleh masyarakat internasional.
Kondisi sosial masyarakat Singapura yang terdiri dari bermacam-macam
etnik—seperti etnis Tionghua (75,2%), Melayu (13,6%), India (8,8%), dan Eurasia serta etnis
lain (2,4%)—dan bermacam-macam agama—Budha (42,5%), tanpa agama (14,8%), Kristen
(14,6%), Islam (13,9%), Taoisme (8,5%), Hindu (4%), dan lain-lain (1,6%)—mau tidak mau
merupakan tantangan bagi integrasi bangsa Singapura sendiri, namun lagi-lagi Singapura
berhasil menangani tantangan dari dalam negeri ini; walaupun terdiri dari bermacam-macam
etnik dan agama yang berbeda-beda, rakyat Singapura telah membuktikan bahwa
keberagaman itu tidak menghalangi mereka untuk berinteraksi secara damai.
Interaksi secara damai Singapura bukan hanya dilakukan secara internal, namun juga
secara eksternal dengan negara-negara lain, serta dengan berbagai organisasi internasional di
dunia. Berikut adalah negara-negara yang memiliki hubungan diplomatik dengan Singapura.
KAWASAN NEGARA
Asia
Bangladesh
Brunei Darussalam
China
Siprus
India
Indonesia
Israel
Jepang
Korea
Kamboja
Laos
Libanon
Erika . 0706291243 . Jurusan Ilmu Hubungan Internasional . Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
Universitas Indonesia.
Page | 2
Malaysia
Mongol
Myanmar
Nepal
Pakistan
Filippina
Saudi Arabia
Srilanka
Taiwan
Thailand
Turki
Vietnam
Yamen
Oman
Kazakhstan
Uzbekistan
Eropa
Austria
Belgia
Britania
Bulgaria
Denmark
Finlandia
Perancis
Jerman
Yunani
Hungaria
Islandia
Irlandia
Italy
Latvia
Luksemburg
Malta
Monako
Belanda
Norwegia
Polandia
Portugal
Roma
Rusia
Slovenia
Spanyol
Swedia
Switzerland
Inggris
Erika . 0706291243 . Jurusan Ilmu Hubungan Internasional . Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
Universitas Indonesia.
Page | 3
Republik Ceko
Sisilia
Afrika
Komoros
Egypt
Ethiopia
Guinea-Bissau
Jamaika
Samoa
Afrika Selatan
Tanzania
Tunisia
Amerika
Argentina
Berlize
Brazil
Kanada
Chili
Kolombia
Meksiko
Panama
Peru
Amerika Serikat
Republik Honduras
Oseania
Australia
New Zealand
Papua Nugini
Fiji
Sumber : Singapore Ministry of Foreign Affairs, http://www.mfa.gov.sg/, diakses pada 1 Oktober 2008, pukul
18.57.
Jika dibuat persentasi hubungan diplomatik Singapura berdasarkan wilayahnya, maka akan
didapat bahwa Singapura lebih banyak melakukan hubungan diplomatis dengan wilayah
Eropa (36,58%), lalu dengan wilayah Asia (34,1%), dengan wilayah Amerika (13,41%),
wilayah Afrika (10,97%), serta terakhir denga wilayah Oseania (4,88%). Selain menjalin
hubungan diplomatik dengan negara-negara pada tabel di atas, Singapura juga bergabung
dengan berbagai organisasi regional dan internasional, di antaranya adalah APEC
(Asia-Pasific Economic Cooperation), ASEAN (Association of South East Asian Nations),
The Commonwealth, PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa), WTO (World Trade Organisation),
dan berbagai organisasi internasional dan regional lainnya. Selain itu, Singapura juga
tergabung dalam berbagai gerakan dan perkumpulan seperti GNB/NAM (Gerakan Non
Blok/Non Aligned Movement), ADB (Asian Development Bank), Grup 77, INTELSAT
(International Telecommunications Satellite Organization), dan lain-lain. Kebergabungan
Singapura dalam berbagai organisasi regional dan internasional serta dalam gerakan-gerakan
dan perkumpulan, juga hubungan Singapura yang relatif baik dengan negara-negara di dunia,
Erika . 0706291243 . Jurusan Ilmu Hubungan Internasional . Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
Universitas Indonesia.
Page | 4
membuktikan Singapura adalah negara yang aktif secara diplomatik.
Lahir dengan luas wilayah yang kecil dengan sumber daya alam yang sedikit, tidak
lantas membuat Singapura tertinggal secara perekonomian. Terbukti, bersama-sama dengan
Hongkong, Taiwan, dan Korea Selatan, Singapura termasuk dalam negara “4 macan Asia”.
Data survei dari Mercer Human Resource Consulting bahkan menyatakan bahwa Singapura
menduduki urutan ke-5 di Asia dalam standar kehidupan termahal, dan dalam urutan ke 14 di
dunia. Singapura juga menduduki peringkat ke-6 dunia dengan GDP tertinggi. Dua kunci
perekonomian Singapura adalah perindustrian dan teknologi yang maju, serta sebuah pasar
ekonomi yang maju dan terbuka. Bidang ekspor, perindustrian, dan jasa merupakan sumber
pendapatan yang besar bagi Singapura. Selain ketiga bidang tersebut, Singapura juga terkenal
dengan sektor pariwisatanya, yang terus-menerus menawarkan berbagai hiburan menarik bagi
para wisatawan mancanegara. Dengan perekonomian yang sukses, sudah barang tentu
Singapura mulai mendapat sorotan dari dunia internasional; power Singapura pun mulai
diperhitungkan oleh dunia internasional karena kekuatan ekonominya.
Sadar akan berbagai kekurangan fisik (sedikitnya populasi, kecilnya luas wilayah,
serta sedikitnya sumber daya alam), Singapura lantas melakukan segala upaya untuk
mempertahankan eksistensinya di dunia internasional. Mulai dari memperkuat sektor
ekonomi, sampai ke sektor militernya. Fakta bahwa Singapura menganggarkan 6% dari
GDP-nya untuk keperluan militer dan angkatan bersenjatanya, jelas membuat Singapura
mampu menyediakan berbagai perlengkapan militer canggih untuk keperluan angkatan
bersenjatanya. Hal ini diperkuat dengan prinsip Pertahanan Total (Total Defence) yang
diterapkan Singapura, di mana pertahanan Singapura tidak hanya terdiri dari angkatan
bersenjatanya saja, melainkan dari seluruh warga Singapura. Tersedianya „pasukan‟ dalam
jumlah yang cukup serta peralatan militer yang canggih tentu saja membuktikan bahwa
keadaan militer di Singapura sudah dapat dikatakan kuat.
Dari segi politik, dapat dikatakan Singapura merupakan negara yang kuat secara
politik. Kehidupan politik Singapura yang didominasi oleh satu partai besar, yaitu Partai Aksi
Rakyat (People‟s Action Party), menyebabkan jarang terjadinya keributan dalam tubuh
pemerintahan Singapura. Pemerintahan Singapura dikenal sebagai pemerintahan dengan
angka korupsi tersedikit di dunia, juga sebagai pemerintahan dengan kerja paling efisien. Hal
ini tentu membuktikan betapa kuatnya Singapura secara politik.
Dengan pertumbuhan ekonomi yang pesat, militer yang didukung oleh peralatan
canggih, serta keadaan politik yang tertib, tentu saja keberadaan Singapura mulai
diperhitungkan di lingkup dunia internasional. Jika ditilik lebih lanjut, potensi power yang
dimiliki Singapura cukup besar. Keberadaan Singapura mulai dilirik oleh dunia internasional
sebagai newcomer yang patut diperhitungkan. Berbagai kebijakan luar negeri yang
diambilnya pun mulai diperhatikan oleh dunia internasional.
Pada awal pembentukannya, politik luar negeri Singapura lebih berfokus pada upaya
pertahanan (survival), agar Singapura dapat memperlihatkan eksistensinya di dunia
internasional, tanpa harus mengandalkan kekuatan fisiknya yang lemah. Singapura sadar
bahwa negara-negara besar baru akan melihat dan memandang negara kecil hanya bila negara
kecil tersebut sukses dan dapat beradaptasi dengan level internasional, yang dicapai bila
negara kecil tersebut memiliki power, baik dalam sisi ekonomi, politik, dan militer.
Kesadaran inilah yang lantas mendorong Singapura untuk berfokus pada peningkatan
Erika . 0706291243 . Jurusan Ilmu Hubungan Internasional . Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
Universitas Indonesia.
Page | 5
ekonomi dan ekspor perdagangannya, seperti yang pernah disampaikan oleh
Menteri Luar Negeri Singapura Sinnathamby Rajaratnam tahun 1972, yaitu bahwa Singapura
dapat mempertahankan eksistensinya bila negaranya dapat terus memelihara ketergantungan
permintaan di pasaran dunia pada servis Singapura1.
Kesadaran untuk perlu mempertahankan eksistensi dirinya sebenarnya mulai
dirasakan Singapura sejak peristiwa invasi yang dilakukan Vietnam di Kamboja pada 1978.
Saat itu, Singapura berpendapat Vietnam menerobos kedaulatan Kamboja. Sebagai negara
yang sama-sama memiliki luas wilayah kecil, Singapura mulai merasa tidak aman sejak
invasi Vietnam tersebut. Ia mulai khawatir hal tersebut akan menimpa dirinya sewaktu-waktu.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya hubungan dan politik luar negeri
Singapura banyak diwarnai oleh usaha-usaha mempertahankan diri, terutama ketika
berhadapan dengan dua negara besar tetangganya : Malaysia dan Indonesia. Hal ini wajar,
mengingat Singapura selalu memiliki rasa takut dikarenakan luas wilayahnya yang kecil,
apalagi jika dibandingkan dengan kedua negara tersebut. Ketakutan Singapura bertambah
manakala hubungan Malaysia dan Indonesia bertambah dekat, karena kesamaan historis,
sosial (etnis dan agama), serta kesamaan budaya. Sementara Singapura, jelas-jelas memiliki
banyak perbedaan dengan Malaysia dan Indonesia, di mana mayoritas penduduk Singapura
berasal dari etnis Tionghua; inilah yang menyebabkan Singapura menyebut dirinya “a
Chinese island in a sea of Malays”2. Usaha pertahanan Singapura ini antara lain dilakukan
dengan mendekatkan diri pada Malaysia dan Indonesia melalui wadah ASEAN. Sebelumnya,
politik luar negeri Singapura lebih berfokus pada dunia internasional secara global dibanding
secara regional, namun sejak 1975, politik luar negeri Singapura pun mulai berfokus pada
menjalin kerjasama dengan ASEAN. Singapura sadar bahwa ASEAN merupakan kesempatan
yang baik baginya untuk memperbaiki hubungannya dengan Malaysia dan Indonesia, yang
merupakan ancaman potensial bagi keamanan Singapura3.
Meskipun menyadari bahwa kerjasama regional melalui ASEAN itu penting, masa
akhir konflik Kamboja tetap menghadirkan keraguan pada Singapura mengenai kredibilitas
ASEAN. Menteri Luar Negeri Singapura saat itu, Wang Kan Seng berpendapat bahwa masa
depan ASEAN tidak dapat dijamin dan masih penuh keragu-raguan4. Namun keragu-raguan
Singapura tersebut hilang ketika menghadiri ASEAN Summit pada Januari 1992 yang
menghasilkan beberapa keputusan terkait dengan kerjasama ASEAN melalui ARF (ASEAN
Regional Forum) dan AFTA (ASEAN Free Trade Area); kedua keputusan ini dianggap
membawa angin segar bagi kredibilitas ASEAN. AFTA menekankan pada pentingnya
regionalisme ekonomi, terutama di masa-masa globalisasi seperti sekarang. Hal ini kemudian
menyadarkan Singapura akan pentingnya regionalisme ekonomi. Singapura melihat bahwa
pasar Asia Tenggara juga menjanjikan, maka Singapura pun mulai memfokuskan kegiatan
1 Foreign Policy. http://www.country-studies.com/singapore/foreign-policy.html, diakses pada 1 Oktober 2008,
pukul 20.23. 2The Evolution of Singapore’s Foreign Policy : Challenges of Change. http://www.worldscibooks.com/socialsci/
etextbook/6533/6533_chap01.pdf, diakses pada 1 Oktober 2008, hal. 23. 3 Foreign Policy – Regional. http://www.country-studies.com/singapore/foreign-policy---regional.html, diakses
pada 1 Oktober 2008, pukul 21.34. 4The Evolution of Singapore’s Foreign Policy : Challenges of Change. http://www.worldscibooks.com/socialsci/
etextbook/6533/6533_chap01.pdf, diakses pada 1 Oktober 2008, hal. 24.
Erika . 0706291243 . Jurusan Ilmu Hubungan Internasional . Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
Universitas Indonesia.
Page | 6
ekonominya di wilayah Asia Tenggara. Salah satu usaha yang dilakukan Singapura
adalah dengan membentuk “Segitiga Pertumbuhan” (“Growth Triangle”) antara Singapura,
Johor, dan Batam. Singapura melihat kerjasama—dengan menggabungkan kekuatan finansial
Singapura dengan lahan besar dan tenaga kerja murah dari Johor dan Batam—ini akan
mendatangkan keuntungan bagi ketiga pihak.
Sementara dari sisi politik dan keamanan, demi kepentingan pertahanan dan untuk
menjamin eksistensi dirinya, Singapura lantas mendekatkan diri dan menggandeng
negara-negara besar. Singapura melihat bahwa tidak ada negara di kawasan Asia Pasifik yang
memiliki kredibilitas keamanan yang lebih menjamin daripada Amerika Serikat dan negara
besar sekutunya. Singapura berpandangan bahwa Amerika Serikat lebih dapat menjamin
kondisi terciptanya “balance of power” di kawasan Asia Pasifik. Pandangan ini didasarkan
pada alasan bahwa untuk menandingi kekuatan komunis dari Cina dan Vietnam, serta untuk
menandingi kekuatan-kekuatan lain yang tidak sejalan dengan pandangan liberalis kapitalis
yang dianut Singapura, maka Singapura memerlukan bantuan Amerika Serikat untuk
mendukungnya. Pandangan inilah yang kemudian melatarbelakangi berbagai kebijakan luar
negeri Singapura yang cenderung mendukung Amerika Serikat, salah satunya adalah ketika
Singapura mendukung usaha Amerika Serikat dalam perang melawan terorisme, serta ketika
Singapura bergabung dalam Coalition for the Immediate Disarmament of Iraq.
Singapura sadar, kedekatannya dengan Amerika Serikat ini banyak mendapat
tanggapan negatif dari negara-negara tetangganya seperti Malaysia, Indonesia, dan lain-lain.
Akan tetapi, Singapura tidak ingin hubungan yang telah lama ia jalin dengan negara
superpower itu menjadi rusak hanya karena ia memedulikan anggapan negara lain.
Menyadari bahwa Singapura memiliki banyak kekurangan dari segi fisik, Singapura lantas
„menggandeng‟ Amerika Serikat. Berteman dengan Amerika Serikat sudah barang tentu akan
memberikan jaminan kenyamanan sekaligus keamanan bagi Singapura. Di sinilah terlihat sisi
politik luar negeri Singapura yang cenderung pragmatis.
Selain Amerika Serikat, Singapura juga melihat China sebagai aktor yang paling
berperan dalam mempengaruhi dan mewujudkan kondisi “balance of power” di kawasan Asia
Pasifik, berdasarkan pengaruhnya yang memang besar di wilayah Asia Pasifik juga
berdasarkan power yang dimiliki China, baik dari segi ekonomi maupun militer. Selain itu,
Singapura juga melihat China sebagai jalan bagi Singapura untuk meningkatkan investasi dan
perdagangan luar negeri Singapura. Dua alasan ini lantas mendorong Singapura untuk
menjalin hubungan baik dengan China, seperti yang ia lakukan dengan Amerika Serikat.
Berbagai tindakan dilakukan Singapura untuk menunjukkan dukungannya pada China, salah
satunya adalah ketika Singapura membela China saat China dikenai sanksi ekonomi oleh
Amerika Serikat karena masalah hak asasi manusia yang masih rendah kualitasnya di China.
Tindakan lainnya adalah ketika Singapura setuju dan menganjurkan China untuk menjadi
rekan konsultasi keamanan multilateral dalam masalah keamanan di kawasan Asia Pasifik.
Kesemuanya itu jelas menunjukkan bahwa Singapura menunjukkan perhatian dan dukungan
yang besar pada China.
Dari semua penjelasan di atas, dapat disimpulkan arah politik luar negeri Singapura
dari masa ke masa adalah tentang usaha mempertahankan eksistensi dirinya. Usaha
mempertahankan eksistensi dirinya ini sendiri merupakan gabungan dari prinsip
regionalisme—tercermin dari aktifnya Singapura dalam ASEAN—yang dijalankan Singapura
Erika . 0706291243 . Jurusan Ilmu Hubungan Internasional . Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
Universitas Indonesia.
Page | 7
pada sisi ekonomi, serta prinsip “balance of power” yang dijalankan Singapura
pada sisi politik dan keamanan. Secara lebih khusus, penulis berpendapat bahwa politik luar
negeri Singapura lebih dititikberatkan pada usaha-usaha pembangunan untuk sektor ekonomi,
walaupun tidak berarti pembangunan pada sektor lainnya lantas ditinggalkan. Politik luar
negeri Singapura juga dapat dikatakan bersifat sedikit pragmatis, namun tetap liberalis
dengan tetap mementingkan kerjasama untuk mewujudkan kepentingan nasional.
Politik luar negeri Singapura yang pragmatis dengan berdasar pada prinsip
regionalisme dan prinsip “balance of power” itu tentu saja berpengaruh pada gaya diplomasi
para diplomat dan pembuat kebijakannya. Dalam berdiplomasi, para diplomat maupun
pengambil kebijakan Singapura seringkali berpegang pada prinsip “win-win solution”. Ia
tidak seperti Amerika Serikat yang cenderung arogan dan tidak mau dibantah dalam
berdiplomasi, sebaliknya Singapura berdiplomasi dengan cara yang cenderung lebih
kooperatif. Singapura akan mengusahakan agar pihak yang diajak bekerja sama juga
mendapatkan keuntungan, sementara dirinya juga akan berhasil memenuhi kepentingan
nasionalnya. Diplomasi Singapura adalah diplomasi dengan sebisa mungkin meminimalisir
penggunaan force, diplomasi yang mengutamakan negosiasi dan kompromi, untuk mencapai
kepentingan nasionalnya dengan tetap menjaga hubungan baik dengan negara yang diajak
berdiplomasi.
Nicholson membagi teori diplomatik menjadi dua, yaitu teori warrior dan mercantile
atau shop keeper. Jika meminjam istilah Nicholson, dapat dikatakan Singapura mengadopsi
tipe diplomasi shop keeper, yaitu tipe yang “lebih memperlihatkan negosiasi yang
profit-politics dan terutama bersifat appeasement, konsiliasi, dan kompromi. Teori diplomasi
yang terakhir ini menganggap diplomasi sebagai usaha untuk menciptakan hubungan atau
kontak langsung secara bersahabat5”. Singapura menganggap diplomasi sebagai konsep untuk
mencapai rasa saling pengertian yang dalam yang pada akhirnya akan mendatangkan
keuntungan bagi kedua belah pihak.
Dari berbagai penjelasan mengenai tipe diplomasi Singapura di atas, tentunya sudah
dapat ditebak gaya diplomasi apa yang paling sering digunakan oleh para diplomat dan
pengambil kebijakan di Singapura : persuasi dan kompromi. Seperti yang disebutkan
Bantarto Bandoro dalam Diplomasi Indonesia : Dahulu, Kini, dan Masa Depan, persuasi dan
kompromi adalah usaha untuk membujuk lawan berundingnya dengan cara menghimbau agar
mereka bersedia mencapai apa yang disebut friendly attachment6. Hal inilah yang tampaknya
mewarnai gaya diplomasi para diplomat Singapura. Para diplomat Singapura seringkali
melakukan berbagai pendekatan, baik secara formal maupun informal, untuk membuat lawan
berundingnya memahami mengapa tuntutan dan keinginan Singapura penting untuk
dikabulkan. Diplomasi yang bersifat kooperasi di sini sangat ditonjolkan oleh Singapura,
seperti yang telah disebutkan sebelumnya, dengan berusaha untuk mencapai “win-win
solution”, kemenangan untuk kedua pihak. Sangat jarang ditemukan kasus Singapura
menggunakan gaya diplomasi koersif yang bersifat tekanan (pressures) ataupun paksaan,
walaupun Singapura sebenarnya mempunyai kapasitas yang cukup untuk menekan negara
lawan berundingnya dikarenakan ia memiliki bargaining position yang cukup bagus dilihat
5 Bantarto Bandoro, Diplomasi Indonesia: Dahulu, Kini, dan Masa Depan, dalam Hadi Soesatro, ed., Untuk
Kelangsungan Hidup Bangsa, (Jakarta: Centre for Strategic and International Studies, 1991), hal. 46-47. 6 Ibid, hal. 48.
Erika . 0706291243 . Jurusan Ilmu Hubungan Internasional . Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
Universitas Indonesia.
Page | 8
dari sisi ekonominya.
Dari berbagai penjelasan mengenai power yang dimiliki Singapura, arah foreign
policy Singapura, serta tipe diplomasi yang dilakukan para diplomat dan pengambil kebijakan
Singapura, penulis mengambil kesimpulan bahwa Singapura merupakan negara yang lebih
berorientasi pada paham liberalisme-kapitalisme. Hal ini dibuktikan dengan orientasi power
yang dimiliki dan menjadi fokus dari Singapura : ekonomi. Singapura tidak memfokuskan
dirinya untuk mengejar dan memperbesar kekuatan militernya, walaupun tidak dipungkiri
Singapura juga melakukan berbagai upaya untuk memperkuat militernya, namun yang
menjadi fokus utama Singapura adalah memajukan kehidupan perekonomiannya. Begitu
banyak kebijakan luar negeri yang diambil Singapura dengan berlatar belakang untuk
memajukan perekonomiannya, seperti berbagai Free Trade Area Agreements yang dilakukan
Singapura dengan berbagai negara. Prinsip regionalisme yang dianut Singapura dalam politik
luar negerinya juga menunjukkan orientasi liberalisme-kapitalisme. Seperti yang diutarakan
kaum liberalis, Singapura lebih mengutamakan dan percaya pada pentingnya kerja sama.
Sangat jarang menemukan Singapura sebagai figur yang vokal secara individual, akan tetapi
sangat mudah menemukan Singapura sebagai figur vokal dalam berbagai organisasi
internasional, seperti pada ASEAN maupun pada PBB. Terakhir, orientasi
liberalisme-kapitalisme yang dianut Singapura tentu tercermin melalui tipe dan gaya
diplomasinya. Tipe diplomasi Singapura, yaitu shop keeper, dan gaya diplomasi Singapura
lebih menekankan pada unsur persuasi, kompromi, dan kerjasama. Tiga hal yang dianggap
penting dalam pemikiran kaum liberalis-kapitalis.